Thomisme
Sintesis Rasionalisme Aristotelian dan Teologi Kristen
dalam Filsafat Abad Pertengahan
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini menguraikan secara komprehensif
filsafat Thomisme, suatu sistem pemikiran yang dikembangkan oleh Thomas
Aquinas (1225–1274) sebagai sintesis antara filsafat Aristotelian dan
teologi Kristen. Thomisme berupaya menjembatani akal dan iman, filsafat
dan teologi, serta rasionalitas dan spiritualitas dalam satu
kerangka metafisis yang koheren. Melalui prinsip-prinsip seperti actus
essendi, participatio entis, dan analogia entis, Aquinas
menegaskan bahwa seluruh realitas memiliki struktur partisipatif terhadap
keberadaan Tuhan sebagai ipsum esse subsistens—Keberadaan itu sendiri.
Artikel ini membahas secara sistematis landasan
historis Thomisme, ontologi dan epistemologi Thomistik, pandangan antropologis
tentang manusia sebagai kesatuan jiwa dan tubuh, serta etika hukum kodrat yang
menghubungkan moralitas dengan tujuan akhir manusia (beatitudo). Di
samping itu, artikel ini juga mengeksplorasi logika dan metodologi skolastik,
metafisika ketuhanan, serta perkembangan dan kritik terhadap Thomisme dari abad
pertengahan hingga kontemporer.
Dalam bagian akhir, disoroti relevansi Thomisme di
dunia modern—khususnya dalam menghadapi krisis rasionalitas, relativisme moral,
dan fragmentasi ilmu pengetahuan. Thomisme dipahami sebagai paradigma filosofis
yang menyatukan kebenaran wahyu dan kebenaran rasional, sekaligus
menawarkan model etika dan spiritualitas yang integral. Dengan demikian, sistem
Aquinas tetap menjadi inspirasi bagi upaya dialog antara iman dan ilmu, serta
antara agama dan kebudayaan, menjadikannya salah satu bentuk filsafat abadi
(philosophia perennis) yang terus relevan lintas zaman.
Kata Kunci: Thomas Aquinas; Thomisme; Filsafat Skolastik;
Ontologi; Epistemologi; Hukum Kodrat; Analogia Entis; Iman dan Akal; Metafisika
Tuhan; Neothomisme; Filsafat Abadi.
PEMBAHASAN
Aliran Thomisme dalam Konteks Filsafat Skolastik Abad
Pertengahan
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah filsafat Barat, abad pertengahan
merupakan masa di mana pergumulan antara iman dan akal mencapai puncak
kedewasaannya. Di tengah dominasi teologi skolastik, muncul seorang pemikir
yang berhasil mensintesiskan rasionalisme Aristotelian dengan doktrin Kristen
secara harmonis, yaitu Thomas Aquinas (1225–1274). Upaya sintesis
tersebut kemudian dikenal sebagai Thomisme, sebuah sistem filsafat dan
teologi yang berupaya menunjukkan bahwa iman dan akal bukanlah dua jalan yang
saling bertentangan, melainkan dua cara yang saling melengkapi dalam mencari
kebenaran yang sama—kebenaran tentang Tuhan dan ciptaan-Nya.¹
Lahir di Roccasecca, Italia, dan dididik dalam
lingkungan ordo Dominikan, Thomas Aquinas menempuh pendidikan di Universitas
Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus, seorang teolog dan filsuf besar yang
memperkenalkannya pada filsafat Aristoteles.² Melalui interaksi intelektual
dengan tradisi Yunani dan Islam (khususnya karya Aristoteles, Averroes, dan Ibn
Sina), Aquinas mengembangkan sebuah sistem berpikir yang menggabungkan ontologi
Aristotelian dengan teologi Kristen, sehingga menghasilkan kerangka
metafisika yang logis sekaligus teologis.³
Latar belakang historis Thomisme tidak dapat
dilepaskan dari konteks abad ke-13 yang menyaksikan kebangkitan kembali
karya-karya Aristoteles di Eropa Barat melalui terjemahan dari bahasa Arab dan
Latin. Hal ini menimbulkan kegelisahan teologis di kalangan gereja karena
filsafat Yunani dianggap berpotensi mengancam kemurnian ajaran iman.⁴ Namun,
Aquinas justru melihat dalam Aristotelianisme potensi besar untuk memperkuat
rasionalitas iman: ia berpendapat bahwa “gratia non tollit naturam, sed
perficit eam”—rahmat tidak meniadakan kodrat, melainkan menyempurnakannya.⁵
Melalui karya monumentalnya, Summa Theologica,
Thomas Aquinas menyusun sintesis komprehensif antara teologi dan filsafat, di
mana setiap aspek pengetahuan, mulai dari logika, etika, metafisika, hingga
teologi, ditempatkan dalam struktur rasional yang hierarkis.⁶ Tujuannya bukan
hanya menjelaskan dogma iman secara sistematis, tetapi juga menunjukkan bahwa
realitas dapat dimengerti melalui nalar manusia sejauh ia berpartisipasi dalam
rasio ilahi. Thomisme, dengan demikian, tidak hanya merupakan sistem skolastik
abad pertengahan, melainkan juga landasan epistemologis dan ontologis bagi
tradisi pemikiran Katolik sepanjang sejarah.⁷
Dalam konteks kontemporer, relevansi Thomisme tidak
berakhir pada abad pertengahan. Sejak ensiklik Aeterni Patris (1879)
yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII, Thomisme dihidupkan kembali dalam bentuk Neo-Thomisme,
menjadi dasar bagi filsafat Katolik modern yang berupaya berdialog dengan
sains, eksistensialisme, dan fenomenologi.⁸ Oleh karena itu, kajian terhadap
Thomisme bukan hanya bernilai historis, tetapi juga filosofis dan teologis,
karena membuka ruang untuk memahami bagaimana iman dan akal dapat bersinergi
dalam membangun kebijaksanaan manusia yang utuh.
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 3–5.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 259–261.
[3]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San
Francisco: Ignatius Press, 1991), 17–21.
[4]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 141–145.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1,
a.8.
[6]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 112–118.
[7]
Copleston, A History of Philosophy: Medieval
Philosophy, 276.
[8]
Leo XIII, Aeterni Patris (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1879).
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Thomisme
Thomisme tidak muncul secara tiba-tiba sebagai
sistem filsafat yang matang; ia merupakan hasil dari proses panjang
perkembangan intelektual abad pertengahan yang ditandai oleh sintesis antara
warisan filsafat Yunani, teologi Kristen, dan tradisi pemikiran Islam maupun
Yahudi. Untuk memahami kelahiran Thomisme, penting meninjau konteks historis
abad ke-13—sebuah periode di mana dunia intelektual Eropa mengalami kebangkitan
rasionalitas baru melalui integrasi antara iman dan akal.¹
Pada masa itu, Eropa sedang menyaksikan renaisans
skolastik, yaitu kebangkitan studi rasional di universitas-universitas yang
baru berdiri, seperti Paris, Oxford, dan Bologna.² Universitas Paris khususnya
menjadi pusat intelektual Katolik yang mempertemukan berbagai arus pemikiran,
termasuk neoplatonisme Augustinian, Aristotelianisme yang baru diterjemahkan,
serta tradisi teologi skolastik.³ Di sinilah Thomas Aquinas memulai
pembentukannya sebagai seorang teolog-filsuf di bawah bimbingan Albertus
Magnus, tokoh besar ordo Dominikan yang memperkenalkan metode sistematis
dalam memadukan teologi dan filsafat alam.⁴
Pengaruh filsafat Aristoteles sangat
menentukan bagi pembentukan Thomisme. Sebelum abad ke-13, sebagian besar
pemikiran Kristen Barat didominasi oleh corak Platonik-Augustinian yang
menekankan dunia ide dan iluminasi ilahi. Namun, masuknya karya-karya
Aristoteles ke Eropa melalui terjemahan Arab dan Latin—khususnya melalui
Averroes (Ibn Rushd) dan Avicenna (Ibn Sina)—mengubah lanskap intelektual
secara drastis.⁵ Pandangan Aristoteles tentang substansi, kausalitas, dan
aktualitas memberikan dasar metafisis baru bagi para teolog untuk memahami
realitas ciptaan tanpa harus meniadakan dimensi transendennya. Thomas Aquinas
kemudian mengambil langkah berani dengan mengintegrasikan metafisika
Aristoteles dalam teologi Kristen, menghasilkan kerangka konseptual yang
koheren antara rasio dan wahyu.⁶
Selain Aristoteles, pemikiran teolog Islam dan
Yahudi turut memberi pengaruh terhadap genealogi Thomisme. Aquinas banyak
memanfaatkan argumen metafisis Avicenna mengenai distingsi antara essentia
(hakikat) dan esse (ada), yang kemudian ia olah menjadi inti dari
metafisika keberadaannya.⁷ Dari Averroes, ia mempelajari sistem penafsiran
rasional terhadap teks-teks Aristoteles, meskipun menolak pandangan Averroes
tentang keabadian intelek universal.⁸ Bahkan pemikir Yahudi seperti Maimonides,
melalui karyanya Guide for the Perplexed, memberikan pengaruh signifikan
terhadap konsepsi teologi negatif (via negativa) Aquinas tentang
ketakterhinggaan Tuhan.⁹
Konteks institusional juga tidak dapat diabaikan.
Ordo Dominikan, yang berperan penting dalam pendidikan dan pengajaran teologi,
menyediakan kerangka organisasi bagi penyebaran Thomisme.¹⁰ Dalam ordo ini,
teologi dipahami bukan hanya sebagai bentuk kontemplasi rohani, tetapi juga
sebagai disiplin rasional yang bertujuan membela kebenaran iman terhadap
kesalahan intelektual.¹¹ Thomas Aquinas memanfaatkan tradisi ini untuk
merumuskan teologi yang bersifat sistematik, rasional, dan apologetik.
Selain itu, situasi gerejawi abad ke-13
turut membentuk dinamika Thomisme. Gereja Katolik menghadapi tantangan dari
dalam (pertentangan antara ordo Fransiskan dan Dominikan) serta dari luar
(pengaruh pemikiran Averroisme Latin yang cenderung sekuler).¹² Aquinas
menanggapi hal ini dengan menegaskan posisi Gereja yang melihat kebenaran
rasional dan kebenaran iman sebagai dua dimensi yang bersumber dari Tuhan yang
sama. Dengan demikian, ia menolak dualisme kebenaran sebagaimana dikemukakan
oleh para Averrois Latin seperti Siger dari Brabant.¹³
Secara genealogis, Thomisme menjadi puncak dari tradisi
skolastik, yaitu metode berpikir yang menekankan analisis logis, sintesis
argumentatif, dan penalaran deduktif terhadap ajaran iman.¹⁴ Melalui metode quaestio
disputata (pertanyaan yang diperdebatkan), Aquinas memformulasikan sistem
yang tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga filosofis. Di sinilah lahir apa
yang kemudian disebut philosophia perennis—filsafat yang abadi—yang
memadukan prinsip realisme metafisis Aristoteles dengan teologi wahyu
Kristen.¹⁵
Dengan demikian, Thomisme merupakan hasil dari
dialog lintas tradisi: antara Yunani dan Kristen, antara Islam dan Barat
Latin, antara filsafat dan teologi. Ia bukanlah sintesis artifisial, melainkan
bentuk integrasi historis yang lahir dari kesadaran akan kesatuan kebenaran
dalam berbagai manifestasinya. Dalam pengertian inilah, landasan historis dan
genealogis Thomisme menjadi fondasi bagi seluruh bangunan sistem filsafat
Aquinas yang akan dikembangkan dalam aspek ontologi, epistemologi, dan etika.
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, History of Christian Philosophy
in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 216–218.
[2]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought
(London: Longman, 1962), 121–124.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 238–241.
[4]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San
Francisco: Ignatius Press, 1991), 13–15.
[5]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 95–100.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I,
c.3–4.
[7]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 47–52.
[8]
Richard C. Taylor, “Aquinas, the Plotinian
Tradition, and the Doctrine of Divine Providence,” The Review of Metaphysics
49, no. 2 (1995): 451–472.
[9]
Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed,
trans. Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), 123–127.
[10]
William A. Wallace, The Modeling of Nature:
Philosophy of Science and Philosophy of Nature in Synthesis (Washington,
DC: Catholic University of America Press, 1996), 12–14.
[11]
Jean-Pierre Torrell, Saint Thomas Aquinas: The
Person and His Work (Washington, DC: Catholic University of America Press,
1996), 57–59.
[12]
Copleston, A History of Philosophy: Medieval
Philosophy, 252–254.
[13]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 221.
[14]
Fernand Van Steenberghen, Aristotle in the West:
The Origins of Latin Aristotelianism (Louvain: Nauwelaerts, 1955), 178–182.
[15]
Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy
(New York: Sheed & Ward, 1930), 10–12.
3.
Ontologi
Thomistik: Hakikat Ada dan Substansi
Bagi Thomas Aquinas,
ontologi—ilmu
tentang “ada” (ens) sebagai ada—merupakan inti
dari seluruh filsafatnya. Ia tidak memandang “ada” sebagai kategori yang paling
umum secara abstrak, tetapi sebagai prinsip yang nyata dan dinamis yang menandai
segala sesuatu yang eksis. Dalam sistem Thomistik, ada bukan sekadar konsep logis,
melainkan realitas metafisis yang konkret,
di mana setiap makhluk menerima keberadaannya dari Tuhan sebagai actus
essendi, yaitu tindakan keberadaan.¹ Dengan demikian, ontologi
Thomistik menempatkan Tuhan bukan hanya sebagai sebab pertama dalam rantai
kausalitas, tetapi sebagai sumber eksistensi itu sendiri—ipsum
esse subsistens, keberadaan yang berdiri sendiri dan menjadi dasar
dari segala yang ada.²
3.1.
Distingsi antara Essentia dan Esse
Salah satu sumbangan
terbesar Thomas Aquinas terhadap metafisika adalah distingsinya antara essentia
(hakikat) dan esse (keberadaan).³ Dalam setiap
makhluk ciptaan, essentia dan esse
merupakan dua prinsip yang berbeda namun saling terkait: essentia
menjelaskan “apa” suatu hal, sedangkan esse menjelaskan “bahwa” hal itu
ada.⁴ Perbedaan ini bukan hanya konseptual, tetapi real—karena makhluk tidak
memiliki keberadaan dengan sendirinya; ia menerima keberadaannya dari Tuhan
yang keberadaannya identik dengan hakikat-Nya.⁵
Dalam Summa
Theologica, Aquinas menulis bahwa “in omnibus aliis praeter Deum, esse est aliud
quam quod est”—dalam semua hal selain Tuhan, keberadaan berbeda
dari hakikat.⁶ Dengan demikian, Tuhan adalah satu-satunya wujud yang secara
mutlak sederhana, di mana essentia dan esse
identik. Sementara itu, dalam ciptaan, keberadaan selalu bersifat
“partisipatif”: setiap makhluk hanya memiliki esse secara terbatas sejauh ia
berpartisipasi dalam keberadaan Ilahi.⁷
3.2.
Konsep Actus et Potentia: Prinsip
Dinamika Realitas
Aquinas mengadopsi
kerangka metafisika Aristotelian tentang aktualitas (actus) dan
potensialitas (potentia)
sebagai prinsip universal realitas.⁸ Semua makhluk, kecuali Tuhan, berada dalam
komposisi antara potensi dan aktualitas. Potensi menunjuk pada kapasitas untuk
menjadi, sedangkan aktualitas adalah pemenuhan dari potensi tersebut. Tuhan,
sebagai actus
purus (aktualitas murni), tidak memiliki potensi apa pun, sebab
segala kemungkinan telah teraktualisasi secara sempurna dalam diri-Nya.⁹
Bagi Aquinas,
prinsip actus et
potentia memungkinkan penjelasan rasional tentang perubahan dan
kontingensi di dunia tanpa meniadakan dasar metafisisnya.¹⁰ Dengan kata lain,
dunia material bukanlah ilusi (seperti dalam platonisme ekstrem), tetapi merupakan
realitas aktual yang memiliki dasar eksistensial dalam actus
essendi.¹¹
3.3.
Analogia Entis: Analogitas Keberadaan
Salah satu aspek
paling khas dalam ontologi Thomistik adalah konsep analogi
keberadaan (analogia entis).¹² Bagi Aquinas,
“ada” tidak diartikan secara univok (dalam arti yang sama bagi Tuhan dan
ciptaan), tetapi juga tidak secara ekivok (dalam arti yang sepenuhnya berbeda).
Sebaliknya, ia bersifat analogis: ada keserupaan
proporsional antara keberadaan Tuhan dan keberadaan ciptaan.¹³
Melalui analogi ini,
Aquinas menghindari dua ekstrem: rasionalisme yang menurunkan Tuhan ke dalam
kategori manusiawi, dan mistisisme yang meniadakan segala kemungkinan
pengetahuan tentang Tuhan.¹⁴ Dengan analogia entis, manusia dapat
memahami Tuhan secara terbatas, karena ciptaan mencerminkan keberadaan-Nya
sebagai partisipasi dalam Esse Subsistens.¹⁵ Oleh karena itu,
ontologi Thomistik tidak hanya menegaskan realitas keberadaan, tetapi juga
memberikan dasar metafisis bagi teologi natural (pengetahuan rasional tentang
Tuhan).
3.4.
Struktur Hierarkis Keberadaan
Aquinas mengajarkan
bahwa realitas tersusun dalam tatanan hierarkis berdasarkan
tingkat partisipasi dalam keberadaan.¹⁶ Di puncak hierarki terdapat Tuhan
sebagai actus
purus, diikuti oleh makhluk-makhluk rohani (malaikat), manusia yang
memiliki jiwa rasional, makhluk hidup yang memiliki prinsip vital, dan
benda-benda material yang hanya memiliki bentuk substansial.¹⁷ Hirarki ini
bukan sekadar ontologis, tetapi juga teleologis: setiap tingkat keberadaan mengarah
pada kesempurnaan yang lebih tinggi, yaitu kepada Tuhan sebagai causa
finalis omnium rerum—tujuan akhir segala sesuatu.¹⁸
Dalam konteks ini,
keberadaan bukanlah konsep statis, melainkan gradasi dinamis dari partisipasi pada
keberadaan mutlak.¹⁹ Pandangan ini dikenal sebagai doctrina
participationis (ajaran partisipasi), yang menjadi jantung realisme
metafisik Aquinas dan membedakannya dari idealisme Platonis maupun nominalisme
abad pertengahan.²⁰
Substansi dan Aksiden
Sebagai penerus
Aristoteles, Aquinas juga mempertahankan distingsi antara substansi
dan aksiden.
Substansi adalah eksistensi yang berdiri sendiri (ens per se), sedangkan aksiden
adalah sesuatu yang melekat pada substansi dan tidak dapat berdiri sendiri (ens in
alio).²¹ Melalui kerangka ini, Aquinas menjelaskan struktur
ontologis dunia empiris tanpa kehilangan dasar metafisisnya.²²
Namun, ia memperluas
konsep substansi ini ke dalam teologi, terutama dalam doktrin transubstansiasi:
dalam Ekaristi, substansi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah
Kristus, sementara aksiden (rasa, warna, bentuk) tetap sama.²³ Ini menunjukkan
bagaimana metafisika substansi menjadi sarana teologis untuk memahami misteri
iman secara rasional.
Dengan demikian, ontologi
Thomistik menampilkan sintesis antara realisme metafisik Aristotelian dan
teologi Kristen. Keberadaan dipahami bukan sebagai konsep
abstrak, tetapi sebagai tindakan yang mengalir dari Tuhan sebagai sumber
eksistensi. Melalui distingsi antara essentia dan esse,
prinsip actus et
potentia, serta analogia entis, Thomas Aquinas
berhasil membangun fondasi ontologis yang rasional, hierarkis, dan
partisipatif—suatu pandangan yang hingga kini menjadi salah satu puncak
refleksi metafisika dalam sejarah filsafat.²⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 25–27.
[2]
Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, c.4.
[3]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 45–47.
[4]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 283–285.
[5]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 99–101.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.4.
[7]
Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 57–60.
[8]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924),
IX, 1045b.
[9]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
287.
[10]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 31–33.
[11]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 53.
[12]
Erich Przywara, Analogia Entis:
Metaphysics: Original Structure and Universal Rhythm (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2014), 19–21.
[13]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
120–122.
[14]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 67–69.
[15]
Przywara, Analogia Entis, 25.
[16]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
290.
[17]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, II, c.45–47.
[18]
Josef Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 33–36.
[19]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 40–42.
[20]
Jacques Maritain, Existence and the
Existent (New York: Pantheon Books,
1948), 17–19.
[21]
Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1908),
II.
[22]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
134–136.
[23]
Aquinas, Summa Theologica, III, q.75, a.4.
[24]
Maritain, Existence and the
Existent, 30–32.
4.
Epistemologi
Thomistik: Rasio, Iman, dan Iluminasi Ilahi
Epistemologi
Thomistik berangkat dari keyakinan dasar bahwa akal manusia memiliki kemampuan nyata untuk
mengenal kebenaran, namun kemampuannya bersifat terbatas dan
harus disempurnakan oleh iman.¹ Bagi Thomas Aquinas, pengetahuan bukanlah hasil
intuisi ilahi langsung, sebagaimana dalam neoplatonisme, tetapi merupakan hasil
aktivitas rasional manusia yang dimulai dari pengalaman inderawi dan berakhir
pada abstraksi intelektual. Dengan demikian, epistemologi Thomistik
menggabungkan realisme empiris Aristoteles
dengan teologi
wahyu Kristen, menghasilkan suatu pandangan yang rasional,
tetapi tetap terbuka terhadap transendensi.²
4.1.
Sumber Pengetahuan: Dari Inderawi ke
Intelektual
Aquinas mengadopsi
prinsip Aristotelian bahwa nihil est in intellectu quod non prius fuerit
in sensu—tidak ada sesuatu pun dalam intelek yang tidak terlebih
dahulu ada dalam indera.³ Semua pengetahuan manusia dimulai dari pengalaman
empiris terhadap dunia material. Melalui indera, bentuk (species
sensibilis) dari objek eksternal diterima tanpa materinya;
kemudian, intelek aktif (intellectus agens) mengabstraksikan
bentuk tersebut dari kondisi materialnya untuk menghasilkan species
intelligibilis, yaitu representasi intelektual dari realitas.⁴
Namun, Aquinas
menegaskan bahwa proses ini bukan sekadar mekanisme psikologis, melainkan
mencerminkan struktur ontologis hubungan antara subjek dan
realitas. Manusia mampu mengenal dunia karena struktur akalnya
sesuai dengan struktur realitas ciptaan Tuhan.⁵ Pengetahuan manusia, dengan
demikian, bersifat analogis terhadap pengetahuan Ilahi:
manusia mengetahui secara partisipatif karena akalnya merupakan refleksi dari intellectus
divinus.⁶
4.2.
Rasio dan Iman: Dua Jalan Menuju Kebenaran
Dalam sistem
Thomistik, rasio (ratio) dan iman (fides)
bukanlah dua sumber pengetahuan yang bertentangan, melainkan dua
jalan yang mengarah pada kebenaran yang sama, yakni Tuhan
sebagai sumber segala realitas.⁷ Aquinas membedakan antara veritates
rationis (kebenaran yang diketahui melalui akal) dan veritates
fidei (kebenaran yang diketahui melalui wahyu).⁸ Kebenaran
rasional, seperti keberadaan Tuhan, dapat dibuktikan melalui argumen filosofis;
sedangkan misteri iman, seperti Trinitas atau Inkarnasi, hanya dapat diterima
melalui wahyu ilahi.
Hubungan keduanya
bersifat komplementer dan hierarkis:
akal berfungsi sebagai pelayan iman (ancilla theologiae), tetapi bukan
dalam arti subordinasi buta.⁹ Rasio memiliki otonomi metodologisnya sendiri
dalam ranah natural, dan justru membantu menjelaskan dan mempertahankan
kebenaran iman dari kesalahan logis.¹⁰ Aquinas menegaskan bahwa tidak mungkin
ada kontradiksi antara wahyu dan rasio sejati, karena keduanya berasal dari
sumber yang sama, yaitu Tuhan yang adalah kebenaran itu sendiri (Deus est
veritas).¹¹
Dengan demikian,
iman menyempurnakan rasio tanpa meniadakannya. Aquinas menulis, “Gratia
non tollit naturam, sed perficit eam”—rahmat tidak meniadakan
kodrat, tetapi menyempurnakannya.¹² Dalam konteks epistemologi, hal ini berarti
bahwa rahmat ilahi memperluas cakrawala rasio manusia menuju kebenaran yang
melampaui jangkauannya, tanpa menghapuskan fungsi kritisnya.
4.3.
Iluminasi Ilahi dan Peran Intelek Aktif
Berbeda dengan
Augustinus yang menekankan iluminasi ilahi langsung sebagai syarat pengetahuan
sejati, Aquinas memberikan interpretasi yang lebih naturalistik terhadap iluminasi.¹³
Menurutnya, manusia memang memperoleh cahaya intelektual dari Tuhan, tetapi
cahaya itu bukanlah pengetahuan langsung, melainkan kemampuan
kodrati akal manusia yang bersumber dari Sang Pencipta.¹⁴
Aquinas menyebut hal
ini sebagai lumen intellectus agentis, yaitu
“cahaya intelek aktif” yang memungkinkan manusia mengabstraksikan universal
dari yang partikular.¹⁵ Dengan demikian, Tuhan tetap menjadi “cahaya segala
pengetahuan”, tetapi melalui perantaraan kemampuan rasional manusia sendiri.¹⁶
Iluminasi tidak menggantikan pengalaman empiris, melainkan menjadikannya dapat
dimengerti. Dalam kerangka ini, epistemologi Thomistik merupakan realisme
iluminatif: pengetahuan manusia adalah hasil kerja rasional
yang disinari oleh partisipasi dalam cahaya intelek Ilahi.¹⁷
4.4.
Pengetahuan Alamiah dan Pengetahuan Teologis
Aquinas membedakan
dua jenis pengetahuan: pengetahuan alamiah (natural)
dan pengetahuan
teologis (supernatural).¹⁸ Pengetahuan alamiah dicapai melalui
kekuatan akal budi dalam meneliti realitas ciptaan, sedangkan pengetahuan
teologis diperoleh melalui wahyu dan diterima dengan iman. Keduanya bersumber
dari Tuhan, namun berbeda dalam cara dan tingkat kepastiannya.
Pengetahuan rasional
bersifat diskursif dan deduktif, sedangkan pengetahuan iman bersifat intuitif
dan langsung karena bersandar pada otoritas ilahi.¹⁹ Meski demikian, keduanya
tidak terpisah. Aquinas menegaskan bahwa wahyu ilahi dapat menjadi prinsip awal
bagi refleksi filosofis, dan filsafat dapat menjadi instrumen bagi pemahaman
teologi.²⁰ Karena itu, epistemologi Thomistik berfungsi sebagai jembatan antara
filsafat dan teologi—antara penalaran dan kontemplasi.
Kebenaran sebagai Adeptio ad Rem
Dalam epistemologi
Thomistik, kebenaran didefinisikan sebagai adaequatio intellectus ad rem—kecocokan
antara intelek dan realitas.²¹ Kebenaran bukanlah hasil konstruksi subjektif,
melainkan penyesuaian rasional terhadap struktur objektif realitas yang
diciptakan Tuhan.²² Oleh karena itu, manusia dapat mengetahui dunia secara
benar karena dunia itu sendiri rasional dan tertata sesuai dengan logos
Ilahi.²³
Kebenaran, bagi
Aquinas, memiliki tiga dimensi: ontologis (segala yang ada benar sejauh ia
ada), logis (penyesuaian intelek terhadap realitas), dan moral (kejujuran dalam
penilaian).²⁴ Dengan demikian, epistemologi Thomistik bukan hanya teori
pengetahuan, tetapi juga mengandung dimensi etis—pengetahuan sejati menuntut
kehendak yang terarah pada kebenaran, bukan pada kesesatan.
Dengan demikian,
epistemologi Thomistik menunjukkan kesatuan rasionalitas dan iman
dalam struktur pengetahuan manusia. Melalui pengalaman empiris, iluminasi
intelek, dan partisipasi dalam kebenaran ilahi, manusia dapat mengenal Tuhan
dan dunia secara rasional tanpa meniadakan dimensi iman. Sistem ini memberikan
dasar filosofis bagi teologi Kristen dan tetap relevan bagi perdebatan modern
tentang hubungan antara sains, rasio, dan religiositas.²⁵
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 185–187.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 295–297.
[3]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Oxford: Clarendon Press, 1931),
III.8, 431b.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.79, a.3.
[5]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 67–69.
[6]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 44.
[7]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7–9.
[8]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
191–193.
[9]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 21–22.
[10]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 112–114.
[11]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.5.
[12]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.
[13]
Augustine, De Trinitate, XIV, c.15.
[14]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
196–198.
[15]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.79, a.4.
[16]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 73–75.
[17]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 81–83.
[18]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
303.
[19]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 51.
[20]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 29–31.
[21]
Thomas Aquinas, De Veritate, q.1, a.1.
[22]
Gilson, The Christian Philosophy
of St. Thomas Aquinas, 199–201.
[23]
Jacques Maritain, The Degrees of
Knowledge (New York: Scribner’s
Sons, 1959), 22–24.
[24]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.3–4.
[25]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 145–147.
5.
Antropologi
Thomistik: Jiwa, Tubuh, dan Akal Budi
Antropologi
Thomistik menempati posisi sentral dalam sistem filsafat Thomas Aquinas karena
ia berfungsi sebagai jembatan antara ontologi metafisik dan etika
teologis. Dalam pandangan Aquinas, manusia merupakan mikrokosmos—sebuah
miniatur kosmos yang memadukan unsur material dan spiritual secara harmonis.¹
Manusia tidak semata tubuh yang berjiwa, melainkan satu kesatuan substansial di
mana jiwa merupakan bentuk (forma substantialis) dari tubuh.²
Dengan demikian, antropologi Thomistik menolak baik dualisme platonik yang
memisahkan jiwa dan tubuh secara tajam, maupun materialisme yang meniadakan
dimensi spiritual manusia.³
5.1.
Manusia sebagai Kesatuan Substansial: Hylomorphisme
Aquinas mengadopsi
teori hylomorphisme
Aristoteles, yaitu pandangan bahwa segala makhluk jasmani
terdiri dari dua prinsip: materi (hyle) dan bentuk
(morphe).⁴ Jiwa manusia berperan sebagai bentuk substansial
tubuh, artinya ia memberikan kehidupan, identitas, dan aktivitas khas bagi
manusia.⁵ Jiwa bukanlah “penjara” bagi tubuh seperti dalam dualisme Plato,
melainkan prinsip yang mengaktualkan potensi tubuh.⁶
Dalam Summa
Theologica, Aquinas menulis bahwa “anima est forma corporis”—jiwa
adalah bentuk tubuh.⁷ Pernyataan ini menunjukkan bahwa jiwa dan tubuh tidak
dapat dipisahkan dalam eksistensi manusia: tubuh tanpa jiwa hanyalah materi
mati, sementara jiwa tanpa tubuh (selain dalam keadaan pascakematian)
kehilangan medium aktualisasinya.⁸ Pandangan ini menegaskan kesatuan
ontologis antara spiritualitas dan materialitas manusia, yang
sekaligus menjadi dasar bagi etika dan teologi inkarnasi.
5.2.
Struktur Jiwa Manusia: Vegetatif, Sensitif, dan
Rasional
Mengikuti struktur
Aristotelian, Aquinas membagi jiwa menjadi tiga tingkat aktivitas: vegetatif,
sensitif,
dan rasional.⁹
Jiwa vegetatif mengatur proses biologis seperti pertumbuhan dan reproduksi;
jiwa sensitif berkaitan dengan persepsi, imajinasi, dan dorongan emosional;
sedangkan jiwa rasional merupakan puncak kehidupan jiwa yang melibatkan intelek
dan kehendak bebas.¹⁰
Bagian rasional ini
menjadi ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain.¹¹ Melalui
intelek (intellectus),
manusia mampu mengenali kebenaran universal; melalui kehendak (voluntas),
ia bebas memilih berdasarkan pengetahuan tersebut.¹² Dengan demikian, manusia
bukan sekadar makhluk biologis, tetapi makhluk rasional dan moral (animal
rationale et morale) yang diciptakan menurut citra Allah (imago
Dei).¹³
5.3.
Intelek Aktif dan Pasif
Aquinas menjelaskan
dua aspek dari intelek: intelek pasif (intellectus
possibilis) dan intelek
aktif (intellectus agens).¹⁴
Intelek pasif menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh
abstraksi, sedangkan intelek aktif bertugas mengabstraksikan universal dari
pengalaman inderawi.¹⁵ Hubungan keduanya menyerupai hubungan antara potensi dan
aktualitas: intelek pasif berpotensi mengetahui, dan intelek aktif
mengaktualkan potensi itu.¹⁶
Aquinas menolak
pandangan Averroes tentang intelek universal yang tunggal bagi seluruh manusia.¹⁷
Ia menegaskan bahwa setiap individu memiliki intelek aktif dan
pasifnya sendiri, sebab pengetahuan merupakan tindakan personal
yang bersumber dari jiwa individu.¹⁸ Dengan demikian, pengetahuan dan moralitas
selalu berakar pada subjektivitas yang rasional, bukan pada substansi
intelektual kolektif.
5.4.
Kebebasan dan Kehendak Manusia
Dalam antropologi
Thomistik, kebebasan manusia merupakan konsekuensi langsung dari
rasionalitasnya.¹⁹ Aquinas memandang kehendak bebas (liberum
arbitrium) sebagai daya yang mengikuti
intelek; manusia menginginkan sesuatu sejauh ia mengenali kebaikan dalam hal
itu.²⁰ Karena pengetahuan manusia tidak sempurna, pilihan moralnya pun dapat
salah. Namun, kesalahan tersebut tidak meniadakan kebebasan, justru menegaskan
tanggung jawab moral manusia.²¹
Kehendak, bagi
Aquinas, tidak berdiri di atas intelek, tetapi bekerja bersamanya dalam harmoni
hierarkis: intelek menilai yang benar, kehendak menginginkan yang baik.²²
Tuhan, sebagai kebaikan tertinggi, menjadi tujuan akhir semua kehendak
manusia.²³ Oleh karena itu, kebebasan sejati bukanlah kemampuan untuk memilih
secara arbitrer, melainkan kemampuan untuk memilih yang
benar-benar baik sesuai dengan kodrat manusia yang diarahkan
kepada Tuhan.²⁴
5.5.
Jiwa sebagai Substansi Immortal dan Imago Dei
Aquinas menegaskan
bahwa jiwa
manusia bersifat immaterial dan abadi, karena ia melaksanakan
aktivitas yang tidak bergantung pada tubuh, seperti berpikir abstrak dan
mengenal kebenaran universal.²⁵ Dengan demikian, jiwa tidak hancur bersama
kematian tubuh; ia tetap eksis sebagai substansi spiritual yang mempertahankan
identitas personal.²⁶
Lebih jauh, manusia
disebut sebagai imago Dei karena kemampuannya
mengenal dan mencintai Tuhan secara rasional.²⁷ Akal budi dan kehendak
merupakan dua citra utama keilahian dalam diri manusia: sebagaimana Tuhan
mengetahui dan mengasihi, demikian pula manusia berpartisipasi dalam aktivitas
intelektual dan afektif tersebut.²⁸ Jiwa manusia, dengan demikian, menjadi
titik temu antara dunia ciptaan dan Sang Pencipta, antara waktu dan
kekekalan.²⁹
5.6.
Kesatuan Etis dan Eschatologis
Pandangan tentang
manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa membawa implikasi etis dan eskatologis.
Secara etis, tubuh bukanlah sumber dosa, melainkan sarana bagi kebajikan;
tindakan moral manusia melibatkan totalitas keberadaannya.³⁰ Secara
eskatologis, kesatuan ini dijanjikan untuk dipulihkan dalam kebangkitan tubuh,
di mana jiwa dan tubuh akan bersatu kembali dalam keadaan sempurna.³¹ Dengan
demikian, antropologi Thomistik menegaskan kesatuan integral antara dimensi biologis,
rasional, moral, dan spiritual manusia, sekaligus membuka
horizon teleologis menuju penyempurnaan dalam Tuhan.³²
Kesimpulan Antropologi Thomistik
Antropologi
Thomistik menampilkan manusia sebagai makhluk yang kompleks namun terpadu—makhluk
rasional yang terdiri dari tubuh dan jiwa dalam kesatuan substansial, dengan
akal budi dan kehendak sebagai refleksi dari Sang Pencipta. Pandangan ini tidak
hanya menawarkan dasar metafisis bagi pemahaman manusia, tetapi juga memberi
arah etis dan teologis bagi keberadaannya. Dalam pandangan Aquinas, mengenal
diri berarti mengenal Tuhan yang darinya manusia memperoleh bentuk, tujuan, dan
makna eksistensialnya.³³
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 205–207.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.1.
[3]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 79–81.
[4]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Oxford: Clarendon Press, 1931), II.1–3.
[5]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 310–312.
[6]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
209–210.
[7]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.1.
[8]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 97–99.
[9]
Aristotle, De Anima, II.4–6.
[10]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
211–213.
[11]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
315.
[12]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.83, a.3.
[13]
Josef Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 39–41.
[14]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.79, a.2–3.
[15]
Kenny, Aquinas on Mind, 102–104.
[16]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
218–219.
[17]
Richard C. Taylor, “Aquinas and the Unity of the Intellect,” Journal of the History of Philosophy 32, no. 4 (1994): 567–585.
[18]
Aquinas, De Unitate Intellectus
Contra Averroistas, c.3.
[19]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
319–320.
[20]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.13, a.1.
[21]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 86–88.
[22]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
223.
[23]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.1, a.8.
[24]
Jacques Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 45–47.
[25]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.75, a.2.
[26]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 61–63.
[27]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.93, a.4.
[28]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 44–46.
[29]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 95–97.
[30]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
323–325.
[31]
Aquinas, Summa Theologica, Supplementum, q.75, a.1.
[32]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
228–230.
[33]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 159–161.
6.
Etika
dan Teologi Moral Thomistik
Etika Thomistik
merupakan perwujudan dari pandangan antropologis dan metafisis Thomas Aquinas
tentang manusia sebagai makhluk rasional yang diarahkan kepada kebaikan
tertinggi.¹ Dalam sistemnya, moralitas tidak terpisah dari ontologi dan
teologi, sebab tindakan manusia selalu memiliki dimensi teleologis—mengarah
kepada suatu tujuan akhir (finis ultimus).² Etika, dengan
demikian, bukan sekadar persoalan aturan, tetapi bagian integral dari dinamika
keberadaan manusia menuju Tuhan sebagai kebaikan tertinggi (summum
bonum).³
6.1.
Dasar Teleologis Etika: Tujuan Akhir Manusia
Bagi Aquinas, semua
tindakan manusia berorientasi pada suatu tujuan, dan tujuan tertinggi dari
seluruh kehendak adalah kebahagiaan (beatitudo).⁴ Namun, ia membedakan
antara kebahagiaan
sementara (felicitas imperfecta), yang
diperoleh melalui kebaikan duniawi, dan kebahagiaan sempurna (felicitas
perfecta), yang hanya ditemukan dalam persatuan dengan Tuhan.⁵
Aquinas menolak
hedonisme dan eudaimonisme murni Aristoteles karena kebahagiaan sejati tidak
mungkin ditemukan dalam hal-hal fana.⁶ Kebahagiaan tertinggi tidak terletak
pada kenikmatan, kekuasaan, atau pengetahuan semata, melainkan pada kontemplasi
terhadap Tuhan—kegiatan intelektual tertinggi yang menandai
pemenuhan kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.⁷ Dalam konteks
ini, etika Thomistik menjadi etika teologis: moralitas tidak
hanya dinilai berdasarkan tindakan lahiriah, tetapi berdasarkan arah
transendennya menuju Tuhan.⁸
6.2.
Hukum Kodrat (Lex Naturalis) dan
Struktur Moralitas
Salah satu
kontribusi terbesar Thomisme terhadap filsafat moral adalah konsep hukum
kodrat (lex naturalis),
yang merupakan bagian dari hukum kekal (lex aeterna) Tuhan.⁹ Hukum kekal
adalah rencana ilahi yang mengatur seluruh ciptaan, sementara hukum kodrat
adalah partisipasi makhluk rasional dalam hukum kekal tersebut.¹⁰
Dalam Summa
Theologica, Aquinas mendefinisikan hukum kodrat sebagai “partisipasi
makhluk rasional dalam hukum kekal,” yang tertanam dalam akal manusia sebagai
kemampuan untuk mengenali dan mengejar kebaikan serta menghindari kejahatan.¹¹
Prinsip pertama hukum kodrat adalah “bonum est faciendum et prosequendum, et malum
vitandum”—kebaikan harus dilakukan dan dikejar, dan kejahatan
harus dihindari.¹²
Dari prinsip ini,
Aquinas menurunkan norma-norma moral yang lebih spesifik, seperti pelestarian
hidup, pembiakan, pendidikan anak, kehidupan sosial, dan pencarian kebenaran.¹³
Dengan demikian, hukum kodrat berfungsi sebagai fondasi rasional bagi etika universal,
melampaui batas agama dan budaya, karena tertanam dalam struktur rasionalitas
manusia.¹⁴
6.3.
Hukum Ilahi (Lex Divina) dan Rahmat
Moral
Selain hukum kodrat,
Aquinas juga menegaskan pentingnya hukum ilahi (lex
divina), yakni wahyu Tuhan yang
diwahyukan melalui Kitab Suci.¹⁵ Hukum ini melengkapi hukum kodrat karena akal
manusia tidak dapat sepenuhnya memahami jalan keselamatan ilahi.¹⁶ Hukum ilahi
berfungsi untuk menuntun manusia menuju kebahagiaan kekal dengan memberikan
arahan moral yang melampaui kemampuan rasional alami.¹⁷
Dalam struktur moral
Thomistik, rahmat (gratia) memainkan peran kunci: ia
tidak meniadakan kodrat manusia, tetapi menyempurnakannya.¹⁸ Dengan rahmat, kehendak
manusia diperkuat untuk mampu melakukan kebaikan yang melampaui kapasitas
kodratnya. Oleh karena itu, moralitas Kristen bukan sekadar etika kodrat,
tetapi etika
rahmat, di mana manusia bekerja sama dengan anugerah ilahi
dalam perjalanan menuju kesempurnaan moral.¹⁹
6.4.
Kebajikan Moral dan Teologal
Aquinas mengadopsi
konsep kebajikan (virtus) dari Aristoteles, tetapi
memberikan dimensi teologis padanya. Ia membedakan antara kebajikan
moral alami dan kebajikan teologal.²⁰
Kebajikan moral
alami meliputi empat kebajikan utama (virtutes cardinales): kebijaksanaan
(prudentia),
keadilan (iustitia),
keberanian (fortitudo), dan pengendalian diri (temperantia).²¹
Kebajikan ini mengatur tindakan manusia dalam hubungan dengan diri, sesama, dan
dunia. Namun, kebajikan ini hanya menghasilkan kebaikan alami, bukan
keselamatan kekal.²²
Untuk mencapai
tujuan akhir manusia, diperlukan kebajikan teologal yang diberikan oleh rahmat
ilahi: iman (fides),
harapan
(spes),
dan kasih (caritas).²³
Ketiganya mengarahkan manusia langsung kepada Tuhan: iman memungkinkan
pengenalan akan kebenaran ilahi; harapan meneguhkan keyakinan akan
penyelamatan; dan kasih menyatukan manusia dengan Tuhan sebagai tujuan akhir
moralitas.²⁴ Dalam sistem ini, kasih (caritas) menempati posisi
tertinggi, karena menjadi bentuk kesempurnaan seluruh kebajikan.²⁵
6.5.
Tindakan Moral dan Prinsip Intensi
Aquinas
mendefinisikan tindakan moral sebagai tindakan yang berasal dari pengetahuan
dan kehendak bebas manusia.²⁶ Moralitas suatu tindakan ditentukan oleh objek
(materi tindakan), tujuan (finis), dan keadaan (circumstantiae).²⁷
Suatu tindakan dianggap baik apabila semua elemennya terarah kepada kebaikan
sejati.²⁸
Aquinas menekankan
pentingnya intensi moral: tindakan
lahiriah hanya bernilai moral jika dimotivasi oleh tujuan yang benar.²⁹ Sebuah
perbuatan yang tampak baik secara eksternal dapat menjadi jahat apabila
dilakukan dengan niat yang salah.³⁰ Prinsip ini menegaskan bahwa moralitas
sejati bersumber dari kesatuan antara pengetahuan, kehendak, dan tujuan etis
yang sesuai dengan kodrat manusia dan hukum ilahi.³¹
6.6.
Kebaikan, Dosa, dan Kehendak
Dalam kerangka moral
Thomistik, kejahatan (malum) tidak memiliki substansi
sendiri, melainkan merupakan kekurangan dari kebaikan (privatio
boni).³² Dosa terjadi ketika kehendak manusia berpaling dari tujuan
akhirnya—Tuhan—dan memilih kebaikan yang lebih rendah secara tidak teratur.³³
Meskipun demikian, kebebasan manusia tetap utuh; dosa bukan hasil determinisme,
tetapi penyalahgunaan kehendak bebas.³⁴
Aquinas membedakan
antara dosa ringan (veniale) dan dosa berat (mortale),
di mana yang terakhir menyebabkan keterpisahan manusia dari kasih karunia
Tuhan.³⁵ Namun, melalui rahmat dan pertobatan, manusia dapat dipulihkan ke
dalam tatanan moral yang benar.³⁶ Dengan demikian, teologi moral Thomistik
bukan hanya sistem etika normatif, tetapi juga teologi kasih karunia dan penyembuhan,
yang memandang moralitas sebagai proses partisipatif dalam penyempurnaan
ilahi.³⁷
Kesimpulan Etika dan Teologi Moral Thomistik
Etika dan teologi
moral Thomistik menampilkan sintesis yang luar biasa antara filsafat dan
teologi, antara rasio dan rahmat. Bagi Aquinas, moralitas sejati berakar pada
hukum kodrat yang diterangi oleh wahyu dan disempurnakan oleh rahmat. Manusia,
sebagai makhluk rasional dan berkehendak bebas, diarahkan menuju kebahagiaan
sejati melalui kebajikan moral dan teologal yang berakar pada kasih. Sistem
etika ini tidak hanya menjelaskan perilaku moral, tetapi juga membuka horizon
spiritual tentang bagaimana manusia dapat mencapai kesempurnaan
dalam Tuhan, Sang Kebaikan Mutlak.³⁸
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 235–237.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 327–329.
[3]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 91–92.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.1, a.1.
[5]
Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 102–104.
[6]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
241–243.
[7]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.25.
[8]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 47–49.
[9]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.
[10]
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 85–87.
[11]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.
[12]
Ibid., I-II, q.94, a.2.
[13]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
247–249.
[14]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 98.
[15]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.4.
[16]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
333.
[17]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
253.
[18]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.
[19]
Josef Pieper, Faith, Hope, Love (San Francisco: Ignatius Press, 1997), 14–16.
[20]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 118.
[21]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1925),
II.7.
[22]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 101–102.
[23]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.62, a.1.
[24]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
258–260.
[25]
Pieper, Faith, Hope, Love, 23–24.
[26]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.18, a.2.
[27]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
336.
[28]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 71.
[29]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.18, a.6.
[30]
Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 56–57.
[31]
Gilson, The Christian Philosophy
of St. Thomas Aquinas, 266–268.
[32]
Augustine, Enchiridion, c.11.
[33]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.71, a.6.
[34]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 58–59.
[35]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.88, a.1–2.
[36]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
272.
[37]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
341.
[38]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 172–174.
7.
Logika
dan Metodologi Skolastik
Dalam sistem
filsafat Thomistik, logika dan metodologi skolastik
memainkan peran fundamental sebagai instrumen rasional dalam memahami realitas
dan menguraikan kebenaran iman.¹ Bagi Thomas Aquinas, logika bukanlah ilmu yang
berdiri sendiri secara otonom, tetapi alat (organon) untuk
berpikir secara benar—sebuah jalan menuju kebenaran metafisis
dan teologis.² Dalam kerangka skolastik abad pertengahan, logika menjadi sarana
untuk mengintegrasikan iman dan akal, memastikan bahwa refleksi teologis tunduk
pada prinsip rasional yang konsisten tanpa kehilangan orientasi spiritualnya.³
7.1.
Logika sebagai Instrumentum Scientiae
Aquinas mengikuti
tradisi Aristotelian yang memandang logika sebagai instrumentum scientiae, yakni alat
ilmu pengetahuan.⁴ Logika tidak menghasilkan pengetahuan baru, melainkan
mengatur cara berpikir agar kesimpulan yang ditarik sah secara deduktif dari
premis-premis yang benar.⁵ Dalam Commentary on Aristotle’s Posterior Analytics,
Aquinas menegaskan bahwa logika berfungsi “ad dirigendum actum rationis humanae”—untuk
menuntun tindakan akal manusia agar berjalan lurus menuju kebenaran.⁶
Dengan demikian,
logika bagi Aquinas bersifat instrumental dan normatif: ia
menyediakan aturan formal bagi penalaran tetapi harus selalu diarahkan kepada
realitas objektif (res).⁷ Hal ini berbeda dengan
rasionalisme modern yang menjadikan logika sebagai sistem otonom terlepas dari
ontologi. Dalam Thomisme, validitas logika berpangkal pada realisme
metafisik, yakni keyakinan bahwa struktur pikiran manusia
mencerminkan tatanan realitas ciptaan.⁸
7.2.
Struktur Silogistik dan Penalaran Deduktif
Sebagai pewaris
Aristotelianisme, Aquinas memandang silogisme sebagai bentuk
penalaran ilmiah tertinggi.⁹ Silogisme bekerja dengan menyusun dua premis yang,
melalui hukum non-kontradiksi dan identitas, melahirkan kesimpulan yang
niscaya.¹⁰ Dalam sistem skolastik, metode silogistik digunakan tidak hanya
dalam logika formal, tetapi juga dalam teologi, etika, dan metafisika, untuk
menyusun argumen yang sistematis dan koheren.¹¹
Misalnya, dalam Summa
Theologica, setiap artikel disusun dalam bentuk quaestio
disputata (pertanyaan yang diperdebatkan) yang mengikuti pola
silogistik: dimulai dengan keberatan-keberatan (objectiones), dilanjutkan dengan
otoritas teks (sed contra), lalu disusul oleh
penjelasan rasional Aquinas sendiri (respondeo dicendum), dan diakhiri
dengan tanggapan terhadap keberatan sebelumnya (ad primum, ad secundum).¹² Struktur
ini mencerminkan logika deduktif sekaligus dialogis—usaha untuk menemukan
kebenaran melalui argumentasi yang rasional dan teratur.¹³
7.3.
Metode Quaestio Disputata dan
Rasionalitas Dialogis
Metode skolastik
yang dikembangkan di universitas-universitas abad pertengahan, khususnya di
Paris, dikenal sebagai quaestio disputata—yakni metode
diskusi rasional yang menelaah persoalan teologis dan filosofis melalui
perdebatan sistematis.¹⁴ Thomas Aquinas memanfaatkan metode ini untuk memadukan
analisis logis dan refleksi teologis dalam karya-karyanya.¹⁵
Setiap quaestio
dimulai dengan pengumpulan argumen yang mendukung dan menentang suatu proposisi.
Setelah itu, Aquinas mengajukan solusi (respondeo) yang mencoba menjelaskan
posisi yang benar melalui sintesis rasional.¹⁶ Metode ini memperlihatkan
semangat dialog dan intelektualitas terbuka:
kebenaran diperoleh bukan dengan menolak keberatan lawan, tetapi dengan
memahaminya secara penuh dan menempatkannya dalam tatanan yang lebih tinggi
dari kebenaran universal.¹⁷
Dalam konteks ini,
metode skolastik tidak bersifat dogmatis, melainkan dialektis
dan integratif. Ia menuntut penggunaan akal secara maksimal
untuk menafsirkan wahyu dan realitas alamiah tanpa menegasikan iman.¹⁸ Dengan
logika sebagai instrumen, Aquinas menunjukkan bahwa iman dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional dan bahkan memperkaya pengetahuan
manusia.¹⁹
7.4.
Rasionalitas Demonstratif dan Metode Ilmiah
Aquinas membedakan
tiga tingkat pengetahuan: dialektik, demonstratif, dan teologis.²⁰
Dialektik bersifat probabilistik dan digunakan dalam filsafat moral atau
politik; demonstratif bersifat niscaya dan digunakan dalam ilmu pengetahuan
rasional (scientia);
sedangkan teologis bersifat eks templum, yakni berakar pada wahyu.²¹
Dalam Summa
Contra Gentiles, Aquinas menegaskan pentingnya demonstrasi
metafisik untuk membuktikan kebenaran iman yang dapat dijangkau
akal, seperti keberadaan Tuhan atau keberaturan kosmos.²² Logika demonstratif
ini menjadi cikal bakal metode ilmiah skolastik: setiap proposisi harus
didukung oleh argumen yang valid, koheren, dan dapat diuji melalui prinsip
pertama akal budi.²³
Namun, Aquinas tetap
menolak reduksi rasionalisme ekstrem. Rasio berfungsi untuk mengabdi kepada
kebenaran yang lebih tinggi—yakni kebenaran ilahi yang diterima melalui iman.²⁴
Dengan demikian, metode ilmiah dalam Thomisme bersifat
teleologis, mengarahkan setiap penyelidikan menuju kesatuan
kebenaran antara ciptaan dan Pencipta.²⁵
7.5.
Dialektika antara Ratio dan Fides
dalam Metode Skolastik
Ciri khas metodologi
skolastik Thomistik adalah kesatuan dialektis antara rasio dan iman
(ratio et
fides).²⁶ Aquinas memandang bahwa kebenaran wahyu dan kebenaran
akal tidak dapat bertentangan karena keduanya bersumber dari Tuhan yang sama.²⁷
Maka, tugas logika dan metodologi skolastik adalah memperlihatkan konsistensi
internal antara keduanya melalui argumentasi rasional yang jernih.²⁸
Dalam konteks
akademik abad pertengahan, logika berfungsi bukan hanya sebagai alat berpikir,
tetapi juga sebagai disiplin spiritual: melalui
ketertiban berpikir, jiwa diarahkan pada keteraturan moral dan kebenaran
ilahi.²⁹ Dengan demikian, metode skolastik merupakan ekspresi dari spiritualitas
intelektual—sebuah usaha rasional untuk memahami iman melalui akal (fides
quaerens intellectum).³⁰
7.6.
Relevansi Metodologi Skolastik
Warisan metodologi
skolastik Thomistik tetap berpengaruh hingga era modern.³¹ Prinsip argumentasi
sistematis, konsistensi logis, dan keterbukaan terhadap debat rasional menjadi
model bagi perkembangan ilmu dan teologi Katolik.³² Bahkan dalam filsafat
kontemporer, metode quaestio disputata menjadi dasar
bagi pendekatan dialogis dan analitis dalam
filsafat agama dan etika.³³
Metodologi skolastik
juga mengajarkan bahwa berpikir rasional bukan sekadar kemampuan intelektual,
tetapi tindakan
moral dan spiritual—karena mencari kebenaran berarti
berpartisipasi dalam akal ilahi (logos).³⁴ Dalam hal ini, logika
Thomistik bukan hanya ilmu tentang berpikir benar, melainkan jalan
menuju kebijaksanaan (via sapientiae).³⁵
Kesimpulan Logika dan Metodologi Skolastik
Logika dan
metodologi skolastik dalam Thomisme menunjukkan kesatuan yang mendalam antara
struktur berpikir dan struktur realitas. Dengan menggabungkan logika
Aristotelian, metodologi dialektis, dan orientasi teologis, Thomas Aquinas
menampilkan model rasionalitas yang koheren, terbuka, dan terarah pada
kebenaran ilahi. Melalui metode quaestio disputata, ia menunjukkan
bahwa iman dapat dipahami, dibela, dan diperdalam melalui akal yang
teratur—sebuah warisan yang tetap menjadi teladan bagi filsafat dan teologi
sepanjang zaman.³⁶
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 275–277.
[2]
Aristotle, Organon, trans. E. S. Forster (Oxford: Clarendon Press,
1926), I.
[3]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 343–345.
[4]
Thomas Aquinas, In Posteriorum
Analyticorum Expositio, proemium.
[5]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 109–110.
[6]
Aquinas, In Posteriorum
Analyticorum Expositio, I, lect.1.
[7]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
278.
[8]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 123–125.
[9]
Aristotle, Prior Analytics, trans. A. J. Jenkinson (Oxford: Clarendon Press,
1928), I.1.
[10]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
347.
[11]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 63–65.
[12]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.
[13]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 83–85.
[14]
David Knowles, The Evolution of
Medieval Thought (London: Longman,
1962), 187–190.
[15]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 113.
[16]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.9.
[17]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
349.
[18]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
283.
[19]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 70–71.
[20]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.5.
[21]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
286–288.
[22]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, II, c.3–5.
[23]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
351.
[24]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 90.
[25]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 118.
[26]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.
[27]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
292–293.
[28]
Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 61–63.
[29]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 77.
[30]
Augustine, De Trinitate, XV, c.2.
[31]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 181–183.
[32]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
353.
[33]
Ralph McInerny, Aquinas and Analytic
Philosophy (Washington, DC: Catholic
University of America Press, 1982), 22–25.
[34]
Josef Pieper, In Tune with the World:
A Theory of Festivity (Chicago:
Franciscan Herald Press, 1963), 89–90.
[35]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
296.
[36]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience, 188–190.
8.
Teologi
dan Metafisika Tuhan
Dalam sistem
filsafat Thomas Aquinas, teologi dan metafisika Tuhan (De Deo
Uno) merupakan puncak dari seluruh struktur pemikiran metafisis dan
rasional.¹ Aquinas menempatkan teologi sebagai ilmu tertinggi (scientia
divina), karena berurusan dengan penyebab pertama dan tujuan akhir
segala sesuatu—yakni Tuhan sebagai actus purus dan ipsum
esse subsistens, keberadaan itu sendiri yang berdiri secara
mandiri.² Teologi tidak semata berbicara tentang dogma, tetapi merupakan bentuk
tertinggi dari metafisika yang menyingkap struktur terdalam realitas sebagai
partisipasi dalam keberadaan ilahi.³
8.1.
Tuhan sebagai Actus Purus dan Ipsum
Esse Subsistens
Aquinas memulai
teologi metafisisnya dengan pertanyaan paling mendasar: “Apakah
Tuhan ada?” (An Deus sit).⁴ Dalam Summa
Theologica, ia menolak pembuktian apriori sebagaimana dikemukakan
Anselmus, dan lebih memilih jalan a posteriori, yakni penalaran
dari efek menuju sebab.⁵ Dari pengamatan terhadap dunia yang berubah, bersebab,
dan kontingen, Aquinas menyimpulkan bahwa harus ada satu realitas yang niscaya,
tak berubah, dan menjadi sebab keberadaan segala yang ada.⁶
Tuhan, menurut
Aquinas, bukanlah salah satu di antara makhluk, tetapi dasar
eksistensi dari semua makhluk. Ia adalah actus
purus—aktualitas murni tanpa potensi apa pun—karena setiap potensi
menandakan keterbatasan.⁷ Ia juga disebut ipsum esse subsistens, “keberadaan
itu sendiri yang berdiri sendiri,” sebab hanya Tuhan yang keberadaannya identik
dengan hakikat-Nya (essentia est ipsum esse).⁸ Segala
makhluk lain hanya memiliki keberadaan secara partisipatif, sedangkan Tuhan adalah
keberadaan.⁹ Dengan demikian, metafisika Tuhan dalam Thomisme
tidak mendeskripsikan Tuhan sebagai objek empiris, melainkan sebagai dasar
metafisis dari seluruh realitas.¹⁰
8.2.
Lima Jalan (Quinque Viae) Pembuktian
Eksistensi Tuhan
Aquinas
mengembangkan lima argumen klasik yang dikenal sebagai quinque
viae atau “lima jalan” untuk membuktikan keberadaan Tuhan secara
rasional:¹¹
1)
Via motus (jalan
gerak):
segala yang bergerak digerakkan oleh sesuatu;
karena tidak mungkin rantai penyebab gerak berlangsung tanpa akhir, maka harus
ada penggerak pertama (primum movens immobile).¹²
2)
Via causae efficientis
(jalan sebab efisien):
setiap efek memiliki sebab; tidak mungkin ada
rangkaian sebab yang tak berawal, maka harus ada sebab pertama yang tidak
disebabkan.¹³
3)
Via contingentiae
(jalan kontingensi):
segala yang ada bersifat mungkin tidak ada;
tetapi tidak mungkin semua hal bersifat kontingen, maka harus ada wujud yang
niscaya (ens necessarium).¹⁴
4)
Via gradus perfectionis
(jalan gradasi kesempurnaan):
dalam segala hal terdapat tingkat kesempurnaan;
maka harus ada sumber kesempurnaan mutlak sebagai ukuran segala yang baik dan
benar.¹⁵
5)
Via finalis (jalan
tujuan):
segala hal bertindak menuju tujuan; maka harus
ada intelek ilahi yang mengatur keterarahan alam kepada tujuan itu.¹⁶
Kelima jalan ini
bukanlah bukti empiris dalam arti modern, tetapi demonstrasi
metafisis yang mengarahkan akal kepada penyebab pertama sebagai
fondasi niscaya seluruh eksistensi.¹⁷ Mereka menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan
dapat dipahami melalui struktur rasional dunia tanpa bergantung pada wahyu,
meskipun wahyu menyempurnakan pengetahuan itu.¹⁸
8.3.
Sifat-Sifat Tuhan: Kesederhanaan, Kesempurnaan,
dan Ketakterbatasan
Aquinas menegaskan
bahwa Tuhan tidak memiliki komposisi dalam
bentuk apa pun—baik materi, bentuk, substansi, maupun aksiden.¹⁹ Ia murni
sederhana (simplicitas
divina), karena setiap komposisi mengandaikan bagian dan potensi,
sedangkan Tuhan adalah aktualitas murni.²⁰ Dari kesederhanaan ini mengikuti
atribut-atribut ilahi lainnya: kesempurnaan, kebaikan, ketakterbatasan, dan
keabadian.²¹
Tuhan disebut
sempurna (perfectus),
karena Ia memiliki seluruh kebaikan tanpa batas dan menjadi sumber segala
kesempurnaan yang dimiliki makhluk.²² Ia juga disebut tak
terbatas (infinitus),
bukan karena ukuran kuantitatif, tetapi karena ketidakterbatasan dalam
keberadaan dan kuasa.²³ Selain itu, Tuhan bersifat abadi (aeternus),
karena Ia berada di luar waktu: waktu hanyalah ukuran perubahan, sedangkan
Tuhan tidak berubah.²⁴
Konsepsi ini
menegaskan bahwa semua atribut ilahi bukanlah tambahan pada esensi Tuhan,
tetapi cara
manusia memahami satu realitas yang sama, yakni keberadaan
ilahi yang tak terbagi.²⁵ Dengan demikian, dalam metafisika Thomistik, teologi
negatif (via
negativa) berpadu dengan teologi analogis untuk menyatakan Tuhan
secara rasional tanpa mereduksi keagungan-Nya.²⁶
8.4.
Analogia Entis: Mengetahui Tuhan Secara Analogis
Salah satu prinsip
utama dalam teologi Thomistik adalah analogi keberadaan (analogia
entis).²⁷ Manusia tidak dapat berbicara tentang Tuhan secara univok
(dalam arti yang sama dengan makhluk), sebab Tuhan transenden dan melampaui
segala kategori ciptaan. Namun, bahasa tentang Tuhan juga tidak bersifat ekivok
(berarti sepenuhnya berbeda), sebab ciptaan mencerminkan keberadaan-Nya.²⁸
Oleh karena itu,
pengetahuan manusia tentang Tuhan bersifat analogis: istilah seperti “baik,”
“bijaksana,” atau “ada” digunakan untuk Tuhan dan manusia dalam arti yang
serupa namun tidak identik.²⁹ Melalui analogi ini, manusia dapat mengenal Tuhan
secara sejati, meski tidak sempurna.³⁰ Prinsip analogia entis menjadi dasar
epistemologis bagi teologi natural dan menghindarkan rasio dari kesalahan
antropomorfisme maupun agnostisisme.³¹
8.5.
Relasi Tuhan dan Dunia: Penciptaan dan
Partisipasi
Bagi Aquinas,
hubungan antara Tuhan dan dunia tidak bersifat emanatif seperti dalam
neoplatonisme, melainkan relasi penciptaan (creatio
ex nihilo).³² Tuhan menciptakan dunia
bukan dari materi yang sudah ada, melainkan dari ketiadaan melalui kehendak
bebas dan kebaikan-Nya.³³ Karena itu, ciptaan tidak identik dengan Tuhan,
tetapi berpartisipasi
dalam keberadaan-Nya.³⁴
Partisipasi ini (participatio
entis) berarti bahwa setiap makhluk memperoleh keberadaannya secara
terbatas dari Tuhan yang adalah keberadaan itu sendiri.³⁵ Hubungan ini bersifat
ontologis, bukan spasial: Tuhan hadir dalam segala sesuatu sebagai penyebab
keberadaannya tanpa menjadi bagian dari dunia.³⁶ Dengan demikian, dunia
memiliki keberadaan yang nyata namun bergantung secara mutlak pada sumber
keberadaannya yang transenden.³⁷
8.6.
Providensia dan Tatanan Kosmik
Dalam Summa
Contra Gentiles, Aquinas menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya
pencipta tetapi juga pemelihara (conservator) dan
pengatur (gubernator) dunia.³⁸
Melalui providensia ilahi (providentia divina), segala sesuatu
diarahkan menuju tujuan sesuai dengan tatanan kebijaksanaan Tuhan.³⁹ Meski
demikian, providensia tidak meniadakan kebebasan makhluk, sebab Tuhan mengatur
dunia melalui sebab-sebab sekunder yang bertindak sesuai kodratnya.⁴⁰
Dengan prinsip ini,
Aquinas menolak pandangan deterministik maupun deistik. Tuhan tidak
mengendalikan dunia seperti mesin, tetapi menopang dan menggerakkannya dari
dalam tatanan keberadaan.⁴¹ Segala perubahan alam dan tindakan manusia terjadi
dalam kerangka partisipasi aktif dalam kehendak Tuhan,
yang menjadi dasar moral dan teleologis seluruh ciptaan.⁴²
Kesimpulan Teologi dan Metafisika Tuhan
Teologi dan
metafisika Tuhan dalam Thomisme merupakan puncak refleksi rasional tentang
keberadaan sebagai partisipasi dalam realitas ilahi. Tuhan bukan sekadar objek
iman, tetapi dasar metafisis dari segala realitas. Melalui prinsip actus
purus, ipsum esse subsistens, dan analogia
entis, Thomas Aquinas menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan
dapat dijangkau oleh akal tanpa meniadakan wahyu. Dengan demikian, teologi
Thomistik menjadi sintesis antara iman dan rasio,
antara filsafat dan wahyu—suatu paradigma metafisis yang tetap relevan dalam
dialog antara filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan modern.⁴³
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 301–303.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.
[3]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 355–357.
[4]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.1.
[5]
Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 115–117.
[6]
Étienne Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 93–94.
[7]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.16.
[8]
Aquinas, De Ente et Essentia, c.4.
[9]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
308–310.
[10]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 121–122.
[11]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.
[12]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford:
Clarendon Press, 1930), VIII.5.
[13]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
313.
[14]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
359–360.
[15]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.
[16]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 82–84.
[17]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 97.
[18]
Kenny, Aquinas on Being, 120–121.
[19]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.7.
[20]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
318–319.
[21]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
363.
[22]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.28.
[23]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 127.
[24]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.10, a.2.
[25]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
322–323.
[26]
Erich Przywara, Analogia Entis:
Metaphysics: Original Structure and Universal Rhythm (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2014), 41–43.
[27]
Ibid., 44.
[28]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
326.
[29]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 108–110.
[30]
Jacques Maritain, Existence and the
Existent (New York: Pantheon Books,
1948), 58–60.
[31]
Przywara, Analogia Entis, 52.
[32]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.45, a.1.
[33]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 103–105.
[34]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
368.
[35]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
329.
[36]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.69.
[37]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 131–132.
[38]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.64.
[39]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
333–334.
[40]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
372.
[41]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 90–92.
[42]
Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 72–73.
[43]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 193–195.
9.
Pengaruh
dan Perkembangan Thomisme
Thomisme, sebagai
sistem filsafat dan teologi yang dibangun oleh Thomas Aquinas, memiliki
pengaruh yang mendalam dan berkelanjutan dalam sejarah pemikiran Barat,
khususnya di dalam Gereja Katolik.¹ Sejak abad ke-13 hingga masa kontemporer,
Thomisme mengalami perkembangan dinamis yang mencerminkan kemampuannya
beradaptasi dengan perubahan intelektual, sosial, dan ilmiah tanpa kehilangan
esensi metafisis dan teologisnya.² Ia bukan sekadar doktrin skolastik,
melainkan tradisi intelektual yang hidup—terus
menafsirkan kembali hubungan antara akal, iman, dan realitas.³
9.1.
Penerimaan Thomisme di Abad Pertengahan
Pada masa hidupnya,
pemikiran Thomas Aquinas sempat menimbulkan kontroversi, terutama di
Universitas Paris, karena penggunaan intensif terhadap filsafat Aristoteles
yang sebelumnya dianggap berbahaya bagi teologi Kristen.⁴ Namun, setelah
wafatnya (1274), ajarannya semakin diakui, dan pada 1277,
sebagian tesisnya sempat dikecam oleh Uskup Tempier, tetapi segera
direhabilitasi.⁵ Pada 1323, Aquinas dikanonisasi
sebagai santo oleh Paus Yohanes XXII, dan pada 1567, ia dinyatakan
sebagai Doctor
Ecclesiae (Guru Gereja).⁶
Dalam Konsili Trente
(1545–1563), karya Summa Theologica dijadikan salah
satu referensi utama bagi pembentukan doktrin Katolik, terutama dalam
perdebatan melawan Reformasi Protestan.⁷ Dengan demikian, Thomisme menjadi
kerangka teologis resmi Gereja Katolik, menegaskan hubungan harmonis antara
rasio dan wahyu.⁸
9.2.
Neothomisme dan Ensiklik Aeterni Patris
Kebangkitan besar
Thomisme terjadi pada abad ke-19 melalui gerakan Neothomisme,
yang dipelopori oleh ensiklik Aeterni Patris (1879) yang
dikeluarkan oleh Paus Leo XIII.⁹ Ensiklik ini menyerukan “kembali kepada
filsafat Santo Thomas” sebagai dasar pendidikan teologi dan filsafat Katolik
modern.¹⁰
Gerakan Neothomisme
menandai revitalisasi rasionalitas metafisis
di tengah krisis modernitas yang dipicu oleh positivisme, materialisme, dan
skeptisisme moral.¹¹ Tokoh-tokoh seperti Giovanni Cornoldi, Tommaso
Zigliara, dan Josef Kleutgen menekankan bahwa
pemikiran Aquinas mampu menjawab tantangan filsafat modern dengan
mempertahankan integritas iman dan akal.¹²
Neothomisme kemudian
menjadi dasar kurikulum resmi di seminari Katolik dan
universitas-universitas kepausan, seperti Universitas Santo
Thomas (Angelicum)
di Roma.¹³ Bahkan, pada awal abad ke-20, filsafat Thomistik
diinstitusionalisasi melalui Pontifical Academy of St. Thomas Aquinas
dan menjadi tolok ukur ortodoksi intelektual Katolik.¹⁴
9.3.
Thomisme dan Filsafat Modern
Meskipun berbasis
pada metafisika abad pertengahan, Thomisme menunjukkan kemampuan luar biasa
untuk berdialog dengan pemikiran modern.¹⁵ Tokoh seperti Jacques
Maritain dan Étienne Gilson menafsirkan
kembali Thomisme secara eksistensialis dan humanistik, menekankan dimensi
personal dan moral dalam keberadaan manusia.¹⁶
Maritain, misalnya,
mengembangkan konsep “humanisme integral”, yang
memandang manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual yang terpanggil
untuk berpartisipasi dalam kebaikan ilahi melalui tatanan sosial-politik yang
adil.¹⁷ Gilson, di sisi lain, memperkenalkan eksistensialisme Thomistik,
yang menempatkan actus essendi sebagai inti realitas
metafisis, mendahului esensi sebagaimana ditegaskan oleh Aquinas.¹⁸
Sementara itu, Reginald
Garrigou-Lagrange mengembangkan Neothomisme klasik yang sangat
sistematis, menjadi pengaruh besar bagi teologi skolastik di abad ke-20 dan
berperan penting dalam pembentukan teologi Katolik pra-Konsili Vatikan II.¹⁹
9.4.
Thomisme dan Konsili Vatikan II
Meskipun Konsili
Vatikan II (1962–1965) membuka Gereja Katolik terhadap dialog dengan dunia
modern dan berbagai tradisi teologis baru, Thomisme tetap menjadi fondasi
konseptual teologi Katolik kontemporer.²⁰ Prinsip-prinsip
Thomistik, seperti hukum kodrat, kesatuan iman dan akal, serta konsep
partisipasi dalam kebenaran ilahi, diintegrasikan ke dalam dokumen-dokumen
konsili seperti Gaudium et Spes dan Dei
Verbum.²¹
Para teolog
pasca-konsili, seperti Henri de Lubac, Yves
Congar, dan Karl Rahner, tetap memanfaatkan
kerangka Thomistik—meski dalam bentuk hermeneutika baru—untuk memahami hubungan
antara rahmat, sejarah, dan eksistensi manusia.²² Rahner, misalnya, menafsirkan
konsep analogia
entis secara transendental, menekankan bahwa setiap pengalaman
manusia mengandaikan kehadiran Tuhan yang imanen dalam kesadaran.²³
Dengan demikian,
Thomisme tidak ditinggalkan, tetapi ditransformasikan menjadi paradigma dialogis
yang mampu menampung dimensi fenomenologis dan eksistensial dari pengalaman
iman modern.²⁴
9.5.
Relevansi Thomisme dalam Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan Kontemporer
Pada abad ke-21,
Thomisme terus mengalami kebangkitan dalam bentuk “Analytic
Thomism”, yang menggabungkan ketelitian logis filsafat analitik
dengan kedalaman metafisis Aquinas.²⁵ Tokoh-tokoh seperti John
Haldane, Eleonore Stump, dan Brian
Davies mengembangkan pendekatan ini untuk menjelaskan argumen
tentang Tuhan, moralitas, dan kesadaran dengan bahasa analitik modern.²⁶
Selain itu, beberapa
filsuf kontemporer seperti David Oderberg dan Edward
Feser menggunakan Thomisme untuk menanggapi materialisme ilmiah
dan skeptisisme epistemologis, menunjukkan bahwa prinsip actus et
potentia serta causa finalis tetap relevan bagi
filsafat sains.²⁷
Dalam teologi,
Thomisme juga menjadi dasar bagi diskusi etika bioetik, hukum alam, dan teologi
lingkungan, menegaskan kembali bahwa rasio dan iman dapat bekerja sama
dalam memahami dan menata dunia yang kompleks.²⁸
Kesimpulan Pengaruh dan Perkembangan Thomisme
Sejarah pengaruh
Thomisme menunjukkan bahwa sistem Aquinas bukanlah dogma statis, melainkan tradisi
intelektual yang terbuka dan dialogis. Ia berhasil melewati
berbagai zaman—dari skolastik abad pertengahan hingga filsafat analitik
modern—karena kekuatan prinsip-prinsip dasarnya: realisme metafisik, integrasi
antara iman dan rasio, serta pandangan teleologis tentang manusia dan dunia.
Thomisme tetap menjadi model rasionalitas yang menyatukan kebenaran filosofis
dan teologis, sekaligus menghadirkan paradigma pemikiran yang relevan bagi
manusia modern yang mencari makna di tengah kemajuan ilmu dan krisis
spiritualitas.²⁹
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 339–341.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 375–377.
[3]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 133–134.
[4]
Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 125–127.
[5]
David Knowles, The Evolution of
Medieval Thought (London: Longman,
1962), 211.
[6]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
345.
[7]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
382.
[8]
Josef Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 95.
[9]
Leo XIII, Aeterni Patris (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1879).
[10]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 108.
[11]
Jacques Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 77–78.
[12]
Gerald A. McCool, From Unity to
Pluralism: The Internal Evolution of Thomism (New York: Fordham University Press, 1992), 15–17.
[13]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
387.
[14]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 202–203.
[15]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 137.
[16]
Jacques Maritain, Humanisme intégral (Paris: Aubier, 1936), 9–10.
[17]
Maritain, Integral Humanism:
Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1968), 25–27.
[18]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 112–114.
[19]
Reginald Garrigou-Lagrange, Reality:
A Synthesis of Thomistic Thought
(St. Louis: B. Herder Book Co., 1950), 5–6.
[20]
Copleston, A History of
Philosophy: Modern Philosophy, Vol.
9 (New York: Image Books, 1994), 42–43.
[21]
Second Vatican Council, Gaudium
et Spes (Vatican City: Libreria
Editrice Vaticana, 1965), §16–17.
[22]
Henri de Lubac, Surnaturel: Études
historiques (Paris: Aubier, 1946),
311–312.
[23]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 130–132.
[24]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience, 208–210.
[25]
John Haldane, “Analytic Philosophy and Thomism,” The Monist 80, no. 4
(1997): 536–552.
[26]
Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 7–9.
[27]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics:
A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 15–18.
[28]
David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 190–192.
[29]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
352–354.
10. Kritik terhadap Thomisme
Meskipun Thomisme
memiliki pengaruh yang luas dan mendalam dalam sejarah filsafat dan teologi, ia
juga menjadi sasaran kritik dari berbagai tradisi intelektual sepanjang zaman.
Kritik terhadap Thomisme mencakup dimensi epistemologis, metafisis, teologis, dan
historis, yang datang dari kalangan nominalis abad pertengahan,
rasionalis modern, empiris dan skeptis, hingga eksistensialis dan fenomenolog
abad ke-20.¹ Namun, justru melalui kritik-kritik ini, sistem Thomistik
memperlihatkan daya hidupnya sebagai kerangka yang terus diuji dan
diperbaharui.²
10.1.
Kritik dari Nominalisme Abad Pertengahan
Kritik paling awal
terhadap Thomisme muncul dari mazhab nominalisme, terutama oleh William
dari Ockham (1287–1347).³ Ockham menolak dasar realisme
metafisik Aquinas yang mengandaikan adanya universal yang eksis secara objektif.⁴
Bagi Ockham, hanya individu yang nyata (res particulares), sementara
universal hanyalah konsep mental (flatus vocis) yang digunakan untuk
menyebut kesamaan antara hal-hal tertentu.⁵
Pandangan ini
mengguncang ontologi Thomistik yang berpijak pada prinsip partisipasi dalam
keberadaan (participatio entis). Dalam kerangka
nominalisme, hubungan antara Tuhan dan dunia menjadi bersifat voluntaristik—didasarkan
pada kehendak mutlak Tuhan, bukan pada keteraturan rasional ciptaan.⁶
Akibatnya, prinsip analogi keberadaan dan hukum kodrat kehilangan fondasi
metafisisnya.⁷
Meski Aquinas
menekankan keselarasan antara akal dan iman, kaum nominalis menganggap
pendekatannya terlalu “rasionalistik” dalam urusan teologi, karena berusaha
menjelaskan misteri iman melalui logika manusia.⁸ Kritik ini menandai awal
pergeseran dari realisme metafisik skolastik menuju empirisme modern.⁹
10.2.
Kritik dari Rasionalisme dan Empirisisme Modern
Pada masa modern,
Thomisme menghadapi tantangan serius dari rasionalisme Descartesian dan empirisisme
Humean.¹⁰ René Descartes menolak fondasi metafisika
Aristotelian-Thomistik yang menekankan aktualitas dan potensi, dan menggantinya
dengan epistemologi berbasis kesadaran subjektif (cogito ergo sum).¹¹ Dengan
demikian, pusat pengetahuan berpindah dari realitas eksternal ke subjek
berpikir.
Sementara itu, David
Hume menolak prinsip kausalitas yang menjadi dasar quinque
viae Aquinas.¹² Menurut Hume, hubungan sebab-akibat bukanlah relasi
niscaya di dunia, melainkan kebiasaan asosiasi dalam pikiran manusia.¹³ Hal ini
melemahkan argumen metafisis Thomistik tentang Tuhan sebagai causa
prima.
Selain itu, Immanuel
Kant juga menolak kemungkinan metafisika spekulatif yang
berusaha membuktikan Tuhan secara rasional.¹⁴ Dalam Critique of Pure Reason, Kant
berpendapat bahwa konsep “Tuhan” bukanlah objek pengetahuan, melainkan ide
regulatif bagi rasio praktis.¹⁵ Akibatnya, fondasi rasional teologi natural
Thomistik dianggap tidak valid dalam batas epistemologi transendental.¹⁶
Kritik-kritik ini menyebabkan
Thomisme kehilangan dominasi akademiknya di Eropa modern, digantikan oleh
rasionalisme, idealisme, dan empirisme yang lebih berorientasi pada kesadaran
atau pengalaman inderawi.¹⁷
10.3.
Kritik dari Eksistensialisme dan Fenomenologi
Abad ke-20 menyaksikan
munculnya eksistensialisme (Kierkegaard,
Heidegger, Sartre) dan fenomenologi (Husserl,
Merleau-Ponty) yang mengkritik sifat “abstrak” dan “impersonal” dari metafisika
Thomistik.¹⁸
Martin
Heidegger, misalnya, menuduh filsafat metafisis sejak
Aristoteles hingga Aquinas telah melupakan makna sejati keberadaan (Seinsvergessenheit).¹⁹
Menurut Heidegger, konsep esse dalam Thomisme masih dipahami
secara ontis (sebagai keberadaan sesuatu), bukan secara ontologis (makna
menjadi itu sendiri).²⁰ Dengan demikian, metafisika Thomistik dianggap menutup
kemungkinan pemahaman eksistensial tentang Dasein.
Di sisi lain, Jean-Paul
Sartre menolak gagasan esensi yang mendahului eksistensi,
sebuah prinsip yang berlawanan langsung dengan metafisika actus
essendi Aquinas.²¹ Baginya, manusia tidak memiliki hakikat tetap
yang diberikan Tuhan; eksistensi mendahului esensi. Kritik Sartre ini menyoroti
bahwa sistem Thomistik terlalu deterministik dan meniadakan kebebasan radikal
manusia.²²
Namun demikian,
sejumlah pemikir seperti Étienne Gilson dan Jacques
Maritain menanggapi kritik ini dengan mengembangkan eksistensialisme
Thomistik, yang menekankan bahwa esse dalam Thomisme justru adalah
“tindakan eksistensi”—suatu dinamika yang terbuka dan partisipatif, bukan
substansi statis.²³
10.4.
Kritik dari Perspektif Teologi Reformasi
Dari sisi teologi, Martin
Luther dan para reformator Protestan menolak pendekatan
skolastik Aquinas yang dianggap terlalu mengandalkan akal dalam memahami
iman.²⁴ Luther menyebut filsafat skolastik sebagai “pelacur teologi” karena
mencoba menundukkan misteri wahyu kepada sistem rasional Aristotelian.²⁵
Menurut Luther,
hubungan antara manusia dan Tuhan tidak dapat dijelaskan melalui hukum kodrat
atau akal budi alamiah, tetapi hanya melalui iman kepada rahmat Kristus.²⁶
Kritik ini berlanjut pada teologi Reformed seperti Karl
Barth, yang menolak analogia entis sebagai “penemuan
antikristus,” karena dianggap meniadakan jarak radikal antara Tuhan dan
ciptaan.²⁷ Barth berpendapat bahwa manusia hanya dapat mengenal Tuhan melalui
pewahyuan langsung, bukan melalui rasio atau analogi metafisis.²⁸
Kritik Protestan ini
mengguncang kepercayaan skolastik terhadap kesinambungan antara akal dan iman,
dan menyoroti risiko teologi natural yang dapat mereduksi transendensi Tuhan.²⁹
10.5.
Kritik dari Positivisme dan Filsafat Analitik
Awal
Thomisme juga
dikritik oleh kaum positivis logis pada abad
ke-20, seperti A.J. Ayer dan Rudolf
Carnap, yang menolak seluruh proposisi metafisika sebagai
nonsens.³⁰ Menurut mereka, pernyataan seperti “Tuhan adalah keberadaan itu
sendiri” tidak dapat diverifikasi secara empiris dan karenanya tidak bermakna
secara ilmiah.³¹
Dalam pandangan
positivis, teologi metafisis Thomistik dianggap tidak ilmiah karena gagal
memenuhi kriteria verifikasi.³² Meski kritik ini melemah seiring dengan
keruntuhan positivisme, ia menunjukkan ketegangan antara epistemologi empiris
modern dan rasionalisme metafisik klasik.³³
10.6.
Kritik Internal dan Reinterpretasi Kontemporer
Bahkan di dalam
Gereja Katolik sendiri, muncul kritik terhadap bentuk Neothomisme
klasik yang dianggap terlalu skolastik dan rigid.³⁴ Para teolog
nouvelle
théologie seperti Henri de Lubac dan Yves
Congar menilai bahwa Neothomisme pasca-ensiklik Aeterni
Patris telah kehilangan vitalitas eksistensial Aquinas yang
sebenarnya.³⁵ Mereka menuntut hermeneutika historis terhadap
teks Aquinas, agar Thomisme tidak terjebak dalam skolastisisme manualistik.³⁶
Di era kontemporer,
muncul gerakan Analytic Thomism, dipelopori
oleh John
Haldane, Eleonore Stump, dan Brian
Davies, yang berupaya menafsirkan kembali Aquinas dengan
perangkat filsafat analitik modern.³⁷ Gerakan ini merupakan respons terhadap
kritik-kritik sebelumnya, dengan menunjukkan bahwa argumen metafisis Thomistik
masih relevan bila dibaca dengan metodologi logis dan semantik kontemporer.³⁸
Kesimpulan Kritik terhadap Thomisme
Kritik terhadap
Thomisme, baik dari nominalisme, rasionalisme, empirisisme, eksistensialisme,
maupun teologi reformasi, menunjukkan bahwa sistem Aquinas selalu berada di
persimpangan antara rasionalitas dan iman, universalitas dan partikularitas.
Namun, daya tahan Thomisme justru terletak pada kemampuannya untuk berdialog dengan kritik
dan mereformulasikan diri tanpa kehilangan fondasi metafisisnya. Dalam sejarah
intelektual Barat, Thomisme tetap menjadi titik temu antara teologi dan
filsafat—suatu sistem yang, meskipun dikritik, selalu berhasil memperbarui
dirinya sebagai tradisi rasional yang terbuka dan dinamis.³⁹
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 355–357.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 390–392.
[3]
William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY:
Franciscan Institute, 1951), I, c.14.
[4]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 117–118.
[5]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
398.
[6]
Heiko A. Oberman, The Harvest of Medieval
Theology (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1963), 111–113.
[7]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 141.
[8]
Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 129–131.
[9]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 205–206.
[10]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), II.
[11]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
360.
[12]
David Hume, An Enquiry Concerning
Human Understanding (Oxford:
Clarendon Press, 1748), IV.
[13]
Copleston, A History of
Philosophy: Modern Philosophy (New
York: Image Books, 1994), 59–60.
[14]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
A592/B620.
[15]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 120–122.
[16]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 97.
[17]
Copleston, A History of
Philosophy: Modern Philosophy, 63.
[18]
Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Niemeyer, 1927), §2.
[19]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
364.
[20]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 140–142.
[21]
Jean-Paul Sartre, L’Être et le néant (Paris: Gallimard, 1943), 25–26.
[22]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 145–146.
[23]
Jacques Maritain, Existence and the
Existent (New York: Pantheon Books,
1948), 73–75.
[24]
Martin Luther, Disputation Against
Scholastic Theology (1517), §50–51.
[25]
Heiko A. Oberman, Luther: Man Between God
and the Devil (New Haven: Yale
University Press, 1989), 205.
[26]
Copleston, A History of
Philosophy: Renaissance and Reformation
(New York: Image Books, 1993), 114–116.
[27]
Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark,
1936), 238.
[28]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience, 212.
[29]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 103.
[30]
A.J. Ayer, Language, Truth and
Logic (London: Gollancz, 1936), 31.
[31]
Rudolf Carnap, The Elimination of
Metaphysics through Logical Analysis of Language (Vienna: Logical Empiricist Circle, 1932), 5–6.
[32]
Copleston, A History of
Philosophy: Contemporary Philosophy,
Vol. 11 (New York: Image Books, 1994), 18.
[33]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
367–368.
[34]
Henri de Lubac, Surnaturel: Études historiques (Paris: Aubier, 1946), 315.
[35]
Yves Congar, True and False Reform
in the Church, trans. Paul Philibert
(Collegeville, MN: Liturgical Press, 2011), 47.
[36]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience, 218.
[37]
John Haldane, “Analytic Thomism,” The
Monist 80, no. 4 (1997): 530–533.
[38]
Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 12–14.
[39]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
372–374.
11. Sintesis Filosofis: Thomisme sebagai Model
Integrasi Akal dan Iman
Salah satu ciri
paling menonjol dari filsafat Thomas Aquinas adalah upayanya
untuk mengintegrasikan akal dan iman ke dalam suatu sistem
sintesis rasional yang koheren.¹ Ia tidak melihat keduanya sebagai kekuatan
yang saling bertentangan, tetapi sebagai dua jalan menuju satu kebenaran yang
sama: kebenaran tentang Tuhan dan ciptaan-Nya.² Dalam sistem Thomistik, akal (ratio)
dan iman (fides)
dipersatukan dalam struktur pengetahuan yang hierarkis dan saling melengkapi,
di mana rasio berperan sebagai instrumen untuk memahami dan menjelaskan iman,
sedangkan iman memberikan orientasi akhir bagi akal menuju kebenaran ilahi.³
11.1.
Prinsip Kesatuan Kebenaran (Unitas Veritatis)
Aquinas meyakini
bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran wahyu dan kebenaran rasional
karena keduanya bersumber dari Tuhan yang sama sebagai Kebenaran Tertinggi (Deus est
Veritas).⁴ Dalam Summa Contra Gentiles, ia menulis
bahwa “apa pun yang benar, dari mana pun datangnya, berasal dari Roh Kudus.”⁵
Prinsip ini dikenal sebagai kesatuan kebenaran (unitas
veritatis), yang menjadi landasan epistemologis bagi sintesis
antara filsafat dan teologi.
Dengan demikian,
ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan nalar manusia tidak
bertentangan dengan iman, tetapi justru menegaskan kebenaran iman dalam ranah
natural.⁶ Akal manusia, walau terbatas, memiliki kemampuan untuk mengenali
jejak Tuhan dalam ciptaan (vestigia Dei in rebus creatis).⁷
Iman kemudian menyempurnakan pengetahuan itu dengan mengangkatnya pada level
supernatural.⁸
11.2.
Hierarki Pengetahuan: Rasionalitas dan Wahyu
Bagi Aquinas,
terdapat dua tingkatan pengetahuan:
pengetahuan natural (scientia naturalis) yang bersumber
dari akal budi, dan pengetahuan teologis (scientia divina) yang bersumber
dari wahyu.⁹ Pengetahuan rasional mempelajari Tuhan sejauh Ia dapat diketahui
melalui ciptaan (teologi natural), sedangkan pengetahuan teologis menjelaskan
Tuhan sebagaimana Ia mewahyukan diri-Nya melalui Kitab Suci.¹⁰
Keduanya membentuk
hierarki epistemologis yang saling menunjang: rasio memberikan fondasi bagi
iman, dan iman memperluas cakrawala rasio.¹¹ Dengan demikian, akal tidak
dihapuskan oleh iman, tetapi diarahkan dan disempurnakan olehnya—sebagaimana
prinsip klasik Aquinas: “Gratia non tollit naturam, sed perficit eam”
(“Rahmat tidak meniadakan kodrat, tetapi menyempurnakannya”).¹²
Dalam sintesis ini,
filsafat bertindak sebagai pelayan teologi (ancilla theologiae), bukan karena
inferioritas epistemologis, tetapi karena ia berfungsi mempersiapkan jalan bagi
pengetahuan iman melalui argumentasi rasional.¹³
11.3.
Filsafat sebagai Jalan Menuju Teologi
Aquinas memandang
filsafat sebagai praambula fidei—pendahulu bagi
iman.¹⁴ Filsafat tidak dapat membuktikan seluruh kebenaran wahyu, tetapi dapat
menunjukkan bahwa iman tidak bertentangan dengan rasio.¹⁵ Melalui filsafat, manusia
dapat mencapai kebenaran-kebenaran dasar seperti keberadaan Tuhan, keberadaan
jiwa yang immaterial, dan prinsip moral kodrati.¹⁶
Di sinilah letak
kekuatan sintesis Thomistik: filsafat berfungsi sebagai fondasi
rasional bagi teologi, sementara teologi memberikan arah dan
tujuan bagi filsafat.¹⁷ Dengan menolak fideisme (yang meniadakan akal) maupun
rasionalisme ekstrem (yang meniadakan iman), Aquinas menawarkan jalan tengah
berupa realisme
teologis, yakni pengakuan bahwa realitas dunia dapat dipahami secara
rasional karena diciptakan oleh Tuhan yang rasional.¹⁸
11.4.
Analogitas sebagai Jembatan antara Filsafat dan
Teologi
Dalam konteks
hubungan antara akal dan iman, konsep analogi keberadaan (analogia
entis) memainkan peranan sentral.¹⁹ Melalui analogi, bahasa manusia
dapat berbicara tentang Tuhan secara bermakna tanpa mengabsolutkan
konsep-konsep manusiawi.²⁰ Artinya, pernyataan teologis tentang Tuhan memiliki
makna sejati meskipun tidak sempurna, karena semua ciptaan mencerminkan
keberadaan Ilahi secara proporsional.²¹
Dengan analogia
entis, Aquinas berhasil menjembatani jurang antara metafisika dan
teologi: filsafat berbicara tentang keberadaan sebagai keberadaan, sedangkan
teologi berbicara tentang keberadaan tertinggi sebagai sumber keberadaan.²²
Keduanya bertemu dalam prinsip partisipasi (participatio entis), di mana
seluruh realitas mengambil bagian dalam keberadaan Tuhan.²³
11.5.
Integrasi Etika, Metafisika, dan Teologi
Sintesis akal dan
iman dalam Thomisme tidak berhenti pada ranah epistemologi, tetapi juga menjangkau
dimensi etika dan metafisika.²⁴ Etika Thomistik, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, berakar pada hukum kodrat yang ditangkap oleh rasio manusia, tetapi
tujuan akhirnya adalah kebahagiaan sempurna dalam persatuan dengan Tuhan (beatitudo
perfecta).²⁵
Dengan demikian,
tindakan moral manusia memiliki dua dimensi: natural dan supernatural.²⁶ Dalam
ranah natural, rasio manusia menentukan kebaikan melalui prinsip hukum kodrat;
dalam ranah supernatural, rahmat menyempurnakan kehendak agar dapat mencapai
tujuan akhir ilahi.²⁷ Melalui integrasi ini, Aquinas mengatasi dikotomi antara
moralitas duniawi dan kesempurnaan rohani, menegaskan bahwa rasionalitas
moral adalah jalan menuju spiritualitas yang sejati.²⁸
11.6.
Rasionalitas sebagai Partisipasi dalam Logos
Ilahi
Dalam pandangan
Thomistik, akal manusia (ratio humana) merupakan partisipasi
dalam rasio ilahi (Logos Divinus).²⁹
Artinya, setiap aktivitas berpikir manusia, sejauh diarahkan pada kebenaran,
merupakan partisipasi dalam kebijaksanaan Tuhan.³⁰ Ini menjadi dasar bagi
keyakinan Aquinas bahwa kegiatan intelektual memiliki nilai
spiritual—mengetahui berarti mengambil bagian dalam kebenaran yang lebih
tinggi.³¹
Dengan demikian,
pencarian kebenaran ilmiah atau filosofis bukanlah kegiatan sekuler yang terpisah
dari iman, tetapi bagian dari ziarah intelektual menuju Sang Kebenaran itu
sendiri.³² Dalam hal ini, Thomisme menampilkan spiritualitas rasional: akal
bukan lawan iman, melainkan instrumen yang menyinari jalan iman.³³
11.7.
Relevansi Sintesis Thomistik di Dunia Modern
Di tengah krisis
modernitas yang ditandai oleh relativisme, sekularisme, dan fragmentasi
pengetahuan, sintesis Thomistik kembali menunjukkan relevansinya.³⁴ Model
integratif Aquinas memberikan kerangka konseptual untuk menyatukan
ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi dalam visi dunia yang
rasional dan bermakna.³⁵
Neothomisme abad
ke-20 dan Analytic
Thomism abad ke-21 menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
Thomistik—seperti keteraturan rasional dunia, keterpaduan antara iman dan akal,
serta teleologi moral—masih dapat diterapkan untuk menjawab tantangan
epistemologi dan etika kontemporer.³⁶ Oleh karena itu, sintesis Aquinas bukan
sekadar warisan abad pertengahan, melainkan paradigma abadi bagi dialog antara iman dan
rasio, wahyu dan ilmu, serta agama dan
modernitas.³⁷
Kesimpulan Sintesis Filosofis
Sintesis filosofis
Thomistik menghadirkan visi integral tentang manusia, pengetahuan, dan Tuhan.
Dengan menempatkan akal dan iman dalam hubungan koheren yang saling memperkaya,
Thomas Aquinas membangun model berpikir yang menghindari ekstrem rasionalisme
dan fideisme.³⁸ Ia menegaskan bahwa seluruh kebenaran, baik yang dicapai
melalui filsafat maupun wahyu, berpuncak pada satu sumber yang sama—Tuhan
sebagai Veritas
Prima.³⁹ Dalam konteks inilah, Thomisme layak disebut sebagai model
klasik integrasi akal dan iman, sekaligus landasan bagi
filsafat dan teologi yang rasional, dialogis, dan terbuka terhadap perkembangan
zaman.⁴⁰
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 375–377.
[2]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 149–150.
[3]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 393–395.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.6.
[5]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7.
[6]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 129–130.
[7]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 110.
[8]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 138–140.
[9]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.1.
[10]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
380.
[11]
Copleston, A History of Philosophy:
Medieval Philosophy, 398.
[12]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.
[13]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 152.
[14]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 219.
[15]
Jacques Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 84.
[16]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 133–134.
[17]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 115–116.
[18]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 155–157.
[19]
Erich Przywara, Analogia Entis:
Metaphysics: Original Structure and Universal Rhythm (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2014), 61–63.
[20]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
385.
[21]
Jacques Maritain, Existence and the
Existent (New York: Pantheon Books,
1948), 81–82.
[22]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 136.
[23]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 156.
[24]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy, 401.
[25]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3, a.2.
[26]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
387.
[27]
Pieper, Faith, Hope, Love (San Francisco: Ignatius Press, 1997), 31.
[28]
Maritain, Integral Humanism:
Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1968), 34–35.
[29]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.93, a.4.
[30]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 139.
[31]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 158–159.
[32]
Rahner, Spirit in the World, 162.
[33]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
391.
[34]
Copleston, A History of
Philosophy: Modern Philosophy, Vol.
9 (New York: Image Books, 1994), 69.
[35]
John Haldane, “Analytic Thomism,” The
Monist 80, no. 4 (1997): 540.
[36]
Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 15–17.
[37]
Edward Feser, Five Proofs of the
Existence of God (San Francisco:
Ignatius Press, 2017), 12–13.
[38]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience, 225.
[39]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.5.
[40]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
394–396.
12. Relevansi Kontemporer
Pemikiran Thomas
Aquinas, meskipun lahir di abad ke-13, tetap memiliki relevansi yang mendalam
dalam konteks intelektual, moral, dan spiritual dunia kontemporer.¹ Di tengah
krisis modernitas—yang ditandai oleh relativisme etis, fragmentasi pengetahuan,
dan sekularisasi nilai—Thomisme menawarkan suatu sintesis rasional dan
spiritual yang mampu menjembatani antara iman dan ilmu, antara
metafisika dan sains, serta antara moralitas dan politik.² Relevansi ini
terletak pada daya sistem Thomistik untuk menghadirkan integrasi antara akal
budi, realitas, dan iman sebagai dimensi komplementer dari eksistensi manusia.³
12.1.
Thomisme dan Krisis Rasionalitas Modern
Dunia modern sering
dicirikan oleh krisis rasionalitas, di mana
rasio direduksi menjadi instrumen teknologis tanpa orientasi moral atau
teleologis.⁴ Thomas Aquinas, dengan prinsip ordo rationis (tatanan rasional),
menegaskan bahwa rasio manusia memiliki arah intrinsik menuju kebenaran dan
kebaikan.⁵ Dalam Summa Theologica, ia menunjukkan
bahwa berpikir benar berarti menyesuaikan intelek dengan realitas yang tertib (adaequatio
intellectus ad rem).⁶
Dalam konteks
kontemporer, prinsip ini menjadi kritik terhadap relativisme
epistemologis dan nihilisme ontologis yang
menolak kebenaran objektif.⁷ Thomisme mengingatkan bahwa akal budi tidak hanya
berfungsi untuk menguasai dunia, tetapi untuk mengenal tatanan kebenaran yang
lebih tinggi yang menopang eksistensi manusia.⁸ Karena itu, pemikiran Aquinas
dapat menjadi dasar bagi rasionalitas humanistik—yakni
penggunaan akal dalam pelayanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
transendensi.⁹
12.2.
Relevansi Etika Thomistik dalam Dunia Sekular
Etika Thomistik,
yang berakar pada hukum kodrat (lex naturalis), menawarkan kerangka
moral universal yang melampaui batas agama atau budaya.¹⁰ Dalam situasi
pluralisme dan relativisme moral dewasa ini, hukum kodrat dapat berfungsi sebagai
dasar etika publik yang berbasis pada rasionalitas dan martabat manusia.¹¹
Aquinas menegaskan
bahwa kebaikan moral tidak berasal dari kehendak subjektif, tetapi dari
partisipasi akal manusia dalam hukum kekal Tuhan (lex aeterna).¹² Dengan demikian,
tindakan manusia memiliki nilai moral sejauh ia sejalan dengan kodrat
rasionalnya.¹³ Prinsip ini sangat relevan dalam diskursus bioetika, keadilan
sosial, dan politik global, di mana dibutuhkan kerangka normatif yang objektif
dan rasional.¹⁴
Bahkan dalam konteks
sekular, banyak pemikir modern—seperti Alasdair MacIntyre—menghidupkan
kembali etika kebajikan Thomistik sebagai alternatif terhadap etika utilitarian
dan deontologis.¹⁵ Menurut MacIntyre, Thomisme menyediakan model moralitas yang
berakar pada telos manusia sebagai makhluk yang diarahkan pada kebaikan dan
komunitas, bukan sekadar individu otonom.¹⁶
12.3.
Thomisme dan Dialog antara Iman dan Ilmu
Pengetahuan
Salah satu
kontribusi terbesar Thomisme terhadap dunia modern adalah kerangka
dialog antara teologi dan ilmu pengetahuan.¹⁷ Aquinas
menegaskan bahwa kebenaran ilmiah dan kebenaran teologis tidak mungkin
bertentangan, karena keduanya berasal dari sumber yang sama: Tuhan sebagai
kebenaran absolut.¹⁸
Dalam era sains dan
teknologi yang mendominasi pemikiran manusia, pendekatan Thomistik dapat
berperan sebagai fondasi epistemologis untuk integrasi antara
sains dan filsafat.¹⁹ Konsep actus et potentia, misalnya, dapat
dipakai untuk memahami dinamika alam semesta modern yang terus berkembang tanpa
menghapus prinsip kausalitas metafisis.²⁰
Lebih jauh, teologi
penciptaan Aquinas yang menekankan creatio ex nihilo serta keteraturan
hukum kodrat memberikan dasar teologis bagi pendekatan ekologis yang
berkelanjutan.²¹ Dalam konteks krisis lingkungan global, pandangan ini
memperkuat kesadaran bahwa alam bukan sekadar objek eksploitasi teknologis,
melainkan manifestasi dari kebijaksanaan dan kebaikan Tuhan.²²
12.4.
Thomisme dalam Filsafat Kontemporer:
Neothomisme dan Analytic Thomism
Abad ke-20
menyaksikan kebangkitan besar Thomisme melalui gerakan Neothomisme, yang
dihidupkan kembali oleh Paus Leo XIII dalam ensiklik Aeterni
Patris (1879).²³ Namun pada abad ke-21, muncul bentuk baru yang
dikenal sebagai Analytic Thomism, dipelopori
oleh filsuf seperti John Haldane, Eleonore
Stump, dan Brian Davies.²⁴
Analytic Thomism
berupaya menggabungkan ketelitian logis filsafat analitik dengan kedalaman
metafisis Aquinas.²⁵ Melalui pendekatan ini, argumen-argumen Thomistik tentang
keberadaan Tuhan, moralitas, dan kesadaran direformulasi dengan bahasa dan
metodologi kontemporer.²⁶ Misalnya, argumen kausal Aquinas diinterpretasi ulang
dengan logika modal, dan konsep actus essendi dibaca ulang dalam
kerangka ontologi eksistensialis.²⁷
Pendekatan ini
menunjukkan bahwa Thomisme bukan sistem tertutup,
tetapi kerangka terbuka yang mampu berinteraksi secara produktif dengan tradisi
intelektual modern.²⁸ Dengan demikian, ia tetap hidup sebagai philosophia
perennis—filsafat abadi yang dapat menafsirkan dunia dalam berbagai
zaman.²⁹
12.5.
Dimensi Spiritual dan Kultural Thomisme
Selain relevansi
filosofis dan etis, Thomisme juga menawarkan dimensi spiritual dan kultural
yang penting bagi manusia modern.³⁰ Dalam dunia yang ditandai oleh alienasi
eksistensial dan kehilangan makna, pandangan Thomistik tentang manusia sebagai
makhluk rasional dan spiritual memberikan kerangka antropologis yang utuh.³¹
Aquinas menegaskan
bahwa tujuan akhir manusia adalah beatitudo—kebahagiaan dalam
persatuan dengan Tuhan.³² Konsep ini tidak hanya teologis, tetapi juga
eksistensial: kebahagiaan sejati diperoleh bukan melalui kenikmatan duniawi,
tetapi melalui pengenalan akan kebenaran dan kasih yang sempurna.³³ Dengan
demikian, Thomisme memberikan fondasi bagi spiritualitas intelektual, di
mana berpikir benar dan mencintai kebenaran menjadi bentuk ibadah kepada Sang
Pencipta.³⁴
Dalam konteks
pendidikan modern, model ini menginspirasi pendekatan pendidikan
integral—yakni pengembangan manusia secara menyeluruh: akal,
moral, dan iman.³⁵ Hal ini menegaskan kembali bahwa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan,
dan iman tidak boleh dipisahkan dalam pembentukan pribadi manusia.³⁶
Kesimpulan Relevansi Kontemporer
Relevansi Thomisme
di era kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menyatukan
rasionalitas dan spiritualitas, kebenaran ilmiah dan nilai moral,
serta iman dan
kebudayaan dalam satu pandangan dunia yang harmonis.³⁷ Dalam
menghadapi disintegrasi pemikiran modern, sistem Aquinas menawarkan visi
integral tentang realitas sebagai tatanan yang rasional, moral, dan
transenden.³⁸
Dengan demikian,
Thomisme bukan sekadar warisan abad pertengahan, tetapi sebuah paradigma abadi
yang mengajarkan bahwa manusia dapat memahami dunia dan dirinya secara benar
hanya jika akal dan iman bekerja dalam kesatuan.³⁹ Sebagaimana ditegaskan oleh
Étienne Gilson, “Aquinas tidak hanya mengajarkan cara berpikir, tetapi juga
cara menjadi manusia yang berakal dan beriman sekaligus.”⁴⁰
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 397–399.
[2]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 161–162.
[3]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 405–406.
[4]
Jacques Maritain, Integral Humanism:
Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1968), 51.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.1.
[6]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 142.
[7]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 121–122.
[8]
Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 143–144.
[9]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
401.
[10]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.94, a.2.
[11]
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 90.
[12]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.
[13]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
405.
[14]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 165–166.
[15]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1981), 182–183.
[16]
Ibid., 186.
[17]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 231–232.
[18]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7.
[19]
Copleston, A History of
Philosophy: Modern Philosophy, Vol.
9 (New York: Image Books, 1994), 73.
[20]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics:
A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 37–38.
[21]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.45, a.1.
[22]
Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015),
§77–79.
[23]
Leo XIII, Aeterni Patris (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1879).
[24]
John Haldane, “Analytic Thomism,” The
Monist 80, no. 4 (1997): 536–537.
[25]
Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 21–22.
[26]
Brian Davies, The Thought of Thomas
Aquinas (Oxford: Clarendon Press,
1992), 9–10.
[27]
Feser, Five Proofs of the
Existence of God (San Francisco:
Ignatius Press, 2017), 15.
[28]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 148–149.
[29]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 168.
[30]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
409.
[31]
Copleston, A History of
Philosophy: Medieval Philosophy,
408.
[32]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3, a.8.
[33]
Pieper, Faith, Hope, Love (San Francisco: Ignatius Press, 1997), 42.
[34]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience, 238.
[35]
Maritain, Education at the
Crossroads (New Haven: Yale
University Press, 1943), 12–13.
[36]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 150.
[37]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 172.
[38]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
412–414.
[39]
Jacques Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 91–93.
[40]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 241.
13. Kesimpulan
Thomisme merupakan
salah satu sistem filsafat dan teologi paling berpengaruh dalam sejarah
pemikiran Barat karena kemampuannya menyatukan dua poros besar peradaban
intelektual: akal budi Yunani dan iman Kristen.¹
Dalam karya-karyanya, terutama Summa Theologica dan Summa
Contra Gentiles, Thomas Aquinas membangun sintesis rasional antara
filsafat Aristotelian dengan teologi Katolik, menghasilkan suatu metafisika
realistik yang teologis sekaligus rasional.²
Pada intinya,
Thomisme berangkat dari keyakinan bahwa ada keselarasan mendasar antara rasio dan iman,
antara kebenaran natural dan kebenaran wahyu.³ Bagi Aquinas, seluruh kebenaran
memiliki satu sumber, yakni Tuhan sebagai Veritas Prima.⁴ Rasio manusia,
walaupun terbatas, memiliki kemampuan untuk mengenal realitas karena
partisipasinya dalam rasio ilahi.⁵ Dari sini muncul prinsip utama Thomistik: gratia
non tollit naturam, sed perficit eam—rahmat tidak meniadakan
kodrat, melainkan menyempurnakannya.⁶
13.1.
Inti Sistem Thomistik: Keterpaduan Ontologi,
Epistemologi, dan Etika
Seluruh struktur
filsafat Aquinas berpijak pada kesatuan antara ontologi, epistemologi, dan etika.⁷
Dalam ontologi, ia menegaskan bahwa Tuhan adalah ipsum esse subsistens—keberadaan
itu sendiri—dan seluruh makhluk hanyalah partisipasi dalam keberadaan ilahi.⁸
Dalam epistemologi, Aquinas mengajarkan bahwa pengetahuan manusia bermula dari
pengalaman inderawi, tetapi berakhir pada kontemplasi terhadap kebenaran yang
melampaui dunia empiris.⁹ Sementara dalam etika, ia memandang bahwa tindakan
moral manusia harus diarahkan pada tujuan akhir, yakni beatitudo
atau kebahagiaan sempurna dalam persatuan dengan Tuhan.¹⁰
Dengan demikian,
sistem Thomistik tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga eksistensial:
pengetahuan dan tindakan manusia memiliki arah teleologis menuju Tuhan sebagai
sumber sekaligus tujuan akhir realitas.¹¹ Integrasi ini menegaskan bahwa
filsafat bukan hanya aktivitas berpikir, melainkan juga jalan
menuju kesempurnaan moral dan spiritual.¹²
13.2.
Thomisme sebagai Paradigma Integratif dan
Rasional
Salah satu
keunggulan utama Thomisme adalah kemampuannya menghadirkan model
rasionalitas integratif yang menolak dikotomi antara iman dan
ilmu, antara metafisika dan sains, antara dunia dan transendensi.¹³ Aquinas
menolak fideisme yang menafikan rasio, sekaligus menolak rasionalisme yang
meniadakan iman.¹⁴ Ia menegaskan bahwa kebenaran wahyu dan kebenaran akal tidak
mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.¹⁵
Model rasionalitas
ini masih sangat relevan di tengah krisis modernitas yang cenderung memisahkan
kebenaran ilmiah dari nilai moral dan spiritual.¹⁶ Dalam konteks ini, Thomisme
berperan sebagai filosofi perenial (philosophia
perennis) yang memberikan dasar bagi dialog antara iman dan sains,
serta antara agama dan kebudayaan.¹⁷ Ia memperlihatkan bahwa berpikir rasional
bukan berarti meninggalkan iman, melainkan meneguhkan iman melalui refleksi
yang mendalam dan bertanggung jawab.¹⁸
13.3.
Relevansi Thomisme bagi Dunia Kontemporer
Dalam dunia yang
semakin plural, relativistik, dan materialistik, Thomisme menawarkan visi
tentang kesatuan kebenaran dan martabat manusia.¹⁹ Etika hukum
kodrat Aquinas memberikan dasar rasional bagi tatanan moral universal, yang
relevan bagi diskursus hak asasi manusia, bioetika, dan keadilan sosial.²⁰
Sementara pandangan metafisisnya tentang actus essendi membantu menjembatani
perdebatan antara filsafat sains dan teologi dalam memahami keberadaan dan
keteraturan kosmos.²¹
Thomisme juga
menjadi sumber inspirasi bagi gerakan intelektual modern seperti Neothomisme
dan Analytic
Thomism, yang berusaha menggabungkan kedalaman metafisik dengan
ketelitian logis modern.²² Melalui tokoh-tokoh seperti Jacques Maritain,
Étienne Gilson, dan Eleonore Stump, warisan Aquinas terus diperbarui dan
dikontekstualisasikan untuk menjawab tantangan dunia sekular dan postmodern.²³
13.4.
Nilai Permanen Thomisme: Kebenaran sebagai
Partisipasi dalam Tuhan
Di atas segalanya,
nilai permanen Thomisme terletak pada pandangannya bahwa mengetahui
berarti berpartisipasi dalam kebenaran ilahi.²⁴ Tuhan bukan
hanya penyebab pertama, tetapi juga tujuan akhir dari segala pencarian
intelektual manusia.²⁵ Dalam hal ini, Aquinas menghadirkan suatu metaphysica
luminis—metafisika cahaya—di mana akal manusia disinari oleh Logos
Ilahi dalam pencarian kebenaran.²⁶
Kebenaran bukanlah
konstruksi subjektif, tetapi keteraturan objektif yang mengundang manusia untuk
mengenal, mencintai, dan menghayatinya.²⁷ Oleh karena itu, berpikir dalam
semangat Thomistik berarti berpikir secara terbuka, sistematis, dan rasional
sekaligus penuh iman dan keutamaan moral.²⁸
Kesimpulan Akhir
Thomisme bukan hanya
sistem filosofis yang monumental, melainkan visi kosmologis dan teologis tentang kesatuan
segala sesuatu dalam Tuhan.²⁹ Ia menunjukkan bahwa akal
manusia, jika diarahkan secara benar, akan selalu menemukan jejak Sang Pencipta
dalam ciptaan.³⁰ Melalui prinsip analogi, hukum kodrat, dan teleologi moral,
Thomas Aquinas berhasil membangun sebuah kerangka yang menjelaskan dunia secara
rasional tanpa kehilangan misteri transendennya.³¹
Dengan demikian,
relevansi Thomisme melampaui batas teologis Katolik. Ia menjadi fondasi
dialog lintas zaman dan lintas tradisi, menjembatani antara
filsafat Yunani, iman Kristen, dan tantangan modernitas.³² Dalam diri Aquinas,
iman menjadi rasional tanpa kehilangan kedalaman spiritualnya, dan akal menjadi
sakral tanpa kehilangan otonominya.³³ Seperti disimpulkan Étienne Gilson, “Thomisme
bukan masa lalu yang mati, tetapi masa depan yang terus menunggu untuk dipahami.”³⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy
of St. Thomas Aquinas (New York:
Random House, 1956), 415–416.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 410.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7.
[4]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.5.
[5]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 175–176.
[6]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.
[7]
Gilson, Being and Some
Philosophers (Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies, 1952), 151–153.
[8]
Aquinas, De Ente et Essentia, c.4.
[9]
Pieper, The Silence of St.
Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 130–131.
[10]
Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3, a.2.
[11]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
419.
[12]
Jacques Maritain, An Introduction to
Philosophy (New York: Sheed &
Ward, 1930), 98–99.
[13]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 245.
[14]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 179.
[15]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.6.
[16]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
422–423.
[17]
Copleston, A History of
Philosophy: Modern Philosophy, Vol.
9 (New York: Image Books, 1994), 78–79.
[18]
Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 170–172.
[19]
Jacques Maritain, Integral Humanism:
Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1968), 61–62.
[20]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1981), 192.
[21]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics:
A Contemporary Introduction
(Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 45–46.
[22]
John Haldane, “Analytic Thomism,” The
Monist 80, no. 4 (1997): 540–543.
[23]
Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 25–27.
[24]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 155.
[25]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.69.
[26]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas,
428.
[27]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 184–185.
[28]
Maritain, An Introduction to
Philosophy, 104.
[29]
Gilson, The Unity of
Philosophical Experience, 250.
[30]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.45, a.1.
[31]
Gilson, Being and Some
Philosophers, 158–160.
[32]
Pieper, The Silence of St.
Thomas, 140–141.
[33]
Rahner, Spirit in the World, 175.
[34]
Étienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Scribner’s Sons, 1937), 255.
Daftar Pustaka
Aquinas, Thomas. (1920–1925). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican
Province, Trans.). London: Burns, Oates & Washbourne.
Aquinas, Thomas. (1923). Summa Contra Gentiles (Anton C. Pegis, Trans.). New
York: Image Books.
Aquinas, Thomas. (1949). De Ente et Essentia (Vernon J. Bourke, Trans.).
Milwaukee: Marquette University Press.
Aquinas, Thomas. (1950). In Posteriorum Analyticorum Expositio (Richard J.
Blackwell, Ed. & Trans.). St. Louis: B. Herder Book Co.
Aquinas, Thomas. (1952). De Veritate (Robert W. Schmidt, Trans.). Chicago: Henry
Regnery Company.
Aristotle. (1925). Nicomachean Ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford:
Clarendon Press.
Aristotle. (1928). Prior Analytics (A. J. Jenkinson, Trans.). Oxford:
Clarendon Press.
Aristotle. (1930). Physics (R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). Oxford:
Clarendon Press.
Aristotle. (1931). De Anima (J. A. Smith, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Augustine, Saint. (1887). De Trinitate (Arthur West Haddan, Trans.). Oxford:
Clarendon Press.
Augustine, Saint. (1950). Enchiridion on Faith, Hope, and Love (J. F. Shaw,
Trans.). Washington, DC: Regnery.
Ayer, A. J. (1936). Language, Truth and Logic. London: Gollancz.
Barth, Karl. (1936). Church Dogmatics I/1 (G. W. Bromiley, Trans.).
Edinburgh: T&T Clark.
Carnap, Rudolf. (1932). The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis of
Language. Vienna: Logical Empiricist Circle.
Copleston, Frederick. (1993). A History of Philosophy: Medieval
Philosophy. New York: Image Books.
Copleston, Frederick. (1993). A History of Philosophy: Renaissance
and Reformation. New York: Image Books.
Copleston, Frederick. (1994). A History of Philosophy: Modern
Philosophy (Vol. 9). New York: Image Books.
Copleston, Frederick. (1994). A History of Philosophy: Contemporary
Philosophy (Vol. 11). New York: Image Books.
Davies, Brian. (1992). The Thought of Thomas Aquinas. Oxford: Clarendon Press.
De Lubac, Henri. (1946). Surnaturel: Études historiques. Paris: Aubier.
Descartes, René. (1996). Meditations on First Philosophy (John Cottingham,
Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Feser, Edward. (2014). Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction.
Heusenstamm: Editiones Scholasticae.
Feser, Edward. (2017). Five Proofs of the Existence of God. San Francisco:
Ignatius Press.
Garrigou-Lagrange, Reginald. (1950). Reality: A Synthesis of Thomistic
Thought. St. Louis: B. Herder Book Co.
Gilson, Étienne. (1937). The Unity of Philosophical Experience. New York:
Scribner’s Sons.
Gilson, Étienne. (1952). Being and Some Philosophers. Toronto: Pontifical
Institute of Mediaeval Studies.
Gilson, Étienne. (1956). The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas. New
York: Random House.
Haldane, John. (1997). Analytic Thomism. The Monist, 80(4), 536–552.
Heidegger, Martin. (1927). Sein und Zeit. Tübingen: Niemeyer.
Kant, Immanuel. (1929). Critique of Pure Reason (Norman Kemp Smith, Trans.).
London: Macmillan.
Kenny, Anthony. (1993). Aquinas on Mind. New York: Routledge.
Kenny, Anthony. (2002). Aquinas on Being. Oxford: Clarendon Press.
Knowles, David. (1962). The Evolution of Medieval Thought. London: Longman.
Leo XIII. (1879). Aeterni Patris. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.
Luther, Martin. (1517). Disputation Against Scholastic Theology. Wittenberg:
University Press.
MacIntyre, Alasdair. (1981). After Virtue: A Study in Moral Theory.
Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Maritain, Jacques. (1930). An Introduction to Philosophy. New
York: Sheed & Ward.
Maritain, Jacques. (1936). Humanisme intégral. Paris: Aubier.
Maritain, Jacques. (1943). Education at the Crossroads. New
Haven: Yale University Press.
Maritain, Jacques. (1948). Existence and the Existent. New
York: Pantheon Books.
Maritain, Jacques. (1951). Man and the State. Chicago:
University of Chicago Press.
Maritain, Jacques. (1968). Integral Humanism: Temporal and
Spiritual Problems of a New Christendom (Joseph W. Evans, Trans.). Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press.
McCool, Gerald A. (1992). From Unity to Pluralism: The Internal Evolution of Thomism.
New York: Fordham University Press.
McInerny, Ralph. (1982). Aquinas and Analytic Philosophy. Washington, DC:
Catholic University of America Press.
Oberman, Heiko A. (1963). The Harvest of Medieval Theology. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Oberman, Heiko A. (1989). Luther: Man Between God and the Devil. New Haven: Yale
University Press.
Oderberg, David S. (2007). Real Essentialism. London:
Routledge.
Pieper, Josef. (1991). Guide to Thomas Aquinas. San Francisco: Ignatius Press.
Pieper, Josef. (1997). Faith, Hope, Love. San Francisco: Ignatius Press.
Pieper, Josef. (1999). The Silence of St. Thomas. South Bend, IN: St.
Augustine’s Press.
Pieper, Josef. (1963). In Tune with the World: A Theory of Festivity. Chicago:
Franciscan Herald Press.
Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana.
Przywara, Erich. (2014). Analogia Entis: Metaphysics: Original Structure and
Universal Rhythm (John R. Betz & David Bentley Hart, Trans.). Grand
Rapids, MI: Eerdmans.
Rahner, Karl. (1968). Spirit in the World. New York: Herder and Herder.
Sartre, Jean-Paul. (1943). L’Être et le néant. Paris:
Gallimard.
Second Vatican Council. (1965). Gaudium et Spes. Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana.
Stump, Eleonore. (2003). Aquinas. London: Routledge.
William of Ockham. (1951). Summa Logicae (Philotheus Boehner,
Trans.). St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar