Rabu, 09 Juli 2025

Dukungan Sosial Emosional bagi Peserta Didik

Dukungan Sosial Emosional bagi Peserta Didik

Pendekatan Konseptual dan Implementatif


Alihkan ke: Kurikuler dalam Sistem Pendidikan di Indonesia.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peran strategis pendidik dalam menyediakan dukungan sosial emosional bagi peserta didik dalam proses pembelajaran. Dukungan sosial emosional tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap pembelajaran akademik, tetapi menjadi fondasi penting bagi tumbuh kembang psikologis dan karakter siswa. Kajian ini menguraikan delapan strategi utama yang dapat diterapkan pendidik, mulai dari membangun hubungan empatik, menciptakan lingkungan inklusif, memberikan penguatan positif, menerapkan pembelajaran sosial emosional (SEL), menjadi teladan dalam regulasi emosi, menyediakan waktu untuk refleksi dan istirahat, menjalin koordinasi dengan orang tua serta layanan konseling, hingga menyisipkan nilai-nilai agama dan moral dalam pembelajaran. Melalui pendekatan kualitatif-deskriptif dan ditopang oleh literatur akademik serta regulasi pendidikan terkini, artikel ini menegaskan bahwa dukungan sosial emosional dari guru sangat berpengaruh terhadap iklim belajar, kesejahteraan siswa, serta pencapaian akademik. Di akhir tulisan, disampaikan pula sejumlah rekomendasi praktis bagi guru, sekolah, pemerintah, dan orang tua agar kolaboratif dalam membangun pendidikan yang holistik dan manusiawi.

Kata Kunci: Pendidik, Dukungan Sosial Emosional, Regulasi Emosi, Pembelajaran Inklusif, Pembentukan Karakter, Pendidikan Holistik, Nilai Moral dan Agama, Kolaborasi Sekolah-Keluarga.


PEMBAHASAN

Peran Strategis Pendidik dalam Menyediakan Dukungan Sosial Emosional bagi Peserta Didik


1.           Pendahuluan

Proses pembelajaran tidak hanya bertumpu pada penguasaan kognitif peserta didik, tetapi juga sangat bergantung pada kondisi sosial dan emosional mereka. Dalam konteks pendidikan modern, dukungan terhadap dimensi sosial-emosional telah menjadi kebutuhan esensial yang harus diakomodasi oleh pendidik. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa peserta didik adalah individu utuh (holistik) yang belajar secara optimal ketika merasa aman, diterima, dan didukung secara emosional dalam lingkungan belajar mereka. Menurut Durlak et al., pembelajaran sosial-emosional (Social and Emotional Learning/SEL) memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan perilaku prososial, penurunan masalah perilaku dan emosional, serta peningkatan capaian akademik peserta didik.¹

Dalam kerangka Kurikulum Nasional Indonesia, perhatian terhadap aspek sosial-emosional tercermin dalam berbagai kebijakan, seperti Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan nilai-nilai seperti gotong royong, bernalar kritis, dan mandiri.² Pendidik dituntut tidak hanya menjadi penyampai materi ajar, tetapi juga menjadi fasilitator, pembimbing, dan teladan dalam membentuk karakter serta kesehatan mental peserta didik. Hal ini menjadi semakin penting di tengah tantangan zaman, seperti tekanan akademik, disrupsi teknologi, konflik sosial, hingga dampak pandemi yang meninggalkan luka psikologis kolektif.

Dukungan sosial emosional dari pendidik mencakup berbagai tindakan nyata yang menciptakan iklim kelas yang sehat, memfasilitasi perkembangan emosional siswa, dan membangun relasi yang bermakna antara guru dan murid. Berbagai studi menunjukkan bahwa iklim pembelajaran yang suportif secara emosional dapat meningkatkan keterlibatan belajar (student engagement) dan mengurangi risiko putus sekolah.³ Oleh karena itu, pembahasan ini akan mengurai secara rinci langkah-langkah yang dapat dilakukan pendidik untuk menyediakan dukungan sosial emosional dalam proses pembelajaran, dengan merujuk pada teori pendidikan kontemporer dan regulasi yang relevan.


Catatan Kaki

[1]                Joseph A. Durlak et al., The Impact of Enhancing Students’ Social and Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based Universal Interventions, Child Development 82, no. 1 (January/February 2011): 405–432, https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2010.01564.x.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021).

[3]                Robert J. Marzano and Jana S. Marzano, “The Key to Classroom Management,” Educational Leadership 61, no. 1 (September 2003): 6–13.


2.           Membangun Hubungan yang Positif dan Empatik

Hubungan yang positif dan empatik antara pendidik dan peserta didik merupakan fondasi penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat secara emosional. Relasi ini tidak hanya berdampak pada kenyamanan psikologis siswa, tetapi juga memengaruhi keterlibatan belajar (engagement), motivasi intrinsik, dan keberhasilan akademik mereka. Penelitian menunjukkan bahwa ketika peserta didik merasa diperhatikan, dihargai, dan dipahami oleh gurunya, mereka akan lebih termotivasi untuk belajar dan menunjukkan perilaku yang lebih adaptif.¹

Empati dalam konteks pendidikan bukan sekadar memahami perasaan siswa, tetapi juga merespons dengan cara yang mendukung dan membangun. Pendidik yang empatik mampu membaca bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara peserta didik sebagai indikator kondisi emosional mereka.² Dengan sensitivitas seperti ini, pendidik dapat menyesuaikan pendekatan pembelajaran, misalnya dengan memberi ruang istirahat bagi siswa yang tampak tertekan atau mendengarkan cerita mereka sebelum masuk ke materi.

Menurut Pianta dan Stuhlman, kualitas hubungan guru-murid yang ditandai oleh kehangatan, kepercayaan, dan komunikasi yang terbuka berkontribusi terhadap terciptanya iklim kelas yang positif dan mengurangi perilaku bermasalah siswa.³ Hubungan seperti ini membentuk secure attachment yang memberikan rasa aman emosional bagi siswa, terutama bagi mereka yang menghadapi kesulitan di rumah atau lingkungan sosial. Guru yang dapat menciptakan sense of belonging—rasa diterima dan dianggap penting di kelas—berkontribusi besar dalam membangun ketahanan emosional peserta didik.⁴

Membangun hubungan yang positif dan empatik juga membutuhkan konsistensi dan keteladanan. Sikap guru yang terbuka terhadap umpan balik, mampu mengakui kesalahan, dan memperlakukan semua siswa secara adil merupakan bagian dari proses ini. Misalnya, memulai pelajaran dengan menyapa siswa satu per satu atau meluangkan waktu untuk berbincang ringan sebelum atau sesudah kelas dapat memperkuat kedekatan interpersonal. Dalam konteks ini, komunikasi nonverbal seperti senyuman, kontak mata, dan gestur yang bersahabat memiliki dampak besar dalam membangun kepercayaan emosional.⁵

Pada akhirnya, hubungan yang positif dan empatik bukan hanya instrumen pedagogis, tetapi juga bagian dari pembentukan karakter. Guru yang mampu memanusiakan peserta didik dengan empati telah menjalankan misi pendidikan yang hakiki: membimbing manusia dalam seluruh dimensi kemanusiaannya.


Catatan Kaki

[1]                John Hattie, Visible Learning: A Synthesis of Over 800 Meta-Analyses Relating to Achievement (London: Routledge, 2009), 118–120.

[2]                Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 149.

[3]                Robert C. Pianta and Megan Stuhlman, “Teacher–Child Relationships and Children’s Success in the First Years of School,” School Psychology Review 33, no. 3 (2004): 444–458.

[4]                Jennifer A. Fredricks, Phyllis C. Blumenfeld, and Alison H. Paris, “School Engagement: Potential of the Concept, State of the Evidence,” Review of Educational Research 74, no. 1 (2004): 59–109.

[5]                Marzano and Marzano, “The Key to Classroom Management,” Educational Leadership 61, no. 1 (2003): 8.


3.           Menciptakan Lingkungan Belajar yang Aman dan Inklusif

Lingkungan belajar yang aman dan inklusif merupakan syarat utama bagi keberhasilan pembelajaran yang menyeluruh, terutama dalam pengembangan aspek sosial dan emosional peserta didik. Lingkungan semacam ini memberikan ruang bagi setiap siswa untuk merasa diterima, dihargai, dan memiliki kesempatan yang setara dalam berpartisipasi aktif tanpa rasa takut, malu, atau terdiskriminasi. Rasa aman secara psikologis (psychological safety) memungkinkan peserta didik untuk mengekspresikan diri, bertanya, bahkan melakukan kesalahan sebagai bagian dari proses belajar yang sehat.¹

Menurut teori ekologi perkembangan dari Urie Bronfenbrenner, individu berkembang dalam konteks interaksi antara lingkungan dan relasi sosial yang saling memengaruhi.² Dalam hal ini, kelas sebagai lingkungan mikro memegang peran vital dalam membentuk karakter dan kesejahteraan emosional siswa. Jika kelas menjadi tempat yang penuh tekanan, celaan, atau diskriminasi, maka dampaknya bukan hanya pada prestasi akademik, tetapi juga pada harga diri dan kesehatan mental peserta didik.

Untuk menciptakan suasana yang aman, guru perlu membangun classroom climate yang mendukung, yaitu dengan menetapkan norma-norma yang menjunjung nilai kesetaraan, penghargaan terhadap perbedaan, dan komunikasi yang saling menghormati.³ Misalnya, pendidik harus memastikan bahwa tidak ada siswa yang menjadi sasaran perundungan (bullying), stereotip, atau perlakuan tidak adil berdasarkan latar belakang agama, gender, kondisi ekonomi, atau kemampuan akademik. Hal ini sejalan dengan pendekatan universal design for learning (UDL) yang mengedepankan aksesibilitas dan diferensiasi dalam proses pembelajaran.⁴

Selain itu, penting bagi guru untuk merancang ruang kelas secara fisik dan sosial yang nyaman dan suportif. Pengaturan tempat duduk yang memungkinkan interaksi, pemajangan karya siswa dari beragam latar belakang, serta penggunaan bahasa yang inklusif dan membangun akan memperkuat keterlibatan emosional siswa terhadap kelas. Dalam lingkungan yang demikian, setiap individu merasa memiliki peran dan identitas yang diterima, sehingga mereka cenderung lebih terbuka terhadap pembelajaran dan kerja sama.

Praktik inklusif juga menuntut kepekaan guru dalam menyikapi dinamika sosial di kelas. Misalnya, memberi perhatian khusus kepada siswa yang cenderung pendiam, mengalami hambatan belajar, atau berasal dari kelompok minoritas, tanpa menstigma mereka. Guru juga perlu merespons konflik antar siswa dengan cara restoratif, bukan hanya represif, sehingga iklim kelas tetap kondusif dan penuh kepercayaan.⁵

Keseluruhan strategi ini mencerminkan pendekatan pedagogi kasih sayang (pedagogy of care) yang menempatkan perhatian terhadap perasaan, kebutuhan, dan keberadaan peserta didik sebagai inti dari proses pendidikan.⁶ Dengan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif, pendidik bukan hanya membentuk ruang kelas sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai ruang hidup yang memanusiakan.


Catatan Kaki

[1]                Amy Edmondson, The Fearless Organization: Creating Psychological Safety in the Workplace for Learning, Innovation, and Growth (Hoboken, NJ: Wiley, 2019), 15–16.

[2]                Urie Bronfenbrenner, The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 22–25.

[3]                Robert J. Marzano, Classroom Management That Works: Research-Based Strategies for Every Teacher (Alexandria, VA: ASCD, 2003), 18–20.

[4]                David H. Rose and Anne Meyer, A Practical Reader in Universal Design for Learning (Cambridge, MA: Harvard Education Press, 2006), 9–11.

[5]                Carolyn Boyes-Watson and Kay Pranis, Circle Forward: Building a Restorative School Community (St. Paul, MN: Living Justice Press, 2015), 56–59.

[6]                Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2005), 17–19.


4.           Memberikan Penguatan Positif

Penguatan positif (positive reinforcement) merupakan strategi penting dalam pembelajaran yang bertujuan untuk mendorong munculnya perilaku yang diharapkan melalui pemberian konsekuensi menyenangkan setelah perilaku tersebut ditampilkan. Dalam konteks pendidikan, penguatan positif tidak hanya berfungsi sebagai alat manajemen kelas, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun harga diri, motivasi intrinsik, dan hubungan emosional yang sehat antara pendidik dan peserta didik.¹

Konsep ini berakar pada teori behaviorisme yang dikembangkan oleh B.F. Skinner. Skinner menyatakan bahwa perilaku yang diberi penguatan cenderung diulang, sementara yang tidak diberi penguatan cenderung menghilang.² Dalam praktiknya, penguatan positif dapat berupa pujian verbal (“Kamu sudah bekerja dengan sangat baik hari ini”), simbolis (pemberian stiker atau sertifikat), maupun sosial (memberikan tanggung jawab khusus kepada siswa). Kuncinya terletak pada ketepatan waktu, keaslian, dan kesesuaian penguatan dengan karakteristik serta kebutuhan peserta didik.

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian penguatan positif secara konsisten dan tepat sasaran mampu meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, menurunkan perilaku negatif, dan menumbuhkan perasaan dihargai.³ Lebih dari sekadar alat kendali perilaku, penguatan positif menciptakan iklim emosional yang mendukung, di mana peserta didik merasa bahwa upaya mereka diakui dan kemajuan sekecil apa pun bernilai. Dalam hal ini, penguatan bukan hanya tentang hasil, tetapi juga menghargai proses belajar, keberanian mencoba, dan kegigihan dalam menghadapi tantangan.

Namun demikian, penguatan positif harus diberikan secara bijaksana dan tidak manipulatif. Nel Noddings, dalam kerangka pedagogy of care, menekankan pentingnya penguatan yang lahir dari relasi autentik antara guru dan siswa.⁴ Artinya, pujian dan pengakuan seharusnya muncul dari kepekaan terhadap kondisi emosional peserta didik, bukan sekadar sebagai strategi teknis. Pujian yang bersifat tulus dan spesifik (“Saya bangga karena kamu tidak menyerah saat menghadapi soal sulit tadi”) lebih bermakna dibandingkan pujian generik (“Kamu hebat!”), karena memberikan umpan balik konkret terhadap perilaku yang positif.⁵

Penguatan positif juga dapat menjadi bagian dari strategi pembelajaran diferensiatif. Guru dapat menyesuaikan bentuk penguatan sesuai dengan preferensi dan latar belakang peserta didik, seperti memberikan kesempatan presentasi bagi siswa yang senang tampil atau memberi waktu tambahan membaca bagi siswa yang introvert. Dengan demikian, penguatan menjadi alat personalisasi yang memperkuat koneksi emosional antara siswa dengan aktivitas belajarnya.

Secara keseluruhan, memberikan penguatan positif bukan hanya memperkuat perilaku yang diinginkan, tetapi juga menciptakan budaya kelas yang positif, suportif, dan penuh penghargaan. Dalam ruang kelas yang demikian, peserta didik tidak hanya belajar untuk berprestasi, tetapi juga belajar tentang makna menghargai diri sendiri dan orang lain.


Catatan Kaki

[1]                Robert J. Marzano, The Art and Science of Teaching: A Comprehensive Framework for Effective Instruction (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 93–95.

[2]                B. F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), 89–92.

[3]                John W. Santrock, Educational Psychology, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 254–256.

[4]                Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2003), 171.

[5]                Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 175–178.


5.           Menerapkan Strategi Pembelajaran Sosial-Emosional (Social-Emotional Learning / SEL)

Pembelajaran Sosial-Emosional (Social-Emotional Learning / SEL) adalah pendekatan pedagogis yang bertujuan mengembangkan keterampilan sosial, kesadaran diri, pengelolaan emosi, serta kemampuan mengambil keputusan yang bertanggung jawab pada peserta didik. SEL mengintegrasikan proses pengembangan karakter ke dalam pengalaman belajar sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya tumbuh secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan sosial.¹

Menurut Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL), terdapat lima kompetensi inti dalam SEL: (1) kesadaran diri (self-awareness), (2) pengelolaan diri (self-management), (3) kesadaran sosial (social awareness), (4) keterampilan berelasi (relationship skills), dan (5) pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (responsible decision-making).² Kelima kompetensi ini saling berkaitan dan berperan penting dalam membentuk individu yang utuh, mampu bekerja sama, serta memiliki kontrol diri yang baik dalam menghadapi tantangan.

Dalam konteks kelas, penerapan strategi SEL dapat dilakukan melalui berbagai cara, baik secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, guru dapat mengalokasikan waktu khusus untuk kegiatan refleksi diri, diskusi etika, role playing, atau pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan kerja sama dan empati.³ Misalnya, guru dapat meminta siswa menuliskan jurnal harian yang mencerminkan perasaan mereka atau mengadakan sesi “sharing circle” di mana siswa diajak berbicara tentang pengalaman mereka dengan aman dan tanpa penghakiman.

Secara implisit, strategi SEL terintegrasi dalam rutinitas harian kelas, seperti cara guru merespons kesalahan siswa, memberi ruang untuk menyampaikan pendapat, serta menunjukkan empati dalam menyikapi dinamika sosial di kelas. Guru menjadi model hidup bagi keterampilan sosial-emosional yang diajarkan.⁴ Ketika guru mampu menunjukkan pengendalian emosi, mendengarkan secara aktif, atau menyelesaikan konflik dengan dialog, siswa belajar melalui observasi dan imitasi.

Penelitian menunjukkan bahwa implementasi SEL yang sistematis di sekolah dapat meningkatkan prestasi akademik sebesar 11 persen, sekaligus mengurangi perilaku bermasalah dan gejala stres.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan aspek sosial-emosional tidak mengurangi efektivitas pembelajaran akademik, melainkan justru menjadi fondasinya. SEL juga terbukti meningkatkan iklim sekolah secara keseluruhan, menciptakan rasa aman dan terhubung bagi seluruh warga sekolah.

Di Indonesia, pendekatan SEL telah mulai diakomodasi dalam kurikulum melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang mengedepankan pengembangan nilai-nilai seperti gotong royong, empati, dan kemandirian.⁶ Pendidik dituntut untuk tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membentuk manusia yang berintegritas, reflektif, dan memiliki kepekaan sosial. Dalam implementasinya, strategi SEL dapat disesuaikan dengan konteks lokal, budaya sekolah, serta kebutuhan emosional khas peserta didik.

Dengan menerapkan strategi SEL secara sadar dan terencana, pendidik berkontribusi besar dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara emosional dan bertanggung jawab secara sosial. Pendidikan yang berorientasi pada perkembangan manusia seutuhnya inilah yang sejalan dengan hakikat pendidikan nasional.


Catatan Kaki

[1]                Linda Darling-Hammond et al., The Social and Emotional Learning Framework: Promoting the Development of the Whole Child (Palo Alto, CA: Learning Policy Institute, 2020), 6.

[2]                Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL), What is SEL?, https://casel.org/what-is-sel/ (diakses 5 Juli 2025).

[3]                Maurice J. Elias et al., Promoting Social and Emotional Learning: Guidelines for Educators (Alexandria, VA: ASCD, 1997), 23–29.

[4]                Patricia A. Jennings and Mark T. Greenberg, “The Prosocial Classroom: Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes,” Review of Educational Research 79, no. 1 (2009): 491–525.

[5]                Joseph A. Durlak et al., “The Impact of Enhancing Students’ Social and Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based Universal Interventions,” Child Development 82, no. 1 (2011): 405–432.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021).


6.           Menjadi Model dalam Regulasi Emosi

Dalam konteks pembelajaran, pendidik bukan hanya pengelola kelas atau penyampai pengetahuan, tetapi juga figur panutan (role model) bagi peserta didik dalam aspek perilaku, sikap, dan terutama dalam hal regulasi emosi. Regulasi emosi merujuk pada kemampuan individu dalam mengelola, mengendalikan, dan mengekspresikan emosi secara adaptif dalam berbagai situasi.¹ Bagi peserta didik, proses pembelajaran emosional tidak hanya diperoleh dari instruksi eksplisit, melainkan juga melalui pengamatan terhadap cara guru menghadapi tekanan, konflik, atau perubahan suasana kelas.

Menurut Bandura dalam teori pembelajaran sosial (social learning theory), manusia banyak belajar melalui pengamatan dan peniruan terhadap model perilaku di sekitarnya.² Dengan demikian, guru yang mampu menampilkan ketenangan dalam situasi sulit, bersikap sabar dalam menghadapi kesalahan siswa, dan menyampaikan umpan balik dengan bijak telah memberikan pelajaran emosional yang mendalam tanpa perlu berkata-kata.

Penelitian yang dilakukan Jennings dan Greenberg menunjukkan bahwa guru yang memiliki kompetensi sosial-emosional yang tinggi cenderung memiliki kelas yang lebih tertib, siswa yang lebih terlibat, serta lebih sedikit konflik dan stres.³ Guru yang mampu meregulasi emosinya tidak mudah tersulut amarah, tidak mempermalukan siswa, dan tetap bersikap tenang meskipun menghadapi situasi yang menantang. Hal ini menciptakan suasana belajar yang kondusif dan penuh kepercayaan.

Keseimbangan emosi guru juga berdampak pada kualitas hubungan interpersonal di kelas. Ketika pendidik menunjukkan empati, keterbukaan, dan kesabaran dalam interaksi harian, siswa merasa lebih aman untuk mengekspresikan diri dan lebih siap menerima umpan balik. Sebaliknya, guru yang sering meluapkan frustrasi atau memberikan respons emosional negatif berisiko menciptakan rasa takut, tertekan, atau bahkan trauma dalam diri peserta didik.⁴ Oleh karena itu, kemampuan guru dalam mengelola stres dan menjaga stabilitas emosionalnya merupakan kompetensi profesional yang tidak kalah penting dibandingkan penguasaan materi ajar.

Untuk menjadi model regulasi emosi yang efektif, guru dapat menerapkan beberapa strategi seperti: praktik mindfulness, refleksi harian, serta menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.⁵ Selain itu, penting bagi guru untuk menyadari emotional contagion—fenomena psikologis di mana emosi seseorang dapat menular kepada orang lain di sekitarnya.⁶ Dalam lingkungan kelas, emosi guru yang positif dapat mengangkat suasana hati seluruh kelas, sementara emosi negatif yang tak terkendali dapat merusak iklim belajar secara keseluruhan.

Di tengah kompleksitas peran pendidik, menjadi teladan dalam regulasi emosi adalah bentuk nyata dari kepemimpinan pedagogis. Guru tidak hanya mengajarkan kontrol diri kepada siswa, tetapi menghidupkan nilai itu dalam praktik sehari-hari. Dalam jangka panjang, model semacam ini membekas dalam ingatan siswa sebagai pelajaran hidup yang tidak tergantikan oleh buku teks manapun.


Catatan Kaki

[1]                James J. Gross, “Emotion Regulation: Current Status and Future Prospects,” Psychological Inquiry 26, no. 1 (2015): 1–26.

[2]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 22–25.

[3]                Patricia A. Jennings and Mark T. Greenberg, “The Prosocial Classroom: Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes,” Review of Educational Research 79, no. 1 (2009): 491–525.

[4]                Maurice J. Elias et al., Emotionally Intelligent Parenting: How to Raise a Self-Disciplined, Responsible, Socially Skilled Child (New York: Three Rivers Press, 2000), 127.

[5]                Daniel J. Siegel and Tina Payne Bryson, The Whole-Brain Teacher: A Revolutionary Approach to Teaching and Emotional Regulation in the Classroom (New York: Bantam, 2014), 145–150.

[6]                Elaine Hatfield, John T. Cacioppo, and Richard L. Rapson, Emotional Contagion (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 96–97.


7.           Menyediakan Waktu untuk Refleksi dan Istirahat

Di tengah tuntutan akademik dan tekanan sosial yang dihadapi peserta didik, menyediakan waktu untuk refleksi dan istirahat menjadi salah satu bentuk dukungan sosial emosional yang sangat penting. Aktivitas pembelajaran yang padat, ditambah ekspektasi untuk selalu berprestasi, dapat menimbulkan kelelahan mental, stres, bahkan gangguan kesejahteraan psikologis siswa. Oleh karena itu, memberikan ruang bagi peserta didik untuk jeda sejenak—baik secara fisik maupun mental—merupakan langkah preventif sekaligus kuratif dalam membina kesehatan emosional mereka.¹

Refleksi merupakan proses berpikir secara mendalam terhadap pengalaman, perasaan, dan pembelajaran yang telah dialami.² Dalam konteks pendidikan, refleksi membantu peserta didik mengenali perasaan mereka, memahami reaksi diri terhadap suatu situasi, serta merumuskan langkah perbaikan ke depan. Praktik ini meningkatkan kesadaran diri (self-awareness), yang merupakan salah satu pilar utama dalam pengembangan kecerdasan emosional.³ Guru dapat memfasilitasi refleksi melalui kegiatan seperti jurnal harian, lembar perasaan, curhat terstruktur, atau diskusi kelas tentang pengalaman belajar.

Sementara itu, istirahat (break time) berfungsi sebagai pemulihan mental dan fisik yang memungkinkan otak mengkonsolidasi informasi serta memperbaharui energi untuk aktivitas berikutnya.⁴ Penelitian dalam ilmu saraf menunjukkan bahwa jeda dalam aktivitas belajar—terutama setelah sesi intensif—dapat meningkatkan daya ingat dan pemrosesan kognitif.⁵ Bahkan, mikroistirahat yang hanya berdurasi 5–10 menit dapat menurunkan ketegangan emosional, meningkatkan fokus, dan mengurangi perilaku agresif di kelas. Guru dapat mengintegrasikan istirahat ringan berupa brain break, peregangan, permainan singkat, atau aktivitas mindfulness sebelum memulai sesi baru.

Penting untuk dicatat bahwa refleksi dan istirahat bukanlah bentuk pemborosan waktu belajar, melainkan investasi dalam ketahanan psikologis dan efektivitas kognitif siswa.⁶ Dalam jangka panjang, siswa yang terbiasa merefleksikan perasaannya dan diberi ruang istirahat yang sehat akan lebih mampu mengelola stres, menyadari potensi dirinya, serta menunjukkan resiliensi dalam menghadapi tantangan belajar. Ini sesuai dengan pendekatan whole-child education yang menempatkan kesejahteraan siswa sebagai prioritas utama proses pendidikan.⁷

Dalam implementasinya, pendidik perlu merancang waktu refleksi dan istirahat sebagai bagian dari ritme belajar harian atau mingguan. Guru juga dapat mendorong praktik reflektif yang bermakna, seperti pertanyaan panduan (“Apa hal paling menantang hari ini?”, “Bagaimana perasaanmu saat bekerja dalam kelompok?”) yang memantik kesadaran emosional siswa. Dalam konteks madrasah atau sekolah berbasis nilai, refleksi juga dapat diarahkan pada aspek spiritual, seperti muhasabah, dzikir ringan, atau perenungan terhadap makna ibadah dan akhlak.

Dengan menyediakan waktu untuk refleksi dan istirahat, guru tidak hanya menjaga daya tahan belajar siswa, tetapi juga membentuk kebiasaan hidup sehat yang mendukung perkembangan pribadi dan sosial peserta didik secara berkelanjutan.


Catatan Kaki

[1]                Mark Brackett, Permission to Feel: Unlocking the Power of Emotions to Help Our Kids, Ourselves, and Our Society Thrive (New York: Celadon Books, 2019), 183.

[2]                Donald A. Schön, The Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action (New York: Basic Books, 1983), 68–70.

[3]                Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 35–37.

[4]                John P. Trougakos and Daniel G. Beal, “Rest, Recovery, and Resilience: The Importance of Taking Breaks,” in Organizational Behavior 1, no. 1 (2011): 52–59.

[5]                Paul Kelley et al., “Synchronizing Education to Adolescent Biology: ‘Let Teens Sleep, Start School Later,’” Learning, Media and Technology 40, no. 2 (2015): 210–226.

[6]                Linda Darling-Hammond et al., Educating the Whole Child: The Importance of Social-Emotional Learning in Schools (Palo Alto, CA: Learning Policy Institute, 2019), 12.

[7]                ASCD, The Learning Compact Redefined: A Call to Action (Alexandria, VA: ASCD, 2007), 4–5.


8.           Berkoordinasi dengan Orang Tua dan Layanan Konseling

Pemberian dukungan sosial emosional kepada peserta didik tidak dapat dilakukan secara efektif apabila dilakukan secara terpisah atau sepihak oleh pendidik. Dalam hal ini, kolaborasi dengan orang tua dan layanan konseling sekolah menjadi sangat penting, mengingat pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.¹ Koordinasi yang terjalin dengan baik dapat memastikan bahwa kebutuhan emosional peserta didik ditangani secara komprehensif, berkelanjutan, dan kontekstual.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pembentukan karakter serta kestabilan emosional anak.² Oleh karena itu, keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak di sekolah harus mencakup dimensi akademik dan emosional. Pendidik perlu membangun komunikasi yang terbuka, empatik, dan konstruktif dengan orang tua—tidak hanya ketika terjadi masalah, tetapi juga sebagai bagian dari pemantauan perkembangan harian peserta didik.³ Melalui pertemuan berkala, buku komunikasi, atau media digital, guru dapat menyampaikan kondisi emosional siswa, mencatat perubahan perilaku, serta meminta informasi dari orang tua mengenai situasi di rumah yang mungkin berdampak pada suasana hati anak di sekolah.

Komunikasi dua arah ini juga memperkuat rasa saling percaya antara guru dan orang tua, yang pada gilirannya akan menciptakan pendekatan yang lebih konsisten antara lingkungan rumah dan sekolah.⁴ Ketika strategi regulasi emosi atau pendekatan pembelajaran di sekolah selaras dengan pola asuh di rumah, siswa akan lebih mudah menyesuaikan diri dan merasa aman secara psikologis. Misalnya, apabila guru mengetahui bahwa siswa mengalami kecemasan berlebihan saat ujian karena tekanan dari keluarga, maka guru dapat merancang strategi intervensi yang lebih manusiawi dan terkoordinasi.

Selain itu, keberadaan layanan konseling (termasuk guru BK di sekolah) memainkan peran strategis dalam menangani masalah sosial emosional yang tidak dapat diatasi oleh guru kelas secara langsung. Konselor memiliki keahlian khusus dalam bidang psikologi pendidikan dan bimbingan perkembangan yang memungkinkan mereka untuk mendeteksi gejala gangguan psikologis, merancang strategi konseling individu atau kelompok, serta melakukan intervensi krisis.⁵ Kerja sama antara guru dan konselor sangat penting, terutama ketika peserta didik menunjukkan perilaku menyimpang, mengalami trauma, stres berat, atau membutuhkan rujukan lanjutan ke layanan profesional eksternal.

Model kolaboratif antara guru dan konselor juga memungkinkan terciptanya sistem rujukan internal yang efisien. Guru dapat mengamati gejala awal di kelas dan menyampaikan informasi tersebut kepada konselor secara profesional dan rahasia. Selanjutnya, konselor dapat menindaklanjuti melalui sesi konseling atau asesmen psikologis. Dalam banyak kasus, keterlibatan guru dalam mendukung proses konseling, misalnya dengan menyediakan waktu khusus atau tempat yang aman untuk siswa, sangat membantu dalam keberhasilan intervensi.⁶

Lebih jauh, sekolah juga dapat mengembangkan sistem student support team yang melibatkan guru, konselor, wali kelas, bahkan kepala sekolah dan orang tua untuk menangani kasus-kasus sosial emosional yang kompleks secara kolaboratif.⁷ Pendekatan multi-level seperti ini memungkinkan keputusan yang lebih komprehensif, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang peserta didik.

Dengan demikian, koordinasi antara guru, orang tua, dan layanan konseling bukan hanya pelengkap dalam proses pendidikan, tetapi elemen kunci yang memastikan peserta didik mendapatkan perhatian menyeluruh sebagai individu yang sedang bertumbuh, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan sosial.


Catatan Kaki

[1]                UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global Common Good? (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 96.

[2]                Diana Baumrind, “The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and Substance Use,” The Journal of Early Adolescence 11, no. 1 (1991): 56–95.

[3]                Joyce L. Epstein, School, Family, and Community Partnerships: Preparing Educators and Improving Schools (Boulder, CO: Westview Press, 2001), 35–39.

[4]                Anne T. Henderson and Karen L. Mapp, A New Wave of Evidence: The Impact of School, Family, and Community Connections on Student Achievement (Austin, TX: Southwest Educational Development Laboratory, 2002), 7–9.

[5]                Vernon G. Zunker, Career Counseling: A Holistic Approach, 8th ed. (Belmont, CA: Brooks/Cole, 2012), 24–26.

[6]                Carol A. Dahir and Carolyn B. Stone, The Transformed School Counselor, 2nd ed. (Belmont, CA: Brooks/Cole, 2012), 108–110.

[7]                American School Counselor Association (ASCA), The ASCA National Model: A Framework for School Counseling Programs, 4th ed. (Alexandria, VA: ASCA, 2019), 31–33.


9.           Menyisipkan Nilai-Nilai Agama dan Moral

Dalam pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter utuh, penyisipan nilai-nilai agama dan moral bukanlah elemen tambahan, melainkan fondasi utama yang menopang perkembangan sosial dan emosional peserta didik. Nilai-nilai ini menjadi pedoman dalam membentuk kepribadian yang berintegritas, berempati, dan memiliki kesadaran etis dalam bersikap maupun bertindak. Dalam perspektif pedagogi holistik, pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi juga proses pembentukan manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab secara sosial.¹

Agama, dalam praktik pendidikan, berfungsi sebagai sumber makna dan orientasi nilai yang memberikan arah bagi perilaku peserta didik.² Penyisipan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembelajaran membantu siswa memahami bahwa emosi dan tindakan mereka tidak lepas dari pertanggungjawaban spiritual. Misalnya, pengendalian diri (sabr), syukur, tawakal, kejujuran, dan kasih sayang merupakan prinsip-prinsip religius yang berkontribusi besar terhadap regulasi emosi dan hubungan sosial yang sehat.³ Nilai-nilai ini dapat dijadikan titik masuk untuk membangun ketahanan psikologis dan moralitas peserta didik dalam menghadapi tantangan hidup.

Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh pendidikan agama secara bermakna cenderung memiliki tingkat empati lebih tinggi, perilaku antisosial lebih rendah, serta motivasi intrinsik yang lebih kuat dalam belajar.⁴ Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk religius, integrasi nilai-nilai agama ke dalam pembelajaran tidak hanya selaras dengan kultur masyarakat, tetapi juga dengan mandat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.⁵ Oleh karena itu, penyisipan nilai agama dalam pembelajaran merupakan penguatan karakter yang tidak hanya etis, tetapi juga konstitusional.

Implementasi nilai agama dan moral dalam mendukung aspek sosial emosional dapat dilakukan dengan beberapa strategi. Pertama, melalui internalisasi nilai dalam kegiatan belajar. Guru dapat menyisipkan ayat Al-Qur’an, hadis Nabi, atau kisah teladan tokoh agama dalam materi ajar, terutama yang berkaitan dengan etika, tanggung jawab, dan empati. Misalnya, ketika membahas tentang kerja sama, guru dapat menyampaikan hadis: “Al-mu’min lil-mu’min kal-bunyān, yasyuddu ba‘ḍuhu ba‘ḍan” (Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan).⁶

Kedua, melalui kultur sekolah yang religius dan etis, seperti pembiasaan berdoa bersama, saling memberi salam, santunan sosial, atau kegiatan keagamaan rutin yang melibatkan seluruh komunitas sekolah.⁷ Aktivitas semacam ini tidak hanya memperkuat identitas spiritual siswa, tetapi juga menumbuhkan keterikatan emosional yang positif antara siswa, guru, dan lingkungan belajar.

Ketiga, guru juga dapat mengembangkan pembelajaran reflektif-spiritual, di mana siswa diajak merenungkan makna tindakan mereka dalam perspektif moral. Misalnya, setelah terjadi konflik antar siswa, guru mengajak mereka berdialog tentang tanggung jawab, dampak emosi, serta nilai pemaafan dalam agama. Praktik semacam ini mengintegrasikan aspek kognitif, emosional, dan spiritual dalam satu pengalaman belajar yang utuh.

Namun demikian, penyisipan nilai agama dan moral harus dilakukan dengan cara yang inklusif dan bijak. Guru perlu memastikan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tetap relevan dan dapat diterima oleh peserta didik dari latar belakang beragam, terutama dalam konteks sekolah multikultural atau lintas agama. Dalam hal ini, pendekatan yang menekankan pada nilai-nilai universal seperti kejujuran, kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab sangat dianjurkan.⁸

Dengan menyisipkan nilai-nilai agama dan moral secara kontekstual, pendidik tidak hanya memperkuat struktur emosi dan perilaku siswa, tetapi juga menanamkan landasan spiritual yang dapat membimbing mereka dalam mengambil keputusan, mengelola konflik, dan membentuk hubungan yang sehat sepanjang hayat.


Catatan Kaki

[1]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 6–8.

[2]                James Arthur, The Re-Emergence of Character Education in British Education Policy (Rotterdam: Sense Publishers, 2005), 14.

[3]                Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam [Pendidikan Anak dalam Islam], vol. 1 (Beirut: Darul Fikr, 1994), 117–125.

[4]                Philip Sheldrake, Spirituality: A Guide for the Perplexed (London: Bloomsbury, 2007), 87–89.

[5]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 31 ayat (3).

[6]                HR. al-Bukhari, no. 481 dan Muslim, no. 2585.

[7]                Kementerian Agama RI, Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Madrasah (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2018), 34.

[8]                UNESCO, Learning to Live Together: What Do We Mean by Teaching Values? (Geneva: UNESCO International Bureau of Education, 2002), 12.


10.       Penutup

10.1.    Kesimpulan

Penyediaan dukungan sosial emosional oleh pendidik dalam proses pembelajaran merupakan komponen krusial dalam menciptakan pendidikan yang bermakna dan berdaya transformasi. Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, pendidik memiliki peran strategis dalam membentuk iklim kelas yang sehat secara psikologis melalui berbagai pendekatan, seperti membangun hubungan empatik, menciptakan lingkungan inklusif, memberikan penguatan positif, menerapkan strategi pembelajaran sosial-emosional (SEL), menjadi teladan dalam regulasi emosi, menyediakan waktu untuk refleksi dan istirahat, menjalin koordinasi dengan orang tua dan layanan konseling, serta menyisipkan nilai-nilai agama dan moral ke dalam proses pembelajaran.

Strategi-strategi tersebut tidak hanya berdampak pada kesejahteraan emosional siswa, tetapi juga terbukti meningkatkan keterlibatan belajar, prestasi akademik, dan pembentukan karakter yang utuh.¹ Penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang mengintegrasikan pendekatan sosial-emosional secara sistematis memiliki iklim pembelajaran yang lebih suportif, siswa yang lebih resisten terhadap stres, serta hubungan sosial yang lebih harmonis.² Dengan kata lain, keberhasilan akademik peserta didik sangat berkorelasi dengan kualitas relasional dan dukungan emosional yang mereka peroleh dari lingkungan belajar.

Meskipun demikian, upaya pendidik dalam memberikan dukungan sosial emosional tidak dapat berjalan sendiri. Dibutuhkan dukungan sistemik dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan, termasuk kepala sekolah, orang tua, konselor, dan pembuat kebijakan. Ketika semua pihak bergerak secara sinergis, maka satuan pendidikan akan berfungsi tidak hanya sebagai pusat pengajaran, tetapi juga sebagai tempat pembentukan jati diri, moralitas, dan keseimbangan emosional anak-anak bangsa.

10.2.    Rekomendasi

1)                  Untuk Guru dan Pendidik

Diperlukan peningkatan kapasitas dalam bidang sosial-emosional melalui pelatihan, supervisi, dan praktik reflektif yang berkelanjutan. Guru harus diperlengkapi bukan hanya dengan kompetensi pedagogis dan profesional, tetapi juga dengan kecakapan sosial-emosional untuk membina hubungan yang sehat dan suportif dengan peserta didik.³

2)                  Untuk Sekolah dan Madrasah

Lembaga pendidikan perlu merancang program penguatan sosial emosional yang terintegrasi dalam kurikulum dan kegiatan non-akademik, seperti program bimbingan konseling yang proaktif, pelatihan regulasi emosi, kegiatan kerohanian, dan budaya refleksi kelas.⁴

3)                  Untuk Pemerintah dan Pembuat Kebijakan

Diperlukan regulasi dan kebijakan yang mengakui pentingnya pendidikan sosial-emosional sebagai bagian integral dari kurikulum nasional. Pemerintah juga diharapkan menyediakan sumber daya yang cukup untuk mendukung pelaksanaan program-program SEL di satuan pendidikan.⁵

4)                  Untuk Orang Tua dan Masyarakat

Kolaborasi yang erat antara orang tua dan sekolah harus terus dibina, khususnya dalam membangun kesadaran bersama mengenai pentingnya dukungan emosional bagi anak-anak. Keluarga sebagai lingkungan pertama pendidikan perlu diberdayakan agar mampu menjadi mitra aktif dalam mendampingi tumbuh kembang anak secara utuh.

Dengan menjalankan rekomendasi ini secara konsisten, diharapkan pendidikan Indonesia dapat menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional, berakhlak mulia, dan memiliki resiliensi dalam menghadapi dinamika kehidupan di masa depan.


Catatan Kaki

[1]                Joseph A. Durlak et al., “The Impact of Enhancing Students’ Social and Emotional Learning: A Meta-Analysis of School-Based Universal Interventions,” Child Development 82, no. 1 (2011): 405–432.

[2]                Linda Darling-Hammond et al., The Social and Emotional Learning Framework: Promoting the Development of the Whole Child (Palo Alto, CA: Learning Policy Institute, 2020), 6–9.

[3]                Patricia A. Jennings and Mark T. Greenberg, “The Prosocial Classroom: Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes,” Review of Educational Research 79, no. 1 (2009): 491–525.

[4]                Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL), SEL and School Climate, https://casel.org/sel-resources/sel-and-school-climate/ (diakses 8 Juli 2025).

[5]                UNESCO, Futures of Education: A New Social Contract for Education (Paris: UNESCO Publishing, 2021), 58–60.


Daftar Pustaka

American School Counselor Association. (2019). The ASCA national model: A framework for school counseling programs (4th ed.). Alexandria, VA: ASCA.

Arthur, J. (2005). The re-emergence of character education in British education policy. Rotterdam: Sense Publishers.

ASCD. (2007). The learning compact redefined: A call to action. Alexandria, VA: ASCD.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use. The Journal of Early Adolescence, 11(1), 56–95. https://doi.org/10.1177/0272431691111004

Boyes-Watson, C., & Pranis, K. (2015). Circle forward: Building a restorative school community. St. Paul, MN: Living Justice Press.

Brackett, M. (2019). Permission to feel: Unlocking the power of emotions to help our kids, ourselves, and our society thrive. New York: Celadon Books.

Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning. (2025). What is SEL? Retrieved July 5, 2025, from https://casel.org/what-is-sel/

Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning. (2025). SEL and school climate. Retrieved July 8, 2025, from https://casel.org/sel-resources/sel-and-school-climate/

Dahir, C. A., & Stone, C. B. (2012). The transformed school counselor (2nd ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.

Darling-Hammond, L., Flook, L., Cook-Harvey, C., Barron, B., & Osher, D. (2020). The social and emotional learning framework: Promoting the development of the whole child. Palo Alto, CA: Learning Policy Institute.

Darling-Hammond, L., Cook-Harvey, C., & Osher, D. (2019). Educating the whole child: The importance of social-emotional learning in schools. Palo Alto, CA: Learning Policy Institute.

Durlak, J. A., Weissberg, R. P., Dymnicki, A. B., Taylor, R. D., & Schellinger, K. B. (2011). The impact of enhancing students’ social and emotional learning: A meta-analysis of school-based universal interventions. Child Development, 82(1), 405–432. https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2010.01564.x

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. New York: Random House.

Edmondson, A. (2019). The fearless organization: Creating psychological safety in the workplace for learning, innovation, and growth. Hoboken, NJ: Wiley.

Elias, M. J., Zins, J. E., Weissberg, R. P., Frey, K. S., Greenberg, M. T., Haynes, N. M., Kessler, R., Schwab-Stone, M. E., & Shriver, T. P. (1997). Promoting social and emotional learning: Guidelines for educators. Alexandria, VA: ASCD.

Epstein, J. L. (2001). School, family, and community partnerships: Preparing educators and improving schools. Boulder, CO: Westview Press.

Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

Gross, J. J. (2015). Emotion regulation: Current status and future prospects. Psychological Inquiry, 26(1), 1–26. https://doi.org/10.1080/1047840X.2014.940781

Hatfield, E., Cacioppo, J. T., & Rapson, R. L. (1994). Emotional contagion. Cambridge: Cambridge University Press.

Henderson, A. T., & Mapp, K. L. (2002). A new wave of evidence: The impact of school, family, and community connections on student achievement. Austin, TX: Southwest Educational Development Laboratory.

Jennings, P. A., & Greenberg, M. T. (2009). The prosocial classroom: Teacher social and emotional competence in relation to student and classroom outcomes. Review of Educational Research, 79(1), 491–525. https://doi.org/10.3102/0034654308325693

Kementerian Agama RI. (2018). Penguatan pendidikan karakter berbasis madrasah. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Panduan pengembangan projek penguatan profil pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbudristek.

Kelley, P., Lockley, S. W., Foster, R. G., & Kelley, J. (2015). Synchronizing education to adolescent biology: “Let teens sleep, start school later”. Learning, Media and Technology, 40(2), 210–226. https://doi.org/10.1080/17439884.2014.885867

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.

Marzano, R. J. (2003). Classroom management that works: Research-based strategies for every teacher. Alexandria, VA: ASCD.

Marzano, R. J. (2007). The art and science of teaching: A comprehensive framework for effective instruction. Alexandria, VA: ASCD.

Noddings, N. (2003). Caring: A feminine approach to ethics and moral education (2nd ed.). Berkeley: University of California Press.

Noddings, N. (2005). The challenge to care in schools: An alternative approach to education (2nd ed.). New York: Teachers College Press.

Rose, D. H., & Meyer, A. (2006). A practical reader in universal design for learning. Cambridge, MA: Harvard Education Press.

Santrock, J. W. (2011). Educational psychology (6th ed.). New York: McGraw-Hill.

Sheldrake, P. (2007). Spirituality: A guide for the perplexed. London: Bloomsbury.

Siegel, D. J., & Bryson, T. P. (2014). The whole-brain teacher: A revolutionary approach to teaching and emotional regulation in the classroom. New York: Bantam.

Skinner, B. F. (1953). Science and human behavior. New York: Macmillan.

Trougakos, J. P., & Beal, D. G. (2011). Rest, recovery, and resilience: The importance of taking breaks. Organizational Behavior, 1(1), 52–59.

Ulwan, A. N. (1994). Tarbiyatul aulad fil Islam [Pendidikan anak dalam Islam] (Vol. 1). Beirut: Darul Fikr.

UNESCO. (2002). Learning to live together: What do we mean by teaching values? Geneva: UNESCO International Bureau of Education.

UNESCO. (2015). Rethinking education: Towards a global common good? Paris: UNESCO Publishing.

UNESCO. (2021). Futures of education: A new social contract for education. Paris: UNESCO Publishing.

Zunker, V. G. (2012). Career counseling: A holistic approach (8th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar