Patronase Politik
Dinamika Kuasa dan Kepentingan dalam Relasi
Patron-Klien di Arena Kekuasaan
Alihkan ke: Korupsi.
Suap (Bribery), Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power), Nepotisme dan Kronisme, Penggelapan dan Pencucian Uang (Embezzlement and Money Laundering), Kolusi (Collusion), Gratifikasi yang Tidak Sah.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif fenomena
patronase politik sebagai salah satu bentuk relasi kuasa yang paling dominan
dalam praktik politik kontemporer, khususnya di negara-negara berkembang.
Patronase dipahami sebagai hubungan timbal balik antara patron (pihak berkuasa)
dan klien (pihak penerima manfaat), yang ditandai oleh pertukaran dukungan
politik dan sumber daya demi keuntungan bersama dalam struktur yang tidak
seimbang. Melalui tinjauan teoritis dan empiris, artikel ini menjelaskan akar
historis dan kultural patronase, bentuk-bentuk praktiknya di lapangan, serta
dampaknya terhadap demokrasi, meritokrasi, keadilan sosial, dan partisipasi
warga negara. Patronase diposisikan bukan sekadar sebagai anomali, melainkan
sebagai bagian dari sistem politik yang terlembaga, namun merusak
prinsip-prinsip demokrasi dan etika publik. Analisis ini juga menawarkan sejumlah
strategi pembenahan, seperti reformasi institusi birokrasi dan kepartaian,
peningkatan transparansi anggaran, pendidikan politik, dan pembangunan
kepemimpinan beretika. Dengan demikian, artikel ini memberikan landasan
normatif dan praktis bagi upaya dekonstruksi patronase menuju tata kelola
pemerintahan yang lebih adil, akuntabel, dan demokratis.
Kata Kunci: Patronase politik; relasi patron-klien; demokrasi;
meritokrasi; etika politik; reformasi kelembagaan; budaya politik.
PEMBAHASAN
Patronase Politik dalam Praktik Pemerintahan
1.
Pendahuluan
Patronase politik
merupakan salah satu praktik relasi kekuasaan yang berkembang dalam berbagai
sistem politik, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Dalam konteks
ini, patronase dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bersifat hierarkis
antara dua pihak: patron—yakni individu atau kelompok
yang memiliki kekuasaan, sumber daya, atau pengaruh—dan klien,
yaitu pihak yang berada dalam posisi sosial yang lebih rendah dan bergantung
pada patron untuk memperoleh akses terhadap sumber daya atau keuntungan politik
tertentu. Sebagai imbalannya, klien memberikan loyalitas politik, dukungan
elektoral, atau jasa tertentu yang menguntungkan sang patron. Hubungan ini
tidak selalu bersifat formal atau legal, tetapi berlangsung secara personal dan
transaksional, menjadikannya sulit dideteksi dalam kerangka hukum
konstitusional yang bersifat rasional-legal.¹
Fenomena patronase
bukanlah praktik baru. Dalam masyarakat tradisional, bentuk patronase dapat
dilihat dalam hubungan feodal antara raja dan bangsawan, atau dalam sistem
patron-klien Romawi kuno.² Dalam konteks modern, praktik ini masih hidup subur
dalam demokrasi elektoral, terutama di negara-negara berkembang yang belum
sepenuhnya memiliki institusi demokrasi yang kuat dan independen.³ Dalam
masyarakat seperti itu, patronase cenderung merusak prinsip meritokrasi, karena
jabatan publik, proyek pembangunan, dan distribusi sumber daya negara kerap
kali ditentukan berdasarkan loyalitas politik dan bukan pada kompetensi atau
kebutuhan objektif masyarakat.⁴
Di Indonesia,
patronase politik menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika kekuasaan sejak
masa Orde Baru hingga era reformasi dan otonomi daerah. Praktik patronase
tumbuh subur melalui kontrol terpusat terhadap jabatan publik dan distribusi
anggaran yang diarahkan untuk mempertahankan loyalitas elite politik dan
birokrasi.⁵ Sejak era desentralisasi pascareformasi, patronase politik
mengalami transformasi, dari yang sebelumnya bersifat vertikal (pusat ke
daerah), menjadi lebih kompleks dan lateral, di mana aktor lokal—seperti kepala
daerah dan tokoh partai lokal—menjadi patron baru dalam jaringan politik
daerah.⁶ Hal ini membuka ruang bagi praktik politik uang, jual beli jabatan,
dan politik transaksional dalam pemilihan umum dan rekrutmen pejabat publik.
Relasi patron-klien
dalam patronase politik tidak hanya membentuk pola hubungan antara elite dan
massa, tetapi juga menciptakan sistem ketergantungan struktural yang
memperlemah partisipasi politik warga negara secara kritis dan mandiri.⁷ Klien
yang bergantung pada patron untuk memperoleh pekerjaan, akses layanan publik,
atau perlindungan hukum, cenderung bersikap pasif dan tunduk terhadap
kepentingan patron meskipun bertentangan dengan prinsip keadilan dan
integritas. Dalam jangka panjang, hal ini mengakibatkan kemunduran
institusional dan melanggengkan budaya politik yang pragmatis dan clientelistic.⁸
Mengingat kuatnya
pengaruh patronase politik dalam proses politik dan pemerintahan, kajian kritis
terhadap praktik ini menjadi penting. Penulisan artikel ini bertujuan untuk
mengkaji secara mendalam dinamika relasi patron-klien, bentuk dan dampaknya
terhadap demokrasi, serta upaya reformasi yang dapat mengurangi dominasi
patronase dalam sistem politik Indonesia. Dengan pendekatan multidisipliner dan
berlandaskan sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam memahami kompleksitas patronase politik dan
mendorong penguatan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan.
Footnotes
[1]
James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood
Cliffs: Prentice Hall, 1972), 92.
[2]
Richard Saller, Personal Patronage under the Early Empire
(Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 1–10.
[3]
Susan C. Stokes, Political Clientelism dalam The Oxford
Handbook of Political Science, ed. Robert E. Goodin (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 604–607.
[4]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 2.
[5]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010),
57–60.
[6]
Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in
Indonesia's Local Elections,” dalam Journal of Current Southeast Asian
Affairs 32, no. 1 (2013): 61–84.
[7]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto
(Singapore: ISEAS, 2010), 38–41.
[8]
Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A
Critique,” dalam South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 420–434.
2.
Landasan Teoretis
Kajian tentang
patronase politik berakar pada teori relasi sosial dan kekuasaan yang telah
dikembangkan dalam berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu politik, sosiologi,
dan antropologi. Relasi patron-klien merupakan bentuk hubungan sosial yang
ditandai oleh ketimpangan kekuasaan, namun saling menguntungkan. Patron—sebagai
pihak yang memiliki sumber daya—memberikan perlindungan, bantuan, atau akses
terhadap fasilitas tertentu kepada klien. Sebagai imbalannya, klien memberikan
loyalitas, dukungan politik, atau bentuk jasa lain yang bernilai simbolik
maupun elektoral.¹
2.1.
Konsep Patron-Klien dalam Perspektif Sosiologi
dan Antropologi
Secara klasik,
relasi patron-klien dipahami sebagai hubungan pertukaran bersifat personal,
tidak formal, dan jangka panjang antara dua individu atau kelompok dengan
status sosial berbeda, di mana terjadi pertukaran barang, jasa, atau
perlindungan terhadap loyalitas.² James C. Scott menyebut hubungan ini sebagai
bentuk moral
economy yang menyelubungi eksploitasi dalam jubah timbal balik,
karena keterikatan emosional dan loyalitas klien terhadap patron membuat
hubungan ini seolah-olah bersifat adil.³ Hubungan tersebut tidak berdasarkan
hukum negara atau kontrak legal, tetapi pada norma sosial dan budaya lokal yang
mengikat kedua belah pihak.
Dalam pandangan
Eisenstadt dan Roniger, patronase muncul sebagai respons terhadap
ketidakstabilan institusi formal dan rendahnya kepercayaan terhadap mekanisme
resmi distribusi sumber daya. Dalam konteks negara-negara berkembang, patronase
menjadi alternatif informal dalam menjamin keamanan ekonomi dan sosial.⁴ Oleh
karena itu, relasi ini sering kali berkembang subur di masyarakat yang lemah
secara institusional dan belum memiliki sistem birokrasi yang rasional-legal
sebagaimana yang dibayangkan Max Weber.⁵
2.2.
Teori Kekuasaan dan Clientelism
Dalam ilmu politik
modern, patronase politik dikaitkan erat dengan praktik clientelism,
yakni strategi politik di mana elite menggunakan sumber daya publik untuk
membeli dukungan pemilih melalui hubungan pribadi, bukan melalui program atau
ideologi.⁶ Clientelism bersifat partikularistik (terbatas pada individu atau
kelompok tertentu) dan kontingen (tergantung pada adanya dukungan timbal
balik). Menurut Susan Stokes, clientelism melemahkan akuntabilitas politik
karena aktor politik lebih fokus pada pertukaran pribadi dibanding pelayanan
publik kolektif.⁷
Teori patronase juga
dapat dipahami melalui pendekatan oligarki dan elite theory, seperti
yang dikemukakan oleh Robert Michels dan C. Wright Mills. Mereka berargumen
bahwa dalam setiap sistem politik, selalu ada kelompok kecil elite yang
mengendalikan sumber daya dan pengaruh, serta memelihara kekuasaannya melalui
jaringan patronase.⁸ Patronase politik menjadi instrumen utama bagi elite untuk
mempertahankan hegemoni atas kelompok-kelompok subordinat dalam masyarakat.
2.3.
Patronase dalam Kerangka Demokrasi Elektoral
Paradoks muncul
ketika praktik patronase berkembang dalam sistem demokrasi yang idealnya
didasarkan pada prinsip meritokrasi, transparansi, dan keadilan. Dalam konteks
demokrasi elektoral, patronase digunakan sebagai instrumen untuk membangun
dukungan massa secara pragmatis, seperti melalui pemberian bantuan sosial yang
disesuaikan dengan kepentingan elektoral atau pengangkatan politik terhadap
loyalis.⁹ Praktik ini mengarah pada demokrasi prosedural yang cacat substansi,
di mana hubungan negara dan rakyat dibangun bukan atas dasar hak dan kewajiban
sipil, tetapi melalui mekanisme pertukaran antara elite dan massa.
Dengan demikian,
teori patron-klien dan patronase politik tidak hanya menjelaskan dinamika
kekuasaan dalam masyarakat tradisional, tetapi juga membuka ruang kritik
terhadap institusi politik modern yang masih memelihara relasi feodal dalam
bungkus demokrasi.¹⁰ Relasi patron-klien menjadi sarana reproduksi ketimpangan
sosial-politik yang terselubung, sekaligus penghalang bagi terbentuknya tata
kelola pemerintahan yang partisipatif dan berbasis kepentingan publik.
Footnotes
[1]
Pierre Bourdieu, Practical Reason: On the Theory of Action
(Stanford: Stanford University Press, 1998), 95.
[2]
Sidney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious
Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 61.
[3]
James C. Scott, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and
Subsistence in Southeast Asia (New Haven: Yale University Press, 1976),
178.
[4]
Shmuel N. Eisenstadt and Luis Roniger, Patrons, Clients and
Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 42–45.
[5]
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of
California Press, 1978), 956–958.
[6]
Allen Hicken, “Clientelism,” Annual Review of Political Science
14 (2011): 289–310.
[7]
Susan C. Stokes, “Political Clientelism,” dalam The Oxford Handbook
of Political Science, ed. Robert E. Goodin (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 604–605.
[8]
C. Wright Mills, The Power Elite (New York: Oxford University
Press, 1956), 3–5; Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study
of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy (New York: Dover
Publications, 1959), 15.
[9]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 4–6.
[10]
Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A
Critique,” South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 421.
3.
Bentuk dan Mekanisme Patronase Politik
Patronase politik
tidak hanya muncul dalam bentuk hubungan sosial yang bersifat informal, tetapi
juga termanifestasi dalam berbagai praktik konkret yang dapat diamati dalam
proses politik dan pemerintahan. Bentuk-bentuk patronase ini mencerminkan
relasi timbal balik antara patron dan klien yang dibangun melalui distribusi
sumber daya sebagai imbalan atas dukungan politik atau loyalitas. Dalam konteks
demokrasi elektoral dan sistem pemerintahan modern, patronase politik bekerja
melalui berbagai saluran, baik yang terang-terangan maupun terselubung, dan
melibatkan aktor negara maupun non-negara.
3.1.
Bentuk-Bentuk Patronase Politik
3.1.1.
Pengangkatan Jabatan
Berdasarkan Loyalitas Politik
Salah satu bentuk
patronase yang paling menonjol adalah praktik pengangkatan pejabat publik
berdasarkan loyalitas politik, bukan pada asas kompetensi atau sistem merit.
Patron, dalam hal ini elite partai atau kepala daerah, akan memberikan posisi
strategis kepada klien—baik di tingkat birokrasi maupun lembaga
legislatif—dengan imbalan dukungan politik atau kontribusi selama kampanye.¹
Praktik ini menciptakan birokrasi yang tidak netral dan memperkuat hubungan
personal di atas profesionalisme administratif.
3.1.2.
Distribusi Bantuan Sosial
dan Proyek Pembangunan
Bantuan sosial dan
proyek pembangunan sering kali dimanipulasi sebagai alat patronase. Dalam masa
pemilihan umum, kandidat yang memiliki akses terhadap anggaran publik dapat
menyalurkan bantuan sosial secara selektif kepada konstituen tertentu, bukan
berdasarkan kebutuhan, tetapi berdasarkan kalkulasi politik.² Bantuan ini
bersifat kontingen—artinya hanya diberikan apabila ada jaminan dukungan politik
dari pihak penerima.³ Hal ini mengarah pada penggunaan sumber daya negara untuk
kepentingan politik pribadi.
3.1.3.
Pemberian Kontrak dan Izin
Usaha kepada Relasi Politik
Patronase juga
terjadi melalui pemberian proyek infrastruktur, izin usaha, atau kontrak
pemerintah kepada pengusaha atau relasi yang memiliki hubungan pribadi atau
politik dengan pemegang kekuasaan.⁴ Dalam praktik ini, klien adalah aktor
ekonomi yang bergantung pada patron untuk mendapatkan akses pasar atau jaminan
proteksi. Sebagai gantinya, pengusaha memberikan dukungan finansial, donasi
kampanye, atau fasilitas pribadi kepada patron.
3.1.4.
Politik Uang dan Transaksi
Elektoral
Dalam konteks
elektoral, patronase kerap diwujudkan melalui praktik vote buying
atau pembelian suara. Kandidat politik (patron) mendistribusikan uang, sembako,
atau barang konsumsi lainnya kepada pemilih (klien) dengan harapan mendapat
suara mereka dalam pemilu.⁵ Hubungan ini bersifat temporer, transaksional, dan
berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi tetap merefleksikan logika
patronase.
3.2.
Mekanisme Patronase dalam Sistem Politik
Mekanisme patronase
bekerja melalui jaringan relasi sosial dan institusional yang kompleks.
Hubungan ini tidak selalu dibangun secara langsung antara patron dan klien,
tetapi sering kali dimediasi oleh aktor perantara, seperti broker politik,
tokoh lokal, birokrat, atau pimpinan partai.⁶ Broker bertindak sebagai jembatan
antara elite dan massa, memastikan bahwa imbalan politik dari patron sampai ke
klien dan dukungan dari klien diterima oleh patron.
Dalam masyarakat
yang memiliki struktur sosial komunal dan kohesif seperti Indonesia, jaringan
patronase lebih mudah berakar karena adanya hubungan kekerabatan, etnisitas,
dan agama yang dapat dijadikan alat mobilisasi politik.⁷ Selain itu, lemahnya
institusi demokrasi, kurangnya transparansi anggaran, dan rendahnya literasi
politik masyarakat memperkuat daya tahan sistem patronase. Ketergantungan
rakyat terhadap patron dipelihara melalui janji-janji kesejahteraan yang tidak
dilembagakan secara struktural, melainkan dibungkus dalam bentuk bantuan
langsung atau pendekatan personal.
Di sisi lain,
patronase politik juga mendapat ruang dari sistem kepartaian yang tidak
memiliki kedisiplinan ideologis dan terlalu pragmatis. Partai politik sering
kali berfungsi sebagai kendaraan elite untuk memobilisasi dukungan melalui
jaringan patron-klien, bukan sebagai wadah artikulasi kepentingan rakyat secara
substantif.⁸ Akibatnya, demokrasi prosedural berjalan, tetapi esensi
partisipasi dan keadilan distributif menjadi terabaikan.
Footnotes
[1]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 20.
[2]
Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy,
and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2014), 34–36.
[3]
Susan C. Stokes, Brokers, Voters, and Clientelism: The Puzzle of
Distributive Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 39.
[4]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010),
83–85.
[5]
Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in
Indonesia’s Local Elections,” Journal of Current Southeast Asian Affairs
32, no. 1 (2013): 69–72.
[6]
Allen Hicken, “Clientelism,” Annual Review of Political Science
14 (2011): 290.
[7]
James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 98–99.
[8]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto
(Singapore: ISEAS, 2010), 48–50.
4.
Patronase Politik dalam Praktik Pemerintahan
Praktik patronase
politik dalam pemerintahan dapat dilihat sebagai perpanjangan tangan dari
relasi kuasa informal ke dalam ranah institusional. Patronase bukan hanya
berlangsung dalam arena kampanye atau hubungan elite dengan konstituen, melainkan
juga beroperasi secara sistemik dalam proses pengambilan kebijakan, distribusi
anggaran, pengisian jabatan publik, serta pengelolaan proyek-proyek strategis
negara. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, patronase telah
menjadi bagian dari “struktur tersembunyi” dalam penyelenggaraan pemerintahan,
yang meskipun tidak selalu diatur secara formal, namun memiliki pengaruh yang
sangat kuat terhadap kinerja birokrasi dan kualitas demokrasi.¹
4.1.
Patronase dalam Rekrutmen dan Promosi Jabatan
Publik
Salah satu aspek
paling menonjol dari patronase dalam pemerintahan adalah praktik pengangkatan
dan promosi jabatan yang didasarkan pada kedekatan politik, loyalitas pribadi,
atau hubungan kekerabatan, bukan pada kualifikasi atau kinerja.² Fenomena ini dikenal
luas dalam birokrasi Indonesia, terutama sejak diberlakukannya desentralisasi
pascareformasi, di mana kepala daerah memiliki kewenangan besar dalam
menentukan struktur kepegawaian di lingkup pemerintahannya.³ Kepala daerah yang
terpilih sering kali menggunakan jabatan strategis sebagai “hadiah politik”
kepada tim sukses, keluarga, atau mitra koalisi, tanpa memperhatikan prinsip
meritokrasi.
Praktik ini tidak
hanya menurunkan profesionalisme birokrasi, tetapi juga menimbulkan siklus
loyalitas yang rapuh. Birokrat yang diangkat atas dasar patronase cenderung
tidak independen, serta lebih loyal kepada figur politik daripada kepada aturan
dan regulasi institusional.⁴
4.2.
Pengaruh Patronase dalam Distribusi Anggaran
dan Proyek Pemerintah
Distribusi anggaran
daerah dan nasional pun sering kali dipengaruhi oleh logika patron-klien. Dalam
sistem ini, proyek pembangunan diprioritaskan bukan berdasarkan kebutuhan
objektif masyarakat atau rencana pembangunan jangka menengah, melainkan
ditentukan oleh aktor-aktor politik yang memiliki jaringan kepentingan
tertentu.⁵ Patron (misalnya, kepala daerah atau anggota legislatif) akan
memastikan bahwa proyek strategis diberikan kepada klien (pengusaha lokal,
pemilik media, atau organisasi relawan politik) sebagai bentuk balas jasa
politik.
Di tingkat
legislatif, anggota DPR dan DPRD juga kerap menggunakan dana aspirasi atau
pokok-pokok pikiran (pokir) untuk menjalin relasi patronase dengan konstituen.⁶
Meskipun secara formal hal ini diatur dalam mekanisme penganggaran, dalam
praktiknya pokir digunakan sebagai alat negosiasi politik, bahkan tidak jarang
menjadi ladang korupsi yang terselubung.
4.3.
Patronase dan Pemanfaatan BUMN/BUMD
Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Daerah (BUMD) sering kali dijadikan alat patronase oleh elite
politik. Penempatan komisaris atau direksi di lembaga tersebut kerap kali tidak
lepas dari pertimbangan politik dan relasi personal.⁷ Beberapa studi
menunjukkan bahwa posisi strategis dalam BUMN/BUMD lebih sering diisi oleh
kader partai, mantan tim kampanye, atau individu yang memberikan kontribusi
politik tertentu, bukan oleh profesional yang memiliki rekam jejak manajerial.⁸
Akibatnya, efisiensi dan integritas tata kelola perusahaan negara menjadi lemah
dan rawan konflik kepentingan.
4.4.
Studi Kasus di Indonesia: Otonomi Daerah dan
Klientelisme Elektoral
Pascareformasi 1998,
Indonesia mengalami transformasi institusional melalui otonomi daerah.
Alih-alih memperkuat demokrasi lokal, desentralisasi ini justru memperluas
ruang bagi patronase politik di level daerah.⁹ Penelitian yang dilakukan oleh
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati menunjukkan bahwa banyak kepala daerah
membangun jaringan patron-klien yang kuat dengan memanfaatkan sumber daya
daerah untuk memperkuat posisi politiknya. Mereka tidak hanya mengontrol
birokrasi, tetapi juga menjadikan relasi dengan pengusaha dan tokoh lokal
sebagai instrumen kekuasaan.¹⁰
Dalam konteks pemilu
lokal (pilkada),
praktik patronase menjadi sarana utama untuk membangun dukungan. Kandidat
mengandalkan “jaringan informal” seperti tokoh agama, kepala desa, dan kelompok
etnis untuk membangun loyalitas pemilih dengan imbalan bantuan keuangan,
proyek, atau janji jabatan.¹¹ Dalam banyak kasus, pilkada bukan lagi kompetisi
gagasan, melainkan ajang pembagian sumber daya kekuasaan kepada jaringan klien.
Kesimpulan Sementara
Patronase politik
dalam praktik pemerintahan menjadi salah satu tantangan utama dalam pembangunan
sistem demokrasi yang sehat. Ketika hubungan kuasa informal mengalahkan norma-norma
institusional, maka prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik
menjadi terancam. Praktik patronase bukan hanya melanggengkan ketimpangan
kekuasaan, tetapi juga membentuk struktur pemerintahan yang anti-reformasi dan
sulit diawasi oleh publik.
Footnotes
[1]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 7–10.
[2]
Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist
Elites and Resilient Civil Society,” Democratization 19, no. 2 (2012):
212–213.
[3]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010),
71–74.
[4]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto
(Singapore: ISEAS, 2010), 40–42.
[5]
Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy,
and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2014), 56.
[6]
Bivitri Susanti, “Corruption and Legal Reform in Indonesia: The Case of
the Political Budget,” dalam Indonesia Law Review 4, no. 3 (2014):
289–292.
[7]
Danang Widoyoko, State Capture di Indonesia: Studi tentang Korupsi
dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik (Jakarta: ICW, 2016), 65–66.
[8]
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Political
Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–1990 (Jakarta: PT Gramedia, 1993),
148–150.
[9]
Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A
Critique,” South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 423–424.
[10]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Patronage Democracy in
Indonesia, 33–36.
[11]
Marcus Mietzner, “Funding Pilkada,” Journal of Current Southeast
Asian Affairs 32, no. 1 (2013): 73–75.
5.
Dampak Patronase Politik
Patronase politik
membawa dampak yang luas dan mendalam terhadap berbagai aspek dalam sistem
pemerintahan dan kehidupan demokrasi. Meskipun hubungan patron-klien terkadang
dianggap mampu menciptakan stabilitas sosial-politik dan menjadi sarana akses
informal bagi kelompok marginal, namun secara umum praktik ini menimbulkan
konsekuensi negatif yang serius terhadap kualitas demokrasi, integritas
birokrasi, pemerataan sosial-ekonomi, serta partisipasi politik warga negara.¹
Dalam jangka panjang, patronase cenderung merusak institusi demokrasi dan
melemahkan struktur negara hukum yang seharusnya menjamin keadilan dan
kesetaraan di hadapan hukum.
5.1.
Melemahkan Demokrasi dan Akuntabilitas Politik
Patronase politik
beroperasi di luar mekanisme demokrasi formal. Alih-alih mendorong kompetisi
politik yang sehat berbasis program dan ide, patronase justru memperkuat logika
transaksional dalam demokrasi elektoral.² Para kandidat lebih fokus pada
pembentukan jaringan loyalis melalui distribusi material daripada membangun
kepercayaan publik melalui platform kebijakan. Dalam situasi seperti ini,
proses pemilihan umum hanya menjadi prosedur formal yang tidak mencerminkan
kedaulatan rakyat secara substansial.
Ketika loyalitas
pemilih dibeli melalui bantuan atau janji proyek, maka prinsip accountability—di
mana pejabat publik bertanggung jawab kepada rakyat atas kebijakan dan
kinerjanya—menjadi tergerus.³ Pemimpin yang terpilih dengan basis patronase
lebih cenderung menjaga hubungan dengan para penyokongnya daripada merespons
kepentingan masyarakat secara luas. Hal ini memunculkan apa yang disebut
sebagai exclusive
responsiveness, di mana pejabat publik hanya responsif terhadap
kelompok tertentu yang menjadi klien politiknya.⁴
5.2.
Merusak Sistem Meritokrasi dan Profesionalisme
Birokrasi
Patronase juga
berdampak langsung pada melemahnya sistem merit dalam birokrasi. Ketika posisi
jabatan diberikan berdasarkan loyalitas, bukan kapabilitas, maka kualitas
pelayanan publik cenderung menurun.⁵ Birokrat yang dipilih karena hubungan
personal tidak memiliki insentif untuk bekerja secara profesional dan
akuntabel, karena karier mereka tidak ditentukan oleh kinerja, melainkan oleh
kedekatan dengan patron.
Dalam konteks ini,
reformasi birokrasi menjadi sulit dilakukan karena bertentangan dengan
kepentingan politik dari aktor-aktor patronase. Upaya untuk membangun sistem
seleksi terbuka, evaluasi berbasis kinerja, atau penguatan pengawasan internal
sering kali ditolak atau dilemahkan oleh elite yang menikmati keuntungan dari
sistem patronase.⁶ Akibatnya, budaya kerja birokrasi menjadi oportunistik dan
cenderung loyal pada orang, bukan pada institusi.
5.3.
Memperdalam Ketimpangan Sosial dan
Ketidakadilan Distributif
Patronase politik
turut memperdalam ketimpangan sosial-ekonomi karena distribusi sumber daya
publik tidak didasarkan pada prinsip keadilan sosial, tetapi pada preferensi
politik dan hubungan personal.⁷ Masyarakat yang tidak terhubung dalam jaringan
patron-klien menjadi terpinggirkan dari akses terhadap bantuan pemerintah,
proyek pembangunan, dan perlindungan hukum. Hal ini menciptakan ketidakadilan
struktural di mana sumber daya negara hanya dinikmati oleh kelompok yang
memiliki relasi dekat dengan pemegang kekuasaan.
Dalam jangka
panjang, kondisi ini memperkuat eksklusivitas kelompok elite dan meminggirkan
masyarakat rentan, seperti masyarakat adat, buruh, perempuan miskin, dan
kelompok minoritas, yang tidak memiliki cukup “nilai politis” dalam sistem
patronase.⁸ Ketika keadilan distributif dikorbankan demi kepentingan elektoral,
maka negara gagal menjalankan perannya sebagai pengayom semua warga negara.
5.4.
Melemahkan Partisipasi Politik yang
Emansipatoris
Relasi patron-klien
membentuk pola partisipasi politik yang bersifat transaksional dan
paternalistik. Klien cenderung pasif, tunduk, dan tidak kritis terhadap
kebijakan publik karena merasa “berutang” kepada patron.⁹ Dalam relasi seperti
ini, kesadaran warga negara sebagai pemilik kedaulatan dikerdilkan, digantikan
oleh posisi sebagai penerima belas kasih elite politik. Pola ini bertolak
belakang dengan prinsip partisipasi emansipatoris dalam demokrasi deliberatif,
di mana warga terlibat aktif dan kritis dalam menentukan arah kebijakan negara.
Lebih jauh,
patronase menghambat terbentuknya masyarakat sipil yang independen. Organisasi
masyarakat sering kali disusupi oleh logika patronase, sehingga berfungsi
sebagai alat mobilisasi politik daripada sebagai agen kontrol sosial.¹⁰ Dengan
demikian, patronase tidak hanya mengontrol negara, tetapi juga menyusupi
ruang-ruang publik dan komunitas warga.
Kesimpulan Sementara
Secara keseluruhan,
patronase politik memiliki dampak destruktif terhadap demokrasi dan tata kelola
pemerintahan. Ia mengerdilkan fungsi institusi formal, memperlemah prinsip
meritokrasi dan keadilan sosial, serta menciptakan masyarakat yang pasif dan tergantung.
Tanpa intervensi yang sistematis dan reformasi struktural, patronase akan terus
mengakar sebagai budaya politik dominan yang merusak cita-cita demokrasi
substantif dan pembangunan yang inklusif.
Footnotes
[1]
Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy,
and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2014), 10–12.
[2]
Susan C. Stokes, Political Clientelism, dalam The Oxford
Handbook of Political Science, ed. Robert E. Goodin (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 605–606.
[3]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 16.
[4]
Allen Hicken, “Clientelism,” Annual Review of Political Science
14 (2011): 297.
[5]
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010),
67.
[6]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto
(Singapore: ISEAS, 2010), 47.
[7]
James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 92–94.
[8]
Shmuel N. Eisenstadt dan Luis Roniger, Patrons, Clients and
Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 119–121.
[9]
Marcus Mietzner, “Funding Pilkada: Illegal Campaign Financing in
Indonesia’s Local Elections,” Journal of Current Southeast Asian Affairs
32, no. 1 (2013): 76.
[10]
Edward Aspinall, “Oligarchic Patronage and Clientelism in Indonesia: A
Critique,” South East Asia Research 24, no. 3 (2016): 428.
6.
Analisis Kritis dan Etika Politik
Meskipun patronase
politik sering dianggap sebagai bagian tak terelakkan dalam dinamika politik di
negara-negara berkembang, praktik ini menimbulkan persoalan serius bila
ditinjau dari perspektif etika politik, keadilan sosial, dan konsistensi dengan
prinsip-prinsip demokrasi modern. Dalam relasi patron-klien, kekuasaan
didistribusikan secara tidak adil dan cenderung memperkuat dominasi elite
terhadap massa.¹ Etika politik mengharuskan adanya pertanggungjawaban,
kejujuran, dan keadilan dalam relasi antara pemerintah dan rakyat, bukan
hubungan yang dibangun di atas ketergantungan dan pertukaran kepentingan jangka
pendek.²
6.1.
Patronase sebagai Bentuk Korupsi Terselubung
Secara konseptual,
patronase politik dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi terselubung (informal
corruption), karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan publik demi
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, meskipun tidak selalu melanggar
hukum secara eksplisit.³ James C. Scott menekankan bahwa patronase adalah salah
satu bentuk “korupsi politik sistemik” yang tidak dapat diatasi hanya melalui
penegakan hukum, karena ia berakar pada struktur sosial dan budaya politik.⁴
Dalam praktiknya,
patron memberikan akses terhadap jabatan, proyek, atau sumber daya negara
kepada klien tanpa mekanisme seleksi terbuka dan transparan. Hal ini
bertentangan dengan prinsip good governance yang mengedepankan
akuntabilitas, meritokrasi, dan integritas.⁵ Dalam etika publik, tindakan ini
tergolong sebagai bentuk manipulasi kekuasaan demi kepentingan sempit, yang
secara moral tidak dapat dibenarkan meskipun memiliki legitimasi politik.
6.2.
Kritik terhadap Legitimasi Moral Patronase
Patronase sering
dibenarkan dengan dalih stabilitas politik dan efektivitas mobilisasi. Dalam
sistem multipartai yang fragmentatif seperti di Indonesia, patronase kerap
dianggap sebagai alat untuk membangun loyalitas, menjaga koalisi, atau
mempercepat realisasi kebijakan.⁶ Namun dari kacamata moral, efektivitas tidak
dapat dijadikan pembenaran atas praktik yang melanggar keadilan distributif dan
merusak institusi demokrasi.
John Rawls dalam
teori justice
as fairness menekankan bahwa prinsip keadilan harus mengutamakan
kesetaraan dalam kesempatan dan distribusi manfaat sosial yang adil.⁷
Patronase, dalam bentuk apapun, mengingkari prinsip tersebut karena memberikan
keistimewaan kepada segelintir orang berdasarkan hubungan personal, bukan
kebutuhan atau kelayakan. Hal ini menciptakan moral hazard dalam penyelenggaraan
negara, di mana pejabat publik lebih sibuk melayani jaringan patronase daripada
rakyat secara luas.
6.3.
Etika Kekuasaan dan Tanggung Jawab Moral
Pejabat Publik
Etika politik
menuntut agar kekuasaan dijalankan sebagai amanah publik, bukan sebagai alat
transaksi. Pejabat publik memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan kekuasaannya
demi kesejahteraan bersama, bukan untuk mempertahankan dominasi atau membalas
jasa politik. Dalam pandangan Max Weber, ideal seorang pemimpin politik adalah
mereka yang memiliki ethic of responsibility (Verantwortungsethik),
yakni kesadaran akan konsekuensi etis dari setiap keputusan dan kebijakan yang
diambil.⁸
Relasi patron-klien
justru mendorong pejabat untuk mengutamakan loyalitas personal dibanding
kepentingan publik. Tindakan ini bukan hanya cacat secara moral, tetapi juga
menurunkan legitimasi pemerintahan di mata masyarakat. Dalam konteks ini, etika
politik tidak hanya menjadi tuntutan normatif, tetapi juga menjadi prasyarat
bagi keberlangsungan negara demokratis.
6.4.
Dilema Etis dalam Konteks Sosial-Ekonomi
Harus diakui bahwa
dalam kondisi ketimpangan ekonomi dan lemahnya institusi negara, patronase
sering menjadi mekanisme informal yang “mempertemukan kebutuhan” antara elite
dan rakyat. Dalam beberapa kasus, patron memberikan bantuan langsung kepada
masyarakat miskin ketika negara gagal hadir.⁹ Namun, pendekatan ini hanya
bersifat jangka pendek dan bersifat eksklusif. Ia tidak menyelesaikan akar
persoalan ketidakadilan struktural, dan justru mengabadikan ketergantungan
serta pasifnya warga negara dalam menuntut hak-haknya secara kolektif.¹⁰
Etika politik yang
berbasis pada human dignity dan kesetaraan mensyaratkan
bahwa bantuan atau perlindungan sosial harus bersifat universal, berbasis hak,
dan diberikan secara institusional. Sistem patronase yang menggantikan fungsi
negara tidak hanya tidak etis, tetapi juga mengancam keberlangsungan demokrasi
berbasis hukum.
Kesimpulan Sementara
Dari sudut pandang
etika politik dan keadilan sosial, patronase politik merupakan praktik yang
tidak dapat dibenarkan secara moral meskipun ia efektif dalam jangka pendek. Ia
merusak kepercayaan publik terhadap institusi, memperdalam ketimpangan, serta
menjauhkan negara dari prinsip rule of law dan justice
for all. Oleh karena itu, analisis kritis terhadap patronase
politik harus diiringi dengan kesadaran moral dan komitmen untuk membangun
sistem politik yang lebih adil, transparan, dan bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy,
and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2014), 10–12.
[2]
Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy?
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 146.
[3]
Bo Rothstein dan Jan Teorell, “What Is Quality of Government? A Theory
of Impartial Government Institutions,” Governance 21, no. 2 (2008):
169.
[4]
James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 91.
[5]
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023
(Berlin: Transparency International, 2023), 4.
[6]
Marcus Mietzner, “Political Conflict Resolution and Democratic
Consolidation in Indonesia: The Role of Patronage,” Democratization
17, no. 1 (2010): 140.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 60–61.
[8]
Max Weber, “Politics as a Vocation,” dalam From Max Weber: Essays
in Sociology, ed. H. H. Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford
University Press, 1946), 77–78.
[9]
Shmuel N. Eisenstadt dan Luis Roniger, Patrons, Clients and
Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society
(Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 118.
[10]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 35.
7.
Upaya Pembenahan dan Reformasi
Patronase politik
yang mengakar kuat dalam sistem kekuasaan membutuhkan strategi reformasi yang
komprehensif, bertahap, dan menyentuh aspek struktural maupun kultural.
Mengingat bahwa praktik patron-klien sering kali dipelihara oleh lemahnya
institusi, rendahnya literasi politik masyarakat, serta dominasi elite dalam
proses pengambilan keputusan, maka upaya pembenahan harus dilakukan melalui
pendekatan multidimensi.¹ Reformasi bukan sekadar perubahan kebijakan
administratif, tetapi transformasi budaya politik menuju tatanan yang lebih
demokratis, transparan, dan berkeadilan.
7.1.
Penguatan Institusi Demokrasi dan Sistem
Meritokrasi
Langkah pertama
dalam mengatasi patronase adalah memperkuat institusi-institusi formal agar
mampu menjadi penyeimbang terhadap relasi kuasa informal. Hal ini mencakup
pembenahan sistem rekrutmen dan promosi jabatan publik melalui penerapan
prinsip meritokrasi yang ketat. Seleksi terbuka, berbasis kompetensi, serta
pengawasan independen atas mutasi dan rotasi pejabat pemerintahan merupakan
fondasi penting untuk menghapus praktek patronase birokratik.²
Penerapan sistem
meritokrasi telah berhasil memperbaiki kualitas birokrasi di sejumlah negara,
seperti Korea Selatan dan Singapura, yang membangun karier birokrat berdasarkan
prestasi, bukan hubungan politik.³ Di Indonesia, upaya ini dilakukan melalui
reformasi birokrasi dan sistem seleksi ASN (Aparatur Sipil Negara) yang diawasi
oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Namun, masih dibutuhkan penguatan
kelembagaan dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran untuk menjamin
independensi birokrasi dari tekanan politik.⁴
7.2.
Reformasi Sistem Kepartaian dan Pembiayaan
Politik
Sistem kepartaian
yang lemah dan pragmatis merupakan akar subur berkembangnya patronase politik.
Oleh karena itu, reformasi terhadap partai politik menjadi kebutuhan mendesak.
Hal ini mencakup transparansi pembiayaan politik, akuntabilitas internal
partai, serta penguatan ideologi partai yang berbasis pada aspirasi rakyat.⁵
Negara harus
menyediakan sistem pendanaan partai yang adil dan proporsional, serta mengawasi
penggunaannya secara ketat agar partai tidak bergantung pada jaringan oligarkis
atau pengusaha yang menjadi klien politik elite partai.⁶ Di samping itu,
pendidikan politik bagi kader partai harus diarahkan untuk membentuk pemimpin
yang berorientasi pada pelayanan publik, bukan hanya pelestarian kekuasaan.
7.3.
Transparansi Anggaran dan Akuntabilitas Publik
Patronase berkembang
karena adanya celah dalam pengelolaan anggaran dan proyek pemerintah yang tidak
transparan. Maka dari itu, reformasi keuangan negara harus diarahkan pada
keterbukaan data, partisipasi publik dalam proses perencanaan, serta penguatan
mekanisme pengawasan anggaran.⁷
Model partisipatif
seperti Participatory
Budgeting yang diterapkan di Porto Alegre, Brasil, terbukti mampu
meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi praktik favoritisme dalam distribusi
anggaran.⁸ Di Indonesia, penguatan sistem e-government dan keterbukaan data
(open data) seperti SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) harus terus
ditingkatkan agar masyarakat dapat memantau distribusi sumber daya dan
mengidentifikasi potensi praktik patronase.
7.4.
Pendidikan Politik dan Pemberdayaan Masyarakat
Sipil
Pemberantasan
patronase tidak akan efektif tanpa membangun kesadaran kritis di kalangan
masyarakat. Pendidikan politik yang berorientasi pada nilai-nilai demokrasi,
hak asasi, dan kewarganegaraan aktif harus menjadi bagian integral dari sistem
pendidikan formal maupun nonformal.⁹
Di samping itu,
masyarakat sipil harus diberdayakan sebagai aktor pengawas yang independen dan
aktif. LSM, media, dan organisasi keagamaan dapat memainkan peran penting dalam
mengedukasi publik serta mengadvokasi reformasi kebijakan.⁽¹⁰⁾ Penguatan watchdog
institutions seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman,
dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga perlu diiringi dengan keterlibatan
masyarakat dalam mekanisme kontrol sosial.
7.5.
Pengembangan Etika Politik dan Kepemimpinan
Transformasional
Terakhir, pembenahan
patronase memerlukan pendekatan moral melalui pembangunan budaya politik yang
beretika. Kepemimpinan publik harus didasarkan pada integritas, tanggung jawab
moral, dan komitmen terhadap kepentingan umum. Tokoh politik perlu dijadikan
teladan, bukan hanya penguasa, serta memprioritaskan transparansi dan
pelayanan, bukan transaksi kekuasaan.⁽¹¹⁾
Model kepemimpinan
transformasional yang menekankan visi, nilai, dan motivasi kolektif harus
dipromosikan sebagai alternatif dari patronase transaksional. Dalam konteks
ini, pendidikan kepemimpinan politik dan reformasi rekrutmen elite menjadi
strategi jangka panjang yang tidak boleh diabaikan.
Kesimpulan Sementara
Mengatasi patronase
politik bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil.
Reformasi struktural yang didukung oleh komitmen etis, partisipasi publik, dan
pembenahan budaya politik merupakan kunci untuk membangun sistem pemerintahan
yang lebih adil, bersih, dan demokratis. Dengan langkah-langkah yang terarah,
relasi patron-klien dapat digantikan oleh relasi warga-negara yang berbasis
pada hak, tanggung jawab, dan keadilan.
Footnotes
[1]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 29–31.
[2]
Bo Rothstein dan Jan Teorell, “What Is Quality of Government? A Theory
of Impartial Government Institutions,” Governance 21, no. 2 (2008):
170.
[3]
Merilee S. Grindle, Jobs for the Boys: Patronage and the State in
Comparative Perspective (Cambridge: Harvard University Press, 2012),
198–200.
[4]
Kedeputian Bidang Pengawasan, Laporan Tahunan Komisi Aparatur Sipil
Negara 2023 (Jakarta: KASN, 2024), 14.
[5]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto
(Singapore: ISEAS, 2010), 68–70.
[6]
Marcus Mietzner, “Party Financing in Post-Suharto Indonesia: Between
State Subsidies and Political Corruption,” Contemporary Southeast Asia
29, no. 2 (2007): 236–237.
[7]
Transparency International, Global Corruption Report 2019:
Political Corruption (Berlin: TI, 2019), 60.
[8]
Leonardo Avritzer, Participatory Institutions in Democratic Brazil
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2009), 45–47.
[9]
Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy?
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 151.
[10]
Edward Aspinall, “The Irony of Success: Indonesia’s Democratic
Transition and Its Consequences,” Southeast Asian Affairs (2010):
130–131.
[11]
Max Weber, “Politics as a Vocation,” dalam From Max Weber: Essays
in Sociology, ed. H. H. Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford
University Press, 1946), 78–79.
8.
Penutup
Patronase politik,
sebagai fenomena relasional antara patron dan klien dalam pertukaran sumber
daya dan dukungan politik, telah terbukti menjadi salah satu mekanisme dominan
dalam dinamika kekuasaan, khususnya di negara-negara yang sedang mengalami
transisi demokrasi seperti Indonesia. Melalui kajian komprehensif ini, dapat
disimpulkan bahwa patronase bukan sekadar hubungan informal dalam politik,
melainkan sebuah pola institusional yang mampu mengatur alokasi kekuasaan,
distribusi sumber daya, dan bahkan pola partisipasi warga negara secara
sistemik.
Dalam berbagai
bentuknya—dari pengangkatan jabatan berbasis loyalitas, distribusi proyek
pembangunan yang selektif, hingga praktik vote buying—patronase mencerminkan transformasi
kekuasaan menjadi alat transaksional yang melemahkan norma-norma etika dan
prinsip demokrasi substantif.¹ Di balik relasi yang tampak timbal balik,
praktik ini mengabadikan ketimpangan struktural dan ketergantungan politik yang
merusak kualitas institusi negara dan nilai-nilai kewarganegaraan.²
Lebih dari sekadar
problem teknokratis, patronase politik merupakan persoalan moral dan budaya
politik. Ia memperlihatkan bagaimana kekuasaan digunakan tidak sebagai sarana
pelayanan publik, tetapi sebagai alat pertukaran kepentingan yang melibatkan
elite dan massa dalam relasi yang asimetris.³ Dalam masyarakat yang struktur
sosialnya hierarkis dan institusinya lemah, patronase cenderung mendapatkan
legitimasi kultural dan bahkan dianggap sebagai mekanisme yang wajar untuk
mengakses bantuan dan pengaruh.
Namun demikian,
patronase bukan tak tergantikan. Kajian ini juga menunjukkan bahwa terdapat
berbagai upaya pembenahan dan reformasi yang dapat dijalankan untuk mengurangi
dominasi relasi patron-klien. Penguatan sistem meritokrasi, reformasi
kepartaian, transparansi anggaran, pendidikan politik, serta pengembangan etika
publik adalah langkah-langkah strategis yang harus terus diperjuangkan secara
konsisten dan lintas sektor.⁴ Keberhasilan reformasi di sejumlah negara
membuktikan bahwa patronase bukan kodrat politik, melainkan hasil dari pilihan
kelembagaan dan kepemimpinan yang dapat diubah.
Membangun tata
kelola pemerintahan yang demokratis, adil, dan akuntabel menuntut keberanian
untuk mengoreksi praktik patronase dan menggantikannya dengan mekanisme yang
berbasis pada hukum, transparansi, dan partisipasi bermakna. Di sinilah
pentingnya peran pemimpin etis, masyarakat sipil yang kritis, dan warga negara
yang sadar hak dan tanggung jawabnya.⁵ Dengan demikian, relasi politik di masa
depan tidak lagi dibangun atas dasar ketergantungan, tetapi atas dasar
keadilan, tanggung jawab bersama, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Footnotes
[1]
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, eds., Patronage Democracy in
Indonesia (Singapore: NUS Press, 2016), 10–12.
[2]
James C. Scott, Comparative Political Corruption (Englewood
Cliffs: Prentice-Hall, 1972), 91–94.
[3]
Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto
(Singapore: ISEAS, 2010), 43–45.
[4]
Diego Abente Brun dan Larry Diamond, Clientelism, Social Policy,
and the Quality of Democracy (Baltimore: Johns Hopkins University Press,
2014), 56–58.
[5]
Amy Gutmann dan Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy?
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 160.
Daftar Pustaka
Aspinall, E. (2010). The
irony of success: Indonesia’s democratic transition and its consequences.
Southeast Asian Affairs, 2010, 131–143.
Aspinall, E. (2016).
Oligarchic patronage and clientelism in Indonesia: A critique. South East
Asia Research, 24(3), 420–435. https://doi.org/10.1177/0967828X16660613
Aspinall, E., &
Sukmajati, M. (Eds.). (2016). Patronage democracy in Indonesia. NUS
Press.
Avritzer, L. (2009). Participatory
institutions in democratic Brazil. Johns Hopkins University Press.
Brun, D. A., & Diamond,
L. (Eds.). (2014). Clientelism, social policy, and the quality of democracy.
Johns Hopkins University Press.
Crouch, H. (2010). Political
reform in Indonesia after Soeharto. ISEAS Publishing.
Eisenstadt, S. N., &
Roniger, L. (1984). Patrons, clients and friends: Interpersonal relations
and the structure of trust in society. Cambridge University Press.
Grindle, M. S. (2012). Jobs
for the boys: Patronage and the state in comparative perspective. Harvard
University Press.
Gutmann, A., &
Thompson, D. (2004). Why deliberative democracy? Princeton University
Press.
Hadiz, V. R. (2010). Localising
power in post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective.
Stanford University Press.
Hicken, A. (2011).
Clientelism. Annual Review of Political Science, 14, 289–310. https://doi.org/10.1146/annurev.polisci.031908.220508
Kedeputian Bidang
Pengawasan. (2024). Laporan tahunan Komisi Aparatur Sipil Negara 2023.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). https://kasn.go.id
Lubis, T. M. (1993). In
search of human rights: Legal-political dilemmas of Indonesia’s New Order
1966–1990. PT Gramedia.
Mietzner, M. (2007). Party
financing in post-Suharto Indonesia: Between state subsidies and political
corruption. Contemporary Southeast Asia, 29(2), 238–263.
Mietzner, M. (2010).
Political conflict resolution and democratic consolidation in Indonesia: The
role of patronage. Democratization, 17(1), 117–137. https://doi.org/10.1080/13510340903453897
Mietzner, M. (2013).
Funding pilkada: Illegal campaign financing in Indonesia’s local
elections. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32(1), 55–78.
Rawls, J. (1971). A
theory of justice. Harvard University Press.
Rothstein, B., & Teorell,
J. (2008). What is quality of government? A theory of impartial government
institutions. Governance, 21(2), 165–190. https://doi.org/10.1111/j.1468-0491.2008.00391.x
Scott, J. C. (1972). Comparative
political corruption. Prentice-Hall.
Stokes, S. C. (2011).
Political clientelism. In R. E. Goodin (Ed.), The Oxford handbook of
political science (pp. 602–627). Oxford University Press.
Transparency International.
(2019). Global corruption report 2019: Political corruption. https://www.transparency.org/en/publications/global-corruption-report-2019
Transparency International.
(2023). Corruption perceptions index 2023. https://www.transparency.org/en/cpi/2023
Weber, M. (1946). Politics
as a vocation. In H. H. Gerth & C. W. Mills (Eds.), From Max Weber:
Essays in sociology (pp. 77–128). Oxford University Press.
Widoyoko, D. (2016). State
capture di Indonesia: Studi tentang korupsi dalam proses pengambilan kebijakan
publik. Indonesia Corruption Watch (ICW).
Lampiran: Kutipan Regulasi Terkait Sistem Merit
dan Netralitas ASN
1)
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Pasal 3 huruf b dan j:
“Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN
berdasarkan pada asas:
b. Merit, yaitu kebijakan dan
manajemen ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan
wajar dengan tanpa diskriminasi;
j. Netralitas, yaitu setiap
Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak
memihak kepada kepentingan siapapun.”
Pasal 9 ayat (2):
“Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan
intervensi semua golongan dan partai politik.”
Pasal 10 ayat (1):
“Pegawai ASN sebagai bagian dari elemen SDM
aparatur negara harus menjunjung tinggi dasar negara, konstitusi, dan peraturan
perundang-undangan dalam melaksanakan tugasnya.”
2)
Peraturan Pemerintah Nomor
11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) (diubah dengan PP
No. 17 Tahun 2020)
Pasal 5:
“Manajemen PNS diselenggarakan berdasarkan
sistem merit.”
Pasal 6:
“Sistem merit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 adalah kebijakan dan manajemen PNS yang berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja PNS secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi.”
3)
Peraturan Komisi Aparatur
Sipil Negara (KASN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pelaporan dan Penanganan
Pelanggaran Prinsip Merit dalam Manajemen ASN
Pasal 2:
“KASN dalam melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan sistem merit dalam manajemen ASN menjamin prinsip:
a.
objektivitas;
b.
profesionalisme;
c.
transparansi;
d.
akuntabilitas; dan
e.
netralitas.”
4)
Surat Keputusan Bersama
(SKB) 5 Lembaga tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas ASN dalam
Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan
(SKB antara BKN, KASN, Kemenpan-RB, Kemendagri,
dan Bawaslu)
Butir III angka 1:
“ASN dilarang melakukan tindakan yang
mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu atau pemilihan sebelum,
selama, dan sesudah masa kampanye.”