Selasa, 08 Juli 2025

Patronase Politik: Dinamika Kuasa dan Kepentingan dalam Relasi Patron-Klien di Arena Kekuasaan

Patronase Politik

Dinamika Kuasa dan Kepentingan dalam Relasi Patron-Klien di Arena Kekuasaan


Alihkan ke: Korupsi.

Suap (Bribery), Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power), Nepotisme dan KronismePenggelapan dan Pencucian Uang (Embezzlement and Money Laundering), Kolusi (Collusion), Gratifikasi yang Tidak Sah.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif fenomena patronase politik sebagai salah satu bentuk relasi kuasa yang paling dominan dalam praktik politik kontemporer, khususnya di negara-negara berkembang. Patronase dipahami sebagai hubungan timbal balik antara patron (pihak berkuasa) dan klien (pihak penerima manfaat), yang ditandai oleh pertukaran dukungan politik dan sumber daya demi keuntungan bersama dalam struktur yang tidak seimbang. Melalui tinjauan teoritis dan empiris, artikel ini menjelaskan akar historis dan kultural patronase, bentuk-bentuk praktiknya di lapangan, serta dampaknya terhadap demokrasi, meritokrasi, keadilan sosial, dan partisipasi warga negara. Patronase diposisikan bukan sekadar sebagai anomali, melainkan sebagai bagian dari sistem politik yang terlembaga, namun merusak prinsip-prinsip demokrasi dan etika publik. Analisis ini juga menawarkan sejumlah strategi pembenahan, seperti reformasi institusi birokrasi dan kepartaian, peningkatan transparansi anggaran, pendidikan politik, dan pembangunan kepemimpinan beretika. Dengan demikian, artikel ini memberikan landasan normatif dan praktis bagi upaya dekonstruksi patronase menuju tata kelola pemerintahan yang lebih adil, akuntabel, dan demokratis.

Kata Kunci: Patronase politik; relasi patron-klien; demokrasi; meritokrasi; etika politik; reformasi kelembagaan; budaya politik.


PEMBAHASAN

Patronase Politik dalam Praktik Pemerintahan


1.           Pendahuluan

Patronase politik merupakan salah satu praktik relasi kekuasaan yang berkembang dalam berbagai sistem politik, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Dalam konteks ini, patronase dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bersifat hierarkis antara dua pihak: patron—yakni individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan, sumber daya, atau pengaruh—dan klien, yaitu pihak yang berada dalam posisi sosial yang lebih rendah dan bergantung pada patron untuk memperoleh akses terhadap sumber daya atau keuntungan politik tertentu. Sebagai imbalannya, klien memberikan loyalitas politik, dukungan elektoral, atau jasa tertentu yang menguntungkan sang patron. Hubungan ini tidak selalu bersifat formal atau legal, tetapi berlangsung secara personal dan transaksional, menjadikannya sulit dideteksi dalam kerangka hukum konstitusional yang bersifat rasional-legal.¹

Fenomena patronase bukanlah praktik baru. Dalam masyarakat tradisional, bentuk patronase dapat dilihat dalam hubungan feodal antara raja dan bangsawan, atau dalam sistem patron-klien Romawi kuno.² Dalam konteks modern, praktik ini masih hidup subur dalam demokrasi elektoral, terutama di negara-negara berkembang yang belum sepenuhnya memiliki institusi demokrasi yang kuat dan independen.³ Dalam masyarakat seperti itu, patronase cenderung merusak prinsip meritokrasi, karena jabatan publik, proyek pembangunan, dan distribusi sumber daya negara kerap kali ditentukan berdasarkan loyalitas politik dan bukan pada kompetensi atau kebutuhan objektif masyarakat.⁴

Di Indonesia, patronase politik menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika kekuasaan sejak masa Orde Baru hingga era reformasi dan otonomi daerah. Praktik patronase tumbuh subur melalui kontrol terpusat terhadap jabatan publik dan distribusi anggaran yang diarahkan untuk mempertahankan loyalitas elite politik dan birokrasi.⁵ Sejak era desentralisasi pascareformasi, patronase politik mengalami transformasi, dari yang sebelumnya bersifat vertikal (pusat ke daerah), menjadi lebih kompleks dan lateral, di mana aktor lokal—seperti kepala daerah dan tokoh partai lokal—menjadi patron baru dalam jaringan politik daerah.⁶ Hal ini membuka ruang bagi praktik politik uang, jual beli jabatan, dan politik transaksional dalam pemilihan umum dan rekrutmen pejabat publik.

Relasi patron-klien dalam patronase politik tidak hanya membentuk pola hubungan antara elite dan massa, tetapi juga menciptakan sistem ketergantungan struktural yang memperlemah partisipasi politik warga negara secara kritis dan mandiri.⁷ Klien yang bergantung pada patron untuk memperoleh pekerjaan, akses layanan publik, atau perlindungan hukum, cenderung bersikap pasif dan tunduk terhadap kepentingan patron meskipun bertentangan dengan prinsip keadilan dan integritas. Dalam jangka panjang, hal ini mengakibatkan kemunduran institusional dan melanggengkan budaya politik yang pragmatis dan clientelistic.⁸

Mengingat kuatnya pengaruh patronase politik dalam proses politik dan pemerintahan, kajian kritis terhadap praktik ini menjadi penting. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam dinamika relasi patron-klien, bentuk dan dampaknya terhadap demokrasi, serta upaya reformasi yang dapat mengurangi dominasi patronase dalam sistem politik Indonesia. Dengan pendekatan multidisipliner dan berlandaskan sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memahami kompleksitas patronase politik dan mendorong penguatan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan.


Footnotes

[1]                James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1972), 92.

[2]                Richard Saller, Personal Patronage under the Early Empire (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 1–10.

[3]                Susan C. Stokes, Political Clientelism dalam The Oxford Handbook of Political Science, ed. Robert E. Goodin (Oxford: Oxford University Press, 2011), 604–607.

[4]                Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 2.

[5]                Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), 57–60.

[6]                Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in Indonesia's Local Elections,” dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs 32, no. 1 (2013): 61–84.

[7]                Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore: ISEAS, 2010), 38–41.

[8]                Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A Critique,” dalam South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 420–434.


2.           Landasan Teoretis

Kajian tentang patronase politik berakar pada teori relasi sosial dan kekuasaan yang telah dikembangkan dalam berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu politik, sosiologi, dan antropologi. Relasi patron-klien merupakan bentuk hubungan sosial yang ditandai oleh ketimpangan kekuasaan, namun saling menguntungkan. Patron—sebagai pihak yang memiliki sumber daya—memberikan perlindungan, bantuan, atau akses terhadap fasilitas tertentu kepada klien. Sebagai imbalannya, klien memberikan loyalitas, dukungan politik, atau bentuk jasa lain yang bernilai simbolik maupun elektoral.¹

2.1.       Konsep Patron-Klien dalam Perspektif Sosiologi dan Antropologi

Secara klasik, relasi patron-klien dipahami sebagai hubungan pertukaran bersifat personal, tidak formal, dan jangka panjang antara dua individu atau kelompok dengan status sosial berbeda, di mana terjadi pertukaran barang, jasa, atau perlindungan terhadap loyalitas.² James C. Scott menyebut hubungan ini sebagai bentuk moral economy yang menyelubungi eksploitasi dalam jubah timbal balik, karena keterikatan emosional dan loyalitas klien terhadap patron membuat hubungan ini seolah-olah bersifat adil.³ Hubungan tersebut tidak berdasarkan hukum negara atau kontrak legal, tetapi pada norma sosial dan budaya lokal yang mengikat kedua belah pihak.

Dalam pandangan Eisenstadt dan Roniger, patronase muncul sebagai respons terhadap ketidakstabilan institusi formal dan rendahnya kepercayaan terhadap mekanisme resmi distribusi sumber daya. Dalam konteks negara-negara berkembang, patronase menjadi alternatif informal dalam menjamin keamanan ekonomi dan sosial.⁴ Oleh karena itu, relasi ini sering kali berkembang subur di masyarakat yang lemah secara institusional dan belum memiliki sistem birokrasi yang rasional-legal sebagaimana yang dibayangkan Max Weber.⁵

2.2.       Teori Kekuasaan dan Clientelism

Dalam ilmu politik modern, patronase politik dikaitkan erat dengan praktik clientelism, yakni strategi politik di mana elite menggunakan sumber daya publik untuk membeli dukungan pemilih melalui hubungan pribadi, bukan melalui program atau ideologi.⁶ Clientelism bersifat partikularistik (terbatas pada individu atau kelompok tertentu) dan kontingen (tergantung pada adanya dukungan timbal balik). Menurut Susan Stokes, clientelism melemahkan akuntabilitas politik karena aktor politik lebih fokus pada pertukaran pribadi dibanding pelayanan publik kolektif.⁷

Teori patronase juga dapat dipahami melalui pendekatan oligarki dan elite theory, seperti yang dikemukakan oleh Robert Michels dan C. Wright Mills. Mereka berargumen bahwa dalam setiap sistem politik, selalu ada kelompok kecil elite yang mengendalikan sumber daya dan pengaruh, serta memelihara kekuasaannya melalui jaringan patronase.⁸ Patronase politik menjadi instrumen utama bagi elite untuk mempertahankan hegemoni atas kelompok-kelompok subordinat dalam masyarakat.

2.3.       Patronase dalam Kerangka Demokrasi Elektoral

Paradoks muncul ketika praktik patronase berkembang dalam sistem demokrasi yang idealnya didasarkan pada prinsip meritokrasi, transparansi, dan keadilan. Dalam konteks demokrasi elektoral, patronase digunakan sebagai instrumen untuk membangun dukungan massa secara pragmatis, seperti melalui pemberian bantuan sosial yang disesuaikan dengan kepentingan elektoral atau pengangkatan politik terhadap loyalis.⁹ Praktik ini mengarah pada demokrasi prosedural yang cacat substansi, di mana hubungan negara dan rakyat dibangun bukan atas dasar hak dan kewajiban sipil, tetapi melalui mekanisme pertukaran antara elite dan massa.

Dengan demikian, teori patron-klien dan patronase politik tidak hanya menjelaskan dinamika kekuasaan dalam masyarakat tradisional, tetapi juga membuka ruang kritik terhadap institusi politik modern yang masih memelihara relasi feodal dalam bungkus demokrasi.¹⁰ Relasi patron-klien menjadi sarana reproduksi ketimpangan sosial-politik yang terselubung, sekaligus penghalang bagi terbentuknya tata kelola pemerintahan yang partisipatif dan berbasis kepentingan publik.


Footnotes

[1]                Pierre Bourdieu, Practical Reason: On the Theory of Action (Stanford: Stanford University Press, 1998), 95.

[2]                Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 61.

[3]                James C. Scott, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia (New Haven: Yale University Press, 1976), 178.

[4]                Shmuel N. Eisenstadt and Luis Roniger, Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 42–45.

[5]                Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 956–958.

[6]                Allen Hicken, “Clientelism,” Annual Review of Political Science 14 (2011): 289–310.

[7]                Susan C. Stokes, “Political Clientelism,” dalam The Oxford Handbook of Political Science, ed. Robert E. Goodin (Oxford: Oxford University Press, 2011), 604–605.

[8]                C. Wright Mills, The Power Elite (New York: Oxford University Press, 1956), 3–5; Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy (New York: Dover Publications, 1959), 15.

[9]                Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 4–6.

[10]             Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A Critique,” South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 421.


3.           Bentuk dan Mekanisme Patronase Politik

Patronase politik tidak hanya muncul dalam bentuk hubungan sosial yang bersifat informal, tetapi juga termanifestasi dalam berbagai praktik konkret yang dapat diamati dalam proses politik dan pemerintahan. Bentuk-bentuk patronase ini mencerminkan relasi timbal balik antara patron dan klien yang dibangun melalui distribusi sumber daya sebagai imbalan atas dukungan politik atau loyalitas. Dalam konteks demokrasi elektoral dan sistem pemerintahan modern, patronase politik bekerja melalui berbagai saluran, baik yang terang-terangan maupun terselubung, dan melibatkan aktor negara maupun non-negara.

3.1.       Bentuk-Bentuk Patronase Politik

3.1.1.    Pengangkatan Jabatan Berdasarkan Loyalitas Politik

Salah satu bentuk patronase yang paling menonjol adalah praktik pengangkatan pejabat publik berdasarkan loyalitas politik, bukan pada asas kompetensi atau sistem merit. Patron, dalam hal ini elite partai atau kepala daerah, akan memberikan posisi strategis kepada klien—baik di tingkat birokrasi maupun lembaga legislatif—dengan imbalan dukungan politik atau kontribusi selama kampanye.¹ Praktik ini menciptakan birokrasi yang tidak netral dan memperkuat hubungan personal di atas profesionalisme administratif.

3.1.2.    Distribusi Bantuan Sosial dan Proyek Pembangunan

Bantuan sosial dan proyek pembangunan sering kali dimanipulasi sebagai alat patronase. Dalam masa pemilihan umum, kandidat yang memiliki akses terhadap anggaran publik dapat menyalurkan bantuan sosial secara selektif kepada konstituen tertentu, bukan berdasarkan kebutuhan, tetapi berdasarkan kalkulasi politik.² Bantuan ini bersifat kontingen—artinya hanya diberikan apabila ada jaminan dukungan politik dari pihak penerima.³ Hal ini mengarah pada penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik pribadi.

3.1.3.    Pemberian Kontrak dan Izin Usaha kepada Relasi Politik

Patronase juga terjadi melalui pemberian proyek infrastruktur, izin usaha, atau kontrak pemerintah kepada pengusaha atau relasi yang memiliki hubungan pribadi atau politik dengan pemegang kekuasaan.⁴ Dalam praktik ini, klien adalah aktor ekonomi yang bergantung pada patron untuk mendapatkan akses pasar atau jaminan proteksi. Sebagai gantinya, pengusaha memberikan dukungan finansial, donasi kampanye, atau fasilitas pribadi kepada patron.

3.1.4.    Politik Uang dan Transaksi Elektoral

Dalam konteks elektoral, patronase kerap diwujudkan melalui praktik vote buying atau pembelian suara. Kandidat politik (patron) mendistribusikan uang, sembako, atau barang konsumsi lainnya kepada pemilih (klien) dengan harapan mendapat suara mereka dalam pemilu.⁵ Hubungan ini bersifat temporer, transaksional, dan berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi tetap merefleksikan logika patronase.


3.2.       Mekanisme Patronase dalam Sistem Politik

Mekanisme patronase bekerja melalui jaringan relasi sosial dan institusional yang kompleks. Hubungan ini tidak selalu dibangun secara langsung antara patron dan klien, tetapi sering kali dimediasi oleh aktor perantara, seperti broker politik, tokoh lokal, birokrat, atau pimpinan partai.⁶ Broker bertindak sebagai jembatan antara elite dan massa, memastikan bahwa imbalan politik dari patron sampai ke klien dan dukungan dari klien diterima oleh patron.

Dalam masyarakat yang memiliki struktur sosial komunal dan kohesif seperti Indonesia, jaringan patronase lebih mudah berakar karena adanya hubungan kekerabatan, etnisitas, dan agama yang dapat dijadikan alat mobilisasi politik.⁷ Selain itu, lemahnya institusi demokrasi, kurangnya transparansi anggaran, dan rendahnya literasi politik masyarakat memperkuat daya tahan sistem patronase. Ketergantungan rakyat terhadap patron dipelihara melalui janji-janji kesejahteraan yang tidak dilembagakan secara struktural, melainkan dibungkus dalam bentuk bantuan langsung atau pendekatan personal.

Di sisi lain, patronase politik juga mendapat ruang dari sistem kepartaian yang tidak memiliki kedisiplinan ideologis dan terlalu pragmatis. Partai politik sering kali berfungsi sebagai kendaraan elite untuk memobilisasi dukungan melalui jaringan patron-klien, bukan sebagai wadah artikulasi kepentingan rakyat secara substantif.⁸ Akibatnya, demokrasi prosedural berjalan, tetapi esensi partisipasi dan keadilan distributif menjadi terabaikan.


Footnotes

[1]                Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 20.

[2]                Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy, and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2014), 34–36.

[3]                Susan C. Stokes, Brokers, Voters, and Clientelism: The Puzzle of Distributive Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 39.

[4]                Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), 83–85.

[5]                Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in Indonesia’s Local Elections,” Journal of Current Southeast Asian Affairs 32, no. 1 (2013): 69–72.

[6]                Allen Hicken, “Clientelism,” Annual Review of Political Science 14 (2011): 290.

[7]                James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 98–99.

[8]                Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore: ISEAS, 2010), 48–50.


4.           Patronase Politik dalam Praktik Pemerintahan

Praktik patronase politik dalam pemerintahan dapat dilihat sebagai perpanjangan tangan dari relasi kuasa informal ke dalam ranah institusional. Patronase bukan hanya berlangsung dalam arena kampanye atau hubungan elite dengan konstituen, melainkan juga beroperasi secara sistemik dalam proses pengambilan kebijakan, distribusi anggaran, pengisian jabatan publik, serta pengelolaan proyek-proyek strategis negara. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, patronase telah menjadi bagian dari “struktur tersembunyi” dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang meskipun tidak selalu diatur secara formal, namun memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kinerja birokrasi dan kualitas demokrasi.¹

4.1.       Patronase dalam Rekrutmen dan Promosi Jabatan Publik

Salah satu aspek paling menonjol dari patronase dalam pemerintahan adalah praktik pengangkatan dan promosi jabatan yang didasarkan pada kedekatan politik, loyalitas pribadi, atau hubungan kekerabatan, bukan pada kualifikasi atau kinerja.² Fenomena ini dikenal luas dalam birokrasi Indonesia, terutama sejak diberlakukannya desentralisasi pascareformasi, di mana kepala daerah memiliki kewenangan besar dalam menentukan struktur kepegawaian di lingkup pemerintahannya.³ Kepala daerah yang terpilih sering kali menggunakan jabatan strategis sebagai “hadiah politik” kepada tim sukses, keluarga, atau mitra koalisi, tanpa memperhatikan prinsip meritokrasi.

Praktik ini tidak hanya menurunkan profesionalisme birokrasi, tetapi juga menimbulkan siklus loyalitas yang rapuh. Birokrat yang diangkat atas dasar patronase cenderung tidak independen, serta lebih loyal kepada figur politik daripada kepada aturan dan regulasi institusional.⁴

4.2.       Pengaruh Patronase dalam Distribusi Anggaran dan Proyek Pemerintah

Distribusi anggaran daerah dan nasional pun sering kali dipengaruhi oleh logika patron-klien. Dalam sistem ini, proyek pembangunan diprioritaskan bukan berdasarkan kebutuhan objektif masyarakat atau rencana pembangunan jangka menengah, melainkan ditentukan oleh aktor-aktor politik yang memiliki jaringan kepentingan tertentu.⁵ Patron (misalnya, kepala daerah atau anggota legislatif) akan memastikan bahwa proyek strategis diberikan kepada klien (pengusaha lokal, pemilik media, atau organisasi relawan politik) sebagai bentuk balas jasa politik.

Di tingkat legislatif, anggota DPR dan DPRD juga kerap menggunakan dana aspirasi atau pokok-pokok pikiran (pokir) untuk menjalin relasi patronase dengan konstituen.⁶ Meskipun secara formal hal ini diatur dalam mekanisme penganggaran, dalam praktiknya pokir digunakan sebagai alat negosiasi politik, bahkan tidak jarang menjadi ladang korupsi yang terselubung.

4.3.       Patronase dan Pemanfaatan BUMN/BUMD

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Daerah (BUMD) sering kali dijadikan alat patronase oleh elite politik. Penempatan komisaris atau direksi di lembaga tersebut kerap kali tidak lepas dari pertimbangan politik dan relasi personal.⁷ Beberapa studi menunjukkan bahwa posisi strategis dalam BUMN/BUMD lebih sering diisi oleh kader partai, mantan tim kampanye, atau individu yang memberikan kontribusi politik tertentu, bukan oleh profesional yang memiliki rekam jejak manajerial.⁸ Akibatnya, efisiensi dan integritas tata kelola perusahaan negara menjadi lemah dan rawan konflik kepentingan.

4.4.       Studi Kasus di Indonesia: Otonomi Daerah dan Klientelisme Elektoral

Pascareformasi 1998, Indonesia mengalami transformasi institusional melalui otonomi daerah. Alih-alih memperkuat demokrasi lokal, desentralisasi ini justru memperluas ruang bagi patronase politik di level daerah.⁹ Penelitian yang dilakukan oleh Edward Aspinall dan Mada Sukmajati menunjukkan bahwa banyak kepala daerah membangun jaringan patron-klien yang kuat dengan memanfaatkan sumber daya daerah untuk memperkuat posisi politiknya. Mereka tidak hanya mengontrol birokrasi, tetapi juga menjadikan relasi dengan pengusaha dan tokoh lokal sebagai instrumen kekuasaan.¹⁰

Dalam konteks pemilu lokal (pilkada), praktik patronase menjadi sarana utama untuk membangun dukungan. Kandidat mengandalkan “jaringan informal” seperti tokoh agama, kepala desa, dan kelompok etnis untuk membangun loyalitas pemilih dengan imbalan bantuan keuangan, proyek, atau janji jabatan.¹¹ Dalam banyak kasus, pilkada bukan lagi kompetisi gagasan, melainkan ajang pembagian sumber daya kekuasaan kepada jaringan klien.


Kesimpulan Sementara

Patronase politik dalam praktik pemerintahan menjadi salah satu tantangan utama dalam pembangunan sistem demokrasi yang sehat. Ketika hubungan kuasa informal mengalahkan norma-norma institusional, maka prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik menjadi terancam. Praktik patronase bukan hanya melanggengkan ketimpangan kekuasaan, tetapi juga membentuk struktur pemerintahan yang anti-reformasi dan sulit diawasi oleh publik.


Footnotes

[1]                Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 7–10.

[2]                Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,” Democratization 19, no. 2 (2012): 212–213.

[3]                Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), 71–74.

[4]                Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore: ISEAS, 2010), 40–42.

[5]                Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy, and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2014), 56.

[6]                Bivitri Susanti, “Corruption and Legal Reform in Indonesia: The Case of the Political Budget,” dalam Indonesia Law Review 4, no. 3 (2014): 289–292.

[7]                Danang Widoyoko, State Capture di Indonesia: Studi tentang Korupsi dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik (Jakarta: ICW, 2016), 65–66.

[8]                Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–1990 (Jakarta: PT Gramedia, 1993), 148–150.

[9]                Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A Critique,” South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 423–424.

[10]             Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Patronage Democracy in Indonesia, 33–36.

[11]             Marcus Mietzner, “Funding Pilkada,” Journal of Current Southeast Asian Affairs 32, no. 1 (2013): 73–75.


5.           Dampak Patronase Politik

Patronase politik membawa dampak yang luas dan mendalam terhadap berbagai aspek dalam sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi. Meskipun hubungan patron-klien terkadang dianggap mampu menciptakan stabilitas sosial-politik dan menjadi sarana akses informal bagi kelompok marginal, namun secara umum praktik ini menimbulkan konsekuensi negatif yang serius terhadap kualitas demokrasi, integritas birokrasi, pemerataan sosial-ekonomi, serta partisipasi politik warga negara.¹ Dalam jangka panjang, patronase cenderung merusak institusi demokrasi dan melemahkan struktur negara hukum yang seharusnya menjamin keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum.

5.1.       Melemahkan Demokrasi dan Akuntabilitas Politik

Patronase politik beroperasi di luar mekanisme demokrasi formal. Alih-alih mendorong kompetisi politik yang sehat berbasis program dan ide, patronase justru memperkuat logika transaksional dalam demokrasi elektoral.² Para kandidat lebih fokus pada pembentukan jaringan loyalis melalui distribusi material daripada membangun kepercayaan publik melalui platform kebijakan. Dalam situasi seperti ini, proses pemilihan umum hanya menjadi prosedur formal yang tidak mencerminkan kedaulatan rakyat secara substansial.

Ketika loyalitas pemilih dibeli melalui bantuan atau janji proyek, maka prinsip accountability—di mana pejabat publik bertanggung jawab kepada rakyat atas kebijakan dan kinerjanya—menjadi tergerus.³ Pemimpin yang terpilih dengan basis patronase lebih cenderung menjaga hubungan dengan para penyokongnya daripada merespons kepentingan masyarakat secara luas. Hal ini memunculkan apa yang disebut sebagai exclusive responsiveness, di mana pejabat publik hanya responsif terhadap kelompok tertentu yang menjadi klien politiknya.⁴

5.2.       Merusak Sistem Meritokrasi dan Profesionalisme Birokrasi

Patronase juga berdampak langsung pada melemahnya sistem merit dalam birokrasi. Ketika posisi jabatan diberikan berdasarkan loyalitas, bukan kapabilitas, maka kualitas pelayanan publik cenderung menurun.⁵ Birokrat yang dipilih karena hubungan personal tidak memiliki insentif untuk bekerja secara profesional dan akuntabel, karena karier mereka tidak ditentukan oleh kinerja, melainkan oleh kedekatan dengan patron.

Dalam konteks ini, reformasi birokrasi menjadi sulit dilakukan karena bertentangan dengan kepentingan politik dari aktor-aktor patronase. Upaya untuk membangun sistem seleksi terbuka, evaluasi berbasis kinerja, atau penguatan pengawasan internal sering kali ditolak atau dilemahkan oleh elite yang menikmati keuntungan dari sistem patronase.⁶ Akibatnya, budaya kerja birokrasi menjadi oportunistik dan cenderung loyal pada orang, bukan pada institusi.

5.3.       Memperdalam Ketimpangan Sosial dan Ketidakadilan Distributif

Patronase politik turut memperdalam ketimpangan sosial-ekonomi karena distribusi sumber daya publik tidak didasarkan pada prinsip keadilan sosial, tetapi pada preferensi politik dan hubungan personal.⁷ Masyarakat yang tidak terhubung dalam jaringan patron-klien menjadi terpinggirkan dari akses terhadap bantuan pemerintah, proyek pembangunan, dan perlindungan hukum. Hal ini menciptakan ketidakadilan struktural di mana sumber daya negara hanya dinikmati oleh kelompok yang memiliki relasi dekat dengan pemegang kekuasaan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini memperkuat eksklusivitas kelompok elite dan meminggirkan masyarakat rentan, seperti masyarakat adat, buruh, perempuan miskin, dan kelompok minoritas, yang tidak memiliki cukup “nilai politis” dalam sistem patronase.⁸ Ketika keadilan distributif dikorbankan demi kepentingan elektoral, maka negara gagal menjalankan perannya sebagai pengayom semua warga negara.

5.4.       Melemahkan Partisipasi Politik yang Emansipatoris

Relasi patron-klien membentuk pola partisipasi politik yang bersifat transaksional dan paternalistik. Klien cenderung pasif, tunduk, dan tidak kritis terhadap kebijakan publik karena merasa “berutang” kepada patron.⁹ Dalam relasi seperti ini, kesadaran warga negara sebagai pemilik kedaulatan dikerdilkan, digantikan oleh posisi sebagai penerima belas kasih elite politik. Pola ini bertolak belakang dengan prinsip partisipasi emansipatoris dalam demokrasi deliberatif, di mana warga terlibat aktif dan kritis dalam menentukan arah kebijakan negara.

Lebih jauh, patronase menghambat terbentuknya masyarakat sipil yang independen. Organisasi masyarakat sering kali disusupi oleh logika patronase, sehingga berfungsi sebagai alat mobilisasi politik daripada sebagai agen kontrol sosial.¹⁰ Dengan demikian, patronase tidak hanya mengontrol negara, tetapi juga menyusupi ruang-ruang publik dan komunitas warga.


Kesimpulan Sementara

Secara keseluruhan, patronase politik memiliki dampak destruktif terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Ia mengerdilkan fungsi institusi formal, memperlemah prinsip meritokrasi dan keadilan sosial, serta menciptakan masyarakat yang pasif dan tergantung. Tanpa intervensi yang sistematis dan reformasi struktural, patronase akan terus mengakar sebagai budaya politik dominan yang merusak cita-cita demokrasi substantif dan pembangunan yang inklusif.


Footnotes

[1]                Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy, and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2014), 10–12.

[2]                Susan C. Stokes, Political Clientelism, dalam The Oxford Handbook of Political Science, ed. Robert E. Goodin (Oxford: Oxford University Press, 2011), 605–606.

[3]                Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 16.

[4]                Allen Hicken, “Clientelism,” Annual Review of Political Science 14 (2011): 297.

[5]                Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010), 67.

[6]                Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore: ISEAS, 2010), 47.

[7]                James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 92–94.

[8]                Shmuel N. Eisenstadt dan Luis Roniger, Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 119–121.

[9]                Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in Indonesia’s Local Elections,” Journal of Current Southeast Asian Affairs 32, no. 1 (2013): 76.

[10]             Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A Critique,” South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 428.


6.           Analisis Kritis dan Etika Politik

Meskipun patronase politik sering dianggap sebagai bagian tak terelakkan dalam dinamika politik di negara-negara berkembang, praktik ini menimbulkan persoalan serius bila ditinjau dari perspektif etika politik, keadilan sosial, dan konsistensi dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Dalam relasi patron-klien, kekuasaan didistribusikan secara tidak adil dan cenderung memperkuat dominasi elite terhadap massa.¹ Etika politik mengharuskan adanya pertanggungjawaban, kejujuran, dan keadilan dalam relasi antara pemerintah dan rakyat, bukan hubungan yang dibangun di atas ketergantungan dan pertukaran kepentingan jangka pendek.²

6.1.       Patronase sebagai Bentuk Korupsi Terselubung

Secara konseptual, patronase politik dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi terselubung (informal corruption), karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan publik demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, meskipun tidak selalu melanggar hukum secara eksplisit.³ James C. Scott menekankan bahwa patronase adalah salah satu bentuk “korupsi politik sistemik” yang tidak dapat diatasi hanya melalui penegakan hukum, karena ia berakar pada struktur sosial dan budaya politik.⁴

Dalam praktiknya, patron memberikan akses terhadap jabatan, proyek, atau sumber daya negara kepada klien tanpa mekanisme seleksi terbuka dan transparan. Hal ini bertentangan dengan prinsip good governance yang mengedepankan akuntabilitas, meritokrasi, dan integritas.⁵ Dalam etika publik, tindakan ini tergolong sebagai bentuk manipulasi kekuasaan demi kepentingan sempit, yang secara moral tidak dapat dibenarkan meskipun memiliki legitimasi politik.

6.2.       Kritik terhadap Legitimasi Moral Patronase

Patronase sering dibenarkan dengan dalih stabilitas politik dan efektivitas mobilisasi. Dalam sistem multipartai yang fragmentatif seperti di Indonesia, patronase kerap dianggap sebagai alat untuk membangun loyalitas, menjaga koalisi, atau mempercepat realisasi kebijakan.⁶ Namun dari kacamata moral, efektivitas tidak dapat dijadikan pembenaran atas praktik yang melanggar keadilan distributif dan merusak institusi demokrasi.

John Rawls dalam teori justice as fairness menekankan bahwa prinsip keadilan harus mengutamakan kesetaraan dalam kesempatan dan distribusi manfaat sosial yang adil.⁷ Patronase, dalam bentuk apapun, mengingkari prinsip tersebut karena memberikan keistimewaan kepada segelintir orang berdasarkan hubungan personal, bukan kebutuhan atau kelayakan. Hal ini menciptakan moral hazard dalam penyelenggaraan negara, di mana pejabat publik lebih sibuk melayani jaringan patronase daripada rakyat secara luas.

6.3.       Etika Kekuasaan dan Tanggung Jawab Moral Pejabat Publik

Etika politik menuntut agar kekuasaan dijalankan sebagai amanah publik, bukan sebagai alat transaksi. Pejabat publik memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan kekuasaannya demi kesejahteraan bersama, bukan untuk mempertahankan dominasi atau membalas jasa politik. Dalam pandangan Max Weber, ideal seorang pemimpin politik adalah mereka yang memiliki ethic of responsibility (Verantwortungsethik), yakni kesadaran akan konsekuensi etis dari setiap keputusan dan kebijakan yang diambil.⁸

Relasi patron-klien justru mendorong pejabat untuk mengutamakan loyalitas personal dibanding kepentingan publik. Tindakan ini bukan hanya cacat secara moral, tetapi juga menurunkan legitimasi pemerintahan di mata masyarakat. Dalam konteks ini, etika politik tidak hanya menjadi tuntutan normatif, tetapi juga menjadi prasyarat bagi keberlangsungan negara demokratis.

6.4.       Dilema Etis dalam Konteks Sosial-Ekonomi

Harus diakui bahwa dalam kondisi ketimpangan ekonomi dan lemahnya institusi negara, patronase sering menjadi mekanisme informal yang “mempertemukan kebutuhan” antara elite dan rakyat. Dalam beberapa kasus, patron memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin ketika negara gagal hadir.⁹ Namun, pendekatan ini hanya bersifat jangka pendek dan bersifat eksklusif. Ia tidak menyelesaikan akar persoalan ketidakadilan struktural, dan justru mengabadikan ketergantungan serta pasifnya warga negara dalam menuntut hak-haknya secara kolektif.¹⁰

Etika politik yang berbasis pada human dignity dan kesetaraan mensyaratkan bahwa bantuan atau perlindungan sosial harus bersifat universal, berbasis hak, dan diberikan secara institusional. Sistem patronase yang menggantikan fungsi negara tidak hanya tidak etis, tetapi juga mengancam keberlangsungan demokrasi berbasis hukum.


Kesimpulan Sementara

Dari sudut pandang etika politik dan keadilan sosial, patronase politik merupakan praktik yang tidak dapat dibenarkan secara moral meskipun ia efektif dalam jangka pendek. Ia merusak kepercayaan publik terhadap institusi, memperdalam ketimpangan, serta menjauhkan negara dari prinsip rule of law dan justice for all. Oleh karena itu, analisis kritis terhadap patronase politik harus diiringi dengan kesadaran moral dan komitmen untuk membangun sistem politik yang lebih adil, transparan, dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy, and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2014), 10–12.

[2]                Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy? (Princeton: Princeton University Press, 2004), 146.

[3]                Bo Rothstein dan Jan Teorell, “What Is Quality of Government? A Theory of Impartial Government Institutions,” Governance 21, no. 2 (2008): 169.

[4]                James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 91.

[5]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023 (Berlin: Transparency International, 2023), 4.

[6]                Marcus Mietzner, “Political Conflict Resolution and Democratic Consolidation in Indonesia: The Role of Patronage,” Democratization 17, no. 1 (2010): 140.

[7]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 60–61.

[8]                Max Weber, “Politics as a Vocation,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, ed. H. H. Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 77–78.

[9]                Shmuel N. Eisenstadt dan Luis Roniger, Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 118.

[10]             Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 35.


7.           Upaya Pembenahan dan Reformasi

Patronase politik yang mengakar kuat dalam sistem kekuasaan membutuhkan strategi reformasi yang komprehensif, bertahap, dan menyentuh aspek struktural maupun kultural. Mengingat bahwa praktik patron-klien sering kali dipelihara oleh lemahnya institusi, rendahnya literasi politik masyarakat, serta dominasi elite dalam proses pengambilan keputusan, maka upaya pembenahan harus dilakukan melalui pendekatan multidimensi.¹ Reformasi bukan sekadar perubahan kebijakan administratif, tetapi transformasi budaya politik menuju tatanan yang lebih demokratis, transparan, dan berkeadilan.

7.1.       Penguatan Institusi Demokrasi dan Sistem Meritokrasi

Langkah pertama dalam mengatasi patronase adalah memperkuat institusi-institusi formal agar mampu menjadi penyeimbang terhadap relasi kuasa informal. Hal ini mencakup pembenahan sistem rekrutmen dan promosi jabatan publik melalui penerapan prinsip meritokrasi yang ketat. Seleksi terbuka, berbasis kompetensi, serta pengawasan independen atas mutasi dan rotasi pejabat pemerintahan merupakan fondasi penting untuk menghapus praktek patronase birokratik.²

Penerapan sistem meritokrasi telah berhasil memperbaiki kualitas birokrasi di sejumlah negara, seperti Korea Selatan dan Singapura, yang membangun karier birokrat berdasarkan prestasi, bukan hubungan politik.³ Di Indonesia, upaya ini dilakukan melalui reformasi birokrasi dan sistem seleksi ASN (Aparatur Sipil Negara) yang diawasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Namun, masih dibutuhkan penguatan kelembagaan dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran untuk menjamin independensi birokrasi dari tekanan politik.⁴

7.2.       Reformasi Sistem Kepartaian dan Pembiayaan Politik

Sistem kepartaian yang lemah dan pragmatis merupakan akar subur berkembangnya patronase politik. Oleh karena itu, reformasi terhadap partai politik menjadi kebutuhan mendesak. Hal ini mencakup transparansi pembiayaan politik, akuntabilitas internal partai, serta penguatan ideologi partai yang berbasis pada aspirasi rakyat.⁵

Negara harus menyediakan sistem pendanaan partai yang adil dan proporsional, serta mengawasi penggunaannya secara ketat agar partai tidak bergantung pada jaringan oligarkis atau pengusaha yang menjadi klien politik elite partai.⁶ Di samping itu, pendidikan politik bagi kader partai harus diarahkan untuk membentuk pemimpin yang berorientasi pada pelayanan publik, bukan hanya pelestarian kekuasaan.

7.3.       Transparansi Anggaran dan Akuntabilitas Publik

Patronase berkembang karena adanya celah dalam pengelolaan anggaran dan proyek pemerintah yang tidak transparan. Maka dari itu, reformasi keuangan negara harus diarahkan pada keterbukaan data, partisipasi publik dalam proses perencanaan, serta penguatan mekanisme pengawasan anggaran.⁷

Model partisipatif seperti Participatory Budgeting yang diterapkan di Porto Alegre, Brasil, terbukti mampu meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi praktik favoritisme dalam distribusi anggaran.⁸ Di Indonesia, penguatan sistem e-government dan keterbukaan data (open data) seperti SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) harus terus ditingkatkan agar masyarakat dapat memantau distribusi sumber daya dan mengidentifikasi potensi praktik patronase.

7.4.       Pendidikan Politik dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil

Pemberantasan patronase tidak akan efektif tanpa membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat. Pendidikan politik yang berorientasi pada nilai-nilai demokrasi, hak asasi, dan kewarganegaraan aktif harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan formal maupun nonformal.⁹

Di samping itu, masyarakat sipil harus diberdayakan sebagai aktor pengawas yang independen dan aktif. LSM, media, dan organisasi keagamaan dapat memainkan peran penting dalam mengedukasi publik serta mengadvokasi reformasi kebijakan.⁽¹⁰⁾ Penguatan watchdog institutions seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga perlu diiringi dengan keterlibatan masyarakat dalam mekanisme kontrol sosial.

7.5.       Pengembangan Etika Politik dan Kepemimpinan Transformasional

Terakhir, pembenahan patronase memerlukan pendekatan moral melalui pembangunan budaya politik yang beretika. Kepemimpinan publik harus didasarkan pada integritas, tanggung jawab moral, dan komitmen terhadap kepentingan umum. Tokoh politik perlu dijadikan teladan, bukan hanya penguasa, serta memprioritaskan transparansi dan pelayanan, bukan transaksi kekuasaan.⁽¹¹⁾

Model kepemimpinan transformasional yang menekankan visi, nilai, dan motivasi kolektif harus dipromosikan sebagai alternatif dari patronase transaksional. Dalam konteks ini, pendidikan kepemimpinan politik dan reformasi rekrutmen elite menjadi strategi jangka panjang yang tidak boleh diabaikan.


Kesimpulan Sementara

Mengatasi patronase politik bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil. Reformasi struktural yang didukung oleh komitmen etis, partisipasi publik, dan pembenahan budaya politik merupakan kunci untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih adil, bersih, dan demokratis. Dengan langkah-langkah yang terarah, relasi patron-klien dapat digantikan oleh relasi warga-negara yang berbasis pada hak, tanggung jawab, dan keadilan.


Footnotes

[1]                Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 29–31.

[2]                Bo Rothstein dan Jan Teorell, “What Is Quality of Government? A Theory of Impartial Government Institutions,” Governance 21, no. 2 (2008): 170.

[3]                Merilee S. Grindle, Jobs for the Boys: Patronage and the State in Comparative Perspective (Cambridge: Harvard University Press, 2012), 198–200.

[4]                Kedeputian Bidang Pengawasan, Laporan Tahunan Komisi Aparatur Sipil Negara 2023 (Jakarta: KASN, 2024), 14.

[5]                Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore: ISEAS, 2010), 68–70.

[6]                Marcus Mietzner, “Party Financing in Post-Suharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruption,” Contemporary Southeast Asia 29, no. 2 (2007): 236–237.

[7]                Transparency International, Global Corruption Report 2019: Political Corruption (Berlin: TI, 2019), 60.

[8]                Leonardo Avritzer, Participatory Institutions in Democratic Brazil (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2009), 45–47.

[9]                Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy? (Princeton: Princeton University Press, 2004), 151.

[10]             Edward Aspinall, “The Irony of Success: Indonesia’s Democratic Transition and Its Consequences,” Southeast Asian Affairs (2010): 130–131.

[11]             Max Weber, “Politics as a Vocation,” dalam From Max Weber: Essays in Sociology, ed. H. H. Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 78–79.


8.           Penutup

Patronase politik, sebagai fenomena relasional antara patron dan klien dalam pertukaran sumber daya dan dukungan politik, telah terbukti menjadi salah satu mekanisme dominan dalam dinamika kekuasaan, khususnya di negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi seperti Indonesia. Melalui kajian komprehensif ini, dapat disimpulkan bahwa patronase bukan sekadar hubungan informal dalam politik, melainkan sebuah pola institusional yang mampu mengatur alokasi kekuasaan, distribusi sumber daya, dan bahkan pola partisipasi warga negara secara sistemik.

Dalam berbagai bentuknya—dari pengangkatan jabatan berbasis loyalitas, distribusi proyek pembangunan yang selektif, hingga praktik vote buying—patronase mencerminkan transformasi kekuasaan menjadi alat transaksional yang melemahkan norma-norma etika dan prinsip demokrasi substantif.¹ Di balik relasi yang tampak timbal balik, praktik ini mengabadikan ketimpangan struktural dan ketergantungan politik yang merusak kualitas institusi negara dan nilai-nilai kewarganegaraan.²

Lebih dari sekadar problem teknokratis, patronase politik merupakan persoalan moral dan budaya politik. Ia memperlihatkan bagaimana kekuasaan digunakan tidak sebagai sarana pelayanan publik, tetapi sebagai alat pertukaran kepentingan yang melibatkan elite dan massa dalam relasi yang asimetris.³ Dalam masyarakat yang struktur sosialnya hierarkis dan institusinya lemah, patronase cenderung mendapatkan legitimasi kultural dan bahkan dianggap sebagai mekanisme yang wajar untuk mengakses bantuan dan pengaruh.

Namun demikian, patronase bukan tak tergantikan. Kajian ini juga menunjukkan bahwa terdapat berbagai upaya pembenahan dan reformasi yang dapat dijalankan untuk mengurangi dominasi relasi patron-klien. Penguatan sistem meritokrasi, reformasi kepartaian, transparansi anggaran, pendidikan politik, serta pengembangan etika publik adalah langkah-langkah strategis yang harus terus diperjuangkan secara konsisten dan lintas sektor.⁴ Keberhasilan reformasi di sejumlah negara membuktikan bahwa patronase bukan kodrat politik, melainkan hasil dari pilihan kelembagaan dan kepemimpinan yang dapat diubah.

Membangun tata kelola pemerintahan yang demokratis, adil, dan akuntabel menuntut keberanian untuk mengoreksi praktik patronase dan menggantikannya dengan mekanisme yang berbasis pada hukum, transparansi, dan partisipasi bermakna. Di sinilah pentingnya peran pemimpin etis, masyarakat sipil yang kritis, dan warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya.⁵ Dengan demikian, relasi politik di masa depan tidak lagi dibangun atas dasar ketergantungan, tetapi atas dasar keadilan, tanggung jawab bersama, dan penghormatan terhadap martabat manusia.


Footnotes

[1]                Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 10–12.

[2]                James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 91–94.

[3]                Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto (Singapore: ISEAS, 2010), 43–45.

[4]                Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy, and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2014), 56–58.

[5]                Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy? (Princeton: Princeton University Press, 2004), 160.



Daftar Pustaka

Aspinall, E. (2010). The irony of success: Indonesia’s democratic transition and its consequences. Southeast Asian Affairs, 2010, 131–143.

Aspinall, E. (2016). Oligarchic patronage and clientelism in Indonesia: A critique. South East Asia Research, 24(3), 420–435. https://doi.org/10.1177/0967828X16660613

Aspinall, E., & Sukmajati, M. (Eds.). (2016). Patronage democracy in Indonesia. NUS Press.

Avritzer, L. (2009). Participatory institutions in democratic Brazil. Johns Hopkins University Press.

Brun, D. A., & Diamond, L. (Eds.). (2014). Clientelism, social policy, and the quality of democracy. Johns Hopkins University Press.

Crouch, H. (2010). Political reform in Indonesia after Soeharto. ISEAS Publishing.

Eisenstadt, S. N., & Roniger, L. (1984). Patrons, clients and friends: Interpersonal relations and the structure of trust in society. Cambridge University Press.

Grindle, M. S. (2012). Jobs for the boys: Patronage and the state in comparative perspective. Harvard University Press.

Gutmann, A., & Thompson, D. (2004). Why deliberative democracy? Princeton University Press.

Hadiz, V. R. (2010). Localising power in post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective. Stanford University Press.

Hicken, A. (2011). Clientelism. Annual Review of Political Science, 14, 289–310. https://doi.org/10.1146/annurev.polisci.031908.220508

Kedeputian Bidang Pengawasan. (2024). Laporan tahunan Komisi Aparatur Sipil Negara 2023. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). https://kasn.go.id

Lubis, T. M. (1993). In search of human rights: Legal-political dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–1990. PT Gramedia.

Mietzner, M. (2007). Party financing in post-Suharto Indonesia: Between state subsidies and political corruption. Contemporary Southeast Asia, 29(2), 238–263.

Mietzner, M. (2010). Political conflict resolution and democratic consolidation in Indonesia: The role of patronage. Democratization, 17(1), 117–137. https://doi.org/10.1080/13510340903453897

Mietzner, M. (2013). Funding pilkada: Illegal campaign financing in Indonesia’s local elections. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32(1), 55–78.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rothstein, B., & Teorell, J. (2008). What is quality of government? A theory of impartial government institutions. Governance, 21(2), 165–190. https://doi.org/10.1111/j.1468-0491.2008.00391.x

Scott, J. C. (1972). Comparative political corruption. Prentice-Hall.

Stokes, S. C. (2011). Political clientelism. In R. E. Goodin (Ed.), The Oxford handbook of political science (pp. 602–627). Oxford University Press.

Transparency International. (2019). Global corruption report 2019: Political corruption. https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2019

Transparency International. (2023). Corruption perceptions index 2023. https://www.transparency.org/en/cpi/2023

Weber, M. (1946). Politics as a vocation. In H. H. Gerth & C. W. Mills (Eds.), From Max Weber: Essays in sociology (pp. 77–128). Oxford University Press.

Widoyoko, D. (2016). State capture di Indonesia: Studi tentang korupsi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Indonesia Corruption Watch (ICW).


Lampiran: Kutipan Regulasi Terkait Sistem Merit dan Netralitas ASN

1)                 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Pasal 3 huruf b dan j:

Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas:

b. Merit, yaitu kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi;

j. Netralitas, yaitu setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.”

Pasal 9 ayat (2):

Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.”

Pasal 10 ayat (1):

Pegawai ASN sebagai bagian dari elemen SDM aparatur negara harus menjunjung tinggi dasar negara, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugasnya.”

2)                 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) (diubah dengan PP No. 17 Tahun 2020)

Pasal 5:

Manajemen PNS diselenggarakan berdasarkan sistem merit.”

Pasal 6:

Sistem merit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah kebijakan dan manajemen PNS yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja PNS secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi.”

3)                 Peraturan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pelaporan dan Penanganan Pelanggaran Prinsip Merit dalam Manajemen ASN

Pasal 2:

KASN dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan sistem merit dalam manajemen ASN menjamin prinsip:

a.                   objektivitas;

b.                  profesionalisme;

c.                   transparansi;

d.                  akuntabilitas; dan

e.                   netralitas.”

4)                 Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Lembaga tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas ASN dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan

(SKB antara BKN, KASN, Kemenpan-RB, Kemendagri, dan Bawaslu)

Butir III angka 1:

ASN dilarang melakukan tindakan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu atau pemilihan sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.”