Diksi Filosofis Asing
Analisis Linguistik, Epistemologis, dan Konseptual
Alihkan ke: Bahasa Indonesia Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas problem linguistik, epistemologis, dan kultural
yang muncul ketika bahasa Indonesia berhadapan dengan diksi filosofis asing
yang tidak memiliki padanan langsung. Fenomena ini ditemukan dalam berbagai
tradisi filsafat, mulai dari Yunani (logos, eidos, nous, arete), Latin (substantia,
accidens, ratio), Jerman (Dasein, Geist, Aufhebung), Prancis (différance,
élan vital, sujet), hingga Arab-Islam (ʿaql, nafs, ʿilm). Kajian
dilakukan dengan pendekatan multidisipliner: linguistik (etimologi dan
semantik), epistemologi (implikasi pengetahuan dan konsep), serta hermeneutik
(pemahaman lintas tradisi).
Hasil analisis menunjukkan bahwa keterbatasan bahasa Indonesia dalam
menerjemahkan istilah-istilah tersebut tidak semata-mata menandakan kelemahan,
melainkan juga peluang kreatif. Di satu sisi, penerjemahan literal sering
menimbulkan reduksi makna dan kesalahpahaman konseptual. Di sisi lain,
keterbatasan padanan justru membuka ruang bagi pengayaan kosakata, penciptaan
neologisme, dan pengembangan dialog antartradisi filosofis. Dengan demikian,
bahasa Indonesia dapat diposisikan bukan hanya sebagai penerima istilah asing,
tetapi juga sebagai medium yang aktif membentuk horizon baru dalam percakapan
filsafat global.
Kata Kunci: Bahasa
Indonesia; istilah filosofis; untranslatability; linguistik filosofis;
epistemologi; hermeneutika; neologisme.
PEMBAHASAN
Diksi Filosofis Asing tanpa Padanannya dalam Bahasa
Indonesia
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Masalah
Bahasa merupakan medium utama dalam
membangun, menyampaikan, dan mengembangkan gagasan filsafat. Hubungan erat
antara bahasa dan filsafat telah lama diakui, sebagaimana ditegaskan oleh
Ludwig Wittgenstein dalam karyanya Tractatus Logico-Philosophicus bahwa
“batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku.”¹ Pandangan ini menunjukkan
bahwa kemampuan suatu bahasa untuk menampung konsep sangat menentukan keluasan
cakrawala berpikir suatu komunitas intelektual.
Namun, dalam konteks bahasa Indonesia,
terdapat tantangan serius ketika berhadapan dengan istilah-istilah filsafat
asing, baik dari tradisi Yunani, Latin, Jerman, Prancis, maupun Arab-Islam.
Banyak diksi filosofis yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa
Indonesia. Misalnya, istilah logos dalam bahasa Yunani tidak dapat
sepenuhnya digantikan oleh kata “kata” atau “akal budi”; begitu juga istilah dasein
dari Heidegger tidak bisa sekadar diterjemahkan sebagai “ada-di-sana” tanpa
kehilangan nuansa ontologisnya.² Fenomena ini menimbulkan problem epistemologis
sekaligus kultural: bagaimana membangun tradisi filsafat dalam bahasa Indonesia
tanpa mengorbankan keutuhan makna istilah filosofis tersebut?
Selain itu, problem penerjemahan ini
bukan semata persoalan teknis linguistik, melainkan juga persoalan
epistemologis. Setiap istilah asing yang diadopsi membawa konteks sejarah,
budaya, dan sistem pemikiran tertentu.³ Misalnya, istilah ʿaql dalam
tradisi Arab-Islam tidak identik dengan “akal” dalam bahasa Indonesia, karena
memuat dimensi spiritual sekaligus rasional yang khas dalam kosmologi Islam.⁴
Dengan demikian, studi mengenai diksi filosofis asing yang tidak memiliki
padanan dalam bahasa Indonesia bukan hanya penting dari sisi linguistik, tetapi
juga vital untuk mengembangkan filsafat dalam konteks akademik Indonesia.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka perumusan masalah dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Apa saja istilah filosofis
asing yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia?
2)
Mengapa istilah-istilah
tersebut problematis secara linguistik dan epistemologis?
3)
Apa implikasi ketiadaan
padanan tersebut terhadap perkembangan studi filsafat di Indonesia?
1.3.
Tujuan dan
Signifikansi Penelitian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)
Mengidentifikasi
istilah-istilah filosofis asing yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
2)
Menganalisis problem
linguistik dan epistemologis yang muncul dari ketiadaan padanan tersebut.
3)
Menawarkan refleksi
filosofis sekaligus strategi adaptasi bahasa agar filsafat tetap dapat
berkembang dalam konteks Indonesia.
Secara akademis, penelitian ini
diharapkan memberi kontribusi pada pengembangan filsafat bahasa dan
penerjemahan filosofis di Indonesia. Secara praktis, kajian ini dapat membantu
para akademisi, penerjemah, dan mahasiswa dalam memahami pentingnya kehati-hatian
dalam mengadopsi istilah asing, sekaligus memotivasi penciptaan kosakata baru
yang sesuai dengan semangat bahasa Indonesia.
1.4.
Signifikansi Kajian
Kajian ini memiliki signifikansi ganda.
Pertama, pada level epistemologis, ia membuka kesadaran bahwa bahasa bukan
sekadar alat komunikasi, melainkan wadah konsep-konsep yang menentukan horizon
berpikir.⁵ Kedua, pada level kultural, kajian ini menegaskan bahwa bahasa
Indonesia, sebagai bahasa ilmu pengetahuan, memiliki tantangan sekaligus
peluang untuk memperkaya dirinya melalui interaksi dengan tradisi filsafat
asing. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan menjadi langkah awal dalam
membangun tradisi filsafat yang kuat dan kontekstual dalam bahasa Indonesia.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 68.
[2]
Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max
Niemeyer Verlag, 1927), 47.
[3]
Paul Ricoeur, On Translation, trans. Eileen
Brennan (London: Routledge, 2006), 4–5.
[4]
Toshihiko Izutsu, Concepts of Reason in Islamic
Philosophy (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 112–13.
[5]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383.
2.
Landasan Teori
2.1.
Bahasa dan Filsafat
Bahasa telah lama dianggap sebagai
fondasi yang tak terpisahkan dari filsafat. Dalam perspektif klasik, filsuf
Yunani seperti Plato memandang bahwa bahasa merupakan representasi dari eidos
atau bentuk ideal, sehingga penggunaan kata tidak hanya bersifat pragmatis
tetapi juga mengandung muatan ontologis.¹ Aristoteles kemudian memperluas
pandangan ini dengan menekankan peran bahasa dalam membangun kategori dan
logika, di mana istilah-istilah tertentu berfungsi sebagai instrumen epistemik
untuk memahami realitas.²
Dalam filsafat modern, hubungan antara
bahasa dan filsafat semakin diperdalam. Wilhelm von Humboldt menegaskan bahwa
bahasa bukan sekadar medium komunikasi, melainkan suatu “energeia” atau
aktivitas kreatif yang membentuk cara pandang manusia terhadap dunia.³ Konsep
ini melahirkan gagasan bahwa setiap bahasa memiliki Weltanschauung
(pandangan dunia) yang unik, sehingga istilah-istilah filosofis dalam bahasa
tertentu tidak bisa dilepaskan dari horizon kebudayaan yang melingkupinya.
Pandangan ini sejalan dengan teori relativitas linguistik yang dikembangkan
oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, yang menyatakan bahwa struktur bahasa
memengaruhi cara manusia berpikir dan mempersepsi realitas.⁴
Dalam konteks ini, bahasa Indonesia
menghadapi tantangan ketika berhadapan dengan istilah asing yang mengandung
nuansa filsafat yang khas. Ketidakmampuan suatu bahasa untuk menampung istilah
asing tidak semata-mata menunjukkan keterbatasan linguistik, tetapi juga
menyingkap adanya perbedaan cara pandang filosofis antarbudaya.
2.2.
Filsafat Bahasa dan
Problematika Penerjemahan
Filsafat bahasa modern menaruh
perhatian besar pada problem makna dan penerjemahan. Gottlob Frege, misalnya,
membedakan antara Sinn (sense) dan Bedeutung (reference), yang
menekankan bahwa makna suatu istilah tidak hanya berkaitan dengan objek yang
dirujuk, tetapi juga dengan cara objek itu dipahami.⁵ Pandangan ini penting
untuk memahami mengapa istilah asing sering kali kehilangan kekuatan
epistemologisnya ketika dipaksakan diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa
Indonesia.
Lebih lanjut, Ludwig Wittgenstein dalam
Philosophical Investigations mengajukan gagasan tentang language-games,
yakni bahwa makna suatu kata hanya dapat dipahami dalam konteks penggunaannya.⁶
Implikasi dari teori ini adalah bahwa istilah filsafat asing tidak mungkin
sepenuhnya dialihbahasakan tanpa mempertimbangkan konteks tradisi pemikirannya.
Misalnya, istilah logos dalam filsafat Yunani kuno memiliki medan makna
yang sangat berbeda dengan “kata” atau “akal” dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, problem penerjemahan juga
dijelaskan oleh para teoritisi hermeneutika seperti Hans-Georg Gadamer.
Menurutnya, penerjemahan bukan sekadar alih kode, tetapi suatu proses dialektis
yang melibatkan “peleburan horizon” (fusion of horizons) antara bahasa
asal dan bahasa sasaran.⁷ Dengan demikian, penerjemahan istilah filsafat bukan
hanya kegiatan linguistik, tetapi juga upaya hermeneutik untuk menjembatani
perbedaan tradisi dan makna.
Teori penerjemahan modern menegaskan
adanya dua pendekatan utama: pertama, pendekatan ekivalensi formal yang
berusaha menjaga bentuk asli istilah; kedua, pendekatan ekivalensi dinamis yang
menekankan pada kesepadanan makna dalam konteks budaya pembaca.⁸ Kedua
pendekatan ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, tetapi dalam
konteks istilah filsafat, sering kali keduanya tidak mampu menangkap
kompleksitas makna yang terkandung.
2.3.
Metodologi Analisis
Istilah Filosofis
Untuk mengkaji istilah-istilah asing
yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, diperlukan pendekatan
metodologis yang multidisipliner. Ada tiga kerangka yang bisa digunakan:
1)
Kajian Linguistik
Kajian linguistik berfokus pada aspek etimologi, semantik,
dan morfologi dari istilah asing. Misalnya, istilah Jerman Aufhebung
dalam filsafat Hegel berasal dari kata kerja aufheben yang memiliki arti
ganda: “meniadakan,” “menjaga,” dan “mengangkat.”⁹ Kajian etimologi membantu
menjelaskan mengapa satu istilah bisa memiliki nuansa filosofis yang kaya dan
sulit digantikan dengan satu kata dalam bahasa Indonesia.
2)
Kajian Epistemologis
Analisis epistemologis diperlukan untuk memahami konteks
filosofis dari istilah yang digunakan. Istilah seperti ʿilm dalam
tradisi Islam tidak dapat dipahami sekadar sebagai “ilmu pengetahuan” karena ia
memuat dimensi teologis, etis, dan kosmologis.¹⁰ Dengan demikian, istilah ini
memiliki implikasi epistemik yang melampaui batas terminologi ilmiah modern.
3)
Kajian Hermeneutik dan
Filosofis
Pendekatan hermeneutik digunakan untuk menafsirkan makna
istilah dalam kerangka tradisi asalnya sekaligus menghubungkannya dengan
horizon bahasa Indonesia. Hal ini melibatkan pembacaan ulang terhadap teks
asli, pemahaman konteks sejarah, serta dialog kritis dengan tradisi lokal.¹¹
Melalui kombinasi ketiga pendekatan
ini, diharapkan analisis diksi filosofis asing tidak hanya berhenti pada aspek
linguistik, tetapi juga mencakup dimensi konseptual dan epistemologis yang
lebih mendalam.
2.4.
Kerangka Teoretis
dalam Penelitian Ini
Kerangka teoretis yang mendasari
penelitian ini berpijak pada tiga asumsi utama:
1)
Bahasa sebagai Konstruk
Epistemik
Bahasa tidak netral, melainkan konstruktif dalam membentuk
cara manusia memahami realitas.¹²
2)
Makna Bersifat
Kontekstual dan Historis
Makna istilah filosofis hanya bisa dipahami dalam konteks
tradisi intelektual yang melahirkannya. Oleh karena itu, penerjemahan istilah
tidak dapat dilepaskan dari horizon historis dan kulturalnya.¹³
3)
Penerjemahan sebagai
Dialog Antartradisi
Proses penerjemahan adalah upaya hermeneutik yang
melibatkan dialog antara tradisi asing dengan tradisi lokal. Dalam konteks ini,
bahasa Indonesia tidak hanya pasif menerima istilah asing, tetapi juga aktif
menafsirkan, mengadaptasi, dan bahkan menciptakan istilah baru.¹⁴
Dengan kerangka ini, penelitian akan
bergerak dari pemetaan problem linguistik menuju analisis epistemologis dan
akhirnya refleksi filosofis, sehingga menghasilkan kajian yang komprehensif.
Footnotes
[1]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett, 1998), 101.
[2]
Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill
(Oxford: Oxford University Press, 1963), 4–7.
[3]
Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of
Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind,
trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.
[4]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the
Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 207; Benjamin Lee Whorf,
Language, Thought, and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 134.
[5]
Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations
from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max
Black (Oxford: Basil Blackwell, 1960), 56–78.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 32.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.
[8]
Eugene A. Nida, Toward a Science of Translating
(Leiden: E. J. Brill, 1964), 159.
[9]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 79–80.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 32–33.
[11]
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences,
ed. and trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981),
43–44.
[12]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 120.
[13]
Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I:
Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.
[14]
Umberto Eco, Experiences in Translation, trans.
Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 9–10.
3.
Istilah Filsafat
dari Tradisi Yunani
3.1.
Logos
Istilah logos merupakan salah
satu konsep paling mendasar dalam filsafat Yunani. Secara etimologis, logos
berasal dari kata kerja legein yang berarti “mengumpulkan” atau
“berbicara.”¹ Dalam pemikiran Herakleitos, logos dipahami sebagai
prinsip rasional yang mengatur kosmos, suatu tatanan universal yang tidak
berubah meskipun segala sesuatu tampak mengalami perubahan.² Sementara itu,
dalam tradisi filsafat Plato dan Aristoteles, logos memiliki nuansa yang
lebih luas, mencakup “rasio,” “argumentasi,” dan “struktur pemikiran.”³
Kesulitan muncul ketika istilah ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kata “kata” atau “ucapan” hanya
menangkap dimensi linguistik, sedangkan “akal” atau “rasio” lebih menekankan
aspek kognitif. Tidak ada satu padanan tunggal yang dapat menampung kompleksitas
makna logos.⁴ Oleh karena itu, dalam studi filsafat di Indonesia,
istilah ini sering dibiarkan dalam bentuk aslinya agar nuansa epistemologis dan
ontologisnya tetap terjaga.
3.2.
Eidos
Konsep eidos pertama kali
mendapat tempat utama dalam filsafat Plato. Secara literal, eidos
berarti “bentuk” atau “rupa,” tetapi dalam filsafat Plato ia merujuk pada
“idea” atau realitas ideal yang transenden.⁵ Misalnya, “segitiga” dalam dunia
inderawi hanyalah representasi dari eidos segitiga yang sempurna dan
abadi di dunia ide.⁶
Dalam bahasa Indonesia, eidos
kerap diterjemahkan sebagai “idea” atau “bentuk,” tetapi kedua terjemahan ini
menimbulkan problem. Kata “idea” sering disalahpahami sebagai gagasan subjektif
dalam pikiran individu, padahal dalam filsafat Plato, eidos bersifat
obyektif dan independen dari kesadaran manusia.⁷ Demikian pula, “bentuk” hanya
merujuk pada aspek visual, tidak menangkap dimensi ontologis yang dimaksud
Plato. Dengan demikian, penerjemahan eidos membutuhkan penjelasan
filosofis yang lebih panjang daripada sekadar padanan kata.
3.3.
Nous
Istilah nous dalam filsafat
Yunani klasik merujuk pada fakultas intelektual tertinggi. Bagi Anaxagoras, nous
adalah prinsip kosmik yang mengatur segala sesuatu.⁸ Aristoteles membedakan
antara nous poietikos (akal aktif) dan nous pathetikos (akal
pasif), yang berfungsi dalam proses pengetahuan dan abstraksi.⁹
Kata “akal” dalam bahasa Indonesia
sering dipakai untuk menerjemahkan nous, tetapi padanan ini menimbulkan
reduksi makna. “Akal” dalam bahasa Indonesia cenderung dipahami sebagai
kemampuan berpikir praktis sehari-hari, sedangkan nous merujuk pada
kemampuan intelektual murni yang bersifat intuitif dan transenden.¹⁰ Oleh
karena itu, istilah nous lebih tepat dipertahankan dalam bentuk aslinya
dengan penjelasan tambahan agar tidak terjadi penyempitan makna.
3.4.
Arete
Konsep arete menempati posisi
sentral dalam etika Yunani. Secara literal, kata ini berarti “keunggulan” atau
“kebaikan.”¹¹ Dalam konteks Homer, arete merujuk pada kualitas heroik
atau keterampilan yang menonjol, misalnya keberanian seorang pejuang. Namun,
dalam filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, arete dipahami sebagai
“keutamaan moral,” yakni kondisi yang memungkinkan manusia mencapai tujuan
hidupnya yang tertinggi, yaitu eudaimonia (kebahagiaan).¹²
Kesulitan penerjemahan muncul ketika arete
hanya dipadankan dengan kata “keutamaan.” Padanan ini cenderung bersifat
moralistik dan sempit, tidak menangkap dimensi fungsional dan teleologis dari arete.¹³
Misalnya, sebuah pisau dapat memiliki arete apabila tajam dan berfungsi
sesuai dengan tujuannya. Dalam filsafat Aristoteles, arete manusia
berarti menjalani hidup sesuai dengan tujuan kodratinya, yakni menggunakan
rasio secara baik.¹⁴ Dengan demikian, arete tidak sekadar keutamaan
moral, melainkan juga keunggulan eksistensial yang memungkinkan manusia
mencapai kesempurnaan dirinya.
Refleksi Teoretis
Keempat istilah Yunani di atas (logos,
eidos, nous, dan arete) menunjukkan betapa sulitnya mentransfer
konsep filosofis antarbahasa. Setiap istilah bukan hanya menyimpan makna
leksikal, tetapi juga membawa horizon kultural dan epistemologis tertentu.
Dalam bahasa Indonesia, ketiadaan padanan langsung menuntut strategi khusus:
apakah istilah dipinjam apa adanya, diterjemahkan dengan keterbatasan, atau
dijelaskan melalui definisi panjang.
Fenomena ini menegaskan bahwa bahasa
bukanlah medium netral, melainkan konstruksi epistemik yang membatasi sekaligus
memperluas horizon pemikiran manusia.¹⁵ Maka, pembahasan istilah filosofis
Yunani menjadi pintu masuk penting untuk memahami keterbatasan dan peluang
bahasa Indonesia dalam mengartikulasikan filsafat secara lebih mendalam.
Footnotes
[1]
G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to
Aristotle (London: Chatto & Windus, 1970), 45.
[2]
Heraclitus, Fragments, ed. T. M. Robinson
(Toronto: University of Toronto Press, 1987), 32.
[3]
Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts
(New York: Modern Library, 1954), 1355a.
[4]
Richard A. Lanham, A Handlist of Rhetorical Terms
(Berkeley: University of California Press, 1991), 89.
[5]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C.
D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 507b.
[6]
Plato, Phaedo, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1977), 78d–79a.
[7]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 123.
[8]
Anaxagoras, Fragments, trans. D. S. Robinson
(Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 12.
[9]
Aristotle, De Anima, trans. Hugh Lawson-Tancred
(London: Penguin, 1986), 429a–430a.
[10]
Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 52.
[11]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture,
trans. Gilbert Highet (Oxford: Oxford University Press, 1945), 13.
[12]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1097b.
[13]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck
and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 1986), 33.
[14]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106a–1107a.
[15]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383.
4.
Istilah Filsafat
dari Tradisi Latin
4.1.
Substantia
Istilah substantia memiliki
peran penting dalam filsafat Latin, terutama dalam tradisi metafisika. Secara
etimologis, kata ini berasal dari akar sub-stare, yang berarti “berdiri
di bawah” atau “yang menopang.”¹ Dalam filsafat skolastik, substantia
dipahami sebagai sesuatu yang menjadi dasar dari segala aksiden (sifat-sifat
yang melekat).² Thomas Aquinas, misalnya, memaknai substantia sebagai
realitas ontologis yang berdiri sendiri, tidak bergantung pada sesuatu yang
lain untuk eksistensinya.³
Kesulitan muncul ketika istilah ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “substansi.” Dalam penggunaan
sehari-hari, “substansi” cenderung dipahami hanya sebagai “isi” atau “materi
pokok,” yang mengandung pengertian reduktif.⁴ Padahal, substantia dalam
tradisi metafisika mengandung dimensi ontologis yang lebih dalam, yakni dasar
keberadaan yang menopang segala bentuk fenomena. Akibatnya, padanan kata
“substansi” dalam bahasa Indonesia sering gagal menangkap kompleksitas makna
metafisik yang dimaksudkan oleh para filsuf Latin.
4.2.
Accidens
Istilah accidens digunakan dalam
filsafat skolastik untuk menunjuk pada sifat atau kualitas yang melekat pada
suatu substantia tetapi tidak menentukan esensinya. Secara etimologis, accidens
berasal dari kata accidere, yang berarti “terjadi” atau “jatuh pada.”⁵
Aristoteles, yang gagasannya diteruskan ke dalam bahasa Latin oleh para pemikir
skolastik, membedakan antara substansi sebagai inti dari realitas dan aksiden
sebagai atribut yang dapat berubah-ubah.⁶
Dalam bahasa Indonesia, kata ini
biasanya diterjemahkan sebagai “aksiden.” Namun, padanan ini sering kali
menimbulkan kebingungan karena kata “aksiden” dalam bahasa sehari-hari identik
dengan “kecelakaan” atau “peristiwa tak terduga.”⁷ Hal ini memperlihatkan
perbedaan semantik yang tajam antara istilah teknis filsafat dan penggunaan
populer. Padahal, accidens dalam kerangka metafisika adalah sifat
sekunder yang tidak menentukan esensi, misalnya warna, ukuran, atau posisi.⁸
Kesenjangan makna ini menunjukkan keterbatasan bahasa Indonesia dalam
mengakomodasi istilah teknis filsafat Latin tanpa penjelasan tambahan.
4.3.
Ratio
Istilah ratio dalam filsafat
Latin memiliki nuansa yang sangat kaya. Secara literal, kata ini berarti
“perhitungan,” “pertimbangan,” atau “akal.”⁹ Dalam tradisi filsafat skolastik, ratio
sering dipahami sebagai kemampuan rasional manusia untuk menalar, berbeda dari intellectus
yang merujuk pada intuisi intelektual langsung.¹⁰
Dalam bahasa Indonesia, ratio
sering dipadankan dengan “rasio” atau “akal budi.” Namun, terjemahan ini
menimbulkan reduksi makna. “Rasio” lebih menekankan pada logika formal dan
penalaran ilmiah modern, sementara “akal budi” sering diasosiasikan dengan
kemampuan moral dan etis.¹¹ Padahal, ratio dalam tradisi Latin memiliki
cakupan yang lebih luas: ia mencakup dimensi kognitif, logis, bahkan retoris
dalam membangun argumentasi.¹²
Keterbatasan padanan bahasa Indonesia
untuk ratio juga dapat berdampak epistemologis. Penggunaan istilah
“rasio” dalam konteks modern sering memisahkan antara pengetahuan dan
moralitas, padahal dalam tradisi filsafat Latin, ratio tidak sepenuhnya
terpisah dari orientasi etis dan kosmologis.¹³ Oleh karena itu, istilah ini
menuntut penjelasan filosofis lebih lanjut agar tidak disalahpahami sebagai
sekadar logika matematis.
Refleksi Teoretis
Tiga istilah Latin yang dibahas—substantia,
accidens, dan ratio—menunjukkan bahwa kesulitan penerjemahan tidak
hanya menyangkut aspek leksikal, tetapi juga epistemologis dan ontologis.
Istilah-istilah tersebut lahir dari horizon metafisika tertentu, yang tidak
selalu memiliki padanan dalam tradisi bahasa Indonesia. Jika dipaksakan
diterjemahkan secara literal, makna filosofisnya tereduksi; namun jika
dibiarkan dalam bentuk aslinya, ia berpotensi menimbulkan jarak pemahaman bagi
pembaca awam.
Fenomena ini menegaskan bahwa bahasa
Latin, dengan kekayaan istilah metafisika dan epistemologinya, memainkan peran
krusial dalam perkembangan filsafat Barat. Bagi bahasa Indonesia, keterbatasan
padanan justru bisa menjadi peluang untuk memperkaya kosakata filsafat melalui
pinjaman istilah asing atau penciptaan neologisme yang sesuai dengan konteks
lokal.¹⁴ Dengan demikian, analisis istilah Latin membuka ruang refleksi lebih
luas tentang bagaimana bahasa Indonesia dapat bertransformasi menjadi bahasa filsafat
yang lebih matang.
Footnotes
[1]
John F. Wippel, The Metaphysical Thought of Thomas
Aquinas (Washington, DC: Catholic University of America Press, 2000), 85.
[2]
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 34.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.3, a.3.
[4]
William F. Lawhead, The Voyage of Discovery: A
Historical Introduction to Philosophy (Belmont, CA: Wadsworth, 2002), 141.
[5]
Norman Kretzmann, The Metaphysics of Theism:
Aquinas’s Natural Theology in Summa Contra Gentiles (Oxford: Clarendon
Press, 1997), 45.
[6]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1028a–1029b.
[7]
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ed. V (Jakarta:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), entri “aksiden.”
[8]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 67.
[9]
Marcus Tullius Cicero, De Officiis, trans.
Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), 1.
[10]
Thomas Aquinas, Quaestiones Disputatae de Veritate,
q.15, a.1.
[11]
Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which
Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 122.
[12]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 173.
[13]
Josef Pieper, The Concept of Sin (South Bend:
St. Augustine’s Press, 2001), 14–15.
[14]
Umberto Eco, The Search for the Perfect Language
(Oxford: Blackwell, 1995), 22.
5.
Istilah Filsafat
dari Tradisi Jerman
5.1.
Dasein
Istilah Dasein secara harfiah
berarti “ada-di-sana” (da = “di sana,” sein = “ada”). Namun,
dalam filsafat Martin Heidegger, istilah ini mengandung makna ontologis yang
jauh lebih mendalam.¹ Dasein dipakai untuk menunjuk eksistensi manusia,
yakni keberadaan yang secara sadar menanyakan dirinya sendiri.² Heidegger
menegaskan bahwa manusia tidak sekadar “ada” seperti benda lain, tetapi
eksistensinya berciri reflektif dan temporal: ia selalu berada dalam
keterlemparan (Geworfenheit) dan menuju kemungkinan-kemungkinan.³
Sulit menemukan padanan dalam bahasa
Indonesia yang mampu memuat seluruh nuansa Dasein. Terjemahan
“ada-di-sana” terdengar artifisial dan cenderung menekankan aspek spasial,
padahal makna filosofisnya terletak pada eksistensi manusia yang selalu berada
dalam dunia (In-der-Welt-sein).⁴ Oleh karena itu, banyak akademisi
Indonesia mempertahankan istilah Dasein dalam bentuk aslinya, sembari
memberikan penjelasan konseptual yang panjang.
5.2.
Geist
Istilah Geist memiliki spektrum
makna yang luas dalam filsafat Jerman, dari “roh,” “jiwa,” hingga “spirit.”
Dalam pemikiran Hegel, Geist bukan hanya menunjuk pada kesadaran
individu, melainkan juga pada roh objektif yang mewujud dalam institusi,
kebudayaan, dan sejarah.⁵ Geist bahkan mencapai puncaknya dalam bentuk Geist
Absolut, yakni roh yang menyadari dirinya sendiri melalui seni, agama, dan
filsafat.⁶
Dalam bahasa Indonesia, istilah ini
biasanya diterjemahkan sebagai “roh” atau “jiwa.” Namun, kedua terjemahan
tersebut memiliki keterbatasan. “Roh” sering dikaitkan dengan dimensi religius
atau spiritual, sedangkan “jiwa” merujuk pada aspek psikologis manusia. Tidak
ada padanan langsung yang mampu menangkap dimensi historis, kultural, dan
metafisik yang terkandung dalam konsep Geist Hegelian.⁷ Akibatnya, para
penerjemah sering memilih untuk tetap mempertahankan istilah Geist,
karena padanannya dalam bahasa Indonesia akan mereduksi kedalaman
konseptualnya.
5.3.
Aufhebung
Istilah Aufhebung menempati
posisi penting dalam dialektika Hegel. Secara etimologis, kata kerja aufheben
memiliki tiga arti sekaligus: “meniadakan,” “memelihara,” dan “mengangkat.”⁸
Dalam logika Hegelian, kontradiksi tidak semata-mata dihapus, melainkan juga
dipelihara dalam bentuk yang lebih tinggi melalui proses dialektis.⁹ Dengan
demikian, Aufhebung merujuk pada gerak transendensi di mana sebuah tesis
dan antitesis dinegasikan sekaligus dipertahankan dalam sintesis yang lebih
tinggi.
Dalam bahasa Indonesia, Aufhebung
kerap diterjemahkan sebagai “sublasi” atau “pengangkatan.” Namun, padanan ini
tidak sepenuhnya berhasil menyampaikan arti ganda yang menjadi inti dari
istilah tersebut.¹⁰ Misalnya, “sublasi” memberi kesan pemurnian, tetapi
mengabaikan aspek pemeliharaan; sementara “pengangkatan” menekankan gerak ke
atas, tetapi kurang menyoroti aspek negasi. Oleh karena itu, istilah ini sering
dibiarkan dalam bentuk aslinya, dengan catatan bahwa makna filosofisnya harus
dijelaskan secara komprehensif.
Refleksi Teoretis
Tiga istilah filsafat Jerman yang
dibahas—Dasein, Geist, dan Aufhebung—menunjukkan bahwa
bahasa Jerman memiliki fleksibilitas semantik yang sulit ditandingi oleh bahasa
lain, termasuk bahasa Indonesia. Kekayaan morfologis bahasa Jerman memungkinkan
penciptaan istilah-istilah yang sarat makna filosofis.¹¹ Dalam bahasa Indonesia,
ketidakadaan padanan langsung sering menyebabkan penyempitan atau distorsi
makna ketika istilah tersebut dipaksakan diterjemahkan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam
filsafat, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai medium komunikasi, tetapi juga
sebagai instrumen penciptaan konsep.¹² Jika bahasa Indonesia ingin menjadi
bahasa filsafat yang matang, ia harus membuka diri pada strategi adopsi,
transliterasi, atau bahkan penciptaan neologisme yang berakar pada tradisi
lokal. Dengan demikian, studi atas istilah Jerman tidak hanya memberi wawasan
tentang keterbatasan bahasa Indonesia, tetapi juga menawarkan peluang untuk
memperkaya kosakata filosofisnya.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max
Niemeyer Verlag, 1927), 42.
[2]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary
on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991),
15.
[3]
Martin Heidegger, Sein und Zeit, 174.
[4]
Thomas Sheehan, “Heidegger’s Dasein,” in The
Cambridge Companion to Heidegger, ed. Charles Guignon (Cambridge: Cambridge
University Press, 1993), 91–92.
[5]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans.
A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 109–110.
[6]
Charles Taylor, Hegel (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 119.
[7]
Frederick C. Beiser, Hegel (London: Routledge,
2005), 86.
[8]
G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V.
Miller (London: George Allen & Unwin, 1969), 107.
[9]
Robert Stern, Hegel and the Phenomenology of Spirit
(London: Routledge, 2002), 56–57.
[10]
Michael Inwood, A Hegel Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1992), 283.
[11]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 379.
[12]
Jürgen Habermas, On the Logic of the Social
Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge, MA:
MIT Press, 1988), 134.
6.
Istilah Filsafat
dari Tradisi Prancis
6.1.
Différance
Istilah différance diperkenalkan
oleh Jacques Derrida dalam konteks dekonstruksi. Secara fonetik, kata ini
identik dengan différence (“perbedaan”), namun Derrida menambahkan huruf
“a” untuk menandai dimensi penundaan (to defer) sekaligus perbedaan (to
differ).¹ Dengan demikian, différance memuat dua makna yang tak
dapat disatukan dalam satu padanan bahasa Indonesia: “perbedaan” dan
“penundaan.”
Konsep ini menegaskan bahwa makna tidak
pernah hadir secara penuh, melainkan selalu tertunda dalam jaringan penanda.²
Jika diterjemahkan hanya sebagai “perbedaan,” maka dimensi temporal penundaan
hilang; jika diterjemahkan sebagai “penundaan,” aspek diferensialnya hilang.
Akibatnya, para penerjemah filsafat di Indonesia sering memilih untuk
mempertahankan istilah différance dalam bentuk aslinya agar kekayaan
makna Derrida tidak tereduksi.³
6.2.
Élan vital
Istilah élan vital diperkenalkan
oleh Henri Bergson dalam karyanya L’Évolution créatrice (1907). Secara
harfiah, ia berarti “dorongan hidup” atau “tenaga vital.”⁴ Bagi Bergson, élan
vital adalah prinsip metafisik yang menjelaskan kreativitas kehidupan,
yakni daya transenden yang mendorong evolusi biologis dan perkembangan
kesadaran.⁵
Dalam bahasa Indonesia, élan vital
sering diterjemahkan sebagai “daya hidup.” Namun, terjemahan ini mereduksi
kedalaman filosofisnya. “Daya hidup” lebih condong ke pengertian biologis atau
fisiologis, sementara Bergson mengartikannya sebagai tenaga metafisik yang
melampaui mekanisme deterministik.⁶ Oleh karena itu, penerjemahan istilah ini
membutuhkan elaborasi konseptual agar tidak jatuh pada penyempitan makna yang
terlalu ilmiah.
6.3.
Sujet
Istilah sujet dalam filsafat
Prancis mengacu pada “subjek,” tetapi nuansanya lebih kompleks dibanding
terjemahan literalnya. Dalam filsafat klasik, sujet sering kali dipahami
sebagai pusat kesadaran atau agen berpikir. Namun, dalam pemikiran modern dan
poststrukturalis, istilah ini mengalami problematisasi. Michel Foucault,
misalnya, menekankan bahwa sujet terbentuk dalam relasi kuasa dan
praktik diskursif, bukan entitas otonom yang independen.⁷
Padanan bahasa Indonesia “subjek” tidak
selalu memadai, karena sering dipahami sekadar sebagai pelaku dalam kalimat
atau agen dalam tindakan. Terjemahan ini kehilangan dimensi kritis yang
menandai pembahasan filsafat kontemporer, di mana sujet justru
dipertanyakan statusnya sebagai pusat kesadaran.⁸ Maka, istilah ini perlu
dipertahankan dalam bentuk aslinya atau diperkaya dengan penjelasan filosofis
kontekstual.
Refleksi Teoretis
Ketiga istilah filsafat Prancis—différance,
élan vital, dan sujet—menunjukkan bahwa bahasa Prancis menjadi
arena eksperimentasi konseptual yang sulit diwakili oleh bahasa lain, termasuk
bahasa Indonesia. Différance menyingkap keterbatasan bahasa dalam
menampung permainan tanda; élan vital memperlihatkan keterbatasan
istilah biologis ketika dihadapkan pada vitalisme metafisik; sedangkan sujet
menggugat pengertian klasik tentang subjek modern.
Ketiadaan padanan dalam bahasa
Indonesia untuk istilah-istilah ini mengungkapkan keterbatasan sekaligus
peluang. Keterbatasan karena penerjemahan literal cenderung mereduksi makna;
peluang karena bahasa Indonesia dapat diperkaya melalui adopsi istilah asing
atau penciptaan neologisme.⁹ Dengan demikian, analisis terhadap istilah Prancis
ini memperlihatkan bagaimana filsafat tidak hanya melahirkan konsep, tetapi
juga menguji kemampuan bahasa dalam menampung kompleksitas pemikiran.
Footnotes
[1]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans.
Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), xix–xx.
[2]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
23.
[3]
Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1987), 45.
[4]
Henri Bergson, L’Évolution créatrice (Paris:
Félix Alcan, 1907), 89.
[5]
Henri Bergson, Creative Evolution, trans.
Arthur Mitchell (New York: Random House, 1944), 135.
[6]
Gilles Deleuze, Bergsonism, trans. Hugh
Tomlinson and Barbara Habberjam (New York: Zone Books, 1988), 92.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1979), 29.
[8]
Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories
in Subjection (Stanford: Stanford University Press, 1997), 11.
[9]
Umberto Eco, Experiences in Translation, trans.
Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 18.
7.
Istilah Filsafat
dari Tradisi Arab-Islam
7.1.
ʿAql
Istilah ʿaql menempati posisi
sentral dalam filsafat Arab-Islam. Secara etimologis, kata ini berasal dari
akar kata ʿaqala yang berarti “mengikat” atau “menahan.”¹ Dalam tradisi
filsafat, ʿaql merujuk pada daya intelektual manusia yang memungkinkan
pengetahuan, tetapi juga memiliki dimensi moral dan spiritual. Al-Farabi
membedakan antara ʿaql bi al-quwwah (akal potensial) dan ʿaql bi
al-fiʿl (akal aktual), sementara Ibn Sina membicarakan ʿaql faʿʿal
(akal aktif) sebagai perantara antara Tuhan dan manusia.²
Dalam bahasa Indonesia, ʿaql
kerap dipadankan dengan “akal.” Namun, makna “akal” dalam konteks bahasa
sehari-hari cenderung terbatas pada kemampuan berpikir logis, sementara ʿaql
dalam filsafat Islam mencakup dimensi transenden: ia bukan sekadar alat
berpikir, tetapi juga sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.³ Oleh karena itu,
penerjemahan langsung berpotensi mereduksi makna metafisik dan etis yang
terkandung dalam istilah ini.
7.2.
Nafs
Kata nafs secara literal berarti
“diri” atau “jiwa.” Dalam Al-Qur’an, istilah ini memiliki berbagai lapisan
makna, mulai dari nafs al-ammarah (jiwa yang cenderung pada keburukan)
hingga nafs al-mutmaʾinnah (jiwa yang tenang).⁴ Dalam filsafat Islam, nafs
dipahami sebagai substansi immaterial yang menggerakkan tubuh manusia. Ibn
Sina, misalnya, dalam Kitab al-Nafs membahas nafs sebagai entitas
yang berbeda dari badan, tetapi terkait erat dengannya.⁵
Dalam bahasa Indonesia, istilah ini
sering diterjemahkan sebagai “jiwa” atau “diri.” Namun, kedua padanan ini tidak
memadai. “Jiwa” lebih dekat dengan aspek psikologis, sedangkan “diri” lebih
menekankan pada identitas personal. Padahal nafs dalam tradisi Islam
memiliki cakupan ontologis, psikologis, sekaligus spiritual.⁶ Dengan demikian,
istilah ini sulit dipadatkan dalam satu kata bahasa Indonesia tanpa
mengorbankan kekayaan makna aslinya.
7.3.
ʿIlm
Istilah ʿilm berarti
“pengetahuan,” tetapi dalam tradisi Islam ia melampaui batas semantik dari kata
“ilmu” dalam bahasa Indonesia modern. Secara konseptual, ʿilm tidak
hanya merujuk pada pengetahuan empiris atau rasional, tetapi juga pengetahuan
yang bersumber dari wahyu.⁷ Al-Ghazali membagi ʿilm ke dalam kategori
pengetahuan syarʿi (wahyu) dan pengetahuan ʿaqli (rasional), dan keduanya
dipandang sebagai bagian dari satu kesatuan epistemologi Islam.⁸
Dalam bahasa Indonesia, “ilmu”
cenderung diasosiasikan dengan sains modern yang berbasis empiris dan
metodologis. Perbedaan ini menunjukkan bahwa terjemahan ʿilm menjadi
“ilmu” mengalami penyempitan makna yang signifikan, karena mengabaikan dimensi
spiritual dan normatif yang melekat dalam tradisi Islam.⁹ Dengan demikian, ʿilm
tidak hanya berarti “knowledge,” tetapi juga merupakan konsep epistemologis
yang memadukan akal, intuisi, dan wahyu.
Refleksi Teoretis
Ketiga istilah Arab-Islam yang dibahas—ʿaql,
nafs, dan ʿilm—menunjukkan keterbatasan bahasa Indonesia dalam
menerjemahkan istilah yang sarat dimensi ontologis, epistemologis, dan
spiritual. Jika dipaksakan ke dalam padanan seperti “akal,” “jiwa,” atau
“ilmu,” maka makna filosofisnya direduksi ke dalam kerangka modern yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan horizon Islam.
Namun, ketidakadaan padanan langsung
juga membuka peluang. Dengan mempertahankan istilah-istilah tersebut dalam
bentuk aslinya, bahasa Indonesia dapat diperkaya melalui integrasi
konsep-konsep yang berakar pada tradisi Islam.¹⁰ Hal ini tidak hanya relevan
secara linguistik, tetapi juga penting secara kultural, karena memungkinkan
perkembangan filsafat dalam bahasa Indonesia tetap berpijak pada warisan
intelektual Islam tanpa kehilangan kedalaman maknanya.
Footnotes
[1]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 44.
[2]
Al-Farabi, Selected Aphorisms, trans. Muhsin
Mahdi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 57–59; Ibn Sina, The
Metaphysics of The Healing, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham
Young University Press, 2005), 347–348.
[3]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.
[4]
Al-Qur’an, Surah Yusuf [12]:53; Surah Al-Fajr
[89]:27–28.
[5]
Ibn Sina, De Anima (Kitab al-Nafs), trans.
Fazlur Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 11–12.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 96.
[7]
Al-Ghazali, Ihya’ ʿUlum al-Din, trans. Nabih
Amin Faris (Cairo: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2005), 15–16.
[8]
Al-Ghazali, Deliverance from Error, trans. R.
J. McCarthy (Louisville, KY: Fons Vitae, 2000), 62.
[9]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The
Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (London: Hurst, 2011),
121.
[10]
William C. Chittick, The Essential Seyyed Hossein
Nasr (Bloomington: World Wisdom, 2007), 77.
8.
Analisis
Perbandingan
8.1.
Persoalan
Untranslatability
Salah satu tantangan utama dalam studi
diksi filosofis asing adalah fenomena untranslatability atau
ketidakmungkinan penerjemahan penuh. Istilah ini bukan berarti bahwa sebuah
kata sama sekali tidak dapat dialihbahasakan, melainkan bahwa setiap upaya
penerjemahan akan selalu meninggalkan residu makna yang tidak tertampung dalam
bahasa sasaran.¹ Misalnya, istilah Yunani logos tidak sepenuhnya identik
dengan “kata” maupun “rasio”; istilah Jerman Dasein tidak dapat
direduksi menjadi “ada-di-sana” tanpa menghilangkan dimensi eksistensialnya;
sementara istilah Arab-Islam ʿaql melampaui pengertian “akal” dalam
bahasa Indonesia.²
Fenomena ini memperlihatkan bahwa
bahasa bukan sekadar medium netral untuk menyampaikan konsep, tetapi juga
pembentuk horizon berpikir yang khas.³ Dalam konteks filsafat, setiap istilah
mengandung sejarah intelektual, konteks kultural, dan nuansa epistemologis yang
tidak selalu dapat ditangkap oleh bahasa lain. Karena itu, untranslatability
lebih tepat dipahami sebagai problem hermeneutik yang menuntut pemahaman lintas
tradisi.
8.2.
Strategi Adaptasi
Linguistik
Dalam menghadapi kesulitan
penerjemahan, para penerjemah dan akademisi biasanya menggunakan beberapa
strategi adaptasi:
1)
Adopsi Istilah Asli
Beberapa istilah dipertahankan dalam bentuk aslinya,
seperti différance atau Aufhebung. Strategi ini menjaga keutuhan
makna, tetapi menimbulkan jarak bagi pembaca awam.⁴
2)
Terjemahan Deskriptif
Alternatif lain adalah menjelaskan istilah melalui frasa
panjang, misalnya menerjemahkan arete sebagai “keunggulan moral yang
memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan (eudaimonia).” Strategi ini
memperjelas makna, tetapi kehilangan singkatnya istilah asli.⁵
3)
Neologisme
Dalam beberapa kasus, diciptakan istilah baru untuk
menampung makna asing. Contohnya, istilah “sublasi” dipakai untuk menerjemahkan
Aufhebung, meskipun tidak sepenuhnya memadai.⁶ Strategi ini membuka
peluang bagi perkembangan bahasa, tetapi rentan menimbulkan kebingungan jika
tidak disertai konsistensi akademik.
8.3.
Perbandingan
Antartradisi
Jika dibandingkan, setiap tradisi
bahasa memiliki cara unik dalam menghadapi keterbatasan penerjemahan:
·
Tradisi Yunani
menekankan dimensi ontologis (misalnya eidos dan nous), yang
sulit dipadankan karena bahasa Indonesia tidak memiliki tradisi metafisika
serupa.⁷
·
Tradisi Latin
mengedepankan aspek metafisika skolastik (substantia, accidens, ratio),
yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia sering menyempit menjadi istilah
sehari-hari.⁸
·
Tradisi Jerman
menghasilkan istilah konseptual yang kaya secara morfologis (Dasein, Geist,
Aufhebung), sulit dipindahkan karena bahasa Indonesia tidak memiliki
fleksibilitas serupa.⁹
·
Tradisi Prancis
menciptakan istilah eksperimental (différance, élan vital, sujet) yang
tidak mungkin dipahami tanpa memahami konteks filosofisnya.¹⁰
·
Tradisi Arab-Islam
menekankan dimensi spiritual-rasional (ʿaql, nafs, ʿilm), yang dalam
bahasa Indonesia kerap dipersempit ke ranah psikologis atau saintifik modern.¹¹
Analisis perbandingan ini
memperlihatkan bahwa kesulitan penerjemahan tidak hanya bersifat linguistik,
tetapi juga epistemologis. Bahasa Indonesia sebagai bahasa filsafat relatif
muda, sehingga menghadapi tantangan besar ketika harus mengakomodasi istilah
dari tradisi-tradisi yang lebih tua dan mapan.
8.4.
Implikasi bagi
Bahasa Indonesia
Ketiadaan padanan langsung tidak selalu
menjadi kelemahan. Sebaliknya, hal ini dapat menjadi peluang untuk memperkaya
bahasa Indonesia melalui tiga cara:
1)
Pengayaan Kosakata:
Mengadopsi istilah asing secara selektif agar bahasa Indonesia memiliki
terminologi filsafat yang lebih luas.¹²
2)
Kreativitas Linguistik:
Mendorong penciptaan istilah baru yang berakar pada bahasa lokal, namun tetap
mampu menangkap makna universal.¹³
3)
Dialog Antartradisi:
Menjadikan perbedaan istilah sebagai sarana untuk membangun dialog antara
filsafat Barat, Prancis, Jerman, Latin, dan tradisi Islam, sehingga memperluas
horizon intelektual bahasa Indonesia.¹⁴
Dengan demikian, analisis perbandingan
ini tidak berhenti pada pemetaan perbedaan, tetapi juga mendorong strategi
konkret bagi perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa filsafat yang matang.
Footnotes
[1]
Barbara Cassin, Dictionary of Untranslatables: A
Philosophical Lexicon, ed. Emily Apter et al. (Princeton: Princeton
University Press, 2014), xvii.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 32.
[3]
Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of
Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind,
trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.
[4]
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans.
Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), xx.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1097b.
[6]
G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V.
Miller (London: George Allen & Unwin, 1969), 107.
[7]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 123.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.3.
[9]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary
on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991),
15.
[10]
Gilles Deleuze, Bergsonism, trans. Hugh
Tomlinson and Barbara Habberjam (New York: Zone Books, 1988), 92.
[11]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.
[12]
Umberto Eco, The Search for the Perfect Language
(Oxford: Blackwell, 1995), 22.
[13]
Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I:
Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.
[14]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.
9.
Implikasi Akademik
dan Kultural
9.1.
Implikasi terhadap
Studi Filsafat di Indonesia
Ketiadaan padanan yang memadai untuk
istilah-istilah filosofis asing memiliki dampak langsung terhadap pengajaran
dan pengembangan filsafat di Indonesia. Pertama, ia menimbulkan kesenjangan
epistemologis dalam proses belajar-mengajar. Mahasiswa filsafat sering kali
harus berhadapan dengan istilah yang dipertahankan dalam bahasa aslinya,
seperti Dasein (Jerman), différance (Prancis), atau ʿaql
(Arab).¹ Hal ini menuntut penguasaan bahasa asing sekaligus tradisi filsafat
yang melahirkannya, yang tidak selalu dapat dipenuhi dalam konteks pendidikan
tinggi Indonesia.
Kedua, keterbatasan padanan membuat
literatur filsafat dalam bahasa Indonesia cenderung bergantung pada terjemahan
asing.² Akibatnya, ada risiko reduksi makna ketika teks klasik atau kontemporer
dipaksakan menggunakan padanan yang tidak tepat. Misalnya, substantia
yang diterjemahkan menjadi “substansi” sering disalahpahami hanya sebagai “isi”
atau “materi,” sehingga hilang dimensi metafisikanya.³ Kekurangan ini dapat
menghambat perkembangan diskursus filsafat dalam bahasa Indonesia dan
memperlambat terciptanya tradisi intelektual yang mandiri.
9.2.
Implikasi terhadap
Perkembangan Bahasa Indonesia
Secara linguistik, perjumpaan dengan
istilah filosofis asing membuka peluang pengayaan kosakata bahasa Indonesia.
Bahasa Jepang, misalnya, berhasil menciptakan neologisme modern untuk
mengakomodasi istilah Barat, seperti tetsugaku (哲学)
untuk “filsafat.”⁴ Bahasa Turki juga melakukan reformasi linguistik
besar-besaran pada abad ke-20 untuk menggantikan istilah Arab-Persia dengan
padanan Turki modern.⁵
Bahasa Indonesia dapat mengambil
pelajaran dari pengalaman tersebut. Tantangan ketiadaan padanan justru bisa
menjadi pemicu kreativitas linguistik, baik melalui transliterasi, adaptasi
semantik, maupun penciptaan istilah baru. Namun, proses ini harus dilakukan
secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerancuan makna. Tanpa upaya konsisten,
bahasa Indonesia berisiko menjadi sekadar bahasa pengantar filsafat, bukan
bahasa pencipta filsafat.⁶
9.3.
Implikasi Kultural
dan Identitas Intelektual
Pada tingkat kultural, persoalan
padanan istilah filsafat asing menyingkap posisi bahasa Indonesia dalam lanskap
global. Di satu sisi, ketidakmampuan menemukan padanan menunjukkan keterbatasan
kosakata filosofis dalam bahasa Indonesia. Di sisi lain, hal ini menegaskan
bahwa setiap bahasa membawa horizon kebudayaan yang unik.⁷ Dengan demikian,
pertemuan antara bahasa Indonesia dan istilah asing adalah sebuah dialog
antartradisi yang dapat memperkaya identitas intelektual bangsa.
Lebih jauh, adopsi istilah asing yang
hati-hati dapat memperkuat tradisi filsafat lokal. Misalnya, istilah ʿilm
dalam tradisi Islam tidak hanya memperluas kosakata, tetapi juga memperkenalkan
perspektif epistemologis yang berbeda dari sains modern.⁸ Demikian pula,
penggunaan arete atau Geist dalam kajian filsafat Indonesia
memungkinkan mahasiswa untuk memahami filsafat Barat secara lebih otentik,
tanpa penyempitan makna. Dengan kata lain, ketiadaan padanan bukanlah sekadar
hambatan, tetapi juga peluang untuk membangun tradisi filsafat Indonesia yang
plural, terbuka, dan kritis.
9.4.
Perbandingan dengan
Bahasa Lain
Jika dibandingkan, bahasa lain telah
menunjukkan model yang bisa ditiru. Bahasa Jepang, selain menciptakan
neologisme, juga meminjam langsung istilah asing dengan penyesuaian fonetik,
seperti aristotelesu untuk Aristoteles.⁹ Bahasa Arab, sebaliknya,
mengadaptasi kosakata Yunani melalui terjemahan kreatif, misalnya ousia
(substansi) menjadi jawhar.¹⁰ Perbedaan strategi ini menunjukkan bahwa
tidak ada satu model tunggal, tetapi setiap bahasa mengembangkan mekanisme
sesuai dengan konteks kultural dan historisnya.
Bahasa Indonesia dapat mengambil jalan
tengah: meminjam istilah asing yang sulit diterjemahkan, sambil secara bertahap
menciptakan neologisme berbasis lokal. Dengan demikian, bahasa Indonesia bisa
berkembang menjadi bahasa filsafat yang tidak sekadar pasif menerima, tetapi
juga aktif membentuk terminologi baru.¹¹
Refleksi Kritis
Implikasi akademik dan kultural dari
ketiadaan padanan istilah filosofis asing menegaskan pentingnya kesadaran
kritis dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai medium filsafat. Alih-alih
melihat keterbatasan sebagai kelemahan, ia perlu dipandang sebagai kesempatan
untuk memperkaya kosakata, memperluas horizon pemikiran, dan memperkuat
identitas intelektual bangsa.¹² Dengan cara ini, bahasa Indonesia tidak hanya
menjadi penerima konsep, tetapi juga partisipan aktif dalam percakapan filsafat
global.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max
Niemeyer Verlag, 1927), 42.
[2]
Paul Ricoeur, On Translation, trans. Eileen
Brennan (London: Routledge, 2006), 7.
[3]
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 34.
[4]
Naoki Sakai, Translation and Subjectivity: On
“Japan” and Cultural Nationalism (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1997), 43.
[5]
Geoffrey Lewis, The Turkish Language Reform: A
Catastrophic Success (Oxford: Oxford University Press, 1999), 112.
[6]
Umberto Eco, The Search for the Perfect Language
(Oxford: Blackwell, 1995), 22.
[7]
Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of
Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind,
trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.
[8]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.
[9]
Lydia Liu, Tokens of Exchange: The Problem of
Translation in Global Circulations (Durham: Duke University Press, 1999),
88.
[10]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 56.
[11]
Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I:
Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.
[12]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383.
10.
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
10.1.
Bahasa sebagai
Batasan dan Peluang
Pembahasan mengenai diksi filosofis
asing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa
bahasa tidak sekadar medium komunikasi, melainkan batas sekaligus peluang bagi
perkembangan pemikiran. Ludwig Wittgenstein pernah menegaskan bahwa
“batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku,”¹ menandakan bahwa kemampuan
bahasa menentukan horizon realitas yang dapat dipahami manusia. Namun, seperti
ditunjukkan oleh Wilhelm von Humboldt, bahasa juga merupakan energeia,
sebuah aktivitas kreatif yang membentuk dan memperluas dunia manusia.² Dengan
demikian, meski bahasa Indonesia memiliki keterbatasan dalam menampung istilah
asing, ia juga memiliki potensi untuk berkembang melalui adopsi, adaptasi, dan
penciptaan neologisme.
10.2.
Sintesis atas Temuan
Sebelumnya
Dari analisis lintas tradisi, dapat
disimpulkan bahwa:
·
Tradisi Yunani
menghadirkan konsep ontologis dan epistemologis mendalam seperti logos, eidos,
nous, dan arete, yang sulit direduksi ke padanan sederhana.³
·
Tradisi Latin
menekankan aspek metafisika skolastik melalui substantia, accidens, dan ratio,
yang sering direduksi dalam penerjemahan modern.⁴
·
Tradisi Jerman
menunjukkan kreativitas morfologis dengan istilah seperti Dasein, Geist,
dan Aufhebung, yang menantang untuk dialihbahasakan.⁵
·
Tradisi Prancis
menampilkan eksperimentasi linguistik melalui différance, élan vital,
dan sujet, yang menyingkap keterbatasan struktur bahasa lain.⁶
·
Tradisi Arab-Islam
memperlihatkan integrasi dimensi spiritual dan rasional melalui ʿaql, nafs,
dan ʿilm, yang padanannya dalam bahasa Indonesia cenderung menyempit
pada pengertian modern.⁷
Sintesis ini menunjukkan bahwa
persoalan utama bukanlah “ketidakmampuan” bahasa Indonesia, melainkan
“ketidakpadanan horizon konseptual” antara tradisi filosofis asing dan konteks
bahasa Indonesia.
10.3.
Refleksi Filosofis:
Apakah Bahasa Membatasi Filsafat?
Pertanyaan penting yang muncul adalah:
apakah keterbatasan bahasa benar-benar membatasi filsafat? Derrida melalui
konsep différance menegaskan bahwa makna selalu tertunda, tidak pernah
hadir secara penuh.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa setiap bahasa, betapapun kaya,
selalu menyisakan kekurangan. Dalam konteks ini, keterbatasan bahasa Indonesia
bukanlah anomali, melainkan bagian dari kondisi universal bahasa.
Namun, keterbatasan tersebut tidak
berarti kemacetan. Gadamer menekankan bahwa pemahaman adalah peristiwa
hermeneutik, sebuah peleburan horizon antara bahasa asal dan bahasa penerima.⁹
Maka, pertemuan antara istilah asing dan bahasa Indonesia dapat dipahami
sebagai dialog filosofis yang justru memperkaya kedua belah pihak. Bahasa
Indonesia dapat mengadopsi istilah asing untuk memperluas cakrawala
konseptualnya, sementara istilah asing menemukan konteks baru dalam budaya
Indonesia.
10.4.
Menuju Bahasa
Filsafat Indonesia yang Matang
Refleksi ini mengarah pada kesimpulan
bahwa bahasa Indonesia perlu terus mengembangkan dirinya sebagai bahasa
filsafat. Ada tiga langkah yang dapat ditempuh:
1)
Konsistensi Akademik:
Istilah asing yang dipinjam harus digunakan secara konsisten, disertai dengan
penjelasan filosofis yang jelas agar tidak menimbulkan ambiguitas.¹⁰
2)
Kreativitas Linguistik:
Bahasa Indonesia perlu menciptakan istilah baru yang berakar pada khazanah
lokal, tanpa kehilangan universalitas filsafat.
3)
Dialog Tradisi:
Perjumpaan dengan istilah asing harus dilihat sebagai peluang untuk membangun
filsafat Indonesia yang plural, terbuka, dan kritis.¹¹
Dengan demikian, bahasa Indonesia tidak
hanya menjadi penerjemah pasif, tetapi juga produsen konsep-konsep filosofis
baru.
Penutup Reflektif
Bab ini menegaskan bahwa persoalan
diksi filosofis asing tanpa padanan bukanlah sekadar problem linguistik,
melainkan persoalan epistemologis dan kultural yang menyangkut posisi bahasa
Indonesia dalam lanskap filsafat global. Alih-alih terjebak pada reduksi,
keterbatasan ini dapat dimanfaatkan sebagai ruang kreatif untuk memperkaya
kosakata, memperluas horizon intelektual, dan memperkuat identitas intelektual
bangsa. Dengan cara ini, bahasa Indonesia dapat berperan bukan hanya sebagai
penerima, tetapi juga sebagai kontributor dalam percakapan filsafat dunia.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 68.
[2]
Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of
Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind,
trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.
[3]
Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Clarendon Press, 1981), 123.
[4]
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 34.
[5]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary
on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991),
15.
[6]
Gilles Deleuze, Bergsonism, trans. Hugh
Tomlinson and Barbara Habberjam (New York: Zone Books, 1988), 92.
[7]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.
[8]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
23.
[9]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.
[10]
Umberto Eco, Experiences in Translation, trans.
Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 18.
[11]
Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I:
Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.
11.
Penutup
11.1.
Kesimpulan Umum
Kajian mengenai diksi filosofis asing
yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa
bukanlah sekadar instrumen komunikasi, melainkan juga horizon epistemologis dan
kultural yang membentuk cara manusia memahami realitas.¹ Istilah-istilah dari
tradisi Yunani (logos, eidos, nous, arete), Latin (substantia,
accidens, ratio), Jerman (Dasein, Geist, Aufhebung), Prancis (différance,
élan vital, sujet), dan Arab-Islam (ʿaql, nafs, ʿilm) menunjukkan
bahwa setiap bahasa memproduksi kosakata yang sarat makna filosofis, tetapi
nuansa tersebut sering kali tidak dapat dialihbahasakan secara utuh ke dalam
bahasa Indonesia.²
Fenomena ini menegaskan bahwa
keterbatasan penerjemahan tidak hanya bersifat teknis linguistik, tetapi juga
epistemologis. Makna filosofis selalu terkait dengan sejarah intelektual,
kosmologi budaya, dan horizon hermeneutik tertentu.³ Maka, setiap upaya penerjemahan
ke bahasa Indonesia berisiko menyederhanakan atau mereduksi makna, tetapi
sekaligus membuka peluang untuk memperkaya khazanah istilah filsafat dalam
bahasa kita.
11.2.
Rekomendasi Akademis
Agar bahasa Indonesia dapat berfungsi
secara lebih efektif sebagai medium filsafat, terdapat beberapa rekomendasi
akademis yang dapat dipertimbangkan:
1)
Konsistensi Terminologi
Akademisi filsafat di Indonesia perlu menyepakati
penggunaan istilah asing yang sulit diterjemahkan, apakah dipertahankan dalam
bentuk aslinya atau disertai dengan terjemahan deskriptif.⁴
2)
Penciptaan Neologisme
Perlu ada usaha kolektif untuk menciptakan istilah baru
yang berakar dari khazanah lokal, sebagaimana bahasa Jepang menciptakan tetsugaku
untuk “filsafat.”⁵
3)
Integrasi Tradisi Lokal
Pengembangan istilah filosofis dalam bahasa Indonesia juga
dapat diperkaya dengan mengambil inspirasi dari tradisi intelektual Nusantara,
sehingga filsafat tidak sekadar mengimpor konsep asing, tetapi juga melahirkan
kosakata baru yang kontekstual.⁶
4)
Dialog Interdisipliner
Studi filsafat perlu berinteraksi dengan linguistik,
hermeneutika, dan studi penerjemahan untuk menghasilkan strategi yang lebih
matang dalam mengakomodasi istilah asing.⁷
11.3.
Refleksi Akhir
Keterbatasan padanan istilah filosofis
asing tidak boleh dipandang sebagai kelemahan definitif bahasa Indonesia,
melainkan sebagai peluang kreatif. Seperti ditunjukkan oleh Hans-Georg Gadamer,
pemahaman adalah proses peleburan horizon, di mana tradisi yang berbeda dapat
bertemu dan melahirkan makna baru.⁸ Dengan semangat itu, bahasa Indonesia
berpotensi tumbuh sebagai bahasa filsafat yang tidak hanya menjadi penerima,
tetapi juga pencipta konsep.
Dengan demikian, artikel ini menegaskan
dua hal pokok. Pertama, bahasa Indonesia memang menghadapi tantangan besar
dalam mengakomodasi istilah filosofis asing yang kaya akan dimensi ontologis,
epistemologis, dan kultural. Kedua, keterbatasan itu justru membuka ruang untuk
memperkaya kosakata, memperluas horizon berpikir, dan memperkuat identitas
intelektual bangsa dalam percakapan filsafat global.
Footnotes
[1]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 32.
[2]
Barbara Cassin, Dictionary of Untranslatables: A
Philosophical Lexicon, ed. Emily Apter et al. (Princeton: Princeton
University Press, 2014), xvii.
[3]
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences,
ed. and trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981),
43–44.
[4]
Umberto Eco, Experiences in Translation, trans.
Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 18.
[5]
Naoki Sakai, Translation and Subjectivity: On
“Japan” and Cultural Nationalism (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1997), 43.
[6]
Bambang Sugiharto, Post-Tradisionalisme: Esai-esai
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 122.
[7]
Eugene A. Nida, Toward a Science of Translating
(Leiden: E. J. Brill, 1964), 159.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.
Daftar Pustaka
Annas, J. (1981). An introduction
to Plato’s Republic. Oxford: Clarendon Press.
Anaxagoras. (1968). Fragments
(D. S. Robinson, Trans.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Aristotle. (1924). Metaphysics
(W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1954). Rhetoric
(W. Rhys Roberts, Trans.). New York: Modern Library.
Aristotle. (1963). Categories
(J. L. Ackrill, Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Aristotle. (1986). De anima
(H. Lawson-Tancred, Trans.). London: Penguin.
Aristotle. (1999). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Bakar, O. (1992). Classification
of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and
Civilization.
Barnes, J. (2000). Aristotle: A
very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
Beiser, F. C. (2005). Hegel.
London: Routledge.
Bergson, H. (1907). L’évolution
créatrice. Paris: Félix Alcan.
Bergson, H. (1944). Creative
evolution (A. Mitchell, Trans.). New York: Random House.
Butler, J. (1997). The psychic
life of power: Theories in subjection. Stanford: Stanford University Press.
Cassin, B. (Ed.). (2014). Dictionary
of untranslatables: A philosophical lexicon (E. Apter et al., Eds.).
Princeton: Princeton University Press.
Chittick, W. C. (2007). The
essential Seyyed Hossein Nasr. Bloomington: World Wisdom.
Cicero, M. T. (1913). De officiis
(W. Miller, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Deleuze, G. (1988). Bergsonism
(H. Tomlinson & B. Habberjam, Trans.). New York: Zone Books.
Derrida, J. (1976). Of
grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University
Press.
Derrida, J. (1982). Margins of
philosophy (A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world:
A commentary on Heidegger’s Being and time, Division I. Cambridge, MA: MIT
Press.
Eco, U. (1995). The search for the
perfect language. Oxford: Blackwell.
Eco, U. (2001). Experiences in
translation (A. McEwen, Trans.). Toronto: University of Toronto Press.
Farabi, A. (1962). Selected
aphorisms (M. Mahdi, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Foucault, M. (1979). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York:
Vintage Books.
Frege, G. (1960). On sense and
reference. In P. Geach & M. Black (Eds.), Translations from the
philosophical writings of Gottlob Frege (pp. 56–78). Oxford: Basil
Blackwell.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and
method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Continuum.
Ghazali, A. H. (2000). Deliverance
from error (R. J. McCarthy, Trans.). Louisville, KY: Fons Vitae.
Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ ʿulum
al-din (N. A. Faris, Trans.). Cairo: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Gilson, É. (1952). Being and some
philosophers. Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gutas, D. (1998). Greek thought,
Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early
ʿAbbāsid society. London: Routledge.
Habermas, J. (1988). On the logic
of the social sciences (S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Hegel, G. W. F. (1969). Science of
logic (A. V. Miller, Trans.). London: George Allen & Unwin.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology
of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Heidegger, M. (1927). Sein und
zeit. Tübingen: Max Niemeyer Verlag.
Inwood, M. (1992). A Hegel
dictionary. Oxford: Blackwell.
Izutsu, T. (2007). The concept and
reality of existence. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Jaeger, W. (1945). Paideia: The
ideals of Greek culture (G. Highet, Trans.). Oxford: Oxford University
Press.
Kenny, A. (2005). Medieval
philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Kretzmann, N. (1997). The
metaphysics of theism: Aquinas’s natural theology in Summa contra gentiles.
Oxford: Clarendon Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure
of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Lanham, R. A. (1991). A handlist
of rhetorical terms. Berkeley: University of California Press.
Lawhead, W. F. (2002). The voyage
of discovery: A historical introduction to philosophy. Belmont, CA:
Wadsworth.
Lewis, G. (1999). The Turkish
language reform: A catastrophic success. Oxford: Oxford University Press.
Liu, L. (1999). Tokens of
exchange: The problem of translation in global circulations. Durham: Duke
University Press.
Lloyd, G. E. R. (1970). Early
Greek science: Thales to Aristotle. London: Chatto & Windus.
MacIntyre, A. (1988). Whose
justice? Which rationality? Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and
civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1993). An
introduction to Islamic cosmological doctrines. Albany: SUNY Press.
Nida, E. A. (1964). Toward a
science of translating. Leiden: E. J. Brill.
Norris, C. (1987). Derrida.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (1986). The
fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press.
Pieper, J. (2001). The concept of
sin. South Bend: St. Augustine’s Press.
Plato. (1977). Phaedo (G. M.
A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Plato. (1992). Republic (G. M.
A. Grube, Trans.; rev. C. D. C. Reeve). Indianapolis: Hackett.
Plato. (1998). Cratylus (C. D.
C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Rahman, F. (1959). De anima (Kitab
al-nafs) (Trans.). London: Oxford University Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics
and the human sciences (J. B. Thompson, Ed. & Trans.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (2006). On translation
(E. Brennan, Trans.). London: Routledge.
Sakai, N. (1997). Translation and
subjectivity: On “Japan” and cultural nationalism. Minneapolis: University
of Minnesota Press.
Sapir, E. (1921). Language: An
introduction to the study of speech. New York: Harcourt, Brace.
Sardar, Z. (2011). Reading the
Qur’an: The contemporary relevance of the sacred text of Islam. London:
Hurst.
Sheehan, T. (1993). Heidegger’s Dasein.
In C. Guignon (Ed.), The Cambridge companion to Heidegger (pp. 91–114).
Cambridge: Cambridge University Press.
Skinner, Q. (2002). Visions of
politics, Volume I: Regarding method. Cambridge: Cambridge University
Press.
Sugiharto, B. (1996). Post-tradisionalisme:
Esai-esai filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Taylor, C. (1975). Hegel.
Cambridge: Cambridge University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the
self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Whorf, B. L. (1956). Language,
thought, and reality. Cambridge, MA: MIT Press.
Wippel, J. F. (2000). The
metaphysical thought of Thomas Aquinas. Washington, DC: Catholic University
of America Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge & Kegan
Paul.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar