Guru Filosofis ala Socrates
Prinsip-Prinsip Pendidikan
dari Sang Tokoh Dialektika
Alihkan ke: Philosophy for Children (P4C).
Abstrak
Artikel ini mengkaji prinsip-prinsip
pendidikan yang digagas oleh Socrates dan relevansinya sebagai pedoman bagi
guru dalam dunia pendidikan kontemporer. Sebagai tokoh sentral filsafat klasik,
Socrates menawarkan pendekatan pendidikan yang berakar pada dialog, pencarian
kebenaran, dan pembentukan karakter melalui metode maieutika dan dialektika.
Artikel ini memaparkan sosok Socrates secara historis dan filosofis, lalu
menguraikan prinsip-prinsip pendidikannya yang meliputi pengajaran melalui
pertanyaan, penanaman kesadaran akan ketidaktahuan, dan pembentukan moralitas
melalui refleksi kritis. Melalui kajian komparatif dan analisis kritis,
ditunjukkan bahwa pemikiran Socrates tetap relevan untuk menjawab krisis nilai,
kehilangan makna pendidikan, serta dehumanisasi dalam praktik pengajaran
modern. Guru-guru masa kini dapat meneladani model pendidikan Socratik dengan
mengembangkan sikap kritis, rendah hati, serta menjadikan pendidikan sebagai
proses dialogis yang memanusiakan peserta didik.
Kata
Kunci: Socrates; pendidikan filsafat; maieutika; guru filosofis; dialektika;
refleksi kritis; etika pendidikan.
PEMBAHASAN
Prinsip-Prinsip Guru
Berdasarkan Perspektif Pemikiran Socrates
1.
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan modern yang semakin digerakkan oleh hasil,
standar, dan efisiensi, nilai-nilai filosofis yang mendalam sering kali
terpinggirkan. Guru, dalam banyak sistem pendidikan kontemporer, cenderung
diposisikan sebagai teknisi kurikulum atau pelaksana administrasi, bukan lagi
sebagai pendidik sejati yang mendidik hati dan pikiran. Dalam situasi ini,
filsafat pendidikan menawarkan jalan kembali kepada hakikat pendidikan yang
sejati—yakni sebagai upaya pembebasan, pencarian makna, dan penumbuhan
kebajikan. Salah satu tokoh yang relevan untuk diangkat dalam konteks ini
adalah Socrates, filsuf besar Yunani Kuno yang menempatkan pendidikan sebagai
misi hidupnya.
Socrates (470–399 SM) bukan hanya dikenal karena pemikirannya yang
mendalam, tetapi juga karena metode mengajarnya yang khas—melalui dialog,
pertanyaan reflektif, dan pencarian kebenaran secara bersama. Ia tidak menulis
buku, tetapi pemikirannya diabadikan melalui murid-muridnya, terutama Plato.
Dalam Apologia, Plato menggambarkan Socrates sebagai sosok yang tidak
hanya mengajarkan ilmu, tetapi membangkitkan kesadaran moral dan intelektual
murid-muridnya untuk mengenali kebenaran dan menjalani kehidupan yang baik.¹
Bagi Socrates, pendidikan bukanlah transmisi pengetahuan belaka,
melainkan sebuah proses pembentukan jiwa yang menuntut perenungan, kritik, dan
pengenalan diri. Konsepnya tentang maieutika—metode kebidanan
intelektual—menggambarkan bagaimana seorang guru membantu “melahirkan”
pengetahuan yang telah tersembunyi dalam diri peserta didik.² Ia mengibaratkan
dirinya seperti ibunya yang seorang bidan, namun tugasnya bukan membantu
melahirkan bayi secara fisik, melainkan membantu jiwa melahirkan kebenaran
melalui dialog yang jujur dan reflektif.
Dalam konteks pendidikan saat ini, prinsip-prinsip pendidikan ala
Socrates menjadi sangat relevan. Ketika banyak guru dan siswa merasa terasing
dari makna pembelajaran yang sejati, pendekatan Socrates menawarkan alternatif
yang menekankan proses berpikir kritis, dialog terbuka, dan pembentukan
karakter.³ Socrates menolak otoritarianisme dalam mengajar dan justru mendorong
kebebasan berpikir sebagai jalan menuju kebijaksanaan.⁴ Dengan demikian,
pemikiran dan praktik pendidikan Socrates dapat menjadi inspirasi penting bagi
guru masa kini dalam menempatkan diri sebagai fasilitator pencarian makna,
bukan sekadar pemberi informasi.
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi prinsip-prinsip pendidikan
yang dapat dijadikan pedoman oleh seorang guru berdasarkan perspektif pemikiran
Socrates. Dengan membedah gagasan-gagasannya tentang dialog, refleksi diri,
kebajikan, dan pembebasan pikiran, artikel ini berharap dapat mendorong
lahirnya guru-guru yang bukan hanya kompeten secara teknis, tetapi juga bijak
secara filosofis.
Footnotes
[1]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing
Company, 1997), 17a–42a.
[2]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 13–25.
[3]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder: Westview Press, 2016), 23.
[4]
Richard Kraut, “Socrates,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/socrates/.
2.
Sosok dan Pemikiran Socrates
Socrates (470–399 SM) adalah salah satu
tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Ia dikenal sebagai pelopor filsafat moral dan
pemikir yang meletakkan dasar bagi metode berpikir kritis dan reflektif.
Berbeda dari banyak filsuf setelahnya, Socrates tidak meninggalkan karya tulis
apa pun. Segala pengetahuan tentangnya diperoleh dari karya para muridnya,
khususnya Plato dan Xenophon, serta dari penggambaran satiris oleh
Aristophanes.¹
2.1.
Kehidupan dan
Karakter Socrates
Socrates lahir di Athena dari keluarga kelas menengah; ayahnya seorang
pemahat, dan ibunya seorang bidan. Ia dikenal sebagai pribadi sederhana,
berpakaian apa adanya, hidup asketis, dan menghabiskan sebagian besar waktunya
berdialog di tempat umum bersama siapa saja yang bersedia berbicara dengannya.²
Ia tidak mengajar di sekolah formal, namun metode diskusi dan pertanyaannya
memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Athena, terutama kaum muda yang
menjadi muridnya secara informal.
Socrates tidak memposisikan dirinya sebagai guru dalam arti
konvensional. Ia menolak disebut sebagai orang bijak atau pemilik pengetahuan.
Sebaliknya, ia meyakini bahwa dirinya tidak mengetahui apa-apa, yang kemudian
menjadi dasar dari prinsipnya: “I know that I know nothing.”³ Paradoks
ini mencerminkan kerendahan hati intelektual sekaligus semangat untuk terus
mencari kebenaran.
2.2. Metode
Socrates: Dialektika dan Maieutika
Salah satu kontribusi utama Socrates dalam dunia pemikiran adalah metode
dialektika, yakni teknik bertanya yang bertujuan untuk menguji ide secara
kritis melalui dialog. Dalam praktiknya, Socrates mengajukan serangkaian
pertanyaan yang menggiring lawan bicaranya pada pertentangan logis atas
keyakinan mereka sendiri.⁴ Tujuannya bukan untuk mempermalukan lawan bicara,
tetapi untuk menyingkap kebingungan intelektual dan membuka jalan menuju
pemahaman yang lebih dalam.
Dari metode dialektika inilah muncul konsep maieutika (dari
bahasa Yunani maieutikê, “kebidanan”). Socrates mengibaratkan
dirinya sebagai “bidan intelektual” yang tidak memberikan pengetahuan
secara langsung, melainkan membantu orang lain "melahirkan" ide dari
dalam dirinya sendiri.⁵ Dalam Theaetetus, Plato menulis bahwa Socrates
tidak mengklaim mengajarkan apa pun, tetapi hanya membantu orang untuk berpikir
dan menemukan kebenaran melalui dialog yang intens dan reflektif.⁶
2.3. Etika dan
Kebajikan sebagai Inti Pendidikan
Socrates tidak hanya tertarik pada pertanyaan metafisis atau logis,
tetapi sangat fokus pada pertanyaan-pertanyaan etis seperti: Apa itu
kebaikan? Apa itu keadilan? Bagaimana hidup yang baik?⁷ Ia percaya bahwa pengetahuan
sejati akan mengarahkan seseorang pada kebajikan (virtue). Dengan kata
lain, tidak ada orang yang sengaja berbuat jahat; kejahatan terjadi karena
ketidaktahuan.⁸ Oleh karena itu, pendidikan bagi Socrates bukan hanya soal
intelektualitas, tetapi lebih dalam lagi, merupakan proses pembentukan moral
dan karakter.
2.4. Sikap
Filosofis dan Keteladanan Hidup
Socrates menjadikan hidupnya sebagai perwujudan ajarannya. Ia lebih
memilih dihukum mati dengan racun daripada meninggalkan prinsip pencarian
kebenaran dan kebebasan berpikir yang ia yakini. Dalam Apologia, ia
berkata bahwa “hidup yang tidak diuji tidak layak dijalani” (the
unexamined life is not worth living).⁹ Sikap ini menunjukkan keberaniannya
dalam mempertahankan integritas intelektual dan moral, menjadikannya figur
teladan bagi siapa saja yang mengabdikan diri dalam dunia pendidikan.
2.5. Relevansi
Pemikirannya bagi Dunia Pendidikan
Meskipun hidup lebih dari dua milenium yang lalu, pemikiran Socrates
tetap relevan hingga kini. Dalam konteks pendidikan modern, ia mengajarkan
bahwa proses berpikir jauh lebih penting daripada sekadar menghafal
informasi. Ia mengingatkan kita bahwa tugas seorang pendidik bukan untuk
mengisi pikiran murid dengan jawaban, tetapi untuk menyalakan semangat
bertanya, berpikir kritis, dan mencari makna hidup.¹⁰ Gagasan-gagasan Socrates
telah mengilhami banyak pendekatan pendidikan progresif, seperti pedagogi kritis
Paulo Freire dan pendidikan dialogis John Dewey.
Footnotes
[1]
Debra Nails, The People of Plato: A Prosopography
of Plato and Other Socratics (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 4–8.
[2]
I.F. Stone, The Trial of Socrates (New York:
Anchor Books, 1989), 19.
[3]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing,
1997), 21d.
[4]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.
[5]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume 3, (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 137.
[6]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 150b–151b.
[7]
Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 67.
[8]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 63.
[9]
Plato, Apology, 38a.
[10]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder: Westview Press, 2016), 25–26.
3.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Socrates sebagai
Pedoman Guru
Pemikiran Socrates tentang pendidikan tidak terpisah dari cara hidup
dan nilai-nilai yang ia anut. Ia bukan hanya mengajarkan sebuah sistem teori,
tetapi mempraktikkan prinsip-prinsipnya melalui cara ia berdialog, menguji ide,
dan membentuk kesadaran moral masyarakat. Prinsip-prinsip berikut ini merupakan
inti dari pendekatan pendidikan Socrates, yang dapat dijadikan pedoman
filosofis bagi guru dalam konteks pembelajaran modern:
3.1. Prinsip
Maieutika: Guru sebagai Penolong Kelahiran Ide
Socrates mengembangkan metode maieutika (kebidanan), yang
menggambarkan proses pendidikan sebagai usaha membantu lahirnya kebenaran dari
dalam diri peserta didik, bukan menjejalkan pengetahuan dari luar. Ia
mengibaratkan dirinya sebagai “bidan” seperti ibunya, yang membantu
orang lain melahirkan ide mereka melalui pertanyaan yang menggugah dan
reflektif.¹
Guru dalam perspektif ini adalah fasilitator intelektual, bukan
otoritas tunggal pengetahuan. Prinsip ini mendorong pembelajaran yang berpusat
pada murid, dialogis, dan bersifat inquiry-based.
3.2. Prinsip
Dialektika: Dialog Sebagai Jalan Menuju Pengetahuan
Metode dialektika Socrates menekankan bahwa pemahaman sejati dibangun
melalui percakapan yang mendalam, pertanyaan terbuka, dan penelusuran logis
terhadap ide.² Dengan menggiring peserta dialog menyadari kontradiksi dalam
pemikirannya, Socrates menumbuhkan kesadaran kritis dan keterbukaan
intelektual.
Guru masa kini dapat menerapkan prinsip ini melalui strategi
pembelajaran berbasis diskusi, debat ilmiah, dan refleksi kolektif —
menumbuhkan nalar dan kemampuan argumentatif peserta didik.
3.3. Prinsip
“Know Thyself”: Pendidikan sebagai Jalan Mengenal Diri
Ungkapan “Kenalilah dirimu sendiri” (gnōthi seauton)
menjadi landasan etik dan epistemologis dalam filsafat Socrates. Ia meyakini
bahwa pengetahuan yang paling bernilai adalah pengenalan diri sendiri, termasuk
batas, potensi, dan motivasi internal.³
Bagi guru, prinsip ini berarti mengarahkan pendidikan ke arah refleksi
diri dan pengembangan eksistensial, tidak semata-mata transmisi
pengetahuan. Proses ini membentuk pribadi yang autentik, sadar tujuan, dan
berkarakter kuat.
3.4. Prinsip
Etika dan Kebajikan: Pendidikan untuk Membentuk Karakter
Socrates mengaitkan erat antara pengetahuan dan kebajikan (aretē). Ia
percaya bahwa “tidak ada orang yang berbuat jahat dengan sadar,” karena
kejahatan muncul dari ketidaktahuan akan kebaikan.⁴ Pendidikan, dengan
demikian, adalah proses menuju kebajikan melalui pengetahuan.
Bagi guru, ini berarti setiap aktivitas pembelajaran harus bermuatan
etis dan mendidik hati, bukan hanya otak. Guru harus menjadi teladan moral dan
pelatih karakter, bukan hanya penyampai materi akademik.⁵
3.5. Prinsip
Ketidaktahuan sebagai Titik Awal Belajar
Socrates terkenal dengan paradoks: “Satu-satunya yang aku tahu
adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa” (ἓν οἶδα ὅτι οὐδὲν οἶδα).⁶ Ini
bukan bentuk skeptisisme pesimis, melainkan kerendahan hati epistemologis
yang membuka jalan menuju pembelajaran sejati.
Guru yang menyadari keterbatasannya akan bersikap terbuka terhadap
pertanyaan murid, bersedia belajar dari pengalaman, dan mendorong budaya
intelektual yang jujur. Prinsip ini sangat penting dalam menumbuhkan semangat
belajar sepanjang hayat.
3.6. Prinsip
Pembebasan Pikiran: Menolak Dogma, Menghidupkan Nalar
Socrates menolak penerimaan buta terhadap tradisi, otoritas, atau mitos
tanpa pengujian rasional. Ia mengajarkan bahwa berpikir kritis adalah bentuk
kebebasan tertinggi.⁷
Bagi guru, prinsip ini menuntut sikap progresif dan keberanian mendidik
murid untuk mempertanyakan asumsi, menyelidiki kebenaran, dan mengembangkan
kebebasan berpikir. Ini sejalan dengan semangat pedagogi kritis kontemporer
seperti yang dikembangkan oleh Paulo Freire.⁸
3.7. Prinsip
Keteladanan Hidup: Konsistensi antara Pikiran dan Tindakan
Socrates tidak hanya mengajarkan kebaikan, tetapi menjalani hidup
sesuai prinsipnya, bahkan hingga rela dihukum mati demi mempertahankan
kebebasan berpikir.⁹ Guru sejati bukan hanya pengajar, tetapi teladan hidup,
yang menunjukkan bahwa integritas dan keberanian moral adalah fondasi
pendidikan yang bermakna.
3.8. Prinsip
Belajar Sepanjang Hayat: Pendidikan sebagai Perjalanan Abadi
Socrates tidak pernah mengklaim telah selesai belajar. Bagi dia, mencari
kebenaran adalah proses yang tidak pernah final.¹⁰ Guru yang Socratik
adalah pribadi yang terus mengembangkan diri, memperbarui pengetahuan, dan
tetap rendah hati dalam belajar bersama siswa dan sesama pendidik.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 150b–151b.
[2]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.
[3]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 135.
[4]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 63.
[5]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder: Westview Press, 2016), 23–26.
[6]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing,
1997), 21d.
[7]
Richard Kraut, “Socrates,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/socrates/.
[8]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–75.
[9]
Plato, Apology, 38a.
[10]
Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1995), 67.
4.
Relevansi Pemikiran Socrates bagi Dunia
Pendidikan Kontemporer
Di tengah berbagai tantangan pendidikan modern—seperti tekanan terhadap
capaian akademik, komersialisasi lembaga pendidikan, dan menurunnya perhatian
terhadap pembentukan karakter—pemikiran Socrates menawarkan napas segar yang
bernilai mendasar dan jangka panjang. Prinsip-prinsip pendidikan Socrates,
meskipun lahir di abad ke-5 SM, tetap memiliki relevansi luar biasa dalam
menjawab krisis orientasi dan kemanusiaan dalam sistem pendidikan masa kini.
4.1. Menjawab
Krisis Instrumenslisme dalam Pendidikan
Pendidikan kontemporer kerap terjebak dalam paradigma teknokratis
dan instrumentalis, yang menilai keberhasilan pembelajaran semata-mata
dari nilai ujian, angka statistik, dan efisiensi administratif.¹ Dalam
paradigma semacam ini, murid diperlakukan sebagai “produk” dan guru sebagai
“operator mesin” kurikulum. Pemikiran Socrates hadir sebagai kritik radikal
terhadap pendekatan ini.
Socrates mengingatkan bahwa pendidikan adalah proses penemuan diri,
pencarian makna, dan pembentukan kebajikan, bukan sekadar akumulasi data.²
Dengan menekankan pentingnya dialog, refleksi, dan pembebasan pikiran, ia
menunjukkan bahwa belajar adalah proses personal yang tak bisa direduksi
menjadi prosedur mekanis.
4.2. Mendorong
Pendidikan Humanistik dan Berbasis Karakter
Dalam pemikiran Socrates, pendidikan selalu diarahkan pada pembentukan
karakter, bukan sekadar transmisi pengetahuan.³ Dunia pendidikan modern yang
kerap terfokus pada kompetensi kognitif dapat mengambil pelajaran penting dari
pendekatan Socratik yang lebih menyeluruh dan berorientasi pada nilai-nilai
moral.
Pendidikan berbasis karakter telah menjadi isu global, sebagaimana
direkomendasikan oleh UNESCO dan berbagai lembaga pendidikan internasional.⁴
Socrates telah lebih dahulu meletakkan fondasinya dengan prinsip bahwa pengetahuan
sejati harus diwujudkan dalam tindakan yang baik (virtue-based knowledge).
4.3. Memperkuat
Budaya Berpikir Kritis dan Demokratis
Kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan reflektif adalah kebutuhan
mendesak di abad ke-21, yang menuntut peserta didik memiliki kemampuan
menalar secara mandiri dan bertanggung jawab.⁵ Pendekatan Socrates yang
menekankan dialog terbuka, pengujian ide, dan kesadaran akan keterbatasan
diri menjadi model ideal untuk menumbuhkan kemampuan tersebut.
Prinsip dialektika Socrates sangat sejalan dengan pendekatan pedagogi
kritis yang dikembangkan oleh Paulo Freire, di mana pendidikan dianggap sebagai
praktik pembebasan dan kesadaran sosial, bukan alat dominasi.⁶ Dalam
konteks kelas, pendekatan ini dapat diterapkan melalui diskusi terbuka,
pembelajaran berbasis masalah, dan penguatan ruang aman untuk bertanya.
4.4.
Mendorong Guru
sebagai Fasilitator dan Teladan Moral
Guru dalam sistem pendidikan modern seringkali dihadapkan pada beban
administratif dan tuntutan performa, sehingga kehilangan ruang untuk menjadi inspirator
dan teladan moral. Pemikiran Socrates memulihkan kembali peran dasar
seorang guru sebagai pembimbing jiwa, pendamping pencarian makna, dan figur
keteladanan etis.⁷
Model guru Socratik tidak mengklaim sebagai pemilik kebenaran mutlak,
tetapi sebagai rekan belajar dan penolong yang jujur, yang mendampingi
peserta didik dalam proses “melahirkan” pemahaman dari dalam diri mereka.⁸
Dengan begitu, proses belajar menjadi manusiawi dan membebaskan, bukan memaksa
dan menyeragamkan.
4.5. Pendidikan
Sepanjang Hayat sebagai Etos Guru dan Siswa
Dalam masyarakat yang terus berubah, pendidikan tidak lagi dapat
dibatasi dalam ruang dan waktu formal. Socrates, yang terus belajar sepanjang
hidupnya dan mengakui ketidaktahuannya, mengajarkan nilai penting dari etika
belajar sepanjang hayat (lifelong learning).⁹
Bagi guru, ini berarti keterbukaan terhadap ilmu baru, keterlibatan
aktif dalam pengembangan profesi, serta semangat rendah hati untuk belajar dari
siapa pun, termasuk muridnya sendiri. Semangat ini selaras dengan nilai-nilai
dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan kemandirian belajar dan pembentukan
profil pelajar yang reflektif.¹⁰
4.6. Aktualisasi
dalam Konteks Digital dan Era AI
Meskipun Socrates hidup di zaman yang jauh dari era digital,
prinsip-prinsipnya tetap bisa diadaptasi dalam pembelajaran berbasis teknologi.
Di tengah banjir informasi dan algoritma yang sering menggiring cara berpikir, metode
Socratik mampu melatih murid untuk menyaring informasi, menilai kebenaran, dan
membentuk pendapat secara etis dan kritis.
Guru dapat mengadopsi pendekatan Socratik dalam lingkungan digital
melalui forum diskusi daring, metode pembelajaran berbasis pertanyaan
(inquiry-based learning), dan penggunaan teknologi yang tetap menjaga nilai
dialog, refleksi, dan kebebasan berpikir.
Kesimpulan Sementara
Pemikiran Socrates, meski lahir dari
dunia kuno, menyimpan nilai-nilai abadi yang menjadi fondasi pendidikan yang
memanusiakan. Di tengah gelombang pendidikan yang cepat berubah, Socrates
memberi arah agar pendidikan tetap berpijak pada pencarian kebenaran,
penguatan karakter, dan pembebasan akal budi. Guru masa kini, dengan segala tantangan yang
dihadapi, sangat diuntungkan jika menjadikan prinsip-prinsip Socratik sebagai
pijakan etis dan pedagogis dalam praksis sehari-hari.
Footnotes
[1]
Biesta, Gert. Good Education in an Age of
Measurement: Ethics, Politics, Democracy (Boulder: Paradigm Publishers,
2010), 5–6.
[2]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 137.
[3]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 63.
[4]
UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global
Common Good? (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 31.
[5]
Facione, Peter A. “Critical Thinking: What It Is and
Why It Counts,” Insight Assessment (2011), 5–7.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–75.
[7]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed.
(Boulder: Westview Press, 2016), 26–27.
[8]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 150b.
[9]
Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 12–14.
[10]
Kemdikbudristek
RI, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: 2022), 14–15.
5.
Penutup
Pemikiran dan praktik pendidikan Socrates menawarkan fondasi filosofis
yang kokoh untuk mengembalikan ruh kemanusiaan dalam pendidikan. Di tengah arus
modernisasi yang kerap mengedepankan efisiensi, standar kuantitatif, dan
keterukuran teknis, pendekatan Socrates justru menekankan aspek terdalam dari
pendidikan: pencarian makna, penumbuhan akal sehat, dan pembentukan karakter
luhur.¹
Melalui prinsip-prinsip seperti maieutika (melahirkan ide dari
dalam diri peserta didik), dialektika (pengujian gagasan lewat dialog),
dan gnōthi seauton (kenalilah dirimu sendiri), Socrates menunjukkan
bahwa pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya
pengisian otak dengan informasi.² Ia menempatkan guru bukan sebagai otoritas
absolut, tetapi sebagai fasilitator berpikir, sahabat refleksi, dan teladan
hidup.³
Prinsip-prinsip tersebut menjadi semakin relevan dalam dunia pendidikan
kontemporer yang mengalami kekosongan nilai dan krisis jati diri. Ketika
peserta didik dicekoki dengan hafalan, dan guru dibebani administrasi yang
menjauhkan dari relasi personal dengan murid, pendekatan Socrates mengajak
untuk mengembalikan dialog sebagai ruh pembelajaran, menempatkan
kebaikan sebagai tujuan pendidikan, dan menghidupkan proses berpikir
kritis yang membebaskan.⁴
Lebih dari itu, teladan hidup Socrates—yang rela mati demi
mempertahankan prinsip berpikir bebas dan jujur—menjadi inspirasi moral yang
agung bagi setiap guru. Ia menunjukkan bahwa menjadi pendidik sejati bukan
hanya soal kompetensi akademik, tetapi tentang keberanian untuk hidup
selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan, meski menghadapi risiko sosial
dan politik.⁵
Dalam kerangka ini, guru filosofis ala
Socrates adalah guru yang:
·
menyadari keterbatasannya, namun terus
belajar;
·
menolak dogma kaku, namun
mencintai kebenaran;
·
tidak memaksakan jawaban, tetapi mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mendalam;
·
tidak hanya mencetak peserta didik yang
pintar, tetapi membina manusia yang baik dan bijak.
Maka, jika pendidikan ingin tetap relevan dalam membangun peradaban
manusia yang bermartabat, sudah saatnya prinsip-prinsip pendidikan Socratik
dihidupkan kembali. Dunia membutuhkan lebih banyak guru yang tidak hanya tahu
cara mengajar, tetapi menghidupi filsafat pendidikan dengan integritas,
nalar, dan cinta akan kebenaran.
Footnotes
[1]
Gert Biesta, The Beautiful Risk of Education
(Boulder: Paradigm Publishers, 2013), 2–4.
[2]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy:
Volume 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 136–138.
[3]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81–83.
[5]
Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing,
1997), 38a–42a.
Daftar Pustaka
Biesta, G. (2013). The beautiful
risk of education. Boulder, CO: Paradigm Publishers.
Freire, P. (1970).
Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York, NY:
Continuum.
(Original work
published in Portuguese, 1968)
Guthrie, W. K. C.
(1969). A history of Greek philosophy: Volume 3, The fifth-century
enlightenment, part 2: Socrates. Cambridge: Cambridge University Press.
Plato. (1997). Apology
(G. M. A. Grube, Trans.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works
(pp. 17–36). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company.
Vlastos, G.
(1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Ithaca, NY: Cornell
University Press.
Lampiran: Prinsip Seorang
Guru Berdasarkan Perspektif Pemikiran Socrates
Berikut adalah berbagai prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh
seorang guru berdasarkan perspektif pemikiran Socrates:
1)
Prinsip Maieutika (Metode Kebidanan)
Socrates
meyakini bahwa pengetahuan sejati sudah ada dalam diri setiap orang, dan tugas
guru adalah membantu "melahirkan" pengetahuan itu melalui dialog
dan pertanyaan yang mendalam.
Implikasi
bagi guru: Guru bukan
pemberi informasi, melainkan fasilitator yang membimbing siswa untuk menemukan
dan mengembangkan pemahamannya sendiri.
2)
Prinsip Dialektika
Socrates menggunakan metode tanya-jawab (dialektika) untuk menguji dan
menggali ide. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran terbaik terjadi melalui
dialog kritis dan reflektif.
Implikasi bagi guru: Guru seharusnya mendorong siswa berpikir
kritis, mempertanyakan asumsi, dan belajar melalui percakapan yang bermakna,
bukan hanya menerima informasi secara pasif.
3)
Prinsip “Know Thyself” (Kenalilah Dirimu Sendiri)
Socrates sangat menekankan pentingnya refleksi diri dan mengenali
kelebihan dan keterbatasan diri.
Implikasi bagi guru: Guru harus menumbuhkan kesadaran diri dalam
diri siswa — siapa mereka, apa yang mereka yakini, dan mengapa. Guru pun harus
terus merefleksikan perannya sendiri dalam mendidik.
4)
Prinsip Moralitas dan Kebaikan
Socrates
meyakini bahwa pengetahuan sejati akan membawa pada kebajikan (virtue). Ia
menyamakan pengetahuan dengan kebaikan.
Implikasi bagi guru: Guru harus mengajarkan ilmu dengan
orientasi moral, bukan semata-mata teknis. Guru harus menjadi teladan etika dan
membentuk karakter murid, bukan hanya intelektualnya.
5)
Prinsip Ketidaktahuan sebagai Awal Pembelajaran
Socrates
terkenal dengan pernyataannya: “Satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa aku
tidak tahu apa-apa.”
Implikasi
bagi guru: Guru
hendaknya rendah hati secara intelektual, terbuka terhadap pertanyaan baru, dan
menunjukkan bahwa mengakui ketidaktahuan adalah langkah awal menuju
kebijaksanaan.
6)
Prinsip Pembebasan Pikiran
Socrates menolak dogma yang tidak diuji. Ia menekankan pentingnya membebaskan
pikiran dari prasangka, otoritas buta, dan kejumudan berpikir.
Implikasi bagi guru: Guru seharusnya tidak membentuk siswa
menjadi penurut, melainkan membekali mereka dengan kemampuan berpikir mandiri,
bebas, dan bertanggung jawab.
7)
Prinsip Keteladanan Hidup
Socrates
hidup sesuai ajarannya dan memilih mati daripada berhenti berpikir dan
berbicara sesuai keyakinannya.
Implikasi bagi guru: Guru harus menjadi teladan integritas dan
keberanian moral dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya menyampaikan teori di
kelas.
8)
Prinsip Belajar Sepanjang Hayat
Bagi
Socrates, pencarian kebenaran adalah proses yang tiada henti.
Implikasi
bagi guru: Guru harus
terus belajar dan memperbaharui diri, menyadari bahwa proses menjadi “guru”
adalah perjalanan intelektual dan spiritual yang tak pernah selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar