Kokurikuler
Kajian Konseptual dan Implementatif
Alihkan ke: Kurikuler dalam Sistem Pendidikan di Indonesia.
Abstrak
Kegiatan kokurikuler merupakan salah satu pilar
penting dalam sistem pendidikan nasional yang berfungsi menjembatani antara
pembelajaran teoritis di ruang kelas dengan pengalaman praktis dalam kehidupan
nyata. Artikel ini mengkaji secara konseptual dan implementatif peran strategis
kegiatan kokurikuler sebagai sarana penguatan kompetensi, karakter, dan
keterampilan abad ke-21 peserta didik. Berangkat dari kerangka regulasi yang
diatur dalam Kurikulum Merdeka, kegiatan kokurikuler tidak lagi diposisikan
sebagai aktivitas tambahan, tetapi sebagai bagian integral dari proses
pembelajaran yang kontekstual dan bermakna. Artikel ini juga menguraikan
berbagai strategi implementasi, tantangan dan solusi, serta studi kasus praktik
baik dari beberapa satuan pendidikan yang berhasil mengembangkan kegiatan
kokurikuler secara efektif. Temuan kajian ini menunjukkan bahwa keberhasilan
pelaksanaan kegiatan kokurikuler sangat dipengaruhi oleh integrasi dalam
Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), kepemimpinan sekolah yang
kolaboratif, kompetensi guru, serta pelibatan aktif peserta didik dan
komunitas. Dengan pendekatan yang tepat, kegiatan kokurikuler berpotensi
menjadi wahana pembelajaran transformatif yang mendorong lahirnya profil
pelajar Pancasila yang berkarakter, adaptif, dan berdaya saing global.
Kata Kunci: kegiatan kokurikuler, Kurikulum Merdeka, pembelajaran
kontekstual, profil pelajar Pancasila, strategi implementasi, praktik baik,
pendidikan karakter, pendidikan transformative.
PEMBAHASAN
Kegiatan Kokurikuler sebagai Jembatan antara Teori dan
Praktik dalam Pendidikan
1.
Pendahuluan
Pendidikan sebagai
proses integral dalam pengembangan potensi peserta didik tidak hanya menekankan
aspek akademik yang bersifat teoritis, tetapi juga harus memberikan ruang bagi
pembentukan keterampilan praktis, sosial, dan karakter. Dalam konteks sistem pendidikan
nasional Indonesia, kegiatan kurikuler dibagi menjadi tiga kategori utama:
intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Intrakurikuler merupakan
kegiatan pembelajaran utama yang bersifat formal dan berlangsung di kelas.
Sementara itu, kegiatan ekstrakurikuler biasanya bersifat opsional dan
berorientasi pada minat serta bakat siswa. Di antara keduanya, kegiatan kokurikuler
hadir sebagai jembatan penting yang mengintegrasikan pembelajaran formal dengan
aktivitas praktis yang mendalam dan kontekstual.
Dalam Permendikbudristek
No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang
Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, kegiatan
kokurikuler diposisikan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran yang
bertujuan memperkaya dan memperdalam pengalaman belajar peserta didik. Kegiatan
ini dapat berupa proyek penguatan profil pelajar Pancasila, pembelajaran lintas
disiplin, hingga kegiatan pengayaan materi yang bertujuan memperkuat pemahaman
dan aplikasi konsep dalam kehidupan nyata¹.
Namun dalam
praktiknya, kegiatan kokurikuler sering kali kurang mendapatkan perhatian yang
seimbang dibandingkan kegiatan intrakurikuler. Ketimpangan ini menimbulkan
kekhawatiran terhadap terbentuknya kesenjangan antara apa yang dipelajari di
kelas (teori) dan apa yang dibutuhkan di dunia nyata (praktik). Padahal,
pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang mampu menjembatani kedua aspek
tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh UNESCO dalam konsep four
pillars of education yang mencakup learning to know, learning to
do, learning to live together, dan learning to be².
Lebih lanjut,
kegiatan kokurikuler dinilai mampu memperkuat pembelajaran holistik dan
kontekstual, sejalan dengan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka yang menekankan
pada student agency,
diferensiasi, dan pembelajaran berbasis proyek. Melalui kegiatan kokurikuler,
siswa tidak hanya diberi ruang untuk memperluas wawasan mereka, tetapi juga
untuk mengembangkan soft skills seperti kepemimpinan, kolaborasi, komunikasi,
dan tanggung jawab sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kokurikuler bukan sekadar
pelengkap, melainkan bagian penting dari pendidikan yang berkualitas dan
berorientasi masa depan.
Dengan latar
belakang tersebut, artikel ini bertujuan mengkaji secara mendalam konsep,
implementasi, dan peran strategis kegiatan kokurikuler dalam sistem pendidikan
Indonesia. Kajian ini juga akan menyoroti tantangan dan solusi dalam
pelaksanaannya, serta menyajikan contoh praktik baik sebagai referensi
implementatif. Harapannya, artikel ini dapat memberikan kontribusi terhadap
penguatan kebijakan pendidikan yang lebih komprehensif dan transformatif.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak
Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 7.
[2]
UNESCO, Learning: The Treasure Within—Report to UNESCO of the International
Commission on Education for the Twenty-First Century (Paris: UNESCO
Publishing, 1996), 86–89.
2.
Konsep Dasar Kegiatan Kokurikuler
Kegiatan kokurikuler
merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan nasional yang
berfungsi sebagai penghubung antara kegiatan intrakurikuler dan
ekstrakurikuler. Secara konseptual, kegiatan kokurikuler dirancang untuk
memperkaya, memperdalam, dan memperluas pembelajaran formal yang diperoleh
siswa dalam kegiatan intrakurikuler. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan
menjadi bagian dari strategi pendidikan yang terintegrasi dan holistik,
sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024,
bahwa kegiatan kokurikuler termasuk ke dalam kegiatan kurikuler yang
dilaksanakan di dalam maupun di luar kelas dan mendukung pencapaian kompetensi
peserta didik secara utuh¹.
Dalam kerangka
Kurikulum Merdeka, kegiatan kokurikuler dimaknai sebagai bagian dari
pembelajaran yang fleksibel dan kontekstual, yang memungkinkan siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam proses belajar melalui pendekatan berbasis proyek,
pembelajaran lintas disiplin, dan aktivitas reflektif. Salah satu bentuk nyata
dari kegiatan ini adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5),
yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga afektif dan
psikomotorik melalui kegiatan kolaboratif, eksploratif, dan kontekstual².
Menurut Sutrisno dan
Ghofur, kegiatan kokurikuler memiliki fungsi sebagai media pengayaan dan
remedial yang bertujuan untuk menyesuaikan kebutuhan belajar individu, termasuk
pengembangan minat khusus siswa terhadap materi pelajaran tertentu³. Dengan
demikian, kegiatan ini memberikan ruang untuk diferensiasi pembelajaran yang
penting dalam pengembangan potensi peserta didik.
Dari sudut pandang
pedagogis, kegiatan kokurikuler dipandang sebagai bentuk konkret dari
pendekatan experiential
learning, yaitu pembelajaran yang menekankan pada pengalaman
langsung sebagai sumber utama pengetahuan⁴. Dalam konteks ini, siswa tidak
hanya menjadi objek belajar, tetapi juga subjek aktif yang mampu
mengeksplorasi, mengonstruksi, dan menerapkan pengetahuan yang telah
dipelajarinya dalam kehidupan nyata.
Selain itu, kegiatan
kokurikuler berperan penting dalam pembentukan karakter dan keterampilan sosial
siswa. Melalui kegiatan seperti diskusi kelompok, simulasi, presentasi, riset
kecil, atau kunjungan edukatif, siswa diajak untuk mengembangkan keterampilan
komunikasi, kolaborasi, empati, dan kepemimpinan. Hal ini sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional yang tidak hanya menekankan penguasaan ilmu pengetahuan,
tetapi juga pembentukan manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan
mampu hidup dalam masyarakat⁵.
Secara keseluruhan,
kegiatan kokurikuler merupakan strategi pendidikan yang menjembatani celah
antara pengetahuan teoritis yang diperoleh dari pembelajaran formal dan
penerapannya dalam konteks praktis. Ia membantu memastikan bahwa pendidikan
tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga terwujud dalam tindakan
nyata yang bermakna bagi peserta didik.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada
PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek,
2024), Pasal 6–7.
[2]
Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Panduan Pembelajaran dan Asesmen
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
22–25.
[3]
Sutrisno dan Abd. Ghofur, Manajemen Pendidikan di Sekolah
(Yogyakarta: Deepublish, 2019), 141.
[4]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (New Jersey: Prentice Hall, 1984), 38–42.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
3.
Landasan Yuridis dan Filosofis
3.1.
Landasan Yuridis
Secara hukum, kegiatan
kokurikuler merupakan bagian yang sah dan diakui dalam struktur kurikulum
pendidikan nasional Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional¹. Di dalamnya, ruang untuk kegiatan kokurikuler terbuka luas sebagai
upaya pelengkap dan penguat pencapaian tujuan kurikulum.
Lebih lanjut, Permendikbudristek
No. 12 Tahun 2024 mengklasifikasikan kegiatan kokurikuler
sebagai bagian dari kegiatan kurikuler yang mendukung pembelajaran
intrakurikuler. Dalam pasal-pasal awalnya ditegaskan bahwa kegiatan
pembelajaran tidak hanya dilaksanakan secara tatap muka dalam bentuk
konvensional, tetapi juga melalui pendekatan berbasis proyek, penguatan
karakter, dan kegiatan reflektif, yang semuanya dapat dikembangkan melalui
skema kokurikuler². Hal ini sekaligus memperluas paradigma pendidikan dari yang
berorientasi semata pada konten, menjadi berorientasi pada kompetensi, nilai,
dan pengalaman bermakna.
Sebagai tambahan, Peraturan
Pemerintah No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan
(meskipun kemudian dicabut dan direvisi), memberikan dasar bahwa pembelajaran
harus disusun untuk menjamin perkembangan karakter dan kompetensi siswa secara
menyeluruh melalui pendekatan pembelajaran aktif dan kontekstual³. Dalam
konteks tersebut, kegiatan kokurikuler memiliki posisi strategis sebagai
instrumen pembelajaran aktif yang mampu menyeimbangkan aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik siswa.
3.2.
Landasan Filosofis
Dari sisi filosofis,
kegiatan kokurikuler berpijak pada pandangan bahwa pendidikan harus bersifat holistik,
memanusiakan manusia secara utuh, dan membekali peserta didik tidak hanya
dengan pengetahuan, tetapi juga dengan nilai, keterampilan, serta sikap hidup
yang relevan dengan tantangan zaman. Gagasan ini sejalan dengan filsafat
progresivisme pendidikan yang menekankan pentingnya pengalaman
nyata, pemecahan masalah, dan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar⁴.
Kegiatan kokurikuler, dengan pendekatan proyek dan kolaboratifnya, merupakan
wujud konkret dari penerapan progresivisme tersebut dalam sistem pendidikan
modern.
Selanjutnya,
kegiatan kokurikuler juga sejalan dengan pendekatan konstruktivisme,
yang berpandangan bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri melalui
interaksi dengan lingkungan dan pengalamannya. Dalam kegiatan kokurikuler,
siswa diberi ruang untuk mengalami, mengeksplorasi, dan merefleksikan makna
dari pembelajaran yang dialaminya secara langsung, sehingga pemahaman yang
diperoleh menjadi lebih dalam dan tahan lama⁵.
Dari perspektif nilai-nilai
luhur bangsa, kegiatan kokurikuler juga dapat dianggap sebagai
sarana internalisasi nilai-nilai Pancasila. Melalui proyek berbasis profil
pelajar Pancasila, seperti gotong royong, peduli lingkungan, dan kebhinekaan
global, siswa tidak hanya belajar secara teoritis, tetapi juga mempraktikkan
nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata⁶.
Dengan demikian,
landasan yuridis dan filosofis kegiatan kokurikuler sangat kuat dan relevan. Ia
tidak hanya sah menurut hukum dan kebijakan pendidikan, tetapi juga memiliki
dasar filosofis yang mendorong terbentuknya manusia Indonesia yang utuh,
adaptif, dan berkarakter. Keberadaan kegiatan ini harus dipandang bukan sebagai
pelengkap, melainkan sebagai elemen kunci dalam mewujudkan pendidikan yang
berdaya transformatif.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 Ayat (19).
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 6 dan 7.
[3]
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara,
2021), Pasal 10.
[4]
John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–30.
[5]
Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children (New
York: International Universities Press, 1952), 63–68.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek,
2021), 10–18.
4.
Bentuk dan Ragam Kegiatan Kokurikuler
Dalam sistem
pendidikan Indonesia, kegiatan kokurikuler mencakup beragam bentuk aktivitas
yang dirancang untuk memperkuat dan memperluas pemahaman peserta didik terhadap
materi pembelajaran yang diperoleh melalui kegiatan intrakurikuler. Bentuk dan
ragam kegiatan kokurikuler disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan kompetensi
siswa, konteks satuan pendidikan, serta tujuan kurikulum nasional. Permendikbudristek
No. 12 Tahun 2024 menegaskan bahwa kegiatan kokurikuler
merupakan bagian dari proses pembelajaran yang dilakukan untuk menguatkan
karakter dan kompetensi siswa, serta dapat diimplementasikan dalam bentuk
kegiatan berbasis proyek, pengayaan, maupun remedial¹.
4.1.
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)
Salah satu bentuk
utama kegiatan kokurikuler dalam Kurikulum Merdeka adalah Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Kegiatan ini berfokus pada
penguatan nilai-nilai karakter seperti gotong royong, kemandirian, dan
kebhinekaan global, yang diaktualisasikan melalui tema-tema kontekstual seperti
gaya hidup berkelanjutan, kewirausahaan, dan budaya lokal. P5 bersifat lintas
disiplin dan menggunakan pendekatan berbasis proyek, sehingga mendorong peserta
didik untuk terlibat aktif dalam merancang, melaksanakan, dan merefleksikan
pembelajaran mereka².
Dalam
implementasinya, P5 memberi ruang bagi siswa untuk membangun kompetensi
sosial-emosional dan keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, pemecahan
masalah, dan kreativitas. Dengan demikian, kegiatan ini tidak hanya melatih
kecakapan akademik, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan dan kepekaan
sosial secara konkret³.
4.2.
Kegiatan Pengayaan dan Pendalaman Materi
Bentuk kokurikuler
lainnya adalah pengayaan dan pendalaman materi
yang ditujukan untuk siswa yang memiliki minat tinggi atau menunjukkan potensi
dalam bidang tertentu. Kegiatan ini bisa berupa kelas tambahan, klub sains,
kelompok diskusi, pembacaan pustaka, atau pelatihan olimpiade sains. Tujuannya
adalah untuk memperluas cakrawala pengetahuan siswa melampaui batas kurikulum
dasar yang diajarkan di kelas⁴.
Menurut Sutrisno dan
Ghofur, kegiatan pengayaan memiliki fungsi utama dalam mendukung diferensiasi
pembelajaran, yakni menyediakan tantangan yang sesuai dengan kemampuan dan
kecepatan belajar masing-masing peserta didik⁵. Dalam konteks pendidikan
berkeadilan, pengayaan menjadi sarana penting untuk memfasilitasi kebutuhan
belajar siswa berbakat.
4.3.
Kegiatan Remedial Terstruktur
Sebaliknya, bagi
siswa yang mengalami kesulitan belajar, kegiatan remedial
dirancang sebagai bentuk kokurikuler yang memberikan kesempatan untuk
mengulang, memperbaiki, dan memperdalam pemahaman materi yang belum tuntas.
Kegiatan ini dilakukan secara terstruktur, baik melalui pendampingan guru, peer
teaching, maupun pembelajaran berbasis teknologi yang adaptif⁶.
Remedial tidak hanya
bersifat akademik, tetapi juga bersifat pedagogis, dalam arti membantu siswa
membangun kembali kepercayaan diri dan motivasi untuk belajar. Dengan adanya
kegiatan ini, pendidikan inklusif dan berpusat pada peserta didik dapat
diwujudkan secara nyata.
4.4.
Kegiatan Tematik dan Lintas Disiplin
Kegiatan kokurikuler
juga dapat dikembangkan melalui pembelajaran lintas disiplin
yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran dalam satu proyek tematik.
Misalnya, proyek tentang “ketahanan pangan lokal” dapat melibatkan pembelajaran
dari mata pelajaran biologi (pertanian), ekonomi (produksi dan distribusi),
serta bahasa Indonesia (penulisan laporan atau kampanye). Model ini selaras
dengan pendekatan interdisciplinary learning yang
terbukti efektif dalam membangun kemampuan berpikir sistemik dan integratif⁷.
4.5.
Ekskursi Edukatif dan Observasi Lapangan
Beberapa sekolah
juga menerapkan ekskursi edukatif sebagai
bentuk kokurikuler, di mana peserta didik melakukan kunjungan ke institusi
pemerintah, museum, pabrik, atau lokasi-lokasi yang relevan dengan materi
pelajaran. Kegiatan ini memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaitkan teori
dengan realitas sosial dan dunia kerja. Observasi lapangan ini juga dapat
menjadi sumber refleksi kritis yang membangun kesadaran kontekstual siswa
terhadap isu-isu masyarakat⁸.
4.6.
Lomba Akademik dan Kegiatan Presentasi
Kegiatan seperti lomba
karya tulis ilmiah, debat, presentasi hasil riset mini, atau simulasi sidang
merupakan bentuk lain dari kegiatan kokurikuler yang mendorong siswa mengasah
kemampuan berpikir logis, menyampaikan ide secara sistematis, serta
mengaplikasikan ilmu dalam konteks kompetitif yang sehat. Kegiatan ini juga
memberi ruang untuk pengembangan kepercayaan diri dan keterampilan berbicara di
depan publik.
Secara umum, bentuk
dan ragam kegiatan kokurikuler sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan
visi satuan pendidikan, karakteristik peserta didik, serta tantangan zaman.
Semakin beragam dan bermakna bentuk kegiatan yang diimplementasikan, semakin
besar pula potensi kegiatan kokurikuler dalam menjembatani teori dan praktik
dalam pendidikan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 6–7.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 30–35.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbud, 2021), 10–18.
[4]
Zainal Aqib, Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran
Kontekstual (Inovatif) (Bandung: Yrama Widya, 2016), 142.
[5]
Sutrisno dan Abd. Ghofur, Manajemen Pendidikan di Sekolah
(Yogyakarta: Deepublish, 2019), 143.
[6]
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 221–225.
[7]
Beane, James A., Curriculum Integration: Designing the Core of
Democratic Education (New York: Teachers College Press, 1997), 35–38.
[8]
Mulyasa, E., Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), 156–158.
5.
Peran Kokurikuler dalam Pengembangan Kompetensi
Siswa
Kegiatan kokurikuler
memiliki peran yang sangat penting dalam memperkuat proses pendidikan yang
tidak hanya berorientasi pada penguasaan konten, tetapi juga pada pengembangan
kompetensi siswa secara menyeluruh. Dalam konteks Kurikulum Merdeka dan
tuntutan global abad ke-21, pengembangan kompetensi utuh meliputi aspek
kognitif (pengetahuan), afektif (nilai dan sikap), dan psikomotorik
(keterampilan)¹. Kegiatan kokurikuler dirancang untuk menghadirkan ruang
belajar yang mendorong keterlibatan aktif peserta didik dalam proses
internalisasi dan aktualisasi kompetensi tersebut secara konkret.
5.1.
Penguatan Kompetensi Abad ke-21 (4C)
Salah satu
kontribusi utama kegiatan kokurikuler adalah mendukung pengembangan kompetensi
abad ke-21, khususnya dalam aspek 4C:
critical thinking, creativity, collaboration, dan communication. Melalui
kegiatan seperti proyek kolaboratif, debat ilmiah, pengamatan lapangan, dan
simulasi, siswa terlatih untuk memecahkan masalah secara kritis,
mengekspresikan gagasan secara kreatif, bekerja dalam tim, dan berkomunikasi
secara efektif².
Kegiatan kokurikuler
tidak hanya menjadi ruang praktik dari teori yang telah dipelajari, tetapi juga
merupakan wahana untuk membentuk kesiapan siswa menghadapi tantangan nyata di
masyarakat dan dunia kerja. Hal ini sejalan dengan panduan OECD
Future of Education and Skills 2030, yang menekankan pentingnya
pendidikan untuk membentuk pelajar yang memiliki kompetensi global, fleksibel,
dan adaptif terhadap perubahan yang cepat³.
5.2.
Menghubungkan Teori dengan Praktik
Peran kokurikuler
sebagai jembatan antara teori dan praktik tampak jelas dalam pendekatan experiential
learning, yang menempatkan pengalaman langsung sebagai sumber utama
pembelajaran. Ketika siswa melakukan proyek berbasis riset, kunjungan lapangan,
atau kegiatan praktik lintas disiplin, mereka tidak hanya memahami konsep
secara pasif, tetapi menguji dan mengaplikasikan teori tersebut dalam situasi
nyata⁴.
Misalnya, dalam
kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), siswa tidak sekadar
mempelajari nilai gotong royong, tetapi mempraktikkannya melalui kerja tim
dalam proyek komunitas. Dengan cara ini, kegiatan kokurikuler berfungsi sebagai
ruang transfer belajar dari lingkungan sekolah ke kehidupan sosial yang lebih
luas⁵.
5.3.
Pembentukan Karakter dan Kemandirian Belajar
Salah satu tujuan
utama pendidikan nasional adalah pembentukan karakter peserta didik yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta memiliki kemandirian dan tanggung
jawab sosial⁶. Kegiatan kokurikuler menjadi wahana penting dalam mencapai
tujuan ini karena melibatkan siswa dalam pengalaman yang membutuhkan disiplin
diri, empati, kepedulian, dan kerja sama.
Melalui keterlibatan
aktif dalam proyek sosial, program literasi, atau kegiatan tematik, siswa
belajar untuk mengambil inisiatif, mengelola waktu, dan menyelesaikan tugas
secara mandiri. Di sisi lain, interaksi dalam kelompok melatih siswa untuk
menghargai perbedaan, bernegosiasi, dan membangun konsensus. Dengan kata lain,
kokurikuler memperkuat nilai-nilai sosial dan moral yang mendukung proses
pendidikan karakter secara berkelanjutan⁷.
5.4.
Mendorong Pembelajaran Kontekstual dan Berbasis
Minat
Peran kokurikuler
juga sangat krusial dalam mengembangkan pembelajaran yang berbasis
minat dan kontekstual. Kegiatan ini memberikan fleksibilitas
kepada siswa untuk mengeksplorasi bidang yang mereka sukai secara lebih dalam,
sekaligus mengaitkannya dengan situasi dan kebutuhan nyata di lingkungan
mereka.
Menurut Ki Hadjar
Dewantara, pendidikan sejati adalah pendidikan yang “memerdekakan”—yakni
memberi ruang bagi setiap anak untuk berkembang sesuai kodrat alam dan
zamannya⁸. Kegiatan kokurikuler, dengan pendekatannya yang partisipatif dan
kontekstual, merupakan wujud nyata dari prinsip ini. Siswa yang belajar melalui
pengalaman yang relevan dengan kehidupannya akan lebih termotivasi, lebih
terlibat secara emosional, dan lebih mudah mencapai pemahaman yang bermakna.
5.5.
Menumbuhkan Kompetensi Profil Pelajar Pancasila
Kurikulum Merdeka
menetapkan Profil Pelajar Pancasila
sebagai orientasi utama pendidikan di Indonesia. Enam dimensi profil tersebut
mencakup: beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, mandiri, gotong royong,
bernalar kritis, kreatif, serta berkebhinekaan global. Kegiatan kokurikuler,
khususnya melalui P5, menjadi sarana efektif untuk menumbuhkan kompetensi
tersebut secara terpadu.
Sebagai contoh,
kegiatan proyek kewirausahaan sosial bukan hanya melatih siswa mengelola usaha
kecil, tetapi juga menanamkan nilai empati, kemandirian, dan kemampuan berpikir
inovatif. Dengan pendekatan yang demikian, kegiatan kokurikuler memperkuat learning
outcomes yang relevan secara moral, sosial, dan ekonomi dalam
jangka panjang⁹.
Dengan segala
perannya tersebut, kegiatan kokurikuler tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap
pembelajaran, tetapi menjadi strategi utama dalam membentuk
siswa yang kompeten secara akademik, cakap dalam kehidupan sosial, dan siap
menghadapi tantangan masa depan. Maka dari itu, kegiatan ini perlu dirancang
secara terintegrasi, berkelanjutan, dan didukung penuh oleh seluruh elemen
pendidikan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–11.
[2]
Trilling, Bernie, and Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 50–62.
[3]
OECD, Future of Education and Skills 2030: OECD Learning Compass
(Paris: OECD Publishing, 2020), 6–9.
[4]
David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (New Jersey: Prentice Hall, 1984), 36–42.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbud, 2021), 16–22.
[6]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[7]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–50.
[8]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur
Taman Siswa, 2009), 32.
[9]
Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Panduan Pelaksanaan Proyek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021),
5–9.
6.
Strategi Implementasi Kegiatan Kokurikuler di
Satuan Pendidikan
Keberhasilan
kegiatan kokurikuler sangat bergantung pada strategi implementasi yang
terencana, terukur, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di satuan
pendidikan. Implementasi yang efektif membutuhkan sinergi antara visi
kelembagaan, kesiapan sumber daya, kebijakan kurikulum operasional, serta
kultur partisipatif di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, kegiatan
kokurikuler tidak dapat dipandang sebagai aktivitas insidental, melainkan harus
menjadi bagian integral dari sistem pembelajaran yang menyeluruh.
6.1.
Integrasi dalam Kurikulum Operasional Satuan
Pendidikan (KOSP)
Langkah strategis
pertama dalam implementasi kegiatan kokurikuler adalah mengintegrasikannya
secara eksplisit dalam dokumen Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP).
Dalam Panduan
Pengembangan KOSP yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek,
dinyatakan bahwa satuan pendidikan perlu merancang kegiatan kokurikuler sebagai
bagian dari kebijakan pembelajaran dan penguatan karakter, dengan
mempertimbangkan kebutuhan siswa, konteks lokal, dan visi misi sekolah¹.
Kegiatan kokurikuler
seperti Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), pengayaan materi, dan
kegiatan remedial harus dijabarkan dalam struktur program tahunan dan rencana
pembelajaran sebagai bagian dari pembelajaran tematik atau lintas disiplin.
Penyusunan KOSP berbasis partisipasi—yang melibatkan guru, siswa, dan komite sekolah—akan
memastikan bahwa kegiatan kokurikuler selaras dengan kebutuhan riil di satuan
pendidikan.
6.2.
Peran Kepemimpinan Sekolah dan Manajemen
Kegiatan
Implementasi
kokurikuler menuntut kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dan kolaboratif.
Kepala sekolah berperan sebagai manajer pembelajaran yang tidak hanya
memastikan keberlangsungan proses intrakurikuler, tetapi juga memberikan ruang
dan dukungan terhadap pengembangan kegiatan kokurikuler yang berkualitas².
Menurut Mulyasa,
keberhasilan program kokurikuler ditentukan oleh tiga faktor utama: komitmen
pimpinan sekolah, kesiapan tim pelaksana, dan keberadaan sistem manajemen yang
akuntabel³. Kepala sekolah perlu membentuk tim khusus yang bertugas merancang,
mengoordinasikan, dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan kokurikuler secara
periodik. Tim ini bisa melibatkan guru pembimbing, wali kelas, dan perwakilan
siswa agar kegiatan yang disusun benar-benar relevan dan membangun.
6.3.
Keterlibatan Guru sebagai Fasilitator dan
Mentor
Dalam konteks
pembelajaran transformatif, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga fasilitator,
pembimbing, dan mentor dalam kegiatan kokurikuler. Guru
bertanggung jawab dalam merancang aktivitas berbasis proyek, menyesuaikannya
dengan capaian pembelajaran, serta mendampingi siswa dalam eksplorasi dan
refleksi kegiatan mereka⁴.
Kegiatan kokurikuler
juga memberi ruang bagi guru untuk mengembangkan kreativitas dalam merancang
metode pembelajaran yang kontekstual dan partisipatif. Oleh karena itu,
pelatihan dan peningkatan kapasitas guru melalui komunitas belajar atau in-house
training menjadi hal yang penting dalam strategi implementasi⁵.
6.4.
Kolaborasi dengan Orang Tua dan Komunitas
Pelibatan orang tua
dan masyarakat merupakan elemen penting dalam strategi penguatan kegiatan
kokurikuler. Permendikbud No. 30 Tahun 2017 tentang
Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan menegaskan
bahwa keluarga memiliki peran strategis dalam mendukung pengembangan karakter
dan potensi siswa melalui partisipasi aktif dalam kegiatan sekolah⁶.
Satuan pendidikan
dapat menjalin kemitraan dengan organisasi masyarakat, dunia usaha, atau
instansi pemerintah sebagai narasumber, tempat magang, atau mitra proyek
berbasis komunitas. Dengan cara ini, kegiatan kokurikuler menjadi lebih relevan
dengan konteks nyata dan memperluas wawasan siswa terhadap dunia di luar
sekolah.
6.5.
Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi Digital
Pemanfaatan
teknologi informasi juga menjadi bagian dari strategi implementasi yang adaptif
terhadap perkembangan zaman. Platform digital dapat digunakan untuk merancang,
mendokumentasikan, dan mengevaluasi kegiatan kokurikuler, seperti melalui e-portfolio,
aplikasi pembelajaran berbasis proyek, atau forum diskusi daring.
Teknologi
memungkinkan personalisasi pembelajaran dan memberi akses pada sumber belajar
yang lebih luas. Dalam konteks pandemi dan pasca-pandemi, strategi ini terbukti
meningkatkan partisipasi dan fleksibilitas siswa dalam menjalankan aktivitas
kokurikuler secara mandiri⁷.
6.6.
Evaluasi dan Refleksi Berbasis Otentik
Kegiatan kokurikuler
perlu dievaluasi secara sistematis, bukan hanya dari segi keterlibatan siswa,
tetapi juga dalam hal pencapaian tujuan kompetensi dan karakter. Evaluasi
sebaiknya bersifat otentik, berbasis proses, dan
mencakup asesmen formatif serta umpan balik reflektif dari siswa⁸.
Guru dapat
menggunakan rubrik penilaian, jurnal refleksi, laporan proyek, atau presentasi
hasil sebagai alat untuk menilai ketercapaian kompetensi peserta didik.
Evaluasi juga perlu mencakup pengembangan keterampilan non-akademik seperti
kepemimpinan, kemandirian, dan kolaborasi.
Dengan menerapkan
strategi implementasi yang komprehensif sebagaimana dijelaskan di atas,
kegiatan kokurikuler dapat berkembang menjadi komponen pendidikan yang
benar-benar hidup, bermakna, dan berkontribusi signifikan dalam pembentukan
profil pelajar yang utuh dan berdaya saing.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 12–18.
[2]
L. Stoll dan D. Fink, Changing Our Schools: Linking School
Effectiveness and School Improvement (Buckingham: Open University Press,
1996), 44–46.
[3]
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 133.
[4]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 145–147.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Komunitas Belajar
Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: Direktorat Jenderal GTK, 2020), 6–10.
[6]
Republik Indonesia, Permendikbud No. 30 Tahun 2017 tentang
Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 3.
[7]
Ahmad S. Sugiharto, Inovasi Digital dalam Pendidikan Pasca Pandemi
(Yogyakarta: CV Budi Utama, 2021), 56–60.
[8]
Grant Wiggins dan Jay McTighe, Understanding by Design
(Alexandria: ASCD, 2005), 88–93.
7.
Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan Kegiatan
Kokurikuler
Meskipun kegiatan
kokurikuler memiliki potensi besar dalam menjembatani pembelajaran teoritis dan
praktis, pelaksanaannya di satuan pendidikan tidak jarang menghadapi berbagai
kendala. Tantangan tersebut dapat bersifat struktural, kultural, teknis, maupun
pedagogis. Untuk mengoptimalkan manfaat kegiatan kokurikuler, diperlukan
strategi penyelesaian yang tepat dan kontekstual, berdasarkan prinsip-prinsip
regulasi dan praktik pendidikan yang efektif.
7.1.
Tantangan Pelaksanaan
1)
Kurangnya
Pemahaman dan Komitmen Stakeholder
Salah satu tantangan
utama adalah masih terbatasnya pemahaman para pemangku kepentingan
pendidikan—terutama guru, kepala sekolah, dan orang tua—terhadap makna dan
fungsi strategis kegiatan kokurikuler. Banyak yang menganggap kegiatan ini
sebagai tambahan semata atau pengisi waktu luang, bukan bagian integral dari
pembelajaran⁽¹⁾. Akibatnya, dukungan terhadap pelaksanaan kegiatan kokurikuler
seringkali minim dari aspek anggaran, kebijakan, maupun integrasi dalam
perencanaan kurikulum.
2)
Keterbatasan
Sumber Daya
Banyak sekolah,
terutama di daerah terpencil, menghadapi keterbatasan sumber daya manusia,
sarana, dan prasarana dalam menjalankan kegiatan kokurikuler. Guru sering kali
dibebani tugas administratif, sehingga waktu dan energinya untuk merancang
kegiatan kokurikuler menjadi terbatas⁽²⁾. Di samping itu, kurangnya akses
terhadap pelatihan atau pendampingan teknis membuat implementasi kegiatan
cenderung bersifat monoton dan tidak inovatif.
3)
Kurikulum
yang Belum Terintegrasi Optimal
Meski secara
regulasi kegiatan kokurikuler telah diakui sebagai bagian dari pembelajaran,
masih banyak satuan pendidikan yang belum mengintegrasikannya secara sistematis
ke dalam Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP).
Hal ini menyebabkan kegiatan kokurikuler berjalan tanpa arah yang jelas, tidak
terukur, dan tidak sinkron dengan tujuan capaian pembelajaran yang telah
ditetapkan⁽³⁾.
4)
Evaluasi
yang Lemah dan Tidak Berbasis Otentik
Kegiatan kokurikuler
sering kali tidak dilengkapi dengan sistem evaluasi yang memadai. Penilaian
cenderung bersifat administratif atau hanya mencatat keikutsertaan siswa, tanpa
menilai aspek proses dan pencapaian kompetensi secara mendalam. Padahal,
evaluasi yang baik sangat penting untuk mengetahui efektivitas kegiatan dalam
membentuk karakter, keterampilan, dan nilai⁽⁴⁾.
5)
Minimnya
Partisipasi dan Motivasi Siswa
Tantangan lainnya
adalah kurangnya minat dan partisipasi siswa dalam kegiatan kokurikuler. Hal
ini bisa disebabkan oleh pendekatan yang kurang menarik, waktu pelaksanaan yang
tidak sesuai, atau materi kegiatan yang tidak kontekstual. Ketika siswa tidak
merasa memiliki atau terlibat aktif dalam proses perencanaan kegiatan, maka
motivasi mereka pun cenderung rendah⁽⁵⁾.
7.2.
Solusi Strategis
1)
Penguatan
Literasi Kurikulum dan Sosialisasi Internal
Solusi awal adalah
memperkuat pemahaman seluruh warga sekolah tentang posisi dan fungsi strategis
kegiatan kokurikuler melalui pelatihan, lokakarya, dan forum diskusi. Kepala
sekolah dapat memfasilitasi in-house training untuk membangun
kesamaan visi dalam mengembangkan kegiatan yang bermakna dan terintegrasi⁽⁶⁾.
Penyusunan kebijakan sekolah yang mengafirmasi pentingnya kokurikuler juga akan
meningkatkan komitmen bersama.
2)
Pemberdayaan
Guru dan Optimalisasi Peran Tim Pelaksana
Satuan pendidikan
perlu membentuk tim pelaksana kegiatan kokurikuler
yang terdiri atas guru-guru dari berbagai bidang studi yang kompeten dan
kreatif. Tim ini bertugas menyusun rencana kegiatan, mengembangkan modul,
mengoordinasi pelaksanaan, dan melakukan evaluasi secara berkala. Guru sebagai
fasilitator juga perlu diberi ruang inovasi dan penguatan kompetensi melalui
pelatihan berbasis proyek⁽⁷⁾.
3)
Integrasi
dalam KOSP dan Penyusunan Program yang Kontekstual
Untuk menghindari
kegiatan kokurikuler yang berjalan sporadis, sekolah perlu mengintegrasikan
kegiatan ini ke dalam KOSP secara sistematik, baik dalam bentuk tema proyek,
pengayaan, maupun kegiatan tematik tahunan. Program kegiatan hendaknya disusun
berdasarkan kebutuhan siswa, potensi lokal, dan isu kontekstual yang relevan
dengan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila⁽⁸⁾.
4)
Pengembangan
Sistem Evaluasi Otentik dan Reflektif
Evaluasi kegiatan
kokurikuler perlu berbasis pada asesmen otentik yang mencerminkan proses,
partisipasi aktif, hasil proyek, serta kemampuan reflektif siswa. Instrumen
penilaian seperti jurnal kegiatan, portofolio proyek, rubrik observasi, dan
presentasi hasil dapat digunakan untuk menilai capaian siswa secara lebih
komprehensif dan bermakna⁽⁹⁾.
5)
Partisipasi
Siswa dan Kolaborasi dengan Lingkungan
Untuk meningkatkan
partisipasi siswa, sekolah dapat menerapkan pendekatan student
agency, yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut merancang,
memilih, dan mengevaluasi kegiatan kokurikuler. Sementara itu, kolaborasi
dengan orang tua dan mitra eksternal seperti komunitas lokal, dunia usaha, atau
lembaga pemerintah akan memperkaya bentuk kegiatan dan memperkuat nilai
keterhubungan sosial⁽¹⁰⁾.
Dengan memahami
tantangan-tantangan tersebut secara objektif dan menerapkan solusi yang tepat,
satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kegiatan kokurikuler sebagai wahana
pembelajaran kontekstual yang tidak hanya memperkuat akademik, tetapi juga
karakter, nilai, dan keterampilan hidup peserta didik.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 11–12.
[2]
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 136.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 14–17.
[4]
Grant Wiggins dan Jay McTighe, Understanding by Design
(Alexandria: ASCD, 2005), 89–91.
[5]
Lickona, Thomas. Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 74.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Komunitas Belajar
Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: Direktorat Jenderal GTK, 2020), 9.
[7]
Zainal Aqib, Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran
Kontekstual (Bandung: Yrama Widya, 2016), 137.
[8]
Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Panduan Pelaksanaan Proyek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021),
6–9.
[9]
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 226–228.
[10]
Republik Indonesia, Permendikbud No. 30 Tahun 2017 tentang
Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4–5.
8.
Studi Kasus atau Praktik Baik
Untuk membuktikan
bahwa kegiatan kokurikuler dapat berfungsi sebagai jembatan antara teori dan
praktik dalam pendidikan, diperlukan contoh konkret praktik baik dari satuan
pendidikan yang berhasil mengimplementasikannya secara efektif. Studi kasus
berikut diambil dari beberapa sekolah yang telah mendapatkan apresiasi nasional
maupun regional atas inovasi mereka dalam pengembangan kegiatan kokurikuler
yang kontekstual, kolaboratif, dan transformatif.
8.1.
Studi Kasus 1: SMP Negeri 2 Tenggarong – Proyek
Berbasis Kearifan Lokal
SMP Negeri 2
Tenggarong, Kalimantan Timur, melaksanakan kegiatan kokurikuler berupa Proyek
Pemetaan Budaya Lokal yang mengintegrasikan pembelajaran IPS,
Bahasa Indonesia, dan Seni Budaya. Siswa diajak melakukan eksplorasi langsung
ke lingkungan sekitar untuk mendokumentasikan tarian, kuliner, dan adat
istiadat Dayak Kutai. Proyek ini dilakukan dalam bentuk wawancara, observasi,
dan penyusunan laporan hasil belajar berbasis portofolio⁽¹⁾.
Kegiatan ini
terbukti meningkatkan pemahaman siswa terhadap keragaman budaya serta melatih
kemampuan riset sederhana. Dari segi nilai, siswa belajar menghargai identitas
lokal sebagai bagian dari kebhinekaan nasional. Proyek ini juga dinilai
berhasil mengembangkan kompetensi Profil Pelajar Pancasila, khususnya pada
dimensi berkebinekaan
global dan kreatif, sebagaimana ditegaskan
dalam panduan pelaksanaan proyek⁽²⁾.
8.2.
Studi Kasus 2: SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta –
Proyek Kewirausahaan Sosial
SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta menerapkan kegiatan kokurikuler berupa Proyek
Sociopreneur Muda, di mana siswa dari berbagai jurusan
dilibatkan dalam merancang dan menjalankan usaha kecil yang berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat. Dalam salah satu proyek, siswa mengembangkan produk
minuman herbal dari limbah dapur keluarga, bekerja sama dengan komunitas ibu
rumah tangga di sekitar sekolah⁽³⁾.
Kegiatan ini
melibatkan pembelajaran lintas mata pelajaran seperti Biologi, Ekonomi, Bahasa
Inggris, dan Informatika (untuk promosi daring). Proyek ini tidak hanya
mengembangkan keterampilan kewirausahaan dan inovasi produk, tetapi juga
membangun kesadaran sosial dan kepedulian terhadap lingkungan. Menurut guru
pembimbing, siswa yang semula pasif menjadi lebih percaya diri dan proaktif
dalam menyelesaikan tantangan nyata⁽⁴⁾.
Model seperti ini
sejalan dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan berbasis proyek
(project-based learning), sebagaimana direkomendasikan dalam Panduan
Pembelajaran dan Asesmen dari Kemendikbudristek⁽⁵⁾.
8.3.
Studi Kasus 3: MA Plus Al-Aqsha, Tasikmalaya –
Penguatan Karakter Melalui Proyek P5 Berbasis Akhlak
MA Plus Al-Aqsha,
Tasikmalaya, menjalankan proyek kokurikuler dengan tema “Menjadi
Teladan dalam Etika Digital”, yang bertujuan
menginternalisasikan nilai-nilai akhlak mulia dalam penggunaan teknologi
informasi. Proyek ini melibatkan siswa kelas XI untuk melakukan riset kecil
terkait dampak media sosial terhadap remaja, membuat kampanye digital tentang
etika bermedsos, dan mempresentasikan solusi berbasis nilai-nilai Islam dan
Pancasila⁽⁶⁾.
Kegiatan ini
menunjukkan sinergi antara visi keislaman sekolah dan penguatan nilai-nilai
Profil Pelajar Pancasila. Peserta didik terlibat dalam kegiatan diskusi kritis,
kolaborasi lintas kelas, dan refleksi keagamaan. Implementasi proyek ini telah
mendapat tanggapan positif dari orang tua dan tokoh masyarakat, karena dianggap
berhasil membentuk karakter digital yang santun dan bertanggung jawab⁽⁷⁾.
Proyek ini
mencerminkan prinsip integrasi antara kurikulum nasional dengan nilai-nilai
lokal dan religius, sebagaimana disarankan dalam pengembangan Kurikulum
Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) berbasis konteks satuan pendidikan⁽⁸⁾.
8.4.
Ciri-Ciri Umum Praktik Baik
Dari ketiga studi
kasus di atas, beberapa elemen kunci praktik baik dalam pelaksanaan kegiatan
kokurikuler dapat diidentifikasi:
1)
Kontekstualisasi:
Kegiatan dirancang berdasarkan isu nyata dan relevan dengan lingkungan siswa.
2)
Interdisipliner:
Menggabungkan berbagai mata pelajaran untuk menyelesaikan masalah atau proyek
bersama.
3)
Partisipatif:
Siswa dilibatkan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi
kegiatan.
4)
Berbasis Nilai:
Kegiatan tidak hanya membentuk keterampilan, tetapi juga menginternalisasi
nilai karakter.
5)
Didukung oleh
Kepemimpinan dan Kolaborasi: Kepala sekolah dan guru membentuk
tim pelaksana yang solid dan membangun kemitraan dengan komunitas.
Footnotes
[1]
Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur, Laporan Inovasi
Pembelajaran SMP Negeri 2 Tenggarong (Samarinda: Disdik Kaltim, 2022),
7–10.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Pelaksanaan Proyek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021),
14–18.
[3]
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DIY, Best Practices
Kegiatan Kokurikuler di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (Yogyakarta: LPMP
DIY, 2021), 4–6.
[4]
Wawancara dengan Guru Ekonomi SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, 17 Mei
2023.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 22–26.
[6]
Dokumentasi MA Plus Al-Aqsha, Laporan Proyek P5 Tahun Ajaran
2023/2024: Tema Etika Digital, Tasikmalaya, 2024.
[7]
Wawancara dengan Kepala MA Plus Al-Aqsha, 12 Desember 2024.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 16–18.
9.
Penutup
Kegiatan kokurikuler
dalam sistem pendidikan Indonesia memegang peran strategis sebagai penghubung
antara pembelajaran teoritis di ruang kelas dengan pengalaman praktis yang
relevan dengan kehidupan nyata. Dalam kerangka Kurikulum Nasional, khususnya
Kurikulum Merdeka, kegiatan ini telah mendapatkan pengakuan formal sebagai
bagian integral dari proses pembelajaran, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek
No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah⁽¹⁾.
Secara konseptual,
kegiatan kokurikuler memperkaya dimensi pembelajaran dengan menghadirkan
pendekatan yang lebih partisipatif, kontekstual, dan berbasis pengalaman.
Aktivitas seperti proyek berbasis masalah (problem-based learning),
pembelajaran lintas disiplin, penguatan karakter melalui kegiatan tematik,
serta pelibatan siswa dalam komunitas, merupakan contoh nyata dari transformasi
pembelajaran yang lebih bermakna dan berpusat pada peserta didik. Hal ini
sejalan dengan profil pelajar Pancasila yang
menekankan pada kompetensi kognitif, sosial-emosional, spiritual, dan
keterampilan abad ke-21⁽²⁾.
Dari sisi
implementasi, kegiatan kokurikuler menuntut sinergi antara kepala sekolah,
guru, peserta didik, orang tua, dan komunitas sekitar. Keberhasilan
pelaksanaannya sangat bergantung pada integrasi yang baik dalam Kurikulum
Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), kepemimpinan yang
visioner, kesiapan sumber daya manusia dan sarana, serta sistem evaluasi yang
otentik dan reflektif⁽³⁾. Berbagai praktik baik yang telah ditunjukkan oleh
satuan pendidikan di berbagai wilayah menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang
tepat, kegiatan kokurikuler mampu menghasilkan perubahan nyata dalam cara siswa
belajar dan bertumbuh.
Namun demikian,
sejumlah tantangan seperti keterbatasan pemahaman, minimnya sarana, lemahnya
evaluasi, dan kurangnya partisipasi siswa masih menjadi kendala yang perlu
disikapi secara sistemik. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan afirmatif dan
pendampingan yang berkelanjutan dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk
dalam hal pelatihan guru, penguatan manajemen sekolah, serta pengembangan modul
kokurikuler yang kontekstual dan aplikatif⁽⁴⁾.
Sebagai rekomendasi,
satuan pendidikan perlu:
1)
Mengintegrasikan kegiatan
kokurikuler secara eksplisit dalam KOSP dan kalender pendidikan.
2)
Memberdayakan guru sebagai fasilitator
dan pelaku inovasi dalam pelaksanaan kegiatan.
3)
Menyediakan ruang aktualisasi
minat dan potensi siswa melalui proyek berbasis nilai dan kontekstual.
4)
Melibatkan orang tua dan
masyarakat dalam penguatan budaya belajar yang berorientasi karakter dan keterampilan.
5)
Membangun sistem evaluasi yang
berbasis proses dan hasil, serta memberi umpan balik reflektif kepada peserta
didik.
Dengan strategi yang
terencana, partisipatif, dan berkelanjutan, kegiatan kokurikuler dapat menjelma
menjadi pilar penting dalam membangun pendidikan yang lebih utuh, inklusif, dan
berorientasi pada masa depan. Kegiatan ini bukan lagi sekadar pelengkap,
melainkan bagian dari transformasi pembelajaran yang menyatu dengan visi
pendidikan nasional: mencetak generasi yang beriman, berilmu, dan berdaya saing
dalam era global⁽⁵⁾.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: Kemendikbudristek, 2024), Pasal 6.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbud, 2021), 4–12.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 10–17.
[4]
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 133–135.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
Daftar Pustaka
Dewantara, K. H. (2009). Pendidikan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Pedoman
komunitas belajar guru dan kepala sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal
Guru dan Tenaga Kependidikan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2021). Profil
pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2021). Panduan pengembangan kurikulum
operasional satuan pendidikan. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2021). Panduan pelaksanaan proyek penguatan
profil pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2024). Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada
PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbudristek.
Lickona, T. (1991). Educating for character: How
our schools can teach respect and responsibility. New York, NY: Bantam
Books.
LPMP DIY. (2021). Best practices kegiatan
kokurikuler di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Yogyakarta: Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan DIY.
Mulyasa, E. (2013). Manajemen berbasis sekolah:
Konsep, strategi, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
OECD. (2020). Future of education and skills
2030: OECD learning compass. Paris: OECD Publishing.
Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara RI Tahun
2003 No. 78.
Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.
Stoll, L., & Fink, D. (1996). Changing our
schools: Linking school effectiveness and school improvement. Buckingham:
Open University Press.
Sugiharto, A. S. (2021). Inovasi digital dalam
pendidikan pasca pandemi. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Sukmadinata, N. S. (2009). Landasan psikologi
proses pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st
century skills: Learning for life in our times. San Francisco, CA:
Jossey-Bass.
Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding
by design (Expanded 2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.
Zainal, A. (2016). Model-model, media, dan
strategi pembelajaran kontekstual. Bandung: Yrama Widya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar