Kegiatan Pembiasaan Positif
Pilar Non-Kognitif untuk Pembentukan Karakter Siswa
Alihkan ke: Pengembangan Diri.
Abstrak
Artikel ini membahas peran strategis kegiatan
pembiasaan positif dalam implementasi Kurikulum 2013 sebagai sarana pembentukan
karakter peserta didik yang seimbang antara aspek sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Kegiatan pembiasaan seperti memberi salam, literasi pagi, menjaga
kebersihan, dan ibadah berjamaah dipandang sebagai pilar non-kognitif yang
krusial dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas, kedisiplinan, tanggung
jawab, dan empati sosial. Melalui kajian regulatif dan teoretis yang mengacu
pada Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, serta
teori belajar sosial Bandura dan pendidikan karakter Lickona, artikel ini
menelaah secara sistematis dimensi filosofis, peran guru dan tenaga
kependidikan, strategi implementasi, tantangan, hingga praktik baik di
lapangan. Disimpulkan bahwa kegiatan pembiasaan yang dikelola secara kolektif,
konsisten, dan kontekstual memiliki dampak signifikan terhadap pembentukan
karakter peserta didik secara holistik. Rekomendasi diberikan agar sekolah
mengintegrasikan pembiasaan dalam budaya sekolah dengan dukungan penuh dari
seluruh pemangku kepentingan.
Kata Kunci: Kegiatan pembiasaan, Kurikulum 2013, pendidikan
karakter, budaya sekolah, pembentukan sikap, guru sebagai teladan, penguatan
pendidikan karakter (PPK).
PEMBAHASAN
Kegiatan Pembiasaan Positif dalam Implementasi
Kurikulum 2013
1.
Pendahuluan
Pendidikan tidak
hanya bertujuan mencetak peserta didik yang cerdas secara intelektual, tetapi
juga harus membentuk pribadi yang berkarakter, beretika, dan mampu berperilaku
positif dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, pembentukan karakter
menjadi salah satu aspek fundamental dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan bertujuan “mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”¹
Untuk mewujudkan
tujuan tersebut, Kurikulum 2013 hadir dengan pendekatan yang menyeimbangkan
antara penguasaan kompetensi kognitif
(pengetahuan), psikomotorik (keterampilan),
dan afektif
(sikap). Salah satu elemen penting dalam kurikulum ini adalah pengembangan
diri, yang terdiri atas layanan bimbingan konseling, kegiatan
ekstrakurikuler, dan kegiatan pembiasaan positif. Pembiasaan
positif merupakan strategi sistemik dalam menanamkan nilai-nilai karakter
melalui aktivitas rutin, yang bertujuan memperkuat sikap spiritual dan sosial
siswa dalam konteks kehidupan sekolah maupun masyarakat.²
Permendikbud Nomor
81A Tahun 2013 secara tegas menyebutkan bahwa pembiasaan merupakan bagian
integral dari implementasi Kurikulum 2013, khususnya dalam mendukung
tercapainya kompetensi sikap.³ Kegiatan pembiasaan positif meliputi rutinitas
seperti berdoa sebelum belajar, menyapa guru dan teman, menjaga kebersihan
lingkungan, serta berpartisipasi dalam kegiatan sosial di sekolah.
Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya menciptakan suasana belajar yang kondusif,
tetapi juga menjadi sarana pembentukan karakter melalui pengalaman langsung dan
repetisi perilaku yang bernilai.
Dalam praktik
pendidikan karakter, pendekatan pembiasaan memiliki landasan psikologis yang
kuat. Teori behavioristik, sebagaimana dikembangkan oleh B.F. Skinner,
menekankan pentingnya penguatan positif (positive reinforcement) dalam
membentuk kebiasaan perilaku tertentu.⁴ Oleh karena itu, jika nilai-nilai
karakter diterapkan secara konsisten dalam bentuk pembiasaan dan diberi
penguatan yang tepat, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadikannya
sebagai bagian dari identitas pribadinya.
Kegiatan pembiasaan
positif juga selaras dengan amanat pendidikan abad ke-21 yang menekankan
pentingnya pengembangan karakter seperti integritas, tanggung jawab, dan empati
di samping kompetensi akademik.⁵ Dalam kerangka Merdeka Belajar, kegiatan ini
menjadi sarana penting untuk menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah
dan menjadikan satuan pendidikan sebagai ekosistem yang mendukung tumbuh
kembang siswa secara utuh.
Dengan demikian,
pembahasan tentang kegiatan pembiasaan positif dalam konteks implementasi
Kurikulum 2013 menjadi sangat penting untuk dikaji secara lebih mendalam, tidak
hanya sebagai kewajiban administratif dalam pendidikan, tetapi juga sebagai
strategi kultural yang membentuk jati diri generasi bangsa.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Teknis Pelaksanaan Kurikulum 2013, edisi revisi (Jakarta: Kemdikbud,
2014), 15–16.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013, Lampiran IV.
[4]
B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan,
1953), 62–65.
[5]
Trilling, Bernie, dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 31–33.
2.
Konsep
Kegiatan Pembiasaan Positif
Kegiatan pembiasaan
positif merupakan bagian integral dari pengembangan karakter peserta didik
melalui aktivitas rutin yang dilakukan secara konsisten dalam lingkungan
pendidikan. Dalam konteks Kurikulum 2013, pembiasaan positif dimaknai sebagai
bentuk konkret dari upaya membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh bangsa
Indonesia.¹ Kegiatan ini bukan sekadar rutinitas administratif, tetapi
merupakan proses internalisasi nilai yang dibangun melalui pengalaman langsung,
pengulangan (habitual practice), serta pemberian keteladanan oleh pendidik dan
lingkungan sekolah.
