Senin, 01 September 2025

Diksi Filosofis Asing: Analisis Linguistik, Epistemologis, dan Konseptual

Diksi Filosofis Asing

Analisis Linguistik, Epistemologis, dan Konseptual


Alihkan ke: Bahasa Indonesia Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas problem linguistik, epistemologis, dan kultural yang muncul ketika bahasa Indonesia berhadapan dengan diksi filosofis asing yang tidak memiliki padanan langsung. Fenomena ini ditemukan dalam berbagai tradisi filsafat, mulai dari Yunani (logos, eidos, nous, arete), Latin (substantia, accidens, ratio), Jerman (Dasein, Geist, Aufhebung), Prancis (différance, élan vital, sujet), hingga Arab-Islam (ʿaql, nafs, ʿilm). Kajian dilakukan dengan pendekatan multidisipliner: linguistik (etimologi dan semantik), epistemologi (implikasi pengetahuan dan konsep), serta hermeneutik (pemahaman lintas tradisi).

Hasil analisis menunjukkan bahwa keterbatasan bahasa Indonesia dalam menerjemahkan istilah-istilah tersebut tidak semata-mata menandakan kelemahan, melainkan juga peluang kreatif. Di satu sisi, penerjemahan literal sering menimbulkan reduksi makna dan kesalahpahaman konseptual. Di sisi lain, keterbatasan padanan justru membuka ruang bagi pengayaan kosakata, penciptaan neologisme, dan pengembangan dialog antartradisi filosofis. Dengan demikian, bahasa Indonesia dapat diposisikan bukan hanya sebagai penerima istilah asing, tetapi juga sebagai medium yang aktif membentuk horizon baru dalam percakapan filsafat global.

Kata Kunci: Bahasa Indonesia; istilah filosofis; untranslatability; linguistik filosofis; epistemologi; hermeneutika; neologisme.


PEMBAHASAN

Diksi Filosofis Asing tanpa Padanannya dalam Bahasa Indonesia


1.            Pendahuluan

1.1.        Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan medium utama dalam membangun, menyampaikan, dan mengembangkan gagasan filsafat. Hubungan erat antara bahasa dan filsafat telah lama diakui, sebagaimana ditegaskan oleh Ludwig Wittgenstein dalam karyanya Tractatus Logico-Philosophicus bahwa “batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku.”¹ Pandangan ini menunjukkan bahwa kemampuan suatu bahasa untuk menampung konsep sangat menentukan keluasan cakrawala berpikir suatu komunitas intelektual.

Namun, dalam konteks bahasa Indonesia, terdapat tantangan serius ketika berhadapan dengan istilah-istilah filsafat asing, baik dari tradisi Yunani, Latin, Jerman, Prancis, maupun Arab-Islam. Banyak diksi filosofis yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia. Misalnya, istilah logos dalam bahasa Yunani tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh kata “kata” atau “akal budi”; begitu juga istilah dasein dari Heidegger tidak bisa sekadar diterjemahkan sebagai “ada-di-sana” tanpa kehilangan nuansa ontologisnya.² Fenomena ini menimbulkan problem epistemologis sekaligus kultural: bagaimana membangun tradisi filsafat dalam bahasa Indonesia tanpa mengorbankan keutuhan makna istilah filosofis tersebut?

Selain itu, problem penerjemahan ini bukan semata persoalan teknis linguistik, melainkan juga persoalan epistemologis. Setiap istilah asing yang diadopsi membawa konteks sejarah, budaya, dan sistem pemikiran tertentu.³ Misalnya, istilah ʿaql dalam tradisi Arab-Islam tidak identik dengan “akal” dalam bahasa Indonesia, karena memuat dimensi spiritual sekaligus rasional yang khas dalam kosmologi Islam.⁴ Dengan demikian, studi mengenai diksi filosofis asing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia bukan hanya penting dari sisi linguistik, tetapi juga vital untuk mengembangkan filsafat dalam konteks akademik Indonesia.

1.2.        Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)             Apa saja istilah filosofis asing yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia?

2)             Mengapa istilah-istilah tersebut problematis secara linguistik dan epistemologis?

3)             Apa implikasi ketiadaan padanan tersebut terhadap perkembangan studi filsafat di Indonesia?

1.3.        Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)             Mengidentifikasi istilah-istilah filosofis asing yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

2)             Menganalisis problem linguistik dan epistemologis yang muncul dari ketiadaan padanan tersebut.

3)             Menawarkan refleksi filosofis sekaligus strategi adaptasi bahasa agar filsafat tetap dapat berkembang dalam konteks Indonesia.

Secara akademis, penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pada pengembangan filsafat bahasa dan penerjemahan filosofis di Indonesia. Secara praktis, kajian ini dapat membantu para akademisi, penerjemah, dan mahasiswa dalam memahami pentingnya kehati-hatian dalam mengadopsi istilah asing, sekaligus memotivasi penciptaan kosakata baru yang sesuai dengan semangat bahasa Indonesia.

1.4.        Signifikansi Kajian

Kajian ini memiliki signifikansi ganda. Pertama, pada level epistemologis, ia membuka kesadaran bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah konsep-konsep yang menentukan horizon berpikir.⁵ Kedua, pada level kultural, kajian ini menegaskan bahwa bahasa Indonesia, sebagai bahasa ilmu pengetahuan, memiliki tantangan sekaligus peluang untuk memperkaya dirinya melalui interaksi dengan tradisi filsafat asing. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan menjadi langkah awal dalam membangun tradisi filsafat yang kuat dan kontekstual dalam bahasa Indonesia.


Footnotes

[1]            Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 68.

[2]            Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1927), 47.

[3]            Paul Ricoeur, On Translation, trans. Eileen Brennan (London: Routledge, 2006), 4–5.

[4]            Toshihiko Izutsu, Concepts of Reason in Islamic Philosophy (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 112–13.

[5]            Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383.


2.            Landasan Teori

2.1.        Bahasa dan Filsafat

Bahasa telah lama dianggap sebagai fondasi yang tak terpisahkan dari filsafat. Dalam perspektif klasik, filsuf Yunani seperti Plato memandang bahwa bahasa merupakan representasi dari eidos atau bentuk ideal, sehingga penggunaan kata tidak hanya bersifat pragmatis tetapi juga mengandung muatan ontologis.¹ Aristoteles kemudian memperluas pandangan ini dengan menekankan peran bahasa dalam membangun kategori dan logika, di mana istilah-istilah tertentu berfungsi sebagai instrumen epistemik untuk memahami realitas.²

Dalam filsafat modern, hubungan antara bahasa dan filsafat semakin diperdalam. Wilhelm von Humboldt menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar medium komunikasi, melainkan suatu “energeia” atau aktivitas kreatif yang membentuk cara pandang manusia terhadap dunia.³ Konsep ini melahirkan gagasan bahwa setiap bahasa memiliki Weltanschauung (pandangan dunia) yang unik, sehingga istilah-istilah filosofis dalam bahasa tertentu tidak bisa dilepaskan dari horizon kebudayaan yang melingkupinya. Pandangan ini sejalan dengan teori relativitas linguistik yang dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, yang menyatakan bahwa struktur bahasa memengaruhi cara manusia berpikir dan mempersepsi realitas.⁴

Dalam konteks ini, bahasa Indonesia menghadapi tantangan ketika berhadapan dengan istilah asing yang mengandung nuansa filsafat yang khas. Ketidakmampuan suatu bahasa untuk menampung istilah asing tidak semata-mata menunjukkan keterbatasan linguistik, tetapi juga menyingkap adanya perbedaan cara pandang filosofis antarbudaya.

2.2.        Filsafat Bahasa dan Problematika Penerjemahan

Filsafat bahasa modern menaruh perhatian besar pada problem makna dan penerjemahan. Gottlob Frege, misalnya, membedakan antara Sinn (sense) dan Bedeutung (reference), yang menekankan bahwa makna suatu istilah tidak hanya berkaitan dengan objek yang dirujuk, tetapi juga dengan cara objek itu dipahami.⁵ Pandangan ini penting untuk memahami mengapa istilah asing sering kali kehilangan kekuatan epistemologisnya ketika dipaksakan diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa Indonesia.

Lebih lanjut, Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations mengajukan gagasan tentang language-games, yakni bahwa makna suatu kata hanya dapat dipahami dalam konteks penggunaannya.⁶ Implikasi dari teori ini adalah bahwa istilah filsafat asing tidak mungkin sepenuhnya dialihbahasakan tanpa mempertimbangkan konteks tradisi pemikirannya. Misalnya, istilah logos dalam filsafat Yunani kuno memiliki medan makna yang sangat berbeda dengan “kata” atau “akal” dalam bahasa Indonesia.

Selain itu, problem penerjemahan juga dijelaskan oleh para teoritisi hermeneutika seperti Hans-Georg Gadamer. Menurutnya, penerjemahan bukan sekadar alih kode, tetapi suatu proses dialektis yang melibatkan “peleburan horizon” (fusion of horizons) antara bahasa asal dan bahasa sasaran.⁷ Dengan demikian, penerjemahan istilah filsafat bukan hanya kegiatan linguistik, tetapi juga upaya hermeneutik untuk menjembatani perbedaan tradisi dan makna.

Teori penerjemahan modern menegaskan adanya dua pendekatan utama: pertama, pendekatan ekivalensi formal yang berusaha menjaga bentuk asli istilah; kedua, pendekatan ekivalensi dinamis yang menekankan pada kesepadanan makna dalam konteks budaya pembaca.⁸ Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, tetapi dalam konteks istilah filsafat, sering kali keduanya tidak mampu menangkap kompleksitas makna yang terkandung.

2.3.        Metodologi Analisis Istilah Filosofis

Untuk mengkaji istilah-istilah asing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, diperlukan pendekatan metodologis yang multidisipliner. Ada tiga kerangka yang bisa digunakan:

1)             Kajian Linguistik

Kajian linguistik berfokus pada aspek etimologi, semantik, dan morfologi dari istilah asing. Misalnya, istilah Jerman Aufhebung dalam filsafat Hegel berasal dari kata kerja aufheben yang memiliki arti ganda: “meniadakan,” “menjaga,” dan “mengangkat.”⁹ Kajian etimologi membantu menjelaskan mengapa satu istilah bisa memiliki nuansa filosofis yang kaya dan sulit digantikan dengan satu kata dalam bahasa Indonesia.

2)             Kajian Epistemologis

Analisis epistemologis diperlukan untuk memahami konteks filosofis dari istilah yang digunakan. Istilah seperti ʿilm dalam tradisi Islam tidak dapat dipahami sekadar sebagai “ilmu pengetahuan” karena ia memuat dimensi teologis, etis, dan kosmologis.¹⁰ Dengan demikian, istilah ini memiliki implikasi epistemik yang melampaui batas terminologi ilmiah modern.

3)             Kajian Hermeneutik dan Filosofis

Pendekatan hermeneutik digunakan untuk menafsirkan makna istilah dalam kerangka tradisi asalnya sekaligus menghubungkannya dengan horizon bahasa Indonesia. Hal ini melibatkan pembacaan ulang terhadap teks asli, pemahaman konteks sejarah, serta dialog kritis dengan tradisi lokal.¹¹

Melalui kombinasi ketiga pendekatan ini, diharapkan analisis diksi filosofis asing tidak hanya berhenti pada aspek linguistik, tetapi juga mencakup dimensi konseptual dan epistemologis yang lebih mendalam.

2.4.        Kerangka Teoretis dalam Penelitian Ini

Kerangka teoretis yang mendasari penelitian ini berpijak pada tiga asumsi utama:

1)             Bahasa sebagai Konstruk Epistemik

Bahasa tidak netral, melainkan konstruktif dalam membentuk cara manusia memahami realitas.¹²

2)             Makna Bersifat Kontekstual dan Historis

Makna istilah filosofis hanya bisa dipahami dalam konteks tradisi intelektual yang melahirkannya. Oleh karena itu, penerjemahan istilah tidak dapat dilepaskan dari horizon historis dan kulturalnya.¹³

3)             Penerjemahan sebagai Dialog Antartradisi

Proses penerjemahan adalah upaya hermeneutik yang melibatkan dialog antara tradisi asing dengan tradisi lokal. Dalam konteks ini, bahasa Indonesia tidak hanya pasif menerima istilah asing, tetapi juga aktif menafsirkan, mengadaptasi, dan bahkan menciptakan istilah baru.¹⁴

Dengan kerangka ini, penelitian akan bergerak dari pemetaan problem linguistik menuju analisis epistemologis dan akhirnya refleksi filosofis, sehingga menghasilkan kajian yang komprehensif.


Footnotes

[1]            Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), 101.

[2]            Aristotle, Categories, trans. J. L. Ackrill (Oxford: Oxford University Press, 1963), 4–7.

[3]            Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind, trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.

[4]            Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 207; Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 134.

[5]            Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” in Translations from the Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach and Max Black (Oxford: Basil Blackwell, 1960), 56–78.

[6]            Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 32.

[7]            Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.

[8]            Eugene A. Nida, Toward a Science of Translating (Leiden: E. J. Brill, 1964), 159.

[9]            G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 79–80.

[10]          Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 32–33.

[11]          Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, ed. and trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 43–44.

[12]          Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 120.

[13]          Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I: Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.

[14]          Umberto Eco, Experiences in Translation, trans. Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 9–10.


3.            Istilah Filsafat dari Tradisi Yunani

3.1.        Logos

Istilah logos merupakan salah satu konsep paling mendasar dalam filsafat Yunani. Secara etimologis, logos berasal dari kata kerja legein yang berarti “mengumpulkan” atau “berbicara.”¹ Dalam pemikiran Herakleitos, logos dipahami sebagai prinsip rasional yang mengatur kosmos, suatu tatanan universal yang tidak berubah meskipun segala sesuatu tampak mengalami perubahan.² Sementara itu, dalam tradisi filsafat Plato dan Aristoteles, logos memiliki nuansa yang lebih luas, mencakup “rasio,” “argumentasi,” dan “struktur pemikiran.”³

Kesulitan muncul ketika istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kata “kata” atau “ucapan” hanya menangkap dimensi linguistik, sedangkan “akal” atau “rasio” lebih menekankan aspek kognitif. Tidak ada satu padanan tunggal yang dapat menampung kompleksitas makna logos.⁴ Oleh karena itu, dalam studi filsafat di Indonesia, istilah ini sering dibiarkan dalam bentuk aslinya agar nuansa epistemologis dan ontologisnya tetap terjaga.

3.2.        Eidos

Konsep eidos pertama kali mendapat tempat utama dalam filsafat Plato. Secara literal, eidos berarti “bentuk” atau “rupa,” tetapi dalam filsafat Plato ia merujuk pada “idea” atau realitas ideal yang transenden.⁵ Misalnya, “segitiga” dalam dunia inderawi hanyalah representasi dari eidos segitiga yang sempurna dan abadi di dunia ide.⁶

Dalam bahasa Indonesia, eidos kerap diterjemahkan sebagai “idea” atau “bentuk,” tetapi kedua terjemahan ini menimbulkan problem. Kata “idea” sering disalahpahami sebagai gagasan subjektif dalam pikiran individu, padahal dalam filsafat Plato, eidos bersifat obyektif dan independen dari kesadaran manusia.⁷ Demikian pula, “bentuk” hanya merujuk pada aspek visual, tidak menangkap dimensi ontologis yang dimaksud Plato. Dengan demikian, penerjemahan eidos membutuhkan penjelasan filosofis yang lebih panjang daripada sekadar padanan kata.

3.3.        Nous

Istilah nous dalam filsafat Yunani klasik merujuk pada fakultas intelektual tertinggi. Bagi Anaxagoras, nous adalah prinsip kosmik yang mengatur segala sesuatu.⁸ Aristoteles membedakan antara nous poietikos (akal aktif) dan nous pathetikos (akal pasif), yang berfungsi dalam proses pengetahuan dan abstraksi.⁹

Kata “akal” dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menerjemahkan nous, tetapi padanan ini menimbulkan reduksi makna. “Akal” dalam bahasa Indonesia cenderung dipahami sebagai kemampuan berpikir praktis sehari-hari, sedangkan nous merujuk pada kemampuan intelektual murni yang bersifat intuitif dan transenden.¹⁰ Oleh karena itu, istilah nous lebih tepat dipertahankan dalam bentuk aslinya dengan penjelasan tambahan agar tidak terjadi penyempitan makna.

3.4.        Arete

Konsep arete menempati posisi sentral dalam etika Yunani. Secara literal, kata ini berarti “keunggulan” atau “kebaikan.”¹¹ Dalam konteks Homer, arete merujuk pada kualitas heroik atau keterampilan yang menonjol, misalnya keberanian seorang pejuang. Namun, dalam filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, arete dipahami sebagai “keutamaan moral,” yakni kondisi yang memungkinkan manusia mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi, yaitu eudaimonia (kebahagiaan).¹²

Kesulitan penerjemahan muncul ketika arete hanya dipadankan dengan kata “keutamaan.” Padanan ini cenderung bersifat moralistik dan sempit, tidak menangkap dimensi fungsional dan teleologis dari arete.¹³ Misalnya, sebuah pisau dapat memiliki arete apabila tajam dan berfungsi sesuai dengan tujuannya. Dalam filsafat Aristoteles, arete manusia berarti menjalani hidup sesuai dengan tujuan kodratinya, yakni menggunakan rasio secara baik.¹⁴ Dengan demikian, arete tidak sekadar keutamaan moral, melainkan juga keunggulan eksistensial yang memungkinkan manusia mencapai kesempurnaan dirinya.


Refleksi Teoretis

Keempat istilah Yunani di atas (logos, eidos, nous, dan arete) menunjukkan betapa sulitnya mentransfer konsep filosofis antarbahasa. Setiap istilah bukan hanya menyimpan makna leksikal, tetapi juga membawa horizon kultural dan epistemologis tertentu. Dalam bahasa Indonesia, ketiadaan padanan langsung menuntut strategi khusus: apakah istilah dipinjam apa adanya, diterjemahkan dengan keterbatasan, atau dijelaskan melalui definisi panjang.

Fenomena ini menegaskan bahwa bahasa bukanlah medium netral, melainkan konstruksi epistemik yang membatasi sekaligus memperluas horizon pemikiran manusia.¹⁵ Maka, pembahasan istilah filosofis Yunani menjadi pintu masuk penting untuk memahami keterbatasan dan peluang bahasa Indonesia dalam mengartikulasikan filsafat secara lebih mendalam.


Footnotes

[1]            G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to Aristotle (London: Chatto & Windus, 1970), 45.

[2]            Heraclitus, Fragments, ed. T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), 32.

[3]            Aristotle, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (New York: Modern Library, 1954), 1355a.

[4]            Richard A. Lanham, A Handlist of Rhetorical Terms (Berkeley: University of California Press, 1991), 89.

[5]            Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 507b.

[6]            Plato, Phaedo, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1977), 78d–79a.

[7]            Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 123.

[8]            Anaxagoras, Fragments, trans. D. S. Robinson (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1968), 12.

[9]            Aristotle, De Anima, trans. Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin, 1986), 429a–430a.

[10]          Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 52.

[11]          Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, trans. Gilbert Highet (Oxford: Oxford University Press, 1945), 13.

[12]          Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1097b.

[13]          Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 33.

[14]          Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106a–1107a.

[15]          Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383.


4.            Istilah Filsafat dari Tradisi Latin

4.1.        Substantia

Istilah substantia memiliki peran penting dalam filsafat Latin, terutama dalam tradisi metafisika. Secara etimologis, kata ini berasal dari akar sub-stare, yang berarti “berdiri di bawah” atau “yang menopang.”¹ Dalam filsafat skolastik, substantia dipahami sebagai sesuatu yang menjadi dasar dari segala aksiden (sifat-sifat yang melekat).² Thomas Aquinas, misalnya, memaknai substantia sebagai realitas ontologis yang berdiri sendiri, tidak bergantung pada sesuatu yang lain untuk eksistensinya.³

Kesulitan muncul ketika istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “substansi.” Dalam penggunaan sehari-hari, “substansi” cenderung dipahami hanya sebagai “isi” atau “materi pokok,” yang mengandung pengertian reduktif.⁴ Padahal, substantia dalam tradisi metafisika mengandung dimensi ontologis yang lebih dalam, yakni dasar keberadaan yang menopang segala bentuk fenomena. Akibatnya, padanan kata “substansi” dalam bahasa Indonesia sering gagal menangkap kompleksitas makna metafisik yang dimaksudkan oleh para filsuf Latin.

4.2.        Accidens

Istilah accidens digunakan dalam filsafat skolastik untuk menunjuk pada sifat atau kualitas yang melekat pada suatu substantia tetapi tidak menentukan esensinya. Secara etimologis, accidens berasal dari kata accidere, yang berarti “terjadi” atau “jatuh pada.”⁵ Aristoteles, yang gagasannya diteruskan ke dalam bahasa Latin oleh para pemikir skolastik, membedakan antara substansi sebagai inti dari realitas dan aksiden sebagai atribut yang dapat berubah-ubah.⁶

Dalam bahasa Indonesia, kata ini biasanya diterjemahkan sebagai “aksiden.” Namun, padanan ini sering kali menimbulkan kebingungan karena kata “aksiden” dalam bahasa sehari-hari identik dengan “kecelakaan” atau “peristiwa tak terduga.”⁷ Hal ini memperlihatkan perbedaan semantik yang tajam antara istilah teknis filsafat dan penggunaan populer. Padahal, accidens dalam kerangka metafisika adalah sifat sekunder yang tidak menentukan esensi, misalnya warna, ukuran, atau posisi.⁸ Kesenjangan makna ini menunjukkan keterbatasan bahasa Indonesia dalam mengakomodasi istilah teknis filsafat Latin tanpa penjelasan tambahan.

4.3.        Ratio

Istilah ratio dalam filsafat Latin memiliki nuansa yang sangat kaya. Secara literal, kata ini berarti “perhitungan,” “pertimbangan,” atau “akal.”⁹ Dalam tradisi filsafat skolastik, ratio sering dipahami sebagai kemampuan rasional manusia untuk menalar, berbeda dari intellectus yang merujuk pada intuisi intelektual langsung.¹⁰

Dalam bahasa Indonesia, ratio sering dipadankan dengan “rasio” atau “akal budi.” Namun, terjemahan ini menimbulkan reduksi makna. “Rasio” lebih menekankan pada logika formal dan penalaran ilmiah modern, sementara “akal budi” sering diasosiasikan dengan kemampuan moral dan etis.¹¹ Padahal, ratio dalam tradisi Latin memiliki cakupan yang lebih luas: ia mencakup dimensi kognitif, logis, bahkan retoris dalam membangun argumentasi.¹²

Keterbatasan padanan bahasa Indonesia untuk ratio juga dapat berdampak epistemologis. Penggunaan istilah “rasio” dalam konteks modern sering memisahkan antara pengetahuan dan moralitas, padahal dalam tradisi filsafat Latin, ratio tidak sepenuhnya terpisah dari orientasi etis dan kosmologis.¹³ Oleh karena itu, istilah ini menuntut penjelasan filosofis lebih lanjut agar tidak disalahpahami sebagai sekadar logika matematis.


Refleksi Teoretis

Tiga istilah Latin yang dibahas—substantia, accidens, dan ratio—menunjukkan bahwa kesulitan penerjemahan tidak hanya menyangkut aspek leksikal, tetapi juga epistemologis dan ontologis. Istilah-istilah tersebut lahir dari horizon metafisika tertentu, yang tidak selalu memiliki padanan dalam tradisi bahasa Indonesia. Jika dipaksakan diterjemahkan secara literal, makna filosofisnya tereduksi; namun jika dibiarkan dalam bentuk aslinya, ia berpotensi menimbulkan jarak pemahaman bagi pembaca awam.

Fenomena ini menegaskan bahwa bahasa Latin, dengan kekayaan istilah metafisika dan epistemologinya, memainkan peran krusial dalam perkembangan filsafat Barat. Bagi bahasa Indonesia, keterbatasan padanan justru bisa menjadi peluang untuk memperkaya kosakata filsafat melalui pinjaman istilah asing atau penciptaan neologisme yang sesuai dengan konteks lokal.¹⁴ Dengan demikian, analisis istilah Latin membuka ruang refleksi lebih luas tentang bagaimana bahasa Indonesia dapat bertransformasi menjadi bahasa filsafat yang lebih matang.


Footnotes

[1]            John F. Wippel, The Metaphysical Thought of Thomas Aquinas (Washington, DC: Catholic University of America Press, 2000), 85.

[2]            Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 34.

[3]            Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.3.

[4]            William F. Lawhead, The Voyage of Discovery: A Historical Introduction to Philosophy (Belmont, CA: Wadsworth, 2002), 141.

[5]            Norman Kretzmann, The Metaphysics of Theism: Aquinas’s Natural Theology in Summa Contra Gentiles (Oxford: Clarendon Press, 1997), 45.

[6]            Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1028a–1029b.

[7]            Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ed. V (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), entri “aksiden.”

[8]            Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 67.

[9]            Marcus Tullius Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), 1.

[10]          Thomas Aquinas, Quaestiones Disputatae de Veritate, q.15, a.1.

[11]          Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 122.

[12]          Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 173.

[13]          Josef Pieper, The Concept of Sin (South Bend: St. Augustine’s Press, 2001), 14–15.

[14]          Umberto Eco, The Search for the Perfect Language (Oxford: Blackwell, 1995), 22.


5.            Istilah Filsafat dari Tradisi Jerman

5.1.        Dasein

Istilah Dasein secara harfiah berarti “ada-di-sana” (da = “di sana,” sein = “ada”). Namun, dalam filsafat Martin Heidegger, istilah ini mengandung makna ontologis yang jauh lebih mendalam.¹ Dasein dipakai untuk menunjuk eksistensi manusia, yakni keberadaan yang secara sadar menanyakan dirinya sendiri.² Heidegger menegaskan bahwa manusia tidak sekadar “ada” seperti benda lain, tetapi eksistensinya berciri reflektif dan temporal: ia selalu berada dalam keterlemparan (Geworfenheit) dan menuju kemungkinan-kemungkinan.³

Sulit menemukan padanan dalam bahasa Indonesia yang mampu memuat seluruh nuansa Dasein. Terjemahan “ada-di-sana” terdengar artifisial dan cenderung menekankan aspek spasial, padahal makna filosofisnya terletak pada eksistensi manusia yang selalu berada dalam dunia (In-der-Welt-sein).⁴ Oleh karena itu, banyak akademisi Indonesia mempertahankan istilah Dasein dalam bentuk aslinya, sembari memberikan penjelasan konseptual yang panjang.

5.2.        Geist

Istilah Geist memiliki spektrum makna yang luas dalam filsafat Jerman, dari “roh,” “jiwa,” hingga “spirit.” Dalam pemikiran Hegel, Geist bukan hanya menunjuk pada kesadaran individu, melainkan juga pada roh objektif yang mewujud dalam institusi, kebudayaan, dan sejarah.⁵ Geist bahkan mencapai puncaknya dalam bentuk Geist Absolut, yakni roh yang menyadari dirinya sendiri melalui seni, agama, dan filsafat.⁶

Dalam bahasa Indonesia, istilah ini biasanya diterjemahkan sebagai “roh” atau “jiwa.” Namun, kedua terjemahan tersebut memiliki keterbatasan. “Roh” sering dikaitkan dengan dimensi religius atau spiritual, sedangkan “jiwa” merujuk pada aspek psikologis manusia. Tidak ada padanan langsung yang mampu menangkap dimensi historis, kultural, dan metafisik yang terkandung dalam konsep Geist Hegelian.⁷ Akibatnya, para penerjemah sering memilih untuk tetap mempertahankan istilah Geist, karena padanannya dalam bahasa Indonesia akan mereduksi kedalaman konseptualnya.

5.3.        Aufhebung

Istilah Aufhebung menempati posisi penting dalam dialektika Hegel. Secara etimologis, kata kerja aufheben memiliki tiga arti sekaligus: “meniadakan,” “memelihara,” dan “mengangkat.”⁸ Dalam logika Hegelian, kontradiksi tidak semata-mata dihapus, melainkan juga dipelihara dalam bentuk yang lebih tinggi melalui proses dialektis.⁹ Dengan demikian, Aufhebung merujuk pada gerak transendensi di mana sebuah tesis dan antitesis dinegasikan sekaligus dipertahankan dalam sintesis yang lebih tinggi.

Dalam bahasa Indonesia, Aufhebung kerap diterjemahkan sebagai “sublasi” atau “pengangkatan.” Namun, padanan ini tidak sepenuhnya berhasil menyampaikan arti ganda yang menjadi inti dari istilah tersebut.¹⁰ Misalnya, “sublasi” memberi kesan pemurnian, tetapi mengabaikan aspek pemeliharaan; sementara “pengangkatan” menekankan gerak ke atas, tetapi kurang menyoroti aspek negasi. Oleh karena itu, istilah ini sering dibiarkan dalam bentuk aslinya, dengan catatan bahwa makna filosofisnya harus dijelaskan secara komprehensif.


Refleksi Teoretis

Tiga istilah filsafat Jerman yang dibahas—Dasein, Geist, dan Aufhebung—menunjukkan bahwa bahasa Jerman memiliki fleksibilitas semantik yang sulit ditandingi oleh bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Kekayaan morfologis bahasa Jerman memungkinkan penciptaan istilah-istilah yang sarat makna filosofis.¹¹ Dalam bahasa Indonesia, ketidakadaan padanan langsung sering menyebabkan penyempitan atau distorsi makna ketika istilah tersebut dipaksakan diterjemahkan.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam filsafat, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai medium komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen penciptaan konsep.¹² Jika bahasa Indonesia ingin menjadi bahasa filsafat yang matang, ia harus membuka diri pada strategi adopsi, transliterasi, atau bahkan penciptaan neologisme yang berakar pada tradisi lokal. Dengan demikian, studi atas istilah Jerman tidak hanya memberi wawasan tentang keterbatasan bahasa Indonesia, tetapi juga menawarkan peluang untuk memperkaya kosakata filosofisnya.


Footnotes

[1]            Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1927), 42.

[2]            Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15.

[3]            Martin Heidegger, Sein und Zeit, 174.

[4]            Thomas Sheehan, “Heidegger’s Dasein,” in The Cambridge Companion to Heidegger, ed. Charles Guignon (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 91–92.

[5]            G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 109–110.

[6]            Charles Taylor, Hegel (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 119.

[7]            Frederick C. Beiser, Hegel (London: Routledge, 2005), 86.

[8]            G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (London: George Allen & Unwin, 1969), 107.

[9]            Robert Stern, Hegel and the Phenomenology of Spirit (London: Routledge, 2002), 56–57.

[10]          Michael Inwood, A Hegel Dictionary (Oxford: Blackwell, 1992), 283.

[11]          Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 379.

[12]          Jürgen Habermas, On the Logic of the Social Sciences, trans. Shierry Weber Nicholsen and Jerry A. Stark (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 134.


6.            Istilah Filsafat dari Tradisi Prancis

6.1.        Différance

Istilah différance diperkenalkan oleh Jacques Derrida dalam konteks dekonstruksi. Secara fonetik, kata ini identik dengan différence (“perbedaan”), namun Derrida menambahkan huruf “a” untuk menandai dimensi penundaan (to defer) sekaligus perbedaan (to differ).¹ Dengan demikian, différance memuat dua makna yang tak dapat disatukan dalam satu padanan bahasa Indonesia: “perbedaan” dan “penundaan.”

Konsep ini menegaskan bahwa makna tidak pernah hadir secara penuh, melainkan selalu tertunda dalam jaringan penanda.² Jika diterjemahkan hanya sebagai “perbedaan,” maka dimensi temporal penundaan hilang; jika diterjemahkan sebagai “penundaan,” aspek diferensialnya hilang. Akibatnya, para penerjemah filsafat di Indonesia sering memilih untuk mempertahankan istilah différance dalam bentuk aslinya agar kekayaan makna Derrida tidak tereduksi.³

6.2.        Élan vital

Istilah élan vital diperkenalkan oleh Henri Bergson dalam karyanya L’Évolution créatrice (1907). Secara harfiah, ia berarti “dorongan hidup” atau “tenaga vital.”⁴ Bagi Bergson, élan vital adalah prinsip metafisik yang menjelaskan kreativitas kehidupan, yakni daya transenden yang mendorong evolusi biologis dan perkembangan kesadaran.⁵

Dalam bahasa Indonesia, élan vital sering diterjemahkan sebagai “daya hidup.” Namun, terjemahan ini mereduksi kedalaman filosofisnya. “Daya hidup” lebih condong ke pengertian biologis atau fisiologis, sementara Bergson mengartikannya sebagai tenaga metafisik yang melampaui mekanisme deterministik.⁶ Oleh karena itu, penerjemahan istilah ini membutuhkan elaborasi konseptual agar tidak jatuh pada penyempitan makna yang terlalu ilmiah.

6.3.        Sujet

Istilah sujet dalam filsafat Prancis mengacu pada “subjek,” tetapi nuansanya lebih kompleks dibanding terjemahan literalnya. Dalam filsafat klasik, sujet sering kali dipahami sebagai pusat kesadaran atau agen berpikir. Namun, dalam pemikiran modern dan poststrukturalis, istilah ini mengalami problematisasi. Michel Foucault, misalnya, menekankan bahwa sujet terbentuk dalam relasi kuasa dan praktik diskursif, bukan entitas otonom yang independen.⁷

Padanan bahasa Indonesia “subjek” tidak selalu memadai, karena sering dipahami sekadar sebagai pelaku dalam kalimat atau agen dalam tindakan. Terjemahan ini kehilangan dimensi kritis yang menandai pembahasan filsafat kontemporer, di mana sujet justru dipertanyakan statusnya sebagai pusat kesadaran.⁸ Maka, istilah ini perlu dipertahankan dalam bentuk aslinya atau diperkaya dengan penjelasan filosofis kontekstual.


Refleksi Teoretis

Ketiga istilah filsafat Prancis—différance, élan vital, dan sujet—menunjukkan bahwa bahasa Prancis menjadi arena eksperimentasi konseptual yang sulit diwakili oleh bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Différance menyingkap keterbatasan bahasa dalam menampung permainan tanda; élan vital memperlihatkan keterbatasan istilah biologis ketika dihadapkan pada vitalisme metafisik; sedangkan sujet menggugat pengertian klasik tentang subjek modern.

Ketiadaan padanan dalam bahasa Indonesia untuk istilah-istilah ini mengungkapkan keterbatasan sekaligus peluang. Keterbatasan karena penerjemahan literal cenderung mereduksi makna; peluang karena bahasa Indonesia dapat diperkaya melalui adopsi istilah asing atau penciptaan neologisme.⁹ Dengan demikian, analisis terhadap istilah Prancis ini memperlihatkan bagaimana filsafat tidak hanya melahirkan konsep, tetapi juga menguji kemampuan bahasa dalam menampung kompleksitas pemikiran.


Footnotes

[1]            Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), xix–xx.

[2]            Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23.

[3]            Christopher Norris, Derrida (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 45.

[4]            Henri Bergson, L’Évolution créatrice (Paris: Félix Alcan, 1907), 89.

[5]            Henri Bergson, Creative Evolution, trans. Arthur Mitchell (New York: Random House, 1944), 135.

[6]            Gilles Deleuze, Bergsonism, trans. Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam (New York: Zone Books, 1988), 92.

[7]            Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1979), 29.

[8]            Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford University Press, 1997), 11.

[9]            Umberto Eco, Experiences in Translation, trans. Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 18.


7.            Istilah Filsafat dari Tradisi Arab-Islam

7.1.        ʿAql

Istilah ʿaql menempati posisi sentral dalam filsafat Arab-Islam. Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata ʿaqala yang berarti “mengikat” atau “menahan.”¹ Dalam tradisi filsafat, ʿaql merujuk pada daya intelektual manusia yang memungkinkan pengetahuan, tetapi juga memiliki dimensi moral dan spiritual. Al-Farabi membedakan antara ʿaql bi al-quwwah (akal potensial) dan ʿaql bi al-fiʿl (akal aktual), sementara Ibn Sina membicarakan ʿaql faʿʿal (akal aktif) sebagai perantara antara Tuhan dan manusia.²

Dalam bahasa Indonesia, ʿaql kerap dipadankan dengan “akal.” Namun, makna “akal” dalam konteks bahasa sehari-hari cenderung terbatas pada kemampuan berpikir logis, sementara ʿaql dalam filsafat Islam mencakup dimensi transenden: ia bukan sekadar alat berpikir, tetapi juga sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.³ Oleh karena itu, penerjemahan langsung berpotensi mereduksi makna metafisik dan etis yang terkandung dalam istilah ini.

7.2.        Nafs

Kata nafs secara literal berarti “diri” atau “jiwa.” Dalam Al-Qur’an, istilah ini memiliki berbagai lapisan makna, mulai dari nafs al-ammarah (jiwa yang cenderung pada keburukan) hingga nafs al-mutmaʾinnah (jiwa yang tenang).⁴ Dalam filsafat Islam, nafs dipahami sebagai substansi immaterial yang menggerakkan tubuh manusia. Ibn Sina, misalnya, dalam Kitab al-Nafs membahas nafs sebagai entitas yang berbeda dari badan, tetapi terkait erat dengannya.⁵

Dalam bahasa Indonesia, istilah ini sering diterjemahkan sebagai “jiwa” atau “diri.” Namun, kedua padanan ini tidak memadai. “Jiwa” lebih dekat dengan aspek psikologis, sedangkan “diri” lebih menekankan pada identitas personal. Padahal nafs dalam tradisi Islam memiliki cakupan ontologis, psikologis, sekaligus spiritual.⁶ Dengan demikian, istilah ini sulit dipadatkan dalam satu kata bahasa Indonesia tanpa mengorbankan kekayaan makna aslinya.

7.3.        ʿIlm

Istilah ʿilm berarti “pengetahuan,” tetapi dalam tradisi Islam ia melampaui batas semantik dari kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia modern. Secara konseptual, ʿilm tidak hanya merujuk pada pengetahuan empiris atau rasional, tetapi juga pengetahuan yang bersumber dari wahyu.⁷ Al-Ghazali membagi ʿilm ke dalam kategori pengetahuan syarʿi (wahyu) dan pengetahuan ʿaqli (rasional), dan keduanya dipandang sebagai bagian dari satu kesatuan epistemologi Islam.⁸

Dalam bahasa Indonesia, “ilmu” cenderung diasosiasikan dengan sains modern yang berbasis empiris dan metodologis. Perbedaan ini menunjukkan bahwa terjemahan ʿilm menjadi “ilmu” mengalami penyempitan makna yang signifikan, karena mengabaikan dimensi spiritual dan normatif yang melekat dalam tradisi Islam.⁹ Dengan demikian, ʿilm tidak hanya berarti “knowledge,” tetapi juga merupakan konsep epistemologis yang memadukan akal, intuisi, dan wahyu.


Refleksi Teoretis

Ketiga istilah Arab-Islam yang dibahas—ʿaql, nafs, dan ʿilm—menunjukkan keterbatasan bahasa Indonesia dalam menerjemahkan istilah yang sarat dimensi ontologis, epistemologis, dan spiritual. Jika dipaksakan ke dalam padanan seperti “akal,” “jiwa,” atau “ilmu,” maka makna filosofisnya direduksi ke dalam kerangka modern yang tidak sepenuhnya sesuai dengan horizon Islam.

Namun, ketidakadaan padanan langsung juga membuka peluang. Dengan mempertahankan istilah-istilah tersebut dalam bentuk aslinya, bahasa Indonesia dapat diperkaya melalui integrasi konsep-konsep yang berakar pada tradisi Islam.¹⁰ Hal ini tidak hanya relevan secara linguistik, tetapi juga penting secara kultural, karena memungkinkan perkembangan filsafat dalam bahasa Indonesia tetap berpijak pada warisan intelektual Islam tanpa kehilangan kedalaman maknanya.


Footnotes

[1]            Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2007), 44.

[2]            Al-Farabi, Selected Aphorisms, trans. Muhsin Mahdi (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 57–59; Ibn Sina, The Metaphysics of The Healing, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 347–348.

[3]            Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.

[4]            Al-Qur’an, Surah Yusuf [12]:53; Surah Al-Fajr [89]:27–28.

[5]            Ibn Sina, De Anima (Kitab al-Nafs), trans. Fazlur Rahman (London: Oxford University Press, 1959), 11–12.

[6]            Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 96.

[7]            Al-Ghazali, Ihya’ ʿUlum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Cairo: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2005), 15–16.

[8]            Al-Ghazali, Deliverance from Error, trans. R. J. McCarthy (Louisville, KY: Fons Vitae, 2000), 62.

[9]            Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (London: Hurst, 2011), 121.

[10]          William C. Chittick, The Essential Seyyed Hossein Nasr (Bloomington: World Wisdom, 2007), 77.


8.            Analisis Perbandingan

8.1.        Persoalan Untranslatability

Salah satu tantangan utama dalam studi diksi filosofis asing adalah fenomena untranslatability atau ketidakmungkinan penerjemahan penuh. Istilah ini bukan berarti bahwa sebuah kata sama sekali tidak dapat dialihbahasakan, melainkan bahwa setiap upaya penerjemahan akan selalu meninggalkan residu makna yang tidak tertampung dalam bahasa sasaran.¹ Misalnya, istilah Yunani logos tidak sepenuhnya identik dengan “kata” maupun “rasio”; istilah Jerman Dasein tidak dapat direduksi menjadi “ada-di-sana” tanpa menghilangkan dimensi eksistensialnya; sementara istilah Arab-Islam ʿaql melampaui pengertian “akal” dalam bahasa Indonesia.²

Fenomena ini memperlihatkan bahwa bahasa bukan sekadar medium netral untuk menyampaikan konsep, tetapi juga pembentuk horizon berpikir yang khas.³ Dalam konteks filsafat, setiap istilah mengandung sejarah intelektual, konteks kultural, dan nuansa epistemologis yang tidak selalu dapat ditangkap oleh bahasa lain. Karena itu, untranslatability lebih tepat dipahami sebagai problem hermeneutik yang menuntut pemahaman lintas tradisi.

8.2.        Strategi Adaptasi Linguistik

Dalam menghadapi kesulitan penerjemahan, para penerjemah dan akademisi biasanya menggunakan beberapa strategi adaptasi:

1)             Adopsi Istilah Asli

Beberapa istilah dipertahankan dalam bentuk aslinya, seperti différance atau Aufhebung. Strategi ini menjaga keutuhan makna, tetapi menimbulkan jarak bagi pembaca awam.⁴

2)             Terjemahan Deskriptif

Alternatif lain adalah menjelaskan istilah melalui frasa panjang, misalnya menerjemahkan arete sebagai “keunggulan moral yang memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan (eudaimonia).” Strategi ini memperjelas makna, tetapi kehilangan singkatnya istilah asli.⁵

3)             Neologisme

Dalam beberapa kasus, diciptakan istilah baru untuk menampung makna asing. Contohnya, istilah “sublasi” dipakai untuk menerjemahkan Aufhebung, meskipun tidak sepenuhnya memadai.⁶ Strategi ini membuka peluang bagi perkembangan bahasa, tetapi rentan menimbulkan kebingungan jika tidak disertai konsistensi akademik.

8.3.        Perbandingan Antartradisi

Jika dibandingkan, setiap tradisi bahasa memiliki cara unik dalam menghadapi keterbatasan penerjemahan:

·                Tradisi Yunani menekankan dimensi ontologis (misalnya eidos dan nous), yang sulit dipadankan karena bahasa Indonesia tidak memiliki tradisi metafisika serupa.⁷

·                Tradisi Latin mengedepankan aspek metafisika skolastik (substantia, accidens, ratio), yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia sering menyempit menjadi istilah sehari-hari.⁸

·                Tradisi Jerman menghasilkan istilah konseptual yang kaya secara morfologis (Dasein, Geist, Aufhebung), sulit dipindahkan karena bahasa Indonesia tidak memiliki fleksibilitas serupa.⁹

·                Tradisi Prancis menciptakan istilah eksperimental (différance, élan vital, sujet) yang tidak mungkin dipahami tanpa memahami konteks filosofisnya.¹⁰

·                Tradisi Arab-Islam menekankan dimensi spiritual-rasional (ʿaql, nafs, ʿilm), yang dalam bahasa Indonesia kerap dipersempit ke ranah psikologis atau saintifik modern.¹¹

Analisis perbandingan ini memperlihatkan bahwa kesulitan penerjemahan tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga epistemologis. Bahasa Indonesia sebagai bahasa filsafat relatif muda, sehingga menghadapi tantangan besar ketika harus mengakomodasi istilah dari tradisi-tradisi yang lebih tua dan mapan.

8.4.        Implikasi bagi Bahasa Indonesia

Ketiadaan padanan langsung tidak selalu menjadi kelemahan. Sebaliknya, hal ini dapat menjadi peluang untuk memperkaya bahasa Indonesia melalui tiga cara:

1)             Pengayaan Kosakata: Mengadopsi istilah asing secara selektif agar bahasa Indonesia memiliki terminologi filsafat yang lebih luas.¹²

2)             Kreativitas Linguistik: Mendorong penciptaan istilah baru yang berakar pada bahasa lokal, namun tetap mampu menangkap makna universal.¹³

3)             Dialog Antartradisi: Menjadikan perbedaan istilah sebagai sarana untuk membangun dialog antara filsafat Barat, Prancis, Jerman, Latin, dan tradisi Islam, sehingga memperluas horizon intelektual bahasa Indonesia.¹⁴

Dengan demikian, analisis perbandingan ini tidak berhenti pada pemetaan perbedaan, tetapi juga mendorong strategi konkret bagi perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa filsafat yang matang.


Footnotes

[1]            Barbara Cassin, Dictionary of Untranslatables: A Philosophical Lexicon, ed. Emily Apter et al. (Princeton: Princeton University Press, 2014), xvii.

[2]            Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 32.

[3]            Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind, trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.

[4]            Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), xx.

[5]            Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1097b.

[6]            G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (London: George Allen & Unwin, 1969), 107.

[7]            Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 123.

[8]            Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3.

[9]            Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15.

[10]          Gilles Deleuze, Bergsonism, trans. Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam (New York: Zone Books, 1988), 92.

[11]          Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.

[12]          Umberto Eco, The Search for the Perfect Language (Oxford: Blackwell, 1995), 22.

[13]          Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I: Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.

[14]          Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.


9.            Implikasi Akademik dan Kultural

9.1.        Implikasi terhadap Studi Filsafat di Indonesia

Ketiadaan padanan yang memadai untuk istilah-istilah filosofis asing memiliki dampak langsung terhadap pengajaran dan pengembangan filsafat di Indonesia. Pertama, ia menimbulkan kesenjangan epistemologis dalam proses belajar-mengajar. Mahasiswa filsafat sering kali harus berhadapan dengan istilah yang dipertahankan dalam bahasa aslinya, seperti Dasein (Jerman), différance (Prancis), atau ʿaql (Arab).¹ Hal ini menuntut penguasaan bahasa asing sekaligus tradisi filsafat yang melahirkannya, yang tidak selalu dapat dipenuhi dalam konteks pendidikan tinggi Indonesia.

Kedua, keterbatasan padanan membuat literatur filsafat dalam bahasa Indonesia cenderung bergantung pada terjemahan asing.² Akibatnya, ada risiko reduksi makna ketika teks klasik atau kontemporer dipaksakan menggunakan padanan yang tidak tepat. Misalnya, substantia yang diterjemahkan menjadi “substansi” sering disalahpahami hanya sebagai “isi” atau “materi,” sehingga hilang dimensi metafisikanya.³ Kekurangan ini dapat menghambat perkembangan diskursus filsafat dalam bahasa Indonesia dan memperlambat terciptanya tradisi intelektual yang mandiri.

9.2.        Implikasi terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia

Secara linguistik, perjumpaan dengan istilah filosofis asing membuka peluang pengayaan kosakata bahasa Indonesia. Bahasa Jepang, misalnya, berhasil menciptakan neologisme modern untuk mengakomodasi istilah Barat, seperti tetsugaku (哲学) untuk “filsafat.”⁴ Bahasa Turki juga melakukan reformasi linguistik besar-besaran pada abad ke-20 untuk menggantikan istilah Arab-Persia dengan padanan Turki modern.⁵

Bahasa Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut. Tantangan ketiadaan padanan justru bisa menjadi pemicu kreativitas linguistik, baik melalui transliterasi, adaptasi semantik, maupun penciptaan istilah baru. Namun, proses ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerancuan makna. Tanpa upaya konsisten, bahasa Indonesia berisiko menjadi sekadar bahasa pengantar filsafat, bukan bahasa pencipta filsafat.⁶

9.3.        Implikasi Kultural dan Identitas Intelektual

Pada tingkat kultural, persoalan padanan istilah filsafat asing menyingkap posisi bahasa Indonesia dalam lanskap global. Di satu sisi, ketidakmampuan menemukan padanan menunjukkan keterbatasan kosakata filosofis dalam bahasa Indonesia. Di sisi lain, hal ini menegaskan bahwa setiap bahasa membawa horizon kebudayaan yang unik.⁷ Dengan demikian, pertemuan antara bahasa Indonesia dan istilah asing adalah sebuah dialog antartradisi yang dapat memperkaya identitas intelektual bangsa.

Lebih jauh, adopsi istilah asing yang hati-hati dapat memperkuat tradisi filsafat lokal. Misalnya, istilah ʿilm dalam tradisi Islam tidak hanya memperluas kosakata, tetapi juga memperkenalkan perspektif epistemologis yang berbeda dari sains modern.⁸ Demikian pula, penggunaan arete atau Geist dalam kajian filsafat Indonesia memungkinkan mahasiswa untuk memahami filsafat Barat secara lebih otentik, tanpa penyempitan makna. Dengan kata lain, ketiadaan padanan bukanlah sekadar hambatan, tetapi juga peluang untuk membangun tradisi filsafat Indonesia yang plural, terbuka, dan kritis.

9.4.        Perbandingan dengan Bahasa Lain

Jika dibandingkan, bahasa lain telah menunjukkan model yang bisa ditiru. Bahasa Jepang, selain menciptakan neologisme, juga meminjam langsung istilah asing dengan penyesuaian fonetik, seperti aristotelesu untuk Aristoteles.⁹ Bahasa Arab, sebaliknya, mengadaptasi kosakata Yunani melalui terjemahan kreatif, misalnya ousia (substansi) menjadi jawhar.¹⁰ Perbedaan strategi ini menunjukkan bahwa tidak ada satu model tunggal, tetapi setiap bahasa mengembangkan mekanisme sesuai dengan konteks kultural dan historisnya.

Bahasa Indonesia dapat mengambil jalan tengah: meminjam istilah asing yang sulit diterjemahkan, sambil secara bertahap menciptakan neologisme berbasis lokal. Dengan demikian, bahasa Indonesia bisa berkembang menjadi bahasa filsafat yang tidak sekadar pasif menerima, tetapi juga aktif membentuk terminologi baru.¹¹


Refleksi Kritis

Implikasi akademik dan kultural dari ketiadaan padanan istilah filosofis asing menegaskan pentingnya kesadaran kritis dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai medium filsafat. Alih-alih melihat keterbatasan sebagai kelemahan, ia perlu dipandang sebagai kesempatan untuk memperkaya kosakata, memperluas horizon pemikiran, dan memperkuat identitas intelektual bangsa.¹² Dengan cara ini, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi penerima konsep, tetapi juga partisipan aktif dalam percakapan filsafat global.


Footnotes

[1]            Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1927), 42.

[2]            Paul Ricoeur, On Translation, trans. Eileen Brennan (London: Routledge, 2006), 7.

[3]            Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 34.

[4]            Naoki Sakai, Translation and Subjectivity: On “Japan” and Cultural Nationalism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 43.

[5]            Geoffrey Lewis, The Turkish Language Reform: A Catastrophic Success (Oxford: Oxford University Press, 1999), 112.

[6]            Umberto Eco, The Search for the Perfect Language (Oxford: Blackwell, 1995), 22.

[7]            Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind, trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.

[8]            Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.

[9]            Lydia Liu, Tokens of Exchange: The Problem of Translation in Global Circulations (Durham: Duke University Press, 1999), 88.

[10]          Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 56.

[11]          Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I: Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.

[12]          Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 383.


10.        Sintesis dan Refleksi Filosofis

10.1.     Bahasa sebagai Batasan dan Peluang

Pembahasan mengenai diksi filosofis asing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa tidak sekadar medium komunikasi, melainkan batas sekaligus peluang bagi perkembangan pemikiran. Ludwig Wittgenstein pernah menegaskan bahwa “batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku,”¹ menandakan bahwa kemampuan bahasa menentukan horizon realitas yang dapat dipahami manusia. Namun, seperti ditunjukkan oleh Wilhelm von Humboldt, bahasa juga merupakan energeia, sebuah aktivitas kreatif yang membentuk dan memperluas dunia manusia.² Dengan demikian, meski bahasa Indonesia memiliki keterbatasan dalam menampung istilah asing, ia juga memiliki potensi untuk berkembang melalui adopsi, adaptasi, dan penciptaan neologisme.

10.2.     Sintesis atas Temuan Sebelumnya

Dari analisis lintas tradisi, dapat disimpulkan bahwa:

·                Tradisi Yunani menghadirkan konsep ontologis dan epistemologis mendalam seperti logos, eidos, nous, dan arete, yang sulit direduksi ke padanan sederhana.³

·                Tradisi Latin menekankan aspek metafisika skolastik melalui substantia, accidens, dan ratio, yang sering direduksi dalam penerjemahan modern.⁴

·                Tradisi Jerman menunjukkan kreativitas morfologis dengan istilah seperti Dasein, Geist, dan Aufhebung, yang menantang untuk dialihbahasakan.⁵

·                Tradisi Prancis menampilkan eksperimentasi linguistik melalui différance, élan vital, dan sujet, yang menyingkap keterbatasan struktur bahasa lain.⁶

·                Tradisi Arab-Islam memperlihatkan integrasi dimensi spiritual dan rasional melalui ʿaql, nafs, dan ʿilm, yang padanannya dalam bahasa Indonesia cenderung menyempit pada pengertian modern.⁷

Sintesis ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukanlah “ketidakmampuan” bahasa Indonesia, melainkan “ketidakpadanan horizon konseptual” antara tradisi filosofis asing dan konteks bahasa Indonesia.

10.3.     Refleksi Filosofis: Apakah Bahasa Membatasi Filsafat?

Pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah keterbatasan bahasa benar-benar membatasi filsafat? Derrida melalui konsep différance menegaskan bahwa makna selalu tertunda, tidak pernah hadir secara penuh.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa setiap bahasa, betapapun kaya, selalu menyisakan kekurangan. Dalam konteks ini, keterbatasan bahasa Indonesia bukanlah anomali, melainkan bagian dari kondisi universal bahasa.

Namun, keterbatasan tersebut tidak berarti kemacetan. Gadamer menekankan bahwa pemahaman adalah peristiwa hermeneutik, sebuah peleburan horizon antara bahasa asal dan bahasa penerima.⁹ Maka, pertemuan antara istilah asing dan bahasa Indonesia dapat dipahami sebagai dialog filosofis yang justru memperkaya kedua belah pihak. Bahasa Indonesia dapat mengadopsi istilah asing untuk memperluas cakrawala konseptualnya, sementara istilah asing menemukan konteks baru dalam budaya Indonesia.

10.4.     Menuju Bahasa Filsafat Indonesia yang Matang

Refleksi ini mengarah pada kesimpulan bahwa bahasa Indonesia perlu terus mengembangkan dirinya sebagai bahasa filsafat. Ada tiga langkah yang dapat ditempuh:

1)             Konsistensi Akademik: Istilah asing yang dipinjam harus digunakan secara konsisten, disertai dengan penjelasan filosofis yang jelas agar tidak menimbulkan ambiguitas.¹⁰

2)             Kreativitas Linguistik: Bahasa Indonesia perlu menciptakan istilah baru yang berakar pada khazanah lokal, tanpa kehilangan universalitas filsafat.

3)             Dialog Tradisi: Perjumpaan dengan istilah asing harus dilihat sebagai peluang untuk membangun filsafat Indonesia yang plural, terbuka, dan kritis.¹¹

Dengan demikian, bahasa Indonesia tidak hanya menjadi penerjemah pasif, tetapi juga produsen konsep-konsep filosofis baru.


Penutup Reflektif

Bab ini menegaskan bahwa persoalan diksi filosofis asing tanpa padanan bukanlah sekadar problem linguistik, melainkan persoalan epistemologis dan kultural yang menyangkut posisi bahasa Indonesia dalam lanskap filsafat global. Alih-alih terjebak pada reduksi, keterbatasan ini dapat dimanfaatkan sebagai ruang kreatif untuk memperkaya kosakata, memperluas horizon intelektual, dan memperkuat identitas intelektual bangsa. Dengan cara ini, bahasa Indonesia dapat berperan bukan hanya sebagai penerima, tetapi juga sebagai kontributor dalam percakapan filsafat dunia.


Footnotes

[1]            Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 68.

[2]            Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of Human Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind, trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 49.

[3]            Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 123.

[4]            Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 34.

[5]            Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 15.

[6]            Gilles Deleuze, Bergsonism, trans. Hugh Tomlinson and Barbara Habberjam (New York: Zone Books, 1988), 92.

[7]            Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization, 1992), 23.

[8]            Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23.

[9]            Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.

[10]          Umberto Eco, Experiences in Translation, trans. Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 18.

[11]          Quentin Skinner, Visions of Politics, Volume I: Regarding Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 59.


11.        Penutup

11.1.     Kesimpulan Umum

Kajian mengenai diksi filosofis asing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa bukanlah sekadar instrumen komunikasi, melainkan juga horizon epistemologis dan kultural yang membentuk cara manusia memahami realitas.¹ Istilah-istilah dari tradisi Yunani (logos, eidos, nous, arete), Latin (substantia, accidens, ratio), Jerman (Dasein, Geist, Aufhebung), Prancis (différance, élan vital, sujet), dan Arab-Islam (ʿaql, nafs, ʿilm) menunjukkan bahwa setiap bahasa memproduksi kosakata yang sarat makna filosofis, tetapi nuansa tersebut sering kali tidak dapat dialihbahasakan secara utuh ke dalam bahasa Indonesia.²

Fenomena ini menegaskan bahwa keterbatasan penerjemahan tidak hanya bersifat teknis linguistik, tetapi juga epistemologis. Makna filosofis selalu terkait dengan sejarah intelektual, kosmologi budaya, dan horizon hermeneutik tertentu.³ Maka, setiap upaya penerjemahan ke bahasa Indonesia berisiko menyederhanakan atau mereduksi makna, tetapi sekaligus membuka peluang untuk memperkaya khazanah istilah filsafat dalam bahasa kita.

11.2.     Rekomendasi Akademis

Agar bahasa Indonesia dapat berfungsi secara lebih efektif sebagai medium filsafat, terdapat beberapa rekomendasi akademis yang dapat dipertimbangkan:

1)             Konsistensi Terminologi

Akademisi filsafat di Indonesia perlu menyepakati penggunaan istilah asing yang sulit diterjemahkan, apakah dipertahankan dalam bentuk aslinya atau disertai dengan terjemahan deskriptif.⁴

2)             Penciptaan Neologisme

Perlu ada usaha kolektif untuk menciptakan istilah baru yang berakar dari khazanah lokal, sebagaimana bahasa Jepang menciptakan tetsugaku untuk “filsafat.”⁵

3)             Integrasi Tradisi Lokal

Pengembangan istilah filosofis dalam bahasa Indonesia juga dapat diperkaya dengan mengambil inspirasi dari tradisi intelektual Nusantara, sehingga filsafat tidak sekadar mengimpor konsep asing, tetapi juga melahirkan kosakata baru yang kontekstual.⁶

4)             Dialog Interdisipliner

Studi filsafat perlu berinteraksi dengan linguistik, hermeneutika, dan studi penerjemahan untuk menghasilkan strategi yang lebih matang dalam mengakomodasi istilah asing.⁷

11.3.     Refleksi Akhir

Keterbatasan padanan istilah filosofis asing tidak boleh dipandang sebagai kelemahan definitif bahasa Indonesia, melainkan sebagai peluang kreatif. Seperti ditunjukkan oleh Hans-Georg Gadamer, pemahaman adalah proses peleburan horizon, di mana tradisi yang berbeda dapat bertemu dan melahirkan makna baru.⁸ Dengan semangat itu, bahasa Indonesia berpotensi tumbuh sebagai bahasa filsafat yang tidak hanya menjadi penerima, tetapi juga pencipta konsep.

Dengan demikian, artikel ini menegaskan dua hal pokok. Pertama, bahasa Indonesia memang menghadapi tantangan besar dalam mengakomodasi istilah filosofis asing yang kaya akan dimensi ontologis, epistemologis, dan kultural. Kedua, keterbatasan itu justru membuka ruang untuk memperkaya kosakata, memperluas horizon berpikir, dan memperkuat identitas intelektual bangsa dalam percakapan filsafat global.


Footnotes

[1]            Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 32.

[2]            Barbara Cassin, Dictionary of Untranslatables: A Philosophical Lexicon, ed. Emily Apter et al. (Princeton: Princeton University Press, 2014), xvii.

[3]            Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, ed. and trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 43–44.

[4]            Umberto Eco, Experiences in Translation, trans. Alastair McEwen (Toronto: University of Toronto Press, 2001), 18.

[5]            Naoki Sakai, Translation and Subjectivity: On “Japan” and Cultural Nationalism (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 43.

[6]            Bambang Sugiharto, Post-Tradisionalisme: Esai-esai Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 122.

[7]            Eugene A. Nida, Toward a Science of Translating (Leiden: E. J. Brill, 1964), 159.

[8]            Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford: Clarendon Press.

Anaxagoras. (1968). Fragments (D. S. Robinson, Trans.). Indianapolis: Bobbs-Merrill.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1954). Rhetoric (W. Rhys Roberts, Trans.). New York: Modern Library.

Aristotle. (1963). Categories (J. L. Ackrill, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Aristotle. (1986). De anima (H. Lawson-Tancred, Trans.). London: Penguin.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Bakar, O. (1992). Classification of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Civilization.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Beiser, F. C. (2005). Hegel. London: Routledge.

Bergson, H. (1907). L’évolution créatrice. Paris: Félix Alcan.

Bergson, H. (1944). Creative evolution (A. Mitchell, Trans.). New York: Random House.

Butler, J. (1997). The psychic life of power: Theories in subjection. Stanford: Stanford University Press.

Cassin, B. (Ed.). (2014). Dictionary of untranslatables: A philosophical lexicon (E. Apter et al., Eds.). Princeton: Princeton University Press.

Chittick, W. C. (2007). The essential Seyyed Hossein Nasr. Bloomington: World Wisdom.

Cicero, M. T. (1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Deleuze, G. (1988). Bergsonism (H. Tomlinson & B. Habberjam, Trans.). New York: Zone Books.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and time, Division I. Cambridge, MA: MIT Press.

Eco, U. (1995). The search for the perfect language. Oxford: Blackwell.

Eco, U. (2001). Experiences in translation (A. McEwen, Trans.). Toronto: University of Toronto Press.

Farabi, A. (1962). Selected aphorisms (M. Mahdi, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Foucault, M. (1979). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Vintage Books.

Frege, G. (1960). On sense and reference. In P. Geach & M. Black (Eds.), Translations from the philosophical writings of Gottlob Frege (pp. 56–78). Oxford: Basil Blackwell.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Continuum.

Ghazali, A. H. (2000). Deliverance from error (R. J. McCarthy, Trans.). Louisville, KY: Fons Vitae.

Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ ʿulum al-din (N. A. Faris, Trans.). Cairo: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Gilson, É. (1952). Being and some philosophers. Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʿAbbāsid society. London: Routledge.

Habermas, J. (1988). On the logic of the social sciences (S. W. Nicholsen & J. A. Stark, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Hegel, G. W. F. (1969). Science of logic (A. V. Miller, Trans.). London: George Allen & Unwin.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Heidegger, M. (1927). Sein und zeit. Tübingen: Max Niemeyer Verlag.

Inwood, M. (1992). A Hegel dictionary. Oxford: Blackwell.

Izutsu, T. (2007). The concept and reality of existence. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Jaeger, W. (1945). Paideia: The ideals of Greek culture (G. Highet, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Kenny, A. (2005). Medieval philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Kretzmann, N. (1997). The metaphysics of theism: Aquinas’s natural theology in Summa contra gentiles. Oxford: Clarendon Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Lanham, R. A. (1991). A handlist of rhetorical terms. Berkeley: University of California Press.

Lawhead, W. F. (2002). The voyage of discovery: A historical introduction to philosophy. Belmont, CA: Wadsworth.

Lewis, G. (1999). The Turkish language reform: A catastrophic success. Oxford: Oxford University Press.

Liu, L. (1999). Tokens of exchange: The problem of translation in global circulations. Durham: Duke University Press.

Lloyd, G. E. R. (1970). Early Greek science: Thales to Aristotle. London: Chatto & Windus.

MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which rationality? Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic cosmological doctrines. Albany: SUNY Press.

Nida, E. A. (1964). Toward a science of translating. Leiden: E. J. Brill.

Norris, C. (1987). Derrida. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Pieper, J. (2001). The concept of sin. South Bend: St. Augustine’s Press.

Plato. (1977). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; rev. C. D. C. Reeve). Indianapolis: Hackett.

Plato. (1998). Cratylus (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Rahman, F. (1959). De anima (Kitab al-nafs) (Trans.). London: Oxford University Press.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences (J. B. Thompson, Ed. & Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (2006). On translation (E. Brennan, Trans.). London: Routledge.

Sakai, N. (1997). Translation and subjectivity: On “Japan” and cultural nationalism. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. New York: Harcourt, Brace.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The contemporary relevance of the sacred text of Islam. London: Hurst.

Sheehan, T. (1993). Heidegger’s Dasein. In C. Guignon (Ed.), The Cambridge companion to Heidegger (pp. 91–114). Cambridge: Cambridge University Press.

Skinner, Q. (2002). Visions of politics, Volume I: Regarding method. Cambridge: Cambridge University Press.

Sugiharto, B. (1996). Post-tradisionalisme: Esai-esai filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Taylor, C. (1975). Hegel. Cambridge: Cambridge University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality. Cambridge, MA: MIT Press.

Wippel, J. F. (2000). The metaphysical thought of Thomas Aquinas. Washington, DC: Catholic University of America Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge & Kegan Paul.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar