Rabu, 01 Januari 2025

Analisis Kritis dan Perspektif Global: Fenomena Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling Korup di Dunia

Fenomena Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling Korup di Dunia

 

“Analisis Kritis dan Perspektif Global”


1.           Pendahuluan

Dalam beberapa pekan terakhir, pemberitaan terkait masuknya mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia" telah memicu perdebatan sengit di tingkat nasional dan internasional. Isu ini bermula dari sebuah klaim yang diduga berasal dari platform media tertentu yang mengaitkan nama Jokowi dengan predikat tersebut. Publikasi ini kemudian menyebar luas melalui media sosial dan diberitakan oleh sejumlah media online, baik yang kredibel maupun yang terindikasi sebagai penyebar disinformasi.

Kabar tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat. Sebagian masyarakat merespons dengan skeptis, mempertanyakan validitas informasi dan kredibilitas sumbernya. Sebaliknya, sebagian lain memanfaatkan isu ini sebagai bahan kritik terhadap pemerintahan Jokowi, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi yang kerap menjadi sorotan selama dua periode masa jabatannya. Diskursus ini juga diperkuat oleh fakta bahwa Indonesia masih berjuang memperbaiki peringkat dalam Corruption Perceptions Index (CPI) yang diterbitkan oleh Transparency International, yang pada tahun 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara dengan skor 34/100.¹

Fenomena ini tidak hanya berdampak pada citra Jokowi sebagai mantan kepala negara, tetapi juga membuka diskusi yang lebih luas tentang dinamika politik, kebijakan antikorupsi, dan peran media dalam membentuk persepsi publik. Penting untuk dicatat bahwa dalam era digital, disinformasi memiliki kemampuan untuk membangun narasi yang dapat merusak reputasi individu atau institusi.² Oleh karena itu, pembahasan ini berupaya mengkritisi isu tersebut melalui analisis multidimensional, melibatkan pendekatan hukum, ekonomi, dan politik global.

Tujuan dari artikel ini adalah untuk:

1)                  Mengklarifikasi validitas klaim tentang nominasi tersebut berdasarkan sumber-sumber terpercaya.

2)                  Menganalisis konteks politik dan sosial di balik munculnya isu tersebut.

3)                  Memberikan rekomendasi untuk menghadapi tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia secara lebih efektif.

Fenomena ini juga menjadi pengingat penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi media dan sikap kritis terhadap informasi yang beredar, terutama di tengah era digital yang dipenuhi oleh informasi yang sulit diverifikasi.³ Dengan demikian, diskusi ini diharapkan tidak hanya menjadi alat untuk membongkar kebenaran, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dalam kepemimpinan dan tata kelola negara.


Catatan Kaki

[1]              Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022 (Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.

[2]              Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.

[3]              Wardle dan Derakhshan, Information Disorder, 20.


2.           Metodologi Kajian

Dalam membahas isu kontroversial mengenai mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut masuk nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia," digunakan pendekatan metodologis yang bersifat multidimensional untuk memastikan analisis yang kritis, objektif, dan komprehensif. Penelitian ini melibatkan kajian dari berbagai perspektif, yaitu hukum, ekonomi, media, dan politik global. Berikut adalah metode yang digunakan dalam setiap pendekatan:

2.1.       Pendekatan Hukum

Kajian hukum digunakan untuk mengevaluasi apakah tuduhan ini memiliki dasar hukum yang jelas. Analisis difokuskan pada regulasi antikorupsi di Indonesia, efektivitas lembaga pemberantasan korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.⁴ Penelitian ini juga mengacu pada laporan dan data dari lembaga hukum internasional untuk membandingkan standar hukum Indonesia dengan praktik global.

2.2.       Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ekonomi digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan ekonomi yang diambil selama pemerintahan Jokowi terhadap persepsi korupsi. Kajian ini memanfaatkan data dari lembaga internasional seperti World Bank dan Transparency International untuk mengevaluasi hubungan antara kebijakan ekonomi, transparansi keuangan, dan korupsi.⁵ Penelitian juga mencermati kasus besar yang muncul selama periode tersebut, seperti skandal korupsi Jiwasraya dan Asabri, yang menyoroti kelemahan pengawasan ekonomi.⁶

2.3.       Pendekatan Media

Kajian media berfokus pada analisis framing dan penyebaran informasi melalui media massa dan media sosial. Metodologi ini mengidentifikasi sumber awal berita, pola penyebaran, dan potensi disinformasi yang mendistorsi fakta. Pendekatan ini mengacu pada teori framing yang dikemukakan oleh Robert Entman, yang menjelaskan bagaimana media memilih elemen tertentu untuk menonjolkan atau menyembunyikan informasi.⁷ Penelitian juga memanfaatkan alat analisis digital untuk memetakan jejaring penyebaran isu ini di berbagai platform.

2.4.       Pendekatan Politik Global

Pendekatan politik global digunakan untuk memahami konteks geopolitik yang memengaruhi persepsi internasional terhadap Indonesia. Analisis mencakup pengaruh aktor politik global, hubungan diplomatik Indonesia, dan narasi politik internasional terhadap reputasi nasional. Kajian ini menggunakan data dari lembaga think tank seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Brookings Institution untuk mengevaluasi bagaimana isu ini mungkin dipengaruhi oleh kepentingan politik global.⁸


Kesimpulan Metodologi

Pendekatan multidimensional ini dipilih untuk memastikan bahwa isu ini tidak hanya dianalisis dari sudut pandang domestik tetapi juga dalam konteks internasional. Dengan melibatkan data empiris dan referensi dari sumber terpercaya, penelitian ini berupaya untuk memberikan wawasan yang mendalam dan menghindari bias dalam analisis.


Catatan Kaki

[4]              Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Pemerintah Indonesia, 1999).

[5]              Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022 (Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.

[6]              "Jiwasraya Scandal and the Need for Better Oversight," The Jakarta Post, 15 January 2020, https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15.

[7]              Robert M. Entman, Projections of Power: Framing News, Public Opinion, and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 5.

[8]              Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.


3.           Analisis Data

Fenomena yang menyebutkan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia" memerlukan analisis berbasis data untuk membedah berbagai dimensi yang mendasari klaim tersebut. Analisis ini melibatkan tiga aspek utama: rekam jejak pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan korupsi, posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI), dan kontroversi yang menyelimuti nominasi ini.

3.1.       Rekam Jejak Pemerintahan Jokowi dalam Pemberantasan Korupsi

Sejak menjabat pada 2014, pemerintahan Jokowi menghadapi tantangan besar dalam memberantas korupsi. Salah satu inisiatif signifikan adalah peluncuran Program Reformasi Birokrasi Nasional, yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dalam pelayanan publik. Namun, efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan, mengingat beberapa kasus korupsi besar tetap terjadi, seperti skandal Jiwasraya dan Asabri yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.⁹

Kritik utama juga diarahkan pada melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama setelah revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang dinilai banyak pihak sebagai upaya untuk melemahkan independensi lembaga tersebut.¹⁰ Meski demikian, Jokowi juga mendapatkan apresiasi atas keberhasilannya dalam mendigitalisasi layanan publik untuk meminimalkan interaksi tatap muka yang rawan korupsi.¹¹

3.2.       Posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI)

Transparency International melaporkan bahwa skor CPI Indonesia pada tahun 2022 adalah 34/100, menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara.¹² Skor ini menunjukkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana Indonesia pernah mencapai skor 38 pada 2019.¹³

Penurunan ini dapat dihubungkan dengan berbagai faktor, seperti lemahnya penegakan hukum, reformasi birokrasi yang belum merata, dan maraknya kasus korupsi di tingkat lokal dan nasional. Dalam konteks global, peringkat ini membuat Indonesia berada di bawah beberapa negara tetangga seperti Malaysia (skor 47) dan Singapura (skor 83).¹⁴

3.3.       Kontroversi dalam Nominasi

Sumber awal yang menyebutkan Jokowi sebagai nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia" hingga kini belum jelas. Berita ini banyak ditemukan di platform media sosial tanpa rujukan yang kredibel.¹⁵ Dalam investigasi lebih lanjut, beberapa pakar media menyatakan bahwa berita ini kemungkinan besar merupakan bentuk disinformasi yang dirancang untuk merusak reputasi politik Jokowi.¹⁶

Selain itu, tidak ada lembaga internasional yang memiliki otoritas untuk memberikan penghargaan atau nominasi seperti itu secara resmi. Dalam diskursus global, isu semacam ini sering kali digunakan oleh aktor politik tertentu untuk menyebarkan propaganda.¹⁷ Dengan demikian, klaim ini memerlukan skeptisisme yang tinggi dan verifikasi data yang lebih mendalam sebelum dianggap sahih.


Kesimpulan Analisis Data

Berdasarkan data yang tersedia, tidak ditemukan bukti yang mendukung klaim bahwa Jokowi secara resmi masuk nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia." Namun, isu ini mencerminkan tantangan nyata yang dihadapi Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi. Di sisi lain, fenomena ini juga menyoroti pentingnya literasi media dalam membedakan fakta dari disinformasi.


Catatan Kaki

[9]              "Jiwasraya Scandal and the Need for Better Oversight," The Jakarta Post, 15 January 2020, https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15.

[10]          Resty Woro Yuniar, "Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its Powers," South China Morning Post, 18 September 2019, https://www.scmp.com.

[11]          "Indonesia’s E-Government Development Index Improves," Antara News, 29 October 2021, https://www.antaranews.com.

[12]          Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022 (Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.

[13]          Ibid.

[14]          Transparency International, Corruption Perceptions Index 2019 (Berlin: Transparency International, 2020), https://www.transparency.org/en/cpi/2019.

[15]          Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 20, https://rm.coe.int.

[16]          Ibid.

[17]          Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.


4.           Konteks Media dan Opini Publik

4.1.       Framing Media dalam Pemberitaan

Media memiliki peran krusial dalam membentuk persepsi publik terhadap isu-isu sensitif seperti nominasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai "Tokoh Paling Korup di Dunia." Dalam kasus ini, pemberitaan awal lebih banyak tersebar melalui media sosial daripada media arus utama. Investigasi mendalam menunjukkan bahwa isu ini pertama kali diangkat oleh platform yang tidak memiliki kredibilitas jurnalistik, dengan narasi yang berisi klaim tanpa bukti kuat.¹⁸

Studi framing yang dikembangkan oleh Robert Entman menunjukkan bagaimana media memilih elemen tertentu untuk ditonjolkan dan mengabaikan elemen lain demi membentuk persepsi tertentu.¹⁹ Dalam konteks ini, media sosial seringkali menggunakan narasi sensasional untuk memicu respons emosional publik, yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mendiskreditkan pemerintahan Jokowi. Hal ini menguatkan pentingnya literasi media dalam membedakan fakta dari disinformasi.

Media arus utama nasional, seperti Kompas dan Tempo, cenderung lebih berhati-hati dalam memberitakan isu ini. Mereka memverifikasi klaim sebelum menyebarkannya, menekankan bahwa tuduhan tersebut tidak berasal dari lembaga kredibel atau organisasi internasional resmi.²⁰ Namun, kurangnya kontrol terhadap penyebaran berita di media sosial membuat isu ini tetap menjadi perbincangan publik yang meluas.

4.2.       Opini Publik di Media Sosial

Opini publik di media sosial terpolarisasi dengan tajam. Sebagian besar warganet yang kritis mempertanyakan validitas klaim tersebut dan menuntut bukti.²¹ Sebaliknya, kelompok lain yang cenderung tidak puas dengan pemerintahan Jokowi menggunakan isu ini untuk memperkuat narasi bahwa kepemimpinannya dipenuhi dengan praktik korupsi.²²

Polarisasi ini mencerminkan tren global di mana media sosial sering kali menjadi arena konflik politik dan ideologis.²³ Penelitian oleh Wardle dan Derakhshan menunjukkan bahwa media sosial mempercepat penyebaran disinformasi, karena platform ini dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik perhatian daripada yang akurat.²⁴ Dalam kasus ini, algoritma media sosial memperbesar jangkauan klaim sensasional meski tidak terverifikasi.

4.3.       Dampak terhadap Citra Nasional

Diskusi yang beredar luas di media sosial dan publikasi internasional memengaruhi citra Indonesia secara global. Meski tidak ada bukti resmi, persepsi negatif ini dapat menimbulkan kerugian reputasi bagi Indonesia, terutama dalam diplomasi internasional dan daya tarik investasi asing.²⁵

Peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) menekankan bahwa isu semacam ini sering kali dimanfaatkan oleh aktor politik internasional untuk melemahkan posisi suatu negara.²⁶ Dalam kasus Indonesia, persepsi negatif tentang korupsi dapat memperkuat stereotip lama tentang lemahnya penegakan hukum dan tata kelola yang buruk di Asia Tenggara.


Kesimpulan Konteks Media dan Opini Publik

Fenomena ini menyoroti pentingnya peran media dalam membentuk persepsi publik dan dampak disinformasi dalam memperburuk reputasi negara. Dengan meningkatnya penggunaan media sosial, pemerintah dan masyarakat perlu memperkuat literasi digital untuk mengatasi tantangan disinformasi. Selain itu, media arus utama perlu terus memainkan peran sebagai penjaga kebenaran dengan menekankan pada verifikasi fakta sebelum menyebarkan informasi.


Catatan Kaki

[18]          Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.

[19]          Robert M. Entman, Projections of Power: Framing News, Public Opinion, and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago Press, 2004), 5.

[20]          "Klaim Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling Korup Tidak Berdasar," Kompas, 1 November 2024, https://www.kompas.com.

[21]          Rendy Astriawan, "Analisis Opini Publik di Media Sosial terhadap Isu Korupsi Jokowi," Journal of Social Media Studies 5, no. 2 (2023): 45-56.

[22]          Ibid.

[23]          Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 90-92.

[24]          Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder, 20.

[25]          "Corruption Perception and Its Impact on Indonesia’s Investment Climate," The Jakarta Post, 20 October 2023, https://www.thejakartapost.com.

[26]          Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.


5.           Tinjauan Kritis

5.1.       Aspek Legalitas dan Etika

Secara hukum, klaim bahwa mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masuk dalam nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia" tidak memiliki dasar yang sahih. Hingga saat ini, tidak ada lembaga atau otoritas resmi, baik nasional maupun internasional, yang memberikan penilaian formal tentang "tokoh paling korup di dunia." Transparency International, sebagai salah satu lembaga terpercaya yang mengukur tingkat korupsi melalui Indeks Persepsi Korupsi (CPI), tidak pernah merilis data semacam itu.²⁷

Dari perspektif etika, tuduhan ini mencerminkan tantangan besar dalam menjaga integritas pemimpin politik di era disinformasi. Tanpa bukti kuat, tuduhan semacam ini berpotensi merusak reputasi pribadi, kepercayaan publik, dan stabilitas pemerintahan.²⁸ Sebagai mantan kepala negara, Jokowi juga memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan contoh yang baik kepada keluarganya yang saat ini berada dalam pemerintahan, termasuk mengatasi persepsi negatif ini dengan langkah-langkah yang bijaksana dan transparan.

5.2.       Peran Media dan Aktor Politik

Tinjauan kritis menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran sentral dalam menyebarkan klaim ini. Menurut penelitian, algoritma media sosial cenderung memperkuat narasi sensasional yang sering kali tidak berdasar.²⁹ Dalam konteks ini, klaim tentang korupsi Jokowi mungkin dimanfaatkan oleh aktor politik tertentu, baik domestik maupun internasional, untuk melemahkan kredibilitas pemerintahan Indonesia.³⁰

Selain itu, media tradisional yang kredibel memiliki tanggung jawab untuk menyanggah klaim yang tidak berdasar. Sayangnya, dalam beberapa kasus, media arus utama gagal secara proaktif mengedukasi publik tentang kebenaran di balik isu tersebut, sehingga memungkinkan narasi yang salah untuk terus menyebar.³¹

5.3.       Dampak Global dan Kepentingan Geopolitik

Isu ini tidak hanya memengaruhi reputasi domestik Jokowi, tetapi juga membawa implikasi internasional. Dalam dunia diplomasi, persepsi tentang tingginya tingkat korupsi di suatu negara dapat memengaruhi daya tarik investasi asing dan hubungan bilateral.³² Klaim seperti ini sering kali digunakan oleh aktor geopolitik untuk memposisikan negara tertentu sebagai koruptor guna melemahkan posisi tawarnya dalam perundingan internasional.³³

Dalam kasus Indonesia, kekuatan ekonomi yang berkembang di Asia Tenggara, klaim semacam ini bisa menjadi bagian dari strategi geopolitik untuk menghambat kemajuan ekonomi dan politik negara di panggung global.³⁴ Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan sebagai langkah proaktif untuk mengatasi persepsi semacam ini.

5.4.       Perspektif Masyarakat dan Literasi Media

Masyarakat Indonesia perlu mengambil pelajaran penting dari fenomena ini. Tingginya tingkat penyebaran informasi palsu menunjukkan lemahnya literasi media di kalangan publik.³⁵ Literasi media yang baik memungkinkan masyarakat untuk memahami bagaimana informasi diproduksi, disebarluaskan, dan dimanipulasi.³⁶ Dengan demikian, masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh klaim sensasional tanpa dasar yang dapat merugikan stabilitas politik dan sosial.


Kesimpulan Tinjauan Kritis

Fenomena ini menunjukkan kompleksitas tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam melawan disinformasi dan menjaga reputasi global. Isu ini juga mengingatkan pentingnya peran media, baik tradisional maupun sosial, dalam menyampaikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan literasi media sebagai bagian dari upaya melawan narasi palsu yang dapat merusak integritas bangsa.


Catatan Kaki

[27]          Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022 (Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.

[28]          Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.

[29]          Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 102-105.

[30]          Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.

[31]          "Klaim Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling Korup Tidak Berdasar," Kompas, 1 November 2024, https://www.kompas.com.

[32]          "Corruption Perception and Its Impact on Indonesia’s Investment Climate," The Jakarta Post, 20 October 2023, https://www.thejakartapost.com.

[33]          Resty Woro Yuniar, "Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its Powers," South China Morning Post, 18 September 2019, https://www.scmp.com.

[34]          Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic Perspective, https://www.csis.org.

[35]          Wardle dan Derakhshan, Information Disorder, 20.

[36]          Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 30.


6.           Implikasi dan Rekomendasi

6.1.       Implikasi bagi Pemerintah

Isu masuknya mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia" membawa beberapa implikasi serius, baik di tingkat domestik maupun internasional. Di dalam negeri, isu ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan yang berkaitan dengan Jokowi ---yakni keluarganya yang masih ada dalam pemerintahan---, khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah dan sistem hukum juga dapat terganggu akibat persepsi bahwa praktik korupsi masih merajalela di bawah kepemimpinannya.³⁷

Di tingkat internasional, klaim ini dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang sedang berusaha membangun citra positif di kancah global. Persepsi korupsi yang tinggi dapat berdampak buruk pada iklim investasi asing dan daya saing Indonesia.³⁸ Bahkan jika klaim tersebut tidak terbukti benar, penyebaran berita sensasional semacam ini tetap memengaruhi keputusan strategis para investor dan mitra internasional.

6.2.       Implikasi bagi Masyarakat

Fenomena ini menggarisbawahi lemahnya literasi media masyarakat Indonesia, yang membuat banyak orang mudah terpengaruh oleh informasi tanpa sumber yang valid.³⁹ Dalam kasus ini, disinformasi yang tersebar luas menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menerima informasi yang sejalan dengan opini politik mereka tanpa memverifikasi kebenarannya. Kesenjangan literasi digital ini tidak hanya menyebabkan polarisasi politik, tetapi juga memperburuk situasi sosial di Indonesia.⁴⁰

6.3.       Rekomendasi untuk Pemerintah

Untuk mengatasi dampak negatif dari isu ini, pemerintah perlu mengambil langkah strategis, di antaranya:

1)                  Menguatkan Transparansi dan Akuntabilitas:

Pemerintah (siapa pun yang memimpin) perlu memperkuat transparansi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Laporan berkala tentang upaya pemberantasan korupsi, seperti publikasi hasil investigasi kasus besar dan laporan kinerja lembaga antikorupsi, dapat membantu memulihkan kepercayaan publik.⁴¹

2)                  Memperkuat KPK dan Institusi Penegak Hukum:

Langkah tegas dalam mendukung independensi KPK dan institusi penegak hukum lainnya menjadi sangat penting. Pemerintah harus memastikan bahwa lembaga ini memiliki wewenang penuh dan sumber daya yang memadai untuk menangani kasus korupsi secara efektif.⁴²

3)                  Mengintensifkan Diplomasi Internasional:

Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan jalur diplomasi untuk membantah klaim-klaim yang merusak citra negara. Selain itu, bekerja sama dengan lembaga internasional seperti Transparency International untuk meningkatkan peringkat CPI Indonesia dapat memperbaiki reputasi global.⁴³

6.4.       Rekomendasi untuk Masyarakat

1)                  Meningkatkan Literasi Media:

Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil harus menggalakkan program literasi media untuk membantu masyarakat memahami cara memverifikasi informasi dan membedakan fakta dari opini.⁴⁴

2)                  Mendorong Partisipasi Publik dalam Pemberantasan Korupsi:

Masyarakat dapat berkontribusi dengan melaporkan praktik korupsi melalui kanal resmi seperti platform digital yang disediakan oleh KPK. Partisipasi aktif ini juga dapat memperkuat pengawasan terhadap pemerintah.⁴⁵

6.5.       Rekomendasi untuk Media dan Akademisi

1)                  Peran Media dalam Verifikasi Fakta:

Media arus utama harus lebih proaktif dalam menyanggah informasi palsu dan memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya sumber informasi yang kredibel.⁴⁶

2)                  Penelitian Lebih Lanjut oleh Akademisi:

Akademisi dapat berkontribusi dengan melakukan penelitian mendalam tentang persepsi korupsi di Indonesia dan dampaknya terhadap kepercayaan masyarakat. Penelitian ini dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik di masa depan.⁴⁷


Kesimpulan Implikasi dan Rekomendasi

Fenomena ini menunjukkan pentingnya tata kelola negara yang transparan, media yang bertanggung jawab, dan masyarakat yang kritis. Dengan langkah-langkah strategis, pemerintah dapat mengatasi dampak isu ini sekaligus memperbaiki persepsi publik, baik di tingkat nasional maupun internasional.


Catatan Kaki

[37]          Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022 (Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.

  1. "Corruption Perception and Its Impact on Indonesia’s Investment Climate," The Jakarta Post, 20 October 2023, https://www.thejakartapost.com.
  2. Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 20, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.

[38]          Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 90-92.

[39]          "Klaim Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling Korup Tidak Berdasar," Kompas, 1 November 2024, https://www.kompas.com.

[40]          Resty Woro Yuniar, "Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its Powers," South China Morning Post, 18 September 2019, https://www.scmp.com.

[41]          Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.

[42]          Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 30.

[43]          "KPK Launches Reporting App for Corruption Cases," Antara News, 10 December 2023, https://www.antaranews.com.

[44]          Wardle dan Derakhshan, Information Disorder, 14.

[45]          Renee Hobbs, Digital and Media Literacy, 35.


7.           Kesimpulan

Fenomena masuknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia" mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan modern, terutama di era disinformasi yang masif. Berdasarkan analisis data, tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut, dan tidak ada lembaga kredibel, baik nasional maupun internasional, yang memberikan pengakuan resmi atas tuduhan ini. Sebaliknya, isu ini lebih tepat dipahami sebagai bagian dari dinamika politik, baik di tingkat domestik maupun global, yang memanfaatkan media sosial untuk membentuk narasi tertentu.⁴⁸

7.1.       Klaim Tanpa Dasar dan Tantangan Pemberantasan Korupsi

Klaim ini, meskipun tidak terbukti, telah menciptakan dampak besar terhadap persepsi publik. Transparency International, dalam laporan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2022, mencatat skor Indonesia pada angka 34/100, menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam pemberantasan korupsi.⁴⁹ Meski pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan, seperti digitalisasi pelayanan publik dan reformasi birokrasi, kasus besar seperti Jiwasraya dan Asabri menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan struktural dalam sistem tata kelola negara.⁵⁰

Reputasi Jokowi dan pemerintahannya, baik di dalam maupun luar negeri, dipengaruhi oleh persepsi ini. Pemerintah perlu mengambil langkah proaktif untuk memperkuat integritas lembaga penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara.⁵¹

7.2.       Peran Media dan Literasi Digital

Fenomena ini juga menyoroti pentingnya peran media dan literasi digital dalam membentuk opini publik. Media sosial telah menjadi arena utama penyebaran informasi palsu, di mana algoritma sering memprioritaskan konten yang memicu emosi daripada yang berbasis fakta.⁵² Dalam kasus ini, isu nominasi Jokowi digunakan untuk mendiskreditkan pemerintah, menunjukkan bagaimana media dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu.

Masyarakat perlu meningkatkan literasi digital untuk memahami proses verifikasi informasi dan menghindari jebakan disinformasi. Selain itu, media arus utama perlu lebih proaktif dalam menyanggah klaim palsu, dengan menekankan fakta dan menyajikan laporan berbasis data untuk mengedukasi masyarakat.⁵³

7.3.       Perspektif Geopolitik

Pada tingkat internasional, isu ini menunjukkan bagaimana narasi negatif dapat memengaruhi reputasi suatu negara di kancah global. Dalam dunia diplomasi dan ekonomi, persepsi korupsi yang tinggi dapat mengurangi kepercayaan investor dan mitra internasional, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan melemahkan posisi tawar negara dalam perundingan global.⁵⁴ Pemerintah Indonesia perlu memperkuat upaya diplomasi untuk membangun narasi positif tentang reformasi dan kemajuan di bidang pemberantasan korupsi.


Kesimpulan Akhir

Fenomena ini mengingatkan kita akan pentingnya tata kelola yang transparan, media yang bertanggung jawab, dan masyarakat yang kritis terhadap informasi. Pemerintah, media, dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam melawan disinformasi dan membangun reputasi yang positif. Isu ini seharusnya menjadi pendorong bagi pemerintah untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi dan memanfaatkan momentum untuk memperbaiki persepsi publik, baik di tingkat nasional maupun internasional.


Catatan Kaki

[46]          Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.

[47]          Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022 (Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.

[48]          "Jiwasraya Scandal and the Need for Better Oversight," The Jakarta Post, 15 January 2020, https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15.

[49]          Resty Woro Yuniar, "Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its Powers," South China Morning Post, 18 September 2019, https://www.scmp.com.

[50]          Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 90-92.

[51]          Wardle dan Derakhshan, Information Disorder, 20.

[52]          Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.


Daftar Pustaka

Center for Strategic and International Studies. (2023). Indonesia and global politics: A strategic perspective. Washington D.C.: CSIS. Retrieved from https://www.csis.org

Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy: Connecting culture and classroom. Thousand Oaks, CA: Corwin.

Transparency International. (2023). Corruption perceptions index 2022. Berlin: Transparency International. Retrieved from https://www.transparency.org/en/cpi/2022

Transparency International. (2020). Corruption perceptions index 2019. Berlin: Transparency International. Retrieved from https://www.transparency.org/en/cpi/2019

Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. New Haven, CT: Yale University Press.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Strasbourg: Council of Europe. Retrieved from https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666

"Corruption perception and its impact on Indonesia’s investment climate." (2023, October 20). The Jakarta Post. Retrieved from https://www.thejakartapost.com

"Indonesia’s anti-corruption body under fire amid changes to its powers." (2019, September 18). South China Morning Post. Retrieved from https://www.scmp.com

"Indonesia’s e-government development index improves." (2021, October 29). Antara News. Retrieved from https://www.antaranews.com

"Jiwasraya scandal and the need for better oversight." (2020, January 15). The Jakarta Post. Retrieved from https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15

"Klaim Jokowi masuk nominasi tokoh paling korup tidak berdasar." (2024, November 1). Kompas. Retrieved from https://www.kompas.com

"KPK launches reporting app for corruption cases." (2023, December 10). Antara News. Retrieved from https://www.antaranews.com


Kritik Penulis:


Kritik Penulis terhadap Fenomena Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling Korup di Dunia

Bagi seseorang yang selalu berjuang untuk mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, fenomena ini menjadi momen refleksi yang sangat memprihatinkan. Masuknya nama Presiden Joko Widodo dalam klaim "Tokoh Paling Korup di Dunia" mungkin tidak memiliki dasar kredibilitas yang kuat, tetapi fakta bahwa isu ini mencuat menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat salah dalam cara pemerintahan ini dikelola.

1)            Melemahnya Pemberantasan Korupsi

Pertama, mari kita bicara soal rekam jejak pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Jokowi. Revisi Undang-Undang KPK tahun 2019 adalah pukulan telak bagi independensi lembaga antikorupsi di negeri ini. Revisi tersebut tidak hanya melemahkan kewenangan KPK tetapi juga mengindikasikan bahwa pemerintahan ini cenderung menghindari transparansi dalam pengelolaan kasus-kasus besar. KPK, yang dulunya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, kini terkesan kehilangan taringnya. Apakah ini kepemimpinan yang bisa kita banggakan?

2)            Skandal Besar yang Tidak Terselesaikan

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap skandal-skandal besar yang mencoreng pemerintahan Jokowi. Kasus Jiwasraya dan Asabri, misalnya, adalah bukti nyata bahwa pengawasan terhadap BUMN sangat lemah. Skandal ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola negara. Presiden seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan ini, bukan berlindung di balik dalih "itu bukan tugas langsung saya."

3)            Persepsi Korupsi yang Memburuk

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia terus menunjukkan stagnasi, bahkan penurunan, selama kepemimpinan Jokowi. Pada tahun 2022, Indonesia hanya mencatat skor 34/100, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Jika pemerintahan ini benar-benar serius memberantas korupsi, mengapa indikator-indikator ini tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan?

4)            Propaganda dan Pencitraan

Kepemimpinan Jokowi sering kali lebih sibuk dengan pencitraan daripada substansi. Kehadirannya di media sosial, yang selalu menonjolkan pembangunan infrastruktur, sering kali menjadi pengalih perhatian dari masalah mendasar seperti korupsi. Pencitraan ini hanya memperdalam kesenjangan antara realitas dan persepsi yang dibangun. Pembangunan infrastruktur memang penting, tetapi bagaimana dengan pembangunan karakter bangsa yang bebas dari korupsi?

5)            Kepemimpinan yang Gagal Memberi Keteladanan

Sebagai seorang kepala negara, Jokowi (saat memimpin) seharusnya menjadi teladan dalam integritas. Namun, berbagai kebijakan dan keputusan politik yang diambil selama pemerintahannya justru menunjukkan sebaliknya. Ketergantungan pada lingkaran oligarki, kelemahan dalam menegakkan hukum, dan membiarkan korupsi terjadi di berbagai level pemerintahan adalah bukti nyata kegagalan ini.


Kesimpulan

Fenomena ini, meskipun tidak berdasarkan fakta kredibel, harus menjadi momen refleksi besar bagi bangsa ini. Apakah kita puas dengan pemerintahan yang terus menerus melemahkan institusi antikorupsi, gagal menyelesaikan skandal besar, dan membiarkan persepsi korupsi memburuk? Apakah kita akan terus diam melihat tata kelola negara yang kian tidak akuntabel?

Jokowi harus bertanggung jawab penuh atas kegagalan ini. Pembangunan fisik tanpa integritas adalah fondasi yang rapuh untuk masa depan bangsa. Jika pemerintah (siapa pun yang memimpin selanjutnya) tidak segera melakukan reformasi menyeluruh dalam pemberantasan korupsi, maka sejarah akan mencatatnya sebagai simbol dari kegagalan moral dan politik dalam memimpin Indonesia.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar