Dukungan Sosial Emosional bagi Peserta Didik
Pendekatan Konseptual dan Implementatif
Alihkan ke: Kurikuler dalam Sistem Pendidikan di Indonesia.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif peran
strategis pendidik dalam menyediakan dukungan sosial emosional bagi peserta
didik dalam proses pembelajaran. Dukungan sosial emosional tidak hanya
berfungsi sebagai pelengkap pembelajaran akademik, tetapi menjadi fondasi
penting bagi tumbuh kembang psikologis dan karakter siswa. Kajian ini menguraikan
delapan strategi utama yang dapat diterapkan pendidik, mulai dari membangun
hubungan empatik, menciptakan lingkungan inklusif, memberikan penguatan
positif, menerapkan pembelajaran sosial emosional (SEL), menjadi teladan dalam
regulasi emosi, menyediakan waktu untuk refleksi dan istirahat, menjalin
koordinasi dengan orang tua serta layanan konseling, hingga menyisipkan
nilai-nilai agama dan moral dalam pembelajaran. Melalui pendekatan
kualitatif-deskriptif dan ditopang oleh literatur akademik serta regulasi
pendidikan terkini, artikel ini menegaskan bahwa dukungan sosial emosional dari
guru sangat berpengaruh terhadap iklim belajar, kesejahteraan siswa, serta
pencapaian akademik. Di akhir tulisan, disampaikan pula sejumlah rekomendasi
praktis bagi guru, sekolah, pemerintah, dan orang tua agar kolaboratif dalam
membangun pendidikan yang holistik dan manusiawi.
Kata Kunci: Pendidik, Dukungan Sosial Emosional, Regulasi
Emosi, Pembelajaran Inklusif, Pembentukan Karakter, Pendidikan Holistik, Nilai
Moral dan Agama, Kolaborasi Sekolah-Keluarga.
PEMBAHASAN
Peran Strategis Pendidik dalam Menyediakan Dukungan
Sosial Emosional bagi Peserta Didik
1.
Pendahuluan
Proses pembelajaran tidak
hanya bertumpu pada penguasaan kognitif peserta didik, tetapi juga sangat
bergantung pada kondisi sosial dan emosional mereka. Dalam konteks pendidikan
modern, dukungan terhadap dimensi sosial-emosional telah menjadi kebutuhan
esensial yang harus diakomodasi oleh pendidik. Hal ini sejalan dengan pandangan
bahwa peserta didik adalah individu utuh (holistik) yang belajar secara optimal
ketika merasa aman, diterima, dan didukung secara emosional dalam lingkungan
belajar mereka. Menurut Durlak et al., pembelajaran sosial-emosional (Social
and Emotional Learning/SEL) memberikan kontribusi signifikan terhadap
peningkatan perilaku prososial, penurunan masalah perilaku dan emosional, serta
peningkatan capaian akademik peserta didik.¹
Dalam kerangka Kurikulum
Nasional Indonesia, perhatian terhadap aspek sosial-emosional tercermin dalam
berbagai kebijakan, seperti Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka
yang menekankan nilai-nilai seperti gotong royong, bernalar kritis, dan
mandiri.² Pendidik dituntut tidak hanya menjadi penyampai materi ajar, tetapi
juga menjadi fasilitator, pembimbing, dan teladan dalam membentuk karakter
serta kesehatan mental peserta didik. Hal ini menjadi semakin penting di tengah
tantangan zaman, seperti tekanan akademik, disrupsi teknologi, konflik sosial,
hingga dampak pandemi yang meninggalkan luka psikologis kolektif.
Dukungan sosial emosional
dari pendidik mencakup berbagai tindakan nyata yang menciptakan iklim kelas
yang sehat, memfasilitasi perkembangan emosional siswa, dan membangun relasi
yang bermakna antara guru dan murid. Berbagai studi menunjukkan bahwa iklim
pembelajaran yang suportif secara emosional dapat meningkatkan keterlibatan
belajar (student engagement) dan mengurangi risiko putus sekolah.³ Oleh karena
itu, pembahasan ini akan mengurai secara rinci langkah-langkah yang dapat dilakukan
pendidik untuk menyediakan dukungan sosial emosional dalam proses pembelajaran,
dengan merujuk pada teori pendidikan kontemporer dan regulasi yang relevan.
Catatan Kaki
[1]
Joseph A. Durlak et al., The Impact of Enhancing Students’ Social
and Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based Universal Interventions,
Child Development 82, no. 1 (January/February 2011): 405–432, https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2010.01564.x.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021).
[3]
Robert J. Marzano and Jana S. Marzano, “The Key to Classroom
Management,” Educational Leadership 61, no. 1 (September 2003): 6–13.
2.
Membangun Hubungan yang Positif dan Empatik
Hubungan yang positif dan
empatik antara pendidik dan peserta didik merupakan fondasi penting dalam
menciptakan lingkungan belajar yang sehat secara emosional. Relasi ini tidak
hanya berdampak pada kenyamanan psikologis siswa, tetapi juga memengaruhi
keterlibatan belajar (engagement), motivasi intrinsik, dan keberhasilan
akademik mereka. Penelitian menunjukkan bahwa ketika peserta didik merasa
diperhatikan, dihargai, dan dipahami oleh gurunya, mereka akan lebih
termotivasi untuk belajar dan menunjukkan perilaku yang lebih adaptif.¹
Empati dalam konteks
pendidikan bukan sekadar memahami perasaan siswa, tetapi juga merespons dengan
cara yang mendukung dan membangun. Pendidik yang empatik mampu membaca bahasa
tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara peserta didik sebagai indikator kondisi
emosional mereka.² Dengan sensitivitas seperti ini, pendidik dapat menyesuaikan
pendekatan pembelajaran, misalnya dengan memberi ruang istirahat bagi siswa
yang tampak tertekan atau mendengarkan cerita mereka sebelum masuk ke materi.
Menurut Pianta dan Stuhlman,
kualitas hubungan guru-murid yang ditandai oleh kehangatan, kepercayaan, dan
komunikasi yang terbuka berkontribusi terhadap terciptanya iklim kelas yang
positif dan mengurangi perilaku bermasalah siswa.³ Hubungan seperti ini
membentuk secure attachment yang memberikan rasa aman emosional bagi
siswa, terutama bagi mereka yang menghadapi kesulitan di rumah atau lingkungan
sosial. Guru yang dapat menciptakan sense of belonging—rasa diterima
dan dianggap penting di kelas—berkontribusi besar dalam membangun ketahanan
emosional peserta didik.⁴
Membangun hubungan yang
positif dan empatik juga membutuhkan konsistensi dan keteladanan. Sikap guru
yang terbuka terhadap umpan balik, mampu mengakui kesalahan, dan memperlakukan
semua siswa secara adil merupakan bagian dari proses ini. Misalnya, memulai
pelajaran dengan menyapa siswa satu per satu atau meluangkan waktu untuk
berbincang ringan sebelum atau sesudah kelas dapat memperkuat kedekatan
interpersonal. Dalam konteks ini, komunikasi nonverbal seperti senyuman, kontak
mata, dan gestur yang bersahabat memiliki dampak besar dalam membangun
kepercayaan emosional.⁵
Pada akhirnya, hubungan yang
positif dan empatik bukan hanya instrumen pedagogis, tetapi juga bagian dari
pembentukan karakter. Guru yang mampu memanusiakan peserta didik dengan empati
telah menjalankan misi pendidikan yang hakiki: membimbing manusia dalam seluruh
dimensi kemanusiaannya.
Catatan Kaki
[1]
John Hattie, Visible Learning: A Synthesis of Over 800
Meta-Analyses Relating to Achievement (London: Routledge, 2009), 118–120.
[2]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 149.
[3]
Robert C. Pianta and Megan Stuhlman, “Teacher–Child Relationships and
Children’s Success in the First Years of School,” School Psychology Review
33, no. 3 (2004): 444–458.
[4]
Jennifer A. Fredricks, Phyllis C. Blumenfeld, and Alison H. Paris,
“School Engagement: Potential of the Concept, State of the Evidence,” Review
of Educational Research 74, no. 1 (2004): 59–109.
[5]
Marzano and Marzano, “The Key to Classroom Management,” Educational
Leadership 61, no. 1 (2003): 8.
3.
Menciptakan Lingkungan Belajar yang Aman dan
Inklusif
Lingkungan belajar yang aman
dan inklusif merupakan syarat utama bagi keberhasilan pembelajaran yang
menyeluruh, terutama dalam pengembangan aspek sosial dan emosional peserta
didik. Lingkungan semacam ini memberikan ruang bagi setiap siswa untuk merasa
diterima, dihargai, dan memiliki kesempatan yang setara dalam berpartisipasi
aktif tanpa rasa takut, malu, atau terdiskriminasi. Rasa aman secara psikologis
(psychological safety) memungkinkan peserta didik untuk
mengekspresikan diri, bertanya, bahkan melakukan kesalahan sebagai bagian dari
proses belajar yang sehat.¹
Menurut teori ekologi
perkembangan dari Urie Bronfenbrenner, individu berkembang dalam konteks interaksi
antara lingkungan dan relasi sosial yang saling memengaruhi.² Dalam hal ini,
kelas sebagai lingkungan mikro memegang peran vital dalam membentuk karakter
dan kesejahteraan emosional siswa. Jika kelas menjadi tempat yang penuh
tekanan, celaan, atau diskriminasi, maka dampaknya bukan hanya pada prestasi
akademik, tetapi juga pada harga diri dan kesehatan mental peserta didik.
Untuk menciptakan suasana
yang aman, guru perlu membangun classroom climate yang mendukung,
yaitu dengan menetapkan norma-norma yang menjunjung nilai kesetaraan,
penghargaan terhadap perbedaan, dan komunikasi yang saling menghormati.³
Misalnya, pendidik harus memastikan bahwa tidak ada siswa yang menjadi sasaran
perundungan (bullying), stereotip, atau perlakuan tidak adil berdasarkan latar
belakang agama, gender, kondisi ekonomi, atau kemampuan akademik. Hal ini
sejalan dengan pendekatan universal design for learning (UDL) yang
mengedepankan aksesibilitas dan diferensiasi dalam proses pembelajaran.⁴
Selain itu, penting bagi guru
untuk merancang ruang kelas secara fisik dan sosial yang nyaman dan suportif.
Pengaturan tempat duduk yang memungkinkan interaksi, pemajangan karya siswa
dari beragam latar belakang, serta penggunaan bahasa yang inklusif dan
membangun akan memperkuat keterlibatan emosional siswa terhadap kelas. Dalam
lingkungan yang demikian, setiap individu merasa memiliki peran dan identitas
yang diterima, sehingga mereka cenderung lebih terbuka terhadap pembelajaran
dan kerja sama.
Praktik inklusif juga
menuntut kepekaan guru dalam menyikapi dinamika sosial di kelas. Misalnya,
memberi perhatian khusus kepada siswa yang cenderung pendiam, mengalami
hambatan belajar, atau berasal dari kelompok minoritas, tanpa menstigma mereka.
Guru juga perlu merespons konflik antar siswa dengan cara restoratif, bukan
hanya represif, sehingga iklim kelas tetap kondusif dan penuh kepercayaan.⁵
Keseluruhan strategi ini
mencerminkan pendekatan pedagogi kasih sayang (pedagogy of care) yang
menempatkan perhatian terhadap perasaan, kebutuhan, dan keberadaan peserta
didik sebagai inti dari proses pendidikan.⁶ Dengan menciptakan lingkungan
belajar yang aman dan inklusif, pendidik bukan hanya membentuk ruang kelas
sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai ruang hidup yang memanusiakan.
Catatan Kaki
[1]
Amy Edmondson, The Fearless Organization: Creating Psychological
Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth (Hoboken, NJ:
Wiley, 2019), 15–16.
[2]
Urie Bronfenbrenner, The Ecology of Human Development: Experiments
by Nature and Design (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
22–25.
[3]
Robert J. Marzano, Classroom Management That Works: Research-Based
Strategies for Every Teacher (Alexandria, VA: ASCD, 2003), 18–20.
[4]
David H. Rose and Anne Meyer, A Practical Reader in Universal
Design for Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2006), 9–11.
[5]
Carolyn Boyes-Watson and Kay Pranis, Circle Forward: Building a
Restorative School Community (St. Paul, MN: Living Justice Press, 2015),
56–59.
[6]
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative
Approach to Education, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2005),
17–19.
4.
Memberikan Penguatan Positif
Penguatan positif (positive
reinforcement) merupakan strategi penting dalam pembelajaran yang
bertujuan untuk mendorong munculnya perilaku yang diharapkan melalui pemberian
konsekuensi menyenangkan setelah perilaku tersebut ditampilkan. Dalam konteks
pendidikan, penguatan positif tidak hanya berfungsi sebagai alat manajemen
kelas, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun harga diri, motivasi
intrinsik, dan hubungan emosional yang sehat antara pendidik dan peserta
didik.¹
Konsep ini berakar pada teori
behaviorisme yang dikembangkan oleh B.F. Skinner. Skinner menyatakan bahwa
perilaku yang diberi penguatan cenderung diulang, sementara yang tidak diberi
penguatan cenderung menghilang.² Dalam praktiknya, penguatan positif dapat
berupa pujian verbal (“Kamu sudah bekerja dengan sangat baik hari ini”),
simbolis (pemberian stiker atau sertifikat), maupun sosial (memberikan tanggung
jawab khusus kepada siswa). Kuncinya terletak pada ketepatan waktu, keaslian,
dan kesesuaian penguatan dengan karakteristik serta kebutuhan peserta didik.
Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian penguatan positif secara konsisten dan tepat sasaran mampu meningkatkan
keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, menurunkan perilaku negatif, dan
menumbuhkan perasaan dihargai.³ Lebih dari sekadar alat kendali perilaku,
penguatan positif menciptakan iklim emosional yang mendukung, di mana peserta
didik merasa bahwa upaya mereka diakui dan kemajuan sekecil apa pun bernilai.
Dalam hal ini, penguatan bukan hanya tentang hasil, tetapi juga menghargai
proses belajar, keberanian mencoba, dan kegigihan dalam menghadapi tantangan.
Namun demikian, penguatan
positif harus diberikan secara bijaksana dan tidak manipulatif. Nel Noddings,
dalam kerangka pedagogy of care, menekankan pentingnya penguatan yang
lahir dari relasi autentik antara guru dan siswa.⁴ Artinya, pujian dan
pengakuan seharusnya muncul dari kepekaan terhadap kondisi emosional peserta
didik, bukan sekadar sebagai strategi teknis. Pujian yang bersifat tulus dan
spesifik (“Saya bangga karena kamu tidak menyerah saat menghadapi soal sulit
tadi”) lebih bermakna dibandingkan pujian generik (“Kamu hebat!”), karena memberikan
umpan balik konkret terhadap perilaku yang positif.⁵
Penguatan positif juga dapat
menjadi bagian dari strategi pembelajaran diferensiatif. Guru dapat
menyesuaikan bentuk penguatan sesuai dengan preferensi dan latar belakang
peserta didik, seperti memberikan kesempatan presentasi bagi siswa yang senang
tampil atau memberi waktu tambahan membaca bagi siswa yang introvert. Dengan
demikian, penguatan menjadi alat personalisasi yang memperkuat koneksi
emosional antara siswa dengan aktivitas belajarnya.
Secara keseluruhan,
memberikan penguatan positif bukan hanya memperkuat perilaku yang diinginkan,
tetapi juga menciptakan budaya kelas yang positif, suportif, dan penuh
penghargaan. Dalam ruang kelas yang demikian, peserta didik tidak hanya belajar
untuk berprestasi, tetapi juga belajar tentang makna menghargai diri sendiri
dan orang lain.
Catatan Kaki
[1]
Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching: A Comprehensive
Framework for Effective Instruction (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 93–95.
[2]
B. F. Skinner, Science and Human Behavior (New York:
Macmillan, 1953), 89–92.
[3]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2011), 254–256.
[4]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral
Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2003), 171.
[5]
Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New
York: Random House, 2006), 175–178.
5.
Menerapkan Strategi Pembelajaran
Sosial-Emosional (Social-Emotional Learning / SEL)
Pembelajaran
Sosial-Emosional (Social-Emotional Learning / SEL) adalah
pendekatan pedagogis yang bertujuan mengembangkan keterampilan sosial,
kesadaran diri, pengelolaan emosi, serta kemampuan mengambil keputusan yang
bertanggung jawab pada peserta didik. SEL mengintegrasikan proses pengembangan
karakter ke dalam pengalaman belajar sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya
tumbuh secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan sosial.¹
Menurut Collaborative for
Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL), terdapat lima kompetensi inti
dalam SEL: (1) kesadaran diri (self-awareness),
(2) pengelolaan diri (self-management), (3) kesadaran
sosial (social awareness), (4) keterampilan berelasi
(relationship skills), dan (5) pengambilan keputusan
yang bertanggung jawab (responsible decision-making).² Kelima
kompetensi ini saling berkaitan dan berperan penting dalam membentuk individu
yang utuh, mampu bekerja sama, serta memiliki kontrol diri yang baik dalam
menghadapi tantangan.
Dalam konteks kelas,
penerapan strategi SEL dapat dilakukan melalui berbagai cara, baik secara
eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, guru dapat mengalokasikan waktu
khusus untuk kegiatan refleksi diri, diskusi etika, role playing, atau
pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan kerja sama dan empati.³ Misalnya,
guru dapat meminta siswa menuliskan jurnal harian yang mencerminkan perasaan
mereka atau mengadakan sesi “sharing circle” di mana siswa diajak berbicara
tentang pengalaman mereka dengan aman dan tanpa penghakiman.
Secara implisit, strategi SEL
terintegrasi dalam rutinitas harian kelas, seperti cara guru merespons
kesalahan siswa, memberi ruang untuk menyampaikan pendapat, serta menunjukkan
empati dalam menyikapi dinamika sosial di kelas. Guru menjadi model hidup bagi
keterampilan sosial-emosional yang diajarkan.⁴ Ketika guru mampu menunjukkan
pengendalian emosi, mendengarkan secara aktif, atau menyelesaikan konflik
dengan dialog, siswa belajar melalui observasi dan imitasi.
Penelitian menunjukkan bahwa
implementasi SEL yang sistematis di sekolah dapat meningkatkan prestasi
akademik sebesar 11 persen, sekaligus mengurangi perilaku bermasalah dan gejala
stres.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan aspek sosial-emosional tidak
mengurangi efektivitas pembelajaran akademik, melainkan justru menjadi
fondasinya. SEL juga terbukti meningkatkan iklim sekolah secara keseluruhan,
menciptakan rasa aman dan terhubung bagi seluruh warga sekolah.
Di Indonesia, pendekatan SEL
telah mulai diakomodasi dalam kurikulum melalui Projek Penguatan Profil
Pelajar Pancasila (P5) yang mengedepankan pengembangan
nilai-nilai seperti gotong royong, empati, dan kemandirian.⁶ Pendidik dituntut
untuk tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membentuk manusia yang
berintegritas, reflektif, dan memiliki kepekaan sosial. Dalam implementasinya,
strategi SEL dapat disesuaikan dengan konteks lokal, budaya sekolah, serta
kebutuhan emosional khas peserta didik.
Dengan menerapkan strategi
SEL secara sadar dan terencana, pendidik berkontribusi besar dalam membangun
generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara
emosional dan bertanggung jawab secara sosial. Pendidikan yang berorientasi
pada perkembangan manusia seutuhnya inilah yang sejalan dengan hakikat
pendidikan nasional.
Catatan Kaki
[1]
Linda Darling-Hammond et al., The Social and Emotional Learning
Framework: Promoting the Development of the Whole Child (Palo Alto, CA:
Learning Policy Institute, 2020), 6.
[2]
Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL), What
is SEL?, https://casel.org/what-is-sel/ (diakses 5 Juli 2025).
[3]
Maurice J. Elias et al., Promoting Social and Emotional Learning:
Guidelines for Educators (Alexandria, VA: ASCD, 1997), 23–29.
[4]
Patricia A. Jennings and Mark T. Greenberg, “The Prosocial Classroom:
Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom
Outcomes,” Review of Educational Research 79, no. 1 (2009): 491–525.
[5]
Joseph A. Durlak et al., “The Impact of Enhancing Students’ Social and
Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based Universal Interventions,” Child
Development 82, no. 1 (2011): 405–432.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021).
6.
Menjadi Model dalam Regulasi Emosi
Dalam konteks pembelajaran,
pendidik bukan hanya pengelola kelas atau penyampai pengetahuan, tetapi juga
figur panutan (role model) bagi peserta didik dalam aspek perilaku, sikap,
dan terutama dalam hal regulasi emosi. Regulasi
emosi merujuk pada kemampuan individu dalam mengelola, mengendalikan, dan
mengekspresikan emosi secara adaptif dalam berbagai situasi.¹ Bagi peserta
didik, proses pembelajaran emosional tidak hanya diperoleh dari instruksi
eksplisit, melainkan juga melalui pengamatan terhadap cara guru menghadapi
tekanan, konflik, atau perubahan suasana kelas.
Menurut Bandura dalam teori
pembelajaran sosial (social learning theory), manusia banyak belajar
melalui pengamatan dan peniruan terhadap model perilaku di sekitarnya.² Dengan
demikian, guru yang mampu menampilkan ketenangan dalam situasi sulit, bersikap
sabar dalam menghadapi kesalahan siswa, dan menyampaikan umpan balik dengan
bijak telah memberikan pelajaran emosional yang mendalam tanpa perlu
berkata-kata.
Penelitian yang dilakukan
Jennings dan Greenberg menunjukkan bahwa guru yang memiliki kompetensi
sosial-emosional yang tinggi cenderung memiliki kelas yang lebih tertib, siswa
yang lebih terlibat, serta lebih sedikit konflik dan stres.³ Guru yang mampu
meregulasi emosinya tidak mudah tersulut amarah, tidak mempermalukan siswa, dan
tetap bersikap tenang meskipun menghadapi situasi yang menantang. Hal ini
menciptakan suasana belajar yang kondusif dan penuh kepercayaan.
Keseimbangan emosi guru juga
berdampak pada kualitas hubungan interpersonal di kelas. Ketika pendidik
menunjukkan empati, keterbukaan, dan kesabaran dalam interaksi harian, siswa
merasa lebih aman untuk mengekspresikan diri dan lebih siap menerima umpan
balik. Sebaliknya, guru yang sering meluapkan frustrasi atau memberikan respons
emosional negatif berisiko menciptakan rasa takut, tertekan, atau bahkan trauma
dalam diri peserta didik.⁴ Oleh karena itu, kemampuan guru dalam mengelola
stres dan menjaga stabilitas emosionalnya merupakan kompetensi profesional yang
tidak kalah penting dibandingkan penguasaan materi ajar.
Untuk menjadi model regulasi
emosi yang efektif, guru dapat menerapkan beberapa strategi seperti: praktik
mindfulness, refleksi harian, serta menjaga keseimbangan antara kehidupan
pribadi dan pekerjaan.⁵ Selain itu, penting bagi guru untuk menyadari emotional
contagion—fenomena psikologis di mana emosi seseorang dapat menular kepada
orang lain di sekitarnya.⁶ Dalam lingkungan kelas, emosi guru yang positif
dapat mengangkat suasana hati seluruh kelas, sementara emosi negatif yang tak
terkendali dapat merusak iklim belajar secara keseluruhan.
Di tengah kompleksitas peran
pendidik, menjadi teladan dalam regulasi emosi adalah bentuk nyata dari
kepemimpinan pedagogis. Guru tidak hanya mengajarkan kontrol diri kepada siswa,
tetapi menghidupkan nilai itu dalam praktik sehari-hari. Dalam jangka panjang,
model semacam ini membekas dalam ingatan siswa sebagai pelajaran hidup yang
tidak tergantikan oleh buku teks manapun.
Catatan Kaki
[1]
James J. Gross, “Emotion Regulation: Current Status and Future
Prospects,” Psychological Inquiry 26, no. 1 (2015): 1–26.
[2]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1977), 22–25.
[3]
Patricia A. Jennings and Mark T. Greenberg, “The Prosocial Classroom:
Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom
Outcomes,” Review of Educational Research 79, no. 1 (2009): 491–525.
[4]
Maurice J. Elias et al., Emotionally Intelligent Parenting: How to
Raise a Self-Disciplined, Responsible, Socially Skilled Child (New York:
Three Rivers Press, 2000), 127.
[5]
Daniel J. Siegel and Tina Payne Bryson, The Whole-Brain Teacher: A
Revolutionary Approach to Teaching and Emotional Regulation in the Classroom
(New York: Bantam, 2014), 145–150.
[6]
Elaine Hatfield, John T. Cacioppo, and Richard L. Rapson, Emotional
Contagion (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 96–97.
7.
Menyediakan Waktu untuk Refleksi dan Istirahat
Di tengah tuntutan akademik
dan tekanan sosial yang dihadapi peserta didik, menyediakan waktu untuk refleksi
dan istirahat menjadi salah satu bentuk dukungan sosial
emosional yang sangat penting. Aktivitas pembelajaran yang padat, ditambah
ekspektasi untuk selalu berprestasi, dapat menimbulkan kelelahan mental, stres,
bahkan gangguan kesejahteraan psikologis siswa. Oleh karena itu, memberikan
ruang bagi peserta didik untuk jeda sejenak—baik secara fisik maupun
mental—merupakan langkah preventif sekaligus kuratif dalam membina kesehatan
emosional mereka.¹
Refleksi merupakan proses
berpikir secara mendalam terhadap pengalaman, perasaan, dan pembelajaran yang
telah dialami.² Dalam konteks pendidikan, refleksi membantu peserta didik
mengenali perasaan mereka, memahami reaksi diri terhadap suatu situasi, serta
merumuskan langkah perbaikan ke depan. Praktik ini meningkatkan kesadaran diri
(self-awareness), yang merupakan salah satu pilar utama dalam
pengembangan kecerdasan emosional.³ Guru dapat memfasilitasi refleksi melalui
kegiatan seperti jurnal harian, lembar perasaan, curhat terstruktur, atau
diskusi kelas tentang pengalaman belajar.
Sementara itu, istirahat (break
time) berfungsi sebagai pemulihan mental dan fisik yang memungkinkan otak
mengkonsolidasi informasi serta memperbaharui energi untuk aktivitas
berikutnya.⁴ Penelitian dalam ilmu saraf menunjukkan bahwa jeda dalam aktivitas
belajar—terutama setelah sesi intensif—dapat meningkatkan daya ingat dan
pemrosesan kognitif.⁵ Bahkan, mikroistirahat yang hanya berdurasi 5–10 menit
dapat menurunkan ketegangan emosional, meningkatkan fokus, dan mengurangi
perilaku agresif di kelas. Guru dapat mengintegrasikan istirahat ringan berupa brain
break, peregangan, permainan singkat, atau aktivitas mindfulness sebelum
memulai sesi baru.
Penting untuk dicatat bahwa
refleksi dan istirahat bukanlah bentuk pemborosan waktu belajar, melainkan
investasi dalam ketahanan psikologis dan efektivitas kognitif siswa.⁶ Dalam
jangka panjang, siswa yang terbiasa merefleksikan perasaannya dan diberi ruang istirahat
yang sehat akan lebih mampu mengelola stres, menyadari potensi dirinya, serta
menunjukkan resiliensi dalam menghadapi tantangan belajar. Ini sesuai dengan
pendekatan whole-child education yang menempatkan kesejahteraan siswa
sebagai prioritas utama proses pendidikan.⁷
Dalam implementasinya,
pendidik perlu merancang waktu refleksi dan istirahat sebagai bagian dari ritme
belajar harian atau mingguan. Guru juga dapat mendorong praktik reflektif yang
bermakna, seperti pertanyaan panduan (“Apa hal paling menantang hari ini?”,
“Bagaimana perasaanmu saat bekerja dalam kelompok?”) yang memantik kesadaran
emosional siswa. Dalam konteks madrasah atau sekolah berbasis nilai, refleksi
juga dapat diarahkan pada aspek spiritual, seperti muhasabah, dzikir
ringan, atau perenungan terhadap makna ibadah dan akhlak.
Dengan menyediakan waktu
untuk refleksi dan istirahat, guru tidak hanya menjaga daya tahan belajar
siswa, tetapi juga membentuk kebiasaan hidup sehat yang mendukung perkembangan
pribadi dan sosial peserta didik secara berkelanjutan.
Catatan Kaki
[1]
Mark Brackett, Permission to Feel: Unlocking the Power of Emotions
to Help Our Kids, Ourselves, and Our Society Thrive (New York: Celadon
Books, 2019), 183.
[2]
Donald A. Schön, The Reflective Practitioner: How Professionals
Think in Action (New York: Basic Books, 1983), 68–70.
[3]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 35–37.
[4]
John P. Trougakos and Daniel G. Beal, “Rest, Recovery, and Resilience:
The Importance of Taking Breaks,” in Organizational Behavior 1, no. 1
(2011): 52–59.
[5]
Paul Kelley et al., “Synchronizing Education to Adolescent Biology:
‘Let Teens Sleep, Start School Later,’” Learning, Media and Technology
40, no. 2 (2015): 210–226.
[6]
Linda Darling-Hammond et al., Educating the Whole Child: The
Importance of Social-Emotional Learning in Schools (Palo Alto, CA:
Learning Policy Institute, 2019), 12.
[7]
ASCD, The Learning Compact Redefined: A Call to Action
(Alexandria, VA: ASCD, 2007), 4–5.
8.
Berkoordinasi dengan Orang Tua dan Layanan
Konseling
Pemberian dukungan sosial
emosional kepada peserta didik tidak dapat dilakukan secara efektif apabila
dilakukan secara terpisah atau sepihak oleh pendidik. Dalam hal ini, kolaborasi
dengan orang tua dan layanan
konseling sekolah menjadi sangat penting, mengingat pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat.¹ Koordinasi yang terjalin dengan baik dapat memastikan bahwa kebutuhan
emosional peserta didik ditangani secara komprehensif, berkelanjutan, dan
kontekstual.
Keluarga merupakan lingkungan
pertama dan utama bagi pembentukan karakter serta kestabilan emosional anak.²
Oleh karena itu, keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak di sekolah
harus mencakup dimensi akademik dan emosional. Pendidik perlu membangun
komunikasi yang terbuka, empatik, dan konstruktif dengan orang tua—tidak hanya
ketika terjadi masalah, tetapi juga sebagai bagian dari pemantauan perkembangan
harian peserta didik.³ Melalui pertemuan berkala, buku komunikasi, atau media
digital, guru dapat menyampaikan kondisi emosional siswa, mencatat perubahan
perilaku, serta meminta informasi dari orang tua mengenai situasi di rumah yang
mungkin berdampak pada suasana hati anak di sekolah.
Komunikasi dua arah ini juga
memperkuat rasa saling percaya antara guru dan orang tua, yang pada gilirannya
akan menciptakan pendekatan yang lebih konsisten antara lingkungan rumah dan
sekolah.⁴ Ketika strategi regulasi emosi atau pendekatan pembelajaran di
sekolah selaras dengan pola asuh di rumah, siswa akan lebih mudah menyesuaikan
diri dan merasa aman secara psikologis. Misalnya, apabila guru mengetahui bahwa
siswa mengalami kecemasan berlebihan saat ujian karena tekanan dari keluarga,
maka guru dapat merancang strategi intervensi yang lebih manusiawi dan
terkoordinasi.
Selain itu, keberadaan layanan
konseling (termasuk guru BK di sekolah) memainkan peran
strategis dalam menangani masalah sosial emosional yang tidak dapat diatasi
oleh guru kelas secara langsung. Konselor memiliki keahlian khusus dalam bidang
psikologi pendidikan dan bimbingan perkembangan yang memungkinkan mereka untuk
mendeteksi gejala gangguan psikologis, merancang strategi konseling individu
atau kelompok, serta melakukan intervensi krisis.⁵ Kerja sama antara guru dan
konselor sangat penting, terutama ketika peserta didik menunjukkan perilaku
menyimpang, mengalami trauma, stres berat, atau membutuhkan rujukan lanjutan ke
layanan profesional eksternal.
Model kolaboratif antara guru
dan konselor juga memungkinkan terciptanya sistem rujukan internal yang
efisien. Guru dapat mengamati gejala awal di kelas dan menyampaikan informasi
tersebut kepada konselor secara profesional dan rahasia. Selanjutnya, konselor
dapat menindaklanjuti melalui sesi konseling atau asesmen psikologis. Dalam
banyak kasus, keterlibatan guru dalam mendukung proses konseling, misalnya
dengan menyediakan waktu khusus atau tempat yang aman untuk siswa, sangat
membantu dalam keberhasilan intervensi.⁶
Lebih jauh, sekolah juga
dapat mengembangkan sistem student support team yang melibatkan guru,
konselor, wali kelas, bahkan kepala sekolah dan orang tua untuk menangani
kasus-kasus sosial emosional yang kompleks secara kolaboratif.⁷ Pendekatan
multi-level seperti ini memungkinkan keputusan yang lebih komprehensif, adil,
dan berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang peserta didik.
Dengan demikian, koordinasi
antara guru, orang tua, dan layanan konseling bukan hanya pelengkap dalam
proses pendidikan, tetapi elemen kunci yang memastikan peserta didik
mendapatkan perhatian menyeluruh sebagai individu yang sedang bertumbuh, tidak
hanya secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan sosial.
Catatan Kaki
[1]
UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global Common Good?
(Paris: UNESCO Publishing, 2015), 96.
[2]
Diana Baumrind, “The Influence of Parenting Style on Adolescent
Competence and Substance Use,” The Journal of Early Adolescence 11,
no. 1 (1991): 56–95.
[3]
Joyce L. Epstein, School, Family, and Community Partnerships:
Preparing Educators and Improving Schools (Boulder, CO: Westview Press,
2001), 35–39.
[4]
Anne T. Henderson and Karen L. Mapp, A New Wave of Evidence: The
Impact of School, Family, and Community Connections on Student Achievement
(Austin, TX: Southwest Educational Development Laboratory, 2002), 7–9.
[5]
Vernon G. Zunker, Career Counseling: A Holistic Approach, 8th
ed. (Belmont, CA: Brooks/Cole, 2012), 24–26.
[6]
Carol A. Dahir and Carolyn B. Stone, The Transformed School
Counselor, 2nd ed. (Belmont, CA: Brooks/Cole, 2012), 108–110.
[7]
American School Counselor Association (ASCA), The ASCA National
Model: A Framework for School Counseling Programs, 4th ed. (Alexandria,
VA: ASCA, 2019), 31–33.
9.
Menyisipkan Nilai-Nilai Agama dan Moral
Dalam pendidikan yang
berorientasi pada pembentukan karakter utuh, penyisipan nilai-nilai
agama dan moral bukanlah elemen tambahan, melainkan fondasi
utama yang menopang perkembangan sosial dan emosional peserta didik. Nilai-nilai
ini menjadi pedoman dalam membentuk kepribadian yang berintegritas, berempati,
dan memiliki kesadaran etis dalam bersikap maupun bertindak. Dalam perspektif
pedagogi holistik, pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi
juga proses pembentukan manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan bertanggung
jawab secara sosial.¹
Agama, dalam praktik
pendidikan, berfungsi sebagai sumber makna dan orientasi nilai yang memberikan
arah bagi perilaku peserta didik.² Penyisipan nilai-nilai keagamaan dalam
proses pembelajaran membantu siswa memahami bahwa emosi dan tindakan mereka
tidak lepas dari pertanggungjawaban spiritual. Misalnya, pengendalian diri
(sabr), syukur, tawakal, kejujuran, dan kasih sayang merupakan prinsip-prinsip
religius yang berkontribusi besar terhadap regulasi emosi dan hubungan sosial
yang sehat.³ Nilai-nilai ini dapat dijadikan titik masuk untuk membangun
ketahanan psikologis dan moralitas peserta didik dalam menghadapi tantangan
hidup.
Penelitian menunjukkan bahwa
siswa yang memperoleh pendidikan agama secara bermakna cenderung memiliki
tingkat empati lebih tinggi, perilaku antisosial lebih rendah, serta motivasi
intrinsik yang lebih kuat dalam belajar.⁴ Dalam konteks Indonesia sebagai
negara dengan mayoritas penduduk religius, integrasi nilai-nilai agama ke dalam
pembelajaran tidak hanya selaras dengan kultur masyarakat, tetapi juga dengan
mandat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.⁵ Oleh karena itu, penyisipan nilai agama dalam pembelajaran
merupakan penguatan karakter yang tidak hanya etis, tetapi juga konstitusional.
Implementasi nilai agama dan
moral dalam mendukung aspek sosial emosional dapat dilakukan dengan beberapa
strategi. Pertama, melalui internalisasi nilai dalam kegiatan
belajar. Guru dapat menyisipkan ayat Al-Qur’an, hadis Nabi,
atau kisah teladan tokoh agama dalam materi ajar, terutama yang berkaitan
dengan etika, tanggung jawab, dan empati. Misalnya, ketika membahas tentang
kerja sama, guru dapat menyampaikan hadis: “Al-mu’min lil-mu’min
kal-bunyān, yasyuddu ba‘ḍuhu ba‘ḍan” (Seorang mukmin terhadap mukmin yang
lain seperti bangunan yang saling menguatkan).⁶
Kedua, melalui kultur
sekolah yang religius dan etis, seperti pembiasaan berdoa
bersama, saling memberi salam, santunan sosial, atau kegiatan keagamaan rutin
yang melibatkan seluruh komunitas sekolah.⁷ Aktivitas semacam ini tidak hanya
memperkuat identitas spiritual siswa, tetapi juga menumbuhkan keterikatan
emosional yang positif antara siswa, guru, dan lingkungan belajar.
Ketiga, guru juga dapat
mengembangkan pembelajaran reflektif-spiritual,
di mana siswa diajak merenungkan makna tindakan mereka dalam perspektif moral.
Misalnya, setelah terjadi konflik antar siswa, guru mengajak mereka berdialog
tentang tanggung jawab, dampak emosi, serta nilai pemaafan dalam agama. Praktik
semacam ini mengintegrasikan aspek kognitif, emosional, dan spiritual dalam
satu pengalaman belajar yang utuh.
Namun demikian, penyisipan
nilai agama dan moral harus dilakukan dengan cara yang inklusif dan bijak. Guru
perlu memastikan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tetap relevan dan dapat
diterima oleh peserta didik dari latar belakang beragam, terutama dalam konteks
sekolah multikultural atau lintas agama. Dalam hal ini, pendekatan yang menekankan
pada nilai-nilai universal seperti kejujuran, kasih sayang, keadilan, dan
tanggung jawab sangat dianjurkan.⁸
Dengan menyisipkan
nilai-nilai agama dan moral secara kontekstual, pendidik tidak hanya memperkuat
struktur emosi dan perilaku siswa, tetapi juga menanamkan landasan spiritual
yang dapat membimbing mereka dalam mengambil keputusan, mengelola konflik, dan
membentuk hubungan yang sehat sepanjang hayat.
Catatan Kaki
[1]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6–8.
[2]
James Arthur, The Re-Emergence of Character Education in British
Education Policy (Rotterdam: Sense Publishers, 2005), 14.
[3]
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam [Pendidikan
Anak dalam Islam], vol. 1 (Beirut: Darul Fikr, 1994), 117–125.
[4]
Philip Sheldrake, Spirituality: A Guide for the Perplexed
(London: Bloomsbury, 2007), 87–89.
[5]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 31 ayat
(3).
[6]
HR. al-Bukhari, no. 481 dan Muslim, no. 2585.
[7]
Kementerian Agama RI, Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis
Madrasah (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2018), 34.
[8]
UNESCO, Learning to Live Together: What Do We Mean by Teaching
Values? (Geneva: UNESCO International Bureau of Education, 2002), 12.
10.
Penutup
10.1.
Kesimpulan
Penyediaan dukungan sosial
emosional oleh pendidik dalam proses pembelajaran merupakan komponen krusial
dalam menciptakan pendidikan yang bermakna dan berdaya transformasi. Seperti
yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, pendidik memiliki peran
strategis dalam membentuk iklim kelas yang sehat secara psikologis melalui
berbagai pendekatan, seperti membangun hubungan empatik, menciptakan lingkungan
inklusif, memberikan penguatan positif, menerapkan strategi pembelajaran sosial-emosional
(SEL), menjadi teladan dalam regulasi emosi, menyediakan waktu untuk refleksi
dan istirahat, menjalin koordinasi dengan orang tua dan layanan konseling,
serta menyisipkan nilai-nilai agama dan moral ke dalam proses pembelajaran.
Strategi-strategi tersebut
tidak hanya berdampak pada kesejahteraan emosional siswa, tetapi juga terbukti
meningkatkan keterlibatan belajar, prestasi akademik, dan pembentukan karakter
yang utuh.¹ Penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang mengintegrasikan
pendekatan sosial-emosional secara sistematis memiliki iklim pembelajaran yang
lebih suportif, siswa yang lebih resisten terhadap stres, serta hubungan sosial
yang lebih harmonis.² Dengan kata lain, keberhasilan akademik peserta didik
sangat berkorelasi dengan kualitas relasional dan dukungan emosional yang
mereka peroleh dari lingkungan belajar.
Meskipun demikian, upaya
pendidik dalam memberikan dukungan sosial emosional tidak dapat berjalan
sendiri. Dibutuhkan dukungan sistemik dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan,
termasuk kepala sekolah, orang tua, konselor, dan pembuat kebijakan. Ketika
semua pihak bergerak secara sinergis, maka satuan pendidikan akan berfungsi
tidak hanya sebagai pusat pengajaran, tetapi juga sebagai tempat pembentukan
jati diri, moralitas, dan keseimbangan emosional anak-anak bangsa.
10.2.
Rekomendasi
1)
Untuk
Guru dan Pendidik
Diperlukan peningkatan kapasitas dalam bidang
sosial-emosional melalui pelatihan, supervisi, dan praktik reflektif yang
berkelanjutan. Guru harus diperlengkapi bukan hanya dengan kompetensi pedagogis
dan profesional, tetapi juga dengan kecakapan sosial-emosional untuk membina
hubungan yang sehat dan suportif dengan peserta didik.³
2)
Untuk
Sekolah dan Madrasah
Lembaga pendidikan perlu merancang program
penguatan sosial emosional yang terintegrasi dalam kurikulum dan kegiatan
non-akademik, seperti program bimbingan konseling yang proaktif, pelatihan
regulasi emosi, kegiatan kerohanian, dan budaya refleksi kelas.⁴
3)
Untuk
Pemerintah dan Pembuat Kebijakan
Diperlukan regulasi dan kebijakan yang mengakui
pentingnya pendidikan sosial-emosional sebagai bagian integral dari kurikulum
nasional. Pemerintah juga diharapkan menyediakan sumber daya yang cukup untuk
mendukung pelaksanaan program-program SEL di satuan pendidikan.⁵
4)
Untuk
Orang Tua dan Masyarakat
Kolaborasi yang erat antara orang tua dan sekolah
harus terus dibina, khususnya dalam membangun kesadaran bersama mengenai
pentingnya dukungan emosional bagi anak-anak. Keluarga sebagai lingkungan
pertama pendidikan perlu diberdayakan agar mampu menjadi mitra aktif dalam
mendampingi tumbuh kembang anak secara utuh.
Dengan menjalankan
rekomendasi ini secara konsisten, diharapkan pendidikan Indonesia dapat
menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang
secara emosional, berakhlak mulia, dan memiliki resiliensi dalam menghadapi
dinamika kehidupan di masa depan.
Catatan Kaki
[1]
Joseph A. Durlak et al., “The Impact of Enhancing Students’ Social and
Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based Universal Interventions,” Child
Development 82, no. 1 (2011): 405–432.
[2]
Linda Darling-Hammond et al., The Social and Emotional Learning
Framework: Promoting the Development of the Whole Child (Palo Alto, CA:
Learning Policy Institute, 2020), 6–9.
[3]
Patricia A. Jennings and Mark T. Greenberg, “The Prosocial Classroom:
Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom
Outcomes,” Review of Educational Research 79, no. 1 (2009): 491–525.
[4]
Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL), SEL
and School Climate, https://casel.org/sel-resources/sel-and-school-climate/ (diakses 8 Juli 2025).
[5]
UNESCO, Futures of Education: A New Social Contract for Education
(Paris: UNESCO Publishing, 2021), 58–60.
Daftar Pustaka
American School Counselor
Association. (2019). The ASCA national model: A framework for school
counseling programs (4th ed.). Alexandria, VA: ASCA.
Arthur, J. (2005). The
re-emergence of character education in British education policy.
Rotterdam: Sense Publishers.
ASCD. (2007). The
learning compact redefined: A call to action. Alexandria, VA: ASCD.
Bandura, A. (1977). Social
learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Baumrind, D. (1991). The
influence of parenting style on adolescent competence and substance use. The
Journal of Early Adolescence, 11(1), 56–95. https://doi.org/10.1177/0272431691111004
Boyes-Watson, C., & Pranis,
K. (2015). Circle forward: Building a restorative school community.
St. Paul, MN: Living Justice Press.
Brackett, M. (2019). Permission
to feel: Unlocking the power of emotions to help our kids, ourselves, and our
society thrive. New York: Celadon Books.
Bronfenbrenner, U. (1979). The
ecology of human development: Experiments by nature and design. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Collaborative for Academic,
Social, and Emotional Learning. (2025). What is SEL? Retrieved July 5,
2025, from https://casel.org/what-is-sel/
Collaborative for Academic,
Social, and Emotional Learning. (2025). SEL and school climate.
Retrieved July 8, 2025, from https://casel.org/sel-resources/sel-and-school-climate/
Dahir, C. A., & Stone,
C. B. (2012). The transformed school counselor (2nd ed.). Belmont, CA:
Brooks/Cole.
Darling-Hammond, L., Flook,
L., Cook-Harvey, C., Barron, B., & Osher, D. (2020). The social and
emotional learning framework: Promoting the development of the whole child.
Palo Alto, CA: Learning Policy Institute.
Darling-Hammond, L.,
Cook-Harvey, C., & Osher, D. (2019). Educating the whole child: The
importance of social-emotional learning in schools. Palo Alto, CA:
Learning Policy Institute.
Durlak, J. A., Weissberg,
R. P., Dymnicki, A. B., Taylor, R. D., & Schellinger, K. B. (2011). The
impact of enhancing students’ social and emotional learning: A meta-analysis of
school-based universal interventions. Child Development, 82(1),
405–432. https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2010.01564.x
Dweck, C. S. (2006). Mindset:
The new psychology of success. New York: Random House.
Edmondson, A. (2019). The
fearless organization: Creating psychological safety in the workplace for
learning, innovation, and growth. Hoboken, NJ: Wiley.
Elias, M. J., Zins, J. E.,
Weissberg, R. P., Frey, K. S., Greenberg, M. T., Haynes, N. M., Kessler, R.,
Schwab-Stone, M. E., & Shriver, T. P. (1997). Promoting social and
emotional learning: Guidelines for educators. Alexandria, VA: ASCD.
Epstein, J. L. (2001). School,
family, and community partnerships: Preparing educators and improving schools.
Boulder, CO: Westview Press.
Goleman, D. (1995). Emotional
intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
Gross, J. J. (2015).
Emotion regulation: Current status and future prospects. Psychological
Inquiry, 26(1), 1–26. https://doi.org/10.1080/1047840X.2014.940781
Hatfield, E., Cacioppo, J.
T., & Rapson, R. L. (1994). Emotional contagion. Cambridge:
Cambridge University Press.
Henderson, A. T., &
Mapp, K. L. (2002). A new wave of evidence: The impact of school, family,
and community connections on student achievement. Austin, TX: Southwest
Educational Development Laboratory.
Jennings, P. A., &
Greenberg, M. T. (2009). The prosocial classroom: Teacher social and emotional
competence in relation to student and classroom outcomes. Review of
Educational Research, 79(1), 491–525. https://doi.org/10.3102/0034654308325693
Kementerian Agama RI.
(2018). Penguatan pendidikan karakter berbasis madrasah. Jakarta:
Dirjen Pendidikan Islam.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Panduan pengembangan projek
penguatan profil pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kelley, P., Lockley, S. W.,
Foster, R. G., & Kelley, J. (2015). Synchronizing education to adolescent
biology: “Let teens sleep, start school later”. Learning, Media and Technology,
40(2), 210–226. https://doi.org/10.1080/17439884.2014.885867
Lickona, T. (1991). Educating
for character: How our schools can teach respect and responsibility. New
York: Bantam Books.
Marzano, R. J. (2003). Classroom
management that works: Research-based strategies for every teacher.
Alexandria, VA: ASCD.
Marzano, R. J. (2007). The
art and science of teaching: A comprehensive framework for effective
instruction. Alexandria, VA: ASCD.
Noddings, N. (2003). Caring:
A feminine approach to ethics and moral education (2nd ed.). Berkeley:
University of California Press.
Noddings, N. (2005). The
challenge to care in schools: An alternative approach to education (2nd
ed.). New York: Teachers College Press.
Rose, D. H., & Meyer,
A. (2006). A practical reader in universal design for learning.
Cambridge, MA: Harvard Education Press.
Santrock, J. W. (2011). Educational
psychology (6th ed.). New York: McGraw-Hill.
Sheldrake, P. (2007). Spirituality:
A guide for the perplexed. London: Bloomsbury.
Siegel, D. J., &
Bryson, T. P. (2014). The whole-brain teacher: A revolutionary approach to
teaching and emotional regulation in the classroom. New York: Bantam.
Skinner, B. F. (1953). Science
and human behavior. New York: Macmillan.
Trougakos, J. P., &
Beal, D. G. (2011). Rest, recovery, and resilience: The importance of taking
breaks. Organizational Behavior, 1(1), 52–59.
Ulwan, A. N. (1994). Tarbiyatul
aulad fil Islam [Pendidikan anak dalam Islam] (Vol. 1). Beirut: Darul
Fikr.
UNESCO. (2002). Learning
to live together: What do we mean by teaching values? Geneva: UNESCO
International Bureau of Education.
UNESCO. (2015). Rethinking
education: Towards a global common good? Paris: UNESCO Publishing.
UNESCO. (2021). Futures
of education: A new social contract for education. Paris: UNESCO
Publishing.
Zunker, V. G. (2012). Career
counseling: A holistic approach (8th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar