Senin, 28 Juli 2025

Ketika Pemikir Menciptakan Neraka: Peran para Intelektual dalam Menciptakan dan Mengarahkan Arah Peradaban Modern

Ketika Pemikir Menciptakan Neraka

Peran para Intelektual dalam Menciptakan dan Mengarahkan Arah Peradaban Modern


Alihkan ke: Sejarah Pemikiran.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara kritis peran para intelektual dalam menciptakan dan mengarahkan arah peradaban modern, khususnya dalam konteks pengembangan senjata nuklir sebagai hasil keterlibatan ilmuwan dalam mesin perang negara. Dengan mengambil titik tolak dari sejarah proyek Manhattan dan figur seperti J. Robert Oppenheimer, tulisan ini menyoroti bagaimana gagasan dan pemikiran para ilmuwan dapat melahirkan kekuatan destruktif berskala global. Fenomena ketakutan terhadap perang nuklir bukan sekadar dampak dari keberadaan senjata itu sendiri, melainkan hasil dari dominasi pemikiran yang dilepaskan dari tanggung jawab moral dan etis. Artikel ini menegaskan bahwa dunia tidak diarahkan oleh pekerja semata, melainkan oleh para pemikir—baik dalam kapasitas mereka sebagai ilmuwan, filsuf, atau teknokrat—yang melalui gagasannya mampu membangun atau menghancurkan peradaban. Di era globalisasi yang sarat ketegangan geopolitik dan disrupsi teknologi, tanggung jawab intelektual menjadi hal yang mendesak untuk dikedepankan demi menjaga masa depan umat manusia. Refleksi ini mengajak kita merenungkan ulang peran pemikiran dalam membentuk dunia, serta pentingnya kebijakan berbasis etika dan kemanusiaan dalam sains dan teknologi.

Kata Kunci: intelektual, perang nuklir, tanggung jawab moral, Oppenheimer, senjata pemusnah massal, etika ilmu pengetahuan, pemikir dan peradaban, proyek Manhattan, kekuatan gagasan.


PEMBAHASAN

Bayang-Bayang Perang Nuklir dan Tanggung Jawab Intelektual


1.           Pendahuluan: Dunia dalam Kecemasan

Ketakutan manusia terhadap perang nuklir bukanlah sekadar ilusi sinematik atau kekhawatiran akademik belaka. Ia adalah kecemasan yang berakar pada kenyataan sejarah yang pernah menorehkan luka dalam pada umat manusia. Sejak dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945, dunia seolah-olah tersadar bahwa kemampuan manusia untuk menghancurkan kehidupan bukan lagi sekadar mitos atau ramalan, melainkan kenyataan teknologis yang sepenuhnya berada dalam genggaman manusia modern.1

Meskipun Perang Dunia II telah lama usai, bayang-bayang perang nuklir tidak pernah benar-benar hilang. Era Perang Dingin memperlihatkan bagaimana senjata nuklir menjadi simbol supremasi, bukan semata alat pertahanan. Krisis Misil Kuba tahun 1962 misalnya, memperlihatkan betapa dekatnya dunia pernah berada di ambang kehancuran total hanya karena eskalasi politik dan perhitungan strategis elite negara adidaya.2 Hingga kini, sembilan negara—termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok—masih menyimpan ribuan hulu ledak nuklir aktif, cukup untuk memusnahkan bumi berkali-kali lipat.3

Yang membuat kekhawatiran ini semakin beralasan adalah fakta bahwa ketegangan geopolitik dunia tidak mereda, melainkan semakin kompleks. Ketidakpastian global—mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, ancaman Korea Utara, hingga potensi konflik di kawasan Indo-Pasifik—membangkitkan kembali kecemasan akan penggunaan senjata pemusnah massal sebagai opsi terakhir dalam konflik yang tidak terselesaikan.4

Dalam kondisi demikian, umat manusia seakan hidup dalam paradoks: kita berada pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga di tepi jurang kehancuran yang dibangun oleh kecerdasan kita sendiri. Dunia hidup dalam kecemasan yang justru dilahirkan oleh para pemikir—ilmuwan, filsuf, dan arsitek kebijakan—yang menyumbangkan gagasan mereka, sadar atau tidak, bagi terciptanya mesin-mesin kehancuran. Dalam sinilah letak persoalan utama: bagaimana dunia harus memandang ulang peran para intelektual dalam sejarah dan arah masa depan peradaban.


Footnotes

[1]                Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb (New York: Simon & Schuster, 1986), 740–742.

[2]                Martin J. Sherwin dan Kai Bird, American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (New York: Vintage, 2006), 592–599.

[3]                Federation of American Scientists, “Status of World Nuclear Forces,” updated June 2025, https://fas.org/issues/nuclear-weapons/status-world-nuclear-forces/.

[4]                International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), Nuclear Weapons: Who Has What at a Glance, updated 2025, https://www.icanw.org/nuclear_armed_states.


2.           Ilmuwan dan Mesin Perang: Dari Laboratorium ke Medan Tempur

Munculnya bom nuklir sebagai senjata pamungkas perang bukan semata hasil ambisi politik atau kekuatan militer, tetapi juga buah karya para ilmuwan terkemuka yang berkolaborasi dalam proyek-proyek militer besar. Titik balik paling menentukan dalam sejarah modern adalah Proyek Manhattan, sebuah kolaborasi raksasa antara pemerintah Amerika Serikat dan para ilmuwan fisika nuklir dari berbagai negara, yang pada akhirnya berhasil menciptakan senjata nuklir pertama dalam sejarah umat manusia.

Proyek Manhattan melibatkan lebih dari 130.000 orang dan menelan biaya lebih dari dua miliar dolar AS pada masanya—jumlah yang sangat besar untuk sebuah proyek ilmiah.1 Ilmuwan-ilmuwan seperti J. Robert Oppenheimer, Enrico Fermi, Niels Bohr, dan Richard Feynman menjadi pionir dalam proyek tersebut. Mereka tidak hanya sekadar bekerja di balik meja laboratorium, tetapi terlibat aktif dalam merancang dan menyempurnakan alat pemusnah massal yang mengubah wajah peperangan modern secara radikal.

Yang menarik, keterlibatan mereka bukan karena paksaan, melainkan atas dasar kesadaran akan bahaya yang lebih besar: kekhawatiran bahwa Nazi Jerman akan lebih dahulu mengembangkan bom atom. Pemikiran ini tercermin dari surat yang ditandatangani oleh Albert Einstein kepada Presiden Franklin D. Roosevelt pada tahun 1939, yang memperingatkan tentang potensi senjata nuklir dan perlunya pengembangan teknologi tersebut oleh Sekutu.2 Dengan kata lain, kekhawatiran intelektual terhadap dominasi kekuatan jahat justru mendorong penciptaan kekuatan yang lebih mematikan.

Namun dilema moral segera menghantui. Setelah pemboman Hiroshima dan Nagasaki, banyak ilmuwan yang terguncang secara etis. Oppenheimer, yang dijuluki “bapak bom atom,” secara terkenal mengutip Bhagavad Gita: “Now I am become Death, the destroyer of worlds.”3 Pernyataan ini menjadi simbol dari kontradiksi besar dalam dunia sains: ketika akal budi tidak lagi diarahkan untuk membangun, tetapi justru menjadi alat penghancur kehidupan.

Proyek Manhattan menandai momen historis ketika ilmu pengetahuan keluar dari ruang netralitasnya. Ilmuwan tidak lagi sekadar pengamat dunia, tetapi menjadi pengubah dunia—baik ke arah kemajuan maupun kehancuran. Sejak saat itu, keterlibatan ilmuwan dalam proyek-proyek militer semakin melembaga. Dalam Perang Dingin, misalnya, ilmuwan memainkan peran penting dalam mengembangkan misil balistik antarbenua (ICBM), sistem pertahanan rudal, serta teknologi pengawasan satelit.4

Apa yang tampak jelas adalah bahwa laboratorium tidak lagi steril dari politik dan kekuasaan. Ia berubah menjadi bagian integral dari medan tempur global, dengan para ilmuwan berperan sebagai "arsitek perang modern." Ini membuka persoalan mendasar: apakah ilmu pengetahuan masih dapat dianggap netral, ataukah telah menjadi instrumen kekuasaan yang tunduk pada kepentingan geopolitik?

Di sinilah muncul tanggung jawab moral yang besar bagi para pemikir dan ilmuwan. Pengetahuan bukan lagi sekadar penemuan, tetapi kekuatan yang harus dipertanggungjawabkan. Ketika laboratorium berubah menjadi pabrik senjata, maka ilmu pengetahuan tidak lagi bisa berdiri di atas menara gading. Ia harus kembali bertanya kepada nurani: untuk apa dan untuk siapa pengetahuan itu diarahkan?


Footnotes

[1]                Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb (New York: Simon & Schuster, 1986), 526–530.

[2]                Albert Einstein and Leo Szilard, “Letter to President Roosevelt,” August 2, 1939, https://www.atomicheritage.org/key-documents/einstein-letter-president-roosevelt.

[3]                Kai Bird and Martin J. Sherwin, American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (New York: Vintage Books, 2006), 323–326.

[4]                Peter Galison and Barton J. Bernstein, “In Any Light: Scientists and the Decision to Build the Superbomb, 1952–1954,” Historical Studies in the Physical and Biological Sciences 19, no. 2 (1989): 267–347.


3.           Pemikir, Bukan Pekerja: Siapa yang Mengarahkan Dunia?

Dalam arus sejarah peradaban manusia, penggerak utama perubahan besar bukanlah mereka yang sekadar bekerja secara teknis atau fisik, melainkan para pemikir—mereka yang melahirkan ide, konsep, teori, dan visi dunia. Para pekerja dapat membangun bangunan atau menjalankan mesin, tetapi arah dan tujuan dari apa yang mereka bangun sangat ditentukan oleh gagasan dari para pemikir. Senjata nuklir, misalnya, bukan muncul dari kerja teknis semata, melainkan dari hasil perenungan ilmiah, teori kuantum, serta ide-ide tentang kekuatan inti atom yang digali oleh para fisikawan teoritis.

Albert Einstein, yang teorinya tentang massa-energi (E = mc²) menjadi dasar ilmiah bagi bom atom, tidak pernah merancang senjata itu sendiri, namun pemikirannya memberikan arah bagi penciptaannya. Ironisnya, Einstein justru dikenal sebagai tokoh perdamaian dan menyesali keterlibatannya dalam surat yang mendorong dimulainya Proyek Manhattan.1 Ia pernah menyatakan, “Had I known that the Germans would not succeed in developing an atomic bomb, I would have done nothing.”2

Para ilmuwan seperti Niels Bohr dan J. Robert Oppenheimer juga menunjukkan bahwa kekuatan intelektual tidak pernah netral. Bohr mencoba memperingatkan dunia tentang bahaya proliferasi nuklir dan pentingnya transparansi internasional, sementara Oppenheimer pasca-perang menjadi penentang pengembangan bom hidrogen. Namun, sebagaimana dicatat oleh sejarawan sains Peter Galison, suara para ilmuwan tidak selalu didengar oleh para pemegang kekuasaan politik, walau para ilmuwanlah yang membuka kemungkinan teknologisnya.3

Kekuatan pemikiran juga menjadi fondasi dari sistem politik, ekonomi, bahkan etika global. Kapitalisme sebagai sistem ekonomi bukanlah ciptaan buruh, tetapi hasil gagasan Adam Smith dalam The Wealth of Nations. Komunisme bukan gerakan spontan kelas pekerja, tetapi buah pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels. Bahkan konsep deterrence nuklir (penangkalan) yang menjadi dasar strategi militer selama Perang Dingin dibangun dari teori-teori strategis para pemikir seperti Bernard Brodie dan Thomas Schelling, yang menegaskan bahwa kekuatan nuklir tidak untuk digunakan, tetapi untuk ditakuti.4

Poin penting di sini adalah bahwa pemikiran mendahului tindakan, dan dalam banyak kasus, bahkan mengarahkan tindakan. Inilah yang membedakan pemikir dari pekerja: pekerja menjalankan perintah, sementara pemikir menentukan perintah itu. Oleh karena itu, jika dunia mengalami kehancuran atau kebangkitan, maka jejak pertama yang harus ditelusuri bukanlah tangan yang menekan tombol, tetapi kepala yang merancang tombol itu dan otak yang membenarkan penggunaannya.

Di balik setiap revolusi besar—baik yang membawa pencerahan maupun kehancuran—selalu ada pemikir di belakang layar. Hal ini sekaligus menimbulkan pertanyaan moral yang tajam: jika para pemikir memiliki kuasa sebesar itu, apakah mereka juga memiliki tanggung jawab etis yang sepadan? Dunia hari ini dibentuk oleh pemikiran masa lalu; maka masa depan akan bergantung pada pemikiran hari ini. Kita tidak bisa hanya menuntut tanggung jawab dari mereka yang menjalankan mesin, tanpa terlebih dahulu mengoreksi mereka yang menciptakan skemanya.


Footnotes

[1]                Jeremy Bernstein, Einstein: A Biography (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 207–210.

[2]                Alice Calaprice, ed., The Ultimate Quotable Einstein (Princeton: Princeton University Press, 2010), 327.

[3]                Peter Galison, “The Ontology of the Enemy: Norbert Wiener and the Cybernetic Vision,” Critical Inquiry 21, no. 1 (1994): 228–266.

[4]                Lawrence Freedman, The Evolution of Nuclear Strategy, 3rd ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 108–112.


4.           Kekuatan Gagasan: Membangun atau Menghancurkan Peradaban

Sejarah manusia pada hakikatnya adalah sejarah gagasan. Di balik setiap lompatan kemajuan dan kehancuran besar, selalu terdapat kekuatan ide yang menggerakkannya. Gagasan bukan sekadar aktivitas intelektual yang abstrak, melainkan fondasi nyata bagi struktur peradaban: dari sistem hukum, bentuk pemerintahan, teori ekonomi, hingga senjata paling mematikan yang pernah diciptakan.

Dalam konteks senjata nuklir, kekuatan gagasan sangat kentara. Teori relativitas khusus yang dikembangkan oleh Albert Einstein pada 1905—khususnya rumus E = mc²—telah membuka pemahaman bahwa massa dan energi adalah dua bentuk dari entitas yang sama. Gagasan ini yang kemudian menjadi dasar ilmiah dari reaksi fisi nuklir, dan pada akhirnya memungkinkan terciptanya bom atom.1 Di tangan para pemikir seperti Leo Szilard, Niels Bohr, dan Oppenheimer, gagasan ilmiah tersebut berubah dari rumus dalam jurnal ilmiah menjadi alat pemusnah massal yang mengubah tatanan global.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa gagasan memiliki dua wajah: membangun dan menghancurkan. Jika Einstein dan Oppenheimer menunjukkan bagaimana ilmu bisa menciptakan “neraka dunia,” maka para pemikir seperti Bertrand Russell dan Albert Schweitzer menegaskan bahwa akal manusia juga mampu menciptakan gagasan perdamaian universal dan tanggung jawab moral global. Russell, salah satu filsuf besar abad ke-20, secara aktif menyerukan penghapusan senjata nuklir dan menginisiasi Manifesto Russell-Einstein (1955), yang mendesak umat manusia untuk “mengakhiri perang, atau perang akan mengakhiri umat manusia.”2

Lebih jauh, kekuatan gagasan juga tampak dalam doktrin strategis seperti Mutually Assured Destruction (MAD). Konsep ini menyatakan bahwa apabila dua negara nuklir saling menyerang, keduanya akan hancur, sehingga paradoksnya, senjata nuklir justru menciptakan “perdamaian” melalui ketakutan. Ini adalah contoh ketika sebuah gagasan strategis—dalam hal ini hasil pemikiran para ahli militer dan filsuf politik—membentuk logika global dalam menghadapi konflik.3

Akan tetapi, kekuatan gagasan tidak hanya berlaku dalam ranah politik atau militer. Dalam dunia sosial dan budaya, ide-ide seperti Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, dan demokrasi juga telah merevolusi masyarakat modern. Masing-masing berasal dari pemikiran filosofis dan refleksi kritis atas martabat manusia, bukan dari kekuatan otot atau kekuasaan ekonomi. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Michel Foucault, “di balik setiap rezim kebenaran, ada kekuasaan yang mendukungnya.”4 Maka, sebuah ide bisa memerdekakan, namun juga bisa membelenggu, tergantung siapa yang merumuskannya dan untuk kepentingan apa.

Oleh sebab itu, gagasan bukanlah entitas yang netral. Ia adalah kekuatan yang mengarah—entah pada kemajuan atau kehancuran. Di tangan pemikir yang bertanggung jawab, ide dapat menjadi mercusuar peradaban. Namun di tangan yang salah, ide bisa menjadi alat legitimasi kekerasan, penjajahan, bahkan genosida. Nazisme, misalnya, berakar dari gagasan-gagasan tentang ras superior yang dilestarikan melalui propaganda ilmiah dan pendidikan terkontrol di Jerman pada awal abad ke-20.5

Maka dari itu, penting bagi umat manusia untuk tidak hanya mengembangkan ilmu dan pemikiran, tetapi juga menumbuhkan kesadaran etis atas konsekuensi dari gagasan yang dihasilkan. Dalam dunia yang didorong oleh inovasi, filsafat dan nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi kompas moral. Tanpa itu, gagasan bisa menjadi pisau bermata dua yang menusuk kemanusiaan dari belakang.


Footnotes

[1]                Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb (New York: Simon & Schuster, 1986), 35–40.

[2]                Bertrand Russell and Albert Einstein, The Russell-Einstein Manifesto, July 9, 1955, accessed via Pugwash Conferences on Science and World Affairs, https://pugwash.org/1955/07/09/statement-manifesto/.

[3]                Lawrence Freedman, The Evolution of Nuclear Strategy, 3rd ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2003), 152–157.

[4]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.

[5]                Robert Gellately, Backing Hitler: Consent and Coercion in Nazi Germany (New York: Oxford University Press, 2001), 56–67.


5.           Refleksi Kritis: Tanggung Jawab Intelektual di Era Global

Dalam dunia yang semakin terhubung, cepat berubah, dan dipenuhi krisis multidimensi—mulai dari senjata pemusnah massal, perubahan iklim, kecerdasan buatan, hingga disinformasi digital—peran para intelektual menjadi semakin sentral dan tidak terelakkan. Namun bersamaan dengan itu, tanggung jawab etis mereka juga semakin besar. Jika para pemikir masa lalu telah menciptakan fondasi bagi kemajuan sekaligus kehancuran, maka pemikir hari ini dituntut untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara moral.

Refleksi ini sejalan dengan pandangan Hans Jonas dalam karyanya The Imperative of Responsibility (1984), yang menegaskan bahwa dalam era teknologi modern, manusia—khususnya mereka yang menguasai ilmu pengetahuan—harus memikul tanggung jawab etis atas konsekuensi jauh dari tindakannya, termasuk dampak terhadap generasi mendatang.1 Ilmu pengetahuan tidak boleh berdiri di atas ilusi netralitas; ia harus berakar pada komitmen terhadap keberlanjutan hidup, martabat manusia, dan perdamaian dunia.

Kasus keterlibatan ilmuwan dalam Proyek Manhattan menjadi cermin klasik dari konflik etika ini. Di satu sisi, mereka merasa berkontribusi pada perlindungan dunia bebas dari ancaman Nazi Jerman; namun di sisi lain, mereka juga sadar bahwa karya mereka telah mengantarkan kematian massal dalam sekejap mata. Leo Szilard, salah satu pelopor reaksi berantai nuklir, bahkan menyesali penciptaan bom atom dan menyerukan agar senjata nuklir tidak digunakan terhadap Jepang.2 Ia kemudian menjadi salah satu pendiri The Bulletin of the Atomic Scientists, yang menerbitkan Doomsday Clock sebagai simbol urgensi etis bagi komunitas ilmiah dunia.3

Dalam konteks global saat ini, tanggung jawab intelektual menjadi lebih kompleks. Inovasi teknologi kini bersifat lintas disiplin dan seringkali memiliki implikasi lintas batas negara. Sebagai contoh, perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah memunculkan pertanyaan mendalam tentang bias algoritma, pengawasan massal, dan potensi militerisasi teknologi sipil. Stephen Hawking dan Elon Musk, meskipun datang dari latar yang berbeda, sama-sama memperingatkan bahwa AI bisa menjadi "senjata otonom pemusnah massal" jika tak dikendalikan secara etis dan regulatif.4

Tanggung jawab intelektual juga tidak bisa dilepaskan dari peran pendidikan. Universitas dan lembaga penelitian harus membentuk bukan hanya pakar teknis, tetapi juga pemikir yang kritis dan sadar akan dimensi moral dari ilmu yang mereka tekuni. Seperti diingatkan Edward Said, intelektual sejati adalah mereka yang berani bersuara melawan kekuasaan dan menempatkan kebenaran di atas kenyamanan politik atau ekonomi.5 Artinya, tanggung jawab intelektual tidak hanya menyangkut hasil karya, tetapi juga sikap dalam menghadapi kekuasaan, kekerasan, dan ketidakadilan global.

Refleksi ini penting karena sejarah membuktikan bahwa bencana besar bukan hanya terjadi karena niat jahat, tetapi sering kali karena kelalaian moral dan ketiadaan refleksi etis dari mereka yang memiliki pengetahuan dan kuasa. Di tengah krisis yang membayangi dunia saat ini, dari kemungkinan konflik nuklir baru hingga keruntuhan ekologis, hanya para pemikir yang bertanggung jawab secara moral yang dapat menjadi penyeimbang. Merekalah yang mampu menahan laju destruktif demi menyelamatkan peradaban.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David Herr (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–10.

[2]                William Lanouette and Bela Silard, Genius in the Shadows: A Biography of Leo Szilard, the Man Behind the Bomb (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 242–248.

[3]                John Mecklin, ed., “2025 Doomsday Clock Statement,” Bulletin of the Atomic Scientists, January 2025, https://thebulletin.org/doomsday-clock/.

[4]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 15–25.

[5]                Edward W. Said, Representations of the Intellectual (New York: Vintage Books, 1996), 11–17.


6.           Penutup: Membangun Dunia Melalui Pemikiran yang Bijak

Dunia tidak pernah kekurangan pemikir besar. Namun sejarah menunjukkan bahwa kejayaan dan kehancuran seringkali bergantung pada arah dan nilai moral dari pemikiran tersebut. Seperti yang telah diuraikan, bom nuklir bukan muncul dari kebencian irasional, melainkan dari proses intelektual yang sistematis dan sangat rasional. Maka dari itu, masa depan peradaban akan sangat ditentukan bukan hanya oleh kemampuan berpikir, tetapi oleh kebijaksanaan dalam berpikir.

Ketika ilmuwan dan intelektual mengabaikan dimensi moral dari karyanya, maka ilmu bisa menjadi pisau yang mengiris tubuh umat manusia sendiri. Oleh sebab itu, seperti ditegaskan oleh filsuf Jürgen Habermas, ilmu pengetahuan modern harus senantiasa dikaitkan dengan kepentingan emansipatoris, yakni pembebasan manusia dari penindasan dan ancaman yang berasal dari sistem teknologi dan kekuasaan yang tidak terkendali.1 Dalam kerangka ini, para pemikir memiliki peran ganda: sebagai pencipta inovasi, sekaligus sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Kita hidup dalam dunia yang dibentuk oleh gagasan, tetapi terlalu sering melupakan bahwa arah gagasan itu sangat tergantung pada orientasi etik para pemikirnya. Karena itu, diperlukan upaya sadar untuk mengembalikan intelektualitas ke dalam tanggung jawab moralnya. Sebagaimana diserukan dalam Russell-Einstein Manifesto, para ilmuwan dan pemikir harus “mengingat kemanusiaan dan melupakan segala sesuatu yang lain.”2

Pendidikan juga harus bertransformasi dari sekadar transmisi pengetahuan menuju pembentukan etical thinkers—yakni individu yang tidak hanya mampu memahami dunia, tetapi juga mampu memilih untuk membangunnya, bukan menghancurkannya. Dalam hal ini, pendidikan filsafat, etika sains, dan literasi moral menjadi sangat krusial. Sebagaimana disampaikan oleh Martha C. Nussbaum, hanya dengan mengembangkan capabilities of the mind and heart, masyarakat akan dapat mempertahankan demokrasi dan menghindari regresi ke arah kekerasan, diskriminasi, dan kehancuran ekologis.3

Akhirnya, dunia yang aman dan adil tidak akan lahir dari senjata atau kekuasaan semata, tetapi dari pemikiran yang dibingkai oleh kesadaran etis. Para pemikir harus mengambil peran lebih dari sekadar penyedia solusi teknis; mereka harus menjadi penuntun arah moral dan eksistensial umat manusia. Dalam menghadapi bayang-bayang perang nuklir dan krisis global lainnya, hanya dengan pemikiran yang bijak dan bertanggung jawab kita dapat membangun dunia yang layak untuk dihuni generasi yang akan datang.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1972), 308–310.

[2]                Bertrand Russell and Albert Einstein, The Russell-Einstein Manifesto, July 9, 1955, https://pugwash.org/1955/07/09/statement-manifesto/.

[3]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–9.


Daftar Pustaka

Bird, K., & Sherwin, M. J. (2006). American Prometheus: The triumph and tragedy of J. Robert Oppenheimer. Vintage Books.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Calaprice, A. (Ed.). (2010). The ultimate quotable Einstein. Princeton University Press.

Einstein, A., & Szilard, L. (1939, August 2). Letter to President Roosevelt. Retrieved from https://www.atomicheritage.org/key-documents/einstein-letter-president-roosevelt

Federation of American Scientists. (2025, June). Status of world nuclear forces. Retrieved from https://fas.org/issues/nuclear-weapons/status-world-nuclear-forces/

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Freedman, L. (2003). The evolution of nuclear strategy (3rd ed.). Palgrave Macmillan.

Galison, P., & Bernstein, B. J. (1989). In any light: Scientists and the decision to build the superbomb, 1952–1954. Historical Studies in the Physical and Biological Sciences, 19(2), 267–347.

Galison, P. (1994). The ontology of the enemy: Norbert Wiener and the cybernetic vision. Critical Inquiry, 21(1), 228–266.

Gellately, R. (2001). Backing Hitler: Consent and coercion in Nazi Germany. Oxford University Press.

Habermas, J. (1972). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2025). Nuclear weapons: Who has what at a glance. Retrieved from https://www.icanw.org/nuclear_armed_states

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age (H. Jonas & D. Herr, Trans.). University of Chicago Press.

Lanouette, W., & Silard, B. (1994). Genius in the shadows: A biography of Leo Szilard, the man behind the bomb. University of Chicago Press.

Mecklin, J. (Ed.). (2025, January). 2025 Doomsday Clock Statement. Bulletin of the Atomic Scientists. Retrieved from https://thebulletin.org/doomsday-clock/

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Rhodes, R. (1986). The making of the atomic bomb. Simon & Schuster.

Russell, B., & Einstein, A. (1955, July 9). The Russell-Einstein Manifesto. Retrieved from https://pugwash.org/1955/07/09/statement-manifesto/

Said, E. W. (1996). Representations of the intellectual. Vintage Books.

Sherwin, M. J., & Bird, K. (2006). American Prometheus: The triumph and tragedy of J. Robert Oppenheimer. Vintage Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar