Jumat, 04 Juli 2025

Tes Diagnostik: PPDB MA Plus Al-Aqsha Tahun Ajaran 2025/2026

Tes Diagnostik bagi Peserta Didik Baru

PPDB MA Plus Al-Aqsha Tahun Ajaran 2025/2026


Alihkan ke: Kurikulum 2013, Asesmen Diagnostik, Asesmen Diagnostik dalam Pendidikan.

Download File,


Abstrak

Artikel ini membahas urgensi, implementasi, serta tantangan dan solusi dari pelaksanaan tes diagnostik sebagai instrumen awal penilaian kompetensi peserta didik baru di MA Plus Al-Aqsha Tahun Ajaran 2025/2026. Tes diagnostik digunakan untuk memetakan tingkat kesiapan akademik peserta didik dalam aspek kognitif dasar, khususnya pada mata pelajaran inti, guna mendukung perencanaan pembelajaran berdiferensiasi dan berbasis data. Kajian ini mengintegrasikan analisis konseptual, teori asesmen, kebijakan kurikulum nasional, serta kondisi faktual madrasah berdasarkan Dokumen 1 Kurikulum MA Plus Al-Aqsha. Artikel ini menguraikan bahwa tes diagnostik memiliki nilai strategis dalam membangun sistem pembelajaran yang adil, responsif, dan kontekstual. Melalui analisis hasil tes, guru dapat merancang strategi pembelajaran yang tepat guna, termasuk program remedial dan pengayaan. Namun demikian, implementasi tes ini menghadapi tantangan seperti keterbatasan kompetensi guru dalam menyusun instrumen, keterbatasan waktu dan sarana, serta lemahnya tindak lanjut. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan penguatan kapasitas guru, manajemen data asesmen, serta pelibatan kolaboratif antar pemangku kepentingan madrasah untuk menjadikan tes diagnostik sebagai bagian integral dari manajemen mutu pendidikan yang berkelanjutan.

Kata Kunci: Tes diagnostik, asesmen awal, pembelajaran berdiferensiasi, MA Plus Al-Aqsha, kurikulum madrasah, manajemen mutu pendidikan.


PEMBAHASAN

Tes Diagnostik sebagai Instrumen Awal Penilaian Kompetensi Peserta Didik Baru di MA Plus Al-Aqsha Tahun Ajaran 2025/2026


1.           Pendahuluan

Dalam setiap awal tahun ajaran, keberhasilan proses pendidikan di satuan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana institusi tersebut mampu memahami karakteristik dan potensi awal peserta didiknya. Dalam konteks ini, tes diagnostik merupakan salah satu bentuk asesmen awal (initial assessment) yang digunakan untuk memetakan kesiapan belajar, kekuatan, kelemahan, serta kebutuhan belajar peserta didik secara individual. Tes ini berfungsi sebagai jembatan antara kondisi awal peserta didik dengan rancangan strategi pembelajaran yang sesuai dan adaptif.

Tes diagnostik memiliki kedudukan strategis dalam kerangka Assessment for Learning (AfL), yaitu penilaian yang dilakukan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar secara berkelanjutan. Dengan tes ini, guru dapat mengenali kondisi kognitif dan afektif siswa sejak dini sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan berpusat pada kebutuhan aktual siswa. Seperti yang dijelaskan oleh Black dan Wiliam, asesmen formatif—yang salah satunya mencakup tes diagnostik—mampu meningkatkan prestasi belajar secara signifikan jika digunakan secara sistematis dalam siklus belajar-mengajar¹.

Pentingnya pelaksanaan tes diagnostik juga diperkuat oleh pendekatan konstruktivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer secara langsung, melainkan harus dibangun berdasarkan pengalaman dan pemahaman awal peserta didik. Dalam hal ini, guru perlu mengetahui apa yang sudah diketahui dan dipahami siswa sebelum mengajarkan materi baru². Hal ini sejalan dengan pandangan Vygotsky mengenai Zona Perkembangan Proksimal (ZPD), yaitu jarak antara kemampuan yang dimiliki siswa secara mandiri dan kemampuan yang dapat dicapai dengan bantuan guru atau teman sejawat³. Tes diagnostik membantu guru mengidentifikasi titik awal ZPD tersebut agar intervensi pedagogik lebih tepat sasaran.

Dalam konteks MA Plus Al-Aqsha sebagai madrasah menengah berbasis karakter dan religiusitas, pelaksanaan tes diagnostik menjadi sangat relevan. Berdasarkan Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026, madrasah ini memiliki karakteristik peserta didik yang beragam dari segi motivasi, kemampuan akademik, dan latar belakang sosial-budaya. Analisis karakteristik peserta didik menunjukkan adanya variasi dalam aspek kepercayaan diri, kemampuan berpikir kritis, dan pengelolaan waktu, yang memerlukan pendekatan pembelajaran yang adaptif dan berbasis data aktual⁴.

Penerapan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha juga merupakan bentuk implementasi prinsip kurikulum yang berpusat pada potensi, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang KTSP pada Pendidikan Dasar dan Menengah⁵. Selain itu, dalam upaya mewujudkan keterampilan abad ke-21 (4C: Critical Thinking, Communication, Collaboration, and Creativity), identifikasi awal melalui tes diagnostik menjadi langkah awal untuk merancang strategi pengembangan kompetensi secara lebih efektif⁶.

Dengan demikian, keberadaan tes diagnostik tidak hanya menjadi kebutuhan teknis dalam rangka penyesuaian pembelajaran, tetapi juga bagian dari strategi kurikuler dan manajerial yang berorientasi pada mutu, efisiensi, dan keadilan dalam layanan pendidikan. Kajian ini bertujuan untuk menguraikan konsep, fungsi, dan penerapan tes diagnostik dalam konteks MA Plus Al-Aqsha, sekaligus menegaskan kontribusinya dalam menciptakan sistem pembelajaran yang berkeadilan, kontekstual, dan berbasis kebutuhan nyata peserta didik.


Footnotes

[1]                Paul Black dan Dylan Wiliam, Assessment and Classroom Learning, Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.

[2]                Jerome Bruner, The Process of Education (Cambridge: Harvard University Press, 1960), 17–20.

[3]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 86–87.

[4]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 19–22.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2014).

[6]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026, 3–4.


2.           Konsep Dasar Tes Diagnostik

Tes diagnostik merupakan salah satu jenis asesmen yang dilakukan di awal proses pembelajaran untuk mengidentifikasi kemampuan, kelemahan, serta kebutuhan belajar peserta didik secara individual. Berbeda dengan tes formatif atau sumatif yang digunakan untuk mengevaluasi proses atau hasil belajar, tes diagnostik bersifat prediktif dan korektif—berfungsi untuk menggali informasi awal tentang kesiapan siswa terhadap suatu materi dan untuk merancang intervensi yang sesuai sebelum kegiatan belajar berlangsung¹.

Menurut Nitko dan Brookhart, tes diagnostik adalah asesmen yang dirancang untuk mengungkapkan secara rinci kesenjangan pengetahuan, pemahaman konsep, dan keterampilan peserta didik terhadap tujuan-tujuan pembelajaran yang akan datang². Melalui tes ini, pendidik dapat menentukan apakah seorang peserta didik memerlukan penguatan konsep, pengajaran ulang, atau strategi pengajaran khusus guna mencapai kompetensi yang diharapkan.

Tes diagnostik biasanya dilakukan dalam bentuk instrumen tertulis, tugas praktik, atau observasi kinerja yang mengacu pada indikator pembelajaran dasar yang telah ditetapkan. Formatnya dapat berupa pilihan ganda, isian singkat, uraian, hingga tugas proyek ringan, tergantung pada tujuan asesmen dan mata pelajaran yang diujikan. Salah satu keunggulan tes diagnostik adalah fleksibilitasnya dalam mengukur aspek-aspek kognitif (pengetahuan dan pemahaman), afektif (motivasi, sikap), maupun psikomotorik (keterampilan teknis) dari peserta didik³.

Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pelaksanaan tes diagnostik sejalan dengan prinsip penilaian dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, yang menekankan pentingnya penilaian sebagai bagian integral dari proses pembelajaran dan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan pedagogik⁴. Tes diagnostik membantu guru memahami apa yang telah diketahui siswa, apa yang belum dipahami, dan bagaimana pembelajaran sebaiknya dirancang untuk menjembatani kesenjangan tersebut.

Berdasarkan perspektif pedagogis, tes diagnostik juga menjadi manifestasi dari pendekatan Assessment for Learning (AfL), yakni penilaian yang bertujuan bukan hanya untuk menilai hasil, tetapi untuk memperbaiki proses belajar itu sendiri. Seperti dikemukakan oleh Stiggins, penilaian formatif seperti tes diagnostik memberikan umpan balik yang mendalam, mendorong refleksi belajar, dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang responsif terhadap kebutuhan siswa⁵.

Tes diagnostik juga erat kaitannya dengan asas pembelajaran diferensiasi (differentiated instruction), yaitu pendekatan pengajaran yang menyesuaikan isi, proses, dan produk belajar berdasarkan profil peserta didik. Informasi hasil tes diagnostik menjadi bahan dasar dalam merancang strategi pembelajaran yang adaptif, adil, dan inklusif, sehingga potensi belajar setiap individu dapat dikembangkan secara optimal⁶.

Dalam konteks MA Plus Al-Aqsha, yang memiliki peserta didik dari latar belakang sosial, budaya, dan kemampuan akademik yang heterogen, tes diagnostik menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa proses pembelajaran tidak berangkat dari asumsi homogenitas siswa, melainkan dari data faktual yang objektif. Dengan demikian, tes diagnostik tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur, tetapi sebagai bagian dari strategi peningkatan mutu pembelajaran dan keadilan pendidikan.


Footnotes

[1]                Linda Darling-Hammond et al., Assessment and Teaching of 21st Century Skills (Dordrecht: Springer, 2012), 37–39.

[2]                Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 104–105.

[3]                W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 62–63.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[5]                Richard J. Stiggins, Assessment for Learning: An Essential Foundation for Productive Instruction, Phi Delta Kappan 92, no. 2 (2010): 20–25.

[6]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2014), 10–15.


3.           Landasan Teoretis

Pelaksanaan tes diagnostik sebagai asesmen awal dalam dunia pendidikan memiliki fondasi teoretis yang kuat dalam beberapa paradigma pendidikan modern, terutama dalam ranah psikologi pendidikan, teori belajar, dan teori asesmen. Pemahaman terhadap landasan teoretis ini penting untuk memastikan bahwa tes diagnostik tidak sekadar menjadi prosedur administratif, melainkan merupakan bagian integral dari strategi pedagogik yang berbasis ilmiah dan humanistik.

3.1.       Teori Konstruktivisme dalam Pendidikan

Landasan paling utama bagi tes diagnostik terletak pada pendekatan konstruktivistik terhadap pembelajaran. Menurut Jean Piaget, peserta didik membangun pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi berdasarkan skema kognitif yang telah dimiliki sebelumnya¹. Oleh karena itu, guru perlu memahami "struktur pengetahuan awal" siswa sebelum menyampaikan materi baru.

Vygotsky memperdalam pendekatan ini dengan konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD), yaitu rentang kemampuan yang dapat dicapai peserta didik hanya dengan bimbingan atau dukungan pihak lain, seperti guru atau teman sejawat². Tes diagnostik membantu guru mengidentifikasi posisi awal peserta didik dalam ZPD mereka dan merancang intervensi yang tepat untuk mengoptimalkan perkembangan belajarnya.

3.2.       Teori Belajar Humanistik

Dalam perspektif teori belajar humanistik, seperti yang dikemukakan Carl Rogers dan Abraham Maslow, pendidikan seharusnya berfokus pada pengembangan potensi individual secara menyeluruh—baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik³. Tes diagnostik, dalam konteks ini, berfungsi sebagai bentuk asesmen yang menghormati keberagaman latar belakang dan kesiapan siswa, serta sebagai alat untuk merancang pendekatan pembelajaran yang lebih personal dan manusiawi.

Pendekatan ini sangat sejalan dengan prinsip pendidikan Islam yang menekankan ta’dib (pendidikan adab dan akhlak), yang tidak hanya bertumpu pada hasil kognitif, melainkan juga pada pemahaman utuh tentang individu peserta didik.

3.3.       Assessment for Learning (AfL)

Tes diagnostik juga memiliki akar yang kuat dalam paradigma Assessment for Learning, yaitu penilaian yang dirancang untuk mendukung pembelajaran, bukan sekadar mengukurnya. Black dan Wiliam menekankan bahwa asesmen formatif (termasuk tes diagnostik) memiliki efek positif yang besar terhadap peningkatan hasil belajar jika dilakukan dengan benar⁴. Dalam konteks ini, hasil tes diagnostik dijadikan sebagai bahan refleksi bagi guru dan siswa untuk merancang strategi pembelajaran yang adaptif, diferensial, dan berorientasi pada peningkatan performa belajar.

AfL juga mencakup umpan balik formatif yang bersifat membangun dan bersumber dari data yang sahih. Tes diagnostik sebagai bagian dari sistem penilaian berbasis kelas dapat membantu dalam memberikan feedback yang bersifat personal, serta mendukung self-regulated learning pada peserta didik⁵.

3.4.       Teori Evaluasi Diagnostik dalam Psikometri

Dari sisi teori asesmen, tes diagnostik merujuk pada model evaluasi awal yang bertujuan untuk mengidentifikasi “prasyarat” yang harus dimiliki peserta didik sebelum memulai unit pembelajaran tertentu. Nitko dan Brookhart menyebut asesmen ini sebagai diagnostic assessment, yang bertujuan bukan untuk memberikan nilai, tetapi untuk membantu pengambilan keputusan dalam perencanaan instruksional⁶.

Tes diagnostik juga berkaitan erat dengan prinsip validitas isi (content validity), karena instrumen yang digunakan harus mencerminkan secara akurat kompetensi prasyarat yang dibutuhkan dalam pembelajaran selanjutnya⁷. Oleh karena itu, perancangan tes ini harus dilakukan dengan cermat berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD) yang berlaku serta profil awal peserta didik.


Dengan dasar-dasar teoretis tersebut, maka pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha tidak hanya dilandasi oleh kebutuhan administratif semata, melainkan merupakan strategi pembelajaran berbasis ilmu yang memungkinkan penyusunan desain pembelajaran yang efektif, personal, dan adil. Tes ini akan memperkuat praktik pedagogi yang kontekstual, responsif terhadap data, dan selaras dengan karakter peserta didik di lingkungan madrasah yang beragam.


Footnotes

[1]                Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (New York: Routledge, 2001), 71–73.

[2]                Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge: Harvard University Press, 1978), 86–87.

[3]                Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed. (New York: Merrill, 1994), 105–108.

[4]                Paul Black and Dylan Wiliam, Assessment and Classroom Learning, Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.

[5]                Rick Stiggins, Assessment for Learning: An Essential Foundation for Productive Instruction, Phi Delta Kappan 92, no. 2 (2010): 20–25.

[6]                Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 104–107.

[7]                W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 68–69.


4.           Urgensi Tes Diagnostik di MA Plus Al-Aqsha

Pelaksanaan tes diagnostik bagi peserta didik baru di MA Plus Al-Aqsha memiliki urgensi yang tinggi, baik secara pedagogis maupun manajerial. Tes ini bukan sekadar prosedur asesmen awal, melainkan strategi fundamental untuk menjamin kualitas pembelajaran yang kontekstual, inklusif, dan berkeadilan. Dalam konteks MA Plus Al-Aqsha yang berada di wilayah perdesaan Kabupaten Tasikmalaya, dengan karakteristik sosial, ekonomi, dan kultural peserta didik yang beragam, kebutuhan akan instrumen pemetaan kompetensi dasar sangatlah krusial.

4.1.       Keragaman Latar Belakang Peserta Didik

Berdasarkan Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026, peserta didik baru di MA Plus Al-Aqsha berasal dari berbagai latar belakang madrasah atau sekolah asal, baik MTs negeri maupun swasta, serta SMP umum di sekitar Kecamatan Cikalong dan sekitarnya. Tingkat pendidikan orang tua sebagian besar berada pada jenjang SLTA ke bawah, dengan mayoritas pekerjaan sebagai petani dan wiraswasta tradisional, yang secara tidak langsung memengaruhi eksposur akademik anak⁽¹⁾. Oleh karena itu, penting bagi madrasah untuk memiliki data awal yang akurat mengenai capaian kognitif dan kesiapan belajar setiap siswa.

Tes diagnostik dalam hal ini menjadi alat untuk menjawab tantangan heterogenitas kemampuan akademik siswa, khususnya pada mata pelajaran kunci seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Agama Islam. Tanpa tes semacam ini, guru berisiko memberikan materi secara seragam, yang akan menguntungkan siswa yang sudah siap, tetapi merugikan mereka yang belum memahami prasyarat materi pelajaran⁽²⁾.

4.2.       Pemetaan Potensi untuk Diferensiasi Pembelajaran

MA Plus Al-Aqsha memiliki komitmen untuk mengembangkan pembelajaran aktif dan berorientasi pada kemampuan abad ke-21, seperti berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi (4C). Dalam konteks tersebut, guru memerlukan informasi awal sebagai dasar untuk menyusun strategi differentiated instruction—yaitu pengajaran yang disesuaikan dengan kesiapan, gaya belajar, dan minat siswa⁽³⁾.

Tes diagnostik memungkinkan pemetaan potensi peserta didik yang bersifat individual, sehingga guru tidak hanya mengandalkan nilai rapor dari sekolah asal (yang belum tentu seragam kualitasnya), tetapi memperoleh data objektif yang relevan dan kontekstual. Dengan demikian, pembelajaran dapat diarahkan secara lebih tepat sasaran dan responsif terhadap kebutuhan siswa.

4.3.       Pencegahan Kesenjangan dan Kegagalan Belajar Dini

Salah satu prinsip dalam manajemen mutu pendidikan adalah early intervention—yaitu deteksi dini terhadap kesulitan belajar untuk mencegah kegagalan akademik jangka panjang. Tes diagnostik berperan dalam mendeteksi risiko ini sejak awal tahun ajaran. Seperti dikemukakan oleh Brookhart, intervensi awal melalui asesmen diagnostik dapat mengurangi terjadinya “learning gap” yang sulit ditutup di kemudian hari⁽⁴⁾.

Di MA Plus Al-Aqsha, hasil rekap nilai peserta didik tahun-tahun sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan capaian rata-rata, tetapi juga memperlihatkan bahwa sebagian siswa masuk dengan nilai minimum yang hanya sedikit melampaui KKM⁽⁵⁾. Tanpa intervensi berbasis data sejak dini, siswa-siswa ini dapat mengalami keterlambatan konseptual yang akan berdampak negatif terhadap mata pelajaran lanjutan.

4.4.       Penguatan Peran Guru sebagai Desainer Pembelajaran

Guru di MA Plus Al-Aqsha memiliki latar belakang akademik minimal S1, namun belum semuanya mengampu bidang studi secara linear⁽⁶⁾. Dalam kondisi seperti ini, penyediaan data hasil tes diagnostik sangat membantu guru dalam merancang perangkat ajar, termasuk RPP, modul pembelajaran, dan aktivitas penguatan remedial maupun pengayaan.

Informasi dari tes ini memperkuat kapasitas guru untuk berperan sebagai desainer pembelajaran, bukan sekadar penyampai materi. Hal ini mendukung pengembangan model pembelajaran berbasis student-centered learning yang sejalan dengan prinsip Kurikulum 2013 dan visi madrasah untuk melahirkan lulusan yang religius, kritis, dan berdaya saing.

4.5.       Peningkatan Akuntabilitas dan Profesionalisme Lembaga

Pelaksanaan tes diagnostik juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam layanan pendidikan madrasah. Tes ini menjadi dasar bagi madrasah untuk menyusun laporan perkembangan peserta didik secara berkala, menetapkan strategi peningkatan mutu, dan merumuskan program pembinaan yang berbasis data.

Secara kelembagaan, penggunaan tes diagnostik menegaskan komitmen MA Plus Al-Aqsha terhadap prinsip evidence-based education, yaitu pengambilan kebijakan pendidikan berdasarkan data, bukan asumsi atau intuisi belaka⁽⁷⁾. Dalam jangka panjang, praktik ini akan memperkuat posisi MA Plus Al-Aqsha sebagai madrasah swasta yang adaptif, progresif, dan berorientasi mutu.


Footnotes

[1]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 23–25.

[2]                W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 62.

[3]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2014), 12–16.

[4]                Susan M. Brookhart, How to Use Assessment to Inform Instruction (Alexandria: ASCD, 2013), 34–35.

[5]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026, 22.

[6]                Ibid., 16–17.

[7]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), 100–102.


5.           Implementasi dan Instrumen Tes Diagnostik

Pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha merupakan bagian dari sistem asesmen awal yang berorientasi pada peningkatan kualitas pembelajaran secara kontekstual. Untuk memastikan efektivitas tes diagnostik sebagai alat ukur yang andal dan relevan, implementasi dan perancangannya perlu mempertimbangkan aspek teknis, pedagogis, dan institusional. Hal ini meliputi perencanaan waktu pelaksanaan, struktur dan jenis instrumen, mekanisme pelaksanaan, serta strategi analisis dan tindak lanjut hasil.

5.1.       Waktu dan Strategi Pelaksanaan

Tes diagnostik idealnya dilaksanakan dalam minggu pertama setelah kegiatan Masa Ta’aruf Siswa Madrasah (MATSAMA) selesai. Pelaksanaan pada periode awal ini penting agar data yang diperoleh dapat digunakan secara langsung untuk menyusun perangkat ajar dan strategi pembelajaran semester berjalan. Menurut Nitko dan Brookhart, asesmen diagnostik seharusnya dilakukan “sebelum instruksi dimulai” untuk mengidentifikasi potensi dan hambatan siswa secara dini¹.

MA Plus Al-Aqsha menetapkan pelaksanaan tes diagnostik selama dua hari dengan alokasi waktu 60–90 menit per mata pelajaran utama, yaitu:

·                     Matematika

·                     Bahasa Indonesia

·                     Bahasa Inggris

·                     Pendidikan Agama Islam

·                     IPA/IPS (tergantung peminatan)

Pelaksanaan dilakukan secara klasikal di ruang kelas, dengan pengawasan langsung oleh guru bidang studi masing-masing.

5.2.       Jenis dan Format Instrumen

Agar dapat menggambarkan kesiapan belajar secara menyeluruh, instrumen tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha dirancang dengan memadukan berbagai bentuk soal. Merujuk pada teori taksonomi Bloom yang telah diperbarui oleh Anderson & Krathwohl, soal-soal tersebut mencakup level kognitif mulai dari remembering hingga analyzing².

Adapun format umum yang digunakan meliputi:

·                     Soal Pilihan Ganda (MCQs): untuk mengukur pengetahuan faktual dan konseptual secara cepat.

·                     Soal Isian Singkat: untuk menilai pemahaman terminologi atau prosedural.

·                     Uraian Singkat: untuk melihat kemampuan siswa dalam menjelaskan konsep atau menyelesaikan masalah sederhana.

·                     Soal Praktik/ Konstekstual: khusus untuk mata pelajaran IPA dan Matematika berbasis pemecahan masalah.

Instrumen ini disusun oleh guru mata pelajaran bersama tim pengembang kurikulum madrasah, dengan merujuk pada Kompetensi Dasar (KD) kelas IX sebagai prasyarat untuk pembelajaran di kelas X. Hal ini sesuai dengan prinsip validitas isi, yakni keterkaitan langsung antara indikator soal dan materi yang diukur³.

5.3.       Prinsip Penyusunan Instrumen

Penyusunan instrumen tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha mengikuti prinsip-prinsip berikut:

·                     Validitas: soal harus mengukur keterampilan atau pengetahuan prasyarat yang benar-benar dibutuhkan untuk mempelajari materi kelas X⁴.

·                     Reliabilitas: soal disusun dalam bentuk dan jumlah yang memungkinkan keterulangan hasil yang konsisten.

·                     Keadilan: tidak mengandung bias terhadap latar belakang siswa, baik secara bahasa, budaya, maupun konteks sosial.

·                     Kontekstualisasi lokal: memasukkan elemen budaya atau pengalaman lokal yang familiar bagi peserta didik di Tasikmalaya.

Penerapan prinsip ini mendukung pendekatan kurikulum madrasah yang berbasis karakteristik lokal dan kebutuhan peserta didik sebagaimana diatur dalam Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026.

5.4.       Analisis Hasil dan Tindak Lanjut

Setelah pelaksanaan tes, guru melakukan koreksi dan rekapitulasi hasil. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan peserta didik ke dalam tiga kategori:

·                     Siap (kategori tinggi): sudah menguasai prasyarat, siap mengikuti pembelajaran reguler.

·                     Cukup (kategori sedang): menguasai sebagian, membutuhkan penguatan awal.

·                     Belum Siap (kategori rendah): membutuhkan intervensi remedial khusus.

Hasil ini digunakan sebagai dasar penyusunan perangkat pembelajaran diferensiasi, pengelompokan kelas, dan pelaksanaan program bimbingan belajar intensif. Model ini sejalan dengan prinsip data-informed instruction, yaitu penggunaan data asesmen untuk merancang strategi pembelajaran yang tepat guna⁶.

Guru Bimbingan Konseling (BK) dan wali kelas juga dilibatkan dalam menindaklanjuti hasil tes diagnostik dari sisi non-akademik, seperti kecenderungan gaya belajar, sikap terhadap pelajaran, dan kebutuhan penguatan motivasional. Ini memperkuat pendekatan holistik dalam pendidikan di MA Plus Al-Aqsha.

5.5.       Dukungan Manajemen dan Evaluasi Berkala

Agar implementasi tes diagnostik berjalan optimal dan berkelanjutan, kepala madrasah bersama tim pengembang kurikulum melakukan evaluasi pelaksanaan setiap tahun. Evaluasi meliputi efektivitas instrumen, kendala teknis, dan manfaat hasil tes terhadap perencanaan pembelajaran. Temuan evaluasi menjadi masukan bagi pengembangan instrumen tahun berikutnya dan peningkatan profesionalisme guru.

Pelaksanaan yang sistematis ini mencerminkan model manajemen berbasis sekolah (school-based management) yang menekankan pada otonomi, akuntabilitas, dan peningkatan mutu berkelanjutan⁷.


Footnotes

[1]                Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 105.

[2]                Lorin W. Anderson and David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–70.

[3]                W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 68–70.

[4]                Susan M. Brookhart, How to Create and Use Rubrics for Formative Assessment and Grading (Alexandria: ASCD, 2013), 33–35.

[5]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 5–6.

[6]                Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed. (Bloomington: Solution Tree Press, 2018), 123–127.

[7]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), 95–98.


6.           Integrasi Tes Diagnostik dengan Kurikulum Madrasah

Agar pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha memiliki relevansi pedagogis dan operasional, maka integrasinya dengan kurikulum madrasah menjadi sebuah keniscayaan. Tes diagnostik bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari sistem kurikulum berbasis kebutuhan peserta didik, visi institusional, serta standar nasional pendidikan. Dalam konteks tersebut, integrasi ini mencakup dimensi filosofis, struktural, dan prosedural.

6.1.       Kesesuaian dengan Prinsip Pengembangan Kurikulum

Salah satu prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No. 61 Tahun 2014 adalah berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya¹. Tes diagnostik memberikan data awal yang konkret tentang kesiapan akademik dan psikososial peserta didik, sehingga kurikulum dapat disesuaikan untuk menciptakan proses belajar yang bermakna, kontekstual, dan adaptif.

MA Plus Al-Aqsha telah mengembangkan kurikulum dengan mengacu pada prinsip tersebut. Dalam Dokumen 1 Tahun Pelajaran 2025/2026, ditegaskan bahwa proses pembelajaran di madrasah harus mampu menjawab keragaman karakter peserta didik melalui pendekatan aktif, kreatif, dan reflektif². Tes diagnostik menjadi alat bantu yang sahih untuk mengidentifikasi kebutuhan dan karakteristik tersebut secara ilmiah.

6.2.       Penguatan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Integrasi tes diagnostik juga memperkuat pendekatan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang menekankan pada pencapaian kompetensi tertentu sebagai hasil akhir proses pembelajaran. Kompetensi tersebut terdiri dari aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap³. Tes diagnostik memberikan informasi tentang sejauh mana peserta didik telah menguasai kompetensi prasyarat dari jenjang sebelumnya.

Informasi ini menjadi rujukan bagi guru dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pemetaan Kompetensi Dasar (KD), dan pengembangan modul pengayaan/remedial. Dengan demikian, hasil tes diagnostik tidak hanya menjadi data pasif, melainkan bagian dari siklus instruksional yang dinamis⁴.

6.3.       Penyesuaian Strategi Pembelajaran Berdiferensiasi

Kurikulum madrasah yang ideal harus menyediakan ruang bagi penerapan pembelajaran berdiferensiasi (differentiated instruction), yakni strategi pengajaran yang disesuaikan dengan tingkat kesiapan, minat, dan profil belajar peserta didik. Tes diagnostik menjadi fondasi data untuk mengimplementasikan strategi ini secara tepat.

Tomlinson menjelaskan bahwa tanpa data awal yang valid, diferensiasi berisiko menjadi stereotip atau asumsi guru semata⁵. Di MA Plus Al-Aqsha, hasil tes diagnostik dimanfaatkan untuk merancang kelompok belajar homogen/heterogen, menetapkan target individual, serta menyesuaikan media dan pendekatan pembelajaran di dalam kelas. Hal ini sejalan dengan visi madrasah untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan dan partisipatif.

6.4.       Penyesuaian Program Layanan Khusus dan Pengembangan Karakter

Integrasi tes diagnostik tidak hanya mencakup aspek kognitif, tetapi juga mendukung pelaksanaan program layanan khusus, seperti bimbingan konseling, remedial teaching, dan pembinaan karakter. Dalam kurikulum MA Plus Al-Aqsha, penguatan karakter melalui PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) dan GLM (Gerakan Literasi Madrasah) menjadi prioritas⁶.

Data dari tes diagnostik dapat mengidentifikasi siswa yang membutuhkan intervensi khusus, seperti peningkatan kepercayaan diri, motivasi belajar, atau keterampilan berpikir kritis. Guru BK dapat memanfaatkan hasil tes ini untuk menyusun program konseling individual maupun kelompok yang sesuai dengan kondisi nyata peserta didik.

6.5.       Mendukung Implementasi Kurikulum Merdeka secara Parsial

Walaupun MA Plus Al-Aqsha masih menerapkan KTSP 2013, semangat Kurikulum Merdeka—terutama dalam hal asesmen diagnostik dan diferensiasi pembelajaran—dapat diimplementasikan secara parsial. Kurikulum Merdeka menempatkan asesmen diagnostik sebagai komponen wajib sebelum menyusun capaian pembelajaran⁷.

Melalui tes diagnostik, madrasah dapat mulai mengadopsi prinsip-prinsip transformatif dari Kurikulum Merdeka tanpa mengabaikan struktur formal KTSP. Hal ini memperkuat kapasitas institusi dalam menyongsong perubahan paradigma pembelajaran masa depan secara bertahap.


Simpulan

Integrasi tes diagnostik ke dalam kurikulum madrasah bukan hanya soal teknis evaluasi awal, tetapi merupakan komitmen terhadap penyelenggaraan pendidikan yang berpihak pada peserta didik. Tes ini menjadi simpul antara diagnosis dan desain instruksional yang berlandaskan data, menciptakan siklus belajar yang adaptif, reflektif, dan berkeadilan. Di MA Plus Al-Aqsha, integrasi ini mendukung terwujudnya sistem pembelajaran yang kontekstual, terukur, dan visioner.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2014).

[2]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 3–4.

[3]                Majelis Pendidikan Nasional, Model Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Depdiknas, 2003), 12–14.

[4]                W. James Popham, Transformative Assessment, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2011), 89–91.

[5]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2014), 18–22.

[6]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026, 3–5.

[7]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka Jenjang SMA/MA (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7–9.


7.           Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Tes Diagnostik

Meskipun tes diagnostik memiliki urgensi dan manfaat strategis dalam mendukung pembelajaran yang adaptif dan responsif terhadap kondisi peserta didik, implementasinya tidak luput dari berbagai tantangan teknis, pedagogis, dan institusional. Di lingkungan madrasah seperti MA Plus Al-Aqsha, tantangan-tantangan ini memerlukan penanganan yang sistematis dan solutif agar tujuan asesmen awal benar-benar tercapai dan tidak menjadi sekadar formalitas administratif.

7.1.       Tantangan: Keterbatasan Kompetensi Guru dalam Penyusunan Instrumen

Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan tes diagnostik adalah kurangnya kemampuan sebagian guru dalam menyusun instrumen asesmen yang valid, reliabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip asesmen diagnostik. Banyak guru yang terbiasa menyusun soal sumatif, tetapi belum terlatih dalam merancang tes diagnostik berbasis kompetensi prasyarat dan indikator awal¹.

Kondisi ini terlihat di MA Plus Al-Aqsha, di mana sebagian guru belum memiliki latar belakang linier dengan mata pelajaran yang diampunya, sebagaimana tercantum dalam Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026.² Keterbatasan ini dapat menyebabkan rendahnya validitas isi (content validity) dan kesesuaian instrumen terhadap tujuan diagnostik.

Solusi: Pihak madrasah perlu menyelenggarakan pelatihan internal (in-house training) secara rutin mengenai penyusunan instrumen diagnostik berbasis assessment for learning. Pendampingan oleh guru inti atau narasumber dari KKG/KKM juga dapat meningkatkan kapasitas guru secara berkelanjutan³.

7.2.       Tantangan: Waktu dan Teknis Pelaksanaan yang Terbatas

Madrasah sering kali menghadapi tekanan jadwal yang padat pada awal tahun ajaran, termasuk kegiatan MATSAMA, pembagian kelas, dan persiapan administrasi. Situasi ini menyulitkan penjadwalan tes diagnostik secara optimal. Selain itu, terbatasnya sarana seperti ruang ujian, perangkat cetak soal, atau fasilitas digital juga menjadi penghambat di madrasah swasta dengan dana terbatas⁴.

Solusi: Kepala madrasah perlu memasukkan pelaksanaan tes diagnostik ke dalam kalender pendidikan resmi madrasah dan menetapkannya sebagai program prioritas. Selain itu, penggunaan model tes berjenjang atau tes adaptif yang disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia, seperti tes tertulis sederhana dan observasi langsung, dapat menjadi alternatif⁵.

7.3.       Tantangan: Minimnya Analisis dan Tindak Lanjut Hasil Tes

Di beberapa satuan pendidikan, hasil tes diagnostik tidak dimanfaatkan secara optimal. Guru cenderung hanya merekap nilai, tanpa menganalisis tren data untuk merancang strategi pengajaran diferensial atau intervensi awal. Hal ini mengurangi makna dari tes diagnostik sebagai alat pengarah strategi pembelajaran⁶.

Solusi: Penguatan budaya data-driven instruction harus menjadi bagian dari program peningkatan mutu madrasah. Hasil tes perlu dianalisis tidak hanya secara individual, tetapi juga secara klasikal dan lintas mata pelajaran. Guru dapat menggunakan lembar analisis sederhana untuk mengelompokkan peserta didik berdasarkan tingkat kesiapan dan kebutuhan intervensi, yang kemudian digunakan dalam penyusunan RPP diferensial.

7.4.       Tantangan: Persepsi Peserta Didik dan Orang Tua terhadap Tes Diagnostik

Sebagian peserta didik maupun orang tua menganggap tes diagnostik sebagai bentuk “ujian” yang menegangkan atau memengaruhi kelulusan. Hal ini dapat menimbulkan resistansi dan menurunkan kejujuran siswa dalam mengerjakan soal. Di sisi lain, guru juga perlu menjelaskan peran tes ini secara komunikatif.

Solusi: Sosialisasi kepada peserta didik dan orang tua sangat penting untuk menjelaskan bahwa tes diagnostik bukan penentu nilai akhir, melainkan alat bantu untuk memahami kebutuhan belajar. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip assessment for learning, yang menekankan bahwa asesmen harus mendukung pembelajaran, bukan menghakimi hasil belajar⁷.

7.5.       Tantangan: Keterbatasan Sistem Dokumentasi dan Pelaporan

Di banyak madrasah, termasuk MA Plus Al-Aqsha, belum tersedia sistem yang sistematis untuk mendokumentasikan dan mengarsipkan hasil tes diagnostik, baik secara digital maupun manual. Hal ini menyulitkan guru dalam memantau perkembangan peserta didik secara longitudinal.

Solusi: Madrasah dapat membangun sistem arsip sederhana berbasis Excel atau aplikasi gratis (seperti Google Sheets) untuk menyimpan data hasil tes dan tindak lanjutnya. Pusat data ini dapat dikelola oleh guru mata pelajaran atau tim pengembang kurikulum untuk menjadi bagian dari portofolio asesmen setiap siswa.


Kesimpulan

Tantangan dalam penerapan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha merupakan refleksi dari dinamika umum satuan pendidikan yang sedang bergerak menuju sistem pembelajaran berbasis data dan kebutuhan peserta didik. Melalui perencanaan yang matang, pelatihan guru yang konsisten, serta pemanfaatan hasil asesmen secara optimal, tes diagnostik dapat menjadi instrumen transformatif dalam mewujudkan pembelajaran yang inklusif dan bermutu tinggi.


Footnotes

[1]                Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 107–109.

[2]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 17.

[3]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), 96–98.

[4]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026, 6.

[5]                Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed. (Bloomington: Solution Tree Press, 2018), 135–137.

[6]                W. James Popham, Transformative Assessment, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2011), 112–114.

[7]                Paul Black and Dylan Wiliam, Inside the Black Box: Raising Standards Through Classroom Assessment, Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998): 139–148.


8.           Studi Tindak Lanjut dan Rekomendasi

Pelaksanaan tes diagnostik hanya akan memberikan dampak signifikan terhadap mutu pembelajaran jika diikuti dengan tindak lanjut yang terencana dan berbasis data. Tanpa tahapan ini, tes diagnostik hanya menjadi rutinitas administratif yang kehilangan nilai strategisnya. Oleh karena itu, MA Plus Al-Aqsha perlu merancang sistem tindak lanjut yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk memastikan hasil tes dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam pengambilan keputusan pembelajaran.

8.1.       Analisis Hasil dan Pengelompokan Peserta Didik

Langkah awal dari tindak lanjut adalah melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif terhadap hasil tes diagnostik. Analisis ini tidak hanya berfokus pada nilai akhir, tetapi pada pola kesalahan, tingkat penguasaan kompetensi prasyarat, dan indikator yang gagal dicapai peserta didik. Brookhart menekankan pentingnya menggunakan hasil asesmen untuk mengelompokkan peserta didik dalam kategori kesiapan belajar agar guru dapat merancang pendekatan yang lebih personal dan tepat sasaran¹.

Di MA Plus Al-Aqsha, hasil tes dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori:

·                     Tinggi: Siswa siap mengikuti pembelajaran reguler tanpa penguatan awal.

·                     Sedang: Siswa memerlukan pengulangan materi prasyarat.

·                     Rendah: Siswa membutuhkan intervensi remedial berbasis individu.

Pengelompokan ini menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan pembelajaran diferensiasi di kelas dan pembinaan secara khusus di luar jam pelajaran.

8.2.       Perancangan Program Remedial dan Pengayaan

Hasil tes diagnostik menjadi referensi utama dalam penyusunan program remedial dan pengayaan. Bagi siswa dalam kategori rendah, guru perlu menyusun kegiatan remedial yang bersifat konseptual dan aplikatif, dengan memperhatikan gaya belajar dan latar belakang siswa. Sebaliknya, siswa dalam kategori tinggi dapat diberikan program pengayaan berupa soal tingkat berpikir tinggi (HOTS), proyek mini, atau aktivitas eksploratif.

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip formative use of assessment, di mana tes tidak berfungsi sebagai alat seleksi, tetapi sebagai sarana peningkatan dan pembinaan pembelajaran². Implementasi ini juga mencerminkan tanggung jawab etik guru untuk memastikan semua siswa mendapatkan hak belajar secara adil sesuai potensi dan kebutuhan mereka.

8.3.       Kolaborasi Antar Guru, BK, dan Wali Kelas

Tindak lanjut tes diagnostik tidak hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran, tetapi melibatkan kolaborasi lintas fungsi, termasuk guru BK dan wali kelas. Guru BK dapat menggunakan hasil tes untuk menyusun profil psikopedagogis siswa dan merancang bimbingan belajar atau konseling belajar. Wali kelas dapat melakukan komunikasi dengan orang tua/wali untuk menyampaikan temuan awal dan langkah pembinaan lanjutan di rumah.

Black dan Wiliam menekankan bahwa asesmen yang efektif hanya dapat berdampak jika ada interaksi yang bermakna antara siswa, guru, dan orang tua dalam memahami hasil dan menyusun strategi perbaikan bersama³.

8.4.       Dokumentasi dan Monitoring Berkala

Tindak lanjut harus disertai dengan sistem dokumentasi dan monitoring hasil pembelajaran setelah intervensi. Data ini dapat digunakan untuk membandingkan progres peserta didik sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran berbasis hasil tes diagnostik. Guru dapat membuat portofolio per siswa yang mencakup:

·                     Hasil tes awal

·                     Catatan tindak lanjut (remedial/pengayaan)

·                     Hasil evaluasi lanjutan

Portofolio ini sejalan dengan pendekatan assessment as learning, di mana peserta didik juga dilibatkan dalam proses refleksi dan perbaikan diri⁴. Hal ini memperkuat budaya belajar yang mandiri dan bertanggung jawab.

8.5.       Rekomendasi Strategis untuk MA Plus Al-Aqsha

Berdasarkan temuan dan implementasi tes diagnostik sejauh ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk memperkuat pelaksanaannya di masa mendatang:

1)                  Kelembagaan

Menetapkan tes diagnostik sebagai bagian tetap dari agenda akademik tahunan madrasah.

Membangun sistem arsip digital untuk menyimpan hasil dan tindak lanjut secara terintegrasi.

2)                  Peningkatan Kompetensi

Menyelenggarakan pelatihan guru tentang asesmen formatif dan diferensiasi berbasis data hasil tes.

Melibatkan guru dalam forum KKG/KKM untuk berbagi praktik terbaik penyusunan dan analisis tes diagnostik.

3)                  Inovasi dan Teknologi

Mengembangkan format tes berbasis digital sederhana (misalnya menggunakan Google Forms) untuk efisiensi pelaksanaan dan koreksi.

Menyusun bank soal diagnostik yang dapat direvisi dan digunakan setiap tahun.

4)                  Penguatan Peran BK dan Orang Tua

Melibatkan guru BK dalam pemetaan non-kognitif dari hasil tes (motivasi, kepercayaan diri, dll.).

Melakukan parent meeting awal tahun ajaran untuk menyosialisasikan tujuan dan hasil tes diagnostik serta mengajak kolaborasi pembinaan siswa.


Kesimpulan

Tes diagnostik yang dilaksanakan di awal tahun ajaran memiliki potensi besar sebagai fondasi pengembangan pembelajaran yang adaptif, berbasis data, dan partisipatif. Namun, potensi tersebut hanya dapat diwujudkan melalui tindak lanjut yang sistematis dan kolaboratif. Dengan perencanaan yang matang dan pelibatan semua pemangku kepentingan, MA Plus Al-Aqsha dapat menjadikan tes diagnostik sebagai bagian integral dari manajemen mutu pembelajaran yang berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Susan M. Brookhart, How to Use Assessment Results for Learning, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2014), 41–44.

[2]                W. James Popham, Transformative Assessment, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2011), 102–105.

[3]                Paul Black and Dylan Wiliam, Inside the Black Box: Raising Standards Through Classroom Assessment, Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998): 139–148.

[4]                Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment to Maximize Student Learning (Thousand Oaks: Corwin Press, 2003), 65–69.


9.           Penutup

Pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha sebagai bagian dari strategi asesmen awal pembelajaran memiliki nilai strategis yang tinggi dalam membangun sistem pendidikan yang adaptif, partisipatif, dan berbasis data. Dalam konteks tantangan global dan lokal pendidikan abad ke-21, keberhasilan pembelajaran tidak lagi hanya ditentukan oleh kelengkapan kurikulum atau metode pengajaran, tetapi juga oleh kemampuan satuan pendidikan untuk memahami dan merespons kondisi awal peserta didik secara holistik.

Tes diagnostik, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur pendidikan mutakhir, bukan sekadar alat ukur kemampuan akademik awal, melainkan sebuah instrumen diagnosis yang memungkinkan guru merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi siswa¹. Dengan memahami tingkat kesiapan dan kompetensi prasyarat peserta didik baru sejak awal tahun ajaran, guru dapat meminimalisasi terjadinya learning loss dan mempercepat adaptasi pembelajaran.

Di MA Plus Al-Aqsha, pelaksanaan tes diagnostik telah membuktikan relevansinya dalam mendukung prinsip-prinsip pengembangan kurikulum berbasis potensi dan kebutuhan peserta didik². Melalui integrasi yang sistematis dengan perangkat kurikulum seperti RPP, modul pembelajaran, program penguatan karakter, hingga kegiatan remedial dan pengayaan, tes diagnostik menjadi simpul penting dalam pengambilan keputusan instruksional yang berbasis data.

Meskipun demikian, implementasi tes ini tidak luput dari sejumlah tantangan seperti keterbatasan kompetensi guru dalam menyusun instrumen, keterbatasan waktu dan sumber daya, serta belum optimalnya analisis dan tindak lanjut hasil. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen kolektif dari seluruh elemen madrasah untuk mengembangkan pelatihan profesional, manajemen data yang sistematis, serta budaya refleksi berkelanjutan³.

Dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional yang mulai mengarah pada paradigma Kurikulum Merdeka, asesmen diagnostik memiliki posisi yang semakin strategis sebagai dasar bagi pembelajaran berdiferensiasi dan berbasis kebutuhan peserta didik⁴. Dengan demikian, MA Plus Al-Aqsha dapat menjadikan tes diagnostik sebagai bagian integral dari manajemen mutu pembelajaran yang transformatif dan berorientasi pada pelayanan pendidikan yang berkeadilan.

Akhirnya, keberhasilan implementasi tes diagnostik bukan terletak pada seberapa tinggi nilai siswa, tetapi pada seberapa jauh hasil tes digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan belajar secara autentik. Hal ini sejalan dengan semangat assessment for learning, yang menempatkan asesmen sebagai bagian dari proses belajar, bukan sekadar pengukuran hasil belajar⁵.


Footnotes

[1]                Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment, 2nd ed. (Bloomington: Solution Tree Press, 2018), 121–125.

[2]                MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 3–6.

[3]                Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), 98–102.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka Jenjang SMA/MA (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 8–10.

[5]                Paul Black and Dylan Wiliam, Assessment and Classroom Learning, Assessment in Education 5, no. 1 (1998): 7–74.


Daftar Pustaka

Black, P., & Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment in Education: Principles, Policy & Practice, 5(1), 7–74. https://doi.org/10.1080/0969595980050102

Black, P., & Wiliam, D. (1998). Inside the black box: Raising standards through classroom assessment. Phi Delta Kappan, 80(2), 139–148.

Brookhart, S. M. (2013). How to create and use rubrics for formative assessment and grading. Alexandria, VA: ASCD.

Brookhart, S. M. (2014). How to use assessment results for learning (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.

Darling-Hammond, L., Banks, J., Zumwalt, K., Gómez, L., Sherin, M. G., Griesdorn, J., & Finn, L. E. (2005). Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Earl, L. M. (2003). Assessment as learning: Using classroom assessment to maximize student learning. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen Kurikulum Merdeka jenjang SMA/MA. Jakarta: Kemendikbudristek.

MA Plus Al-Aqsha. (2024). Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026. Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha.

Majelis Pendidikan Nasional. (2003). Model kurikulum berbasis kompetensi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Nitko, A. J., & Brookhart, C. M. (2014). Educational assessment of students (7th ed.). Boston, MA: Pearson.

Popham, W. J. (2011). Transformative assessment (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.

Popham, W. J. (2017). Classroom assessment: What teachers need to know (8th ed.). Boston, MA: Pearson.

Stiggins, R. J. (2010). Assessment for learning: An essential foundation for productive instruction. Phi Delta Kappan, 92(2), 20–25.

Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.

Wiliam, D. (2018). Embedded formative assessment (2nd ed.). Bloomington, IN: Solution Tree Press.

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York, NY: Longman.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar