Jumat, 25 Juli 2025

Guru Filosofis ala Plato: Kajian atas Prinsip-Prinsip Pendidikan dalam Filsafat Platonik

Guru Filosofis ala Plato

Kajian atas Prinsip-Prinsip Pendidikan dalam Filsafat Platonik


Alihkan ke: Philosophy for Children (P4C).


Abstrak

Artikel ini mengkaji prinsip-prinsip pendidikan dalam filsafat Plato serta implikasinya bagi profesi keguruan di era modern. Melalui pendekatan filosofis-hermeneutik, pembahasan dimulai dengan menelusuri biografi dan kerangka pemikiran Plato sebagai filsuf idealis dan pendiri Akademi pertama dalam sejarah dunia Barat. Plato memandang pendidikan sebagai proses pembebasan jiwa menuju kebenaran hakiki melalui pengenalan dunia ide, pembentukan akal budi, dan pengendalian diri. Artikel ini mengurai delapan prinsip utama pendidikan Plato, antara lain: dunia ide, alegori gua, pembagian jiwa, intelektualisme moral, diferensiasi bakat, peran guru sebagai filsuf, pendidikan bertahap, dan konsep kalokagathia (harmoni keindahan dan kebaikan). Setiap prinsip dianalisis dalam konteks tantangan pendidikan kontemporer, termasuk krisis moral, dehumanisasi pembelajaran, serta kebutuhan akan pendidikan karakter dan pembelajaran yang humanistik. Artikel ini menegaskan bahwa menjadi guru dalam perspektif Plato bukan sekadar profesi teknis, melainkan panggilan intelektual dan spiritual yang menuntut kebijaksanaan, komitmen etis, dan cinta terhadap kebenaran. Oleh karena itu, pemikiran Plato tetap aktual untuk membangun paradigma pendidikan yang bermakna, mendalam, dan memanusiakan manusia.

Kata Kunci: Plato; Filsafat Pendidikan; Dunia Ide; Guru sebagai Filsuf; Pendidikan Holistik; Pendidikan Karakter; Kalokagathia.


PEMBAHASAN

Prinsip-Prinsip yang Dapat Dijadikan Pegangan oleh Seorang Guru Berdasarkan Perspektif Pemikiran Plato


1.           Pendahuluan

Pendidikan adalah fondasi utama bagi peradaban yang beradab dan bermartabat. Dalam sejarah pemikiran manusia, para filsuf besar telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman tentang hakikat pendidikan dan peran guru sebagai agen transformasi intelektual dan moral. Salah satu tokoh yang meletakkan dasar-dasar pemikiran pendidikan yang bersifat filosofis adalah Plato (427–347 SM), murid dari Socrates sekaligus guru dari Aristoteles, yang dikenal luas sebagai pendiri Akademi pertama dalam sejarah dunia Barat.¹

Plato bukan hanya seorang filsuf metafisika, tetapi juga seorang pemikir pendidikan yang mendalam. Ia menempatkan pendidikan sebagai proses pembebasan jiwa manusia dari kegelapan ketidaktahuan menuju terang kebenaran hakiki.² Dalam karya terkenalnya, The Republic, Plato menggambarkan pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan sebagai proses spiritual dan intelektual yang membentuk jiwa manusia agar selaras dengan kebaikan, keindahan, dan kebenaran.³ Maka dari itu, bagi Plato, seorang pendidik sejati harus bersifat filosofis — yakni mencintai kebijaksanaan dan memiliki visi ideal tentang apa yang baik bagi jiwa manusia.⁴

Urgensi untuk kembali menelaah prinsip-prinsip pendidikan Plato menjadi semakin relevan di tengah tantangan zaman modern, ketika pendidikan seringkali terjebak dalam orientasi pragmatis, materialistis, dan teknokratis semata. Guru dalam banyak sistem pendidikan kontemporer berperan sebagai teknisi kurikulum, bukan sebagai pembimbing jiwa.⁵ Dalam konteks inilah, pemikiran Plato menawarkan perspektif alternatif yang mendalam — bahwa pendidikan harus berakar pada nilai-nilai kebenaran dan keutamaan moral, dan guru harus menjadi figur yang mampu menuntun siswa menuju realitas yang lebih luhur dan abadi.⁶

Kajian ini bertujuan untuk mengungkap secara sistematis prinsip-prinsip pendidikan yang dapat dijadikan pegangan oleh seorang guru berdasarkan perspektif pemikiran Plato. Dengan mengacu pada naskah-naskah asli Plato serta interpretasi para pemikir pendidikan modern, tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan dimensi filosofis dalam profesi keguruan serta memperkaya praktik pendidikan dengan landasan etik dan intelektual yang kokoh.


Footnotes

[1]                Richard Kraut, The Cambridge Companion to Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 5.

[2]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII, 514a–520a.

[3]                Nicholas P. White, Plato on Knowledge and Reality (Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 89.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 121.

[5]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 9–11.

[6]                David Carr, Making Sense of Education: An Introduction to the Philosophy and Theory of Education and Teaching (London: Routledge, 2003), 45.


2.           Biografi Singkat dan Latar Filsafat Plato

Plato (427–347 SM) adalah salah satu filsuf terbesar dalam sejarah peradaban Barat. Ia lahir di Athena dari keluarga aristokrat yang terkemuka dan memiliki garis keturunan politik. Nama aslinya adalah Aristokles, namun ia lebih dikenal dengan julukan “Plato” yang berarti ‘lebar’ atau ‘dada bidang’, yang kemungkinan mengacu pada bentuk fisiknya atau gaya retorikanya yang luas.¹ Ia merupakan murid langsung dari Socrates, seorang filsuf besar yang tidak menuliskan ajarannya, tetapi berpengaruh besar terhadap cara berpikir Plato yang dialogis dan dialektis.²

Peristiwa eksekusi Socrates pada tahun 399 SM menjadi titik balik dalam kehidupan intelektual Plato. Ia sangat terguncang oleh peristiwa tersebut dan memutuskan untuk meninggalkan dunia politik, lalu mengabdikan hidupnya pada filsafat.³ Dalam upaya mengabadikan ajaran gurunya, Plato menulis lebih dari dua puluh dialog filosofis, yang tidak hanya membahas etika dan epistemologi, tetapi juga pendidikan, politik, dan metafisika.⁴ Salah satu karya monumentalnya, Politeia (The Republic), menjadi teks penting yang merumuskan pandangan ideal tentang negara, keadilan, dan pendidikan.⁵

Pada sekitar tahun 387 SM, Plato mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Akademia di Athena, yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tinggi pertama dalam sejarah dunia Barat. Akademi ini tidak hanya berfokus pada pengajaran retorika atau keterampilan praktis, tetapi lebih jauh lagi mengkaji filsafat, matematika, logika, dan astronomi sebagai fondasi pembentukan manusia yang ideal.⁶ Melalui Akademi, Plato berharap dapat melahirkan generasi pemimpin yang memiliki keutamaan intelektual dan moral. Salah satu murid terkenalnya di sana adalah Aristoteles, yang kelak menjadi filsuf besar tersendiri dan membentuk sistem filsafat yang lebih empiris.⁷

Filsafat Plato berpijak pada pandangan metafisis dualistik, yakni pembedaan antara dunia indrawi (fenomena) yang fana dan dunia ide (noumena) yang abadi. Dunia indrawi hanyalah bayangan atau refleksi dari dunia ide yang sempurna dan tidak berubah.⁸ Pengetahuan sejati (episteme) bagi Plato hanya mungkin dicapai jika manusia mampu melampaui realitas kasatmata menuju pemahaman akan dunia ide.⁹ Dengan demikian, pendidikan dalam pandangan Plato adalah proses intelektual dan spiritual yang bertujuan membimbing jiwa manusia naik menuju kebenaran yang hakiki.¹⁰

Pandangan filsafat Plato tidak bisa dipisahkan dari proyek politik dan etika yang ia bangun. Bagi Plato, pendidikan bukanlah hal netral atau teknis semata, tetapi sebuah instrumen penting dalam membentuk karakter warga negara yang adil dan bijaksana.¹¹ Maka, tidak mengherankan jika dalam The Republic, Plato menyusun kurikulum pendidikan ideal yang disesuaikan dengan tahapan usia dan struktur jiwa manusia.¹² Latar filosofis inilah yang menjadikan Plato sebagai salah satu pemikir pendidikan paling berpengaruh sepanjang masa.


Footnotes

[1]                Julia Annas, Plato: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 1–2.

[2]                Terence Irwin, Classical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1989), 48–50.

[3]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 85.

[4]                Dominic J. O’Meara, Platonopolis: Platonic Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003), 14–16.

[5]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book II–VII.

[6]                John Dillon, The Heirs of Plato: A Study of the Old Academy (347–274 BC) (Oxford: Oxford University Press, 2003), 3–4.

[7]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 5.

[8]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I – Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 203–206.

[9]                Nicholas P. White, Plato on Knowledge and Reality (Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 12–14.

[10]             Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 28.

[11]             David Carr, Making Sense of Education: An Introduction to the Philosophy and Theory of Education and Teaching (London: Routledge, 2003), 34.

[12]             Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 125–140.


3.           Prinsip-Prinsip Pendidikan Plato dan Implikasinya bagi Guru

Plato memandang pendidikan bukan sekadar proses mekanis untuk mentransfer informasi, melainkan sebagai proses transformasi jiwa menuju kebenaran dan kebajikan.¹ Dalam The Republic dan karya-karya dialogis lainnya, ia merumuskan sejumlah prinsip yang membentuk fondasi filosofis pendidikan ideal. Prinsip-prinsip ini memiliki implikasi mendalam bagi peran dan orientasi seorang guru. Berikut adalah delapan prinsip utama pendidikan dalam filsafat Plato beserta refleksi pedagogisnya.

3.1.       Prinsip Dunia Ide (Theory of Forms)

Plato membedakan antara dunia indrawi (yang berubah-ubah) dan dunia ide (yang kekal dan sempurna). Pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui akal yang mengarahkan jiwa kepada dunia ide, bukan dari pengalaman inderawi semata.²

Implikasi bagi guru: Guru harus membimbing siswa melewati fakta-fakta konkret menuju pemahaman yang lebih esensial. Guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi penuntun menuju kebenaran universal.³ Dalam konteks pendidikan modern, hal ini menekankan pentingnya pengembangan berpikir kritis dan reflektif pada siswa.

3.2.       Prinsip Pendidikan sebagai Pembebasan (Allegory of the Cave)

Melalui Allegory of the Cave, Plato menggambarkan manusia yang terbelenggu dalam ketidaktahuan seperti tahanan dalam gua. Pendidikan adalah proses pembebasan jiwa dari bayang-bayang menuju cahaya kebenaran.⁴

Implikasi bagi guru: Guru berperan sebagai pembebas, yakni membangkitkan kesadaran dan mengeluarkan siswa dari ilusi pengetahuan palsu.⁵ Guru sejati harus memiliki ketangguhan moral dan intelektual untuk menuntun jiwa-jiwa muda keluar dari “gua” ketidaktahuan.

3.3.       Prinsip Jiwa sebagai Subjek Pendidikan

Plato membagi jiwa menjadi tiga bagian: rasional (logistikon), emosional (thymoeides), dan nafsu atau keinginan (epithymetikon). Pendidikan harus menciptakan harmoni antar bagian tersebut, dengan akal sebagai pengendali.⁶

Implikasi bagi guru: Guru tidak cukup mengembangkan kognisi, tapi juga harus membina karakter dan mengarahkan emosi serta dorongan siswa secara seimbang. Pendidikan holistik ini menegaskan pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan emosional.

3.4.       Prinsip Intelektualisme Moral

Plato meyakini bahwa pengetahuan dan kebajikan berkaitan erat — seseorang yang sungguh mengetahui apa yang baik tidak akan bertindak jahat.⁷

Implikasi bagi guru: Pendidikan harus menyatukan antara aspek kognitif dan etis. Guru tidak hanya membentuk siswa menjadi cerdas, tetapi juga bijak dan bermoral. Hal ini relevan dengan upaya integrasi antara nilai-nilai dan kecakapan akademik dalam pendidikan kontemporer.

3.5.       Prinsip Diferensiasi Bakat dan Minat

Dalam The Republic, Plato menekankan bahwa setiap individu memiliki kodrat, potensi, dan tugas yang berbeda dalam masyarakat.⁸ Oleh karena itu, sistem pendidikan harus mengenali dan mengembangkan potensi alami peserta didik.

Implikasi bagi guru: Guru hendaknya mengenali keunikan setiap siswa dan memfasilitasi perkembangan sesuai bakat dan peran kodrati mereka. Hal ini menjadi landasan awal bagi pendekatan pembelajaran yang diferensiatif dan personalized.

3.6.       Prinsip Keutamaan Guru sebagai Filsuf

Bagi Plato, filsuf adalah penguasa ideal karena memiliki cinta terhadap kebenaran dan kemampuan untuk membedakan dunia nyata dari dunia semu.⁹ Guru ideal harus meneladani semangat ini.

Implikasi bagi guru: Guru sejati adalah seorang pecinta kebijaksanaan (philosophos), yang berpikir mendalam, menolak pragmatisme sempit, dan terus mencari kebenaran.¹⁰ Hal ini memperkuat peran guru sebagai intelektual moral dan bukan sekadar pelaksana teknis kurikulum.

3.7.       Prinsip Pendidikan sebagai Proses Bertahap

Plato merancang kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan tahapan usia dan perkembangan jiwa, dimulai dari musik dan olahraga untuk anak, hingga logika dan filsafat bagi yang dewasa.¹¹

Implikasi bagi guru: Guru harus memahami perkembangan psikologis dan kognitif siswa, serta menyesuaikan pendekatan pedagogis sesuai dengan tahap pendidikan mereka. Prinsip ini mendukung penerapan developmentally appropriate practices dalam pendidikan modern.

3.8.       Prinsip Kalokagathia (Keindahan dan Kebaikan)

Kalokagathia merupakan prinsip Yunani klasik yang menekankan keharmonisan antara keindahan (kalos) dan kebaikan (agathos). Bagi Plato, keindahan adalah pancaran dari dunia ide dan memiliki nilai etis.¹²

Implikasi bagi guru: Guru harus membina siswa agar mencintai keindahan estetika, moral, dan intelektual. Seni, sastra, dan etika bukan pelengkap kurikulum, tetapi bagian integral dari pembentukan jiwa yang luhur.


Footnotes

[1]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 28–29.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I – Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 207.

[3]                Nicholas P. White, Plato on Knowledge and Reality (Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 34.

[4]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII, 514a–520a.

[5]                David Carr, Making Sense of Education: An Introduction to the Philosophy and Theory of Education and Teaching (London: Routledge, 2003), 36.

[6]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 114.

[7]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 57.

[8]                Plato, The Republic, Book III–IV.

[9]                Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1995), 309–310.

[10]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 77–79.

[11]             Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 130–132.

[12]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 79.


4.           Relevansi Prinsip Plato dalam Pendidikan Modern

Meskipun Plato hidup lebih dari dua milenium yang lalu, banyak gagasan pendidikannya tetap relevan dan bahkan semakin signifikan dalam konteks tantangan pendidikan modern. Filsafat pendidikannya tidak sekadar bersifat historis, tetapi mengandung nilai-nilai universal yang dapat diadaptasi untuk membentuk sistem pendidikan yang holistik, bermakna, dan transformatif.

4.1.       Kritis terhadap Pendidikan yang Bersifat Instruksional dan Komersial

Plato mengecam pendidikan yang hanya mengajarkan keterampilan teknis tanpa menyentuh dimensi etis dan filosofis.¹ Kritik ini sangat relevan di tengah kecenderungan sistem pendidikan masa kini yang terlalu terfokus pada pencapaian akademik kuantitatif, ujian standar, dan keterampilan kerja pragmatis.² Dalam banyak kasus, pendidikan diperlakukan sebagai “industri jasa” yang menomorsatukan output ekonomi ketimbang pengembangan kebajikan dan kearifan moral.³ Prinsip Plato menantang paradigma ini dengan mengingatkan bahwa pendidikan sejati bertujuan membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar individu yang “terampil”.

4.2.       Pentingnya Pendidikan Karakter dan Moral

Plato menekankan bahwa pengetahuan sejati berkaitan erat dengan kebajikan.⁴ Gagasan ini bergaung kuat dalam pendidikan karakter kontemporer yang berusaha mengintegrasikan dimensi afektif ke dalam kurikulum. Gerakan seperti Social Emotional Learning (SEL) dan Character Education di berbagai belahan dunia menunjukkan adanya kesadaran baru akan perlunya penguatan dimensi moral dalam pendidikan.⁵ Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter juga menjadi elemen kunci dalam Kurikulum Merdeka.⁶

4.3.       Pengakuan terhadap Keunikan dan Diferensiasi Individu

Dalam The Republic, Plato menyerukan bahwa setiap individu memiliki kodrat yang berbeda dan seharusnya diarahkan sesuai fitrahnya.⁷ Gagasan ini beresonansi dengan pendekatan pedagogi modern seperti student-centered learning, differentiated instruction, dan personalized education, yang menekankan pentingnya memfasilitasi potensi unik tiap peserta didik.⁸ Dalam era digital saat ini, teknologi bahkan memungkinkan pendekatan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan individual.

4.4.       Guru sebagai Filsuf dan Fasilitator Pencarian Makna

Plato memandang guru ideal sebagai filsuf: pencinta kebijaksanaan yang hidup dalam kesadaran akan kebenaran dan keutamaan.⁹ Dalam dunia pendidikan masa kini yang kompleks dan cepat berubah, guru tidak lagi sekadar sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai pemantik pemikiran kritis, fasilitator pembelajaran bermakna, dan penjaga nilai-nilai moral.ⁱ⁰ Semangat Plato ini mendukung visi guru sebagai intelektual profesional yang reflektif dan etis, sebagaimana ditegaskan oleh tokoh pendidikan modern seperti Paulo Freire dan Nel Noddings.¹¹

4.5.       Pendidikan sebagai Proses Panjang dan Bertahap

Sistem pendidikan bertingkat yang digagas Plato — dari pendidikan jasmani dan musik pada masa kanak-kanak hingga pendidikan filsafat pada masa dewasa — memberikan kerangka pengembangan kurikulum yang progresif.¹² Pendidikan modern juga mengakui pentingnya pendekatan developmentally appropriate yang memperhatikan tahapan tumbuh kembang kognitif, afektif, dan sosial peserta didik.¹³ Kurikulum yang disusun berdasarkan usia dan kesiapan psikologis ini menjadi salah satu prinsip dasar dalam sistem pendidikan di banyak negara maju.

4.6.       Penekanan pada Kebenaran, Keindahan, dan Kebaikan

Konsep kalokagathia Plato — yaitu harmoni antara kebenaran, keindahan, dan kebaikan — menawarkan paradigma alternatif terhadap pendidikan yang sering kali terlalu fokus pada produktivitas dan kompetisi.¹⁴ Prinsip ini mendasari pendekatan humanistik dalam pendidikan yang menempatkan nilai-nilai estetika dan spiritual sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran. Pendidikan seni, etika, dan apresiasi terhadap lingkungan menjadi wahana konkret untuk membentuk manusia yang sensitif dan bermakna dalam kehidupan sosialnya.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book II.

[2]                Henry A. Giroux, Neoliberalism’s War on Higher Education (Chicago: Haymarket Books, 2014), 15.

[3]                Gert Biesta, “Good Education in an Age of Measurement: Ethics, Politics, Democracy,” Educational Assessment, Evaluation and Accountability 21, no. 1 (2009): 33–46.

[4]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 57–60.

[5]                Joseph L. Mahoney et al., “Promoting Positive Youth Development through School-Based Social and Emotional Learning Interventions,” Child Development 89, no. 2 (2018): 405–424.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbud, 2022), 13.

[7]                Plato, The Republic, Book III–IV.

[8]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 2–4.

[9]                Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1995), 292–294.

[10]             Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education (New York: Teachers College Press, 2005), 14–15.

[11]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 61–62.

[12]             Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 128–133.

[13]             David Elkind, The Hurried Child: Growing Up Too Fast Too Soon, 3rd ed. (Cambridge, MA: Perseus Books, 2001), 78–80.

[14]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 78–79.


5.           Penutup

Plato mewariskan warisan intelektual yang sangat kaya dalam bidang pendidikan, yang terus memberi inspirasi bagi para pemikir, praktisi, dan pendidik hingga masa kini. Pemikirannya tidak hanya memberikan fondasi teoritis bagi filsafat pendidikan Barat, tetapi juga menawarkan prinsip-prinsip mendalam yang relevan lintas zaman: pendidikan sebagai proses pembebasan jiwa, pembentukan karakter, penalaran yang tinggi, serta pencarian makna hidup yang otentik.¹ Dalam pandangan Plato, guru bukan sekadar pengajar teknis, melainkan seorang philosophos — pencinta kebijaksanaan dan penuntun spiritual yang membimbing peserta didik dari bayang-bayang ketidaktahuan menuju terang kebenaran.²

Kajian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip pendidikan Plato dapat memberikan kerangka etik dan intelektual yang kuat untuk merespons tantangan pendidikan kontemporer. Di tengah krisis moral, dehumanisasi pendidikan, dan dominasi pendekatan teknokratik yang menekankan efisiensi dan produktivitas, filsafat Plato menjadi pengingat akan hakikat sejati pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia.³ Dengan menempatkan kebenaran, keindahan, dan kebaikan sebagai orientasi dasar pendidikan, Plato mengajarkan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah eudaimonia — kehidupan yang baik dan bermakna.⁴

Bagi para guru, pemikiran Plato mendorong refleksi diri yang mendalam tentang peran dan identitas profesional mereka. Guru harus berani melampaui rutinitas administratif dan kurikuler, menuju pemahaman yang lebih filosofis tentang tugas mendidik: membentuk akal, membina karakter, dan membebaskan jiwa dari kebodohan.⁵ Hal ini menuntut komitmen terhadap pembelajaran sepanjang hayat, integritas moral, dan kecintaan terhadap kebenaran. Sebagaimana ditegaskan dalam The Republic, hanya mereka yang telah menjalani perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang yang layak membimbing orang lain.⁶

Oleh karena itu, menjadi guru filosofis ala Plato bukan berarti menjadi guru yang abstrak dan mengawang-awang, tetapi menjadi guru yang memiliki kesadaran mendalam tentang hakikat manusia, nilai kebaikan, dan tujuan pendidikan yang luhur. Pendidikan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip Plato akan membentuk insan-insan yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga arif secara moral, kritis secara intelektual, dan utuh secara spiritual — manusia ideal sebagaimana yang dicita-citakan oleh Plato dalam visi masyarakatnya yang adil dan harmonis.⁷


Footnotes

[1]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2016), 31–32.

[2]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII, 518b–520e.

[3]                Gert Biesta, “The Rediscovery of Teaching,” Educational Philosophy and Theory 48, no. 4 (2016): 340–346.

[4]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 107–109.

[5]                Paulo Freire, Teachers as Cultural Workers: Letters to Those Who Dare Teach (Boulder, CO: Westview Press, 1998), 15–17.

[6]                Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester: Wiley-Blackwell, 2015), 135.

[7]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 122–123.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford University Press.

Annas, J. (2003). Plato: A very short introduction. Oxford University Press.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford University Press.

Biesta, G. (2009). Good education in an age of measurement: Ethics, politics, democracy. Educational Assessment, Evaluation and Accountability, 21(1), 33–46. https://doi.org/10.1007/s11092-008-9064-9

Biesta, G. (2016). The rediscovery of teaching. Educational Philosophy and Theory, 48(4), 340–346. https://doi.org/10.1080/00131857.2015.1041442

Carr, D. (2003). Making sense of education: An introduction to the philosophy and theory of education and teaching. Routledge.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Volume I – Greece and Rome. Image Books.

Dillon, J. (2003). The heirs of Plato: A study of the Old Academy (347–274 BC). Oxford University Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Elkind, D. (2001). The hurried child: Growing up too fast too soon (3rd ed.). Perseus Books.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Freire, P. (1998). Teachers as cultural workers: Letters to those who dare teach. Westview Press.

Giroux, H. A. (2014). Neoliberalism’s war on higher education. Haymarket Books.

Guthrie, W. K. C. (1975). A history of Greek philosophy: Volume IV, Plato the man and his dialogues. Cambridge University Press.

Hadot, P. (2002). What is ancient philosophy? Harvard University Press.

Irwin, T. (1989). Classical thought. Oxford University Press.

Irwin, T. (1995). Plato’s ethics. Oxford University Press.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Panduan implementasi Kurikulum Merdeka. Kemendikbud.

Mahoney, J. L., Durlak, J. A., & Weissberg, R. P. (2018). Promoting positive youth development through school-based social and emotional learning interventions: A meta-analysis of follow-up effects. Child Development, 89(2), 405–424. https://doi.org/10.1111/cdev.12864

Noddings, N. (2005). The challenge to care in schools: An alternative approach to education (2nd ed.). Teachers College Press.

Noddings, N. (2016). Philosophy of education (4th ed.). Westview Press.

O’Meara, D. J. (2003). Platonopolis: Platonic political philosophy in late antiquity. Clarendon Press.

Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Rowe, C. (2015). Plato on education. In W. M. Bloomer (Ed.), A companion to ancient education (pp. 125–140). Wiley-Blackwell.

Tomlinson, C. A. (2017). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). ASCD.

White, N. P. (2004). Plato on knowledge and reality. Hackett Publishing.


Lampiran: Prinsip Seorang Guru Berdasarkan Perspektif Pemikiran Plato

Berikut adalah berbagai prinsip yang dapat dijadikan pegangan oleh seorang guru berdasarkan perspektif pemikiran Plato, murid dari Socrates dan pendiri Akademi pertama dalam sejarah dunia Barat:

1.                  Prinsip Dunia Ide (Theory of Forms)

Plato meyakini bahwa dunia nyata yang kita lihat hanyalah bayangan dari dunia ideal (ide/forma) yang sempurna dan abadi.

Implikasi bagi guru: Pendidikan harus membimbing siswa untuk melampaui pengetahuan lahiriah menuju kebenaran yang hakiki dan universal. Guru bukan hanya mengajarkan fakta, tapi membimbing murid memahami makna yang lebih dalam dari segala sesuatu.

2.                  Prinsip Pendidikan sebagai Pembebasan (Allegory of the Cave)

Dalam alegori gua yang terkenal, Plato menggambarkan pendidikan sebagai proses pembebasan jiwa dari kegelapan (ketidaktahuan) menuju cahaya kebenaran (pengetahuan sejati).

Implikasi bagi guru: Guru harus menjadi "penuntun keluar dari gua", membebaskan murid dari ilusi, kebodohan, dan pandangan sempit. Pendidikan harus membangkitkan kesadaran dan pembebasan intelektual.

3.                  Prinsip Jiwa sebagai Subjek Pendidikan

Plato membagi jiwa manusia menjadi tiga bagian: rasional (akal), emosional (kehendak), dan nafsu. Pendidikan sejati adalah membentuk harmoni dalam jiwa dan menjadikan akal sebagai pemimpin.

Implikasi bagi guru: Guru tidak hanya mendidik akal, tapi juga membina karakter dan mengarahkan emosi serta dorongan siswa secara seimbang.

4.                  Prinsip Intelektualisme Moral

Plato berpandangan bahwa pengetahuan dan kebajikan saling berkaitan — orang yang mengetahui kebaikan akan terdorong untuk berbuat baik.

Implikasi bagi guru: Pendidikan harus menyatu antara ilmu dan etika. Guru mendidik bukan hanya untuk menjadikan siswa cerdas, tapi juga bijaksana dan bermoral.

5.                  Prinsip Diferensiasi Bakat dan Minat

Plato dalam The Republic menekankan bahwa setiap individu memiliki potensi dan fitrah yang berbeda-beda. Maka, pendidikan sebaiknya menyesuaikan dengan kemampuan dan peran alamiah tiap individu.

Implikasi bagi guru: Guru harus mengenali potensi unik tiap siswa dan membimbing mereka sesuai arah tumbuh kembangnya. Pendidikan bukan menyeragamkan, tapi memfasilitasi pertumbuhan kodrati.

6.                  Prinsip Keutamaan Guru sebagai Filsuf

Plato menempatkan filsuf sebagai penguasa ideal karena kebijaksanaan, pengetahuan, dan cinta akan kebenaran.

Implikasi bagi guru: Guru harus memiliki semangat filsuf: berpikir mendalam, mencintai kebenaran, dan tidak terjebak pada kepentingan pragmatis. Guru sejati bukan hanya pengajar, tapi pencari kebenaran.

7.                  Prinsip Pendidikan Sebagai Proses Bertahap

Plato menyusun sistem pendidikan yang bertingkat, dari pendidikan jasmani dan moral pada anak-anak, hingga pendidikan logika dan filsafat pada usia dewasa.

Implikasi bagi guru: Guru harus memahami tahap perkembangan psikologis dan intelektual peserta didik, serta menyusun kurikulum dan metode pengajaran yang sesuai dengan tahapan tersebut.

8.                  Prinsip Kalokagathia (Keindahan & Kebaikan)

Plato sangat menekankan hubungan antara keindahan, kebaikan, dan kebenaran. Pendidikan seharusnya menumbuhkan cinta pada ketiganya.

Implikasi bagi guru: Guru membentuk kepribadian siswa secara menyeluruh — mengasah intelektual, membentuk karakter mulia, dan menumbuhkan apresiasi terhadap keindahan (baik seni, moral, maupun spiritual).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar