Selasa, 30 September 2025

Pemikiran Johann Gottlieb Fichte: Fondasi Idealisme Jerman dan Relevansinya

Pemikiran Johann Gottlieb Fichte

Fondasi Idealisme Jerman dan Relevansinya


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pemikiran Johann Gottlieb Fichte (1762–1814), seorang filsuf Jerman yang dianggap sebagai pionir dalam perkembangan Mazhab Idealisme Jerman. Kajian dimulai dengan menelusuri biografi intelektual Fichte dan konteks sejarah filsafat pasca-Kant, kemudian menguraikan landasan filosofisnya dalam Wissenschaftslehre yang menempatkan Aku (das Ich) sebagai prinsip mutlak realitas. Artikel ini menyoroti dialektika Aku dan Non-Aku sebagai kerangka epistemologis dan etis, serta mengupas gagasan Fichte mengenai kebebasan, etika, dan pengakuan timbal balik sebagai fondasi kehidupan sosial dan politik. Pemikiran Fichte tentang negara, hukum, ekonomi, dan pendidikan juga ditelaah, khususnya dalam kaitannya dengan nasionalisme Jerman dan peran pendidikan moral dalam pembentukan bangsa. Selain membahas pengaruh Fichte terhadap filsuf besar seperti Schelling dan Hegel, artikel ini juga menguraikan kritik-kritik yang ditujukan padanya, terutama tuduhan subjektivisme radikal dan risiko chauvinisme nasional dalam pemikirannya. Pada akhirnya, artikel ini menegaskan relevansi pemikiran Fichte pada era kontemporer, khususnya dalam isu-isu kebebasan, keadilan sosial, pengakuan, dan pendidikan moral di tengah tantangan globalisasi dan pluralitas budaya. Dengan demikian, pemikiran Fichte tetap signifikan sebagai sumber refleksi kritis dalam menjawab problem etika, politik, dan filsafat modern.

Kata kunci: Johann Gottlieb Fichte, Idealisme Jerman, Aku dan Non-Aku, kebebasan, etika, pengakuan, nasionalisme, pendidikan, relevansi kontemporer.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Johann Gottlieb Fichte


1.           Pendahuluan

Johann Gottlieb Fichte (1762–1814) merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Jerman yang menempati posisi penting dalam tradisi German Idealism. Ia dikenal sebagai tokoh yang mewarisi sekaligus mengembangkan gagasan Immanuel Kant, terutama melalui Wissenschaftslehre atau “Ilmu Pengetahuan” yang berupaya membangun sistem filsafat yang bersifat transendental dan rasional. Dalam konteks sejarah filsafat, Fichte menjadi jembatan penting antara filsafat kritis Kant dengan pemikiran besar yang kemudian dikembangkan oleh Schelling dan Hegel. Melalui pendekatannya, Fichte berhasil meletakkan dasar baru bagi konsepsi kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab etis sebagai aspek utama filsafat modern.¹

Lahir di Rammenau, sebuah desa kecil di Saxony, Fichte mengalami perjalanan intelektual yang unik. Awalnya, ia hanya dikenal sebagai penafsir pemikiran Kant, bahkan Critique of Practical Reason Kant sangat memengaruhi arah filsafat awalnya.² Namun, dengan cepat Fichte membedakan dirinya melalui sistem filsafat yang lebih radikal: ia menolak konsep thing-in-itself (das Ding an sich) Kant, dan menggantinya dengan gagasan bahwa kesadaran atau Aku (das Ich) menjadi sumber utama realitas.³ Melalui prinsip ini, ia meletakkan dasar bagi pandangan bahwa segala sesuatu merupakan produk dari aktivitas kesadaran manusia yang bebas dan aktif. Dengan demikian, filsafat Fichte tidak hanya bersifat epistemologis, melainkan juga memiliki dimensi etis dan politis yang kuat.

Konsep Aku dalam filsafat Fichte tidak sekadar menunjuk pada subjek individual, melainkan sebuah prinsip transendental yang menciptakan Non-Aku (das Nicht-Ich) sebagai batasan agar kesadaran dapat beraktivitas. Dialektika antara Aku dan Non-Aku inilah yang melahirkan dinamika pengalaman, pengetahuan, dan tindakan manusia.⁴ Dengan menekankan kebebasan sebagai inti kesadaran, Fichte meletakkan dasar bagi etika yang menekankan tanggung jawab praktis dalam kehidupan nyata. Kebebasan bagi Fichte bukanlah kebebasan negatif, melainkan kebebasan positif yang mewujud dalam tindakan moral dan kesadaran sosial.

Lebih jauh, Fichte juga memberi kontribusi besar dalam bidang filsafat politik dan nasionalisme. Dalam karya-karya seperti Addresses to the German Nation, ia menegaskan pentingnya identitas budaya, pendidikan, dan moralitas kolektif bagi pembentukan bangsa.⁵ Pandangan ini menjadikan Fichte sebagai salah satu filsuf politik yang relevan untuk memahami dinamika kebangsaan modern, meskipun sekaligus menimbulkan kontroversi karena dikaitkan dengan bibit ide nasionalisme yang ekstrem.

Melalui uraian di atas, dapat dilihat bahwa pemikiran Fichte tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga memiliki relevansi praktis dalam memahami persoalan etika, politik, dan eksistensial yang masih aktual hingga saat ini. Pemahaman tentang Fichte memungkinkan kita menelusuri akar-akar idealisme Jerman, sekaligus membuka refleksi kritis terhadap peran kesadaran dan kebebasan manusia dalam membentuk realitas sosial dan moral. Dengan demikian, studi tentang pemikirannya tetap penting dalam kajian filsafat kontemporer maupun dalam refleksi etis-politik modern.


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 208–210.

[2]                ² Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 55–57.

[3]                ³ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 12–15.

[4]                ⁴ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 145–148.

[5]                ⁵ Johann Gottlieb Fichte, Addresses to the German Nation, ed. Gregory Moore (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 34–36.


2.           Biografi Intelektual Johann Gottlieb Fichte

Johann Gottlieb Fichte lahir pada 19 Mei 1762 di Rammenau, Saxony, dari keluarga petani sederhana. Kondisi sosial-ekonomi yang terbatas tidak menghalangi bakat intelektualnya untuk berkembang. Dukungan dari seorang dermawan lokal memungkinkan Fichte melanjutkan pendidikan di sekolah Latin dan kemudian di Universitas Jena serta Universitas Leipzig, tempat ia mempelajari teologi dan filsafat.¹ Meskipun awalnya berniat menjadi pendeta, minat Fichte segera beralih ke filsafat setelah ia menemukan karya Immanuel Kant, khususnya Critique of Practical Reason.

Awal karier intelektual Fichte ditandai oleh sebuah peristiwa yang unik: pada 1792 ia menulis Versuch einer Kritik aller Offenbarung (Attempt at a Critique of All Revelation), yang pada awal penerbitannya sempat disalahartikan sebagai karya Kant sendiri karena tidak disertai nama penulis.² Kesalahpahaman ini justru membawa keberuntungan, sebab karya tersebut membuat Fichte memperoleh reputasi luas dan membuka jalan baginya untuk dikenal sebagai filsuf yang menjanjikan dalam dunia akademik Jerman. Setelah itu, Fichte diangkat menjadi profesor di Universitas Jena, pusat intelektual Eropa pada masa itu, dan segera memperoleh reputasi sebagai pengajar yang brilian namun juga kontroversial.³

Kontribusi filosofis Fichte di Jena berkembang melalui Wissenschaftslehre (Teori Ilmu Pengetahuan), suatu sistem filsafat yang berusaha menyatukan epistemologi, metafisika, dan etika. Ia menegaskan prinsip bahwa kesadaran (das Ich) menjadi dasar realitas, dan bahwa segala pengetahuan lahir dari aktivitas produktif kesadaran manusia.⁴ Namun, gagasannya sering menimbulkan kontroversi, baik karena sifatnya yang radikal maupun karena interpretasi teologis yang dipandang berbahaya. Pada 1799, Fichte terlibat dalam skandal ateisme akibat tuduhan bahwa filsafatnya menolak konsep Tuhan tradisional. Kontroversi ini memaksanya mundur dari Jena dan berpindah ke Berlin, di mana ia kemudian menjadi tokoh publik dan intelektual yang berpengaruh.⁵

Selain sebagai pemikir akademis, Fichte juga dikenal sebagai orator yang ulung. Karya-karyanya di bidang politik, khususnya Reden an die deutsche Nation (Addresses to the German Nation), disampaikan pada masa pendudukan Napoleon dan dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran nasional serta identitas budaya Jerman.⁶ Dalam karya ini, Fichte memandang pendidikan sebagai sarana penting untuk membentuk bangsa yang bebas, bermoral, dan bersatu. Pandangan inilah yang menempatkannya bukan hanya sebagai filsuf teoretis, tetapi juga sebagai pemikir politik dan nasionalis yang memengaruhi arah ideologi modern.

Fichte wafat pada 29 Januari 1814 akibat tifus, penyakit yang ia derita setelah merawat istrinya yang lebih dahulu terinfeksi. Meskipun hidupnya relatif singkat, Fichte berhasil meninggalkan warisan intelektual yang sangat besar. Ia dipandang sebagai penghubung penting antara Kant dan generasi penerusnya, seperti Schelling dan Hegel, serta sebagai pionir yang menjadikan kesadaran dan kebebasan sebagai inti dari filsafat modern.⁷ Dengan demikian, biografi intelektual Fichte memperlihatkan kesinambungan antara pengalaman hidup, tantangan sosial-politik, dan komitmen filosofisnya yang mendalam terhadap kebebasan dan rasionalitas manusia.


Footnotes

[1]                ¹ Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 21–25.

[2]                ² Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 234–236.

[3]                ³ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 18–20.

[4]                ⁴ Günter Zöller, “Fichte’s Transcendental Philosophy,” dalam The Cambridge Companion to Fichte, ed. Günter Zöller (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 28–30.

[5]                ⁵ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 189–191.

[6]                ⁶ Johann Gottlieb Fichte, Addresses to the German Nation, ed. Gregory Moore (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 10–12.

[7]                ⁷ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 75–77.


3.           Landasan Filsafat Fichte

Landasan filsafat Johann Gottlieb Fichte dibangun atas dasar usaha untuk mengembangkan sekaligus mengoreksi filsafat kritis Immanuel Kant. Fichte menerima inspirasi utama dari Critique of Practical Reason, khususnya gagasan tentang kebebasan moral, namun ia menolak keberadaan thing-in-itself (das Ding an sich) yang dipertahankan oleh Kant sebagai realitas di luar kesadaran.¹ Bagi Fichte, konsep tersebut melemahkan koherensi sistem filsafat karena menempatkan sumber pengetahuan di luar subjek. Oleh karena itu, ia berupaya meradikalkan filsafat transendental dengan menjadikan kesadaran diri (das Ich) sebagai prinsip mutlak yang mendasari segala realitas.²

Karya monumental Fichte, Wissenschaftslehre atau “Ilmu Pengetahuan,” menjadi inti dari landasan filosofisnya. Dalam karya ini, ia mencoba membangun sistem filsafat yang bersifat deduktif, dimulai dari satu prinsip fundamental: Aku menegaskan dirinya sendiri (das Ich setzt sich selbst).³ Prinsip ini bukan sekadar pernyataan psikologis, melainkan pernyataan transendental bahwa kesadaran adalah aktivitas produktif yang menciptakan baik subjek maupun objek pengetahuan. Dengan demikian, realitas bukanlah sesuatu yang diberikan dari luar, melainkan hasil konstruksi kesadaran.⁴

Dalam kerangka Wissenschaftslehre, Fichte merumuskan dialektika dasar antara Aku (das Ich) dan Non-Aku (das Nicht-Ich). Aku menegaskan dirinya sebagai pusat kesadaran, namun sekaligus membatasi dirinya melalui kehadiran Non-Aku sebagai oposisi yang diperlukan agar kesadaran dapat beroperasi.⁵ Proses dialektis ini melahirkan dunia pengalaman, pengetahuan, dan tindakan. Dengan kata lain, segala sesuatu yang kita kenali dan alami merupakan hasil dari interaksi dinamis antara kebebasan kreatif kesadaran dan batasan yang ditetapkannya sendiri.

Landasan filsafat Fichte juga sangat menekankan dimensi etis. Ia berpendapat bahwa hakikat manusia terletak pada kebebasan, dan kebebasan ini hanya bermakna ketika diwujudkan dalam tindakan moral.⁶ Karena itu, filsafat Fichte tidak hanya membicarakan struktur pengetahuan, melainkan juga panggilan etis manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip kebebasan. Dalam hal ini, filsafat Fichte menampilkan integrasi antara epistemologi, metafisika, dan etika sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Selain itu, Fichte menolak pandangan bahwa filsafat hanya merupakan spekulasi abstrak. Ia menekankan bahwa filsafat harus berfungsi sebagai fondasi praktis bagi kehidupan, baik dalam ranah individu maupun sosial-politik.⁷ Hal ini tampak dalam bagaimana ia menghubungkan prinsip transendental Aku dengan tuntutan kebebasan moral dan pembentukan tatanan masyarakat yang adil. Dengan cara ini, Fichte meletakkan landasan bagi pemahaman baru tentang hubungan antara kesadaran, kebebasan, dan realitas sosial yang kelak memengaruhi filsafat Schelling, Hegel, dan bahkan tradisi eksistensialis.


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 217–219.

[2]                ² Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 112–114.

[3]                ³ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 25–27.

[4]                ⁴ Günter Zöller, “Fichte’s Transcendental Philosophy,” dalam The Cambridge Companion to Fichte, ed. Günter Zöller (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 35–37.

[5]                ⁵ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 84–86.

[6]                ⁶ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 202–205.

[7]                ⁷ Johann Gottlieb Fichte, Foundations of Natural Right, ed. Frederick Neuhouser (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 14–16.


4.           Fichte dan Mazhab Idealisme Jerman

Mazhab Idealisme Jerman (German Idealism) lahir pada akhir abad ke-18 sebagai respons terhadap filsafat kritis Immanuel Kant. Kant dianggap telah membuka jalan dengan Critique of Pure Reason, namun sistemnya masih menyisakan persoalan mendasar, terutama keberadaan thing-in-itself yang tidak dapat diketahui.¹ Johann Gottlieb Fichte tampil sebagai tokoh pertama yang berusaha mengatasi kelemahan tersebut dengan meradikalkan filsafat transendental. Ia menegaskan bahwa realitas sepenuhnya berakar pada aktivitas kesadaran (das Ich), sehingga tidak diperlukan lagi postulat tentang realitas eksternal yang terlepas dari subjek.² Dengan langkah ini, Fichte menandai pergeseran penting dari filsafat Kant menuju idealisme yang lebih konsisten dan sistematis.

Dalam Wissenschaftslehre, Fichte menegaskan bahwa Aku adalah prinsip mutlak yang menegaskan dirinya sendiri. Dari prinsip inilah lahir struktur dialektis antara Aku dan Non-Aku.³ Dialektika ini kemudian menjadi fondasi pemikiran idealisme Jerman yang memengaruhi Schelling dan Hegel. Bagi Schelling, interaksi antara subjek dan objek membentuk kesatuan dalam alam, sementara Hegel mengembangkan prinsip dialektika menjadi sistem idealisme absolut.⁴ Dengan demikian, Fichte dapat dipandang sebagai pionir yang menyediakan kerangka konseptual bagi pengembangan lebih lanjut dari mazhab ini.

Salah satu ciri khas kontribusi Fichte terhadap idealisme Jerman adalah penekanan pada aspek praktis dan etis. Ia meyakini bahwa inti kesadaran bukanlah spekulasi teoretis semata, melainkan kebebasan untuk bertindak. Kebebasan menjadi prinsip ontologis sekaligus etis yang menegaskan keberadaan manusia.⁵ Oleh karena itu, sistem filsafat Fichte tidak hanya menjelaskan bagaimana pengetahuan mungkin, tetapi juga bagaimana manusia sebagai makhluk bebas harus bertindak dalam dunia. Idealisme Jerman melalui Fichte dengan demikian memperoleh fondasi moral yang kuat, berbeda dari pendekatan Kant yang masih mempertahankan dualisme antara fenomena dan noumena.

Lebih jauh, peran Fichte dalam Mazhab Idealisme Jerman juga terlihat dari upayanya mengintegrasikan filsafat dengan dimensi historis dan politis. Dalam kuliah-kuliahnya di Berlin, terutama Addresses to the German Nation, ia menekankan pentingnya kesadaran nasional dan pendidikan moral sebagai bagian dari realisasi idealisme praktis.⁶ Hal ini menunjukkan bahwa idealisme, bagi Fichte, bukan hanya kerangka metafisika melainkan juga proyek emansipasi manusia di bidang sosial dan politik.

Dengan demikian, posisi Fichte dalam Mazhab Idealisme Jerman sangat sentral. Ia menjadi filsuf transisional yang menjembatani Kant dengan Schelling dan Hegel, sekaligus mengarahkan filsafat modern pada gagasan tentang kebebasan, kesadaran, dan tindakan etis. Tanpa sumbangan Fichte, idealisme Jerman tidak akan memiliki fondasi sistematis yang memungkinkan perkembangan filsafat modern selanjutnya.⁷


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 5–7.

[2]                ² Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 131–133.

[3]                ³ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 40–42.

[4]                ⁴ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 98–101.

[5]                ⁵ Günter Zöller, “Fichte’s Transcendental Philosophy,” dalam The Cambridge Companion to Fichte, ed. Günter Zöller (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 45–47.

[6]                ⁶ Johann Gottlieb Fichte, Addresses to the German Nation, ed. Gregory Moore (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 15–18.

[7]                ⁷ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 210–213.


5.           Konsep Aku (Das Ich) dan Non-Aku (Das Nicht-Ich)

Salah satu sumbangan paling orisinal Johann Gottlieb Fichte terhadap filsafat modern adalah gagasan mengenai Aku (das Ich) dan Non-Aku (das Nicht-Ich), yang menjadi dasar sistem Wissenschaftslehre. Menurut Fichte, titik awal segala filsafat haruslah prinsip kesadaran diri: Aku menegaskan dirinya sendiri (Das Ich setzt sich selbst).¹ Prinsip ini bersifat transendental, bukan sekadar psikologis, karena menunjukkan bahwa kesadaran merupakan aktivitas produktif yang menciptakan baik subjek maupun objek. Dengan kata lain, Aku bukan hanya entitas pasif yang menerima kesan dari dunia luar, melainkan kekuatan aktif yang menata pengalaman.²

Dalam kerangka ini, Fichte menjelaskan bahwa Aku tidak dapat eksis tanpa batasan. Untuk itu, ia mempostulatkan Non-Aku sebagai lawan dialektis dari AkuNon-Aku adalah segala sesuatu yang membatasi kebebasan absolut Aku, yang mencakup dunia alam, objek eksternal, dan bahkan kondisi material yang menentang kehendak manusia. Namun, Non-Aku bukanlah realitas yang sepenuhnya independen, melainkan produk dari aktivitas Aku sendiri sebagai syarat bagi pengalaman.⁴ Dengan demikian, relasi Aku dan Non-Aku tidak bersifat dualistik, melainkan dialektis: keduanya saling menegaskan dalam kerangka kesadaran.

Dialektika Aku dan Non-Aku juga memiliki implikasi epistemologis dan etis. Epistemologis, karena struktur ini menjelaskan bagaimana pengetahuan mungkin terjadi: subjek mengenali dirinya dalam objek, dan objek hanya memiliki makna dalam relasi dengan kesadaran subjek.⁵ Etis, karena perjuangan Aku melawan batasan Non-Aku menegaskan kebebasan sebagai inti eksistensi manusia. Dalam tindakan moral, manusia berupaya mengatasi resistensi Non-Aku untuk merealisasikan kebebasan praktisnya.⁶ Dengan demikian, filsafat Fichte tidak hanya membicarakan teori pengetahuan, tetapi juga memberikan dasar bagi filsafat moral yang berpusat pada kebebasan.

Lebih jauh, konsep Aku dan Non-Aku Fichte menjadi inspirasi bagi pengembangan idealisme Jerman. Schelling mengambil gagasan kesatuan subjek-objek dalam alam, sementara Hegel mengembangkan dialektika Fichte menjadi sistem idealisme absolut yang lebih kompleks.⁷ Namun, tetap jelas bahwa langkah awal dalam memahami realitas sebagai konstruksi kesadaran berasal dari dialektika Aku dan Non-Aku yang dirumuskan Fichte. Konsep ini bukan hanya sebuah kerangka metafisik, melainkan juga undangan untuk memahami manusia sebagai makhluk bebas yang terus berjuang dalam batasan dunia.⁸


Footnotes

[1]                ¹ Johann Gottlieb Fichte, Foundations of the Entire Wissenschaftslehre, ed. and trans. Daniel Breazeale (Indianapolis: Hackett Publishing, 1982), 98–100.

[2]                ² Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 240–242.

[3]                ³ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 112–115.

[4]                ⁴ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 50–53.

[5]                ⁵ Günter Zöller, “Fichte’s Transcendental Philosophy,” dalam The Cambridge Companion to Fichte, ed. Günter Zöller (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 58–61.

[6]                ⁶ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 215–218.

[7]                ⁷ Robert Stern, The Routledge Guidebook to Hegel’s Phenomenology of Spirit (London: Routledge, 2013), 33–36.

[8]                ⁸ Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 145–148.


6.           Etika dan Konsep Kebebasan

Etika menempati posisi sentral dalam sistem filsafat Johann Gottlieb Fichte. Ia berangkat dari keyakinan bahwa hakikat manusia terletak pada kebebasan, dan bahwa kebebasan ini bukan sekadar kebebasan negatif (bebas dari sesuatu), melainkan kebebasan positif (bebas untuk bertindak sesuai akal budi).¹ Menurut Fichte, Aku (das Ich) pada dasarnya adalah aktivitas tanpa henti yang mengatasi batasan Non-Aku untuk mewujudkan dirinya. Proses inilah yang melahirkan pengalaman moral, karena setiap tindakan manusia selalu merupakan usaha merealisasikan kebebasan di tengah resistensi dunia empiris.²

Dalam System of Ethics (1798), Fichte menegaskan bahwa tugas moral manusia berakar pada otonomi subjek rasional.³ Manusia dipanggil untuk bertindak berdasarkan hukum moral yang ia berikan kepada dirinya sendiri, bukan karena paksaan eksternal. Kebebasan, dalam kerangka ini, bukan hanya kondisi ontologis, melainkan juga tanggung jawab praktis: setiap individu wajib bertindak sesuai dengan prinsip rasional universal yang dapat dipertanggungjawabkan.⁴ Dengan demikian, etika Fichte merupakan kelanjutan radikal dari etika Kantian, tetapi dengan penekanan lebih besar pada produktivitas subjek sebagai pencipta norma moral.

Fichte juga memandang kebebasan sebagai dasar dari kehidupan sosial. Dalam Foundations of Natural Right (1796–97), ia menekankan bahwa keberadaan individu sebagai makhluk bebas hanya mungkin jika kebebasan tersebut diakui dalam kerangka hubungan timbal balik dengan orang lain.⁵ Pengakuan (Anerkennung) menjadi prinsip fundamental: seorang individu hanya dapat mengafirmasi kebebasannya ketika ia juga mengakui kebebasan orang lain. Hal ini berarti kebebasan bukanlah isolasi, melainkan intersubjektivitas yang menjadi landasan etika sosial dan hukum.⁶

Dimensi politik dari konsep kebebasan Fichte tampak dalam pandangannya tentang negara. Negara, bagi Fichte, bukanlah entitas yang membatasi kebebasan, melainkan sarana untuk mewujudkan kebebasan universal melalui hukum yang adil.⁷ Dengan demikian, tugas negara adalah menciptakan kondisi di mana individu dapat menjalankan kebebasannya secara penuh tanpa meniadakan kebebasan orang lain. Di sini, etika dan politik berpadu: kebebasan moral individu menemukan aktualisasinya dalam tatanan sosial yang adil.

Akhirnya, Fichte menekankan bahwa kebebasan manusia adalah panggilan etis yang terus-menerus. Hidup moral bukanlah keadaan final, melainkan perjuangan tanpa akhir untuk mewujudkan kebebasan dalam dunia empiris yang selalu penuh hambatan.⁸ Oleh karena itu, etika Fichte bercorak dinamis: ia menempatkan manusia sebagai makhluk aktif, kreatif, dan bertanggung jawab dalam menciptakan dirinya sendiri dan dunianya. Konsep kebebasan inilah yang membuat filsafat Fichte memiliki pengaruh luas, tidak hanya pada idealisme Jerman, tetapi juga pada pemikiran politik, teori pengakuan, hingga eksistensialisme modern.


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 260–262.

[2]                ² H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 122–125.

[3]                ³ Johann Gottlieb Fichte, System of Ethics, ed. and trans. Daniel Breazeale and Günter Zöller (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 18–20.

[4]                ⁴ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 75–77.

[5]                ⁵ Johann Gottlieb Fichte, Foundations of Natural Right, ed. Frederick Neuhouser (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–35.

[6]                ⁶ Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 18–21.

[7]                ⁷ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 220–223.

[8]                ⁸ Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 150–153.


7.           Pemikiran Sosial dan Politik

Pemikiran sosial dan politik Johann Gottlieb Fichte berakar kuat pada konsepsinya tentang kebebasan dan pengakuan (Anerkennung). Menurut Fichte, kebebasan individual tidak dapat dipahami secara terisolasi, melainkan hanya mungkin dalam relasi dengan orang lain.¹ Dalam Foundations of Natural Right (1796–97), ia menekankan bahwa eksistensi manusia sebagai makhluk bebas mensyaratkan pengakuan timbal balik: seorang individu hanya benar-benar bebas apabila kebebasan orang lain juga diakui.² Prinsip ini membentuk dasar etika sosial Fichte dan menjadi landasan filsafat politiknya, di mana hukum dan institusi sosial berfungsi menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif.³

Bagi Fichte, negara merupakan institusi yang lahir dari tuntutan rasional untuk menjamin kebebasan universal.⁴ Negara bukanlah alat penindasan, tetapi sarana bagi perwujudan kebebasan praktis manusia. Fungsi utama negara adalah melindungi hak individu dan memastikan tercapainya keadilan sosial melalui hukum yang adil. Dalam kerangka ini, Fichte meletakkan dasar bagi pemikiran modern tentang negara hukum (Rechtsstaat), di mana otoritas negara memperoleh legitimasi hanya sejauh ia menjamin kebebasan warganya.⁵

Aspek sosial dari pemikiran Fichte juga terlihat dalam gagasannya tentang kerja dan distribusi ekonomi. Dalam The Closed Commercial State (1800), ia mengemukakan konsep negara ekonomi yang tertutup, di mana perdagangan internasional dibatasi demi melindungi kepentingan warga negara.⁶ Fichte berpendapat bahwa kesejahteraan kolektif harus dijamin melalui kebijakan ekonomi yang adil dan terkontrol oleh negara. Meskipun gagasan ini dianggap utopis, ia mencerminkan kepedulian Fichte terhadap dimensi sosial-ekonomi kebebasan dan mengantisipasi perdebatan tentang intervensi negara dalam ekonomi modern.⁷

Selain itu, pemikiran politik Fichte erat kaitannya dengan nasionalisme Jerman. Dalam Addresses to the German Nation (1807–08), yang disampaikan di tengah pendudukan Napoleon, Fichte menekankan pentingnya identitas nasional sebagai sarana pembebasan politik.⁸ Ia melihat pendidikan sebagai instrumen utama dalam membentuk bangsa yang bermoral, bersatu, dan berdaulat.⁹ Pemikirannya ini kemudian memberi pengaruh besar pada munculnya gerakan nasionalisme Jerman di abad ke-19, meskipun juga menimbulkan kontroversi karena dikaitkan dengan benih-benih chauvinisme nasional.

Secara keseluruhan, pemikiran sosial dan politik Fichte mencerminkan upaya untuk mengintegrasikan kebebasan individual dengan kehidupan kolektif. Ia berusaha menjembatani antara etika subjektif dan struktur politik-legal, dengan menekankan bahwa kebebasan hanya bermakna jika diwujudkan dalam masyarakat yang adil dan diatur oleh hukum.¹⁰ Dengan demikian, Fichte tidak hanya dikenal sebagai filsuf idealis, tetapi juga sebagai pemikir politik yang berpengaruh dalam membentuk fondasi ide negara modern, nasionalisme, dan keadilan sosial.


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 285–287.

[2]                ² Johann Gottlieb Fichte, Foundations of Natural Right, ed. Frederick Neuhouser (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 34–36.

[3]                ³ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 140–142.

[4]                ⁴ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 85–87.

[5]                ⁵ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 230–232.

[6]                ⁶ Johann Gottlieb Fichte, The Closed Commercial State, ed. Anthony Curtis Adler (Albany: SUNY Press, 2012), 10–12.

[7]                ⁷ Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 167–169.

[8]                ⁸ Johann Gottlieb Fichte, Addresses to the German Nation, ed. Gregory Moore (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 22–25.

[9]                ⁹ Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 27–29.

[10]             ¹⁰ Günter Zöller, “Fichte’s Political Philosophy,” dalam The Cambridge Companion to Fichte, ed. Günter Zöller (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 120–123.


8.           Pengaruh dan Kritik terhadap Fichte

Pemikiran Johann Gottlieb Fichte memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat modern, khususnya dalam lingkup Mazhab Idealisme Jerman. Ia dianggap sebagai tokoh transisional yang menghubungkan filsafat kritis Kant dengan sistem idealisme yang lebih matang pada Schelling dan Hegel.¹ Dengan menempatkan Aku (das Ich) sebagai prinsip mutlak, Fichte membuka jalan bagi pemikiran idealis yang menekankan kreativitas subjek dan aktivitas kesadaran sebagai dasar realitas. Schelling, misalnya, mengembangkan gagasan tentang kesatuan subjek-objek dalam alam sebagai lanjutan dari dialektika Aku dan Non-Aku Fichte.² Sementara itu, Hegel mengadopsi dan memperluas model dialektis Fichte ke dalam sistem idealisme absolut, yang kemudian menjadi tonggak utama filsafat abad ke-19.³

Selain memengaruhi rekan sejawatnya, Fichte juga memiliki dampak luas dalam pemikiran etika, politik, dan nasionalisme. Pandangannya tentang kebebasan sebagai pengakuan timbal balik menjadi cikal bakal teori pengakuan (Anerkennung) yang kemudian dikembangkan oleh filsuf kontemporer seperti Axel Honneth.⁴ Di bidang politik, gagasan Fichte tentang negara hukum dan pendidikan nasional turut memberi inspirasi pada pembentukan identitas nasional Jerman di abad ke-19.⁵ Dengan demikian, pengaruh Fichte melampaui ranah akademis, memasuki wilayah sosial, politik, dan budaya.

Namun, pemikiran Fichte juga menuai kritik yang tidak sedikit. Salah satu kritik utama datang dari Friedrich Heinrich Jacobi dan para pemikir kontemporernya, yang menuduh sistem Fichte terjerumus pada subjektivisme radikal.⁶ Dengan menolak thing-in-itself, Fichte dianggap menghapus dimensi realitas eksternal dan menempatkan seluruh eksistensi pada konstruksi kesadaran subjek. Kritik ini memunculkan perdebatan sengit tentang apakah filsafat Fichte mampu menjelaskan keberadaan dunia objektif secara memadai.

Selain itu, pandangan politik Fichte dalam Addresses to the German Nation dikritik karena dianggap melahirkan benih chauvinisme nasional.⁷ Meskipun tujuannya adalah membangkitkan semangat perlawanan terhadap dominasi Napoleon, penekanan Fichte pada identitas budaya Jerman dipandang berisiko menumbuhkan eksklusivisme etnis. Kritik ini semakin relevan dalam konteks modern ketika nasionalisme sering diasosiasikan dengan ideologi yang membatasi pluralitas dan toleransi.⁸

Dalam perkembangan filsafat selanjutnya, pemikiran Fichte juga dinilai kurang memberi ruang bagi pluralitas pengalaman manusia. Eksistensialis seperti Kierkegaard menilai bahwa sistem Fichte terlalu abstrak dan tidak mampu merangkul kompleksitas subjektivitas individual.⁹ Demikian pula, para filsuf analitik modern menganggap sistem Wissenschaftslehre terlalu spekulatif dan sulit diuji secara logis.¹⁰

Meskipun demikian, pengaruh dan kritik terhadap Fichte justru menunjukkan vitalitas pemikirannya. Ia berhasil menempatkan kebebasan, kesadaran, dan pengakuan sebagai tema sentral yang terus menginspirasi perkembangan filsafat modern. Kritik terhadap subjektivisme dan idealismenya tidak mengurangi signifikansi kontribusinya, melainkan memperkaya diskursus filsafat tentang peran subjek dalam membentuk realitas. Dengan demikian, warisan intelektual Fichte tetap relevan, baik sebagai dasar pengembangan filsafat idealisme maupun sebagai bahan refleksi kritis dalam menghadapi problem etika, politik, dan sosial kontemporer.


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 290–292.

[2]                ² Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 90–93.

[3]                ³ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 150–153.

[4]                ⁴ Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 30–33.

[5]                ⁵ Johann Gottlieb Fichte, Addresses to the German Nation, ed. Gregory Moore (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 28–31.

[6]                ⁶ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 240–243.

[7]                ⁷ Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 175–178.

[8]                ⁸ Robert R. Williams, Hegel’s Ethics of Recognition (Berkeley: University of California Press, 1997), 55–57.

[9]                ⁹ Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 62–64.

[10]             ¹⁰ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 132–135.


9.           Relevansi Pemikiran Fichte pada Era Kontemporer

Pemikiran Johann Gottlieb Fichte tetap memiliki relevansi besar dalam konteks filsafat dan kehidupan sosial-politik kontemporer. Gagasannya tentang Aku (das Ich) sebagai prinsip aktif yang membentuk realitas membuka jalan bagi filsafat modern mengenai subjektivitas, kesadaran, dan kebebasan.¹ Konsep ini sejalan dengan fenomenologi Edmund Husserl yang menekankan kesadaran sebagai fondasi makna, serta eksistensialisme Jean-Paul Sartre yang menempatkan kebebasan manusia sebagai inti eksistensi.² Dengan demikian, Fichte dapat dipandang sebagai salah satu akar intelektual bagi perkembangan filsafat modern yang menekankan otonomi dan tanggung jawab individu.

Dalam bidang etika, Fichte menegaskan bahwa kebebasan bukanlah kebebasan negatif, melainkan kebebasan positif yang terwujud dalam tindakan moral.³ Gagasan ini tetap penting di era kontemporer, ketika perdebatan etika global sering kali berhadapan dengan isu-isu kebebasan individu versus tanggung jawab sosial, misalnya dalam diskursus bioetika, kebebasan berekspresi, dan hak digital. Fichte mengingatkan bahwa kebebasan sejati hanya bermakna jika diiringi dengan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.⁴

Di ranah sosial-politik, pemikiran Fichte tentang pengakuan (Anerkennung) menunjukkan relevansinya melalui teori-teori keadilan dan pengakuan kontemporer. Axel Honneth, misalnya, mengembangkan gagasan pengakuan sebagai dasar keadilan sosial yang secara langsung berakar pada prinsip Fichte bahwa kebebasan individu hanya mungkin dalam pengakuan timbal balik.⁵ Hal ini sangat relevan dalam diskursus tentang hak asasi manusia, pluralitas budaya, dan perjuangan kelompok minoritas yang menuntut kesetaraan dalam masyarakat global.

Relevansi Fichte juga terlihat dalam kritiknya terhadap ekonomi bebas tanpa batas. Dalam The Closed Commercial State, Fichte mengajukan konsep negara ekonomi tertutup yang berfungsi melindungi warganya dari ketidakadilan global.⁶ Meskipun gagasan ini dianggap utopis pada masanya, dalam konteks kontemporer ia dapat dibaca sebagai kritik awal terhadap globalisasi neoliberal yang sering kali mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal. Pemikirannya memberi inspirasi untuk mempertimbangkan kembali peran negara dalam menjamin keadilan distribusi ekonomi di era global.⁷

Selain itu, pemikiran Fichte tentang pendidikan sebagai sarana pembentukan bangsa yang bermoral juga tetap relevan. Dalam Addresses to the German Nation, ia menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moralitas kolektif.⁸ Prinsip ini dapat diaplikasikan pada konteks modern di mana pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai transmisi pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana membangun kesadaran kritis, etika sosial, dan tanggung jawab global.

Dengan demikian, warisan Fichte tidak hanya penting untuk memahami sejarah filsafat, tetapi juga menawarkan perspektif kritis terhadap tantangan zaman sekarang. Fokusnya pada kebebasan, pengakuan, dan tanggung jawab menjadikan filsafatnya tetap aktual dalam menjawab problematika etika, politik, dan sosial abad ke-21. Fichte mengajarkan bahwa kebebasan tidak pernah absolut, melainkan selalu terkait dengan kewajiban moral dan struktur sosial yang memungkinkan manusia hidup bersama secara adil.⁹


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 310–312.

[2]                ² Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 25–28.

[3]                ³ Johann Gottlieb Fichte, System of Ethics, ed. and trans. Daniel Breazeale and Günter Zöller (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 40–42.

[4]                ⁴ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 170–173.

[5]                ⁵ Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 37–39.

[6]                ⁶ Johann Gottlieb Fichte, The Closed Commercial State, ed. Anthony Curtis Adler (Albany: SUNY Press, 2012), 55–57.

[7]                ⁷ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 248–250.

[8]                ⁸ Johann Gottlieb Fichte, Addresses to the German Nation, ed. Gregory Moore (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 60–62.

[9]                ⁹ Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 105–108.


10.       Kesimpulan

Johann Gottlieb Fichte menempati posisi penting dalam sejarah filsafat modern sebagai salah satu pionir Mazhab Idealisme Jerman. Ia berangkat dari kritik terhadap Kant, terutama dengan menolak keberadaan thing-in-itself, dan menggantinya dengan prinsip kesadaran diri (das Ich) sebagai fondasi mutlak realitas.¹ Melalui Wissenschaftslehre, Fichte membangun sistem filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan, moralitas, dan kehidupan sosial-politik bersumber pada aktivitas kreatif kesadaran manusia.² Dengan demikian, ia berhasil mengintegrasikan epistemologi, metafisika, dan etika ke dalam suatu kerangka filosofis yang koheren.

Konsep dialektika Aku (das Ich) dan Non-Aku (das Nicht-Ich) tidak hanya menjelaskan struktur pengetahuan, tetapi juga mengandung dimensi etis yang menegaskan kebebasan sebagai hakikat manusia.³ Fichte memandang kebebasan bukan sebagai kebebasan negatif, melainkan kebebasan positif yang mewujud dalam tanggung jawab moral dan pengakuan timbal balik dalam kehidupan sosial.⁴ Melalui perspektif ini, ia menegaskan bahwa individu hanya dapat menjadi benar-benar bebas jika kebebasan orang lain juga dihormati, sehingga etika dan politik menjadi dua ranah yang saling melengkapi.

Warisan pemikiran Fichte juga terlihat dalam kontribusinya pada filsafat politik dan nasionalisme. Dalam Addresses to the German Nation, ia menekankan pentingnya pendidikan moral dan kesadaran kolektif sebagai sarana pembentukan bangsa yang merdeka.⁵ Meski gagasan ini menuai kritik karena dianggap menumbuhkan benih chauvinisme, pemikirannya tetap berperan dalam membentuk wacana modern mengenai negara hukum, keadilan sosial, dan identitas nasional.

Meskipun dikritik karena dianggap terjebak dalam subjektivisme radikal, pengaruh Fichte terhadap Schelling, Hegel, hingga pemikiran kontemporer seperti teori pengakuan Axel Honneth, menunjukkan signifikansi jangka panjang filsafatnya.⁶ Dalam konteks masa kini, konsep kebebasan, kesadaran, dan pengakuan yang ia rumuskan tetap relevan untuk menjawab problem etika, politik, dan sosial di era globalisasi dan pluralitas budaya.⁷

Dengan demikian, Fichte bukan hanya seorang filsuf transisional antara Kant dan Hegel, tetapi juga seorang pemikir visioner yang menegaskan pentingnya kebebasan, tanggung jawab, dan pengakuan sebagai fondasi kehidupan manusia. Ia telah mewariskan kerangka filosofis yang terus menginspirasi perdebatan filsafat modern, sekaligus memberikan sumbangan reflektif bagi masyarakat kontemporer dalam menghadapi tantangan moral dan politik global.⁸


Footnotes

[1]                ¹ Frederick C. Beiser, German Idealism: The Struggle Against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 217–219.

[2]                ² Daniel Breazeale, Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s Early Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2013), 25–27.

[3]                ³ Johann Gottlieb Fichte, Foundations of the Entire Wissenschaftslehre, ed. and trans. Daniel Breazeale (Indianapolis: Hackett Publishing, 1982), 98–100.

[4]                ⁴ H. S. Harris, Fichte’s Idealism (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), 122–125.

[5]                ⁵ Johann Gottlieb Fichte, Addresses to the German Nation, ed. Gregory Moore (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 22–25.

[6]                ⁶ Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts, trans. Joel Anderson (Cambridge: Polity Press, 1995), 30–33.

[7]                ⁷ George di Giovanni, Freedom and Religion in Kant and His Immediate Successors: The Vocation of Humankind, 1774–1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 248–250.

[8]                ⁸ Anthony La Vopa, Fichte: The Self and the Calling of Philosophy, 1762–1799 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 175–178.


Daftar Pustaka

Beiser, F. C. (2002). German idealism: The struggle against subjectivism, 1781–1801. Harvard University Press.

Breazeale, D. (2013). Thinking through the Wissenschaftslehre: Themes from Fichte’s early philosophy. Oxford University Press.

di Giovanni, G. (2005). Freedom and religion in Kant and his immediate successors: The vocation of humankind, 1774–1800. Cambridge University Press.

Fichte, J. G. (1982). Foundations of the entire Wissenschaftslehre (D. Breazeale, Ed. & Trans.). Hackett Publishing.

Fichte, J. G. (2000). Foundations of natural right (F. Neuhouser, Ed.). Cambridge University Press.

Fichte, J. G. (2005). System of ethics (D. Breazeale & G. Zöller, Eds. & Trans.). Cambridge University Press.

Fichte, J. G. (2008). Addresses to the German nation (G. Moore, Ed.). Cambridge University Press.

Fichte, J. G. (2012). The closed commercial state (A. C. Adler, Ed.). SUNY Press.

Harris, H. S. (1972). Fichte’s idealism. Cambridge University Press.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts (J. Anderson, Trans.). Polity Press.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press.

La Vopa, A. (2001). Fichte: The self and the calling of philosophy, 1762–1799. Cambridge University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Stern, R. (2013). The Routledge guidebook to Hegel’s Phenomenology of Spirit. Routledge.

Williams, R. R. (1997). Hegel’s ethics of recognition. University of California Press.

Zöller, G. (1994). Fichte’s transcendental philosophy. In G. Zöller (Ed.), The Cambridge companion to Fichte (pp. 28–61). Cambridge University Press.

Zöller, G. (1994). Fichte’s political philosophy. In G. Zöller (Ed.), The Cambridge companion to Fichte (pp. 120–123). Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar