Kamis, 10 Juli 2025

Kegiatan Pembiasaan Positif: Pilar Non-Kognitif untuk Pembentukan Karakter Siswa

Kegiatan Pembiasaan Positif

Pilar Non-Kognitif untuk Pembentukan Karakter Siswa


Alihkan ke: Pengembangan Diri.


Abstrak

Artikel ini membahas peran strategis kegiatan pembiasaan positif dalam implementasi Kurikulum 2013 sebagai sarana pembentukan karakter peserta didik yang seimbang antara aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kegiatan pembiasaan seperti memberi salam, literasi pagi, menjaga kebersihan, dan ibadah berjamaah dipandang sebagai pilar non-kognitif yang krusial dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas, kedisiplinan, tanggung jawab, dan empati sosial. Melalui kajian regulatif dan teoretis yang mengacu pada Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015, serta teori belajar sosial Bandura dan pendidikan karakter Lickona, artikel ini menelaah secara sistematis dimensi filosofis, peran guru dan tenaga kependidikan, strategi implementasi, tantangan, hingga praktik baik di lapangan. Disimpulkan bahwa kegiatan pembiasaan yang dikelola secara kolektif, konsisten, dan kontekstual memiliki dampak signifikan terhadap pembentukan karakter peserta didik secara holistik. Rekomendasi diberikan agar sekolah mengintegrasikan pembiasaan dalam budaya sekolah dengan dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan.

Kata Kunci: Kegiatan pembiasaan, Kurikulum 2013, pendidikan karakter, budaya sekolah, pembentukan sikap, guru sebagai teladan, penguatan pendidikan karakter (PPK).


PEMBAHASAN

Kegiatan Pembiasaan Positif dalam Implementasi Kurikulum 2013


1.           Pendahuluan

Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak peserta didik yang cerdas secara intelektual, tetapi juga harus membentuk pribadi yang berkarakter, beretika, dan mampu berperilaku positif dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, pembentukan karakter menjadi salah satu aspek fundamental dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan bertujuan “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”¹

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Kurikulum 2013 hadir dengan pendekatan yang menyeimbangkan antara penguasaan kompetensi kognitif (pengetahuan), psikomotorik (keterampilan), dan afektif (sikap). Salah satu elemen penting dalam kurikulum ini adalah pengembangan diri, yang terdiri atas layanan bimbingan konseling, kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan pembiasaan positif. Pembiasaan positif merupakan strategi sistemik dalam menanamkan nilai-nilai karakter melalui aktivitas rutin, yang bertujuan memperkuat sikap spiritual dan sosial siswa dalam konteks kehidupan sekolah maupun masyarakat.²

Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 secara tegas menyebutkan bahwa pembiasaan merupakan bagian integral dari implementasi Kurikulum 2013, khususnya dalam mendukung tercapainya kompetensi sikap.³ Kegiatan pembiasaan positif meliputi rutinitas seperti berdoa sebelum belajar, menyapa guru dan teman, menjaga kebersihan lingkungan, serta berpartisipasi dalam kegiatan sosial di sekolah. Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya menciptakan suasana belajar yang kondusif, tetapi juga menjadi sarana pembentukan karakter melalui pengalaman langsung dan repetisi perilaku yang bernilai.

Dalam praktik pendidikan karakter, pendekatan pembiasaan memiliki landasan psikologis yang kuat. Teori behavioristik, sebagaimana dikembangkan oleh B.F. Skinner, menekankan pentingnya penguatan positif (positive reinforcement) dalam membentuk kebiasaan perilaku tertentu.⁴ Oleh karena itu, jika nilai-nilai karakter diterapkan secara konsisten dalam bentuk pembiasaan dan diberi penguatan yang tepat, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadikannya sebagai bagian dari identitas pribadinya.

Kegiatan pembiasaan positif juga selaras dengan amanat pendidikan abad ke-21 yang menekankan pentingnya pengembangan karakter seperti integritas, tanggung jawab, dan empati di samping kompetensi akademik.⁵ Dalam kerangka Merdeka Belajar, kegiatan ini menjadi sarana penting untuk menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah dan menjadikan satuan pendidikan sebagai ekosistem yang mendukung tumbuh kembang siswa secara utuh.

Dengan demikian, pembahasan tentang kegiatan pembiasaan positif dalam konteks implementasi Kurikulum 2013 menjadi sangat penting untuk dikaji secara lebih mendalam, tidak hanya sebagai kewajiban administratif dalam pendidikan, tetapi juga sebagai strategi kultural yang membentuk jati diri generasi bangsa.


Footnotes

[1]                Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Teknis Pelaksanaan Kurikulum 2013, edisi revisi (Jakarta: Kemdikbud, 2014), 15–16.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran IV.

[4]                B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), 62–65.

[5]                Trilling, Bernie, dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 31–33.


2.           Konsep Kegiatan Pembiasaan Positif

Kegiatan pembiasaan positif merupakan bagian integral dari pengembangan karakter peserta didik melalui aktivitas rutin yang dilakukan secara konsisten dalam lingkungan pendidikan. Dalam konteks Kurikulum 2013, pembiasaan positif dimaknai sebagai bentuk konkret dari upaya membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.¹ Kegiatan ini bukan sekadar rutinitas administratif, tetapi merupakan proses internalisasi nilai yang dibangun melalui pengalaman langsung, pengulangan (habitual practice), serta pemberian keteladanan oleh pendidik dan lingkungan sekolah.

Menurut Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, kegiatan pembiasaan merupakan salah satu bentuk pengembangan diri yang diarahkan untuk mendukung pencapaian kompetensi sikap spiritual dan sosial, sebagaimana ditekankan dalam Kompetensi Inti Kurikulum 2013.² Dengan demikian, pembiasaan tidak terlepas dari pendidikan nilai (value education) yang menjadi aspek penting dalam pembentukan karakter. Kegiatan pembiasaan positif biasanya diwujudkan dalam bentuk aktivitas yang berulang dan terstruktur, seperti berdoa sebelum dan sesudah belajar, memberi salam, menjaga kebersihan kelas dan lingkungan, kegiatan literasi pagi, serta berbagai kegiatan sosial yang mencerminkan kepedulian dan tanggung jawab.³

Konsep pembiasaan positif juga mendapat dukungan dari teori psikologi pendidikan. Dalam pendekatan behavioristik, pembiasaan terbentuk melalui stimulus-respons yang diulang dan diperkuat secara sistematis. B.F. Skinner menyatakan bahwa perilaku akan cenderung diulangi jika diberi penguatan positif (positive reinforcement), dan dalam konteks pendidikan, pembiasaan positif menjadi alat yang efektif untuk memperkuat perilaku yang diharapkan.⁴ Dalam jangka panjang, pembiasaan tersebut tidak hanya menjadi tindakan refleks, tetapi menjelma menjadi sikap dan karakter yang melekat pada diri peserta didik.

Selain pendekatan behavioristik, konsep pembiasaan positif juga dipengaruhi oleh pendekatan konstruktivistik dalam pendidikan karakter, yaitu menekankan pada proses pengalaman langsung, keterlibatan aktif peserta didik, dan refleksi atas tindakan yang dilakukan.⁵ Dengan demikian, pembiasaan bukan hanya kegiatan pasif, tetapi bagian dari pembelajaran sosial yang memperkuat dimensi afektif secara kontekstual.

Perlu ditegaskan bahwa kegiatan pembiasaan berbeda dengan kegiatan ekstrakurikuler maupun layanan bimbingan konseling. Ekstrakurikuler lebih menekankan pada pengembangan minat dan bakat secara terstruktur melalui klub atau organisasi siswa, sedangkan bimbingan konseling bersifat lebih individual dan remedial dalam menangani permasalahan siswa. Sementara itu, kegiatan pembiasaan positif bersifat preventif dan kultural, serta dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.⁶

Sejalan dengan itu, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam Panduan Penguatan Pendidikan Karakter menyebutkan bahwa kegiatan pembiasaan merupakan salah satu metode utama dalam membangun nilai-nilai utama karakter seperti religius, integritas, nasionalisme, kemandirian, dan gotong royong.⁷ Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan karakter sangat ditentukan oleh konsistensi pelaksanaan kegiatan pembiasaan yang terstruktur dan menyatu dalam budaya sekolah.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013, edisi revisi (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 18.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran IV.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Pembiasaan Positif di Sekolah Dasar dan Menengah (Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2016), 7–8.

[4]                B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), 62–65.

[5]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–47.

[6]                Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2014), 165.

[7]                Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: BSNP, 2018), 12–13.


3.           Landasan Filosofis, Psikologis, dan Pedagogis

Kegiatan pembiasaan positif dalam dunia pendidikan tidak hanya berdimensi praktis, tetapi juga memiliki fondasi yang kuat dari segi filsafat pendidikan, psikologi perkembangan, dan pendekatan pedagogis. Memahami ketiga landasan ini sangat penting agar kegiatan pembiasaan tidak dipahami sekadar rutinitas teknis, melainkan sebagai bagian dari strategi pendidikan yang holistik, sadar arah, dan berkelanjutan.

3.1.       Landasan Filosofis

Secara filosofis, kegiatan pembiasaan positif berpijak pada nilai-nilai dasar yang menjadi identitas dan orientasi hidup bangsa Indonesia. Pancasila, sebagai dasar negara dan sumber nilai dalam sistem pendidikan nasional, menjadi landasan utama dalam pembentukan karakter peserta didik. Nilai-nilai seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial menjadi pedoman dalam merancang kegiatan pembiasaan yang membentuk sikap religius, humanis, nasionalis, dan bertanggung jawab.¹

Dalam perspektif filsafat pendidikan nasional, kegiatan pembiasaan selaras dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan pentingnya pendidikan watak dan moral sebagai tujuan utama. Baginya, pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat anak agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.² Maka, pembiasaan bukan hanya menuntun perilaku lahiriah, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual dalam proses internalisasi yang berkesinambungan.

3.2.       Landasan Psikologis

Secara psikologis, kegiatan pembiasaan positif didasarkan pada prinsip psikologi perkembangan, khususnya pada masa anak dan remaja yang merupakan fase pembentukan kepribadian dan karakter. Menurut Jean Piaget, tahap perkembangan moral anak bergerak dari heteronomi (taat karena takut hukuman) ke otonomi (taat karena menyadari nilai dari aturan tersebut).³ Kegiatan pembiasaan yang konsisten membantu peserta didik melewati transisi ini dengan lebih efektif melalui pengalaman langsung dan reflektif terhadap nilai-nilai yang ditanamkan.

Selain itu, teori behavioristik dari B.F. Skinner menekankan pentingnya reinforcement (penguatan) dalam membentuk kebiasaan perilaku. Dalam konteks pendidikan, kebiasaan positif dapat terbentuk apabila sekolah secara konsisten memberikan stimulus dan penguatan positif terhadap perilaku baik yang ditunjukkan siswa.⁴ Misalnya, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya yang dipuji oleh guru, lambat laun menjadi karakter karena diperkuat secara sosial dan emosional.

Sementara itu, pendekatan sosial-kognitif dari Albert Bandura juga menjelaskan bahwa pembentukan karakter dipengaruhi oleh proses observasi dan imitasi terhadap figur model, seperti guru dan orang tua.⁵ Maka dari itu, kegiatan pembiasaan akan lebih efektif jika disertai dengan keteladanan dari pendidik dan lingkungan sekolah, karena peserta didik belajar melalui pengamatan terhadap perilaku orang dewasa yang mereka hormati.

3.3.       Landasan Pedagogis

Dari segi pedagogis, kegiatan pembiasaan sejalan dengan pendekatan pembelajaran yang memanusiakan peserta didik secara utuh (holistik), baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Kurikulum 2013 menempatkan pembentukan sikap spiritual dan sosial sebagai bagian penting dari kompetensi inti (KI 1 dan KI 2) yang harus dicapai melalui pendekatan saintifik dan pembelajaran kontekstual.⁶

Pendidikan karakter melalui pembiasaan juga mencerminkan prinsip pedagogis “belajar melalui pengalaman” (learning by doing) sebagaimana dirumuskan oleh John Dewey. Peserta didik akan memahami dan menjiwai nilai-nilai tertentu tidak semata dari ceramah atau hafalan, melainkan melalui pengalaman konkret dan interaksi sosial yang berulang.⁷ Oleh karena itu, kegiatan seperti salam-sapa, antri, gotong royong, dan literasi pagi bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan instrumen pedagogis dalam internalisasi nilai.

Lebih lanjut, pendekatan pedagogis dalam kegiatan pembiasaan juga menekankan aspek interdisipliner, di mana nilai-nilai karakter dapat ditanamkan melalui berbagai mata pelajaran maupun aktivitas keseharian sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pembiasaan positif bukan kegiatan terpisah, melainkan terintegrasi dengan seluruh proses pembelajaran dan budaya sekolah.⁸


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 4.

[2]                Ki Hajar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1967), 14.

[3]                Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child (New York: Free Press, 1965), 130–135.

[4]                B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), 62–65.

[5]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1977), 22–24.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran II.

[7]                John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–28.

[8]                Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2013), 202.


4.           Ragam dan Bentuk Kegiatan Pembiasaan Positif di Satuan Pendidikan

Kegiatan pembiasaan positif dalam satuan pendidikan merupakan bentuk nyata dari upaya sistematis untuk membentuk karakter peserta didik melalui rutinitas yang konsisten, bermakna, dan berorientasi nilai. Dalam konteks Kurikulum 2013, kegiatan pembiasaan tidak hanya menjadi pelengkap proses pembelajaran, tetapi bagian integral dari pengembangan kompetensi sikap spiritual dan sosial yang tercantum dalam Kompetensi Inti 1 dan 2.¹

Kegiatan pembiasaan positif dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama berdasarkan intensitas dan konteks pelaksanaannya, yaitu: kegiatan harian, mingguan/ bulanan, dan kegiatan insidental berbasis momen.

4.1.       Kegiatan Pembiasaan Harian

Kegiatan pembiasaan harian merupakan aktivitas rutin yang dilakukan setiap hari sebagai bagian dari budaya sekolah. Tujuan utamanya adalah membentuk perilaku dan sikap positif yang melekat dalam keseharian peserta didik. Bentuk kegiatan ini antara lain:

·                     Berdoa bersama sebelum dan sesudah pembelajaran, sebagai bentuk penguatan nilai religius dan spiritual.²

·                     Salam, senyum, dan sapa saat bertemu guru dan teman sebaya, yang memperkuat nilai kesopanan dan kebersamaan.

·                     Membaca literasi pagi selama 15 menit sebelum belajar, sebagai bentuk pembiasaan budaya literasi.³

·                     Membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan kelas, sebagai pembiasaan tanggung jawab dan cinta lingkungan.

·                     Datang tepat waktu dan disiplin masuk kelas, sebagai wujud pendidikan karakter tentang tanggung jawab dan kedisiplinan.

Bentuk-bentuk ini didasarkan pada prinsip pengulangan dan penguatan positif (positive reinforcement), sehingga menjadi kebiasaan yang membentuk karakter peserta didik dari waktu ke waktu.⁴

4.2.       Kegiatan Pembiasaan Mingguan dan Bulanan

Kegiatan pembiasaan mingguan dan bulanan dilakukan secara berkala, namun tetap memiliki konsistensi dalam penerapan dan nilai yang ditanamkan. Beberapa contoh kegiatan antara lain:

·                     Upacara bendera setiap hari Senin, yang membina nasionalisme, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial.⁵

·                     Jum’at bersih, yaitu kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan sekolah, sebagai pembelajaran tentang kepedulian terhadap kebersihan dan kerja sama tim.

·                     Shalat Dhuha atau shalat berjamaah mingguan, yang menjadi bagian dari penguatan karakter religius di sekolah berbasis keagamaan.

·                     Kegiatan literasi tematik bulanan, seperti lomba menulis, membaca puisi, atau pojok baca, untuk membangun minat baca dan ekspresi kreatif peserta didik.⁶

Kegiatan-kegiatan ini biasanya dipandu oleh guru, wali kelas, atau petugas piket sekolah, dan dinilai melalui jurnal atau catatan pengamatan sebagai bagian dari pembinaan non-akademik.

4.3.       Kegiatan Pembiasaan Insidental Berbasis Momen

Selain yang bersifat rutin, satuan pendidikan juga menyelenggarakan kegiatan pembiasaan yang bersifat insidental, namun tetap bernilai edukatif dan mendukung pembentukan karakter. Bentuk kegiatan ini meliputi:

·                     Peringatan hari besar nasional dan keagamaan (seperti Hari Pahlawan, Maulid Nabi, atau Hari Kartini), yang memperkuat semangat kebangsaan dan nilai keagamaan.

·                     Penggalangan dana untuk korban bencana, yang melatih empati dan solidaritas sosial.

·                     Kegiatan bakti sosial dan kunjungan ke panti asuhan, sebagai pembiasaan nilai kepedulian sosial dan toleransi.⁷

·                     Program sekolah ramah anak, termasuk anti perundungan, kampanye toleransi, dan latihan manajemen emosi.⁸

Meski tidak dilakukan setiap hari, kegiatan-kegiatan ini memberikan dampak afektif yang kuat karena melibatkan pengalaman emosional dan sosial secara langsung.

4.4.       Integrasi dalam Budaya Sekolah

Penting untuk dicatat bahwa seluruh ragam kegiatan pembiasaan tersebut menjadi efektif jika diintegrasikan dalam budaya sekolah. Hal ini sesuai dengan arahan dalam Panduan Penguatan Pendidikan Karakter yang menyebutkan bahwa karakter peserta didik dibentuk bukan hanya oleh materi pelajaran, melainkan juga oleh lingkungan sosial dan budaya yang terbangun di sekolah.⁹ Oleh karena itu, pembiasaan positif harus didukung oleh semua pihak: kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, serta orang tua.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran II.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Buku Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar dan Menengah (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2017), 21.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Literasi Nasional: Panduan Pelaksanaan Literasi di Sekolah (Jakarta: Kemdikbud, 2016), 9.

[4]                B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), 75–77.

[5]                Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Buku Saku Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kemdikbud, 2012), 18.

[6]                Badan Bahasa, Panduan Pojok Baca Sekolah (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018), 5–7.

[7]                Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi (Jakarta: Kencana, 2013), 115–117.

[8]                Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pedoman Sekolah Ramah Anak (Jakarta: KPPPA, 2017), 14–16.

[9]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 31.


5.           Peran Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Kegiatan Pembiasaan

Implementasi kegiatan pembiasaan positif dalam satuan pendidikan tidak dapat berjalan efektif tanpa peran sentral guru dan tenaga kependidikan. Dalam sistem pendidikan berbasis karakter seperti yang dianut oleh Kurikulum 2013, keberhasilan pembiasaan sangat bergantung pada kehadiran sosok pendidik yang mampu menjadi role model, fasilitator, sekaligus pengelola budaya positif di lingkungan sekolah.¹

5.1.       Guru sebagai Teladan Nilai dan Perilaku Positif

Guru memiliki kedudukan strategis dalam membentuk karakter peserta didik karena keberadaannya yang konsisten dan dekat dalam keseharian siswa. Albert Bandura, dalam teorinya tentang social learning, menekankan bahwa peserta didik banyak belajar melalui proses observasi dan imitasi terhadap figur-figur signifikan di sekitarnya, termasuk guru.² Dalam konteks ini, guru bukan hanya penyampai materi, tetapi menjadi teladan hidup bagi nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, kejujuran, empati, dan sopan santun.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti menegaskan bahwa keteladanan guru merupakan salah satu metode paling efektif dalam menanamkan nilai-nilai karakter.³ Oleh karena itu, dalam kegiatan pembiasaan seperti memberi salam, hadir tepat waktu, menjaga kebersihan, dan berinteraksi dengan tutur kata yang baik, guru harus menjadi pelaku utama agar siswa dapat meniru dengan tulus dan alami.

5.2.       Guru sebagai Fasilitator dan Penggerak Budaya Sekolah

Selain sebagai teladan, guru berperan sebagai fasilitator dalam merancang dan mengelola kegiatan pembiasaan secara sistemik. Perencanaan kegiatan pembiasaan perlu dimasukkan dalam agenda pembelajaran dan budaya sekolah, baik dalam bentuk kegiatan harian seperti literasi pagi dan doa bersama, maupun kegiatan mingguan seperti kerja bakti dan shalat berjamaah.⁴ Dalam hal ini, guru berperan sebagai pengatur waktu, pemantau keterlaksanaan, dan penghubung antara kegiatan pembiasaan dengan pembelajaran di kelas.

Guru juga bertanggung jawab dalam melakukan refleksi dan evaluasi bersama peserta didik terhadap makna dari setiap kegiatan yang dilakukan. Proses ini penting agar pembiasaan tidak sekadar menjadi rutinitas mekanis, tetapi membentuk kesadaran nilai yang melekat dalam diri siswa.⁵ Hal ini sejalan dengan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran karakter, yang mengedepankan partisipasi aktif siswa dalam membangun pemahaman dan internalisasi nilai.

5.3.       Tenaga Kependidikan sebagai Pendukung Ekosistem Pembiasaan

Tenaga kependidikan, termasuk kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, petugas kebersihan, dan staf administrasi, juga memiliki kontribusi penting dalam mendukung keberlangsungan kegiatan pembiasaan. Kepala sekolah, misalnya, bertindak sebagai manajer budaya sekolah yang menetapkan arah kebijakan, menyiapkan sarana pendukung, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pembentukan karakter.⁶

Kepala sekolah dapat menginisiasi program-program pembiasaan seperti gerakan "5S" (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun), pojok literasi, atau sistem penghargaan karakter mingguan. Keterlibatan aktif kepala sekolah dalam kegiatan sehari-hari, seperti menyambut siswa di gerbang sekolah atau turun langsung saat kerja bakti, memberikan pengaruh positif terhadap semangat guru dan peserta didik.⁷

Sementara itu, tenaga kependidikan lain juga memiliki peran edukatif secara tidak langsung. Misalnya, petugas kebersihan yang konsisten menjaga lingkungan sekolah turut mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan melalui contoh nyata. Bahkan, staf tata usaha yang melayani siswa dengan ramah dapat menguatkan nilai pelayanan dan penghargaan terhadap sesama. Semua komponen ini berkontribusi menciptakan ekosistem pembiasaan positif di sekolah.

5.4.       Kolaborasi dan Konsistensi Antar Pihak

Kegiatan pembiasaan hanya akan berhasil jika seluruh komponen sekolah bekerja secara kolaboratif dan konsisten. Berdasarkan Panduan Penguatan Pendidikan Karakter dari Kemendikbud, pembentukan karakter melalui pembiasaan harus berbasis ekosistem yang melibatkan guru, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.⁸ Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk membangun komunikasi yang baik antar pemangku kepentingan, menyusun sistem pembiasaan yang terstruktur, serta melakukan evaluasi berkala untuk menjamin keberlanjutan program.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran IV.

[2]                Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1977), 22–24.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Pasal 2.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 12–14.

[5]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 45–47.

[6]                Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Panduan Manajemen Berbasis Sekolah dalam Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2018), 9–10.

[7]                Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi (Jakarta: Kencana, 2013), 117–119.

[8]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 6.


6.           Strategi Implementasi Efektif Kegiatan Pembiasaan

Agar kegiatan pembiasaan positif dalam satuan pendidikan dapat memberikan dampak optimal terhadap pembentukan karakter peserta didik, diperlukan strategi implementasi yang sistematis, kontekstual, dan berkelanjutan. Kurikulum 2013 menggarisbawahi bahwa pembentukan sikap spiritual dan sosial tidak dapat dicapai hanya melalui pembelajaran formal, tetapi harus dilengkapi dengan pembiasaan yang dirancang secara menyeluruh dan dikelola melalui budaya sekolah yang hidup.¹ Oleh karena itu, strategi implementasi kegiatan pembiasaan harus melibatkan berbagai aspek manajerial, pedagogis, dan sosial.

6.1.       Integrasi dalam Budaya Sekolah

Strategi pertama adalah menjadikan kegiatan pembiasaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya sekolah (school culture). Budaya sekolah yang kuat terhadap nilai-nilai karakter akan membentuk lingkungan yang secara otomatis mendorong peserta didik untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.²

Integrasi pembiasaan ke dalam budaya sekolah dapat dilakukan melalui:

·                     Penanaman nilai-nilai inti sekolah yang dipahami dan dihidupi oleh seluruh warga sekolah (misalnya: integritas, tanggung jawab, gotong royong).

·                     Adanya aturan, simbol, dan rutinitas yang mencerminkan nilai-nilai positif, seperti slogan motivasi, salam-sapa, pemajangan karya siswa, dan zona literasi.

·                     Kepemimpinan transformatif dari kepala sekolah yang menghidupkan budaya karakter melalui kebijakan dan keteladanan.³

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Panduan Penguatan Pendidikan Karakter menekankan pentingnya pembiasaan sebagai bagian dari budaya sekolah yang ditumbuhkan melalui keteladanan, pembiasaan rutin, dan rekognisi.⁴

6.2.       Penyusunan Jadwal dan SOP Kegiatan Pembiasaan

Agar kegiatan pembiasaan berjalan terstruktur dan tidak bergantung pada inisiatif individual semata, sekolah perlu menyusun jadwal rutin dan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas. Jadwal pembiasaan sebaiknya disusun harian, mingguan, dan bulanan, serta dimasukkan ke dalam kalender akademik sekolah.

SOP pembiasaan harus memuat:

·                     Jenis kegiatan (misalnya: literasi pagi, shalat Dhuha, Jumat bersih).

·                     Penanggung jawab dan pelaksana kegiatan (guru, wali kelas, siswa).

·                     Waktu dan frekuensi pelaksanaan.

·                     Mekanisme evaluasi dan tindak lanjut.⁵

Dengan adanya SOP, maka kegiatan pembiasaan tidak akan menjadi sekadar wacana atau program insidental, tetapi melekat dalam sistem manajemen sekolah.

6.3.       Pelibatan Aktif Seluruh Warga Sekolah

Strategi efektif lainnya adalah pelibatan aktif seluruh warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa, hingga orang tua. Kolaborasi ini penting karena karakter peserta didik dibentuk dalam lingkungan sosial yang luas dan interaktif.

·                     Guru menjadi fasilitator dan pembimbing utama dalam pembiasaan di kelas.

·                     Wali kelas memantau konsistensi perilaku harian dan memberi penguatan.

·                     OSIS dan kelompok siswa bisa dilibatkan sebagai pelopor gerakan karakter seperti "Sahabat Kebersihan" atau "Duta Literasi".

·                     Orang tua diajak menyinergikan nilai-nilai pembiasaan di rumah, misalnya melalui buku penghubung karakter.⁶

Partisipasi aktif ini juga dikuatkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang mendorong keterlibatan warga sekolah dalam penumbuhan budi pekerti melalui kegiatan rutin, spontan, keteladanan, dan terprogram.⁷

6.4.       Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan Berkelanjutan

Kegiatan pembiasaan harus disertai monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan agar tidak stagnan atau kehilangan makna. Evaluasi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan melibatkan observasi, jurnal sikap, laporan wali kelas, maupun umpan balik dari siswa.

Beberapa langkah evaluasi yang dapat diterapkan:

·                     Pengamatan langsung oleh guru terhadap keterlibatan siswa dalam kegiatan pembiasaan.

·                     Pencatatan perilaku siswa dalam buku pengembangan diri atau portofolio karakter.

·                     Refleksi dan diskusi kelas sebagai ruang evaluasi partisipatif.

·                     Pemberian penghargaan terhadap siswa yang menunjukkan perkembangan karakter signifikan, untuk memperkuat perilaku positif melalui motivasi intrinsik dan ekstrinsik.⁸

Hasil evaluasi harus digunakan untuk memperbaiki strategi pelaksanaan dan memperkuat konsistensi kegiatan pembiasaan.

6.5.       Adaptasi Kontekstual dan Inovasi

Setiap sekolah memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda. Oleh karena itu, implementasi kegiatan pembiasaan perlu bersifat adaptif terhadap konteks sosial, budaya, dan geografis satuan pendidikan.

·                     Sekolah di daerah pesisir bisa menanamkan pembiasaan kebersihan pantai.

·                     Sekolah berbasis pesantren bisa memperkuat pembiasaan ibadah berjamaah dan tadarus.

·                     Sekolah urban bisa mengembangkan pembiasaan literasi digital sehat dan toleransi sosial.⁹

Inovasi seperti penggunaan media digital, program mentoring sebaya, dan integrasi pembiasaan dalam proyek profil pelajar Pancasila juga dapat memperkaya bentuk dan metode kegiatan pembiasaan yang relevan dengan zaman.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran IV.

[2]                Suyanto, Menjadi Sekolah Berkarakter (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 49–52.

[3]                Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi (Jakarta: Kencana, 2013), 119.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 6–8.

[5]                Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Panduan Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah dalam Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2018), 14.

[6]                H.A.R. Tilaar, Membangun Pendidikan Karakter (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 122.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Pasal 2–4.

[8]                Thomas Lickona, Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues (New York: Touchstone, 2004), 87–89.

[9]                Trilling, Bernie dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 67–70.


7.           Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan Kegiatan Pembiasaan

Pelaksanaan kegiatan pembiasaan positif dalam kerangka Kurikulum 2013 sering kali menghadapi berbagai tantangan yang bersifat struktural, kultural, maupun pedagogis. Meskipun pembiasaan telah diakui secara normatif sebagai bagian penting dari pendidikan karakter, praktiknya di lapangan masih belum merata dan konsisten. Menghadapi tantangan-tantangan ini, diperlukan solusi yang kontekstual, partisipatif, dan berbasis regulasi agar kegiatan pembiasaan tidak berhenti pada tataran formalitas.

7.1.       Tantangan dalam Pelaksanaan Kegiatan Pembiasaan

7.1.1.    Kurangnya Pemahaman dan Komitmen Pendidik

Salah satu tantangan utama adalah masih terbatasnya pemahaman sebagian guru dan tenaga kependidikan terhadap urgensi dan filosofi kegiatan pembiasaan. Banyak yang masih menganggap pembiasaan sebagai kegiatan pelengkap yang tidak terintegrasi dengan proses pembelajaran.¹ Hal ini berdampak pada rendahnya komitmen dan konsistensi dalam pelaksanaannya.

7.1.2.    Kultur Sekolah yang Tidak Mendukung

Budaya sekolah yang belum terbentuk secara positif menjadi hambatan besar dalam pembiasaan. Sekolah yang tidak memiliki iklim disiplin, kepedulian, dan keteladanan akan sulit membentuk karakter melalui pembiasaan.² Kurangnya keteladanan dari guru dan kepala sekolah, serta perilaku negatif yang dibiarkan tanpa tindak lanjut, dapat melemahkan efektivitas kegiatan pembiasaan.

7.1.3.    Keterbatasan Sarana dan Prasarana

Beberapa kegiatan pembiasaan memerlukan fasilitas pendukung seperti ruang literasi, tempat ibadah, tempat sampah yang memadai, atau media visual edukatif. Sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas cenderung mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan kegiatan pembiasaan secara optimal.³

7.1.4.    Minimnya Pelibatan Orang Tua dan Komunitas

Kegiatan pembiasaan hanya akan berdampak jangka panjang jika didukung oleh lingkungan di luar sekolah, terutama keluarga. Namun, keterlibatan orang tua sering kali minim, baik karena kesibukan, kurangnya komunikasi, maupun tidak adanya program yang melibatkan mereka secara aktif.⁴

7.1.5.    Belum Adanya Sistem Evaluasi yang Terstruktur

Kegiatan pembiasaan sering tidak dilengkapi dengan sistem evaluasi yang objektif dan berkelanjutan. Akibatnya, tidak ada mekanisme umpan balik atau tindak lanjut terhadap keberhasilan maupun kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaannya.⁵

7.2.       Solusi Strategis terhadap Tantangan yang Ada

7.2.1.    Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran Guru

Solusi awal yang perlu dilakukan adalah memberikan pelatihan dan pendampingan kepada guru dan tenaga kependidikan agar memahami pentingnya pembiasaan dalam pendidikan karakter. Program in-house training, workshop, atau komunitas praktik baik (CoP) dapat menjadi media peningkatan kapasitas pendidik dalam merancang dan melaksanakan pembiasaan secara bermakna.⁶

7.2.2.    Penguatan Kepemimpinan dan Budaya Sekolah

Kepala sekolah harus berperan sebagai pemimpin transformatif yang membangun visi karakter dalam seluruh aspek kehidupan sekolah. Ini dapat dilakukan melalui penyusunan kebijakan berbasis nilai, pembentukan tim penggerak karakter, dan penerapan sistem penghargaan yang adil dan konsisten.⁷ Budaya sekolah yang kuat akan menjadi fondasi utama bagi pembiasaan yang efektif.

7.2.3.    Pemanfaatan Sumber Daya Sekolah secara Kreatif

Sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dengan cara kreatif dan efisien. Misalnya, ruang kelas bisa disulap menjadi pojok literasi, halaman sekolah menjadi taman karakter, dan siswa dilibatkan dalam membuat poster atau video kampanye karakter yang memperkuat pesan pembiasaan.⁸

7.2.4.    Sinergi Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat

Pelibatan orang tua harus menjadi bagian dari strategi implementasi pembiasaan. Sekolah dapat menjalin komunikasi intensif dengan orang tua melalui program parenting, jurnal penghubung karakter, atau kolaborasi dalam kegiatan sosial. Pendekatan komunitas seperti school-community partnership menjadi relevan dalam konteks ini.⁹

7.2.5.    Penerapan Sistem Evaluasi dan Refleksi Terbuka

Sekolah perlu membangun sistem evaluasi berbasis data, baik melalui observasi, jurnal sikap, maupun umpan balik siswa dan orang tua. Evaluasi ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mendorong refleksi pedagogis bagi guru dan peserta didik agar kegiatan pembiasaan menjadi lebih reflektif dan berdampak.¹⁰


Footnotes

[1]                Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi (Jakarta: Kencana, 2013), 114.

[2]                H.A.R. Tilaar, Membangun Pendidikan Karakter (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 123–125.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 13.

[4]                Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Manajemen Berbasis Sekolah untuk Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2018), 25.

[5]                Suyanto, Menjadi Sekolah Berkarakter (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 60–61.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Modul Pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter Bagi Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta: Kemdikbud, 2018), 27.

[7]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 105.

[8]                Trilling, Bernie, dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 45.

[9]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Pasal 5.

[10]             Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1977), 43–44.


8.           Studi Kasus dan Praktik Baik

Pelaksanaan kegiatan pembiasaan positif dalam Kurikulum 2013 telah melahirkan berbagai praktik baik di satuan pendidikan di seluruh Indonesia. Studi kasus ini penting disajikan sebagai bentuk konkret implementasi nilai-nilai karakter melalui kebiasaan yang ditanamkan secara konsisten di sekolah. Praktik-praktik ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan pendekatan non-kognitif dalam pendidikan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi sekolah lain dalam membangun budaya positif yang berkelanjutan.

8.1.       Studi Kasus: SMP Negeri 2 Sleman – Sekolah Ramah Karakter

SMP Negeri 2 Sleman, Yogyakarta, merupakan salah satu sekolah rujukan nasional dalam penguatan pendidikan karakter berbasis pembiasaan positif. Sekolah ini mengintegrasikan berbagai kegiatan pembiasaan ke dalam budaya sekolah, seperti:

·                     Sapa Pagi di gerbang sekolah oleh guru dan kepala sekolah.

·                     Program Literasi Pagi selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai.

·                     Gerakan “Tiada Hari Tanpa Salam” sebagai bentuk penumbuhan budi pekerti.

·                     Jumat Bersih dan Jumat Berbagi secara bergilir oleh kelas-kelas.¹

Sekolah ini menerapkan prinsip whole school approach, di mana semua warga sekolah terlibat secara aktif dalam mendukung kegiatan pembiasaan, mulai dari guru, siswa, orang tua, hingga petugas keamanan. Kepala sekolah memposisikan dirinya sebagai teladan utama, hadir lebih pagi, menyapa siswa, dan terlibat langsung dalam kegiatan harian.

Data internal sekolah menunjukkan bahwa terjadi penurunan signifikan dalam perilaku indisipliner, serta meningkatnya partisipasi siswa dalam kegiatan sosial dan kesiswaan.² Hal ini menunjukkan keberhasilan kegiatan pembiasaan dalam membentuk karakter tanggung jawab, empati, dan disiplin secara nyata.

8.2.       Studi Kasus: SD Islam Al-Azhar 25 Semarang – Pembiasaan Religius dan Toleransi

Di lingkungan pendidikan dasar, SD Islam Al-Azhar 25 Semarang menjadi contoh praktik baik pembiasaan karakter religius dan toleransi. Beberapa program unggulan sekolah ini antara lain:

·                     Pembiasaan shalat Dhuha berjamaah setiap pagi.

·                     Kegiatan “Satu Hari Tanpa Suara” untuk melatih empati terhadap siswa tunarungu.

·                     Program “Sedekah Pagi” yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah, disalurkan kepada warga sekitar yang membutuhkan.

·                     Peringatan hari besar agama yang inklusif, dengan pelibatan siswa lintas keyakinan dalam kegiatan sosial.³

Praktik ini menunjukkan bahwa kegiatan pembiasaan tidak selalu bersifat seremonial, melainkan menjadi alat untuk membangun kepekaan sosial dan kesadaran moral dalam konteks pluralitas. Hasil evaluasi dari wali kelas menunjukkan bahwa siswa lebih peka terhadap perbedaan, lebih aktif dalam kegiatan ibadah, serta lebih bertanggung jawab terhadap tugas pribadi dan sosial mereka.⁴

8.3.       Studi Kasus: MA Negeri 1 Pekalongan – Integrasi Pembiasaan dan Kurikulum Merdeka

Dalam jenjang pendidikan menengah, MAN 1 Pekalongan menerapkan integrasi pembiasaan karakter dalam kurikulum dan kegiatan intrakurikuler maupun kokurikuler. Sekolah ini mengembangkan program “7 Kebiasaan Harian Santri”, antara lain:

1)                  Salat berjamaah tepat waktu.

2)                  Membaca Al-Qur’an setiap pagi.

3)                  Menulis refleksi harian (jurnal karakter).

4)                  Mengucapkan salam saat bertemu siapa pun.

5)                  Menghindari ghibah dan berkata kotor.

6)                  Berinisiatif membersihkan lingkungan.

7)                  Memberi bantuan kepada teman yang kesulitan.⁵

Program ini dikembangkan berdasarkan profil pelajar Pancasila dan nilai-nilai keislaman. Guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses evaluasi melalui rapat mingguan dan kegiatan mentoring.

Evaluasi program menunjukkan bahwa pembiasaan harian yang dikaitkan dengan nilai agama dan keterlibatan guru secara langsung memberikan dampak kuat dalam membentuk karakter mandiri dan religius. Bahkan, sekolah ini telah dijadikan lokasi kunjungan studi banding oleh sekolah-sekolah lain yang ingin mengembangkan program sejenis.⁶

8.4.       Prinsip Umum dari Praktik Baik

Dari ketiga studi kasus di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip kunci dari praktik baik kegiatan pembiasaan:

1)                  Keteladanan sebagai syarat utama: Guru dan kepala sekolah menjadi model utama perilaku.

2)                  Konsistensi dan keberlanjutan: Pembiasaan dilakukan rutin, tidak insidental.

3)                  Pelibatan seluruh warga sekolah: Pembiasaan menjadi gerakan kolektif, bukan individu.

4)                  Evaluasi dan refleksi berkala: Ada monitoring, dokumentasi, dan umpan balik.

5)                  Kontekstual dan relevan: Pembiasaan dirancang sesuai kebutuhan dan kultur sekolah.

6)                  Integrasi nilai agama dan budaya lokal: Nilai-nilai karakter diperkuat dengan identitas lokal.⁷


Footnotes

[1]                Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Laporan Kegiatan Pembiasaan Positif SMPN 2 Sleman Tahun 2022, 5.

[2]                Wawancara Kepala SMPN 2 Sleman dengan Tim Evaluator PK-Karakter, September 2022.

[3]                Yayasan Al-Azhar Indonesia, Dokumentasi Program Pendidikan Karakter SD Islam Al-Azhar 25 Semarang, 2021.

[4]                Laporan Monitoring dan Evaluasi SD Islam Al-Azhar 25, Semester Genap 2022.

[5]                MAN 1 Pekalongan, Panduan 7 Kebiasaan Harian Santri dan Evaluasi Program Karakter, Edisi 2023.

[6]                Dokumentasi Studi Banding oleh Kemenag Kabupaten Batang ke MAN 1 Pekalongan, Mei 2024.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 8–10.


9.           Penutup

Kegiatan pembiasaan positif dalam konteks Kurikulum 2013 menempati posisi yang sangat strategis sebagai pilar non-kognitif dalam membentuk karakter peserta didik yang utuh dan berintegritas. Pembiasaan bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan merupakan bagian dari proses pendidikan nilai yang sistematis, terukur, dan berkelanjutan. Dalam kerangka Kurikulum 2013, pembentukan sikap spiritual dan sosial sebagaimana tertuang dalam Kompetensi Inti 1 dan 2¹ hanya dapat diwujudkan secara efektif melalui kegiatan pembiasaan yang dirancang secara terpadu, terintegrasi dengan budaya sekolah, dan dilaksanakan secara konsisten.

Sebagaimana ditegaskan dalam Panduan Penguatan Pendidikan Karakter oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karakter peserta didik tidak terbentuk hanya oleh materi pelajaran, tetapi melalui interaksi sosial dan budaya sekolah yang sarat nilai.² Oleh karena itu, kegiatan pembiasaan yang dilaksanakan setiap hari—seperti memberi salam, membaca literasi pagi, menjaga kebersihan, serta shalat berjamaah—merupakan wahana konkret untuk menanamkan nilai-nilai religiusitas, nasionalisme, kemandirian, integritas, dan gotong royong.³

Namun, keberhasilan kegiatan pembiasaan tidak terjadi secara otomatis. Ia sangat ditentukan oleh peran guru sebagai teladan utama, fasilitator, dan penggerak nilai. Begitu pula kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya, yang harus menciptakan ekosistem sekolah yang mendukung pembentukan karakter secara holistik.⁴ Strategi pelaksanaan yang melibatkan penyusunan SOP, pelibatan orang tua, serta evaluasi yang berkelanjutan menjadi faktor penentu keberhasilan program ini dalam jangka panjang.

Meski banyak tantangan yang dihadapi—seperti keterbatasan sumber daya, rendahnya pemahaman sebagian pendidik, hingga minimnya keterlibatan orang tua—berbagai praktik baik di sejumlah sekolah menunjukkan bahwa kegiatan pembiasaan yang dikelola secara efektif dapat memberikan dampak signifikan terhadap perilaku, sikap, dan jiwa kepemimpinan siswa.⁵ Dengan kata lain, kegiatan pembiasaan adalah jantung dari pendidikan karakter yang hidup, bukan sekadar pelengkap administratif.

Untuk itu, diperlukan komitmen kolektif dari seluruh komponen sekolah agar kegiatan pembiasaan benar-benar menjadi gerakan budaya yang berakar dan berdampak. Sejalan dengan visi Kurikulum 2013 yang menempatkan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi), pembiasaan positif menjadi jalan yang paling nyata dalam menjadikan peserta didik sebagai pribadi yang berakhlak, berpikir reflektif, dan bertindak konstruktif dalam masyarakat.⁶


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran II.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Panduan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemdikbud, 2017), 5.

[3]                Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Buku Saku Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta: Kemdikbud, 2012), 8–10.

[4]                Wina Sanjaya, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi (Jakarta: Kencana, 2013), 117–119.

[5]                Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Laporan Kegiatan Pembiasaan Positif SMPN 2 Sleman Tahun 2022, 5.

[6]                Tilaar, H.A.R., Membangun Pendidikan Karakter (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 41.


Daftar Pustaka

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice-Hall.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. (2012). Buku saku budaya dan karakter bangsa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. (2018). Panduan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dalam penguatan pendidikan karakter. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman. (2022). Laporan kegiatan pembiasaan positif SMPN 2 Sleman tahun 2022.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang implementasi Kurikulum 2013.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Gerakan Literasi Nasional: Panduan pelaksanaan literasi di sekolah. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2017). Panduan penguatan pendidikan karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2018). Modul pelatihan penguatan pendidikan karakter bagi guru dan kepala sekolah. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2017). Pedoman sekolah ramah anak. Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak.

MAN 1 Pekalongan. (2023). Panduan 7 kebiasaan harian santri dan evaluasi program karakter. Pekalongan: Sekolah.

Sanjaya, W. (2013). Pendidikan karakter: Konsep dan implementasi. Kencana.

Suyanto. (2013). Menjadi sekolah berkarakter. Pustaka Pelajar.

Tilaar, H. A. R. (2010). Membangun pendidikan karakter. Rineka Cipta.

Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our times. Jossey-Bass.

Yayasan Al-Azhar Indonesia. (2021). Dokumentasi program pendidikan karakter SD Islam Al-Azhar 25 Semarang.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar