Tes Diagnostik bagi Peserta Didik Baru
PPDB MA Plus Al-Aqsha Tahun Ajaran 2025/2026
Alihkan ke: Kurikulum 2013, Asesmen
Diagnostik, Asesmen
Diagnostik dalam Pendidikan.
Abstrak
Artikel ini membahas urgensi, implementasi, serta
tantangan dan solusi dari pelaksanaan tes diagnostik sebagai instrumen awal
penilaian kompetensi peserta didik baru di MA Plus Al-Aqsha Tahun Ajaran
2025/2026. Tes diagnostik digunakan untuk memetakan tingkat kesiapan akademik
peserta didik dalam aspek kognitif dasar, khususnya pada mata pelajaran inti,
guna mendukung perencanaan pembelajaran berdiferensiasi dan berbasis data.
Kajian ini mengintegrasikan analisis konseptual, teori asesmen, kebijakan
kurikulum nasional, serta kondisi faktual madrasah berdasarkan Dokumen 1
Kurikulum MA Plus Al-Aqsha. Artikel ini menguraikan bahwa tes diagnostik
memiliki nilai strategis dalam membangun sistem pembelajaran yang adil,
responsif, dan kontekstual. Melalui analisis hasil tes, guru dapat merancang
strategi pembelajaran yang tepat guna, termasuk program remedial dan pengayaan.
Namun demikian, implementasi tes ini menghadapi tantangan seperti keterbatasan
kompetensi guru dalam menyusun instrumen, keterbatasan waktu dan sarana, serta
lemahnya tindak lanjut. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan penguatan
kapasitas guru, manajemen data asesmen, serta pelibatan kolaboratif antar
pemangku kepentingan madrasah untuk menjadikan tes diagnostik sebagai bagian
integral dari manajemen mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Kata Kunci: Tes diagnostik, asesmen awal, pembelajaran
berdiferensiasi, MA Plus Al-Aqsha, kurikulum madrasah, manajemen mutu
pendidikan.
PEMBAHASAN
Tes Diagnostik sebagai Instrumen Awal Penilaian Kompetensi
Peserta Didik Baru di MA Plus Al-Aqsha Tahun Ajaran 2025/2026
1.
Pendahuluan
Dalam setiap awal tahun ajaran, keberhasilan proses
pendidikan di satuan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana institusi
tersebut mampu memahami karakteristik dan potensi awal peserta didiknya. Dalam
konteks ini, tes diagnostik merupakan salah satu bentuk asesmen awal
(initial assessment) yang digunakan untuk memetakan kesiapan belajar, kekuatan,
kelemahan, serta kebutuhan belajar peserta didik secara individual. Tes ini
berfungsi sebagai jembatan antara kondisi awal peserta didik dengan rancangan strategi
pembelajaran yang sesuai dan adaptif.
Tes diagnostik memiliki kedudukan strategis dalam
kerangka Assessment for Learning (AfL), yaitu penilaian yang dilakukan
untuk memperbaiki proses belajar-mengajar secara berkelanjutan. Dengan tes ini,
guru dapat mengenali kondisi kognitif dan afektif siswa sejak dini sehingga
proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan berpusat pada kebutuhan aktual
siswa. Seperti yang dijelaskan oleh Black dan Wiliam, asesmen formatif—yang
salah satunya mencakup tes diagnostik—mampu meningkatkan prestasi belajar
secara signifikan jika digunakan secara sistematis dalam siklus
belajar-mengajar¹.
Pentingnya pelaksanaan tes diagnostik juga
diperkuat oleh pendekatan konstruktivisme, yang menekankan bahwa
pengetahuan tidak dapat ditransfer secara langsung, melainkan harus dibangun
berdasarkan pengalaman dan pemahaman awal peserta didik. Dalam hal ini, guru
perlu mengetahui apa yang sudah diketahui dan dipahami siswa sebelum
mengajarkan materi baru². Hal ini sejalan dengan pandangan Vygotsky mengenai Zona
Perkembangan Proksimal (ZPD), yaitu jarak antara kemampuan yang dimiliki
siswa secara mandiri dan kemampuan yang dapat dicapai dengan bantuan guru atau
teman sejawat³. Tes diagnostik membantu guru mengidentifikasi titik awal ZPD
tersebut agar intervensi pedagogik lebih tepat sasaran.
Dalam konteks MA Plus Al-Aqsha sebagai madrasah
menengah berbasis karakter dan religiusitas, pelaksanaan tes diagnostik menjadi
sangat relevan. Berdasarkan Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026,
madrasah ini memiliki karakteristik peserta didik yang beragam dari segi
motivasi, kemampuan akademik, dan latar belakang sosial-budaya. Analisis
karakteristik peserta didik menunjukkan adanya variasi dalam aspek kepercayaan
diri, kemampuan berpikir kritis, dan pengelolaan waktu, yang memerlukan
pendekatan pembelajaran yang adaptif dan berbasis data aktual⁴.
Penerapan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha juga
merupakan bentuk implementasi prinsip kurikulum yang berpusat pada potensi,
perkembangan, dan kebutuhan peserta didik, sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang KTSP pada
Pendidikan Dasar dan Menengah⁵. Selain itu, dalam upaya mewujudkan keterampilan
abad ke-21 (4C: Critical Thinking, Communication, Collaboration, and
Creativity), identifikasi awal melalui tes diagnostik menjadi langkah awal
untuk merancang strategi pengembangan kompetensi secara lebih efektif⁶.
Dengan demikian, keberadaan tes diagnostik tidak
hanya menjadi kebutuhan teknis dalam rangka penyesuaian pembelajaran, tetapi
juga bagian dari strategi kurikuler dan manajerial yang berorientasi pada mutu,
efisiensi, dan keadilan dalam layanan pendidikan. Kajian ini bertujuan untuk
menguraikan konsep, fungsi, dan penerapan tes diagnostik dalam konteks MA Plus
Al-Aqsha, sekaligus menegaskan kontribusinya dalam menciptakan sistem
pembelajaran yang berkeadilan, kontekstual, dan berbasis kebutuhan nyata
peserta didik.
Footnotes
[1]
Paul Black dan Dylan Wiliam, Assessment and
Classroom Learning, Assessment in Education: Principles, Policy &
Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.
[2]
Jerome Bruner, The Process of Education
(Cambridge: Harvard University Press, 1960), 17–20.
[3]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development
of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge:
Harvard University Press, 1978), 86–87.
[4]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 19–22.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbud, 2014).
[6]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026, 3–4.
2.
Konsep
Dasar Tes Diagnostik
Tes diagnostik merupakan salah satu jenis asesmen
yang dilakukan di awal proses pembelajaran untuk mengidentifikasi kemampuan,
kelemahan, serta kebutuhan belajar peserta didik secara individual. Berbeda
dengan tes formatif atau sumatif yang digunakan untuk mengevaluasi proses atau
hasil belajar, tes diagnostik bersifat prediktif dan korektif—berfungsi untuk
menggali informasi awal tentang kesiapan siswa terhadap suatu materi dan untuk
merancang intervensi yang sesuai sebelum kegiatan belajar berlangsung¹.
Menurut Nitko dan Brookhart, tes diagnostik adalah
asesmen yang dirancang untuk mengungkapkan secara rinci kesenjangan
pengetahuan, pemahaman konsep, dan keterampilan peserta didik terhadap
tujuan-tujuan pembelajaran yang akan datang². Melalui tes ini, pendidik dapat
menentukan apakah seorang peserta didik memerlukan penguatan konsep, pengajaran
ulang, atau strategi pengajaran khusus guna mencapai kompetensi yang
diharapkan.
Tes diagnostik biasanya dilakukan dalam bentuk
instrumen tertulis, tugas praktik, atau observasi kinerja yang mengacu pada
indikator pembelajaran dasar yang telah ditetapkan. Formatnya dapat berupa
pilihan ganda, isian singkat, uraian, hingga tugas proyek ringan, tergantung
pada tujuan asesmen dan mata pelajaran yang diujikan. Salah satu keunggulan tes
diagnostik adalah fleksibilitasnya dalam mengukur aspek-aspek kognitif
(pengetahuan dan pemahaman), afektif (motivasi, sikap), maupun psikomotorik
(keterampilan teknis) dari peserta didik³.
Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pelaksanaan
tes diagnostik sejalan dengan prinsip penilaian dalam Permendikbud No. 23
Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, yang menekankan pentingnya
penilaian sebagai bagian integral dari proses pembelajaran dan sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan pedagogik⁴. Tes diagnostik membantu guru memahami
apa yang telah diketahui siswa, apa yang belum dipahami, dan bagaimana
pembelajaran sebaiknya dirancang untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Berdasarkan perspektif pedagogis, tes diagnostik
juga menjadi manifestasi dari pendekatan Assessment for Learning (AfL),
yakni penilaian yang bertujuan bukan hanya untuk menilai hasil, tetapi untuk
memperbaiki proses belajar itu sendiri. Seperti dikemukakan oleh Stiggins,
penilaian formatif seperti tes diagnostik memberikan umpan balik yang mendalam,
mendorong refleksi belajar, dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang
responsif terhadap kebutuhan siswa⁵.
Tes diagnostik juga erat kaitannya dengan asas
pembelajaran diferensiasi (differentiated instruction), yaitu pendekatan
pengajaran yang menyesuaikan isi, proses, dan produk belajar berdasarkan profil
peserta didik. Informasi hasil tes diagnostik menjadi bahan dasar dalam
merancang strategi pembelajaran yang adaptif, adil, dan inklusif, sehingga
potensi belajar setiap individu dapat dikembangkan secara optimal⁶.
Dalam konteks MA Plus Al-Aqsha, yang memiliki
peserta didik dari latar belakang sosial, budaya, dan kemampuan akademik yang
heterogen, tes diagnostik menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa proses
pembelajaran tidak berangkat dari asumsi homogenitas siswa, melainkan dari data
faktual yang objektif. Dengan demikian, tes diagnostik tidak hanya berfungsi
sebagai alat ukur, tetapi sebagai bagian dari strategi peningkatan mutu
pembelajaran dan keadilan pendidikan.
Footnotes
[1]
Linda Darling-Hammond et al., Assessment and
Teaching of 21st Century Skills (Dordrecht: Springer, 2012), 37–39.
[2]
Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational
Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 104–105.
[3]
W. James Popham, Classroom Assessment: What
Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 62–63.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).
[5]
Richard J. Stiggins, Assessment for Learning: An
Essential Foundation for Productive Instruction, Phi Delta Kappan
92, no. 2 (2010): 20–25.
[6]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated
Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria:
ASCD, 2014), 10–15.
3.
Landasan
Teoretis
Pelaksanaan tes diagnostik sebagai asesmen awal
dalam dunia pendidikan memiliki fondasi teoretis yang kuat dalam beberapa
paradigma pendidikan modern, terutama dalam ranah psikologi pendidikan, teori
belajar, dan teori asesmen. Pemahaman terhadap landasan teoretis ini penting
untuk memastikan bahwa tes diagnostik tidak sekadar menjadi prosedur
administratif, melainkan merupakan bagian integral dari strategi pedagogik yang
berbasis ilmiah dan humanistik.
3.1.
Teori Konstruktivisme dalam
Pendidikan
Landasan paling utama bagi tes diagnostik terletak
pada pendekatan konstruktivistik terhadap pembelajaran. Menurut Jean Piaget,
peserta didik membangun pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi
berdasarkan skema kognitif yang telah dimiliki sebelumnya¹. Oleh karena itu,
guru perlu memahami "struktur pengetahuan awal" siswa sebelum
menyampaikan materi baru.
Vygotsky memperdalam pendekatan ini dengan konsep Zona
Perkembangan Proksimal (ZPD), yaitu rentang kemampuan yang dapat dicapai
peserta didik hanya dengan bimbingan atau dukungan pihak lain, seperti guru
atau teman sejawat². Tes diagnostik membantu guru mengidentifikasi posisi awal
peserta didik dalam ZPD mereka dan merancang intervensi yang tepat untuk
mengoptimalkan perkembangan belajarnya.
3.2.
Teori Belajar Humanistik
Dalam perspektif teori belajar humanistik, seperti
yang dikemukakan Carl Rogers dan Abraham Maslow, pendidikan seharusnya berfokus
pada pengembangan potensi individual secara menyeluruh—baik kognitif, afektif,
maupun psikomotorik³. Tes diagnostik, dalam konteks ini, berfungsi sebagai
bentuk asesmen yang menghormati keberagaman latar belakang dan kesiapan siswa,
serta sebagai alat untuk merancang pendekatan pembelajaran yang lebih personal
dan manusiawi.
Pendekatan ini sangat sejalan dengan prinsip
pendidikan Islam yang menekankan ta’dib (pendidikan adab dan akhlak),
yang tidak hanya bertumpu pada hasil kognitif, melainkan juga pada pemahaman
utuh tentang individu peserta didik.
3.3.
Assessment for Learning (AfL)
Tes diagnostik juga memiliki akar yang kuat dalam
paradigma Assessment for Learning, yaitu penilaian yang dirancang untuk
mendukung pembelajaran, bukan sekadar mengukurnya. Black dan Wiliam menekankan
bahwa asesmen formatif (termasuk tes diagnostik) memiliki efek positif yang besar
terhadap peningkatan hasil belajar jika dilakukan dengan benar⁴. Dalam konteks
ini, hasil tes diagnostik dijadikan sebagai bahan refleksi bagi guru dan siswa
untuk merancang strategi pembelajaran yang adaptif, diferensial, dan
berorientasi pada peningkatan performa belajar.
AfL juga mencakup umpan balik formatif yang
bersifat membangun dan bersumber dari data yang sahih. Tes diagnostik sebagai
bagian dari sistem penilaian berbasis kelas dapat membantu dalam memberikan feedback
yang bersifat personal, serta mendukung self-regulated learning pada
peserta didik⁵.
3.4.
Teori Evaluasi Diagnostik dalam
Psikometri
Dari sisi teori asesmen, tes diagnostik merujuk
pada model evaluasi awal yang bertujuan untuk mengidentifikasi “prasyarat” yang
harus dimiliki peserta didik sebelum memulai unit pembelajaran tertentu. Nitko
dan Brookhart menyebut asesmen ini sebagai diagnostic assessment, yang
bertujuan bukan untuk memberikan nilai, tetapi untuk membantu pengambilan
keputusan dalam perencanaan instruksional⁶.
Tes diagnostik juga berkaitan erat dengan prinsip validitas
isi (content validity), karena instrumen yang digunakan harus mencerminkan
secara akurat kompetensi prasyarat yang dibutuhkan dalam pembelajaran
selanjutnya⁷. Oleh karena itu, perancangan tes ini harus dilakukan dengan
cermat berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD) yang berlaku
serta profil awal peserta didik.
Dengan dasar-dasar teoretis tersebut, maka
pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha tidak hanya dilandasi oleh
kebutuhan administratif semata, melainkan merupakan strategi pembelajaran
berbasis ilmu yang memungkinkan penyusunan desain pembelajaran yang efektif,
personal, dan adil. Tes ini akan memperkuat praktik pedagogi yang kontekstual,
responsif terhadap data, dan selaras dengan karakter peserta didik di
lingkungan madrasah yang beragam.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence
(New York: Routledge, 2001), 71–73.
[2]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development
of Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge:
Harvard University Press, 1978), 86–87.
[3]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed.
(New York: Merrill, 1994), 105–108.
[4]
Paul Black and Dylan Wiliam, Assessment and
Classroom Learning, Assessment in Education: Principles, Policy & Practice
5, no. 1 (1998): 7–74.
[5]
Rick Stiggins, Assessment for Learning: An
Essential Foundation for Productive Instruction, Phi Delta Kappan
92, no. 2 (2010): 20–25.
[6]
Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational
Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 104–107.
[7]
W. James Popham, Classroom Assessment: What
Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 68–69.
4.
Urgensi
Tes Diagnostik di MA Plus Al-Aqsha
Pelaksanaan tes diagnostik bagi peserta didik baru
di MA Plus Al-Aqsha memiliki urgensi yang tinggi, baik secara pedagogis maupun
manajerial. Tes ini bukan sekadar prosedur asesmen awal, melainkan strategi
fundamental untuk menjamin kualitas pembelajaran yang kontekstual, inklusif,
dan berkeadilan. Dalam konteks MA Plus Al-Aqsha yang berada di wilayah
perdesaan Kabupaten Tasikmalaya, dengan karakteristik sosial, ekonomi, dan
kultural peserta didik yang beragam, kebutuhan akan instrumen pemetaan
kompetensi dasar sangatlah krusial.
4.1.
Keragaman Latar Belakang Peserta
Didik
Berdasarkan Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026,
peserta didik baru di MA Plus Al-Aqsha berasal dari berbagai latar belakang
madrasah atau sekolah asal, baik MTs negeri maupun swasta, serta SMP umum di
sekitar Kecamatan Cikalong dan sekitarnya. Tingkat pendidikan orang tua
sebagian besar berada pada jenjang SLTA ke bawah, dengan mayoritas pekerjaan
sebagai petani dan wiraswasta tradisional, yang secara tidak langsung
memengaruhi eksposur akademik anak⁽¹⁾. Oleh karena itu, penting bagi madrasah untuk
memiliki data awal yang akurat mengenai capaian kognitif dan kesiapan belajar
setiap siswa.
Tes diagnostik dalam hal ini menjadi alat untuk
menjawab tantangan heterogenitas kemampuan akademik siswa, khususnya pada mata
pelajaran kunci seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Agama
Islam. Tanpa tes semacam ini, guru berisiko memberikan materi secara seragam,
yang akan menguntungkan siswa yang sudah siap, tetapi merugikan mereka yang
belum memahami prasyarat materi pelajaran⁽²⁾.
4.2.
Pemetaan Potensi untuk Diferensiasi
Pembelajaran
MA Plus Al-Aqsha memiliki komitmen untuk
mengembangkan pembelajaran aktif dan berorientasi pada kemampuan abad ke-21,
seperti berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi (4C). Dalam
konteks tersebut, guru memerlukan informasi awal sebagai dasar untuk menyusun
strategi differentiated instruction—yaitu pengajaran yang disesuaikan
dengan kesiapan, gaya belajar, dan minat siswa⁽³⁾.
Tes diagnostik memungkinkan pemetaan potensi
peserta didik yang bersifat individual, sehingga guru tidak hanya mengandalkan
nilai rapor dari sekolah asal (yang belum tentu seragam kualitasnya), tetapi
memperoleh data objektif yang relevan dan kontekstual. Dengan demikian,
pembelajaran dapat diarahkan secara lebih tepat sasaran dan responsif terhadap
kebutuhan siswa.
4.3.
Pencegahan Kesenjangan dan Kegagalan
Belajar Dini
Salah satu prinsip dalam manajemen mutu pendidikan
adalah early intervention—yaitu deteksi dini terhadap kesulitan belajar
untuk mencegah kegagalan akademik jangka panjang. Tes diagnostik berperan dalam
mendeteksi risiko ini sejak awal tahun ajaran. Seperti dikemukakan oleh
Brookhart, intervensi awal melalui asesmen diagnostik dapat mengurangi
terjadinya “learning gap” yang sulit ditutup di kemudian hari⁽⁴⁾.
Di MA Plus Al-Aqsha, hasil rekap nilai peserta
didik tahun-tahun sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan capaian rata-rata,
tetapi juga memperlihatkan bahwa sebagian siswa masuk dengan nilai minimum yang
hanya sedikit melampaui KKM⁽⁵⁾. Tanpa intervensi berbasis data sejak dini,
siswa-siswa ini dapat mengalami keterlambatan konseptual yang akan berdampak
negatif terhadap mata pelajaran lanjutan.
4.4.
Penguatan Peran Guru sebagai
Desainer Pembelajaran
Guru di MA Plus Al-Aqsha memiliki latar belakang
akademik minimal S1, namun belum semuanya mengampu bidang studi secara
linear⁽⁶⁾. Dalam kondisi seperti ini, penyediaan data hasil tes diagnostik
sangat membantu guru dalam merancang perangkat ajar, termasuk RPP, modul
pembelajaran, dan aktivitas penguatan remedial maupun pengayaan.
Informasi dari tes ini memperkuat kapasitas guru
untuk berperan sebagai desainer pembelajaran, bukan sekadar penyampai materi.
Hal ini mendukung pengembangan model pembelajaran berbasis student-centered
learning yang sejalan dengan prinsip Kurikulum 2013 dan visi madrasah untuk
melahirkan lulusan yang religius, kritis, dan berdaya saing.
4.5.
Peningkatan Akuntabilitas dan
Profesionalisme Lembaga
Pelaksanaan tes diagnostik juga meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dalam layanan pendidikan madrasah. Tes ini
menjadi dasar bagi madrasah untuk menyusun laporan perkembangan peserta didik
secara berkala, menetapkan strategi peningkatan mutu, dan merumuskan program
pembinaan yang berbasis data.
Secara kelembagaan, penggunaan tes diagnostik
menegaskan komitmen MA Plus Al-Aqsha terhadap prinsip evidence-based
education, yaitu pengambilan kebijakan pendidikan berdasarkan data, bukan
asumsi atau intuisi belaka⁽⁷⁾. Dalam jangka panjang, praktik ini akan
memperkuat posisi MA Plus Al-Aqsha sebagai madrasah swasta yang adaptif,
progresif, dan berorientasi mutu.
Footnotes
[1]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 23–25.
[2]
W. James Popham, Classroom Assessment: What
Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 62.
[3]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated
Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria:
ASCD, 2014), 12–16.
[4]
Susan M. Brookhart, How to Use Assessment to
Inform Instruction (Alexandria: ASCD, 2013), 34–35.
[5]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026, 22.
[6]
Ibid., 16–17.
[7]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers
for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San
Francisco: Jossey-Bass, 2005), 100–102.
5.
Implementasi
dan Instrumen Tes Diagnostik
Pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha
merupakan bagian dari sistem asesmen awal yang berorientasi pada peningkatan
kualitas pembelajaran secara kontekstual. Untuk memastikan efektivitas tes diagnostik
sebagai alat ukur yang andal dan relevan, implementasi dan perancangannya perlu
mempertimbangkan aspek teknis, pedagogis, dan institusional. Hal ini meliputi
perencanaan waktu pelaksanaan, struktur dan jenis instrumen, mekanisme
pelaksanaan, serta strategi analisis dan tindak lanjut hasil.
5.1.
Waktu dan Strategi Pelaksanaan
Tes diagnostik idealnya dilaksanakan dalam minggu
pertama setelah kegiatan Masa Ta’aruf Siswa Madrasah (MATSAMA) selesai.
Pelaksanaan pada periode awal ini penting agar data yang diperoleh dapat
digunakan secara langsung untuk menyusun perangkat ajar dan strategi
pembelajaran semester berjalan. Menurut Nitko dan Brookhart, asesmen diagnostik
seharusnya dilakukan “sebelum instruksi dimulai” untuk mengidentifikasi potensi
dan hambatan siswa secara dini¹.
MA Plus Al-Aqsha menetapkan pelaksanaan tes
diagnostik selama dua hari dengan alokasi waktu 60–90 menit per mata pelajaran
utama, yaitu:
·
Matematika
·
Bahasa Indonesia
·
Bahasa Inggris
·
Pendidikan Agama Islam
·
IPA/IPS (tergantung peminatan)
Pelaksanaan dilakukan secara klasikal di ruang
kelas, dengan pengawasan langsung oleh guru bidang studi masing-masing.
5.2.
Jenis dan Format Instrumen
Agar dapat menggambarkan kesiapan belajar secara
menyeluruh, instrumen tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha dirancang dengan
memadukan berbagai bentuk soal. Merujuk pada teori taksonomi Bloom yang telah
diperbarui oleh Anderson & Krathwohl, soal-soal tersebut mencakup level
kognitif mulai dari remembering hingga analyzing².
Adapun format umum yang digunakan meliputi:
·
Soal Pilihan Ganda (MCQs): untuk mengukur pengetahuan faktual dan konseptual secara cepat.
·
Soal Isian Singkat: untuk
menilai pemahaman terminologi atau prosedural.
·
Uraian Singkat: untuk
melihat kemampuan siswa dalam menjelaskan konsep atau menyelesaikan masalah
sederhana.
·
Soal Praktik/ Konstekstual: khusus untuk mata pelajaran IPA dan Matematika berbasis pemecahan
masalah.
Instrumen ini disusun oleh guru mata pelajaran
bersama tim pengembang kurikulum madrasah, dengan merujuk pada Kompetensi Dasar
(KD) kelas IX sebagai prasyarat untuk pembelajaran di kelas X. Hal ini sesuai
dengan prinsip validitas isi, yakni keterkaitan langsung antara indikator soal
dan materi yang diukur³.
5.3.
Prinsip Penyusunan Instrumen
Penyusunan instrumen tes diagnostik di MA Plus
Al-Aqsha mengikuti prinsip-prinsip berikut:
·
Validitas: soal harus
mengukur keterampilan atau pengetahuan prasyarat yang benar-benar dibutuhkan
untuk mempelajari materi kelas X⁴.
·
Reliabilitas: soal
disusun dalam bentuk dan jumlah yang memungkinkan keterulangan hasil yang
konsisten.
·
Keadilan: tidak
mengandung bias terhadap latar belakang siswa, baik secara bahasa, budaya,
maupun konteks sosial.
·
Kontekstualisasi lokal: memasukkan elemen budaya atau pengalaman lokal yang familiar bagi
peserta didik di Tasikmalaya.
Penerapan prinsip ini mendukung pendekatan
kurikulum madrasah yang berbasis karakteristik lokal dan kebutuhan peserta
didik sebagaimana diatur dalam Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran 2025/2026.⁵
5.4.
Analisis Hasil dan Tindak Lanjut
Setelah pelaksanaan tes, guru melakukan koreksi dan
rekapitulasi hasil. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan peserta didik ke
dalam tiga kategori:
·
Siap (kategori tinggi): sudah menguasai prasyarat, siap mengikuti pembelajaran reguler.
·
Cukup (kategori sedang): menguasai sebagian, membutuhkan penguatan awal.
·
Belum Siap (kategori rendah): membutuhkan intervensi remedial khusus.
Hasil ini digunakan sebagai dasar penyusunan perangkat
pembelajaran diferensiasi, pengelompokan kelas, dan pelaksanaan program
bimbingan belajar intensif. Model ini sejalan dengan prinsip data-informed
instruction, yaitu penggunaan data asesmen untuk merancang strategi
pembelajaran yang tepat guna⁶.
Guru Bimbingan Konseling (BK) dan wali kelas juga
dilibatkan dalam menindaklanjuti hasil tes diagnostik dari sisi non-akademik,
seperti kecenderungan gaya belajar, sikap terhadap pelajaran, dan kebutuhan
penguatan motivasional. Ini memperkuat pendekatan holistik dalam pendidikan di
MA Plus Al-Aqsha.
5.5.
Dukungan Manajemen dan Evaluasi
Berkala
Agar implementasi tes diagnostik berjalan optimal
dan berkelanjutan, kepala madrasah bersama tim pengembang kurikulum melakukan
evaluasi pelaksanaan setiap tahun. Evaluasi meliputi efektivitas instrumen,
kendala teknis, dan manfaat hasil tes terhadap perencanaan pembelajaran. Temuan
evaluasi menjadi masukan bagi pengembangan instrumen tahun berikutnya dan
peningkatan profesionalisme guru.
Pelaksanaan yang sistematis ini mencerminkan model
manajemen berbasis sekolah (school-based management) yang menekankan pada
otonomi, akuntabilitas, dan peningkatan mutu berkelanjutan⁷.
Footnotes
[1]
Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational
Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 105.
[2]
Lorin W. Anderson and David R. Krathwohl, eds., A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy
of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–70.
[3]
W. James Popham, Classroom Assessment: What
Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 68–70.
[4]
Susan M. Brookhart, How to Create and Use
Rubrics for Formative Assessment and Grading (Alexandria: ASCD, 2013),
33–35.
[5]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 5–6.
[6]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment,
2nd ed. (Bloomington: Solution Tree Press, 2018), 123–127.
[7]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers
for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San
Francisco: Jossey-Bass, 2005), 95–98.
6.
Integrasi
Tes Diagnostik dengan Kurikulum Madrasah
Agar pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha
memiliki relevansi pedagogis dan operasional, maka integrasinya dengan
kurikulum madrasah menjadi sebuah keniscayaan. Tes diagnostik bukanlah entitas
yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari sistem kurikulum berbasis kebutuhan
peserta didik, visi institusional, serta standar nasional pendidikan. Dalam
konteks tersebut, integrasi ini mencakup dimensi filosofis, struktural, dan
prosedural.
6.1.
Kesesuaian dengan Prinsip
Pengembangan Kurikulum
Salah satu prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No. 61 Tahun
2014 adalah berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
peserta didik dan lingkungannya¹. Tes diagnostik memberikan data awal yang
konkret tentang kesiapan akademik dan psikososial peserta didik, sehingga
kurikulum dapat disesuaikan untuk menciptakan proses belajar yang bermakna,
kontekstual, dan adaptif.
MA Plus Al-Aqsha telah mengembangkan kurikulum
dengan mengacu pada prinsip tersebut. Dalam Dokumen 1 Tahun Pelajaran 2025/2026,
ditegaskan bahwa proses pembelajaran di madrasah harus mampu menjawab keragaman
karakter peserta didik melalui pendekatan aktif, kreatif, dan reflektif². Tes
diagnostik menjadi alat bantu yang sahih untuk mengidentifikasi kebutuhan dan
karakteristik tersebut secara ilmiah.
6.2.
Penguatan Kurikulum Berbasis
Kompetensi
Integrasi tes diagnostik juga memperkuat pendekatan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang menekankan pada pencapaian
kompetensi tertentu sebagai hasil akhir proses pembelajaran. Kompetensi
tersebut terdiri dari aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap³. Tes
diagnostik memberikan informasi tentang sejauh mana peserta didik telah
menguasai kompetensi prasyarat dari jenjang sebelumnya.
Informasi ini menjadi rujukan bagi guru dalam
menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pemetaan Kompetensi
Dasar (KD), dan pengembangan modul pengayaan/remedial. Dengan
demikian, hasil tes diagnostik tidak hanya menjadi data pasif, melainkan bagian
dari siklus instruksional yang dinamis⁴.
6.3.
Penyesuaian Strategi Pembelajaran
Berdiferensiasi
Kurikulum madrasah yang ideal harus menyediakan
ruang bagi penerapan pembelajaran berdiferensiasi (differentiated
instruction), yakni strategi pengajaran yang disesuaikan dengan tingkat
kesiapan, minat, dan profil belajar peserta didik. Tes diagnostik menjadi
fondasi data untuk mengimplementasikan strategi ini secara tepat.
Tomlinson menjelaskan bahwa tanpa data awal yang
valid, diferensiasi berisiko menjadi stereotip atau asumsi guru semata⁵. Di MA
Plus Al-Aqsha, hasil tes diagnostik dimanfaatkan untuk merancang kelompok
belajar homogen/heterogen, menetapkan target individual, serta menyesuaikan
media dan pendekatan pembelajaran di dalam kelas. Hal ini sejalan dengan visi
madrasah untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan dan partisipatif.
6.4.
Penyesuaian Program Layanan Khusus
dan Pengembangan Karakter
Integrasi tes diagnostik tidak hanya mencakup aspek
kognitif, tetapi juga mendukung pelaksanaan program layanan khusus, seperti bimbingan
konseling, remedial teaching, dan pembinaan karakter. Dalam
kurikulum MA Plus Al-Aqsha, penguatan karakter melalui PPK (Penguatan
Pendidikan Karakter) dan GLM (Gerakan Literasi Madrasah) menjadi prioritas⁶.
Data dari tes diagnostik dapat mengidentifikasi
siswa yang membutuhkan intervensi khusus, seperti peningkatan kepercayaan diri,
motivasi belajar, atau keterampilan berpikir kritis. Guru BK dapat memanfaatkan
hasil tes ini untuk menyusun program konseling individual maupun kelompok yang
sesuai dengan kondisi nyata peserta didik.
6.5.
Mendukung Implementasi Kurikulum
Merdeka secara Parsial
Walaupun MA Plus Al-Aqsha masih menerapkan KTSP
2013, semangat Kurikulum Merdeka—terutama dalam hal asesmen diagnostik
dan diferensiasi pembelajaran—dapat diimplementasikan secara parsial. Kurikulum
Merdeka menempatkan asesmen diagnostik sebagai komponen wajib sebelum menyusun
capaian pembelajaran⁷.
Melalui tes diagnostik, madrasah dapat mulai
mengadopsi prinsip-prinsip transformatif dari Kurikulum Merdeka tanpa
mengabaikan struktur formal KTSP. Hal ini memperkuat kapasitas institusi dalam
menyongsong perubahan paradigma pembelajaran masa depan secara bertahap.
Simpulan
Integrasi tes diagnostik ke dalam kurikulum
madrasah bukan hanya soal teknis evaluasi awal, tetapi merupakan komitmen
terhadap penyelenggaraan pendidikan yang berpihak pada peserta didik. Tes ini
menjadi simpul antara diagnosis dan desain instruksional yang berlandaskan
data, menciptakan siklus belajar yang adaptif, reflektif, dan berkeadilan. Di
MA Plus Al-Aqsha, integrasi ini mendukung terwujudnya sistem pembelajaran yang
kontekstual, terukur, dan visioner.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah
(Jakarta: Kemendikbud, 2014).
[2]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 3–4.
[3]
Majelis Pendidikan Nasional, Model Kurikulum
Berbasis Kompetensi (Jakarta: Depdiknas, 2003), 12–14.
[4]
W. James Popham, Transformative Assessment,
2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2011), 89–91.
[5]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated
Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria:
ASCD, 2014), 18–22.
[6]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026, 3–5.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka Jenjang SMA/MA (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7–9.
7.
Tantangan
dan Solusi dalam Penerapan Tes Diagnostik
Meskipun tes diagnostik memiliki urgensi dan
manfaat strategis dalam mendukung pembelajaran yang adaptif dan responsif
terhadap kondisi peserta didik, implementasinya tidak luput dari berbagai
tantangan teknis, pedagogis, dan institusional. Di lingkungan madrasah seperti
MA Plus Al-Aqsha, tantangan-tantangan ini memerlukan penanganan yang sistematis
dan solutif agar tujuan asesmen awal benar-benar tercapai dan tidak menjadi
sekadar formalitas administratif.
7.1.
Tantangan: Keterbatasan Kompetensi
Guru dalam Penyusunan Instrumen
Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan tes
diagnostik adalah kurangnya kemampuan sebagian guru dalam menyusun instrumen
asesmen yang valid, reliabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip asesmen
diagnostik. Banyak guru yang terbiasa menyusun soal sumatif, tetapi belum
terlatih dalam merancang tes diagnostik berbasis kompetensi prasyarat dan
indikator awal¹.
Kondisi ini terlihat di MA Plus Al-Aqsha, di mana
sebagian guru belum memiliki latar belakang linier dengan mata pelajaran yang
diampunya, sebagaimana tercantum dalam Dokumen 1 Kurikulum Tahun Pelajaran
2025/2026.² Keterbatasan ini dapat menyebabkan rendahnya validitas isi
(content validity) dan kesesuaian instrumen terhadap tujuan diagnostik.
Solusi: Pihak madrasah perlu menyelenggarakan pelatihan internal (in-house
training) secara rutin mengenai penyusunan instrumen diagnostik berbasis assessment
for learning. Pendampingan oleh guru inti atau narasumber dari KKG/KKM juga
dapat meningkatkan kapasitas guru secara berkelanjutan³.
7.2.
Tantangan: Waktu dan Teknis
Pelaksanaan yang Terbatas
Madrasah sering kali menghadapi tekanan jadwal yang
padat pada awal tahun ajaran, termasuk kegiatan MATSAMA, pembagian kelas, dan
persiapan administrasi. Situasi ini menyulitkan penjadwalan tes diagnostik
secara optimal. Selain itu, terbatasnya sarana seperti ruang ujian, perangkat
cetak soal, atau fasilitas digital juga menjadi penghambat di madrasah swasta
dengan dana terbatas⁴.
Solusi: Kepala madrasah perlu memasukkan pelaksanaan tes diagnostik ke dalam
kalender pendidikan resmi madrasah dan menetapkannya sebagai program prioritas.
Selain itu, penggunaan model tes berjenjang atau tes adaptif yang
disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia, seperti tes tertulis sederhana dan
observasi langsung, dapat menjadi alternatif⁵.
7.3.
Tantangan: Minimnya Analisis dan
Tindak Lanjut Hasil Tes
Di beberapa satuan pendidikan, hasil tes diagnostik
tidak dimanfaatkan secara optimal. Guru cenderung hanya merekap nilai, tanpa
menganalisis tren data untuk merancang strategi pengajaran diferensial atau
intervensi awal. Hal ini mengurangi makna dari tes diagnostik sebagai alat
pengarah strategi pembelajaran⁶.
Solusi: Penguatan budaya data-driven instruction harus menjadi bagian
dari program peningkatan mutu madrasah. Hasil tes perlu dianalisis tidak hanya
secara individual, tetapi juga secara klasikal dan lintas mata pelajaran. Guru
dapat menggunakan lembar analisis sederhana untuk mengelompokkan peserta didik
berdasarkan tingkat kesiapan dan kebutuhan intervensi, yang kemudian digunakan
dalam penyusunan RPP diferensial.
7.4.
Tantangan: Persepsi Peserta Didik
dan Orang Tua terhadap Tes Diagnostik
Sebagian peserta didik maupun orang tua menganggap
tes diagnostik sebagai bentuk “ujian” yang menegangkan atau memengaruhi
kelulusan. Hal ini dapat menimbulkan resistansi dan menurunkan kejujuran siswa
dalam mengerjakan soal. Di sisi lain, guru juga perlu menjelaskan peran tes ini
secara komunikatif.
Solusi: Sosialisasi kepada peserta didik dan orang tua sangat penting untuk
menjelaskan bahwa tes diagnostik bukan penentu nilai akhir, melainkan alat
bantu untuk memahami kebutuhan belajar. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip assessment
for learning, yang menekankan bahwa asesmen harus mendukung pembelajaran,
bukan menghakimi hasil belajar⁷.
7.5.
Tantangan: Keterbatasan Sistem
Dokumentasi dan Pelaporan
Di banyak madrasah, termasuk MA Plus Al-Aqsha,
belum tersedia sistem yang sistematis untuk mendokumentasikan dan mengarsipkan
hasil tes diagnostik, baik secara digital maupun manual. Hal ini menyulitkan
guru dalam memantau perkembangan peserta didik secara longitudinal.
Solusi: Madrasah dapat membangun sistem arsip sederhana berbasis Excel atau
aplikasi gratis (seperti Google Sheets) untuk menyimpan data hasil tes dan
tindak lanjutnya. Pusat data ini dapat dikelola oleh guru mata pelajaran atau
tim pengembang kurikulum untuk menjadi bagian dari portofolio asesmen setiap
siswa.
Kesimpulan
Tantangan dalam penerapan tes diagnostik di MA Plus
Al-Aqsha merupakan refleksi dari dinamika umum satuan pendidikan yang sedang
bergerak menuju sistem pembelajaran berbasis data dan kebutuhan peserta didik.
Melalui perencanaan yang matang, pelatihan guru yang konsisten, serta
pemanfaatan hasil asesmen secara optimal, tes diagnostik dapat menjadi
instrumen transformatif dalam mewujudkan pembelajaran yang inklusif dan bermutu
tinggi.
Footnotes
[1]
Anthony J. Nitko and Catherine M. Brookhart, Educational
Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 107–109.
[2]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 17.
[3]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers
for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San
Francisco: Jossey-Bass, 2005), 96–98.
[4]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026, 6.
[5]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment,
2nd ed. (Bloomington: Solution Tree Press, 2018), 135–137.
[6]
W. James Popham, Transformative Assessment,
2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2011), 112–114.
[7]
Paul Black and Dylan Wiliam, Inside the Black
Box: Raising Standards Through Classroom Assessment, Phi Delta Kappan
80, no. 2 (1998): 139–148.
8.
Studi
Tindak Lanjut dan Rekomendasi
Pelaksanaan tes diagnostik hanya akan memberikan
dampak signifikan terhadap mutu pembelajaran jika diikuti dengan tindak lanjut
yang terencana dan berbasis data. Tanpa tahapan ini, tes diagnostik hanya
menjadi rutinitas administratif yang kehilangan nilai strategisnya. Oleh karena
itu, MA Plus Al-Aqsha perlu merancang sistem tindak lanjut yang menyeluruh dan
berkelanjutan untuk memastikan hasil tes dapat dimanfaatkan secara maksimal
dalam pengambilan keputusan pembelajaran.
8.1.
Analisis Hasil dan Pengelompokan
Peserta Didik
Langkah awal dari tindak lanjut adalah melakukan analisis
kuantitatif dan kualitatif terhadap hasil tes diagnostik. Analisis ini
tidak hanya berfokus pada nilai akhir, tetapi pada pola kesalahan, tingkat
penguasaan kompetensi prasyarat, dan indikator yang gagal dicapai peserta
didik. Brookhart menekankan pentingnya menggunakan hasil asesmen untuk
mengelompokkan peserta didik dalam kategori kesiapan belajar agar guru dapat
merancang pendekatan yang lebih personal dan tepat sasaran¹.
Di MA Plus Al-Aqsha, hasil tes dapat dikelompokkan
ke dalam tiga kategori:
·
Tinggi: Siswa siap
mengikuti pembelajaran reguler tanpa penguatan awal.
·
Sedang: Siswa
memerlukan pengulangan materi prasyarat.
·
Rendah: Siswa
membutuhkan intervensi remedial berbasis individu.
Pengelompokan ini menjadi dasar dalam pengambilan
kebijakan pembelajaran diferensiasi di kelas dan pembinaan secara khusus di
luar jam pelajaran.
8.2.
Perancangan Program Remedial dan
Pengayaan
Hasil tes diagnostik menjadi referensi utama dalam
penyusunan program remedial dan pengayaan. Bagi siswa dalam kategori
rendah, guru perlu menyusun kegiatan remedial yang bersifat konseptual dan
aplikatif, dengan memperhatikan gaya belajar dan latar belakang siswa.
Sebaliknya, siswa dalam kategori tinggi dapat diberikan program pengayaan
berupa soal tingkat berpikir tinggi (HOTS), proyek mini, atau aktivitas
eksploratif.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip formative
use of assessment, di mana tes tidak berfungsi sebagai alat seleksi, tetapi
sebagai sarana peningkatan dan pembinaan pembelajaran². Implementasi ini juga
mencerminkan tanggung jawab etik guru untuk memastikan semua siswa mendapatkan
hak belajar secara adil sesuai potensi dan kebutuhan mereka.
8.3.
Kolaborasi Antar Guru, BK, dan Wali
Kelas
Tindak lanjut tes diagnostik tidak hanya menjadi
tanggung jawab guru mata pelajaran, tetapi melibatkan kolaborasi lintas
fungsi, termasuk guru BK dan wali kelas. Guru BK dapat menggunakan hasil
tes untuk menyusun profil psikopedagogis siswa dan merancang bimbingan belajar
atau konseling belajar. Wali kelas dapat melakukan komunikasi dengan orang
tua/wali untuk menyampaikan temuan awal dan langkah pembinaan lanjutan di
rumah.
Black dan Wiliam menekankan bahwa asesmen yang
efektif hanya dapat berdampak jika ada interaksi yang bermakna antara siswa,
guru, dan orang tua dalam memahami hasil dan menyusun strategi perbaikan
bersama³.
8.4.
Dokumentasi dan Monitoring Berkala
Tindak lanjut harus disertai dengan sistem
dokumentasi dan monitoring hasil pembelajaran setelah intervensi. Data ini
dapat digunakan untuk membandingkan progres peserta didik sebelum dan
sesudah pelaksanaan pembelajaran berbasis hasil tes diagnostik. Guru dapat
membuat portofolio per siswa yang mencakup:
·
Hasil tes awal
·
Catatan tindak lanjut (remedial/pengayaan)
·
Hasil evaluasi lanjutan
Portofolio ini sejalan dengan pendekatan assessment
as learning, di mana peserta didik juga dilibatkan dalam proses refleksi
dan perbaikan diri⁴. Hal ini memperkuat budaya belajar yang mandiri dan
bertanggung jawab.
8.5.
Rekomendasi Strategis untuk MA Plus
Al-Aqsha
Berdasarkan temuan dan implementasi tes diagnostik
sejauh ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk memperkuat pelaksanaannya
di masa mendatang:
1)
Kelembagaan
Menetapkan
tes diagnostik sebagai bagian tetap dari agenda akademik tahunan madrasah.
Membangun
sistem arsip digital untuk menyimpan hasil dan tindak lanjut secara
terintegrasi.
2)
Peningkatan Kompetensi
Menyelenggarakan
pelatihan guru tentang asesmen formatif dan diferensiasi berbasis data hasil
tes.
Melibatkan
guru dalam forum KKG/KKM untuk berbagi praktik terbaik penyusunan dan analisis
tes diagnostik.
3)
Inovasi dan Teknologi
Mengembangkan
format tes berbasis digital sederhana (misalnya menggunakan Google Forms) untuk
efisiensi pelaksanaan dan koreksi.
Menyusun bank
soal diagnostik yang dapat direvisi dan digunakan setiap tahun.
4)
Penguatan Peran BK dan Orang Tua
Melibatkan
guru BK dalam pemetaan non-kognitif dari hasil tes (motivasi, kepercayaan diri,
dll.).
Melakukan parent
meeting awal tahun ajaran untuk menyosialisasikan tujuan dan hasil tes
diagnostik serta mengajak kolaborasi pembinaan siswa.
Kesimpulan
Tes diagnostik yang dilaksanakan di awal tahun
ajaran memiliki potensi besar sebagai fondasi pengembangan pembelajaran yang
adaptif, berbasis data, dan partisipatif. Namun, potensi tersebut hanya dapat
diwujudkan melalui tindak lanjut yang sistematis dan kolaboratif. Dengan
perencanaan yang matang dan pelibatan semua pemangku kepentingan, MA Plus Al-Aqsha
dapat menjadikan tes diagnostik sebagai bagian integral dari manajemen mutu
pembelajaran yang berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Susan M. Brookhart, How to Use Assessment
Results for Learning, 2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2014), 41–44.
[2]
W. James Popham, Transformative Assessment,
2nd ed. (Alexandria: ASCD, 2011), 102–105.
[3]
Paul Black and Dylan Wiliam, Inside the Black
Box: Raising Standards Through Classroom Assessment, Phi Delta Kappan
80, no. 2 (1998): 139–148.
[4]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using
Classroom Assessment to Maximize Student Learning (Thousand Oaks: Corwin
Press, 2003), 65–69.
9.
Penutup
Pelaksanaan tes diagnostik di MA Plus Al-Aqsha
sebagai bagian dari strategi asesmen awal pembelajaran memiliki nilai strategis
yang tinggi dalam membangun sistem pendidikan yang adaptif, partisipatif, dan
berbasis data. Dalam konteks tantangan global dan lokal pendidikan abad ke-21,
keberhasilan pembelajaran tidak lagi hanya ditentukan oleh kelengkapan
kurikulum atau metode pengajaran, tetapi juga oleh kemampuan satuan pendidikan
untuk memahami dan merespons kondisi awal peserta didik secara holistik.
Tes diagnostik, sebagaimana dijelaskan dalam
berbagai literatur pendidikan mutakhir, bukan sekadar alat ukur kemampuan
akademik awal, melainkan sebuah instrumen diagnosis yang memungkinkan guru
merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi
siswa¹. Dengan memahami tingkat kesiapan dan kompetensi prasyarat peserta didik
baru sejak awal tahun ajaran, guru dapat meminimalisasi terjadinya learning
loss dan mempercepat adaptasi pembelajaran.
Di MA Plus Al-Aqsha, pelaksanaan tes diagnostik
telah membuktikan relevansinya dalam mendukung prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum berbasis potensi dan kebutuhan peserta didik². Melalui integrasi yang
sistematis dengan perangkat kurikulum seperti RPP, modul pembelajaran, program
penguatan karakter, hingga kegiatan remedial dan pengayaan, tes diagnostik
menjadi simpul penting dalam pengambilan keputusan instruksional yang berbasis
data.
Meskipun demikian, implementasi tes ini tidak luput
dari sejumlah tantangan seperti keterbatasan kompetensi guru dalam menyusun
instrumen, keterbatasan waktu dan sumber daya, serta belum optimalnya analisis
dan tindak lanjut hasil. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen kolektif dari
seluruh elemen madrasah untuk mengembangkan pelatihan profesional, manajemen
data yang sistematis, serta budaya refleksi berkelanjutan³.
Dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional yang
mulai mengarah pada paradigma Kurikulum Merdeka, asesmen diagnostik memiliki
posisi yang semakin strategis sebagai dasar bagi pembelajaran berdiferensiasi dan
berbasis kebutuhan peserta didik⁴. Dengan demikian, MA Plus Al-Aqsha dapat
menjadikan tes diagnostik sebagai bagian integral dari manajemen mutu
pembelajaran yang transformatif dan berorientasi pada pelayanan pendidikan yang
berkeadilan.
Akhirnya, keberhasilan implementasi tes diagnostik
bukan terletak pada seberapa tinggi nilai siswa, tetapi pada seberapa jauh
hasil tes digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan
belajar secara autentik. Hal ini sejalan dengan semangat assessment for
learning, yang menempatkan asesmen sebagai bagian dari proses belajar,
bukan sekadar pengukuran hasil belajar⁵.
Footnotes
[1]
Dylan Wiliam, Embedded Formative Assessment,
2nd ed. (Bloomington: Solution Tree Press, 2018), 121–125.
[2]
MA Plus Al-Aqsha, Dokumen 1 Kurikulum Tahun
Pelajaran 2025/2026 (Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha, 2024), 3–6.
[3]
Linda Darling-Hammond et al., Preparing Teachers
for a Changing World: What Teachers Should Learn and Be Able to Do (San
Francisco: Jossey-Bass, 2005), 98–102.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka Jenjang SMA/MA (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 8–10.
[5]
Paul Black and Dylan Wiliam, Assessment and
Classroom Learning, Assessment in Education 5, no. 1 (1998): 7–74.
Daftar Pustaka
Black, P., & Wiliam, D. (1998). Assessment and
classroom learning. Assessment in Education: Principles, Policy &
Practice, 5(1), 7–74. https://doi.org/10.1080/0969595980050102
Black, P., & Wiliam, D. (1998). Inside the
black box: Raising standards through classroom assessment. Phi Delta Kappan,
80(2), 139–148.
Brookhart, S. M. (2013). How to create and use
rubrics for formative assessment and grading. Alexandria, VA: ASCD.
Brookhart, S. M. (2014). How to use assessment
results for learning (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.
Darling-Hammond, L., Banks, J., Zumwalt, K., Gómez,
L., Sherin, M. G., Griesdorn, J., & Finn, L. E. (2005). Preparing
teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do.
San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Earl, L. M. (2003). Assessment as learning:
Using classroom assessment to maximize student learning. Thousand Oaks, CA:
Corwin Press.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar
dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23
Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen Kurikulum
Merdeka jenjang SMA/MA. Jakarta: Kemendikbudristek.
MA Plus Al-Aqsha. (2024). Dokumen 1 Kurikulum
Tahun Pelajaran 2025/2026. Tasikmalaya: MA Plus Al-Aqsha.
Majelis Pendidikan Nasional. (2003). Model
kurikulum berbasis kompetensi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Nitko, A. J., & Brookhart, C. M. (2014). Educational
assessment of students (7th ed.). Boston, MA: Pearson.
Popham, W. J. (2011). Transformative assessment
(2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.
Popham, W. J. (2017). Classroom assessment: What
teachers need to know (8th ed.). Boston, MA: Pearson.
Stiggins, R. J. (2010). Assessment for learning: An
essential foundation for productive instruction. Phi Delta Kappan, 92(2),
20–25.
Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated
classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). Alexandria,
VA: ASCD.
Wiliam, D. (2018). Embedded formative assessment
(2nd ed.). Bloomington, IN: Solution Tree Press.
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.).
(2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of
Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York, NY: Longman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar