Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)
Menempatkan Cinta sebagai Ruh
Pendidikan
Alihkan ke: Kurikulum
Masa Depan.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai
pendekatan alternatif dalam dunia pendidikan yang menempatkan cinta sebagai
inti (ruh) dari proses pembelajaran. Dalam konteks krisis kemanusiaan dan
degradasi nilai di era modern, pendidikan dituntut untuk tidak hanya
mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga menumbuhkan kepekaan emosional,
spiritual, dan sosial. KBC dibangun atas landasan filosofis dan humanistik,
serta menginternalisasi empat dimensi cinta: cinta kepada Tuhan (ḥablun minallāh),
cinta kepada sesama manusia (ḥablun minannās), cinta kepada lingkungan (ḥablun
bil-bi’ah), dan cinta kepada bangsa (ḥubb al-waṭan). Artikel
ini menguraikan dasar konseptual KBC, implementasi praktisnya dalam lingkungan
pendidikan, tantangan yang dihadapi, serta relevansinya dalam menghadapi
dinamika era kontemporer. Dengan mengacu pada pemikiran tokoh-tokoh pendidikan
seperti Paulo Freire, Nel Noddings, dan bell hooks, artikel ini menegaskan
bahwa cinta bukan hanya nilai moral, melainkan fondasi etis yang transformatif
bagi kurikulum yang memanusiakan manusia.
Kata Kunci: Kurikulum
Berbasis Cinta, pendidikan humanistik, cinta dalam pembelajaran, nilai
spiritual, reformasi kurikulum, dimensi cinta, karakter peserta didik.
PEMBAHASAN
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)
1.
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir,
pendidikan formal menghadapi tantangan serius berupa meningkatnya dehumanisasi
proses pembelajaran, di mana relasi antara guru dan peserta didik kian
kering secara emosional dan minim sentuhan nilai-nilai kasih sayang. Sekolah,
yang seharusnya menjadi taman yang menumbuhkan kehidupan, justru seringkali
berubah menjadi ruang kompetitif yang penuh tekanan, diukur semata-mata oleh
standar kognitif dan hasil ujian. Fenomena ini telah banyak dikritisi oleh para
pemikir pendidikan. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Heart, menyebut
bahwa pendidikan yang tercerabut dari cinta akan berujung pada penindasan,
karena memposisikan siswa hanya sebagai objek dari sistem yang tidak peduli
terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.¹
Kecenderungan sistem pendidikan modern yang cenderung teknokratis dan
berorientasi pada output semata telah menimbulkan berbagai krisis, baik secara
psikologis, sosial, maupun spiritual. Anak-anak belajar dengan rasa takut, guru
mengajar dalam tekanan administratif, dan kurikulum dikembangkan berdasarkan
efisiensi, bukan pada makna.² Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak
untuk merumuskan kembali orientasi dasar pendidikan: bukan hanya untuk mencetak
manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga yang utuh secara emosional,
spiritual, dan sosial.
Dalam konteks ini, gagasan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)
menjadi sangat relevan untuk diangkat sebagai pendekatan alternatif yang
memanusiakan kembali pendidikan. KBC menempatkan cinta sebagai ruh
utama dalam seluruh proses pendidikan—bukan sekadar sebagai nilai tambahan,
tetapi sebagai inti dari setiap interaksi, isi, dan tujuan pembelajaran. Konsep
cinta yang dimaksud bukanlah sentimentalitas sempit, melainkan kekuatan
transformatif yang menggerakkan relasi manusia dengan Tuhan, sesama, alam
semesta, dan bangsanya.
Lebih jauh, KBC menegaskan bahwa cinta harus menjadi dasar dalam setiap
proses belajar, karena hanya cinta yang mampu menggerakkan hati untuk memahami
dengan makna, bukan sekadar menghafal; untuk membangun dengan kesadaran, bukan
sekadar menyelesaikan tugas. Sejalan dengan pandangan Martin Buber,
bahwa pendidikan sejati lahir dari perjumpaan antarmanusia dalam kejujuran dan
cinta—“All real living is meeting.”³
Dalam pandangan Islam, cinta
(al-mahabbah) juga merupakan prinsip dasar dalam pendidikan. Cinta kepada Allah
menjadi fondasi pertama, diikuti cinta kepada sesama manusia (hablum
minannas), cinta kepada alam sekitar (hablum bil bi’ah), dan cinta
kepada bangsa dan tanah air (hubbul wathan).⁴ Keempat dimensi cinta
inilah yang membentuk kerangka dasar Kurikulum Berbasis Cinta, menjadikannya
sebagai jalan menuju pendidikan yang lebih bermakna, utuh, dan berorientasi
pada nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah.
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai
cinta secara sistematis dan struktural ke dalam kurikulum, diharapkan
pendidikan tidak hanya melahirkan manusia pintar, tetapi juga manusia yang
penuh kasih, tangguh secara spiritual, peduli terhadap sesama, dan memiliki
komitmen untuk merawat bumi serta bangsanya. Maka, sudah saatnya kita menggeser
paradigma pendidikan dari yang mekanistik menjadi humanistik, dari yang
berorientasi hasil ke orientasi makna—sebagaimana digagas dalam Kurikulum
Berbasis Cinta (KBC).
Catatan Kaki
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Heart, trans.
Donaldo Macedo and Alexandre Oliveira (New York: Bloomsbury Academic, 1997),
3–5.
[2]
Neil Postman, The End of Education: Redefining the
Value of School (New York: Vintage Books, 1996), 43–49.
[3]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor
Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 11.
[4]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung:
Mizan, 1999), 232–235.
2.
Landasan Konseptual
dan Filosofis KBC
Konsep Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) tidak muncul dalam ruang hampa.
Ia berakar pada landasan filosofis, teologis, dan psikopedagogis yang telah
lama dikembangkan oleh para pemikir dan praktisi pendidikan lintas tradisi. KBC
berpijak pada keyakinan bahwa cinta adalah kekuatan transformatif yang
mampu menggerakkan manusia untuk bertumbuh secara utuh, baik secara
intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual. Oleh karena itu, pendidikan
yang sejati tidak bisa dilepaskan dari ruh cinta.
2.1. Cinta
dalam Filsafat Pendidikan Humanistik
Dalam perspektif filsafat pendidikan humanistik, cinta menjadi unsur
esensial dalam proses pembelajaran. Paulo Freire, seorang tokoh utama
dalam pedagogi kritis, menegaskan bahwa cinta adalah dasar dari pendidikan
pembebasan. Menurutnya, pendidikan yang memanusiakan harus dilandasi oleh “an
armed love”—cinta yang sadar, kritis, dan aktif, bukan cinta pasif atau
romantik.⁽¹⁾ Cinta dalam pendidikan tidak hanya menyentuh afeksi, tetapi juga
menyangkut keberanian untuk melawan sistem penindasan dan mengupayakan keadilan
melalui proses belajar yang dialogis dan membebaskan.
Senada dengan itu, bell hooks,
dalam karya monumentalnya Teaching to Transgress, menekankan pentingnya pedagogi
cinta (pedagogy of love) yang menyatukan kekritisan intelektual
dengan kehangatan emosional dan spiritual. Ia mengkritik sistem pendidikan yang
mengasingkan siswa dari gurunya dan mengaburkan dimensi afektif dalam
pembelajaran.⁽²⁾ Dalam pendekatannya, guru tidak cukup hanya menjadi penyampai
pengetahuan, tetapi harus menjadi pemelihara jiwa dan relasi.
Di Indonesia, Ki Hajar Dewantara,
Bapak Pendidikan Nasional, jauh sebelumnya telah menekankan bahwa pendidikan
adalah proses menuntun tumbuhnya jiwa anak dengan kasih sayang. Dalam
semboyannya yang terkenal—“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani”—terkandung makna cinta dalam setiap posisi pendidik:
menjadi teladan, pemberi semangat, dan pemberi dorongan secara halus dan penuh
kasih.⁽³⁾
2.2.
Cinta dalam
Perspektif Islam
Dalam khazanah Islam, cinta memiliki
kedudukan yang sangat tinggi sebagai dasar hubungan vertikal dan horizontal. Cinta
kepada Allah (mahabbatullah) adalah fondasi utama yang menghidupkan ruh
ibadah dan motivasi belajar. Al-Qur'an menyebut bahwa Allah mencintai
orang-orang yang bertakwa, sabar, dan berbuat baik (QS. Ali Imran [3] ayat
134-148), dan mencintai ilmu sebagai jalan menuju kedekatan dengan-Nya.⁽⁴⁾
Selain itu, hubungan antarmanusia (hablum minannas) juga
diwarnai oleh prinsip cinta dan kasih sayang. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri.”⁽⁵⁾ Cinta dalam Islam bukanlah konsep abstrak, tetapi
harus terwujud dalam empati, solidaritas, keadilan, dan kepedulian sosial.
Cinta juga mencakup hubungan manusia
dengan alam (hablum bil bi’ah), sebagaimana tercermin dalam berbagai
ayat yang menyuruh manusia menjaga bumi sebagai amanah. Cinta kepada lingkungan
mengarahkan peserta didik pada tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari
ibadah kepada Sang Pencipta.⁽⁶⁾
Adapun cinta kepada bangsa (hubbul
wathan) telah lama diakui sebagai bagian dari iman dalam tradisi Islam
Nusantara. Pendidikan yang berbasis cinta kepada tanah air mengajarkan
nilai-nilai kebangsaan yang tidak kering dari spiritualitas, tetapi justru
menjadi sarana mencintai karunia Tuhan berupa tanah tumpah darah.
2.3.
Perspektif Psikologi
Pendidikan
Dalam ranah psikologi pendidikan, pentingnya cinta dan afeksi juga
ditegaskan oleh teori-teori perkembangan. Abraham Maslow dalam hierarki
kebutuhannya menempatkan kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki sebagai
kebutuhan dasar manusia setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan. Tanpa cinta
dan penerimaan, peserta didik akan kesulitan untuk mencapai aktualisasi
diri.⁽⁷⁾
Demikian pula, Carl Rogers, pelopor pendekatan humanistik dalam
psikoterapi dan pendidikan, menekankan perlunya unconditional positive
regard (penerimaan positif tanpa syarat) dalam membangun relasi edukatif
yang sehat. Menurutnya, hubungan guru-siswa yang berlandaskan cinta dan empati
adalah kunci dari pembelajaran yang bermakna dan autentik.⁽⁸⁾
Dengan demikian, Kurikulum Berbasis
Cinta (KBC) bukanlah gagasan utopis, tetapi memiliki legitimasi kuat dari
berbagai perspektif keilmuan dan spiritual. KBC memadukan kedalaman nilai-nilai
ilahiyah, kearifan lokal, dan pendekatan saintifik modern dalam satu gerakan
pendidikan yang bertumpu pada kekuatan cinta sebagai ruh dan arah transformasi.
Catatan Kaki
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Heart, trans.
Donaldo Macedo and Alexandre Oliveira (New York: Bloomsbury Academic, 1997),
29–30.
[2]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as
the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 194–198.
[3]
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan (Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1962), 15.
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 296–298.
[5]
Imam al-Nawawi, Riyadh al-Shalihin, Hadits no.
183; lihat juga: Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-Iman.
[6]
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, jilid 3,
tafsir QS. Al-A'raf [7]:31–33, tentang perintah menjaga
keseimbangan dan tidak berbuat kerusakan di bumi.
[7]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality,
3rd ed. (New York: Harper and Row, 1987), 20–21.
[8]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH:
Charles E. Merrill Publishing Company, 1969), 106–108.
3.
Apa Itu Kurikulum
Berbasis Cinta (KBC)?
3.1.
Definisi Konseptual
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)
adalah sebuah paradigma pendidikan yang menempatkan cinta sebagai fondasi,
arah, dan ruh utama dari seluruh proses pembelajaran. Cinta dalam konteks
ini bukanlah emosi pasif atau sekadar afeksi, melainkan kekuatan aktif yang
mendorong pembelajaran bermakna, relasi edukatif yang tulus, dan proses
pendidikan yang memanusiakan semua pihak. KBC bertolak dari keyakinan bahwa
pendidikan sejati bukan hanya transmisi ilmu, melainkan transformasi manusia
melalui relasi yang penuh cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab
spiritual-sosial.
Cinta dalam KBC bukanlah semata
perasaan, tetapi merupakan etos dan praksis. bell hooks menyebut cinta dalam
pendidikan sebagai tindakan revolusioner—suatu "commitment to the
well-being, growth, and spiritual fulfillment of others."¹ Dalam
kerangka ini, KBC hadir bukan sebagai tambahan nilai afektif, melainkan sebagai
kerangka ontologis dan aksiologis yang mewarnai setiap aspek kurikulum: dari
tujuan, isi, metode, sampai evaluasi.
3.2.
Tujuan KBC
Tujuan utama dari Kurikulum Berbasis
Cinta adalah membentuk manusia paripurna (insan kamil)—yaitu manusia
yang:
·
Berketuhanan,
mencintai dan mengabdi kepada Allah (hablum minallah),
·
Berperikemanusiaan, menjalin kasih dan tanggung
jawab sosial terhadap sesama (hablum minannas),
·
Bertanggung jawab ekologis, menjaga kelestarian alam (hablum
bil bi’ah),
·
dan Berjiwa kebangsaan,
mencintai tanah air dan aktif membangun bangsa (hubbul wathan).
Dengan demikian, KBC secara langsung menanamkan empat dimensi cinta
sebagai orientasi integral pendidikan yang membentuk karakter peserta didik
secara holistik.²
3.3.
Karakteristik
Kurikulum Berbasis Cinta
Ciri khas utama dari KBC adalah transformasi nilai cinta ke dalam
seluruh elemen kurikulum dan pembelajaran. Berikut adalah karakteristik utama
KBC yang membedakannya dari pendekatan kurikulum tradisional:
3.3.1. Relasi
Guru dan Siswa yang Humanis dan Spiritual
Dalam KBC, guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga
sebagai murabbi (pendidik spiritual), muaddib (penanam adab), dan
rahmah (wujud kasih sayang Allah di bumi).³ Relasi antara guru dan murid
bersifat dialogis, sejajar secara kemanusiaan, dan penuh kasih. Hal ini selaras
dengan pandangan Paulo Freire tentang pentingnya membangun relasi horizontal
dalam proses pendidikan agar tercipta komunikasi yang membebaskan.⁴
3.3.2. Isi
Kurikulum yang Memanusiakan
Materi pembelajaran dalam KBC disusun dengan mempertimbangkan nilai-nilai
spiritual, moral, sosial, dan ekologis. Pengetahuan tidak diajarkan sebagai
informasi netral, tetapi sebagai sarana untuk mengenal Tuhan, memahami
ciptaan-Nya, dan membangun kontribusi positif terhadap kehidupan.⁵ Hal ini
mendekati model values-based education, di mana nilai menjadi inti dari
semua pembelajaran.⁶
3.3.3.
Proses Pembelajaran
yang Penuh Makna dan Kepedulian
KBC menekankan pada pembelajaran partisipatif, reflektif, dan
transformatif. Siswa tidak hanya menjadi penerima materi, tetapi subjek
aktif yang diajak merenung, merasa, dan bertindak berdasarkan cinta. Proses ini
membentuk agency peserta didik, menjadikan mereka pribadi yang
bertanggung jawab terhadap dirinya, orang lain, dan lingkungan.
3.3.4. Asesmen
yang Menguatkan, Bukan Menghakimi
Dalam KBC, evaluasi pembelajaran tidak hanya bersifat kognitif dan
kuantitatif, tetapi juga kualitatif dan afektif. Penilaian dilakukan secara autentik
dan naratif, mengedepankan umpan balik yang membangun, bukan hanya angka.⁷
Asesmen dalam KBC bertujuan untuk mendorong pertumbuhan batin dan penguatan
karakter, bukan sekadar pemeringkatan.
3.3.5. Kultur
Sekolah yang Penuh Kasih dan Inklusif
KBC menekankan pentingnya membangun budaya sekolah yang ramah, terbuka,
dan menumbuhkan rasa aman secara psikologis. Lingkungan belajar menjadi ruang
yang menyembuhkan (healing space) dari tekanan, kekerasan simbolik, dan
alienasi yang sering ditemukan dalam praktik pendidikan formal konvensional.⁸
3.4.
KBC sebagai Gerakan
Spiritual-Pedagogis
KBC pada akhirnya bukan hanya metode kurikulum, melainkan gerakan
spiritual-pedagogis yang mengajak para guru, siswa, dan pengambil kebijakan
untuk menata kembali arah pendidikan menuju yang lebih bermakna, penuh kasih,
dan membebaskan. Sebagaimana ditegaskan oleh Jalaluddin Rumi, “Tanpa cinta,
pendidikan hanyalah rutinitas kosong. Tapi dengan cinta, ia
menjadi cahaya yang menuntun jiwa.”⁹
Catatan Kaki
[1]
bell hooks, All About Love: New Visions (New
York: William Morrow, 2000), 4–6.
[2]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an
(Bandung: Mizan, 1999), 233–235.
[3]
Azyumardi
Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Kompas, 2002), 87–88.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Bloomsbury Academic, 2000), 72–75.
[5]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame,
IN: University of Notre Dame Press, 2007), 192–195.
[6]
Neil Hawkes, From My Heart: Transforming Lives
Through Values-Based Education (Carmarthen, UK: Crown House Publishing,
2013), 15–20.
[7]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 153–155.
[8]
Parker J. Palmer, The Courage to Teach: Exploring
the Inner Landscape of a Teacher's Life (San Francisco: Jossey-Bass, 2007),
51–52.
[9]
Jalaluddin Rumi, Mathnawi, ed. Reynold A.
Nicholson (Cambridge: E.J.W. Gibb Memorial, 1925), Book I, verse 1124.
4.
Implementasi KBC
dalam Dunia Pendidikan
Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) dalam praktik pendidikan
memerlukan transformasi menyeluruh dalam cara berpikir, merancang, dan
melaksanakan proses belajar-mengajar di sekolah. KBC bukan hanya dokumen
kurikulum tertulis, melainkan sebuah paradigma hidup yang menghidupkan
nilai-nilai cinta di seluruh dimensi pendidikan—baik dalam perencanaan,
pelaksanaan, penilaian, maupun manajemen lingkungan sekolah.
4.1.
Cinta dalam
Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran dalam KBC menempatkan nilai-nilai cinta
sebagai landasan utama. Tujuan pembelajaran tidak hanya diarahkan pada
penguasaan kompetensi kognitif, melainkan juga penguatan aspek afektif dan
spiritual. Hal ini sejalan dengan pendekatan holistik-integratif, yang
menekankan pentingnya menyatukan dimensi intelektual, emosional, sosial, dan
spiritual dalam desain pembelajaran.¹
Misalnya, dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru
didorong untuk merumuskan tujuan pembelajaran yang mencakup tujuan hati
(heart outcomes) seperti menumbuhkan empati, welas asih, dan rasa syukur.
Penelitian oleh Nel Noddings menunjukkan bahwa pendidikan yang menyentuh ranah
afektif jauh lebih berdampak dalam membentuk karakter dibandingkan pendidikan
yang hanya berorientasi pada isi.²
4.2.
Cinta dalam Praktik
Mengajar
Proses belajar dalam KBC mengedepankan relasi yang dialogis, penuh
penghargaan, dan penuh kasih antara guru dan siswa. Guru bukan hanya
sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai pendamping jiwa (soul companion)
yang mendampingi pertumbuhan murid dengan empati dan perhatian.³
Pengajaran dilaksanakan dengan cara yang inklusif dan memanusiakan. Strategi
pembelajaran yang sesuai dengan KBC antara lain:
·
Pembelajaran kolaboratif dan reflektif, yang membangun empati
antarpeserta didik.
·
Metode inkuiri bernuansa nilai, yang memandu siswa untuk
menemukan makna hidup melalui eksplorasi pengetahuan.
·
Penggunaan narasi dan kisah penuh hikmah, sebagaimana dianjurkan dalam QS.
Yusuf [12] ayat 3, yang menyebut bahwa kisah mengandung pelajaran bagi
orang-orang yang berpikir.⁴
Pentingnya cinta dalam relasi guru-siswa juga ditekankan oleh Carl
Rogers, yang menilai bahwa hubungan yang hangat dan tulus antara guru dan siswa
meningkatkan keterbukaan terhadap belajar dan pertumbuhan pribadi.⁵
4.3.
Cinta dalam
Penilaian (Asesmen)
Dalam pendekatan KBC, penilaian tidak hanya difokuskan pada hasil,
tetapi pada proses pertumbuhan dan perkembangan karakter. Penilaian
berbasis cinta menolak pendekatan yang menghakimi atau menstigma siswa, dan
lebih memilih pendekatan formatif, deskriptif, dan naratif.⁶
Asesmen dilakukan tidak hanya untuk mengukur keberhasilan belajar,
tetapi juga sebagai proses membina dan menyemangati siswa. Sejalan
dengan gagasan Grant Wiggins dan Jay McTighe dalam Understanding by Design,
asesmen yang baik harus bersifat otentik dan mampu memberikan umpan balik yang
bermakna bagi pertumbuhan siswa.⁷
Contoh bentuk asesmen dalam KBC:
·
Portofolio nilai-nilai yang dipraktikkan
siswa.
·
Refleksi pribadi berbasis pengalaman belajar.
·
Observasi perilaku dan interaksi sosial.
·
Dialog personal sebagai bentuk evaluasi
formatif.
4.4.
Cinta dalam
Manajemen dan Budaya Sekolah
Implementasi KBC tidak akan berhasil jika tidak ditopang oleh manajemen
sekolah dan budaya kelembagaan yang mendukung nilai cinta. Sekolah yang
mengimplementasikan KBC perlu mengembangkan iklim yang ramah, aman, dan
suportif—yang disebut Parker Palmer sebagai “pedagogical sanctuary”,
yaitu tempat yang memberi rasa aman bagi pertumbuhan jiwa.⁸
Praktik budaya sekolah yang sesuai dengan KBC antara lain:
·
Menyapa siswa dengan hormat dan empati setiap
hari.
·
Menyediakan ruang konsultasi psikososial dan
spiritual.
·
Melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan
sekolah sebagai bentuk penghargaan terhadap agensi mereka.
·
Mengintegrasikan nilai cinta dalam tata
tertib, bukan melalui sanksi represif, tetapi melalui restoratif.
Penting juga adanya kepemimpinan
visioner yang mencontohkan cinta dalam tindakan, bukan hanya dalam wacana.
Pemimpin pendidikan dalam KBC adalah leader with heart, yang
mengutamakan keteladanan, kebaikan hati, dan kepedulian terhadap semua warga
sekolah.⁹
Kesimpulan Sementara
Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta menuntut rekonstruksi
menyeluruh dalam filosofi pendidikan, relasi sosial, dan tata kelola sekolah.
Dengan mengintegrasikan cinta dalam seluruh elemen pembelajaran, KBC dapat
menciptakan pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menyembuhkan,
memanusiakan, dan membebaskan—sesuai dengan hakikat sejati pendidikan.
Catatan Kaki
[1]
Ron Miller, What Are Schools For? Holistic
Education in American Culture, 3rd ed. (Brandon, VT: Holistic Education
Press, 2000), 45–47.
[2]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics
and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2003),
176–179.
[3]
Parker J. Palmer, To Know As We Are Known:
Education as a Spiritual Journey (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1993),
25–26.
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 5
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 341–344.
[5]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn for the 80s
(Columbus, OH: Charles E. Merrill Publishing, 1983), 112–115.
[6]
Thomas R. Guskey, Evaluating Professional
Development (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2000), 64–67.
[7]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2005), 153–160.
[8]
Parker J. Palmer, The Courage to Teach: Exploring
the Inner Landscape of a Teacher's Life (San Francisco: Jossey-Bass, 2007),
45–47.
[9]
Michael Fullan, The Moral Imperative of School
Leadership (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 9–11.
5.
Tantangan dan Solusi
Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) dalam dunia pendidikan
bukanlah perkara mudah. Meskipun idealisme yang diusungnya sangat luhur—yakni
menempatkan cinta sebagai ruh pendidikan—realitas di lapangan menghadirkan
berbagai tantangan yang kompleks, baik dari segi paradigma, kebijakan, maupun
kapasitas pelaku pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang
sistematis dan kontekstual untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
5.1.
Tantangan
Paradigmatis: Dominasi Nalar Instrumental
Salah satu tantangan mendasar adalah dominasi pendekatan pendidikan
yang berorientasi pada hasil semata, mengedepankan nilai-nilai
kompetitif dan prestasi akademik sebagai ukuran utama keberhasilan pendidikan.
Paradigma ini dipengaruhi oleh model schooling modern yang bercorak
industrial dan teknokratis.¹ Dalam model ini, cinta—sebagai nilai luhur dan
subtansial—seringkali dianggap tidak relevan atau terlalu "abstrak".
Henry Giroux menyebut bahwa sistem pendidikan saat ini cenderung
kehilangan “moral compass” karena terlalu berorientasi pada efisiensi
dan output yang terukur, sehingga ruang bagi nilai-nilai seperti empati, kasih
sayang, dan spiritualitas menjadi terpinggirkan.²
Solusi: Diperlukan pergeseran
paradigma dari education as production menjadi education as
transformation. Transformasi ini hanya bisa dilakukan melalui capacity
building bagi guru dan pemangku kebijakan untuk memahami pentingnya
nilai-nilai cinta dan kemanusiaan dalam pendidikan, sebagaimana digagas oleh
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Heart.³
5.2. Tantangan
Struktural: Kurikulum yang Kaku dan Terfragmentasi
Struktur kurikulum nasional di banyak negara, termasuk Indonesia,
seringkali masih berbasis pada disiplin ilmu yang terpisah-pisah, tanpa
integrasi nilai lintas mata pelajaran. Hal ini menghambat internalisasi
nilai-nilai cinta yang bersifat holistik.⁴ Ketiadaan ruang yang memadai untuk
pendidikan nilai dalam struktur kurikulum juga memperkuat proses belajar yang
mekanistis dan kurang bermakna.
Solusi:
Perlu dilakukan reorientasi kurikulum yang integratif, dengan memberi
ruang bagi pendidikan karakter berbasis cinta dalam tiap aspek pembelajaran.
Hal ini dapat dilakukan melalui penguatan hidden curriculum dan integrasi
lintas kurikulum, seperti pengembangan tema cinta kepada Tuhan, sesama,
alam, dan bangsa dalam semua mata pelajaran.⁵
5.3. Tantangan
Kultural: Minimnya Keteladanan dan Budaya Kekerasan
Budaya kekerasan verbal maupun fisik di lingkungan sekolah masih
menjadi persoalan nyata. Laporan Komnas Perlindungan Anak menunjukkan bahwa
kekerasan terhadap siswa justru seringkali dilakukan oleh guru atau sesama
siswa.⁶ Dalam konteks seperti ini, mustahil nilai cinta bisa tumbuh subur.
Selain itu, banyak guru yang secara struktural dituntut untuk
menyelesaikan beban administratif dan target akademik, sehingga kesempatan
membina relasi yang penuh kasih dengan siswa menjadi sangat terbatas.
Solusi: Perlu dibangun budaya
sekolah berbasis kasih sayang dan keteladanan moral, di mana guru dan
kepala sekolah menjadi figur teladan yang merepresentasikan nilai cinta dalam
tindakan sehari-hari. Prinsip care ethics sebagaimana dirumuskan oleh
Nel Noddings dapat menjadi dasar relasi pendidik dan peserta didik.⁷ Pelatihan
dan refleksi rutin tentang pedagogi cinta juga penting dilakukan dalam program
pengembangan profesional guru.
5.4.
Tantangan Teknis:
Kurangnya Sumber Daya dan Sarana Pendukung
Banyak sekolah, terutama di daerah
tertinggal, menghadapi keterbatasan sarana fisik, media pembelajaran, dan
tenaga pendidik yang kompeten. Dalam kondisi seperti ini, seringkali aspek
nilai dan cinta tidak menjadi prioritas, karena upaya pendidikan lebih
difokuskan pada aspek kuantitatif seperti angka kelulusan atau nilai ujian
nasional.⁸
Solusi: Pemerintah dan pemangku
kepentingan perlu melakukan redistribusi sumber daya pendidikan secara
adil dan berpihak pada nilai kemanusiaan. Selain itu, pengembangan media dan
modul pembelajaran berbasis cinta yang dapat digunakan secara luas oleh
guru-guru di berbagai kondisi sangat mendesak untuk dikembangkan.
Kesimpulan Sementara
Tantangan dalam mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Cinta tidak bisa
dipandang sebelah mata. Ia memerlukan rekonstruksi menyeluruh, mulai
dari paradigma pendidikan, struktur kurikulum, budaya sekolah, hingga sistem
pendukung teknis. Namun, dengan pendekatan yang reflektif, kolaboratif, dan
transformatif, pendidikan yang berlandaskan cinta bukan hanya mungkin
diwujudkan, tetapi juga menjadi keniscayaan di tengah krisis kemanusiaan
global saat ini.
Catatan Kaki
[1]
Ivan Illich, Deschooling Society (New York:
Harper & Row, 1971), 31–33.
[2]
Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (New
York: Bloomsbury, 2011), 57–59.
[3]
Paulo Freire, Pedagogy of the Heart (New York:
Bloomsbury Academic, 2016), 12–14.
[4]
Howard Gardner, The Disciplined Mind: What All
Students Should Understand (New York: Simon & Schuster, 1999), 77–79.
[5]
Sri Wahyuni,
“Integrasi Nilai Karakter dalam Pembelajaran Tematik di Sekolah Dasar,” Jurnal
Pendidikan Karakter 8, no. 2 (2018): 123–137.
[6]
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Data Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan
Sekolah,” Laporan Tahunan KPAI 2022, hlm. 45–47.
[7]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics
and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2003),
175–178.
[8]
Suyanto,
“Pemerataan Pendidikan dan Tantangannya di Daerah 3T,” Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan 10, no. 1 (2021): 89–97.
6.
Relevansi KBC di Era
Kontemporer
Di tengah berbagai tantangan global yang kompleks—seperti krisis moral,
polarisasi sosial, perkembangan teknologi yang masif, serta meningkatnya
individualisme—pendidikan dituntut untuk menghadirkan jawaban yang lebih dari
sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan harus menjadi ruang transformatif yang
menumbuhkan integritas, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks
inilah, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) menunjukkan relevansi dan urgensinya.
6.1. Respon
terhadap Krisis Empati dan Humanisme
Era kontemporer ditandai oleh degradasi empati. Munculnya
fenomena cyber bullying, radikalisme, kekerasan di sekolah, dan alienasi
sosial di kalangan remaja merupakan indikasi melemahnya nilai-nilai kemanusiaan
dalam sistem pendidikan.⁽¹⁾ Penelitian menunjukkan bahwa partisipasi dalam
lingkungan pembelajaran yang menekankan hubungan emosional positif
berkontribusi terhadap peningkatan rasa empati dan moralitas peserta didik.⁽²⁾
Dalam kerangka ini, KBC hadir sebagai tawaran alternatif untuk
membangun kembali jembatan kemanusiaan dalam pendidikan. Ia menekankan
pentingnya relasi antarpribadi yang penuh kasih, kepekaan terhadap
penderitaan orang lain, dan komitmen untuk kebaikan bersama, sebagaimana
dikembangkan oleh Nel Noddings melalui pendekatan care ethics.⁽³⁾
6.2. Menyikapi
Disrupsi Digital dan Kecerdasan Buatan
Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) telah
mengubah secara drastis cara manusia hidup, belajar, dan berinteraksi. Namun,
teknologi tidak serta-merta menjamin kualitas hubungan antarmanusia.
Ketergantungan pada gawai dan algoritma cenderung mempersempit ruang refleksi
moral dan relasi emosional yang otentik.⁽⁴⁾
KBC memiliki potensi untuk menyeimbangkan dominasi teknologi dengan
menegaskan nilai-nilai relasional yang hanya bisa tumbuh melalui
interaksi manusia yang hangat dan bermakna. Max Tegmark menyebut bahwa masa
depan pendidikan harus memberi ruang besar untuk pengembangan emotional
intelligence, empathy, dan moral reasoning yang tidak bisa
digantikan oleh AI.⁽⁵⁾ Dalam hal ini, cinta menjadi pondasi utama bagi manusia
untuk tetap menjadi manusia di tengah teknologi.
6.3.
Menjawab Tantangan
Pendidikan Karakter Global
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO)
dalam Education 2030 Framework for Action menekankan pentingnya
pendidikan yang “berbasis nilai, inklusif, dan transformatif” untuk mewujudkan sustainable
development.⁽⁶⁾ Nilai-nilai seperti kasih sayang, solidaritas, dan tanggung
jawab global kini dianggap sebagai kompetensi kunci abad ke-21.
KBC sangat sejalan dengan semangat ini. Dengan menempatkan cinta
sebagai nilai inti, kurikulum ini mendorong peserta didik untuk mengembangkan identitas
moral global, memperlakukan orang lain dengan welas asih, serta menjaga
perdamaian dan keadilan sosial di tengah keberagaman.⁽⁷⁾
6.4. Merespons
Kehampaan Spiritual dan Krisis Makna
Selain persoalan sosial dan teknologi, era modern juga ditandai dengan krisis
spiritual dan eksistensial, terutama di kalangan generasi muda. Banyak
siswa merasa hidupnya tanpa makna, bahkan mengalami kelelahan mental (burnout)
sejak usia dini akibat tekanan akademik yang tinggi dan kurangnya ruang
ekspresi emosi yang sehat.⁽⁸⁾
KBC dapat menjadi ruang pemulihan spiritual dalam pendidikan.
Cinta dalam KBC bukan hanya dalam pengertian emosional, tetapi mencakup dimensi
spiritual, yakni relasi manusia dengan Yang Transenden. Hal ini sejalan dengan
pandangan Martin Buber tentang I-Thou relationship, di mana pendidikan
seharusnya menjadi tempat hadirnya keutuhan hubungan antara manusia, sesama,
dan Tuhan.⁽⁹⁾
Kesimpulan Sementara
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) bukan
sekadar wacana utopis, melainkan respons nyata terhadap berbagai krisis
multidimensional yang dihadapi dunia pendidikan hari ini. Ia memberi arah baru
bagi pendidikan untuk menjadi jalan penumbuhan manusia seutuhnya—yang tidak
hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga utuh secara moral, sosial, dan
spiritual. Dalam konteks
ini, KBC justru menjadi lebih relevan dari sebelumnya.
Catatan Kaki
[1]
Jean Twenge, iGen: Why Today’s Super-Connected Kids
Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy (New York: Atria
Books, 2017), 104–106.
[2]
Mark Brackett, Permission to Feel: Unlocking the
Power of Emotions to Help Our Kids, Ourselves, and Our Society Thrive (New
York: Celadon Books, 2019), 83–85.
[3]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics
and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2003),
220–224.
[4]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power
of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 3–7.
[5]
Max Tegmark, Life 3.0: Being Human in the Age of
Artificial Intelligence (New York: Alfred A. Knopf, 2017), 261–263.
[6]
UNESCO, Education 2030: Incheon Declaration and
Framework for Action (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 7–9.
[7]
Fernando Reimers and Connie K. Chung, Teaching and
Learning for the Twenty-First Century (Cambridge: Harvard Education Press,
2016), 145–148.
[8]
Alfie Kohn, The Schools Our Children Deserve:
Moving Beyond Traditional Classrooms and “Tougher Standards” (Boston:
Houghton Mifflin, 1999), 112–116.
[9]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor
Smith (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 55–57.
7.
Penutup
Pendidikan sejatinya bukan semata upaya
mencerdaskan otak, tetapi juga menyentuh dan menumbuhkan hati. Di tengah era yang sarat akan
disrupsi teknologi, degradasi moral, dan krisis relasi manusiawi, pendidikan
dituntut untuk melampaui pendekatan teknokratis dan kembali pada akar
kemanusiaannya. Dalam konteks inilah, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) hadir sebagai
sebuah paradigma alternatif yang menempatkan cinta sebagai ruh utama
pendidikan.
KBC bukan sekadar slogan emosional, melainkan sebuah kerangka
filosofis, pedagogis, dan praktis yang berdasar pada pemikiran para tokoh besar
pendidikan dan filsafat humanistik. Seperti ditegaskan oleh Paulo Freire,
“pendidikan adalah tindakan cinta yang mendalam terhadap dunia dan sesama
manusia.”¹ Melalui cinta, guru tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi
menghidupkan jiwa, menumbuhkan harapan, dan membentuk karakter mulia dalam diri
peserta didik.
Berbagai tantangan nyata seperti alienasi emosional, ketimpangan
sosial, tekanan akademik yang berlebihan, dan lemahnya pendidikan karakter,
menunjukkan perlunya reformasi kurikulum yang lebih berpusat pada nilai-nilai
kasih, empati, dan relasi manusiawi.² Cinta dalam konteks KBC bukanlah sekadar
afeksi personal, tetapi menyangkut keadilan sosial, tanggung jawab moral, serta
kesadaran spiritual terhadap kemanusiaan dan keberadaan yang lebih besar.³
Implementasi KBC membuka kemungkinan transformasi pendidikan dari ruang
instruksi menjadi ruang relasi, dari sekadar pengajaran menjadi penyembuhan,
dari kecerdasan buatan menjadi kecerdasan batin. Ini sejalan dengan visi
pendidikan UNESCO untuk membentuk generasi yang "belajar untuk
menjadi,"⁴ bukan hanya belajar untuk bekerja. Di tengah ancaman reduksi
manusia menjadi sekadar angka atau algoritma, KBC mengajak kita untuk kembali
menempatkan cinta sebagai inti dari tindakan mendidik.
Karena itu, membangun pendidikan berbasis cinta bukanlah pilihan
sentimental, melainkan keharusan etis dan strategis untuk menyelamatkan masa
depan generasi muda. Seperti diingatkan oleh Nel Noddings, “pendidikan tanpa
cinta adalah pendidikan yang kehilangan arah.”⁵ Maka, sudah saatnya cinta
diangkat sebagai landasan dan tujuan utama dari setiap proses pembelajaran—agar
pendidikan benar-benar memanusiakan manusia.
Catatan Kaki
[1]
Paulo Freire, Pedagogy of the Heart, trans.
Donaldo Macedo and Alexandre Oliveira (New York: Bloomsbury Academic, 2021),
41.
[2]
Mark Brackett, Permission to Feel: Unlocking the
Power of Emotions to Help Our Kids, Ourselves, and Our Society Thrive (New
York: Celadon Books, 2019), 152–155.
[3]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as
the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 195–197.
[4]
UNESCO, Learning: The Treasure Within – Report to
UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first
Century, ed. Jacques Delors (Paris: UNESCO Publishing, 1996), 85–87.
[5]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics
and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2003), 27.
Daftar Pustaka
Brackett, M. A.
(2019). Permission to feel: Unlocking the power of emotions to help our
kids, ourselves, and our society thrive. Celadon Books.
Freire, P. (2021).
Pedagogy of the heart (D. Macedo & A. Oliveira, Trans.). Bloomsbury
Academic. (Original work published 1997)
hooks, b. (1994). Teaching
to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.
Noddings, N.
(2003). Caring: A feminine approach to ethics and moral education (2nd
ed.). University of California Press.
UNESCO. (1996). Learning:
The treasure within: Report to UNESCO of the International Commission on
Education for the Twenty-first Century (J. Delors, Ed.). UNESCO Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar