Jumat, 31 Januari 2025

Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi dalam Perspektif Rasional, Hukum, dan Islam

Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi dalam Perspektif Rasional, Hukum, dan Islam


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep hak memberi dan hak tidak memberi dalam perspektif rasional, hukum, dan Islam. Dalam perspektif rasional, hak untuk memberi dan tidak memberi adalah bagian dari kebebasan individu yang harus dihormati, dengan menekankan pentingnya pemahaman sosial yang tidak menekan seseorang untuk selalu memenuhi permintaan orang lain. Dalam kajian hukum, hak atas kepemilikan harta dilindungi oleh undang-undang yang mengatur kebebasan individu dalam mengelola asetnya tanpa pemaksaan. Perspektif Islam mengajarkan bahwa memberi adalah amal yang sangat dianjurkan, namun tetap mempertimbangkan kondisi pribadi seseorang yang berhak untuk tidak memberi jika itu dapat membahayakan dirinya. Artikel ini juga menyoroti pentingnya menghormati hak individu untuk tidak memberi dan menghindari tekanan sosial yang berlebihan. Diharapkan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang hak memberi dan hak tidak memberi dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kebutuhan sosial dalam masyarakat.

Kata kunci: Hak memberi, hak tidak memberi, kebebasan individu, hukum kepemilikan, Islam, pemaksaan sosial, sedekah.


1.           Pendahuluan

Dalam kehidupan sosial, interaksi antarindividu sering kali melibatkan permintaan untuk memberi atau meminjamkan barang. Budaya di berbagai negara menunjukkan perbedaan dalam cara individu menanggapi permintaan tersebut. Di beberapa budaya Barat, seperti di Amerika Serikat, seseorang yang tidak ingin memberikan atau meminjamkan barang dapat dengan tegas mengatakan "tidak" tanpa perlu memberikan alasan lebih lanjut. Pernyataan ini diterima sebagai hak pribadi atas kepemilikan, dan pihak yang meminta umumnya tidak akan merasa tersinggung atau menganggap penolakan tersebut sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini sejalan dengan konsep hak individu dalam filsafat liberalisme yang menekankan otonomi dan kebebasan pribadi dalam menentukan penggunaan aset yang dimiliki.1

Sebaliknya, di banyak masyarakat Asia, termasuk Indonesia, penolakan terhadap permintaan sering kali diharapkan disertai alasan yang dapat diterima secara sosial. Orang yang menolak tanpa memberikan alasan dianggap kurang empati, pelit, atau bahkan tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain. Konsep ini berkaitan erat dengan nilai-nilai komunal dan budaya gotong royong yang telah lama mengakar dalam masyarakat Indonesia.2 Norma sosial ini mendorong individu untuk selalu mempertimbangkan reaksi sosial sebelum mengambil keputusan pribadi terkait kepemilikan barang.

Namun, fenomena ini juga menimbulkan berbagai dilema sosial dan psikologis. Individu sering merasa terpaksa memberikan atau meminjamkan barang karena takut dicap negatif oleh lingkungan sekitarnya. Dalam beberapa kasus, tekanan sosial ini dapat mengarah pada eksploitasi emosional, di mana seseorang merasa harus mengorbankan kepentingan pribadinya demi menjaga hubungan sosial.3 Padahal, dari perspektif hak asasi manusia dan hukum, setiap individu memiliki hak penuh atas kepemilikan barang mereka dan berhak menentukan apakah ingin memberi atau tidak tanpa harus menjelaskan alasannya kepada orang lain.4

Dari perspektif hukum, hak kepemilikan diatur secara tegas dalam berbagai regulasi, termasuk dalam hukum positif Indonesia. Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan pribadi, dan kepemilikan tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun.5 Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 570, kepemilikan diartikan sebagai hak untuk menikmati dan menguasai suatu benda secara penuh, termasuk hak untuk menolak memberikan atau meminjamkan barang tersebut.6 Oleh karena itu, dari perspektif hukum, seseorang tidak memiliki kewajiban untuk selalu memberikan barangnya kepada orang lain kecuali dalam situasi tertentu yang diatur oleh undang-undang.

Dari perspektif Islam, kepemilikan harta diakui sebagai hak individu yang harus dihormati. Islam mengajarkan keseimbangan antara kewajiban memberi dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah, serta hak individu untuk tidak memberi dalam kondisi tertentu. Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 267 mengajarkan bahwa pemberian hendaknya dilakukan dengan penuh keikhlasan dan bukan karena paksaan sosial.7 Rasulullah Saw. juga menekankan pentingnya menjaga hak kepemilikan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.”8 Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa memberi merupakan amal yang dianjurkan, tetapi hak untuk tidak memberi juga harus dihormati selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepentingan umum.

Dengan mempertimbangkan perspektif rasional, hukum, dan Islam, maka penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa memberi adalah tindakan terpuji, tetapi menolak memberi juga merupakan hak yang harus dihormati. Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang hak memberi dan hak tidak memberi berdasarkan kajian rasional, hukum, dan Islam, dengan merujuk pada sumber-sumber yang kredibel untuk memastikan pembahasan yang objektif dan komprehensif.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 220.

[2]                Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89.

[3]                Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York: Doubleday, 1959), 125.

[4]                Universal Declaration of Human Rights, Article 17 (1948).

[5]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (4).

[6]                Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 570.

[7]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2): 267.

[8]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 3527.


2.           Kajian Rasional tentang Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi

2.1.       Hak Individu atas Kepemilikan

Kepemilikan merupakan hak fundamental yang melekat pada individu dan diakui dalam berbagai teori filsafat sosial. Dalam pandangan filsafat liberalisme, hak atas kepemilikan bersifat mutlak dan tidak boleh diganggu gugat oleh pihak lain tanpa persetujuan pemiliknya. John Locke, dalam teori hak alami, menyatakan bahwa seseorang memiliki hak penuh atas properti yang ia peroleh melalui kerja dan usaha sendiri.1 Locke menegaskan bahwa hak kepemilikan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati oleh individu lain maupun oleh negara.2

Pandangan ini kemudian diperkuat oleh filsuf kontemporer seperti Robert Nozick dalam bukunya Anarchy, State, and Utopia, yang berargumen bahwa pemilik barang memiliki kebebasan penuh dalam menggunakan atau tidak menggunakan barangnya, termasuk kebebasan untuk memberi atau menolak memberi kepada orang lain.3 Oleh karena itu, menolak permintaan pemberian atau peminjaman tidak dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak etis, melainkan merupakan hak alami yang dimiliki setiap individu.

Dari perspektif ekonomi, kepemilikan juga berkaitan erat dengan prinsip scarcity (kelangkaan) dan opportunity cost (biaya peluang). Ketika seseorang memberikan barang atau sumber daya miliknya kepada orang lain, ia mengorbankan kemungkinan lain yang dapat ia lakukan dengan barang tersebut.4 Oleh sebab itu, keputusan untuk memberi atau tidak memberi harus mempertimbangkan manfaat dan biaya yang dihadapi oleh pemilik barang, bukan hanya tekanan sosial semata.

2.2.       Konsep Kebebasan dan Otonomi Pribadi

Kebebasan individu merupakan pilar utama dalam teori sosial modern. Dalam perspektif filsafat eksistensialisme, Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab penuh atas keputusan-keputusan pribadinya, termasuk dalam menentukan apakah ia ingin memberi atau tidak memberi sesuatu kepada orang lain.5 Seseorang tidak boleh dipaksa untuk memberi jika keputusan tersebut bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

Dalam konteks interaksi sosial, konsep ini berhubungan dengan gagasan negative liberty yang dikemukakan oleh Isaiah Berlin. Negative liberty merujuk pada kebebasan dari paksaan eksternal, di mana seseorang berhak mengambil keputusan tanpa tekanan dari pihak luar.6 Oleh karena itu, individu yang memilih untuk tidak memberi atau tidak meminjamkan barangnya kepada orang lain seharusnya tidak perlu memberikan alasan yang dapat diterima secara sosial, karena hal itu merupakan bagian dari kebebasan pribadinya.

Namun, dalam masyarakat yang menganut budaya kolektivisme seperti Indonesia, tekanan sosial sering kali menghambat kebebasan individu dalam menolak permintaan orang lain. Hal ini berakar dari konsep harmony ideology, yaitu gagasan bahwa keharmonisan sosial lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan individu.7 Akibatnya, seseorang cenderung merasa terpaksa untuk memberi atau meminjamkan barang miliknya demi menjaga hubungan sosial, meskipun hal tersebut mungkin merugikan dirinya sendiri.

2.3.       Dampak Psikologis dan Sosial

Dari perspektif psikologi sosial, tekanan untuk selalu memberi atau memenuhi permintaan orang lain dapat menyebabkan fenomena people-pleasing behavior, yaitu kecenderungan seseorang untuk selalu menyenangkan orang lain meskipun bertentangan dengan keinginannya sendiri.8 Individu dengan kecenderungan ini sering kali mengalami stres, kelelahan emosional, dan kehilangan rasa kontrol atas hidupnya karena terlalu sering mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingannya sendiri.9

Studi psikologi juga menunjukkan bahwa individu yang tidak mampu mengatakan "tidak" dengan tegas lebih rentan terhadap eksploitasi sosial. Robert Cialdini dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion menjelaskan bahwa individu sering kali terpengaruh oleh tekanan sosial untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bahkan ketika keputusan tersebut merugikan dirinya sendiri.10 Oleh karena itu, membangun keterampilan asertif dalam menolak permintaan merupakan langkah penting untuk menjaga kesejahteraan psikologis dan menghindari manipulasi sosial.

Dari perspektif sosiologi, budaya yang menuntut individu untuk selalu memberi tanpa mempertimbangkan hak pribadinya dapat menciptakan dinamika sosial yang tidak sehat. Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang modal sosial menjelaskan bahwa tekanan sosial yang terlalu besar dapat menciptakan hubungan yang bersifat eksploitatif, di mana pihak yang lebih lemah merasa harus selalu memenuhi permintaan pihak yang lebih kuat demi mempertahankan status sosialnya.11 Akibatnya, norma sosial yang seharusnya berfungsi untuk memperkuat hubungan antarindividu justru menjadi alat yang digunakan untuk menekan kebebasan pribadi seseorang.


Kesimpulan

Berdasarkan kajian rasional, hak memberi dan hak tidak memberi merupakan bagian dari hak kepemilikan yang harus dihormati. Perspektif filsafat, ekonomi, psikologi, dan sosiologi menunjukkan bahwa keputusan untuk memberi atau tidak memberi merupakan hak fundamental individu yang tidak boleh diganggu oleh tekanan sosial. Budaya yang terlalu menuntut individu untuk selalu memberi dapat menimbulkan dampak negatif, baik dari segi psikologis maupun sosial. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa menolak memberi bukanlah tindakan yang salah, melainkan merupakan hak yang sah dalam konteks kebebasan pribadi.


Footnotes

[1]                John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287.

[2]                Ibid., 290.

[3]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150.

[4]                Gregory Mankiw, Principles of Economics (Boston: Cengage Learning, 2018), 22.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism (New Haven: Yale University Press, 2007), 45.

[6]                Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 125.

[7]                Benedict Anderson, Imagined Communities (London: Verso Books, 2006), 37.

[8]                Harriet B. Braiker, The Disease to Please: Curing the People-Pleasing Syndrome (New York: McGraw-Hill, 2001), 78.

[9]                Ibid., 82.

[10]             Robert Cialdini, Influence: The Psychology of Persuasion (New York: Harper Business, 2006), 120.

[11]             Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), 198.


3.           Kajian Hukum tentang Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi

3.1.       Hak Kepemilikan dalam Perspektif Hukum Positif

Hak kepemilikan merupakan salah satu hak fundamental yang dijamin oleh berbagai sistem hukum di dunia, termasuk hukum positif di Indonesia. Hak ini mencakup wewenang penuh bagi pemilik untuk menggunakan, menikmati, atau menolak penggunaan barang miliknya oleh pihak lain. Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa kepemilikan adalah "hak untuk menikmati suatu benda secara penuh dan untuk berbuat bebas terhadap benda itu, dengan tidak mengganggu hak-hak orang lain dan dengan tetap dalam batas-batas yang ditetapkan oleh undang-undang."1

Hak kepemilikan ini diperkuat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam Pasal 28H ayat (4) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun."2 Dalam konteks ini, pemilik barang memiliki kebebasan untuk menentukan apakah ia ingin memberi atau tidak memberi barang miliknya kepada orang lain tanpa harus memberikan alasan yang dapat diterima secara sosial.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga menegaskan bahwa kepemilikan pribadi merupakan hak yang diakui secara hukum, dengan ketentuan bahwa penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.3 Artinya, selama seseorang tidak melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik, ia berhak menolak memberikan atau meminjamkan barang miliknya kepada siapa pun.

3.2.       Batasan Hukum dalam Memberi dan Tidak Memberi

Meskipun hukum menjamin hak individu atas kepemilikannya, ada beberapa batasan hukum yang mengatur dalam kondisi tertentu seseorang diwajibkan untuk memberi atau berbagi sumber daya yang dimilikinya. Salah satu contohnya adalah kewajiban dalam hukum perdata yang mengatur nafkah bagi anggota keluarga. Pasal 321 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya yang masih dalam tanggungan.4 Demikian pula, dalam hukum pidana terdapat aturan tentang keadaan darurat di mana seseorang dapat diwajibkan memberikan bantuan atau barangnya kepada pihak lain untuk menyelamatkan nyawa manusia.

Dalam keadaan tertentu, hukum juga melarang pemaksaan untuk memberi atau meminjamkan barang. Pemaksaan terhadap seseorang untuk memberikan atau menyerahkan barang miliknya tanpa persetujuan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan atau perampasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyebutkan bahwa "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."5

Aturan ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban hukum bagi seseorang untuk selalu memberi atau meminjamkan barang miliknya, kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu, hukum memberikan perlindungan penuh bagi individu yang memilih untuk tidak memberi atau meminjamkan barangnya kepada orang lain.

3.3.       Implikasi Hukum terhadap Pemaksaan Pemberian atau Peminjaman

Dalam praktik sosial, sering kali terjadi tekanan atau paksaan agar seseorang memberikan atau meminjamkan barangnya, meskipun ia sebenarnya enggan. Dalam beberapa kasus, pemaksaan ini dapat berujung pada tindakan melawan hukum, terutama jika terjadi ancaman, intimidasi, atau pemerasan.

Kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan pemaksaan pemberian atau peminjaman barang sering kali terjadi dalam konteks keluarga, bisnis, atau lingkungan sosial. Misalnya, dalam kasus perdata, seseorang yang merasa dirugikan karena ditekan untuk menyerahkan hartanya tanpa persetujuan dapat mengajukan gugatan perdata berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi pihak yang menyetujuinya.6

Dalam ranah pidana, pemaksaan pemberian barang dapat dikategorikan sebagai tindak pemerasan atau penggelapan. Salah satu contoh kasus hukum yang relevan adalah kasus pemaksaan pinjaman uang atau barang dengan ancaman sosial, yang dalam beberapa kasus dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kebebasan individu.7 Oleh karena itu, hukum berupaya melindungi hak individu dalam mengambil keputusan atas barang yang dimilikinya, tanpa tekanan dari pihak lain.

Dalam sistem hukum internasional, hak untuk memiliki dan mengendalikan harta benda juga diakui dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) Pasal 17, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memiliki harta baik sendiri maupun bersama orang lain, dan tidak seorang pun boleh dirampas hartanya secara sewenang-wenang.8 Prinsip ini menegaskan bahwa hak untuk tidak memberi atau meminjamkan barang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati.


Kesimpulan

Dari perspektif hukum, hak memberi dan hak tidak memberi merupakan hak yang dijamin oleh berbagai regulasi, baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Hukum positif di Indonesia dengan jelas mengakui hak kepemilikan pribadi serta memberikan perlindungan bagi individu yang menolak memberi atau meminjamkan barang miliknya kepada orang lain. Meskipun ada beberapa batasan hukum yang mewajibkan seseorang untuk memberi dalam keadaan tertentu, seperti kewajiban nafkah atau keadaan darurat, secara umum tidak ada kewajiban hukum bagi seseorang untuk selalu memenuhi permintaan orang lain. Oleh karena itu, menolak memberi merupakan hak yang sah secara hukum, dan pemaksaan dalam bentuk apa pun dapat berujung pada konsekuensi hukum.


Footnotes

[1]                Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 570.

[2]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (4).

[3]                Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

[4]                Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 321.

[5]                Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 368.

[6]                Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1338.

[7]                Lihat misalnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/2017 tentang kasus pemerasan dalam konteks pemberian barang secara paksa.

[8]                United Nations, Universal Declaration of Human Rights, Article 17 (1948).


4.           Kajian Islam tentang Hak Memberi dan Hak Tidak Memberi

4.1.       Prinsip Kepemilikan dalam Islam

Dalam Islam, kepemilikan harta diakui sebagai hak individu, namun tetap berada dalam batas-batas aturan syariat. Islam mengajarkan bahwa semua harta pada hakikatnya adalah milik Allah, sedangkan manusia hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya dengan cara yang baik dan bertanggung jawab. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an:

وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ ءَاتَىٰكُمْ

"Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu." (QS. An-Nur [24] ayat 33)1

Ayat ini menegaskan bahwa harta yang dimiliki seseorang sejatinya adalah titipan Allah, sehingga penggunaannya harus mengikuti prinsip-prinsip syariat. Oleh karena itu, hak memberi dan hak tidak memberi dalam Islam memiliki dasar yang kuat, di mana seseorang berhak mengelola hartanya sesuai kebutuhannya, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial.

Selain itu, Islam juga menetapkan bahwa seseorang memiliki hak eksklusif atas kepemilikannya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda:

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

"Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya."2

Hadis ini menjadi dasar bahwa tidak ada pihak yang boleh memaksa seseorang untuk memberikan atau meminjamkan hartanya jika ia tidak menghendakinya.

4.2.       Anjuran untuk Memberi dan Batasannya

Islam sangat menekankan pentingnya sikap dermawan dan memberi kepada orang lain, terutama dalam bentuk sedekah dan zakat. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ

"Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan..." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 195)3

Selain itu, sedekah juga disebut sebagai pembersih harta dan jiwa, sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah [09] ayat 103:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka..."4

Namun, Islam juga mengatur batasan dalam memberi. Seseorang tidak boleh memberi dengan cara yang membahayakan dirinya sendiri atau mengorbankan kebutuhannya yang lebih penting. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذَٰلِكَ شَيْءٌ فَذَاٰكَ حَيْثُ تَرَى

"Mulailah dari dirimu sendiri, bersedekahlah untuk dirimu sendiri, jika masih ada kelebihan maka untuk keluargamu, jika masih ada kelebihan maka untuk kerabatmu, dan jika masih ada kelebihan maka untuk orang lain sesuai yang kamu kehendaki."5

Hadis ini menunjukkan bahwa Islam tidak mewajibkan seseorang untuk memberi jika hal itu akan merugikan dirinya sendiri. Seseorang memiliki hak untuk tidak memberi jika ia masih membutuhkan hartanya untuk keperluan pribadi dan keluarganya.

4.3.       Hak untuk Tidak Memberi dalam Islam

Meskipun memberi sangat dianjurkan dalam Islam, seseorang juga memiliki hak untuk tidak memberi jika ia merasa tidak mampu atau memiliki alasan yang sah. Islam tidak membenarkan pemaksaan dalam memberi. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 286, Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."6

Ayat ini menjadi dasar bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk memberikan sesuatu di luar kemampuannya. Selain itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah Saw bersabda:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

"Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain."7

Jika memberi sesuatu akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri, seseorang diperbolehkan untuk menolak memberi. Oleh karena itu, dalam Islam, hak untuk tidak memberi juga dilindungi dengan prinsip bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk berbuat sesuatu yang merugikan dirinya.

4.4.       Islam dan Konsep Pemaksaan Sosial dalam Memberi

Dalam masyarakat yang memiliki budaya kolektif, sering kali terdapat tekanan sosial yang membuat seseorang merasa terpaksa untuk memberi. Islam menentang segala bentuk pemaksaan dalam memberi. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 267, Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik..."8

Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian harus dilakukan dengan ikhlas dan berasal dari harta yang baik. Jika seseorang merasa terpaksa atau terintimidasi untuk memberi, maka pemberian tersebut kehilangan nilai spiritualnya. Dalam Islam, amal yang dilakukan dengan keterpaksaan tidak memiliki pahala di sisi Allah.

Sebagai contoh, dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab pernah menegur seseorang yang memaksa orang lain untuk bersedekah. Ia menegaskan bahwa memberi adalah hak pribadi yang tidak boleh dipaksakan, kecuali dalam kewajiban seperti zakat.9


Kesimpulan

Dalam Islam, hak memberi dan hak tidak memberi diatur dengan keseimbangan antara kepemilikan pribadi dan tanggung jawab sosial. Islam mengajarkan pentingnya memberi sebagai bentuk ibadah dan kepedulian sosial, tetapi juga melindungi hak individu untuk tidak memberi jika hal tersebut dapat membahayakan dirinya. Tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk selalu memberi, kecuali dalam kewajiban yang ditetapkan oleh syariat seperti zakat dan nafkah. Oleh karena itu, Islam menolak segala bentuk pemaksaan dalam memberi dan menekankan bahwa setiap individu memiliki hak penuh atas hartanya sesuai dengan ketentuan syariat.


Footnotes

[1]                Al-Qur'an, Surah An-Nur, 24:33.

[2]                Muslim, Sahih Muslim, no. 1610.

[3]                Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah, 2:195.

[4]                Al-Qur'an, Surah At-Taubah, 9:103.

[5]                Bukhari dan Muslim, Sahih Al-Bukhari no. 5355, Sahih Muslim no. 997.

[6]                Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah, 2:286.

[7]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 2340.

[8]                Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah, 2:267.

[9]                Ibnu Sa'ad, At-Tabaqat al-Kubra, jilid 3, hlm. 289.


5.           Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1.       Kesimpulan

Pembahasan mengenai hak memberi dan hak tidak memberi dalam perspektif rasional, hukum, dan Islam menunjukkan bahwa kepemilikan harta merupakan hak fundamental setiap individu. Namun, hak ini tidak lepas dari tanggung jawab sosial, terutama dalam konteks hubungan antarindividu dan kehidupan bermasyarakat.

Dari perspektif rasional, hak memberi dan hak tidak memberi merupakan bagian dari kebebasan individu yang seharusnya dihormati oleh masyarakat. Kebiasaan sosial yang menekan seseorang untuk selalu memberi tanpa mempertimbangkan kondisi pribadinya dapat mengarah pada pelanggaran hak-hak individu. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan pribadi, seseorang tidak berkewajiban untuk selalu memenuhi permintaan orang lain, terutama jika itu berpotensi merugikan dirinya.1

Dari perspektif hukum, hak atas kepemilikan harta telah diatur dalam berbagai sistem hukum, baik nasional maupun internasional. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (4) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan pribadi dan hak tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh pihak lain.2 Prinsip ini juga ditegaskan dalam hukum perdata dan pidana yang melindungi hak individu dalam mengelola asetnya sesuai dengan keinginannya, selama tidak melanggar hukum yang berlaku.3

Dalam perspektif Islam, hak memberi sangat dianjurkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan ibadah. Namun, Islam juga menegaskan bahwa seseorang memiliki hak untuk tidak memberi jika itu dapat menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Prinsip bahwa "tidak boleh ada pemaksaan dalam bersedekah" sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah Saw menggarisbawahi bahwa memberi harus dilakukan atas dasar keikhlasan dan bukan karena tekanan sosial.4

Dari berbagai sudut pandang ini, dapat disimpulkan bahwa hak untuk memberi dan tidak memberi adalah bagian dari hak individu yang harus dihormati oleh semua pihak. Masyarakat perlu memahami bahwa menolak memberi bukan selalu berarti pelit, tetapi bisa jadi merupakan bentuk pengelolaan harta yang bijaksana sesuai dengan prioritas dan kondisi masing-masing individu.


5.2.       Rekomendasi

1)                  Masyarakat perlu memahami konsep hak kepemilikan secara lebih mendalam.

Edukasi mengenai hak memberi dan hak tidak memberi perlu ditanamkan sejak dini agar tidak terjadi tekanan sosial yang berlebihan terhadap individu dalam kehidupan sehari-hari.

2)                  Hukum dan regulasi yang melindungi hak kepemilikan pribadi harus ditegakkan dengan baik.

Pemerintah dan lembaga hukum harus terus memastikan bahwa hak setiap individu atas kepemilikan harta dihormati dan tidak ada paksaan dalam penggunaannya.

3)                  Pendekatan Islam dalam memberi dan menolak memberi harus dipahami secara komprehensif.

Dalam konteks Islam, umat Muslim perlu memahami bahwa memberi adalah anjuran kuat, tetapi tetap memiliki batasan yang harus dihormati. Oleh karena itu, masyarakat harus mengedepankan sikap ikhlas dalam memberi dan tidak memberikan tekanan berlebihan kepada individu yang memilih untuk tidak memberi.

4)                  Membangun budaya sosial yang lebih menghargai kebebasan individu dalam memberi.

Kebiasaan meminta atau meminjam harus dibarengi dengan kesadaran bahwa pemilik barang memiliki hak penuh atas kepemilikannya. Dengan begitu, tidak ada pemaksaan yang melanggar hak pribadi seseorang.

5)                  Dakwah dan edukasi keagamaan harus memberikan pemahaman seimbang antara anjuran memberi dan hak untuk tidak memberi.

Para ulama dan pendakwah memiliki peran penting dalam menjelaskan bahwa memberi adalah perbuatan mulia, tetapi Islam juga tidak membenarkan paksaan dalam bersedekah atau berinfak.

Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami bahwa hak memberi dan hak tidak memberi adalah dua aspek yang harus berjalan beriringan dalam kehidupan sosial. Hal ini akan menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial tanpa mengorbankan hak-hak dasar seseorang.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 54.

[2]                Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (4).

[3]                Sudikno Mertokusumo, Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010), 102.

[4]                Muslim, Sahih Muslim, no. 1610.


Daftar Pustaka

Buku:

·                     Mertokusumo, S. (2010). Hukum perdata Indonesia. Jakarta: Kencana.

·                     Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge: Harvard University Press.

Kitab Hadis:

·                     Muslim. (n.d.). Sahih Muslim (No. 1610).

Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan:

·                     Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (4).

Al-Qur’an:

·                     The Holy Quran. (n.d.). Surah Al-Baqarah 2:195, 2:267, 2:286; Surah At-Taubah 9:103; Surah An-Nur 24:33.

Kitab Tarikh:

·                     Ibnu Sa'ad. (n.d.). At-Tabaqat al-Kubra (Vol. 3, p. 289).

Hadis lainnya:

·                     Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abu Dawud (No. 2340).

·                     Al-Bukhari. (n.d.). Sahih al-Bukhari (No. 5355).


Lampiran: Kikir atau Pelit dalam Perspektif Fiqih dan Tasawuf

Bab mengenai kikir atau pelit umumnya dibahas dalam ilmu fiqih sebagai bagian dari etika sosial dan perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebaikan dalam Islam. Dalam fiqih, kikir atau pelit diartikan sebagai sikap tidak mau memberi atau berbagi harta meskipun mampu, dan ini dianggap sebagai perilaku tercela yang harus dijauhi. Kikir atau pelit dianggap sebagai salah satu bentuk sifat tercela yang menutup pintu keberkahan bagi pemiliknya dan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Dalam kitab-kitab fiqih, terdapat banyak penjelasan mengenai keutamaan memberi dan bahayanya sifat kikir, seperti dalam hadis-hadis yang menyarankan untuk menghindari sifat tersebut dan lebih banyak memberi kepada yang membutuhkan. Hal ini juga terkait dengan kewajiban zakat dan sedekah dalam kehidupan seorang Muslim yang bertujuan untuk menyucikan harta dan mendekatkan diri kepada Allah.

Namun, dalam ilmu tasawuf, yang lebih menekankan pada pembinaan jiwa dan hubungan pribadi dengan Tuhan, masalah kikir atau pelit tidak dibahas secara langsung. Sebaliknya, dalam tasawuf, pembahasan lebih sering berfokus pada konsep thama’, yaitu keinginan kuat untuk memiliki sesuatu yang belum ada dalam tangan. Thama’ diartikan sebagai dorongan nafsu yang menginginkan kepemilikan dan kekayaan yang lebih banyak, yang dalam banyak kasus dapat mendorong seseorang menjadi kikir. Menurut para ahli tasawuf, sifat thama’ ini lebih mendalam, sebab ia mencerminkan kekosongan batin dan ketidakpuasan dengan apa yang sudah dimiliki, yang pada gilirannya mendorong seseorang untuk terus menginginkan dan mengumpulkan lebih banyak tanpa pernah merasa cukup. Dalam tasawuf, keinginan untuk memiliki sesuatu ini dianggap sebagai ujian terhadap kemurnian niat seseorang dan pengendalian diri atas duniawi.

Dari perspektif rasional, vonis terhadap seseorang yang dianggap kikir atau pelit seringkali dipengaruhi oleh keinginan orang yang memberikan vonis tersebut untuk diberi oleh orang yang dianggap kikir. Ini mencerminkan keinginan egois dari pihak yang memberi penilaian. Dengan kata lain, seseorang yang menilai orang lain sebagai kikir sering kali memiliki keinginan atau harapan agar orang yang divonis tersebut memberikan sebagian dari harta yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa perasaan kikir yang dirasakan seseorang mungkin lebih bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh keinginan pribadi pihak yang memberi penilaian, bukan semata-mata karena sikap objektif terhadap kebijakan pemilik harta.


Catatan Kaki

[1]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 50-55.

[2]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003), 11:45-46.

[3]                Al-Qushayri, Al-Risalah al-Qushayriyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), 168-170.