Menurut Permendikbud
Nomor 81A Tahun 2013, kegiatan pembiasaan merupakan salah satu bentuk
pengembangan diri yang diarahkan untuk mendukung pencapaian kompetensi
sikap spiritual dan sosial, sebagaimana ditekankan dalam
Kompetensi Inti Kurikulum 2013.² Dengan demikian, pembiasaan tidak terlepas
dari pendidikan nilai (value education) yang menjadi aspek penting dalam
pembentukan karakter. Kegiatan pembiasaan positif biasanya diwujudkan dalam
bentuk aktivitas yang berulang dan terstruktur, seperti berdoa sebelum dan
sesudah belajar, memberi salam, menjaga kebersihan kelas dan lingkungan,
kegiatan literasi pagi, serta berbagai kegiatan sosial yang mencerminkan
kepedulian dan tanggung jawab.³
Konsep pembiasaan
positif juga mendapat dukungan dari teori psikologi pendidikan. Dalam
pendekatan behavioristik, pembiasaan terbentuk melalui stimulus-respons
yang diulang dan diperkuat secara sistematis. B.F. Skinner menyatakan bahwa
perilaku akan cenderung diulangi jika diberi penguatan positif (positive
reinforcement), dan dalam konteks pendidikan, pembiasaan positif menjadi alat
yang efektif untuk memperkuat perilaku yang diharapkan.⁴ Dalam jangka panjang,
pembiasaan tersebut tidak hanya menjadi tindakan refleks, tetapi menjelma
menjadi sikap dan karakter yang melekat pada diri peserta didik.
Selain pendekatan
behavioristik, konsep pembiasaan positif juga dipengaruhi oleh pendekatan
konstruktivistik dalam pendidikan karakter, yaitu menekankan pada proses
pengalaman langsung, keterlibatan aktif peserta didik, dan refleksi atas
tindakan yang dilakukan.⁵ Dengan demikian, pembiasaan bukan hanya kegiatan
pasif, tetapi bagian dari pembelajaran sosial yang memperkuat dimensi afektif
secara kontekstual.
Perlu ditegaskan
bahwa kegiatan pembiasaan berbeda dengan kegiatan ekstrakurikuler maupun
layanan bimbingan konseling. Ekstrakurikuler lebih menekankan pada pengembangan
minat dan bakat secara terstruktur melalui klub atau organisasi siswa,
sedangkan bimbingan konseling bersifat lebih individual dan remedial dalam
menangani permasalahan siswa. Sementara itu, kegiatan pembiasaan positif
bersifat preventif dan kultural, serta
dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.⁶
Sejalan dengan itu,
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam Panduan Penguatan Pendidikan
Karakter menyebutkan bahwa kegiatan pembiasaan merupakan salah satu metode
utama dalam membangun nilai-nilai utama karakter seperti religius, integritas,
nasionalisme, kemandirian, dan gotong royong.⁷ Oleh karena itu, keberhasilan
pendidikan karakter sangat ditentukan oleh konsistensi pelaksanaan kegiatan
pembiasaan yang terstruktur dan menyatu dalam budaya sekolah.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013, edisi revisi
(Jakarta: Kemdikbud, 2017), 18.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013, Lampiran IV.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Pembiasaan Positif
di Sekolah Dasar dan Menengah (Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah, 2016), 7–8.
[4]
B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan,
1953), 62–65.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–47.
[6]
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2014), 165.
[7]
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Panduan Penguatan
Pendidikan Karakter (Jakarta: BSNP, 2018), 12–13.
3.
Landasan
Filosofis, Psikologis, dan Pedagogis
Kegiatan pembiasaan
positif dalam dunia pendidikan tidak hanya berdimensi praktis, tetapi juga
memiliki fondasi yang kuat dari segi filsafat pendidikan, psikologi
perkembangan, dan pendekatan pedagogis. Memahami
ketiga landasan ini sangat penting agar kegiatan pembiasaan tidak dipahami sekadar
rutinitas teknis, melainkan sebagai bagian dari strategi pendidikan yang
holistik, sadar arah, dan berkelanjutan.
3.1.
Landasan Filosofis
Secara filosofis,
kegiatan pembiasaan positif berpijak pada nilai-nilai dasar yang menjadi
identitas dan orientasi hidup bangsa Indonesia. Pancasila, sebagai dasar negara
dan sumber nilai dalam sistem pendidikan nasional, menjadi landasan utama dalam
pembentukan karakter peserta didik. Nilai-nilai seperti ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial menjadi pedoman dalam merancang
kegiatan pembiasaan yang membentuk sikap religius, humanis, nasionalis, dan
bertanggung jawab.¹
Dalam perspektif
filsafat pendidikan nasional, kegiatan pembiasaan selaras dengan konsep
pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan pentingnya pendidikan watak dan
moral sebagai tujuan utama. Baginya, pendidikan adalah proses menuntun segala
kekuatan kodrat anak agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.² Maka, pembiasaan bukan hanya menuntun perilaku lahiriah,
tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual dalam proses
internalisasi yang berkesinambungan.
3.2.
Landasan Psikologis
Secara psikologis,
kegiatan pembiasaan positif didasarkan pada prinsip psikologi
perkembangan, khususnya pada masa anak dan remaja yang
merupakan fase pembentukan kepribadian dan karakter. Menurut Jean Piaget, tahap
perkembangan moral anak bergerak dari heteronomi (taat karena takut hukuman) ke
otonomi (taat karena menyadari nilai dari aturan tersebut).³ Kegiatan
pembiasaan yang konsisten membantu peserta didik melewati transisi ini dengan
lebih efektif melalui pengalaman langsung dan reflektif terhadap nilai-nilai
yang ditanamkan.
Selain itu, teori behavioristik
dari B.F. Skinner menekankan pentingnya reinforcement (penguatan) dalam
membentuk kebiasaan perilaku. Dalam konteks pendidikan, kebiasaan positif dapat
terbentuk apabila sekolah secara konsisten memberikan stimulus dan penguatan
positif terhadap perilaku baik yang ditunjukkan siswa.⁴ Misalnya, kebiasaan
membuang sampah pada tempatnya yang dipuji oleh guru, lambat laun menjadi
karakter karena diperkuat secara sosial dan emosional.
Sementara itu,
pendekatan sosial-kognitif dari Albert
Bandura juga menjelaskan bahwa pembentukan karakter dipengaruhi oleh proses
observasi dan imitasi terhadap figur model, seperti guru dan orang tua.⁵ Maka
dari itu, kegiatan pembiasaan akan lebih efektif jika disertai dengan
keteladanan dari pendidik dan lingkungan sekolah, karena peserta didik belajar
melalui pengamatan terhadap perilaku orang dewasa yang mereka hormati.
3.3.
Landasan Pedagogis
Dari segi pedagogis,
kegiatan pembiasaan sejalan dengan pendekatan pembelajaran yang memanusiakan
peserta didik secara utuh (holistik), baik dalam aspek kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Kurikulum 2013 menempatkan pembentukan sikap spiritual dan
sosial sebagai bagian penting dari kompetensi inti (KI 1 dan KI 2)
yang harus dicapai melalui pendekatan saintifik dan pembelajaran kontekstual.⁶
Pendidikan karakter
melalui pembiasaan juga mencerminkan prinsip pedagogis “belajar
melalui pengalaman” (learning by doing) sebagaimana dirumuskan
oleh John Dewey. Peserta didik akan memahami dan menjiwai nilai-nilai tertentu
tidak semata dari ceramah atau hafalan, melainkan melalui pengalaman konkret
dan interaksi sosial yang berulang.⁷ Oleh karena itu, kegiatan seperti
salam-sapa, antri, gotong royong, dan literasi pagi bukan sekadar formalitas,
tetapi merupakan instrumen pedagogis dalam internalisasi nilai.
Lebih lanjut,
pendekatan pedagogis dalam kegiatan pembiasaan juga menekankan aspek interdisipliner,
di mana nilai-nilai karakter dapat ditanamkan melalui berbagai mata pelajaran
maupun aktivitas keseharian sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pembiasaan
positif bukan kegiatan terpisah, melainkan terintegrasi dengan seluruh proses
pembelajaran dan budaya sekolah.⁸
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 4.
[2]
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa, 1967), 14.
[3]
Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child (New York: Free
Press, 1965), 130–135.
[4]
B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan,
1953), 62–65.
[5]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1977), 22–24.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013, Lampiran II.
[7]
John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–28.
[8]
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran
(Jakarta: Kencana, 2013), 202.
4.
Ragam
dan Bentuk Kegiatan Pembiasaan Positif di Satuan Pendidikan
Kegiatan pembiasaan
positif dalam satuan pendidikan merupakan bentuk nyata dari upaya sistematis
untuk membentuk karakter peserta didik melalui rutinitas yang konsisten,
bermakna, dan berorientasi nilai. Dalam konteks Kurikulum 2013, kegiatan
pembiasaan tidak hanya menjadi pelengkap proses pembelajaran, tetapi bagian integral
dari pengembangan kompetensi sikap spiritual dan sosial yang tercantum dalam
Kompetensi Inti 1 dan 2.¹
Kegiatan pembiasaan
positif dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama berdasarkan intensitas
dan konteks pelaksanaannya, yaitu: kegiatan harian, mingguan/
bulanan, dan kegiatan insidental berbasis momen.
4.1.
Kegiatan Pembiasaan Harian
Kegiatan pembiasaan
harian merupakan aktivitas rutin yang dilakukan setiap hari sebagai bagian dari
budaya sekolah. Tujuan utamanya adalah membentuk perilaku dan sikap positif
yang melekat dalam keseharian peserta didik. Bentuk kegiatan ini antara lain:
·
Berdoa
bersama sebelum dan sesudah pembelajaran, sebagai bentuk
penguatan nilai religius dan spiritual.²
·
Salam,
senyum, dan sapa saat bertemu guru dan teman sebaya, yang
memperkuat nilai kesopanan dan kebersamaan.
·
Membaca
literasi pagi selama 15 menit sebelum belajar, sebagai bentuk
pembiasaan budaya literasi.³
·
Membuang
sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan kelas, sebagai
pembiasaan tanggung jawab dan cinta lingkungan.
·
Datang
tepat waktu dan disiplin masuk kelas, sebagai wujud pendidikan
karakter tentang tanggung jawab dan kedisiplinan.
Bentuk-bentuk ini
didasarkan pada prinsip pengulangan dan penguatan positif (positive
reinforcement), sehingga menjadi kebiasaan yang membentuk karakter peserta
didik dari waktu ke waktu.⁴
4.2.
Kegiatan Pembiasaan Mingguan dan Bulanan
Kegiatan pembiasaan
mingguan dan bulanan dilakukan secara berkala, namun tetap memiliki konsistensi
dalam penerapan dan nilai yang ditanamkan. Beberapa contoh kegiatan antara
lain:
·
Upacara
bendera setiap hari Senin, yang membina nasionalisme,
kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial.⁵
·
Jum’at
bersih, yaitu kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan
sekolah, sebagai pembelajaran tentang kepedulian terhadap kebersihan dan kerja
sama tim.
·
Shalat
Dhuha atau shalat berjamaah mingguan, yang menjadi bagian dari
penguatan karakter religius di sekolah berbasis keagamaan.
·
Kegiatan
literasi tematik bulanan, seperti lomba menulis, membaca puisi,
atau pojok baca, untuk membangun minat baca dan ekspresi kreatif peserta
didik.⁶
Kegiatan-kegiatan
ini biasanya dipandu oleh guru, wali kelas, atau petugas piket sekolah, dan
dinilai melalui jurnal atau catatan pengamatan sebagai bagian dari pembinaan
non-akademik.
4.3.
Kegiatan Pembiasaan Insidental Berbasis Momen
Selain yang bersifat
rutin, satuan pendidikan juga menyelenggarakan kegiatan pembiasaan yang
bersifat insidental, namun tetap
bernilai edukatif dan mendukung pembentukan karakter. Bentuk kegiatan ini
meliputi:
·
Peringatan
hari besar nasional dan keagamaan (seperti Hari Pahlawan,
Maulid Nabi, atau Hari Kartini), yang memperkuat semangat kebangsaan dan nilai
keagamaan.
·
Penggalangan
dana untuk korban bencana, yang melatih empati dan solidaritas
sosial.
·
Kegiatan
bakti sosial dan kunjungan ke panti asuhan, sebagai pembiasaan
nilai kepedulian sosial dan toleransi.⁷
·
Program
sekolah ramah anak, termasuk anti perundungan, kampanye
toleransi, dan latihan manajemen emosi.⁸
Meski tidak
dilakukan setiap hari, kegiatan-kegiatan ini memberikan dampak afektif yang
kuat karena melibatkan pengalaman emosional dan sosial secara langsung.
4.4.
Integrasi dalam Budaya Sekolah
Penting untuk
dicatat bahwa seluruh ragam kegiatan pembiasaan tersebut menjadi efektif jika diintegrasikan
dalam budaya sekolah. Hal ini sesuai dengan arahan dalam Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter yang menyebutkan bahwa karakter
peserta didik dibentuk bukan hanya oleh materi pelajaran, melainkan juga oleh
lingkungan sosial dan budaya yang terbangun di sekolah.⁹ Oleh karena itu,
pembiasaan positif harus didukung oleh semua pihak: kepala sekolah, guru,
tenaga kependidikan, serta orang tua.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013, Lampiran II.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Pedoman Penguatan
Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar dan Menengah (Jakarta: Dirjen
Dikdasmen, 2017), 21.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Literasi Nasional:
Panduan Pelaksanaan Literasi di Sekolah (Jakarta: Kemdikbud, 2016), 9.
[4]
B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan,
1953), 75–77.
[5]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Buku Saku Budaya
dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kemdikbud, 2012), 18.
[6]
Badan Bahasa, Panduan Pojok Baca Sekolah (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018), 5–7.
[7]
Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi
(Jakarta: Kencana, 2013), 115–117.
[8]
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pedoman
Sekolah Ramah Anak (Jakarta: KPPPA, 2017), 14–16.
[9]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 31.
5.
Peran
Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Kegiatan Pembiasaan
Implementasi
kegiatan pembiasaan positif dalam satuan pendidikan tidak dapat berjalan
efektif tanpa peran sentral guru dan tenaga kependidikan. Dalam sistem
pendidikan berbasis karakter seperti yang dianut oleh Kurikulum 2013,
keberhasilan pembiasaan sangat bergantung pada kehadiran sosok pendidik yang
mampu menjadi role model, fasilitator,
sekaligus pengelola budaya positif di lingkungan sekolah.¹
5.1.
Guru sebagai Teladan Nilai dan Perilaku Positif
Guru memiliki
kedudukan strategis dalam membentuk karakter peserta didik karena keberadaannya
yang konsisten dan dekat dalam keseharian siswa. Albert
Bandura, dalam teorinya tentang social learning, menekankan bahwa
peserta didik banyak belajar melalui proses observasi dan imitasi terhadap
figur-figur signifikan di sekitarnya, termasuk guru.² Dalam konteks ini, guru
bukan hanya penyampai materi, tetapi menjadi teladan hidup bagi nilai-nilai
seperti disiplin, tanggung jawab, kejujuran, empati, dan sopan santun.
Permendikbud Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti menegaskan bahwa keteladanan guru
merupakan salah satu metode paling efektif dalam menanamkan nilai-nilai
karakter.³ Oleh karena itu, dalam kegiatan pembiasaan seperti memberi salam,
hadir tepat waktu, menjaga kebersihan, dan berinteraksi dengan tutur kata yang
baik, guru harus menjadi pelaku utama agar siswa dapat meniru dengan tulus dan
alami.
5.2.
Guru sebagai Fasilitator dan Penggerak Budaya
Sekolah
Selain sebagai
teladan, guru berperan sebagai fasilitator dalam merancang dan mengelola
kegiatan pembiasaan secara sistemik. Perencanaan kegiatan pembiasaan perlu
dimasukkan dalam agenda pembelajaran dan budaya sekolah, baik dalam bentuk
kegiatan harian seperti literasi pagi dan doa bersama, maupun kegiatan mingguan
seperti kerja bakti dan shalat berjamaah.⁴ Dalam hal ini, guru berperan sebagai
pengatur waktu, pemantau keterlaksanaan, dan penghubung antara kegiatan
pembiasaan dengan pembelajaran di kelas.
Guru juga
bertanggung jawab dalam melakukan refleksi dan evaluasi bersama peserta didik
terhadap makna dari setiap kegiatan yang dilakukan. Proses ini penting agar
pembiasaan tidak sekadar menjadi rutinitas mekanis, tetapi membentuk kesadaran
nilai yang melekat dalam diri siswa.⁵ Hal ini sejalan dengan pendekatan konstruktivistik
dalam pembelajaran karakter, yang mengedepankan partisipasi aktif siswa dalam
membangun pemahaman dan internalisasi nilai.
5.3.
Tenaga Kependidikan sebagai Pendukung Ekosistem
Pembiasaan
Tenaga kependidikan,
termasuk kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, petugas kebersihan,
dan staf administrasi, juga memiliki kontribusi penting dalam mendukung
keberlangsungan kegiatan pembiasaan. Kepala sekolah, misalnya, bertindak
sebagai manajer budaya sekolah yang menetapkan arah kebijakan, menyiapkan
sarana pendukung, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pembentukan
karakter.⁶
Kepala sekolah dapat
menginisiasi program-program pembiasaan seperti gerakan "5S" (Senyum,
Salam, Sapa, Sopan, Santun), pojok literasi, atau
sistem penghargaan karakter mingguan. Keterlibatan aktif kepala sekolah dalam
kegiatan sehari-hari, seperti menyambut siswa di gerbang sekolah atau turun
langsung saat kerja bakti, memberikan pengaruh positif terhadap semangat guru
dan peserta didik.⁷
Sementara itu,
tenaga kependidikan lain juga memiliki peran edukatif secara tidak langsung.
Misalnya, petugas kebersihan yang konsisten menjaga lingkungan sekolah turut
mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan melalui contoh nyata. Bahkan, staf
tata usaha yang melayani siswa dengan ramah dapat menguatkan nilai pelayanan
dan penghargaan terhadap sesama. Semua komponen ini berkontribusi menciptakan ekosistem
pembiasaan positif di sekolah.
5.4.
Kolaborasi dan Konsistensi Antar Pihak
Kegiatan pembiasaan hanya
akan berhasil jika seluruh komponen sekolah bekerja secara kolaboratif dan
konsisten. Berdasarkan Panduan Penguatan Pendidikan Karakter
dari Kemendikbud, pembentukan karakter melalui pembiasaan harus berbasis
ekosistem yang melibatkan guru, tenaga kependidikan, orang tua, dan
masyarakat.⁸ Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk membangun komunikasi
yang baik antar pemangku kepentingan, menyusun sistem pembiasaan yang
terstruktur, serta melakukan evaluasi berkala untuk menjamin keberlanjutan program.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013, Lampiran IV.
[2]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1977), 22–24.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi
Pekerti, Pasal 2.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Penguatan Pendidikan
Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 12–14.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–47.
[6]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Panduan Manajemen
Berbasis Sekolah dalam Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud,
2018), 9–10.
[7]
Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi
(Jakarta: Kencana, 2013), 117–119.
[8]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 6.
6.
Strategi
Implementasi Efektif Kegiatan Pembiasaan
Agar kegiatan
pembiasaan positif dalam satuan pendidikan dapat memberikan dampak optimal
terhadap pembentukan karakter peserta didik, diperlukan strategi implementasi
yang sistematis, kontekstual, dan berkelanjutan. Kurikulum 2013 menggarisbawahi
bahwa pembentukan sikap spiritual dan sosial tidak dapat dicapai hanya melalui
pembelajaran formal, tetapi harus dilengkapi dengan pembiasaan yang dirancang secara
menyeluruh dan dikelola melalui budaya sekolah yang hidup.¹ Oleh karena itu,
strategi implementasi kegiatan pembiasaan harus melibatkan berbagai aspek
manajerial, pedagogis, dan sosial.
6.1.
Integrasi dalam Budaya Sekolah
Strategi pertama
adalah menjadikan kegiatan pembiasaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari budaya
sekolah (school culture). Budaya sekolah
yang kuat terhadap nilai-nilai karakter akan membentuk lingkungan yang secara
otomatis mendorong peserta didik untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai
tersebut.²
Integrasi pembiasaan
ke dalam budaya sekolah dapat dilakukan melalui:
·
Penanaman nilai-nilai inti
sekolah yang dipahami dan dihidupi oleh seluruh warga sekolah (misalnya:
integritas, tanggung jawab, gotong royong).
·
Adanya aturan,
simbol, dan rutinitas yang mencerminkan nilai-nilai positif,
seperti slogan motivasi, salam-sapa, pemajangan karya siswa, dan zona literasi.
·
Kepemimpinan
transformatif dari kepala sekolah yang menghidupkan budaya
karakter melalui kebijakan dan keteladanan.³
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Panduan Penguatan Pendidikan Karakter
menekankan pentingnya pembiasaan sebagai bagian dari budaya sekolah yang
ditumbuhkan melalui keteladanan, pembiasaan rutin, dan rekognisi.⁴
6.2.
Penyusunan Jadwal dan SOP Kegiatan Pembiasaan
Agar kegiatan
pembiasaan berjalan terstruktur dan tidak bergantung pada inisiatif individual
semata, sekolah perlu menyusun jadwal rutin dan standar
operasional prosedur (SOP) yang jelas. Jadwal pembiasaan
sebaiknya disusun harian, mingguan, dan bulanan, serta dimasukkan ke dalam
kalender akademik sekolah.
SOP pembiasaan harus
memuat:
·
Jenis kegiatan (misalnya:
literasi pagi, shalat Dhuha, Jumat bersih).
·
Penanggung jawab dan
pelaksana kegiatan (guru, wali kelas, siswa).
·
Waktu dan frekuensi
pelaksanaan.
·
Mekanisme evaluasi dan
tindak lanjut.⁵
Dengan adanya SOP,
maka kegiatan pembiasaan tidak akan menjadi sekadar wacana atau program
insidental, tetapi melekat dalam sistem manajemen sekolah.
6.3.
Pelibatan Aktif Seluruh Warga Sekolah
Strategi efektif
lainnya adalah pelibatan aktif seluruh warga sekolah,
mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa, hingga orang tua.
Kolaborasi ini penting karena karakter peserta didik dibentuk dalam lingkungan
sosial yang luas dan interaktif.
·
Guru
menjadi fasilitator dan pembimbing utama dalam pembiasaan di kelas.
·
Wali
kelas memantau konsistensi perilaku harian dan memberi
penguatan.
·
OSIS
dan kelompok siswa bisa dilibatkan sebagai pelopor gerakan
karakter seperti "Sahabat Kebersihan" atau "Duta
Literasi".
·
Orang
tua diajak menyinergikan nilai-nilai pembiasaan di rumah,
misalnya melalui buku penghubung karakter.⁶
Partisipasi aktif
ini juga dikuatkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang mendorong
keterlibatan warga sekolah dalam penumbuhan budi pekerti melalui kegiatan
rutin, spontan, keteladanan, dan terprogram.⁷
6.4.
Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan
Berkelanjutan
Kegiatan pembiasaan
harus disertai monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan
agar tidak stagnan atau kehilangan makna. Evaluasi dilakukan secara kualitatif
dan kuantitatif dengan melibatkan observasi, jurnal sikap, laporan wali kelas,
maupun umpan balik dari siswa.
Beberapa langkah
evaluasi yang dapat diterapkan:
·
Pengamatan
langsung oleh guru terhadap keterlibatan siswa dalam kegiatan
pembiasaan.
·
Pencatatan
perilaku siswa dalam buku pengembangan diri atau portofolio
karakter.
·
Refleksi
dan diskusi kelas sebagai ruang evaluasi partisipatif.
·
Pemberian
penghargaan terhadap siswa yang menunjukkan perkembangan
karakter signifikan, untuk memperkuat perilaku positif melalui motivasi
intrinsik dan ekstrinsik.⁸
Hasil evaluasi harus
digunakan untuk memperbaiki strategi pelaksanaan dan memperkuat konsistensi
kegiatan pembiasaan.
6.5.
Adaptasi Kontekstual dan Inovasi
Setiap sekolah
memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda. Oleh karena itu,
implementasi kegiatan pembiasaan perlu bersifat adaptif terhadap konteks
sosial, budaya, dan geografis satuan pendidikan.
·
Sekolah di daerah pesisir
bisa menanamkan pembiasaan kebersihan pantai.
·
Sekolah berbasis pesantren
bisa memperkuat pembiasaan ibadah berjamaah dan tadarus.
·
Sekolah urban bisa
mengembangkan pembiasaan literasi digital sehat dan toleransi sosial.⁹
Inovasi seperti
penggunaan media digital, program mentoring sebaya, dan integrasi pembiasaan
dalam proyek profil pelajar Pancasila juga dapat memperkaya bentuk dan metode
kegiatan pembiasaan yang relevan dengan zaman.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum 2013, Lampiran IV.
[2]
Suyanto, Menjadi Sekolah Berkarakter (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013), 49–52.
[3]
Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi
(Jakarta: Kencana, 2013), 119.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 6–8.
[5]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Panduan
Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam Penguatan Pendidikan Karakter
(Jakarta: Kemdikbud, 2018), 14.
[6]
H.A.R. Tilaar, Membangun Pendidikan Karakter (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), 122.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Pasal 2–4.
[8]
Thomas Lickona, Character Matters: How to Help Our Children Develop
Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues (New York:
Touchstone, 2004), 87–89.
[9]
Trilling, Bernie dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 67–70.
7.
Tantangan
dan Solusi dalam Pelaksanaan Kegiatan Pembiasaan
Pelaksanaan kegiatan
pembiasaan positif dalam kerangka Kurikulum 2013 sering kali menghadapi
berbagai tantangan yang bersifat struktural, kultural, maupun pedagogis. Meskipun
pembiasaan telah diakui secara normatif sebagai bagian penting dari pendidikan
karakter, praktiknya di lapangan masih belum merata dan konsisten. Menghadapi
tantangan-tantangan ini, diperlukan solusi yang kontekstual, partisipatif, dan
berbasis regulasi agar kegiatan pembiasaan tidak berhenti pada tataran
formalitas.
7.1.
Tantangan dalam Pelaksanaan Kegiatan Pembiasaan
7.1.1.
Kurangnya
Pemahaman dan Komitmen Pendidik
Salah satu tantangan
utama adalah masih terbatasnya pemahaman sebagian guru dan tenaga kependidikan
terhadap urgensi dan filosofi kegiatan pembiasaan. Banyak yang masih menganggap
pembiasaan sebagai kegiatan pelengkap yang tidak terintegrasi dengan proses
pembelajaran.¹ Hal ini berdampak pada rendahnya komitmen dan konsistensi dalam
pelaksanaannya.
7.1.2.
Kultur Sekolah yang Tidak Mendukung
Budaya sekolah yang
belum terbentuk secara positif menjadi hambatan besar dalam pembiasaan. Sekolah
yang tidak memiliki iklim disiplin, kepedulian, dan keteladanan akan sulit
membentuk karakter melalui pembiasaan.² Kurangnya keteladanan dari guru dan
kepala sekolah, serta perilaku negatif yang dibiarkan tanpa tindak lanjut,
dapat melemahkan efektivitas kegiatan pembiasaan.
7.1.3.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana
Beberapa kegiatan
pembiasaan memerlukan fasilitas pendukung seperti ruang literasi, tempat
ibadah, tempat sampah yang memadai, atau media visual edukatif. Sekolah yang
memiliki keterbatasan fasilitas cenderung mengalami kesulitan dalam
mengimplementasikan kegiatan pembiasaan secara optimal.³
7.1.4.
Minimnya Pelibatan Orang Tua dan
Komunitas
Kegiatan pembiasaan
hanya akan berdampak jangka panjang jika didukung oleh lingkungan di luar
sekolah, terutama keluarga. Namun, keterlibatan orang tua sering kali minim,
baik karena kesibukan, kurangnya komunikasi, maupun tidak adanya program yang
melibatkan mereka secara aktif.⁴
7.1.5.
Belum Adanya Sistem Evaluasi yang
Terstruktur
Kegiatan pembiasaan
sering tidak dilengkapi dengan sistem evaluasi yang objektif dan berkelanjutan.
Akibatnya, tidak ada mekanisme umpan balik atau tindak lanjut terhadap
keberhasilan maupun kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaannya.⁵
7.2.
Solusi Strategis terhadap Tantangan yang Ada
7.2.1.
Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran
Guru
Solusi awal yang
perlu dilakukan adalah memberikan pelatihan dan pendampingan kepada guru dan
tenaga kependidikan agar memahami pentingnya pembiasaan dalam pendidikan
karakter. Program in-house training, workshop, atau
komunitas praktik baik (CoP) dapat menjadi media peningkatan kapasitas pendidik
dalam merancang dan melaksanakan pembiasaan secara bermakna.⁶
7.2.2.
Penguatan Kepemimpinan dan Budaya
Sekolah
Kepala sekolah harus
berperan sebagai pemimpin transformatif yang membangun visi karakter dalam
seluruh aspek kehidupan sekolah. Ini dapat dilakukan melalui penyusunan
kebijakan berbasis nilai, pembentukan tim penggerak karakter, dan penerapan
sistem penghargaan yang adil dan konsisten.⁷ Budaya sekolah yang kuat akan
menjadi fondasi utama bagi pembiasaan yang efektif.
7.2.3.
Pemanfaatan Sumber Daya Sekolah
secara Kreatif
Sekolah dapat
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dengan cara kreatif dan efisien.
Misalnya, ruang kelas bisa disulap menjadi pojok literasi, halaman sekolah
menjadi taman karakter, dan siswa dilibatkan dalam membuat poster atau video
kampanye karakter yang memperkuat pesan pembiasaan.⁸
7.2.4.
Sinergi Sekolah, Orang Tua, dan
Masyarakat
Pelibatan orang tua
harus menjadi bagian dari strategi implementasi pembiasaan. Sekolah dapat
menjalin komunikasi intensif dengan orang tua melalui program parenting, jurnal
penghubung karakter, atau kolaborasi dalam kegiatan sosial. Pendekatan
komunitas seperti school-community partnership
menjadi relevan dalam konteks ini.⁹
7.2.5.
Penerapan Sistem Evaluasi dan
Refleksi Terbuka
Sekolah perlu
membangun sistem evaluasi berbasis data, baik melalui observasi, jurnal sikap,
maupun umpan balik siswa dan orang tua. Evaluasi ini tidak hanya bersifat
administratif, tetapi juga mendorong refleksi pedagogis bagi guru dan peserta
didik agar kegiatan pembiasaan menjadi lebih reflektif dan berdampak.¹⁰
Footnotes
[1]
Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi
(Jakarta: Kencana, 2013), 114.
[2]
H.A.R. Tilaar, Membangun Pendidikan Karakter (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), 123–125.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 13.
[4]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Manajemen
Berbasis Sekolah untuk Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud,
2018), 25.
[5]
Suyanto, Menjadi Sekolah Berkarakter (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013), 60–61.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Modul
Pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter Bagi Guru dan Kepala Sekolah
(Jakarta: Kemdikbud, 2018), 27.
[7]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 105.
[8]
Trilling, Bernie, dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 45.
[9]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Pasal 5.
[10]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall, 1977), 43–44.
8.
Studi
Kasus dan Praktik Baik
Pelaksanaan kegiatan
pembiasaan positif dalam Kurikulum 2013 telah melahirkan berbagai praktik baik
di satuan pendidikan di seluruh Indonesia. Studi kasus ini penting disajikan
sebagai bentuk konkret implementasi nilai-nilai karakter melalui kebiasaan yang
ditanamkan secara konsisten di sekolah. Praktik-praktik ini tidak hanya
menunjukkan keberhasilan pendekatan non-kognitif dalam pendidikan, tetapi juga
menjadi inspirasi bagi sekolah lain dalam membangun budaya positif yang
berkelanjutan.
8.1.
Studi Kasus: SMP Negeri 2 Sleman – Sekolah
Ramah Karakter
SMP Negeri 2 Sleman,
Yogyakarta, merupakan salah satu sekolah rujukan nasional dalam penguatan
pendidikan karakter berbasis pembiasaan positif. Sekolah ini mengintegrasikan
berbagai kegiatan pembiasaan ke dalam budaya sekolah, seperti:
·
Sapa
Pagi di gerbang sekolah oleh guru dan kepala sekolah.
·
Program
Literasi Pagi selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
·
Gerakan
“Tiada Hari Tanpa Salam” sebagai bentuk penumbuhan budi
pekerti.
·
Jumat
Bersih dan Jumat Berbagi secara bergilir oleh kelas-kelas.¹
Sekolah ini menerapkan
prinsip whole
school approach, di mana semua warga sekolah terlibat secara aktif
dalam mendukung kegiatan pembiasaan, mulai dari guru, siswa, orang tua, hingga
petugas keamanan. Kepala sekolah memposisikan dirinya sebagai teladan utama,
hadir lebih pagi, menyapa siswa, dan terlibat langsung dalam kegiatan harian.
Data internal
sekolah menunjukkan bahwa terjadi penurunan signifikan dalam perilaku
indisipliner, serta meningkatnya partisipasi siswa dalam kegiatan sosial dan
kesiswaan.² Hal ini menunjukkan keberhasilan kegiatan pembiasaan dalam
membentuk karakter tanggung jawab, empati, dan disiplin secara nyata.
8.2.
Studi Kasus: SD Islam Al-Azhar 25 Semarang –
Pembiasaan Religius dan Toleransi
Di lingkungan
pendidikan dasar, SD Islam Al-Azhar 25 Semarang menjadi contoh praktik baik
pembiasaan karakter religius dan toleransi. Beberapa program unggulan sekolah
ini antara lain:
·
Pembiasaan
shalat Dhuha berjamaah setiap pagi.
·
Kegiatan
“Satu Hari Tanpa Suara” untuk melatih empati terhadap siswa
tunarungu.
·
Program
“Sedekah Pagi” yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah,
disalurkan kepada warga sekitar yang membutuhkan.
·
Peringatan
hari besar agama yang inklusif, dengan pelibatan siswa lintas
keyakinan dalam kegiatan sosial.³
Praktik ini
menunjukkan bahwa kegiatan pembiasaan tidak selalu bersifat seremonial,
melainkan menjadi alat untuk membangun kepekaan sosial dan kesadaran moral
dalam konteks pluralitas. Hasil evaluasi dari wali kelas menunjukkan bahwa
siswa lebih peka terhadap perbedaan, lebih aktif dalam kegiatan ibadah, serta
lebih bertanggung jawab terhadap tugas pribadi dan sosial mereka.⁴
8.3.
Studi Kasus: MA Negeri 1 Pekalongan – Integrasi
Pembiasaan dan Kurikulum Merdeka
Dalam jenjang
pendidikan menengah, MAN 1 Pekalongan menerapkan integrasi pembiasaan karakter
dalam kurikulum dan kegiatan intrakurikuler maupun kokurikuler. Sekolah ini
mengembangkan program “7 Kebiasaan Harian Santri”, antara lain:
1)
Salat berjamaah tepat waktu.
2)
Membaca Al-Qur’an setiap pagi.
3)
Menulis refleksi harian (jurnal
karakter).
4)
Mengucapkan salam saat bertemu
siapa pun.
5)
Menghindari ghibah dan berkata
kotor.
6)
Berinisiatif membersihkan
lingkungan.
7)
Memberi bantuan kepada teman yang
kesulitan.⁵
Program ini
dikembangkan berdasarkan profil pelajar Pancasila dan nilai-nilai
keislaman. Guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses evaluasi melalui
rapat mingguan dan kegiatan mentoring.
Evaluasi program
menunjukkan bahwa pembiasaan harian yang dikaitkan dengan nilai agama dan
keterlibatan guru secara langsung memberikan dampak kuat dalam membentuk
karakter mandiri dan religius. Bahkan, sekolah ini telah dijadikan lokasi
kunjungan studi banding oleh sekolah-sekolah lain yang ingin mengembangkan
program sejenis.⁶
8.4.
Prinsip Umum dari Praktik Baik
Dari ketiga studi
kasus di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip kunci dari praktik baik
kegiatan pembiasaan:
1)
Keteladanan sebagai
syarat utama: Guru dan kepala sekolah menjadi model utama
perilaku.
2)
Konsistensi dan
keberlanjutan: Pembiasaan dilakukan rutin, tidak insidental.
3)
Pelibatan seluruh warga
sekolah: Pembiasaan menjadi gerakan kolektif, bukan individu.
4)
Evaluasi dan refleksi
berkala: Ada monitoring, dokumentasi, dan umpan balik.
5)
Kontekstual dan
relevan: Pembiasaan dirancang sesuai kebutuhan dan kultur
sekolah.
6)
Integrasi nilai agama
dan budaya lokal: Nilai-nilai karakter diperkuat dengan
identitas lokal.⁷
Footnotes
[1]
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Laporan Kegiatan Pembiasaan
Positif SMPN 2 Sleman Tahun 2022, 5.
[2]
Wawancara Kepala SMPN 2 Sleman dengan Tim Evaluator PK-Karakter,
September 2022.
[3]
Yayasan Al-Azhar Indonesia, Dokumentasi Program Pendidikan Karakter
SD Islam Al-Azhar 25 Semarang, 2021.
[4]
Laporan Monitoring dan Evaluasi SD Islam Al-Azhar 25, Semester Genap
2022.
[5]
MAN 1 Pekalongan, Panduan 7 Kebiasaan Harian Santri dan Evaluasi
Program Karakter, Edisi 2023.
[6]
Dokumentasi Studi Banding oleh Kemenag Kabupaten Batang ke MAN 1
Pekalongan, Mei 2024.
[7]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 8–10.
9.
Penutup
Kegiatan pembiasaan
positif dalam konteks Kurikulum 2013 menempati posisi yang sangat strategis
sebagai pilar non-kognitif dalam membentuk karakter peserta didik yang utuh dan
berintegritas. Pembiasaan bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan merupakan
bagian dari proses pendidikan nilai yang sistematis, terukur, dan
berkelanjutan. Dalam kerangka Kurikulum 2013, pembentukan sikap spiritual dan
sosial sebagaimana tertuang dalam Kompetensi Inti 1 dan 2¹ hanya dapat diwujudkan
secara efektif melalui kegiatan pembiasaan yang dirancang secara terpadu,
terintegrasi dengan budaya sekolah, dan dilaksanakan secara konsisten.
Sebagaimana
ditegaskan dalam Panduan Penguatan Pendidikan Karakter
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karakter peserta didik tidak
terbentuk hanya oleh materi pelajaran, tetapi melalui interaksi sosial dan
budaya sekolah yang sarat nilai.² Oleh karena itu, kegiatan pembiasaan yang
dilaksanakan setiap hari—seperti memberi salam, membaca literasi pagi, menjaga
kebersihan, serta shalat berjamaah—merupakan wahana konkret untuk menanamkan
nilai-nilai religiusitas, nasionalisme, kemandirian, integritas, dan gotong
royong.³
Namun, keberhasilan
kegiatan pembiasaan tidak terjadi secara otomatis. Ia sangat ditentukan oleh
peran guru sebagai teladan utama, fasilitator, dan penggerak nilai. Begitu pula
kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya, yang harus menciptakan
ekosistem sekolah yang mendukung pembentukan karakter secara holistik.⁴
Strategi pelaksanaan yang melibatkan penyusunan SOP, pelibatan orang tua, serta
evaluasi yang berkelanjutan menjadi faktor penentu keberhasilan program ini
dalam jangka panjang.
Meski banyak
tantangan yang dihadapi—seperti keterbatasan sumber daya, rendahnya pemahaman
sebagian pendidik, hingga minimnya keterlibatan orang tua—berbagai praktik baik
di sejumlah sekolah menunjukkan bahwa kegiatan pembiasaan yang dikelola secara
efektif dapat memberikan dampak signifikan terhadap perilaku, sikap, dan jiwa
kepemimpinan siswa.⁵ Dengan kata lain, kegiatan pembiasaan adalah jantung dari
pendidikan karakter yang hidup, bukan sekadar pelengkap administratif.
Untuk itu,
diperlukan komitmen kolektif dari seluruh komponen sekolah agar kegiatan
pembiasaan benar-benar menjadi gerakan budaya yang berakar dan berdampak.
Sejalan dengan visi Kurikulum 2013 yang menempatkan pendidikan sebagai proses
memanusiakan manusia (humanisasi), pembiasaan positif menjadi jalan yang paling
nyata dalam menjadikan peserta didik sebagai pribadi yang berakhlak, berpikir
reflektif, dan bertindak konstruktif dalam masyarakat.⁶
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
2013, Lampiran II.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan
Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 5.
[3]
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Buku Saku Budaya
dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kemdikbud, 2012), 8–10.
[4]
Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi
(Jakarta: Kencana, 2013), 117–119.
[5]
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Laporan Kegiatan Pembiasaan
Positif SMPN 2 Sleman Tahun 2022, 5.
[6]
Tilaar, H.A.R., Membangun Pendidikan Karakter (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), 41.
Daftar Pustaka
Bandura, A. (1977). Social learning theory.
Prentice-Hall.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
(2012). Buku saku budaya dan karakter bangsa. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
(2018). Panduan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dalam penguatan
pendidikan karakter. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman. (2022). Laporan
kegiatan pembiasaan positif SMPN 2 Sleman tahun 2022.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A
Tahun 2013 tentang implementasi Kurikulum 2013.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23
Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Gerakan Literasi Nasional: Panduan pelaksanaan literasi
di sekolah. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2017). Panduan penguatan pendidikan karakter. Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2018). Modul pelatihan penguatan pendidikan karakter bagi guru
dan kepala sekolah. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak. (2017). Pedoman sekolah ramah anak. Deputi Bidang Tumbuh Kembang
Anak.
MAN 1 Pekalongan. (2023). Panduan 7 kebiasaan
harian santri dan evaluasi program karakter. Pekalongan: Sekolah.
Sanjaya, W. (2013). Pendidikan karakter: Konsep
dan implementasi. Kencana.
Suyanto. (2013). Menjadi sekolah berkarakter.
Pustaka Pelajar.
Tilaar, H. A. R. (2010). Membangun pendidikan
karakter. Rineka Cipta.
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st
century skills: Learning for life in our times. Jossey-Bass.
Yayasan Al-Azhar Indonesia. (2021). Dokumentasi
program pendidikan karakter SD Islam Al-Azhar 25 Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar