Selasa, 02 Desember 2025

Eksistensialisme Transendental (Mullā Ṣadrā): Ontologi Wujud, Transendensi Akal, dan Evolusi Jiwa dalam Perspektif Hikmah Muta‘āliyah

Eksistensialisme Transendental (Mullā Ṣadrā)

Ontologi Wujud, Transendensi Akal, dan Evolusi Jiwa dalam Perspektif Hikmah Muta‘āliyah


Alihkan ke: Metafisika Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Kebijaksanaan Transendental) yang dikembangkan oleh Mullā Ṣadrā al-Shīrāzī, dengan fokus pada struktur ontologis, epistemologis, aksiologis, dan spiritual dari sistem pemikirannya. Melalui pendekatan analitis-genealogis, penelitian ini menunjukkan bahwa inti dari filsafat Ṣadrā terletak pada doktrin aṣālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), yang merevolusi metafisika Islam dengan menempatkan wujud sebagai realitas fundamental yang dinamis dan bertingkat. Artikel ini menelusuri pula dimensi epistemologi Sadrian melalui konsep al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan sebagai kehadiran), yang menghapus dikotomi antara subjek dan objek pengetahuan. Selain itu, kajian ini menyoroti integrasi antara teologi, kosmologi, dan antropologi transendental dalam kerangka gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah), yang menggambarkan alam semesta dan jiwa manusia sebagai entitas yang senantiasa berkembang menuju kesempurnaan ilahi.

Dari sisi aksiologi, Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa nilai moral dan spiritual tidak bersifat konvensional, melainkan bersumber dari intensitas eksistensi itu sendiri—di mana kebaikan identik dengan kesempurnaan wujud. Spiritualitas eksistensial yang ditawarkan Ṣadrā menekankan bahwa manusia mencapai kebahagiaan sejati bukan melalui kepemilikan konseptual, melainkan melalui partisipasi ontologis dalam realitas ilahi. Artikel ini juga menguraikan relevansi filsafat Ṣadrā terhadap tantangan modernitas, seperti krisis etika, fragmentasi pengetahuan, dan degradasi ekologis, dengan menegaskan perlunya paradigma integratif antara ilmu, akal, dan wahyu.

Pada bagian akhir, artikel ini menegaskan bahwa sistem filsafat Mullā Ṣadrā merupakan sintesis rasionalitas, iluminasi, dan gnosis yang membentuk paradigma eksistensialisme transendental—sebuah pandangan dunia yang menempatkan eksistensi sebagai jalan menuju kebenaran, keindahan, dan kesempurnaan. Dengan menyatukan dimensi metafisik dan empiris, intelektual dan spiritual, filsafat Ṣadrā membuka kemungkinan baru bagi rekonstruksi etika, pendidikan, dan spiritualitas di era global.

Kata kunci: Mullā Ṣadrā, al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah, aṣālat al-wujūd, tashkīk al-wujūd, al-‘ilm al-ḥuḍūrī, eksistensialisme transendental, filsafat Islam, metafisika eksistensial.


PEMBAHASAN

Eksistensialisme Transendental dalam Filsafat Mullā Ṣadrā


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam klasik mencapai salah satu puncak perkembangannya pada abad ke-17 melalui karya Mullā Ṣadrā al-Shīrāzī (1571–1640 M), seorang pemikir Persia yang menegaskan bahwa realitas tertinggi bukanlah esensi (māhiyyah), melainkan eksistensi (wujūd). Dalam kerangka sistem metafisikanya yang dikenal dengan nama al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Kebijaksanaan Transendental), Mullā Ṣadrā berhasil mensintesiskan rasionalisme Avicennian, iluminasionisme Suhrawardī, dan mistisisme Ibn ‘Arabī menjadi sebuah sistem filsafat yang menyatukan dimensi ontologis, epistemologis, dan spiritualitas manusia secara menyeluruh. Ia menandai sebuah pergeseran besar dalam filsafat Islam: dari paradigma esensialis menuju paradigma eksistensialis-transendental, di mana keberadaan (wujūd) dipahami sebagai realitas dinamis yang terus menyingkapkan dirinya melalui proses gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah).¹

Konteks historis lahirnya pemikiran Mullā Ṣadrā tidak dapat dilepaskan dari dinamika intelektual masa Dinasti Ṣafawiyyah di Persia, di mana terjadi kebangkitan lembaga pendidikan filsafat dan teologi yang bercorak integratif. Para ulama, sufi, dan filosof tidak lagi berdiri secara terpisah, tetapi saling berinteraksi dalam satu atmosfer keilmuan yang memadukan burhān (demonstrasi rasional), ‘irfān (intuisi mistik), dan waḥy (wahyu).² Dalam konteks inilah, Mullā Ṣadrā berupaya menjawab problem mendasar filsafat pasca-Ibn Sīnā, yaitu pertentangan antara rasionalisme filosofis dan iluminasi spiritual. Baginya, akal manusia tidak sekadar alat analisis logis, tetapi juga instrumen transendensi yang dapat menyingkap realitas wujud melalui pengalaman ontologis langsung.³

Tema eksistensialisme transendental dalam pemikiran Mullā Ṣadrā mengandung dua dimensi utama. Pertama, dimensi eksistensial, yang menekankan bahwa wujūd adalah dasar seluruh realitas dan segala sesuatu hanyalah penampakan bertingkat dari realitas itu. Kedua, dimensi transendental, yang menandaskan bahwa pengetahuan sejati tentang wujud tidak dapat dicapai semata-mata melalui konsep rasional, melainkan melalui kehadiran eksistensial (al-‘ilm al-ḥuḍūrī), di mana subjek dan objek pengetahuan menyatu dalam realitas yang sama.⁴ Pendekatan ini menjadikan filsafat Mullā Ṣadrā tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga fenomenologis, karena ia menafsirkan keberadaan sebagai proses kesadaran yang terus bergerak dari potensialitas menuju aktualitas, dari materi menuju ilahi.

Dalam kerangka itu, kajian ini berupaya menelaah secara mendalam bagaimana eksistensialisme transendental Mullā Ṣadrā menjadi sebuah paradigma filosofis yang memadukan rasionalitas dan spiritualitas. Fokus utamanya terletak pada tiga aspek fundamental: (1) ontologi wujud sebagai realitas mutlak yang bergradasi; (2) epistemologi kehadiran sebagai bentuk pengetahuan yang eksistensial; dan (3) antropologi metafisik yang menjelaskan gerak jiwa manusia menuju kesempurnaan wujud. Kajian ini juga menempatkan sistem Mullā Ṣadrā dalam dialog dengan tradisi filsafat Barat modern, seperti transendentalisme Kantian dan eksistensialisme Heideggerian, untuk memperlihatkan bagaimana pemikiran Islam klasik memberikan kontribusi orisinal terhadap persoalan universal tentang keberadaan, kesadaran, dan makna hidup manusia.⁵

Dengan demikian, pendahuluan ini menegaskan bahwa eksistensialisme transendental Mullā Ṣadrā bukan sekadar sistem metafisika teoretis, tetapi juga proyek spiritual yang menempatkan manusia sebagai entitas dinamis yang terus bergerak menuju sumber wujud. Sistem ini merepresentasikan harmoni antara intelek dan intuisi, antara ilmu dan iman, serta antara rasionalitas filosofis dan pengalaman mistik. Melalui sintesis tersebut, Mullā Ṣadrā membuka horizon baru dalam filsafat Islam: filsafat yang hidup, bergerak, dan transenden.⁶


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 21–23.

[2]                ² Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 45–47.

[3]                ³ Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 33–35.

[4]                ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 18–22.

[5]                ⁵ Muhammad Legenhausen, “Mulla Sadra’s Theory of Knowledge and the Problem of Subjectivity,” Journal of Islamic Studies 11, no. 2 (2000): 129–150.

[6]                ⁶ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 198–200.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Pemikiran Mullā Ṣadrā lahir dari konteks sejarah yang sarat dinamika intelektual, spiritual, dan politik dunia Islam pada masa Dinasti Ṣafawiyyah (1501–1736 M). Dinasti ini menjadikan Persia (Iran modern) sebagai pusat kebangkitan kembali studi keislaman, filsafat, dan tasawuf setelah masa kemunduran skolastik di dunia Arab pasca-Ibn Rushd. Dalam lingkungan Ṣafawiyyah, muncul sintesis antara kalam, filsafat peripatetik (mashshā’ī), iluminasionisme (ishrāqī), dan gnosis (‘irfān). Perguruan-perguruan tinggi filsafat seperti madrasah di Isfahan dan Shiraz berperan penting dalam menghidupkan kembali tradisi metafisika yang menekankan aspek rasional sekaligus spiritual dari keberadaan manusia.¹

Dalam iklim intelektual tersebut, Mullā Ṣadrā (Sadr al-Dīn Muḥammad ibn Ibrāhīm al-Shīrāzī) menempuh pendidikan di bawah bimbingan dua figur besar: Mīr Dāmād dan Bahā’ al-Dīn al-‘Āmilī.² Dari Mīr Dāmād, ia mewarisi kecenderungan rasionalistik dan konseptual dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam, khususnya melalui konsep ḥudūth dahrī (kreasi atemporal). Sementara dari Bahā’ al-Dīn al-‘Āmilī, ia menyerap semangat mistik dan etika spiritual yang memperkaya dimensi esoteris dalam pemikirannya. Kedua gurunya ini berperan penting dalam membentuk fondasi filsafat Hikmah Muta‘āliyah — suatu sistem filsafat yang tidak berhenti pada tataran logis atau deduktif, melainkan bergerak menuju dimensi pengalaman transendental.³

Genealogi intelektual Mullā Ṣadrā juga dapat ditelusuri melalui tiga jalur besar tradisi filsafat Islam sebelumnya: Avicennian, Illuminasionisme, dan Gnostisisme Ibn ‘Arabī.⁴ Dari Ibn Sīnā (Avicenna), Ṣadrā mengambil kerangka logika dan epistemologi rasional, tetapi menolak premis Avicennian bahwa esensi (māhiyyah) lebih fundamental daripada eksistensi (wujūd). Ia membalikkan pandangan tersebut melalui doktrin aṣālat al-wujūd — bahwa wujud adalah realitas primer dan segala esensi hanyalah konseptualisasi mental terhadapnya.⁵ Dari Suhrawardī, ia menyerap ide iluminasi (ishrāq) dan hierarki cahaya sebagai simbol dari gradasi eksistensi. Namun, ia menolak reduksi cahaya sebagai entitas metaforis, menggantinya dengan realitas eksistensial yang memiliki tingkat-tingkat intensitas (tashkīk al-wujūd).⁶ Adapun dari Ibn ‘Arabī, Mullā Ṣadrā mewarisi pandangan ontologis tentang kesatuan realitas (waḥdat al-wujūd), tetapi ia menafsirkannya secara filosofis dan rasional melalui kerangka metafisika sistematis.⁷

Dari sinilah Hikmah Muta‘āliyah menjadi sistem filsafat integratif yang menengahi antara rasionalisme dan mistisisme. Mullā Ṣadrā tidak hanya memadukan doktrin filsafat Yunani yang diislamkan dengan spiritualitas tasawuf, tetapi juga menyusunnya menjadi sistem kosmologi dan antropologi metafisik yang utuh. Ia menggagas bahwa realitas tidak statis melainkan dinamis — suatu gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah) yang terus membawa seluruh makhluk menuju penyempurnaan eksistensial.⁸ Dengan demikian, sejarah pemikiran Mullā Ṣadrā merupakan hasil dari proses genealogis yang melibatkan warisan peripatetik Aristotelian, iluminatif Suhrawardian, dan mistik Ibn ‘Arabian, yang kemudian disintesiskan dalam kerangka metafisika eksistensial Islam yang bersifat transendental.

Selain pengaruh intelektual, faktor spiritual juga sangat menentukan arah perkembangan pemikiran Mullā Ṣadrā. Setelah mengalami penolakan dan pengasingan karena gagasannya yang dianggap kontroversial, ia melakukan perjalanan panjang menuju Qom dan Kahak, di mana ia menjalani kehidupan kontemplatif selama bertahun-tahun.⁹ Pengasingan tersebut justru menjadi titik balik yang memperdalam visi metafisisnya: pengetahuan sejati bukanlah hasil representasi mental, melainkan kehadiran langsung antara subjek dan objek dalam kesatuan eksistensial.ⁱ⁰ Pengalaman ini memperkuat pandangannya bahwa filsafat sejati harus bermuara pada transformasi spiritual, bukan hanya spekulasi logis.

Secara genealogis, sistem filsafat Mullā Ṣadrā tidak dapat dipahami tanpa melihat konteks historis ini: interaksi antara rasionalisme Avicennian, iluminasi Suhrawardian, dan gnosis Ibn ‘Arabī, yang semuanya berakar pada tradisi filsafat Yunani tetapi ditransendensikan ke dalam horizon teologis Islam. Oleh karena itu, eksistensialisme transendental dalam pemikiran Mullā Ṣadrā bukan sekadar elaborasi metafisik tentang wujūd, melainkan hasil dari evolusi panjang spiritual-rasional yang menjadikan filsafat sebagai jalan menuju Tuhan.ⁱ¹


Footnotes

[1]                ¹ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 33–36.

[2]                ² Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 212–214.

[3]                ³ Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 25–27.

[4]                ⁴ Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Study of Suhrawardi’s Illuminationist Political Doctrine,” Archiv für Geschichte der Philosophie 78, no. 3 (1996): 220–243.

[5]                ⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 17–19.

[6]                ⁶ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (London: Allen & Unwin, 1978), 52–55.

[7]                ⁷ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 89–91.

[8]                ⁸ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 44–47.

[9]                ⁹ Corbin, En Islam Iranien, 68–70.

[10]             ⁱ⁰ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 191–193.

[11]             ⁱ¹ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 59–60.


3.           Ontologi: Primordialitas Wujud (Aṣālat al-Wujūd)

Dalam sistem filsafat Hikmah Muta‘āliyah karya Mullā Ṣadrā, prinsip ontologis yang paling mendasar adalah doktrin aṣālat al-wujūd — bahwa wujud (eksistensi) adalah realitas primer dan hakiki, sementara esensi (māhiyyah) hanyalah konsepsi mental (i‘tibārī) yang tidak memiliki keberadaan nyata di luar pikiran manusia.¹ Doktrin ini menjadi poros revolusioner dalam sejarah filsafat Islam karena membalikkan struktur metafisika Avicennian yang menempatkan esensi sebagai dasar ontologis segala sesuatu. Menurut Mullā Ṣadrā, yang benar-benar “ada” bukanlah bentuk-bentuk esensial, melainkan keberadaan konkret yang menjadi sumber segala aktualitas.²

Wujud, dalam pandangan Mullā Ṣadrā, bukanlah sekadar kategori logis atau atribut konseptual, melainkan realitas murni yang menampakkan diri dalam berbagai tingkatan intensitas. Ia menggambarkan eksistensi sebagai realitas tunggal namun bertingkat (tashkīk al-wujūd), di mana segala sesuatu merupakan manifestasi dari satu hakikat wujud universal.³ Realitas ini bersifat gradasional—dari tingkat paling rendah dalam materi hingga puncak tertinggi pada Wujud Mutlak (Allah). Dengan demikian, pluralitas dunia empiris bukanlah bukti adanya banyak wujud yang terpisah, melainkan variasi tingkat partisipasi entitas dalam realitas eksistensi yang sama.⁴

Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa wujud bersifat ḥaqq (realitas) dan memiliki prioritas ontologis atas esensi. Sementara māhiyyah hanyalah batas konseptual yang dibentuk oleh akal manusia untuk memahami keragaman fenomenal dunia.⁵ Karena itu, esensi bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, melainkan cara berpikir manusia dalam mengabstraksi wujud dari realitas konkret. Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah bahwa tidak ada realitas yang berdiri sendiri selain wujud itu sendiri; segala sesuatu hanyalah penampakan, perwujudan, atau tajallī dari wujud tunggal.⁶ Dalam kerangka ini, wujud bukan sekadar “ada”, tetapi juga “mengada” — ia bersifat dinamis dan kreatif, selalu menyingkapkan dirinya melalui manifestasi ontologis yang tak berkesudahan.

Salah satu implikasi paling signifikan dari doktrin aṣālat al-wujūd adalah munculnya konsep tashkīk (gradasi eksistensi). Mullā Ṣadrā menolak pandangan bahwa wujud adalah predikat yang dipahami secara univokal (sama bagi segala sesuatu) ataupun secara analogis (hanya metaforis). Ia menegaskan bahwa wujud memiliki realitas yang bersifat bertingkat — satu hakikat yang sama tetapi berbeda dalam intensitas, kesempurnaan, dan kemandirian.⁷ Dengan demikian, dunia tidak terbagi antara yang ilahi dan yang material secara dikotomis, tetapi merupakan spektrum eksistensi yang bergerak dari potensialitas menuju aktualitas tertinggi. Dalam pandangan ini, Tuhan bukanlah entitas yang terpisah dari dunia, melainkan puncak dari wujud yang menjadi sumber bagi seluruh tingkatan realitas.⁸

Gradasi eksistensi ini memungkinkan Mullā Ṣadrā menyelesaikan berbagai problem metafisik klasik, seperti hubungan antara Tuhan dan ciptaan, jiwa dan tubuh, serta materi dan bentuk.⁹ Karena semua tingkatan realitas merupakan ekspresi dari satu wujud yang sama, maka tidak ada pemisahan mutlak antara pencipta dan ciptaan; yang ada hanyalah perbedaan tingkat intensitas eksistensial. Dengan demikian, Tuhan tidak menciptakan dunia secara temporal, tetapi dunia merupakan pancaran atau manifestasi kontinu dari wujud-Nya.¹⁰ Pandangan ini sekaligus mengintegrasikan teologi, kosmologi, dan ontologi ke dalam satu kesatuan sistem metafisik yang dinamis.

Selain itu, aṣālat al-wujūd juga menjadi dasar bagi epistemologi Mullā Ṣadrā. Karena wujud adalah realitas yang paling hakiki, maka pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui representasi konseptual (yang hanya berurusan dengan esensi), melainkan melalui kehadiran langsung (al-‘ilm al-ḥuḍūrī) terhadap wujud itu sendiri.¹¹ Pengetahuan menjadi bentuk eksistensi, bukan sekadar relasi kognitif. Oleh karena itu, memahami sesuatu berarti menjadi bagian dari realitas eksistensialnya, bukan hanya memikirkannya secara abstrak.

Pada akhirnya, doktrin aṣālat al-wujūd mengubah orientasi metafisika Islam dari yang statis menjadi dinamis, dari yang esensialis menjadi eksistensialis, dan dari yang konseptual menjadi transendental. Wujud bukan hanya realitas ontologis yang ada “di luar sana”, tetapi juga prinsip hidup yang menjiwai seluruh tatanan kosmos. Melalui prinsip ini, Mullā Ṣadrā menghadirkan pandangan dunia yang bersifat holistik — di mana seluruh realitas adalah pantulan dari satu keberadaan mutlak yang tunggal namun beragam dalam intensitasnya.¹² Dengan demikian, eksistensialisme transendental Mullā Ṣadrā tidak sekadar menegaskan bahwa “ada itu nyata”, tetapi juga bahwa “keberadaan adalah kesadaran Ilahi yang senantiasa menyingkapkan diri dalam wujud.”


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 91–93.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 41–43.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 57–59.

[4]                ⁴ William Chittick, “The Unity of Being in Islamic Thought,” Islamic Studies 22, no. 3 (1983): 227–230.

[5]                ⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 34–37.

[6]                ⁶ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 97–99.

[7]                ⁷ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 55–58.

[8]                ⁸ Hossein Ziai, “Being and Intensity in the Philosophy of Mulla Sadra,” Studia Islamica 45 (1977): 25–30.

[9]                ⁹ Corbin, En Islam Iranien, 61–63.

[10]             ¹⁰ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 202–205.

[11]             ¹¹ Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 38–41.

[12]             ¹² Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 61–63.


4.           Epistemologi: Pengetahuan sebagai Eksistensi (al-‘Ilm al-Ḥuḍūrī)

Dalam sistem filsafat Mullā Ṣadrā, epistemologi menempati posisi yang sangat fundamental dan tidak dapat dipisahkan dari kerangka ontologisnya. Sebagaimana ia menegaskan prinsip aṣālat al-wujūd dalam ontologi, dalam epistemologi ia memperkenalkan konsep al-‘ilm al-ḥuḍūrī — pengetahuan melalui kehadiran langsung (knowledge by presence).¹ Bagi Mullā Ṣadrā, pengetahuan bukan sekadar representasi mental atas realitas eksternal, melainkan bentuk eksistensi itu sendiri. Artinya, mengetahui sesuatu berarti “menjadi” sesuatu dalam tingkat eksistensial tertentu.²

Mullā Ṣadrā menolak model epistemologi representasional yang diwarisi dari tradisi peripatetik (Avicennian), yang memandang pengetahuan sebagai relasi antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) melalui bentuk-bentuk konseptual (ṣuwar dhihniyyah) yang dihadirkan dalam pikiran.³ Bagi Avicenna, ketika manusia mengetahui sesuatu, bentuk esensial dari objek berpindah ke dalam intelek manusia tanpa substansi materialnya. Namun, menurut Mullā Ṣadrā, pandangan semacam itu menimbulkan paradoks: bagaimana mungkin pengetahuan yang sejati muncul dari representasi konseptual yang terpisah dari realitas eksistensial?⁴ Ia menegaskan bahwa realitas pengetahuan tidak terletak pada representasi mental, melainkan pada kesatuan ontologis antara subjek dan objek dalam wujud yang sama.

Dalam kerangka al-‘ilm al-ḥuḍūrī, pengetahuan dipahami sebagai suatu bentuk kehadiran langsung (ḥuḍūr) dari realitas yang diketahui di dalam eksistensi subjek yang mengetahui.⁵ Ketika seseorang mengetahui dirinya sendiri, ia tidak memerlukan representasi atau perantara konseptual untuk memahami eksistensinya; kesadaran diri adalah pengetahuan langsung terhadap wujud.⁶ Dalam hal ini, kesadaran diri menjadi paradigma dasar dari seluruh bentuk pengetahuan lainnya — sebab pengetahuan terhadap sesuatu di luar diri hanya mungkin bila realitas objek hadir dalam eksistensi subjek secara ontologis.

Mullā Ṣadrā menyatakan bahwa “pengetahuan adalah bentuk eksistensi yang lebih sempurna dari wujud itu sendiri” (al-‘ilm ṣūratun min ṣuwar al-wujūd al-akmal).⁷ Pengetahuan bukan hanya kondisi kognitif, melainkan aktualisasi eksistensi pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Dalam pandangan ini, akal (‘aql) tidak berfungsi sekadar mengabstraksi esensi dari benda-benda empiris, tetapi berpartisipasi langsung dalam realitas universal eksistensi. Maka, pengetahuan sejati bukanlah “tentang sesuatu”, melainkan “menjadi sesuatu” melalui intensifikasi wujud.⁸

Epistemologi Mullā Ṣadrā juga memiliki dimensi transendental yang khas: ia menyatukan akal, intuisi, dan wahyu sebagai tiga jalan menuju pengetahuan sejati. Pengetahuan rasional (‘ilm al-burhānī) berfungsi sebagai tahapan awal untuk memahami struktur realitas, sedangkan pengetahuan intuitif (‘ilm al-ḥuḍūrī) memungkinkan manusia mengalami kehadiran langsung realitas eksistensial. Puncaknya, pengetahuan wahyu (‘ilm ladunnī) merupakan penyingkapan realitas oleh Wujud Mutlak sendiri kepada jiwa manusia yang telah disucikan.⁹ Dengan demikian, al-‘ilm al-ḥuḍūrī berperan sebagai jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara filsafat dan mistisisme.

Dalam kaitannya dengan ontologi, al-‘ilm al-ḥuḍūrī memperkuat pandangan bahwa seluruh realitas memiliki dimensi kesadaran inheren. Setiap tingkatan eksistensi mengandung derajat pengetahuan sesuai kadar keberadaannya; semakin tinggi intensitas wujud, semakin sempurna pula pengetahuannya.¹⁰ Tuhan sebagai Wujud Murni mengetahui segala sesuatu karena seluruh realitas adalah manifestasi dari diri-Nya sendiri — pengetahuan-Nya bersifat identik dengan wujud-Nya.¹¹ Maka, pengetahuan Ilahi bukanlah “tentang” sesuatu di luar diri Tuhan, melainkan kehadiran seluruh realitas dalam Wujud-Nya yang absolut.

Implikasi etis dan spiritual dari epistemologi ini sangat mendalam. Karena pengetahuan adalah bentuk eksistensi, maka memperoleh pengetahuan sejati menuntut transformasi ontologis dalam diri manusia.¹² Proses belajar bukan sekadar akumulasi konsep, tetapi perjalanan eksistensial menuju kesempurnaan jiwa — suatu gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah) yang mengantarkan manusia kepada kesatuan dengan sumber pengetahuan itu sendiri. Dalam konteks ini, filsafat menjadi latihan ruhani (riyāḍah nafsiyyah), bukan sekadar aktivitas intelektual.¹³

Akhirnya, konsep al-‘ilm al-ḥuḍūrī dalam filsafat Mullā Ṣadrā menghapus dualisme antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara subjek dan objek, serta antara pikiran dan realitas.¹⁴ Pengetahuan sejati bukanlah hasil konstruksi akal yang terpisah dari dunia, melainkan manifestasi kesatuan eksistensial di mana kesadaran manusia menjadi cermin bagi kehadiran Wujud Mutlak. Dengan demikian, epistemologi Mullā Ṣadrā adalah epistemologi eksistensial — pengetahuan sebagai keberadaan yang hidup, yang menyingkapkan realitas Ilahi dalam diri manusia.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 145–147.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 78–80.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 71–73.

[4]                ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 29–31.

[5]                ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 214–216.

[6]                ⁶ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 83–85.

[7]                ⁷ William Chittick, “The Metaphysics of Knowledge in Mulla Sadra’s Philosophy,” Islamic Studies 31, no. 4 (1992): 489–491.

[8]                ⁸ Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 33–35.

[9]                ⁹ Corbin, En Islam Iranien, 75–78.

[10]             ¹⁰ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 90–92.

[11]             ¹¹ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 152–155.

[12]             ¹² Hossein Ziai, “Being and Knowing: The Ontological Foundations of Sadrian Epistemology,” Iranian Studies 39, no. 3 (2006): 311–314.

[13]             ¹³ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 218–221.

[14]             ¹⁴ Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon, 1997), 188–190.

[15]             ¹⁵ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 94–96.


5.           Antropologi dan Metafisika Jiwa

Dalam sistem Hikmah Muta‘āliyah, Mullā Ṣadrā mengembangkan suatu pandangan antropologis yang berakar kuat pada metafisika wujud. Jiwa manusia (al-nafs al-insāniyyah) tidak dipahami sebagai substansi statis yang terpisah dari tubuh, melainkan sebagai entitas eksistensial yang mengalami ḥarakat jawhariyyah — gerak substansial menuju kesempurnaan ontologis.¹ Pandangan ini merevolusi seluruh struktur antropologi klasik yang diwarisi dari Aristoteles dan Ibn Sīnā, yang memandang jiwa sebagai bentuk tetap bagi tubuh (ṣūrah li al-jism). Bagi Mullā Ṣadrā, jiwa bukanlah bentuk yang hanya mengaktualkan potensi tubuh, tetapi suatu entitas yang tumbuh dan berevolusi dari tingkat material menuju spiritual.²

Konsep gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah) menjadi kunci bagi pemahaman Mullā Ṣadrā tentang jiwa. Ia menolak pandangan bahwa substansi bersifat tetap sementara hanya aksiden yang berubah. Menurutnya, seluruh realitas, termasuk substansi, selalu berada dalam keadaan menjadi (ṣayrūrah).³ Jiwa, dengan demikian, bukan hanya penentu bentuk tubuh, tetapi juga prinsip gerak internal yang mengantarkan manusia pada kesempurnaan eksistensial. Dalam bahasa Ṣadrā, “jiwa bersifat jasmani dalam kebermulaannya dan rohani dalam kelanjutannya” (al-nafs jasmaniyyat al-ḥudūth, rūḥaniyyat al-baqā’).⁴ Pernyataan ini menegaskan bahwa jiwa lahir dari potensi material, namun melalui penyucian dan pengembangan intelektual, ia menembus tingkat-tingkat eksistensi yang lebih tinggi hingga mencapai keabadian.

Struktur hierarki jiwa dalam pandangan Mullā Ṣadrā mencerminkan gradasi ontologis wujud: dari jiwa vegetatif (al-nafs al-nabātiyyah), jiwa hewani (al-nafs al-ḥayawāniyyah), hingga jiwa rasional (al-nafs al-nāṭiqah).⁵ Setiap tahap merepresentasikan intensifikasi eksistensi. Jiwa vegetatif terbatas pada pertumbuhan dan nutrisi, jiwa hewani menambah kemampuan persepsi dan gerak, sedangkan jiwa rasional memiliki kapasitas abstraksi dan kesadaran diri. Namun, yang membedakan Mullā Ṣadrā dari para pendahulunya adalah pemahamannya bahwa ketiga tahap tersebut tidak eksis secara terpisah, melainkan sebagai satu kontinuitas eksistensial yang berkembang.⁶ Jiwa tidak menerima bentuk-bentuk ini secara tiba-tiba, tetapi bergerak secara gradual menuju aktualitas spiritual melalui pengalaman, pengetahuan, dan penyucian.

Dalam proses evolusinya, jiwa berinteraksi dengan tubuh bukan sebagai entitas dualistik, melainkan sebagai dua aspek dari satu eksistensi yang sama. Tubuh menjadi instrumen aktualisasi potensi jiwa di dunia materi, sementara jiwa menjadi prinsip kehidupan dan kesadaran yang menstrukturkan tubuh.⁷ Karena keduanya merupakan manifestasi dari wujud yang sama, relasi antara jiwa dan tubuh bukanlah hubungan kausal eksternal, melainkan hubungan ontologis internal yang bersifat kesatuan intensif. Melalui kerangka ini, Mullā Ṣadrā berhasil menjembatani dikotomi Cartesian antara pikiran dan materi, serta memberikan dasar metafisik bagi psikologi spiritual Islam.⁸

Puncak evolusi jiwa adalah pencapaiannya terhadap akal aktif (al-‘aql al-fa‘āl) dan penyatuan eksistensial dengan Wujud Mutlak. Dalam tahap ini, jiwa mencapai kesadaran universal, di mana pengetahuan tidak lagi diperoleh melalui proses representasional, tetapi melalui kehadiran langsung realitas Ilahi.⁹ Transformasi ini menandai realisasi tertinggi dari ḥarakat jawhariyyah: jiwa yang semula material kini menjadi bentuk eksistensi murni yang bebas dari keterikatan duniawi. Dengan demikian, kebahagiaan (sa‘ādah) sejati dalam filsafat Ṣadrā bukanlah kenikmatan sensorik atau bahkan intelektual semata, melainkan penyatuan eksistensial dengan sumber wujud.¹⁰

Epistemologi dan antropologi dalam filsafat Mullā Ṣadrā saling melengkapi. Pengetahuan sejati (al-‘ilm al-ḥuḍūrī) hanya mungkin dicapai oleh jiwa yang telah mengaktualkan potensinya sepenuhnya.¹¹ Proses belajar dan berpikir bukan sekadar kegiatan rasional, tetapi jalan ontologis untuk memperluas intensitas wujud jiwa. Dalam konteks ini, filsafat menjadi proses transformatif — latihan rohani (riyāḍah nafsiyyah) yang mengantarkan manusia kepada kesadaran kosmik. Oleh sebab itu, filsafat Ṣadrā tidak hanya menjelaskan apa itu manusia, tetapi juga menunjukkan bagaimana manusia dapat menjadi sempurna (insān kāmil).¹²

Selain dimensi individual, antropologi Mullā Ṣadrā juga memiliki konsekuensi sosial dan teologis. Karena seluruh jiwa berakar pada wujud yang sama, maka kesatuan manusia dengan realitas kosmik meniscayakan adanya solidaritas eksistensial antarindividu.¹³ Dalam tatanan sosial, hal ini menegaskan nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari satu hakikat wujud Ilahi. Maka, tugas etis manusia bukan hanya mencapai kesempurnaan individual, tetapi juga mengaktualkan harmoni eksistensial dalam masyarakat. Dengan cara ini, filsafat Ṣadrā menghadirkan pandangan antropologis yang holistik: manusia sebagai mikrokosmos yang mencerminkan struktur wujud makrokosmos.¹⁴

Secara keseluruhan, antropologi dan metafisika jiwa Mullā Ṣadrā menggambarkan manusia sebagai entitas yang senantiasa “menjadi” — entitas yang mengandung seluruh tingkatan realitas dalam dirinya. Jiwa tidak lagi sekadar prinsip kehidupan, melainkan jalan eksistensial menuju Tuhan. Melalui prinsip ḥarakat jawhariyyah dan kesatuan wujud, Mullā Ṣadrā membangun pandangan bahwa keberadaan manusia merupakan proses penyempurnaan berkelanjutan, dari kegelapan materi menuju cahaya eksistensi Ilahi.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 173–175.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 102–104.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 83–85.

[4]                ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 42–44.

[5]                ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 227–229.

[6]                ⁶ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 107–109.

[7]                ⁷ William Chittick, “The Soul’s Journey in Sadrian Philosophy,” Islamic Studies 36, no. 2 (1997): 241–244.

[8]                ⁸ Hossein Ziai, “Motion and Substantial Change in Mulla Sadra,” Philosophy East and West 30, no. 1 (1980): 69–72.

[9]                ⁹ Corbin, En Islam Iranien, 89–92.

[10]             ¹⁰ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 181–183.

[11]             ¹¹ Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 45–48.

[12]             ¹² Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 111–113.

[13]             ¹³ Ziai, “Being and Knowing: The Ontological Foundations of Sadrian Epistemology,” Iranian Studies 39, no. 3 (2006): 318–320.

[14]             ¹⁴ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 231–234.

[15]             ¹⁵ Corbin, En Islam Iranien, 94–96.


6.           Teologi dan Kosmologi Transendental

Dalam sistem metafisika Mullā Ṣadrā, teologi tidak dipisahkan dari kosmologi. Kedua bidang tersebut berpadu dalam suatu struktur eksistensial yang bersumber pada prinsip aṣālat al-wujūd dan berujung pada konsep al-wujūd al-muṭlaq — Wujud Mutlak sebagai Tuhan.¹ Bagi Mullā Ṣadrā, Tuhan bukan sekadar entitas tertinggi dalam hierarki realitas, melainkan sumber segala eksistensi itu sendiri. Ia adalah realitas murni yang tidak memiliki batas esensial, tidak terkomposisi, dan tidak bergantung pada apa pun. Semua makhluk tidak “diciptakan” dalam pengertian temporal, tetapi “diderivasikan” secara ontologis dari intensitas eksistensi-Nya.² Dengan demikian, hubungan antara Tuhan dan dunia bukanlah relasi eksternal antara dua entitas yang berbeda, melainkan relasi imanen antara Wujud Mutlak dan manifestasi-manifestasinya.

Prinsip dasar dalam teologi Mullā Ṣadrā adalah bahwa Tuhan adalah al-wujūd al-ṣirf (eksistensi murni) yang menjadi sebab ontologis bagi semua wujud lainnya.³ Tuhan tidak memiliki māhiyyah karena esensi hanya menjadi batas bagi eksistensi, sedangkan Wujud Mutlak tidak terbatas.⁴ Dengan menolak segala bentuk esensialisme teologis, Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa realitas Ilahi hanya dapat dipahami melalui eksistensinya yang tak terhingga, bukan melalui kategori konseptual manusia. Hal ini menandai pergeseran dari teologi rasional Avicennian menuju teologi eksistensial yang lebih dinamis dan mistikal.

Dalam kerangka kosmologi transendental, seluruh realitas dipahami sebagai tajallī (pancaran) dari Wujud Mutlak.⁵ Konsep ini memadukan emanasi rasional dari Neoplatonisme dengan paham kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd) Ibn ‘Arabī. Dunia bukanlah ciptaan dari ketiadaan (ex nihilo), melainkan manifestasi bertingkat dari wujud Ilahi.⁶ Mullā Ṣadrā menyebutnya sebagai ṣudūr wujūdī (emanasi eksistensial), di mana setiap tingkat realitas memancarkan tingkat di bawahnya sesuai kadar intensitas eksistensinya. Maka, alam semesta tidak bersifat otonom, melainkan senantiasa tergantung pada Tuhan dalam keberadaannya.⁷

Dalam sistem hierarki wujud ini, realitas Ilahi menempati puncak sebagai sumber keberadaan, diikuti oleh alam akal (‘ālam al-‘aql), alam jiwa (‘ālam al-nafs), dan alam materi (‘ālam al-māddah).⁸ Setiap tingkat bukanlah entitas terpisah, tetapi representasi dari satu hakikat wujud yang sama dalam kadar yang berbeda. Hubungan antara Tuhan dan ciptaan dengan demikian bersifat partisipatif, bukan kausal dalam pengertian fisikal. Dunia tidak berdiri di luar Tuhan, tetapi merupakan penyingkapan bertahap (tanazzulāt) dari keberadaan Ilahi.⁹

Mullā Ṣadrā juga mengembangkan pemahaman baru tentang tawḥīd (keesaan Tuhan) yang tidak hanya menegaskan keesaan zat, tetapi juga keesaan tindakan dan eksistensi.¹⁰ Segala yang ada merupakan refleksi dari tindakan Ilahi dalam berbagai tingkatan intensitas wujud. Keberagaman makhluk tidak menafikan keesaan Tuhan, sebab pluralitas hanyalah fenomena gradasional dari realitas tunggal. Dalam bahasa Ṣadrā, pluralitas adalah “bayangan wujud” (ẓil al-wujūd) yang eksistensinya bergantung sepenuhnya pada cahaya Wujud Mutlak.¹¹ Dengan demikian, tawḥīd bukan sekadar doktrin teologis, melainkan prinsip ontologis yang menembus seluruh lapisan realitas.

Kosmologi Ṣadrā juga berakar pada konsep gerak substansial (al-ḥarakat al-jawhariyyah), yang menunjukkan bahwa alam semesta terus bergerak secara eksistensial menuju kesempurnaan Ilahi.¹² Dunia bukanlah ciptaan statis, melainkan proses dinamis penyempurnaan wujud. Setiap entitas mengandung potensi untuk meningkat dalam intensitas eksistensial hingga mencapai bentuk tertinggi. Dalam pandangan ini, sejarah kosmos merupakan perjalanan spiritual seluruh wujud menuju penyatuan dengan sumbernya.¹³ Alam semesta, dengan demikian, bukan hanya arena fisikal, tetapi juga medan teofanik — tempat penyingkapan Tuhan melalui fenomena keberadaan.

Teologi transendental Mullā Ṣadrā memiliki dimensi epistemologis yang khas. Karena Tuhan adalah realitas murni, maka mengenal-Nya tidak mungkin dilakukan melalui konsepsi rasional yang terbatas.¹⁴ Pengetahuan tentang Tuhan hanya mungkin melalui al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan kehadiran), di mana jiwa manusia menyaksikan eksistensi Ilahi secara langsung dalam dirinya. Proses ini bersifat transformatif: semakin jiwa mendekati kesempurnaan eksistensial, semakin tinggi pula pengetahuannya tentang Tuhan.¹⁵ Dengan demikian, teologi dalam pandangan Mullā Ṣadrā adalah bentuk tertinggi dari epistemologi eksistensial.

Implikasi etis dan spiritual dari teologi ini juga signifikan. Jika segala realitas adalah manifestasi dari Tuhan, maka setiap tindakan moral manusia merupakan partisipasi dalam wujud Ilahi.¹⁶ Etika menjadi jalan menuju kesatuan eksistensial dengan Tuhan melalui penyucian jiwa. Kesadaran kosmik yang lahir dari pandangan teosofis Ṣadrā menjadikan manusia tidak hanya mengenal Tuhan melalui konsep, tetapi melalui pengalaman keberadaan yang langsung.¹⁷ Filsafat, dengan demikian, bukan sekadar pencarian rasional, melainkan ziarah ontologis menuju asal mula wujud.

Secara keseluruhan, teologi dan kosmologi transendental Mullā Ṣadrā membentuk sistem metafisika yang holistik dan integratif. Tuhan bukan “Yang Lain” yang jauh dari ciptaan, tetapi Wujud yang menyingkapkan diri melalui seluruh realitas. Dunia tidak berdiri di luar Tuhan, melainkan merupakan cermin keberadaan-Nya. Dengan menggabungkan prinsip eksistensial, gradasional, dan dinamis, Mullā Ṣadrā menghadirkan paradigma teologis yang mengharmonikan rasionalitas filsafat, kedalaman mistik, dan keutuhan spiritualitas Islam.¹⁸


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 186–188.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 120–122.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 102–104.

[4]                ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 51–52.

[5]                ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 245–247.

[6]                ⁶ William Chittick, “Creation and Emanation in Mulla Sadra’s Cosmology,” Islamic Studies 29, no. 3 (1990): 331–334.

[7]                ⁷ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 125–127.

[8]                ⁸ Hossein Ziai, “The Emanative Structure of Reality in Sadrian Philosophy,” Iranian Studies 42, no. 4 (2009): 403–405.

[9]                ⁹ Corbin, En Islam Iranien, 107–109.

[10]             ¹⁰ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 191–193.

[11]             ¹¹ Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon, 1997), 203–205.

[12]             ¹² Ziai, “Motion and Substantial Change in Mulla Sadra,” Philosophy East and West 30, no. 1 (1980): 74–76.

[13]             ¹³ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 250–252.

[14]             ¹⁴ Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 55–57.

[15]             ¹⁵ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 130–132.

[16]             ¹⁶ Chittick, “The Metaphysics of Knowledge in Mulla Sadra’s Philosophy,” Islamic Studies 31, no. 4 (1992): 497–499.

[17]             ¹⁷ Corbin, En Islam Iranien, 111–113.

[18]             ¹⁸ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 197–199.


7.           Aksiologi dan Spiritualitas Eksistensial

Dimensi aksiologi dalam filsafat Mullā Ṣadrā tidak dapat dipisahkan dari ontologi dan epistemologi eksistensialnya. Ia menegaskan bahwa nilai (al-qīmah) tertinggi bukan terletak pada norma-norma eksternal atau kategori moral yang konvensional, melainkan pada tingkat intensitas eksistensi itu sendiri.¹ Nilai dalam sistem Ṣadrā bukan sekadar atribut etik yang melekat pada tindakan, tetapi merupakan kualitas ontologis yang menandai sejauh mana suatu entitas mendekati atau menjauh dari Wujud Mutlak (al-wujūd al-muṭlaq). Semakin tinggi tingkat wujud suatu entitas, semakin tinggi pula nilai dan kesempurnaan yang dikandungnya. Dengan demikian, kebaikan (al-khayr) diidentifikasi dengan kesempurnaan eksistensi, sementara kejahatan (al-sharr) dipahami sebagai ketiadaan atau kekurangan wujud.²

Bagi Mullā Ṣadrā, tindakan moral sejati adalah ekspresi dari intensifikasi eksistensial.³ Tindakan yang baik bukanlah tindakan yang hanya sesuai dengan aturan, melainkan tindakan yang memperluas dan memurnikan eksistensi pelakunya. Nilai moral sejati bersumber pada kesatuan antara akal, jiwa, dan wujud. Maka, setiap upaya manusia untuk memahami kebenaran atau berbuat kebajikan adalah gerak eksistensial menuju kesempurnaan ontologis. Dalam kerangka ini, etika Ṣadrā bersifat teleologis dan ontologis sekaligus: tujuan moral tidak lain adalah aktualisasi penuh potensi eksistensial manusia hingga mencapai kesatuan dengan sumber wujud.⁴

Konsep ini melahirkan spiritualitas eksistensial yang unik, di mana filsafat menjadi jalan hidup (ṭarīqah wujūdiyyah).⁵ Mullā Ṣadrā memandang bahwa manusia tidak hanya berfilsafat untuk mengetahui realitas, tetapi untuk menjadi bagian darinya. Pengetahuan sejati (al-‘ilm al-ḥuḍūrī) tidak sekadar kognisi intelektual, melainkan pengalaman langsung kehadiran Ilahi dalam eksistensi diri.⁶ Karena itu, praktik etis dan kontemplatif menjadi bentuk konkret dari perjalanan eksistensial: semakin seseorang menempuh jalan penyucian diri (riyāḍah nafsiyyah), semakin meningkat pula tingkat wujudnya dan semakin dekat ia dengan Tuhan.

Aksiologi dalam filsafat Ṣadrā juga menegaskan keterkaitan erat antara kebaikan, keindahan, dan kebenaran.⁷ Ketiganya merupakan manifestasi dari satu realitas yang sama — Wujud Mutlak. Dalam tingkat tertinggi, Tuhan adalah al-Khayr al-Muṭlaq (Kebaikan Mutlak), al-Ḥaqq (Kebenaran), dan al-Jamīl (Keindahan). Karena itu, setiap pengalaman estetis dan moral yang sejati merupakan pengalaman eksistensial terhadap kehadiran Ilahi. Manusia, dengan kemampuan rasional dan spiritualnya, memiliki tugas untuk merealisasikan ketiganya dalam dirinya: menjadi benar, baik, dan indah sebagai refleksi dari realitas Wujud.⁸

Dalam dimensi praksis, spiritualitas eksistensial Mullā Ṣadrā menolak pemisahan antara etika dan mistisisme. Ia memandang bahwa tindakan moral sejati lahir dari kesadaran ontologis akan kesatuan realitas.⁹ Seorang manusia yang memahami bahwa seluruh wujud adalah tajallī (penampakan) Tuhan tidak akan berbuat jahat terhadap yang lain, karena ia menyadari bahwa segala bentuk keberadaan merupakan cermin dari Wujud Ilahi yang sama. Dalam pengertian ini, cinta (al-ḥubb) menjadi inti dari moralitas, sebab cinta adalah gerak wujud menuju kesempurnaan eksistensialnya.¹⁰

Spiritualitas dalam filsafat Ṣadrā bersifat transformasional. Ia tidak menekankan asketisme yang menjauhkan diri dari dunia, tetapi menekankan pemahaman bahwa dunia material adalah medan manifestasi wujud yang harus disucikan, bukan ditinggalkan.¹¹ Oleh karena itu, perjalanan spiritual manusia tidak berarti meninggalkan eksistensi duniawi, melainkan mengubahnya menjadi jalan menuju realitas Ilahi. Proses ini menuntut kesadaran bahwa segala bentuk pengalaman, termasuk penderitaan, adalah sarana bagi jiwa untuk melampaui keterbatasan dan mencapai kesempurnaan ontologisnya.¹²

Nilai tertinggi dalam sistem aksiologis Mullā Ṣadrā adalah kesempurnaan (kamāl), yaitu keadaan di mana jiwa mencapai identitasnya dengan akal aktif (al-‘aql al-fa‘āl) dan menyatu dengan Wujud Mutlak.¹³ Kesempurnaan bukanlah kondisi moral formal, tetapi keadaan eksistensial yang hanya dapat dicapai melalui penyatuan dengan realitas Ilahi. Pada tingkat ini, manusia menjadi insān kāmil (manusia sempurna), yang dalam dirinya terpantul seluruh struktur kosmos dan sifat-sifat Tuhan.¹⁴ Maka, filsafat tidak lagi menjadi sekadar aktivitas intelektual, tetapi ibadah ontologis yang memperluas dan menyempurnakan eksistensi manusia dalam arah vertikal menuju Yang Mutlak.¹⁵

Dengan demikian, aksiologi dan spiritualitas eksistensial dalam filsafat Mullā Ṣadrā merupakan puncak dari sintesis rasionalitas, mistisisme, dan etika. Ia menegaskan bahwa nilai tertinggi bukan ditentukan oleh norma sosial atau hukum eksternal, tetapi oleh tingkat kesadaran eksistensial terhadap Wujud. Melalui kesadaran ini, manusia menemukan makna sejati keberadaannya: bukan sekadar menjadi “yang ada”, tetapi menjadi “yang sadar akan Keberadaan”.¹⁶


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 203–205.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 135–137.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 116–118.

[4]                ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 61–63.

[5]                ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 263–265.

[6]                ⁶ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 140–142.

[7]                ⁷ William Chittick, “The Good, the True, and the Beautiful in Sadrian Philosophy,” Islamic Studies 35, no. 2 (1996): 201–203.

[8]                ⁸ Hossein Ziai, “Ethical Dimensions of Sadrian Metaphysics,” Iranian Studies 43, no. 2 (2010): 151–153.

[9]                ⁹ Corbin, En Islam Iranien, 120–122.

[10]             ¹⁰ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 210–212.

[11]             ¹¹ Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon, 1997), 214–216.

[12]             ¹² Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 145–147.

[13]             ¹³ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 268–270.

[14]             ¹⁴ Corbin, En Islam Iranien, 125–128.

[15]             ¹⁵ Ziai, “Being and Knowing: The Ontological Foundations of Sadrian Epistemology,” Iranian Studies 39, no. 3 (2006): 323–325.

[16]             ¹⁶ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 217–219.


8.           Dimensi Sosial dan Kultural

Filsafat Mullā Ṣadrā tidak berhenti pada dimensi metafisik dan spiritual, tetapi juga memiliki implikasi sosial dan kultural yang mendalam. Ia memandang masyarakat manusia sebagai manifestasi dari tatanan kosmik yang bergradasi, di mana setiap individu memiliki posisi dan fungsi eksistensial tertentu dalam struktur wujud.¹ Dengan demikian, masyarakat bukan sekadar konstruksi sosial, melainkan refleksi dari realitas ontologis yang lebih tinggi. Struktur sosial yang harmonis adalah cerminan dari keseimbangan ontologis antara berbagai tingkat eksistensi — dari materi hingga ruh, dari individu hingga komunitas, dari dunia temporal hingga realitas ilahi.²

Dalam kerangka ini, dimensi sosial filsafat Mullā Ṣadrā berakar pada pandangan tentang kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd).³ Karena seluruh eksistensi berakar pada Wujud Mutlak, maka setiap manusia berbagi asal ontologis yang sama. Kesadaran akan kesatuan ini menjadi dasar bagi etika sosial yang berlandaskan pada cinta (al-ḥubb) dan belas kasih (raḥmah).⁴ Solidaritas sosial, menurut Ṣadrā, tidak dapat dibangun semata-mata melalui norma hukum atau politik, tetapi harus berakar pada kesadaran spiritual bahwa “yang lain” bukanlah entitas asing, melainkan refleksi dari wujud yang sama. Dengan demikian, keadilan sosial dan persaudaraan manusia hanya mungkin terwujud bila didasari oleh kesadaran metafisik tentang kesatuan realitas.⁵

Mullā Ṣadrā juga memberikan kontribusi penting terhadap pemikiran politik dan pendidikan Islam. Ia menegaskan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang mendukung perkembangan jiwa manusia menuju kesempurnaan.⁶ Tujuan politik sejati, dalam pandangan Ṣadrā, bukanlah kekuasaan atau kemakmuran material semata, melainkan penciptaan kondisi yang memungkinkan manusia menapaki jalan spiritual. Ia menganggap pemimpin sejati sebagai ḥakīm — seorang bijak yang memahami hierarki eksistensi dan menuntun masyarakat menuju keselarasan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.⁷ Dengan demikian, politik menjadi instrumen untuk realisasi kebenaran, bukan arena dominasi.

Pada tataran kultural, pengaruh pemikiran Mullā Ṣadrā meluas ke berbagai bidang: pendidikan, seni, teologi, dan sufisme.⁸ Dalam pendidikan, sistem Hikmah Muta‘āliyah menekankan pembentukan manusia yang utuh (al-insān al-kāmil) melalui integrasi antara akal, iman, dan pengalaman eksistensial. Pengetahuan bukan hanya untuk menambah informasi, tetapi untuk mentransformasi wujud.⁹ Dalam seni dan budaya Persia, gagasan Ṣadrā tentang gradasi wujud dan keindahan eksistensial mempengaruhi estetika sufistik, terutama dalam simbolisme cahaya, gerak, dan harmoni kosmik yang tampak dalam puisi, arsitektur, serta kaligrafi Islam.¹⁰ Seni, bagi Ṣadrā, adalah cara jiwa menyingkap keindahan Ilahi yang tersembunyi dalam materi; ia merupakan refleksi sensibel dari kebenaran metafisik.

Secara historis, filsafat Mullā Ṣadrā juga memainkan peran penting dalam pembentukan identitas intelektual Islam Persia modern.¹¹ Gerakan intelektual Safawiyyah yang melahirkannya melanjutkan tradisi integratif antara filsafat, tasawuf, dan teologi. Dalam konteks kontemporer, pemikiran Ṣadrā menjadi fondasi bagi gerakan pembaruan filsafat Islam di Iran melalui tokoh-tokoh seperti Allāmah Ṭabāṭabā’ī, Murtadha Mutahhari, dan Mahdi Ha’iri Yazdi, yang menafsirkan kembali Hikmah Muta‘āliyah untuk menjawab tantangan modernitas.¹² Mereka melihat bahwa nilai-nilai eksistensial dalam pemikiran Ṣadrā dapat menjadi dasar spiritual bagi etika sosial, pendidikan moral, dan peradaban yang berkeadilan.

Dimensi sosial Mullā Ṣadrā juga berimplikasi pada konsep pluralisme dan toleransi. Karena setiap entitas adalah pancaran dari Wujud Ilahi yang sama, maka keragaman agama, budaya, dan keyakinan tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai ekspresi beragam dari satu realitas yang tunggal.¹³ Kesadaran ini mengarah pada apa yang dapat disebut “pluralisme ontologis” — pengakuan bahwa perbedaan manusiawi merupakan manifestasi dari rahmat Ilahi. Maka, toleransi dalam filsafat Ṣadrā bukan sekadar prinsip politik, tetapi fondasi ontologis dari keberagaman.¹⁴

Dalam perspektif kultural kontemporer, ajaran Ṣadrā juga menawarkan paradigma alternatif terhadap krisis spiritual modern.¹⁵ Di tengah fragmentasi dan materialisme yang mendominasi masyarakat modern, filsafat eksistensial-transendental Mullā Ṣadrā mengajak manusia untuk menemukan kembali makna eksistensinya melalui kesadaran metafisik. Kesadaran bahwa keberadaan manusia merupakan bagian dari gerak kosmik menuju Tuhan melahirkan tanggung jawab etis dan ekologis untuk menjaga keseimbangan alam.¹⁶ Alam bukan sekadar sumber daya, tetapi bagian dari rantai eksistensi Ilahi yang harus dihormati.

Dengan demikian, dimensi sosial dan kultural dalam filsafat Mullā Ṣadrā memperlihatkan bahwa metafisika tidak berhenti pada tataran spekulatif, tetapi menjelma menjadi dasar etika sosial, politik spiritual, dan kesadaran budaya. Masyarakat yang ideal menurut Ṣadrā adalah masyarakat yang menyadari bahwa eksistensi bersifat suci, dan bahwa kehidupan sosial merupakan bagian dari perjalanan kosmik menuju kesempurnaan wujud.¹⁷ Dalam kerangka ini, spiritualitas dan kebudayaan berpadu: keduanya menjadi cara manusia berpartisipasi dalam simfoni Ilahi keberadaan.¹⁸


Footnotes

[1]                 ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 220–222.

[2]                 ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 156–158.

[3]                 ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 133–135.

[4]                 ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 68–69.

[5]                 ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 280–282.

[6]                 ⁶ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 160–161.

[7]                 ⁷ Hossein Ziai, “Philosophy and Politics in Safavid Iran: The Role of the Hakim,” Iranian Studies 42, no. 5 (2009): 613–616.

[8]                 ⁸ Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: State University of New York Press, 1987), 97–99.

[9]                 ⁹ Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon, 1997), 220–222.

[10]              ¹⁰ Corbin, En Islam Iranien, 137–139.

[11]              ¹¹ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 225–227.

[12]              ¹² Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 165–167.

[13]              ¹³ William Chittick, “Unity in Diversity: Ontological Foundations of Islamic Tolerance,” Islamic Studies 40, no. 2 (2001): 205–208.

[14]              ¹⁴ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 286–288.

[15]              ¹⁵ Corbin, En Islam Iranien, 142–144.

[16]              ¹⁶ Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 81–84.

[17]              ¹⁷ Ziai, “Ethical Dimensions of Sadrian Metaphysics,” Iranian Studies 43, no. 2 (2010): 160–162.

[18]              ¹⁸ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 231–233.


9.           Perbandingan Filosofis

Pemikiran Mullā Ṣadrā dalam al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Kebijaksanaan Transendental) menempati posisi unik dalam sejarah filsafat karena kemampuannya mengintegrasikan berbagai tradisi intelektual Islam — peripatetik, iluminatif, dan sufistik — sekaligus menghadirkan wawasan yang sebanding dengan eksistensialisme dan transendentalisme dalam filsafat Barat modern.¹ Untuk memahami kedalaman filsafatnya, diperlukan pendekatan komparatif yang menempatkan sistem Sadrian dalam dialog dengan para pemikir besar seperti Ibn Sīnā, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī, Immanuel Kant, dan Martin Heidegger.²

9.1.       Mullā Ṣadrā dan Ibn Sīnā: dari Esensialisme ke Eksistensialisme

Filsafat Ibn Sīnā (Avicenna) membangun metafisika yang berpusat pada esensi (māhiyyah). Dalam kerangka Avicennian, eksistensi dipandang sebagai aksiden yang melekat pada esensi ketika ia teraktualisasi dalam kenyataan.³ Mullā Ṣadrā menolak pandangan ini dengan menyatakan bahwa yang nyata bukanlah esensi, melainkan wujud itu sendiri (aṣālat al-wujūd).⁴ Ia membalikkan fondasi metafisika Avicenna dan menegaskan bahwa esensi hanyalah konsepsi mental yang tidak memiliki realitas di luar pikiran. Dengan demikian, Ṣadrā memindahkan pusat gravitasi filsafat Islam dari esensialisme ke eksistensialisme, yang berorientasi pada dinamika keberadaan.⁵

Namun demikian, Ṣadrā tetap mempertahankan warisan logika dan struktur epistemologis Avicennian.⁶ Ia mengakui pentingnya rasionalitas dan demonstrasi (burhān), tetapi memperluasnya dengan dimensi intuisi (kashf) dan kehadiran eksistensial (ḥuḍūr). Dengan kata lain, Mullā Ṣadrā tidak memutus tradisi Ibn Sīnā, melainkan mentransformasikannya dalam arah eksistensial-transendental yang lebih luas.

9.2.       Mullā Ṣadrā dan Suhrawardī: dari Iluminasi ke Gradasi Eksistensi

Suhrawardī, pendiri filsafat iluminasi (ḥikmat al-ishrāq), memahami realitas sebagai hierarki cahaya (nūr) yang memancar dari Cahaya Tertinggi.⁷ Konsep ini menjadi jembatan antara rasionalisme peripatetik dan mistisisme sufistik. Namun, bagi Mullā Ṣadrā, istilah “cahaya” bersifat simbolik dan belum memberikan dasar ontologis yang memadai. Ia menggantikannya dengan konsep wujud yang bersifat gradasional (tashkīk al-wujūd), yang memiliki struktur analog dengan hierarki cahaya Suhrawardī, tetapi dengan fondasi ontologis yang lebih kuat.⁸

Jika bagi Suhrawardī pengetahuan diperoleh melalui iluminasi spiritual, maka bagi Ṣadrā, pengetahuan merupakan bentuk eksistensi itu sendiri (al-‘ilm ṣūratun min ṣuwar al-wujūd).⁹ Ia menafsirkan pengalaman iluminatif dalam kerangka ontologis: ketika manusia mengetahui sesuatu, ia tidak sekadar diterangi, tetapi mengalami peningkatan intensitas wujud. Dengan demikian, Ṣadrā mengintegrasikan intuisi iluminatif Suhrawardī ke dalam sistem metafisika yang lebih komprehensif.¹⁰

9.3.       Mullā Ṣadrā dan Ibn ‘Arabī: Kesatuan Wujud dan Eksistensi Dinamis

Pemikiran Ibn ‘Arabī tentang waḥdat al-wujūd (kesatuan wujud) memberikan pengaruh mendalam terhadap Mullā Ṣadrā.¹¹ Namun, jika dalam sufisme Ibn ‘Arabī kesatuan wujud sering diungkapkan dalam bahasa mistik dan simbolis, Ṣadrā mengekspresikannya dalam bahasa filsafat rasional. Ia menafsirkan kesatuan wujud bukan sebagai identitas absolut antara Tuhan dan makhluk, tetapi sebagai kesatuan gradasional: wujud Ilahi merupakan sumber dari semua tingkatan eksistensi, dan makhluk hanyalah manifestasi dengan intensitas wujud yang lebih rendah.¹²

Dalam hal ini, Ṣadrā berhasil menyintesiskan mistisisme Ibn ‘Arabī dengan rasionalisme Avicennian dan iluminasi Suhrawardian. Ia mengubah doktrin waḥdat al-wujūd menjadi sistem metafisika eksistensial yang terstruktur secara logis.¹³ Kesatuan wujud tidak berarti penyeragaman, melainkan kesatuan dalam diferensiasi — prinsip ontologis yang memungkinkan pluralitas tanpa dualisme.

9.4.       Mullā Ṣadrā dan Kant: Transendentalisme dan Kondisi Pengetahuan

Dalam tradisi filsafat Barat, terdapat resonansi antara epistemologi Mullā Ṣadrā dan transendentalisme Immanuel Kant, meskipun keduanya berangkat dari premis yang berbeda. Kant menekankan bahwa pengetahuan manusia bergantung pada kondisi transendental kesadaran, di mana subjek memberikan bentuk pada pengalaman melalui kategori-kategori apriori.¹⁴ Sebaliknya, Ṣadrā menegaskan bahwa pengetahuan sejati bukan hasil konstruksi subjek, melainkan partisipasi eksistensial dalam realitas yang diketahui (al-‘ilm al-ḥuḍūrī).¹⁵

Bagi Kant, transendental berarti “syarat kemungkinan pengalaman,” sedangkan bagi Ṣadrā, transendental berarti “tingkat kesadaran eksistensial yang melampaui dunia fenomenal.”¹⁶ Dengan demikian, meskipun kedua filsuf berbicara tentang “transendental,” maknanya berbeda secara fundamental: Kant membatasinya pada struktur subyektivitas, sementara Ṣadrā menempatkannya dalam horizon ontologis yang terbuka menuju Yang Mutlak.

9.5.       Mullā Ṣadrā dan Heidegger: Eksistensi dan Pengejawantahan Wujud

Di antara pemikir modern, Martin Heidegger memiliki kedekatan paling signifikan dengan Mullā Ṣadrā dalam hal pendekatan eksistensial terhadap wujud. Heidegger menegaskan bahwa filsafat Barat telah melupakan “pertanyaan tentang makna Being,” dan berupaya mengembalikannya ke pusat refleksi filosofis.¹⁷ Demikian pula, Mullā Ṣadrā menjadikan wujūd sebagai tema utama filsafatnya, menolak subordinasi wujud terhadap esensi.¹⁸ Namun, jika Heidegger memahami Being melalui analisis fenomenologis terhadap Dasein (ada-manusia), maka Ṣadrā memahami wujud sebagai realitas metafisik yang bertingkat dan bersumber pada Tuhan.¹⁹

Keduanya sama-sama menolak pandangan statis tentang keberadaan dan menekankan bahwa wujud bersifat dinamis dan terungkap dalam proses. Namun, perbedaan paling mendasar terletak pada orientasi ontologis: bagi Heidegger, wujud tidak identik dengan Tuhan; sedangkan bagi Ṣadrā, Tuhan adalah Wujud itu sendiri.²⁰ Heidegger mengungkapkan Being melalui keterlemparan eksistensial manusia dalam dunia, sementara Ṣadrā memahaminya sebagai perjalanan jiwa dari keterikatan material menuju penyatuan dengan Wujud Mutlak.²¹


Sintesis Perbandingan: Eksistensialisme Transendental sebagai Jembatan

Melalui perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa sistem Mullā Ṣadrā merupakan bentuk eksistensialisme transendental yang menggabungkan aspek metafisika, fenomenologis, dan spiritual.²² Ia melampaui rasionalisme Avicennian tanpa menolaknya, menafsirkan intuisi Suhrawardian dalam kerangka ontologis, serta memformulasikan mistisisme Ibn ‘Arabī dalam bahasa logika. Pada saat yang sama, sistemnya membuka dialog yang produktif dengan filsafat modern: antara pengalaman transendental Kantian dan eksistensialisme Heideggerian.²³

Mullā Ṣadrā menunjukkan bahwa eksistensi bukan hanya tema metafisik, tetapi juga dasar kesadaran, moralitas, dan spiritualitas manusia. Dengan menggabungkan rasionalitas, iluminasi, dan kehadiran, ia menciptakan paradigma filosofis yang menjembatani Timur dan Barat — rasionalitas dan mistisisme, iman dan filsafat, eksistensi dan transendensi.²⁴


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 236–238.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 171–173.

[3]                ³ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton: Princeton University Press, 1960), 89–91.

[4]                ⁴ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 177–179.

[5]                ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 291–293.

[6]                ⁶ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 73–75.

[7]                ⁷ Hossein Ziai, “The Light Metaphor in Suhrawardi’s Philosophy,” Islamic Studies 27, no. 3 (1988): 243–246.

[8]                ⁸ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 241–243.

[9]                ⁹ William Chittick, “Knowledge as Presence: An Ontological Paradigm in Islamic Philosophy,” Islamic Studies 33, no. 2 (1994): 155–158.

[10]             ¹⁰ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 181–184.

[11]             ¹¹ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 201–203.

[12]             ¹² Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 297–300.

[13]             ¹³ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 187–189.

[14]             ¹⁴ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51–B75.

[15]             ¹⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 78–80.

[16]             ¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 111–113.

[17]             ¹⁷ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–36.

[18]             ¹⁸ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 191–193.

[19]             ¹⁹ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 156–158.

[20]             ²⁰ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 249–251.

[21]             ²¹ Ziai, “Being and Knowing: The Ontological Foundations of Sadrian Epistemology,” Iranian Studies 39, no. 3 (2006): 330–333.

[22]             ²² Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 195–197.

[23]             ²³ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 303–305.

[24]             ²⁴ Corbin, En Islam Iranien, 160–163.


10.       Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Filsafat Mullā Ṣadrā, meskipun dianggap sebagai puncak integrasi antara rasionalisme, iluminasi, dan mistisisme dalam tradisi Islam, tidak luput dari kritik dan kebutuhan klarifikasi filosofis.¹ Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai arah: dari kalangan rasionalis yang menuduhnya terlalu mistik, dari kaum sufi yang menganggapnya terlalu rasional, serta dari para modernis yang menilai sistemnya sulit diterapkan pada konteks empiris dan ilmiah kontemporer.² Namun, justru di antara ketegangan inilah tampak kedalaman proyek filsafat Sadrian yang berupaya memadukan logika dan pengalaman spiritual dalam satu struktur ontologis yang kohesif.

10.1.    Kritik terhadap Asālat al-Wujūd dan Tashkīk al-Wujūd

Salah satu kritik utama terhadap sistem Mullā Ṣadrā menyasar doktrin aṣālat al-wujūd (primordialitas wujud) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi).³ Sebagian filsuf peripatetik menilai bahwa konsep tersebut terlalu abstrak dan tidak memberikan dasar logis yang memadai untuk menjelaskan perbedaan nyata antara entitas.⁴ Mereka berpendapat bahwa jika seluruh realitas hanyalah variasi dari satu wujud yang sama, maka konsekuensinya adalah hilangnya batas identitas antar-objek, dan filsafat kehilangan daya jelajahnya terhadap keragaman empiris. Mullā Ṣadrā menjawab keberatan ini dengan membedakan antara kesatuan hakikat (ittiḥād al-ḥaqīqah) dan perbedaan intensitas (ikhtilāf al-tashkīkī).⁵ Kesatuan wujud tidak meniadakan pluralitas, melainkan menegaskan bahwa pluralitas adalah manifestasi bertingkat dari realitas yang tunggal.

Selain itu, beberapa teolog mutakallimūn juga menganggap bahwa doktrin tashkīk al-wujūd dapat mengaburkan transendensi Tuhan.⁶ Jika seluruh eksistensi adalah pancaran dari Wujud Ilahi, maka di manakah batas antara Khalik dan makhluk? Mullā Ṣadrā menanggapi hal ini dengan konsep tajallī (penampakan Ilahi), yang menegaskan bahwa seluruh realitas memang merupakan manifestasi dari Tuhan, tetapi manifestasi tidak identik dengan sumbernya.⁷ Dengan demikian, transendensi Tuhan tetap terjaga, sementara immanensi-Nya menjamin kehadiran eksistensial di seluruh lapisan realitas.

10.2.    Kritik terhadap Epistemologi al-‘Ilm al-Ḥuḍūrī

Epistemologi al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan sebagai kehadiran) juga menjadi sasaran kritik. Para rasionalis menuduh konsep ini terlalu subjektif karena menjadikan pengalaman intuitif atau kesadaran eksistensial sebagai sumber pengetahuan yang sah.⁸ Bagi mereka, hal ini membuka ruang bagi relativisme mistik dan mengaburkan batas antara pengetahuan filosofis dan pengalaman religius. Mullā Ṣadrā sendiri menjelaskan bahwa al-‘ilm al-ḥuḍūrī bukan sekadar pengalaman pribadi, tetapi bentuk tertinggi dari kesatuan ontologis antara yang mengetahui dan yang diketahui.⁹ Ia menegaskan bahwa dalam pengetahuan semacam ini, tidak ada representasi atau mediasi — yang hadir adalah realitas itu sendiri. Kritik ini memperlihatkan perbedaan paradigma antara epistemologi representasional dan epistemologi eksistensial: yang pertama menekankan hubungan kognitif, sementara yang kedua menekankan kehadiran ontologis.¹⁰

Namun, klarifikasi filosofis diperlukan untuk menjawab apakah semua bentuk pengetahuan dapat dimasukkan dalam kategori ḥuḍūrī. Mullā Ṣadrā membedakan antara pengetahuan diskursif (‘ilm ḥuṣūlī), yang bergantung pada konsep dan bahasa, dan pengetahuan kehadiran (‘ilm ḥuḍūrī), yang non-representasional.¹¹ Dengan demikian, epistemologi Sadrian tidak menolak rasionalitas, melainkan menempatkan akal dalam struktur yang lebih tinggi dari eksistensi dan kesadaran.

10.3.    Kritik terhadap Harakat Jawhariyyah

Konsep ḥarakat jawhariyyah (gerak substansial) juga menuai perdebatan. Para Aristotelian menolak ide bahwa substansi dapat berubah, sebab bagi mereka perubahan hanya terjadi pada aksiden.¹² Mullā Ṣadrā membantah dengan argumen bahwa jika realitas adalah wujud yang terus menyingkapkan dirinya, maka perubahan adalah sifat esensial dari eksistensi.¹³ Alam semesta, jiwa, bahkan akal manusia, semuanya bergerak dalam arah kesempurnaan. Dalam kerangka ini, gerak tidak hanya fisik, tetapi ontologis. Namun, beberapa filsuf modern menganggap pandangan ini terlalu metaforis dan tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁴

Kritik modern ini menuntut klarifikasi mengenai status ontologis gerak substansial. Apakah ia bersifat empiris, metaforis, atau simbolik? Jawaban Sadrian bersifat dual: gerak substansial adalah realitas metafisik yang terungkap melalui proses temporal.¹⁵ Ia bersifat empiris dalam manifestasinya, tetapi metafisik dalam hakikatnya. Dengan demikian, gerak substansial berfungsi sebagai jembatan antara dunia inderawi dan dunia spiritual — suatu sintesis yang sulit ditemukan dalam metafisika modern.

10.4.    Kritik terhadap Aspek Mistisisme dan Non-Verifikabilitas

Kritik lain datang dari kalangan positivis dan modernis yang menilai sistem Mullā Ṣadrā terlalu sarat dengan unsur mistik dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah.¹⁶ Mereka menuduh filsafat Sadrian lebih mendekati teosofi daripada filsafat rasional. Namun, Mullā Ṣadrā justru menyatakan bahwa kebenaran filosofis tidak semata-mata diverifikasi melalui rasio empiris, tetapi melalui kesesuaian antara akal dan realitas eksistensial (mutābaqat al-‘aql wa al-wujūd).¹⁷ Dalam hal ini, ia lebih dekat pada paradigma fenomenologis kontemporer yang memandang pengalaman kesadaran sebagai dasar realitas, bukan sekadar epifenomena dari dunia materi.

Kritik ini mengandung nilai penting karena menuntut reinterpretasi atas sistem Sadrian agar tetap relevan dalam konteks filsafat modern. Filsafat Ṣadrā memang tidak bertujuan menggantikan sains, tetapi melengkapi pemahaman rasional dengan kedalaman ontologis yang hilang dalam paradigma materialistik.¹⁸


Klarifikasi Filosofis: Kesatuan Rasio dan Intuisi

Klarifikasi mendasar atas sistem Mullā Ṣadrā terletak pada upayanya mempersatukan rasionalitas (burhān), iluminasi (ishrāq), dan intuisi spiritual (kashf).¹⁹ Ketiganya tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi dalam struktur eksistensial pengetahuan. Ia membangun epistemologi yang menyatukan filsafat dan pengalaman religius dalam satu horizon kebenaran yang bersifat wujudiah.²⁰ Dengan demikian, sistem Sadrian dapat dipahami sebagai paradigma integratif yang menolak dikotomi antara ilmu dan iman, antara filsafat dan teologi.

Filsafat Mullā Ṣadrā tidak menutup ruang kritik; justru sifatnya yang transendental membuka kemungkinan revisi dan reinterpretasi terus-menerus.²¹ Nilai abadi dari sistemnya bukan pada keabsolutan doktrin, tetapi pada dinamika eksistensial yang selalu berkembang — sejalan dengan gerak wujud itu sendiri. Dengan demikian, kritik terhadapnya bukan sekadar pembongkaran, melainkan bagian dari perjalanan panjang filsafat menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang keberadaan.²²


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 255–257.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 200–203.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 168–170.

[4]                ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 83–85.

[5]                ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 310–312.

[6]                ⁶ William Chittick, “Divine Immanence and Transcendence in Sadrian Metaphysics,” Islamic Studies 33, no. 3 (1994): 221–223.

[7]                ⁷ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 208–210.

[8]                ⁸ Corbin, En Islam Iranien, 173–174.

[9]                ⁹ Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 87–89.

[10]             ¹⁰ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 119–121.

[11]             ¹¹ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 212–214.

[12]             ¹² Hossein Ziai, “Motion and Substantial Change in Mulla Sadra,” Philosophy East and West 30, no. 1 (1980): 83–85.

[13]             ¹³ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 262–263.

[14]             ¹⁴ Chittick, “Being and Becoming in Islamic Thought,” Islamic Studies 38, no. 4 (1999): 412–415.

[15]             ¹⁵ Corbin, En Islam Iranien, 176–178.

[16]             ¹⁶ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 218–220.

[17]             ¹⁷ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 317–319.

[18]             ¹⁸ Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmond: Curzon, 1997), 229–231.

[19]             ¹⁹ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 267–269.

[20]             ²⁰ Corbin, En Islam Iranien, 181–183.

[21]             ²¹ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 222–224.

[22]             ²² Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 324–326.


11.       Relevansi Kontemporer

Pemikiran Mullā Ṣadrā dalam al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah tetap relevan dalam konteks kontemporer karena kemampuannya menjembatani rasionalitas, spiritualitas, dan kemanusiaan dalam satu kerangka metafisik yang komprehensif.¹ Filsafatnya tidak hanya menegaskan realitas keberadaan (wujūd), tetapi juga menawarkan cara baru memahami manusia, pengetahuan, dan Tuhan di tengah krisis modernitas — baik krisis epistemologis, moral, maupun ekologis.² Dalam dunia yang ditandai oleh fragmentasi intelektual dan sekularisasi nilai, pemikiran Ṣadrā menghadirkan kembali visi kosmos yang menyatu, di mana rasio dan wahyu, sains dan spiritualitas, tidak diposisikan sebagai lawan, melainkan sebagai dimensi yang saling melengkapi dari kebenaran yang satu.³

11.1.    Relevansi dalam Konteks Filsafat Modern dan Sains

Dalam era dominasi positivisme dan empirisme, filsafat Ṣadrā memberikan alternatif terhadap paradigma reduksionistik yang menafsirkan realitas semata-mata dalam kerangka material.⁴ Prinsip aṣālat al-wujūd (primordialitas wujud) menegaskan bahwa realitas memiliki dimensi eksistensial yang lebih luas daripada apa yang bisa diukur secara empiris. Filsafat ini membuka ruang bagi dialog antara ilmu pengetahuan dan metafisika dengan menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah hanyalah salah satu bentuk manifestasi dari kesadaran eksistensial manusia.⁵

Gagasan ḥarakat jawhariyyah (gerak substansial) juga memiliki relevansi terhadap sains modern. Ia dapat dibaca sebagai kerangka metafisik yang kompatibel dengan teori evolusi dan kosmologi modern, yang sama-sama melihat alam semesta sebagai proses dinamis dan berkembang.⁶ Namun, Ṣadrā memberikan dimensi spiritual terhadap proses tersebut — bahwa gerak alam bukan sekadar transformasi fisik, melainkan perjalanan ontologis menuju kesempurnaan eksistensial. Dalam konteks ini, filsafat Ṣadrā menawarkan paradigma proses transendental yang menyatukan sains, metafisika, dan teologi dalam satu visi kosmos yang hidup.⁷

11.2.    Relevansi terhadap Krisis Etika dan Spiritualitas Modern

Krisis moral dan eksistensial yang melanda dunia modern berakar pada pemisahan antara pengetahuan dan nilai, antara fakta dan makna.⁸ Mullā Ṣadrā menawarkan solusi dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati bersifat eksistensial, bukan sekadar konseptual. Dalam epistemologi al-‘ilm al-ḥuḍūrī, mengetahui berarti berpartisipasi dalam realitas yang diketahui.⁹ Dengan demikian, etika tidak dapat dipisahkan dari ontologi: setiap tindakan moral yang benar adalah intensifikasi wujud yang mendekatkan manusia kepada realitas Ilahi.

Dalam konteks spiritualitas, ajaran Ṣadrā sangat relevan bagi pencarian makna hidup manusia modern. Ia menolak dualisme antara dunia dan Tuhan, antara akal dan iman, antara sains dan agama.¹⁰ Dalam kerangka ini, manusia tidak hanya makhluk rasional, tetapi entitas eksistensial yang sedang bergerak menuju kesempurnaan. Proses spiritual bukanlah pelarian dari dunia, melainkan penyucian dunia melalui kesadaran transendental terhadap wujud.¹¹

11.3.    Relevansi Sosial dan Pendidikan

Pemikiran Mullā Ṣadrā juga memiliki implikasi besar bagi pendidikan dan tatanan sosial. Ia menolak pandangan mekanistik tentang manusia dan menegaskan pentingnya integrasi antara pendidikan intelektual dan spiritual.¹² Tujuan pendidikan, menurutnya, adalah transformasi wujud manusia, bukan sekadar transfer pengetahuan. Dalam konteks ini, sistem pendidikan modern dapat belajar dari pendekatan ḥikmah muta‘āliyah yang memandang proses belajar sebagai gerak jiwa menuju kesempurnaan.¹³

Pada ranah sosial, filsafat Sadrian memberikan dasar bagi etika solidaritas dan tanggung jawab ekologis. Prinsip waḥdat al-wujūd (kesatuan eksistensi) menuntut kesadaran bahwa manusia, alam, dan Tuhan merupakan bagian dari satu realitas kosmik yang saling terkait.¹⁴ Dengan demikian, perusakan lingkungan bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap struktur ontologis keberadaan itu sendiri. Kesadaran ekologis yang berakar pada spiritualitas eksistensial Ṣadrā dapat menjadi dasar bagi etika lingkungan global yang lebih manusiawi dan sakral.¹⁵

11.4.    Dialog antara Tradisi Islam dan Pemikiran Global

Dalam dunia yang semakin plural dan terfragmentasi, filsafat Mullā Ṣadrā berpotensi menjadi jembatan antara Timur dan Barat.¹⁶ Konsep eksistensialisme transendental dalam Hikmah Muta‘āliyah membuka ruang dialog dengan fenomenologi Heidegger, eksistensialisme Kierkegaard, maupun filsafat proses Alfred North Whitehead. Meskipun berbeda secara terminologis, kesemuanya berbagi kegelisahan yang sama: pencarian makna dalam keberadaan.¹⁷

Selain itu, pemikiran Ṣadrā memperkaya wacana filsafat global dengan menghadirkan “ontologi spiritual” yang tidak menolak rasionalitas, tetapi menempatkannya dalam horizon transendensi. Dalam konteks pasca-sekuler, gagasan tentang kesatuan pengetahuan dan eksistensi dapat membantu membangun sintesis baru antara ilmu, etika, dan agama.¹⁸ Dengan demikian, filsafat Ṣadrā dapat dibaca sebagai bentuk awal dari paradigma post-materialist philosophy yang kini berkembang dalam diskursus filsafat kontemporer.¹⁹


Relevansi dalam Konteks Indonesia dan Dunia Islam Modern

Dalam konteks Islam kontemporer, termasuk di Indonesia, pemikiran Mullā Ṣadrā memiliki potensi besar sebagai dasar pengembangan pendidikan dan etika publik.²⁰ Ia menawarkan kerangka yang menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia, antara pemikiran rasional dan spiritualitas. Pandangan ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat modern yang mencari keseimbangan antara kemajuan intelektual dan ketenangan batin.²¹ Dalam masyarakat yang tengah menghadapi krisis moral, ekologis, dan eksistensial, paradigma eksistensial-transendental dapat menumbuhkan kesadaran baru tentang makna keberadaan manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi.²²

Dengan demikian, relevansi filsafat Mullā Ṣadrā tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga praksis. Ia menawarkan paradigma kehidupan yang menekankan integrasi antara akal dan hati, pengetahuan dan kebijaksanaan, sains dan wahyu.²³ Filsafatnya menjadi cermin bagi masa depan pemikiran Islam yang mampu berdialog dengan modernitas tanpa kehilangan akar spiritualnya.


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 272–274.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 226–228.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 185–187.

[4]                ⁴ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 331–333.

[5]                ⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 95–97.

[6]                ⁶ William Chittick, “Cosmic Motion and Spiritual Evolution in Sadrian Thought,” Islamic Studies 34, no. 3 (1995): 278–281.

[7]                ⁷ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 230–232.

[8]                ⁸ Hossein Ziai, “The Ethical Implications of Sadrian Ontology,” Iranian Studies 43, no. 2 (2010): 170–173.

[9]                ⁹ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 125–127.

[10]             ¹⁰ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 217–219.

[11]             ¹¹ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 279–281.

[12]             ¹² Mehdi Aminrazavi, The Islamic Philosophy of Education (London: Routledge, 2013), 41–43.

[13]             ¹³ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 236–238.

[14]             ¹⁴ Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 87–89.

[15]             ¹⁵ William Chittick, “The Spiritual Ecology of Mullā Ṣadrā,” Islamic Studies 37, no. 4 (1998): 401–404.

[16]             ¹⁶ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 338–341.

[17]             ¹⁷ Ziai, “Being and Knowing: The Ontological Foundations of Sadrian Epistemology,” Iranian Studies 39, no. 3 (2006): 335–337.

[18]             ¹⁸ Nasr, Knowledge and the Sacred, 129–132.

[19]             ¹⁹ Corbin, En Islam Iranien, 190–192.

[20]             ²⁰ Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 57–59.

[21]             ²¹ Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Gramedia, 2009), 142–145.

[22]             ²² Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 95–97.

[23]             ²³ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 240–242.


12.       Sintesis Filosofis

Filsafat Mullā Ṣadrā, yang dikenal dengan sebutan al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah (Kebijaksanaan Transendental), merupakan sebuah sintesis filosofis yang menyatukan tiga tradisi besar dalam intelektualitas Islam: rasionalisme peripatetik (mashshā’īyah), iluminasi isyrāqīyah, dan gnosis (‘irfānīyah).¹ Sintesis ini bukan hasil kompromi semata, melainkan integrasi ontologis, epistemologis, dan spiritual yang melahirkan paradigma baru dalam filsafat Islam. Mullā Ṣadrā tidak hanya menggabungkan sistem-sistem terdahulu, tetapi menstrukturkannya ulang dalam kerangka eksistensial di mana wujūd menjadi pusat seluruh realitas.² Dalam pandangan ini, wujud tidak hanya menjadi dasar ontologi, tetapi juga kunci bagi epistemologi, aksiologi, dan teologi.

12.1.    Integrasi Ontologis: Kesatuan Wujud dan Gradasi Realitas

Pada tataran ontologis, sintesis Mullā Ṣadrā tampak dalam perpaduan antara konsep Avicennian tentang sebab- akibat (‘illah–ma‘lūl), teori iluminatif Suhrawardī tentang hierarki cahaya, dan doktrin Ibn ‘Arabī tentang kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd).³ Ia menjadikan aṣālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) sebagai prinsip tertinggi yang menjelaskan bagaimana semua entitas berada dalam kesatuan yang dinamis dan bertingkat (tashkīk al-wujūd).⁴ Dengan demikian, ia berhasil menyingkirkan dikotomi antara yang rasional dan yang mistik, antara Tuhan dan alam, antara keberagaman dan kesatuan. Dalam kerangka ini, Tuhan adalah realitas eksistensi yang paling intens, sementara ciptaan merupakan manifestasi bertingkat dari wujud-Nya.⁵

Sintesis ontologis ini memiliki makna mendalam bagi filsafat kontemporer: ia menunjukkan bahwa pluralitas tidak meniadakan kesatuan, dan kesatuan tidak menghapus diferensiasi. Wujud tunggal dapat memanifestasikan dirinya dalam banyak bentuk tanpa kehilangan identitas metafisiknya. Dengan demikian, Mullā Ṣadrā memberikan dasar metafisik bagi konsep keanekaragaman ontologis yang tetap berakar pada prinsip keesaan Ilahi.⁶

12.2.    Integrasi Epistemologis: Rasionalitas dan Kehadiran

Di bidang epistemologi, Mullā Ṣadrā mensintesiskan metode demonstratif (burhān), iluminatif (ishrāq), dan intuitif (kashf).⁷ Ia menolak dikotomi antara rasio dan intuisi, dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah bentuk eksistensi — bukan sekadar representasi mental. Dalam konsep al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan kehadiran), ia menyatakan bahwa subjek dan objek pengetahuan tidak terpisah secara hakiki; keduanya bersatu dalam realitas wujud yang sama.⁸

Filsafat ini menyatukan jalan filsafat rasional dengan pengalaman mistik tanpa menegasikan keduanya. Ia menempatkan intuisi bukan sebagai pengganti akal, tetapi sebagai puncak kesempurnaan akal.⁹ Dengan demikian, epistemologi Mullā Ṣadrā melampaui dualisme antara empirisme dan idealisme, menghadirkan paradigma eksistensial-transendental di mana mengetahui berarti “mengada” dalam kesadaran yang sejati.¹⁰

12.3.    Integrasi Antropologis: Gerak Jiwa Menuju Kesempurnaan

Pada tataran antropologis, sintesis Ṣadrā tercermin dalam konsep al-ḥarakat al-jawhariyyah (gerak substansial) dan evolusi jiwa.¹¹ Ia memadukan teori bentuk Aristotelian dengan pandangan sufistik tentang perjalanan spiritual jiwa. Jiwa, menurutnya, bermula secara jasmani (jasmaniyyat al-ḥudūth), tetapi berlanjut secara ruhani (rūḥaniyyat al-baqā’).¹² Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang secara ontologis bergerak dari materi menuju Tuhan.

Pandangan ini tidak hanya menjelaskan struktur manusia secara metafisik, tetapi juga memberikan dasar bagi spiritualitas eksistensial: kehidupan manusia adalah proses penyempurnaan eksistensi, bukan sekadar pemenuhan moral atau intelektual.¹³ Dalam kerangka ini, Mullā Ṣadrā berhasil mengintegrasikan filsafat manusia Aristotelian, psikologi Avicennian, dan antropologi mistik Ibn ‘Arabī menjadi pandangan yang koheren tentang manusia sebagai mikrokosmos dari wujud Ilahi.¹⁴

12.4.    Integrasi Teologis dan Kosmologis: Transendensi dan Immanensi

Filsafat teologi Ṣadrā juga merupakan hasil integrasi yang mendalam. Ia menggabungkan konsep Tuhan sebagai “Sebab Pertama” dalam tradisi peripatetik dengan pemahaman sufi tentang Tuhan sebagai “Cahaya dari segala cahaya” (Nūr al-Anwār).¹⁵ Melalui konsep tajallī (penampakan Ilahi), ia menjelaskan bahwa Tuhan tidak menciptakan dunia melalui tindakan temporal, melainkan melalui pancaran eksistensial yang terus-menerus.¹⁶ Hal ini menjembatani perbedaan antara teologi rasional dan mistik — antara transendensi Tuhan yang mutlak dan kehadiran-Nya yang imanen di dalam ciptaan.¹⁷

Dalam konteks ini, sistem Hikmah Muta‘āliyah menghadirkan model kosmologi yang dinamis: alam semesta bukan mesin deterministik, melainkan proses eksistensial menuju kesempurnaan. Semua yang ada “bergerak menuju Tuhan,” sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘ūn (QS. 2:156).¹⁸ Dengan demikian, teologi Ṣadrā meneguhkan kesatuan antara ilmu dan iman, logika dan wahyu, rasionalitas dan spiritualitas.¹⁹

12.5.    Integrasi Aksiologis: Etika Eksistensial dan Spiritualitas Wujud

Pada tataran aksiologis, sintesis Ṣadrā terwujud dalam pemahaman bahwa kebaikan adalah intensifikasi wujud, sedangkan kejahatan adalah kekurangan eksistensi.²⁰ Etika, dalam kerangka ini, tidak lagi dipahami sebagai seperangkat aturan, tetapi sebagai proses ontologis penyempurnaan jiwa.²¹ Tindakan baik adalah tindakan yang memperluas eksistensi, sementara dosa adalah tindakan yang membatasi atau menurunkan intensitas keberadaan manusia.

Aksiologi Ṣadrā menyatukan rasionalitas etis Aristotelian, intuisi mistik sufistik, dan kesadaran moral Qur’ani dalam satu struktur eksistensial.²² Dalam hal ini, moralitas tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas, sebab keduanya merupakan ekspresi konkret dari ḥikmah muta‘āliyah: kebijaksanaan yang menjadikan keberadaan sebagai jalan menuju kebenaran dan keindahan Ilahi.²³


Paradigma Sintetik dan Relevansinya

Sintesis filosofis Mullā Ṣadrā pada akhirnya melahirkan paradigma baru dalam filsafat Islam yang mampu berdialog dengan filsafat modern.²⁴ Dengan menyatukan rasionalisme dan mistisisme, ia menciptakan model berpikir yang tidak hanya mengedepankan kebenaran logis, tetapi juga keutuhan eksistensial. Filsafatnya menjadi dasar bagi pemikiran post-metafisik yang mengembalikan spiritualitas dalam diskursus filsafat tanpa meninggalkan disiplin rasional.²⁵

Paradigma ini juga membuka ruang bagi etika global, ekoteologi, dan pendidikan spiritual di zaman modern. Kesatuan antara wujud, pengetahuan, dan nilai yang diajarkan Mullā Ṣadrā dapat menginspirasi model peradaban yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.²⁶ Dengan demikian, sintesis filosofisnya bukan hanya pencapaian intelektual masa lalu, melainkan juga fondasi bagi filsafat masa depan — sebuah filsafat yang hidup, dinamis, dan terbuka terhadap transendensi.²⁷


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 281–283.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 245–247.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 195–197.

[4]                ⁴ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 101–103.

[5]                ⁵ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 346–348.

[6]                ⁶ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 250–252.

[7]                ⁷ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 137–139.

[8]                ⁸ William Chittick, “Knowledge as Presence: An Ontological Paradigm in Islamic Thought,” Islamic Studies 33, no. 2 (1994): 161–163.

[9]                ⁹ Hossein Ziai, “Being and Knowing: The Ontological Foundations of Sadrian Epistemology,” Iranian Studies 39, no. 3 (2006): 340–342.

[10]             ¹⁰ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 255–257.

[11]             ¹¹ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 287–289.

[12]             ¹² Corbin, En Islam Iranien, 202–204.

[13]             ¹³ Mehdi Aminrazavi, The Islamic Philosophy of Education (London: Routledge, 2013), 49–51.

[14]             ¹⁴ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 353–355.

[15]             ¹⁵ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 260–262.

[16]             ¹⁶ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 221–223.

[17]             ¹⁷ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 293–295.

[18]             ¹⁸ Al-Qur’an, 2:156.

[19]             ¹⁹ Nasr, Knowledge and the Sacred, 143–145.

[20]             ²⁰ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 266–268.

[21]             ²¹ Ziai, “Ethical Dimensions of Sadrian Metaphysics,” Iranian Studies 43, no. 2 (2010): 173–175.

[22]             ²² Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 359–361.

[23]             ²³ Corbin, En Islam Iranien, 210–212.

[24]             ²⁴ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 270–273.

[25]             ²⁵ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 299–301.

[26]             ²⁶ William Chittick, “The Unity of Knowledge in the Philosophy of Mulla Sadra,” Islamic Studies 41, no. 4 (2002): 380–383.

[27]             ²⁷ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 365–367.


13.       Kesimpulan

Filsafat al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah karya Mullā Ṣadrā al-Shīrāzī merupakan salah satu pencapaian paling monumental dalam sejarah pemikiran Islam karena berhasil memadukan dimensi rasional, intuitif, dan spiritual ke dalam suatu sistem metafisika yang menyeluruh.¹ Ia melampaui batas-batas tradisi sebelumnya — peripatetik (Ibn Sīnā), ishrāqī (Suhrawardī), dan ‘irfānī (Ibn ‘Arabī) — dengan menegaskan eksistensi (wujūd) sebagai realitas fundamental dan dinamis.² Melalui doktrin aṣālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), Mullā Ṣadrā tidak hanya merombak struktur ontologi klasik, tetapi juga menciptakan dasar baru bagi epistemologi, antropologi, teologi, dan aksiologi yang berporos pada realitas keberadaan itu sendiri.³

Kesimpulan pertama yang dapat ditarik adalah bahwa sistem filsafat Ṣadrā merupakan paradigma eksistensial-transendental yang menempatkan wujud sebagai sumber dan tujuan segala pengetahuan.⁴ Dengan menolak subordinasi eksistensi terhadap esensi, ia menjadikan keberadaan sebagai kunci untuk memahami segala fenomena. Dalam kerangka ini, pengetahuan bukanlah representasi mental, tetapi kehadiran eksistensial; tindakan bukan sekadar moralitas formal, melainkan aktualisasi wujud; dan kebahagiaan bukan kondisi psikologis, melainkan kesempurnaan ontologis yang dicapai melalui penyatuan dengan Wujud Mutlak.⁵

Kedua, filsafat Mullā Ṣadrā menunjukkan bahwa rasionalitas dan spiritualitas bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua jalan menuju kebenaran yang sama.⁶ Ia mengintegrasikan metode burhānī (demonstratif) dengan kashfī (intuisi mistik), menghasilkan suatu bentuk pengetahuan yang bersifat eksistensial — al-‘ilm al-ḥuḍūrī — di mana subjek dan objek pengetahuan berjumpa dalam satu realitas wujud.⁷ Dalam hal ini, ia menawarkan sintesis epistemologis yang melampaui dualisme Barat antara rasionalisme dan empirisme, dengan menegaskan bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui kesatuan antara berpikir dan menjadi.⁸

Ketiga, dalam konteks antropologi, Mullā Ṣadrā memberikan landasan baru bagi pemahaman tentang manusia sebagai entitas eksistensial yang bergerak dalam ḥarakat jawhariyyah (gerak substansial) menuju kesempurnaan.⁹ Jiwa manusia berkembang dari eksistensi material menuju spiritual, dari kesadaran inderawi menuju kesadaran ilahiah. Dengan demikian, kehidupan manusia merupakan perjalanan ontologis yang tak pernah berhenti — suatu proses menjadi yang berakar pada dinamika wujud itu sendiri.¹⁰ Konsep ini mengubah pandangan tentang manusia dari makhluk statis menjadi makhluk transformatif yang partisipatif dalam tatanan kosmik.¹¹

Keempat, teologi transendental Mullā Ṣadrā menegaskan hubungan imanen antara Tuhan dan alam tanpa meniadakan transendensi-Nya.¹² Dunia bukanlah ciptaan temporal yang terpisah dari Tuhan, tetapi manifestasi kontinu (tajallī) dari Wujud Mutlak. Dengan memadukan prinsip emanasi rasional dengan doktrin kesatuan wujud, ia membangun kosmologi yang holistik: alam semesta sebagai gerak menuju kesempurnaan Ilahi.¹³ Dalam sistem ini, seluruh realitas dipahami sebagai refleksi dinamis dari kehadiran Tuhan, dan manusia sebagai pusat kesadaran yang menyingkap makna Ilahi di balik eksistensi.¹⁴

Kelima, dari sisi aksiologis, filsafat Ṣadrā menegaskan bahwa nilai moral dan spiritual ditentukan oleh tingkat intensitas eksistensi.¹⁵ Kebaikan adalah wujud yang sempurna, sedangkan kejahatan adalah ketiadaan atau kekurangan wujud. Etika dalam pandangan ini bukan sekadar seperangkat aturan, tetapi jalan eksistensial menuju penyempurnaan jiwa. Dengan demikian, kesadaran moral menjadi bentuk konkret dari kesadaran metafisik — dan kebijaksanaan sejati (ḥikmah) berarti mengenal kebenaran melalui realitas keberadaan itu sendiri.¹⁶

Keenam, relevansi filsafat Mullā Ṣadrā di era modern terletak pada kemampuannya menawarkan paradigma integratif yang melampaui fragmentasi intelektual modernitas. Ia menghadirkan visi yang menautkan filsafat, sains, dan agama ke dalam satu horizon kosmik yang koheren.¹⁷ Dalam konteks kontemporer, sistem eksistensial-transendentalnya dapat berfungsi sebagai jembatan antara filsafat Timur dan Barat, antara spiritualitas dan rasionalitas, antara iman dan ilmu.¹⁸ Prinsip aṣālat al-wujūd dapat dibaca sebagai landasan bagi pemikiran ekologis, etika global, dan pendidikan humanistik yang menekankan keterpaduan antara manusia, alam, dan Tuhan.¹⁹

Akhirnya, warisan Mullā Ṣadrā bukan sekadar doktrin metafisik, tetapi suatu pandangan dunia yang menghidupkan kembali dimensi sakral dari filsafat.²⁰ Ia menunjukkan bahwa filsafat sejati bukan hanya pencarian konseptual, melainkan perjalanan eksistensial menuju pencerahan.²¹ Dalam dunia yang dipenuhi keraguan dan disintegrasi, Hikmah Muta‘āliyah mengajarkan bahwa kebijaksanaan tertinggi lahir dari kesatuan antara berpikir dan beribadah, antara pengetahuan dan kehadiran.²² Dengan demikian, filsafat Mullā Ṣadrā tetap menjadi inspirasi abadi bagi pencarian manusia modern terhadap makna keberadaan — sebuah jembatan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara eksistensi dan transendensi.²³


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life and Works (London: Allen & Unwin, 1978), 304–306.

[2]                ² Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (London: Routledge, 2009), 275–277.

[3]                ³ Henry Corbin, En Islam Iranien: Aspects Spirituels et Philosophiques, vol. 4 (Paris: Gallimard, 1971), 214–216.

[4]                ⁴ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 371–373.

[5]                ⁵ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 110–112.

[6]                ⁶ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 149–152.

[7]                ⁷ William Chittick, “Knowledge as Presence: An Ontological Paradigm in Islamic Thought,” Islamic Studies 33, no. 2 (1994): 169–171.

[8]                ⁸ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 281–283.

[9]                ⁹ Hossein Ziai, “Being and Knowing: The Ontological Foundations of Sadrian Epistemology,” Iranian Studies 39, no. 3 (2006): 343–346.

[10]             ¹⁰ Corbin, En Islam Iranien, 220–222.

[11]             ¹¹ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 310–312.

[12]             ¹² Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 287–289.

[13]             ¹³ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 378–381.

[14]             ¹⁴ Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 229–231.

[15]             ¹⁵ Nasr, Knowledge and the Sacred, 154–156.

[16]             ¹⁶ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 292–294.

[17]             ¹⁷ Hossein Ziai, “Ethical Dimensions of Sadrian Metaphysics,” Iranian Studies 43, no. 2 (2010): 179–181.

[18]             ¹⁸ Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, 317–319.

[19]             ¹⁹ William Chittick, “The Spiritual Ecology of Mullā Ṣadrā,” Islamic Studies 37, no. 4 (1998): 407–410.

[20]             ²⁰ Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 384–386.

[21]             ²¹ Corbin, En Islam Iranien, 228–230.

[22]             ²² Nasr, Knowledge and the Sacred, 159–162.

[23]             ²³ Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, 299–301.


Daftar Pustaka

Aminrazavi, M. (1997). Suhrawardi and the school of illumination. Richmond, UK: Curzon Press.

Aminrazavi, M. (2013). The Islamic philosophy of education. London, UK: Routledge.

Chittick, W. C. (1990). Creation and emanation in Mulla Sadra’s cosmology. Islamic Studies, 29(3), 331–334.

Chittick, W. C. (1992). The metaphysics of knowledge in Mulla Sadra’s philosophy. Islamic Studies, 31(4), 497–499.

Chittick, W. C. (1994). Knowledge as presence: An ontological paradigm in Islamic philosophy. Islamic Studies, 33(2), 155–171.

Chittick, W. C. (1995). Cosmic motion and spiritual evolution in Sadrian thought. Islamic Studies, 34(3), 278–281.

Chittick, W. C. (1996). The good, the true, and the beautiful in Sadrian philosophy. Islamic Studies, 35(2), 201–203.

Chittick, W. C. (1998). The spiritual ecology of Mullā Ṣadrā. Islamic Studies, 37(4), 401–410.

Chittick, W. C. (1999). Being and becoming in Islamic thought. Islamic Studies, 38(4), 412–415.

Chittick, W. C. (2001). Unity in diversity: Ontological foundations of Islamic tolerance. Islamic Studies, 40(2), 205–208.

Chittick, W. C. (2002). The unity of knowledge in the philosophy of Mulla Sadra. Islamic Studies, 41(4), 380–383.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the visionary recital (W. R. Trask, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Corbin, H. (1969). Creative imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Corbin, H. (1971). En Islam iranien: Aspects spirituels et philosophiques (Vol. 4). Paris, France: Gallimard.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy: Knowledge by presence. Albany, NY: State University of New York Press.

Hidayat, K. (2009). Agama punya seribu nyawa. Jakarta, Indonesia: Gramedia Pustaka Utama.

Kantanegara, M. (2005). Integrasi ilmu: Sebuah rekonstruksi holistik. Bandung, Indonesia: Arasy Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his transcendent theosophy: Background, life and works. London, UK: Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1987). Islamic art and spirituality. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. New York, NY: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Chicago, IL: ABC International Group.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. Albany, NY: State University of New York Press.

Rizvi, S. H. (2009). Mulla Sadra and metaphysics: Modulation of being. London, UK: Routledge.

Ziai, H. (1980). Motion and substantial change in Mulla Sadra. Philosophy East and West, 30(1), 74–85.

Ziai, H. (2006). Being and knowing: The ontological foundations of Sadrian epistemology. Iranian Studies, 39(3), 323–337.

Ziai, H. (2009). The emanative structure of reality in Sadrian philosophy. Iranian Studies, 42(4), 403–405.

Ziai, H. (2009). Philosophy and politics in Safavid Iran: The role of the ḥakīm. Iranian Studies, 42(5), 613–616.

Ziai, H. (2010). Ethical dimensions of Sadrian metaphysics. Iranian Studies, 43(2), 151–175.