Rabu, 09 Juli 2025

Kokurikuler: Kajian Konseptual dan Implementatif

Kokurikuler

Kajian Konseptual dan Implementatif


Alihkan ke: Kurikuler dalam Sistem Pendidikan di Indonesia.


Abstrak

Kegiatan kokurikuler merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pendidikan nasional yang berfungsi menjembatani antara pembelajaran teoritis di ruang kelas dengan pengalaman praktis dalam kehidupan nyata. Artikel ini mengkaji secara konseptual dan implementatif peran strategis kegiatan kokurikuler sebagai sarana penguatan kompetensi, karakter, dan keterampilan abad ke-21 peserta didik. Berangkat dari kerangka regulasi yang diatur dalam Kurikulum Merdeka, kegiatan kokurikuler tidak lagi diposisikan sebagai aktivitas tambahan, tetapi sebagai bagian integral dari proses pembelajaran yang kontekstual dan bermakna. Artikel ini juga menguraikan berbagai strategi implementasi, tantangan dan solusi, serta studi kasus praktik baik dari beberapa satuan pendidikan yang berhasil mengembangkan kegiatan kokurikuler secara efektif. Temuan kajian ini menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan kegiatan kokurikuler sangat dipengaruhi oleh integrasi dalam Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), kepemimpinan sekolah yang kolaboratif, kompetensi guru, serta pelibatan aktif peserta didik dan komunitas. Dengan pendekatan yang tepat, kegiatan kokurikuler berpotensi menjadi wahana pembelajaran transformatif yang mendorong lahirnya profil pelajar Pancasila yang berkarakter, adaptif, dan berdaya saing global.

Kata Kunci: kegiatan kokurikuler, Kurikulum Merdeka, pembelajaran kontekstual, profil pelajar Pancasila, strategi implementasi, praktik baik, pendidikan karakter, pendidikan transformative.


PEMBAHASAN

Kegiatan Kokurikuler sebagai Jembatan antara Teori dan Praktik dalam Pendidikan


1.           Pendahuluan

Pendidikan sebagai proses integral dalam pengembangan potensi peserta didik tidak hanya menekankan aspek akademik yang bersifat teoritis, tetapi juga harus memberikan ruang bagi pembentukan keterampilan praktis, sosial, dan karakter. Dalam konteks sistem pendidikan nasional Indonesia, kegiatan kurikuler dibagi menjadi tiga kategori utama: intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Intrakurikuler merupakan kegiatan pembelajaran utama yang bersifat formal dan berlangsung di kelas. Sementara itu, kegiatan ekstrakurikuler biasanya bersifat opsional dan berorientasi pada minat serta bakat siswa. Di antara keduanya, kegiatan kokurikuler hadir sebagai jembatan penting yang mengintegrasikan pembelajaran formal dengan aktivitas praktis yang mendalam dan kontekstual.

Dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, kegiatan kokurikuler diposisikan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran yang bertujuan memperkaya dan memperdalam pengalaman belajar peserta didik. Kegiatan ini dapat berupa proyek penguatan profil pelajar Pancasila, pembelajaran lintas disiplin, hingga kegiatan pengayaan materi yang bertujuan memperkuat pemahaman dan aplikasi konsep dalam kehidupan nyata¹.

Namun dalam praktiknya, kegiatan kokurikuler sering kali kurang mendapatkan perhatian yang seimbang dibandingkan kegiatan intrakurikuler. Ketimpangan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap terbentuknya kesenjangan antara apa yang dipelajari di kelas (teori) dan apa yang dibutuhkan di dunia nyata (praktik). Padahal, pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang mampu menjembatani kedua aspek tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh UNESCO dalam konsep four pillars of education yang mencakup learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be².

Lebih lanjut, kegiatan kokurikuler dinilai mampu memperkuat pembelajaran holistik dan kontekstual, sejalan dengan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka yang menekankan pada student agency, diferensiasi, dan pembelajaran berbasis proyek. Melalui kegiatan kokurikuler, siswa tidak hanya diberi ruang untuk memperluas wawasan mereka, tetapi juga untuk mengembangkan soft skills seperti kepemimpinan, kolaborasi, komunikasi, dan tanggung jawab sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kokurikuler bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian penting dari pendidikan yang berkualitas dan berorientasi masa depan.

Dengan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan mengkaji secara mendalam konsep, implementasi, dan peran strategis kegiatan kokurikuler dalam sistem pendidikan Indonesia. Kajian ini juga akan menyoroti tantangan dan solusi dalam pelaksanaannya, serta menyajikan contoh praktik baik sebagai referensi implementatif. Harapannya, artikel ini dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan kebijakan pendidikan yang lebih komprehensif dan transformatif.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 7.

[2]                UNESCO, Learning: The Treasure Within—Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-First Century (Paris: UNESCO Publishing, 1996), 86–89.


2.           Konsep Dasar Kegiatan Kokurikuler

Kegiatan kokurikuler merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan nasional yang berfungsi sebagai penghubung antara kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Secara konseptual, kegiatan kokurikuler dirancang untuk memperkaya, memperdalam, dan memperluas pembelajaran formal yang diperoleh siswa dalam kegiatan intrakurikuler. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari strategi pendidikan yang terintegrasi dan holistik, sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024, bahwa kegiatan kokurikuler termasuk ke dalam kegiatan kurikuler yang dilaksanakan di dalam maupun di luar kelas dan mendukung pencapaian kompetensi peserta didik secara utuh¹.

Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, kegiatan kokurikuler dimaknai sebagai bagian dari pembelajaran yang fleksibel dan kontekstual, yang memungkinkan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses belajar melalui pendekatan berbasis proyek, pembelajaran lintas disiplin, dan aktivitas reflektif. Salah satu bentuk nyata dari kegiatan ini adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik melalui kegiatan kolaboratif, eksploratif, dan kontekstual².

Menurut Sutrisno dan Ghofur, kegiatan kokurikuler memiliki fungsi sebagai media pengayaan dan remedial yang bertujuan untuk menyesuaikan kebutuhan belajar individu, termasuk pengembangan minat khusus siswa terhadap materi pelajaran tertentu³. Dengan demikian, kegiatan ini memberikan ruang untuk diferensiasi pembelajaran yang penting dalam pengembangan potensi peserta didik.

Dari sudut pandang pedagogis, kegiatan kokurikuler dipandang sebagai bentuk konkret dari pendekatan experiential learning, yaitu pembelajaran yang menekankan pada pengalaman langsung sebagai sumber utama pengetahuan⁴. Dalam konteks ini, siswa tidak hanya menjadi objek belajar, tetapi juga subjek aktif yang mampu mengeksplorasi, mengonstruksi, dan menerapkan pengetahuan yang telah dipelajarinya dalam kehidupan nyata.

Selain itu, kegiatan kokurikuler berperan penting dalam pembentukan karakter dan keterampilan sosial siswa. Melalui kegiatan seperti diskusi kelompok, simulasi, presentasi, riset kecil, atau kunjungan edukatif, siswa diajak untuk mengembangkan keterampilan komunikasi, kolaborasi, empati, dan kepemimpinan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tidak hanya menekankan penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan mampu hidup dalam masyarakat⁵.

Secara keseluruhan, kegiatan kokurikuler merupakan strategi pendidikan yang menjembatani celah antara pengetahuan teoritis yang diperoleh dari pembelajaran formal dan penerapannya dalam konteks praktis. Ia membantu memastikan bahwa pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga terwujud dalam tindakan nyata yang bermakna bagi peserta didik.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 6–7.

[2]                Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 22–25.

[3]                Sutrisno dan Abd. Ghofur, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 141.

[4]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (New Jersey: Prentice Hall, 1984), 38–42.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.


3.           Landasan Yuridis dan Filosofis

3.1.       Landasan Yuridis

Secara hukum, kegiatan kokurikuler merupakan bagian yang sah dan diakui dalam struktur kurikulum pendidikan nasional Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional¹. Di dalamnya, ruang untuk kegiatan kokurikuler terbuka luas sebagai upaya pelengkap dan penguat pencapaian tujuan kurikulum.

Lebih lanjut, Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 mengklasifikasikan kegiatan kokurikuler sebagai bagian dari kegiatan kurikuler yang mendukung pembelajaran intrakurikuler. Dalam pasal-pasal awalnya ditegaskan bahwa kegiatan pembelajaran tidak hanya dilaksanakan secara tatap muka dalam bentuk konvensional, tetapi juga melalui pendekatan berbasis proyek, penguatan karakter, dan kegiatan reflektif, yang semuanya dapat dikembangkan melalui skema kokurikuler². Hal ini sekaligus memperluas paradigma pendidikan dari yang berorientasi semata pada konten, menjadi berorientasi pada kompetensi, nilai, dan pengalaman bermakna.

Sebagai tambahan, Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (meskipun kemudian dicabut dan direvisi), memberikan dasar bahwa pembelajaran harus disusun untuk menjamin perkembangan karakter dan kompetensi siswa secara menyeluruh melalui pendekatan pembelajaran aktif dan kontekstual³. Dalam konteks tersebut, kegiatan kokurikuler memiliki posisi strategis sebagai instrumen pembelajaran aktif yang mampu menyeimbangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa.

3.2.       Landasan Filosofis

Dari sisi filosofis, kegiatan kokurikuler berpijak pada pandangan bahwa pendidikan harus bersifat holistik, memanusiakan manusia secara utuh, dan membekali peserta didik tidak hanya dengan pengetahuan, tetapi juga dengan nilai, keterampilan, serta sikap hidup yang relevan dengan tantangan zaman. Gagasan ini sejalan dengan filsafat progresivisme pendidikan yang menekankan pentingnya pengalaman nyata, pemecahan masalah, dan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar⁴. Kegiatan kokurikuler, dengan pendekatan proyek dan kolaboratifnya, merupakan wujud konkret dari penerapan progresivisme tersebut dalam sistem pendidikan modern.

Selanjutnya, kegiatan kokurikuler juga sejalan dengan pendekatan konstruktivisme, yang berpandangan bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungan dan pengalamannya. Dalam kegiatan kokurikuler, siswa diberi ruang untuk mengalami, mengeksplorasi, dan merefleksikan makna dari pembelajaran yang dialaminya secara langsung, sehingga pemahaman yang diperoleh menjadi lebih dalam dan tahan lama⁵.

Dari perspektif nilai-nilai luhur bangsa, kegiatan kokurikuler juga dapat dianggap sebagai sarana internalisasi nilai-nilai Pancasila. Melalui proyek berbasis profil pelajar Pancasila, seperti gotong royong, peduli lingkungan, dan kebhinekaan global, siswa tidak hanya belajar secara teoritis, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata⁶.

Dengan demikian, landasan yuridis dan filosofis kegiatan kokurikuler sangat kuat dan relevan. Ia tidak hanya sah menurut hukum dan kebijakan pendidikan, tetapi juga memiliki dasar filosofis yang mendorong terbentuknya manusia Indonesia yang utuh, adaptif, dan berkarakter. Keberadaan kegiatan ini harus dipandang bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai elemen kunci dalam mewujudkan pendidikan yang berdaya transformatif.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 Ayat (19).

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 6 dan 7.

[3]                Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara, 2021), Pasal 10.

[4]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–30.

[5]                Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New York: International Universities Press, 1952), 63–68.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 10–18.


4.           Bentuk dan Ragam Kegiatan Kokurikuler

Dalam sistem pendidikan Indonesia, kegiatan kokurikuler mencakup beragam bentuk aktivitas yang dirancang untuk memperkuat dan memperluas pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran yang diperoleh melalui kegiatan intrakurikuler. Bentuk dan ragam kegiatan kokurikuler disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan kompetensi siswa, konteks satuan pendidikan, serta tujuan kurikulum nasional. Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 menegaskan bahwa kegiatan kokurikuler merupakan bagian dari proses pembelajaran yang dilakukan untuk menguatkan karakter dan kompetensi siswa, serta dapat diimplementasikan dalam bentuk kegiatan berbasis proyek, pengayaan, maupun remedial¹.

4.1.       Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Salah satu bentuk utama kegiatan kokurikuler dalam Kurikulum Merdeka adalah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Kegiatan ini berfokus pada penguatan nilai-nilai karakter seperti gotong royong, kemandirian, dan kebhinekaan global, yang diaktualisasikan melalui tema-tema kontekstual seperti gaya hidup berkelanjutan, kewirausahaan, dan budaya lokal. P5 bersifat lintas disiplin dan menggunakan pendekatan berbasis proyek, sehingga mendorong peserta didik untuk terlibat aktif dalam merancang, melaksanakan, dan merefleksikan pembelajaran mereka².

Dalam implementasinya, P5 memberi ruang bagi siswa untuk membangun kompetensi sosial-emosional dan keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Dengan demikian, kegiatan ini tidak hanya melatih kecakapan akademik, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan dan kepekaan sosial secara konkret³.

4.2.       Kegiatan Pengayaan dan Pendalaman Materi

Bentuk kokurikuler lainnya adalah pengayaan dan pendalaman materi yang ditujukan untuk siswa yang memiliki minat tinggi atau menunjukkan potensi dalam bidang tertentu. Kegiatan ini bisa berupa kelas tambahan, klub sains, kelompok diskusi, pembacaan pustaka, atau pelatihan olimpiade sains. Tujuannya adalah untuk memperluas cakrawala pengetahuan siswa melampaui batas kurikulum dasar yang diajarkan di kelas⁴.

Menurut Sutrisno dan Ghofur, kegiatan pengayaan memiliki fungsi utama dalam mendukung diferensiasi pembelajaran, yakni menyediakan tantangan yang sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing peserta didik⁵. Dalam konteks pendidikan berkeadilan, pengayaan menjadi sarana penting untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa berbakat.

4.3.       Kegiatan Remedial Terstruktur

Sebaliknya, bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar, kegiatan remedial dirancang sebagai bentuk kokurikuler yang memberikan kesempatan untuk mengulang, memperbaiki, dan memperdalam pemahaman materi yang belum tuntas. Kegiatan ini dilakukan secara terstruktur, baik melalui pendampingan guru, peer teaching, maupun pembelajaran berbasis teknologi yang adaptif⁶.

Remedial tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga bersifat pedagogis, dalam arti membantu siswa membangun kembali kepercayaan diri dan motivasi untuk belajar. Dengan adanya kegiatan ini, pendidikan inklusif dan berpusat pada peserta didik dapat diwujudkan secara nyata.

4.4.       Kegiatan Tematik dan Lintas Disiplin

Kegiatan kokurikuler juga dapat dikembangkan melalui pembelajaran lintas disiplin yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran dalam satu proyek tematik. Misalnya, proyek tentang “ketahanan pangan lokal” dapat melibatkan pembelajaran dari mata pelajaran biologi (pertanian), ekonomi (produksi dan distribusi), serta bahasa Indonesia (penulisan laporan atau kampanye). Model ini selaras dengan pendekatan interdisciplinary learning yang terbukti efektif dalam membangun kemampuan berpikir sistemik dan integratif⁷.

4.5.       Ekskursi Edukatif dan Observasi Lapangan

Beberapa sekolah juga menerapkan ekskursi edukatif sebagai bentuk kokurikuler, di mana peserta didik melakukan kunjungan ke institusi pemerintah, museum, pabrik, atau lokasi-lokasi yang relevan dengan materi pelajaran. Kegiatan ini memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaitkan teori dengan realitas sosial dan dunia kerja. Observasi lapangan ini juga dapat menjadi sumber refleksi kritis yang membangun kesadaran kontekstual siswa terhadap isu-isu masyarakat⁸.

4.6.       Lomba Akademik dan Kegiatan Presentasi

Kegiatan seperti lomba karya tulis ilmiah, debat, presentasi hasil riset mini, atau simulasi sidang merupakan bentuk lain dari kegiatan kokurikuler yang mendorong siswa mengasah kemampuan berpikir logis, menyampaikan ide secara sistematis, serta mengaplikasikan ilmu dalam konteks kompetitif yang sehat. Kegiatan ini juga memberi ruang untuk pengembangan kepercayaan diri dan keterampilan berbicara di depan publik.


Secara umum, bentuk dan ragam kegiatan kokurikuler sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan visi satuan pendidikan, karakteristik peserta didik, serta tantangan zaman. Semakin beragam dan bermakna bentuk kegiatan yang diimplementasikan, semakin besar pula potensi kegiatan kokurikuler dalam menjembatani teori dan praktik dalam pendidikan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 6–7.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 30–35.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbud, 2021), 10–18.

[4]                Zainal Aqib, Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif) (Bandung: Yrama Widya, 2016), 142.

[5]                Sutrisno dan Abd. Ghofur, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Yogyakarta: Deepublish, 2019), 143.

[6]                Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 221–225.

[7]                Beane, James A., Curriculum Integration: Designing the Core of Democratic Education (New York: Teachers College Press, 1997), 35–38.

[8]                Mulyasa, E., Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), 156–158.


5.           Peran Kokurikuler dalam Pengembangan Kompetensi Siswa

Kegiatan kokurikuler memiliki peran yang sangat penting dalam memperkuat proses pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan konten, tetapi juga pada pengembangan kompetensi siswa secara menyeluruh. Dalam konteks Kurikulum Merdeka dan tuntutan global abad ke-21, pengembangan kompetensi utuh meliputi aspek kognitif (pengetahuan), afektif (nilai dan sikap), dan psikomotorik (keterampilan)¹. Kegiatan kokurikuler dirancang untuk menghadirkan ruang belajar yang mendorong keterlibatan aktif peserta didik dalam proses internalisasi dan aktualisasi kompetensi tersebut secara konkret.

5.1.       Penguatan Kompetensi Abad ke-21 (4C)

Salah satu kontribusi utama kegiatan kokurikuler adalah mendukung pengembangan kompetensi abad ke-21, khususnya dalam aspek 4C: critical thinking, creativity, collaboration, dan communication. Melalui kegiatan seperti proyek kolaboratif, debat ilmiah, pengamatan lapangan, dan simulasi, siswa terlatih untuk memecahkan masalah secara kritis, mengekspresikan gagasan secara kreatif, bekerja dalam tim, dan berkomunikasi secara efektif².

Kegiatan kokurikuler tidak hanya menjadi ruang praktik dari teori yang telah dipelajari, tetapi juga merupakan wahana untuk membentuk kesiapan siswa menghadapi tantangan nyata di masyarakat dan dunia kerja. Hal ini sejalan dengan panduan OECD Future of Education and Skills 2030, yang menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk pelajar yang memiliki kompetensi global, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan yang cepat³.

5.2.       Menghubungkan Teori dengan Praktik

Peran kokurikuler sebagai jembatan antara teori dan praktik tampak jelas dalam pendekatan experiential learning, yang menempatkan pengalaman langsung sebagai sumber utama pembelajaran. Ketika siswa melakukan proyek berbasis riset, kunjungan lapangan, atau kegiatan praktik lintas disiplin, mereka tidak hanya memahami konsep secara pasif, tetapi menguji dan mengaplikasikan teori tersebut dalam situasi nyata⁴.

Misalnya, dalam kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), siswa tidak sekadar mempelajari nilai gotong royong, tetapi mempraktikkannya melalui kerja tim dalam proyek komunitas. Dengan cara ini, kegiatan kokurikuler berfungsi sebagai ruang transfer belajar dari lingkungan sekolah ke kehidupan sosial yang lebih luas⁵.

5.3.       Pembentukan Karakter dan Kemandirian Belajar

Salah satu tujuan utama pendidikan nasional adalah pembentukan karakter peserta didik yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta memiliki kemandirian dan tanggung jawab sosial⁶. Kegiatan kokurikuler menjadi wahana penting dalam mencapai tujuan ini karena melibatkan siswa dalam pengalaman yang membutuhkan disiplin diri, empati, kepedulian, dan kerja sama.

Melalui keterlibatan aktif dalam proyek sosial, program literasi, atau kegiatan tematik, siswa belajar untuk mengambil inisiatif, mengelola waktu, dan menyelesaikan tugas secara mandiri. Di sisi lain, interaksi dalam kelompok melatih siswa untuk menghargai perbedaan, bernegosiasi, dan membangun konsensus. Dengan kata lain, kokurikuler memperkuat nilai-nilai sosial dan moral yang mendukung proses pendidikan karakter secara berkelanjutan⁷.

5.4.       Mendorong Pembelajaran Kontekstual dan Berbasis Minat

Peran kokurikuler juga sangat krusial dalam mengembangkan pembelajaran yang berbasis minat dan kontekstual. Kegiatan ini memberikan fleksibilitas kepada siswa untuk mengeksplorasi bidang yang mereka sukai secara lebih dalam, sekaligus mengaitkannya dengan situasi dan kebutuhan nyata di lingkungan mereka.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sejati adalah pendidikan yang “memerdekakan”—yakni memberi ruang bagi setiap anak untuk berkembang sesuai kodrat alam dan zamannya⁸. Kegiatan kokurikuler, dengan pendekatannya yang partisipatif dan kontekstual, merupakan wujud nyata dari prinsip ini. Siswa yang belajar melalui pengalaman yang relevan dengan kehidupannya akan lebih termotivasi, lebih terlibat secara emosional, dan lebih mudah mencapai pemahaman yang bermakna.

5.5.       Menumbuhkan Kompetensi Profil Pelajar Pancasila

Kurikulum Merdeka menetapkan Profil Pelajar Pancasila sebagai orientasi utama pendidikan di Indonesia. Enam dimensi profil tersebut mencakup: beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, mandiri, gotong royong, bernalar kritis, kreatif, serta berkebhinekaan global. Kegiatan kokurikuler, khususnya melalui P5, menjadi sarana efektif untuk menumbuhkan kompetensi tersebut secara terpadu.

Sebagai contoh, kegiatan proyek kewirausahaan sosial bukan hanya melatih siswa mengelola usaha kecil, tetapi juga menanamkan nilai empati, kemandirian, dan kemampuan berpikir inovatif. Dengan pendekatan yang demikian, kegiatan kokurikuler memperkuat learning outcomes yang relevan secara moral, sosial, dan ekonomi dalam jangka panjang⁹.


Dengan segala perannya tersebut, kegiatan kokurikuler tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap pembelajaran, tetapi menjadi strategi utama dalam membentuk siswa yang kompeten secara akademik, cakap dalam kehidupan sosial, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Maka dari itu, kegiatan ini perlu dirancang secara terintegrasi, berkelanjutan, dan didukung penuh oleh seluruh elemen pendidikan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–11.

[2]                Trilling, Bernie, and Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 50–62.

[3]                OECD, Future of Education and Skills 2030: OECD Learning Compass (Paris: OECD Publishing, 2020), 6–9.

[4]                David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (New Jersey: Prentice Hall, 1984), 36–42.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbud, 2021), 16–22.

[6]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

[7]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–50.

[8]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 2009), 32.

[9]                Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Panduan Pelaksanaan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 5–9.


6.           Strategi Implementasi Kegiatan Kokurikuler di Satuan Pendidikan

Keberhasilan kegiatan kokurikuler sangat bergantung pada strategi implementasi yang terencana, terukur, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di satuan pendidikan. Implementasi yang efektif membutuhkan sinergi antara visi kelembagaan, kesiapan sumber daya, kebijakan kurikulum operasional, serta kultur partisipatif di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, kegiatan kokurikuler tidak dapat dipandang sebagai aktivitas insidental, melainkan harus menjadi bagian integral dari sistem pembelajaran yang menyeluruh.

6.1.       Integrasi dalam Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP)

Langkah strategis pertama dalam implementasi kegiatan kokurikuler adalah mengintegrasikannya secara eksplisit dalam dokumen Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP). Dalam Panduan Pengembangan KOSP yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek, dinyatakan bahwa satuan pendidikan perlu merancang kegiatan kokurikuler sebagai bagian dari kebijakan pembelajaran dan penguatan karakter, dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa, konteks lokal, dan visi misi sekolah¹.

Kegiatan kokurikuler seperti Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), pengayaan materi, dan kegiatan remedial harus dijabarkan dalam struktur program tahunan dan rencana pembelajaran sebagai bagian dari pembelajaran tematik atau lintas disiplin. Penyusunan KOSP berbasis partisipasi—yang melibatkan guru, siswa, dan komite sekolah—akan memastikan bahwa kegiatan kokurikuler selaras dengan kebutuhan riil di satuan pendidikan.

6.2.       Peran Kepemimpinan Sekolah dan Manajemen Kegiatan

Implementasi kokurikuler menuntut kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dan kolaboratif. Kepala sekolah berperan sebagai manajer pembelajaran yang tidak hanya memastikan keberlangsungan proses intrakurikuler, tetapi juga memberikan ruang dan dukungan terhadap pengembangan kegiatan kokurikuler yang berkualitas².

Menurut Mulyasa, keberhasilan program kokurikuler ditentukan oleh tiga faktor utama: komitmen pimpinan sekolah, kesiapan tim pelaksana, dan keberadaan sistem manajemen yang akuntabel³. Kepala sekolah perlu membentuk tim khusus yang bertugas merancang, mengoordinasikan, dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan kokurikuler secara periodik. Tim ini bisa melibatkan guru pembimbing, wali kelas, dan perwakilan siswa agar kegiatan yang disusun benar-benar relevan dan membangun.

6.3.       Keterlibatan Guru sebagai Fasilitator dan Mentor

Dalam konteks pembelajaran transformatif, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga fasilitator, pembimbing, dan mentor dalam kegiatan kokurikuler. Guru bertanggung jawab dalam merancang aktivitas berbasis proyek, menyesuaikannya dengan capaian pembelajaran, serta mendampingi siswa dalam eksplorasi dan refleksi kegiatan mereka⁴.

Kegiatan kokurikuler juga memberi ruang bagi guru untuk mengembangkan kreativitas dalam merancang metode pembelajaran yang kontekstual dan partisipatif. Oleh karena itu, pelatihan dan peningkatan kapasitas guru melalui komunitas belajar atau in-house training menjadi hal yang penting dalam strategi implementasi⁵.

6.4.       Kolaborasi dengan Orang Tua dan Komunitas

Pelibatan orang tua dan masyarakat merupakan elemen penting dalam strategi penguatan kegiatan kokurikuler. Permendikbud No. 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan menegaskan bahwa keluarga memiliki peran strategis dalam mendukung pengembangan karakter dan potensi siswa melalui partisipasi aktif dalam kegiatan sekolah⁶.

Satuan pendidikan dapat menjalin kemitraan dengan organisasi masyarakat, dunia usaha, atau instansi pemerintah sebagai narasumber, tempat magang, atau mitra proyek berbasis komunitas. Dengan cara ini, kegiatan kokurikuler menjadi lebih relevan dengan konteks nyata dan memperluas wawasan siswa terhadap dunia di luar sekolah.

6.5.       Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi Digital

Pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi bagian dari strategi implementasi yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Platform digital dapat digunakan untuk merancang, mendokumentasikan, dan mengevaluasi kegiatan kokurikuler, seperti melalui e-portfolio, aplikasi pembelajaran berbasis proyek, atau forum diskusi daring.

Teknologi memungkinkan personalisasi pembelajaran dan memberi akses pada sumber belajar yang lebih luas. Dalam konteks pandemi dan pasca-pandemi, strategi ini terbukti meningkatkan partisipasi dan fleksibilitas siswa dalam menjalankan aktivitas kokurikuler secara mandiri⁷.

6.6.       Evaluasi dan Refleksi Berbasis Otentik

Kegiatan kokurikuler perlu dievaluasi secara sistematis, bukan hanya dari segi keterlibatan siswa, tetapi juga dalam hal pencapaian tujuan kompetensi dan karakter. Evaluasi sebaiknya bersifat otentik, berbasis proses, dan mencakup asesmen formatif serta umpan balik reflektif dari siswa⁸.

Guru dapat menggunakan rubrik penilaian, jurnal refleksi, laporan proyek, atau presentasi hasil sebagai alat untuk menilai ketercapaian kompetensi peserta didik. Evaluasi juga perlu mencakup pengembangan keterampilan non-akademik seperti kepemimpinan, kemandirian, dan kolaborasi.


Dengan menerapkan strategi implementasi yang komprehensif sebagaimana dijelaskan di atas, kegiatan kokurikuler dapat berkembang menjadi komponen pendidikan yang benar-benar hidup, bermakna, dan berkontribusi signifikan dalam pembentukan profil pelajar yang utuh dan berdaya saing.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 12–18.

[2]                L. Stoll dan D. Fink, Changing Our Schools: Linking School Effectiveness and School Improvement (Buckingham: Open University Press, 1996), 44–46.

[3]                E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 133.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 145–147.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Komunitas Belajar Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: Direktorat Jenderal GTK, 2020), 6–10.

[6]                Republik Indonesia, Permendikbud No. 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 3.

[7]                Ahmad S. Sugiharto, Inovasi Digital dalam Pendidikan Pasca Pandemi (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2021), 56–60.

[8]                Grant Wiggins dan Jay McTighe, Understanding by Design (Alexandria: ASCD, 2005), 88–93.


7.           Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan Kegiatan Kokurikuler

Meskipun kegiatan kokurikuler memiliki potensi besar dalam menjembatani pembelajaran teoritis dan praktis, pelaksanaannya di satuan pendidikan tidak jarang menghadapi berbagai kendala. Tantangan tersebut dapat bersifat struktural, kultural, teknis, maupun pedagogis. Untuk mengoptimalkan manfaat kegiatan kokurikuler, diperlukan strategi penyelesaian yang tepat dan kontekstual, berdasarkan prinsip-prinsip regulasi dan praktik pendidikan yang efektif.

7.1.       Tantangan Pelaksanaan

1)                  Kurangnya Pemahaman dan Komitmen Stakeholder

Salah satu tantangan utama adalah masih terbatasnya pemahaman para pemangku kepentingan pendidikan—terutama guru, kepala sekolah, dan orang tua—terhadap makna dan fungsi strategis kegiatan kokurikuler. Banyak yang menganggap kegiatan ini sebagai tambahan semata atau pengisi waktu luang, bukan bagian integral dari pembelajaran⁽¹⁾. Akibatnya, dukungan terhadap pelaksanaan kegiatan kokurikuler seringkali minim dari aspek anggaran, kebijakan, maupun integrasi dalam perencanaan kurikulum.

2)                  Keterbatasan Sumber Daya

Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana dalam menjalankan kegiatan kokurikuler. Guru sering kali dibebani tugas administratif, sehingga waktu dan energinya untuk merancang kegiatan kokurikuler menjadi terbatas⁽²⁾. Di samping itu, kurangnya akses terhadap pelatihan atau pendampingan teknis membuat implementasi kegiatan cenderung bersifat monoton dan tidak inovatif.

3)                  Kurikulum yang Belum Terintegrasi Optimal

Meski secara regulasi kegiatan kokurikuler telah diakui sebagai bagian dari pembelajaran, masih banyak satuan pendidikan yang belum mengintegrasikannya secara sistematis ke dalam Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP). Hal ini menyebabkan kegiatan kokurikuler berjalan tanpa arah yang jelas, tidak terukur, dan tidak sinkron dengan tujuan capaian pembelajaran yang telah ditetapkan⁽³⁾.

4)                  Evaluasi yang Lemah dan Tidak Berbasis Otentik

Kegiatan kokurikuler sering kali tidak dilengkapi dengan sistem evaluasi yang memadai. Penilaian cenderung bersifat administratif atau hanya mencatat keikutsertaan siswa, tanpa menilai aspek proses dan pencapaian kompetensi secara mendalam. Padahal, evaluasi yang baik sangat penting untuk mengetahui efektivitas kegiatan dalam membentuk karakter, keterampilan, dan nilai⁽⁴⁾.

5)                  Minimnya Partisipasi dan Motivasi Siswa

Tantangan lainnya adalah kurangnya minat dan partisipasi siswa dalam kegiatan kokurikuler. Hal ini bisa disebabkan oleh pendekatan yang kurang menarik, waktu pelaksanaan yang tidak sesuai, atau materi kegiatan yang tidak kontekstual. Ketika siswa tidak merasa memiliki atau terlibat aktif dalam proses perencanaan kegiatan, maka motivasi mereka pun cenderung rendah⁽⁵⁾.

7.2.       Solusi Strategis

1)                  Penguatan Literasi Kurikulum dan Sosialisasi Internal

Solusi awal adalah memperkuat pemahaman seluruh warga sekolah tentang posisi dan fungsi strategis kegiatan kokurikuler melalui pelatihan, lokakarya, dan forum diskusi. Kepala sekolah dapat memfasilitasi in-house training untuk membangun kesamaan visi dalam mengembangkan kegiatan yang bermakna dan terintegrasi⁽⁶⁾. Penyusunan kebijakan sekolah yang mengafirmasi pentingnya kokurikuler juga akan meningkatkan komitmen bersama.

2)                  Pemberdayaan Guru dan Optimalisasi Peran Tim Pelaksana

Satuan pendidikan perlu membentuk tim pelaksana kegiatan kokurikuler yang terdiri atas guru-guru dari berbagai bidang studi yang kompeten dan kreatif. Tim ini bertugas menyusun rencana kegiatan, mengembangkan modul, mengoordinasi pelaksanaan, dan melakukan evaluasi secara berkala. Guru sebagai fasilitator juga perlu diberi ruang inovasi dan penguatan kompetensi melalui pelatihan berbasis proyek⁽⁷⁾.

3)                  Integrasi dalam KOSP dan Penyusunan Program yang Kontekstual

Untuk menghindari kegiatan kokurikuler yang berjalan sporadis, sekolah perlu mengintegrasikan kegiatan ini ke dalam KOSP secara sistematik, baik dalam bentuk tema proyek, pengayaan, maupun kegiatan tematik tahunan. Program kegiatan hendaknya disusun berdasarkan kebutuhan siswa, potensi lokal, dan isu kontekstual yang relevan dengan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila⁽⁸⁾.

4)                  Pengembangan Sistem Evaluasi Otentik dan Reflektif

Evaluasi kegiatan kokurikuler perlu berbasis pada asesmen otentik yang mencerminkan proses, partisipasi aktif, hasil proyek, serta kemampuan reflektif siswa. Instrumen penilaian seperti jurnal kegiatan, portofolio proyek, rubrik observasi, dan presentasi hasil dapat digunakan untuk menilai capaian siswa secara lebih komprehensif dan bermakna⁽⁹⁾.

5)                  Partisipasi Siswa dan Kolaborasi dengan Lingkungan

Untuk meningkatkan partisipasi siswa, sekolah dapat menerapkan pendekatan student agency, yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut merancang, memilih, dan mengevaluasi kegiatan kokurikuler. Sementara itu, kolaborasi dengan orang tua dan mitra eksternal seperti komunitas lokal, dunia usaha, atau lembaga pemerintah akan memperkaya bentuk kegiatan dan memperkuat nilai keterhubungan sosial⁽¹⁰⁾.


Dengan memahami tantangan-tantangan tersebut secara objektif dan menerapkan solusi yang tepat, satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kegiatan kokurikuler sebagai wahana pembelajaran kontekstual yang tidak hanya memperkuat akademik, tetapi juga karakter, nilai, dan keterampilan hidup peserta didik.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 11–12.

[2]                E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 136.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 14–17.

[4]                Grant Wiggins dan Jay McTighe, Understanding by Design (Alexandria: ASCD, 2005), 89–91.

[5]                Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 74.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Komunitas Belajar Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: Direktorat Jenderal GTK, 2020), 9.

[7]                Zainal Aqib, Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Bandung: Yrama Widya, 2016), 137.

[8]                Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Panduan Pelaksanaan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 6–9.

[9]                Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 226–228.

[10]             Republik Indonesia, Permendikbud No. 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4–5.


8.           Studi Kasus atau Praktik Baik

Untuk membuktikan bahwa kegiatan kokurikuler dapat berfungsi sebagai jembatan antara teori dan praktik dalam pendidikan, diperlukan contoh konkret praktik baik dari satuan pendidikan yang berhasil mengimplementasikannya secara efektif. Studi kasus berikut diambil dari beberapa sekolah yang telah mendapatkan apresiasi nasional maupun regional atas inovasi mereka dalam pengembangan kegiatan kokurikuler yang kontekstual, kolaboratif, dan transformatif.

8.1.       Studi Kasus 1: SMP Negeri 2 Tenggarong – Proyek Berbasis Kearifan Lokal

SMP Negeri 2 Tenggarong, Kalimantan Timur, melaksanakan kegiatan kokurikuler berupa Proyek Pemetaan Budaya Lokal yang mengintegrasikan pembelajaran IPS, Bahasa Indonesia, dan Seni Budaya. Siswa diajak melakukan eksplorasi langsung ke lingkungan sekitar untuk mendokumentasikan tarian, kuliner, dan adat istiadat Dayak Kutai. Proyek ini dilakukan dalam bentuk wawancara, observasi, dan penyusunan laporan hasil belajar berbasis portofolio⁽¹⁾.

Kegiatan ini terbukti meningkatkan pemahaman siswa terhadap keragaman budaya serta melatih kemampuan riset sederhana. Dari segi nilai, siswa belajar menghargai identitas lokal sebagai bagian dari kebhinekaan nasional. Proyek ini juga dinilai berhasil mengembangkan kompetensi Profil Pelajar Pancasila, khususnya pada dimensi berkebinekaan global dan kreatif, sebagaimana ditegaskan dalam panduan pelaksanaan proyek⁽²⁾.

8.2.       Studi Kasus 2: SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta – Proyek Kewirausahaan Sosial

SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta menerapkan kegiatan kokurikuler berupa Proyek Sociopreneur Muda, di mana siswa dari berbagai jurusan dilibatkan dalam merancang dan menjalankan usaha kecil yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Dalam salah satu proyek, siswa mengembangkan produk minuman herbal dari limbah dapur keluarga, bekerja sama dengan komunitas ibu rumah tangga di sekitar sekolah⁽³⁾.

Kegiatan ini melibatkan pembelajaran lintas mata pelajaran seperti Biologi, Ekonomi, Bahasa Inggris, dan Informatika (untuk promosi daring). Proyek ini tidak hanya mengembangkan keterampilan kewirausahaan dan inovasi produk, tetapi juga membangun kesadaran sosial dan kepedulian terhadap lingkungan. Menurut guru pembimbing, siswa yang semula pasif menjadi lebih percaya diri dan proaktif dalam menyelesaikan tantangan nyata⁽⁴⁾.

Model seperti ini sejalan dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan berbasis proyek (project-based learning), sebagaimana direkomendasikan dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen dari Kemendikbudristek⁽⁵⁾.

8.3.       Studi Kasus 3: MA Plus Al-Aqsha, Tasikmalaya – Penguatan Karakter Melalui Proyek P5 Berbasis Akhlak

MA Plus Al-Aqsha, Tasikmalaya, menjalankan proyek kokurikuler dengan tema “Menjadi Teladan dalam Etika Digital”, yang bertujuan menginternalisasikan nilai-nilai akhlak mulia dalam penggunaan teknologi informasi. Proyek ini melibatkan siswa kelas XI untuk melakukan riset kecil terkait dampak media sosial terhadap remaja, membuat kampanye digital tentang etika bermedsos, dan mempresentasikan solusi berbasis nilai-nilai Islam dan Pancasila⁽⁶⁾.

Kegiatan ini menunjukkan sinergi antara visi keislaman sekolah dan penguatan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila. Peserta didik terlibat dalam kegiatan diskusi kritis, kolaborasi lintas kelas, dan refleksi keagamaan. Implementasi proyek ini telah mendapat tanggapan positif dari orang tua dan tokoh masyarakat, karena dianggap berhasil membentuk karakter digital yang santun dan bertanggung jawab⁽⁷⁾.

Proyek ini mencerminkan prinsip integrasi antara kurikulum nasional dengan nilai-nilai lokal dan religius, sebagaimana disarankan dalam pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) berbasis konteks satuan pendidikan⁽⁸⁾.

8.4.       Ciri-Ciri Umum Praktik Baik

Dari ketiga studi kasus di atas, beberapa elemen kunci praktik baik dalam pelaksanaan kegiatan kokurikuler dapat diidentifikasi:

1)                  Kontekstualisasi: Kegiatan dirancang berdasarkan isu nyata dan relevan dengan lingkungan siswa.

2)                  Interdisipliner: Menggabungkan berbagai mata pelajaran untuk menyelesaikan masalah atau proyek bersama.

3)                  Partisipatif: Siswa dilibatkan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kegiatan.

4)                  Berbasis Nilai: Kegiatan tidak hanya membentuk keterampilan, tetapi juga menginternalisasi nilai karakter.

5)                  Didukung oleh Kepemimpinan dan Kolaborasi: Kepala sekolah dan guru membentuk tim pelaksana yang solid dan membangun kemitraan dengan komunitas.


Footnotes

[1]                Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur, Laporan Inovasi Pembelajaran SMP Negeri 2 Tenggarong (Samarinda: Disdik Kaltim, 2022), 7–10.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Pelaksanaan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 14–18.

[3]                Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DIY, Best Practices Kegiatan Kokurikuler di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (Yogyakarta: LPMP DIY, 2021), 4–6.

[4]                Wawancara dengan Guru Ekonomi SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, 17 Mei 2023.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 22–26.

[6]                Dokumentasi MA Plus Al-Aqsha, Laporan Proyek P5 Tahun Ajaran 2023/2024: Tema Etika Digital, Tasikmalaya, 2024.

[7]                Wawancara dengan Kepala MA Plus Al-Aqsha, 12 Desember 2024.

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 16–18.


9.           Penutup

Kegiatan kokurikuler dalam sistem pendidikan Indonesia memegang peran strategis sebagai penghubung antara pembelajaran teoritis di ruang kelas dengan pengalaman praktis yang relevan dengan kehidupan nyata. Dalam kerangka Kurikulum Nasional, khususnya Kurikulum Merdeka, kegiatan ini telah mendapatkan pengakuan formal sebagai bagian integral dari proses pembelajaran, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah⁽¹⁾.

Secara konseptual, kegiatan kokurikuler memperkaya dimensi pembelajaran dengan menghadirkan pendekatan yang lebih partisipatif, kontekstual, dan berbasis pengalaman. Aktivitas seperti proyek berbasis masalah (problem-based learning), pembelajaran lintas disiplin, penguatan karakter melalui kegiatan tematik, serta pelibatan siswa dalam komunitas, merupakan contoh nyata dari transformasi pembelajaran yang lebih bermakna dan berpusat pada peserta didik. Hal ini sejalan dengan profil pelajar Pancasila yang menekankan pada kompetensi kognitif, sosial-emosional, spiritual, dan keterampilan abad ke-21⁽²⁾.

Dari sisi implementasi, kegiatan kokurikuler menuntut sinergi antara kepala sekolah, guru, peserta didik, orang tua, dan komunitas sekitar. Keberhasilan pelaksanaannya sangat bergantung pada integrasi yang baik dalam Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), kepemimpinan yang visioner, kesiapan sumber daya manusia dan sarana, serta sistem evaluasi yang otentik dan reflektif⁽³⁾. Berbagai praktik baik yang telah ditunjukkan oleh satuan pendidikan di berbagai wilayah menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kegiatan kokurikuler mampu menghasilkan perubahan nyata dalam cara siswa belajar dan bertumbuh.

Namun demikian, sejumlah tantangan seperti keterbatasan pemahaman, minimnya sarana, lemahnya evaluasi, dan kurangnya partisipasi siswa masih menjadi kendala yang perlu disikapi secara sistemik. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan afirmatif dan pendampingan yang berkelanjutan dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk dalam hal pelatihan guru, penguatan manajemen sekolah, serta pengembangan modul kokurikuler yang kontekstual dan aplikatif⁽⁴⁾.

Sebagai rekomendasi, satuan pendidikan perlu:

1)                  Mengintegrasikan kegiatan kokurikuler secara eksplisit dalam KOSP dan kalender pendidikan.

2)                  Memberdayakan guru sebagai fasilitator dan pelaku inovasi dalam pelaksanaan kegiatan.

3)                  Menyediakan ruang aktualisasi minat dan potensi siswa melalui proyek berbasis nilai dan kontekstual.

4)                  Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam penguatan budaya belajar yang berorientasi karakter dan keterampilan.

5)                  Membangun sistem evaluasi yang berbasis proses dan hasil, serta memberi umpan balik reflektif kepada peserta didik.

Dengan strategi yang terencana, partisipatif, dan berkelanjutan, kegiatan kokurikuler dapat menjelma menjadi pilar penting dalam membangun pendidikan yang lebih utuh, inklusif, dan berorientasi pada masa depan. Kegiatan ini bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan bagian dari transformasi pembelajaran yang menyatu dengan visi pendidikan nasional: mencetak generasi yang beriman, berilmu, dan berdaya saing dalam era global⁽⁵⁾.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 6.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbud, 2021), 4–12.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 10–17.

[4]                E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 133–135.

[5]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.


Daftar Pustaka

Dewantara, K. H. (2009). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Pedoman komunitas belajar guru dan kepala sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2021). Profil pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2021). Panduan pengembangan kurikulum operasional satuan pendidikan. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2021). Panduan pelaksanaan proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2024). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York, NY: Bantam Books.

LPMP DIY. (2021). Best practices kegiatan kokurikuler di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Yogyakarta: Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan DIY.

Mulyasa, E. (2013). Manajemen berbasis sekolah: Konsep, strategi, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

OECD. (2020). Future of education and skills 2030: OECD learning compass. Paris: OECD Publishing.

Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara RI Tahun 2003 No. 78.

Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.

Stoll, L., & Fink, D. (1996). Changing our schools: Linking school effectiveness and school improvement. Buckingham: Open University Press.

Sugiharto, A. S. (2021). Inovasi digital dalam pendidikan pasca pandemi. Yogyakarta: CV Budi Utama.

Sukmadinata, N. S. (2009). Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our times. San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by design (Expanded 2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.

Zainal, A. (2016). Model-model, media, dan strategi pembelajaran kontekstual. Bandung: Yrama Widya.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar