Selasa, 02 Desember 2025

Thomisme: Sintesis Rasionalisme Aristotelian dan Teologi Kristen dalam Filsafat Abad Pertengahan

Thomisme

Sintesis Rasionalisme Aristotelian dan Teologi Kristen dalam Filsafat Abad Pertengahan


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini menguraikan secara komprehensif filsafat Thomisme, suatu sistem pemikiran yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas (1225–1274) sebagai sintesis antara filsafat Aristotelian dan teologi Kristen. Thomisme berupaya menjembatani akal dan iman, filsafat dan teologi, serta rasionalitas dan spiritualitas dalam satu kerangka metafisis yang koheren. Melalui prinsip-prinsip seperti actus essendi, participatio entis, dan analogia entis, Aquinas menegaskan bahwa seluruh realitas memiliki struktur partisipatif terhadap keberadaan Tuhan sebagai ipsum esse subsistens—Keberadaan itu sendiri.

Artikel ini membahas secara sistematis landasan historis Thomisme, ontologi dan epistemologi Thomistik, pandangan antropologis tentang manusia sebagai kesatuan jiwa dan tubuh, serta etika hukum kodrat yang menghubungkan moralitas dengan tujuan akhir manusia (beatitudo). Di samping itu, artikel ini juga mengeksplorasi logika dan metodologi skolastik, metafisika ketuhanan, serta perkembangan dan kritik terhadap Thomisme dari abad pertengahan hingga kontemporer.

Dalam bagian akhir, disoroti relevansi Thomisme di dunia modern—khususnya dalam menghadapi krisis rasionalitas, relativisme moral, dan fragmentasi ilmu pengetahuan. Thomisme dipahami sebagai paradigma filosofis yang menyatukan kebenaran wahyu dan kebenaran rasional, sekaligus menawarkan model etika dan spiritualitas yang integral. Dengan demikian, sistem Aquinas tetap menjadi inspirasi bagi upaya dialog antara iman dan ilmu, serta antara agama dan kebudayaan, menjadikannya salah satu bentuk filsafat abadi (philosophia perennis) yang terus relevan lintas zaman.

Kata Kunci: Thomas Aquinas; Thomisme; Filsafat Skolastik; Ontologi; Epistemologi; Hukum Kodrat; Analogia Entis; Iman dan Akal; Metafisika Tuhan; Neothomisme; Filsafat Abadi.


PEMBAHASAN

Aliran Thomisme dalam Konteks Filsafat Skolastik Abad Pertengahan


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat Barat, abad pertengahan merupakan masa di mana pergumulan antara iman dan akal mencapai puncak kedewasaannya. Di tengah dominasi teologi skolastik, muncul seorang pemikir yang berhasil mensintesiskan rasionalisme Aristotelian dengan doktrin Kristen secara harmonis, yaitu Thomas Aquinas (1225–1274). Upaya sintesis tersebut kemudian dikenal sebagai Thomisme, sebuah sistem filsafat dan teologi yang berupaya menunjukkan bahwa iman dan akal bukanlah dua jalan yang saling bertentangan, melainkan dua cara yang saling melengkapi dalam mencari kebenaran yang sama—kebenaran tentang Tuhan dan ciptaan-Nya.¹

Lahir di Roccasecca, Italia, dan dididik dalam lingkungan ordo Dominikan, Thomas Aquinas menempuh pendidikan di Universitas Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus, seorang teolog dan filsuf besar yang memperkenalkannya pada filsafat Aristoteles.² Melalui interaksi intelektual dengan tradisi Yunani dan Islam (khususnya karya Aristoteles, Averroes, dan Ibn Sina), Aquinas mengembangkan sebuah sistem berpikir yang menggabungkan ontologi Aristotelian dengan teologi Kristen, sehingga menghasilkan kerangka metafisika yang logis sekaligus teologis.³

Latar belakang historis Thomisme tidak dapat dilepaskan dari konteks abad ke-13 yang menyaksikan kebangkitan kembali karya-karya Aristoteles di Eropa Barat melalui terjemahan dari bahasa Arab dan Latin. Hal ini menimbulkan kegelisahan teologis di kalangan gereja karena filsafat Yunani dianggap berpotensi mengancam kemurnian ajaran iman.⁴ Namun, Aquinas justru melihat dalam Aristotelianisme potensi besar untuk memperkuat rasionalitas iman: ia berpendapat bahwa “gratia non tollit naturam, sed perficit eam”—rahmat tidak meniadakan kodrat, melainkan menyempurnakannya.⁵

Melalui karya monumentalnya, Summa Theologica, Thomas Aquinas menyusun sintesis komprehensif antara teologi dan filsafat, di mana setiap aspek pengetahuan, mulai dari logika, etika, metafisika, hingga teologi, ditempatkan dalam struktur rasional yang hierarkis.⁶ Tujuannya bukan hanya menjelaskan dogma iman secara sistematis, tetapi juga menunjukkan bahwa realitas dapat dimengerti melalui nalar manusia sejauh ia berpartisipasi dalam rasio ilahi. Thomisme, dengan demikian, tidak hanya merupakan sistem skolastik abad pertengahan, melainkan juga landasan epistemologis dan ontologis bagi tradisi pemikiran Katolik sepanjang sejarah.⁷

Dalam konteks kontemporer, relevansi Thomisme tidak berakhir pada abad pertengahan. Sejak ensiklik Aeterni Patris (1879) yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII, Thomisme dihidupkan kembali dalam bentuk Neo-Thomisme, menjadi dasar bagi filsafat Katolik modern yang berupaya berdialog dengan sains, eksistensialisme, dan fenomenologi.⁸ Oleh karena itu, kajian terhadap Thomisme bukan hanya bernilai historis, tetapi juga filosofis dan teologis, karena membuka ruang untuk memahami bagaimana iman dan akal dapat bersinergi dalam membangun kebijaksanaan manusia yang utuh.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 3–5.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 259–261.

[3]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 17–21.

[4]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 141–145.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[6]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 112–118.

[7]                Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 276.

[8]                Leo XIII, Aeterni Patris (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1879).


2.           Landasan Historis dan Genealogis Thomisme

Thomisme tidak muncul secara tiba-tiba sebagai sistem filsafat yang matang; ia merupakan hasil dari proses panjang perkembangan intelektual abad pertengahan yang ditandai oleh sintesis antara warisan filsafat Yunani, teologi Kristen, dan tradisi pemikiran Islam maupun Yahudi. Untuk memahami kelahiran Thomisme, penting meninjau konteks historis abad ke-13—sebuah periode di mana dunia intelektual Eropa mengalami kebangkitan rasionalitas baru melalui integrasi antara iman dan akal.¹

Pada masa itu, Eropa sedang menyaksikan renaisans skolastik, yaitu kebangkitan studi rasional di universitas-universitas yang baru berdiri, seperti Paris, Oxford, dan Bologna.² Universitas Paris khususnya menjadi pusat intelektual Katolik yang mempertemukan berbagai arus pemikiran, termasuk neoplatonisme Augustinian, Aristotelianisme yang baru diterjemahkan, serta tradisi teologi skolastik.³ Di sinilah Thomas Aquinas memulai pembentukannya sebagai seorang teolog-filsuf di bawah bimbingan Albertus Magnus, tokoh besar ordo Dominikan yang memperkenalkan metode sistematis dalam memadukan teologi dan filsafat alam.⁴

Pengaruh filsafat Aristoteles sangat menentukan bagi pembentukan Thomisme. Sebelum abad ke-13, sebagian besar pemikiran Kristen Barat didominasi oleh corak Platonik-Augustinian yang menekankan dunia ide dan iluminasi ilahi. Namun, masuknya karya-karya Aristoteles ke Eropa melalui terjemahan Arab dan Latin—khususnya melalui Averroes (Ibn Rushd) dan Avicenna (Ibn Sina)—mengubah lanskap intelektual secara drastis.⁵ Pandangan Aristoteles tentang substansi, kausalitas, dan aktualitas memberikan dasar metafisis baru bagi para teolog untuk memahami realitas ciptaan tanpa harus meniadakan dimensi transendennya. Thomas Aquinas kemudian mengambil langkah berani dengan mengintegrasikan metafisika Aristoteles dalam teologi Kristen, menghasilkan kerangka konseptual yang koheren antara rasio dan wahyu.⁶

Selain Aristoteles, pemikiran teolog Islam dan Yahudi turut memberi pengaruh terhadap genealogi Thomisme. Aquinas banyak memanfaatkan argumen metafisis Avicenna mengenai distingsi antara essentia (hakikat) dan esse (ada), yang kemudian ia olah menjadi inti dari metafisika keberadaannya.⁷ Dari Averroes, ia mempelajari sistem penafsiran rasional terhadap teks-teks Aristoteles, meskipun menolak pandangan Averroes tentang keabadian intelek universal.⁸ Bahkan pemikir Yahudi seperti Maimonides, melalui karyanya Guide for the Perplexed, memberikan pengaruh signifikan terhadap konsepsi teologi negatif (via negativa) Aquinas tentang ketakterhinggaan Tuhan.⁹

Konteks institusional juga tidak dapat diabaikan. Ordo Dominikan, yang berperan penting dalam pendidikan dan pengajaran teologi, menyediakan kerangka organisasi bagi penyebaran Thomisme.¹⁰ Dalam ordo ini, teologi dipahami bukan hanya sebagai bentuk kontemplasi rohani, tetapi juga sebagai disiplin rasional yang bertujuan membela kebenaran iman terhadap kesalahan intelektual.¹¹ Thomas Aquinas memanfaatkan tradisi ini untuk merumuskan teologi yang bersifat sistematik, rasional, dan apologetik.

Selain itu, situasi gerejawi abad ke-13 turut membentuk dinamika Thomisme. Gereja Katolik menghadapi tantangan dari dalam (pertentangan antara ordo Fransiskan dan Dominikan) serta dari luar (pengaruh pemikiran Averroisme Latin yang cenderung sekuler).¹² Aquinas menanggapi hal ini dengan menegaskan posisi Gereja yang melihat kebenaran rasional dan kebenaran iman sebagai dua dimensi yang bersumber dari Tuhan yang sama. Dengan demikian, ia menolak dualisme kebenaran sebagaimana dikemukakan oleh para Averrois Latin seperti Siger dari Brabant.¹³

Secara genealogis, Thomisme menjadi puncak dari tradisi skolastik, yaitu metode berpikir yang menekankan analisis logis, sintesis argumentatif, dan penalaran deduktif terhadap ajaran iman.¹⁴ Melalui metode quaestio disputata (pertanyaan yang diperdebatkan), Aquinas memformulasikan sistem yang tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga filosofis. Di sinilah lahir apa yang kemudian disebut philosophia perennis—filsafat yang abadi—yang memadukan prinsip realisme metafisis Aristoteles dengan teologi wahyu Kristen.¹⁵

Dengan demikian, Thomisme merupakan hasil dari dialog lintas tradisi: antara Yunani dan Kristen, antara Islam dan Barat Latin, antara filsafat dan teologi. Ia bukanlah sintesis artifisial, melainkan bentuk integrasi historis yang lahir dari kesadaran akan kesatuan kebenaran dalam berbagai manifestasinya. Dalam pengertian inilah, landasan historis dan genealogis Thomisme menjadi fondasi bagi seluruh bangunan sistem filsafat Aquinas yang akan dikembangkan dalam aspek ontologi, epistemologi, dan etika.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 216–218.

[2]                David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1962), 121–124.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 238–241.

[4]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 13–15.

[5]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 95–100.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.3–4.

[7]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 47–52.

[8]                Richard C. Taylor, “Aquinas, the Plotinian Tradition, and the Doctrine of Divine Providence,” The Review of Metaphysics 49, no. 2 (1995): 451–472.

[9]                Moses Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), 123–127.

[10]             William A. Wallace, The Modeling of Nature: Philosophy of Science and Philosophy of Nature in Synthesis (Washington, DC: Catholic University of America Press, 1996), 12–14.

[11]             Jean-Pierre Torrell, Saint Thomas Aquinas: The Person and His Work (Washington, DC: Catholic University of America Press, 1996), 57–59.

[12]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 252–254.

[13]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 221.

[14]             Fernand Van Steenberghen, Aristotle in the West: The Origins of Latin Aristotelianism (Louvain: Nauwelaerts, 1955), 178–182.

[15]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 10–12.


3.           Ontologi Thomistik: Hakikat Ada dan Substansi

Bagi Thomas Aquinas, ontologi—ilmu tentang “ada” (ens) sebagai ada—merupakan inti dari seluruh filsafatnya. Ia tidak memandang “ada” sebagai kategori yang paling umum secara abstrak, tetapi sebagai prinsip yang nyata dan dinamis yang menandai segala sesuatu yang eksis. Dalam sistem Thomistik, ada bukan sekadar konsep logis, melainkan realitas metafisis yang konkret, di mana setiap makhluk menerima keberadaannya dari Tuhan sebagai actus essendi, yaitu tindakan keberadaan.¹ Dengan demikian, ontologi Thomistik menempatkan Tuhan bukan hanya sebagai sebab pertama dalam rantai kausalitas, tetapi sebagai sumber eksistensi itu sendiri—ipsum esse subsistens, keberadaan yang berdiri sendiri dan menjadi dasar dari segala yang ada.²

3.1.       Distingsi antara Essentia dan Esse

Salah satu sumbangan terbesar Thomas Aquinas terhadap metafisika adalah distingsinya antara essentia (hakikat) dan esse (keberadaan).³ Dalam setiap makhluk ciptaan, essentia dan esse merupakan dua prinsip yang berbeda namun saling terkait: essentia menjelaskan “apa” suatu hal, sedangkan esse menjelaskan “bahwa” hal itu ada.⁴ Perbedaan ini bukan hanya konseptual, tetapi real—karena makhluk tidak memiliki keberadaan dengan sendirinya; ia menerima keberadaannya dari Tuhan yang keberadaannya identik dengan hakikat-Nya.⁵

Dalam Summa Theologica, Aquinas menulis bahwa “in omnibus aliis praeter Deum, esse est aliud quam quod est”—dalam semua hal selain Tuhan, keberadaan berbeda dari hakikat.⁶ Dengan demikian, Tuhan adalah satu-satunya wujud yang secara mutlak sederhana, di mana essentia dan esse identik. Sementara itu, dalam ciptaan, keberadaan selalu bersifat “partisipatif”: setiap makhluk hanya memiliki esse secara terbatas sejauh ia berpartisipasi dalam keberadaan Ilahi.⁷

3.2.       Konsep Actus et Potentia: Prinsip Dinamika Realitas

Aquinas mengadopsi kerangka metafisika Aristotelian tentang aktualitas (actus) dan potensialitas (potentia) sebagai prinsip universal realitas.⁸ Semua makhluk, kecuali Tuhan, berada dalam komposisi antara potensi dan aktualitas. Potensi menunjuk pada kapasitas untuk menjadi, sedangkan aktualitas adalah pemenuhan dari potensi tersebut. Tuhan, sebagai actus purus (aktualitas murni), tidak memiliki potensi apa pun, sebab segala kemungkinan telah teraktualisasi secara sempurna dalam diri-Nya.⁹

Bagi Aquinas, prinsip actus et potentia memungkinkan penjelasan rasional tentang perubahan dan kontingensi di dunia tanpa meniadakan dasar metafisisnya.¹⁰ Dengan kata lain, dunia material bukanlah ilusi (seperti dalam platonisme ekstrem), tetapi merupakan realitas aktual yang memiliki dasar eksistensial dalam actus essendi.¹¹

3.3.       Analogia Entis: Analogitas Keberadaan

Salah satu aspek paling khas dalam ontologi Thomistik adalah konsep analogi keberadaan (analogia entis).¹² Bagi Aquinas, “ada” tidak diartikan secara univok (dalam arti yang sama bagi Tuhan dan ciptaan), tetapi juga tidak secara ekivok (dalam arti yang sepenuhnya berbeda). Sebaliknya, ia bersifat analogis: ada keserupaan proporsional antara keberadaan Tuhan dan keberadaan ciptaan.¹³

Melalui analogi ini, Aquinas menghindari dua ekstrem: rasionalisme yang menurunkan Tuhan ke dalam kategori manusiawi, dan mistisisme yang meniadakan segala kemungkinan pengetahuan tentang Tuhan.¹⁴ Dengan analogia entis, manusia dapat memahami Tuhan secara terbatas, karena ciptaan mencerminkan keberadaan-Nya sebagai partisipasi dalam Esse Subsistens.¹⁵ Oleh karena itu, ontologi Thomistik tidak hanya menegaskan realitas keberadaan, tetapi juga memberikan dasar metafisis bagi teologi natural (pengetahuan rasional tentang Tuhan).

3.4.       Struktur Hierarkis Keberadaan

Aquinas mengajarkan bahwa realitas tersusun dalam tatanan hierarkis berdasarkan tingkat partisipasi dalam keberadaan.¹⁶ Di puncak hierarki terdapat Tuhan sebagai actus purus, diikuti oleh makhluk-makhluk rohani (malaikat), manusia yang memiliki jiwa rasional, makhluk hidup yang memiliki prinsip vital, dan benda-benda material yang hanya memiliki bentuk substansial.¹⁷ Hirarki ini bukan sekadar ontologis, tetapi juga teleologis: setiap tingkat keberadaan mengarah pada kesempurnaan yang lebih tinggi, yaitu kepada Tuhan sebagai causa finalis omnium rerum—tujuan akhir segala sesuatu.¹⁸

Dalam konteks ini, keberadaan bukanlah konsep statis, melainkan gradasi dinamis dari partisipasi pada keberadaan mutlak.¹⁹ Pandangan ini dikenal sebagai doctrina participationis (ajaran partisipasi), yang menjadi jantung realisme metafisik Aquinas dan membedakannya dari idealisme Platonis maupun nominalisme abad pertengahan.²⁰


Substansi dan Aksiden

Sebagai penerus Aristoteles, Aquinas juga mempertahankan distingsi antara substansi dan aksiden. Substansi adalah eksistensi yang berdiri sendiri (ens per se), sedangkan aksiden adalah sesuatu yang melekat pada substansi dan tidak dapat berdiri sendiri (ens in alio).²¹ Melalui kerangka ini, Aquinas menjelaskan struktur ontologis dunia empiris tanpa kehilangan dasar metafisisnya.²²

Namun, ia memperluas konsep substansi ini ke dalam teologi, terutama dalam doktrin transubstansiasi: dalam Ekaristi, substansi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, sementara aksiden (rasa, warna, bentuk) tetap sama.²³ Ini menunjukkan bagaimana metafisika substansi menjadi sarana teologis untuk memahami misteri iman secara rasional.


Dengan demikian, ontologi Thomistik menampilkan sintesis antara realisme metafisik Aristotelian dan teologi Kristen. Keberadaan dipahami bukan sebagai konsep abstrak, tetapi sebagai tindakan yang mengalir dari Tuhan sebagai sumber eksistensi. Melalui distingsi antara essentia dan esse, prinsip actus et potentia, serta analogia entis, Thomas Aquinas berhasil membangun fondasi ontologis yang rasional, hierarkis, dan partisipatif—suatu pandangan yang hingga kini menjadi salah satu puncak refleksi metafisika dalam sejarah filsafat.²⁴


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 25–27.

[2]                Thomas Aquinas, De Ente et Essentia, c.4.

[3]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 45–47.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 283–285.

[5]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 99–101.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.4.

[7]                Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 57–60.

[8]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), IX, 1045b.

[9]                Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 287.

[10]             Gilson, Being and Some Philosophers, 31–33.

[11]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 53.

[12]             Erich Przywara, Analogia Entis: Metaphysics: Original Structure and Universal Rhythm (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2014), 19–21.

[13]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 120–122.

[14]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 67–69.

[15]             Przywara, Analogia Entis, 25.

[16]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 290.

[17]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, II, c.45–47.

[18]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 33–36.

[19]             Gilson, Being and Some Philosophers, 40–42.

[20]             Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 17–19.

[21]             Aristotle, Categories, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1908), II.

[22]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 134–136.

[23]             Aquinas, Summa Theologica, III, q.75, a.4.

[24]             Maritain, Existence and the Existent, 30–32.


4.           Epistemologi Thomistik: Rasio, Iman, dan Iluminasi Ilahi

Epistemologi Thomistik berangkat dari keyakinan dasar bahwa akal manusia memiliki kemampuan nyata untuk mengenal kebenaran, namun kemampuannya bersifat terbatas dan harus disempurnakan oleh iman.¹ Bagi Thomas Aquinas, pengetahuan bukanlah hasil intuisi ilahi langsung, sebagaimana dalam neoplatonisme, tetapi merupakan hasil aktivitas rasional manusia yang dimulai dari pengalaman inderawi dan berakhir pada abstraksi intelektual. Dengan demikian, epistemologi Thomistik menggabungkan realisme empiris Aristoteles dengan teologi wahyu Kristen, menghasilkan suatu pandangan yang rasional, tetapi tetap terbuka terhadap transendensi.²

4.1.       Sumber Pengetahuan: Dari Inderawi ke Intelektual

Aquinas mengadopsi prinsip Aristotelian bahwa nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu—tidak ada sesuatu pun dalam intelek yang tidak terlebih dahulu ada dalam indera.³ Semua pengetahuan manusia dimulai dari pengalaman empiris terhadap dunia material. Melalui indera, bentuk (species sensibilis) dari objek eksternal diterima tanpa materinya; kemudian, intelek aktif (intellectus agens) mengabstraksikan bentuk tersebut dari kondisi materialnya untuk menghasilkan species intelligibilis, yaitu representasi intelektual dari realitas.⁴

Namun, Aquinas menegaskan bahwa proses ini bukan sekadar mekanisme psikologis, melainkan mencerminkan struktur ontologis hubungan antara subjek dan realitas. Manusia mampu mengenal dunia karena struktur akalnya sesuai dengan struktur realitas ciptaan Tuhan.⁵ Pengetahuan manusia, dengan demikian, bersifat analogis terhadap pengetahuan Ilahi: manusia mengetahui secara partisipatif karena akalnya merupakan refleksi dari intellectus divinus.⁶

4.2.       Rasio dan Iman: Dua Jalan Menuju Kebenaran

Dalam sistem Thomistik, rasio (ratio) dan iman (fides) bukanlah dua sumber pengetahuan yang bertentangan, melainkan dua jalan yang mengarah pada kebenaran yang sama, yakni Tuhan sebagai sumber segala realitas.⁷ Aquinas membedakan antara veritates rationis (kebenaran yang diketahui melalui akal) dan veritates fidei (kebenaran yang diketahui melalui wahyu).⁸ Kebenaran rasional, seperti keberadaan Tuhan, dapat dibuktikan melalui argumen filosofis; sedangkan misteri iman, seperti Trinitas atau Inkarnasi, hanya dapat diterima melalui wahyu ilahi.

Hubungan keduanya bersifat komplementer dan hierarkis: akal berfungsi sebagai pelayan iman (ancilla theologiae), tetapi bukan dalam arti subordinasi buta.⁹ Rasio memiliki otonomi metodologisnya sendiri dalam ranah natural, dan justru membantu menjelaskan dan mempertahankan kebenaran iman dari kesalahan logis.¹⁰ Aquinas menegaskan bahwa tidak mungkin ada kontradiksi antara wahyu dan rasio sejati, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan yang adalah kebenaran itu sendiri (Deus est veritas).¹¹

Dengan demikian, iman menyempurnakan rasio tanpa meniadakannya. Aquinas menulis, “Gratia non tollit naturam, sed perficit eam”—rahmat tidak meniadakan kodrat, tetapi menyempurnakannya.¹² Dalam konteks epistemologi, hal ini berarti bahwa rahmat ilahi memperluas cakrawala rasio manusia menuju kebenaran yang melampaui jangkauannya, tanpa menghapuskan fungsi kritisnya.

4.3.       Iluminasi Ilahi dan Peran Intelek Aktif

Berbeda dengan Augustinus yang menekankan iluminasi ilahi langsung sebagai syarat pengetahuan sejati, Aquinas memberikan interpretasi yang lebih naturalistik terhadap iluminasi.¹³ Menurutnya, manusia memang memperoleh cahaya intelektual dari Tuhan, tetapi cahaya itu bukanlah pengetahuan langsung, melainkan kemampuan kodrati akal manusia yang bersumber dari Sang Pencipta.¹⁴

Aquinas menyebut hal ini sebagai lumen intellectus agentis, yaitu “cahaya intelek aktif” yang memungkinkan manusia mengabstraksikan universal dari yang partikular.¹⁵ Dengan demikian, Tuhan tetap menjadi “cahaya segala pengetahuan”, tetapi melalui perantaraan kemampuan rasional manusia sendiri.¹⁶ Iluminasi tidak menggantikan pengalaman empiris, melainkan menjadikannya dapat dimengerti. Dalam kerangka ini, epistemologi Thomistik merupakan realisme iluminatif: pengetahuan manusia adalah hasil kerja rasional yang disinari oleh partisipasi dalam cahaya intelek Ilahi.¹⁷

4.4.       Pengetahuan Alamiah dan Pengetahuan Teologis

Aquinas membedakan dua jenis pengetahuan: pengetahuan alamiah (natural) dan pengetahuan teologis (supernatural).¹⁸ Pengetahuan alamiah dicapai melalui kekuatan akal budi dalam meneliti realitas ciptaan, sedangkan pengetahuan teologis diperoleh melalui wahyu dan diterima dengan iman. Keduanya bersumber dari Tuhan, namun berbeda dalam cara dan tingkat kepastiannya.

Pengetahuan rasional bersifat diskursif dan deduktif, sedangkan pengetahuan iman bersifat intuitif dan langsung karena bersandar pada otoritas ilahi.¹⁹ Meski demikian, keduanya tidak terpisah. Aquinas menegaskan bahwa wahyu ilahi dapat menjadi prinsip awal bagi refleksi filosofis, dan filsafat dapat menjadi instrumen bagi pemahaman teologi.²⁰ Karena itu, epistemologi Thomistik berfungsi sebagai jembatan antara filsafat dan teologi—antara penalaran dan kontemplasi.


Kebenaran sebagai Adeptio ad Rem

Dalam epistemologi Thomistik, kebenaran didefinisikan sebagai adaequatio intellectus ad rem—kecocokan antara intelek dan realitas.²¹ Kebenaran bukanlah hasil konstruksi subjektif, melainkan penyesuaian rasional terhadap struktur objektif realitas yang diciptakan Tuhan.²² Oleh karena itu, manusia dapat mengetahui dunia secara benar karena dunia itu sendiri rasional dan tertata sesuai dengan logos Ilahi.²³

Kebenaran, bagi Aquinas, memiliki tiga dimensi: ontologis (segala yang ada benar sejauh ia ada), logis (penyesuaian intelek terhadap realitas), dan moral (kejujuran dalam penilaian).²⁴ Dengan demikian, epistemologi Thomistik bukan hanya teori pengetahuan, tetapi juga mengandung dimensi etis—pengetahuan sejati menuntut kehendak yang terarah pada kebenaran, bukan pada kesesatan.


Dengan demikian, epistemologi Thomistik menunjukkan kesatuan rasionalitas dan iman dalam struktur pengetahuan manusia. Melalui pengalaman empiris, iluminasi intelek, dan partisipasi dalam kebenaran ilahi, manusia dapat mengenal Tuhan dan dunia secara rasional tanpa meniadakan dimensi iman. Sistem ini memberikan dasar filosofis bagi teologi Kristen dan tetap relevan bagi perdebatan modern tentang hubungan antara sains, rasio, dan religiositas.²⁵


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 185–187.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 295–297.

[3]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Oxford: Clarendon Press, 1931), III.8, 431b.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.79, a.3.

[5]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 67–69.

[6]                Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 44.

[7]                Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7–9.

[8]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 191–193.

[9]                Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 21–22.

[10]             Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 112–114.

[11]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.5.

[12]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[13]             Augustine, De Trinitate, XIV, c.15.

[14]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 196–198.

[15]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.79, a.4.

[16]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 73–75.

[17]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 81–83.

[18]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 303.

[19]             Gilson, Being and Some Philosophers, 51.

[20]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 29–31.

[21]             Thomas Aquinas, De Veritate, q.1, a.1.

[22]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 199–201.

[23]             Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge (New York: Scribner’s Sons, 1959), 22–24.

[24]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.3–4.

[25]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 145–147.


5.           Antropologi Thomistik: Jiwa, Tubuh, dan Akal Budi

Antropologi Thomistik menempati posisi sentral dalam sistem filsafat Thomas Aquinas karena ia berfungsi sebagai jembatan antara ontologi metafisik dan etika teologis. Dalam pandangan Aquinas, manusia merupakan mikrokosmos—sebuah miniatur kosmos yang memadukan unsur material dan spiritual secara harmonis.¹ Manusia tidak semata tubuh yang berjiwa, melainkan satu kesatuan substansial di mana jiwa merupakan bentuk (forma substantialis) dari tubuh.² Dengan demikian, antropologi Thomistik menolak baik dualisme platonik yang memisahkan jiwa dan tubuh secara tajam, maupun materialisme yang meniadakan dimensi spiritual manusia.³

5.1.       Manusia sebagai Kesatuan Substansial: Hylomorphisme

Aquinas mengadopsi teori hylomorphisme Aristoteles, yaitu pandangan bahwa segala makhluk jasmani terdiri dari dua prinsip: materi (hyle) dan bentuk (morphe).⁴ Jiwa manusia berperan sebagai bentuk substansial tubuh, artinya ia memberikan kehidupan, identitas, dan aktivitas khas bagi manusia.⁵ Jiwa bukanlah “penjara” bagi tubuh seperti dalam dualisme Plato, melainkan prinsip yang mengaktualkan potensi tubuh.⁶

Dalam Summa Theologica, Aquinas menulis bahwa “anima est forma corporis”—jiwa adalah bentuk tubuh.⁷ Pernyataan ini menunjukkan bahwa jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan dalam eksistensi manusia: tubuh tanpa jiwa hanyalah materi mati, sementara jiwa tanpa tubuh (selain dalam keadaan pascakematian) kehilangan medium aktualisasinya.⁸ Pandangan ini menegaskan kesatuan ontologis antara spiritualitas dan materialitas manusia, yang sekaligus menjadi dasar bagi etika dan teologi inkarnasi.

5.2.       Struktur Jiwa Manusia: Vegetatif, Sensitif, dan Rasional

Mengikuti struktur Aristotelian, Aquinas membagi jiwa menjadi tiga tingkat aktivitas: vegetatif, sensitif, dan rasional.⁹ Jiwa vegetatif mengatur proses biologis seperti pertumbuhan dan reproduksi; jiwa sensitif berkaitan dengan persepsi, imajinasi, dan dorongan emosional; sedangkan jiwa rasional merupakan puncak kehidupan jiwa yang melibatkan intelek dan kehendak bebas.¹⁰

Bagian rasional ini menjadi ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain.¹¹ Melalui intelek (intellectus), manusia mampu mengenali kebenaran universal; melalui kehendak (voluntas), ia bebas memilih berdasarkan pengetahuan tersebut.¹² Dengan demikian, manusia bukan sekadar makhluk biologis, tetapi makhluk rasional dan moral (animal rationale et morale) yang diciptakan menurut citra Allah (imago Dei).¹³

5.3.       Intelek Aktif dan Pasif

Aquinas menjelaskan dua aspek dari intelek: intelek pasif (intellectus possibilis) dan intelek aktif (intellectus agens).¹⁴ Intelek pasif menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh abstraksi, sedangkan intelek aktif bertugas mengabstraksikan universal dari pengalaman inderawi.¹⁵ Hubungan keduanya menyerupai hubungan antara potensi dan aktualitas: intelek pasif berpotensi mengetahui, dan intelek aktif mengaktualkan potensi itu.¹⁶

Aquinas menolak pandangan Averroes tentang intelek universal yang tunggal bagi seluruh manusia.¹⁷ Ia menegaskan bahwa setiap individu memiliki intelek aktif dan pasifnya sendiri, sebab pengetahuan merupakan tindakan personal yang bersumber dari jiwa individu.¹⁸ Dengan demikian, pengetahuan dan moralitas selalu berakar pada subjektivitas yang rasional, bukan pada substansi intelektual kolektif.

5.4.       Kebebasan dan Kehendak Manusia

Dalam antropologi Thomistik, kebebasan manusia merupakan konsekuensi langsung dari rasionalitasnya.¹⁹ Aquinas memandang kehendak bebas (liberum arbitrium) sebagai daya yang mengikuti intelek; manusia menginginkan sesuatu sejauh ia mengenali kebaikan dalam hal itu.²⁰ Karena pengetahuan manusia tidak sempurna, pilihan moralnya pun dapat salah. Namun, kesalahan tersebut tidak meniadakan kebebasan, justru menegaskan tanggung jawab moral manusia.²¹

Kehendak, bagi Aquinas, tidak berdiri di atas intelek, tetapi bekerja bersamanya dalam harmoni hierarkis: intelek menilai yang benar, kehendak menginginkan yang baik.²² Tuhan, sebagai kebaikan tertinggi, menjadi tujuan akhir semua kehendak manusia.²³ Oleh karena itu, kebebasan sejati bukanlah kemampuan untuk memilih secara arbitrer, melainkan kemampuan untuk memilih yang benar-benar baik sesuai dengan kodrat manusia yang diarahkan kepada Tuhan.²⁴

5.5.       Jiwa sebagai Substansi Immortal dan Imago Dei

Aquinas menegaskan bahwa jiwa manusia bersifat immaterial dan abadi, karena ia melaksanakan aktivitas yang tidak bergantung pada tubuh, seperti berpikir abstrak dan mengenal kebenaran universal.²⁵ Dengan demikian, jiwa tidak hancur bersama kematian tubuh; ia tetap eksis sebagai substansi spiritual yang mempertahankan identitas personal.²⁶

Lebih jauh, manusia disebut sebagai imago Dei karena kemampuannya mengenal dan mencintai Tuhan secara rasional.²⁷ Akal budi dan kehendak merupakan dua citra utama keilahian dalam diri manusia: sebagaimana Tuhan mengetahui dan mengasihi, demikian pula manusia berpartisipasi dalam aktivitas intelektual dan afektif tersebut.²⁸ Jiwa manusia, dengan demikian, menjadi titik temu antara dunia ciptaan dan Sang Pencipta, antara waktu dan kekekalan.²⁹

5.6.       Kesatuan Etis dan Eschatologis

Pandangan tentang manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa membawa implikasi etis dan eskatologis. Secara etis, tubuh bukanlah sumber dosa, melainkan sarana bagi kebajikan; tindakan moral manusia melibatkan totalitas keberadaannya.³⁰ Secara eskatologis, kesatuan ini dijanjikan untuk dipulihkan dalam kebangkitan tubuh, di mana jiwa dan tubuh akan bersatu kembali dalam keadaan sempurna.³¹ Dengan demikian, antropologi Thomistik menegaskan kesatuan integral antara dimensi biologis, rasional, moral, dan spiritual manusia, sekaligus membuka horizon teleologis menuju penyempurnaan dalam Tuhan.³²


Kesimpulan Antropologi Thomistik

Antropologi Thomistik menampilkan manusia sebagai makhluk yang kompleks namun terpadu—makhluk rasional yang terdiri dari tubuh dan jiwa dalam kesatuan substansial, dengan akal budi dan kehendak sebagai refleksi dari Sang Pencipta. Pandangan ini tidak hanya menawarkan dasar metafisis bagi pemahaman manusia, tetapi juga memberi arah etis dan teologis bagi keberadaannya. Dalam pandangan Aquinas, mengenal diri berarti mengenal Tuhan yang darinya manusia memperoleh bentuk, tujuan, dan makna eksistensialnya.³³


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 205–207.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.1.

[3]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 79–81.

[4]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Oxford: Clarendon Press, 1931), II.1–3.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 310–312.

[6]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 209–210.

[7]                Aquinas, Summa Theologica, I, q.76, a.1.

[8]                Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 97–99.

[9]                Aristotle, De Anima, II.4–6.

[10]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 211–213.

[11]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 315.

[12]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.83, a.3.

[13]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 39–41.

[14]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.79, a.2–3.

[15]             Kenny, Aquinas on Mind, 102–104.

[16]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 218–219.

[17]             Richard C. Taylor, “Aquinas and the Unity of the Intellect,” Journal of the History of Philosophy 32, no. 4 (1994): 567–585.

[18]             Aquinas, De Unitate Intellectus Contra Averroistas, c.3.

[19]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 319–320.

[20]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.13, a.1.

[21]             Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 86–88.

[22]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 223.

[23]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.1, a.8.

[24]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 45–47.

[25]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.75, a.2.

[26]             Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 61–63.

[27]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.93, a.4.

[28]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 44–46.

[29]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 95–97.

[30]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 323–325.

[31]             Aquinas, Summa Theologica, Supplementum, q.75, a.1.

[32]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 228–230.

[33]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 159–161.


6.           Etika dan Teologi Moral Thomistik

Etika Thomistik merupakan perwujudan dari pandangan antropologis dan metafisis Thomas Aquinas tentang manusia sebagai makhluk rasional yang diarahkan kepada kebaikan tertinggi.¹ Dalam sistemnya, moralitas tidak terpisah dari ontologi dan teologi, sebab tindakan manusia selalu memiliki dimensi teleologis—mengarah kepada suatu tujuan akhir (finis ultimus).² Etika, dengan demikian, bukan sekadar persoalan aturan, tetapi bagian integral dari dinamika keberadaan manusia menuju Tuhan sebagai kebaikan tertinggi (summum bonum).³

6.1.       Dasar Teleologis Etika: Tujuan Akhir Manusia

Bagi Aquinas, semua tindakan manusia berorientasi pada suatu tujuan, dan tujuan tertinggi dari seluruh kehendak adalah kebahagiaan (beatitudo).⁴ Namun, ia membedakan antara kebahagiaan sementara (felicitas imperfecta), yang diperoleh melalui kebaikan duniawi, dan kebahagiaan sempurna (felicitas perfecta), yang hanya ditemukan dalam persatuan dengan Tuhan.⁵

Aquinas menolak hedonisme dan eudaimonisme murni Aristoteles karena kebahagiaan sejati tidak mungkin ditemukan dalam hal-hal fana.⁶ Kebahagiaan tertinggi tidak terletak pada kenikmatan, kekuasaan, atau pengetahuan semata, melainkan pada kontemplasi terhadap Tuhan—kegiatan intelektual tertinggi yang menandai pemenuhan kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.⁷ Dalam konteks ini, etika Thomistik menjadi etika teologis: moralitas tidak hanya dinilai berdasarkan tindakan lahiriah, tetapi berdasarkan arah transendennya menuju Tuhan.⁸

6.2.       Hukum Kodrat (Lex Naturalis) dan Struktur Moralitas

Salah satu kontribusi terbesar Thomisme terhadap filsafat moral adalah konsep hukum kodrat (lex naturalis), yang merupakan bagian dari hukum kekal (lex aeterna) Tuhan.⁹ Hukum kekal adalah rencana ilahi yang mengatur seluruh ciptaan, sementara hukum kodrat adalah partisipasi makhluk rasional dalam hukum kekal tersebut.¹⁰

Dalam Summa Theologica, Aquinas mendefinisikan hukum kodrat sebagai “partisipasi makhluk rasional dalam hukum kekal,” yang tertanam dalam akal manusia sebagai kemampuan untuk mengenali dan mengejar kebaikan serta menghindari kejahatan.¹¹ Prinsip pertama hukum kodrat adalah “bonum est faciendum et prosequendum, et malum vitandum”—kebaikan harus dilakukan dan dikejar, dan kejahatan harus dihindari.¹²

Dari prinsip ini, Aquinas menurunkan norma-norma moral yang lebih spesifik, seperti pelestarian hidup, pembiakan, pendidikan anak, kehidupan sosial, dan pencarian kebenaran.¹³ Dengan demikian, hukum kodrat berfungsi sebagai fondasi rasional bagi etika universal, melampaui batas agama dan budaya, karena tertanam dalam struktur rasionalitas manusia.¹⁴

6.3.       Hukum Ilahi (Lex Divina) dan Rahmat Moral

Selain hukum kodrat, Aquinas juga menegaskan pentingnya hukum ilahi (lex divina), yakni wahyu Tuhan yang diwahyukan melalui Kitab Suci.¹⁵ Hukum ini melengkapi hukum kodrat karena akal manusia tidak dapat sepenuhnya memahami jalan keselamatan ilahi.¹⁶ Hukum ilahi berfungsi untuk menuntun manusia menuju kebahagiaan kekal dengan memberikan arahan moral yang melampaui kemampuan rasional alami.¹⁷

Dalam struktur moral Thomistik, rahmat (gratia) memainkan peran kunci: ia tidak meniadakan kodrat manusia, tetapi menyempurnakannya.¹⁸ Dengan rahmat, kehendak manusia diperkuat untuk mampu melakukan kebaikan yang melampaui kapasitas kodratnya. Oleh karena itu, moralitas Kristen bukan sekadar etika kodrat, tetapi etika rahmat, di mana manusia bekerja sama dengan anugerah ilahi dalam perjalanan menuju kesempurnaan moral.¹⁹

6.4.       Kebajikan Moral dan Teologal

Aquinas mengadopsi konsep kebajikan (virtus) dari Aristoteles, tetapi memberikan dimensi teologis padanya. Ia membedakan antara kebajikan moral alami dan kebajikan teologal.²⁰

Kebajikan moral alami meliputi empat kebajikan utama (virtutes cardinales): kebijaksanaan (prudentia), keadilan (iustitia), keberanian (fortitudo), dan pengendalian diri (temperantia).²¹ Kebajikan ini mengatur tindakan manusia dalam hubungan dengan diri, sesama, dan dunia. Namun, kebajikan ini hanya menghasilkan kebaikan alami, bukan keselamatan kekal.²²

Untuk mencapai tujuan akhir manusia, diperlukan kebajikan teologal yang diberikan oleh rahmat ilahi: iman (fides), harapan (spes), dan kasih (caritas).²³ Ketiganya mengarahkan manusia langsung kepada Tuhan: iman memungkinkan pengenalan akan kebenaran ilahi; harapan meneguhkan keyakinan akan penyelamatan; dan kasih menyatukan manusia dengan Tuhan sebagai tujuan akhir moralitas.²⁴ Dalam sistem ini, kasih (caritas) menempati posisi tertinggi, karena menjadi bentuk kesempurnaan seluruh kebajikan.²⁵

6.5.       Tindakan Moral dan Prinsip Intensi

Aquinas mendefinisikan tindakan moral sebagai tindakan yang berasal dari pengetahuan dan kehendak bebas manusia.²⁶ Moralitas suatu tindakan ditentukan oleh objek (materi tindakan), tujuan (finis), dan keadaan (circumstantiae).²⁷ Suatu tindakan dianggap baik apabila semua elemennya terarah kepada kebaikan sejati.²⁸

Aquinas menekankan pentingnya intensi moral: tindakan lahiriah hanya bernilai moral jika dimotivasi oleh tujuan yang benar.²⁹ Sebuah perbuatan yang tampak baik secara eksternal dapat menjadi jahat apabila dilakukan dengan niat yang salah.³⁰ Prinsip ini menegaskan bahwa moralitas sejati bersumber dari kesatuan antara pengetahuan, kehendak, dan tujuan etis yang sesuai dengan kodrat manusia dan hukum ilahi.³¹

6.6.       Kebaikan, Dosa, dan Kehendak

Dalam kerangka moral Thomistik, kejahatan (malum) tidak memiliki substansi sendiri, melainkan merupakan kekurangan dari kebaikan (privatio boni).³² Dosa terjadi ketika kehendak manusia berpaling dari tujuan akhirnya—Tuhan—dan memilih kebaikan yang lebih rendah secara tidak teratur.³³ Meskipun demikian, kebebasan manusia tetap utuh; dosa bukan hasil determinisme, tetapi penyalahgunaan kehendak bebas.³⁴

Aquinas membedakan antara dosa ringan (veniale) dan dosa berat (mortale), di mana yang terakhir menyebabkan keterpisahan manusia dari kasih karunia Tuhan.³⁵ Namun, melalui rahmat dan pertobatan, manusia dapat dipulihkan ke dalam tatanan moral yang benar.³⁶ Dengan demikian, teologi moral Thomistik bukan hanya sistem etika normatif, tetapi juga teologi kasih karunia dan penyembuhan, yang memandang moralitas sebagai proses partisipatif dalam penyempurnaan ilahi.³⁷


Kesimpulan Etika dan Teologi Moral Thomistik

Etika dan teologi moral Thomistik menampilkan sintesis yang luar biasa antara filsafat dan teologi, antara rasio dan rahmat. Bagi Aquinas, moralitas sejati berakar pada hukum kodrat yang diterangi oleh wahyu dan disempurnakan oleh rahmat. Manusia, sebagai makhluk rasional dan berkehendak bebas, diarahkan menuju kebahagiaan sejati melalui kebajikan moral dan teologal yang berakar pada kasih. Sistem etika ini tidak hanya menjelaskan perilaku moral, tetapi juga membuka horizon spiritual tentang bagaimana manusia dapat mencapai kesempurnaan dalam Tuhan, Sang Kebaikan Mutlak.³⁸


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 235–237.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 327–329.

[3]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 91–92.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.1, a.1.

[5]                Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 102–104.

[6]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 241–243.

[7]                Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.25.

[8]                Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 47–49.

[9]                Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.

[10]             Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 85–87.

[11]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.

[12]             Ibid., I-II, q.94, a.2.

[13]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 247–249.

[14]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 98.

[15]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.4.

[16]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 333.

[17]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 253.

[18]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[19]             Josef Pieper, Faith, Hope, Love (San Francisco: Ignatius Press, 1997), 14–16.

[20]             Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 118.

[21]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1925), II.7.

[22]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 101–102.

[23]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.62, a.1.

[24]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 258–260.

[25]             Pieper, Faith, Hope, Love, 23–24.

[26]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.18, a.2.

[27]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 336.

[28]             Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 71.

[29]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.18, a.6.

[30]             Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 56–57.

[31]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 266–268.

[32]             Augustine, Enchiridion, c.11.

[33]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.71, a.6.

[34]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 58–59.

[35]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.88, a.1–2.

[36]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 272.

[37]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 341.

[38]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 172–174.


7.           Logika dan Metodologi Skolastik

Dalam sistem filsafat Thomistik, logika dan metodologi skolastik memainkan peran fundamental sebagai instrumen rasional dalam memahami realitas dan menguraikan kebenaran iman.¹ Bagi Thomas Aquinas, logika bukanlah ilmu yang berdiri sendiri secara otonom, tetapi alat (organon) untuk berpikir secara benar—sebuah jalan menuju kebenaran metafisis dan teologis.² Dalam kerangka skolastik abad pertengahan, logika menjadi sarana untuk mengintegrasikan iman dan akal, memastikan bahwa refleksi teologis tunduk pada prinsip rasional yang konsisten tanpa kehilangan orientasi spiritualnya.³

7.1.       Logika sebagai Instrumentum Scientiae

Aquinas mengikuti tradisi Aristotelian yang memandang logika sebagai instrumentum scientiae, yakni alat ilmu pengetahuan.⁴ Logika tidak menghasilkan pengetahuan baru, melainkan mengatur cara berpikir agar kesimpulan yang ditarik sah secara deduktif dari premis-premis yang benar.⁵ Dalam Commentary on Aristotle’s Posterior Analytics, Aquinas menegaskan bahwa logika berfungsi “ad dirigendum actum rationis humanae”—untuk menuntun tindakan akal manusia agar berjalan lurus menuju kebenaran.⁶

Dengan demikian, logika bagi Aquinas bersifat instrumental dan normatif: ia menyediakan aturan formal bagi penalaran tetapi harus selalu diarahkan kepada realitas objektif (res).⁷ Hal ini berbeda dengan rasionalisme modern yang menjadikan logika sebagai sistem otonom terlepas dari ontologi. Dalam Thomisme, validitas logika berpangkal pada realisme metafisik, yakni keyakinan bahwa struktur pikiran manusia mencerminkan tatanan realitas ciptaan.⁸

7.2.       Struktur Silogistik dan Penalaran Deduktif

Sebagai pewaris Aristotelianisme, Aquinas memandang silogisme sebagai bentuk penalaran ilmiah tertinggi.⁹ Silogisme bekerja dengan menyusun dua premis yang, melalui hukum non-kontradiksi dan identitas, melahirkan kesimpulan yang niscaya.¹⁰ Dalam sistem skolastik, metode silogistik digunakan tidak hanya dalam logika formal, tetapi juga dalam teologi, etika, dan metafisika, untuk menyusun argumen yang sistematis dan koheren.¹¹

Misalnya, dalam Summa Theologica, setiap artikel disusun dalam bentuk quaestio disputata (pertanyaan yang diperdebatkan) yang mengikuti pola silogistik: dimulai dengan keberatan-keberatan (objectiones), dilanjutkan dengan otoritas teks (sed contra), lalu disusul oleh penjelasan rasional Aquinas sendiri (respondeo dicendum), dan diakhiri dengan tanggapan terhadap keberatan sebelumnya (ad primum, ad secundum).¹² Struktur ini mencerminkan logika deduktif sekaligus dialogis—usaha untuk menemukan kebenaran melalui argumentasi yang rasional dan teratur.¹³

7.3.       Metode Quaestio Disputata dan Rasionalitas Dialogis

Metode skolastik yang dikembangkan di universitas-universitas abad pertengahan, khususnya di Paris, dikenal sebagai quaestio disputata—yakni metode diskusi rasional yang menelaah persoalan teologis dan filosofis melalui perdebatan sistematis.¹⁴ Thomas Aquinas memanfaatkan metode ini untuk memadukan analisis logis dan refleksi teologis dalam karya-karyanya.¹⁵

Setiap quaestio dimulai dengan pengumpulan argumen yang mendukung dan menentang suatu proposisi. Setelah itu, Aquinas mengajukan solusi (respondeo) yang mencoba menjelaskan posisi yang benar melalui sintesis rasional.¹⁶ Metode ini memperlihatkan semangat dialog dan intelektualitas terbuka: kebenaran diperoleh bukan dengan menolak keberatan lawan, tetapi dengan memahaminya secara penuh dan menempatkannya dalam tatanan yang lebih tinggi dari kebenaran universal.¹⁷

Dalam konteks ini, metode skolastik tidak bersifat dogmatis, melainkan dialektis dan integratif. Ia menuntut penggunaan akal secara maksimal untuk menafsirkan wahyu dan realitas alamiah tanpa menegasikan iman.¹⁸ Dengan logika sebagai instrumen, Aquinas menunjukkan bahwa iman dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan bahkan memperkaya pengetahuan manusia.¹⁹

7.4.       Rasionalitas Demonstratif dan Metode Ilmiah

Aquinas membedakan tiga tingkat pengetahuan: dialektik, demonstratif, dan teologis.²⁰ Dialektik bersifat probabilistik dan digunakan dalam filsafat moral atau politik; demonstratif bersifat niscaya dan digunakan dalam ilmu pengetahuan rasional (scientia); sedangkan teologis bersifat eks templum, yakni berakar pada wahyu.²¹

Dalam Summa Contra Gentiles, Aquinas menegaskan pentingnya demonstrasi metafisik untuk membuktikan kebenaran iman yang dapat dijangkau akal, seperti keberadaan Tuhan atau keberaturan kosmos.²² Logika demonstratif ini menjadi cikal bakal metode ilmiah skolastik: setiap proposisi harus didukung oleh argumen yang valid, koheren, dan dapat diuji melalui prinsip pertama akal budi.²³

Namun, Aquinas tetap menolak reduksi rasionalisme ekstrem. Rasio berfungsi untuk mengabdi kepada kebenaran yang lebih tinggi—yakni kebenaran ilahi yang diterima melalui iman.²⁴ Dengan demikian, metode ilmiah dalam Thomisme bersifat teleologis, mengarahkan setiap penyelidikan menuju kesatuan kebenaran antara ciptaan dan Pencipta.²⁵

7.5.       Dialektika antara Ratio dan Fides dalam Metode Skolastik

Ciri khas metodologi skolastik Thomistik adalah kesatuan dialektis antara rasio dan iman (ratio et fides).²⁶ Aquinas memandang bahwa kebenaran wahyu dan kebenaran akal tidak dapat bertentangan karena keduanya bersumber dari Tuhan yang sama.²⁷ Maka, tugas logika dan metodologi skolastik adalah memperlihatkan konsistensi internal antara keduanya melalui argumentasi rasional yang jernih.²⁸

Dalam konteks akademik abad pertengahan, logika berfungsi bukan hanya sebagai alat berpikir, tetapi juga sebagai disiplin spiritual: melalui ketertiban berpikir, jiwa diarahkan pada keteraturan moral dan kebenaran ilahi.²⁹ Dengan demikian, metode skolastik merupakan ekspresi dari spiritualitas intelektual—sebuah usaha rasional untuk memahami iman melalui akal (fides quaerens intellectum).³⁰

7.6.       Relevansi Metodologi Skolastik

Warisan metodologi skolastik Thomistik tetap berpengaruh hingga era modern.³¹ Prinsip argumentasi sistematis, konsistensi logis, dan keterbukaan terhadap debat rasional menjadi model bagi perkembangan ilmu dan teologi Katolik.³² Bahkan dalam filsafat kontemporer, metode quaestio disputata menjadi dasar bagi pendekatan dialogis dan analitis dalam filsafat agama dan etika.³³

Metodologi skolastik juga mengajarkan bahwa berpikir rasional bukan sekadar kemampuan intelektual, tetapi tindakan moral dan spiritual—karena mencari kebenaran berarti berpartisipasi dalam akal ilahi (logos).³⁴ Dalam hal ini, logika Thomistik bukan hanya ilmu tentang berpikir benar, melainkan jalan menuju kebijaksanaan (via sapientiae).³⁵


Kesimpulan Logika dan Metodologi Skolastik

Logika dan metodologi skolastik dalam Thomisme menunjukkan kesatuan yang mendalam antara struktur berpikir dan struktur realitas. Dengan menggabungkan logika Aristotelian, metodologi dialektis, dan orientasi teologis, Thomas Aquinas menampilkan model rasionalitas yang koheren, terbuka, dan terarah pada kebenaran ilahi. Melalui metode quaestio disputata, ia menunjukkan bahwa iman dapat dipahami, dibela, dan diperdalam melalui akal yang teratur—sebuah warisan yang tetap menjadi teladan bagi filsafat dan teologi sepanjang zaman.³⁶


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 275–277.

[2]                Aristotle, Organon, trans. E. S. Forster (Oxford: Clarendon Press, 1926), I.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 343–345.

[4]                Thomas Aquinas, In Posteriorum Analyticorum Expositio, proemium.

[5]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 109–110.

[6]                Aquinas, In Posteriorum Analyticorum Expositio, I, lect.1.

[7]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 278.

[8]                Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 123–125.

[9]                Aristotle, Prior Analytics, trans. A. J. Jenkinson (Oxford: Clarendon Press, 1928), I.1.

[10]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 347.

[11]             Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 63–65.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[13]             Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 83–85.

[14]             David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1962), 187–190.

[15]             Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 113.

[16]             Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.9.

[17]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 349.

[18]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 283.

[19]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 70–71.

[20]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.5.

[21]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 286–288.

[22]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, II, c.3–5.

[23]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 351.

[24]             Gilson, Being and Some Philosophers, 90.

[25]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 118.

[26]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[27]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 292–293.

[28]             Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 61–63.

[29]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 77.

[30]             Augustine, De Trinitate, XV, c.2.

[31]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 181–183.

[32]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 353.

[33]             Ralph McInerny, Aquinas and Analytic Philosophy (Washington, DC: Catholic University of America Press, 1982), 22–25.

[34]             Josef Pieper, In Tune with the World: A Theory of Festivity (Chicago: Franciscan Herald Press, 1963), 89–90.

[35]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 296.

[36]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 188–190.


8.           Teologi dan Metafisika Tuhan

Dalam sistem filsafat Thomas Aquinas, teologi dan metafisika Tuhan (De Deo Uno) merupakan puncak dari seluruh struktur pemikiran metafisis dan rasional.¹ Aquinas menempatkan teologi sebagai ilmu tertinggi (scientia divina), karena berurusan dengan penyebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu—yakni Tuhan sebagai actus purus dan ipsum esse subsistens, keberadaan itu sendiri yang berdiri secara mandiri.² Teologi tidak semata berbicara tentang dogma, tetapi merupakan bentuk tertinggi dari metafisika yang menyingkap struktur terdalam realitas sebagai partisipasi dalam keberadaan ilahi.³

8.1.       Tuhan sebagai Actus Purus dan Ipsum Esse Subsistens

Aquinas memulai teologi metafisisnya dengan pertanyaan paling mendasar: “Apakah Tuhan ada?” (An Deus sit).⁴ Dalam Summa Theologica, ia menolak pembuktian apriori sebagaimana dikemukakan Anselmus, dan lebih memilih jalan a posteriori, yakni penalaran dari efek menuju sebab.⁵ Dari pengamatan terhadap dunia yang berubah, bersebab, dan kontingen, Aquinas menyimpulkan bahwa harus ada satu realitas yang niscaya, tak berubah, dan menjadi sebab keberadaan segala yang ada.⁶

Tuhan, menurut Aquinas, bukanlah salah satu di antara makhluk, tetapi dasar eksistensi dari semua makhluk. Ia adalah actus purus—aktualitas murni tanpa potensi apa pun—karena setiap potensi menandakan keterbatasan.⁷ Ia juga disebut ipsum esse subsistens, “keberadaan itu sendiri yang berdiri sendiri,” sebab hanya Tuhan yang keberadaannya identik dengan hakikat-Nya (essentia est ipsum esse).⁸ Segala makhluk lain hanya memiliki keberadaan secara partisipatif, sedangkan Tuhan adalah keberadaan.⁹ Dengan demikian, metafisika Tuhan dalam Thomisme tidak mendeskripsikan Tuhan sebagai objek empiris, melainkan sebagai dasar metafisis dari seluruh realitas.¹⁰

8.2.       Lima Jalan (Quinque Viae) Pembuktian Eksistensi Tuhan

Aquinas mengembangkan lima argumen klasik yang dikenal sebagai quinque viae atau “lima jalan” untuk membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional:¹¹

1)                  Via motus (jalan gerak):

segala yang bergerak digerakkan oleh sesuatu; karena tidak mungkin rantai penyebab gerak berlangsung tanpa akhir, maka harus ada penggerak pertama (primum movens immobile).¹²

2)                  Via causae efficientis (jalan sebab efisien):

setiap efek memiliki sebab; tidak mungkin ada rangkaian sebab yang tak berawal, maka harus ada sebab pertama yang tidak disebabkan.¹³

3)                  Via contingentiae (jalan kontingensi):

segala yang ada bersifat mungkin tidak ada; tetapi tidak mungkin semua hal bersifat kontingen, maka harus ada wujud yang niscaya (ens necessarium).¹⁴

4)                  Via gradus perfectionis (jalan gradasi kesempurnaan):

dalam segala hal terdapat tingkat kesempurnaan; maka harus ada sumber kesempurnaan mutlak sebagai ukuran segala yang baik dan benar.¹⁵

5)                  Via finalis (jalan tujuan):

segala hal bertindak menuju tujuan; maka harus ada intelek ilahi yang mengatur keterarahan alam kepada tujuan itu.¹⁶

Kelima jalan ini bukanlah bukti empiris dalam arti modern, tetapi demonstrasi metafisis yang mengarahkan akal kepada penyebab pertama sebagai fondasi niscaya seluruh eksistensi.¹⁷ Mereka menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan dapat dipahami melalui struktur rasional dunia tanpa bergantung pada wahyu, meskipun wahyu menyempurnakan pengetahuan itu.¹⁸

8.3.       Sifat-Sifat Tuhan: Kesederhanaan, Kesempurnaan, dan Ketakterbatasan

Aquinas menegaskan bahwa Tuhan tidak memiliki komposisi dalam bentuk apa pun—baik materi, bentuk, substansi, maupun aksiden.¹⁹ Ia murni sederhana (simplicitas divina), karena setiap komposisi mengandaikan bagian dan potensi, sedangkan Tuhan adalah aktualitas murni.²⁰ Dari kesederhanaan ini mengikuti atribut-atribut ilahi lainnya: kesempurnaan, kebaikan, ketakterbatasan, dan keabadian.²¹

Tuhan disebut sempurna (perfectus), karena Ia memiliki seluruh kebaikan tanpa batas dan menjadi sumber segala kesempurnaan yang dimiliki makhluk.²² Ia juga disebut tak terbatas (infinitus), bukan karena ukuran kuantitatif, tetapi karena ketidakterbatasan dalam keberadaan dan kuasa.²³ Selain itu, Tuhan bersifat abadi (aeternus), karena Ia berada di luar waktu: waktu hanyalah ukuran perubahan, sedangkan Tuhan tidak berubah.²⁴

Konsepsi ini menegaskan bahwa semua atribut ilahi bukanlah tambahan pada esensi Tuhan, tetapi cara manusia memahami satu realitas yang sama, yakni keberadaan ilahi yang tak terbagi.²⁵ Dengan demikian, dalam metafisika Thomistik, teologi negatif (via negativa) berpadu dengan teologi analogis untuk menyatakan Tuhan secara rasional tanpa mereduksi keagungan-Nya.²⁶

8.4.       Analogia Entis: Mengetahui Tuhan Secara Analogis

Salah satu prinsip utama dalam teologi Thomistik adalah analogi keberadaan (analogia entis).²⁷ Manusia tidak dapat berbicara tentang Tuhan secara univok (dalam arti yang sama dengan makhluk), sebab Tuhan transenden dan melampaui segala kategori ciptaan. Namun, bahasa tentang Tuhan juga tidak bersifat ekivok (berarti sepenuhnya berbeda), sebab ciptaan mencerminkan keberadaan-Nya.²⁸

Oleh karena itu, pengetahuan manusia tentang Tuhan bersifat analogis: istilah seperti “baik,” “bijaksana,” atau “ada” digunakan untuk Tuhan dan manusia dalam arti yang serupa namun tidak identik.²⁹ Melalui analogi ini, manusia dapat mengenal Tuhan secara sejati, meski tidak sempurna.³⁰ Prinsip analogia entis menjadi dasar epistemologis bagi teologi natural dan menghindarkan rasio dari kesalahan antropomorfisme maupun agnostisisme.³¹

8.5.       Relasi Tuhan dan Dunia: Penciptaan dan Partisipasi

Bagi Aquinas, hubungan antara Tuhan dan dunia tidak bersifat emanatif seperti dalam neoplatonisme, melainkan relasi penciptaan (creatio ex nihilo).³² Tuhan menciptakan dunia bukan dari materi yang sudah ada, melainkan dari ketiadaan melalui kehendak bebas dan kebaikan-Nya.³³ Karena itu, ciptaan tidak identik dengan Tuhan, tetapi berpartisipasi dalam keberadaan-Nya.³⁴

Partisipasi ini (participatio entis) berarti bahwa setiap makhluk memperoleh keberadaannya secara terbatas dari Tuhan yang adalah keberadaan itu sendiri.³⁵ Hubungan ini bersifat ontologis, bukan spasial: Tuhan hadir dalam segala sesuatu sebagai penyebab keberadaannya tanpa menjadi bagian dari dunia.³⁶ Dengan demikian, dunia memiliki keberadaan yang nyata namun bergantung secara mutlak pada sumber keberadaannya yang transenden.³⁷

8.6.       Providensia dan Tatanan Kosmik

Dalam Summa Contra Gentiles, Aquinas menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya pencipta tetapi juga pemelihara (conservator) dan pengatur (gubernator) dunia.³⁸ Melalui providensia ilahi (providentia divina), segala sesuatu diarahkan menuju tujuan sesuai dengan tatanan kebijaksanaan Tuhan.³⁹ Meski demikian, providensia tidak meniadakan kebebasan makhluk, sebab Tuhan mengatur dunia melalui sebab-sebab sekunder yang bertindak sesuai kodratnya.⁴⁰

Dengan prinsip ini, Aquinas menolak pandangan deterministik maupun deistik. Tuhan tidak mengendalikan dunia seperti mesin, tetapi menopang dan menggerakkannya dari dalam tatanan keberadaan.⁴¹ Segala perubahan alam dan tindakan manusia terjadi dalam kerangka partisipasi aktif dalam kehendak Tuhan, yang menjadi dasar moral dan teleologis seluruh ciptaan.⁴²


Kesimpulan Teologi dan Metafisika Tuhan

Teologi dan metafisika Tuhan dalam Thomisme merupakan puncak refleksi rasional tentang keberadaan sebagai partisipasi dalam realitas ilahi. Tuhan bukan sekadar objek iman, tetapi dasar metafisis dari segala realitas. Melalui prinsip actus purus, ipsum esse subsistens, dan analogia entis, Thomas Aquinas menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dapat dijangkau oleh akal tanpa meniadakan wahyu. Dengan demikian, teologi Thomistik menjadi sintesis antara iman dan rasio, antara filsafat dan wahyu—suatu paradigma metafisis yang tetap relevan dalam dialog antara filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan modern.⁴³


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 301–303.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 355–357.

[4]                Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.1.

[5]                Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 115–117.

[6]                Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 93–94.

[7]                Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.16.

[8]                Aquinas, De Ente et Essentia, c.4.

[9]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 308–310.

[10]             Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 121–122.

[11]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[12]             Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), VIII.5.

[13]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 313.

[14]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 359–360.

[15]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[16]             Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 82–84.

[17]             Gilson, Being and Some Philosophers, 97.

[18]             Kenny, Aquinas on Being, 120–121.

[19]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.7.

[20]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 318–319.

[21]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 363.

[22]             Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.28.

[23]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 127.

[24]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.10, a.2.

[25]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 322–323.

[26]             Erich Przywara, Analogia Entis: Metaphysics: Original Structure and Universal Rhythm (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2014), 41–43.

[27]             Ibid., 44.

[28]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 326.

[29]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 108–110.

[30]             Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 58–60.

[31]             Przywara, Analogia Entis, 52.

[32]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.45, a.1.

[33]             Gilson, Being and Some Philosophers, 103–105.

[34]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 368.

[35]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 329.

[36]             Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.69.

[37]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 131–132.

[38]             Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.64.

[39]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 333–334.

[40]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 372.

[41]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 90–92.

[42]             Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 72–73.

[43]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 193–195.


9.           Pengaruh dan Perkembangan Thomisme

Thomisme, sebagai sistem filsafat dan teologi yang dibangun oleh Thomas Aquinas, memiliki pengaruh yang mendalam dan berkelanjutan dalam sejarah pemikiran Barat, khususnya di dalam Gereja Katolik.¹ Sejak abad ke-13 hingga masa kontemporer, Thomisme mengalami perkembangan dinamis yang mencerminkan kemampuannya beradaptasi dengan perubahan intelektual, sosial, dan ilmiah tanpa kehilangan esensi metafisis dan teologisnya.² Ia bukan sekadar doktrin skolastik, melainkan tradisi intelektual yang hidup—terus menafsirkan kembali hubungan antara akal, iman, dan realitas.³

9.1.       Penerimaan Thomisme di Abad Pertengahan

Pada masa hidupnya, pemikiran Thomas Aquinas sempat menimbulkan kontroversi, terutama di Universitas Paris, karena penggunaan intensif terhadap filsafat Aristoteles yang sebelumnya dianggap berbahaya bagi teologi Kristen.⁴ Namun, setelah wafatnya (1274), ajarannya semakin diakui, dan pada 1277, sebagian tesisnya sempat dikecam oleh Uskup Tempier, tetapi segera direhabilitasi.⁵ Pada 1323, Aquinas dikanonisasi sebagai santo oleh Paus Yohanes XXII, dan pada 1567, ia dinyatakan sebagai Doctor Ecclesiae (Guru Gereja).⁶

Dalam Konsili Trente (1545–1563), karya Summa Theologica dijadikan salah satu referensi utama bagi pembentukan doktrin Katolik, terutama dalam perdebatan melawan Reformasi Protestan.⁷ Dengan demikian, Thomisme menjadi kerangka teologis resmi Gereja Katolik, menegaskan hubungan harmonis antara rasio dan wahyu.⁸

9.2.       Neothomisme dan Ensiklik Aeterni Patris

Kebangkitan besar Thomisme terjadi pada abad ke-19 melalui gerakan Neothomisme, yang dipelopori oleh ensiklik Aeterni Patris (1879) yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII.⁹ Ensiklik ini menyerukan “kembali kepada filsafat Santo Thomas” sebagai dasar pendidikan teologi dan filsafat Katolik modern.¹⁰

Gerakan Neothomisme menandai revitalisasi rasionalitas metafisis di tengah krisis modernitas yang dipicu oleh positivisme, materialisme, dan skeptisisme moral.¹¹ Tokoh-tokoh seperti Giovanni Cornoldi, Tommaso Zigliara, dan Josef Kleutgen menekankan bahwa pemikiran Aquinas mampu menjawab tantangan filsafat modern dengan mempertahankan integritas iman dan akal.¹²

Neothomisme kemudian menjadi dasar kurikulum resmi di seminari Katolik dan universitas-universitas kepausan, seperti Universitas Santo Thomas (Angelicum) di Roma.¹³ Bahkan, pada awal abad ke-20, filsafat Thomistik diinstitusionalisasi melalui Pontifical Academy of St. Thomas Aquinas dan menjadi tolok ukur ortodoksi intelektual Katolik.¹⁴

9.3.       Thomisme dan Filsafat Modern

Meskipun berbasis pada metafisika abad pertengahan, Thomisme menunjukkan kemampuan luar biasa untuk berdialog dengan pemikiran modern.¹⁵ Tokoh seperti Jacques Maritain dan Étienne Gilson menafsirkan kembali Thomisme secara eksistensialis dan humanistik, menekankan dimensi personal dan moral dalam keberadaan manusia.¹⁶

Maritain, misalnya, mengembangkan konsep “humanisme integral”, yang memandang manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual yang terpanggil untuk berpartisipasi dalam kebaikan ilahi melalui tatanan sosial-politik yang adil.¹⁷ Gilson, di sisi lain, memperkenalkan eksistensialisme Thomistik, yang menempatkan actus essendi sebagai inti realitas metafisis, mendahului esensi sebagaimana ditegaskan oleh Aquinas.¹⁸

Sementara itu, Reginald Garrigou-Lagrange mengembangkan Neothomisme klasik yang sangat sistematis, menjadi pengaruh besar bagi teologi skolastik di abad ke-20 dan berperan penting dalam pembentukan teologi Katolik pra-Konsili Vatikan II.¹⁹

9.4.       Thomisme dan Konsili Vatikan II

Meskipun Konsili Vatikan II (1962–1965) membuka Gereja Katolik terhadap dialog dengan dunia modern dan berbagai tradisi teologis baru, Thomisme tetap menjadi fondasi konseptual teologi Katolik kontemporer.²⁰ Prinsip-prinsip Thomistik, seperti hukum kodrat, kesatuan iman dan akal, serta konsep partisipasi dalam kebenaran ilahi, diintegrasikan ke dalam dokumen-dokumen konsili seperti Gaudium et Spes dan Dei Verbum.²¹

Para teolog pasca-konsili, seperti Henri de Lubac, Yves Congar, dan Karl Rahner, tetap memanfaatkan kerangka Thomistik—meski dalam bentuk hermeneutika baru—untuk memahami hubungan antara rahmat, sejarah, dan eksistensi manusia.²² Rahner, misalnya, menafsirkan konsep analogia entis secara transendental, menekankan bahwa setiap pengalaman manusia mengandaikan kehadiran Tuhan yang imanen dalam kesadaran.²³

Dengan demikian, Thomisme tidak ditinggalkan, tetapi ditransformasikan menjadi paradigma dialogis yang mampu menampung dimensi fenomenologis dan eksistensial dari pengalaman iman modern.²⁴

9.5.       Relevansi Thomisme dalam Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Pada abad ke-21, Thomisme terus mengalami kebangkitan dalam bentuk “Analytic Thomism”, yang menggabungkan ketelitian logis filsafat analitik dengan kedalaman metafisis Aquinas.²⁵ Tokoh-tokoh seperti John Haldane, Eleonore Stump, dan Brian Davies mengembangkan pendekatan ini untuk menjelaskan argumen tentang Tuhan, moralitas, dan kesadaran dengan bahasa analitik modern.²⁶

Selain itu, beberapa filsuf kontemporer seperti David Oderberg dan Edward Feser menggunakan Thomisme untuk menanggapi materialisme ilmiah dan skeptisisme epistemologis, menunjukkan bahwa prinsip actus et potentia serta causa finalis tetap relevan bagi filsafat sains.²⁷

Dalam teologi, Thomisme juga menjadi dasar bagi diskusi etika bioetik, hukum alam, dan teologi lingkungan, menegaskan kembali bahwa rasio dan iman dapat bekerja sama dalam memahami dan menata dunia yang kompleks.²⁸


Kesimpulan Pengaruh dan Perkembangan Thomisme

Sejarah pengaruh Thomisme menunjukkan bahwa sistem Aquinas bukanlah dogma statis, melainkan tradisi intelektual yang terbuka dan dialogis. Ia berhasil melewati berbagai zaman—dari skolastik abad pertengahan hingga filsafat analitik modern—karena kekuatan prinsip-prinsip dasarnya: realisme metafisik, integrasi antara iman dan rasio, serta pandangan teleologis tentang manusia dan dunia. Thomisme tetap menjadi model rasionalitas yang menyatukan kebenaran filosofis dan teologis, sekaligus menghadirkan paradigma pemikiran yang relevan bagi manusia modern yang mencari makna di tengah kemajuan ilmu dan krisis spiritualitas.²⁹


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 339–341.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 375–377.

[3]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 133–134.

[4]                Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 125–127.

[5]                David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1962), 211.

[6]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 345.

[7]                Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 382.

[8]                Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 95.

[9]                Leo XIII, Aeterni Patris (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1879).

[10]             Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 108.

[11]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 77–78.

[12]             Gerald A. McCool, From Unity to Pluralism: The Internal Evolution of Thomism (New York: Fordham University Press, 1992), 15–17.

[13]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 387.

[14]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 202–203.

[15]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 137.

[16]             Jacques Maritain, Humanisme intégral (Paris: Aubier, 1936), 9–10.

[17]             Maritain, Integral Humanism: Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1968), 25–27.

[18]             Gilson, Being and Some Philosophers, 112–114.

[19]             Reginald Garrigou-Lagrange, Reality: A Synthesis of Thomistic Thought (St. Louis: B. Herder Book Co., 1950), 5–6.

[20]             Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, Vol. 9 (New York: Image Books, 1994), 42–43.

[21]             Second Vatican Council, Gaudium et Spes (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1965), §16–17.

[22]             Henri de Lubac, Surnaturel: Études historiques (Paris: Aubier, 1946), 311–312.

[23]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 130–132.

[24]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 208–210.

[25]             John Haldane, “Analytic Philosophy and Thomism,” The Monist 80, no. 4 (1997): 536–552.

[26]             Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 7–9.

[27]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 15–18.

[28]             David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 190–192.

[29]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 352–354.


10.       Kritik terhadap Thomisme

Meskipun Thomisme memiliki pengaruh yang luas dan mendalam dalam sejarah filsafat dan teologi, ia juga menjadi sasaran kritik dari berbagai tradisi intelektual sepanjang zaman. Kritik terhadap Thomisme mencakup dimensi epistemologis, metafisis, teologis, dan historis, yang datang dari kalangan nominalis abad pertengahan, rasionalis modern, empiris dan skeptis, hingga eksistensialis dan fenomenolog abad ke-20.¹ Namun, justru melalui kritik-kritik ini, sistem Thomistik memperlihatkan daya hidupnya sebagai kerangka yang terus diuji dan diperbaharui.²

10.1.    Kritik dari Nominalisme Abad Pertengahan

Kritik paling awal terhadap Thomisme muncul dari mazhab nominalisme, terutama oleh William dari Ockham (1287–1347).³ Ockham menolak dasar realisme metafisik Aquinas yang mengandaikan adanya universal yang eksis secara objektif.⁴ Bagi Ockham, hanya individu yang nyata (res particulares), sementara universal hanyalah konsep mental (flatus vocis) yang digunakan untuk menyebut kesamaan antara hal-hal tertentu.⁵

Pandangan ini mengguncang ontologi Thomistik yang berpijak pada prinsip partisipasi dalam keberadaan (participatio entis). Dalam kerangka nominalisme, hubungan antara Tuhan dan dunia menjadi bersifat voluntaristik—didasarkan pada kehendak mutlak Tuhan, bukan pada keteraturan rasional ciptaan.⁶ Akibatnya, prinsip analogi keberadaan dan hukum kodrat kehilangan fondasi metafisisnya.⁷

Meski Aquinas menekankan keselarasan antara akal dan iman, kaum nominalis menganggap pendekatannya terlalu “rasionalistik” dalam urusan teologi, karena berusaha menjelaskan misteri iman melalui logika manusia.⁸ Kritik ini menandai awal pergeseran dari realisme metafisik skolastik menuju empirisme modern.⁹

10.2.    Kritik dari Rasionalisme dan Empirisisme Modern

Pada masa modern, Thomisme menghadapi tantangan serius dari rasionalisme Descartesian dan empirisisme Humean.¹⁰ René Descartes menolak fondasi metafisika Aristotelian-Thomistik yang menekankan aktualitas dan potensi, dan menggantinya dengan epistemologi berbasis kesadaran subjektif (cogito ergo sum).¹¹ Dengan demikian, pusat pengetahuan berpindah dari realitas eksternal ke subjek berpikir.

Sementara itu, David Hume menolak prinsip kausalitas yang menjadi dasar quinque viae Aquinas.¹² Menurut Hume, hubungan sebab-akibat bukanlah relasi niscaya di dunia, melainkan kebiasaan asosiasi dalam pikiran manusia.¹³ Hal ini melemahkan argumen metafisis Thomistik tentang Tuhan sebagai causa prima.

Selain itu, Immanuel Kant juga menolak kemungkinan metafisika spekulatif yang berusaha membuktikan Tuhan secara rasional.¹⁴ Dalam Critique of Pure Reason, Kant berpendapat bahwa konsep “Tuhan” bukanlah objek pengetahuan, melainkan ide regulatif bagi rasio praktis.¹⁵ Akibatnya, fondasi rasional teologi natural Thomistik dianggap tidak valid dalam batas epistemologi transendental.¹⁶

Kritik-kritik ini menyebabkan Thomisme kehilangan dominasi akademiknya di Eropa modern, digantikan oleh rasionalisme, idealisme, dan empirisme yang lebih berorientasi pada kesadaran atau pengalaman inderawi.¹⁷

10.3.    Kritik dari Eksistensialisme dan Fenomenologi

Abad ke-20 menyaksikan munculnya eksistensialisme (Kierkegaard, Heidegger, Sartre) dan fenomenologi (Husserl, Merleau-Ponty) yang mengkritik sifat “abstrak” dan “impersonal” dari metafisika Thomistik.¹⁸

Martin Heidegger, misalnya, menuduh filsafat metafisis sejak Aristoteles hingga Aquinas telah melupakan makna sejati keberadaan (Seinsvergessenheit).¹⁹ Menurut Heidegger, konsep esse dalam Thomisme masih dipahami secara ontis (sebagai keberadaan sesuatu), bukan secara ontologis (makna menjadi itu sendiri).²⁰ Dengan demikian, metafisika Thomistik dianggap menutup kemungkinan pemahaman eksistensial tentang Dasein.

Di sisi lain, Jean-Paul Sartre menolak gagasan esensi yang mendahului eksistensi, sebuah prinsip yang berlawanan langsung dengan metafisika actus essendi Aquinas.²¹ Baginya, manusia tidak memiliki hakikat tetap yang diberikan Tuhan; eksistensi mendahului esensi. Kritik Sartre ini menyoroti bahwa sistem Thomistik terlalu deterministik dan meniadakan kebebasan radikal manusia.²²

Namun demikian, sejumlah pemikir seperti Étienne Gilson dan Jacques Maritain menanggapi kritik ini dengan mengembangkan eksistensialisme Thomistik, yang menekankan bahwa esse dalam Thomisme justru adalah “tindakan eksistensi”—suatu dinamika yang terbuka dan partisipatif, bukan substansi statis.²³

10.4.    Kritik dari Perspektif Teologi Reformasi

Dari sisi teologi, Martin Luther dan para reformator Protestan menolak pendekatan skolastik Aquinas yang dianggap terlalu mengandalkan akal dalam memahami iman.²⁴ Luther menyebut filsafat skolastik sebagai “pelacur teologi” karena mencoba menundukkan misteri wahyu kepada sistem rasional Aristotelian.²⁵

Menurut Luther, hubungan antara manusia dan Tuhan tidak dapat dijelaskan melalui hukum kodrat atau akal budi alamiah, tetapi hanya melalui iman kepada rahmat Kristus.²⁶ Kritik ini berlanjut pada teologi Reformed seperti Karl Barth, yang menolak analogia entis sebagai “penemuan antikristus,” karena dianggap meniadakan jarak radikal antara Tuhan dan ciptaan.²⁷ Barth berpendapat bahwa manusia hanya dapat mengenal Tuhan melalui pewahyuan langsung, bukan melalui rasio atau analogi metafisis.²⁸

Kritik Protestan ini mengguncang kepercayaan skolastik terhadap kesinambungan antara akal dan iman, dan menyoroti risiko teologi natural yang dapat mereduksi transendensi Tuhan.²⁹

10.5.    Kritik dari Positivisme dan Filsafat Analitik Awal

Thomisme juga dikritik oleh kaum positivis logis pada abad ke-20, seperti A.J. Ayer dan Rudolf Carnap, yang menolak seluruh proposisi metafisika sebagai nonsens.³⁰ Menurut mereka, pernyataan seperti “Tuhan adalah keberadaan itu sendiri” tidak dapat diverifikasi secara empiris dan karenanya tidak bermakna secara ilmiah.³¹

Dalam pandangan positivis, teologi metafisis Thomistik dianggap tidak ilmiah karena gagal memenuhi kriteria verifikasi.³² Meski kritik ini melemah seiring dengan keruntuhan positivisme, ia menunjukkan ketegangan antara epistemologi empiris modern dan rasionalisme metafisik klasik.³³

10.6.    Kritik Internal dan Reinterpretasi Kontemporer

Bahkan di dalam Gereja Katolik sendiri, muncul kritik terhadap bentuk Neothomisme klasik yang dianggap terlalu skolastik dan rigid.³⁴ Para teolog nouvelle théologie seperti Henri de Lubac dan Yves Congar menilai bahwa Neothomisme pasca-ensiklik Aeterni Patris telah kehilangan vitalitas eksistensial Aquinas yang sebenarnya.³⁵ Mereka menuntut hermeneutika historis terhadap teks Aquinas, agar Thomisme tidak terjebak dalam skolastisisme manualistik.³⁶

Di era kontemporer, muncul gerakan Analytic Thomism, dipelopori oleh John Haldane, Eleonore Stump, dan Brian Davies, yang berupaya menafsirkan kembali Aquinas dengan perangkat filsafat analitik modern.³⁷ Gerakan ini merupakan respons terhadap kritik-kritik sebelumnya, dengan menunjukkan bahwa argumen metafisis Thomistik masih relevan bila dibaca dengan metodologi logis dan semantik kontemporer.³⁸


Kesimpulan Kritik terhadap Thomisme

Kritik terhadap Thomisme, baik dari nominalisme, rasionalisme, empirisisme, eksistensialisme, maupun teologi reformasi, menunjukkan bahwa sistem Aquinas selalu berada di persimpangan antara rasionalitas dan iman, universalitas dan partikularitas. Namun, daya tahan Thomisme justru terletak pada kemampuannya untuk berdialog dengan kritik dan mereformulasikan diri tanpa kehilangan fondasi metafisisnya. Dalam sejarah intelektual Barat, Thomisme tetap menjadi titik temu antara teologi dan filsafat—suatu sistem yang, meskipun dikritik, selalu berhasil memperbarui dirinya sebagai tradisi rasional yang terbuka dan dinamis.³⁹


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 355–357.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 390–392.

[3]                William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 1951), I, c.14.

[4]                Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 117–118.

[5]                Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 398.

[6]                Heiko A. Oberman, The Harvest of Medieval Theology (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1963), 111–113.

[7]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 141.

[8]                Anthony Kenny, Aquinas on Being (Oxford: Clarendon Press, 2002), 129–131.

[9]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 205–206.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), II.

[11]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 360.

[12]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1748), IV.

[13]             Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 59–60.

[14]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A592/B620.

[15]             Gilson, Being and Some Philosophers, 120–122.

[16]             Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 97.

[17]             Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, 63.

[18]             Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Niemeyer, 1927), §2.

[19]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 364.

[20]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 140–142.

[21]             Jean-Paul Sartre, L’Être et le néant (Paris: Gallimard, 1943), 25–26.

[22]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 145–146.

[23]             Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 73–75.

[24]             Martin Luther, Disputation Against Scholastic Theology (1517), §50–51.

[25]             Heiko A. Oberman, Luther: Man Between God and the Devil (New Haven: Yale University Press, 1989), 205.

[26]             Copleston, A History of Philosophy: Renaissance and Reformation (New York: Image Books, 1993), 114–116.

[27]             Karl Barth, Church Dogmatics I/1, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 238.

[28]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 212.

[29]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 103.

[30]             A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 31.

[31]             Rudolf Carnap, The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis of Language (Vienna: Logical Empiricist Circle, 1932), 5–6.

[32]             Copleston, A History of Philosophy: Contemporary Philosophy, Vol. 11 (New York: Image Books, 1994), 18.

[33]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 367–368.

[34]             Henri de Lubac, Surnaturel: Études historiques (Paris: Aubier, 1946), 315.

[35]             Yves Congar, True and False Reform in the Church, trans. Paul Philibert (Collegeville, MN: Liturgical Press, 2011), 47.

[36]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 218.

[37]             John Haldane, “Analytic Thomism,” The Monist 80, no. 4 (1997): 530–533.

[38]             Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 12–14.

[39]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 372–374.


11.       Sintesis Filosofis: Thomisme sebagai Model Integrasi Akal dan Iman

Salah satu ciri paling menonjol dari filsafat Thomas Aquinas adalah upayanya untuk mengintegrasikan akal dan iman ke dalam suatu sistem sintesis rasional yang koheren.¹ Ia tidak melihat keduanya sebagai kekuatan yang saling bertentangan, tetapi sebagai dua jalan menuju satu kebenaran yang sama: kebenaran tentang Tuhan dan ciptaan-Nya.² Dalam sistem Thomistik, akal (ratio) dan iman (fides) dipersatukan dalam struktur pengetahuan yang hierarkis dan saling melengkapi, di mana rasio berperan sebagai instrumen untuk memahami dan menjelaskan iman, sedangkan iman memberikan orientasi akhir bagi akal menuju kebenaran ilahi.³

11.1.    Prinsip Kesatuan Kebenaran (Unitas Veritatis)

Aquinas meyakini bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran wahyu dan kebenaran rasional karena keduanya bersumber dari Tuhan yang sama sebagai Kebenaran Tertinggi (Deus est Veritas).⁴ Dalam Summa Contra Gentiles, ia menulis bahwa “apa pun yang benar, dari mana pun datangnya, berasal dari Roh Kudus.”⁵ Prinsip ini dikenal sebagai kesatuan kebenaran (unitas veritatis), yang menjadi landasan epistemologis bagi sintesis antara filsafat dan teologi.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan nalar manusia tidak bertentangan dengan iman, tetapi justru menegaskan kebenaran iman dalam ranah natural.⁶ Akal manusia, walau terbatas, memiliki kemampuan untuk mengenali jejak Tuhan dalam ciptaan (vestigia Dei in rebus creatis).⁷ Iman kemudian menyempurnakan pengetahuan itu dengan mengangkatnya pada level supernatural.⁸

11.2.    Hierarki Pengetahuan: Rasionalitas dan Wahyu

Bagi Aquinas, terdapat dua tingkatan pengetahuan: pengetahuan natural (scientia naturalis) yang bersumber dari akal budi, dan pengetahuan teologis (scientia divina) yang bersumber dari wahyu.⁹ Pengetahuan rasional mempelajari Tuhan sejauh Ia dapat diketahui melalui ciptaan (teologi natural), sedangkan pengetahuan teologis menjelaskan Tuhan sebagaimana Ia mewahyukan diri-Nya melalui Kitab Suci.¹⁰

Keduanya membentuk hierarki epistemologis yang saling menunjang: rasio memberikan fondasi bagi iman, dan iman memperluas cakrawala rasio.¹¹ Dengan demikian, akal tidak dihapuskan oleh iman, tetapi diarahkan dan disempurnakan olehnya—sebagaimana prinsip klasik Aquinas: “Gratia non tollit naturam, sed perficit eam” (“Rahmat tidak meniadakan kodrat, tetapi menyempurnakannya”).¹²

Dalam sintesis ini, filsafat bertindak sebagai pelayan teologi (ancilla theologiae), bukan karena inferioritas epistemologis, tetapi karena ia berfungsi mempersiapkan jalan bagi pengetahuan iman melalui argumentasi rasional.¹³

11.3.    Filsafat sebagai Jalan Menuju Teologi

Aquinas memandang filsafat sebagai praambula fidei—pendahulu bagi iman.¹⁴ Filsafat tidak dapat membuktikan seluruh kebenaran wahyu, tetapi dapat menunjukkan bahwa iman tidak bertentangan dengan rasio.¹⁵ Melalui filsafat, manusia dapat mencapai kebenaran-kebenaran dasar seperti keberadaan Tuhan, keberadaan jiwa yang immaterial, dan prinsip moral kodrati.¹⁶

Di sinilah letak kekuatan sintesis Thomistik: filsafat berfungsi sebagai fondasi rasional bagi teologi, sementara teologi memberikan arah dan tujuan bagi filsafat.¹⁷ Dengan menolak fideisme (yang meniadakan akal) maupun rasionalisme ekstrem (yang meniadakan iman), Aquinas menawarkan jalan tengah berupa realisme teologis, yakni pengakuan bahwa realitas dunia dapat dipahami secara rasional karena diciptakan oleh Tuhan yang rasional.¹⁸

11.4.    Analogitas sebagai Jembatan antara Filsafat dan Teologi

Dalam konteks hubungan antara akal dan iman, konsep analogi keberadaan (analogia entis) memainkan peranan sentral.¹⁹ Melalui analogi, bahasa manusia dapat berbicara tentang Tuhan secara bermakna tanpa mengabsolutkan konsep-konsep manusiawi.²⁰ Artinya, pernyataan teologis tentang Tuhan memiliki makna sejati meskipun tidak sempurna, karena semua ciptaan mencerminkan keberadaan Ilahi secara proporsional.²¹

Dengan analogia entis, Aquinas berhasil menjembatani jurang antara metafisika dan teologi: filsafat berbicara tentang keberadaan sebagai keberadaan, sedangkan teologi berbicara tentang keberadaan tertinggi sebagai sumber keberadaan.²² Keduanya bertemu dalam prinsip partisipasi (participatio entis), di mana seluruh realitas mengambil bagian dalam keberadaan Tuhan.²³

11.5.    Integrasi Etika, Metafisika, dan Teologi

Sintesis akal dan iman dalam Thomisme tidak berhenti pada ranah epistemologi, tetapi juga menjangkau dimensi etika dan metafisika.²⁴ Etika Thomistik, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, berakar pada hukum kodrat yang ditangkap oleh rasio manusia, tetapi tujuan akhirnya adalah kebahagiaan sempurna dalam persatuan dengan Tuhan (beatitudo perfecta).²⁵

Dengan demikian, tindakan moral manusia memiliki dua dimensi: natural dan supernatural.²⁶ Dalam ranah natural, rasio manusia menentukan kebaikan melalui prinsip hukum kodrat; dalam ranah supernatural, rahmat menyempurnakan kehendak agar dapat mencapai tujuan akhir ilahi.²⁷ Melalui integrasi ini, Aquinas mengatasi dikotomi antara moralitas duniawi dan kesempurnaan rohani, menegaskan bahwa rasionalitas moral adalah jalan menuju spiritualitas yang sejati.²⁸

11.6.    Rasionalitas sebagai Partisipasi dalam Logos Ilahi

Dalam pandangan Thomistik, akal manusia (ratio humana) merupakan partisipasi dalam rasio ilahi (Logos Divinus).²⁹ Artinya, setiap aktivitas berpikir manusia, sejauh diarahkan pada kebenaran, merupakan partisipasi dalam kebijaksanaan Tuhan.³⁰ Ini menjadi dasar bagi keyakinan Aquinas bahwa kegiatan intelektual memiliki nilai spiritual—mengetahui berarti mengambil bagian dalam kebenaran yang lebih tinggi.³¹

Dengan demikian, pencarian kebenaran ilmiah atau filosofis bukanlah kegiatan sekuler yang terpisah dari iman, tetapi bagian dari ziarah intelektual menuju Sang Kebenaran itu sendiri.³² Dalam hal ini, Thomisme menampilkan spiritualitas rasional: akal bukan lawan iman, melainkan instrumen yang menyinari jalan iman.³³

11.7.    Relevansi Sintesis Thomistik di Dunia Modern

Di tengah krisis modernitas yang ditandai oleh relativisme, sekularisme, dan fragmentasi pengetahuan, sintesis Thomistik kembali menunjukkan relevansinya.³⁴ Model integratif Aquinas memberikan kerangka konseptual untuk menyatukan ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi dalam visi dunia yang rasional dan bermakna.³⁵

Neothomisme abad ke-20 dan Analytic Thomism abad ke-21 menunjukkan bahwa prinsip-prinsip Thomistik—seperti keteraturan rasional dunia, keterpaduan antara iman dan akal, serta teleologi moral—masih dapat diterapkan untuk menjawab tantangan epistemologi dan etika kontemporer.³⁶ Oleh karena itu, sintesis Aquinas bukan sekadar warisan abad pertengahan, melainkan paradigma abadi bagi dialog antara iman dan rasio, wahyu dan ilmu, serta agama dan modernitas.³⁷


Kesimpulan Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis Thomistik menghadirkan visi integral tentang manusia, pengetahuan, dan Tuhan. Dengan menempatkan akal dan iman dalam hubungan koheren yang saling memperkaya, Thomas Aquinas membangun model berpikir yang menghindari ekstrem rasionalisme dan fideisme.³⁸ Ia menegaskan bahwa seluruh kebenaran, baik yang dicapai melalui filsafat maupun wahyu, berpuncak pada satu sumber yang sama—Tuhan sebagai Veritas Prima.³⁹ Dalam konteks inilah, Thomisme layak disebut sebagai model klasik integrasi akal dan iman, sekaligus landasan bagi filsafat dan teologi yang rasional, dialogis, dan terbuka terhadap perkembangan zaman.⁴⁰


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 375–377.

[2]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 149–150.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 393–395.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.6.

[5]                Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7.

[6]                Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 129–130.

[7]                Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 110.

[8]                Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 138–140.

[9]                Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.1.

[10]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 380.

[11]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 398.

[12]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[13]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 152.

[14]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 219.

[15]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 84.

[16]             Gilson, Being and Some Philosophers, 133–134.

[17]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 115–116.

[18]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 155–157.

[19]             Erich Przywara, Analogia Entis: Metaphysics: Original Structure and Universal Rhythm (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2014), 61–63.

[20]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 385.

[21]             Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 81–82.

[22]             Gilson, Being and Some Philosophers, 136.

[23]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 156.

[24]             Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 401.

[25]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3, a.2.

[26]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 387.

[27]             Pieper, Faith, Hope, Love (San Francisco: Ignatius Press, 1997), 31.

[28]             Maritain, Integral Humanism: Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1968), 34–35.

[29]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.93, a.4.

[30]             Gilson, Being and Some Philosophers, 139.

[31]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 158–159.

[32]             Rahner, Spirit in the World, 162.

[33]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 391.

[34]             Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, Vol. 9 (New York: Image Books, 1994), 69.

[35]             John Haldane, “Analytic Thomism,” The Monist 80, no. 4 (1997): 540.

[36]             Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 15–17.

[37]             Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 12–13.

[38]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 225.

[39]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.5.

[40]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 394–396.


12.       Relevansi Kontemporer

Pemikiran Thomas Aquinas, meskipun lahir di abad ke-13, tetap memiliki relevansi yang mendalam dalam konteks intelektual, moral, dan spiritual dunia kontemporer.¹ Di tengah krisis modernitas—yang ditandai oleh relativisme etis, fragmentasi pengetahuan, dan sekularisasi nilai—Thomisme menawarkan suatu sintesis rasional dan spiritual yang mampu menjembatani antara iman dan ilmu, antara metafisika dan sains, serta antara moralitas dan politik.² Relevansi ini terletak pada daya sistem Thomistik untuk menghadirkan integrasi antara akal budi, realitas, dan iman sebagai dimensi komplementer dari eksistensi manusia.³

12.1.    Thomisme dan Krisis Rasionalitas Modern

Dunia modern sering dicirikan oleh krisis rasionalitas, di mana rasio direduksi menjadi instrumen teknologis tanpa orientasi moral atau teleologis.⁴ Thomas Aquinas, dengan prinsip ordo rationis (tatanan rasional), menegaskan bahwa rasio manusia memiliki arah intrinsik menuju kebenaran dan kebaikan.⁵ Dalam Summa Theologica, ia menunjukkan bahwa berpikir benar berarti menyesuaikan intelek dengan realitas yang tertib (adaequatio intellectus ad rem).⁶

Dalam konteks kontemporer, prinsip ini menjadi kritik terhadap relativisme epistemologis dan nihilisme ontologis yang menolak kebenaran objektif.⁷ Thomisme mengingatkan bahwa akal budi tidak hanya berfungsi untuk menguasai dunia, tetapi untuk mengenal tatanan kebenaran yang lebih tinggi yang menopang eksistensi manusia.⁸ Karena itu, pemikiran Aquinas dapat menjadi dasar bagi rasionalitas humanistik—yakni penggunaan akal dalam pelayanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan transendensi.⁹

12.2.    Relevansi Etika Thomistik dalam Dunia Sekular

Etika Thomistik, yang berakar pada hukum kodrat (lex naturalis), menawarkan kerangka moral universal yang melampaui batas agama atau budaya.¹⁰ Dalam situasi pluralisme dan relativisme moral dewasa ini, hukum kodrat dapat berfungsi sebagai dasar etika publik yang berbasis pada rasionalitas dan martabat manusia.¹¹

Aquinas menegaskan bahwa kebaikan moral tidak berasal dari kehendak subjektif, tetapi dari partisipasi akal manusia dalam hukum kekal Tuhan (lex aeterna).¹² Dengan demikian, tindakan manusia memiliki nilai moral sejauh ia sejalan dengan kodrat rasionalnya.¹³ Prinsip ini sangat relevan dalam diskursus bioetika, keadilan sosial, dan politik global, di mana dibutuhkan kerangka normatif yang objektif dan rasional.¹⁴

Bahkan dalam konteks sekular, banyak pemikir modern—seperti Alasdair MacIntyre—menghidupkan kembali etika kebajikan Thomistik sebagai alternatif terhadap etika utilitarian dan deontologis.¹⁵ Menurut MacIntyre, Thomisme menyediakan model moralitas yang berakar pada telos manusia sebagai makhluk yang diarahkan pada kebaikan dan komunitas, bukan sekadar individu otonom.¹⁶

12.3.    Thomisme dan Dialog antara Iman dan Ilmu Pengetahuan

Salah satu kontribusi terbesar Thomisme terhadap dunia modern adalah kerangka dialog antara teologi dan ilmu pengetahuan.¹⁷ Aquinas menegaskan bahwa kebenaran ilmiah dan kebenaran teologis tidak mungkin bertentangan, karena keduanya berasal dari sumber yang sama: Tuhan sebagai kebenaran absolut.¹⁸

Dalam era sains dan teknologi yang mendominasi pemikiran manusia, pendekatan Thomistik dapat berperan sebagai fondasi epistemologis untuk integrasi antara sains dan filsafat.¹⁹ Konsep actus et potentia, misalnya, dapat dipakai untuk memahami dinamika alam semesta modern yang terus berkembang tanpa menghapus prinsip kausalitas metafisis.²⁰

Lebih jauh, teologi penciptaan Aquinas yang menekankan creatio ex nihilo serta keteraturan hukum kodrat memberikan dasar teologis bagi pendekatan ekologis yang berkelanjutan.²¹ Dalam konteks krisis lingkungan global, pandangan ini memperkuat kesadaran bahwa alam bukan sekadar objek eksploitasi teknologis, melainkan manifestasi dari kebijaksanaan dan kebaikan Tuhan.²²

12.4.    Thomisme dalam Filsafat Kontemporer: Neothomisme dan Analytic Thomism

Abad ke-20 menyaksikan kebangkitan besar Thomisme melalui gerakan Neothomisme, yang dihidupkan kembali oleh Paus Leo XIII dalam ensiklik Aeterni Patris (1879).²³ Namun pada abad ke-21, muncul bentuk baru yang dikenal sebagai Analytic Thomism, dipelopori oleh filsuf seperti John Haldane, Eleonore Stump, dan Brian Davies.²⁴

Analytic Thomism berupaya menggabungkan ketelitian logis filsafat analitik dengan kedalaman metafisis Aquinas.²⁵ Melalui pendekatan ini, argumen-argumen Thomistik tentang keberadaan Tuhan, moralitas, dan kesadaran direformulasi dengan bahasa dan metodologi kontemporer.²⁶ Misalnya, argumen kausal Aquinas diinterpretasi ulang dengan logika modal, dan konsep actus essendi dibaca ulang dalam kerangka ontologi eksistensialis.²⁷

Pendekatan ini menunjukkan bahwa Thomisme bukan sistem tertutup, tetapi kerangka terbuka yang mampu berinteraksi secara produktif dengan tradisi intelektual modern.²⁸ Dengan demikian, ia tetap hidup sebagai philosophia perennis—filsafat abadi yang dapat menafsirkan dunia dalam berbagai zaman.²⁹

12.5.    Dimensi Spiritual dan Kultural Thomisme

Selain relevansi filosofis dan etis, Thomisme juga menawarkan dimensi spiritual dan kultural yang penting bagi manusia modern.³⁰ Dalam dunia yang ditandai oleh alienasi eksistensial dan kehilangan makna, pandangan Thomistik tentang manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual memberikan kerangka antropologis yang utuh.³¹

Aquinas menegaskan bahwa tujuan akhir manusia adalah beatitudo—kebahagiaan dalam persatuan dengan Tuhan.³² Konsep ini tidak hanya teologis, tetapi juga eksistensial: kebahagiaan sejati diperoleh bukan melalui kenikmatan duniawi, tetapi melalui pengenalan akan kebenaran dan kasih yang sempurna.³³ Dengan demikian, Thomisme memberikan fondasi bagi spiritualitas intelektual, di mana berpikir benar dan mencintai kebenaran menjadi bentuk ibadah kepada Sang Pencipta.³⁴

Dalam konteks pendidikan modern, model ini menginspirasi pendekatan pendidikan integral—yakni pengembangan manusia secara menyeluruh: akal, moral, dan iman.³⁵ Hal ini menegaskan kembali bahwa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan iman tidak boleh dipisahkan dalam pembentukan pribadi manusia.³⁶


Kesimpulan Relevansi Kontemporer

Relevansi Thomisme di era kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menyatukan rasionalitas dan spiritualitas, kebenaran ilmiah dan nilai moral, serta iman dan kebudayaan dalam satu pandangan dunia yang harmonis.³⁷ Dalam menghadapi disintegrasi pemikiran modern, sistem Aquinas menawarkan visi integral tentang realitas sebagai tatanan yang rasional, moral, dan transenden.³⁸

Dengan demikian, Thomisme bukan sekadar warisan abad pertengahan, tetapi sebuah paradigma abadi yang mengajarkan bahwa manusia dapat memahami dunia dan dirinya secara benar hanya jika akal dan iman bekerja dalam kesatuan.³⁹ Sebagaimana ditegaskan oleh Étienne Gilson, “Aquinas tidak hanya mengajarkan cara berpikir, tetapi juga cara menjadi manusia yang berakal dan beriman sekaligus.”⁴⁰


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 397–399.

[2]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 161–162.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 405–406.

[4]                Jacques Maritain, Integral Humanism: Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1968), 51.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.1.

[6]                Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 142.

[7]                Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 121–122.

[8]                Anthony Kenny, Aquinas on Mind (New York: Routledge, 1993), 143–144.

[9]                Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 401.

[10]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.94, a.2.

[11]             Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 90.

[12]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.

[13]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 405.

[14]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 165–166.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 182–183.

[16]             Ibid., 186.

[17]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 231–232.

[18]             Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7.

[19]             Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, Vol. 9 (New York: Image Books, 1994), 73.

[20]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 37–38.

[21]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.45, a.1.

[22]             Pope Francis, Laudato Si’ (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §77–79.

[23]             Leo XIII, Aeterni Patris (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1879).

[24]             John Haldane, “Analytic Thomism,” The Monist 80, no. 4 (1997): 536–537.

[25]             Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 21–22.

[26]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 9–10.

[27]             Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 15.

[28]             Gilson, Being and Some Philosophers, 148–149.

[29]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 168.

[30]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 409.

[31]             Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy, 408.

[32]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3, a.8.

[33]             Pieper, Faith, Hope, Love (San Francisco: Ignatius Press, 1997), 42.

[34]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 238.

[35]             Maritain, Education at the Crossroads (New Haven: Yale University Press, 1943), 12–13.

[36]             Gilson, Being and Some Philosophers, 150.

[37]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 172.

[38]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 412–414.

[39]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 91–93.

[40]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 241.


13.       Kesimpulan

Thomisme merupakan salah satu sistem filsafat dan teologi paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat karena kemampuannya menyatukan dua poros besar peradaban intelektual: akal budi Yunani dan iman Kristen.¹ Dalam karya-karyanya, terutama Summa Theologica dan Summa Contra Gentiles, Thomas Aquinas membangun sintesis rasional antara filsafat Aristotelian dengan teologi Katolik, menghasilkan suatu metafisika realistik yang teologis sekaligus rasional

Pada intinya, Thomisme berangkat dari keyakinan bahwa ada keselarasan mendasar antara rasio dan iman, antara kebenaran natural dan kebenaran wahyu.³ Bagi Aquinas, seluruh kebenaran memiliki satu sumber, yakni Tuhan sebagai Veritas Prima.⁴ Rasio manusia, walaupun terbatas, memiliki kemampuan untuk mengenal realitas karena partisipasinya dalam rasio ilahi.⁵ Dari sini muncul prinsip utama Thomistik: gratia non tollit naturam, sed perficit eam—rahmat tidak meniadakan kodrat, melainkan menyempurnakannya.⁶

13.1.    Inti Sistem Thomistik: Keterpaduan Ontologi, Epistemologi, dan Etika

Seluruh struktur filsafat Aquinas berpijak pada kesatuan antara ontologi, epistemologi, dan etika.⁷ Dalam ontologi, ia menegaskan bahwa Tuhan adalah ipsum esse subsistens—keberadaan itu sendiri—dan seluruh makhluk hanyalah partisipasi dalam keberadaan ilahi.⁸ Dalam epistemologi, Aquinas mengajarkan bahwa pengetahuan manusia bermula dari pengalaman inderawi, tetapi berakhir pada kontemplasi terhadap kebenaran yang melampaui dunia empiris.⁹ Sementara dalam etika, ia memandang bahwa tindakan moral manusia harus diarahkan pada tujuan akhir, yakni beatitudo atau kebahagiaan sempurna dalam persatuan dengan Tuhan.¹⁰

Dengan demikian, sistem Thomistik tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga eksistensial: pengetahuan dan tindakan manusia memiliki arah teleologis menuju Tuhan sebagai sumber sekaligus tujuan akhir realitas.¹¹ Integrasi ini menegaskan bahwa filsafat bukan hanya aktivitas berpikir, melainkan juga jalan menuju kesempurnaan moral dan spiritual.¹²

13.2.    Thomisme sebagai Paradigma Integratif dan Rasional

Salah satu keunggulan utama Thomisme adalah kemampuannya menghadirkan model rasionalitas integratif yang menolak dikotomi antara iman dan ilmu, antara metafisika dan sains, antara dunia dan transendensi.¹³ Aquinas menolak fideisme yang menafikan rasio, sekaligus menolak rasionalisme yang meniadakan iman.¹⁴ Ia menegaskan bahwa kebenaran wahyu dan kebenaran akal tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.¹⁵

Model rasionalitas ini masih sangat relevan di tengah krisis modernitas yang cenderung memisahkan kebenaran ilmiah dari nilai moral dan spiritual.¹⁶ Dalam konteks ini, Thomisme berperan sebagai filosofi perenial (philosophia perennis) yang memberikan dasar bagi dialog antara iman dan sains, serta antara agama dan kebudayaan.¹⁷ Ia memperlihatkan bahwa berpikir rasional bukan berarti meninggalkan iman, melainkan meneguhkan iman melalui refleksi yang mendalam dan bertanggung jawab.¹⁸

13.3.    Relevansi Thomisme bagi Dunia Kontemporer

Dalam dunia yang semakin plural, relativistik, dan materialistik, Thomisme menawarkan visi tentang kesatuan kebenaran dan martabat manusia.¹⁹ Etika hukum kodrat Aquinas memberikan dasar rasional bagi tatanan moral universal, yang relevan bagi diskursus hak asasi manusia, bioetika, dan keadilan sosial.²⁰ Sementara pandangan metafisisnya tentang actus essendi membantu menjembatani perdebatan antara filsafat sains dan teologi dalam memahami keberadaan dan keteraturan kosmos.²¹

Thomisme juga menjadi sumber inspirasi bagi gerakan intelektual modern seperti Neothomisme dan Analytic Thomism, yang berusaha menggabungkan kedalaman metafisik dengan ketelitian logis modern.²² Melalui tokoh-tokoh seperti Jacques Maritain, Étienne Gilson, dan Eleonore Stump, warisan Aquinas terus diperbarui dan dikontekstualisasikan untuk menjawab tantangan dunia sekular dan postmodern.²³

13.4.    Nilai Permanen Thomisme: Kebenaran sebagai Partisipasi dalam Tuhan

Di atas segalanya, nilai permanen Thomisme terletak pada pandangannya bahwa mengetahui berarti berpartisipasi dalam kebenaran ilahi.²⁴ Tuhan bukan hanya penyebab pertama, tetapi juga tujuan akhir dari segala pencarian intelektual manusia.²⁵ Dalam hal ini, Aquinas menghadirkan suatu metaphysica luminis—metafisika cahaya—di mana akal manusia disinari oleh Logos Ilahi dalam pencarian kebenaran.²⁶

Kebenaran bukanlah konstruksi subjektif, tetapi keteraturan objektif yang mengundang manusia untuk mengenal, mencintai, dan menghayatinya.²⁷ Oleh karena itu, berpikir dalam semangat Thomistik berarti berpikir secara terbuka, sistematis, dan rasional sekaligus penuh iman dan keutamaan moral.²⁸


Kesimpulan Akhir

Thomisme bukan hanya sistem filosofis yang monumental, melainkan visi kosmologis dan teologis tentang kesatuan segala sesuatu dalam Tuhan.²⁹ Ia menunjukkan bahwa akal manusia, jika diarahkan secara benar, akan selalu menemukan jejak Sang Pencipta dalam ciptaan.³⁰ Melalui prinsip analogi, hukum kodrat, dan teleologi moral, Thomas Aquinas berhasil membangun sebuah kerangka yang menjelaskan dunia secara rasional tanpa kehilangan misteri transendennya.³¹

Dengan demikian, relevansi Thomisme melampaui batas teologis Katolik. Ia menjadi fondasi dialog lintas zaman dan lintas tradisi, menjembatani antara filsafat Yunani, iman Kristen, dan tantangan modernitas.³² Dalam diri Aquinas, iman menjadi rasional tanpa kehilangan kedalaman spiritualnya, dan akal menjadi sakral tanpa kehilangan otonominya.³³ Seperti disimpulkan Étienne Gilson, “Thomisme bukan masa lalu yang mati, tetapi masa depan yang terus menunggu untuk dipahami.”³⁴


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 415–416.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 410.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.7.

[4]                Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.5.

[5]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 175–176.

[6]                Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[7]                Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 151–153.

[8]                Aquinas, De Ente et Essentia, c.4.

[9]                Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 130–131.

[10]             Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3, a.2.

[11]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 419.

[12]             Jacques Maritain, An Introduction to Philosophy (New York: Sheed & Ward, 1930), 98–99.

[13]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 245.

[14]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 179.

[15]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.6.

[16]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 422–423.

[17]             Copleston, A History of Philosophy: Modern Philosophy, Vol. 9 (New York: Image Books, 1994), 78–79.

[18]             Karl Rahner, Spirit in the World (New York: Herder and Herder, 1968), 170–172.

[19]             Jacques Maritain, Integral Humanism: Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom, trans. Joseph W. Evans (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1968), 61–62.

[20]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 192.

[21]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 45–46.

[22]             John Haldane, “Analytic Thomism,” The Monist 80, no. 4 (1997): 540–543.

[23]             Eleonore Stump, Aquinas (London: Routledge, 2003), 25–27.

[24]             Gilson, Being and Some Philosophers, 155.

[25]             Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.69.

[26]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 428.

[27]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 184–185.

[28]             Maritain, An Introduction to Philosophy, 104.

[29]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 250.

[30]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.45, a.1.

[31]             Gilson, Being and Some Philosophers, 158–160.

[32]             Pieper, The Silence of St. Thomas, 140–141.

[33]             Rahner, Spirit in the World, 175.

[34]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 255.


Daftar Pustaka

Aquinas, Thomas. (1920–1925). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). London: Burns, Oates & Washbourne.

Aquinas, Thomas. (1923). Summa Contra Gentiles (Anton C. Pegis, Trans.). New York: Image Books.

Aquinas, Thomas. (1949). De Ente et Essentia (Vernon J. Bourke, Trans.). Milwaukee: Marquette University Press.

Aquinas, Thomas. (1950). In Posteriorum Analyticorum Expositio (Richard J. Blackwell, Ed. & Trans.). St. Louis: B. Herder Book Co.

Aquinas, Thomas. (1952). De Veritate (Robert W. Schmidt, Trans.). Chicago: Henry Regnery Company.

Aristotle. (1925). Nicomachean Ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1928). Prior Analytics (A. J. Jenkinson, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1930). Physics (R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1931). De Anima (J. A. Smith, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Augustine, Saint. (1887). De Trinitate (Arthur West Haddan, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Augustine, Saint. (1950). Enchiridion on Faith, Hope, and Love (J. F. Shaw, Trans.). Washington, DC: Regnery.

Ayer, A. J. (1936). Language, Truth and Logic. London: Gollancz.

Barth, Karl. (1936). Church Dogmatics I/1 (G. W. Bromiley, Trans.). Edinburgh: T&T Clark.

Carnap, Rudolf. (1932). The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis of Language. Vienna: Logical Empiricist Circle.

Copleston, Frederick. (1993). A History of Philosophy: Medieval Philosophy. New York: Image Books.

Copleston, Frederick. (1993). A History of Philosophy: Renaissance and Reformation. New York: Image Books.

Copleston, Frederick. (1994). A History of Philosophy: Modern Philosophy (Vol. 9). New York: Image Books.

Copleston, Frederick. (1994). A History of Philosophy: Contemporary Philosophy (Vol. 11). New York: Image Books.

Davies, Brian. (1992). The Thought of Thomas Aquinas. Oxford: Clarendon Press.

De Lubac, Henri. (1946). Surnaturel: Études historiques. Paris: Aubier.

Descartes, René. (1996). Meditations on First Philosophy (John Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Feser, Edward. (2014). Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction. Heusenstamm: Editiones Scholasticae.

Feser, Edward. (2017). Five Proofs of the Existence of God. San Francisco: Ignatius Press.

Garrigou-Lagrange, Reginald. (1950). Reality: A Synthesis of Thomistic Thought. St. Louis: B. Herder Book Co.

Gilson, Étienne. (1937). The Unity of Philosophical Experience. New York: Scribner’s Sons.

Gilson, Étienne. (1952). Being and Some Philosophers. Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, Étienne. (1956). The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas. New York: Random House.

Haldane, John. (1997). Analytic Thomism. The Monist, 80(4), 536–552.

Heidegger, Martin. (1927). Sein und Zeit. Tübingen: Niemeyer.

Kant, Immanuel. (1929). Critique of Pure Reason (Norman Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.

Kenny, Anthony. (1993). Aquinas on Mind. New York: Routledge.

Kenny, Anthony. (2002). Aquinas on Being. Oxford: Clarendon Press.

Knowles, David. (1962). The Evolution of Medieval Thought. London: Longman.

Leo XIII. (1879). Aeterni Patris. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Luther, Martin. (1517). Disputation Against Scholastic Theology. Wittenberg: University Press.

MacIntyre, Alasdair. (1981). After Virtue: A Study in Moral Theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Maritain, Jacques. (1930). An Introduction to Philosophy. New York: Sheed & Ward.

Maritain, Jacques. (1936). Humanisme intégral. Paris: Aubier.

Maritain, Jacques. (1943). Education at the Crossroads. New Haven: Yale University Press.

Maritain, Jacques. (1948). Existence and the Existent. New York: Pantheon Books.

Maritain, Jacques. (1951). Man and the State. Chicago: University of Chicago Press.

Maritain, Jacques. (1968). Integral Humanism: Temporal and Spiritual Problems of a New Christendom (Joseph W. Evans, Trans.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

McCool, Gerald A. (1992). From Unity to Pluralism: The Internal Evolution of Thomism. New York: Fordham University Press.

McInerny, Ralph. (1982). Aquinas and Analytic Philosophy. Washington, DC: Catholic University of America Press.

Oberman, Heiko A. (1963). The Harvest of Medieval Theology. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Oberman, Heiko A. (1989). Luther: Man Between God and the Devil. New Haven: Yale University Press.

Oderberg, David S. (2007). Real Essentialism. London: Routledge.

Pieper, Josef. (1991). Guide to Thomas Aquinas. San Francisco: Ignatius Press.

Pieper, Josef. (1997). Faith, Hope, Love. San Francisco: Ignatius Press.

Pieper, Josef. (1999). The Silence of St. Thomas. South Bend, IN: St. Augustine’s Press.

Pieper, Josef. (1963). In Tune with the World: A Theory of Festivity. Chicago: Franciscan Herald Press.

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Przywara, Erich. (2014). Analogia Entis: Metaphysics: Original Structure and Universal Rhythm (John R. Betz & David Bentley Hart, Trans.). Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Rahner, Karl. (1968). Spirit in the World. New York: Herder and Herder.

Sartre, Jean-Paul. (1943). L’Être et le néant. Paris: Gallimard.

Second Vatican Council. (1965). Gaudium et Spes. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Stump, Eleonore. (2003). Aquinas. London: Routledge.

William of Ockham. (1951). Summa Logicae (Philotheus Boehner, Trans.). St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar