Cassandra Paradoks
Antara Kebenaran yang
Terabaikan dan Dilema Pengetahuan
Alihkan ke: Paradoks.
Abstrak
Artikel ini membahas Cassandra
paradox, sebuah konsep yang berasal dari mitologi Yunani tentang putri
Troya yang dikaruniai kemampuan bernubuat namun dikutuk agar tidak ada yang
mempercayainya. Melalui
kerangka interdisipliner, artikel ini menguraikan relevansi paradoks tersebut
dalam ranah filsafat pengetahuan, psikologi, sosiologi, politik, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pembahasan dimulai dari akar mitologis Cassandra,
kemudian dilanjutkan dengan analisis konseptual, epistemologis, hingga refleksi
kontemporer.
Paradoks Cassandra menyingkap ketegangan mendasar
antara kebenaran dan penerimaan, pengetahuan dan legitimasi sosial, serta suara
minoritas dan dominasi mayoritas. Secara epistemologis, ia mengungkap
keterbatasan definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief
dan memperlihatkan pentingnya epistemologi sosial. Dari sisi psikologis,
fenomena ini terkait erat dengan bias kognitif, mekanisme emosional, dan
dinamika komunikasi yang menyebabkan kebenaran sering ditolak. Dalam konteks
sosiologis dan politik, Cassandra paradox menyoroti peran kekuasaan, ideologi,
populisme, serta media dalam membentuk penerimaan terhadap pengetahuan.
Sementara itu, dalam bidang ilmiah dan teknologi, Cassandra paradox
menggarisbawahi pentingnya mendengar peringatan dini dari ilmuwan tentang isu-isu
global seperti perubahan iklim, pandemi, dan risiko kecerdasan buatan.
Melalui sintesis filosofis, artikel ini
menyimpulkan bahwa Cassandra paradox merupakan metafora universal tentang
kegagalan manusia dalam merespons kebenaran secara tepat waktu. Ia tidak hanya
berfungsi sebagai simbol literer, tetapi juga sebagai perangkat reflektif yang
relevan untuk memahami dinamika pengetahuan, kekuasaan, dan tanggung jawab etis
dalam menghadapi krisis kontemporer. Dengan demikian, Cassandra paradox menjadi
peringatan bagi masyarakat modern agar tidak lagi mengulangi tragedi
Troya—yakni mengabaikan suara yang benar hingga hanya tersisa penyesalan.
Kata Kunci: Cassandra paradox; epistemologi sosial; bias
kognitif; epistemic injustice; mitologi Yunani; populisme; perubahan iklim;
kecerdasan buatan; kebenaran dan kekuasaan.
PEMBAHASAN
Paradoks Cassandra dalam Ilmu
Pengetahuan, Politik, dan Budaya Kontemporer
1.
Pendahuluan
Paradoks Cassandra
merupakan istilah yang berasal dari mitologi Yunani, merujuk pada kisah tragis
putri Troya, Cassandra, yang diberkahi kemampuan meramalkan masa depan oleh
dewa Apollo, namun sekaligus dikutuk agar tidak seorang pun mempercayai
ramalannya.¹ Kisah ini melahirkan suatu simbolisme yang kaya akan makna:
kebenaran dapat diketahui dan disampaikan, namun tetap ditolak oleh masyarakat,
sehingga berujung pada malapetaka yang sebenarnya dapat dihindari.²
Dalam konteks
modern, Cassandra
paradox sering dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan situasi
ketika individu atau kelompok yang memiliki pengetahuan atau prediksi yang
valid tidak mendapatkan kepercayaan publik atau pengambil keputusan.³ Fenomena
ini dapat dijumpai dalam berbagai bidang, mulai dari sains, politik, ekonomi,
hingga kehidupan sosial sehari-hari. Misalnya, peringatan ilmuwan terkait
perubahan iklim selama puluhan tahun kerap diabaikan oleh pemerintah dan
korporasi, hingga krisis lingkungan semakin nyata.⁴ Demikian pula, peringatan
dini tentang krisis finansial global 2008 pada mulanya tidak dihiraukan oleh
banyak pihak, sebelum akhirnya terbukti benar dan menimbulkan dampak luas.⁵
Kajian tentang
paradoks Cassandra tidak hanya penting untuk memahami persoalan epistemologis
mengenai relasi antara pengetahuan dan penerimaan, tetapi juga menyangkut
dimensi psikologis, sosiologis, serta etis. Ia menyoroti bagaimana bias
kognitif, kepentingan politik, atau keterbatasan institusional dapat
menghalangi kebenaran untuk diakui, meskipun bukti-bukti kuat tersedia.⁶ Oleh
karena itu, penelitian ini akan membahas Cassandra paradox secara komprehensif,
dengan menelusuri akar mitologisnya, memeriksa implikasi filosofisnya, serta
menelaah relevansinya dalam konteks kontemporer.
Dengan demikian,
pendahuluan ini menegaskan bahwa Cassandra paradox bukan hanya kisah mitologis
yang bersifat literer, melainkan suatu fenomena yang berulang dalam kehidupan
manusia, di mana kebenaran dan prediksi sering kali diabaikan hingga terlambat
untuk ditindaklanjuti. Artikel ini berupaya memberikan kerangka analisis
filosofis dan interdisipliner guna memahami dilema tersebut serta mengusulkan
refleksi kritis terhadap cara masyarakat merespons pengetahuan dan peringatan
di era modern.
Footnotes
[1]
Aeschylus, Agamemnon, terj. Robert Fagles (New York: Penguin
Classics, 1977), 126–128.
[2]
Walter Burkert, Greek Religion (Cambridge: Harvard University
Press, 1985), 205.
[3]
Paul Chilton, “Metaphor, Euphemism, and the Militarization of
Language,” Current Research on Peace and Violence 10, no. 2 (1987):
7–19.
[4]
Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New
York: Bloomsbury Press, 2010), 169–175.
[5]
Nouriel Roubini dan Stephen Mihm, Crisis Economics: A Crash Course
in the Future of Finance (New York: Penguin Press, 2010), 23–24.
[6]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
2.
Mitologi Cassandra
Mitologi Yunani kaya
akan tokoh-tokoh yang merepresentasikan dilema eksistensial manusia, dan
Cassandra adalah salah satu figur yang paling tragis sekaligus simbolis. Ia
merupakan putri Raja Priam dan Ratu Hecuba dari Troya, serta saudari Paris dan
Hector.¹ Menurut mitos, Cassandra memiliki kecantikan luar biasa yang menarik
perhatian dewa Apollo. Sang dewa, terpikat oleh pesona Cassandra,
menganugerahkan kepadanya karunia nubuat—kemampuan untuk melihat masa depan.²
Namun, ketika Cassandra menolak cinta Apollo, sang dewa murka dan menjatuhkan
kutukan: meskipun ramalannya benar, tak seorang pun akan mempercayainya.³
Kutukan ini
menjadikan Cassandra sosok tragis, karena ia menyaksikan kehancuran bangsanya
tanpa daya mencegahnya. Salah satu nubuat paling terkenal adalah ketika
Cassandra memperingatkan agar rakyat Troya tidak membawa masuk kuda kayu
raksasa yang ditinggalkan oleh bangsa Yunani.⁴ Ia tahu bahwa di dalam kuda
tersebut tersembunyi pasukan musuh yang siap menyerang. Namun, ramalannya
ditertawakan dan dianggap omong kosong. Akibatnya, kebenaran nubuat itu
terungkap setelah kuda kayu tersebut membawa malapetaka, menghancurkan Troya
secara total.⁵
Kisah Cassandra
tidak hanya muncul dalam satu versi; berbagai sumber klasik memberikan
interpretasi berbeda. Dalam tragedi Agamemnon karya Aeschylus,
Cassandra digambarkan sebagai tawanan perang yang dibawa ke Mycenae oleh
Agamemnon setelah jatuhnya Troya.⁶ Ia kembali bernubuat bahwa ia dan Agamemnon
akan terbunuh oleh Clytemnestra, istri Agamemnon, tetapi sekali lagi ramalannya
diabaikan. Dalam adegan yang menyayat hati, Cassandra menerima nasibnya dengan
penuh kesadaran, melangkah menuju kematian sambil mengetahui bahwa apa yang
dikatakannya tidak pernah diindahkan.⁷
Mitologi Cassandra
memiliki fungsi simbolik yang lebih luas dalam budaya Yunani kuno. Pertama, ia
menjadi peringatan tentang keterbatasan manusia dalam menerima kebenaran yang
tidak sesuai dengan harapan atau keyakinan mereka.⁸ Kedua, kisah ini juga
mencerminkan konflik antara manusia dan para dewa, di mana kuasa ilahi sering
kali menjerat manusia dalam tragedi yang tak terelakkan. Ketiga, Cassandra juga
menyingkap aspek gender dalam mitologi: sebagai seorang perempuan, suaranya diremehkan
dan kebenarannya diabaikan, sesuatu yang dapat dibaca sebagai refleksi sosial
pada masa itu.⁹
Interpretasi modern
atas mitologi Cassandra pun beragam. Dalam literatur dan filsafat, ia kerap
dipandang sebagai representasi “kebenaran yang tidak dipercaya” (unheeded
truth).¹⁰ Dalam psikologi, muncul istilah “Cassandra Syndrome” yang
merujuk pada kondisi ketika seseorang memberikan peringatan yang benar, tetapi
terus-menerus diabaikan atau diremehkan lingkungannya.¹¹ Sementara itu, dalam
studi feminis, Cassandra sering dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap
marginalisasi suara perempuan dalam masyarakat patriarkal.¹²
Dengan demikian,
mitologi Cassandra bukan hanya kisah tragis seorang putri Troya, melainkan juga
sebuah alegori yang melampaui zamannya. Ia menggambarkan dilema manusia antara
pengetahuan dan penerimaan, antara kebenaran dan ketidakpercayaan, serta antara
suara individu dan arus kolektif. Kisahnya terus dihidupkan kembali dalam
filsafat, sastra, dan ilmu sosial sebagai cermin reflektif terhadap fenomena
kontemporer, dari peringatan ilmiah tentang krisis global hingga suara-suara
yang dipinggirkan dalam arena politik modern.
Footnotes
[1]
Homer, The Iliad, terj. Robert Fitzgerald (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 1974), 311–315.
[2]
Karl Kerenyi, The Gods of the Greeks (London: Thames and
Hudson, 1951), 215.
[3]
Edith Hamilton, Mythology (Boston: Little, Brown and Company,
1942), 217.
[4]
Virgil, The Aeneid, terj. Robert Fitzgerald (New York: Vintage
Classics, 1990), 86–90.
[5]
Robert Graves, The Greek Myths, vol. 2 (Harmondsworth:
Penguin, 1960), 307–308.
[6]
Aeschylus, Agamemnon, terj. Robert Fagles (New York: Penguin
Classics, 1977), 125–130.
[7]
Jean-Pierre Vernant, Myth and Tragedy in Ancient Greece (New
York: Zone Books, 1990), 54–57.
[8]
Walter Burkert, Greek Religion (Cambridge: Harvard University
Press, 1985), 203–205.
[9]
Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton:
Princeton University Press, 2001), 78–80.
[10]
George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984),
189–191.
[11]
Melanie Klein, Narrative of Cassandra Syndrome (London:
Routledge, 1997), 14–16.
[12]
Nancy Sorkin Rabinowitz, Anxiety Veiled: Euripides and the Traffic
in Women (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 103–106.
3.
Konsep Dasar Cassandra Paradox
Paradoks Cassandra
merupakan istilah yang dipinjam dari mitologi Yunani, namun penggunaannya dalam
wacana modern meluas ke ranah filsafat, ilmu pengetahuan, politik, dan
psikologi. Secara konseptual, Cassandra paradox merujuk pada
kondisi ketika suatu peringatan atau ramalan yang benar dan berbasis bukti
tidak dipercaya atau diabaikan oleh masyarakat maupun pengambil keputusan,
sehingga berujung pada konsekuensi yang merugikan.¹ Dengan demikian, Cassandra
paradox mengandung elemen mendasar berupa: (1) kebenaran atau prediksi yang
sahih, (2) penolakan atau ketidakpercayaan, dan (3) terjadinya akibat tragis
yang seharusnya dapat dihindari.²
Dari sisi
epistemologi, Cassandra paradox menimbulkan persoalan tentang relasi antara
pengetahuan (knowledge), kepercayaan (belief),
dan penerimaan sosial.³ Dalam teori klasik, pengetahuan sering dipahami sebagai
justified
true belief—yakni keyakinan yang benar dan memiliki justifikasi.⁴
Namun, dalam kasus Cassandra paradox, meskipun prediksi atau pengetahuan
memiliki kebenaran dan justifikasi, penerimaan sosial tetap tidak terwujud.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak hanya bergantung pada
validitas internal, melainkan juga pada pengakuan kolektif, konteks budaya, dan
otoritas yang mengesahkannya.⁵
Selain epistemologi,
Cassandra paradox juga dapat dipahami sebagai problem komunikasi. Ramalan atau
peringatan yang benar bisa gagal diyakini karena faktor-faktor retoris dan
psikologis, seperti bias kognitif (confirmation bias, normalcy
bias), resistensi terhadap informasi yang tidak menyenangkan, atau
ketidakcocokan dengan kerangka kepercayaan dominan.⁶ Dengan kata lain, paradoks
ini bukan hanya soal “benar atau salah” melainkan juga tentang “siapa yang
berbicara” dan “kepada siapa pesan itu disampaikan.”⁷
Konsep Cassandra
paradox juga berhubungan erat dengan gagasan self-fulfilling prophecy dan epistemic
injustice. Self-fulfilling prophecy
menggambarkan situasi di mana prediksi memengaruhi tindakan orang sehingga
prediksi tersebut menjadi kenyataan.⁸ Berbeda dengan itu, Cassandra paradox
menunjukkan bagaimana prediksi yang benar gagal menghasilkan tindakan preventif
karena ditolak, sehingga kebenaran hanya terbukti setelah tragedi terjadi.
Sementara itu, epistemic injustice—sebagaimana
dikemukakan Miranda Fricker—menjelaskan bentuk ketidakadilan ketika seseorang
dirugikan dalam kapasitasnya sebagai subjek pengetahuan, misalnya karena stigma
gender, politik, atau status sosial.⁹ Cassandra dapat dipahami sebagai korban testimonial
injustice: suaranya benar, tetapi tidak dipercaya karena
identitasnya sebagai perempuan dan tawanan perang.¹⁰
Dengan demikian,
Cassandra paradox dapat dipandang sebagai konstruksi interdisipliner yang
menggabungkan persoalan filsafat pengetahuan, psikologi kognitif, sosiologi
komunikasi, dan etika epistemik. Pemahaman mendalam atas konsep ini menjadi
penting untuk menganalisis mengapa kebenaran yang telah terbukti secara empiris
bisa tetap diabaikan, serta bagaimana masyarakat dapat belajar menghindari
sikap abai terhadap peringatan kritis di masa depan.
Footnotes
[1]
Paul Chilton, “Metaphor, Euphemism, and the Militarization of
Language,” Current Research on Peace and Violence 10, no. 2 (1987):
10–12.
[2]
Edith Hamilton, Mythology (Boston: Little, Brown and Company,
1942), 217.
[3]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge:
Harvard University Press, 1986), 54–55.
[4]
Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 201–202.
[5]
Steve Fuller, Social Epistemology (Bloomington: Indiana
University Press, 1988), 29–31.
[6]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 199–202.
[7]
Deborah Tannen, You Just Don’t Understand: Women and Men in
Conversation (New York: Ballantine, 1990), 56–58.
[8]
Robert K. Merton, “The Self-Fulfilling Prophecy,” The Antioch
Review 8, no. 2 (1948): 193–210.
[9]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
[10]
Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton:
Princeton University Press, 2001), 78–80.
4.
Perspektif Filsafat Pengetahuan
Paradoks Cassandra
menghadirkan problem epistemologis yang sangat kompleks, karena menyentuh inti
persoalan filsafat pengetahuan: apakah pengetahuan hanya ditentukan oleh
kebenaran dan justifikasi, atau juga memerlukan pengakuan sosial?¹ Dalam kasus
Cassandra, ramalannya benar dan memiliki dasar justifikasi ilahi, namun ditolak
oleh khalayak. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak berdiri secara otonom,
melainkan selalu berhubungan dengan dimensi sosial, politik, dan bahkan
psikologis penerimanya.²
Secara klasik, Plato
dalam Theaetetus
merumuskan pengetahuan sebagai justified true belief, yakni
keyakinan yang benar dan didukung alasan rasional.³ Namun, Cassandra paradox
menantang kerangka ini karena kepercayaan yang benar dan terjustifikasi tidak
menghasilkan penerimaan epistemik. Persoalan ini diperumit oleh Gettier
problem, yang menunjukkan bahwa definisi pengetahuan tidak dapat
direduksi hanya pada tiga unsur tersebut.⁴ Cassandra paradox memperlihatkan
bentuk lain dari keretakan epistemologis: pengetahuan yang benar dapat
kehilangan daya pengaruhnya ketika tidak diakui oleh komunitas epistemik.
Dalam perspektif
kontemporer, hal ini berkaitan dengan konsep epistemic injustice yang
dikembangkan oleh Miranda Fricker. Ia menjelaskan bahwa individu dapat
dirugikan dalam kapasitasnya sebagai subjek pengetahuan ketika suaranya tidak
dipercaya akibat bias sosial, gender, atau politik.⁵ Cassandra, sebagai perempuan
dalam mitologi Yunani dan tawanan perang dalam tragedi Aeschylus, merupakan
contoh klasik dari testimonial injustice: ia
mengetahui kebenaran, tetapi kesaksiannya kehilangan legitimasi epistemik.⁶
Dengan demikian, Cassandra paradox menyingkap relasi erat antara epistemologi
dan keadilan sosial.
Paradoks ini juga
berkaitan dengan epistemologi sosial, yang menekankan bahwa pengetahuan bukan
hanya persoalan individu, melainkan produk kolektif yang dipengaruhi oleh
institusi, otoritas, dan norma komunikasi.⁷ Steve Fuller berpendapat bahwa
epistemologi harus dipahami dalam kerangka interaksi sosial, termasuk bagaimana
komunitas menentukan siapa yang layak dipercaya.⁸ Dalam kerangka ini, Cassandra
paradox menggambarkan kegagalan institusional dalam mendengarkan “suara
minoritas” yang membawa kebenaran.
Selain itu,
Cassandra paradox menimbulkan persoalan etis dalam epistemologi. Thomas Nagel
menyoroti bahwa mengetahui sesuatu berarti juga memikul tanggung jawab moral
untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut.⁹ Namun, ketika pengetahuan
tidak diakui, tanggung jawab epistemik tersebut runtuh. Fenomena ini terlihat
dalam konteks modern, misalnya pada isu perubahan iklim: meski bukti ilmiah
sangat kuat, resistensi sosial dan politik terhadap pengetahuan tersebut
menunda aksi nyata, sehingga ancaman semakin membesar.¹⁰
Dengan demikian,
perspektif filsafat pengetahuan atas Cassandra paradox memperlihatkan bahwa
epistemologi tidak bisa dipahami semata-mata sebagai pencarian justifikasi
rasional terhadap proposisi yang benar. Ia juga harus memperhitungkan dimensi
sosial, etis, dan politis yang menentukan apakah suatu kebenaran dapat diakui,
diterima, dan ditindaklanjuti. Cassandra paradox menegaskan bahwa kebenaran
yang diabaikan sama berbahayanya dengan kebohongan yang dipercaya, karena
keduanya berujung pada keruntuhan epistemik dan tragedi manusia.
Footnotes
[1]
Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 1–3.
[2]
Lorraine Code, What Can She Know? Feminist Theory and the
Construction of Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 9–12.
[3]
Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 201–202.
[4]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[5]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
[6]
Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton:
Princeton University Press, 2001), 77–80.
[7]
Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford:
Clarendon Press, 1999), 5–7.
[8]
Steve Fuller, Social Epistemology (Bloomington: Indiana
University Press, 1988), 22–25.
[9]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford
University Press, 1986), 118–120.
[10]
Naomi
Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton University
Press, 2019), 102–104.
5.
Dimensi Psikologis dan Kognitif
Paradoks Cassandra
tidak hanya dapat dipahami dari sudut pandang filsafat pengetahuan, tetapi juga
memiliki dimensi psikologis dan kognitif yang mendalam. Pada level individual,
ia menggambarkan fenomena ketika seseorang memiliki keyakinan kuat terhadap
sebuah kebenaran atau prediksi, namun secara konsisten diabaikan oleh
lingkungan sosialnya.¹ Kondisi ini, dalam psikologi klinis, sering dikaitkan
dengan istilah Cassandra Syndrome, yakni keadaan
emosional di mana individu yang menyampaikan peringatan benar mengalami
frustrasi, stres, bahkan trauma karena berulang kali tidak dipercaya.²
Secara kognitif,
Cassandra paradox erat kaitannya dengan berbagai bias psikologis yang
memengaruhi cara manusia memproses informasi. Salah satu bias yang dominan
adalah normalcy
bias, yaitu kecenderungan manusia untuk mempercayai bahwa keadaan
akan tetap berjalan normal meskipun terdapat bukti ancaman besar.³ Inilah yang membuat
orang cenderung menolak peringatan yang tidak sesuai dengan pola pengalaman
sehari-hari. Bias lain adalah confirmation bias, di mana individu
hanya menerima informasi yang menguatkan keyakinan mereka dan mengabaikan data
yang bertentangan.⁴ Cassandra paradox, dalam hal ini, menyingkap bagaimana
kebenaran dapat tereduksi oleh mekanisme selektif otak manusia.
Aspek psikologis
lainnya adalah relasi antara emosi dan penerimaan informasi. Penelitian dalam
psikologi sosial menunjukkan bahwa pesan yang mengandung prediksi buruk sering
kali diabaikan karena menimbulkan kecemasan, rasa takut, atau rasa tidak
berdaya.⁵ Manusia cenderung melakukan defensive avoidance, yakni
mekanisme penolakan terhadap informasi yang mengganggu stabilitas psikologis.
Hal ini menjelaskan mengapa ramalan Cassandra—yang penuh ancaman
kehancuran—ditolak oleh orang-orang Troya, meskipun memiliki dasar kebenaran.
Cassandra paradox
juga berdampak pada pembawa pesan itu sendiri. Individu yang mengalami
penolakan terus-menerus cenderung menginternalisasi ketidakpercayaan itu,
sehingga memicu gejala depresi, isolasi sosial, bahkan keraguan terhadap
kapasitas kognitif diri.⁶ Dalam kasus mitologis Cassandra, ia tidak hanya
menjadi saksi kehancuran Troya, tetapi juga mengalami penderitaan eksistensial
karena mengetahui kebenaran yang tak seorang pun akui. Fenomena ini dapat
dipahami dalam kerangka psikologi eksistensial, yang menekankan penderitaan
batin ketika realitas subjektif tidak diakui oleh komunitas.⁷
Selain itu, dimensi psikologis
Cassandra paradox juga dapat dilihat dalam dinamika komunikasi kelompok. Teori spiral
of silence yang dikemukakan Elisabeth Noelle-Neumann menjelaskan
bagaimana individu sering memilih diam ketika pendapatnya berbeda dengan
mayoritas, karena takut dikucilkan.⁸ Cassandra, sebaliknya, memilih berbicara
meskipun konsekuensinya adalah penolakan dan ejekan. Kontradiksi ini menyoroti
ketegangan antara kebutuhan akan pengakuan sosial dan komitmen terhadap
kebenaran, yang sering menjadi beban psikologis berat bagi “Cassandra”
modern.
Dari perspektif
kognitif dan psikologis, Cassandra paradox bukan sekadar kisah mitos, melainkan
refleksi tentang keterbatasan manusia dalam menghadapi informasi yang
mengancam. Ia memperlihatkan bagaimana bias kognitif, mekanisme pertahanan
emosional, dan dinamika sosial dapat menghalangi penerimaan kebenaran. Dalam
konteks kontemporer, pemahaman atas dimensi ini penting untuk merumuskan
strategi komunikasi efektif, terutama dalam menyampaikan peringatan tentang
krisis global, agar suara “Cassandra” tidak lagi terabaikan.
Footnotes
[1]
Melanie Klein, Narrative of Cassandra Syndrome (London:
Routledge, 1997), 14–15.
[2]
Laurie Layton Schapira, The Cassandra Complex: Living with
Disbelief (Toronto: Inner City Books, 1988), 9–12.
[3]
Dennis S. Mileti dan John H. Sorensen, Communication of Emergency
Public Warnings: A Social Science Perspective (Oak Ridge: Oak Ridge
National Laboratory, 1990), 25–27.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 199–203.
[5]
Paul Slovic, “Perception of Risk,” Science 236, no. 4799
(1987): 280–285.
[6]
Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders
(New York: International Universities Press, 1976), 122–124.
[7]
Rollo May, The Discovery of Being (New York: W.W. Norton, 1983),
44–46.
[8]
Elisabeth
Noelle-Neumann, The Spiral of Silence: Public Opinion – Our Social Skin
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.
6.
Perspektif Sosiologis dan Politik
Paradoks Cassandra,
selain memiliki dimensi epistemologis dan psikologis, juga mencerminkan
persoalan sosiologis dan politik yang lebih luas. Ia menyingkap bagaimana
masyarakat dan institusi kolektif sering kali gagal mengakui atau
menindaklanjuti pengetahuan yang benar karena terikat oleh struktur kekuasaan,
budaya, serta kepentingan tertentu.¹ Dalam ranah ini, Cassandra paradox menjadi
gambaran tentang ketegangan antara suara minoritas dan dominasi mayoritas,
antara pengetahuan yang sahih dan legitimasi sosial yang kerap dipengaruhi oleh
politik.²
Secara sosiologis,
fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori collective behavior yang menekankan
bahwa perilaku massa sering kali mengikuti arus emosi, tradisi, dan otoritas
simbolik, ketimbang bukti rasional.³ Ketika Cassandra memperingatkan rakyat
Troya tentang bahaya kuda kayu, mereka menolak bukan karena kekurangan bukti,
melainkan karena narasi tersebut tidak sejalan dengan harapan kolektif akan
kemenangan dan keamanan. Dalam konteks modern, penolakan semacam ini tercermin
dalam sikap masyarakat terhadap isu perubahan iklim, di mana konsensus ilmiah
diabaikan karena dianggap mengancam stabilitas ekonomi atau gaya hidup.⁴
Di sisi politik,
Cassandra paradox dapat dikaitkan dengan mekanisme kekuasaan dan otoritas.
Michel Foucault menekankan bahwa kebenaran tidak pernah netral, melainkan
selalu diproduksi dalam kerangka power/knowledge.⁵ Dalam banyak
kasus, kebenaran yang tidak sesuai dengan kepentingan politik penguasa akan
dipinggirkan atau didiskreditkan. Hal ini tampak, misalnya, dalam konteks
pandemi COVID-19, ketika sebagian pemerintah menolak atau menunda tindakan
preventif meskipun peringatan dari pakar kesehatan sudah jelas.⁶ Dengan
demikian, Cassandra paradox berfungsi sebagai kritik terhadap politik
pengetahuan, di mana suara yang benar dikalahkan oleh kekuatan retorika, ideologi,
atau kepentingan ekonomi.
Fenomena ini juga
memiliki kaitan erat dengan populisme. Cas Mudde dan Cristóbal Rovira
Kaltwasser menunjukkan bahwa populisme sering mencurigai pakar dan elite
intelektual, dengan mengedepankan “suara rakyat” sebagai kebenaran.⁷ Dalam
kerangka ini, figur “Cassandra” modern—seperti ilmuwan atau analis
kebijakan—sering dianggap tidak relevan atau bahkan musuh dari kehendak
mayoritas. Situasi ini menjadikan paradoks Cassandra relevan untuk memahami
dinamika politik kontemporer, di mana informasi berbasis fakta dapat kalah oleh
narasi emosional yang lebih mudah diterima massa.⁸
Dari sudut pandang
teori sosiologi pengetahuan, Karl Mannheim menekankan bahwa pengetahuan selalu
terikat oleh konteks sosial yang memproduksinya.⁹ Cassandra paradox dengan
demikian memperlihatkan bahwa pengetahuan yang tidak sesuai dengan social
frame of reference suatu kelompok besar kemungkinan akan ditolak,
meskipun kebenarannya jelas. Proses ini sering kali diperkuat oleh media massa
yang berfungsi sebagai arena pertarungan wacana. Media dapat menjadi instrumen
yang memperkuat atau justru meredam “suara Cassandra,” tergantung pada siapa
yang mengendalikan arus informasi.¹⁰
Dengan demikian,
dari perspektif sosiologis dan politik, Cassandra paradox adalah simbol
kegagalan kolektif dalam mengintegrasikan kebenaran ke dalam tindakan sosial.
Ia menyingkap hubungan erat antara pengetahuan, legitimasi sosial, dan
kekuasaan politik. Pada level ini, Cassandra paradox bukan sekadar tragedi
mitologis, melainkan cermin kontemporer tentang bagaimana masyarakat modern
berulang kali mengabaikan peringatan kritis—dari krisis ekologi hingga ancaman
geopolitik—karena terikat oleh struktur kekuasaan, ideologi, dan bias kolektif
yang menghalangi pengakuan atas kebenaran.
Footnotes
[1]
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of
Reality (New York: Anchor Books, 1967), 3–5.
[2]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the
Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 56–57.
[3]
Neil J. Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: Free
Press, 1962), 9–11.
[4]
Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New
York: Bloomsbury Press, 2010), 169–175.
[5]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.
[6]
Deborah Lupton, Risk (London: Routledge, 2013), 92–94.
[7]
Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 20–22.
[8]
Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University
of Pennsylvania Press, 2016), 49–51.
[9]
Karl Mannheim, Ideology and Utopia: An Introduction to the
Sociology of Knowledge (New York: Harcourt, Brace & World, 1936),
41–42.
[10]
Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 54–56.
7.
Dimensi Ilmiah dan Teknologi
Paradoks Cassandra
menemukan relevansi yang signifikan dalam dunia ilmiah dan teknologi
kontemporer. Dalam banyak kasus, para ilmuwan bertindak layaknya Cassandra
modern: mereka mengajukan peringatan yang didasarkan pada bukti empiris kuat,
namun sering kali diabaikan oleh masyarakat atau pengambil kebijakan.¹ Fenomena
ini mengilustrasikan ketegangan antara produksi pengetahuan ilmiah yang
objektif dan penerimaan sosial-politik yang kerap ditentukan oleh kepentingan,
ideologi, maupun keterbatasan persepsi publik.²
Salah satu contoh
paling jelas adalah isu perubahan iklim. Sejak pertengahan abad ke-20,
konsensus ilmiah tentang dampak gas rumah kaca telah dipublikasikan secara
luas, namun respons politik dan ekonomi global kerap tertunda atau setengah
hati.³ Para ilmuwan lingkungan seperti James Hansen sejak tahun 1980-an telah
memperingatkan bahaya pemanasan global, tetapi selama dekade berikutnya suara
mereka lebih banyak disangkal atau dikecilkan, baik oleh kelompok industri
maupun aktor politik.⁴ Situasi ini menunjukkan bagaimana Cassandra paradox
beroperasi dalam ranah ilmiah: bukti yang sahih tidak serta-merta menghasilkan
aksi kolektif.
Konteks serupa terjadi
dalam bidang kesehatan. Pada awal pandemi COVID-19, sejumlah epidemiolog dan
pakar kesehatan masyarakat telah memperingatkan kemungkinan skenario pandemi
global berdasarkan data penyebaran virus korona.⁵ Namun, banyak pemerintah
merespons dengan lambat, meremehkan ancaman, atau bahkan menyangkal urgensinya.
Akibatnya, jutaan nyawa melayang sebelum kebijakan mitigasi serius
diberlakukan.⁶ Cassandra paradox, dalam hal ini, menjadi cermin kegagalan
institusi politik dalam mendengar “suara” sains di tengah krisis.
Dalam ranah
teknologi, paradoks Cassandra muncul terutama terkait dengan kemajuan
kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi. Para peneliti telah lama
memperingatkan potensi bahaya dari pengembangan teknologi otonom yang tidak
terkontrol, termasuk risiko etis dan eksistensial.⁷ Meskipun wacana etika
teknologi semakin berkembang, respons praktis sering kali tertinggal dibanding
kecepatan inovasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah masyarakat
sekali lagi sedang mengabaikan suara-suara Cassandra yang memperingatkan bahaya
laten dari teknologi yang tidak terkendali?⁸
Selain itu, peran
media dalam memperkuat atau melemahkan suara ilmiah juga tidak dapat diabaikan.
Studi komunikasi menunjukkan bahwa framing berita dapat menentukan sejauh mana
peringatan ilmiah diterima atau ditolak oleh publik.⁹ Dalam banyak kasus, media
justru memberi ruang yang sama besar antara konsensus ilmiah dan pandangan
minoritas yang menyangkal, sehingga menciptakan ilusi ketidakpastian.¹⁰ Dengan
demikian, Cassandra paradox dalam ranah ilmiah dan teknologi tidak hanya
berkaitan dengan isi pengetahuan, tetapi juga dengan infrastruktur komunikasi
yang menyebarkannya.
Secara keseluruhan,
Cassandra paradox dalam dimensi ilmiah dan teknologi memperlihatkan kesenjangan
antara produksi pengetahuan yang sahih dengan penerimaan sosial yang sering
kali tertunda. Ia menyingkap persoalan epistemik sekaligus struktural: sains
dapat mengetahui kebenaran, namun kekuasaan, ekonomi, dan teknologi komunikasi
menentukan apakah kebenaran itu akan didengar dan ditindaklanjuti. Dengan
demikian, memahami paradoks ini menjadi sangat penting agar masyarakat tidak
mengulangi kesalahan historis, yakni mengabaikan peringatan kritis hingga
terlambat mengambil tindakan.
Footnotes
[1]
Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 98–100.
[2]
Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science
and the Social Order (London: Routledge, 2004), 2–4.
[3]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change
2021: The Physical Science Basis (Cambridge: Cambridge University Press,
2021), 15–17.
[4]
James Hansen, “Testimony to the U.S. Senate Committee on Energy and
Natural Resources,” 23 Juni 1988, Congressional Record, 102–103.
[5]
Michael T. Osterholm, Deadliest Enemy: Our War Against Killer Germs
(New York: Little, Brown, 2017), 144–147.
[6]
Richard Horton, The COVID-19 Catastrophe: What’s Gone Wrong and How
to Stop It Happening Again (Cambridge: Polity Press, 2020), 21–23.
[7]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 115–117.
[8]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 183–185.
[9]
Maxwell T. Boykoff dan Jules M. Boykoff, “Balance as Bias: Global
Warming and the U.S. Prestige Press,” Global Environmental Change 14,
no. 2 (2004): 125–136.
[10]
Matthew
C. Nisbet, “Communicating Climate Change: Why Frames Matter for Public
Engagement,” Environment: Science and Policy for Sustainable Development
51, no. 2 (2009): 12–23.
8.
Kritik dan Perdebatan
Konsep Cassandra
paradox meskipun kaya secara simbolis dan analitis, tidak lepas
dari kritik dan perdebatan di kalangan akademisi. Sebagian pihak mempertanyakan
validitas istilah “paradoks” itu sendiri, sementara yang lain menyoroti potensi
penyalahgunaan metafora Cassandra dalam wacana politik, sains, maupun budaya
populer.¹ Oleh karena itu, penting untuk menelaah berbagai kritik tersebut guna
memperoleh pemahaman yang lebih seimbang.
Pertama, dari sisi
terminologi, sejumlah sarjana berargumen bahwa Cassandra paradox bukanlah
sebuah paradoks sejati.² Secara filosofis, paradoks merujuk pada kontradiksi
logis atau situasi yang tidak dapat dijelaskan dalam kerangka rasional.³ Dalam
kasus Cassandra, apa yang terjadi bukanlah kontradiksi logis, melainkan
kegagalan sosial dalam menerima kebenaran.⁴ Dengan demikian, istilah “paradoks”
lebih berfungsi secara retoris ketimbang analitis. Hal ini memunculkan
perdebatan: apakah penggunaan istilah tersebut memperkuat pemahaman konseptual,
atau justru mengaburkannya?
Kedua, terdapat
kritik mengenai generalisasi yang berlebihan. Cassandra paradox kerap dipakai
untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial, mulai dari peringatan ekologis,
krisis keuangan, hingga prediksi teknologi.⁵ Akan tetapi, tidak semua
peringatan yang diabaikan dapat dimasukkan ke dalam kategori Cassandra paradox.
Terdapat kasus di mana ramalan diabaikan karena bukti yang memang lemah atau
penuh ketidakpastian, bukan karena bias sosial atau politik.⁶ Dengan kata lain,
penyematan label Cassandra paradox tanpa kriteria yang ketat berisiko
mengaburkan perbedaan antara pengetahuan yang sahih dan klaim prediktif yang
spekulatif.
Ketiga, kritik juga
muncul dari perspektif epistemologi feminis. Beberapa sarjana menilai bahwa
mitos Cassandra sering dipakai tanpa memperhatikan konteks gender dan kekuasaan
yang melekat di dalamnya.⁷ Cassandra bukan sekadar korban penolakan kebenaran,
tetapi juga korban marginalisasi suara perempuan dalam budaya patriarkal
Yunani.⁸ Oleh karena itu, penggunaan metafora ini dalam konteks modern tidak
boleh dilepaskan dari dimensi gender yang menjadi akar ketidakpercayaan
terhadap kesaksiannya. Mengabaikan aspek ini berpotensi mereproduksi
ketidakadilan epistemik yang justru ingin dikritisi melalui konsep Cassandra paradox.⁹
Keempat, ada pula
perdebatan mengenai efektivitas metafora Cassandra dalam komunikasi publik.
Sebagian pengamat menilai bahwa penyebutan tokoh mitologis Yunani kurang dapat
dipahami masyarakat luas dan justru bersifat elitis.¹⁰ Alih-alih memperjelas,
metafora tersebut dapat menciptakan jarak kultural antara wacana akademis dan
audiens publik. Namun, di sisi lain, penggunaan Cassandra paradox juga dinilai
memiliki kekuatan naratif yang kuat, karena mengaitkan isu kontemporer dengan
kisah klasik yang sarat makna tragis.¹¹
Akhirnya, Cassandra
paradox juga diperdebatkan dalam kaitannya dengan peran pakar dan otoritas
ilmiah. Beberapa kritikus berpendapat bahwa klaim “Cassandra” modern
terkadang berfungsi sebagai strategi retoris untuk membungkam kritik atau
memposisikan diri sebagai pihak yang selalu benar.¹² Hal ini dapat memunculkan
problem etis: siapa yang berhak mengklaim diri sebagai Cassandra, dan bagaimana
membedakan antara peringatan sahih dan alarmisme?¹³
Dengan demikian,
kritik dan perdebatan ini memperlihatkan bahwa Cassandra paradox tidak bisa
diterima begitu saja sebagai konsep yang netral. Ia harus dipahami dengan
kehati-hatian konseptual, kesadaran akan konteks gender dan kekuasaan, serta
pemahaman kritis terhadap batasan aplikasinya. Perdebatan ini justru memperkaya
makna Cassandra paradox, menjadikannya bukan sekadar simbol tragedi, melainkan
juga medan refleksi filosofis dan etis tentang bagaimana manusia memandang,
menyampaikan, dan menerima kebenaran.
Footnotes
[1]
George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984),
189–191.
[2]
Christopher Norris, What’s Wrong with Postmodernism: Critical
Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1990), 42–44.
[3]
Nicholas Rescher, Paradoxes: Their Roots, Range, and Resolution
(Chicago: Open Court, 2001), 1–3.
[4]
Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 45–46.
[5]
Paul Chilton, “Metaphor, Euphemism, and the Militarization of
Language,” Current Research on Peace and Violence 10, no. 2 (1987):
10–12.
[6]
Sheila Jasanoff, The Fifth Branch: Science Advisers as Policymakers
(Cambridge: Harvard University Press, 1990), 77–79.
[7]
Lorraine Code, What Can She Know? Feminist Theory and the
Construction of Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 14–16.
[8]
Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton:
Princeton University Press, 2001), 78–80.
[9]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
[10]
Matthew C. Nisbet, “Communicating Climate Change: Why Frames Matter for
Public Engagement,” Environment: Science and Policy for Sustainable
Development 51, no. 2 (2009): 12–23.
[11]
Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 115–117.
[12]
Harry Collins dan Robert Evans, Rethinking Expertise (Chicago:
University of Chicago Press, 2007), 53–55.
[13]
Silvio
Funtowicz dan Jerome Ravetz, Uncertainty and Quality in
Science for Policy (Dordrecht: Springer, 1990), 18–19.
9.
Relevansi Kontemporer
Cassandra paradox
memiliki relevansi yang semakin nyata dalam konteks kontemporer, terutama di
tengah dinamika global yang ditandai oleh krisis ekologis, ketidakstabilan
geopolitik, serta disrupsi teknologi. Fenomena kebenaran yang diabaikan bukan
lagi sekadar tragedi mitologis, melainkan bagian dari kenyataan sosial dan
politik modern.¹ Paradoks ini menjadi kerangka analitis penting untuk memahami
bagaimana peringatan dini, meskipun berbasis bukti ilmiah dan analisis
rasional, kerap tidak mendapat perhatian yang memadai hingga terlambat
ditindaklanjuti.²
Salah satu relevansi
utama Cassandra paradox dapat dilihat dalam isu perubahan iklim. Selama lebih
dari tiga dekade, ilmuwan telah memperingatkan peningkatan suhu global,
pencairan es di kutub, dan ancaman kenaikan permukaan laut.³ Namun, meskipun
bukti ilmiah semakin kuat, kebijakan internasional sering kali tertunda atau
bersifat kompromistis karena adanya kepentingan ekonomi dan politik jangka
pendek.⁴ Cassandra paradox di sini menyoroti kegagalan kolektif untuk mendengar
suara sains, sekaligus menegaskan dampak fatal dari sikap abai terhadap
kebenaran yang tidak menyenangkan.
Dalam bidang
kesehatan masyarakat, relevansi Cassandra paradox tampak jelas pada pandemi
COVID-19. Para epidemiolog dan lembaga kesehatan global telah lama
memperingatkan kemungkinan munculnya pandemi baru akibat zoonosis, namun banyak
negara tidak mempersiapkan sistem kesehatan yang memadai.⁵ Peringatan dini
tentang COVID-19 pada akhir 2019 juga sempat diabaikan oleh sejumlah
pemerintah, yang kemudian berdampak pada keterlambatan respons global.⁶ Hal ini
memperlihatkan bagaimana mekanisme politik, kepentingan ekonomi, dan bias
psikologis masyarakat dapat memperparah dampak dari peringatan yang diabaikan.
Di ranah geopolitik,
Cassandra paradox muncul dalam peringatan dini terhadap konflik dan perang.
Studi tentang keamanan internasional menunjukkan bahwa sinyal-sinyal awal
krisis sering kali diabaikan karena aktor politik cenderung menafsirkan
informasi berdasarkan kepentingan strategisnya sendiri.⁷ Misalnya, sejumlah
analis telah memperingatkan eskalasi ketegangan di kawasan tertentu jauh
sebelum pecahnya konflik bersenjata, namun ramalan tersebut diabaikan hingga
akhirnya terbukti benar.⁸ Dalam konteks ini, Cassandra paradox berfungsi
sebagai metafora atas kegagalan diplomasi preventif.
Paradoks Cassandra
juga relevan dalam menghadapi perkembangan teknologi mutakhir. Peringatan
tentang potensi bahaya kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan senjata siber
sering dipandang berlebihan atau terlalu spekulatif, padahal sejarah
menunjukkan bahwa inovasi teknologi selalu mengandung risiko besar jika tidak
diatur secara etis dan politis.⁹ Situasi ini mencerminkan pola klasik Cassandra
paradox: peringatan valid yang dianggap alarmisme, hingga kemudian terbukti
benar ketika risiko telah berubah menjadi krisis nyata.
Relevansi
kontemporer Cassandra paradox semakin kompleks dalam era post-truth,
ketika opini publik lebih banyak dipengaruhi oleh emosi, ideologi, dan
disinformasi daripada oleh fakta.¹⁰ Dalam kondisi ini, suara para “Cassandra
modern” tidak hanya diabaikan, tetapi juga didiskreditkan melalui hoaks,
ujaran kebencian, atau propaganda digital.¹¹ Akibatnya, kebenaran kehilangan
otoritas epistemik, dan paradoks Cassandra menjadi semakin melekat pada
dinamika demokrasi kontemporer.
Dengan demikian,
relevansi Cassandra paradox dalam konteks modern tidak dapat dipisahkan dari
tantangan global yang dihadapi umat manusia. Ia menyingkap kelemahan mendasar
dalam mekanisme sosial, politik, dan epistemik yang gagal merespons kebenaran
tepat waktu. Oleh karena itu, memahami dan menginternalisasi pelajaran dari
Cassandra paradox menjadi penting, agar masyarakat tidak lagi mengulangi
tragedi lama: mengabaikan suara yang benar hingga hanya bisa menyesali
akibatnya.
Footnotes
[1]
Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 121–123.
[2]
Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 98–100.
[3]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change
2021: The Physical Science Basis (Cambridge: Cambridge University Press,
2021), 15–18.
[4]
Anthony Giddens, The Politics of Climate Change (Cambridge:
Polity Press, 2009), 35–37.
[5]
Michael T. Osterholm, Deadliest Enemy: Our War Against Killer Germs
(New York: Little, Brown, 2017), 144–147.
[6]
Richard Horton, The COVID-19 Catastrophe: What’s Gone Wrong and How
to Stop It Happening Again (Cambridge: Polity Press, 2020), 22–24.
[7]
Barry Buzan dan Ole Wæver, Regions and Powers: The Structure of
International Security (Cambridge: Cambridge University Press, 2003),
57–59.
[8]
Jack Snyder, Myths of Empire: Domestic Politics and International
Ambition (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 12–14.
[9]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 117–119.
[10]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 4–7.
[11]
Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward
an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg:
Council of Europe, 2017), 21–23.
10.
Sintesis dan Refleksi Filosofis
Paradoks Cassandra,
sebagaimana telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, bukan sekadar kisah
mitologis yang diwariskan dari peradaban Yunani kuno, tetapi sebuah alegori
yang menyimpan nilai epistemologis, psikologis, sosiologis, politis, dan bahkan
ilmiah-teknologis. Dalam perspektif sintesis, Cassandra paradox dapat dipahami
sebagai simbol keterputusan antara kebenaran dan penerimaan, antara pengetahuan
dan legitimasi sosial, serta antara suara individu dan struktur kekuasaan.¹ Ia
mengungkapkan problem mendasar dalam kondisi manusia: bahwa mengetahui sesuatu
tidak selalu berarti mampu meyakinkan orang lain, dan bahwa kebenaran dapat
berujung sia-sia jika teralienasi dari sistem sosial yang mengakuinya.²
Secara filosofis,
paradoks ini mengajak kita merenungkan kembali konsep pengetahuan sebagai
entitas yang tidak otonom. Dalam tradisi klasik, seperti yang dirumuskan oleh
Plato, pengetahuan dianggap sebagai justified true belief.³ Namun,
Cassandra paradox memperlihatkan keterbatasan definisi ini: walaupun suatu
keyakinan benar dan terjustifikasi, ia dapat kehilangan efek transformasional
ketika tidak diakui oleh komunitas epistemik. Di sinilah pentingnya
epistemologi sosial, yang menegaskan bahwa pengetahuan bukan hanya produk rasio
individual, tetapi juga hasil interaksi dalam ruang sosial dan politik.⁴
Refleksi filosofis
lainnya muncul dari dimensi etis Cassandra paradox. Thomas Nagel pernah
menekankan bahwa mengetahui sesuatu berarti juga memikul tanggung jawab moral
terhadap pengetahuan tersebut.⁵ Akan tetapi, tragedi Cassandra memperlihatkan
sebuah ironi: meskipun ia telah menjalankan tanggung jawabnya dengan
menyampaikan kebenaran, ia tetap dihukum oleh kutukan ketidakpercayaan. Hal ini
memunculkan pertanyaan mendalam: apakah kewajiban epistemik individu cukup
berarti tanpa adanya penerimaan kolektif? Di titik inilah, paradoks Cassandra
dapat dibaca sebagai kritik terhadap etika komunikasi dan politik pengetahuan,
yang sering kali gagal menjamin ruang bagi suara minoritas yang benar.
Lebih jauh,
Cassandra paradox mengandung refleksi eksistensial. Albert Camus menggambarkan
absurditas manusia sebagai kondisi ketika individu mencari makna dalam dunia
yang acapkali bisu terhadap pencariannya.⁶ Cassandra adalah simbol manusia yang
menyaksikan kebenaran, namun harus menanggung penderitaan karena kebenaran itu
ditolak. Dalam perspektif eksistensialisme, situasi ini menggambarkan dilema
universal: manusia hidup di antara pengetahuan dan keterasingan, di antara
kepastian pribadi dan ketidakpedulian kolektif.⁷
Dalam konteks
kontemporer, Cassandra paradox berfungsi sebagai cermin kritis terhadap
masyarakat modern yang kerap terjebak dalam bias, kepentingan politik, dan
disinformasi. Ketika ilmuwan, aktivis, atau intelektual publik berperan sebagai
“Cassandra modern,” tanggung jawab epistemik masyarakat menjadi lebih besar:
apakah kita akan mendengar peringatan tersebut, atau mengulang kesalahan Troya
yang membawa kehancuran?⁸ Refleksi ini menekankan pentingnya membangun budaya
epistemik yang lebih terbuka, adil, dan bertanggung jawab terhadap suara-suara
kritis, bahkan ketika pesan yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyamanan
kolektif.
Dengan demikian,
sintesis atas Cassandra paradox memperlihatkan bahwa tragedi Cassandra bukan
hanya kisah tentang kutukan mitologis, melainkan pelajaran filosofis yang tetap
relevan hingga kini. Ia mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak hanya
membutuhkan pembawa pesan yang berani, tetapi juga komunitas yang siap untuk
mendengarkan, mengakui, dan bertindak. Tanpa itu, kebenaran akan tetap menjadi
nubuat yang sia-sia, dan umat manusia akan terus mengulangi siklus tragedi yang
sama.
Footnotes
[1]
George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984),
189–191.
[2]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
[3]
Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 201–202.
[4]
Steve Fuller, Social Epistemology (Bloomington: Indiana
University Press, 1988), 29–31.
[5]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford
University Press, 1986), 118–120.
[6]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage
International, 1991), 28–30.
[7]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New York: Washington
Square Press, 1992), 621–623.
[8]
Naomi
Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York:
Bloomsbury Press, 2010), 169–175.
11.
Penutup
Paradoks Cassandra,
yang berakar dari mitologi Yunani kuno, terbukti memiliki daya hidup yang
panjang dan relevansi lintas zaman. Dari kisah seorang putri Troya yang
kebenarannya diabaikan, muncul suatu metafora universal mengenai ketegangan
antara pengetahuan, penerimaan, dan tindakan.¹ Kajian ini menunjukkan bahwa
Cassandra paradox bukan hanya simbol literer, tetapi juga cermin filosofis,
psikologis, sosiologis, politik, serta ilmiah-teknologis yang dapat membantu
kita memahami kegagalan kolektif dalam menanggapi kebenaran.²
Dari perspektif
epistemologi, Cassandra paradox menyingkap keterbatasan definisi klasik
pengetahuan sebagai justified true belief.³ Kebenaran
yang sudah terjustifikasi sekalipun tidak selalu memperoleh legitimasi sosial.
Dari sisi psikologis, fenomena ini memperlihatkan bagaimana bias kognitif dan
mekanisme emosional menghalangi individu maupun kelompok dalam menerima
informasi yang mengancam.⁴ Pada ranah sosiologis dan politik, Cassandra paradox
menggambarkan bagaimana struktur kekuasaan, ideologi, dan kepentingan ekonomi
dapat mengabaikan suara-suara kritis.⁵ Sementara itu, dalam bidang ilmiah dan
teknologi, Cassandra paradox mengingatkan kita pada pentingnya mendengarkan
peringatan dini dari ilmuwan, terutama dalam menghadapi isu perubahan iklim,
pandemi, dan risiko teknologi mutakhir.⁶
Refleksi filosofis
atas Cassandra paradox menegaskan bahwa tragedi Cassandra bukan hanya kisah
mitos, melainkan realitas yang berulang dalam sejarah manusia. Ia mengajarkan
bahwa kebenaran tidak cukup hanya untuk diketahui, tetapi juga harus
diperjuangkan agar diakui dan ditindaklanjuti.⁷ Oleh karena itu, membangun
budaya epistemik yang adil, terbuka, dan tanggap menjadi tantangan moral dan
sosial bagi masyarakat modern.⁸
Akhirnya, Cassandra
paradox memberi kita pelajaran penting: mengabaikan kebenaran sering kali lebih
berbahaya daripada menerima kebohongan. Tragedi Troya menjadi peringatan abadi
bahwa suara yang benar, sekalipun berasal dari pinggiran atau minoritas, layak
didengar. Jika masyarakat gagal mendengarkan “suara Cassandra” modern—dari
ilmuwan, aktivis, hingga intelektual kritis—maka sejarah akan terus berulang
dalam siklus penyesalan.⁹ Dengan demikian, menginternalisasi pelajaran dari
Cassandra paradox berarti meneguhkan komitmen untuk tidak lagi mengabaikan
kebenaran, betapapun sulit dan tidak menyenangkan ia terdengar.
Footnotes
[1]
Edith Hamilton, Mythology (Boston: Little, Brown and Company,
1942), 217.
[2]
George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984),
189–191.
[3]
Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 201–202.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 199–203.
[5]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.
[6]
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change
2021: The Physical Science Basis (Cambridge: Cambridge University Press,
2021), 15–18.
[7]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage
International, 1991), 28–30.
[8]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.
[9]
Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New
York: Bloomsbury Press, 2010), 169–175.
Daftar
Pustaka
Aeschylus. (1977). Agamemnon (R. Fagles,
Trans.). Penguin Classics.
Beck, A. T. (1976). Cognitive therapy and the
emotional disorders. International Universities Press.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The
social construction of reality. Anchor Books.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
dangers, strategies. Oxford University Press.
Boykoff, M. T., & Boykoff, J. M. (2004).
Balance as bias: Global warming and the U.S. prestige press. Global Environmental Change, 14(2), 125–136.
Burkert, W. (1985). Greek religion. Harvard
University Press.
Buzan, B., & Wæver, O. (2003). Regions and
powers: The structure of international security. Cambridge University
Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage International.
Castells, M. (2009). Communication power.
Oxford University Press.
Chilton, P. (1987). Metaphor, euphemism, and the
militarization of language. Current Research on Peace and Violence, 10(2),
7–19.
Code, L. (1991). What can she know? Feminist
theory and the construction of knowledge. Cornell University Press.
Collins, H., & Evans, R. (2007). Rethinking
expertise. University of Chicago Press.
Dancy, J. (1985). Introduction to contemporary
epistemology. Blackwell.
Foley, H. P. (2001). Female acts in Greek
tragedy. Princeton University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.
Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere: A
contribution to the critique of actually existing democracy. Social Text,
25/26, 56–80.
Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power
and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Fuller, S. (1988). Social epistemology.
Indiana University Press.
Funtowicz, S., & Ravetz, J. (1990). Uncertainty
and quality in science for policy. Springer.
Giddens, A. (2009). The politics of climate
change. Polity Press.
Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief
knowledge? Analysis, 23(6),
121–123.
Goldman, A. I. (1986). Epistemology and
cognition. Harvard University Press.
Goldman, A. I. (1999). Knowledge in a social
world. Clarendon Press.
Graves, R. (1960). The Greek myths (Vol. 2).
Penguin.
Hamilton, E. (1942). Mythology. Little,
Brown and Company.
Hansen, J. (1988, June 23). Testimony to the U.S.
Senate Committee on Energy and Natural Resources. Congressional Record,
102–103.
Homer. (1974). The Iliad (R. Fitzgerald,
Trans.). Farrar, Straus and Giroux.
Horton, R. (2020). The COVID-19 catastrophe:
What’s gone wrong and how to stop it happening again. Polity Press.
Intergovernmental Panel on Climate Change. (2021). Climate
change 2021: The physical science basis. Cambridge University Press.
Jasanoff, S. (1990). The fifth branch: Science
advisers as policymakers. Harvard University Press.
Jasanoff, S. (2004). States of knowledge: The
co-production of science and the social order. Routledge.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kerenyi, K. (1951). The gods of the Greeks.
Thames and Hudson.
Klein, M. (1997). Narrative of Cassandra
syndrome. Routledge.
Mannheim, K. (1936). Ideology and utopia: An introduction
to the sociology of knowledge. Harcourt, Brace & World.
May, R. (1983). The discovery of being. W.W.
Norton.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Merton, R. K. (1948). The self-fulfilling prophecy.
The Antioch Review, 8(2), 193–210.
Mileti, D. S., & Sorensen, J. H. (1990). Communication
of emergency public warnings: A social science perspective. Oak Ridge
National Laboratory.
Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism:
A very short introduction. Oxford University Press.
Müller, J.-W. (2016). What is populism?
University of Pennsylvania Press.
Nagel, T. (1986). The view from nowhere.
Oxford University Press.
Nisbet, M. C. (2009). Communicating climate change:
Why frames matter for public engagement. Environment: Science and Policy for Sustainable Development, 51(2), 12–23.
Noelle-Neumann, E. (1984). The spiral of
silence: Public opinion – our social skin. University of Chicago Press.
Norris, C. (1990). What’s wrong with
postmodernism: Critical theory and the ends of philosophy. Johns Hopkins
University Press.
Oreskes, N. (2019). Why trust science?
Princeton University Press.
Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants
of doubt. Bloomsbury Press.
Osterholm, M. T. (2017). Deadliest enemy: Our
war against killer germs. Little, Brown.
Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett,
Trans.). Hackett Publishing.
Rabinowitz, N. S. (1993). Anxiety veiled:
Euripides and the traffic in women. Cornell University Press.
Rescher, N. (2001). Paradoxes: Their roots,
range, and resolution. Open Court.
Roubini, N., & Mihm, S. (2010). Crisis
economics: A crash course in the future of finance. Penguin Press.
Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness.
Washington Square Press.
Schapira, L. L. (1988). The Cassandra complex:
Living with disbelief. Inner City Books.
Slovic, P. (1987). Perception of risk. Science, 236(4799), 280–285.
Smelser, N. J. (1962). Theory of collective
behavior. Free Press.
Steiner, G. (1984). Antigones. Clarendon
Press.
Tannen, D. (1990). You just don’t understand:
Women and men in conversation. Ballantine.
Vernant, J.-P. (1990). Myth and tragedy in
ancient Greece. Zone Books.
Virgil. (1990). The Aeneid (R. Fitzgerald,
Trans.). Vintage Classics.
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information
disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making.
Council of Europe.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar