Jumat, 19 September 2025

Sumber Kebajikan: Telaah Filosofis, Etis, dan Epistemologis

Sumber Kebajikan

Telaah Filosofis, Etis, dan Epistemologis


Alihkan ke: Kebajikan (Virtue).


Abstrak

Artikel ini membahas pertanyaan fundamental dalam etika dan filsafat moral: apakah kebajikan bersumber dari ikrar atau pengetahuan. Pertanyaan ini tidak hanya menjadi perdebatan filosofis sejak era Yunani kuno hingga masa kontemporer, tetapi juga memiliki relevansi praktis dalam pendidikan, politik, agama, dan kehidupan sosial modern. Melalui kajian filosofis, historis, dan interdisipliner, tulisan ini menelusuri pandangan klasik Socrates, Plato, Aristoteles, Konfusianisme, Buddhisme, serta filsuf Islam dan Kristen, kemudian melanjutkan pada pemikiran modern seperti Kant, utilitarianisme, eksistensialisme, hingga psikologi moral kontemporer. Analisis menunjukkan bahwa ikrar menegaskan aspek kehendak dan komitmen, sementara pengetahuan memberi fondasi rasional bagi kebajikan. Kritik terhadap reduksionisme—yang menekankan hanya salah satu aspek—mengarah pada reinterpretasi dialektis, di mana kebajikan dipahami sebagai hasil integrasi antara pengetahuan yang benar dan ikrar yang teguh. Sintesis filosofis ini menegaskan bahwa kebajikan adalah habitus moral yang tumbuh dari pengetahuan, diperkuat oleh ikrar, dan diwujudkan dalam praksis kehidupan. Dengan demikian, artikel ini menawarkan kerangka teoritis integratif yang relevan untuk menjawab tantangan moral kontemporer, baik pada tingkat individu maupun global.

Kata Kunci: Kebajikan; Ikrar; Pengetahuan; Filsafat Moral; Etika; Dialektika; Pendidikan; Agama; Kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Sumber Kebajikan Antara Ikrar dan Pengetahuan


1.           Pendahuluan

Pertanyaan mengenai sumber kebajikan telah menjadi salah satu isu sentral dalam tradisi filsafat moral sejak zaman kuno hingga masa kontemporer. Perdebatan ini sering kali berkisar pada dua titik poros utama: pertama, apakah kebajikan lahir dari ikrar—yakni komitmen moral, niat, atau sumpah yang mengikat seseorang pada suatu nilai tertentu; atau kedua, apakah kebajikan berpangkal pada pengetahuan—yakni kesadaran intelektual mengenai apa yang baik sehingga manusia dapat bertindak sesuai dengan kebaikan tersebut. Pertanyaan ini bukan sekadar problem konseptual, melainkan menyentuh inti dari bagaimana manusia memahami diri, tanggung jawab, dan tujuan hidupnya dalam masyarakat maupun dalam relasi transendental dengan Tuhan.

Dalam tradisi Yunani kuno, Socrates menegaskan bahwa kebajikan identik dengan pengetahuan (virtue is knowledge). Menurutnya, seseorang yang mengetahui kebaikan pasti akan melakukannya, dan kejahatan lahir dari ketidaktahuan (ignorance)¹. Sebaliknya, dalam tradisi keagamaan, khususnya dalam etika Islam maupun Kristen, ikrar dan komitmen moral dianggap sebagai inti kebajikan, sebab manusia tidak hanya dituntut untuk mengetahui yang baik, tetapi juga untuk berjanji, bertekad, dan berkomitmen pada jalan kebaikan itu².

Persoalan ini menjadi semakin kompleks ketika dimasukkan ke dalam kerangka filsafat modern. Immanuel Kant, misalnya, menekankan bahwa moralitas tidak bersandar pada pengetahuan empiris atau konsekuensi, melainkan pada ikrar rasional dalam bentuk imperatif kategoris yang mengikat manusia secara universal³. Di sisi lain, aliran utilitarianisme justru menilai kebajikan berdasarkan pengetahuan kalkulatif mengenai konsekuensi terbesar bagi kebahagiaan terbesar⁴. Dengan demikian, tampak bahwa dalam lintasan sejarah, ikrar dan pengetahuan silih berganti menempati posisi fundamental dalam teori etika.

Di era kontemporer, problem ini memiliki relevansi yang sangat nyata. Dalam pendidikan, muncul pertanyaan apakah membentuk kebajikan siswa cukup dengan mengajarkan pengetahuan moral atau perlu pula mengikat mereka dengan ikrar dan komitmen moral praktis. Dalam ranah politik dan kepemimpinan, muncul pula dilema serupa: apakah pemimpin yang baik harus berlandaskan pada pengetahuan yang luas atau pada ikrar etis yang teguh dalam mengemban amanah publik.

Dengan latar belakang inilah, artikel ini berupaya mengkaji secara komprehensif pertanyaan mendasar: Apakah sumber kebajikan adalah ikrar atau pengetahuan? Kajian ini tidak dimaksudkan untuk memilih salah satu secara mutlak, melainkan untuk menyingkap relasi dialektis antara keduanya serta menemukan sintesis filosofis yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang hakikat kebajikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan interdisipliner—filsafat klasik, pemikiran keagamaan, etika modern, serta refleksi kontemporer—untuk memberikan jawaban yang lebih menyeluruh dan relevan bagi kehidupan manusia masa kini.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 95–97.

[2]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45; Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 110–112.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed. and trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–35.

[4]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 14–16.


2.           Konsep Dasar Kebajikan

Kebajikan merupakan salah satu konsep fundamental dalam etika dan filsafat moral, meskipun pemaknaannya bervariasi sesuai dengan konteks budaya, tradisi, dan paradigma filsafat yang digunakan. Secara umum, kebajikan dipahami sebagai kualitas moral yang melekat pada diri seseorang, yang memungkinkan ia bertindak selaras dengan kebaikan, keadilan, dan tujuan hidup yang luhur. Kebajikan tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga praktis, sebab ia diwujudkan melalui habitus dan tindakan konkret dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam tradisi filsafat Yunani kuno, istilah kebajikan diterjemahkan dari kata aretē yang berarti “keunggulan” atau “kesempurnaan.” Socrates menekankan bahwa kebajikan bersifat universal dan identik dengan pengetahuan; seseorang yang mengetahui kebaikan tidak mungkin dengan sadar melakukan keburukan¹. Plato, murid Socrates, mengembangkan pandangan bahwa kebajikan berakar pada pengetahuan tentang idea of the Good (gagasan tentang kebaikan) sebagai prinsip tertinggi yang memberi makna pada seluruh realitas². Aristoteles kemudian merumuskan teori kebajikan yang lebih praktis dalam Nicomachean Ethics. Menurutnya, kebajikan merupakan habitus yang terbentuk melalui latihan, yang terletak di antara dua ekstrem (the doctrine of the mean). Dengan demikian, kebajikan bukan hanya pengetahuan teoretis, melainkan keunggulan moral yang diwujudkan dalam tindakan³.

Sementara itu, dalam tradisi Timur, khususnya Konfusianisme, kebajikan () dipandang sebagai keselarasan moral yang muncul dari relasi harmonis antara individu, keluarga, dan masyarakat. Bagi Kongzi (Confucius), kebajikan tertinggi adalah ren (), yaitu cinta kasih dan kemanusiaan, yang menjadi fondasi dari tatanan sosial dan politik yang adil. Pandangan ini menunjukkan bahwa kebajikan tidak hanya bersifat personal, tetapi juga sosial, karena ia berakar pada kewajiban untuk hidup selaras dengan sesama dan alam semesta.

Dalam perspektif Islam, kebajikan (faḍā’il al-akhlāq) dipahami sebagai sifat-sifat mulia yang ditanamkan dalam diri manusia melalui pembiasaan, pendidikan, dan iman. Ibn Miskawayh, seorang filsuf moral Islam, dalam karyanya Tahdhīb al-Akhlāq menekankan bahwa kebajikan merupakan hasil keseimbangan antara kekuatan akal, syahwat, dan amarah yang diarahkan oleh wahyu dan akhlak mulia Nabi Muhammad ﷺ⁵. Al-Ghazālī juga menekankan peran hati (qalb) sebagai pusat kebajikan, di mana ilmu (‘ilm) dan amal (‘amal) harus bersinergi untuk membentuk karakter yang saleh⁶. Dengan demikian, dalam Islam, kebajikan tidak hanya bersumber pada rasionalitas atau komitmen, tetapi juga pada dimensi spiritual-transendental.

Selain itu, dalam tradisi Kristen, Santo Agustinus dan Thomas Aquinas menegaskan bahwa kebajikan adalah kualitas jiwa yang mengarahkan manusia kepada Allah sebagai tujuan akhir. Aquinas membedakan antara kebajikan kardinal (prudence, justice, fortitude, temperance) dan kebajikan teologal (faith, hope, charity), yang menegaskan bahwa kebajikan sejati tidak dapat dipisahkan dari iman dan rahmat Ilahi⁷.

Dengan melihat keragaman perspektif tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebajikan merupakan konsep multidimensional: ia mencakup dimensi epistemologis (pengetahuan tentang yang baik), deontologis (komitmen untuk melakukan yang baik), praksis (kebiasaan moral), dan spiritual (orientasi pada transendensi). Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai sumber kebajikan—apakah ikrar atau pengetahuan—tidak dapat dilepaskan dari pemahaman mendalam tentang hakikat kebajikan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 95–97.

[2]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 505–509.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1097a–1109b.

[4]                Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22–12:24.

[5]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa-Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantin Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 34–36.

[6]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–48.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q.47–q.70.


3.           Ikrar sebagai Sumber Kebajikan

Konsep ikrar sebagai sumber kebajikan berangkat dari pemahaman bahwa tindakan moral tidak hanya bergantung pada pengetahuan tentang apa yang baik, melainkan juga pada komitmen eksistensial untuk mewujudkannya. Ikrar, dalam arti luas, dapat dipahami sebagai sumpah, janji, atau pernyataan tekad yang mengikat individu pada nilai-nilai moral tertentu. Ia bukan sekadar ekspresi lisan, melainkan manifestasi kehendak yang mengarahkan perilaku manusia pada kebajikan. Dengan demikian, ikrar menegaskan dimensi performatif dari moralitas, di mana kebajikan tidak berhenti pada kesadaran kognitif, tetapi diwujudkan dalam komitmen konkret.

3.1.       Ikrar dalam Perspektif Religius

Dalam tradisi keagamaan, ikrar memegang posisi sentral sebagai fondasi moralitas. Dalam Islam, misalnya, syahadat merupakan bentuk ikrar fundamental yang mengikat seorang Muslim kepada Allah dan syariat-Nya. Ikrar ini bukan hanya pernyataan iman, melainkan juga janji moral untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, sehingga kebajikan lahir dari kesetiaan pada komitmen tersebut¹. Demikian pula dalam tradisi Kristen, ikrar baptisan dipahami sebagai janji setia kepada Allah dan komunitas iman. Melalui ikrar tersebut, seorang individu mengarahkan hidupnya pada kebajikan yang sesuai dengan ajaran Injil².

Kedua tradisi ini menegaskan bahwa pengetahuan tentang ajaran agama tidak cukup tanpa ikrar yang mewujud dalam bentuk komitmen iman dan perbuatan. Dengan demikian, ikrar menjadi sarana transformasi moral yang menjadikan manusia berakar pada kebajikan transendental.

3.2.       Ikrar dan Etika Kewajiban

Dari sudut pandang filsafat moral, ikrar dapat dipahami dalam kerangka deontologi. Immanuel Kant menegaskan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada imperatif kategoris, yaitu kewajiban yang lahir dari ikrar rasional manusia untuk tunduk pada hukum moral universal³. Dalam kerangka ini, kebajikan muncul bukan karena pengetahuan tentang akibat atau konsekuensi, melainkan karena tekad manusia untuk memenuhi kewajiban moral demi dirinya sendiri sebagai makhluk rasional.

Ikrar moral dalam pandangan Kant bersifat otonom: manusia yang berikrar setia pada prinsip moral bertindak bukan karena paksaan eksternal, tetapi karena ia menyadari komitmennya pada hukum moral. Oleh sebab itu, kebajikan yang berakar pada ikrar menegaskan pentingnya kehendak yang baik (good will) sebagai inti moralitas⁴.

3.3.       Ikrar dan Keutuhan Diri

Ikrar juga memiliki peran penting dalam membangun keutuhan diri (integrity). Seorang individu yang berikrar untuk hidup dalam kebajikan menegaskan konsistensi antara nilai yang diyakini dan tindakan yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan pandangan eksistensialis, khususnya Jean-Paul Sartre, yang menekankan bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas pilihannya. Ikrar dalam kerangka eksistensial menjadi ekspresi otentisitas, di mana manusia menyatakan tekadnya untuk hidup sesuai dengan nilai yang ia pilih⁵.

Dengan demikian, ikrar bukan sekadar kontrak moral formal, melainkan fondasi yang meneguhkan identitas etis manusia. Tanpa ikrar, pengetahuan moral berpotensi menjadi pasif, sementara ikrar mengaktualisasikan pengetahuan tersebut dalam kehidupan praktis.

3.4.       Kelebihan dan Keterbatasan Ikrar

Sebagai sumber kebajikan, ikrar memiliki keunggulan karena menekankan aspek kehendak dan komitmen. Ia mampu meneguhkan manusia dalam menghadapi godaan dan tekanan eksternal. Namun, ikrar juga memiliki keterbatasan. Tanpa didukung oleh pengetahuan yang benar, ikrar dapat berubah menjadi dogmatisme atau fanatisme yang membutakan. Seorang individu mungkin berikrar setia pada suatu nilai, tetapi jika nilai itu tidak disertai pengetahuan kritis, ikrar tersebut dapat menyesatkan dan bahkan membahayakan kehidupan bersama.

Oleh sebab itu, meskipun ikrar memiliki daya yang kuat dalam membentuk kebajikan, ia tidak dapat berdiri sendiri. Ikrar memerlukan fondasi epistemologis agar kebajikan yang lahir darinya tidak menyimpang dari kebenaran moral.


Footnotes

[1]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–46.

[2]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 120–122.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed. and trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–32.

[4]                Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 79–83.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 41–44.


4.           Pengetahuan sebagai Sumber Kebajikan

Selain ikrar, tradisi filsafat moral juga menempatkan pengetahuan sebagai sumber utama kebajikan. Gagasan ini berakar pada pandangan klasik Socrates yang menyatakan bahwa kebajikan identik dengan pengetahuan (virtue is knowledge). Menurutnya, tidak seorang pun berbuat jahat dengan sadar; kejahatan lahir karena ketidaktahuan (ignorance). Dengan demikian, mengetahui apa yang baik secara niscaya akan mengarahkan seseorang untuk bertindak baik¹.

4.1.       Pandangan Socrates dan Plato

Bagi Socrates, pengetahuan moral memiliki sifat performatif, yakni mengubah perilaku. Ia menolak dikotomi antara mengetahui dan melakukan: pengetahuan sejati selalu disertai tindakan. Plato, murid Socrates, mengembangkan gagasan ini lebih jauh dalam konsep Idea of the Good. Menurutnya, pengetahuan tentang kebaikan tertinggi menjadi syarat mutlak bagi jiwa untuk hidup secara adil dan selaras. Tanpa pengetahuan, kebajikan hanya menjadi formalitas tanpa substansi².

4.2.       Aristoteles dan Kebijaksanaan Praktis

Meskipun Aristoteles menekankan dimensi habituasi dalam kebajikan, ia juga menegaskan bahwa pengetahuan—khususnya phronēsis (kebijaksanaan praktis)—merupakan elemen penting. Phronēsis memungkinkan manusia membedakan jalan tengah yang tepat antara dua ekstrem dalam tindakan. Dengan kata lain, pengetahuan praktis menjadi sarana untuk menerjemahkan nilai kebajikan ke dalam keputusan moral sehari-hari³.

4.3.       Tradisi Filsafat Islam

Dalam tradisi Islam, hubungan antara pengetahuan dan kebajikan mendapat perhatian besar. Ibn Sina menegaskan bahwa jiwa rasional yang tercerahkan oleh pengetahuan tentang kebaikan universal akan terdorong untuk mengarahkan tindakan pada kebajikan. Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq, menyatakan bahwa pengetahuan tentang keseimbangan akal, syahwat, dan amarah menjadi fondasi bagi tercapainya akhlak mulia⁴. Al-Ghazālī juga menekankan bahwa ilmu dan amal adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan: amal tanpa ilmu dapat menyesatkan, sementara ilmu tanpa amal kehilangan nilai moralnya⁵.

4.4.       Filsafat Modern dan Pengetahuan Moral

Di era modern, pengetahuan sebagai sumber kebajikan dipahami dengan cara yang lebih empiris dan pragmatis. Kaum utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menganggap bahwa pengetahuan tentang konsekuensi tindakan merupakan dasar penilaian moral. Kebajikan lahir dari kemampuan menghitung secara rasional konsekuensi terbaik bagi kebahagiaan terbesar⁶.

Sementara itu, dalam etika kontemporer, Lawrence Kohlberg mengembangkan teori perkembangan moral yang menekankan peran pengetahuan kognitif dalam pembentukan kebajikan. Menurutnya, semakin tinggi tingkat penalaran moral seseorang, semakin tinggi pula kapasitasnya untuk bertindak sesuai dengan prinsip keadilan universal⁷. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan rasional dapat menjadi penopang bagi tindakan kebajikan yang konsisten.

4.5.       Kelebihan dan Keterbatasan Pengetahuan

Menjadikan pengetahuan sebagai sumber kebajikan memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, ia memberikan dasar rasional dan kritis sehingga kebajikan tidak hanya bergantung pada komitmen buta. Kedua, pengetahuan membuka kemungkinan bagi kebajikan yang universal karena didasarkan pada prinsip logis dan objektif. Namun demikian, terdapat pula keterbatasan. Pengetahuan moral tidak selalu menjamin tindakan; banyak orang mengetahui yang baik, tetapi tidak mampu melaksanakannya karena kelemahan kehendak (akrasia). Selain itu, pengetahuan yang tidak disertai komitmen dapat melahirkan sikap sinis atau relativis terhadap moralitas.

Oleh karena itu, meskipun pengetahuan merupakan unsur esensial bagi kebajikan, ia tidak dapat berdiri sendiri. Pengetahuan perlu dipadukan dengan ikrar dan tekad moral agar dapat menjadi sumber kebajikan yang sejati.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 95–97.

[2]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 505–509.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1144b.

[4]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa-Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantin Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 34–36.

[5]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–48.

[6]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 14–16.

[7]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development: Vol. I, The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 23–25.


5.           Dialektika Ikrar dan Pengetahuan

Pertanyaan mengenai apakah kebajikan bersumber dari ikrar atau pengetahuan tidak dapat dijawab secara sederhana dengan memilih salah satu. Keduanya justru membentuk suatu dialektika, yakni hubungan timbal balik yang saling mengandaikan dan melengkapi. Ikrar tanpa pengetahuan dapat menjadi buta, sedangkan pengetahuan tanpa ikrar dapat menjadi pasif. Dialektika ini penting untuk memahami kebajikan secara utuh, karena kebajikan tidak hanya lahir dari kesadaran intelektual maupun dari komitmen eksistensial semata, melainkan dari integrasi keduanya dalam praksis manusia.

5.1.       Pengetahuan tanpa Ikrar: Kebajikan yang Pasif

Pengetahuan moral memberikan arah dan kerangka bagi tindakan etis. Namun, sejarah memperlihatkan bahwa pengetahuan tidak selalu menjamin lahirnya kebajikan. Fenomena akrasia (kelemahan kehendak) yang dikemukakan Aristoteles menunjukkan bahwa seseorang dapat mengetahui kebaikan, tetapi gagal melaksanakannya karena tidak memiliki komitmen yang kuat¹. Dalam konteks modern, hal ini tampak pada paradoks intelektualisme moral: semakin banyak orang memahami nilai moral, semakin sulit pula mewujudkannya secara konsisten jika tidak disertai ikrar.

5.2.       Ikrar tanpa Pengetahuan: Kebajikan yang Bisu

Sebaliknya, ikrar dapat meneguhkan tekad seseorang untuk hidup dalam kebajikan, tetapi tanpa pengetahuan, ikrar tersebut rawan jatuh pada fanatisme atau dogmatisme. Seseorang bisa berkomitmen penuh terhadap suatu nilai, namun jika nilai itu keliru atau tidak ditopang oleh pengetahuan rasional, maka ikrar justru melahirkan keburukan yang dibungkus moralitas. Hal ini terlihat dalam sejarah ketika sumpah kesetiaan diperalat untuk melegitimasi tindakan tirani². Dengan demikian, ikrar memerlukan pengetahuan sebagai dasar agar komitmen moral benar-benar mengarah pada kebajikan sejati.

5.3.       Sintesis dalam Tradisi Filosofis dan Religius

Tradisi filsafat maupun keagamaan mengakui adanya hubungan timbal balik antara pengetahuan dan ikrar. Plato menekankan bahwa pengetahuan tentang Idea of the Good harus disertai dengan komitmen jiwa untuk mengikutinya³. Dalam Islam, al-Ghazālī menegaskan bahwa ilmu (‘ilm) dan amal (‘amal) tidak dapat dipisahkan: ilmu membimbing, sementara amal meneguhkan⁴. Demikian pula dalam tradisi Kristen, Thomas Aquinas memandang kebajikan sebagai perpaduan antara recta ratio (pengetahuan benar) dan habitus (komitmen moral yang tertanam)⁵.

5.4.       Dialektika dalam Kehidupan Kontemporer

Dalam konteks modern, dialektika antara ikrar dan pengetahuan dapat dilihat dalam pendidikan moral. Pengetahuan etis yang diajarkan di sekolah tidak akan efektif tanpa pembiasaan dan komitmen yang mengikat peserta didik. Sebaliknya, program pembinaan karakter yang hanya menekankan komitmen tanpa memberi fondasi pengetahuan kritis berpotensi melahirkan moralitas yang rapuh atau manipulatif. Begitu pula dalam kepemimpinan politik: seorang pemimpin yang berpengetahuan luas tetapi tanpa ikrar etis akan cenderung oportunis, sementara pemimpin dengan ikrar moral tetapi tanpa pengetahuan akan cenderung gagal menghadapi kompleksitas realitas sosial.

5.5.       Dialektika sebagai Jalan Tengah

Dari paparan di atas, jelas bahwa kebajikan lahir dari dialektika yang harmonis antara ikrar dan pengetahuan. Ikrar memberi arah dan kekuatan kehendak, sementara pengetahuan memberi dasar rasional dan panduan objektif. Dialektika ini mencerminkan pandangan Aristoteles tentang kebajikan sebagai keseimbangan, sekaligus pandangan agama-agama besar yang menekankan kesatuan antara iman, ilmu, dan amal. Dengan demikian, kebajikan sejati adalah hasil dari integrasi ikrar yang teguh dengan pengetahuan yang benar.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1145b–1147a.

[2]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace & World, 1951), 236–240.

[3]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 505–509.

[4]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–48.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q.47–q.70.


6.           Perspektif Filosofis Klasik

Persoalan mengenai sumber kebajikan telah lama menjadi perhatian para filsuf klasik, baik di Barat maupun di Timur. Masing-masing tradisi memberikan penekanan yang berbeda, namun tetap dalam kerangka yang sama: mencari dasar universal yang dapat menjelaskan mengapa manusia dapat hidup secara baik. Pada tahap ini, tampak jelas bahwa ikrar dan pengetahuan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan dipahami dalam relasi dialektis.

6.1.       Yunani Kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles

Socrates menegaskan bahwa kebajikan identik dengan pengetahuan. Menurutnya, tidak ada orang yang dengan sengaja melakukan kejahatan; semua keburukan lahir dari ketidaktahuan (ignorance). Dengan demikian, pengetahuan tentang yang baik secara otomatis menghasilkan tindakan yang baik¹. Plato mengembangkan gagasan gurunya melalui doktrin Idea of the Good, yakni prinsip transenden yang menjadi sumber seluruh kebaikan. Bagi Plato, pengetahuan tentang kebaikan tertinggi inilah yang memungkinkan jiwa mencapai keadilan dan harmoni².

Aristoteles mengambil jalur berbeda dengan menekankan dimensi praksis kebajikan. Baginya, kebajikan tidak hanya bergantung pada pengetahuan teoretis, tetapi juga pada habituasi yang melahirkan hexis (kebiasaan moral). Ia memperkenalkan konsep phronēsis (kebijaksanaan praktis) sebagai penghubung antara pengetahuan dan tindakan. Dengan demikian, bagi Aristoteles, kebajikan merupakan hasil keseimbangan antara pengetahuan rasional dan komitmen praktis untuk bertindak³.

6.2.       Tradisi Timur: Konfusianisme dan Buddhisme

Dalam filsafat Konfusianisme, kebajikan () dipahami sebagai manifestasi dari keselarasan hidup. Kongzi (Confucius) menekankan pentingnya ren (), yaitu cinta kasih atau kemanusiaan, yang hanya dapat terwujud apabila seseorang memahami tatanan moral kosmos sekaligus berikrar untuk hidup sesuai dengan norma tersebut⁴. Di sini, pengetahuan dan ikrar dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Dalam Buddhisme, kebajikan (śīla) terkait erat dengan pengetahuan pencerahan. Jalan Mulia Berunsur Delapan (The Noble Eightfold Path) menunjukkan keterpaduan antara pengetahuan benar (samyag-dṛṣṭi) dan tekad benar (samyak-saṃkalpa). Artinya, kebajikan lahir dari sintesis antara kesadaran kognitif dan komitmen praktis untuk menghentikan penderitaan⁵.

6.3.       Tradisi Islam Klasik

Dalam filsafat Islam klasik, terutama melalui karya-karya Ibn Sina, al-Farabi, dan Ibn Miskawayh, kebajikan dipahami dalam kerangka rasional dan spiritual sekaligus. Ibn Sina menekankan bahwa jiwa yang memperoleh pengetahuan rasional akan cenderung kepada kebaikan, karena akal secara kodrati tertarik pada kesempurnaan⁶. Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq menyatakan bahwa keseimbangan jiwa, yang menghasilkan kebajikan, hanya tercapai jika pengetahuan rasional diarahkan oleh komitmen moral yang konsisten⁷.

Al-Ghazālī memperluasnya dengan menegaskan hubungan erat antara ilmu (‘ilm) dan amal (‘amal). Baginya, ilmu adalah cahaya yang membimbing, sedangkan amal adalah manifestasi ikrar yang meneguhkan. Kebajikan sejati hanya muncul jika keduanya berjalan selaras, karena ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan, sedangkan amal tanpa ilmu adalah kesesatan⁸.

6.4.       Tradisi Kristen Awal

Santo Agustinus memandang kebajikan sebagai cinta yang teratur (ordo amoris), yakni pengetahuan dan komitmen yang diarahkan kepada Allah sebagai kebaikan tertinggi. Baginya, pengetahuan teologis harus diiringi dengan ikrar iman yang mengikat manusia pada Tuhan⁹. Sementara itu, Thomas Aquinas membedakan antara kebajikan kardinal (prudence, justice, fortitude, temperance) yang dapat dicapai melalui akal, dan kebajikan teologal (faith, hope, charity) yang hanya mungkin melalui rahmat Ilahi¹⁰. Dalam kedua jenis kebajikan ini, terlihat bahwa pengetahuan dan ikrar selalu berjalan beriringan.


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 95–97.

[2]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 505–509.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1097a–1109b.

[4]                Confucius, The Analects, trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett, 2003), 12:22–12:24.

[5]                Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 45–50.

[6]                Ibn Sina, Al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 205–207.

[7]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa-Taṭhīr al-A‘rāq, ed. Constantin Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 34–36.

[8]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–48.

[9]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 120–122.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), II-II, q.47–q.70.


7.           Perspektif Modern dan Kontemporer

Perdebatan mengenai sumber kebajikan tidak berhenti pada era klasik, melainkan terus berkembang dalam filsafat modern hingga kontemporer. Para filsuf modern mengalihkan fokus dari metafisika menuju epistemologi dan etika praktis, sementara pemikir kontemporer lebih banyak menghubungkannya dengan psikologi, sosiologi, dan dinamika global. Dalam konteks ini, relasi antara ikrar dan pengetahuan terus ditafsirkan ulang sesuai dengan tantangan zaman.

7.1.       Kant dan Etika Deontologis

Immanuel Kant menjadi salah satu tokoh sentral dalam perdebatan ini. Ia menolak konsepsi teleologis Aristoteles yang mendasarkan kebajikan pada habituasi dan tujuan akhir. Kant menekankan bahwa moralitas bersumber pada imperatif kategoris, yakni hukum moral universal yang lahir dari rasio praktis. Dalam kerangka ini, kebajikan tidak ditentukan oleh pengetahuan empiris tentang akibat, melainkan oleh ikrar rasional untuk tunduk pada kewajiban moral. Kehendak baik (good will) menjadi pusat moralitas, dan tindakan hanya bernilai moral jika didasarkan pada kewajiban, bukan pada keuntungan atau konsekuensi¹.

7.2.       Utilitarianisme: Pengetahuan Konsekuensial

Berbeda dengan Kant, aliran utilitarianisme yang dikembangkan Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menegaskan bahwa kebajikan bersumber dari kemampuan menghitung konsekuensi tindakan. Pengetahuan tentang apa yang menghasilkan “kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar” menjadi dasar penilaian moral². Di sini, pengetahuan berperan penting sebagai sarana rasional untuk menimbang akibat, sementara ikrar hanya berfungsi sejauh ia konsisten dengan prinsip utilitas.

7.3.       Eksistensialisme dan Komitmen Personal

Di abad ke-20, eksistensialisme menekankan kebebasan individu dan komitmen personal sebagai dasar kebajikan. Jean-Paul Sartre menolak determinasi moral oleh pengetahuan universal; baginya, manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas,” sehingga kebajikan lahir dari ikrar eksistensial untuk hidup otentik³. Dengan demikian, ikrar personal lebih ditekankan daripada pengetahuan objektif. Namun, Sartre juga mengingatkan bahwa setiap ikrar harus disertai tanggung jawab universal, karena pilihan individu sekaligus menegaskan nilai bagi kemanusiaan secara umum.

7.4.       Psikologi Moral Kontemporer

Dalam kajian psikologi moral kontemporer, pengetahuan dan ikrar dipahami sebagai dua aspek yang saling memengaruhi perkembangan moral. Lawrence Kohlberg mengembangkan teori tahap-tahap perkembangan moral yang menekankan pentingnya pengetahuan kognitif dalam menilai benar-salah. Namun, penelitian Carol Gilligan kemudian mengkritisi pendekatan tersebut dengan menambahkan dimensi etika kepedulian, yang menekankan pada komitmen relasional sebagai sumber kebajikan⁴. Dengan demikian, ilmu kontemporer mengakui bahwa kebajikan lahir dari integrasi pengetahuan moral dan ikrar relasional.

7.5.       Tantangan Global dan Etika Kontemporer

Dalam dunia global yang diwarnai krisis lingkungan, ketidaksetaraan sosial, dan perkembangan teknologi, kebajikan ditafsirkan ulang dalam kerangka etika terapan. Etika lingkungan menekankan perlunya pengetahuan saintifik mengenai ekosistem sekaligus ikrar moral untuk menjaga keberlanjutan bumi⁵. Etika bio-medis mengandaikan pengetahuan ilmiah yang mendalam, tetapi juga komitmen moral untuk menghormati martabat manusia. Begitu pula dalam etika teknologi, khususnya kecerdasan buatan, diperlukan pengetahuan teknis sekaligus ikrar etis untuk menghindari penyalahgunaan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, ed. and trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 30–35.

[2]                John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. Roger Crisp (Oxford: Oxford University Press, 1998), 14–16.

[3]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 41–44.

[4]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development: Vol. I, The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 23–25; Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 19–23.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.


8.           Kritik dan Reinterpretasi

Perdebatan mengenai sumber kebajikan, apakah ikrar atau pengetahuan, tidak terlepas dari kritik yang menyoroti keterbatasan kedua pendekatan tersebut. Sementara itu, reinterpretasi diperlukan untuk merumuskan suatu kerangka konseptual yang lebih menyeluruh, yang tidak hanya bersandar pada salah satu poros, melainkan mengintegrasikan keduanya dalam horizon etika yang lebih luas.

8.1.       Kritik terhadap Ikrar sebagai Sumber Kebajikan

Ikrar sering dipuji karena menegaskan aspek kehendak dan komitmen, tetapi ia juga rentan melahirkan problem serius. Pertama, ikrar berpotensi berubah menjadi dogmatisme ketika tidak disertai pengetahuan kritis. Sejarah menunjukkan bahwa sumpah kesetiaan tanpa refleksi rasional dapat menjadi alat legitimasi kekuasaan totaliter, seperti yang terlihat pada rezim fasis di abad ke-20¹. Kedua, ikrar yang terlalu menekankan pada aspek formalitas dapat kehilangan makna substansial. Dalam praktik keagamaan misalnya, sumpah dan janji moral kadang direduksi menjadi ritual simbolis tanpa internalisasi yang mendalam².

8.2.       Kritik terhadap Pengetahuan sebagai Sumber Kebajikan

Pengetahuan juga memiliki keterbatasan serius. Pertama, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, terdapat fenomena akrasia (kelemahan kehendak), yaitu ketika seseorang mengetahui kebaikan tetapi gagal melaksanakannya³. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak secara otomatis menghasilkan kebajikan. Kedua, pengetahuan moral yang terlalu rasionalistik cenderung mengabaikan dimensi afektif dan spiritual manusia. Pandangan Socrates yang identikkan kebajikan dengan pengetahuan telah dikritik karena mengesampingkan peran kehendak, emosi, dan habituasi dalam proses moral⁴. Selain itu, dalam masyarakat modern, informasi dan pengetahuan yang melimpah tidak serta merta membuat manusia lebih baik; justru sering menimbulkan relativisme atau apatisme moral.

8.3.       Reinterpretasi Dialektis

Dari kritik tersebut, jelas bahwa ikrar dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan, melainkan harus dipahami dalam kerangka dialektis. Kebajikan sejati lahir ketika pengetahuan rasional tentang yang baik dipadukan dengan ikrar moral untuk mewujudkannya. Dalam pandangan Al-Ghazālī, ilmu dan amal adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan: amal tanpa ilmu menyesatkan, sementara ilmu tanpa amal tidak bernilai⁵. Demikian pula, Aristoteles dengan konsep phronēsis menunjukkan bahwa kebijaksanaan praktis merupakan jembatan antara pengetahuan dan kehendak⁶.

8.4.       Reinterpretasi dalam Konteks Kontemporer

Dalam konteks global saat ini, reinterpretasi kebajikan menuntut perspektif yang lebih interdisipliner. Etika lingkungan, bioetika, dan etika teknologi menuntut integrasi pengetahuan ilmiah dengan ikrar moral. Tanpa ikrar, pengetahuan saintifik dapat disalahgunakan; sebaliknya, ikrar tanpa pengetahuan dapat menghasilkan kebijakan yang tidak efektif. Dengan demikian, reinterpretasi kebajikan dalam dunia modern adalah menempatkannya sebagai hasil sintesis: pengetahuan memberi arah dan kejelasan, sementara ikrar memberi keteguhan dan keberanian untuk bertindak.


Footnotes

[1]                Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt, Brace & World, 1951), 236–240.

[2]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–173.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1145b–1147a.

[4]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 118–122.

[5]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–48.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a–1144b.


9.           Relevansi dalam Kehidupan Kontemporer

Pertanyaan mengenai sumber kebajikan, apakah ikrar atau pengetahuan, tidak hanya memiliki nilai teoretis dalam filsafat moral, tetapi juga relevansi praktis dalam berbagai aspek kehidupan kontemporer. Dunia modern yang ditandai oleh pluralitas nilai, perkembangan teknologi, dan krisis global menuntut suatu pemahaman kebajikan yang dapat memandu individu maupun komunitas dalam bertindak etis. Dialektika antara ikrar dan pengetahuan menjadi penting, karena kebajikan dalam konteks kekinian tidak bisa hanya mengandalkan salah satu aspek, melainkan membutuhkan integrasi keduanya.

9.1.       Pendidikan Moral dan Karakter

Dalam dunia pendidikan, pembentukan kebajikan sering kali dipandang cukup dengan memberikan pengetahuan moral melalui kurikulum. Namun, kenyataannya, pengajaran nilai tanpa ikrar praktis sulit melahirkan karakter yang kuat. Pendidikan karakter membutuhkan internalisasi nilai melalui komitmen nyata, seperti ikrar siswa untuk menjunjung integritas, disiplin, dan tanggung jawab. Penelitian psikologi moral menunjukkan bahwa kebajikan berkembang ketika pengetahuan kognitif disertai dengan habituasi dan komitmen afektif¹. Dengan demikian, integrasi ikrar dan pengetahuan dalam pendidikan menjadi kunci pembentukan manusia yang berkarakter.

9.2.       Politik dan Kepemimpinan

Dalam ranah politik, perdebatan tentang kebajikan tercermin dalam perbedaan antara pemimpin yang mengandalkan pengetahuan teknokratis dan pemimpin yang mengedepankan ikrar moral. Pemimpin yang berpengetahuan luas tetapi tidak memiliki ikrar etis sering jatuh dalam oportunisme dan manipulasi, sementara pemimpin yang hanya berikrar tetapi miskin pengetahuan akan gagal dalam pengambilan keputusan strategis. Oleh karena itu, kepemimpinan etis yang relevan di era kontemporer harus memadukan pengetahuan tentang kompleksitas sosial dengan ikrar untuk mengutamakan keadilan, integritas, dan kepentingan publik².

9.3.       Agama dan Spiritualitas

Dalam tradisi keagamaan, relevansi kebajikan sangat jelas. Ikrar iman, seperti syahadat dalam Islam atau baptisan dalam Kristen, menjadi komitmen fundamental yang menuntun kehidupan moral. Namun, tanpa pengetahuan mendalam tentang ajaran agama, ikrar tersebut berisiko menjadi formalitas belaka. Sebaliknya, pengetahuan teologis tanpa ikrar hanya menghasilkan akademisisme kering tanpa transformasi spiritual. Dengan demikian, kebajikan religius yang otentik menuntut kesatuan antara pengetahuan (‘ilm, gnosis) dan ikrar (iman, niat)³.

9.4.       Etika Global: Lingkungan, Teknologi, dan Kemanusiaan

Krisis kontemporer, seperti kerusakan lingkungan, ketidakadilan sosial, dan tantangan etika teknologi, memperlihatkan urgensi integrasi ikrar dan pengetahuan. Etika lingkungan, misalnya, tidak cukup hanya mengandalkan pengetahuan ilmiah tentang perubahan iklim, melainkan juga menuntut ikrar moral untuk menjaga bumi demi generasi mendatang⁴. Demikian pula dalam etika teknologi, pengembangan kecerdasan buatan memerlukan pengetahuan teknis yang mendalam, tetapi juga ikrar etis agar teknologi tidak disalahgunakan. Relevansi kebajikan dalam konteks global ini menunjukkan bahwa integrasi pengetahuan dan ikrar adalah syarat mutlak bagi keberlanjutan hidup manusia.

9.5.       Kehidupan Pribadi dan Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari, relevansi kebajikan tampak dalam interaksi sosial. Pengetahuan tentang etika pergaulan dan norma sosial perlu diimbangi dengan ikrar personal untuk menghormati sesama, berlaku jujur, dan menjaga solidaritas. Tanpa ikrar, pengetahuan sosial hanya menjadi teori; tanpa pengetahuan, ikrar mudah terjerumus ke dalam eksklusivitas atau intoleransi. Kehidupan sosial yang sehat membutuhkan keseimbangan antara keduanya, sehingga kebajikan tidak hanya menjadi ideal abstrak, melainkan kenyataan praksis yang mewarnai relasi manusia.


Footnotes

[1]                Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development: Vol. I, The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 23–25.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 254–258.

[3]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–48.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

Pertanyaan apakah kebajikan bersumber dari ikrar atau pengetahuan telah dibahas dalam berbagai tradisi filsafat, agama, dan ilmu sosial. Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa kedua pendekatan memiliki kelebihan sekaligus keterbatasan. Ikrar menegaskan komitmen moral yang mengikat manusia pada nilai-nilai tertentu, sementara pengetahuan memberikan fondasi rasional dan epistemologis yang memungkinkan kebajikan berdiri pada dasar yang benar. Sintesis filosofis diperlukan untuk memahami keduanya bukan sebagai pilihan yang saling meniadakan, tetapi sebagai dua dimensi yang saling melengkapi.

10.1.    Kebajikan sebagai Integrasi Ikrar dan Pengetahuan

Kebajikan sejati lahir dari kesatuan antara ikrar dan pengetahuan. Pengetahuan memberikan pencerahan (illumination) tentang apa yang baik, sedangkan ikrar menggerakkan kehendak untuk mewujudkannya dalam tindakan. Aristoteles dengan konsep phronēsis menegaskan bahwa kebijaksanaan praktis merupakan harmoni antara akal dan kehendak¹. Demikian pula dalam tradisi Islam, al-Ghazālī mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan, sedangkan amal tanpa ilmu adalah kesesatan². Sintesis ini menunjukkan bahwa kebajikan tidak cukup hanya dengan mengetahui yang baik atau hanya dengan berkomitmen, tetapi harus menyatukan keduanya dalam praksis hidup.

10.2.    Dimensi Epistemologis, Deontologis, dan Aksiologis

Refleksi filosofis mengungkap bahwa kebajikan memiliki tiga dimensi yang saling berhubungan. Pertama, dimensi epistemologis: kebajikan menuntut pengetahuan tentang apa yang baik, benar, dan adil. Kedua, dimensi deontologis: kebajikan menuntut ikrar atau komitmen moral untuk menjalankan kewajiban. Ketiga, dimensi aksiologis: kebajikan harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang bernilai bagi diri sendiri, orang lain, dan alam semesta³. Dengan demikian, kebajikan adalah harmoni antara pikiran, kehendak, dan perbuatan.

10.3.    Kebajikan dalam Perspektif Antropologi Filosofis

Secara antropologis, manusia adalah makhluk yang memiliki akal (homo sapiens) sekaligus makhluk yang berkomitmen (homo ethicus). Jika kebajikan hanya dipandang sebagai produk pengetahuan, maka aspek kehendak dan kebebasan manusia terabaikan. Sebaliknya, jika kebajikan hanya dipandang sebagai hasil ikrar, maka aspek rasionalitas dan refleksi kritis manusia dikesampingkan. Oleh karena itu, kebajikan harus dilihat sebagai ekspresi utuh dari eksistensi manusia yang rasional, etis, dan spiritual⁴.

10.4.    Refleksi dalam Konteks Kehidupan Modern

Dalam dunia kontemporer yang sarat dengan tantangan moral, sintesis ini semakin relevan. Krisis lingkungan, ketidakadilan sosial, dan kemajuan teknologi menuntut manusia untuk tidak hanya mengetahui konsekuensi dari tindakannya, tetapi juga berikrar untuk bertindak benar. Sebaliknya, ikrar moral yang tulus pun harus disertai pengetahuan kritis agar kebajikan tidak menjadi naif atau destruktif. Oleh karena itu, refleksi filosofis ini mengarah pada kesimpulan bahwa kebajikan kontemporer adalah hasil dialektika kreatif antara ikrar dan pengetahuan.

10.5.    Menuju Teori Kebajikan Integratif

Sintesis ini mengindikasikan perlunya teori kebajikan integratif yang tidak memisahkan, tetapi menyatukan berbagai dimensi manusia. Teori ini dapat dirumuskan dengan menyatakan bahwa kebajikan adalah hasil interaksi antara:

·                     pengetahuan yang memberi arah,

·                     ikrar yang memberi komitmen, dan

·                     tindakan yang memberi realisasi.

Dengan demikian, kebajikan dapat dipahami sebagai habitus moral yang tumbuh dari pengetahuan benar, diperteguh oleh ikrar, dan diwujudkan dalam praksis kehidupan sehari-hari.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1144b.

[2]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Ṭabānah (Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīthah, 1967), 45–48.

[3]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–174.

[4]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 3–5.


11.       Penutup

Pembahasan mengenai sumber kebajikan, apakah berasal dari ikrar atau pengetahuan, telah menyingkap kompleksitas etika dalam lintasan sejarah filsafat, agama, dan ilmu pengetahuan kontemporer. Sejak Socrates yang menegaskan bahwa kebajikan adalah pengetahuan, hingga Kant yang menempatkan ikrar rasional sebagai pusat moralitas, perdebatan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu jawaban tunggal yang memadai untuk menjelaskan hakikat kebajikan. Tradisi Timur dan agama-agama besar pun menegaskan bahwa kebajikan menuntut kesatuan antara kesadaran rasional dan komitmen eksistensial.

Dari uraian yang telah dikaji, terdapat beberapa simpulan pokok. Pertama, pengetahuan memberikan orientasi normatif dan rasional tentang apa yang baik, benar, dan adil. Tanpa pengetahuan, ikrar berisiko jatuh pada dogmatisme atau fanatisme buta. Kedua, ikrar menegaskan aspek kehendak dan komitmen manusia, yang menggerakkan pengetahuan menuju praksis moral. Tanpa ikrar, pengetahuan berpotensi mandek dalam ranah teoritis dan tidak menghasilkan kebajikan nyata. Ketiga, kebajikan sejati adalah hasil dialektika kreatif antara ikrar dan pengetahuan, yang diwujudkan dalam tindakan konkret serta dibentuk oleh habituasi yang konsisten¹.

Dalam konteks kehidupan kontemporer, integrasi ikrar dan pengetahuan menjadi semakin relevan. Pendidikan moral membutuhkan pengetahuan kognitif sekaligus pembiasaan komitmen etis. Politik dan kepemimpinan menuntut pemimpin yang berpengetahuan luas namun juga teguh pada ikrar keadilan. Agama dan spiritualitas menegaskan pentingnya ilmu yang mendalam sekaligus iman yang teguh. Sementara itu, etika global, seperti isu lingkungan dan teknologi, memerlukan sintesis pengetahuan ilmiah dengan ikrar moral demi keberlanjutan peradaban².

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kebajikan bukanlah produk eksklusif dari ikrar atau pengetahuan, melainkan integrasi keduanya dalam horizon praksis manusia. Refleksi filosofis menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk rasional sekaligus etis hanya dapat mencapai kebajikan sejati apabila pengetahuan yang benar dipadukan dengan ikrar yang tulus. Sintesis ini membuka jalan bagi teori kebajikan yang lebih komprehensif dan relevan, yang tidak hanya berlaku dalam ranah filsafat, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik, pendidikan, dan spiritual³.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1147b.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 118–122.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. Harcourt, Brace & World.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Confucius. (2003). The analects (E. Slingerland, Trans.). Hackett.

Ghazālī, A. H. (1967). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (B. Ṭabānah, Ed.). Dār al-Kutub al-Ḥadīthah.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Ed. & Trans.). Cambridge University Press.

Kohlberg, L. (1981). Essays on moral development: Vol. I, The philosophy of moral development. Harper & Row.

MacIntyre, A. (2007). After virtue (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (1998). Utilitarianism (R. Crisp, Ed.). Oxford University Press.

Miskawayh, I. (1966). Tahdhīb al-akhlāq wa-taṭhīr al-a‘rāq (C. Zurayk, Ed.). American University of Beirut.

Plato. (2004). Republic (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.

Wood, A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge University Press.

Ibn Sina. (1985). Al-Najāt (M. Fakhry, Ed.). Dār al-Āfāq al-Jadīdah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar