Guru Filosofis ala Plato
Kajian atas Prinsip-Prinsip
Pendidikan dalam Filsafat Platonik
Alihkan ke: Philosophy for Children (P4C).
Abstrak
Artikel ini mengkaji prinsip-prinsip
pendidikan dalam filsafat Plato serta implikasinya bagi profesi keguruan di era
modern. Melalui pendekatan filosofis-hermeneutik, pembahasan dimulai dengan
menelusuri biografi dan kerangka pemikiran Plato sebagai filsuf idealis dan
pendiri Akademi pertama dalam sejarah dunia Barat. Plato memandang pendidikan
sebagai proses pembebasan jiwa menuju kebenaran hakiki melalui pengenalan dunia
ide, pembentukan akal budi, dan pengendalian diri. Artikel ini mengurai delapan
prinsip utama pendidikan Plato, antara lain: dunia ide, alegori gua, pembagian
jiwa, intelektualisme moral, diferensiasi bakat, peran guru sebagai filsuf,
pendidikan bertahap, dan konsep kalokagathia (harmoni keindahan dan kebaikan).
Setiap prinsip dianalisis dalam konteks tantangan pendidikan kontemporer,
termasuk krisis moral, dehumanisasi pembelajaran, serta kebutuhan akan
pendidikan karakter dan pembelajaran yang humanistik. Artikel ini menegaskan
bahwa menjadi guru dalam perspektif Plato bukan sekadar profesi teknis,
melainkan panggilan intelektual dan spiritual yang menuntut kebijaksanaan,
komitmen etis, dan cinta terhadap kebenaran. Oleh karena itu, pemikiran Plato
tetap aktual untuk membangun paradigma pendidikan yang bermakna, mendalam, dan
memanusiakan manusia.
Kata
Kunci: Plato; Filsafat Pendidikan; Dunia Ide; Guru sebagai Filsuf; Pendidikan
Holistik; Pendidikan Karakter; Kalokagathia.
PEMBAHASAN
Prinsip-Prinsip yang Dapat
Dijadikan Pegangan oleh Seorang Guru Berdasarkan Perspektif Pemikiran Plato
1.
Pendahuluan
Pendidikan adalah fondasi utama bagi peradaban yang beradab dan
bermartabat. Dalam sejarah pemikiran manusia, para filsuf besar telah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman tentang hakikat
pendidikan dan peran guru sebagai agen transformasi intelektual dan moral.
Salah satu tokoh yang meletakkan dasar-dasar pemikiran pendidikan yang bersifat
filosofis adalah Plato (427–347 SM), murid dari Socrates sekaligus guru
dari Aristoteles, yang dikenal luas sebagai pendiri Akademi pertama dalam sejarah
dunia Barat.¹
Plato bukan hanya seorang filsuf metafisika, tetapi juga seorang
pemikir pendidikan yang mendalam. Ia menempatkan pendidikan sebagai proses
pembebasan jiwa manusia dari kegelapan ketidaktahuan menuju terang kebenaran
hakiki.² Dalam karya terkenalnya, The Republic, Plato menggambarkan
pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan sebagai proses
spiritual dan intelektual yang membentuk jiwa manusia agar selaras dengan
kebaikan, keindahan, dan kebenaran.³ Maka dari itu, bagi Plato, seorang
pendidik sejati harus bersifat filosofis — yakni mencintai kebijaksanaan dan
memiliki visi ideal tentang apa yang baik bagi jiwa manusia.⁴
Urgensi untuk kembali menelaah prinsip-prinsip pendidikan Plato menjadi
semakin relevan di tengah tantangan zaman modern, ketika pendidikan seringkali
terjebak dalam orientasi pragmatis, materialistis, dan teknokratis semata. Guru
dalam banyak sistem pendidikan kontemporer berperan sebagai teknisi kurikulum,
bukan sebagai pembimbing jiwa.⁵ Dalam konteks inilah, pemikiran Plato
menawarkan perspektif alternatif yang mendalam — bahwa pendidikan harus berakar
pada nilai-nilai kebenaran dan keutamaan moral, dan guru harus menjadi figur
yang mampu menuntun siswa menuju realitas yang lebih luhur dan abadi.⁶
Kajian ini bertujuan untuk mengungkap secara sistematis prinsip-prinsip
pendidikan yang dapat dijadikan pegangan oleh seorang guru berdasarkan
perspektif pemikiran Plato. Dengan mengacu pada naskah-naskah asli Plato serta
interpretasi para pemikir pendidikan modern, tulisan ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap penguatan dimensi filosofis dalam profesi
keguruan serta memperkaya praktik pendidikan dengan landasan etik dan
intelektual yang kokoh.
Footnotes
[1]
Richard Kraut, The Cambridge Companion to Plato
(Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 5.
[2]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII, 514a–520a.
[3]
Nicholas P. White, Plato on Knowledge and Reality
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 89.
[4]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 121.
[5]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2016), 9–11.
[6]
David Carr, Making Sense of Education: An
Introduction to the Philosophy and Theory of Education and Teaching
(London: Routledge, 2003), 45.
2.
Biografi Singkat dan Latar Filsafat Plato
Plato (427–347 SM) adalah salah
satu filsuf terbesar dalam sejarah peradaban Barat. Ia lahir di Athena dari keluarga aristokrat
yang terkemuka dan memiliki garis keturunan politik. Nama aslinya adalah Aristokles,
namun ia lebih dikenal dengan julukan “Plato” yang berarti ‘lebar’ atau ‘dada
bidang’, yang kemungkinan mengacu pada bentuk fisiknya atau gaya retorikanya
yang luas.¹ Ia merupakan murid langsung dari Socrates, seorang filsuf besar
yang tidak menuliskan ajarannya, tetapi berpengaruh besar terhadap cara
berpikir Plato yang dialogis dan dialektis.²
Peristiwa eksekusi Socrates pada tahun 399 SM menjadi titik balik dalam
kehidupan intelektual Plato. Ia sangat terguncang oleh peristiwa tersebut dan
memutuskan untuk meninggalkan dunia politik, lalu mengabdikan hidupnya pada
filsafat.³ Dalam upaya mengabadikan ajaran gurunya, Plato menulis lebih dari
dua puluh dialog filosofis, yang tidak hanya membahas etika dan epistemologi,
tetapi juga pendidikan, politik, dan metafisika.⁴ Salah satu karya
monumentalnya, Politeia (The Republic), menjadi teks penting yang
merumuskan pandangan ideal tentang negara, keadilan, dan pendidikan.⁵
Pada sekitar tahun 387 SM, Plato mendirikan sebuah lembaga pendidikan
bernama Akademia di Athena, yang dianggap sebagai lembaga pendidikan
tinggi pertama dalam sejarah dunia Barat. Akademi ini tidak hanya berfokus
pada pengajaran retorika atau keterampilan praktis, tetapi lebih jauh lagi
mengkaji filsafat, matematika, logika, dan astronomi sebagai fondasi
pembentukan manusia yang ideal.⁶ Melalui Akademi, Plato berharap dapat melahirkan
generasi pemimpin yang memiliki keutamaan intelektual dan moral. Salah satu
murid terkenalnya di sana adalah Aristoteles, yang kelak menjadi filsuf besar
tersendiri dan membentuk sistem filsafat yang lebih empiris.⁷
Filsafat Plato berpijak pada pandangan metafisis dualistik,
yakni pembedaan antara dunia indrawi (fenomena) yang fana dan dunia ide
(noumena) yang abadi. Dunia indrawi hanyalah bayangan atau refleksi dari dunia
ide yang sempurna dan tidak berubah.⁸ Pengetahuan sejati (episteme) bagi Plato
hanya mungkin dicapai jika manusia mampu melampaui realitas kasatmata menuju
pemahaman akan dunia ide.⁹ Dengan demikian, pendidikan dalam pandangan Plato
adalah proses intelektual dan spiritual yang bertujuan membimbing jiwa manusia
naik menuju kebenaran yang hakiki.¹⁰
Pandangan filsafat Plato tidak bisa dipisahkan dari proyek politik dan
etika yang ia bangun. Bagi Plato, pendidikan bukanlah hal netral atau teknis
semata, tetapi sebuah instrumen penting dalam membentuk karakter warga negara
yang adil dan bijaksana.¹¹ Maka, tidak mengherankan jika dalam The Republic,
Plato menyusun kurikulum pendidikan ideal yang disesuaikan dengan tahapan usia
dan struktur jiwa manusia.¹² Latar filosofis inilah yang menjadikan Plato
sebagai salah satu pemikir pendidikan paling berpengaruh sepanjang masa.
Footnotes
[1]
Julia Annas, Plato: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 1–2.
[2]
Terence Irwin, Classical Thought (Oxford:
Oxford University Press, 1989), 48–50.
[3]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 85.
[4]
Dominic J. O’Meara, Platonopolis: Platonic
Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003),
14–16.
[5]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book II–VII.
[6]
John Dillon, The Heirs of Plato: A Study of the Old
Academy (347–274 BC) (Oxford: Oxford University Press, 2003), 3–4.
[7]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 5.
[8]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume I – Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 203–206.
[9]
Nicholas P. White, Plato on Knowledge and Reality
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 12–14.
[10]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2016), 28.
[11]
David Carr, Making Sense of Education: An
Introduction to the Philosophy and Theory of Education and Teaching
(London: Routledge, 2003), 34.
[12]
Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A
Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester:
Wiley-Blackwell, 2015), 125–140.
3.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Plato dan
Implikasinya bagi Guru
Plato memandang pendidikan bukan sekadar proses mekanis untuk
mentransfer informasi, melainkan sebagai proses transformasi jiwa menuju
kebenaran dan kebajikan.¹ Dalam The Republic dan karya-karya dialogis
lainnya, ia merumuskan sejumlah prinsip yang membentuk fondasi filosofis
pendidikan ideal. Prinsip-prinsip ini memiliki implikasi mendalam bagi peran
dan orientasi seorang guru. Berikut adalah delapan prinsip utama pendidikan dalam
filsafat Plato beserta refleksi pedagogisnya.
3.1.
Prinsip Dunia Ide
(Theory of Forms)
Plato membedakan antara dunia indrawi (yang berubah-ubah) dan dunia ide
(yang kekal dan sempurna). Pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui
akal yang mengarahkan jiwa kepada dunia ide, bukan dari pengalaman inderawi
semata.²
Implikasi bagi guru: Guru harus membimbing siswa melewati fakta-fakta konkret menuju
pemahaman yang lebih esensial. Guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi penuntun
menuju kebenaran universal.³ Dalam konteks pendidikan modern, hal ini
menekankan pentingnya pengembangan berpikir kritis dan reflektif pada siswa.
3.2.
Prinsip Pendidikan
sebagai Pembebasan (Allegory of the Cave)
Melalui Allegory of the Cave,
Plato menggambarkan manusia yang terbelenggu dalam ketidaktahuan seperti
tahanan dalam gua. Pendidikan adalah proses pembebasan jiwa dari bayang-bayang
menuju cahaya kebenaran.⁴
Implikasi bagi guru: Guru
berperan sebagai pembebas, yakni membangkitkan kesadaran dan mengeluarkan siswa
dari ilusi pengetahuan palsu.⁵ Guru sejati harus memiliki ketangguhan moral
dan intelektual untuk menuntun jiwa-jiwa muda keluar dari “gua” ketidaktahuan.
3.3.
Prinsip Jiwa sebagai
Subjek Pendidikan
Plato membagi jiwa menjadi tiga bagian:
rasional (logistikon), emosional (thymoeides), dan nafsu atau keinginan
(epithymetikon). Pendidikan
harus menciptakan harmoni antar bagian tersebut, dengan akal sebagai
pengendali.⁶
Implikasi bagi guru: Guru tidak cukup mengembangkan kognisi, tapi juga harus membina
karakter dan mengarahkan emosi serta dorongan siswa secara seimbang. Pendidikan
holistik ini menegaskan pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan
emosional.
3.4.
Prinsip
Intelektualisme Moral
Plato meyakini bahwa pengetahuan dan
kebajikan berkaitan erat — seseorang yang sungguh mengetahui apa yang baik
tidak akan bertindak jahat.⁷
Implikasi bagi guru: Pendidikan harus menyatukan antara aspek kognitif dan etis. Guru tidak
hanya membentuk siswa menjadi cerdas, tetapi juga bijak dan bermoral.
Hal ini relevan dengan upaya integrasi antara nilai-nilai dan kecakapan
akademik dalam pendidikan kontemporer.
3.5.
Prinsip Diferensiasi
Bakat dan Minat
Dalam The Republic, Plato
menekankan bahwa setiap individu memiliki kodrat, potensi, dan tugas yang
berbeda dalam masyarakat.⁸ Oleh karena itu, sistem pendidikan harus mengenali
dan mengembangkan potensi alami peserta didik.
Implikasi bagi guru: Guru hendaknya mengenali keunikan setiap siswa dan
memfasilitasi perkembangan sesuai bakat dan peran kodrati mereka. Hal ini
menjadi landasan awal bagi pendekatan pembelajaran yang diferensiatif dan
personalized.
3.6. Prinsip
Keutamaan Guru sebagai Filsuf
Bagi Plato, filsuf adalah penguasa ideal karena memiliki cinta terhadap
kebenaran dan kemampuan untuk membedakan dunia nyata dari dunia semu.⁹ Guru
ideal harus meneladani semangat ini.
Implikasi bagi guru: Guru sejati adalah seorang pecinta kebijaksanaan (philosophos),
yang berpikir mendalam, menolak pragmatisme sempit, dan terus mencari
kebenaran.¹⁰ Hal ini memperkuat peran guru sebagai intelektual moral dan bukan
sekadar pelaksana teknis kurikulum.
3.7.
Prinsip Pendidikan
sebagai Proses Bertahap
Plato merancang kurikulum pendidikan
yang disesuaikan dengan tahapan usia dan perkembangan jiwa, dimulai dari musik
dan olahraga untuk anak, hingga logika dan filsafat bagi yang dewasa.¹¹
Implikasi bagi guru: Guru harus
memahami perkembangan psikologis dan kognitif siswa, serta menyesuaikan
pendekatan pedagogis sesuai dengan tahap pendidikan mereka. Prinsip ini
mendukung penerapan developmentally appropriate practices dalam
pendidikan modern.
3.8. Prinsip
Kalokagathia (Keindahan dan Kebaikan)
Kalokagathia merupakan prinsip Yunani klasik yang menekankan
keharmonisan antara keindahan (kalos) dan kebaikan (agathos). Bagi Plato,
keindahan adalah pancaran dari dunia ide dan memiliki nilai etis.¹²
Implikasi bagi guru: Guru harus membina siswa agar mencintai keindahan estetika, moral,
dan intelektual. Seni, sastra, dan etika bukan pelengkap kurikulum, tetapi
bagian integral dari pembentukan jiwa yang luhur.
Footnotes
[1]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2016), 28–29.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy:
Volume I – Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 207.
[3]
Nicholas P. White, Plato on Knowledge and Reality
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 34.
[4]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII, 514a–520a.
[5]
David Carr, Making Sense of Education: An
Introduction to the Philosophy and Theory of Education and Teaching
(London: Routledge, 2003), 36.
[6]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 114.
[7]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 57.
[8]
Plato, The Republic, Book III–IV.
[9]
Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 309–310.
[10]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 77–79.
[11]
Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A
Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester:
Wiley-Blackwell, 2015), 130–132.
[12]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 79.
4.
Relevansi Prinsip Plato dalam Pendidikan
Modern
Meskipun Plato hidup lebih dari dua milenium yang lalu, banyak gagasan
pendidikannya tetap relevan dan bahkan semakin signifikan dalam konteks
tantangan pendidikan modern. Filsafat pendidikannya tidak sekadar bersifat
historis, tetapi mengandung nilai-nilai universal yang dapat diadaptasi untuk
membentuk sistem pendidikan yang holistik, bermakna, dan transformatif.
4.1. Kritis
terhadap Pendidikan yang Bersifat Instruksional dan Komersial
Plato mengecam pendidikan yang hanya mengajarkan keterampilan teknis
tanpa menyentuh dimensi etis dan filosofis.¹ Kritik ini sangat relevan di
tengah kecenderungan sistem pendidikan masa kini yang terlalu terfokus pada
pencapaian akademik kuantitatif, ujian standar, dan keterampilan kerja
pragmatis.² Dalam banyak kasus, pendidikan diperlakukan sebagai “industri jasa”
yang menomorsatukan output ekonomi ketimbang pengembangan kebajikan dan
kearifan moral.³ Prinsip Plato menantang paradigma ini dengan mengingatkan
bahwa pendidikan sejati bertujuan membentuk manusia seutuhnya, bukan
sekadar individu yang “terampil”.
4.2.
Pentingnya
Pendidikan Karakter dan Moral
Plato menekankan bahwa pengetahuan
sejati berkaitan erat dengan kebajikan.⁴ Gagasan ini bergaung kuat dalam
pendidikan karakter kontemporer yang berusaha mengintegrasikan dimensi afektif
ke dalam kurikulum. Gerakan seperti Social Emotional Learning (SEL) dan Character
Education di berbagai belahan dunia menunjukkan adanya kesadaran baru akan
perlunya penguatan dimensi moral dalam pendidikan.⁵ Dalam konteks Indonesia,
pendidikan karakter juga menjadi elemen kunci dalam Kurikulum Merdeka.⁶
4.3. Pengakuan
terhadap Keunikan dan Diferensiasi Individu
Dalam The Republic, Plato menyerukan bahwa setiap individu
memiliki kodrat yang berbeda dan seharusnya diarahkan sesuai fitrahnya.⁷
Gagasan ini beresonansi dengan pendekatan pedagogi modern seperti student-centered
learning, differentiated instruction, dan personalized education,
yang menekankan pentingnya memfasilitasi potensi unik tiap peserta didik.⁸
Dalam era digital saat ini, teknologi bahkan memungkinkan pendekatan yang lebih
adaptif dan responsif terhadap kebutuhan individual.
4.4.
Guru sebagai Filsuf
dan Fasilitator Pencarian Makna
Plato memandang guru ideal sebagai
filsuf: pencinta kebijaksanaan yang hidup dalam kesadaran akan kebenaran dan
keutamaan.⁹ Dalam dunia pendidikan masa kini yang kompleks dan cepat berubah,
guru tidak lagi sekadar sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai pemantik
pemikiran kritis, fasilitator pembelajaran bermakna, dan penjaga nilai-nilai
moral.ⁱ⁰ Semangat Plato ini mendukung visi guru sebagai intelektual
profesional yang reflektif dan etis, sebagaimana ditegaskan oleh tokoh
pendidikan modern seperti Paulo Freire dan Nel Noddings.¹¹
4.5. Pendidikan
sebagai Proses Panjang dan Bertahap
Sistem pendidikan bertingkat yang digagas Plato — dari pendidikan
jasmani dan musik pada masa kanak-kanak hingga pendidikan filsafat pada masa
dewasa — memberikan kerangka pengembangan kurikulum yang progresif.¹²
Pendidikan modern juga mengakui pentingnya pendekatan developmentally
appropriate yang memperhatikan tahapan tumbuh kembang kognitif, afektif,
dan sosial peserta didik.¹³ Kurikulum yang disusun berdasarkan usia dan
kesiapan psikologis ini menjadi salah satu prinsip dasar dalam sistem
pendidikan di banyak negara maju.
4.6. Penekanan
pada Kebenaran, Keindahan, dan Kebaikan
Konsep kalokagathia Plato — yaitu harmoni antara kebenaran, keindahan,
dan kebaikan — menawarkan paradigma alternatif terhadap pendidikan yang sering
kali terlalu fokus pada produktivitas dan kompetisi.¹⁴ Prinsip ini mendasari
pendekatan humanistik dalam pendidikan yang menempatkan nilai-nilai estetika
dan spiritual sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
Pendidikan seni, etika, dan apresiasi terhadap lingkungan menjadi wahana
konkret untuk membentuk manusia yang sensitif dan bermakna dalam kehidupan
sosialnya.
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book II.
[2]
Henry A. Giroux, Neoliberalism’s War on Higher
Education (Chicago: Haymarket Books, 2014), 15.
[3]
Gert Biesta, “Good Education in an Age of Measurement:
Ethics, Politics, Democracy,” Educational Assessment, Evaluation and
Accountability 21, no. 1 (2009): 33–46.
[4]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 57–60.
[5]
Joseph L. Mahoney et al., “Promoting Positive Youth
Development through School-Based Social and Emotional Learning Interventions,” Child
Development 89, no. 2 (2018): 405–424.
[6]
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbud, 2022), 13.
[7]
Plato, The Republic, Book III–IV.
[8]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom:
Responding to the Needs of All Learners (Alexandria, VA: ASCD, 2017), 2–4.
[9]
Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 292–294.
[10]
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An
Alternative Approach to Education (New York: Teachers College Press, 2005),
14–15.
[11]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 61–62.
[12]
Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A
Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester:
Wiley-Blackwell, 2015), 128–133.
[13]
David Elkind, The Hurried Child: Growing Up Too
Fast Too Soon, 3rd ed. (Cambridge, MA: Perseus Books, 2001), 78–80.
[14]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 78–79.
5.
Penutup
Plato mewariskan warisan intelektual
yang sangat kaya dalam bidang pendidikan, yang terus memberi inspirasi bagi
para pemikir, praktisi, dan pendidik hingga masa kini. Pemikirannya tidak hanya
memberikan fondasi teoritis bagi filsafat pendidikan Barat, tetapi juga
menawarkan prinsip-prinsip mendalam yang relevan lintas zaman:
pendidikan sebagai proses pembebasan jiwa, pembentukan karakter, penalaran yang
tinggi, serta pencarian makna hidup yang otentik.¹ Dalam pandangan Plato, guru
bukan sekadar pengajar teknis, melainkan seorang philosophos — pencinta
kebijaksanaan dan penuntun spiritual yang membimbing peserta didik dari
bayang-bayang ketidaktahuan menuju terang kebenaran.²
Kajian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip pendidikan Plato dapat
memberikan kerangka etik dan intelektual yang kuat untuk merespons tantangan
pendidikan kontemporer. Di tengah krisis moral, dehumanisasi pendidikan, dan
dominasi pendekatan teknokratik yang menekankan efisiensi dan produktivitas,
filsafat Plato menjadi pengingat akan hakikat sejati pendidikan sebagai
proses pemanusiaan manusia.³ Dengan menempatkan kebenaran, keindahan, dan
kebaikan sebagai orientasi dasar pendidikan, Plato mengajarkan bahwa tujuan
akhir pendidikan adalah eudaimonia — kehidupan yang baik dan bermakna.⁴
Bagi para guru, pemikiran Plato mendorong refleksi diri yang mendalam
tentang peran dan identitas profesional mereka. Guru harus berani melampaui
rutinitas administratif dan kurikuler, menuju pemahaman yang lebih filosofis
tentang tugas mendidik: membentuk akal, membina karakter, dan membebaskan jiwa
dari kebodohan.⁵ Hal ini menuntut komitmen terhadap pembelajaran sepanjang
hayat, integritas moral, dan kecintaan terhadap kebenaran. Sebagaimana
ditegaskan dalam The Republic, hanya mereka yang telah menjalani
perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang yang layak membimbing orang
lain.⁶
Oleh karena itu, menjadi guru filosofis ala Plato bukan berarti menjadi
guru yang abstrak dan mengawang-awang, tetapi menjadi guru yang memiliki kesadaran
mendalam tentang hakikat manusia, nilai kebaikan, dan tujuan pendidikan yang
luhur. Pendidikan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip Plato akan membentuk
insan-insan yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga arif secara
moral, kritis secara intelektual, dan utuh secara spiritual — manusia ideal
sebagaimana yang dicita-citakan oleh Plato dalam visi masyarakatnya yang adil
dan harmonis.⁷
Footnotes
[1]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2016), 31–32.
[2]
Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev.
C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), Book VII, 518b–520e.
[3]
Gert Biesta, “The Rediscovery of Teaching,” Educational
Philosophy and Theory 48, no. 4 (2016): 340–346.
[4]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 107–109.
[5]
Paulo Freire, Teachers as Cultural Workers: Letters
to Those Who Dare Teach (Boulder, CO: Westview Press, 1998), 15–17.
[6]
Christopher Rowe, “Plato on Education,” in A
Companion to Ancient Education, ed. W. Martin Bloomer (Chichester:
Wiley-Blackwell, 2015), 135.
[7]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume IV, Plato the Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 122–123.
Daftar Pustaka
Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic.
Oxford University Press.
Annas, J. (2003). Plato: A very
short introduction. Oxford University Press.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A
very short introduction. Oxford University Press.
Biesta, G. (2009). Good education in
an age of measurement: Ethics, politics, democracy. Educational Assessment,
Evaluation and Accountability, 21(1), 33–46. https://doi.org/10.1007/s11092-008-9064-9
Biesta, G. (2016). The rediscovery of
teaching. Educational Philosophy and Theory, 48(4), 340–346. https://doi.org/10.1080/00131857.2015.1041442
Carr, D. (2003). Making sense of
education: An introduction to the philosophy and theory of education and
teaching. Routledge.
Copleston, F. (1993). A history of
philosophy: Volume I – Greece and Rome. Image Books.
Dillon, J. (2003). The heirs of
Plato: A study of the Old Academy (347–274 BC). Oxford University Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and
education. Macmillan.
Elkind, D. (2001). The hurried
child: Growing up too fast too soon (3rd ed.). Perseus Books.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the
oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Freire, P. (1998). Teachers as
cultural workers: Letters to those who dare teach. Westview Press.
Giroux, H. A. (2014). Neoliberalism’s
war on higher education. Haymarket Books.
Guthrie, W. K. C. (1975). A
history of Greek philosophy: Volume IV, Plato the man and his dialogues.
Cambridge University Press.
Hadot, P. (2002). What is ancient
philosophy? Harvard University Press.
Irwin, T. (1989). Classical
thought. Oxford University Press.
Irwin, T. (1995). Plato’s ethics.
Oxford University Press.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Panduan
implementasi Kurikulum Merdeka. Kemendikbud.
Mahoney, J. L., Durlak, J. A., &
Weissberg, R. P. (2018). Promoting positive youth development through
school-based social and emotional learning interventions: A meta-analysis of
follow-up effects. Child Development, 89(2), 405–424. https://doi.org/10.1111/cdev.12864
Noddings, N. (2005). The challenge
to care in schools: An alternative approach to education (2nd ed.).
Teachers College Press.
Noddings, N. (2016). Philosophy of
education (4th ed.). Westview Press.
O’Meara, D. J. (2003). Platonopolis:
Platonic political philosophy in late antiquity. Clarendon Press.
Plato. (1992). The Republic
(G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Rowe, C. (2015). Plato on education.
In W. M. Bloomer (Ed.), A companion to ancient education (pp. 125–140).
Wiley-Blackwell.
Tomlinson, C. A. (2017). The
differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd
ed.). ASCD.
White, N. P. (2004). Plato on
knowledge and reality. Hackett Publishing.
Lampiran: Prinsip
Seorang Guru Berdasarkan Perspektif Pemikiran Plato
Berikut adalah berbagai prinsip yang
dapat dijadikan pegangan oleh seorang guru berdasarkan perspektif pemikiran
Plato, murid dari Socrates dan pendiri Akademi pertama dalam sejarah dunia
Barat:
1.
Prinsip Dunia Ide (Theory of Forms)
Plato
meyakini bahwa dunia nyata yang kita lihat hanyalah bayangan dari dunia
ideal (ide/forma) yang sempurna dan abadi.
Implikasi
bagi guru: Pendidikan
harus membimbing siswa untuk melampaui pengetahuan lahiriah menuju kebenaran
yang hakiki dan universal. Guru bukan hanya mengajarkan fakta, tapi
membimbing murid memahami makna yang lebih dalam dari segala sesuatu.
2.
Prinsip Pendidikan sebagai Pembebasan (Allegory of
the Cave)
Dalam
alegori gua yang terkenal, Plato menggambarkan pendidikan sebagai proses
pembebasan jiwa dari kegelapan (ketidaktahuan) menuju cahaya kebenaran
(pengetahuan sejati).
Implikasi
bagi guru: Guru harus
menjadi "penuntun keluar dari gua", membebaskan murid dari ilusi,
kebodohan, dan pandangan sempit. Pendidikan harus membangkitkan kesadaran dan
pembebasan intelektual.
3.
Prinsip Jiwa sebagai Subjek Pendidikan
Plato
membagi jiwa manusia menjadi tiga bagian: rasional (akal), emosional
(kehendak), dan nafsu. Pendidikan sejati adalah membentuk
harmoni dalam jiwa dan menjadikan akal sebagai pemimpin.
Implikasi bagi guru: Guru tidak hanya mendidik akal, tapi juga
membina karakter dan mengarahkan emosi serta dorongan siswa secara seimbang.
4.
Prinsip Intelektualisme Moral
Plato
berpandangan bahwa pengetahuan dan kebajikan saling berkaitan — orang
yang mengetahui kebaikan akan terdorong untuk berbuat baik.
Implikasi bagi guru: Pendidikan harus menyatu antara ilmu dan
etika. Guru mendidik bukan hanya untuk menjadikan siswa cerdas, tapi juga
bijaksana dan bermoral.
5.
Prinsip Diferensiasi Bakat
dan Minat
Plato dalam The Republic menekankan bahwa setiap individu
memiliki potensi dan fitrah yang berbeda-beda. Maka, pendidikan
sebaiknya menyesuaikan dengan kemampuan dan peran alamiah tiap individu.
Implikasi bagi guru: Guru harus mengenali potensi unik tiap
siswa dan membimbing mereka sesuai arah tumbuh kembangnya. Pendidikan bukan
menyeragamkan, tapi memfasilitasi pertumbuhan kodrati.
6.
Prinsip Keutamaan Guru sebagai Filsuf
Plato
menempatkan filsuf sebagai penguasa ideal karena kebijaksanaan, pengetahuan,
dan cinta akan kebenaran.
Implikasi
bagi guru: Guru harus
memiliki semangat filsuf: berpikir mendalam, mencintai kebenaran, dan tidak
terjebak pada kepentingan pragmatis. Guru sejati bukan hanya pengajar, tapi
pencari kebenaran.
7.
Prinsip Pendidikan Sebagai
Proses Bertahap
Plato menyusun sistem pendidikan yang bertingkat, dari pendidikan
jasmani dan moral pada anak-anak, hingga pendidikan logika dan filsafat pada
usia dewasa.
Implikasi bagi guru: Guru harus memahami tahap perkembangan
psikologis dan intelektual peserta didik, serta menyusun kurikulum dan metode
pengajaran yang sesuai dengan tahapan tersebut.
8.
Prinsip Kalokagathia (Keindahan & Kebaikan)
Plato sangat menekankan hubungan antara keindahan, kebaikan, dan
kebenaran. Pendidikan seharusnya menumbuhkan cinta pada ketiganya.
Implikasi bagi guru: Guru membentuk kepribadian siswa secara
menyeluruh — mengasah intelektual, membentuk karakter mulia, dan menumbuhkan
apresiasi terhadap keindahan (baik seni, moral, maupun spiritual).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar