Jumat, 25 Juli 2025

Guru Filosofis ala Socrates: Prinsip-Prinsip Pendidikan dari Sang Tokoh Dialektika

Guru Filosofis ala Socrates

Prinsip-Prinsip Pendidikan dari Sang Tokoh Dialektika


Alihkan ke: Philosophy for Children (P4C).


Abstrak

Artikel ini mengkaji prinsip-prinsip pendidikan yang digagas oleh Socrates dan relevansinya sebagai pedoman bagi guru dalam dunia pendidikan kontemporer. Sebagai tokoh sentral filsafat klasik, Socrates menawarkan pendekatan pendidikan yang berakar pada dialog, pencarian kebenaran, dan pembentukan karakter melalui metode maieutika dan dialektika. Artikel ini memaparkan sosok Socrates secara historis dan filosofis, lalu menguraikan prinsip-prinsip pendidikannya yang meliputi pengajaran melalui pertanyaan, penanaman kesadaran akan ketidaktahuan, dan pembentukan moralitas melalui refleksi kritis. Melalui kajian komparatif dan analisis kritis, ditunjukkan bahwa pemikiran Socrates tetap relevan untuk menjawab krisis nilai, kehilangan makna pendidikan, serta dehumanisasi dalam praktik pengajaran modern. Guru-guru masa kini dapat meneladani model pendidikan Socratik dengan mengembangkan sikap kritis, rendah hati, serta menjadikan pendidikan sebagai proses dialogis yang memanusiakan peserta didik.

Kata Kunci: Socrates; pendidikan filsafat; maieutika; guru filosofis; dialektika; refleksi kritis; etika pendidikan.


PEMBAHASAN

Prinsip-Prinsip Guru Berdasarkan Perspektif Pemikiran Socrates


1.           Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan modern yang semakin digerakkan oleh hasil, standar, dan efisiensi, nilai-nilai filosofis yang mendalam sering kali terpinggirkan. Guru, dalam banyak sistem pendidikan kontemporer, cenderung diposisikan sebagai teknisi kurikulum atau pelaksana administrasi, bukan lagi sebagai pendidik sejati yang mendidik hati dan pikiran. Dalam situasi ini, filsafat pendidikan menawarkan jalan kembali kepada hakikat pendidikan yang sejati—yakni sebagai upaya pembebasan, pencarian makna, dan penumbuhan kebajikan. Salah satu tokoh yang relevan untuk diangkat dalam konteks ini adalah Socrates, filsuf besar Yunani Kuno yang menempatkan pendidikan sebagai misi hidupnya.

Socrates (470–399 SM) bukan hanya dikenal karena pemikirannya yang mendalam, tetapi juga karena metode mengajarnya yang khas—melalui dialog, pertanyaan reflektif, dan pencarian kebenaran secara bersama. Ia tidak menulis buku, tetapi pemikirannya diabadikan melalui murid-muridnya, terutama Plato. Dalam Apologia, Plato menggambarkan Socrates sebagai sosok yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi membangkitkan kesadaran moral dan intelektual murid-muridnya untuk mengenali kebenaran dan menjalani kehidupan yang baik.¹

Bagi Socrates, pendidikan bukanlah transmisi pengetahuan belaka, melainkan sebuah proses pembentukan jiwa yang menuntut perenungan, kritik, dan pengenalan diri. Konsepnya tentang maieutika—metode kebidanan intelektual—menggambarkan bagaimana seorang guru membantu “melahirkan” pengetahuan yang telah tersembunyi dalam diri peserta didik.² Ia mengibaratkan dirinya seperti ibunya yang seorang bidan, namun tugasnya bukan membantu melahirkan bayi secara fisik, melainkan membantu jiwa melahirkan kebenaran melalui dialog yang jujur dan reflektif.

Dalam konteks pendidikan saat ini, prinsip-prinsip pendidikan ala Socrates menjadi sangat relevan. Ketika banyak guru dan siswa merasa terasing dari makna pembelajaran yang sejati, pendekatan Socrates menawarkan alternatif yang menekankan proses berpikir kritis, dialog terbuka, dan pembentukan karakter.³ Socrates menolak otoritarianisme dalam mengajar dan justru mendorong kebebasan berpikir sebagai jalan menuju kebijaksanaan.⁴ Dengan demikian, pemikiran dan praktik pendidikan Socrates dapat menjadi inspirasi penting bagi guru masa kini dalam menempatkan diri sebagai fasilitator pencarian makna, bukan sekadar pemberi informasi.

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi prinsip-prinsip pendidikan yang dapat dijadikan pedoman oleh seorang guru berdasarkan perspektif pemikiran Socrates. Dengan membedah gagasan-gagasannya tentang dialog, refleksi diri, kebajikan, dan pembebasan pikiran, artikel ini berharap dapat mendorong lahirnya guru-guru yang bukan hanya kompeten secara teknis, tetapi juga bijak secara filosofis.


Footnotes

[1]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1997), 17a–42a.

[2]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 13–25.

[3]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder: Westview Press, 2016), 23.

[4]                Richard Kraut, “Socrates,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/socrates/.


2.           Sosok dan Pemikiran Socrates

Socrates (470–399 SM) adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Ia dikenal sebagai pelopor filsafat moral dan pemikir yang meletakkan dasar bagi metode berpikir kritis dan reflektif. Berbeda dari banyak filsuf setelahnya, Socrates tidak meninggalkan karya tulis apa pun. Segala pengetahuan tentangnya diperoleh dari karya para muridnya, khususnya Plato dan Xenophon, serta dari penggambaran satiris oleh Aristophanes.¹

2.1.       Kehidupan dan Karakter Socrates

Socrates lahir di Athena dari keluarga kelas menengah; ayahnya seorang pemahat, dan ibunya seorang bidan. Ia dikenal sebagai pribadi sederhana, berpakaian apa adanya, hidup asketis, dan menghabiskan sebagian besar waktunya berdialog di tempat umum bersama siapa saja yang bersedia berbicara dengannya.² Ia tidak mengajar di sekolah formal, namun metode diskusi dan pertanyaannya memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Athena, terutama kaum muda yang menjadi muridnya secara informal.

Socrates tidak memposisikan dirinya sebagai guru dalam arti konvensional. Ia menolak disebut sebagai orang bijak atau pemilik pengetahuan. Sebaliknya, ia meyakini bahwa dirinya tidak mengetahui apa-apa, yang kemudian menjadi dasar dari prinsipnya: “I know that I know nothing.”³ Paradoks ini mencerminkan kerendahan hati intelektual sekaligus semangat untuk terus mencari kebenaran.

2.2.       Metode Socrates: Dialektika dan Maieutika

Salah satu kontribusi utama Socrates dalam dunia pemikiran adalah metode dialektika, yakni teknik bertanya yang bertujuan untuk menguji ide secara kritis melalui dialog. Dalam praktiknya, Socrates mengajukan serangkaian pertanyaan yang menggiring lawan bicaranya pada pertentangan logis atas keyakinan mereka sendiri.⁴ Tujuannya bukan untuk mempermalukan lawan bicara, tetapi untuk menyingkap kebingungan intelektual dan membuka jalan menuju pemahaman yang lebih dalam.

Dari metode dialektika inilah muncul konsep maieutika (dari bahasa Yunani maieutikê, “kebidanan”). Socrates mengibaratkan dirinya sebagai “bidan intelektual” yang tidak memberikan pengetahuan secara langsung, melainkan membantu orang lain "melahirkan" ide dari dalam dirinya sendiri.⁵ Dalam Theaetetus, Plato menulis bahwa Socrates tidak mengklaim mengajarkan apa pun, tetapi hanya membantu orang untuk berpikir dan menemukan kebenaran melalui dialog yang intens dan reflektif.⁶

2.3.       Etika dan Kebajikan sebagai Inti Pendidikan

Socrates tidak hanya tertarik pada pertanyaan metafisis atau logis, tetapi sangat fokus pada pertanyaan-pertanyaan etis seperti: Apa itu kebaikan? Apa itu keadilan? Bagaimana hidup yang baik?⁷ Ia percaya bahwa pengetahuan sejati akan mengarahkan seseorang pada kebajikan (virtue). Dengan kata lain, tidak ada orang yang sengaja berbuat jahat; kejahatan terjadi karena ketidaktahuan.⁸ Oleh karena itu, pendidikan bagi Socrates bukan hanya soal intelektualitas, tetapi lebih dalam lagi, merupakan proses pembentukan moral dan karakter.

2.4.       Sikap Filosofis dan Keteladanan Hidup

Socrates menjadikan hidupnya sebagai perwujudan ajarannya. Ia lebih memilih dihukum mati dengan racun daripada meninggalkan prinsip pencarian kebenaran dan kebebasan berpikir yang ia yakini. Dalam Apologia, ia berkata bahwa “hidup yang tidak diuji tidak layak dijalani” (the unexamined life is not worth living).⁹ Sikap ini menunjukkan keberaniannya dalam mempertahankan integritas intelektual dan moral, menjadikannya figur teladan bagi siapa saja yang mengabdikan diri dalam dunia pendidikan.

2.5.       Relevansi Pemikirannya bagi Dunia Pendidikan

Meskipun hidup lebih dari dua milenium yang lalu, pemikiran Socrates tetap relevan hingga kini. Dalam konteks pendidikan modern, ia mengajarkan bahwa proses berpikir jauh lebih penting daripada sekadar menghafal informasi. Ia mengingatkan kita bahwa tugas seorang pendidik bukan untuk mengisi pikiran murid dengan jawaban, tetapi untuk menyalakan semangat bertanya, berpikir kritis, dan mencari makna hidup.¹⁰ Gagasan-gagasan Socrates telah mengilhami banyak pendekatan pendidikan progresif, seperti pedagogi kritis Paulo Freire dan pendidikan dialogis John Dewey.


Footnotes

[1]                Debra Nails, The People of Plato: A Prosopography of Plato and Other Socratics (Indianapolis: Hackett Publishing, 2002), 4–8.

[2]                I.F. Stone, The Trial of Socrates (New York: Anchor Books, 1989), 19.

[3]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 21d.

[4]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.

[5]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume 3, (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 137.

[6]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 150b–151b.

[7]                Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1995), 67.

[8]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 63.

[9]                Plato, Apology, 38a.

[10]             Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder: Westview Press, 2016), 25–26.


3.           Prinsip-Prinsip Pendidikan Socrates sebagai Pedoman Guru

Pemikiran Socrates tentang pendidikan tidak terpisah dari cara hidup dan nilai-nilai yang ia anut. Ia bukan hanya mengajarkan sebuah sistem teori, tetapi mempraktikkan prinsip-prinsipnya melalui cara ia berdialog, menguji ide, dan membentuk kesadaran moral masyarakat. Prinsip-prinsip berikut ini merupakan inti dari pendekatan pendidikan Socrates, yang dapat dijadikan pedoman filosofis bagi guru dalam konteks pembelajaran modern:

3.1.       Prinsip Maieutika: Guru sebagai Penolong Kelahiran Ide

Socrates mengembangkan metode maieutika (kebidanan), yang menggambarkan proses pendidikan sebagai usaha membantu lahirnya kebenaran dari dalam diri peserta didik, bukan menjejalkan pengetahuan dari luar. Ia mengibaratkan dirinya sebagai “bidan” seperti ibunya, yang membantu orang lain melahirkan ide mereka melalui pertanyaan yang menggugah dan reflektif.¹

Guru dalam perspektif ini adalah fasilitator intelektual, bukan otoritas tunggal pengetahuan. Prinsip ini mendorong pembelajaran yang berpusat pada murid, dialogis, dan bersifat inquiry-based.

3.2.       Prinsip Dialektika: Dialog Sebagai Jalan Menuju Pengetahuan

Metode dialektika Socrates menekankan bahwa pemahaman sejati dibangun melalui percakapan yang mendalam, pertanyaan terbuka, dan penelusuran logis terhadap ide.² Dengan menggiring peserta dialog menyadari kontradiksi dalam pemikirannya, Socrates menumbuhkan kesadaran kritis dan keterbukaan intelektual.

Guru masa kini dapat menerapkan prinsip ini melalui strategi pembelajaran berbasis diskusi, debat ilmiah, dan refleksi kolektif — menumbuhkan nalar dan kemampuan argumentatif peserta didik.

3.3.       Prinsip “Know Thyself”: Pendidikan sebagai Jalan Mengenal Diri

Ungkapan “Kenalilah dirimu sendiri” (gnōthi seauton) menjadi landasan etik dan epistemologis dalam filsafat Socrates. Ia meyakini bahwa pengetahuan yang paling bernilai adalah pengenalan diri sendiri, termasuk batas, potensi, dan motivasi internal.³

Bagi guru, prinsip ini berarti mengarahkan pendidikan ke arah refleksi diri dan pengembangan eksistensial, tidak semata-mata transmisi pengetahuan. Proses ini membentuk pribadi yang autentik, sadar tujuan, dan berkarakter kuat.

3.4.       Prinsip Etika dan Kebajikan: Pendidikan untuk Membentuk Karakter

Socrates mengaitkan erat antara pengetahuan dan kebajikan (aretē). Ia percaya bahwa “tidak ada orang yang berbuat jahat dengan sadar,” karena kejahatan muncul dari ketidaktahuan akan kebaikan.⁴ Pendidikan, dengan demikian, adalah proses menuju kebajikan melalui pengetahuan.

Bagi guru, ini berarti setiap aktivitas pembelajaran harus bermuatan etis dan mendidik hati, bukan hanya otak. Guru harus menjadi teladan moral dan pelatih karakter, bukan hanya penyampai materi akademik.⁵

3.5.       Prinsip Ketidaktahuan sebagai Titik Awal Belajar

Socrates terkenal dengan paradoks: “Satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa” (ἓν οἶδα ὅτι οὐδὲν οἶδα).⁶ Ini bukan bentuk skeptisisme pesimis, melainkan kerendahan hati epistemologis yang membuka jalan menuju pembelajaran sejati.

Guru yang menyadari keterbatasannya akan bersikap terbuka terhadap pertanyaan murid, bersedia belajar dari pengalaman, dan mendorong budaya intelektual yang jujur. Prinsip ini sangat penting dalam menumbuhkan semangat belajar sepanjang hayat.

3.6.       Prinsip Pembebasan Pikiran: Menolak Dogma, Menghidupkan Nalar

Socrates menolak penerimaan buta terhadap tradisi, otoritas, atau mitos tanpa pengujian rasional. Ia mengajarkan bahwa berpikir kritis adalah bentuk kebebasan tertinggi.⁷

Bagi guru, prinsip ini menuntut sikap progresif dan keberanian mendidik murid untuk mempertanyakan asumsi, menyelidiki kebenaran, dan mengembangkan kebebasan berpikir. Ini sejalan dengan semangat pedagogi kritis kontemporer seperti yang dikembangkan oleh Paulo Freire.⁸

3.7.       Prinsip Keteladanan Hidup: Konsistensi antara Pikiran dan Tindakan

Socrates tidak hanya mengajarkan kebaikan, tetapi menjalani hidup sesuai prinsipnya, bahkan hingga rela dihukum mati demi mempertahankan kebebasan berpikir.⁹ Guru sejati bukan hanya pengajar, tetapi teladan hidup, yang menunjukkan bahwa integritas dan keberanian moral adalah fondasi pendidikan yang bermakna.

3.8.       Prinsip Belajar Sepanjang Hayat: Pendidikan sebagai Perjalanan Abadi

Socrates tidak pernah mengklaim telah selesai belajar. Bagi dia, mencari kebenaran adalah proses yang tidak pernah final.¹⁰ Guru yang Socratik adalah pribadi yang terus mengembangkan diri, memperbarui pengetahuan, dan tetap rendah hati dalam belajar bersama siswa dan sesama pendidik.


Footnotes

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 150b–151b.

[2]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.

[3]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 135.

[4]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 63.

[5]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder: Westview Press, 2016), 23–26.

[6]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 21d.

[7]                Richard Kraut, “Socrates,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/socrates/.

[8]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–75.

[9]                Plato, Apology, 38a.

[10]             Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1995), 67.


4.           Relevansi Pemikiran Socrates bagi Dunia Pendidikan Kontemporer

Di tengah berbagai tantangan pendidikan modern—seperti tekanan terhadap capaian akademik, komersialisasi lembaga pendidikan, dan menurunnya perhatian terhadap pembentukan karakter—pemikiran Socrates menawarkan napas segar yang bernilai mendasar dan jangka panjang. Prinsip-prinsip pendidikan Socrates, meskipun lahir di abad ke-5 SM, tetap memiliki relevansi luar biasa dalam menjawab krisis orientasi dan kemanusiaan dalam sistem pendidikan masa kini.

4.1.       Menjawab Krisis Instrumenslisme dalam Pendidikan

Pendidikan kontemporer kerap terjebak dalam paradigma teknokratis dan instrumentalis, yang menilai keberhasilan pembelajaran semata-mata dari nilai ujian, angka statistik, dan efisiensi administratif.¹ Dalam paradigma semacam ini, murid diperlakukan sebagai “produk” dan guru sebagai “operator mesin” kurikulum. Pemikiran Socrates hadir sebagai kritik radikal terhadap pendekatan ini.

Socrates mengingatkan bahwa pendidikan adalah proses penemuan diri, pencarian makna, dan pembentukan kebajikan, bukan sekadar akumulasi data.² Dengan menekankan pentingnya dialog, refleksi, dan pembebasan pikiran, ia menunjukkan bahwa belajar adalah proses personal yang tak bisa direduksi menjadi prosedur mekanis.

4.2.       Mendorong Pendidikan Humanistik dan Berbasis Karakter

Dalam pemikiran Socrates, pendidikan selalu diarahkan pada pembentukan karakter, bukan sekadar transmisi pengetahuan.³ Dunia pendidikan modern yang kerap terfokus pada kompetensi kognitif dapat mengambil pelajaran penting dari pendekatan Socratik yang lebih menyeluruh dan berorientasi pada nilai-nilai moral.

Pendidikan berbasis karakter telah menjadi isu global, sebagaimana direkomendasikan oleh UNESCO dan berbagai lembaga pendidikan internasional.⁴ Socrates telah lebih dahulu meletakkan fondasinya dengan prinsip bahwa pengetahuan sejati harus diwujudkan dalam tindakan yang baik (virtue-based knowledge).

4.3.       Memperkuat Budaya Berpikir Kritis dan Demokratis

Kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan reflektif adalah kebutuhan mendesak di abad ke-21, yang menuntut peserta didik memiliki kemampuan menalar secara mandiri dan bertanggung jawab.⁵ Pendekatan Socrates yang menekankan dialog terbuka, pengujian ide, dan kesadaran akan keterbatasan diri menjadi model ideal untuk menumbuhkan kemampuan tersebut.

Prinsip dialektika Socrates sangat sejalan dengan pendekatan pedagogi kritis yang dikembangkan oleh Paulo Freire, di mana pendidikan dianggap sebagai praktik pembebasan dan kesadaran sosial, bukan alat dominasi.⁶ Dalam konteks kelas, pendekatan ini dapat diterapkan melalui diskusi terbuka, pembelajaran berbasis masalah, dan penguatan ruang aman untuk bertanya.

4.4.       Mendorong Guru sebagai Fasilitator dan Teladan Moral

Guru dalam sistem pendidikan modern seringkali dihadapkan pada beban administratif dan tuntutan performa, sehingga kehilangan ruang untuk menjadi inspirator dan teladan moral. Pemikiran Socrates memulihkan kembali peran dasar seorang guru sebagai pembimbing jiwa, pendamping pencarian makna, dan figur keteladanan etis.⁷

Model guru Socratik tidak mengklaim sebagai pemilik kebenaran mutlak, tetapi sebagai rekan belajar dan penolong yang jujur, yang mendampingi peserta didik dalam proses “melahirkan” pemahaman dari dalam diri mereka.⁸ Dengan begitu, proses belajar menjadi manusiawi dan membebaskan, bukan memaksa dan menyeragamkan.

4.5.       Pendidikan Sepanjang Hayat sebagai Etos Guru dan Siswa

Dalam masyarakat yang terus berubah, pendidikan tidak lagi dapat dibatasi dalam ruang dan waktu formal. Socrates, yang terus belajar sepanjang hidupnya dan mengakui ketidaktahuannya, mengajarkan nilai penting dari etika belajar sepanjang hayat (lifelong learning).⁹

Bagi guru, ini berarti keterbukaan terhadap ilmu baru, keterlibatan aktif dalam pengembangan profesi, serta semangat rendah hati untuk belajar dari siapa pun, termasuk muridnya sendiri. Semangat ini selaras dengan nilai-nilai dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan kemandirian belajar dan pembentukan profil pelajar yang reflektif.¹⁰

4.6.       Aktualisasi dalam Konteks Digital dan Era AI

Meskipun Socrates hidup di zaman yang jauh dari era digital, prinsip-prinsipnya tetap bisa diadaptasi dalam pembelajaran berbasis teknologi. Di tengah banjir informasi dan algoritma yang sering menggiring cara berpikir, metode Socratik mampu melatih murid untuk menyaring informasi, menilai kebenaran, dan membentuk pendapat secara etis dan kritis.

Guru dapat mengadopsi pendekatan Socratik dalam lingkungan digital melalui forum diskusi daring, metode pembelajaran berbasis pertanyaan (inquiry-based learning), dan penggunaan teknologi yang tetap menjaga nilai dialog, refleksi, dan kebebasan berpikir.


Kesimpulan Sementara

Pemikiran Socrates, meski lahir dari dunia kuno, menyimpan nilai-nilai abadi yang menjadi fondasi pendidikan yang memanusiakan. Di tengah gelombang pendidikan yang cepat berubah, Socrates memberi arah agar pendidikan tetap berpijak pada pencarian kebenaran, penguatan karakter, dan pembebasan akal budi. Guru masa kini, dengan segala tantangan yang dihadapi, sangat diuntungkan jika menjadikan prinsip-prinsip Socratik sebagai pijakan etis dan pedagogis dalam praksis sehari-hari.


Footnotes

[1]                Biesta, Gert. Good Education in an Age of Measurement: Ethics, Politics, Democracy (Boulder: Paradigm Publishers, 2010), 5–6.

[2]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 137.

[3]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 63.

[4]                UNESCO, Rethinking Education: Towards a Global Common Good? (Paris: UNESCO Publishing, 2015), 31.

[5]                Facione, Peter A. “Critical Thinking: What It Is and Why It Counts,” Insight Assessment (2011), 5–7.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–75.

[7]                Nel Noddings, Philosophy of Education, 4th ed. (Boulder: Westview Press, 2016), 26–27.

[8]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 150b.

[9]                Gregory Vlastos, Socratic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 12–14.

[10]             Kemdikbudristek RI, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: 2022), 14–15.


5.           Penutup

Pemikiran dan praktik pendidikan Socrates menawarkan fondasi filosofis yang kokoh untuk mengembalikan ruh kemanusiaan dalam pendidikan. Di tengah arus modernisasi yang kerap mengedepankan efisiensi, standar kuantitatif, dan keterukuran teknis, pendekatan Socrates justru menekankan aspek terdalam dari pendidikan: pencarian makna, penumbuhan akal sehat, dan pembentukan karakter luhur

Melalui prinsip-prinsip seperti maieutika (melahirkan ide dari dalam diri peserta didik), dialektika (pengujian gagasan lewat dialog), dan gnōthi seauton (kenalilah dirimu sendiri), Socrates menunjukkan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya pengisian otak dengan informasi.² Ia menempatkan guru bukan sebagai otoritas absolut, tetapi sebagai fasilitator berpikir, sahabat refleksi, dan teladan hidup.³

Prinsip-prinsip tersebut menjadi semakin relevan dalam dunia pendidikan kontemporer yang mengalami kekosongan nilai dan krisis jati diri. Ketika peserta didik dicekoki dengan hafalan, dan guru dibebani administrasi yang menjauhkan dari relasi personal dengan murid, pendekatan Socrates mengajak untuk mengembalikan dialog sebagai ruh pembelajaran, menempatkan kebaikan sebagai tujuan pendidikan, dan menghidupkan proses berpikir kritis yang membebaskan.⁴

Lebih dari itu, teladan hidup Socrates—yang rela mati demi mempertahankan prinsip berpikir bebas dan jujur—menjadi inspirasi moral yang agung bagi setiap guru. Ia menunjukkan bahwa menjadi pendidik sejati bukan hanya soal kompetensi akademik, tetapi tentang keberanian untuk hidup selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan, meski menghadapi risiko sosial dan politik.⁵

Dalam kerangka ini, guru filosofis ala Socrates adalah guru yang:

·                     menyadari keterbatasannya, namun terus belajar;

·                     menolak dogma kaku, namun mencintai kebenaran;

·                     tidak memaksakan jawaban, tetapi mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam;

·                     tidak hanya mencetak peserta didik yang pintar, tetapi membina manusia yang baik dan bijak.

Maka, jika pendidikan ingin tetap relevan dalam membangun peradaban manusia yang bermartabat, sudah saatnya prinsip-prinsip pendidikan Socratik dihidupkan kembali. Dunia membutuhkan lebih banyak guru yang tidak hanya tahu cara mengajar, tetapi menghidupi filsafat pendidikan dengan integritas, nalar, dan cinta akan kebenaran.


Footnotes

[1]                Gert Biesta, The Beautiful Risk of Education (Boulder: Paradigm Publishers, 2013), 2–4.

[2]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Volume 3 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 136–138.

[3]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81–83.

[5]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube, in Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 38a–42a.


Daftar Pustaka

Biesta, G. (2013). The beautiful risk of education. Boulder, CO: Paradigm Publishers.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York, NY: Continuum.

(Original work published in Portuguese, 1968)

Guthrie, W. K. C. (1969). A history of Greek philosophy: Volume 3, The fifth-century enlightenment, part 2: Socrates. Cambridge: Cambridge University Press.

Plato. (1997). Apology (G. M. A. Grube, Trans.). In J. M. Cooper (Ed.), Plato: Complete works (pp. 17–36). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Ithaca, NY: Cornell University Press.


Lampiran: Prinsip Seorang Guru Berdasarkan Perspektif Pemikiran Socrates

Berikut adalah berbagai prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh seorang guru berdasarkan perspektif pemikiran Socrates:

1)                 Prinsip Maieutika (Metode Kebidanan)

Socrates meyakini bahwa pengetahuan sejati sudah ada dalam diri setiap orang, dan tugas guru adalah membantu "melahirkan" pengetahuan itu melalui dialog dan pertanyaan yang mendalam.

Implikasi bagi guru: Guru bukan pemberi informasi, melainkan fasilitator yang membimbing siswa untuk menemukan dan mengembangkan pemahamannya sendiri.

2)                 Prinsip Dialektika

Socrates menggunakan metode tanya-jawab (dialektika) untuk menguji dan menggali ide. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran terbaik terjadi melalui dialog kritis dan reflektif.

Implikasi bagi guru: Guru seharusnya mendorong siswa berpikir kritis, mempertanyakan asumsi, dan belajar melalui percakapan yang bermakna, bukan hanya menerima informasi secara pasif.

3)                 Prinsip “Know Thyself” (Kenalilah Dirimu Sendiri)

Socrates sangat menekankan pentingnya refleksi diri dan mengenali kelebihan dan keterbatasan diri.

Implikasi bagi guru: Guru harus menumbuhkan kesadaran diri dalam diri siswa — siapa mereka, apa yang mereka yakini, dan mengapa. Guru pun harus terus merefleksikan perannya sendiri dalam mendidik.

4)                 Prinsip Moralitas dan Kebaikan

Socrates meyakini bahwa pengetahuan sejati akan membawa pada kebajikan (virtue). Ia menyamakan pengetahuan dengan kebaikan.

Implikasi bagi guru: Guru harus mengajarkan ilmu dengan orientasi moral, bukan semata-mata teknis. Guru harus menjadi teladan etika dan membentuk karakter murid, bukan hanya intelektualnya.

5)                 Prinsip Ketidaktahuan sebagai Awal Pembelajaran

Socrates terkenal dengan pernyataannya: “Satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa.”

Implikasi bagi guru: Guru hendaknya rendah hati secara intelektual, terbuka terhadap pertanyaan baru, dan menunjukkan bahwa mengakui ketidaktahuan adalah langkah awal menuju kebijaksanaan.

6)                 Prinsip Pembebasan Pikiran

Socrates menolak dogma yang tidak diuji. Ia menekankan pentingnya membebaskan pikiran dari prasangka, otoritas buta, dan kejumudan berpikir.

Implikasi bagi guru: Guru seharusnya tidak membentuk siswa menjadi penurut, melainkan membekali mereka dengan kemampuan berpikir mandiri, bebas, dan bertanggung jawab.

7)                 Prinsip Keteladanan Hidup

Socrates hidup sesuai ajarannya dan memilih mati daripada berhenti berpikir dan berbicara sesuai keyakinannya.

Implikasi bagi guru: Guru harus menjadi teladan integritas dan keberanian moral dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya menyampaikan teori di kelas.

8)                 Prinsip Belajar Sepanjang Hayat

Bagi Socrates, pencarian kebenaran adalah proses yang tiada henti.

Implikasi bagi guru: Guru harus terus belajar dan memperbaharui diri, menyadari bahwa proses menjadi “guru” adalah perjalanan intelektual dan spiritual yang tak pernah selesai.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar