Layanan Bimbingan Konseling
Pilar Pengembangan Diri untuk Pembentukan Karakter dan
Kecakapan Abad 21
Alihkan ke: Pengembangan Diri.
Bimbingan Penyuluhan, Bimbingan Penyuluhan di Bidang Pendidikan.
Abstrak
Artikel ini membahas peran strategis layanan
bimbingan konseling (BK) dalam mendukung implementasi Kurikulum 2013 sebagai bagian
integral dari pengembangan diri peserta didik. Kurikulum 2013 menekankan
keseimbangan antara aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan, yang kesemuanya
dapat difasilitasi secara efektif melalui layanan BK yang komprehensif dan
terencana. Kajian ini mengulas dasar yuridis dan filosofis layanan BK, dimensi
peranannya dalam membentuk kompetensi inti peserta didik, strategi implementasi
di satuan pendidikan, tantangan yang dihadapi, serta berbagai praktik baik dan
inovasi, termasuk pemanfaatan teknologi digital dan konseling sebaya. Dengan
pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis literatur, artikel ini menegaskan
bahwa layanan BK bukan hanya sebagai pelengkap kegiatan belajar, tetapi
merupakan fondasi penting dalam pembentukan karakter, kesejahteraan psikologis,
dan kecakapan abad ke-21. Penutup artikel menekankan pentingnya dukungan
struktural, profesionalisme konselor, dan kolaborasi lintas sektor untuk
memperkuat efektivitas layanan BK di lingkungan pendidikan.
Kata Kunci: Bimbingan konseling, Kurikulum 2013, pengembangan
diri, karakter, kecakapan abad 21, konseling digital, pendidikan holistik.
PEMBAHASAN
Layanan Bimbingan Konseling dalam Implementasi
Kurikulum 2013
1.
Pendahuluan
Pendidikan pada
hakikatnya merupakan proses pembentukan manusia seutuhnya—yakni individu yang
tidak hanya cakap dalam aspek intelektual, tetapi juga matang secara emosional,
sosial, dan moral. Dalam konteks pendidikan Indonesia, Kurikulum 2013 hadir
dengan semangat untuk menyeimbangkan pengembangan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan, serta menekankan pentingnya pembentukan karakter dan kecakapan
hidup abad 21. Hal ini tercermin dalam struktur kurikulum yang memasukkan kegiatan pengembangan diri sebagai bagian integral dari proses
pendidikan, mencakup layanan bimbingan konseling (BK), kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan pembiasaan positif sebagaimana
diatur dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
2013¹.
Layanan bimbingan
konseling memiliki peran sentral dalam pengembangan diri peserta didik karena
menyentuh dimensi personal, sosial, belajar, dan karier. Fungsi layanan ini
tidak terbatas pada penanganan masalah, tetapi juga mencakup upaya preventif
dan pengembangan potensi diri siswa secara optimal². Melalui pendekatan
sistematik dan ilmiah, layanan BK diarahkan untuk membentuk peserta didik yang
berkarakter kuat, mampu mengambil keputusan secara bijak, serta siap menghadapi
tantangan global yang kompleks dan terus berubah³.
Perkembangan dunia
pendidikan di abad ke-21 menuntut siswa memiliki keterampilan berpikir kritis,
komunikasi efektif, kolaborasi, dan kreativitas. Dalam kerangka ini, bimbingan
konseling menjadi salah satu wahana strategis untuk menanamkan nilai-nilai
kebajikan, membentuk identitas diri yang sehat, dan mengarahkan siswa dalam
proses penyesuaian diri terhadap dinamika zaman⁴. Oleh karena itu, integrasi
layanan BK dalam kurikulum tidak boleh dipandang sebagai pelengkap, tetapi
sebagai pilar utama dalam mendidik manusia Indonesia seutuhnya.
Lebih jauh, layanan
bimbingan konseling berkontribusi langsung terhadap pencapaian kompetensi inti
dalam Kurikulum 2013, khususnya kompetensi sikap spiritual dan sosial. Dalam
praktiknya, guru BK tidak hanya berfungsi sebagai fasilitator konseling, tetapi
juga sebagai pendamping yang membantu peserta didik menjalani proses
pembentukan karakter dan penemuan jati diri secara bertahap dan berkelanjutan⁵.
Mengingat
urgensinya, penting bagi setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan layanan
bimbingan konseling yang berkualitas, sistematis, dan adaptif. Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara mendalam peran strategis layanan BK dalam
kerangka Kurikulum 2013, dengan menyoroti aspek filosofis, yuridis,
implementatif, serta tantangan dan peluang pengembangannya di tengah kebutuhan
pendidikan abad ke-21.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2013), Lampiran IV.
[2]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling: Teori dan Aplikasi dalam
Setting Pendidikan (Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2017), 23–24.
[3]
Sukardi, “Peran Strategis Bimbingan dan Konseling dalam Membentuk
Karakter Siswa,” Jurnal Konseling dan Pendidikan 3, no. 1 (2015):
11–12.
[4]
Trilling, Bernie, dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 47–50.
[5]
Hasan, Syamsu Yusuf L., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016), 145–147.
2.
Landasan
Yuridis dan Filosofis Layanan Bimbingan Konseling
Layanan bimbingan
konseling (BK) dalam konteks pendidikan nasional tidak sekadar pelengkap
administratif, melainkan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan yang
memiliki dasar hukum yang kuat dan pijakan filosofis yang mendalam. Landasan
yuridis dan filosofis ini menjadi fondasi yang memastikan bahwa layanan BK
dilaksanakan secara sistematis, profesional, dan selaras dengan tujuan
pendidikan nasional.
2.1.
Landasan Yuridis
Secara yuridis,
eksistensi layanan BK secara eksplisit diakui dan diposisikan sebagai bagian
dari kegiatan pengembangan diri peserta didik. Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum 2013 menyatakan bahwa kegiatan
pengembangan diri meliputi layanan bimbingan konseling, kegiatan
ekstrakurikuler, dan kegiatan pembiasaan positif yang diarahkan untuk mendukung
pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang¹.
Hal ini memperkuat posisi layanan BK sebagai instrumen strategis dalam membantu
peserta didik mencapai Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD) yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Lebih lanjut,
keberadaan layanan BK juga mendapat pengakuan dalam berbagai regulasi lain,
antara lain dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan bahwa pendidikan
bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab². Layanan BK
hadir untuk mengawal tujuan tersebut melalui proses pendampingan dan
pengembangan kepribadian peserta didik.
Selain itu, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Konselor menetapkan bahwa konselor
sekolah/madrasah memiliki peran profesional yang spesifik dalam memberikan
layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik secara sistematik,
terstruktur, dan berorientasi pada kebutuhan perkembangan individu³. Ini menjadikan
profesi guru BK sebagai posisi strategis dalam penguatan sistem pendidikan
nasional.
2.2.
Landasan Filosofis
Secara filosofis,
layanan BK dalam pendidikan Indonesia berakar pada pandangan
humanistik yang memandang peserta didik sebagai pribadi unik
yang memiliki potensi untuk berkembang secara optimal apabila diberi
kesempatan, bimbingan, dan lingkungan yang kondusif⁴. Dalam perspektif ini,
layanan BK tidak sekadar menyelesaikan masalah, tetapi lebih luas dari
itu—yakni membentuk individu yang mampu memahami diri sendiri, membuat
keputusan yang tepat, serta mampu bertanggung jawab atas tindakannya.
Filosofi pendidikan
progresif sebagaimana dikembangkan oleh John Dewey juga memberi sumbangan besar
terhadap kerangka pemikiran layanan BK. Pendidikan harus diarahkan pada
pengalaman yang bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata, serta memberi
ruang bagi peserta didik untuk belajar secara aktif dan reflektif⁵. Layanan BK
menjadi wahana yang mendukung hal ini dengan menyediakan ruang dialogis antara
peserta didik dan konselor, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran diri dan
kemampuan mengambil keputusan secara dewasa.
Selain itu, dalam
konteks Kurikulum 2013 yang berorientasi pada penguatan karakter dan kecakapan
hidup abad 21, layanan BK menjelma sebagai fasilitator pembentukan nilai-nilai
moral, etika, spiritualitas, serta keterampilan sosial yang diperlukan untuk
menghadapi tantangan global. Dengan kata lain, landasan filosofis layanan BK
tidak hanya bersifat psikopedagogis, tetapi juga bermuatan nilai-nilai etik dan
transendental yang berpijak pada tujuan luhur pendidikan nasional⁶.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2013), Lampiran IV.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sekretariat Negara, 2003), Pasal 3.
[3]
Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Konselor (Jakarta: Kemdiknas, 2008).
[4]
Carl R. Rogers, On Becoming a Person: A Therapist's View of
Psychotherapy (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 34–36.
[5]
John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–27.
[6]
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 45–46.
3.
Tujuan,
Fungsi, dan Prinsip-Prinsip Layanan Bimbingan Konseling
3.1.
Tujuan Layanan Bimbingan Konseling
Layanan bimbingan
konseling (BK) dalam sistem pendidikan Indonesia dirancang untuk mendukung
perkembangan optimal peserta didik baik secara pribadi, sosial, belajar, maupun
karier. Dalam konteks Kurikulum 2013, layanan BK menjadi instrumen pendukung
penting dalam pengembangan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
secara terpadu. Tujuan utama layanan ini adalah membantu peserta didik mengenali dan
mengembangkan potensi dirinya, mengatasi hambatan pribadi maupun sosial, serta
mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan akademik maupun non-akademik¹.
Selain itu, layanan
BK bertujuan membina kemandirian peserta didik dalam menjalani proses
pendidikan dan kehidupannya. Kemandirian yang dimaksud mencakup kesadaran diri,
tanggung jawab sosial, serta kemampuan adaptasi dalam menghadapi perubahan
zaman dan tantangan abad 21². Dengan demikian, layanan BK tidak hanya bersifat
kuratif, tetapi juga preventif dan promotif—yakni memfasilitasi peserta didik
agar tumbuh menjadi pribadi yang utuh, seimbang, dan mandiri.
3.2.
Fungsi-Fungsi Layanan Bimbingan Konseling
Dalam
implementasinya, layanan BK memiliki beberapa fungsi esensial yang saling
melengkapi, yaitu:
1)
Fungsi Pemahaman,
yaitu membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya, termasuk potensi,
minat, bakat, nilai-nilai pribadi, serta kondisi sosial-budaya sekitar³.
2)
Fungsi Pencegahan,
yakni mencegah timbulnya masalah yang dapat menghambat perkembangan diri siswa,
baik dalam konteks akademik maupun sosial-emosional⁴.
3)
Fungsi Pengentasan,
yaitu membantu peserta didik mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi,
baik yang bersifat pribadi, sosial, belajar, maupun karier⁵.
4)
Fungsi Pengembangan,
yaitu memfasilitasi peserta didik agar dapat mengembangkan potensi,
meningkatkan prestasi, dan mematangkan kepribadian melalui berbagai kegiatan
yang dirancang secara sistematis⁶.
Keempat fungsi ini
mendukung integrasi pengembangan diri dalam Kurikulum 2013 dan mendukung tujuan
pendidikan nasional yang menekankan pembentukan karakter dan kecakapan hidup.
3.3.
Prinsip-Prinsip Layanan Bimbingan Konseling
Agar layanan BK
dapat terlaksana secara efektif dan profesional, pelaksanaannya harus
berlandaskan pada prinsip-prinsip yang kokoh dan humanistik. Beberapa prinsip
dasar yang mendasari praktik bimbingan konseling di sekolah antara lain:
·
Prinsip
Individualitas, yaitu mengakui bahwa setiap peserta didik
adalah unik dan memiliki kebutuhan, potensi, serta karakteristik yang berbeda⁷.
·
Prinsip
Kerahasiaan, yakni menjaga informasi pribadi peserta didik yang
diperoleh dalam proses konseling agar tidak disalahgunakan⁸.
·
Prinsip
Kesukarelaan, yakni partisipasi peserta didik dalam layanan BK
harus bersifat sukarela dan tidak dipaksakan, karena keterbukaan hanya dapat
terjadi dalam situasi yang aman dan nyaman⁹.
·
Prinsip
Kemandirian, yaitu layanan BK bertujuan untuk menumbuhkan
kemampuan peserta didik dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas
pilihannya sendiri¹⁰.
·
Prinsip
Keterpaduan, yang berarti layanan BK tidak berdiri sendiri,
tetapi terintegrasi dengan seluruh komponen pendidikan, termasuk kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Penerapan
prinsip-prinsip tersebut menjadi kunci keberhasilan layanan bimbingan konseling
dalam mewujudkan pendidikan yang berpihak pada perkembangan peserta didik
secara utuh, serta membekali mereka dengan keterampilan hidup yang relevan
dengan tuntutan zaman.
Footnotes
[1]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling: Teori dan Aplikasi dalam
Setting Pendidikan (Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2017), 15–16.
[2]
Gibson, Robert L., dan Marianne H. Mitchell, Introduction to
Counseling and Guidance, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 43–45.
[3]
Surya, M., Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah
(Bandung: CV Alfabeta, 2005), 28.
[4]
Corey, Gerald, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,
10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 22–24.
[5]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling, 18.
[6]
Winkel, W. S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 36.
[7]
Yusuf, S. L., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2016), 107–109.
[8]
Gibson dan Mitchell, Introduction to Counseling and Guidance,
84.
[9]
Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 37.
[10]
Surya, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, 41.
4.
Dimensi
Layanan BK dalam Pengembangan Kompetensi Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan
Kurikulum 2013
dirancang untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya unggul dalam aspek
kognitif, tetapi juga memiliki sikap spiritual dan sosial yang kuat serta
keterampilan hidup yang relevan dengan kebutuhan abad ke-21. Dalam kerangka
tersebut, layanan bimbingan konseling (BK)
memainkan peran strategis dalam membantu peserta didik mencapai empat
Kompetensi Inti (KI), yaitu sikap spiritual (KI-1), sikap
sosial (KI-2), pengetahuan (KI-3), dan keterampilan (KI-4). Layanan BK menjadi
penghubung antara pengembangan aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik secara
terpadu dalam proses pendidikan.
4.1.
Penguatan Kompetensi Sikap (KI-1 dan KI-2)
Dimensi layanan BK
yang paling nyata terletak pada kontribusinya dalam membentuk dan mengembangkan
sikap
spiritual dan sosial peserta didik. BK memfasilitasi
internalisasi nilai-nilai moral, etika, dan keagamaan melalui proses konseling
individual maupun kelompok. Misalnya, dalam penanganan konflik antar siswa,
layanan BK tidak hanya menyelesaikan permasalahan secara teknis, tetapi juga
menanamkan nilai empati, tanggung jawab, dan toleransi sebagai sikap sosial
yang luhur¹.
Lebih jauh, layanan
BK berfungsi sebagai wahana untuk pembinaan akhlak dan penguatan
nilai-nilai spiritual melalui kegiatan reflektif dan kontemplatif. Konselor
dapat merancang program konseling tematik yang berbasis nilai-nilai karakter,
seperti integritas, kedisiplinan, dan keikhlasan, yang terintegrasi dalam
pembinaan sikap spiritual peserta didik².
4.2.
Dukungan terhadap Penguasaan Pengetahuan (KI-3)
Meskipun penguasaan
pengetahuan lebih banyak dikembangkan melalui kegiatan intrakurikuler, layanan
BK berkontribusi dalam menciptakan iklim psikologis yang kondusif
bagi belajar. Peserta didik yang mengalami hambatan belajar seperti stres,
kecemasan, atau kurang motivasi, dapat dibantu melalui layanan konseling
akademik agar kembali memiliki semangat dan strategi belajar yang efektif³.
Layanan BK juga
mendukung penguasaan pengetahuan melalui bimbingan belajar, termasuk
pengembangan keterampilan belajar, pengelolaan waktu, dan pemilihan metode
belajar yang sesuai dengan gaya belajar individu. Dengan demikian, layanan ini
membantu siswa memaksimalkan potensi intelektualnya secara mandiri dan
bertanggung jawab⁴.
4.3.
Penguatan Kompetensi Keterampilan (KI-4)
Dalam Kurikulum
2013, keterampilan tidak hanya dimaknai sebagai keterampilan teknis atau
prosedural, tetapi juga mencakup keterampilan berpikir kritis, komunikasi,
kolaborasi, dan kreativitas—empat keterampilan utama abad
ke-21. Layanan BK mendorong pengembangan keterampilan ini melalui kegiatan
konseling kelompok, simulasi pemecahan masalah, serta pelatihan keterampilan
sosial (social skills training)⁵.
Layanan BK juga
memfasilitasi pengembangan life skills, seperti
keterampilan mengambil keputusan, keterampilan menyelesaikan konflik,
keterampilan menghadapi tekanan, serta keterampilan karier. Hal ini
memungkinkan peserta didik tidak hanya berhasil di lingkungan sekolah, tetapi
juga siap menghadapi tantangan sosial dan dunia kerja⁶.
Integrasi dimensi
sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam layanan BK menciptakan pendekatan
holistik yang sejalan dengan tujuan Kurikulum 2013 dan tuntutan pendidikan abad
ke-21. Oleh karena itu, layanan BK tidak dapat dipandang sebagai kegiatan
tambahan, melainkan sebagai bagian esensial dari sistem pendidikan yang
humanistik dan transformatif.
Footnotes
[1]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling: Teori dan Aplikasi dalam
Setting Pendidikan (Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2017), 47–49.
[2]
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 56–57.
[3]
Surya, M., Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah
(Bandung: Alfabeta, 2005), 76.
[4]
Winkel, W. S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 63–64.
[5]
Trilling, Bernie, dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 62–65.
[6]
Gibson, Robert L., dan Marianne H. Mitchell, Introduction to
Counseling and Guidance, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 138–140.
5.
Strategi
Implementasi Layanan BK di Satuan Pendidikan
Agar layanan
bimbingan konseling (BK) dapat berfungsi secara optimal dalam menunjang
keberhasilan Kurikulum 2013, implementasinya di satuan pendidikan perlu
dirancang dengan pendekatan yang sistematis, terukur, dan berorientasi pada
kebutuhan perkembangan peserta didik. Strategi implementasi layanan BK
melibatkan aspek perencanaan program, pendekatan layanan, kolaborasi lintas
peran, serta pemanfaatan teknologi yang relevan dengan dinamika pendidikan abad
ke-21.
5.1.
Model dan Pendekatan Layanan BK
Strategi utama dalam
implementasi layanan BK terletak pada keberhasilan satuan pendidikan dalam
menerapkan berbagai bentuk layanan, yaitu:
·
Layanan
individual, yang diberikan kepada siswa secara tatap muka
satu-satu untuk membantu mereka memahami dan mengatasi masalah pribadi, sosial,
akademik, atau karier;
·
Layanan
kelompok, yang dilakukan untuk siswa yang memiliki kebutuhan
sejenis agar saling belajar dan berbagi pengalaman;
·
Layanan
klasikal, yang dilaksanakan di kelas untuk menyampaikan
informasi dan materi pengembangan diri yang dibutuhkan seluruh peserta didik¹.
Ketiga bentuk
layanan ini dapat diterapkan secara terintegrasi dengan pendekatan
perkembangan (developmental approach) yang berorientasi pada
tugas-tugas perkembangan peserta didik. Pendekatan ini menekankan bahwa layanan
BK tidak hanya ditujukan kepada siswa yang bermasalah, melainkan mencakup semua
siswa sebagai bagian dari proses pendidikan yang bersifat menyeluruh dan
berkelanjutan².
Selain pendekatan
perkembangan, pendekatan responsif juga
penting untuk membantu peserta didik yang mengalami masalah mendesak, misalnya
krisis psikologis, kekerasan di sekolah, atau konflik keluarga. Dalam hal ini,
guru BK harus sigap dalam melakukan asesmen cepat, konseling singkat, serta
merujuk ke lembaga profesional jika diperlukan³.
5.2.
Perencanaan Program BK Berbasis Kebutuhan
Perencanaan layanan
BK harus berbasis pada asesmen kebutuhan peserta didik,
baik melalui instrumen diagnostik maupun hasil observasi guru, wali kelas, dan
orang tua. Hasil asesmen menjadi dasar dalam menyusun program tahunan dan
semesteran layanan BK yang sesuai dengan karakteristik dan konteks
sekolah/madrasah⁴.
Program yang
dirancang sebaiknya fleksibel, kontekstual, dan berbasis proyek
(project-based), misalnya kegiatan pelatihan kepemimpinan siswa, seminar
karier, kelas refleksi kepribadian, atau bimbingan penguatan literasi digital.
Program ini bisa dimasukkan dalam kegiatan kokurikuler maupun kegiatan
pembiasaan positif yang terjadwal dan terstruktur⁵.
5.3.
Kolaborasi dalam Pelaksanaan Layanan BK
Implementasi layanan
BK yang efektif memerlukan kolaborasi antarpemangku kepentingan,
terutama antara guru BK, guru mata pelajaran, wali kelas, kepala
madrasah/sekolah, orang tua, dan pihak eksternal. Guru BK tidak dapat bekerja
sendiri, tetapi harus membangun komunikasi yang sinergis untuk mendukung
perkembangan peserta didik.
Kolaborasi dapat
berbentuk:
·
Konsultasi
antar guru untuk mengidentifikasi siswa yang perlu pendampingan
khusus;
·
Kemitraan
dengan orang tua dalam program parenting atau sesi konseling
keluarga;
·
Kerja
sama dengan pihak luar, seperti puskesmas, psikolog, atau
lembaga perlindungan anak untuk penanganan kasus tertentu⁶.
Pendekatan berbasis
tim ini sejalan dengan prinsip pendidikan inklusif dan penguatan ekosistem
pendidikan yang sehat.
5.4.
Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi Layanan BK
Tantangan
digitalisasi dan mobilitas tinggi peserta didik mendorong layanan BK untuk
berinovasi. Saat ini, banyak satuan pendidikan mulai mengembangkan layanan
e-counseling, baik melalui aplikasi chatting internal, email,
hingga media sosial resmi sekolah. Dengan pendekatan ini, peserta didik merasa
lebih dekat dan bebas untuk mengakses layanan kapan pun dan di mana pun⁷.
Selain itu, platform
digital juga digunakan untuk mengembangkan sistem monitoring
dan evaluasi perkembangan siswa, seperti e-portofolio
psikologis, kuisioner online, dan pemetaan potensi berbasis aplikasi. Teknologi
ini membantu guru BK mengambil keputusan yang lebih akurat dan berbasis data
dalam menyusun intervensi⁸.
5.5.
Supervisi dan Evaluasi Berkala
Strategi
implementasi layanan BK yang baik juga mencakup proses evaluasi
berkala dan supervisi internal oleh kepala
madrasah atau tim pengembang kurikulum. Evaluasi ini berguna untuk menilai
efektivitas program, kebermanfaatan layanan, serta memastikan layanan BK tetap
relevan dengan kebutuhan zaman.
Evaluasi dapat
dilakukan melalui instrumen penilaian hasil layanan, kepuasan siswa, serta
refleksi program oleh guru BK. Hasil evaluasi dijadikan dasar dalam
penyempurnaan program pada periode berikutnya⁹.
Footnotes
[1]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling: Teori dan Aplikasi dalam
Setting Pendidikan (Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2017), 61–63.
[2]
Gysbers, Norman C., dan Patricia Henderson, Developing and Managing
Your School Guidance and Counseling Program, 5th ed. (Alexandria, VA:
American Counseling Association, 2012), 89–91.
[3]
Corey, Gerald, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,
10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 157–158.
[4]
Yusuf, S. L., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2016), 127–129.
[5]
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 78–80.
[6]
Surya, M., Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah
(Bandung: Alfabeta, 2005), 94–96.
[7]
Gibson, Robert L., dan Marianne H. Mitchell, Introduction to
Counseling and Guidance, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 176–178.
[8]
Winkel, W. S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 89–90.
[9]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Jakarta:
Direktorat Pembinaan SMA, 2016), 22–24.
6.
Tantangan
dan Permasalahan dalam Pelaksanaan Layanan BK
Meskipun layanan
bimbingan konseling (BK) secara konseptual memiliki posisi yang sangat
strategis dalam mendukung keberhasilan implementasi Kurikulum 2013,
pelaksanaannya di satuan pendidikan masih menghadapi berbagai tantangan dan
kendala. Beragam faktor struktural, kultural, dan profesional menjadi
penghambat efektifitas layanan BK dalam membantu peserta didik mencapai potensi
maksimalnya. Tantangan-tantangan ini perlu dicermati secara kritis agar dapat
dirumuskan solusi yang kontekstual dan berkelanjutan.
6.1.
Keterbatasan Jumlah dan Kualifikasi Guru BK
Salah satu kendala
paling mendasar dalam implementasi layanan BK adalah keterbatasan
jumlah guru BK yang ideal dalam satuan pendidikan. Menurut
ketentuan umum, rasio ideal antara guru BK dengan peserta didik adalah 1:150,
sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan
Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah¹. Namun, di banyak sekolah atau
madrasah, guru BK sering harus menangani 300 hingga 500 siswa, sehingga layanan
yang diberikan menjadi kurang personal dan tidak maksimal².
Selain dari segi
kuantitas, kualitas dan kompetensi profesional guru BK
juga masih menjadi perhatian. Tidak sedikit satuan pendidikan yang menugaskan
guru mata pelajaran sebagai guru BK karena kekosongan formasi, padahal mereka
tidak memiliki latar belakang akademik dalam bidang bimbingan dan konseling³.
Hal ini berimplikasi pada rendahnya mutu layanan yang diberikan serta
ketidakjelasan fungsi BK di sekolah.
6.2.
Minimnya Dukungan Kebijakan dan Anggaran
Layanan BK belum
sepenuhnya mendapat dukungan struktural dan kebijakan yang memadai dari
pengelola satuan pendidikan. Di banyak sekolah, program BK tidak diprioritaskan dalam
perencanaan anggaran dan hanya dilihat sebagai pelengkap dari
kegiatan pembelajaran. Akibatnya, kegiatan yang dirancang guru BK, seperti
pelatihan keterampilan sosial, seminar karier, atau layanan psikologis
preventif, tidak terlaksana karena keterbatasan dana operasional⁴.
Lebih jauh, tidak
semua kepala sekolah memiliki pemahaman yang utuh mengenai peran strategis BK
dalam pengembangan karakter dan keterampilan peserta didik. Kurangnya dukungan
manajerial ini menyebabkan guru BK sering bekerja sendiri tanpa kolaborasi
lintas bidang yang semestinya diperlukan⁵.
6.3.
Stigma Negatif terhadap Layanan BK
Di kalangan peserta
didik maupun orang tua, masih terdapat stigma bahwa layanan BK hanya diperuntukkan
bagi siswa yang bermasalah. Persepsi ini menyebabkan siswa
enggan datang ke ruang BK karena takut dicap negatif atau mengalami tekanan
sosial dari teman sebaya⁶. Akibatnya, fungsi pengembangan dan pencegahan yang
menjadi bagian penting dari layanan BK tidak berjalan optimal.
Stigma ini juga
menunjukkan adanya kesalahpahaman mendasar tentang fungsi BK,
yang seharusnya melayani semua siswa tanpa diskriminasi dan bersifat proaktif
dalam mengembangkan potensi, bukan sekadar reaktif terhadap masalah⁷.
6.4.
Keterbatasan Sarana, Prasarana, dan Teknologi
Banyak ruang BK di
sekolah atau madrasah tidak memenuhi standar kenyamanan dan kerahasiaan. Fasilitas
pendukung seperti ruang konseling privat, media bimbingan, alat tes psikologi,
dan perangkat digital masih terbatas, terutama di
sekolah-sekolah yang berada di daerah pinggiran atau pedesaan⁸.
Selain itu, dalam
era digital, belum semua guru BK mampu mengintegrasikan teknologi
informasi ke dalam praktik konseling, baik karena keterbatasan
infrastruktur maupun kurangnya pelatihan profesional. Padahal, pendekatan
digital seperti e-counseling sangat potensial untuk menjangkau generasi digital
native yang lebih responsif terhadap platform daring⁹.
6.5.
Kurangnya Supervisi dan Evaluasi Terpadu
Pelaksanaan layanan
BK sering kali tidak disertai dengan mekanisme supervisi dan evaluasi sistemik
dari pihak sekolah maupun pengawas eksternal. Ketiadaan evaluasi menyeluruh
menyebabkan layanan BK berjalan rutin, namun tidak berdampak signifikan
terhadap perkembangan peserta didik¹⁰. Akibatnya, perencanaan program tidak
berbasis data yang akurat, dan strategi layanan tidak diperbarui sesuai
dinamika kebutuhan siswa.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2014
tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbud, 2014), Pasal 5 ayat (1).
[2]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling: Teori dan Aplikasi dalam
Setting Pendidikan (Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2017), 73.
[3]
Yusuf, S. L., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2016), 142.
[4]
Gysbers, Norman C., dan Patricia Henderson, Developing and Managing
Your School Guidance and Counseling Program, 5th ed. (Alexandria, VA:
American Counseling Association, 2012), 115–116.
[5]
Surya, M., Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling di Sekolah
(Bandung: Alfabeta, 2005), 89–90.
[6]
Winkel, W. S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 57.
[7]
Corey, Gerald, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,
10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 213.
[8]
Gibson, Robert L., dan Marianne H. Mitchell, Introduction to
Counseling and Guidance, 7th ed. (Boston: Pearson, 2011), 102–104.
[9]
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 95–96.
[10]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Jakarta:
Direktorat Pembinaan SMA, 2016), 31–32.
7.
Praktik
Baik dan Inovasi dalam Layanan Bimbingan Konseling
Dalam menghadapi
dinamika kehidupan abad ke-21 serta kompleksitas permasalahan peserta didik,
layanan bimbingan konseling (BK) perlu terus berinovasi dan menyesuaikan
pendekatannya dengan kebutuhan zaman. Sejumlah praktik baik dan inovasi telah
terbukti efektif dalam mendukung implementasi Kurikulum 2013, khususnya dalam
penguatan karakter, kecakapan hidup, dan kesejahteraan psikososial siswa.
Praktik-praktik ini mencerminkan pemanfaatan pendekatan kolaboratif, teknologi
digital, serta metode kreatif dalam membangun layanan BK yang relevan dan
transformatif.
7.1.
Konseling Tematik Berbasis Nilai Karakter
Salah satu praktik
unggulan dalam layanan BK adalah penyelenggaraan konseling
tematik yang berbasis pada nilai-nilai karakter, seperti
kejujuran, tanggung jawab, toleransi, dan empati. Kegiatan ini biasanya
terintegrasi dalam program tahunan atau semesteran BK dan dirancang selaras
dengan tema-tema penguatan profil pelajar Pancasila.
Sebagai contoh, SMAN
1 Temanggung mengembangkan program “Konseling Karakter” dengan tema bulanan
yang disesuaikan dengan permasalahan aktual siswa, seperti cyberbullying,
krisis identitas, dan ketahanan mental saat ujian. Konselor memfasilitasi
diskusi, refleksi kelompok, dan simulasi sosial berbasis kasus nyata, yang
mendorong siswa berpikir kritis dan membentuk nilai-nilai kepribadian yang
kuat¹.
7.2.
Layanan BK Berbasis Teknologi (e-Counseling)
Transformasi digital
di dunia pendidikan telah melahirkan inovasi layanan BK berbasis teknologi atau
e-counseling.
Model ini memanfaatkan platform daring—seperti Google Form, WhatsApp, Telegram
Bot, hingga Learning Management System (LMS)—untuk menjangkau peserta didik
secara lebih fleksibel dan sesuai gaya komunikasi mereka².
SMK Negeri 1
Surakarta, misalnya, menerapkan sistem “Bimbingan Online Konselorku” yang
memungkinkan siswa membuat jadwal konseling, mengisi asesmen kebutuhan secara
mandiri, dan berinteraksi dengan guru BK melalui sistem terintegrasi. Inovasi
ini sangat membantu siswa yang enggan berkonsultasi secara langsung karena
hambatan emosional atau waktu³.
Selain itu, banyak
madrasah yang mengembangkan kanal edukatif BK di media sosial seperti Instagram
dan YouTube untuk menyampaikan pesan-pesan positif, tips manajemen stres, dan
bimbingan belajar⁴. Konten kreatif semacam ini sangat efektif dalam menjangkau
siswa secara informal namun edukatif.
7.3.
Peer Counseling: Penguatan Peran Teman Sebaya
Inovasi lain yang
menarik dalam praktik BK adalah pengembangan layanan konseling sebaya (peer counseling).
Program ini memanfaatkan potensi siswa yang telah dilatih secara khusus sebagai
teman curhat yang empatik, suportif, dan mampu menjadi jembatan komunikasi awal
bagi teman-temannya sebelum dirujuk ke guru BK⁵.
Kegiatan peer
counseling terbukti efektif untuk menciptakan budaya sekolah yang lebih terbuka
dan mendukung kesehatan mental, serta mengurangi stigma terhadap layanan BK.
Praktik ini juga memperkuat kompetensi sosial dan kepemimpinan siswa yang
terlibat dalam program, sejalan dengan pengembangan kecakapan abad 21⁶.
7.4.
Integrasi BK dengan Kegiatan Kokurikuler dan
Ekstrakurikuler
Sejumlah sekolah
telah menerapkan strategi integratif dengan menggabungkan layanan BK ke dalam kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler, seperti OSIS, pramuka,
kelompok minat bakat, dan keagamaan. Melalui pendekatan ini, konselor sekolah
tidak hanya berperan di ruang konseling, tetapi juga hadir dalam kegiatan
pembinaan karakter secara langsung.
Misalnya, kegiatan Leadership
Camp atau Student Development Training yang
difasilitasi guru BK di luar jam pelajaran reguler telah membantu siswa dalam
membangun kemandirian, tanggung jawab, dan keterampilan manajemen diri dalam
situasi nyata⁷.
7.5.
Kolaborasi Lintas Layanan dan Profesional
Inovasi layanan BK
juga tampak dalam praktik kolaboratif yang melibatkan profesional
eksternal, seperti psikolog, praktisi dunia kerja, relawan LSM,
maupun pihak kampus. Bentuk kolaborasi ini dapat berupa seminar karier,
pelatihan literasi digital, kampanye kesehatan mental, atau program pencegahan
perundungan.
Madrasah Aliyah di
Jawa Barat, misalnya, bekerja sama dengan komunitas psikologi kampus dan dinas
kesehatan untuk mengadakan “Bulan Konseling Remaja” yang menghadirkan berbagai
narasumber ahli dalam format seminar, talkshow, dan sesi curhat terbuka⁸.
Program semacam ini memperluas jangkauan layanan BK dan memberi siswa akses
terhadap sumber daya yang lebih beragam.
Footnotes
[1]
Winarni, Sri, “Model Konseling Karakter Berbasis Masalah Aktual,” Jurnal
Bimbingan dan Konseling 10, no. 2 (2021): 127–130.
[2]
Yusuf, S. L., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2016), 161–163.
[3]
Hartati, Nur, “Inovasi e-Counseling dalam Pelayanan Bimbingan di Masa
Pandemi,” Jurnal Konseling Indonesia 8, no. 1 (2021): 45–46.
[4]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling: Teori dan Aplikasi dalam
Setting Pendidikan (Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2017),
212–214.
[5]
Winkel, W. S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan
(Jakarta: Gramedia, 2004), 95–96.
[6]
Corey, Gerald, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,
10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 241.
[7]
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 123.
[8]
Kementerian Agama Republik Indonesia, Laporan Praktik Baik Madrasah
Ramah Anak 2022 (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2022), 34.
8.
Penutup
Layanan bimbingan
konseling (BK) memiliki posisi strategis dalam implementasi Kurikulum 2013
sebagai instrumen pengembangan diri yang berperan besar dalam membentuk
karakter, memperkuat kompetensi peserta didik, dan menyiapkan generasi yang
adaptif terhadap tantangan abad ke-21. Dengan pendekatan yang komprehensif dan
berkelanjutan, layanan BK mampu menjembatani integrasi antara aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang menjadi fokus utama kurikulum.
Pelaksanaan layanan
BK yang ideal harus berlandaskan pada kerangka yuridis yang kuat, seperti
diatur dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 dan Permendikbud Nomor 111 Tahun
2014, serta didukung oleh pemahaman filosofis yang humanistik, progresif, dan
berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara optimal¹. Hal ini
menempatkan BK tidak sekadar sebagai layanan remedial, tetapi sebagai sarana
pembinaan dan pemberdayaan diri peserta didik dalam rangka pembentukan manusia
seutuhnya sebagaimana amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional².
Secara fungsional,
layanan BK mendukung pengembangan kompetensi sikap (spiritual dan sosial),
pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik dan kecakapan hidup).
Dengan mengusung pendekatan perkembangan dan responsif, serta mengintegrasikan
inovasi digital seperti e-counseling, layanan ini menjadi semakin relevan dan
responsif terhadap kebutuhan generasi digital native³. Selain itu, keterlibatan
konselor dalam kegiatan kokurikuler dan kolaborasi lintas pihak memperkuat
fungsi layanan BK sebagai bagian integral dari ekosistem pendidikan yang sehat
dan inklusif⁴.
Namun demikian,
tantangan implementatif seperti keterbatasan guru BK, minimnya dukungan
struktural, stigma negatif dari peserta didik, serta kurangnya fasilitas masih
menjadi hambatan nyata. Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama dari
berbagai pemangku kepentingan, termasuk kepala sekolah, pengawas, orang tua,
dan pemerintah daerah untuk memperkuat posisi layanan BK dalam sistem
pendidikan nasional⁵. Supervisi, evaluasi berkala, serta peningkatan kapasitas
profesional guru BK menjadi langkah strategis untuk memperbaiki kualitas
layanan secara menyeluruh⁶.
Ke depan, layanan BK
diharapkan mampu bertransformasi menjadi garda terdepan dalam pengembangan
karakter, literasi emosional, dan kecakapan sosial peserta didik. Layanan ini
tidak hanya menjadi penopang akademik, tetapi juga penyangga ketahanan mental
dan moral generasi muda yang berdaya saing dan berakhlak mulia. Dengan
demikian, integrasi layanan BK dalam Kurikulum 2013 bukanlah sebuah pelengkap,
tetapi sebuah kebutuhan mutlak untuk mewujudkan pendidikan yang holistik,
transformatif, dan berkelanjutan⁷.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2013); Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta:
Kemendikbud, 2014).
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sekretariat Negara, 2003), Pasal 3.
[3]
Hartati, Nur, “Inovasi e-Counseling dalam Pelayanan Bimbingan di Masa
Pandemi,” Jurnal Konseling Indonesia 8, no. 1 (2021): 45–46.
[4]
Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 123.
[5]
Prayitno, Layanan Bimbingan dan Konseling: Teori dan Aplikasi dalam
Setting Pendidikan (Padang: Universitas Negeri Padang Press, 2017), 73.
[6]
Gysbers, Norman C., dan Patricia Henderson, Developing and Managing
Your School Guidance and Counseling Program, 5th ed. (Alexandria, VA:
American Counseling Association, 2012), 118.
[7]
Corey, Gerald, Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,
10th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 241.
Daftar Pustaka
Corey, G. (2017). Theory and practice of
counseling and psychotherapy (10th ed.). Cengage Learning.
Gibson, R. L., & Mitchell, M. H. (2011). Introduction
to counseling and guidance (7th ed.). Pearson.
Gysbers, N. C., & Henderson, P. (2012). Developing
and managing your school guidance and counseling program (5th ed.).
American Counseling Association.
Hartati, N. (2021). Inovasi e-counseling dalam
pelayanan bimbingan di masa pandemi. Jurnal Konseling Indonesia, 8(1),
45–46.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2022). Laporan
praktik baik madrasah ramah anak 2022. Direktorat KSKK Madrasah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Panduan operasional penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di sekolah. Direktorat Pembinaan SMA.
Muslich, M. (2011). Pendidikan karakter:
Menjawab tantangan krisis multidimensional. Bumi Aksara.
Prayitno. (2017). Layanan bimbingan dan
konseling: Teori dan aplikasi dalam setting pendidikan. Universitas Negeri
Padang Press.
Prayitno, & Amti, E. (2009). Dasar-dasar
bimbingan dan konseling. Rineka Cipta.
Republik Indonesia. (2003). Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sekretariat Negara.
Surya, M. (2005). Dasar-dasar bimbingan dan
konseling di sekolah. Alfabeta.
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st
century skills: Learning for life in our times. Jossey-Bass.
Winarni, S. (2021). Model konseling karakter
berbasis masalah aktual. Jurnal Bimbingan dan Konseling, 10(2),
127–130.
Winkel, W. S. (2004). Bimbingan dan konseling di
institusi pendidikan. Gramedia.
Yusuf, S. L. (2016). Psikologi perkembangan anak
dan remaja. Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar