Jenis-Jenis Perguruan Tinggi
Karakteristik, Peran, dan
Tantangan dalam Sistem Pendidikan Tinggi
Alihkan ke: Menyelami Luasnya Ilmu.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai
jenis-jenis perguruan tinggi dengan pendekatan historis, konseptual, dan
filosofis. Kajian dimulai dari definisi dan konsep dasar perguruan tinggi,
dilanjutkan dengan sejarah perkembangannya dari era klasik hingga modern, serta
klasifikasi berdasarkan status hukum (PTN, PTS, PTN-BH, dan kedinasan) maupun
orientasi akademik (universitas, institut, sekolah tinggi, akademi,
politeknik). Selain itu, dibahas pula peran penting perguruan tinggi keagamaan,
vokasi, profesi, internasional, dan hybrid dalam memperluas akses pendidikan
tinggi serta meningkatkan relevansi dengan kebutuhan global. Artikel ini
menegaskan kontribusi perguruan tinggi dalam pembangunan ilmu pengetahuan,
pemberdayaan masyarakat, peningkatan daya saing bangsa, dan pelestarian budaya.
Di sisi lain, perguruan tinggi menghadapi tantangan
besar berupa komersialisasi pendidikan, kesenjangan mutu, globalisasi,
digitalisasi, tata kelola, dan relevansi dengan dunia kerja. Perbandingan
internasional memperlihatkan model pendidikan tinggi di Amerika, Eropa, Asia
Timur, dan Asia Tenggara, yang dapat menjadi cermin bagi pengembangan perguruan
tinggi di Indonesia. Pada bagian akhir, artikel ini menyajikan sintesis dan
refleksi filosofis, menekankan bahwa perguruan tinggi harus dilihat sebagai
institusi peradaban yang memadukan ilmu, etika, dan spiritualitas. Dengan
demikian, masa depan pendidikan tinggi ditentukan oleh kemampuannya menjaga
keseimbangan antara idealisme akademik, kebutuhan praktis, dan tanggung jawab
sosial-humanistik.
Kata Kunci: Perguruan
Tinggi, Pendidikan Tinggi, Universitas, Vokasi, Globalisasi, Pembangunan,
Filsafat Pendidikan.
PEMBAHASAN
Menelusuri Jenis-Jenis
Perguruan Tinggi
1.
Pendahuluan
Pendidikan tinggi merupakan salah satu pilar
fundamental dalam pembangunan bangsa dan peradaban. Sebagai jenjang tertinggi
dalam sistem pendidikan formal, perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam
mencetak sumber daya manusia yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi
juga berkarakter, adaptif, serta mampu menghadapi tantangan global. Keberadaan
perguruan tinggi menjadi salah satu indikator kemajuan suatu negara, sebab ia
berfungsi sebagai motor penggerak pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, dan kebudayaan, sekaligus sebagai pusat lahirnya pemikiran kritis yang
dapat menjawab dinamika zaman.¹
Di era globalisasi dan revolusi industri 4.0,
perguruan tinggi menghadapi tuntutan yang semakin kompleks. Mobilitas
pengetahuan, arus informasi digital, serta persaingan global antaruniversitas
menuntut perguruan tinggi untuk terus berinovasi dalam hal kurikulum,
penelitian, maupun tata kelola kelembagaan. Perguruan tinggi tidak lagi hanya
dipandang sebagai tempat transmisi ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai arena
produksi pengetahuan baru dan pengembangan teknologi yang aplikatif bagi
kehidupan masyarakat.² Hal ini menjadikan perguruan tinggi sebagai institusi
yang memiliki dimensi multidisipliner, karena di dalamnya terjadi pertemuan
antara dunia akademik, dunia industri, kebijakan publik, dan tuntutan sosial.
Dalam konteks Indonesia, perguruan tinggi memiliki
posisi yang unik sekaligus menantang. Di satu sisi, sistem pendidikan tinggi di
Indonesia diatur oleh kerangka hukum nasional yang menekankan pada Tridharma
Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.³
Namun, di sisi lain, perguruan tinggi juga harus beradaptasi dengan standar
internasional agar dapat bersaing di tingkat global. Perbedaan status hukum,
orientasi akademik, serta karakteristik kelembagaan melahirkan keragaman jenis
perguruan tinggi di Indonesia, mulai dari perguruan tinggi negeri, swasta,
kedinasan, hingga keagamaan. Keragaman ini sekaligus mencerminkan pluralitas
sistem pendidikan yang berupaya menjawab kebutuhan masyarakat dengan beragam
latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi.
Kajian mengenai jenis-jenis perguruan tinggi
menjadi penting karena membantu kita memahami bagaimana bentuk, fungsi, dan
karakteristik lembaga pendidikan tinggi memengaruhi mutu pendidikan serta
relevansinya dengan kebutuhan masyarakat. Tanpa pemahaman yang mendalam,
terdapat risiko terjadinya kesenjangan mutu pendidikan tinggi yang semakin
lebar, terutama antara perguruan tinggi besar yang memiliki akses sumber daya
dengan perguruan tinggi kecil yang terbatas dalam pendanaan maupun
infrastruktur.⁴ Oleh karena itu, pembahasan ini akan menyoroti berbagai dimensi
perguruan tinggi, mulai dari sejarah perkembangannya, jenis dan klasifikasinya,
peran sosialnya, hingga tantangan dan peluang yang dihadapi.
Secara khusus, artikel ini disusun untuk memberikan
kerangka komprehensif dalam memahami ragam perguruan tinggi, baik di Indonesia
maupun dalam perspektif internasional. Dengan demikian, pembaca diharapkan
memperoleh gambaran utuh mengenai perbedaan orientasi akademik, fungsi
kelembagaan, serta kontribusi setiap jenis perguruan tinggi terhadap
pembangunan manusia dan bangsa. Lebih jauh, kajian ini juga bertujuan untuk
merefleksikan hakikat perguruan tinggi sebagai institusi peradaban yang tidak
semata mengejar output kuantitatif berupa lulusan, tetapi juga membentuk insan
berpengetahuan luas, berintegritas, dan memiliki komitmen moral terhadap
kemaslahatan umat manusia.⁵
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on Higher
Education (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2016), 3.
[2]
Simon Marginson, “The Global Higher Education
Landscape,” Journal of Higher Education Policy and Management 39, no. 5
(2017): 440–452.
[3]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, Bab II Pasal 1.
[4]
Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan
(Yogyakarta: Galangpress, 2004), 125.
[5]
Ronald Barnett, The Idea of Higher Education
(London: Routledge, 1990), 21–22.
2.
Konsep Dasar Perguruan Tinggi
2.1.
Definisi Perguruan
Tinggi
Perguruan tinggi
merupakan lembaga pendidikan formal pada jenjang tertinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik, vokasi, maupun profesi dengan tujuan
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu, kreatif,
mandiri, serta bertanggung jawab secara sosial.¹ Definisi ini ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menempatkan
perguruan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang berfungsi
menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang beriman, berakhlak
mulia, berpengetahuan, cakap, kreatif, sehat, dan berdaya saing.²
Dalam perspektif
global, definisi perguruan tinggi dapat beragam, namun pada umumnya menekankan fungsi pendidikan tinggi sebagai institusi
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan karakter. The World
Bank, misalnya, mendefinisikan higher education institutions sebagai pusat
pembelajaran yang tidak hanya menghasilkan tenaga kerja berpendidikan tinggi,
tetapi juga pengetahuan baru yang relevan bagi pembangunan ekonomi dan sosial.³
2.2.
Fungsi Pokok
Perguruan Tinggi
Secara umum,
perguruan tinggi memiliki tiga fungsi utama yang dikenal sebagai Tridharma
Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Pertama, fungsi pendidikan menekankan pada proses pembelajaran yang
tidak hanya bersifat transfer ilmu, tetapi juga transformasi nilai dan pembentukan kepribadian.⁴ Kedua,
fungsi penelitian menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat
dan industri.⁵ Ketiga, fungsi pengabdian kepada masyarakat menggarisbawahi
pentingnya keterlibatan perguruan tinggi dalam pemberdayaan masyarakat,
pembangunan lokal, serta solusi atas permasalahan sosial.⁶
Di luar tridharma,
perguruan tinggi juga berperan dalam pembangunan karakter kebangsaan,
pelestarian budaya, serta penguatan demokrasi. Hal ini menegaskan bahwa
perguruan tinggi bukan hanya institusi akademik, melainkan juga agen perubahan
sosial (agent of
change) dan pusat pengembangan peradaban.⁷
2.3.
Perguruan Tinggi
dalam Konteks Sistem Pendidikan
Dalam kerangka
sistem pendidikan, perguruan tinggi menempati posisi puncak setelah pendidikan
menengah. Ia berfungsi sebagai jembatan antara pendidikan dasar-menengah dengan
dunia kerja, sekaligus sebagai ruang pengembangan ilmu pengetahuan lanjutan. Perguruan tinggi berbeda dengan lembaga
pendidikan lain karena karakteristiknya yang menekankan pada kebebasan
akademik, otonomi keilmuan, serta kebebasan mimbar akademik.⁸
Perbedaan ini
menjadikan perguruan tinggi sebagai institusi unik dalam sistem pendidikan.
Sekolah dasar dan menengah lebih fokus pada pembentukan kemampuan dasar dan
kompetensi awal, sedangkan perguruan tinggi berorientasi pada eksplorasi ilmu, riset, inovasi, serta pembentukan
profesional yang siap berkontribusi pada pembangunan bangsa.⁹
2.4.
Karakteristik
Perguruan Tinggi
Karakteristik utama
perguruan tinggi dapat
dirangkum sebagai berikut:
1)
Kemandirian Akademik
– kebebasan dalam mengembangkan kurikulum, metode pembelajaran, dan penelitian.
2)
Multifungsi
– selain mendidik, juga meneliti, mengabdi, serta berperan dalam diplomasi
budaya dan internasionalisasi.
3)
Komunitas Ilmiah
– perguruan tinggi merupakan wadah interaksi dosen, mahasiswa, peneliti, dan
praktisi dalam diskursus ilmiah.
4)
Arah Jangka Panjang
– orientasi perguruan tinggi tidak hanya pada kebutuhan sesaat, tetapi pada
visi pembangunan berkelanjutan.¹⁰
Karakteristik-karakteristik
ini membedakan perguruan tinggi dari lembaga pendidikan lainnya, sekaligus mempertegas posisinya sebagai institusi
strategis yang memadukan aspek akademik, profesional, sosial, dan moral.
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Liz Reisberg, and Laura E. Rumbley, Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic
Revolution (Paris: UNESCO, 2009),
15.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, Bab I Pasal 1.
[3]
World Bank, Constructing Knowledge
Societies: New Challenges for Tertiary Education (Washington, D.C.: World Bank, 2002), 10.
[4]
Ki Supriyoko, Pendidikan Tinggi:
Antara Idealisme dan Realitas
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 44.
[5]
Burton R. Clark, The Higher Education
System: Academic Organization in Cross-National Perspective (Berkeley: University of California Press, 1983), 67.
[6]
Musa Asy’arie, Perguruan Tinggi dan
Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 102.
[7]
Ronald Barnett, The Idea of Higher
Education (London: Routledge, 1990),
56.
[8]
Edward Shils, “The Academic Ethos,” Minerva 10, no. 4 (1972): 495–516.
[9]
Darmaningtyas, Pendidikan yang
Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 88.
[10]
Simon Marginson, “Dynamics of National and Global Competition in Higher
Education,” Higher Education 52, no. 1 (2006): 1–39.
3.
Sejarah Perkembangan Perguruan
Tinggi
3.1.
Asal-Usul Perguruan
Tinggi Klasik
Sejarah perguruan
tinggi dapat ditelusuri jauh ke masa peradaban kuno ketika lembaga-lembaga
pendidikan mulai terbentuk sebagai pusat pengajaran dan diskusi ilmiah. Salah
satu perguruan tinggi tertua yang masih beroperasi adalah Universitas
al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, yang didirikan pada tahun 859 M oleh Fatimah
al-Fihri.¹ Lembaga ini berfungsi sebagai pusat pengkajian ilmu agama, hukum,
dan sains, sekaligus menjadi simbol peran dunia Islam dalam mengembangkan
tradisi keilmuan universal. Selain itu, Universitas al-Azhar di Kairo yang
berdiri pada abad ke-10 juga memainkan peran penting dalam menyebarkan
ilmu-ilmu keislaman dan menjadi pusat pembelajaran terbesar di dunia Muslim.²
Di Eropa, tradisi perguruan
tinggi modern berkembang pada abad pertengahan dengan berdirinya Universitas
Bologna (1088) di Italia, yang sering disebut sebagai universitas pertama dalam pengertian modern.³
Universitas Bologna menekankan pada studi hukum dan menjadi model bagi pembentukan
universitas lain di Eropa. Kemudian menyusul Universitas Paris (abad ke-12)
dengan kekuatan utama pada teologi dan filsafat skolastik, serta Universitas
Oxford (abad ke-12) dan Universitas Cambridge (abad ke-13) di Inggris yang
menekankan studi humaniora dan ilmu-ilmu alam.⁴ Tradisi perguruan tinggi Barat
ini mengintegrasikan sistem kurikulum formal, jenjang gelar, dan struktur
fakultas yang menjadi dasar bagi model universitas hingga kini.
3.2.
Perkembangan di
Dunia Modern
Memasuki era modern,
perguruan tinggi mengalami transformasi besar. Revolusi Ilmiah pada abad ke-16
dan 17 serta Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 membawa perubahan
paradigma pendidikan tinggi dari sekadar pusat teologi menuju pusat riset
ilmiah. Universitas mulai menjadi basis lahirnya pengetahuan baru, bukan hanya
tempat mengajarkan ilmu yang sudah
mapan.⁵ Model universitas riset Jerman, yang dipelopori oleh Wilhelm von
Humboldt di Universitas Berlin pada awal abad ke-19, menjadi acuan bagi
pendidikan tinggi modern. Humboldt menekankan integrasi antara riset dan
pengajaran, kebebasan akademik, serta otonomi universitas.⁶
Di Amerika Serikat,
perkembangan universitas riset juga ditandai dengan lahirnya
institusi-institusi seperti Harvard, Yale, dan kemudian Massachusetts Institute
of Technology (MIT), yang menekankan inovasi ilmiah sekaligus relevansi praktis
bagi pembangunan ekonomi.⁷ Perguruan tinggi di era ini tidak hanya menghasilkan
lulusan, tetapi juga berperan dalam mendorong perkembangan industri, teknologi, dan kebijakan publik.
3.3.
Sejarah Perguruan
Tinggi di Asia
Di Asia, tradisi
pendidikan tinggi memiliki kekhasan tersendiri. Di India, Nalanda University
yang berdiri sejak abad ke-5 M menjadi salah satu pusat pembelajaran Buddhis
terbesar di dunia kuno, menampung ribuan mahasiswa dari berbagai negara.⁸ Di
Tiongkok, akademi seperti Taixue dan Guozijian menjadi pusat pembinaan
birokrasi kekaisaran yang berperan penting dalam sistem meritokrasi berbasis ujian negara.⁹
Pada abad ke-20,
banyak negara Asia mulai mengadopsi model universitas Barat dengan tetap mempertahankan nilai-nilai lokal. Jepang,
misalnya, mendirikan Universitas Tokyo (1877) sebagai pusat modernisasi
pendidikan tinggi yang berorientasi pada sains dan teknologi. Korea Selatan,
Singapura, dan Malaysia kemudian mengikuti jejak serupa dengan menjadikan
perguruan tinggi sebagai tulang punggung pembangunan nasional.¹⁰
3.4.
Sejarah Perguruan
Tinggi di Indonesia
Di Indonesia, cikal
bakal pendidikan tinggi modern muncul pada masa kolonial Belanda. Sekolah Tinggi
Kedokteran di Batavia (STOVIA) dan Technische Hoogeschool di Bandung (kini ITB)
adalah contoh awal institusi pendidikan tinggi yang didirikan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja terdidik di Hindia Belanda.¹¹ Pada masa pergerakan
nasional, perguruan tinggi menjadi ruang penting bagi tumbuhnya kesadaran
kebangsaan.
Setelah kemerdekaan,
berdirilah Universitas Indonesia (1947), Universitas Gadjah Mada (1949), dan
universitas-universitas negeri lainnya yang menjadi simbol kedaulatan
intelektual bangsa.¹² Perkembangan ini kemudian diikuti dengan lahirnya
perguruan tinggi swasta yang memperluas akses pendidikan tinggi di berbagai
daerah. Reformasi pendidikan tinggi di Indonesia semakin berkembang dengan
lahirnya Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), akreditasi nasional, dan
keterlibatan dalam pemeringkatan internasional.¹³
Refleksi Sejarah
Sejarah perkembangan
perguruan tinggi menunjukkan bahwa lembaga ini tidak pernah lepas dari konteks
sosial, politik, dan budaya. Perguruan tinggi lahir sebagai jawaban atas
kebutuhan masyarakat terhadap pengetahuan, keterampilan, dan legitimasi sosial.
Dari madrasah Islam klasik hingga universitas
riset modern, perguruan tinggi berfungsi sebagai motor peradaban yang
menghubungkan tradisi dengan modernitas, lokalitas dengan globalisasi, serta
ilmu dengan praktik kehidupan.¹⁴
Footnotes
[1]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 29.
[2]
Jonathan Berkey, The Transmission of
Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education (Princeton: Princeton University Press, 1992), 67.
[3]
Hastings Rashdall, The Universities of
Europe in the Middle Ages, vol. 1
(Oxford: Clarendon Press, 1895), 23.
[4]
Alan B. Cobban, The Medieval Universities:
Their Development and Organization
(London: Methuen, 1975), 44–46.
[5]
Steven Shapin, The Scientific
Revolution (Chicago: University of
Chicago Press, 1996), 102.
[6]
Charles E. McClelland, State,
Society, and University in Germany, 1700–1914 (Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 88.
[7]
Roger L. Geiger, The History of American
Higher Education (Princeton:
Princeton University Press, 2015), 135.
[8]
Sukumar Dutt, Buddhist Monks and
Monasteries of India (London: Allen
& Unwin, 1962), 184.
[9]
Benjamin A. Elman, A Cultural History of
Civil Examinations in Late Imperial China (Berkeley: University of California Press, 2000), 55.
[10]
James H. Cole, Japanese Higher
Education: The University in a Changing Society (New York: Routledge, 1983), 22.
[11]
Soedjatmoko, Pendidikan dan
Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1984),
64.
[12]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 156.
[13]
M. Nuh, Membangun Pendidikan
Tinggi Indonesia (Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 91.
[14]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 11–12.
4.
Jenis Perguruan Tinggi Berdasarkan
Status Hukum
Status hukum
perguruan tinggi merupakan aspek fundamental yang menentukan kedudukan,
wewenang, serta tata kelola suatu institusi pendidikan tinggi. Dalam konteks
Indonesia, keragaman bentuk perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh
orientasi akademik atau jenis program studi yang ditawarkan, melainkan juga
oleh kerangka hukum yang mengatur status kelembagaan.¹ Perbedaan status hukum
ini berimplikasi pada pola pengelolaan keuangan, mekanisme rekrutmen dosen dan
tenaga kependidikan, kebijakan akademik, hingga relasi dengan pemerintah dan
masyarakat.
4.1.
Perguruan Tinggi
Negeri (PTN)
Perguruan Tinggi
Negeri adalah lembaga pendidikan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.² PTN memperoleh sebagian besar
pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan memiliki
legitimasi kuat dalam sistem pendidikan nasional. Ciri khas PTN antara lain
akses yang lebih luas terhadap mahasiswa dari berbagai lapisan masyarakat
melalui mekanisme seleksi nasional (SNBP, SNBT), serta kontribusinya dalam
penelitian strategis yang mendukung pembangunan nasional.³
Namun, PTN juga
menghadapi tantangan berupa keterbatasan anggaran, birokrasi yang kaku, serta
kesenjangan mutu antaruniversitas. Meski demikian, PTN tetap menjadi rujukan
utama bagi masyarakat karena
prestise akademik dan kontribusinya dalam mencetak tenaga kerja berkualifikasi
tinggi.⁴
4.2.
Perguruan Tinggi
Swasta (PTS)
Perguruan Tinggi
Swasta adalah lembaga pendidikan tinggi yang didirikan dan dikelola oleh badan
hukum masyarakat, seperti yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain yang
sejenis.⁵ PTS memegang peranan penting dalam memperluas akses pendidikan
tinggi, terutama di wilayah yang tidak terjangkau PTN. Seiring meningkatnya
jumlah lulusan sekolah menengah, PTS berfungsi sebagai solusi dalam pemerataan kesempatan pendidikan.
Kelebihan PTS
terletak pada fleksibilitas manajemen, adaptabilitas terhadap kebutuhan pasar
kerja, serta ruang inovasi dalam program akademik. Namun, tantangan utama PTS
adalah ketergantungan pada biaya pendidikan mahasiswa sebagai sumber pendanaan, yang kerap menimbulkan
disparitas mutu antar-PTS. Beberapa PTS unggulan, seperti Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta atau Universitas Katolik Parahyangan, berhasil
membangun reputasi nasional dan internasional, sementara sebagian lainnya masih
berjuang untuk meningkatkan kualitas.⁶
4.3.
Perguruan Tinggi
Negeri Badan Hukum (PTN-BH)
PTN-BH merupakan
bentuk perguruan tinggi negeri dengan status badan hukum publik yang diberi
otonomi lebih luas dalam pengelolaan akademik, keuangan, dan organisasi.⁷ Model
ini pertama kali diterapkan pada Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung
sebagai upaya reformasi tata kelola pendidikan tinggi. Otonomi yang dimiliki
PTN-BH memungkinkan universitas lebih mandiri dalam mengembangkan sumber pendapatan, melakukan kerjasama
internasional, serta menetapkan standar akademik sesuai kebutuhan global.⁸
Kendati demikian,
status PTN-BH menimbulkan perdebatan publik. Di satu sisi, PTN-BH dianggap
dapat meningkatkan daya saing global universitas Indonesia. Di sisi lain,
terdapat kritik bahwa PTN-BH cenderung mendorong komersialisasi pendidikan, sehingga mengurangi akses bagi
kelompok masyarakat kurang mampu.⁹
4.4.
Perguruan Tinggi
Kedinasan
Perguruan Tinggi
Kedinasan adalah lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
kementerian atau lembaga pemerintahan tertentu untuk mencetak tenaga
profesional sesuai kebutuhan birokrasi negara.¹⁰ Contohnya adalah Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), dan Politeknik Keuangan Negara. Keistimewaan
perguruan tinggi kedinasan terletak pada keterjaminan rekrutmen lulusan ke
dalam aparatur sipil negara, sehingga menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa.
Perguruan tinggi
kedinasan menekankan kurikulum yang lebih aplikatif dengan disiplin khas
birokrasi dan regulasi negara. Namun, kritik yang kerap muncul adalah
keterbatasan fleksibilitas akademik dan minimnya ruang bagi pengembangan
penelitian fundamental.¹¹
Refleksi dan Implikasi
Keragaman status
hukum perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk
mengakomodasi kebutuhan pendidikan tinggi dari berbagai sisi: pemerataan akses,
peningkatan kualitas, dan relevansi dengan kebutuhan pembangunan. Namun,
keragaman ini juga memunculkan tantangan berupa disparitas mutu, potensi komersialisasi, serta kompleksitas regulasi.
Dengan memahami
jenis perguruan tinggi berdasarkan status hukumnya, masyarakat dan pembuat
kebijakan dapat lebih kritis dalam mengevaluasi peran masing-masing institusi
dalam membangun ekosistem pendidikan tinggi yang adil, inklusif, dan berdaya saing
global.¹²
Footnotes
[1]
Darmaningtyas, Pendidikan yang
Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 132.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, Bab I Pasal 1.
[3]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on Higher
Education (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 2016), 47.
[4]
Simon Marginson, “Dynamics of National and Global Competition in Higher
Education,” Higher Education 52, no. 1 (2006): 12.
[5]
Ki Supriyoko, Pendidikan Tinggi:
Antara Idealisme dan Realitas
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 68.
[6]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 214.
[7]
M. Nuh, Membangun Pendidikan
Tinggi Indonesia (Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 45.
[8]
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 176.
[9]
Suyanto, “PTN-BH dan Tantangan Akses Pendidikan Tinggi,” Jurnal Pendidikan Nasional 5, no. 2 (2018): 223.
[10]
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Bab IV.
[11]
Syahrial, Perguruan Tinggi
Kedinasan di Indonesia: Sejarah dan Prospek (Jakarta: Prenadamedia, 2019), 89.
[12]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 29.
5.
Jenis Perguruan Tinggi Berdasarkan
Orientasi Akademik
Selain status hukum,
klasifikasi perguruan tinggi juga dapat dilihat dari orientasi akademiknya.
Orientasi ini merujuk pada arah keilmuan, fokus pembelajaran, serta cakupan
disiplin ilmu yang dikembangkan oleh sebuah institusi pendidikan tinggi.¹
Perbedaan orientasi akademik menghasilkan keragaman bentuk perguruan tinggi,
mulai dari universitas dengan cakupan multidisipliner hingga politeknik yang
berfokus pada pendidikan vokasi. Pemahaman terhadap perbedaan ini penting agar
masyarakat, mahasiswa, dan pembuat kebijakan dapat menilai relevansi
masing-masing jenis perguruan tinggi terhadap kebutuhan pembangunan nasional
dan global.
5.1.
Universitas
Universitas
merupakan bentuk perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dalam
berbagai disiplin ilmu, baik sains, teknologi, humaniora, maupun ilmu sosial.²
Universitas umumnya memiliki fakultas atau sekolah yang menaungi bidang-bidang
keilmuan tertentu, sehingga mencerminkan
sifat multidisipliner. Selain itu, universitas biasanya mengemban fungsi riset
yang kuat dan menjadi pusat produksi pengetahuan baru.
Di Indonesia,
universitas negeri besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah
Mada, dan Universitas Airlangga berperan penting dalam mencetak sumber daya
manusia berkualifikasi tinggi sekaligus menghasilkan penelitian strategis.³
Keunggulan universitas terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan
berbagai disiplin ilmu dan menciptakan solusi komprehensif atas masalah sosial,
ekonomi, dan lingkungan.
5.2.
Institut
Institut adalah
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam sekelompok
disiplin ilmu tertentu yang lebih spesifik dibandingkan universitas.⁴ Contohnya
adalah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berfokus pada sains dan teknologi,
serta Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mengkhususkan diri pada bidang pertanian, peternakan, dan
lingkungan.
Kelebihan institut
adalah konsentrasinya pada penguasaan keilmuan yang mendalam dalam bidang
spesifik, sehingga mampu melahirkan pakar dan inovasi terapan yang relevan
dengan kebutuhan sektor tertentu. Namun, kekurangannya adalah relatif terbatasnya variasi disiplin ilmu yang ditawarkan
dibanding universitas.⁵
5.3.
Sekolah Tinggi
Sekolah Tinggi
menyelenggarakan pendidikan pada satu cabang ilmu pengetahuan atau teknologi
tertentu.⁶ Misalnya, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) yang berfokus pada manajemen dan akuntansi, atau Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan (STIKES) yang menekankan pada bidang keperawatan, kebidanan, dan
kesehatan masyarakat.
Orientasi akademik
sekolah tinggi cenderung lebih terfokus dibanding universitas atau institut.
Walaupun demikian, sekolah tinggi memiliki peran signifikan dalam menyediakan tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan
praktis di lapangan. Sekolah tinggi juga lebih mudah diakses oleh masyarakat
karena tersebar luas di berbagai daerah.⁷
5.4.
Akademi
Akademi merupakan
lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan program vokasi pada satu atau
beberapa cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau seni tertentu.⁸ Program studi di akademi biasanya jenjang Diploma
(D1–D3) dengan kurikulum yang menekankan keterampilan praktis. Contoh akademi adalah Akademi Kebidanan dan Akademi
Komunitas.
Fokus utama akademi
adalah menghasilkan tenaga kerja terampil yang siap masuk ke dunia industri dan
pelayanan publik. Akademi memainkan peran penting dalam pembangunan daerah dengan menyediakan tenaga vokasional sesuai kebutuhan lokal, meskipun
kontribusinya dalam penelitian relatif terbatas.⁹
5.5.
Politeknik
Politeknik adalah perguruan
tinggi yang berorientasi pada pendidikan vokasi dengan penekanan pada aplikasi
praktis di dunia kerja.¹⁰ Politeknik biasanya menawarkan program Diploma III dan IV, dengan kurikulum
yang berorientasi pada praktik industri.
Contoh keberhasilan
politeknik dapat dilihat pada Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS)
yang memiliki reputasi internasional dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi.¹¹ Dengan kerjasama
industri yang intensif, politeknik menjadi sarana penting untuk menjembatani dunia
pendidikan dengan dunia kerja.
Refleksi dan Implikasi
Klasifikasi
perguruan tinggi berdasarkan orientasi akademik mencerminkan diversifikasi
fungsi dan kontribusi pendidikan tinggi terhadap masyarakat. Universitas
memainkan peran sebagai pusat riset multidisipliner, institut sebagai motor
spesialisasi ilmu tertentu, sekolah tinggi sebagai penyedia keahlian fokus,
akademi sebagai lembaga vokasi, dan politeknik sebagai jembatan antara
pendidikan dan industri.
Perbedaan orientasi
akademik ini menegaskan bahwa tidak ada satu jenis perguruan tinggi yang lebih
unggul secara absolut dibanding yang lain, melainkan masing-masing memiliki
keunggulan relatif sesuai dengan konteks dan kebutuhan.¹² Dalam kerangka sistem
pendidikan tinggi nasional, keragaman ini justru merupakan kekuatan untuk
mencetak lulusan dengan profil berbeda yang saling melengkapi dalam pembangunan
bangsa.
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Comparative Higher
Education: Knowledge, the University, and Development (Greenwich, CT: Ablex, 1998), 15.
[2]
Burton R. Clark, The Higher Education
System: Academic Organization in Cross-National Perspective (Berkeley: University of California Press, 1983), 23.
[3]
Simon Marginson, “The Global Knowledge Economy and Higher Education,” Journal of Education Policy 20, no. 3 (2005): 320.
[4]
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 188.
[5]
Ki Supriyoko, Pendidikan Tinggi:
Antara Idealisme dan Realitas
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 91.
[6]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, Bab II Pasal 5.
[7]
Darmaningtyas, Pendidikan yang
Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 142.
[8]
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, Bab II.
[9]
Musa Asy’arie, Perguruan Tinggi dan
Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 118.
[10]
World Bank, Constructing Knowledge
Societies: New Challenges for Tertiary Education (Washington, D.C.: World Bank, 2002), 56.
[11]
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Profil Politeknik Negeri di Indonesia (Jakarta: Kemdikbud, 2020), 45.
[12]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 37.
6.
Perguruan Tinggi Keagamaan
Perguruan tinggi
keagamaan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan tinggi yang
berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan berbasis nilai-nilai spiritual,
moral, dan tradisi keagamaan tertentu.¹ Di Indonesia, keberadaan perguruan
tinggi keagamaan mencerminkan pluralitas masyarakat yang religius, sekaligus
mengafirmasi posisi agama sebagai salah satu pilar penting dalam pembentukan
identitas kebangsaan. Perguruan tinggi jenis ini tidak hanya berfungsi sebagai
pusat pendidikan akademik, tetapi juga sebagai lembaga kaderisasi moral dan
etika publik.
6.1.
Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam
Perguruan tinggi
Islam memiliki sejarah panjang dalam pendidikan di Indonesia. Institusi seperti
Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) pada awalnya berfokus pada kajian keilmuan Islam
klasik seperti tafsir, hadis, fiqh, dan tasawuf.² Namun, seiring perkembangan zaman, kurikulumnya
diperluas untuk mencakup ilmu-ilmu umum seperti ekonomi, sains, teknologi, dan
ilmu sosial, sehingga melahirkan model pendidikan integratif.
Contohnya, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kini telah
menjadi universitas modern dengan fakultas multidisipliner, namun tetap
mempertahankan ciri khas keislamannya.³ Dengan demikian, perguruan tinggi Islam
berperan penting dalam mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum untuk menjawab
tantangan kontemporer.
6.2.
Perguruan Tinggi
Kristen dan Katolik
Perguruan tinggi
Kristen dan Katolik memiliki kontribusi besar dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dan kemanusiaan. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW),
Universitas Kristen Indonesia (UKI), serta Universitas Katolik Parahyangan
(UNPAR) adalah contoh lembaga pendidikan tinggi yang memadukan nilai-nilai keimanan dengan pendidikan modern.⁴
Lembaga-lembaga ini
menekankan pada pendidikan humaniora, pelayanan sosial, dan pengembangan etika
publik. Tradisi intelektual Kristen yang berakar pada filsafat skolastik dan
teologi modern memperkaya kajian akademik, sedangkan perguruan tinggi Katolik dikenal dengan kekuatan pada bidang
filsafat, etika, dan ilmu sosial.⁵
6.3.
Perguruan Tinggi
Hindu dan Buddha
Perguruan tinggi
Hindu dan Buddha di Indonesia memiliki posisi yang lebih terbatas secara
jumlah, tetapi tetap signifikan dalam menjaga dan mengembangkan tradisi
keilmuan berbasis kearifan lokal. Misalnya, Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN)
Denpasar menekankan pada kajian filsafat Hindu, teologi, seni, dan budaya
Bali.⁶ Perguruan Tinggi Agama Buddha Nalanda dan Sekolah Tinggi Agama Buddha Sriwijaya
mengembangkan studi tentang Tripitaka, filsafat Buddhis, dan pendidikan moral
berbasis welas asih.⁷
Keberadaan perguruan
tinggi ini tidak hanya menjaga warisan tradisi keagamaan, tetapi juga membuka
ruang dialog antara agama dan ilmu pengetahuan modern, serta memperkuat
kontribusi agama-agama minoritas dalam pembangunan bangsa.
6.4.
Fungsi dan Peran
Strategis
Perguruan tinggi
keagamaan memiliki fungsi ganda: pertama, sebagai pusat transmisi pengetahuan
keagamaan; kedua, sebagai institusi yang mengintegrasikan nilai-nilai agama
dengan kebutuhan masyarakat modern. Dengan karakteristik tersebut, perguruan tinggi keagamaan
berperan penting dalam mencetak pemimpin-pemimpin moral yang berintegritas,
membangun dialog antaragama, serta memperkuat moderasi beragama di tengah
masyarakat multikultural.⁸
Di era globalisasi,
perguruan tinggi keagamaan juga dituntut untuk meningkatkan daya saing
akademik, memperkuat riset
interdisipliner, dan mengembangkan pendidikan berbasis nilai kemanusiaan
universal. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah menjaga relevansi ajaran
agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa kehilangan
identitas spiritual yang menjadi fondasi keberadaannya.⁹
Refleksi
Keberadaan perguruan
tinggi keagamaan mencerminkan upaya harmonisasi antara keimanan, ilmu
pengetahuan, dan kemajuan peradaban. Ia tidak hanya memperkuat dimensi religius
masyarakat, tetapi juga memperluas horizon akademik yang berbasis pada etika, spiritualitas, dan tanggung
jawab sosial. Dengan demikian, perguruan tinggi keagamaan dapat dipandang
sebagai salah satu benteng peradaban yang memastikan bahwa kemajuan intelektual
tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.¹⁰
Footnotes
[1]
Musa Asy’arie, Perguruan Tinggi dan
Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 131.
[2]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 176.
[3]
Amin Abdullah, “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum di UIN,” Jurnal Pendidikan Islam
2, no. 2 (2006): 201–218.
[4]
Andreas A. Yewangoe, Agama
dan Pendidikan: Refleksi atas Peran Perguruan Tinggi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 67.
[5]
John C. Haughey, Where Is Knowing Going?
The Horizons of the Knowing Subject
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2009), 52.
[6]
I Gusti Ngurah Bagus, Hindu
Dharma dan Tantangan Modernisasi
(Denpasar: Udayana University Press, 2002), 94.
[7]
Nyoman S. Pendit, Kebudayaan dan Agama
Buddha di Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1983), 143.
[8]
Komaruddin Hidayat, Agama
di Era Globalisasi (Jakarta:
Paramadina, 2003), 89.
[9]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on
Higher Education (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2016), 115.
[10]
Ronald Barnett, The Idea of Higher
Education (London: Routledge, 1990),
74.
7.
Perguruan Tinggi Vokasi dan Profesi
Perguruan tinggi
vokasi dan profesi merupakan bagian penting dari sistem pendidikan tinggi yang
berfokus pada penguasaan keterampilan praktis dan keahlian spesifik sesuai kebutuhan dunia kerja.¹ Jika perguruan
tinggi akademik menekankan pada pengembangan teori dan penelitian ilmiah, maka
perguruan tinggi vokasi dan profesi lebih menekankan pada penerapan ilmu dalam
praktik nyata. Kedua jenis perguruan tinggi ini hadir untuk menjawab kebutuhan
tenaga kerja yang kompeten, adaptif, dan siap menghadapi dinamika pasar global.
7.1.
Konsep Pendidikan
Vokasi
Pendidikan vokasi
didefinisikan sebagai program pendidikan
tinggi yang berorientasi pada penguasaan keahlian terapan tertentu.² Jenjang
pendidikan vokasi biasanya meliputi Diploma I (D1) hingga Diploma IV (D4),
serta program Sarjana Terapan. Fokus utama pendidikan vokasi adalah membekali
mahasiswa dengan keterampilan teknis yang dapat langsung diterapkan di dunia
industri maupun sektor pelayanan publik.
Pendidikan vokasi di
Indonesia diselenggarakan melalui berbagai institusi, seperti Politeknik,
Akademi Komunitas, dan Sekolah Tinggi Vokasi. Politeknik Negeri Jakarta,
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), dan Akademi Komunitas Negeri Pacitan adalah contoh perguruan
tinggi vokasi yang telah berperan dalam mencetak tenaga kerja siap pakai.³
7.2.
Perguruan Tinggi
Profesi
Perguruan tinggi
profesi berfokus pada pendidikan yang menghasilkan tenaga profesional dengan
sertifikasi keahlian tertentu, seperti dokter, perawat, akuntan, pengacara,
atau pendidik.⁴ Program profesi biasanya diselenggarakan setelah mahasiswa
menyelesaikan pendidikan akademik dasar (sarjana), kemudian melanjutkan ke program pendidikan profesi
yang diakui oleh asosiasi profesi terkait.
Contoh perguruan
tinggi profesi di Indonesia adalah Fakultas Kedokteran yang menyelenggarakan
Program Profesi Dokter, Fakultas Hukum yang menyediakan Program Pendidikan
Khusus Profesi Advokat (PKPA), serta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang
menyiapkan Program Profesi Guru (PPG).⁵ Dengan demikian, perguruan tinggi profesi berfungsi sebagai
jembatan antara teori akademik dan praktik profesional yang diakui secara
hukum.
7.3.
Relevansi dengan
Dunia Industri
Salah satu
keunggulan utama pendidikan vokasi dan profesi adalah keterhubungannya yang
erat dengan dunia industri dan lapangan kerja. Perguruan tinggi vokasi
seringkali menjalin kerjasama strategis dengan perusahaan, lembaga pemerintah,
maupun organisasi internasional untuk memastikan bahwa lulusan mereka memiliki
kompetensi sesuai kebutuhan pasar.⁶ Model link and match antara pendidikan
dan industri menjadi pilar penting dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja
nasional.
Selain itu,
pendidikan profesi juga melibatkan sertifikasi keahlian yang diatur oleh
lembaga profesi, sehingga memastikan kualitas lulusan sesuai standar nasional
maupun internasional. Hal ini penting untuk menjamin kredibilitas tenaga profesional dalam bidangnya masing-masing.⁷
7.4.
Tantangan Perguruan
Tinggi Vokasi dan Profesi
Meskipun memiliki
peran strategis, perguruan tinggi vokasi dan profesi menghadapi sejumlah
tantangan. Pertama, keterbatasan fasilitas laboratorium dan praktik seringkali
menjadi hambatan dalam mencapai standar kompetensi global. Kedua, masih adanya
stigma bahwa pendidikan vokasi kurang prestisius dibanding pendidikan akademik.⁸ Ketiga, tuntutan sertifikasi
profesi yang terus diperbarui sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi memerlukan fleksibilitas institusi pendidikan untuk menyesuaikan
kurikulumnya.
Selain itu,
globalisasi menuntut perguruan tinggi vokasi dan profesi untuk memperkuat aspek
internasionalisasi, seperti akreditasi global, mobilitas mahasiswa, serta
kolaborasi riset terapan lintas
negara.⁹
Refleksi dan Implikasi
Perguruan tinggi
vokasi dan profesi memiliki posisi strategis dalam memperkuat ketenagakerjaan
dan daya saing bangsa. Dengan menekankan pada penguasaan keterampilan praktis,
institusi ini menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Dalam jangka panjang, keberhasilan
perguruan tinggi vokasi dan profesi akan sangat menentukan keberhasilan
pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya bangsa.¹⁰
Ke depan,
pengembangan perguruan tinggi vokasi dan profesi perlu diarahkan pada tiga
aspek utama: peningkatan kualitas kurikulum berbasis kompetensi, penguatan
kolaborasi dengan dunia industri, dan integrasi dengan standar global. Dengan
langkah tersebut, perguruan tinggi vokasi dan profesi dapat tampil sebagai
pilar penting dalam mencetak generasi profesional yang unggul, berdaya saing,
dan berintegritas.
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on
Higher Education (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2016), 102.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, Bab I Pasal 16.
[3]
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Profil Pendidikan Vokasi di Indonesia (Jakarta: Kemdikbud, 2020), 11.
[4]
Burton R. Clark, The Higher Education
System: Academic Organization in Cross-National Perspective (Berkeley: University of California Press, 1983), 78.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Pedoman Pendidikan
Profesi (Jakarta: Kemendikbudristek,
2021), 23.
[6]
Simon Marginson, “Dynamics of National and Global Competition in Higher
Education,” Higher Education 52, no. 1 (2006): 21.
[7]
Musa Asy’arie, Perguruan Tinggi dan
Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 119.
[8]
Darmaningtyas, Pendidikan yang
Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 153.
[9]
World Bank, Constructing Knowledge
Societies: New Challenges for Tertiary Education (Washington, D.C.: World Bank, 2002), 66.
[10]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 42.
8.
Perguruan Tinggi Internasional dan
Hybrid
Globalisasi telah
membawa perubahan besar dalam lanskap pendidikan tinggi. Salah satu
transformasi paling signifikan adalah munculnya perguruan tinggi internasional
dan model hybrid yang menggabungkan metode tradisional dengan teknologi
digital.¹ Perguruan tinggi jenis ini menekankan internasionalisasi kurikulum,
mobilitas mahasiswa lintas negara, serta integrasi pembelajaran daring dan luring. Dalam konteks Indonesia, fenomena
ini mulai berkembang seiring meningkatnya kebutuhan akan pendidikan tinggi yang
berstandar global sekaligus fleksibel.
8.1.
Perguruan Tinggi
Internasional
Perguruan tinggi
internasional merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang secara eksplisit
mengadopsi standar global, baik dari segi kurikulum, bahasa pengantar, maupun
jejaring akademik.² Model ini biasanya ditandai dengan penggunaan bahasa
Inggris sebagai medium utama, kerjasama dengan universitas asing, serta
orientasi pada akreditasi internasional.
Contoh nyata di
Indonesia adalah Universitas
Indonesia dan Universitas Gadjah Mada yang membuka program internasional (International
Undergraduate Program), serta universitas swasta yang menjalin
kemitraan dengan kampus asing.³ Sementara itu, di tingkat global, perguruan
tinggi seperti Harvard, Oxford, dan National University of Singapore (NUS)
menjadi benchmark utama pendidikan tinggi internasional dengan reputasi
akademik dan jaringan globalnya.⁴
Keberadaan perguruan
tinggi internasional memberikan peluang bagi mahasiswa untuk memperoleh
kompetensi global, namun juga menimbulkan tantangan berupa biaya pendidikan yang tinggi dan potensi
terjadinya kesenjangan akses.
8.2.
Perguruan Tinggi
Asing di Indonesia
Selain program
internasional di kampus lokal, pemerintah Indonesia melalui regulasi terbaru
membuka peluang bagi perguruan tinggi asing untuk menyelenggarakan pendidikan
di tanah air.⁵ Kehadiran lembaga ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui transfer
pengetahuan, standar global, serta persaingan sehat antarperguruan tinggi.
Namun, penerapan
model ini masih menghadapi perdebatan. Sebagian pihak menilai kehadiran
perguruan tinggi asing dapat mempercepat internasionalisasi pendidikan tinggi,
sementara pihak lain mengkhawatirkan potensi marginalisasi perguruan tinggi
lokal yang belum mampu bersaing.⁶
8.3.
Perguruan Tinggi
Hybrid
Perguruan tinggi
hybrid merupakan inovasi yang mengintegrasikan pembelajaran tatap muka (offline)
dengan sistem pembelajaran daring (online learning). Model ini
berkembang pesat sejak
pandemi COVID-19, yang memaksa universitas di seluruh dunia untuk beradaptasi
dengan teknologi digital.⁷
Universitas Terbuka
di Indonesia merupakan contoh perguruan tinggi yang sejak lama mengembangkan
pendidikan jarak jauh. Pasca pandemi, model hybrid semakin populer karena
memberikan fleksibilitas bagi mahasiswa untuk mengakses pendidikan tanpa batas geografis.⁸ Perguruan tinggi
hybrid juga sering memanfaatkan platform Massive Open Online Courses (MOOCs)
seperti Coursera, edX, dan FutureLearn sebagai bagian dari kurikulum.
8.4.
Kelebihan dan
Tantangan
Perguruan tinggi
internasional dan hybrid memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, meningkatkan daya
saing lulusan dengan
standar kompetensi global. Kedua, memperluas akses pendidikan melalui teknologi
digital. Ketiga, memperkuat jejaring akademik internasional yang relevan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir.⁹
Namun, tantangan
yang dihadapi tidak ringan. Perguruan tinggi internasional rentan memperlebar
kesenjangan sosial akibat biaya yang tinggi, sementara perguruan tinggi hybrid
masih menghadapi persoalan infrastruktur digital, kualitas pembelajaran daring,
serta kesenjangan literasi teknologi.¹⁰
Refleksi dan Implikasi
Kemunculan perguruan
tinggi internasional dan hybrid mencerminkan pergeseran paradigma pendidikan
tinggi menuju era globalisasi dan digitalisasi. Institusi pendidikan tidak lagi
hanya berfungsi sebagai pusat lokal pengembangan ilmu, tetapi juga sebagai simpul dalam jaringan global
yang dinamis. Dalam konteks Indonesia, strategi terbaik adalah mengembangkan
model adaptif: memperkuat internasionalisasi sekaligus menjaga aksesibilitas
dan relevansi lokal.¹¹
Dengan demikian,
perguruan tinggi internasional dan hybrid dapat menjadi katalis bagi
transformasi pendidikan tinggi
Indonesia, asalkan dikelola dengan kebijakan yang inklusif, berkeadilan, dan
berorientasi pada mutu.
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach and Jane Knight, “The Internationalization of Higher
Education: Motivations and Realities,” Journal
of Studies in International Education
11, no. 3–4 (2007): 290.
[2]
Simon Marginson, The Dream Is Over: The
Crisis of Clark Kerr’s California Idea of Higher Education (Berkeley: University of California Press, 2016),
112.
[3]
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Laporan Internasionalisasi Perguruan Tinggi Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2020), 37.
[4]
Times Higher Education, World
University Rankings 2023 (London:
THE, 2023), 5–7.
[5]
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan oleh Perguruan Tinggi Asing di Indonesia, Bab II.
[6]
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 195.
[7]
Andreas Schleicher, The
Impact of COVID-19 on Education: Insights from Education at a Glance 2020 (Paris: OECD, 2020), 9.
[8]
Universitas Terbuka, Laporan
Kinerja 2021 (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2021), 12.
[9]
World Bank, Constructing Knowledge
Societies: New Challenges for Tertiary Education (Washington, D.C.: World Bank, 2002), 74.
[10]
Darmaningtyas, Pendidikan yang
Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 164.
[11]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 53.
9.
Peran Perguruan Tinggi dalam
Pembangunan
Perguruan tinggi
memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Ia tidak
hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat
penelitian, inovasi, dan agen perubahan sosial.¹ Dengan kapasitas akademik,
sumber daya manusia yang mumpuni, serta jaringan kerjasama yang luas, perguruan
tinggi dapat memberikan kontribusi signifikan
dalam berbagai dimensi pembangunan: ekonomi, sosial, budaya, politik, dan
lingkungan. Peran ini semakin relevan di era globalisasi dan revolusi industri
4.0, di mana kualitas pendidikan tinggi menjadi salah satu indikator daya saing nasional.²
9.1.
Kontribusi dalam
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Salah satu
kontribusi utama perguruan tinggi adalah menghasilkan pengetahuan baru melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development).³ Universitas riset modern tidak hanya
mengajarkan teori yang sudah mapan, tetapi juga mendorong lahirnya inovasi yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri. Misalnya, riset dalam bidang
teknologi informasi, bioteknologi, dan energi terbarukan telah mempercepat
proses industrialisasi dan modernisasi di banyak negara.
Di Indonesia,
perguruan tinggi negeri besar seperti Institut Teknologi Bandung (ITB),
Universitas Gadjah Mada
(UGM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) memainkan peran penting dalam
menghasilkan riset strategis yang berkaitan dengan pangan, kesehatan, dan
lingkungan.⁴
9.2.
Pemberdayaan
Masyarakat dan Pembangunan Lokal
Perguruan tinggi
juga berfungsi sebagai agen pemberdayaan masyarakat melalui pengabdian. Program
community
development yang dilakukan universitas menjadi wadah transfer
teknologi tepat guna, penyuluhan kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi
berbasis masyarakat.⁵ Dengan demikian, perguruan tinggi tidak berdiri eksklusif di menara gading, tetapi hadir langsung
dalam kehidupan sosial.
Di beberapa daerah,
program Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi contoh nyata kontribusi mahasiswa
dalam pembangunan desa, baik melalui pelatihan keterampilan, inovasi pertanian,
maupun penguatan kelembagaan lokal.⁶
9.3.
Peningkatan Daya
Saing Ekonomi Bangsa
Melalui pendidikan
dan riset, perguruan tinggi mencetak tenaga kerja berkualitas yang mampu
bersaing di pasar kerja global.
Lulusan perguruan tinggi yang kompeten, kreatif, dan inovatif berkontribusi
dalam memperkuat sektor industri, kewirausahaan, serta pembangunan ekonomi
nasional.⁷
Dalam konteks
ekonomi berbasis pengetahuan
(knowledge-based
economy), perguruan tinggi berperan sebagai motor utama inovasi
yang menjadi fondasi pertumbuhan berkelanjutan. Negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan berhasil membangun ekonomi berbasis
pengetahuan dengan memanfaatkan kekuatan universitas riset.⁸
9.4.
Penguatan Demokrasi,
Budaya, dan Moralitas
Perguruan tinggi
juga memiliki peran penting dalam memperkuat demokrasi dan etika publik.
Sebagai ruang dialektika ide dan perbedaan pendapat, universitas menjadi arena
pembentukan budaya kritis, toleransi, serta penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.⁹
Melalui pendidikan karakter, etika, dan kepemimpinan, perguruan tinggi melahirkan intelektual publik yang
berkontribusi dalam pembentukan kebijakan dan pembangunan demokrasi yang sehat.
Selain itu,
perguruan tinggi berperan dalam melestarikan seni, budaya, dan tradisi lokal
melalui penelitian, dokumentasi, serta revitalisasi kearifan lokal.¹⁰ Hal ini
penting untuk menjaga identitas bangsa di tengah arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan budaya.
9.5.
Peran dalam
Pembangunan Berkelanjutan
Dalam era Sustainable
Development Goals (SDGs), perguruan tinggi didorong untuk
mengintegrasikan isu-isu pembangunan berkelanjutan ke dalam pendidikan,
penelitian, dan pengabdian
masyarakat.¹¹ Isu-isu seperti perubahan iklim, energi terbarukan, kesetaraan
gender, dan pengentasan kemiskinan menjadi bagian penting dari agenda perguruan
tinggi. Dengan demikian, kontribusi universitas tidak hanya bersifat lokal,
tetapi juga global.
Refleksi dan Implikasi
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa perguruan tinggi memiliki peran multi-dimensi dalam
pembangunan. Ia berfungsi sebagai produsen pengetahuan, pusat inovasi, agen pemberdayaan masyarakat, sekaligus
benteng nilai moral dan budaya.¹² Namun, efektivitas peran ini sangat
bergantung pada kualitas tata kelola perguruan tinggi, dukungan kebijakan
pemerintah, serta kerjasama dengan sektor industri dan masyarakat.
Ke depan, perguruan
tinggi perlu terus memperkuat integrasi antara tridharma dengan kebutuhan nyata
pembangunan bangsa. Dengan begitu, universitas tidak hanya menjadi tempat
mencetak sarjana, tetapi juga menjadi motor penggerak perubahan menuju masyarakat yang adil, makmur, berdaya saing, dan
berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on
Higher Education (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2016), 75.
[2]
Simon Marginson, “The Worldwide Trend to High Participation Higher
Education,” Higher Education 72, no. 4 (2016): 413.
[3]
Burton R. Clark, The Higher Education
System: Academic Organization in Cross-National Perspective (Berkeley: University of California Press, 1983),
102.
[4]
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Laporan Riset Unggulan Perguruan Tinggi Indonesia (Jakarta: Kemendikbud, 2019), 21.
[5]
Musa Asy’arie, Perguruan Tinggi dan
Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 137.
[6]
Ki Supriyoko, Pendidikan Tinggi:
Antara Idealisme dan Realitas
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 123.
[7]
World Bank, Constructing Knowledge
Societies: New Challenges for Tertiary Education (Washington, D.C.: World Bank, 2002), 58.
[8]
Richard C. Atkinson and William A. Blanpied, “Research Universities:
Core of the U.S. Science and Technology System,” Technology in Society
30, no. 1 (2008): 30.
[9]
Ronald Barnett, The Idea of Higher
Education (London: Routledge, 1990),
61.
[10]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 211.
[11]
United Nations, Transforming Our World:
The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: UN, 2015), 19.
[12]
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional:
Kajian Pendidikan Masa Depan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 201.
10.
Tantangan Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi
sebagai institusi akademik tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang mengitarinya. Dalam menghadapi era
globalisasi, digitalisasi, dan transformasi sosial, perguruan tinggi menghadapi
beragam tantangan yang memengaruhi fungsi tridharma serta keberlanjutan kelembagaan.¹
Tantangan-tantangan ini bersifat multidimensional: mulai dari persoalan
internal seperti tata kelola dan pendanaan, hingga faktor eksternal seperti
kompetisi global, perubahan teknologi, dan komersialisasi pendidikan.
10.1.
Komersialisasi
Pendidikan
Salah satu tantangan
besar perguruan tinggi di era modern adalah meningkatnya kecenderungan
komersialisasi pendidikan.² Pendidikan tinggi yang seharusnya berfungsi sebagai
ruang publik kini sering dipandang sebagai komoditas yang dijual kepada
konsumen (mahasiswa). Perguruan tinggi dituntut
mencari sumber pendanaan alternatif di luar subsidi pemerintah, sehingga biaya
kuliah kerap meningkat signifikan. Akibatnya, akses terhadap pendidikan tinggi
berkualitas masih timpang, terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke
bawah.³
10.2.
Kesenjangan Mutu dan
Akses
Di Indonesia, kesenjangan
mutu antara perguruan tinggi negeri besar dan perguruan tinggi swasta kecil
merupakan persoalan yang krusial. Perguruan tinggi di kota-kota besar memiliki
fasilitas, tenaga dosen, dan jaringan internasional yang lebih baik
dibandingkan kampus-kampus di daerah.⁴ Hal ini menimbulkan disparitas kualitas
lulusan dan memperkuat ketidakadilan sosial dalam akses pendidikan tinggi.
Selain itu, meskipun
angka partisipasi kasar pendidikan tinggi meningkat, jumlah mahasiswa Indonesia
yang melanjutkan ke perguruan tinggi masih tertinggal dibanding negara tetangga
seperti Malaysia atau Singapura.⁵ Tantangan ini menegaskan perlunya kebijakan
afirmatif dan pemerataan akses
pendidikan tinggi.
10.3.
Globalisasi dan Daya
Saing Internasional
Globalisasi membawa
perguruan tinggi ke dalam arena kompetisi internasional. Pemeringkatan
universitas dunia (seperti QS World University Rankings atau Times Higher
Education) menjadi tolok ukur kualitas dan daya saing universitas.⁶ Perguruan
tinggi dituntut untuk meningkatkan publikasi ilmiah internasional, kerjasama
akademik lintas negara, serta kualitas riset yang berkontribusi pada ilmu pengetahuan global.
Namun, keterbatasan
dana riset, rendahnya publikasi
internasional, dan dominasi bahasa Inggris menjadi hambatan serius bagi perguruan
tinggi di Indonesia untuk bersaing secara global.⁷
10.4.
Digitalisasi dan
Revolusi Industri 4.0
Perkembangan
teknologi digital menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi perguruan
tinggi. Di satu sisi, digitalisasi membuka akses pembelajaran terbuka melalui
platform Massive
Open Online Courses (MOOCs), e-learning, dan hybrid learning.⁸ Di
sisi lain, banyak perguruan tinggi masih menghadapi keterbatasan infrastruktur teknologi, rendahnya
literasi digital dosen dan mahasiswa, serta ketidakmerataan akses internet.
Selain itu, Revolusi
Industri 4.0 menuntut perguruan tinggi menghasilkan lulusan dengan kompetensi baru seperti kecerdasan buatan, analitik
data, dan green
technology.⁹ Perguruan tinggi yang gagal beradaptasi berisiko
kehilangan relevansinya di pasar kerja modern.
10.5.
Tata Kelola dan
Otonomi Akademik
Tata kelola
perguruan tinggi di Indonesia juga menghadapi problem kompleks. Otonomi
akademik yang diberikan kepada Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH)
sering dihadapkan pada dilema antara kebebasan akademik dan kebutuhan
pendanaan.¹⁰ Beberapa pihak menilai otonomi ini dapat meningkatkan daya saing,
sementara pihak lain mengkritisi potensi komersialisasi yang mengurangi
inklusivitas pendidikan tinggi.
Selain itu, korupsi,
birokratisasi berlebihan,
dan lemahnya transparansi dalam pengelolaan perguruan tinggi juga menjadi
tantangan serius yang menghambat peningkatan mutu.¹¹
10.6.
Relevansi dengan
Kebutuhan Sosial dan Industri
Tantangan lain yang
dihadapi perguruan tinggi adalah kesenjangan antara dunia akademik dan dunia
kerja. Banyak lulusan perguruan tinggi yang mengalami kesulitan memasuki pasar
kerja karena keterampilan yang diperoleh tidak sepenuhnya sesuai dengan
kebutuhan industri.¹² Perguruan tinggi perlu memperkuat hubungan dengan sektor
industri melalui program magang, riset
terapan, serta kurikulum berbasis kompetensi agar lebih relevan dengan realitas
ekonomi.
Refleksi dan Implikasi
Tantangan yang
dihadapi perguruan tinggi bersifat kompleks dan memerlukan solusi
multidimensional. Perguruan tinggi perlu menyeimbangkan antara idealisme akademik dengan realitas ekonomi, memperluas
akses tanpa mengorbankan kualitas, serta mengembangkan riset berkelas dunia
tanpa melupakan kebutuhan lokal.¹³
Dengan demikian,
keberhasilan perguruan tinggi dalam menjawab tantangan ini akan menentukan
kualitas sumber daya manusia, daya saing bangsa, serta keberlanjutan peradaban.
Perguruan tinggi yang mampu bertransformasi secara adaptif dapat menjadi motor
penggerak pembangunan berkelanjutan, sedangkan
yang gagal beradaptasi berisiko terpinggirkan dalam arus globalisasi.
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on
Higher Education (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2016), 143.
[2]
Simon Marginson, “Higher Education and the Common Good,” Studies in Higher Education 42, no. 1 (2017): 23.
[3]
Darmaningtyas, Pendidikan yang
Memiskinkan (Yogyakarta:
Galangpress, 2004), 178.
[4]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 229.
[5]
World Bank, Indonesia: Higher
Education Sector Assessment
(Washington, D.C.: World Bank, 2019), 12.
[6]
Times Higher Education, World
University Rankings 2023 (London:
THE, 2023), 6.
[7]
Sudirman Nasir, “Academic Publication and the Challenge of Global
Competitiveness,” Jurnal Ilmu Pendidikan 23, no. 2 (2017): 133.
[8]
Andreas Schleicher, The
Impact of COVID-19 on Education: Insights from Education at a Glance 2020 (Paris: OECD, 2020), 17.
[9]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial
Revolution (Geneva: World Economic
Forum, 2016), 62.
[10]
M. Nuh, Membangun Pendidikan
Tinggi Indonesia (Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 78.
[11]
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 214.
[12]
Musa Asy’arie, Perguruan Tinggi dan
Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 145.
[13]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 88.
11.
Perbandingan Internasional
Pendidikan tinggi
memiliki karakteristik yang beragam di berbagai belahan dunia. Variasi ini
dipengaruhi oleh sejarah, budaya, sistem politik, serta kebutuhan pembangunan
masing-masing negara.¹ Dengan memahami model perguruan tinggi di tingkat
internasional, kita dapat memperoleh gambaran komprehensif mengenai kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan
tinggi di Indonesia, sekaligus mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan daya
saing global.
11.1.
Model Perguruan
Tinggi di Amerika Serikat
Amerika Serikat
dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan tinggi yang sangat kompetitif
dan beragam. Universitas riset seperti Harvard, Stanford, dan Massachusetts
Institute of Technology (MIT) tidak hanya fokus pada pengajaran, tetapi juga menjadi pusat riset dan inovasi global.²
Sistem community
colleges juga memperlihatkan fleksibilitas dalam memberikan akses
pendidikan tinggi yang lebih luas kepada masyarakat.
Ciri khas utama
perguruan tinggi di Amerika adalah kombinasi antara otonomi kelembagaan,
pendanaan campuran (negara, swasta, filantropi), dan orientasi riset yang kuat.³
Kelebihan sistem ini adalah tingginya produktivitas penelitian, sementara tantangannya adalah biaya pendidikan yang
relatif mahal sehingga memunculkan kesenjangan akses.
11.2.
Model Perguruan
Tinggi di Eropa
Di Eropa, reformasi
pendidikan tinggi banyak dipengaruhi oleh Bologna Process yang dimulai tahun
1999.⁴ Program ini bertujuan menyatukan sistem pendidikan tinggi Eropa agar
lebih kompatibel, kompetitif, dan sebanding secara internasional. Dengan adanya
European
Higher Education Area (EHEA), gelar sarjana, magister, dan doktor diseragamkan sehingga memudahkan
mobilitas mahasiswa antarnegara.
Universitas di
Eropa, seperti Oxford, Cambridge, Sorbonne, dan Heidelberg, umumnya
mengedepankan tradisi akademik yang panjang, dengan orientasi pada riset dasar
dan humaniora.⁵ Keunggulannya adalah akses yang relatif terjangkau karena
banyak negara Eropa mensubsidi pendidikan tinggi, meski kelemahannya terletak pada tantangan birokrasi dan keterbatasan
dana riset dibanding Amerika Serikat.
11.3.
Model Perguruan
Tinggi di Asia Timur
Negara-negara Asia
Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok telah menunjukkan
perkembangan pesat dalam pendidikan tinggi. Universitas Tokyo, Seoul National
University, dan Tsinghua University kini menempati peringkat global teratas.⁶
Faktor budaya Konfusianisme yang menekankan disiplin, hierarki, dan penghormatan terhadap pendidikan turut membentuk
sistem perguruan tinggi di kawasan ini.
Di sisi lain,
kebijakan pemerintah yang masif dalam investasi pendidikan tinggi serta fokus
pada sains dan teknologi menjadi pendorong utama keberhasilan.⁷ Namun, tekanan
kompetisi yang sangat tinggi juga menimbulkan masalah sosial seperti stres
akademik dan ketimpangan antara universitas elite dengan universitas daerah.
11.4.
Model Perguruan
Tinggi di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara,
Singapura menempati posisi terdepan dengan National University of Singapore
(NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) yang menduduki peringkat
global atas. Keberhasilan Singapura banyak ditopang oleh investasi besar
pemerintah, orientasi internasional, dan keterlibatan industri dalam riset
universitas.⁸
Malaysia juga
melakukan reformasi signifikan melalui universitas negeri seperti Universiti
Malaya dan Universiti Kebangsaan Malaysia, yang memperluas akses pendidikan tinggi sekaligus meningkatkan kolaborasi
internasional.⁹ Sementara itu, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal
daya saing internasional, meski beberapa universitas negeri mulai masuk ke
dalam daftar pemeringkatan dunia.
11.5.
Relevansi dengan
Sistem Indonesia
Perbandingan
internasional menunjukkan bahwa
Indonesia perlu belajar dari praktik terbaik negara lain. Dari Amerika Serikat,
Indonesia dapat mencontoh budaya riset dan inovasi; dari Eropa, sistem subsidi
pendidikan dan standardisasi kurikulum; dari Asia Timur, investasi besar pada
sains dan teknologi; serta dari Singapura dan Malaysia, strategi
internasionalisasi dan kemitraan industri.¹⁰
Namun, adopsi model
internasional harus disesuaikan dengan konteks lokal Indonesia yang plural,
beragam secara sosial-budaya, dan menghadapi kesenjangan wilayah. Dengan
demikian, strategi pengembangan pendidikan tinggi nasional perlu menggabungkan
nilai global dan kebutuhan domestik agar tercapai sistem pendidikan tinggi yang
berdaya saing sekaligus inklusif.
Refleksi
Perbandingan
internasional memperlihatkan bahwa tidak ada satu model pendidikan tinggi yang
dapat diterapkan secara universal. Setiap negara membangun sistemnya
berdasarkan sejarah, budaya, dan tujuan pembangunan masing-masing.¹¹ Bagi Indonesia, tantangannya adalah
bagaimana mengadaptasi praktik terbaik global tanpa kehilangan identitas
nasional. Perguruan tinggi Indonesia perlu mengembangkan model yang
menggabungkan kualitas akademik, akses yang merata, serta relevansi sosial agar
mampu bersaing di tingkat global sekaligus berkontribusi pada pembangunan
bangsa.
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Comparative Higher
Education: Knowledge, the University, and Development (Greenwich, CT: Ablex, 1998), 4.
[2]
Roger L. Geiger, The History of American
Higher Education (Princeton:
Princeton University Press, 2015), 298.
[3]
Simon Marginson, “Dynamics of National and Global Competition in U.S.
Higher Education,” Journal of Higher
Education 88, no. 5 (2017): 803.
[4]
European Commission, The
Bologna Process and the European Higher Education Area (Brussels: EC, 2010), 12.
[5]
Alan B. Cobban, The Medieval
Universities: Their Development and Organization (London: Methuen, 1975), 211.
[6]
Ruth Hayhoe and Qiang Zha, Portraits
of 21st Century Chinese Universities
(Hong Kong: Springer, 2010), 22.
[7]
James H. Cole, Japanese Higher
Education: The University in a Changing Society (New York: Routledge, 1983), 54.
[8]
National University of Singapore, Annual
Report 2022 (Singapore: NUS, 2022),
15.
[9]
Ministry of Higher Education Malaysia, Malaysia Education Blueprint 2015–2025 (Higher Education) (Putrajaya: MOHE, 2015), 32.
[10]
World Bank, Indonesia: Higher
Education Sector Assessment
(Washington, D.C.: World Bank, 2019), 18.
[11]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 103.
12.
Sintesis dan Refleksi Filosofis
Setelah membahas
sejarah, ragam, peran, serta tantangan perguruan tinggi, tahap akhir yang perlu
dikemukakan adalah sintesis dan refleksi filosofis. Perguruan tinggi bukan
sekadar institusi administratif atau pusat transmisi ilmu, melainkan entitas
yang merepresentasikan cita-cita peradaban manusia.¹ Dalam kerangka filsafat
pendidikan, universitas dan lembaga sejenisnya dapat dipandang sebagai ruang di mana rasionalitas, moralitas, dan
spiritualitas berjumpa, serta sebagai arena pencarian kebenaran yang tak pernah
usai.
12.1.
Perguruan Tinggi
sebagai Lembaga Peradaban
Perguruan tinggi
memainkan peran ganda: sebagai institusi yang menyalurkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus sebagai benteng
nilai dan kebudayaan.² Fungsi ganda ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi
tidak hanya memproduksi tenaga kerja, melainkan juga membentuk manusia yang
memiliki martabat, etika, dan kesadaran sosial. Dalam perspektif filosofis, hal
ini sejalan dengan gagasan Jürgen Habermas mengenai universitas sebagai public
sphere, tempat berlangsungnya diskursus kritis demi kepentingan
masyarakat luas.³
12.2.
Dialektika antara
Ilmu, Etika, dan Spiritualitas
Salah satu refleksi
penting adalah kebutuhan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan etika
dan spiritualitas. Sains tanpa etika berpotensi melahirkan teknologi yang
merusak, sementara moralitas tanpa basis rasionalitas bisa terjebak pada
dogmatisme.⁴ Perguruan tinggi keagamaan maupun umum idealnya dapat menjadi ruang dialektis di mana ilmu dan iman,
teori dan praktik, modernitas dan tradisi saling menyempurnakan. Dalam kerangka ini, perguruan tinggi
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dimensi material dan
transendental kehidupan manusia.
12.3.
Otonomi Akademik dan
Tanggung Jawab Sosial
Secara filosofis,
otonomi akademik adalah syarat utama kebebasan berpikir dan berinovasi. Namun, kebebasan tersebut tidak boleh dilepaskan
dari tanggung jawab sosial.⁵ Universitas yang sepenuhnya otonom tanpa
kepedulian sosial berisiko jatuh pada elitisasi ilmu, sementara universitas
yang hanya tunduk pada pasar kehilangan esensi intelektualnya. Dengan demikian,
keseimbangan antara otonomi akademik dan orientasi sosial merupakan fondasi
bagi keberlanjutan universitas sebagai institusi peradaban.
12.4.
Perguruan Tinggi
dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Dalam filsafat
pendidikan, perguruan tinggi dapat dipahami sebagai ruang realisasi konsep paideia
(pembentukan manusia
seutuhnya) yang diwarisi dari Yunani klasik.⁶ Tujuan utama pendidikan tinggi
bukan hanya melahirkan spesialis, tetapi manusia yang memiliki keutuhan akal
budi, kepekaan moral, dan kesadaran eksistensial. Hal ini juga sejalan dengan
pandangan Ki Hajar Dewantara yang menekankan pendidikan sebagai upaya
memerdekakan manusia lahir dan batin.⁷
12.5.
Refleksi Kritis
terhadap Masa Depan
Jika ditarik ke
depan, refleksi filosofis atas perguruan tinggi menegaskan perlunya
transformasi berkelanjutan. Pertama, perguruan tinggi harus menjadi ruang yang
inklusif dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat luas. Kedua, perguruan tinggi
harus menegaskan kembali posisinya sebagai penjaga kebenaran dan etika di
tengah derasnya arus komersialisasi. Ketiga, perguruan tinggi perlu menumbuhkan kesadaran kosmopolitan, yakni
keterbukaan terhadap pluralitas global tanpa kehilangan akar budaya lokal.⁸
Penutup
Sintesis dan
refleksi filosofis ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi, dalam segala bentuk
dan orientasinya, memiliki tanggung jawab historis dan moral dalam membangun
peradaban. Ia tidak boleh semata-mata dilihat sebagai pabrik lulusan, melainkan
sebagai universitas
vitae—universitas kehidupan—yang mengintegrasikan ilmu, moral, dan spiritualitas.⁹ Dengan
demikian, masa depan perguruan tinggi ditentukan oleh kemampuannya menjaga
keseimbangan antara idealisme akademik, kebutuhan praktis, dan tanggung jawab
humanistik.
Footnotes
[1]
Ronald Barnett, The Idea of Higher
Education (London: Routledge, 1990),
13.
[2]
Musa Asy’arie, Perguruan Tinggi dan
Pemberdayaan Masyarakat (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), 151.
[3]
Jürgen Habermas, The Structural
Transformation of the Public Sphere
(Cambridge: MIT Press, 1991), 175.
[4]
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 23.
[5]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on
Higher Education (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2016), 148.
[6]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of
Greek Culture, vol. 1 (Oxford:
Oxford University Press, 1945), 11.
[7]
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan:
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,
1962), 88.
[8]
Simon Marginson, “Higher Education and the Common Good,” Studies in Higher Education 42, no. 1 (2017): 20.
[9]
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 233.
13.
Penutup
13.1.
Kesimpulan Umum
Perguruan tinggi
merupakan institusi strategis yang menempati posisi penting dalam sistem
pendidikan dan pembangunan bangsa.¹ Ia bukan hanya ruang untuk transfer
pengetahuan, melainkan juga pusat riset, pengembangan teknologi, pembentukan
moralitas, serta agen perubahan sosial. Kajian ini menunjukkan bahwa
keberagaman jenis perguruan tinggi—baik berdasarkan status hukum, orientasi
akademik, maupun corak keagamaan dan internasionalisasinya—mencerminkan upaya
memenuhi kebutuhan masyarakat
yang plural dan dinamis.
Sejarah panjang
perguruan tinggi, dari lembaga pendidikan klasik seperti al-Qarawiyyin dan
Bologna hingga universitas modern yang berbasis riset, menegaskan bahwa universitas
adalah produk budaya dan peradaban yang selalu berkembang mengikuti zaman.² Dalam konteks Indonesia,
perkembangan perguruan tinggi mengalami dinamika yang khas, mulai dari masa
kolonial hingga era globalisasi, dengan tantangan yang tidak sedikit, tetapi
juga dengan peluang besar untuk terus bertransformasi.
13.2.
Tantangan dan
Peluang
Perguruan tinggi
saat ini dihadapkan pada tantangan besar, antara lain komersialisasi
pendidikan, kesenjangan mutu, globalisasi dan daya saing internasional,
revolusi digital, serta relevansi dengan dunia industri.³ Meski demikian,
tantangan ini sekaligus membuka peluang untuk memperkuat peran perguruan tinggi
dalam membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Melalui
inovasi riset, kolaborasi internasional, dan penguatan pendidikan vokasi maupun
profesi, perguruan tinggi dapat memainkan peran penting dalam mencetak sumber
daya manusia unggul dan berdaya saing.⁴
13.3.
Rekomendasi
Pengembangan
Agar mampu menjawab
tantangan abad ke-21, perguruan tinggi Indonesia perlu diarahkan pada tiga
strategi utama:
1)
Penguatan Mutu Akademik
– melalui peningkatan kualitas riset, publikasi ilmiah internasional, serta
akreditasi global.
2)
Pemerataan Akses dan
Inklusi – dengan memastikan pendidikan tinggi dapat dijangkau
oleh semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi ekonomi maupun geografis.
3)
Integrasi Nilai dan
Spiritualitas – menjadikan perguruan tinggi tidak hanya sebagai
produsen ilmu, tetapi juga sebagai lembaga yang membentuk manusia
berintegritas, bermoral, dan berorientasi pada kemaslahatan publik.⁵
Refleksi Akhir
Dari perspektif
filosofis, perguruan tinggi harus terus menjaga keseimbangan antara idealisme akademik dan kebutuhan praktis, antara
kebebasan ilmiah dan tanggung jawab sosial, serta antara globalisasi dan lokalitas.⁶
Perguruan tinggi sejatinya adalah universitas vitae—universitas
kehidupan—yang menempatkan ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai
kemanusiaan dan peradaban.
Dengan demikian,
masa depan perguruan tinggi Indonesia akan ditentukan oleh kemampuannya untuk
beradaptasi, berinovasi, dan tetap berakar pada identitas nasional. Jika hal ini terwujud, perguruan tinggi tidak
hanya menjadi pilar pembangunan bangsa, tetapi juga mercusuar peradaban yang
memandu umat manusia menuju masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan
bermakna.⁷
Footnotes
[1]
Philip G. Altbach, Global Perspectives on
Higher Education (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2016), 11.
[2]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 35.
[3]
Simon Marginson, “The Worldwide Trend to High Participation Higher
Education,” Higher Education 72, no. 4 (2016): 415.
[4]
World Bank, Indonesia: Higher
Education Sector Assessment
(Washington, D.C.: World Bank, 2019), 22.
[5]
Ki Supriyoko, Pendidikan Tinggi:
Antara Idealisme dan Realitas
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 141.
[6]
Ronald Barnett, Being a University (London: Routledge, 2011), 97.
[7]
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan
Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 239.
Daftar
Pustaka
Altbach, P. G. (1998). Comparative higher
education: Knowledge, the university, and development. Greenwich, CT:
Ablex.
Altbach, P. G. (2016). Global perspectives on
higher education. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Altbach, P. G., Reisberg, L., & Rumbley, L. E.
(2009). Trends in global higher education: Tracking an academic revolution.
Paris: UNESCO.
Amin, A. (2006). Integrasi ilmu agama dan ilmu umum
di UIN. Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 201–218.
Andreas, S. (2020). The impact of COVID-19 on
education: Insights from education at a glance 2020. Paris: OECD.
Atkinson, R. C., & Blanpied, W. A. (2008).
Research universities: Core of the U.S. science and technology system. Technology
in Society, 30(1), 30–48.
Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan
modernisasi menuju milenium baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Barnett, R. (1990). The idea of higher education.
London: Routledge.
Barnett, R. (2011). Being a university.
London: Routledge.
Berkey, J. (1992). The transmission of knowledge
in medieval Cairo: A social history of Islamic education. Princeton:
Princeton University Press.
Clark, B. R. (1983). The higher education
system: Academic organization in cross-national perspective. Berkeley:
University of California Press.
Cobban, A. B. (1975). The medieval universities:
Their development and organization. London: Methuen.
Cole, J. H. (1983). Japanese higher education:
The university in a changing society. New York: Routledge.
Darmaningtyas. (2004). Pendidikan yang
memiskinkan. Yogyakarta: Galangpress.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2019). Laporan
riset unggulan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Kemendikbud.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2020). Laporan
internasionalisasi perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Kemendikbud.
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. (2020). Profil
pendidikan vokasi di Indonesia. Jakarta: Kemdikbud.
Elman, B. A. (2000). A cultural history of civil
examinations in late imperial China. Berkeley: University of California
Press.
European Commission. (2010). The Bologna Process
and the European Higher Education Area. Brussels: EC.
Geiger, R. L. (2015). The history of American
higher education. Princeton: Princeton University Press.
Habermas, J. (1991). The structural
transformation of the public sphere. Cambridge: MIT Press.
Haughey, J. C. (2009). Where is knowing going?
The horizons of the knowing subject. Washington, D.C.: Georgetown
University Press.
Hayhoe, R., & Zha, Q. (2010). Portraits of
21st century Chinese universities. Hong Kong: Springer.
Jaeger, W. (1945). Paideia: The ideals of Greek
culture (Vol. 1). Oxford: Oxford University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age. Chicago:
University of Chicago Press.
Ki Supriyoko. (2004). Pendidikan tinggi: Antara
idealisme dan realitas. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Makdisi, G. (1981). The rise of colleges:
Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Marginson, S. (2005). The global knowledge economy
and higher education. Journal of Education Policy, 20(3), 313–331.
Marginson, S. (2006). Dynamics of national and
global competition in higher education. Higher Education, 52(1), 1–39.
Marginson, S. (2016). The dream is over: The
crisis of Clark Kerr’s California idea of higher education. Berkeley:
University of California Press.
Marginson, S. (2017). Higher education and the
common good. Studies in Higher Education, 42(1), 18–31.
Marginson, S. (2016). The worldwide trend to high
participation higher education. Higher Education, 72(4), 413–434.
McClelland, C. E. (1980). State, society, and
university in Germany, 1700–1914. Cambridge: Cambridge University Press.
Ministry of Higher Education Malaysia. (2015). Malaysia
education blueprint 2015–2025 (Higher education). Putrajaya: MOHE.
Musa, A. (2011). Perguruan tinggi dan
pemberdayaan masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasir, S. (2017). Academic publication and the
challenge of global competitiveness. Jurnal Ilmu Pendidikan, 23(2),
133–145.
National University of Singapore. (2022). Annual
report 2022. Singapore: NUS.
Nuh, M. (2010). Membangun pendidikan tinggi
Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Pendit, N. S. (1983). Kebudayaan dan agama
Buddha di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan
Tinggi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pendidikan oleh Perguruan Tinggi Asing di
Indonesia.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Rashdall, H. (1895). The universities of Europe
in the Middle Ages (Vol. 1). Oxford: Clarendon Press.
Schleicher, A. (2020). The impact of COVID-19 on
education: Insights from education at a glance 2020. Paris: OECD.
Schwab, K. (2016). The fourth industrial
revolution. Geneva: World Economic Forum.
Shapin, S. (1996). The scientific revolution.
Chicago: University of Chicago Press.
Shils, E. (1972). The academic ethos. Minerva,
10(4), 495–516.
Soedjatmoko. (1984). Pendidikan dan pembangunan.
Jakarta: LP3ES.
Sudirman, N. (2017). Academic publication and the
challenge of global competitiveness. Jurnal Ilmu Pendidikan, 23(2),
133–148.
Sukumar, D. (1962). Buddhist monks and
monasteries of India. London: Allen & Unwin.
Suyanto. (2018). PTN-BH dan tantangan akses
pendidikan tinggi. Jurnal Pendidikan Nasional, 5(2), 220–235.
Syahrial. (2019). Perguruan tinggi kedinasan di
Indonesia: Sejarah dan prospek. Jakarta: Prenadamedia.
Tilaar, H. A. R. (2009). Manajemen pendidikan
nasional: Kajian pendidikan masa depan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Times Higher Education. (2023). World university
rankings 2023. London: THE.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi.
United Nations. (2015). Transforming our world:
The 2030 agenda for sustainable development. New York: UN.
Universitas Terbuka. (2021). Laporan kinerja
2021. Jakarta: Universitas Terbuka.
World Bank. (2002). Constructing knowledge
societies: New challenges for tertiary education. Washington, D.C.: World
Bank.
World Bank. (2019). Indonesia: Higher education
sector assessment. Washington, D.C.: World Bank.
Yewangoe, A. A. (2007). Agama dan pendidikan:
Refleksi atas peran perguruan tinggi Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar