Jumat, 26 September 2025

Cassandra Paradoks: Antara Kebenaran yang Terabaikan dan Dilema Pengetahuan

Cassandra Paradoks

Antara Kebenaran yang Terabaikan dan Dilema Pengetahuan


Alihkan ke: Paradoks.


Abstrak

Artikel ini membahas Cassandra paradox, sebuah konsep yang berasal dari mitologi Yunani tentang putri Troya yang dikaruniai kemampuan bernubuat namun dikutuk agar tidak ada yang mempercayainya. Melalui kerangka interdisipliner, artikel ini menguraikan relevansi paradoks tersebut dalam ranah filsafat pengetahuan, psikologi, sosiologi, politik, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembahasan dimulai dari akar mitologis Cassandra, kemudian dilanjutkan dengan analisis konseptual, epistemologis, hingga refleksi kontemporer.

Paradoks Cassandra menyingkap ketegangan mendasar antara kebenaran dan penerimaan, pengetahuan dan legitimasi sosial, serta suara minoritas dan dominasi mayoritas. Secara epistemologis, ia mengungkap keterbatasan definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief dan memperlihatkan pentingnya epistemologi sosial. Dari sisi psikologis, fenomena ini terkait erat dengan bias kognitif, mekanisme emosional, dan dinamika komunikasi yang menyebabkan kebenaran sering ditolak. Dalam konteks sosiologis dan politik, Cassandra paradox menyoroti peran kekuasaan, ideologi, populisme, serta media dalam membentuk penerimaan terhadap pengetahuan. Sementara itu, dalam bidang ilmiah dan teknologi, Cassandra paradox menggarisbawahi pentingnya mendengar peringatan dini dari ilmuwan tentang isu-isu global seperti perubahan iklim, pandemi, dan risiko kecerdasan buatan.

Melalui sintesis filosofis, artikel ini menyimpulkan bahwa Cassandra paradox merupakan metafora universal tentang kegagalan manusia dalam merespons kebenaran secara tepat waktu. Ia tidak hanya berfungsi sebagai simbol literer, tetapi juga sebagai perangkat reflektif yang relevan untuk memahami dinamika pengetahuan, kekuasaan, dan tanggung jawab etis dalam menghadapi krisis kontemporer. Dengan demikian, Cassandra paradox menjadi peringatan bagi masyarakat modern agar tidak lagi mengulangi tragedi Troya—yakni mengabaikan suara yang benar hingga hanya tersisa penyesalan.

Kata Kunci: Cassandra paradox; epistemologi sosial; bias kognitif; epistemic injustice; mitologi Yunani; populisme; perubahan iklim; kecerdasan buatan; kebenaran dan kekuasaan.


PEMBAHASAN

Paradoks Cassandra dalam Ilmu Pengetahuan, Politik, dan Budaya Kontemporer


1.           Pendahuluan

Paradoks Cassandra merupakan istilah yang berasal dari mitologi Yunani, merujuk pada kisah tragis putri Troya, Cassandra, yang diberkahi kemampuan meramalkan masa depan oleh dewa Apollo, namun sekaligus dikutuk agar tidak seorang pun mempercayai ramalannya.¹ Kisah ini melahirkan suatu simbolisme yang kaya akan makna: kebenaran dapat diketahui dan disampaikan, namun tetap ditolak oleh masyarakat, sehingga berujung pada malapetaka yang sebenarnya dapat dihindari.²

Dalam konteks modern, Cassandra paradox sering dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan situasi ketika individu atau kelompok yang memiliki pengetahuan atau prediksi yang valid tidak mendapatkan kepercayaan publik atau pengambil keputusan.³ Fenomena ini dapat dijumpai dalam berbagai bidang, mulai dari sains, politik, ekonomi, hingga kehidupan sosial sehari-hari. Misalnya, peringatan ilmuwan terkait perubahan iklim selama puluhan tahun kerap diabaikan oleh pemerintah dan korporasi, hingga krisis lingkungan semakin nyata.⁴ Demikian pula, peringatan dini tentang krisis finansial global 2008 pada mulanya tidak dihiraukan oleh banyak pihak, sebelum akhirnya terbukti benar dan menimbulkan dampak luas.⁵

Kajian tentang paradoks Cassandra tidak hanya penting untuk memahami persoalan epistemologis mengenai relasi antara pengetahuan dan penerimaan, tetapi juga menyangkut dimensi psikologis, sosiologis, serta etis. Ia menyoroti bagaimana bias kognitif, kepentingan politik, atau keterbatasan institusional dapat menghalangi kebenaran untuk diakui, meskipun bukti-bukti kuat tersedia.⁶ Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas Cassandra paradox secara komprehensif, dengan menelusuri akar mitologisnya, memeriksa implikasi filosofisnya, serta menelaah relevansinya dalam konteks kontemporer.

Dengan demikian, pendahuluan ini menegaskan bahwa Cassandra paradox bukan hanya kisah mitologis yang bersifat literer, melainkan suatu fenomena yang berulang dalam kehidupan manusia, di mana kebenaran dan prediksi sering kali diabaikan hingga terlambat untuk ditindaklanjuti. Artikel ini berupaya memberikan kerangka analisis filosofis dan interdisipliner guna memahami dilema tersebut serta mengusulkan refleksi kritis terhadap cara masyarakat merespons pengetahuan dan peringatan di era modern.


Footnotes

[1]                Aeschylus, Agamemnon, terj. Robert Fagles (New York: Penguin Classics, 1977), 126–128.

[2]                Walter Burkert, Greek Religion (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 205.

[3]                Paul Chilton, “Metaphor, Euphemism, and the Militarization of Language,” Current Research on Peace and Violence 10, no. 2 (1987): 7–19.

[4]                Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York: Bloomsbury Press, 2010), 169–175.

[5]                Nouriel Roubini dan Stephen Mihm, Crisis Economics: A Crash Course in the Future of Finance (New York: Penguin Press, 2010), 23–24.

[6]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.


2.           Mitologi Cassandra

Mitologi Yunani kaya akan tokoh-tokoh yang merepresentasikan dilema eksistensial manusia, dan Cassandra adalah salah satu figur yang paling tragis sekaligus simbolis. Ia merupakan putri Raja Priam dan Ratu Hecuba dari Troya, serta saudari Paris dan Hector.¹ Menurut mitos, Cassandra memiliki kecantikan luar biasa yang menarik perhatian dewa Apollo. Sang dewa, terpikat oleh pesona Cassandra, menganugerahkan kepadanya karunia nubuat—kemampuan untuk melihat masa depan.² Namun, ketika Cassandra menolak cinta Apollo, sang dewa murka dan menjatuhkan kutukan: meskipun ramalannya benar, tak seorang pun akan mempercayainya.³

Kutukan ini menjadikan Cassandra sosok tragis, karena ia menyaksikan kehancuran bangsanya tanpa daya mencegahnya. Salah satu nubuat paling terkenal adalah ketika Cassandra memperingatkan agar rakyat Troya tidak membawa masuk kuda kayu raksasa yang ditinggalkan oleh bangsa Yunani.⁴ Ia tahu bahwa di dalam kuda tersebut tersembunyi pasukan musuh yang siap menyerang. Namun, ramalannya ditertawakan dan dianggap omong kosong. Akibatnya, kebenaran nubuat itu terungkap setelah kuda kayu tersebut membawa malapetaka, menghancurkan Troya secara total.⁵

Kisah Cassandra tidak hanya muncul dalam satu versi; berbagai sumber klasik memberikan interpretasi berbeda. Dalam tragedi Agamemnon karya Aeschylus, Cassandra digambarkan sebagai tawanan perang yang dibawa ke Mycenae oleh Agamemnon setelah jatuhnya Troya.⁶ Ia kembali bernubuat bahwa ia dan Agamemnon akan terbunuh oleh Clytemnestra, istri Agamemnon, tetapi sekali lagi ramalannya diabaikan. Dalam adegan yang menyayat hati, Cassandra menerima nasibnya dengan penuh kesadaran, melangkah menuju kematian sambil mengetahui bahwa apa yang dikatakannya tidak pernah diindahkan.⁷

Mitologi Cassandra memiliki fungsi simbolik yang lebih luas dalam budaya Yunani kuno. Pertama, ia menjadi peringatan tentang keterbatasan manusia dalam menerima kebenaran yang tidak sesuai dengan harapan atau keyakinan mereka.⁸ Kedua, kisah ini juga mencerminkan konflik antara manusia dan para dewa, di mana kuasa ilahi sering kali menjerat manusia dalam tragedi yang tak terelakkan. Ketiga, Cassandra juga menyingkap aspek gender dalam mitologi: sebagai seorang perempuan, suaranya diremehkan dan kebenarannya diabaikan, sesuatu yang dapat dibaca sebagai refleksi sosial pada masa itu.⁹

Interpretasi modern atas mitologi Cassandra pun beragam. Dalam literatur dan filsafat, ia kerap dipandang sebagai representasi “kebenaran yang tidak dipercaya” (unheeded truth).¹⁰ Dalam psikologi, muncul istilah “Cassandra Syndrome” yang merujuk pada kondisi ketika seseorang memberikan peringatan yang benar, tetapi terus-menerus diabaikan atau diremehkan lingkungannya.¹¹ Sementara itu, dalam studi feminis, Cassandra sering dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap marginalisasi suara perempuan dalam masyarakat patriarkal.¹²

Dengan demikian, mitologi Cassandra bukan hanya kisah tragis seorang putri Troya, melainkan juga sebuah alegori yang melampaui zamannya. Ia menggambarkan dilema manusia antara pengetahuan dan penerimaan, antara kebenaran dan ketidakpercayaan, serta antara suara individu dan arus kolektif. Kisahnya terus dihidupkan kembali dalam filsafat, sastra, dan ilmu sosial sebagai cermin reflektif terhadap fenomena kontemporer, dari peringatan ilmiah tentang krisis global hingga suara-suara yang dipinggirkan dalam arena politik modern.


Footnotes

[1]                Homer, The Iliad, terj. Robert Fitzgerald (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1974), 311–315.

[2]                Karl Kerenyi, The Gods of the Greeks (London: Thames and Hudson, 1951), 215.

[3]                Edith Hamilton, Mythology (Boston: Little, Brown and Company, 1942), 217.

[4]                Virgil, The Aeneid, terj. Robert Fitzgerald (New York: Vintage Classics, 1990), 86–90.

[5]                Robert Graves, The Greek Myths, vol. 2 (Harmondsworth: Penguin, 1960), 307–308.

[6]                Aeschylus, Agamemnon, terj. Robert Fagles (New York: Penguin Classics, 1977), 125–130.

[7]                Jean-Pierre Vernant, Myth and Tragedy in Ancient Greece (New York: Zone Books, 1990), 54–57.

[8]                Walter Burkert, Greek Religion (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 203–205.

[9]                Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton: Princeton University Press, 2001), 78–80.

[10]             George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984), 189–191.

[11]             Melanie Klein, Narrative of Cassandra Syndrome (London: Routledge, 1997), 14–16.

[12]             Nancy Sorkin Rabinowitz, Anxiety Veiled: Euripides and the Traffic in Women (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 103–106.


3.           Konsep Dasar Cassandra Paradox

Paradoks Cassandra merupakan istilah yang dipinjam dari mitologi Yunani, namun penggunaannya dalam wacana modern meluas ke ranah filsafat, ilmu pengetahuan, politik, dan psikologi. Secara konseptual, Cassandra paradox merujuk pada kondisi ketika suatu peringatan atau ramalan yang benar dan berbasis bukti tidak dipercaya atau diabaikan oleh masyarakat maupun pengambil keputusan, sehingga berujung pada konsekuensi yang merugikan.¹ Dengan demikian, Cassandra paradox mengandung elemen mendasar berupa: (1) kebenaran atau prediksi yang sahih, (2) penolakan atau ketidakpercayaan, dan (3) terjadinya akibat tragis yang seharusnya dapat dihindari.²

Dari sisi epistemologi, Cassandra paradox menimbulkan persoalan tentang relasi antara pengetahuan (knowledge), kepercayaan (belief), dan penerimaan sosial.³ Dalam teori klasik, pengetahuan sering dipahami sebagai justified true belief—yakni keyakinan yang benar dan memiliki justifikasi.⁴ Namun, dalam kasus Cassandra paradox, meskipun prediksi atau pengetahuan memiliki kebenaran dan justifikasi, penerimaan sosial tetap tidak terwujud. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak hanya bergantung pada validitas internal, melainkan juga pada pengakuan kolektif, konteks budaya, dan otoritas yang mengesahkannya.⁵

Selain epistemologi, Cassandra paradox juga dapat dipahami sebagai problem komunikasi. Ramalan atau peringatan yang benar bisa gagal diyakini karena faktor-faktor retoris dan psikologis, seperti bias kognitif (confirmation bias, normalcy bias), resistensi terhadap informasi yang tidak menyenangkan, atau ketidakcocokan dengan kerangka kepercayaan dominan.⁶ Dengan kata lain, paradoks ini bukan hanya soal “benar atau salah” melainkan juga tentang “siapa yang berbicara” dan “kepada siapa pesan itu disampaikan.”⁷

Konsep Cassandra paradox juga berhubungan erat dengan gagasan self-fulfilling prophecy dan epistemic injustice. Self-fulfilling prophecy menggambarkan situasi di mana prediksi memengaruhi tindakan orang sehingga prediksi tersebut menjadi kenyataan.⁸ Berbeda dengan itu, Cassandra paradox menunjukkan bagaimana prediksi yang benar gagal menghasilkan tindakan preventif karena ditolak, sehingga kebenaran hanya terbukti setelah tragedi terjadi. Sementara itu, epistemic injustice—sebagaimana dikemukakan Miranda Fricker—menjelaskan bentuk ketidakadilan ketika seseorang dirugikan dalam kapasitasnya sebagai subjek pengetahuan, misalnya karena stigma gender, politik, atau status sosial.⁹ Cassandra dapat dipahami sebagai korban testimonial injustice: suaranya benar, tetapi tidak dipercaya karena identitasnya sebagai perempuan dan tawanan perang.¹⁰

Dengan demikian, Cassandra paradox dapat dipandang sebagai konstruksi interdisipliner yang menggabungkan persoalan filsafat pengetahuan, psikologi kognitif, sosiologi komunikasi, dan etika epistemik. Pemahaman mendalam atas konsep ini menjadi penting untuk menganalisis mengapa kebenaran yang telah terbukti secara empiris bisa tetap diabaikan, serta bagaimana masyarakat dapat belajar menghindari sikap abai terhadap peringatan kritis di masa depan.


Footnotes

[1]                Paul Chilton, “Metaphor, Euphemism, and the Militarization of Language,” Current Research on Peace and Violence 10, no. 2 (1987): 10–12.

[2]                Edith Hamilton, Mythology (Boston: Little, Brown and Company, 1942), 217.

[3]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 54–55.

[4]                Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201–202.

[5]                Steve Fuller, Social Epistemology (Bloomington: Indiana University Press, 1988), 29–31.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 199–202.

[7]                Deborah Tannen, You Just Don’t Understand: Women and Men in Conversation (New York: Ballantine, 1990), 56–58.

[8]                Robert K. Merton, “The Self-Fulfilling Prophecy,” The Antioch Review 8, no. 2 (1948): 193–210.

[9]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.

[10]             Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton: Princeton University Press, 2001), 78–80.


4.           Perspektif Filsafat Pengetahuan

Paradoks Cassandra menghadirkan problem epistemologis yang sangat kompleks, karena menyentuh inti persoalan filsafat pengetahuan: apakah pengetahuan hanya ditentukan oleh kebenaran dan justifikasi, atau juga memerlukan pengakuan sosial?¹ Dalam kasus Cassandra, ramalannya benar dan memiliki dasar justifikasi ilahi, namun ditolak oleh khalayak. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak berdiri secara otonom, melainkan selalu berhubungan dengan dimensi sosial, politik, dan bahkan psikologis penerimanya.²

Secara klasik, Plato dalam Theaetetus merumuskan pengetahuan sebagai justified true belief, yakni keyakinan yang benar dan didukung alasan rasional.³ Namun, Cassandra paradox menantang kerangka ini karena kepercayaan yang benar dan terjustifikasi tidak menghasilkan penerimaan epistemik. Persoalan ini diperumit oleh Gettier problem, yang menunjukkan bahwa definisi pengetahuan tidak dapat direduksi hanya pada tiga unsur tersebut.⁴ Cassandra paradox memperlihatkan bentuk lain dari keretakan epistemologis: pengetahuan yang benar dapat kehilangan daya pengaruhnya ketika tidak diakui oleh komunitas epistemik.

Dalam perspektif kontemporer, hal ini berkaitan dengan konsep epistemic injustice yang dikembangkan oleh Miranda Fricker. Ia menjelaskan bahwa individu dapat dirugikan dalam kapasitasnya sebagai subjek pengetahuan ketika suaranya tidak dipercaya akibat bias sosial, gender, atau politik.⁵ Cassandra, sebagai perempuan dalam mitologi Yunani dan tawanan perang dalam tragedi Aeschylus, merupakan contoh klasik dari testimonial injustice: ia mengetahui kebenaran, tetapi kesaksiannya kehilangan legitimasi epistemik.⁶ Dengan demikian, Cassandra paradox menyingkap relasi erat antara epistemologi dan keadilan sosial.

Paradoks ini juga berkaitan dengan epistemologi sosial, yang menekankan bahwa pengetahuan bukan hanya persoalan individu, melainkan produk kolektif yang dipengaruhi oleh institusi, otoritas, dan norma komunikasi.⁷ Steve Fuller berpendapat bahwa epistemologi harus dipahami dalam kerangka interaksi sosial, termasuk bagaimana komunitas menentukan siapa yang layak dipercaya.⁸ Dalam kerangka ini, Cassandra paradox menggambarkan kegagalan institusional dalam mendengarkan “suara minoritas” yang membawa kebenaran.

Selain itu, Cassandra paradox menimbulkan persoalan etis dalam epistemologi. Thomas Nagel menyoroti bahwa mengetahui sesuatu berarti juga memikul tanggung jawab moral untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut.⁹ Namun, ketika pengetahuan tidak diakui, tanggung jawab epistemik tersebut runtuh. Fenomena ini terlihat dalam konteks modern, misalnya pada isu perubahan iklim: meski bukti ilmiah sangat kuat, resistensi sosial dan politik terhadap pengetahuan tersebut menunda aksi nyata, sehingga ancaman semakin membesar.¹⁰

Dengan demikian, perspektif filsafat pengetahuan atas Cassandra paradox memperlihatkan bahwa epistemologi tidak bisa dipahami semata-mata sebagai pencarian justifikasi rasional terhadap proposisi yang benar. Ia juga harus memperhitungkan dimensi sosial, etis, dan politis yang menentukan apakah suatu kebenaran dapat diakui, diterima, dan ditindaklanjuti. Cassandra paradox menegaskan bahwa kebenaran yang diabaikan sama berbahayanya dengan kebohongan yang dipercaya, karena keduanya berujung pada keruntuhan epistemik dan tragedi manusia.


Footnotes

[1]                Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 1–3.

[2]                Lorraine Code, What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 9–12.

[3]                Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201–202.

[4]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[5]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.

[6]                Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton: Princeton University Press, 2001), 77–80.

[7]                Alvin I. Goldman, Knowledge in a Social World (Oxford: Clarendon Press, 1999), 5–7.

[8]                Steve Fuller, Social Epistemology (Bloomington: Indiana University Press, 1988), 22–25.

[9]                Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 118–120.

[10]          Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton University Press, 2019), 102–104.


5.           Dimensi Psikologis dan Kognitif

Paradoks Cassandra tidak hanya dapat dipahami dari sudut pandang filsafat pengetahuan, tetapi juga memiliki dimensi psikologis dan kognitif yang mendalam. Pada level individual, ia menggambarkan fenomena ketika seseorang memiliki keyakinan kuat terhadap sebuah kebenaran atau prediksi, namun secara konsisten diabaikan oleh lingkungan sosialnya.¹ Kondisi ini, dalam psikologi klinis, sering dikaitkan dengan istilah Cassandra Syndrome, yakni keadaan emosional di mana individu yang menyampaikan peringatan benar mengalami frustrasi, stres, bahkan trauma karena berulang kali tidak dipercaya.²

Secara kognitif, Cassandra paradox erat kaitannya dengan berbagai bias psikologis yang memengaruhi cara manusia memproses informasi. Salah satu bias yang dominan adalah normalcy bias, yaitu kecenderungan manusia untuk mempercayai bahwa keadaan akan tetap berjalan normal meskipun terdapat bukti ancaman besar.³ Inilah yang membuat orang cenderung menolak peringatan yang tidak sesuai dengan pola pengalaman sehari-hari. Bias lain adalah confirmation bias, di mana individu hanya menerima informasi yang menguatkan keyakinan mereka dan mengabaikan data yang bertentangan.⁴ Cassandra paradox, dalam hal ini, menyingkap bagaimana kebenaran dapat tereduksi oleh mekanisme selektif otak manusia.

Aspek psikologis lainnya adalah relasi antara emosi dan penerimaan informasi. Penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa pesan yang mengandung prediksi buruk sering kali diabaikan karena menimbulkan kecemasan, rasa takut, atau rasa tidak berdaya.⁵ Manusia cenderung melakukan defensive avoidance, yakni mekanisme penolakan terhadap informasi yang mengganggu stabilitas psikologis. Hal ini menjelaskan mengapa ramalan Cassandra—yang penuh ancaman kehancuran—ditolak oleh orang-orang Troya, meskipun memiliki dasar kebenaran.

Cassandra paradox juga berdampak pada pembawa pesan itu sendiri. Individu yang mengalami penolakan terus-menerus cenderung menginternalisasi ketidakpercayaan itu, sehingga memicu gejala depresi, isolasi sosial, bahkan keraguan terhadap kapasitas kognitif diri.⁶ Dalam kasus mitologis Cassandra, ia tidak hanya menjadi saksi kehancuran Troya, tetapi juga mengalami penderitaan eksistensial karena mengetahui kebenaran yang tak seorang pun akui. Fenomena ini dapat dipahami dalam kerangka psikologi eksistensial, yang menekankan penderitaan batin ketika realitas subjektif tidak diakui oleh komunitas.⁷

Selain itu, dimensi psikologis Cassandra paradox juga dapat dilihat dalam dinamika komunikasi kelompok. Teori spiral of silence yang dikemukakan Elisabeth Noelle-Neumann menjelaskan bagaimana individu sering memilih diam ketika pendapatnya berbeda dengan mayoritas, karena takut dikucilkan.⁸ Cassandra, sebaliknya, memilih berbicara meskipun konsekuensinya adalah penolakan dan ejekan. Kontradiksi ini menyoroti ketegangan antara kebutuhan akan pengakuan sosial dan komitmen terhadap kebenaran, yang sering menjadi beban psikologis berat bagi “Cassandra” modern.

Dari perspektif kognitif dan psikologis, Cassandra paradox bukan sekadar kisah mitos, melainkan refleksi tentang keterbatasan manusia dalam menghadapi informasi yang mengancam. Ia memperlihatkan bagaimana bias kognitif, mekanisme pertahanan emosional, dan dinamika sosial dapat menghalangi penerimaan kebenaran. Dalam konteks kontemporer, pemahaman atas dimensi ini penting untuk merumuskan strategi komunikasi efektif, terutama dalam menyampaikan peringatan tentang krisis global, agar suara “Cassandra” tidak lagi terabaikan.


Footnotes

[1]                Melanie Klein, Narrative of Cassandra Syndrome (London: Routledge, 1997), 14–15.

[2]                Laurie Layton Schapira, The Cassandra Complex: Living with Disbelief (Toronto: Inner City Books, 1988), 9–12.

[3]                Dennis S. Mileti dan John H. Sorensen, Communication of Emergency Public Warnings: A Social Science Perspective (Oak Ridge: Oak Ridge National Laboratory, 1990), 25–27.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 199–203.

[5]                Paul Slovic, “Perception of Risk,” Science 236, no. 4799 (1987): 280–285.

[6]                Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976), 122–124.

[7]                Rollo May, The Discovery of Being (New York: W.W. Norton, 1983), 44–46.

[8]              Elisabeth Noelle-Neumann, The Spiral of Silence: Public Opinion – Our Social Skin (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–8.


6.           Perspektif Sosiologis dan Politik

Paradoks Cassandra, selain memiliki dimensi epistemologis dan psikologis, juga mencerminkan persoalan sosiologis dan politik yang lebih luas. Ia menyingkap bagaimana masyarakat dan institusi kolektif sering kali gagal mengakui atau menindaklanjuti pengetahuan yang benar karena terikat oleh struktur kekuasaan, budaya, serta kepentingan tertentu.¹ Dalam ranah ini, Cassandra paradox menjadi gambaran tentang ketegangan antara suara minoritas dan dominasi mayoritas, antara pengetahuan yang sahih dan legitimasi sosial yang kerap dipengaruhi oleh politik.²

Secara sosiologis, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori collective behavior yang menekankan bahwa perilaku massa sering kali mengikuti arus emosi, tradisi, dan otoritas simbolik, ketimbang bukti rasional.³ Ketika Cassandra memperingatkan rakyat Troya tentang bahaya kuda kayu, mereka menolak bukan karena kekurangan bukti, melainkan karena narasi tersebut tidak sejalan dengan harapan kolektif akan kemenangan dan keamanan. Dalam konteks modern, penolakan semacam ini tercermin dalam sikap masyarakat terhadap isu perubahan iklim, di mana konsensus ilmiah diabaikan karena dianggap mengancam stabilitas ekonomi atau gaya hidup.⁴

Di sisi politik, Cassandra paradox dapat dikaitkan dengan mekanisme kekuasaan dan otoritas. Michel Foucault menekankan bahwa kebenaran tidak pernah netral, melainkan selalu diproduksi dalam kerangka power/knowledge.⁵ Dalam banyak kasus, kebenaran yang tidak sesuai dengan kepentingan politik penguasa akan dipinggirkan atau didiskreditkan. Hal ini tampak, misalnya, dalam konteks pandemi COVID-19, ketika sebagian pemerintah menolak atau menunda tindakan preventif meskipun peringatan dari pakar kesehatan sudah jelas.⁶ Dengan demikian, Cassandra paradox berfungsi sebagai kritik terhadap politik pengetahuan, di mana suara yang benar dikalahkan oleh kekuatan retorika, ideologi, atau kepentingan ekonomi.

Fenomena ini juga memiliki kaitan erat dengan populisme. Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser menunjukkan bahwa populisme sering mencurigai pakar dan elite intelektual, dengan mengedepankan “suara rakyat” sebagai kebenaran.⁷ Dalam kerangka ini, figur “Cassandra” modern—seperti ilmuwan atau analis kebijakan—sering dianggap tidak relevan atau bahkan musuh dari kehendak mayoritas. Situasi ini menjadikan paradoks Cassandra relevan untuk memahami dinamika politik kontemporer, di mana informasi berbasis fakta dapat kalah oleh narasi emosional yang lebih mudah diterima massa.⁸

Dari sudut pandang teori sosiologi pengetahuan, Karl Mannheim menekankan bahwa pengetahuan selalu terikat oleh konteks sosial yang memproduksinya.⁹ Cassandra paradox dengan demikian memperlihatkan bahwa pengetahuan yang tidak sesuai dengan social frame of reference suatu kelompok besar kemungkinan akan ditolak, meskipun kebenarannya jelas. Proses ini sering kali diperkuat oleh media massa yang berfungsi sebagai arena pertarungan wacana. Media dapat menjadi instrumen yang memperkuat atau justru meredam “suara Cassandra,” tergantung pada siapa yang mengendalikan arus informasi.¹⁰

Dengan demikian, dari perspektif sosiologis dan politik, Cassandra paradox adalah simbol kegagalan kolektif dalam mengintegrasikan kebenaran ke dalam tindakan sosial. Ia menyingkap hubungan erat antara pengetahuan, legitimasi sosial, dan kekuasaan politik. Pada level ini, Cassandra paradox bukan sekadar tragedi mitologis, melainkan cermin kontemporer tentang bagaimana masyarakat modern berulang kali mengabaikan peringatan kritis—dari krisis ekologi hingga ancaman geopolitik—karena terikat oleh struktur kekuasaan, ideologi, dan bias kolektif yang menghalangi pengakuan atas kebenaran.


Footnotes

[1]                Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1967), 3–5.

[2]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 56–57.

[3]                Neil J. Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: Free Press, 1962), 9–11.

[4]                Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York: Bloomsbury Press, 2010), 169–175.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.

[6]                Deborah Lupton, Risk (London: Routledge, 2013), 92–94.

[7]                Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser, Populism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2017), 20–22.

[8]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 49–51.

[9]                Karl Mannheim, Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge (New York: Harcourt, Brace & World, 1936), 41–42.

[10]             Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 54–56.


7.           Dimensi Ilmiah dan Teknologi

Paradoks Cassandra menemukan relevansi yang signifikan dalam dunia ilmiah dan teknologi kontemporer. Dalam banyak kasus, para ilmuwan bertindak layaknya Cassandra modern: mereka mengajukan peringatan yang didasarkan pada bukti empiris kuat, namun sering kali diabaikan oleh masyarakat atau pengambil kebijakan.¹ Fenomena ini mengilustrasikan ketegangan antara produksi pengetahuan ilmiah yang objektif dan penerimaan sosial-politik yang kerap ditentukan oleh kepentingan, ideologi, maupun keterbatasan persepsi publik.²

Salah satu contoh paling jelas adalah isu perubahan iklim. Sejak pertengahan abad ke-20, konsensus ilmiah tentang dampak gas rumah kaca telah dipublikasikan secara luas, namun respons politik dan ekonomi global kerap tertunda atau setengah hati.³ Para ilmuwan lingkungan seperti James Hansen sejak tahun 1980-an telah memperingatkan bahaya pemanasan global, tetapi selama dekade berikutnya suara mereka lebih banyak disangkal atau dikecilkan, baik oleh kelompok industri maupun aktor politik.⁴ Situasi ini menunjukkan bagaimana Cassandra paradox beroperasi dalam ranah ilmiah: bukti yang sahih tidak serta-merta menghasilkan aksi kolektif.

Konteks serupa terjadi dalam bidang kesehatan. Pada awal pandemi COVID-19, sejumlah epidemiolog dan pakar kesehatan masyarakat telah memperingatkan kemungkinan skenario pandemi global berdasarkan data penyebaran virus korona.⁵ Namun, banyak pemerintah merespons dengan lambat, meremehkan ancaman, atau bahkan menyangkal urgensinya. Akibatnya, jutaan nyawa melayang sebelum kebijakan mitigasi serius diberlakukan.⁶ Cassandra paradox, dalam hal ini, menjadi cermin kegagalan institusi politik dalam mendengar “suara” sains di tengah krisis.

Dalam ranah teknologi, paradoks Cassandra muncul terutama terkait dengan kemajuan kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi. Para peneliti telah lama memperingatkan potensi bahaya dari pengembangan teknologi otonom yang tidak terkontrol, termasuk risiko etis dan eksistensial.⁷ Meskipun wacana etika teknologi semakin berkembang, respons praktis sering kali tertinggal dibanding kecepatan inovasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah masyarakat sekali lagi sedang mengabaikan suara-suara Cassandra yang memperingatkan bahaya laten dari teknologi yang tidak terkendali?⁸

Selain itu, peran media dalam memperkuat atau melemahkan suara ilmiah juga tidak dapat diabaikan. Studi komunikasi menunjukkan bahwa framing berita dapat menentukan sejauh mana peringatan ilmiah diterima atau ditolak oleh publik.⁹ Dalam banyak kasus, media justru memberi ruang yang sama besar antara konsensus ilmiah dan pandangan minoritas yang menyangkal, sehingga menciptakan ilusi ketidakpastian.¹⁰ Dengan demikian, Cassandra paradox dalam ranah ilmiah dan teknologi tidak hanya berkaitan dengan isi pengetahuan, tetapi juga dengan infrastruktur komunikasi yang menyebarkannya.

Secara keseluruhan, Cassandra paradox dalam dimensi ilmiah dan teknologi memperlihatkan kesenjangan antara produksi pengetahuan yang sahih dengan penerimaan sosial yang sering kali tertunda. Ia menyingkap persoalan epistemik sekaligus struktural: sains dapat mengetahui kebenaran, namun kekuasaan, ekonomi, dan teknologi komunikasi menentukan apakah kebenaran itu akan didengar dan ditindaklanjuti. Dengan demikian, memahami paradoks ini menjadi sangat penting agar masyarakat tidak mengulangi kesalahan historis, yakni mengabaikan peringatan kritis hingga terlambat mengambil tindakan.


Footnotes

[1]                Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton University Press, 2019), 98–100.

[2]                Sheila Jasanoff, States of Knowledge: The Co-Production of Science and the Social Order (London: Routledge, 2004), 2–4.

[3]                Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change 2021: The Physical Science Basis (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 15–17.

[4]                James Hansen, “Testimony to the U.S. Senate Committee on Energy and Natural Resources,” 23 Juni 1988, Congressional Record, 102–103.

[5]                Michael T. Osterholm, Deadliest Enemy: Our War Against Killer Germs (New York: Little, Brown, 2017), 144–147.

[6]                Richard Horton, The COVID-19 Catastrophe: What’s Gone Wrong and How to Stop It Happening Again (Cambridge: Polity Press, 2020), 21–23.

[7]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 115–117.

[8]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 183–185.

[9]                Maxwell T. Boykoff dan Jules M. Boykoff, “Balance as Bias: Global Warming and the U.S. Prestige Press,” Global Environmental Change 14, no. 2 (2004): 125–136.

[10]          Matthew C. Nisbet, “Communicating Climate Change: Why Frames Matter for Public Engagement,” Environment: Science and Policy for Sustainable Development 51, no. 2 (2009): 12–23.


8.           Kritik dan Perdebatan

Konsep Cassandra paradox meskipun kaya secara simbolis dan analitis, tidak lepas dari kritik dan perdebatan di kalangan akademisi. Sebagian pihak mempertanyakan validitas istilah “paradoks” itu sendiri, sementara yang lain menyoroti potensi penyalahgunaan metafora Cassandra dalam wacana politik, sains, maupun budaya populer.¹ Oleh karena itu, penting untuk menelaah berbagai kritik tersebut guna memperoleh pemahaman yang lebih seimbang.

Pertama, dari sisi terminologi, sejumlah sarjana berargumen bahwa Cassandra paradox bukanlah sebuah paradoks sejati.² Secara filosofis, paradoks merujuk pada kontradiksi logis atau situasi yang tidak dapat dijelaskan dalam kerangka rasional.³ Dalam kasus Cassandra, apa yang terjadi bukanlah kontradiksi logis, melainkan kegagalan sosial dalam menerima kebenaran.⁴ Dengan demikian, istilah “paradoks” lebih berfungsi secara retoris ketimbang analitis. Hal ini memunculkan perdebatan: apakah penggunaan istilah tersebut memperkuat pemahaman konseptual, atau justru mengaburkannya?

Kedua, terdapat kritik mengenai generalisasi yang berlebihan. Cassandra paradox kerap dipakai untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial, mulai dari peringatan ekologis, krisis keuangan, hingga prediksi teknologi.⁵ Akan tetapi, tidak semua peringatan yang diabaikan dapat dimasukkan ke dalam kategori Cassandra paradox. Terdapat kasus di mana ramalan diabaikan karena bukti yang memang lemah atau penuh ketidakpastian, bukan karena bias sosial atau politik.⁶ Dengan kata lain, penyematan label Cassandra paradox tanpa kriteria yang ketat berisiko mengaburkan perbedaan antara pengetahuan yang sahih dan klaim prediktif yang spekulatif.

Ketiga, kritik juga muncul dari perspektif epistemologi feminis. Beberapa sarjana menilai bahwa mitos Cassandra sering dipakai tanpa memperhatikan konteks gender dan kekuasaan yang melekat di dalamnya.⁷ Cassandra bukan sekadar korban penolakan kebenaran, tetapi juga korban marginalisasi suara perempuan dalam budaya patriarkal Yunani.⁸ Oleh karena itu, penggunaan metafora ini dalam konteks modern tidak boleh dilepaskan dari dimensi gender yang menjadi akar ketidakpercayaan terhadap kesaksiannya. Mengabaikan aspek ini berpotensi mereproduksi ketidakadilan epistemik yang justru ingin dikritisi melalui konsep Cassandra paradox.⁹

Keempat, ada pula perdebatan mengenai efektivitas metafora Cassandra dalam komunikasi publik. Sebagian pengamat menilai bahwa penyebutan tokoh mitologis Yunani kurang dapat dipahami masyarakat luas dan justru bersifat elitis.¹⁰ Alih-alih memperjelas, metafora tersebut dapat menciptakan jarak kultural antara wacana akademis dan audiens publik. Namun, di sisi lain, penggunaan Cassandra paradox juga dinilai memiliki kekuatan naratif yang kuat, karena mengaitkan isu kontemporer dengan kisah klasik yang sarat makna tragis.¹¹

Akhirnya, Cassandra paradox juga diperdebatkan dalam kaitannya dengan peran pakar dan otoritas ilmiah. Beberapa kritikus berpendapat bahwa klaim “Cassandra” modern terkadang berfungsi sebagai strategi retoris untuk membungkam kritik atau memposisikan diri sebagai pihak yang selalu benar.¹² Hal ini dapat memunculkan problem etis: siapa yang berhak mengklaim diri sebagai Cassandra, dan bagaimana membedakan antara peringatan sahih dan alarmisme?¹³

Dengan demikian, kritik dan perdebatan ini memperlihatkan bahwa Cassandra paradox tidak bisa diterima begitu saja sebagai konsep yang netral. Ia harus dipahami dengan kehati-hatian konseptual, kesadaran akan konteks gender dan kekuasaan, serta pemahaman kritis terhadap batasan aplikasinya. Perdebatan ini justru memperkaya makna Cassandra paradox, menjadikannya bukan sekadar simbol tragedi, melainkan juga medan refleksi filosofis dan etis tentang bagaimana manusia memandang, menyampaikan, dan menerima kebenaran.


Footnotes

[1]                George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984), 189–191.

[2]                Christopher Norris, What’s Wrong with Postmodernism: Critical Theory and the Ends of Philosophy (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1990), 42–44.

[3]                Nicholas Rescher, Paradoxes: Their Roots, Range, and Resolution (Chicago: Open Court, 2001), 1–3.

[4]                Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 45–46.

[5]                Paul Chilton, “Metaphor, Euphemism, and the Militarization of Language,” Current Research on Peace and Violence 10, no. 2 (1987): 10–12.

[6]                Sheila Jasanoff, The Fifth Branch: Science Advisers as Policymakers (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 77–79.

[7]                Lorraine Code, What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 14–16.

[8]                Helene P. Foley, Female Acts in Greek Tragedy (Princeton: Princeton University Press, 2001), 78–80.

[9]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.

[10]             Matthew C. Nisbet, “Communicating Climate Change: Why Frames Matter for Public Engagement,” Environment: Science and Policy for Sustainable Development 51, no. 2 (2009): 12–23.

[11]             Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 115–117.

[12]             Harry Collins dan Robert Evans, Rethinking Expertise (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 53–55.

[13]          Silvio Funtowicz dan Jerome Ravetz, Uncertainty and Quality in Science for Policy (Dordrecht: Springer, 1990), 18–19.


9.           Relevansi Kontemporer

Cassandra paradox memiliki relevansi yang semakin nyata dalam konteks kontemporer, terutama di tengah dinamika global yang ditandai oleh krisis ekologis, ketidakstabilan geopolitik, serta disrupsi teknologi. Fenomena kebenaran yang diabaikan bukan lagi sekadar tragedi mitologis, melainkan bagian dari kenyataan sosial dan politik modern.¹ Paradoks ini menjadi kerangka analitis penting untuk memahami bagaimana peringatan dini, meskipun berbasis bukti ilmiah dan analisis rasional, kerap tidak mendapat perhatian yang memadai hingga terlambat ditindaklanjuti.²

Salah satu relevansi utama Cassandra paradox dapat dilihat dalam isu perubahan iklim. Selama lebih dari tiga dekade, ilmuwan telah memperingatkan peningkatan suhu global, pencairan es di kutub, dan ancaman kenaikan permukaan laut.³ Namun, meskipun bukti ilmiah semakin kuat, kebijakan internasional sering kali tertunda atau bersifat kompromistis karena adanya kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek.⁴ Cassandra paradox di sini menyoroti kegagalan kolektif untuk mendengar suara sains, sekaligus menegaskan dampak fatal dari sikap abai terhadap kebenaran yang tidak menyenangkan.

Dalam bidang kesehatan masyarakat, relevansi Cassandra paradox tampak jelas pada pandemi COVID-19. Para epidemiolog dan lembaga kesehatan global telah lama memperingatkan kemungkinan munculnya pandemi baru akibat zoonosis, namun banyak negara tidak mempersiapkan sistem kesehatan yang memadai.⁵ Peringatan dini tentang COVID-19 pada akhir 2019 juga sempat diabaikan oleh sejumlah pemerintah, yang kemudian berdampak pada keterlambatan respons global.⁶ Hal ini memperlihatkan bagaimana mekanisme politik, kepentingan ekonomi, dan bias psikologis masyarakat dapat memperparah dampak dari peringatan yang diabaikan.

Di ranah geopolitik, Cassandra paradox muncul dalam peringatan dini terhadap konflik dan perang. Studi tentang keamanan internasional menunjukkan bahwa sinyal-sinyal awal krisis sering kali diabaikan karena aktor politik cenderung menafsirkan informasi berdasarkan kepentingan strategisnya sendiri.⁷ Misalnya, sejumlah analis telah memperingatkan eskalasi ketegangan di kawasan tertentu jauh sebelum pecahnya konflik bersenjata, namun ramalan tersebut diabaikan hingga akhirnya terbukti benar.⁸ Dalam konteks ini, Cassandra paradox berfungsi sebagai metafora atas kegagalan diplomasi preventif.

Paradoks Cassandra juga relevan dalam menghadapi perkembangan teknologi mutakhir. Peringatan tentang potensi bahaya kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan senjata siber sering dipandang berlebihan atau terlalu spekulatif, padahal sejarah menunjukkan bahwa inovasi teknologi selalu mengandung risiko besar jika tidak diatur secara etis dan politis.⁹ Situasi ini mencerminkan pola klasik Cassandra paradox: peringatan valid yang dianggap alarmisme, hingga kemudian terbukti benar ketika risiko telah berubah menjadi krisis nyata.

Relevansi kontemporer Cassandra paradox semakin kompleks dalam era post-truth, ketika opini publik lebih banyak dipengaruhi oleh emosi, ideologi, dan disinformasi daripada oleh fakta.¹⁰ Dalam kondisi ini, suara para “Cassandra modern” tidak hanya diabaikan, tetapi juga didiskreditkan melalui hoaks, ujaran kebencian, atau propaganda digital.¹¹ Akibatnya, kebenaran kehilangan otoritas epistemik, dan paradoks Cassandra menjadi semakin melekat pada dinamika demokrasi kontemporer.

Dengan demikian, relevansi Cassandra paradox dalam konteks modern tidak dapat dipisahkan dari tantangan global yang dihadapi umat manusia. Ia menyingkap kelemahan mendasar dalam mekanisme sosial, politik, dan epistemik yang gagal merespons kebenaran tepat waktu. Oleh karena itu, memahami dan menginternalisasi pelajaran dari Cassandra paradox menjadi penting, agar masyarakat tidak lagi mengulangi tragedi lama: mengabaikan suara yang benar hingga hanya bisa menyesali akibatnya.


Footnotes

[1]                Manuel Castells, Communication Power (Oxford: Oxford University Press, 2009), 121–123.

[2]                Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton University Press, 2019), 98–100.

[3]                Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change 2021: The Physical Science Basis (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 15–18.

[4]                Anthony Giddens, The Politics of Climate Change (Cambridge: Polity Press, 2009), 35–37.

[5]                Michael T. Osterholm, Deadliest Enemy: Our War Against Killer Germs (New York: Little, Brown, 2017), 144–147.

[6]                Richard Horton, The COVID-19 Catastrophe: What’s Gone Wrong and How to Stop It Happening Again (Cambridge: Polity Press, 2020), 22–24.

[7]                Barry Buzan dan Ole Wæver, Regions and Powers: The Structure of International Security (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 57–59.

[8]                Jack Snyder, Myths of Empire: Domestic Politics and International Ambition (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 12–14.

[9]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 117–119.

[10]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 4–7.

[11]             Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, Information Disorder: Toward an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making (Strasbourg: Council of Europe, 2017), 21–23.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

Paradoks Cassandra, sebagaimana telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya, bukan sekadar kisah mitologis yang diwariskan dari peradaban Yunani kuno, tetapi sebuah alegori yang menyimpan nilai epistemologis, psikologis, sosiologis, politis, dan bahkan ilmiah-teknologis. Dalam perspektif sintesis, Cassandra paradox dapat dipahami sebagai simbol keterputusan antara kebenaran dan penerimaan, antara pengetahuan dan legitimasi sosial, serta antara suara individu dan struktur kekuasaan.¹ Ia mengungkapkan problem mendasar dalam kondisi manusia: bahwa mengetahui sesuatu tidak selalu berarti mampu meyakinkan orang lain, dan bahwa kebenaran dapat berujung sia-sia jika teralienasi dari sistem sosial yang mengakuinya.²

Secara filosofis, paradoks ini mengajak kita merenungkan kembali konsep pengetahuan sebagai entitas yang tidak otonom. Dalam tradisi klasik, seperti yang dirumuskan oleh Plato, pengetahuan dianggap sebagai justified true belief.³ Namun, Cassandra paradox memperlihatkan keterbatasan definisi ini: walaupun suatu keyakinan benar dan terjustifikasi, ia dapat kehilangan efek transformasional ketika tidak diakui oleh komunitas epistemik. Di sinilah pentingnya epistemologi sosial, yang menegaskan bahwa pengetahuan bukan hanya produk rasio individual, tetapi juga hasil interaksi dalam ruang sosial dan politik.⁴

Refleksi filosofis lainnya muncul dari dimensi etis Cassandra paradox. Thomas Nagel pernah menekankan bahwa mengetahui sesuatu berarti juga memikul tanggung jawab moral terhadap pengetahuan tersebut.⁵ Akan tetapi, tragedi Cassandra memperlihatkan sebuah ironi: meskipun ia telah menjalankan tanggung jawabnya dengan menyampaikan kebenaran, ia tetap dihukum oleh kutukan ketidakpercayaan. Hal ini memunculkan pertanyaan mendalam: apakah kewajiban epistemik individu cukup berarti tanpa adanya penerimaan kolektif? Di titik inilah, paradoks Cassandra dapat dibaca sebagai kritik terhadap etika komunikasi dan politik pengetahuan, yang sering kali gagal menjamin ruang bagi suara minoritas yang benar.

Lebih jauh, Cassandra paradox mengandung refleksi eksistensial. Albert Camus menggambarkan absurditas manusia sebagai kondisi ketika individu mencari makna dalam dunia yang acapkali bisu terhadap pencariannya.⁶ Cassandra adalah simbol manusia yang menyaksikan kebenaran, namun harus menanggung penderitaan karena kebenaran itu ditolak. Dalam perspektif eksistensialisme, situasi ini menggambarkan dilema universal: manusia hidup di antara pengetahuan dan keterasingan, di antara kepastian pribadi dan ketidakpedulian kolektif.⁷

Dalam konteks kontemporer, Cassandra paradox berfungsi sebagai cermin kritis terhadap masyarakat modern yang kerap terjebak dalam bias, kepentingan politik, dan disinformasi. Ketika ilmuwan, aktivis, atau intelektual publik berperan sebagai “Cassandra modern,” tanggung jawab epistemik masyarakat menjadi lebih besar: apakah kita akan mendengar peringatan tersebut, atau mengulang kesalahan Troya yang membawa kehancuran?⁸ Refleksi ini menekankan pentingnya membangun budaya epistemik yang lebih terbuka, adil, dan bertanggung jawab terhadap suara-suara kritis, bahkan ketika pesan yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyamanan kolektif.

Dengan demikian, sintesis atas Cassandra paradox memperlihatkan bahwa tragedi Cassandra bukan hanya kisah tentang kutukan mitologis, melainkan pelajaran filosofis yang tetap relevan hingga kini. Ia mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak hanya membutuhkan pembawa pesan yang berani, tetapi juga komunitas yang siap untuk mendengarkan, mengakui, dan bertindak. Tanpa itu, kebenaran akan tetap menjadi nubuat yang sia-sia, dan umat manusia akan terus mengulangi siklus tragedi yang sama.


Footnotes

[1]                George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984), 189–191.

[2]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.

[3]                Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201–202.

[4]                Steve Fuller, Social Epistemology (Bloomington: Indiana University Press, 1988), 29–31.

[5]                Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 118–120.

[6]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage International, 1991), 28–30.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (New York: Washington Square Press, 1992), 621–623.

[8]              Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York: Bloomsbury Press, 2010), 169–175.


11.       Penutup

Paradoks Cassandra, yang berakar dari mitologi Yunani kuno, terbukti memiliki daya hidup yang panjang dan relevansi lintas zaman. Dari kisah seorang putri Troya yang kebenarannya diabaikan, muncul suatu metafora universal mengenai ketegangan antara pengetahuan, penerimaan, dan tindakan.¹ Kajian ini menunjukkan bahwa Cassandra paradox bukan hanya simbol literer, tetapi juga cermin filosofis, psikologis, sosiologis, politik, serta ilmiah-teknologis yang dapat membantu kita memahami kegagalan kolektif dalam menanggapi kebenaran.²

Dari perspektif epistemologi, Cassandra paradox menyingkap keterbatasan definisi klasik pengetahuan sebagai justified true belief.³ Kebenaran yang sudah terjustifikasi sekalipun tidak selalu memperoleh legitimasi sosial. Dari sisi psikologis, fenomena ini memperlihatkan bagaimana bias kognitif dan mekanisme emosional menghalangi individu maupun kelompok dalam menerima informasi yang mengancam.⁴ Pada ranah sosiologis dan politik, Cassandra paradox menggambarkan bagaimana struktur kekuasaan, ideologi, dan kepentingan ekonomi dapat mengabaikan suara-suara kritis.⁵ Sementara itu, dalam bidang ilmiah dan teknologi, Cassandra paradox mengingatkan kita pada pentingnya mendengarkan peringatan dini dari ilmuwan, terutama dalam menghadapi isu perubahan iklim, pandemi, dan risiko teknologi mutakhir.⁶

Refleksi filosofis atas Cassandra paradox menegaskan bahwa tragedi Cassandra bukan hanya kisah mitos, melainkan realitas yang berulang dalam sejarah manusia. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak cukup hanya untuk diketahui, tetapi juga harus diperjuangkan agar diakui dan ditindaklanjuti.⁷ Oleh karena itu, membangun budaya epistemik yang adil, terbuka, dan tanggap menjadi tantangan moral dan sosial bagi masyarakat modern.⁸

Akhirnya, Cassandra paradox memberi kita pelajaran penting: mengabaikan kebenaran sering kali lebih berbahaya daripada menerima kebohongan. Tragedi Troya menjadi peringatan abadi bahwa suara yang benar, sekalipun berasal dari pinggiran atau minoritas, layak didengar. Jika masyarakat gagal mendengarkan “suara Cassandra” modern—dari ilmuwan, aktivis, hingga intelektual kritis—maka sejarah akan terus berulang dalam siklus penyesalan.⁹ Dengan demikian, menginternalisasi pelajaran dari Cassandra paradox berarti meneguhkan komitmen untuk tidak lagi mengabaikan kebenaran, betapapun sulit dan tidak menyenangkan ia terdengar.


Footnotes

[1]                Edith Hamilton, Mythology (Boston: Little, Brown and Company, 1942), 217.

[2]                George Steiner, Antigones (Oxford: Clarendon Press, 1984), 189–191.

[3]                Plato, Theaetetus, terj. M.J. Levett (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201–202.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 199–203.

[5]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–133.

[6]                Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Climate Change 2021: The Physical Science Basis (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 15–18.

[7]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus (New York: Vintage International, 1991), 28–30.

[8]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–5.

[9]                Naomi Oreskes dan Erik M. Conway, Merchants of Doubt (New York: Bloomsbury Press, 2010), 169–175.


Daftar Pustaka

Aeschylus. (1977). Agamemnon (R. Fagles, Trans.). Penguin Classics.

Beck, A. T. (1976). Cognitive therapy and the emotional disorders. International Universities Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1967). The social construction of reality. Anchor Books.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Boykoff, M. T., & Boykoff, J. M. (2004). Balance as bias: Global warming and the U.S. prestige press. Global Environmental Change, 14(2), 125–136.

Burkert, W. (1985). Greek religion. Harvard University Press.

Buzan, B., & Wæver, O. (2003). Regions and powers: The structure of international security. Cambridge University Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.

Castells, M. (2009). Communication power. Oxford University Press.

Chilton, P. (1987). Metaphor, euphemism, and the militarization of language. Current Research on Peace and Violence, 10(2), 7–19.

Code, L. (1991). What can she know? Feminist theory and the construction of knowledge. Cornell University Press.

Collins, H., & Evans, R. (2007). Rethinking expertise. University of Chicago Press.

Dancy, J. (1985). Introduction to contemporary epistemology. Blackwell.

Foley, H. P. (2001). Female acts in Greek tragedy. Princeton University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.

Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Social Text, 25/26, 56–80.

Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.

Fuller, S. (1988). Social epistemology. Indiana University Press.

Funtowicz, S., & Ravetz, J. (1990). Uncertainty and quality in science for policy. Springer.

Giddens, A. (2009). The politics of climate change. Polity Press.

Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.

Goldman, A. I. (1986). Epistemology and cognition. Harvard University Press.

Goldman, A. I. (1999). Knowledge in a social world. Clarendon Press.

Graves, R. (1960). The Greek myths (Vol. 2). Penguin.

Hamilton, E. (1942). Mythology. Little, Brown and Company.

Hansen, J. (1988, June 23). Testimony to the U.S. Senate Committee on Energy and Natural Resources. Congressional Record, 102–103.

Homer. (1974). The Iliad (R. Fitzgerald, Trans.). Farrar, Straus and Giroux.

Horton, R. (2020). The COVID-19 catastrophe: What’s gone wrong and how to stop it happening again. Polity Press.

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2021). Climate change 2021: The physical science basis. Cambridge University Press.

Jasanoff, S. (1990). The fifth branch: Science advisers as policymakers. Harvard University Press.

Jasanoff, S. (2004). States of knowledge: The co-production of science and the social order. Routledge.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kerenyi, K. (1951). The gods of the Greeks. Thames and Hudson.

Klein, M. (1997). Narrative of Cassandra syndrome. Routledge.

Mannheim, K. (1936). Ideology and utopia: An introduction to the sociology of knowledge. Harcourt, Brace & World.

May, R. (1983). The discovery of being. W.W. Norton.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Merton, R. K. (1948). The self-fulfilling prophecy. The Antioch Review, 8(2), 193–210.

Mileti, D. S., & Sorensen, J. H. (1990). Communication of emergency public warnings: A social science perspective. Oak Ridge National Laboratory.

Mudde, C., & Rovira Kaltwasser, C. (2017). Populism: A very short introduction. Oxford University Press.

Müller, J.-W. (2016). What is populism? University of Pennsylvania Press.

Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford University Press.

Nisbet, M. C. (2009). Communicating climate change: Why frames matter for public engagement. Environment: Science and Policy for Sustainable Development, 51(2), 12–23.

Noelle-Neumann, E. (1984). The spiral of silence: Public opinion – our social skin. University of Chicago Press.

Norris, C. (1990). What’s wrong with postmodernism: Critical theory and the ends of philosophy. Johns Hopkins University Press.

Oreskes, N. (2019). Why trust science? Princeton University Press.

Oreskes, N., & Conway, E. M. (2010). Merchants of doubt. Bloomsbury Press.

Osterholm, M. T. (2017). Deadliest enemy: Our war against killer germs. Little, Brown.

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans.). Hackett Publishing.

Rabinowitz, N. S. (1993). Anxiety veiled: Euripides and the traffic in women. Cornell University Press.

Rescher, N. (2001). Paradoxes: Their roots, range, and resolution. Open Court.

Roubini, N., & Mihm, S. (2010). Crisis economics: A crash course in the future of finance. Penguin Press.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness. Washington Square Press.

Schapira, L. L. (1988). The Cassandra complex: Living with disbelief. Inner City Books.

Slovic, P. (1987). Perception of risk. Science, 236(4799), 280–285.

Smelser, N. J. (1962). Theory of collective behavior. Free Press.

Steiner, G. (1984). Antigones. Clarendon Press.

Tannen, D. (1990). You just don’t understand: Women and men in conversation. Ballantine.

Vernant, J.-P. (1990). Myth and tragedy in ancient Greece. Zone Books.

Virgil. (1990). The Aeneid (R. Fitzgerald, Trans.). Vintage Classics.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Council of Europe.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar