Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi dalam Perspektif
Rasional, Hukum, dan Islam
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep
hak memberi dan hak tidak memberi dalam perspektif rasional, hukum, dan Islam.
Dalam perspektif rasional, hak untuk memberi dan tidak memberi adalah bagian
dari kebebasan individu yang harus dihormati, dengan menekankan pentingnya
pemahaman sosial yang tidak menekan seseorang untuk selalu memenuhi permintaan
orang lain. Dalam kajian hukum, hak atas kepemilikan harta dilindungi oleh
undang-undang yang mengatur kebebasan individu dalam mengelola asetnya tanpa
pemaksaan. Perspektif Islam mengajarkan bahwa memberi adalah amal yang sangat
dianjurkan, namun tetap mempertimbangkan kondisi pribadi seseorang yang berhak
untuk tidak memberi jika itu dapat membahayakan dirinya. Artikel ini juga
menyoroti pentingnya menghormati hak individu untuk tidak memberi dan
menghindari tekanan sosial yang berlebihan. Diharapkan bahwa pemahaman yang
lebih baik tentang hak memberi dan hak tidak memberi dapat menciptakan
keseimbangan antara kepentingan individu dan kebutuhan sosial dalam masyarakat.
Kata kunci: Hak memberi, hak
tidak memberi, kebebasan individu, hukum kepemilikan, Islam, pemaksaan sosial,
sedekah.
1.
Pendahuluan
Dalam kehidupan sosial,
interaksi antarindividu sering kali melibatkan permintaan untuk memberi atau
meminjamkan barang. Budaya di berbagai negara menunjukkan perbedaan dalam cara
individu menanggapi permintaan tersebut. Di beberapa budaya Barat, seperti di
Amerika Serikat, seseorang yang tidak ingin memberikan atau meminjamkan barang
dapat dengan tegas mengatakan "tidak" tanpa perlu memberikan
alasan lebih lanjut. Pernyataan ini diterima sebagai hak pribadi atas
kepemilikan, dan pihak yang meminta umumnya tidak akan merasa tersinggung atau
menganggap penolakan tersebut sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini sejalan
dengan konsep hak individu dalam filsafat liberalisme yang menekankan otonomi
dan kebebasan pribadi dalam menentukan penggunaan aset yang dimiliki.1
Sebaliknya, di banyak
masyarakat Asia, termasuk Indonesia, penolakan terhadap permintaan sering kali
diharapkan disertai alasan yang dapat diterima secara sosial. Orang yang
menolak tanpa memberikan alasan dianggap kurang empati, pelit, atau bahkan
tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain. Konsep ini berkaitan erat dengan
nilai-nilai komunal dan budaya gotong royong yang telah lama mengakar dalam
masyarakat Indonesia.2 Norma
sosial ini mendorong individu untuk selalu mempertimbangkan reaksi sosial
sebelum mengambil keputusan pribadi terkait kepemilikan barang.
Namun, fenomena ini juga
menimbulkan berbagai dilema sosial dan psikologis. Individu sering merasa
terpaksa memberikan atau meminjamkan barang karena takut dicap negatif oleh
lingkungan sekitarnya. Dalam beberapa kasus, tekanan sosial ini dapat mengarah
pada eksploitasi emosional, di mana seseorang merasa harus mengorbankan
kepentingan pribadinya demi menjaga hubungan sosial.3 Padahal, dari perspektif hak asasi
manusia dan hukum, setiap individu memiliki hak penuh atas kepemilikan barang
mereka dan berhak menentukan apakah ingin memberi atau tidak tanpa harus
menjelaskan alasannya kepada orang lain.4
Dari perspektif hukum, hak
kepemilikan diatur secara tegas dalam berbagai regulasi, termasuk dalam hukum
positif Indonesia. Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan pribadi, dan kepemilikan tersebut
tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun.5 Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 570, kepemilikan diartikan sebagai hak untuk
menikmati dan menguasai suatu benda secara penuh, termasuk hak untuk menolak
memberikan atau meminjamkan barang tersebut.6
Oleh karena itu, dari perspektif hukum, seseorang tidak memiliki kewajiban
untuk selalu memberikan barangnya kepada orang lain kecuali dalam situasi
tertentu yang diatur oleh undang-undang.
Dari perspektif Islam,
kepemilikan harta diakui sebagai hak individu yang harus dihormati. Islam
mengajarkan keseimbangan antara kewajiban memberi dalam bentuk zakat, infaq,
dan sedekah, serta hak individu untuk tidak memberi dalam kondisi tertentu.
Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 267 mengajarkan bahwa pemberian hendaknya
dilakukan dengan penuh keikhlasan dan bukan karena paksaan sosial.7 Rasulullah Saw. juga menekankan
pentingnya menjaga hak kepemilikan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam
hadits, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.”8 Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa
memberi merupakan amal yang dianjurkan, tetapi hak untuk tidak memberi juga
harus dihormati selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan
kepentingan umum.
Dengan mempertimbangkan
perspektif rasional, hukum, dan Islam, maka penting bagi masyarakat untuk
memahami bahwa memberi adalah tindakan terpuji, tetapi menolak memberi juga
merupakan hak yang harus dihormati. Artikel ini akan mengupas lebih dalam
tentang hak memberi dan hak tidak memberi berdasarkan kajian rasional, hukum,
dan Islam, dengan merujuk pada sumber-sumber yang kredibel untuk memastikan
pembahasan yang objektif dan komprehensif.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 220.
[2]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 89.
[3]
Erving Goffman, The Presentation of Self in
Everyday Life (New York: Doubleday, 1959), 125.
[4]
Universal Declaration of Human Rights, Article 17
(1948).
[5]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 28H ayat (4).
[6]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 570.
[7]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2): 267.
[8]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 3527.
2.
Kajian
Rasional tentang Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi
2.1.
Hak Individu atas
Kepemilikan
Kepemilikan merupakan hak
fundamental yang melekat pada individu dan diakui dalam berbagai teori filsafat
sosial. Dalam pandangan filsafat liberalisme, hak atas kepemilikan bersifat
mutlak dan tidak boleh diganggu gugat oleh pihak lain tanpa persetujuan
pemiliknya. John Locke, dalam teori hak alami, menyatakan bahwa seseorang
memiliki hak penuh atas properti yang ia peroleh melalui kerja dan usaha
sendiri.1 Locke menegaskan
bahwa hak kepemilikan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus
dihormati oleh individu lain maupun oleh negara.2
Pandangan ini kemudian
diperkuat oleh filsuf kontemporer seperti Robert Nozick dalam bukunya Anarchy,
State, and Utopia, yang berargumen bahwa pemilik barang memiliki kebebasan
penuh dalam menggunakan atau tidak menggunakan barangnya, termasuk kebebasan untuk
memberi atau menolak memberi kepada orang lain.3
Oleh karena itu, menolak permintaan pemberian atau peminjaman tidak dapat
dianggap sebagai tindakan yang tidak etis, melainkan merupakan hak alami yang
dimiliki setiap individu.
Dari perspektif ekonomi,
kepemilikan juga berkaitan erat dengan prinsip scarcity (kelangkaan) dan
opportunity cost (biaya peluang). Ketika seseorang memberikan barang atau
sumber daya miliknya kepada orang lain, ia mengorbankan kemungkinan lain yang
dapat ia lakukan dengan barang tersebut.4
Oleh sebab itu, keputusan untuk memberi atau tidak memberi harus
mempertimbangkan manfaat dan biaya yang dihadapi oleh pemilik barang, bukan
hanya tekanan sosial semata.
2.2.
Konsep Kebebasan dan
Otonomi Pribadi
Kebebasan individu merupakan
pilar utama dalam teori sosial modern. Dalam perspektif filsafat eksistensialisme,
Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab penuh atas
keputusan-keputusan pribadinya, termasuk dalam menentukan apakah ia ingin
memberi atau tidak memberi sesuatu kepada orang lain.5 Seseorang tidak boleh dipaksa untuk
memberi jika keputusan tersebut bertentangan dengan kehendaknya sendiri.
Dalam konteks interaksi
sosial, konsep ini berhubungan dengan gagasan negative liberty yang
dikemukakan oleh Isaiah Berlin. Negative liberty merujuk pada kebebasan
dari paksaan eksternal, di mana seseorang berhak mengambil keputusan tanpa
tekanan dari pihak luar.6
Oleh karena itu, individu yang memilih untuk tidak memberi atau tidak
meminjamkan barangnya kepada orang lain seharusnya tidak perlu memberikan
alasan yang dapat diterima secara sosial, karena hal itu merupakan bagian dari
kebebasan pribadinya.
Namun, dalam masyarakat yang
menganut budaya kolektivisme seperti Indonesia, tekanan sosial sering kali
menghambat kebebasan individu dalam menolak permintaan orang lain. Hal ini
berakar dari konsep harmony ideology, yaitu gagasan bahwa keharmonisan
sosial lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan individu.7 Akibatnya, seseorang cenderung merasa
terpaksa untuk memberi atau meminjamkan barang miliknya demi menjaga hubungan
sosial, meskipun hal tersebut mungkin merugikan dirinya sendiri.
2.3.
Dampak Psikologis dan
Sosial
Dari perspektif psikologi
sosial, tekanan untuk selalu memberi atau memenuhi permintaan orang lain dapat
menyebabkan fenomena people-pleasing behavior, yaitu kecenderungan
seseorang untuk selalu menyenangkan orang lain meskipun bertentangan dengan
keinginannya sendiri.8
Individu dengan kecenderungan ini sering kali mengalami stres, kelelahan
emosional, dan kehilangan rasa kontrol atas hidupnya karena terlalu sering
mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingannya sendiri.9
Studi psikologi juga
menunjukkan bahwa individu yang tidak mampu mengatakan "tidak"
dengan tegas lebih rentan terhadap eksploitasi sosial. Robert Cialdini dalam
bukunya Influence: The Psychology of Persuasion menjelaskan bahwa
individu sering kali terpengaruh oleh tekanan sosial untuk memenuhi ekspektasi
orang lain, bahkan ketika keputusan tersebut merugikan dirinya sendiri.10 Oleh karena itu, membangun keterampilan
asertif dalam menolak permintaan merupakan langkah penting untuk menjaga
kesejahteraan psikologis dan menghindari manipulasi sosial.
Dari perspektif sosiologi,
budaya yang menuntut individu untuk selalu memberi tanpa mempertimbangkan hak
pribadinya dapat menciptakan dinamika sosial yang tidak sehat. Pierre Bourdieu
dalam teorinya tentang modal sosial menjelaskan bahwa tekanan sosial yang
terlalu besar dapat menciptakan hubungan yang bersifat eksploitatif, di mana
pihak yang lebih lemah merasa harus selalu memenuhi permintaan pihak yang lebih
kuat demi mempertahankan status sosialnya.11
Akibatnya, norma sosial yang seharusnya berfungsi untuk memperkuat hubungan
antarindividu justru menjadi alat yang digunakan untuk menekan kebebasan
pribadi seseorang.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian rasional,
hak memberi dan hak tidak memberi merupakan bagian dari hak kepemilikan yang
harus dihormati. Perspektif filsafat, ekonomi, psikologi, dan sosiologi
menunjukkan bahwa keputusan untuk memberi atau tidak memberi merupakan hak
fundamental individu yang tidak boleh diganggu oleh tekanan sosial. Budaya yang
terlalu menuntut individu untuk selalu memberi dapat menimbulkan dampak
negatif, baik dari segi psikologis maupun sosial. Oleh karena itu, penting bagi
masyarakat untuk memahami bahwa menolak memberi bukanlah tindakan yang salah,
melainkan merupakan hak yang sah dalam konteks kebebasan pribadi.
Footnotes
[1]
John Locke, Two Treatises of Government
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287.
[3]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia
(New York: Basic Books, 1974), 150.
[4]
Gregory Mankiw, Principles of Economics
(Boston: Cengage Learning, 2018), 22.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism
(New Haven: Yale University Press, 2007), 45.
[6]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty
(Oxford: Oxford University Press, 1969), 125.
[7]
Benedict Anderson, Imagined Communities
(London: Verso Books, 2006), 37.
[8]
Harriet B. Braiker, The Disease to Please:
Curing the People-Pleasing Syndrome (New York: McGraw-Hill, 2001), 78.
[10]
Robert Cialdini, Influence: The Psychology of
Persuasion (New York: Harper Business, 2006), 120.
[11]
Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique
of the Judgement of Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 198.
3.
Kajian Hukum tentang Hak Memberi dan Hak Tidak
Memberi
3.1.
Hak Kepemilikan dalam
Perspektif Hukum Positif
Hak kepemilikan merupakan
salah satu hak fundamental yang dijamin oleh berbagai sistem hukum di dunia,
termasuk hukum positif di Indonesia. Hak ini mencakup wewenang penuh bagi
pemilik untuk menggunakan, menikmati, atau menolak penggunaan barang miliknya oleh
pihak lain. Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
menyatakan bahwa kepemilikan adalah "hak untuk menikmati suatu benda
secara penuh dan untuk berbuat bebas terhadap benda itu, dengan tidak
mengganggu hak-hak orang lain dan dengan tetap dalam batas-batas yang
ditetapkan oleh undang-undang."1
Hak kepemilikan ini diperkuat
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam
Pasal 28H ayat (4) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak memiliki
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapa pun."2 Dalam konteks ini, pemilik barang
memiliki kebebasan untuk menentukan apakah ia ingin memberi atau tidak memberi
barang miliknya kepada orang lain tanpa harus memberikan alasan yang dapat
diterima secara sosial.
Selain itu, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga
menegaskan bahwa kepemilikan pribadi merupakan hak yang diakui secara hukum,
dengan ketentuan bahwa penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum.3 Artinya, selama seseorang tidak melanggar hukum
atau merugikan kepentingan publik, ia berhak menolak memberikan atau
meminjamkan barang miliknya kepada siapa pun.
3.2.
Batasan Hukum dalam Memberi
dan Tidak Memberi
Meskipun hukum menjamin hak
individu atas kepemilikannya, ada beberapa batasan hukum yang mengatur dalam
kondisi tertentu seseorang diwajibkan untuk memberi atau berbagi sumber daya
yang dimilikinya. Salah satu contohnya adalah kewajiban dalam hukum perdata
yang mengatur nafkah bagi anggota keluarga. Pasal 321 KUH Perdata menyebutkan
bahwa orang tua berkewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya yang masih
dalam tanggungan.4 Demikian pula, dalam hukum pidana terdapat aturan
tentang keadaan darurat di mana seseorang dapat diwajibkan memberikan bantuan
atau barangnya kepada pihak lain untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Dalam keadaan tertentu, hukum
juga melarang pemaksaan untuk memberi atau meminjamkan barang. Pemaksaan
terhadap seseorang untuk memberikan atau menyerahkan barang miliknya tanpa
persetujuan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan atau
perampasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Pasal ini menyebutkan bahwa "Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu,
atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun."5
Aturan ini menunjukkan bahwa
tidak ada kewajiban hukum bagi seseorang untuk selalu memberi atau meminjamkan
barang miliknya, kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur oleh undang-undang.
Oleh karena itu, hukum memberikan perlindungan penuh bagi individu yang memilih
untuk tidak memberi atau meminjamkan barangnya kepada orang lain.
3.3.
Implikasi Hukum terhadap
Pemaksaan Pemberian atau Peminjaman
Dalam praktik sosial, sering
kali terjadi tekanan atau paksaan agar seseorang memberikan atau meminjamkan
barangnya, meskipun ia sebenarnya enggan. Dalam beberapa kasus, pemaksaan ini
dapat berujung pada tindakan melawan hukum, terutama jika terjadi ancaman,
intimidasi, atau pemerasan.
Kasus-kasus hukum yang
berkaitan dengan pemaksaan pemberian atau peminjaman barang sering kali terjadi
dalam konteks keluarga, bisnis, atau lingkungan sosial. Misalnya, dalam kasus
perdata, seseorang yang merasa dirugikan karena ditekan untuk menyerahkan
hartanya tanpa persetujuan dapat mengajukan gugatan perdata berdasarkan asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa perjanjian hanya mengikat bagi pihak yang menyetujuinya.6
Dalam ranah pidana, pemaksaan
pemberian barang dapat dikategorikan sebagai tindak pemerasan atau penggelapan.
Salah satu contoh kasus hukum yang relevan adalah kasus pemaksaan pinjaman uang
atau barang dengan ancaman sosial, yang dalam beberapa kasus dapat digolongkan
sebagai kejahatan terhadap kebebasan individu.7 Oleh karena itu,
hukum berupaya melindungi hak individu dalam mengambil keputusan atas barang
yang dimilikinya, tanpa tekanan dari pihak lain.
Dalam sistem hukum
internasional, hak untuk memiliki dan mengendalikan harta benda juga diakui
dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia) Pasal 17, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memiliki
harta baik sendiri maupun bersama orang lain, dan tidak seorang pun boleh dirampas
hartanya secara sewenang-wenang.8 Prinsip ini menegaskan bahwa hak
untuk tidak memberi atau meminjamkan barang merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang harus dihormati.
Kesimpulan
Dari perspektif hukum, hak
memberi dan hak tidak memberi merupakan hak yang dijamin oleh berbagai
regulasi, baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Hukum positif
di Indonesia dengan jelas mengakui hak kepemilikan pribadi serta memberikan
perlindungan bagi individu yang menolak memberi atau meminjamkan barang
miliknya kepada orang lain. Meskipun ada beberapa batasan hukum yang mewajibkan
seseorang untuk memberi dalam keadaan tertentu, seperti kewajiban nafkah atau
keadaan darurat, secara umum tidak ada kewajiban hukum bagi seseorang untuk
selalu memenuhi permintaan orang lain. Oleh karena itu, menolak memberi
merupakan hak yang sah secara hukum, dan pemaksaan dalam bentuk apa pun dapat
berujung pada konsekuensi hukum.
Footnotes
[1]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 570.
[2]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H
ayat (4).
[3]
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
[4]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 321.
[5]
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 368.
[6]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1338.
[7]
Lihat misalnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/2017 tentang
kasus pemerasan dalam konteks pemberian barang secara paksa.
[8]
United Nations, Universal Declaration of Human Rights, Article
17 (1948).
4.
Kajian
Islam tentang Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi
4.1.
Prinsip Kepemilikan dalam
Islam
Dalam Islam, kepemilikan
harta diakui sebagai hak individu, namun tetap berada dalam batas-batas aturan
syariat. Islam mengajarkan bahwa semua harta pada hakikatnya adalah milik
Allah, sedangkan manusia hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya
dengan cara yang baik dan bertanggung jawab. Hal ini ditegaskan dalam
Al-Qur'an:
وَءَاتُوهُم
مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ ءَاتَىٰكُمْ
"Dan berikanlah kepada mereka sebagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu." (QS. An-Nur [24]
ayat 33)1
Ayat ini menegaskan bahwa
harta yang dimiliki seseorang sejatinya adalah titipan Allah, sehingga
penggunaannya harus mengikuti prinsip-prinsip syariat. Oleh karena itu, hak
memberi dan hak tidak memberi dalam Islam memiliki dasar yang kuat, di mana
seseorang berhak mengelola hartanya sesuai kebutuhannya, tetapi juga memiliki
tanggung jawab sosial.
Selain itu, Islam juga
menetapkan bahwa seseorang memiliki hak eksklusif atas kepemilikannya. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda:
لَا
يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
"Tidak halal harta seorang Muslim
kecuali dengan kerelaan dirinya."2
Hadis ini menjadi dasar bahwa
tidak ada pihak yang boleh memaksa seseorang untuk memberikan atau meminjamkan
hartanya jika ia tidak menghendakinya.
4.2.
Anjuran untuk Memberi dan
Batasannya
Islam sangat menekankan
pentingnya sikap dermawan dan memberi kepada orang lain, terutama dalam bentuk
sedekah dan zakat. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ
ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ
إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ
"Dan infakkanlah (hartamu) di
jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan..." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 195)3
Selain itu, sedekah juga
disebut sebagai pembersih harta dan jiwa, sebagaimana disebutkan dalam QS.
At-Taubah [09] ayat 103:
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
"Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka..."4
Namun, Islam juga mengatur
batasan dalam memberi. Seseorang tidak boleh memberi dengan cara yang
membahayakan dirinya sendiri atau mengorbankan kebutuhannya yang lebih penting.
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda:
ابْدَأْ
بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ
فَضَلَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذَٰلِكَ شَيْءٌ فَذَاٰكَ
حَيْثُ تَرَى
"Mulailah dari dirimu sendiri,
bersedekahlah untuk dirimu sendiri, jika masih ada kelebihan maka untuk
keluargamu, jika masih ada kelebihan maka untuk kerabatmu, dan jika masih ada
kelebihan maka untuk orang lain sesuai yang kamu kehendaki."5
Hadis ini menunjukkan bahwa
Islam tidak mewajibkan seseorang untuk memberi jika hal itu akan merugikan
dirinya sendiri. Seseorang memiliki hak untuk tidak memberi jika ia masih
membutuhkan hartanya untuk keperluan pribadi dan keluarganya.
4.3.
Hak untuk Tidak Memberi
dalam Islam
Meskipun memberi sangat
dianjurkan dalam Islam, seseorang juga memiliki hak untuk tidak memberi jika ia
merasa tidak mampu atau memiliki alasan yang sah. Islam tidak membenarkan pemaksaan
dalam memberi. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 286, Allah berfirman:
لَا
يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya."6
Ayat ini menjadi dasar bahwa
seseorang tidak boleh dipaksa untuk memberikan sesuatu di luar kemampuannya.
Selain itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah Saw
bersabda:
لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ
"Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh
membahayakan orang lain."7
Jika memberi sesuatu akan
menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri, seseorang diperbolehkan untuk
menolak memberi. Oleh karena itu, dalam Islam, hak untuk tidak memberi juga
dilindungi dengan prinsip bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk berbuat
sesuatu yang merugikan dirinya.
4.4.
Islam dan Konsep Pemaksaan
Sosial dalam Memberi
Dalam masyarakat yang
memiliki budaya kolektif, sering kali terdapat tekanan sosial yang membuat
seseorang merasa terpaksa untuk memberi. Islam menentang segala bentuk
pemaksaan dalam memberi. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 267, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ
مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ
مِنْهُ تُنفِقُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman!
Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik..."8
Ayat ini menunjukkan bahwa
pemberian harus dilakukan dengan ikhlas dan berasal dari harta yang baik. Jika
seseorang merasa terpaksa atau terintimidasi untuk memberi, maka pemberian
tersebut kehilangan nilai spiritualnya. Dalam Islam, amal yang dilakukan dengan
keterpaksaan tidak memiliki pahala di sisi Allah.
Sebagai contoh, dalam sejarah
Islam, Umar bin Khattab pernah menegur seseorang yang memaksa orang lain untuk
bersedekah. Ia menegaskan bahwa memberi adalah hak pribadi yang tidak boleh
dipaksakan, kecuali dalam kewajiban seperti zakat.9
Kesimpulan
Dalam Islam, hak memberi dan
hak tidak memberi diatur dengan keseimbangan antara kepemilikan pribadi dan
tanggung jawab sosial. Islam mengajarkan pentingnya memberi sebagai bentuk
ibadah dan kepedulian sosial, tetapi juga melindungi hak individu untuk tidak
memberi jika hal tersebut dapat membahayakan dirinya. Tidak ada kewajiban bagi
seseorang untuk selalu memberi, kecuali dalam kewajiban yang ditetapkan oleh
syariat seperti zakat dan nafkah. Oleh karena itu, Islam menolak segala bentuk
pemaksaan dalam memberi dan menekankan bahwa setiap individu memiliki hak penuh
atas hartanya sesuai dengan ketentuan syariat.
Footnotes
[1]
Al-Qur'an, Surah An-Nur, 24:33.
[2]
Muslim, Sahih Muslim, no. 1610.
[3]
Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah, 2:195.
[4]
Al-Qur'an, Surah At-Taubah, 9:103.
[5]
Bukhari dan Muslim, Sahih Al-Bukhari no. 5355, Sahih
Muslim no. 997.
[6]
Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah, 2:286.
[7]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 2340.
[8]
Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah, 2:267.
[9]
Ibnu Sa'ad, At-Tabaqat al-Kubra, jilid 3, hlm. 289.
5.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
Pembahasan mengenai hak
memberi dan hak tidak memberi dalam perspektif rasional, hukum, dan Islam
menunjukkan bahwa kepemilikan harta merupakan hak fundamental setiap individu.
Namun, hak ini tidak lepas dari tanggung jawab sosial, terutama dalam konteks
hubungan antarindividu dan kehidupan bermasyarakat.
Dari perspektif rasional,
hak memberi dan hak tidak memberi merupakan bagian dari kebebasan individu yang
seharusnya dihormati oleh masyarakat. Kebiasaan sosial yang menekan seseorang
untuk selalu memberi tanpa mempertimbangkan kondisi pribadinya dapat mengarah
pada pelanggaran hak-hak individu. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi
kebebasan pribadi, seseorang tidak berkewajiban untuk selalu memenuhi
permintaan orang lain, terutama jika itu berpotensi merugikan dirinya.1
Dari perspektif hukum,
hak atas kepemilikan harta telah diatur dalam berbagai sistem hukum, baik nasional
maupun internasional. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (4) menegaskan
bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan pribadi dan hak tersebut tidak boleh
diambil secara sewenang-wenang oleh pihak lain.2 Prinsip ini juga
ditegaskan dalam hukum perdata dan pidana yang melindungi hak individu dalam
mengelola asetnya sesuai dengan keinginannya, selama tidak melanggar hukum yang
berlaku.3
Dalam perspektif Islam,
hak memberi sangat dianjurkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan ibadah.
Namun, Islam juga menegaskan bahwa seseorang memiliki hak untuk tidak memberi
jika itu dapat menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Prinsip bahwa "tidak
boleh ada pemaksaan dalam bersedekah" sebagaimana disebutkan dalam
hadis Rasulullah Saw menggarisbawahi bahwa memberi harus dilakukan atas dasar
keikhlasan dan bukan karena tekanan sosial.4
Dari berbagai sudut pandang
ini, dapat disimpulkan bahwa hak untuk memberi dan tidak memberi adalah bagian
dari hak individu yang harus dihormati oleh semua pihak. Masyarakat perlu
memahami bahwa menolak memberi bukan selalu berarti pelit, tetapi bisa jadi
merupakan bentuk pengelolaan harta yang bijaksana sesuai dengan prioritas dan
kondisi masing-masing individu.
5.2.
Rekomendasi
1)
Masyarakat perlu memahami
konsep hak kepemilikan secara lebih mendalam.
Edukasi mengenai hak memberi dan hak tidak
memberi perlu ditanamkan sejak dini agar tidak terjadi tekanan sosial yang
berlebihan terhadap individu dalam kehidupan sehari-hari.
2)
Hukum dan regulasi yang
melindungi hak kepemilikan pribadi harus ditegakkan dengan baik.
Pemerintah dan lembaga hukum harus terus
memastikan bahwa hak setiap individu atas kepemilikan harta dihormati dan tidak
ada paksaan dalam penggunaannya.
3)
Pendekatan Islam dalam
memberi dan menolak memberi harus dipahami secara komprehensif.
Dalam konteks Islam, umat Muslim perlu memahami
bahwa memberi adalah anjuran kuat, tetapi tetap memiliki batasan yang harus
dihormati. Oleh karena itu, masyarakat harus mengedepankan sikap ikhlas dalam
memberi dan tidak memberikan tekanan berlebihan kepada individu yang memilih
untuk tidak memberi.
4)
Membangun budaya sosial
yang lebih menghargai kebebasan individu dalam memberi.
Kebiasaan meminta atau meminjam harus dibarengi
dengan kesadaran bahwa pemilik barang memiliki hak penuh atas kepemilikannya.
Dengan begitu, tidak ada pemaksaan yang melanggar hak pribadi seseorang.
5)
Dakwah dan edukasi
keagamaan harus memberikan pemahaman seimbang antara anjuran memberi dan hak
untuk tidak memberi.
Para ulama dan pendakwah memiliki peran penting
dalam menjelaskan bahwa memberi adalah perbuatan mulia, tetapi Islam juga tidak
membenarkan paksaan dalam bersedekah atau berinfak.
Dengan menerapkan
rekomendasi-rekomendasi ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami bahwa
hak memberi dan hak tidak memberi adalah dua aspek yang harus berjalan
beriringan dalam kehidupan sosial. Hal ini akan menciptakan keseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan sosial tanpa mengorbankan hak-hak dasar
seseorang.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University
Press, 1971), 54.
[2]
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (4).
[3]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Perdata Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2010), 102.
[4]
Muslim, Sahih Muslim, no. 1610.
Daftar Pustaka
Buku:
·
Mertokusumo, S. (2010). Hukum perdata Indonesia. Jakarta: Kencana.
·
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge: Harvard
University Press.
Kitab Hadis:
·
Muslim. (n.d.). Sahih Muslim (No. 1610).
Konstitusi dan
Peraturan Perundang-Undangan:
·
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (4).
Al-Qur’an:
·
The Holy Quran. (n.d.). Surah Al-Baqarah 2:195, 2:267, 2:286; Surah
At-Taubah 9:103; Surah An-Nur 24:33.
Kitab Tarikh:
·
Ibnu Sa'ad. (n.d.). At-Tabaqat al-Kubra (Vol. 3, p. 289).
Hadis lainnya:
·
Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abu Dawud (No. 2340).
·
Al-Bukhari. (n.d.). Sahih al-Bukhari (No. 5355).
Lampiran: Kikir atau Pelit dalam Perspektif Fiqih dan Tasawuf
Bab mengenai kikir atau pelit
umumnya dibahas dalam ilmu fiqih sebagai bagian dari etika sosial dan
perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebaikan dalam Islam. Dalam
fiqih, kikir atau pelit diartikan sebagai sikap tidak mau memberi atau berbagi
harta meskipun mampu, dan ini dianggap sebagai perilaku tercela yang harus
dijauhi. Kikir atau pelit dianggap sebagai salah satu bentuk sifat tercela yang
menutup pintu keberkahan bagi pemiliknya dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kitab-kitab fiqih, terdapat banyak penjelasan mengenai keutamaan
memberi dan bahayanya sifat kikir, seperti dalam hadis-hadis yang menyarankan
untuk menghindari sifat tersebut dan lebih banyak memberi kepada yang
membutuhkan. Hal ini juga terkait dengan kewajiban zakat dan sedekah dalam
kehidupan seorang Muslim yang bertujuan untuk menyucikan harta dan mendekatkan
diri kepada Allah.
Namun, dalam ilmu tasawuf,
yang lebih menekankan pada pembinaan jiwa dan hubungan pribadi dengan Tuhan,
masalah kikir atau pelit tidak dibahas secara langsung. Sebaliknya, dalam
tasawuf, pembahasan lebih sering berfokus pada konsep thama’, yaitu
keinginan kuat untuk memiliki sesuatu yang belum ada dalam tangan. Thama’
diartikan sebagai dorongan nafsu yang menginginkan kepemilikan dan kekayaan
yang lebih banyak, yang dalam banyak kasus dapat mendorong seseorang menjadi
kikir. Menurut para ahli tasawuf, sifat thama’ ini lebih mendalam, sebab ia
mencerminkan kekosongan batin dan ketidakpuasan dengan apa yang sudah dimiliki,
yang pada gilirannya mendorong seseorang untuk terus menginginkan dan
mengumpulkan lebih banyak tanpa pernah merasa cukup. Dalam tasawuf, keinginan
untuk memiliki sesuatu ini dianggap sebagai ujian terhadap kemurnian niat
seseorang dan pengendalian diri atas duniawi.
Dari perspektif rasional,
vonis terhadap seseorang yang dianggap kikir atau pelit seringkali dipengaruhi
oleh keinginan orang yang memberikan vonis tersebut untuk diberi oleh
orang yang dianggap kikir. Ini mencerminkan keinginan egois dari pihak
yang memberi penilaian. Dengan kata lain, seseorang yang menilai orang lain
sebagai kikir sering kali memiliki keinginan atau harapan agar orang
yang divonis tersebut memberikan sebagian dari harta yang dimilikinya. Hal ini
menunjukkan bahwa perasaan kikir yang dirasakan seseorang mungkin lebih
bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh keinginan pribadi pihak yang
memberi penilaian, bukan semata-mata karena sikap objektif terhadap kebijakan
pemilik harta.
Catatan Kaki
[1]
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), 50-55.
[2]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003), 11:45-46.
[3]
Al-Qushayri, Al-Risalah al-Qushayriyah
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), 168-170.