Fenomena Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling Korup di
Dunia
“Analisis Kritis dan
Perspektif Global”
1.
Pendahuluan
Dalam beberapa pekan terakhir, pemberitaan terkait
masuknya mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam nominasi "Tokoh
Paling Korup di Dunia" telah memicu perdebatan sengit di tingkat
nasional dan internasional. Isu ini bermula dari sebuah klaim yang diduga berasal
dari platform media tertentu yang mengaitkan nama Jokowi dengan predikat
tersebut. Publikasi ini kemudian menyebar luas melalui media sosial dan
diberitakan oleh sejumlah media online, baik yang kredibel maupun yang
terindikasi sebagai penyebar disinformasi.
Kabar tersebut menimbulkan berbagai reaksi dari
masyarakat. Sebagian masyarakat merespons dengan skeptis, mempertanyakan
validitas informasi dan kredibilitas sumbernya. Sebaliknya, sebagian lain
memanfaatkan isu ini sebagai bahan kritik terhadap pemerintahan Jokowi,
terutama dalam konteks pemberantasan korupsi yang kerap menjadi sorotan selama
dua periode masa jabatannya. Diskursus ini juga diperkuat oleh fakta bahwa
Indonesia masih berjuang memperbaiki peringkat dalam Corruption Perceptions
Index (CPI) yang diterbitkan oleh Transparency International, yang pada
tahun 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara dengan skor
34/100.¹
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada citra
Jokowi sebagai mantan kepala negara, tetapi juga membuka diskusi yang
lebih luas tentang dinamika politik, kebijakan antikorupsi, dan peran media
dalam membentuk persepsi publik. Penting untuk dicatat bahwa dalam era digital,
disinformasi memiliki kemampuan untuk membangun narasi yang dapat merusak
reputasi individu atau institusi.² Oleh karena itu, pembahasan ini berupaya
mengkritisi isu tersebut melalui analisis multidimensional, melibatkan
pendekatan hukum, ekonomi, dan politik global.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk:
1)
Mengklarifikasi validitas klaim tentang nominasi tersebut berdasarkan
sumber-sumber terpercaya.
2)
Menganalisis konteks politik dan sosial di balik munculnya isu tersebut.
3)
Memberikan rekomendasi untuk menghadapi tantangan dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia secara lebih efektif.
Fenomena ini juga menjadi pengingat penting bagi
masyarakat untuk meningkatkan literasi media dan sikap kritis terhadap
informasi yang beredar, terutama di tengah era digital yang dipenuhi oleh
informasi yang sulit diverifikasi.³ Dengan demikian, diskusi ini diharapkan
tidak hanya menjadi alat untuk membongkar kebenaran, tetapi juga untuk
meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dalam kepemimpinan
dan tata kelola negara.
Catatan Kaki
[1]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022
(Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.
[2]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an
Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.
[3]
Wardle dan Derakhshan, Information Disorder, 20.
2.
Metodologi
Kajian
Dalam membahas isu
kontroversial mengenai mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut
masuk nominasi "Tokoh Paling
Korup di Dunia," digunakan pendekatan metodologis yang bersifat multidimensional untuk
memastikan analisis yang kritis, objektif, dan komprehensif. Penelitian ini
melibatkan kajian dari berbagai perspektif, yaitu hukum, ekonomi, media, dan
politik global. Berikut adalah metode yang digunakan dalam setiap pendekatan:
2.1. Pendekatan Hukum
Kajian hukum
digunakan untuk mengevaluasi apakah tuduhan ini memiliki dasar hukum yang
jelas. Analisis difokuskan pada regulasi antikorupsi di Indonesia, efektivitas
lembaga pemberantasan korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan
penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.⁴ Penelitian ini juga mengacu pada laporan dan data dari lembaga hukum
internasional untuk membandingkan standar hukum Indonesia dengan praktik
global.
2.2. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi
digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan ekonomi yang diambil selama
pemerintahan Jokowi terhadap persepsi korupsi. Kajian ini memanfaatkan data
dari lembaga internasional seperti World Bank dan Transparency International
untuk mengevaluasi hubungan antara kebijakan ekonomi, transparansi keuangan,
dan korupsi.⁵ Penelitian juga mencermati kasus besar yang muncul selama periode
tersebut, seperti skandal korupsi Jiwasraya dan Asabri, yang menyoroti
kelemahan pengawasan ekonomi.⁶
2.3. Pendekatan Media
Kajian media
berfokus pada analisis framing dan penyebaran informasi melalui media massa dan
media sosial. Metodologi ini mengidentifikasi sumber awal berita, pola
penyebaran, dan potensi disinformasi yang mendistorsi fakta. Pendekatan ini
mengacu pada teori framing yang dikemukakan oleh Robert Entman, yang menjelaskan
bagaimana media memilih elemen tertentu untuk menonjolkan atau menyembunyikan
informasi.⁷ Penelitian juga memanfaatkan alat analisis digital untuk memetakan
jejaring penyebaran isu ini di berbagai platform.
2.4. Pendekatan Politik Global
Pendekatan politik
global digunakan untuk memahami konteks geopolitik yang memengaruhi persepsi
internasional terhadap Indonesia. Analisis mencakup pengaruh aktor politik
global, hubungan diplomatik Indonesia, dan narasi politik internasional
terhadap reputasi nasional. Kajian ini menggunakan data dari lembaga think tank
seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Brookings
Institution untuk mengevaluasi bagaimana isu ini mungkin dipengaruhi oleh
kepentingan politik global.⁸
Kesimpulan Metodologi
Pendekatan
multidimensional ini dipilih untuk memastikan bahwa isu ini tidak hanya
dianalisis dari sudut pandang domestik tetapi juga dalam konteks internasional.
Dengan melibatkan data empiris dan referensi dari sumber terpercaya, penelitian
ini berupaya untuk memberikan wawasan yang mendalam dan menghindari bias dalam
analisis.
Catatan Kaki
[4]
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Jakarta: Pemerintah Indonesia, 1999).
[5]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022
(Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.
[6]
"Jiwasraya Scandal and the Need for Better
Oversight," The Jakarta Post, 15 January 2020, https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15.
[7]
Robert M. Entman, Projections of Power: Framing News, Public
Opinion, and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago
Press, 2004), 5.
[8]
Center for Strategic and International Studies
(CSIS), Indonesia
and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.: CSIS,
2023), https://www.csis.org.
3.
Analisis
Data
Fenomena yang
menyebutkan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu
nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia" memerlukan analisis
berbasis data untuk membedah berbagai dimensi yang mendasari klaim tersebut.
Analisis ini melibatkan tiga aspek utama: rekam jejak pemerintahan Jokowi dalam
pemberantasan korupsi, posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI),
dan kontroversi yang menyelimuti nominasi ini.
3.1. Rekam Jejak Pemerintahan Jokowi dalam Pemberantasan
Korupsi
Sejak menjabat pada
2014, pemerintahan Jokowi menghadapi tantangan besar dalam memberantas korupsi.
Salah satu inisiatif signifikan adalah peluncuran Program Reformasi Birokrasi
Nasional, yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dalam pelayanan
publik. Namun, efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan, mengingat
beberapa kasus korupsi besar tetap terjadi, seperti skandal Jiwasraya dan
Asabri yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.⁹
Kritik utama juga
diarahkan pada melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama setelah
revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang dinilai banyak pihak sebagai upaya
untuk melemahkan independensi lembaga tersebut.¹⁰ Meski demikian, Jokowi juga
mendapatkan apresiasi atas keberhasilannya dalam mendigitalisasi layanan publik
untuk meminimalkan interaksi tatap muka yang rawan korupsi.¹¹
3.2. Posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi
(CPI)
Transparency
International melaporkan bahwa skor CPI Indonesia pada tahun 2022 adalah
34/100, menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara.¹² Skor ini
menunjukkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya, di mana Indonesia pernah mencapai skor 38 pada 2019.¹³
Penurunan ini dapat
dihubungkan dengan berbagai faktor, seperti lemahnya penegakan hukum, reformasi
birokrasi yang belum merata, dan maraknya kasus korupsi di tingkat lokal dan
nasional. Dalam konteks global, peringkat ini membuat Indonesia berada di bawah
beberapa negara tetangga seperti Malaysia (skor 47) dan Singapura (skor 83).¹⁴
3.3. Kontroversi dalam Nominasi
Sumber awal yang
menyebutkan Jokowi sebagai nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia"
hingga kini belum jelas. Berita ini banyak ditemukan di platform media sosial
tanpa rujukan yang kredibel.¹⁵ Dalam investigasi lebih lanjut, beberapa pakar
media menyatakan bahwa berita ini kemungkinan besar merupakan bentuk
disinformasi yang dirancang untuk merusak reputasi politik Jokowi.¹⁶
Selain itu, tidak
ada lembaga internasional yang memiliki otoritas untuk memberikan penghargaan
atau nominasi seperti itu secara resmi. Dalam diskursus global, isu semacam ini
sering kali digunakan oleh aktor politik tertentu untuk menyebarkan propaganda.¹⁷
Dengan demikian, klaim ini memerlukan skeptisisme yang tinggi dan verifikasi
data yang lebih mendalam sebelum dianggap sahih.
Kesimpulan Analisis Data
Berdasarkan data
yang tersedia, tidak ditemukan bukti yang mendukung klaim bahwa Jokowi secara
resmi masuk nominasi "Tokoh Paling Korup di Dunia." Namun, isu
ini mencerminkan tantangan nyata yang dihadapi Indonesia dalam upaya
pemberantasan korupsi. Di sisi lain, fenomena ini juga menyoroti pentingnya
literasi media dalam membedakan fakta dari disinformasi.
Catatan Kaki
[9]
"Jiwasraya Scandal and the Need for Better
Oversight," The Jakarta Post, 15 January 2020, https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15.
[10]
Resty Woro Yuniar,
"Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its
Powers," South China Morning Post, 18
September 2019, https://www.scmp.com.
[11]
"Indonesia’s E-Government Development Index
Improves," Antara News, 29 October 2021, https://www.antaranews.com.
[12]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022
(Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.
[13]
Ibid.
[14]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2019
(Berlin: Transparency International, 2020), https://www.transparency.org/en/cpi/2019.
[15]
Claire Wardle dan Hossein
Derakhshan, Information Disorder: Toward an
Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 20, https://rm.coe.int.
[16]
Ibid.
[17]
Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia
and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.:
CSIS, 2023), https://www.csis.org.
4.
Konteks
Media dan Opini Publik
4.1. Framing Media dalam Pemberitaan
Media memiliki peran
krusial dalam membentuk persepsi publik terhadap isu-isu sensitif seperti
nominasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai "Tokoh Paling Korup di
Dunia." Dalam kasus ini, pemberitaan awal lebih banyak tersebar
melalui media sosial daripada media arus utama. Investigasi mendalam
menunjukkan bahwa isu ini pertama kali diangkat oleh platform yang tidak
memiliki kredibilitas jurnalistik, dengan narasi yang berisi klaim tanpa bukti
kuat.¹⁸
Studi framing yang
dikembangkan oleh Robert Entman menunjukkan bagaimana media memilih elemen
tertentu untuk ditonjolkan dan mengabaikan elemen lain demi membentuk persepsi
tertentu.¹⁹ Dalam konteks ini, media sosial seringkali menggunakan narasi
sensasional untuk memicu respons emosional publik, yang kemudian dimanfaatkan
oleh kelompok tertentu untuk mendiskreditkan pemerintahan Jokowi. Hal ini
menguatkan pentingnya literasi media dalam membedakan fakta dari disinformasi.
Media arus utama
nasional, seperti Kompas dan Tempo,
cenderung lebih berhati-hati dalam memberitakan isu ini. Mereka memverifikasi
klaim sebelum menyebarkannya, menekankan bahwa tuduhan tersebut tidak berasal
dari lembaga kredibel atau organisasi internasional resmi.²⁰ Namun, kurangnya
kontrol terhadap penyebaran berita di media sosial membuat isu ini tetap
menjadi perbincangan publik yang meluas.
4.2. Opini Publik di Media Sosial
Opini publik di
media sosial terpolarisasi dengan tajam. Sebagian besar warganet yang kritis
mempertanyakan validitas klaim tersebut dan menuntut bukti.²¹ Sebaliknya,
kelompok lain yang cenderung tidak puas dengan pemerintahan Jokowi menggunakan
isu ini untuk memperkuat narasi bahwa kepemimpinannya dipenuhi dengan praktik
korupsi.²²
Polarisasi ini
mencerminkan tren global di mana media sosial sering kali menjadi arena konflik
politik dan ideologis.²³ Penelitian oleh Wardle dan Derakhshan menunjukkan
bahwa media sosial mempercepat penyebaran disinformasi, karena platform ini
dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik perhatian daripada yang
akurat.²⁴ Dalam kasus ini, algoritma media sosial memperbesar jangkauan klaim
sensasional meski tidak terverifikasi.
4.3. Dampak terhadap Citra Nasional
Diskusi yang beredar
luas di media sosial dan publikasi internasional memengaruhi citra Indonesia
secara global. Meski tidak ada bukti resmi, persepsi negatif ini dapat
menimbulkan kerugian reputasi bagi Indonesia, terutama dalam diplomasi
internasional dan daya tarik investasi asing.²⁵
Peneliti di Center
for Strategic and International Studies (CSIS) menekankan bahwa isu semacam ini
sering kali dimanfaatkan oleh aktor politik internasional untuk melemahkan
posisi suatu negara.²⁶ Dalam kasus Indonesia, persepsi negatif tentang korupsi
dapat memperkuat stereotip lama tentang lemahnya penegakan hukum dan tata
kelola yang buruk di Asia Tenggara.
Kesimpulan Konteks Media dan Opini Publik
Fenomena ini
menyoroti pentingnya peran media dalam membentuk persepsi publik dan dampak
disinformasi dalam memperburuk reputasi negara. Dengan meningkatnya penggunaan
media sosial, pemerintah dan masyarakat perlu memperkuat literasi digital untuk
mengatasi tantangan disinformasi. Selain itu, media arus utama perlu terus
memainkan peran sebagai penjaga kebenaran dengan menekankan pada verifikasi
fakta sebelum menyebarkan informasi.
Catatan Kaki
[18]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an
Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.
[19]
Robert M. Entman, Projections of Power: Framing News, Public
Opinion, and U.S. Foreign Policy (Chicago: University of Chicago
Press, 2004), 5.
[20]
"Klaim Jokowi Masuk
Nominasi Tokoh Paling Korup Tidak Berdasar," Kompas, 1 November 2024, https://www.kompas.com.
[21]
Rendy Astriawan,
"Analisis Opini Publik di Media Sosial terhadap Isu Korupsi Jokowi," Journal
of Social Media Studies 5, no. 2 (2023): 45-56.
[22]
Ibid.
[23]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility
of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017),
90-92.
[24]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information
Disorder, 20.
[25]
"Corruption Perception and Its Impact on Indonesia’s
Investment Climate," The Jakarta Post, 20 October 2023, https://www.thejakartapost.com.
[26]
Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia
and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.:
CSIS, 2023), https://www.csis.org.
5.
Tinjauan
Kritis
5.1. Aspek Legalitas dan Etika
Secara hukum, klaim
bahwa mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masuk dalam nominasi "Tokoh
Paling Korup di Dunia" tidak memiliki dasar yang sahih. Hingga saat
ini, tidak ada lembaga atau otoritas resmi, baik nasional maupun internasional,
yang memberikan penilaian formal tentang "tokoh paling korup di dunia."
Transparency International, sebagai salah satu lembaga terpercaya yang mengukur
tingkat korupsi melalui Indeks Persepsi Korupsi (CPI), tidak pernah merilis
data semacam itu.²⁷
Dari perspektif
etika, tuduhan ini mencerminkan tantangan besar dalam menjaga integritas
pemimpin politik di era disinformasi. Tanpa bukti kuat, tuduhan semacam ini
berpotensi merusak reputasi pribadi, kepercayaan publik, dan stabilitas
pemerintahan.²⁸ Sebagai mantan kepala negara, Jokowi juga memiliki
tanggung jawab moral untuk memberikan contoh yang baik kepada keluarganya yang
saat ini berada dalam pemerintahan, termasuk mengatasi persepsi negatif ini
dengan langkah-langkah yang bijaksana dan transparan.
5.2. Peran Media dan Aktor Politik
Tinjauan kritis
menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran sentral dalam menyebarkan klaim
ini. Menurut penelitian, algoritma media sosial cenderung memperkuat narasi
sensasional yang sering kali tidak berdasar.²⁹ Dalam konteks ini, klaim tentang
korupsi Jokowi mungkin dimanfaatkan oleh aktor politik tertentu, baik domestik
maupun internasional, untuk melemahkan kredibilitas pemerintahan Indonesia.³⁰
Selain itu, media
tradisional yang kredibel memiliki tanggung jawab untuk menyanggah klaim yang
tidak berdasar. Sayangnya, dalam beberapa kasus, media arus utama gagal secara
proaktif mengedukasi publik tentang kebenaran di balik isu tersebut, sehingga
memungkinkan narasi yang salah untuk terus menyebar.³¹
5.3. Dampak Global dan Kepentingan Geopolitik
Isu ini tidak hanya
memengaruhi reputasi domestik Jokowi, tetapi juga membawa implikasi
internasional. Dalam dunia diplomasi, persepsi tentang tingginya tingkat
korupsi di suatu negara dapat memengaruhi daya tarik investasi asing dan
hubungan bilateral.³² Klaim seperti ini sering kali digunakan oleh aktor
geopolitik untuk memposisikan negara tertentu sebagai koruptor guna melemahkan
posisi tawarnya dalam perundingan internasional.³³
Dalam kasus
Indonesia, kekuatan ekonomi yang berkembang di Asia Tenggara, klaim semacam ini
bisa menjadi bagian dari strategi geopolitik untuk menghambat kemajuan ekonomi
dan politik negara di panggung global.³⁴ Oleh karena itu, penting bagi
Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan
sebagai langkah proaktif untuk mengatasi persepsi semacam ini.
5.4. Perspektif Masyarakat dan Literasi Media
Masyarakat Indonesia
perlu mengambil pelajaran penting dari fenomena ini. Tingginya tingkat
penyebaran informasi palsu menunjukkan lemahnya literasi media di kalangan
publik.³⁵ Literasi media yang baik memungkinkan masyarakat untuk memahami
bagaimana informasi diproduksi, disebarluaskan, dan dimanipulasi.³⁶ Dengan
demikian, masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh klaim sensasional tanpa dasar
yang dapat merugikan stabilitas politik dan sosial.
Kesimpulan Tinjauan Kritis
Fenomena ini
menunjukkan kompleksitas tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam
melawan disinformasi dan menjaga reputasi global. Isu ini juga mengingatkan
pentingnya peran media, baik tradisional maupun sosial, dalam menyampaikan
informasi yang akurat dan bertanggung jawab. Pemerintah dan masyarakat perlu
bekerja sama untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan literasi media
sebagai bagian dari upaya melawan narasi palsu yang dapat merusak integritas
bangsa.
Catatan Kaki
[27]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022
(Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.
[28]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information
Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.
[29]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility
of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017),
102-105.
[30]
Center for Strategic and
International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic
Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.
[31]
"Klaim Jokowi Masuk
Nominasi Tokoh Paling Korup Tidak Berdasar," Kompas, 1 November 2024, https://www.kompas.com.
[32]
"Corruption Perception and Its Impact on
Indonesia’s Investment Climate," The Jakarta Post, 20 October 2023, https://www.thejakartapost.com.
[33]
Resty Woro Yuniar,
"Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its
Powers," South China Morning Post, 18 September
2019, https://www.scmp.com.
[34]
Center for Strategic and
International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic
Perspective, https://www.csis.org.
[35]
Wardle dan Derakhshan, Information
Disorder, 20.
[36]
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture
and Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 30.
6.
Implikasi
dan Rekomendasi
6.1. Implikasi bagi Pemerintah
Isu masuknya mantan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam nominasi "Tokoh Paling Korup di
Dunia" membawa beberapa implikasi serius, baik di tingkat domestik
maupun internasional. Di dalam negeri, isu ini berpotensi melemahkan
kepercayaan publik terhadap kepemimpinan yang berkaitan dengan Jokowi ---yakni
keluarganya yang masih ada dalam pemerintahan---, khususnya dalam hal
pemberantasan korupsi. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah dan
sistem hukum juga dapat terganggu akibat persepsi bahwa praktik korupsi masih
merajalela di bawah kepemimpinannya.³⁷
Di tingkat
internasional, klaim ini dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang
sedang berusaha membangun citra positif di kancah global. Persepsi korupsi yang
tinggi dapat berdampak buruk pada iklim investasi asing dan daya saing
Indonesia.³⁸ Bahkan jika klaim tersebut tidak terbukti benar, penyebaran berita
sensasional semacam ini tetap memengaruhi keputusan strategis para investor dan
mitra internasional.
6.2. Implikasi bagi Masyarakat
Fenomena ini
menggarisbawahi lemahnya literasi media masyarakat Indonesia, yang membuat
banyak orang mudah terpengaruh oleh informasi tanpa sumber yang valid.³⁹ Dalam
kasus ini, disinformasi yang tersebar luas menunjukkan bahwa masyarakat
cenderung menerima informasi yang sejalan dengan opini politik mereka tanpa
memverifikasi kebenarannya. Kesenjangan literasi digital ini tidak hanya
menyebabkan polarisasi politik, tetapi juga memperburuk situasi sosial di
Indonesia.⁴⁰
6.3. Rekomendasi untuk Pemerintah
Untuk mengatasi
dampak negatif dari isu ini, pemerintah perlu mengambil langkah strategis, di
antaranya:
1)
Menguatkan Transparansi
dan Akuntabilitas:
Pemerintah (siapa pun yang memimpin) perlu
memperkuat transparansi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Laporan
berkala tentang upaya pemberantasan korupsi, seperti publikasi hasil
investigasi kasus besar dan laporan kinerja lembaga antikorupsi, dapat membantu
memulihkan kepercayaan publik.⁴¹
2)
Memperkuat KPK dan
Institusi Penegak Hukum:
Langkah tegas dalam mendukung independensi KPK
dan institusi penegak hukum lainnya menjadi sangat penting. Pemerintah harus
memastikan bahwa lembaga ini memiliki wewenang penuh dan sumber daya yang
memadai untuk menangani kasus korupsi secara efektif.⁴²
3)
Mengintensifkan Diplomasi
Internasional:
Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan jalur
diplomasi untuk membantah klaim-klaim yang merusak citra negara. Selain itu,
bekerja sama dengan lembaga internasional seperti Transparency International
untuk meningkatkan peringkat CPI Indonesia dapat memperbaiki reputasi global.⁴³
6.4. Rekomendasi untuk Masyarakat
1)
Meningkatkan Literasi
Media:
Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil harus
menggalakkan program literasi media untuk membantu masyarakat memahami cara
memverifikasi informasi dan membedakan fakta dari opini.⁴⁴
2)
Mendorong Partisipasi
Publik dalam Pemberantasan Korupsi:
Masyarakat dapat berkontribusi dengan melaporkan
praktik korupsi melalui kanal resmi seperti platform digital yang disediakan
oleh KPK. Partisipasi aktif ini juga dapat memperkuat pengawasan terhadap
pemerintah.⁴⁵
6.5. Rekomendasi untuk Media dan Akademisi
1)
Peran Media dalam
Verifikasi Fakta:
Media arus utama harus lebih proaktif dalam
menyanggah informasi palsu dan memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang
pentingnya sumber informasi yang kredibel.⁴⁶
2)
Penelitian Lebih Lanjut
oleh Akademisi:
Akademisi dapat berkontribusi dengan melakukan
penelitian mendalam tentang persepsi korupsi di Indonesia dan dampaknya
terhadap kepercayaan masyarakat. Penelitian ini dapat digunakan untuk
merumuskan kebijakan yang lebih baik di masa depan.⁴⁷
Kesimpulan Implikasi dan Rekomendasi
Fenomena ini
menunjukkan pentingnya tata kelola negara yang transparan, media yang
bertanggung jawab, dan masyarakat yang kritis. Dengan langkah-langkah
strategis, pemerintah dapat mengatasi dampak isu ini sekaligus memperbaiki
persepsi publik, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Catatan Kaki
[37]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022
(Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.
- "Corruption
Perception and Its Impact on Indonesia’s Investment Climate," The
Jakarta Post, 20 October 2023, https://www.thejakartapost.com.
- Claire
Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder:
Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 20, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.
[38]
Zeynep Tufekci, Twitter
and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New
Haven: Yale University Press, 2017), 90-92.
[39]
"Klaim Jokowi Masuk Nominasi Tokoh Paling
Korup Tidak Berdasar," Kompas, 1 November 2024, https://www.kompas.com.
[40]
Resty Woro Yuniar,
"Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its
Powers," South China Morning Post, 18
September 2019, https://www.scmp.com.
[41]
Center for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia
and Global Politics: A Strategic Perspective (Washington D.C.:
CSIS, 2023), https://www.csis.org.
[42]
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: Connecting Culture
and Classroom (Thousand Oaks: Corwin, 2011), 30.
[43]
"KPK Launches
Reporting App for Corruption Cases," Antara News, 10 December 2023, https://www.antaranews.com.
[44]
Wardle dan Derakhshan, Information Disorder, 14.
[45]
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy, 35.
7.
Kesimpulan
Fenomena masuknya
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam nominasi "Tokoh Paling Korup di
Dunia" mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh
pemerintahan modern, terutama di era disinformasi yang masif. Berdasarkan
analisis data, tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut, dan tidak ada
lembaga kredibel, baik nasional maupun internasional, yang memberikan pengakuan
resmi atas tuduhan ini. Sebaliknya, isu ini lebih tepat dipahami sebagai bagian
dari dinamika politik, baik di tingkat domestik maupun global, yang
memanfaatkan media sosial untuk membentuk narasi tertentu.⁴⁸
7.1. Klaim Tanpa Dasar dan Tantangan Pemberantasan Korupsi
Klaim ini, meskipun
tidak terbukti, telah menciptakan dampak besar terhadap persepsi publik.
Transparency International, dalam laporan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2022,
mencatat skor Indonesia pada angka 34/100, menunjukkan masih adanya tantangan besar
dalam pemberantasan korupsi.⁴⁹ Meski pemerintah telah mengimplementasikan
berbagai kebijakan, seperti digitalisasi pelayanan publik dan reformasi
birokrasi, kasus besar seperti Jiwasraya dan Asabri menunjukkan bahwa masih
terdapat kelemahan struktural dalam sistem tata kelola negara.⁵⁰
Reputasi Jokowi dan
pemerintahannya, baik di dalam maupun luar negeri, dipengaruhi oleh persepsi
ini. Pemerintah perlu mengambil langkah proaktif untuk memperkuat integritas
lembaga penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan
meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara.⁵¹
7.2. Peran Media dan Literasi Digital
Fenomena ini juga
menyoroti pentingnya peran media dan literasi digital dalam membentuk opini publik.
Media sosial telah menjadi arena utama penyebaran informasi palsu, di mana
algoritma sering memprioritaskan konten yang memicu emosi daripada yang
berbasis fakta.⁵² Dalam kasus ini, isu nominasi Jokowi digunakan untuk
mendiskreditkan pemerintah, menunjukkan bagaimana media dapat dimanipulasi
untuk kepentingan politik tertentu.
Masyarakat perlu
meningkatkan literasi digital untuk memahami proses verifikasi informasi dan
menghindari jebakan disinformasi. Selain itu, media arus utama perlu lebih
proaktif dalam menyanggah klaim palsu, dengan menekankan fakta dan menyajikan
laporan berbasis data untuk mengedukasi masyarakat.⁵³
7.3. Perspektif Geopolitik
Pada tingkat
internasional, isu ini menunjukkan bagaimana narasi negatif dapat memengaruhi
reputasi suatu negara di kancah global. Dalam dunia diplomasi dan ekonomi,
persepsi korupsi yang tinggi dapat mengurangi kepercayaan investor dan mitra
internasional, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan melemahkan posisi tawar
negara dalam perundingan global.⁵⁴ Pemerintah Indonesia perlu memperkuat upaya
diplomasi untuk membangun narasi positif tentang reformasi dan kemajuan di
bidang pemberantasan korupsi.
Kesimpulan Akhir
Fenomena ini
mengingatkan kita akan pentingnya tata kelola yang transparan, media yang
bertanggung jawab, dan masyarakat yang kritis terhadap informasi. Pemerintah,
media, dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam melawan disinformasi
dan membangun reputasi yang positif. Isu ini seharusnya menjadi pendorong bagi
pemerintah untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi dan memanfaatkan
momentum untuk memperbaiki persepsi publik, baik di tingkat nasional maupun
internasional.
Catatan Kaki
[46]
Claire Wardle dan Hossein
Derakhshan, Information Disorder: Toward an
Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making
(Strasbourg: Council of Europe, 2017), 14, https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666.
[47]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2022
(Berlin: Transparency International, 2023), https://www.transparency.org/en/cpi/2022.
[48]
"Jiwasraya Scandal and the Need for Better
Oversight," The Jakarta Post, 15 January 2020, https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15.
[49]
Resty Woro Yuniar,
"Indonesia’s Anti-Corruption Body Under Fire Amid Changes to Its
Powers," South China Morning Post, 18
September 2019, https://www.scmp.com.
[50]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility
of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017),
90-92.
[51]
Wardle dan Derakhshan, Information Disorder, 20.
[52]
Center for Strategic and
International Studies (CSIS), Indonesia and Global Politics: A Strategic
Perspective (Washington D.C.: CSIS, 2023), https://www.csis.org.
Daftar Pustaka
Center for Strategic and International Studies.
(2023). Indonesia and global politics: A strategic perspective.
Washington D.C.: CSIS. Retrieved from https://www.csis.org
Hobbs, R. (2011). Digital and media literacy:
Connecting culture and classroom. Thousand Oaks, CA: Corwin.
Transparency International. (2023). Corruption
perceptions index 2022. Berlin: Transparency International. Retrieved from https://www.transparency.org/en/cpi/2022
Transparency International. (2020). Corruption
perceptions index 2019. Berlin: Transparency International. Retrieved from https://www.transparency.org/en/cpi/2019
Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The
power and fragility of networked protest. New Haven, CT: Yale University
Press.
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information
disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making.
Strasbourg: Council of Europe. Retrieved from https://rm.coe.int/information-disorder-report-november-2017/1680764666
"Corruption perception and its impact on
Indonesia’s investment climate." (2023, October 20). The Jakarta Post.
Retrieved from https://www.thejakartapost.com
"Indonesia’s anti-corruption body under fire
amid changes to its powers." (2019, September 18). South China Morning
Post. Retrieved from https://www.scmp.com
"Indonesia’s e-government development index
improves." (2021, October 29). Antara News. Retrieved from https://www.antaranews.com
"Jiwasraya scandal and the need for better
oversight." (2020, January 15). The Jakarta Post. Retrieved from https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/15
"Klaim Jokowi masuk nominasi tokoh paling
korup tidak berdasar." (2024, November 1). Kompas. Retrieved from https://www.kompas.com
"KPK launches reporting app for corruption
cases." (2023, December 10). Antara News. Retrieved from https://www.antaranews.com
Kritik Penulis:
Kritik Penulis terhadap Fenomena Jokowi Masuk
Nominasi Tokoh Paling Korup di Dunia
Bagi seseorang yang selalu
berjuang untuk mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan,
fenomena ini menjadi momen refleksi yang sangat memprihatinkan. Masuknya nama Presiden Joko Widodo dalam klaim "Tokoh Paling Korup di Dunia"
mungkin tidak memiliki dasar kredibilitas yang kuat, tetapi fakta bahwa isu ini
mencuat menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat salah dalam cara pemerintahan
ini dikelola.
1)
Melemahnya
Pemberantasan Korupsi
Pertama, mari kita bicara
soal rekam jejak pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Jokowi. Revisi
Undang-Undang KPK tahun 2019 adalah pukulan telak bagi independensi lembaga
antikorupsi di negeri ini. Revisi tersebut tidak hanya melemahkan kewenangan
KPK tetapi juga mengindikasikan bahwa pemerintahan ini cenderung menghindari
transparansi dalam pengelolaan kasus-kasus besar. KPK, yang dulunya menjadi
garda terdepan pemberantasan korupsi, kini terkesan kehilangan taringnya.
Apakah ini kepemimpinan yang bisa kita banggakan?
2)
Skandal Besar yang
Tidak Terselesaikan
Kita juga tidak bisa menutup
mata terhadap skandal-skandal besar yang mencoreng pemerintahan Jokowi. Kasus
Jiwasraya dan Asabri, misalnya, adalah bukti nyata bahwa pengawasan terhadap
BUMN sangat lemah. Skandal ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah,
tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola negara.
Presiden seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan ini, bukan berlindung di
balik dalih "itu bukan tugas langsung saya."
3)
Persepsi Korupsi
yang Memburuk
Indeks Persepsi Korupsi (CPI)
Indonesia terus menunjukkan stagnasi, bahkan penurunan, selama kepemimpinan
Jokowi. Pada tahun 2022, Indonesia hanya mencatat skor 34/100, jauh tertinggal
dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Jika pemerintahan
ini benar-benar serius memberantas korupsi, mengapa indikator-indikator ini
tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan?
4)
Propaganda dan
Pencitraan
Kepemimpinan Jokowi sering
kali lebih sibuk dengan pencitraan daripada substansi. Kehadirannya di media
sosial, yang selalu menonjolkan pembangunan infrastruktur, sering kali menjadi
pengalih perhatian dari masalah mendasar seperti korupsi. Pencitraan ini hanya
memperdalam kesenjangan antara realitas dan persepsi yang dibangun. Pembangunan
infrastruktur memang penting, tetapi bagaimana dengan pembangunan karakter
bangsa yang bebas dari korupsi?
5)
Kepemimpinan yang
Gagal Memberi Keteladanan
Sebagai seorang kepala
negara, Jokowi (saat memimpin) seharusnya menjadi teladan dalam integritas.
Namun, berbagai kebijakan dan keputusan politik yang diambil selama
pemerintahannya justru menunjukkan sebaliknya. Ketergantungan pada lingkaran
oligarki, kelemahan dalam menegakkan hukum, dan membiarkan korupsi terjadi di
berbagai level pemerintahan adalah bukti nyata kegagalan ini.
Kesimpulan
Fenomena ini, meskipun tidak
berdasarkan fakta kredibel, harus menjadi momen refleksi besar bagi bangsa ini.
Apakah kita puas dengan pemerintahan yang terus menerus melemahkan institusi
antikorupsi, gagal menyelesaikan skandal besar, dan membiarkan persepsi korupsi
memburuk? Apakah kita akan terus diam melihat tata kelola negara yang kian
tidak akuntabel?
Jokowi harus bertanggung
jawab penuh atas kegagalan ini. Pembangunan fisik tanpa integritas adalah
fondasi yang rapuh untuk masa depan bangsa. Jika pemerintah (siapa pun yang
memimpin selanjutnya) tidak segera melakukan reformasi menyeluruh dalam
pemberantasan korupsi, maka sejarah akan mencatatnya sebagai simbol dari
kegagalan moral dan politik dalam memimpin Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar