Ketika Pemikir Menciptakan Neraka
Peran para Intelektual dalam Menciptakan dan Mengarahkan Arah Peradaban Modern
Alihkan ke: Sejarah Pemikiran.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara kritis peran
para intelektual dalam menciptakan dan mengarahkan arah peradaban modern,
khususnya dalam konteks pengembangan senjata nuklir sebagai hasil keterlibatan
ilmuwan dalam mesin perang negara. Dengan mengambil titik tolak dari sejarah
proyek Manhattan dan figur seperti J. Robert Oppenheimer, tulisan ini menyoroti
bagaimana gagasan dan pemikiran para ilmuwan dapat melahirkan kekuatan
destruktif berskala global. Fenomena ketakutan terhadap perang nuklir bukan
sekadar dampak dari keberadaan senjata itu sendiri, melainkan hasil dari
dominasi pemikiran yang dilepaskan dari tanggung jawab moral dan etis. Artikel
ini menegaskan bahwa dunia tidak diarahkan oleh pekerja semata, melainkan oleh
para pemikir—baik dalam kapasitas mereka sebagai ilmuwan, filsuf, atau
teknokrat—yang melalui gagasannya mampu membangun atau menghancurkan peradaban.
Di era globalisasi yang sarat ketegangan geopolitik dan disrupsi teknologi,
tanggung jawab intelektual menjadi hal yang mendesak untuk dikedepankan demi
menjaga masa depan umat manusia. Refleksi ini mengajak kita merenungkan ulang
peran pemikiran dalam membentuk dunia, serta pentingnya kebijakan berbasis
etika dan kemanusiaan dalam sains dan teknologi.
Kata
Kunci: intelektual, perang nuklir, tanggung jawab moral, Oppenheimer,
senjata pemusnah massal, etika ilmu pengetahuan, pemikir dan peradaban, proyek
Manhattan, kekuatan gagasan.
PEMBAHASAN
Bayang-Bayang Perang Nuklir
dan Tanggung Jawab Intelektual
1.
Pendahuluan:
Dunia dalam Kecemasan
Ketakutan manusia terhadap perang
nuklir bukanlah sekadar ilusi sinematik atau kekhawatiran akademik belaka. Ia
adalah kecemasan yang berakar pada kenyataan sejarah yang pernah menorehkan
luka dalam pada umat manusia. Sejak dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan
Nagasaki pada Agustus 1945, dunia seolah-olah tersadar bahwa kemampuan manusia
untuk menghancurkan kehidupan bukan lagi sekadar mitos atau ramalan, melainkan
kenyataan teknologis yang sepenuhnya berada dalam genggaman manusia modern.1
Meskipun Perang Dunia II telah lama usai, bayang-bayang perang nuklir
tidak pernah benar-benar hilang. Era Perang Dingin memperlihatkan bagaimana
senjata nuklir menjadi simbol supremasi, bukan semata alat pertahanan. Krisis
Misil Kuba tahun 1962 misalnya, memperlihatkan betapa dekatnya dunia pernah
berada di ambang kehancuran total hanya karena eskalasi politik dan perhitungan
strategis elite negara adidaya.2 Hingga kini, sembilan
negara—termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok—masih menyimpan ribuan
hulu ledak nuklir aktif, cukup untuk memusnahkan bumi berkali-kali lipat.3
Yang membuat kekhawatiran ini semakin
beralasan adalah fakta bahwa ketegangan geopolitik dunia tidak mereda,
melainkan semakin kompleks. Ketidakpastian global—mulai dari invasi Rusia ke
Ukraina, ancaman Korea Utara, hingga potensi konflik di kawasan Indo-Pasifik—membangkitkan
kembali kecemasan akan penggunaan senjata pemusnah massal sebagai opsi terakhir
dalam konflik yang tidak terselesaikan.4
Dalam kondisi demikian, umat manusia
seakan hidup dalam paradoks: kita berada pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, tetapi juga di tepi jurang kehancuran yang dibangun oleh
kecerdasan kita sendiri. Dunia hidup dalam kecemasan yang justru dilahirkan
oleh para pemikir—ilmuwan, filsuf, dan arsitek kebijakan—yang menyumbangkan
gagasan mereka, sadar atau tidak, bagi terciptanya mesin-mesin kehancuran.
Dalam sinilah letak persoalan utama: bagaimana dunia harus memandang ulang
peran para intelektual dalam sejarah dan arah masa depan peradaban.
Footnotes
[1]
Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb
(New York: Simon & Schuster, 1986), 740–742.
[2]
Martin J. Sherwin dan Kai Bird, American
Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (New York:
Vintage, 2006), 592–599.
[3]
Federation of American Scientists, “Status of World
Nuclear Forces,” updated June 2025, https://fas.org/issues/nuclear-weapons/status-world-nuclear-forces/.
[4]
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons
(ICAN), Nuclear Weapons: Who Has What at a Glance, updated 2025, https://www.icanw.org/nuclear_armed_states.
2.
Ilmuwan dan Mesin Perang: Dari Laboratorium ke
Medan Tempur
Munculnya bom nuklir sebagai senjata pamungkas perang bukan semata
hasil ambisi politik atau kekuatan militer, tetapi juga buah karya para ilmuwan
terkemuka yang berkolaborasi dalam proyek-proyek militer besar. Titik balik
paling menentukan dalam sejarah modern adalah Proyek Manhattan, sebuah
kolaborasi raksasa antara pemerintah Amerika Serikat dan para ilmuwan fisika
nuklir dari berbagai negara, yang pada akhirnya berhasil menciptakan senjata
nuklir pertama dalam sejarah umat manusia.
Proyek Manhattan melibatkan lebih dari 130.000 orang dan menelan biaya
lebih dari dua miliar dolar AS pada masanya—jumlah yang sangat besar untuk
sebuah proyek ilmiah.1 Ilmuwan-ilmuwan seperti J. Robert
Oppenheimer, Enrico Fermi, Niels Bohr, dan Richard Feynman
menjadi pionir dalam proyek tersebut. Mereka tidak hanya sekadar bekerja
di balik meja laboratorium, tetapi terlibat aktif dalam merancang dan
menyempurnakan alat pemusnah massal yang mengubah wajah peperangan modern
secara radikal.
Yang menarik, keterlibatan mereka bukan
karena paksaan, melainkan atas dasar kesadaran akan bahaya yang lebih besar:
kekhawatiran bahwa Nazi Jerman akan lebih dahulu mengembangkan bom atom.
Pemikiran ini tercermin dari surat yang ditandatangani oleh Albert Einstein
kepada Presiden Franklin D. Roosevelt pada tahun 1939, yang memperingatkan
tentang potensi senjata nuklir dan perlunya pengembangan teknologi tersebut
oleh Sekutu.2 Dengan kata lain, kekhawatiran intelektual terhadap
dominasi kekuatan jahat justru mendorong penciptaan kekuatan yang lebih
mematikan.
Namun dilema moral segera menghantui.
Setelah pemboman Hiroshima dan Nagasaki, banyak ilmuwan yang terguncang secara
etis. Oppenheimer, yang dijuluki “bapak bom atom,” secara terkenal mengutip Bhagavad
Gita: “Now I am become Death, the destroyer of worlds.”3
Pernyataan ini menjadi simbol dari kontradiksi besar dalam dunia sains: ketika
akal budi tidak lagi diarahkan untuk membangun, tetapi justru menjadi alat
penghancur kehidupan.
Proyek Manhattan menandai momen historis ketika ilmu pengetahuan keluar
dari ruang netralitasnya. Ilmuwan tidak lagi sekadar pengamat dunia, tetapi
menjadi pengubah dunia—baik ke arah kemajuan maupun kehancuran. Sejak saat itu,
keterlibatan ilmuwan dalam proyek-proyek militer semakin melembaga. Dalam
Perang Dingin, misalnya, ilmuwan memainkan peran penting dalam mengembangkan
misil balistik antarbenua (ICBM), sistem pertahanan rudal, serta teknologi
pengawasan satelit.4
Apa yang tampak jelas adalah bahwa laboratorium tidak lagi steril dari
politik dan kekuasaan. Ia berubah menjadi bagian integral dari medan tempur
global, dengan para ilmuwan berperan sebagai "arsitek perang modern."
Ini membuka persoalan mendasar: apakah ilmu pengetahuan masih dapat dianggap
netral, ataukah telah menjadi instrumen kekuasaan yang tunduk pada kepentingan
geopolitik?
Di sinilah muncul tanggung jawab moral yang besar bagi para pemikir dan
ilmuwan. Pengetahuan bukan lagi sekadar penemuan, tetapi kekuatan yang harus
dipertanggungjawabkan. Ketika laboratorium berubah menjadi pabrik senjata, maka
ilmu pengetahuan tidak lagi bisa berdiri di atas menara gading. Ia harus
kembali bertanya kepada nurani: untuk apa dan untuk siapa pengetahuan itu
diarahkan?
Footnotes
[1]
Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb
(New York: Simon & Schuster, 1986), 526–530.
[2]
Albert Einstein and Leo Szilard, “Letter to President
Roosevelt,” August 2, 1939, https://www.atomicheritage.org/key-documents/einstein-letter-president-roosevelt.
[3]
Kai Bird and Martin J. Sherwin, American
Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (New York:
Vintage Books, 2006), 323–326.
[4]
Peter Galison and Barton J. Bernstein, “In Any Light:
Scientists and the Decision to Build the Superbomb, 1952–1954,” Historical
Studies in the Physical and Biological Sciences 19, no. 2 (1989): 267–347.
3.
Pemikir, Bukan Pekerja: Siapa yang Mengarahkan
Dunia?
Dalam arus sejarah peradaban manusia,
penggerak utama perubahan besar bukanlah mereka yang sekadar bekerja secara
teknis atau fisik, melainkan para pemikir—mereka yang melahirkan ide, konsep,
teori, dan visi dunia. Para pekerja dapat membangun bangunan atau menjalankan
mesin, tetapi arah dan tujuan dari apa yang mereka bangun sangat ditentukan
oleh gagasan dari para pemikir. Senjata nuklir, misalnya, bukan muncul dari
kerja teknis semata, melainkan dari hasil perenungan ilmiah, teori kuantum,
serta ide-ide tentang kekuatan inti atom yang digali oleh para fisikawan
teoritis.
Albert Einstein, yang teorinya tentang massa-energi
(E = mc²) menjadi dasar ilmiah bagi bom atom, tidak pernah merancang senjata
itu sendiri, namun pemikirannya memberikan arah bagi penciptaannya. Ironisnya, Einstein justru dikenal sebagai tokoh
perdamaian dan menyesali keterlibatannya dalam surat yang mendorong dimulainya
Proyek Manhattan.1 Ia pernah menyatakan, “Had I known that the
Germans would not succeed in developing an atomic bomb, I would have done
nothing.”2
Para ilmuwan seperti Niels Bohr dan J.
Robert Oppenheimer juga menunjukkan bahwa kekuatan intelektual tidak pernah
netral. Bohr mencoba memperingatkan dunia tentang bahaya proliferasi nuklir dan
pentingnya transparansi internasional, sementara Oppenheimer pasca-perang
menjadi penentang pengembangan bom hidrogen. Namun, sebagaimana dicatat oleh
sejarawan sains Peter Galison, suara para ilmuwan tidak selalu didengar oleh
para pemegang kekuasaan politik, walau para ilmuwanlah yang membuka kemungkinan
teknologisnya.3
Kekuatan pemikiran juga menjadi fondasi dari
sistem politik, ekonomi, bahkan etika global. Kapitalisme sebagai sistem ekonomi bukanlah ciptaan buruh, tetapi hasil
gagasan Adam Smith dalam The Wealth of Nations. Komunisme
bukan gerakan spontan kelas pekerja, tetapi buah pemikiran Karl Marx dan
Friedrich Engels. Bahkan konsep deterrence nuklir (penangkalan) yang
menjadi dasar strategi militer selama Perang Dingin dibangun dari teori-teori
strategis para pemikir seperti Bernard Brodie dan Thomas Schelling, yang
menegaskan bahwa kekuatan nuklir tidak untuk digunakan, tetapi untuk ditakuti.4
Poin penting di sini adalah bahwa pemikiran
mendahului tindakan, dan dalam banyak kasus, bahkan mengarahkan tindakan.
Inilah yang membedakan pemikir dari pekerja: pekerja menjalankan perintah,
sementara pemikir menentukan perintah itu. Oleh karena itu, jika dunia
mengalami kehancuran atau kebangkitan, maka jejak pertama yang harus ditelusuri
bukanlah tangan yang menekan tombol, tetapi kepala yang merancang tombol itu
dan otak yang membenarkan penggunaannya.
Di balik setiap revolusi besar—baik yang membawa pencerahan maupun
kehancuran—selalu ada pemikir di belakang layar. Hal ini sekaligus menimbulkan
pertanyaan moral yang tajam: jika para pemikir memiliki kuasa sebesar itu,
apakah mereka juga memiliki tanggung jawab etis yang sepadan? Dunia
hari ini dibentuk oleh pemikiran masa lalu; maka masa depan akan bergantung
pada pemikiran hari ini. Kita tidak bisa hanya menuntut tanggung jawab dari
mereka yang menjalankan mesin, tanpa terlebih dahulu mengoreksi mereka yang
menciptakan skemanya.
Footnotes
[1]
Jeremy Bernstein, Einstein: A
Biography (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 207–210.
[2]
Alice Calaprice, ed., The
Ultimate Quotable Einstein (Princeton: Princeton University Press, 2010),
327.
[3]
Peter Galison, “The Ontology of
the Enemy: Norbert Wiener and the Cybernetic Vision,” Critical Inquiry
21, no. 1 (1994): 228–266.
[4]
Lawrence Freedman, The
Evolution of Nuclear Strategy, 3rd ed. (New York: Palgrave Macmillan,
2003), 108–112.
4.
Kekuatan
Gagasan: Membangun atau Menghancurkan Peradaban
Sejarah manusia pada hakikatnya adalah sejarah gagasan. Di balik
setiap lompatan kemajuan dan kehancuran besar, selalu terdapat kekuatan ide
yang menggerakkannya. Gagasan bukan sekadar aktivitas intelektual yang abstrak,
melainkan fondasi nyata bagi struktur peradaban: dari sistem hukum, bentuk
pemerintahan, teori ekonomi, hingga senjata paling mematikan yang pernah
diciptakan.
Dalam konteks senjata nuklir, kekuatan
gagasan sangat kentara. Teori relativitas khusus yang dikembangkan oleh Albert
Einstein pada 1905—khususnya rumus E = mc²—telah membuka pemahaman
bahwa massa dan energi adalah dua bentuk dari entitas yang sama. Gagasan ini
yang kemudian menjadi dasar ilmiah dari reaksi fisi nuklir, dan pada akhirnya
memungkinkan terciptanya bom atom.1 Di tangan para pemikir seperti Leo
Szilard, Niels Bohr, dan Oppenheimer, gagasan ilmiah tersebut
berubah dari rumus dalam jurnal ilmiah menjadi alat pemusnah massal yang
mengubah tatanan global.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa gagasan memiliki dua wajah: membangun
dan menghancurkan. Jika Einstein dan Oppenheimer menunjukkan bagaimana ilmu
bisa menciptakan “neraka dunia,” maka para pemikir seperti Bertrand Russell
dan Albert Schweitzer menegaskan bahwa akal manusia juga mampu
menciptakan gagasan perdamaian universal dan tanggung jawab moral global.
Russell, salah satu filsuf besar abad ke-20, secara aktif menyerukan
penghapusan senjata nuklir dan menginisiasi Manifesto Russell-Einstein
(1955), yang mendesak umat manusia untuk “mengakhiri perang, atau perang akan
mengakhiri umat manusia.”2
Lebih jauh, kekuatan gagasan juga tampak dalam doktrin strategis seperti
Mutually Assured Destruction (MAD). Konsep ini menyatakan bahwa apabila
dua negara nuklir saling menyerang, keduanya akan hancur, sehingga paradoksnya,
senjata nuklir justru menciptakan “perdamaian” melalui ketakutan. Ini adalah
contoh ketika sebuah gagasan strategis—dalam hal ini hasil pemikiran para ahli
militer dan filsuf politik—membentuk logika global dalam menghadapi konflik.3
Akan tetapi, kekuatan gagasan tidak hanya
berlaku dalam ranah politik atau militer. Dalam dunia sosial dan budaya,
ide-ide seperti Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, dan demokrasi
juga telah merevolusi masyarakat modern. Masing-masing berasal dari pemikiran
filosofis dan refleksi kritis atas martabat manusia, bukan dari kekuatan otot
atau kekuasaan ekonomi. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Michel Foucault,
“di balik setiap rezim kebenaran, ada kekuasaan yang mendukungnya.”4
Maka, sebuah ide bisa memerdekakan, namun juga bisa membelenggu, tergantung
siapa yang merumuskannya dan untuk kepentingan apa.
Oleh sebab itu, gagasan bukanlah entitas
yang netral. Ia adalah kekuatan yang mengarah—entah pada kemajuan atau
kehancuran. Di tangan pemikir yang bertanggung jawab, ide dapat menjadi
mercusuar peradaban. Namun di tangan yang salah, ide bisa menjadi alat
legitimasi kekerasan, penjajahan, bahkan genosida. Nazisme, misalnya,
berakar dari gagasan-gagasan tentang ras superior yang dilestarikan melalui
propaganda ilmiah dan pendidikan terkontrol di Jerman pada awal abad ke-20.5
Maka dari itu, penting bagi umat manusia untuk tidak hanya mengembangkan
ilmu dan pemikiran, tetapi juga menumbuhkan kesadaran etis atas
konsekuensi dari gagasan yang dihasilkan. Dalam dunia yang didorong oleh
inovasi, filsafat dan nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi kompas moral. Tanpa
itu, gagasan bisa menjadi pisau bermata dua yang menusuk kemanusiaan dari
belakang.
Footnotes
[1]
Richard Rhodes, The Making of
the Atomic Bomb (New York: Simon & Schuster, 1986), 35–40.
[2]
Bertrand Russell and Albert
Einstein, The Russell-Einstein Manifesto, July 9, 1955, accessed via
Pugwash Conferences on Science and World Affairs, https://pugwash.org/1955/07/09/statement-manifesto/.
[3]
Lawrence Freedman, The
Evolution of Nuclear Strategy, 3rd ed. (New York: Palgrave Macmillan,
2003), 152–157.
[4]
Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New
York: Pantheon Books, 1980), 131–133.
[5]
Robert Gellately, Backing
Hitler: Consent and Coercion in Nazi Germany (New York: Oxford University
Press, 2001), 56–67.
5.
Refleksi Kritis: Tanggung Jawab Intelektual di Era
Global
Dalam dunia yang semakin terhubung, cepat berubah, dan dipenuhi krisis
multidimensi—mulai dari senjata pemusnah massal, perubahan iklim, kecerdasan
buatan, hingga disinformasi digital—peran para intelektual menjadi semakin
sentral dan tidak terelakkan. Namun bersamaan dengan itu, tanggung jawab etis
mereka juga semakin besar. Jika para pemikir masa lalu telah menciptakan
fondasi bagi kemajuan sekaligus kehancuran, maka pemikir hari ini dituntut
untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara moral.
Refleksi ini sejalan dengan pandangan Hans Jonas dalam karyanya The
Imperative of Responsibility (1984), yang menegaskan bahwa dalam era
teknologi modern, manusia—khususnya mereka yang menguasai ilmu
pengetahuan—harus memikul tanggung jawab etis atas konsekuensi jauh dari
tindakannya, termasuk dampak terhadap generasi mendatang.1 Ilmu
pengetahuan tidak boleh berdiri di atas ilusi netralitas; ia harus berakar pada
komitmen terhadap keberlanjutan hidup, martabat manusia, dan perdamaian dunia.
Kasus keterlibatan ilmuwan dalam Proyek Manhattan menjadi cermin klasik
dari konflik etika ini. Di satu sisi, mereka merasa berkontribusi pada
perlindungan dunia bebas dari ancaman Nazi Jerman; namun di sisi lain, mereka
juga sadar bahwa karya mereka telah mengantarkan kematian massal dalam sekejap
mata. Leo Szilard, salah satu pelopor reaksi berantai nuklir, bahkan
menyesali penciptaan bom atom dan menyerukan agar senjata nuklir tidak
digunakan terhadap Jepang.2 Ia kemudian menjadi salah satu pendiri The
Bulletin of the Atomic Scientists, yang menerbitkan Doomsday Clock sebagai
simbol urgensi etis bagi komunitas ilmiah dunia.3
Dalam konteks global saat ini, tanggung jawab intelektual menjadi lebih
kompleks. Inovasi teknologi kini bersifat lintas disiplin dan seringkali
memiliki implikasi lintas batas negara. Sebagai contoh, perkembangan kecerdasan
buatan (AI) telah memunculkan pertanyaan mendalam tentang bias algoritma,
pengawasan massal, dan potensi militerisasi teknologi sipil. Stephen Hawking
dan Elon Musk, meskipun datang dari latar yang berbeda, sama-sama
memperingatkan bahwa AI bisa menjadi "senjata otonom pemusnah massal"
jika tak dikendalikan secara etis dan regulatif.4
Tanggung jawab intelektual juga tidak bisa dilepaskan dari peran
pendidikan. Universitas dan lembaga penelitian harus membentuk bukan hanya
pakar teknis, tetapi juga pemikir yang kritis dan sadar akan dimensi moral dari
ilmu yang mereka tekuni. Seperti diingatkan Edward Said, intelektual
sejati adalah mereka yang berani bersuara melawan kekuasaan dan menempatkan
kebenaran di atas kenyamanan politik atau ekonomi.5 Artinya,
tanggung jawab intelektual tidak hanya menyangkut hasil karya, tetapi juga
sikap dalam menghadapi kekuasaan, kekerasan, dan ketidakadilan global.
Refleksi ini penting karena sejarah
membuktikan bahwa bencana besar bukan hanya terjadi karena niat jahat, tetapi
sering kali karena kelalaian moral dan ketiadaan refleksi etis dari mereka yang
memiliki pengetahuan dan kuasa. Di tengah krisis yang membayangi dunia saat
ini, dari kemungkinan konflik nuklir baru hingga keruntuhan ekologis, hanya
para pemikir yang bertanggung jawab secara moral yang dapat menjadi
penyeimbang. Merekalah yang mampu menahan laju destruktif demi menyelamatkan
peradaban.
Footnotes
[1]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas and David
Herr (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–10.
[2]
William Lanouette and Bela Silard, Genius in the
Shadows: A Biography of Leo Szilard, the Man Behind the Bomb (Chicago:
University of Chicago Press, 1994), 242–248.
[3]
John Mecklin, ed., “2025 Doomsday Clock Statement,” Bulletin
of the Atomic Scientists, January 2025, https://thebulletin.org/doomsday-clock/.
[4]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 15–25.
[5]
Edward W. Said, Representations of the Intellectual
(New York: Vintage Books, 1996), 11–17.
6.
Penutup:
Membangun Dunia Melalui Pemikiran yang Bijak
Dunia tidak pernah kekurangan pemikir
besar. Namun sejarah menunjukkan bahwa kejayaan dan kehancuran seringkali
bergantung pada arah dan nilai moral dari pemikiran tersebut. Seperti yang telah diuraikan, bom
nuklir bukan muncul dari kebencian irasional, melainkan dari proses intelektual
yang sistematis dan sangat rasional. Maka dari itu, masa depan peradaban akan
sangat ditentukan bukan hanya oleh kemampuan berpikir, tetapi oleh kebijaksanaan
dalam berpikir.
Ketika ilmuwan dan intelektual mengabaikan dimensi moral dari karyanya,
maka ilmu bisa menjadi pisau yang mengiris tubuh umat manusia sendiri. Oleh
sebab itu, seperti ditegaskan oleh filsuf Jürgen Habermas, ilmu pengetahuan
modern harus senantiasa dikaitkan dengan kepentingan emansipatoris, yakni
pembebasan manusia dari penindasan dan ancaman yang berasal dari sistem
teknologi dan kekuasaan yang tidak terkendali.1 Dalam kerangka ini,
para pemikir memiliki peran ganda: sebagai pencipta inovasi, sekaligus sebagai
penjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Kita hidup dalam dunia yang dibentuk
oleh gagasan, tetapi terlalu sering melupakan bahwa arah gagasan itu sangat
tergantung pada orientasi etik para pemikirnya. Karena itu, diperlukan upaya sadar untuk mengembalikan
intelektualitas ke dalam tanggung jawab moralnya. Sebagaimana diserukan
dalam Russell-Einstein Manifesto, para ilmuwan dan pemikir harus
“mengingat kemanusiaan dan melupakan segala sesuatu yang lain.”2
Pendidikan juga harus bertransformasi
dari sekadar transmisi pengetahuan menuju pembentukan etical thinkers—yakni
individu yang tidak hanya mampu memahami dunia, tetapi juga mampu memilih untuk
membangunnya, bukan menghancurkannya. Dalam hal ini, pendidikan filsafat, etika sains, dan literasi moral
menjadi sangat krusial. Sebagaimana disampaikan oleh Martha C. Nussbaum, hanya
dengan mengembangkan capabilities of the mind and heart, masyarakat akan
dapat mempertahankan demokrasi dan menghindari regresi ke arah kekerasan,
diskriminasi, dan kehancuran ekologis.3
Akhirnya, dunia yang aman dan adil
tidak akan lahir dari senjata atau kekuasaan semata, tetapi dari pemikiran
yang dibingkai oleh kesadaran etis. Para pemikir harus mengambil peran lebih dari sekadar penyedia solusi
teknis; mereka harus menjadi penuntun arah moral dan eksistensial umat
manusia. Dalam menghadapi bayang-bayang perang nuklir dan krisis global
lainnya, hanya dengan pemikiran yang bijak dan bertanggung jawab kita dapat
membangun dunia yang layak untuk dihuni generasi yang akan datang.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1972), 308–310.
[2]
Bertrand Russell and Albert Einstein, The
Russell-Einstein Manifesto, July 9, 1955, https://pugwash.org/1955/07/09/statement-manifesto/.
[3]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy
Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–9.
Daftar Pustaka
Bird, K., & Sherwin, M. J. (2006). American Prometheus: The
triumph and tragedy of J. Robert Oppenheimer. Vintage Books.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies.
Oxford University Press.
Calaprice, A. (Ed.). (2010). The ultimate quotable Einstein.
Princeton University Press.
Einstein, A., & Szilard, L. (1939, August 2). Letter to President
Roosevelt. Retrieved from https://www.atomicheritage.org/key-documents/einstein-letter-president-roosevelt
Federation of American Scientists. (2025, June). Status of world
nuclear forces. Retrieved from https://fas.org/issues/nuclear-weapons/status-world-nuclear-forces/
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other
writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Freedman, L. (2003). The evolution of nuclear strategy (3rd ed.).
Palgrave Macmillan.
Galison, P., & Bernstein, B. J. (1989). In any light: Scientists and
the decision to build the superbomb, 1952–1954. Historical Studies in the
Physical and Biological Sciences, 19(2), 267–347.
Galison, P. (1994). The ontology of the enemy: Norbert Wiener and the
cybernetic vision. Critical Inquiry, 21(1), 228–266.
Gellately, R. (2001). Backing Hitler: Consent and coercion in Nazi
Germany. Oxford University Press.
Habermas, J. (1972). Knowledge and human interests (J. J.
Shapiro, Trans.). Beacon Press.
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2025). Nuclear
weapons: Who has what at a glance. Retrieved from https://www.icanw.org/nuclear_armed_states
Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an
ethics for the technological age (H. Jonas & D. Herr, Trans.).
University of Chicago Press.
Lanouette, W., & Silard, B. (1994). Genius in the shadows: A
biography of Leo Szilard, the man behind the bomb. University of Chicago
Press.
Mecklin, J. (Ed.). (2025, January). 2025 Doomsday Clock Statement.
Bulletin of the Atomic Scientists. Retrieved from https://thebulletin.org/doomsday-clock/
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the
humanities. Princeton University Press.
Rhodes, R. (1986). The making of the atomic bomb. Simon &
Schuster.
Russell, B., & Einstein, A. (1955, July 9). The Russell-Einstein
Manifesto. Retrieved from https://pugwash.org/1955/07/09/statement-manifesto/
Said, E. W. (1996). Representations of the intellectual. Vintage
Books.
Sherwin, M. J., & Bird, K. (2006). American Prometheus: The
triumph and tragedy of J. Robert Oppenheimer. Vintage Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar