Sabtu, 30 November 2024

Filsafat Hukum: Fondasi Filosofis, Aliran Pemikiran, dan Relevansi dalam Tatanan Hukum Kontemporer

Filsafat Hukum

Fondasi Filosofis, Aliran Pemikiran, dan Relevansi dalam Tatanan Hukum Kontemporer


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif hakikat, sejarah, aliran pemikiran, dan relevansi filsafat hukum dalam konteks praktik hukum kontemporer. Filsafat hukum diposisikan sebagai fondasi konseptual dan normatif yang tidak hanya membentuk kerangka pemahaman terhadap hukum, tetapi juga sebagai instrumen kritis dalam menilai keabsahan dan keadilan sistem hukum yang berlaku. Dengan pendekatan historis dan analitis, artikel ini menelusuri perkembangan filsafat hukum dari masa klasik hingga pemikiran mutakhir, meliputi hukum alam, positivisme hukum, realisme hukum, critical legal studies, hingga pendekatan feminis. Artikel ini juga membahas konsep-konsep kunci seperti keadilan, legalitas, hak asasi manusia, dan hubungan hukum dengan moralitas. Di tengah tantangan globalisasi, teknologi, dan pluralisme hukum, filsafat hukum membuktikan peran strategisnya dalam penafsiran hukum, pembentukan undang-undang, reformasi hukum, serta pendidikan hukum. Dengan demikian, filsafat hukum tidak hanya relevan sebagai teori, tetapi juga sebagai praktik etis dan intelektual dalam membangun sistem hukum yang adil dan manusiawi.

Kata Kunci: Filsafat hukum, keadilan, hukum alam, positivisme, penafsiran hukum, hak asasi manusia, globalisasi hukum, teori keadilan, legalitas, etika hukum.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Hukum Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat hukum merupakan cabang filsafat yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai hakikat hukum, keadilan, legalitas, dan relasi antara hukum dan moralitas. Di tengah kompleksitas sistem hukum yang terus berkembang, filsafat hukum hadir untuk memberikan landasan teoritis dan normatif bagi pemahaman serta praktik hukum, baik di tingkat nasional maupun global. Tanpa fondasi filsafati yang kuat, hukum berisiko menjadi instrumen kekuasaan yang terlepas dari nilai-nilai etika dan keadilan yang seharusnya menjadi ruh utamanya. Hal ini sejalan dengan pandangan Ronald Dworkin bahwa hukum tidak hanya sekadar aturan tertulis, melainkan juga perwujudan dari prinsip-prinsip moral yang inheren dalam masyarakat.1

Sejak zaman Yunani kuno, pemikiran tentang hukum telah menjadi bagian dari wacana filosofis yang luas. Plato, misalnya, melalui The Republic, menekankan pentingnya keadilan sebagai tujuan utama negara dan hukum sebagai sarana untuk mencapainya.2 Aristoteles kemudian mengembangkan gagasan tersebut dengan membedakan antara hukum alam (natural law) dan hukum positif (positive law), dan menekankan bahwa hukum harus berakar pada rasionalitas dan kebaikan bersama.3 Gagasan-gagasan inilah yang kemudian berkembang dalam berbagai tradisi hukum di Eropa, dunia Islam, dan sistem hukum modern kontemporer.

Perkembangan hukum tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan budaya tempat hukum itu tumbuh. Oleh karena itu, hukum tidak bersifat netral atau tunggal, melainkan selalu berada dalam dialektika antara norma ideal dan kenyataan sosial. Pandangan ini tercermin dalam teori hukum kritis (critical legal studies) yang menekankan bahwa hukum merupakan produk dari relasi kuasa dan ideologi dominan, bukan sekadar refleksi dari rasionalitas objektif.4

Dalam konteks Indonesia, filsafat hukum menjadi sangat penting dalam membangun sistem hukum yang tidak hanya legalistik, tetapi juga adil, kontekstual, dan mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara. Filsafat hukum memberikan kerangka analisis kritis untuk menilai arah kebijakan hukum, menguji keabsahan norma-norma hukum, dan membimbing interpretasi hukum agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan substantif.

Dengan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menguraikan fondasi-fondasi filosofis dalam filsafat hukum, memetakan berbagai aliran pemikiran hukum dari masa klasik hingga kontemporer, serta menganalisis relevansinya dalam merespons tantangan hukum di era globalisasi dan teknologi. Harapannya, pembahasan ini dapat memperkaya wawasan teoretis dan kritis bagi para mahasiswa hukum, praktisi, serta pemerhati filsafat dan kebijakan publik.


Footnotes

[1]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1986), 255–258.

[2]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 327–336.

[3]                Aristotle, The Politics, trans. T. A. Sinclair (London: Penguin Books, 1992), Book III, 1287a–1290a.

[4]                Mark Tushnet, “Critical Legal Studies: A Political History,” Yale Law Journal 100, no. 5 (1991): 1515–1540.


2.           Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Hukum

Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam hakikat hukum, struktur normatifnya, serta nilai-nilai yang menjadi dasar legitimasi keberlakuannya dalam masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Mark C. Murphy, filsafat hukum bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang apa itu hukum (what is law), apa hubungan hukum dengan moralitas, dan bagaimana hukum memperoleh otoritas normatifnya.1 Filsafat hukum bukan hanya berurusan dengan hukum sebagai sistem aturan, melainkan sebagai produk intelektual dan moral dari masyarakat yang memiliki nilai-nilai serta tujuan-tujuan tertentu.

Secara umum, filsafat hukum mengandung dua aspek penting: aspek ontologis dan aspek normatif. Aspek ontologis membahas tentang keberadaan dan eksistensi hukum: apakah hukum merupakan sesuatu yang objektif ataukah konstruksi sosial semata. Sementara itu, aspek normatif mempertanyakan apa yang seharusnya menjadi hukum, serta bagaimana hukum dapat dikatakan adil dan sah secara moral. Hal ini membedakan filsafat hukum dari studi hukum positif yang lebih fokus pada hukum sebagaimana tertulis (law as it is) tanpa mempermasalahkan validitas moralnya.2

Menurut Hans Kelsen, filsafat hukum harus dibedakan secara tegas dari sosiologi hukum dan etika hukum. Ia mengusulkan pendekatan “teori hukum murni” (Reine Rechtslehre), yakni sebuah kerangka konseptual yang memisahkan hukum dari nilai-nilai moral dan fakta sosial, agar hukum dapat dianalisis secara ilmiah dan sistematis.3 Namun pendekatan ini mendapat kritik dari pemikir seperti Ronald Dworkin, yang menekankan bahwa pemisahan antara hukum dan moralitas tidak selalu dapat dilakukan secara mutlak. Dalam pandangannya, hukum selalu mengandung unsur interpretatif yang berkaitan erat dengan prinsip moral masyarakat.4

Ruang lingkup kajian filsafat hukum meliputi sejumlah pokok persoalan, antara lain:

·                     Hakikat hukum (ontology of law): Apakah hukum bersifat obyektif, transendental, atau hasil konstruksi sosial semata?

·                     Relasi antara hukum dan moralitas: Apakah hukum harus selalu bermoral? Dapatkah hukum yang tidak adil tetap dianggap sah?

·                     Sumber legitimasi hukum: Apa yang membuat suatu norma hukum sah? Apakah berdasarkan kekuasaan, rasionalitas, atau keadilan?

·                     Tujuan hukum: Untuk apa hukum diciptakan? Apakah demi keadilan, ketertiban, kebebasan, atau kepentingan umum?

·                     Interpretasi hukum: Bagaimana memahami dan menafsirkan hukum dalam konteks yang selalu berubah?

Dengan demikian, filsafat hukum tidak hanya menyediakan kerangka analitis bagi pemahaman teori hukum, tetapi juga membekali para pelaku hukum dengan dasar reflektif yang kritis agar mampu menilai dan merancang sistem hukum yang berkeadilan dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Mark C. Murphy, Philosophy of Law: The Fundamentals (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2006), 1–5.

[2]                Brian Bix, Jurisprudence: Theory and Context, 7th ed. (Durham, NC: Carolina Academic Press, 2015), 12–15.

[3]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 1–3.

[4]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 17–44.


3.           Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum

Sejarah filsafat hukum merupakan refleksi panjang pemikiran manusia atas hakikat hukum, keadilan, dan relasi antara kekuasaan dan norma. Sejak peradaban kuno hingga zaman kontemporer, filsafat hukum mengalami perkembangan yang dinamis seiring dengan perubahan paradigma filsafat dan struktur masyarakat. Pemikiran-pemikiran ini membentuk fondasi konseptual bagi hukum modern dan menjadi acuan dalam merumuskan sistem hukum yang rasional dan adil.

3.1.       Masa Klasik: Filsafat Yunani Kuno

Perkembangan filsafat hukum dimulai sejak masa Yunani kuno. Plato (427–347 SM) dalam The Republic memandang hukum sebagai cerminan dari kebaikan ideal yang harus mengatur kehidupan negara demi terciptanya keadilan. Ia menekankan bahwa hukum yang baik harus berasal dari rasio dan bukan semata-mata dari kehendak manusia.1 Sementara itu, Aristoteles (384–322 SM) dalam Politics dan Nicomachean Ethics membedakan antara hukum alam (natural law) dan hukum positif (positive law). Ia berpendapat bahwa hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dengan rasionalitas alamiah manusia, dan keadilan harus bersifat distributif serta korektif.2

3.2.       Masa Romawi dan Tradisi Hukum Kodrat

Dalam tradisi Romawi, filsafat hukum berkembang dalam kerangka hukum sipil (ius civile) dan hukum kodrat (ius naturale). Cicero (106–43 SM) mengembangkan gagasan bahwa hukum alam bersifat universal, abadi, dan bersumber dari akal budi. Menurutnya, “True law is right reason in agreement with nature.”3 Pemikiran ini menjadi dasar kuat bagi pembentukan hukum dalam tradisi Romawi dan memberikan pengaruh besar bagi teologi Kristen di masa berikutnya.

3.3.       Abad Pertengahan: Sintesis antara Hukum dan Teologi

Pada abad pertengahan, pemikiran hukum sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, khususnya dalam tradisi Kristen. St. Augustine (354–430) memandang bahwa hukum manusia harus tunduk pada hukum ilahi, dan hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang sejati (lex iniusta non est lex).4 Pemikiran ini diperdalam oleh Thomas Aquinas (1225–1274), yang dalam Summa Theologiae menyusun klasifikasi hukum: hukum abadi (lex aeterna), hukum alam (lex naturalis), hukum ilahi (lex divina), dan hukum manusia (lex humana). Hukum alam menurut Aquinas adalah partisipasi akal manusia dalam hukum Tuhan, dan menjadi dasar moralitas hukum positif.5

3.4.       Masa Modern: Rasionalisme dan Kontrak Sosial

Zaman modern ditandai oleh munculnya filsafat politik dan hukum yang berakar pada rasionalisme dan teori kontrak sosial. Thomas Hobbes (1588–1679) dalam Leviathan menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat demi menjaga perdamaian dan mencegah keadaan kacau (state of nature).6 John Locke (1632–1704) berbeda pandangan, menyatakan bahwa hukum harus melindungi hak-hak alamiah manusia seperti kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan.7 Sementara Jean-Jacques Rousseau (1712–1778) dalam The Social Contract menekankan bahwa hukum harus mencerminkan kehendak umum (volonté générale) dan dibuat berdasarkan konsensus warga negara.8

3.5.       Abad ke-19 hingga Kontemporer: Positivisme dan Respons Kritik

Abad ke-19 ditandai oleh berkembangnya positivisme hukum, yang memisahkan hukum dari moralitas. John Austin (1790–1859) menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari yang berdaulat dan ditegakkan oleh ancaman sanksi.9 Positivisme hukum diperkaya oleh Hans Kelsen dengan teorinya tentang hukum murni (Reine Rechtslehre), yang memandang hukum sebagai sistem normatif yang harus dianalisis tanpa campur tangan nilai-nilai moral atau fakta sosiologis.10

Sebagai respons terhadap positivisme, muncul pemikiran neo-naturalis dan teori hukum interpretatif dari Ronald Dworkin, yang menyatakan bahwa prinsip moral merupakan bagian integral dari sistem hukum. Dalam Law’s Empire, ia mengkritik positivisme karena gagal menjelaskan bagaimana hakim menggunakan prinsip keadilan dalam praktik penafsiran hukum.11

Selain itu, aliran seperti realisme hukum dan critical legal studies muncul untuk menyoroti dimensi sosial dan politik dalam pembentukan hukum. Hukum dipandang tidak netral, melainkan refleksi dari struktur kuasa dalam masyarakat.12


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 327–336.

[2]                Aristotle, The Nicomachean Ethics, trans. J. A. K. Thomson (London: Penguin Books, 2004), V.3–5.

[3]                Cicero, De Re Publica, trans. C. W. Keyes (Cambridge: Harvard University Press, 1928), III.22–23.

[4]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), Book XIX.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, Q. 91–95, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[6]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Ch. 13–14.

[7]                John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), Book II, Ch. 2–9.

[8]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Books, 2004), Book I.

[9]                John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, ed. Wilfrid E. Rumble (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), Lecture I.

[10]             Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 1–5.

[11]             Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1986), 1–30.

[12]             Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 5–14.


4.           Aliran-Aliran Utama dalam Filsafat Hukum

Perkembangan filsafat hukum tidak terlepas dari munculnya berbagai aliran pemikiran yang berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai hakikat, legitimasi, dan fungsi hukum. Masing-masing aliran menawarkan kerangka teori yang khas dalam memahami hubungan antara hukum, moralitas, dan kekuasaan. Berikut ini adalah uraian komprehensif mengenai beberapa aliran utama dalam filsafat hukum.

4.1.       Aliran Hukum Alam (Natural Law Theory)

Aliran hukum alam berakar pada gagasan bahwa terdapat prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal, abadi, dan dapat diketahui oleh akal manusia. Hukum alam tidak tergantung pada pengesahan negara, melainkan berasal dari kodrat manusia atau kehendak ilahi. Dalam pandangan ini, hukum positif yang bertentangan dengan hukum alam dianggap tidak sah secara moral.

Tokoh sentral dalam aliran ini adalah Thomas Aquinas, yang membedakan antara lex aeterna (hukum abadi), lex naturalis (hukum alam), dan lex humana (hukum manusia). Ia menegaskan bahwa hukum yang tidak adil adalah hukum yang tidak sungguh-sungguh (lex iniusta non est lex).1 Dalam tradisi modern, Hugo Grotius dan John Finnis mengembangkan teori hukum alam dengan pendekatan sekuler dan rasional.2

Aliran hukum alam menekankan bahwa kriteria keadilan dan legitimasi hukum bersifat objektif dan melekat dalam kodrat manusia. Dengan demikian, hukum tidak boleh sekadar dipandang sebagai produk teknokratis, melainkan harus mencerminkan nilai-nilai moral yang mendasar.

4.2.       Aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism)

Sebagai reaksi terhadap hukum alam, aliran positivisme hukum menegaskan pemisahan yang tegas antara hukum dan moralitas. Menurut positivis, hukum adalah sistem aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan berlaku tanpa perlu pembenaran moral. Legalitas suatu norma ditentukan oleh prosedur formal, bukan oleh nilai isinya.

John Austin merupakan pelopor utama positivisme hukum klasik. Ia mendefinisikan hukum sebagai “perintah dari yang berdaulat, yang didukung oleh ancaman sanksi.”_3 Pendekatan ini kemudian disempurnakan oleh Hans Kelsen, yang dalam Pure Theory of Law mengusulkan agar hukum dipelajari secara “murni” sebagai sistem normatif yang otonom dan hirarkis, dimulai dari norma dasar (Grundnorm).4

H.L.A. Hart kemudian merevisi positivisme dengan menambahkan unsur “aturan pengakuan” (rule of recognition) yang menjelaskan bagaimana norma-norma hukum mendapatkan validitas dalam sistem hukum modern.5 Meski Hart menerima bahwa hukum dapat dipengaruhi oleh nilai moral, ia tetap mempertahankan distingsi antara “law as it is” dan “law as it ought to be.”

4.3.       Realisme Hukum (Legal Realism)

Aliran realisme hukum muncul sebagai respons terhadap positivisme yang dianggap terlalu abstrak dan normatif. Realis hukum menekankan bahwa hukum sejatinya adalah apa yang dilakukan oleh para hakim dan aparat hukum di lapangan. Fokus utama realisme adalah pada law in action, bukan law in the books.

Di Amerika Serikat, tokoh seperti Karl Llewellyn dan Jerome Frank berpendapat bahwa putusan hukum seringkali lebih ditentukan oleh intuisi, pengalaman pribadi, atau faktor sosial daripada oleh aturan tertulis.6 Realisme hukum berusaha menyingkap dinamika kekuasaan, ideologi, dan kepentingan sosial yang memengaruhi penegakan hukum.

Dengan demikian, realisme hukum menggugah kesadaran kritis bahwa hukum bukan sekadar sistem normatif ideal, tetapi juga merupakan arena praksis sosial yang kompleks dan tidak selalu rasional.

4.4.       Critical Legal Studies (CLS) dan Feminist Jurisprudence

Critical Legal Studies (CLS) adalah aliran kontemporer yang berkembang dari tradisi neo-Marxis dan dekonstruktif. CLS menganggap bahwa hukum bukanlah struktur netral dan objektif, melainkan instrumen ideologis yang mereproduksi dominasi kelas, ras, dan gender. Hukum, menurut mereka, tidak memiliki makna tetap dan selalu dapat ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan.7

Roberto Unger, salah satu tokoh CLS, menekankan bahwa struktur hukum liberal hanya memberikan ilusi kebebasan dan keadilan, padahal di baliknya tersembunyi dominasi sistemik.8 CLS menolak keyakinan terhadap “rule of law” sebagai prinsip universal, dan lebih memilih pendekatan kritis terhadap struktur institusional hukum.

Sementara itu, feminist jurisprudence menyuarakan bahwa hukum secara historis disusun dalam perspektif patriarkal dan seringkali gagal mengakomodasi pengalaman perempuan. Tokoh seperti Catharine MacKinnon mengkritik hukum tradisional karena netralitasnya justru mengaburkan ketimpangan gender yang riil dalam masyarakat.9


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, Q. 95, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[2]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 23–35.

[3]                John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, ed. Wilfrid E. Rumble (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 13–17.

[4]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 5–14.

[5]                H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed., ed. Penelope A. Bulloch and Joseph Raz (Oxford: Oxford University Press, 1994), 94–99.

[6]                Jerome Frank, Law and the Modern Mind (New York: Coward-McCann, 1930), 7–9.

[7]                Mark Tushnet, “Critical Legal Studies: A Political History,” Yale Law Journal 100, no. 5 (1991): 1515–1540.

[8]                Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 1–10.

[9]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 161–176.


5.           Konsep-Konsep Kunci dalam Filsafat Hukum

Filsafat hukum sebagai bidang reflektif tidak dapat dilepaskan dari sejumlah konsep fundamental yang menjadi poros dalam memahami struktur dan fungsi hukum dalam masyarakat. Konsep-konsep ini tidak hanya memiliki nilai teoritis, tetapi juga menjadi dasar pertimbangan etis dan praktis dalam pembentukan, penafsiran, dan pelaksanaan hukum. Berikut ini adalah pembahasan beberapa konsep kunci dalam filsafat hukum.

5.1.       Keadilan (Justice)

Keadilan adalah salah satu tema sentral dalam filsafat hukum sejak zaman kuno. Dalam The Republic, Plato memaknai keadilan sebagai keteraturan sosial di mana setiap individu menjalankan perannya secara tepat dalam struktur negara, dan keharmonisan ini adalah cerminan dari keadilan dalam jiwa manusia.1 Aristoteles kemudian membedakan antara dua bentuk keadilan: keadilan distributif (distributive justice) dan keadilan korektif (corrective justice). Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian sumber daya berdasarkan proporsionalitas, sedangkan keadilan korektif menyangkut pemulihan akibat pelanggaran atau ketidakadilan antar individu.2

Dalam konteks modern, konsep keadilan banyak dipengaruhi oleh teori John Rawls dalam A Theory of Justice, yang mengajukan prinsip keadilan sebagai fairness. Rawls memperkenalkan “veil of ignorance” sebagai metode hipotetik untuk merancang prinsip keadilan yang adil tanpa bias terhadap posisi sosial seseorang.3

5.2.       Rule of Law (Kedaulatan Hukum)

Konsep Rule of Law atau kedaulatan hukum menekankan bahwa hukum harus menjadi otoritas tertinggi dalam kehidupan bernegara dan semua orang, termasuk penguasa, tunduk pada hukum. A.V. Dicey adalah salah satu tokoh yang mempopulerkan istilah ini dalam konteks konstitusionalisme Inggris. Ia menyatakan bahwa Rule of Law mencakup prinsip kesamaan di hadapan hukum dan penolakan terhadap kekuasaan sewenang-wenang.4

Dalam kerangka kontemporer, Rule of Law tidak hanya menekankan supremasi hukum formal, tetapi juga substansi moral dari hukum itu sendiri. Artinya, hukum harus menjamin hak asasi, menjunjung keadilan prosedural, dan dapat diakses secara adil oleh semua warga negara.5

5.3.       Hubungan antara Hukum dan Moralitas

Salah satu isu klasik dalam filsafat hukum adalah apakah hukum harus bermoral. Aliran hukum alam menjawab secara afirmatif: hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang sejati. Sebaliknya, positivisme hukum berargumen bahwa hukum dan moralitas adalah dua sistem normatif yang terpisah.

H.L.A. Hart mengakui bahwa meskipun hukum dan moral sering tumpang tindih, namun pemisahan analitis antara keduanya diperlukan untuk menghindari kekeliruan konseptual.6 Sementara Ronald Dworkin menolak dikotomi ini dan menegaskan bahwa dalam praktik hukum, hakim tidak hanya merujuk pada aturan tertulis, tetapi juga pada prinsip moral yang terinternalisasi dalam sistem hukum.7

5.4.       Hak Asasi Manusia (Human Rights)

Hak asasi manusia adalah konsepsi moral dan hukum yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak yang tidak dapat dicabut semata-mata karena ia adalah manusia. Dalam filsafat hukum, hak ini dianggap sebagai dasar legitimasi hukum positif dan sebagai batas terhadap kekuasaan negara.

Immanuel Kant memberikan dasar rasional untuk hak asasi manusia dengan menyatakan bahwa setiap individu adalah tujuan pada dirinya sendiri (end in itself) dan tidak boleh dijadikan alat bagi tujuan lain.8 Dalam ranah hukum internasional dan konstitusional modern, prinsip-prinsip hak asasi manusia menjadi parameter moral bagi validitas dan legitimasi norma hukum.

5.5.       Legalitas dan Legitimitas

Konsep legalitas mengacu pada kesesuaian suatu norma atau tindakan dengan aturan hukum yang berlaku, sedangkan legitimitas berkaitan dengan penerimaan sosial atau moral terhadap kekuasaan atau norma hukum tersebut. Dalam sistem hukum yang demokratis, legalitas belum tentu cukup untuk menjamin keadilan atau ketaatan warga negara.

Max Weber membedakan antara tiga bentuk legitimasi kekuasaan: tradisional, karismatik, dan legal-rasional, di mana yang terakhir menjadi basis dari sistem hukum modern.9 Dalam kerangka ini, hukum tidak hanya perlu sah secara prosedural, tetapi juga harus mendapat penerimaan dan kepercayaan dari masyarakat.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV.

[2]                Aristotle, The Nicomachean Ethics, trans. J. A. K. Thomson (London: Penguin Books, 2004), Book V.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 11–17.

[4]                A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 10th ed. (London: Macmillan, 1959), 183–206.

[5]                Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law: History, Politics, Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 91–112.

[6]                H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed., ed. Penelope A. Bulloch and Joseph Raz (Oxford: Oxford University Press, 1994), 181–207.

[7]                Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 22–28.

[8]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 36–39.

[9]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, trans. Ephraim Fischoff et al. (Berkeley: University of California Press, 1978), Vol. 1, 212–216.


6.           Perdebatan Kontemporer dalam Filsafat Hukum

Filsafat hukum kontemporer tidak lagi terbatas pada pertanyaan klasik seputar legalitas dan keadilan, tetapi telah berkembang menjadi medan perdebatan multidisipliner yang mencakup isu-isu global, teknologi, pluralisme, dan identitas. Dalam era pasca-modern dan globalisasi, hukum tidak hanya dipertanyakan dari segi ontologi dan normativitasnya, tetapi juga dari segi legitimasi sosial, fleksibilitas terhadap perubahan, dan kemampuannya merespons tantangan transnasional. Berikut adalah beberapa perdebatan kunci yang menjadi sorotan dalam wacana filsafat hukum kontemporer.

6.1.       Universalitas versus Relativisme dalam Prinsip-Prinsip Hukum

Salah satu perdebatan yang mencolok adalah antara prinsip universal hukum — yang menyatakan bahwa nilai-nilai seperti keadilan, hak asasi manusia, dan legalitas bersifat global — dengan pendekatan relativistik yang menekankan kontekstualitas budaya dan sejarah.

Pendukung universalitas, seperti John Rawls dalam The Law of Peoples, berargumen bahwa prinsip-prinsip dasar keadilan dapat diterima secara luas oleh semua masyarakat rasional melalui dialog antarbudaya yang adil.1 Di sisi lain, para pendukung relativisme hukum menyoroti bahaya legal imperialism, yaitu penerapan standar hukum Barat secara hegemonik terhadap sistem hukum non-Barat, yang mengabaikan keragaman epistemik dan nilai-nilai lokal.2

6.2.       Globalisasi Hukum dan Hukum Transnasional

Globalisasi membawa dampak besar terhadap batas-batas yurisdiksi hukum nasional. Dalam konteks ini, muncul perdebatan mengenai legitimasi dan efektivitas hukum transnasional, yaitu seperangkat norma yang tidak dihasilkan oleh negara, tetapi oleh aktor-aktor internasional seperti korporasi multinasional, organisasi internasional, dan lembaga keuangan global.

Gunther Teubner mengemukakan konsep “global law without a state,” yakni hukum yang berlaku lintas negara namun tidak memiliki institusi negara sebagai pusatnya.3 Model ini memunculkan persoalan baru tentang akuntabilitas, legitimasi demokratis, dan mekanisme penegakan hukum tanpa kejelasan otoritas politik.

6.3.       Hukum dan Teknologi: Tantangan Etika dan Legalitas

Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan data digital, telah menantang struktur hukum tradisional. Filsafat hukum kini dihadapkan pada dilema-dilema etik dan normatif yang belum pernah ada sebelumnya.

Dalam konteks AI, misalnya, muncul pertanyaan tentang subjek hukum: apakah entitas non-manusia dapat atau harus dimintai pertanggungjawaban hukum?4 Demikian pula, dalam bioteknologi, isu tentang hak atas tubuh dan privasi genetik menuntut redefinisi konsep kepemilikan, identitas, dan integritas pribadi dalam hukum.5

Luciano Floridi menekankan pentingnya infosphere ethics sebagai kerangka normatif baru dalam era digital, karena hukum tradisional sering tertinggal dari perkembangan teknologi informasi.6

6.4.       Hukum dan Identitas: Multikulturalisme dan Hukum Adat

Konteks pluralisme hukum juga menjadi ruang perdebatan signifikan. Dalam masyarakat multikultural, hukum negara sering berinteraksi atau bahkan bertentangan dengan sistem hukum adat atau agama. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana hukum nasional dapat mengakomodasi keragaman identitas tanpa kehilangan prinsip keadilan dan kesetaraan?

Boaventura de Sousa Santos mengusulkan pendekatan legal pluralism sebagai bentuk pengakuan terhadap berbagai sistem hukum yang hidup berdampingan di masyarakat, termasuk hukum adat dan hukum agama.7 Namun pendekatan ini menghadapi kritik karena potensi konflik antara norma-norma komunitarian dengan prinsip-prinsip hak asasi universal.

6.5.       Reformasi Hukum dan Keadilan Sosial

Filsafat hukum kontemporer juga menyoroti pentingnya law as a tool of social transformation. Hukum tidak hanya dipahami sebagai cermin masyarakat, tetapi juga sebagai instrumen untuk memperjuangkan keadilan substantif, termasuk dalam bidang ekonomi, lingkungan, dan gender.

Amartya Sen dalam The Idea of Justice mengkritik pendekatan institusional dan formal terhadap keadilan, dan mendorong perhatian pada “realisasi keadilan” dalam kehidupan nyata, terutama bagi kelompok marginal.8 Perspektif ini menggeser fokus filsafat hukum dari norma legal formal ke pemenuhan hak dan peluang riil dalam masyarakat.


Footnotes

[1]                John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 55–63.

[2]                Abdullahi Ahmed An-Na'im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari'a (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 11–17.

[3]                Gunther Teubner, “Global Bukowina: Legal Pluralism in the World Society,” in Global Law Without a State, ed. Gunther Teubner (Aldershot: Dartmouth, 1997), 3–28.

[4]                Jack Balkin, “The Three Laws of Robotics in the Age of Big Data,” Ohio State Law Journal 78, no. 5 (2017): 1217–1233.

[5]                Sheila Jasanoff, Designs on Nature: Science and Democracy in Europe and the United States (Princeton: Princeton University Press, 2005), 103–116.

[6]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 6–15.

[7]                Boaventura de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense, 2nd ed. (London: Butterworths LexisNexis, 2002), 85–103.

[8]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 7–10.


7.           Relevansi Filsafat Hukum dalam Praktik Hukum

Meskipun filsafat hukum kerap dipandang sebagai cabang teori yang abstrak dan normatif, kenyataannya ia memainkan peran vital dalam membentuk kerangka berpikir dan praktik hukum yang adil, rasional, dan bertanggung jawab. Dalam tataran praktis, filsafat hukum menjadi instrumen kritis yang membantu hakim, legislator, advokat, akademisi, dan aparat penegak hukum dalam menafsirkan, menerapkan, serta mengevaluasi norma-norma hukum dalam konteks sosial yang kompleks dan dinamis.

7.1.       Filsafat Hukum sebagai Fondasi Etika Profesi Hukum

Profesi hukum tidak hanya menuntut keahlian teknis, tetapi juga kesadaran etis yang tinggi. Filsafat hukum menyediakan kerangka konseptual bagi para praktisi untuk memahami dan menginternalisasi nilai-nilai dasar seperti keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab. Lon L. Fuller, dalam The Morality of Law, menekankan bahwa hukum bukan sekadar sistem aturan, melainkan juga mengandung moralitas internal yang harus dijaga oleh setiap pelaksana hukum.1

Kesadaran akan nilai-nilai ini menjadi penting dalam menghadapi dilema etis yang sering muncul dalam praktik, misalnya dalam konflik antara aturan positif dan keadilan substantif, atau antara kepentingan hukum dan kepentingan kemanusiaan.

7.2.       Peran Filsafat Hukum dalam Penafsiran Hukum

Penafsiran hukum bukanlah proses mekanis, tetapi melibatkan pertimbangan nilai dan konteks. Filsafat hukum memperkaya metode hermeneutika hukum dengan menyadarkan bahwa teks hukum tidak selalu berbicara secara tunggal dan definitif. Menurut Ronald Dworkin, hakim harus tidak hanya mengikuti aturan tertulis, tetapi juga memperhatikan prinsip moral dan integritas hukum dalam sistem secara keseluruhan.2

Konsep “law as integrity” yang dikembangkan Dworkin menjadi pedoman penting dalam praktik yudisial, terutama dalam kasus-kasus yang tidak diatur secara eksplisit oleh undang-undang, atau yang menyentuh isu moral dan sosial yang kompleks.

7.3.       Landasan Filosofis dalam Pembentukan Perundang-Undangan

Setiap produk legislasi semestinya tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga memiliki legitimasi substantif yang berakar pada prinsip keadilan dan kemanusiaan. Filsafat hukum membantu para pembentuk undang-undang untuk mengevaluasi landasan normatif dari kebijakan hukum dan untuk merancang hukum yang tidak hanya responsif terhadap realitas sosial, tetapi juga menjunjung nilai-nilai fundamental.

Jeremy Waldron dalam tulisannya tentang hukum dan demokrasi menekankan bahwa deliberasi legislatif harus melibatkan pertimbangan moral kolektif, bukan sekadar konsensus mayoritas atau kepentingan politik.3 Dengan kata lain, filsafat hukum mendorong proses legislasi yang reflektif dan bertanggung jawab secara moral.

7.4.       Kritik dan Reformasi Sistem Hukum

Filsafat hukum juga memainkan peran transformatif dalam meninjau ulang sistem hukum yang ada, terutama ketika hukum kehilangan daya kritisnya atau menjauh dari prinsip-prinsip keadilan. Melalui pendekatan filsafati, berbagai ketimpangan struktural dan bias institusional dalam hukum dapat diidentifikasi dan dikoreksi.

Sebagai contoh, pendekatan critical legal studies dan feminist jurisprudence telah membuka ruang evaluasi terhadap asumsi netralitas hukum dan memperjuangkan keadilan yang lebih inklusif bagi kelompok-kelompok marjinal.4 Filsafat hukum di sini berfungsi sebagai kekuatan korektif terhadap dogmatisme dan positivisme sempit dalam praktik hukum.

7.5.       Pendidikan Hukum dan Pembentukan Nalar Kritis

Dalam pendidikan hukum, filsafat hukum memiliki posisi sentral dalam membentuk kemampuan berpikir kritis, analitis, dan etis mahasiswa hukum. Ia melampaui dimensi teknis dogmatik dan membekali calon praktisi hukum dengan keterampilan berpikir reflektif serta sensitivitas moral yang dibutuhkan dalam kehidupan profesional.

M.D.A. Freeman menekankan bahwa studi hukum tanpa pengantar filsafat hukum akan menghasilkan lulusan hukum yang kompeten secara prosedural namun lemah dalam menimbang makna keadilan dan implikasi sosial dari penerapan hukum.5 Dengan demikian, integrasi filsafat hukum dalam kurikulum menjadi sangat penting untuk membentuk generasi profesional hukum yang utuh secara intelektual dan moral.


Footnotes

[1]                Lon L. Fuller, The Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–38.

[2]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1986), 225–275.

[3]                Jeremy Waldron, “Legislation and Moral Neutrality,” in Liberal Rights: Collected Papers 1981–1991 (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 89–113.

[4]                Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 238–241.

[5]                M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, 8th ed. (London: Sweet & Maxwell, 2008), 8–10.


8.           Kesimpulan

Filsafat hukum bukan sekadar disiplin teoritis yang mengulas tentang makna hukum dalam abstraksi, melainkan sebuah refleksi kritis yang menyingkap fondasi normatif, logika internal, serta dimensi moral dari hukum dalam kehidupan nyata. Dengan menelusuri sejarah pemikirannya, kita menyaksikan bagaimana pertanyaan tentang apa itu hukum, bagaimana ia berlaku, dan mengapa ia harus ditaati terus berubah mengikuti perkembangan intelektual, sosial, dan politik manusia.

Dari Plato dan Aristoteles yang meletakkan dasar pemikiran tentang keadilan dan hukum sebagai bagian dari tatanan moral alam semesta,1 hingga kehadiran Thomas Aquinas yang mensintesiskan hukum alam dengan teologi Kristen,2 lalu ke Hans Kelsen dan H.L.A. Hart yang mendefinisikan hukum secara normatif dan analitis dalam kerangka positivisme modern,3 hingga pemikiran kontemporer seperti Dworkin, Teubner, dan Sen yang menyuarakan pentingnya nilai, prinsip, dan dimensi keadilan substantif—semuanya menunjukkan bahwa filsafat hukum tidak berhenti hanya pada tataran konseptual, tetapi terus hidup dalam praktik hukum dan kebijakan publik.4

Keterlibatan filsafat hukum dalam perdebatan-perdebatan kontemporer—mulai dari globalisasi hukum, teknologi dan hak digital, pluralisme hukum, hingga perjuangan keadilan sosial—menggambarkan bahwa ia adalah medan yang sangat relevan dalam menjawab tantangan zaman. Dalam dunia yang kian kompleks dan saling terkait, hukum yang tidak didasari oleh refleksi filosofis berisiko menjadi alat kekuasaan yang kaku dan tidak peka terhadap realitas kemanusiaan.

Oleh karena itu, filsafat hukum memiliki signifikansi ganda: pertama, sebagai landasan teoritis untuk memahami struktur dan fungsi hukum; dan kedua, sebagai instrumen etis dan kritis untuk membangun hukum yang adil, inklusif, dan bermartabat. Sejalan dengan pandangan Lon L. Fuller, hukum yang baik bukan hanya harus sah secara prosedural, tetapi juga memiliki moralitas internal yang menjamin keteraturan, kejelasan, dan keadilan dalam pelaksanaannya.5

Dalam praktik hukum, filsafat hukum membantu para hakim, pembuat undang-undang, dan praktisi hukum untuk menavigasi dilema normatif yang kompleks dengan prinsip rasional dan etis. Dalam pendidikan hukum, ia membentuk nalar reflektif yang kritis dan integratif. Dan dalam kehidupan masyarakat, filsafat hukum menyuarakan pentingnya menilai hukum bukan hanya dari apa yang tertulis, tetapi juga dari apa yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan bersama.

Dengan demikian, filsafat hukum bukanlah sekadar teori tentang hukum, melainkan jiwa dari hukum itu sendiri.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube, revised C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book IV; Aristotle, The Nicomachean Ethics, trans. J. A. K. Thomson (London: Penguin Books, 2004), Book V.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I–II, Q. 95, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947).

[3]                Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 5–14; H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed., ed. Penelope A. Bulloch and Joseph Raz (Oxford: Oxford University Press, 1994), 94–99.

[4]                Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1986), 225–275; Gunther Teubner, “Global Bukowina: Legal Pluralism in the World Society,” in Global Law Without a State, ed. Gunther Teubner (Aldershot: Dartmouth, 1997), 3–28; Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 7–10.

[5]                Lon L. Fuller, The Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press, 1969), 33–38.


Daftar Pustaka

An-Na'im, A. A. (2008). Islam and the secular state: Negotiating the future of Shari'a. Harvard University Press.

Aristotle. (2004). The Nicomachean ethics (J. A. K. Thomson, Trans.). Penguin Books.

Austin, J. (1995). The province of jurisprudence determined (W. E. Rumble, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1832)

Balkin, J. (2017). The three laws of robotics in the age of big data. Ohio State Law Journal, 78(5), 1217–1233.

Dicey, A. V. (1959). Introduction to the study of the law of the constitution (10th ed.). Macmillan.

Dworkin, R. (1977). Taking rights seriously. Harvard University Press.

Dworkin, R. (1986). Law’s empire. Belknap Press of Harvard University Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Clarendon Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Freeman, M. D. A. (2008). Lloyd’s introduction to jurisprudence (8th ed.). Sweet & Maxwell.

Fuller, L. L. (1969). The morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.

Hart, H. L. A. (1994). The concept of law (2nd ed., P. A. Bulloch & J. Raz, Eds.). Oxford University Press.

Jasanoff, S. (2005). Designs on nature: Science and democracy in Europe and the United States. Princeton University Press.

Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). University of California Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press. (Original work published 1689)

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist theory of the state. Harvard University Press.

Murphy, M. C. (2006). Philosophy of law: The fundamentals. Wiley-Blackwell.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing. (Original work c. 380 BCE)

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rawls, J. (1999). The law of peoples. Harvard University Press.

Rousseau, J.-J. (2004). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Books. (Original work published 1762)

Santos, B. de S. (2002). Toward a new legal common sense (2nd ed.). Butterworths LexisNexis.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Teubner, G. (1997). Global Bukowina: Legal pluralism in the world society. In G. Teubner (Ed.), Global law without a state (pp. 3–28). Dartmouth.

Thompson, C. W. K. (Trans.). (1928). Cicero: De re publica. Harvard University Press.

Tushnet, M. (1991). Critical legal studies: A political history. Yale Law Journal, 100(5), 1515–1540.

Unger, R. M. (1986). The critical legal studies movement. Harvard University Press.

Waldron, J. (1993). Legislation and moral neutrality. In Liberal rights: Collected papers 1981–1991 (pp. 89–113). Cambridge University Press.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (E. Fischoff et al., Trans.). University of California Press.