Moral, Etika, Norma, dan Hukum
Suatu Kajian Filosofis,
Sosial, dan Yuridis
Alihkan ke: Filsafat
Moral.
Moral, Etika,
Norma, Hukum.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif
empat konsep fundamental—moral, etika, norma, dan hukum—yang menjadi
fondasi kehidupan manusia dalam konteks filosofis, religius, sosiologis,
psikologis, dan yuridis. Moral dipahami sebagai nilai dasar yang dihidupi
individu dan masyarakat, etika sebagai refleksi kritis yang memberikan
justifikasi rasional terhadap moralitas, norma sebagai aturan sosial yang
menjaga keteraturan, dan hukum sebagai institusi formal yang memastikan
kepastian serta keadilan melalui sanksi yang mengikat.
Kajian ini menemukan bahwa meskipun keempat
konsep tersebut berbeda secara terminologis dan metodologis, mereka memiliki
relasi yang erat dan saling melengkapi. Analisis filosofis memperlihatkan
pluralitas pandangan dari filsafat klasik, modern, hingga postmodern.
Perspektif agama menegaskan landasan transendental, sementara pendekatan
sosiologis dan antropologis menyoroti moralitas sebagai konstruksi
sosial-budaya yang dinamis. Dari perspektif psikologi, moralitas dipahami
sebagai bagian dari perkembangan individu dan internalisasi norma, sedangkan
perspektif yuridis menekankan hukum sebagai puncak formalisasi norma.
Dalam konteks kontemporer, moral, etika,
norma, dan hukum menghadapi tantangan globalisasi, digitalisasi, bioetika,
kejahatan transnasional, serta isu hak asasi manusia. Artikel ini menegaskan
bahwa prinsip keadilan merupakan benang merah yang menghubungkan keempat
konsep tersebut, sekaligus menjadi horizon universal bagi terciptanya kehidupan
sosial yang adil, manusiawi, dan beradab.
Kata Kunci: Moral,
Etika, Norma, Hukum, Filsafat, Agama, Sosiologi, Psikologi, Keadilan,
Kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Moral, Etika, Norma,
dan Hukum
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Masalah
Sejak zaman kuno hingga era modern,
manusia selalu hidup dalam lingkup aturan yang mengikat perilakunya. Aturan
tersebut dapat berwujud moral, etika, norma, maupun hukum, yang meskipun
memiliki perbedaan konseptual, pada hakikatnya berfungsi sebagai pedoman dalam
membangun keteraturan sosial, menjaga harmoni, serta menjamin keadilan dalam
kehidupan bersama. Moral merujuk
pada keyakinan atau standar yang melekat dalam diri individu maupun komunitas,
sementara etika lebih merupakan refleksi rasional dan filosofis atas moralitas
itu sendiri. Norma hadir sebagai aturan sosial yang diterima masyarakat, dan
hukum berfungsi sebagai sistem formal yang mengikat secara yuridis dengan
konsekuensi sanksi.¹
Dalam realitas sosial, keempat unsur tersebut saling berinteraksi dan
terkadang mengalami ketegangan. Misalnya, sebuah tindakan mungkin diterima
secara hukum, tetapi dianggap melanggar norma atau etika tertentu; atau
sebaliknya, sesuatu yang bermoral bisa saja bertentangan dengan hukum positif
yang berlaku.² Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis mendasar tentang
hubungan antara moralitas, etika, norma, dan hukum: apakah hukum selalu berakar
pada moral? Apakah norma sosial dapat bertahan tanpa landasan etika? Bagaimana
posisi moralitas religius dalam konstruksi hukum modern yang cenderung sekuler?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menuntut analisis lebih mendalam.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta globalisasi turut
memengaruhi pemaknaan atas keempat konsep tersebut. Transformasi digital,
munculnya bioetika, perdebatan mengenai hak asasi manusia (HAM), serta isu-isu
kontemporer seperti kecerdasan
buatan dan krisis ekologi, menantang batas-batas moral dan etika tradisional
sekaligus memaksa hukum untuk beradaptasi.³ Oleh karena itu, kajian
komprehensif mengenai moral, etika, norma, dan hukum menjadi relevan untuk
menjawab problematika masyarakat kontemporer.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai
berikut:
1)
Apa definisi konseptual dan perbedaan antara
moral, etika, norma, dan hukum?
2)
Bagaimana sejarah perkembangan konsep-konsep
tersebut dalam filsafat, agama, dan ilmu sosial?
3)
Bagaimana relasi, interaksi, dan distingsi
antara moral, etika, norma, dan hukum dalam kehidupan masyarakat?
4)
Apa tantangan kontemporer yang dihadapi dalam
integrasi moral, etika, norma, dan hukum, terutama di era globalisasi dan
digital?
1.3.
Tujuan dan Manfaat
Kajian
Penulisan artikel ini bertujuan untuk:
1)
Menjelaskan pengertian dan landasan teoretis
dari moral, etika, norma, dan hukum.
2)
Menganalisis sejarah dan perkembangan
konsep-konsep tersebut dalam berbagai perspektif.
3)
Menguraikan hubungan dan perbedaan mendasar
antar konsep.
4)
Menyajikan sintesis filosofis dalam menjawab
tantangan moral dan hukum kontemporer.
Adapun manfaat dari kajian ini adalah memberikan wawasan akademis yang
komprehensif bagi kalangan ilmuwan, pendidik, mahasiswa, maupun praktisi hukum
dan sosial, dalam rangka memperkuat landasan moral dan etis dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan beragama.
1.4.
Metodologi Kajian
Kajian ini bersifat kualitatif-filosofis dengan pendekatan
interdisipliner. Data diperoleh melalui studi pustaka atas literatur filsafat,
sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, serta teks-teks keagamaan. Analisis
dilakukan secara deskriptif-analitis
dengan kerangka historis dan normatif, sehingga memungkinkan pembahasan yang
sistematis dan komprehensif.⁴
1.5.
Sistematika
Penulisan
Artikel ini disusun dalam sebelas bab, dimulai dari Pendahuluan
yang menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan
metodologi. Bab II membahas konsep dasar moral, etika, norma, dan hukum, diikuti
dengan Bab III hingga Bab VII yang mengulas berbagai perspektif filosofis,
religius, sosiologis, psikologis, dan yuridis. Bab VIII menyoroti relasi
dan distingsi antar konsep, sedangkan Bab IX menelaah tantangan
kontemporer. Bab X berisi sintesis dan refleksi filosofis, dan Bab
XI menjadi penutup yang merangkum kesimpulan serta saran.
Footnotes
[1]
Richard T. De George, Business Ethics (New
York: Macmillan, 1995), 12.
[2]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Berkeley:
University of California Press, 1967), 65–67.
[3]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 102–105.
[4]
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2018), 10–12.
2.
Konsep Dasar Moral, Etika, Norma, dan Hukum
2.1. Moral:
Pengertian, Ruang Lingkup, dan Sifatnya
Secara etimologis, istilah moral berasal dari bahasa Latin mos
atau mores yang berarti adat kebiasaan atau tata cara hidup. Moral
mengacu pada standar perilaku yang diterima sebagai baik atau buruk dalam suatu
komunitas.¹ Moralitas seringkali bersifat partikular karena dipengaruhi oleh nilai,
tradisi, dan keyakinan masyarakat tertentu. Dalam perspektif filsafat, moral
dipandang sebagai pedoman internal yang mengarahkan tindakan manusia agar
sesuai dengan martabat dan nilai kemanusiaan.²
Ruang lingkup moral mencakup nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan,
keberanian, dan kasih sayang, serta nilai-nilai lokal yang terikat pada budaya
tertentu. Sifat moral cenderung normatif, artinya ia berfungsi sebagai
“pembimbing” bagi individu dalam menentukan pilihan hidup.³
2.2. Etika:
Etimologi, Tradisi Filsafat, dan Aplikasinya
Etika
berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan, watak, atau
karakter. Etika dipahami sebagai cabang filsafat yang secara sistematis
merefleksikan dan mengkaji moralitas.⁴ Berbeda dengan moral yang lebih bersifat
praktis, etika berusaha
memberikan landasan rasional terhadap moralitas. Dalam sejarah filsafat, etika
memiliki berbagai aliran, antara lain deontologi (Immanuel Kant), utilitarianisme
(Jeremy Bentham dan John Stuart Mill), serta etika kebajikan
(Aristoteles).⁵
Etika dapat diaplikasikan pada berbagai ranah kehidupan: etika
profesional, etika lingkungan, etika politik, hingga etika teknologi. Dengan
demikian, etika tidak hanya membahas apa yang dianggap baik dan buruk, tetapi
juga mengapa suatu tindakan dinilai demikian serta bagaimana
prinsip itu diterapkan dalam kehidupan nyata.⁶
2.3. Norma:
Norma Sosial, Agama, Budaya, dan Kesusilaan
Norma adalah aturan atau pedoman perilaku yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Ia dapat bersumber dari kebiasaan, tradisi, agama, maupun
kesepakatan sosial.⁷ Norma berfungsi menjaga keteraturan, memelihara solidaritas, dan
mengatur interaksi sosial. Bentuk norma dapat dibedakan menjadi beberapa
kategori:
1)
Norma sosial: aturan yang lahir dari kebiasaan masyarakat,
misalnya adat istiadat.
2)
Norma agama: aturan
yang bersumber dari wahyu atau ajaran agama, yang mengikat secara spiritual dan
moral.
3)
Norma budaya: nilai yang terikat pada identitas budaya
suatu kelompok.
4)
Norma kesusilaan: pedoman perilaku yang berkaitan dengan
perasaan hati nurani manusia.⁸
Norma bersifat dinamis, dapat berubah mengikuti perkembangan
masyarakat, tetapi tetap memegang peran penting sebagai pengikat kehidupan
sosial.
2.4.
Hukum: Aspek Formil
dan Materiil
Hukum merupakan sistem aturan
yang bersifat mengikat, dibuat oleh otoritas yang sah, dan dilengkapi dengan
sanksi bagi pelanggarnya.⁹ Dalam filsafat hukum, terdapat dua aspek penting:
1)
Aspek formil, yaitu hukum sebagai produk institusi formal
(negara, lembaga peradilan).
2)
Aspek materiil, yaitu isi hukum yang diharapkan mencerminkan
nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.¹⁰
Hukum berbeda dengan moral, etika, dan norma karena memiliki sifat positif
(positivisme hukum) dan berlaku secara universal dalam suatu yurisdiksi, tanpa
memandang keyakinan individu. Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa hukum
yang baik senantiasa berakar pada nilai moral dan norma sosial.¹¹
2.5.
Hubungan dan
Perbedaan Terminologis
Meskipun sering digunakan secara bergantian, moral, etika, norma, dan
hukum memiliki perbedaan esensial:
·
Moral adalah standar
internal tentang baik-buruk yang dihayati individu atau kelompok.
·
Etika adalah refleksi rasional dan filosofis atas
moralitas.
·
Norma adalah aturan sosial yang mengikat secara
kultural dan religius.
·
Hukum adalah aturan formal yang dilembagakan oleh
otoritas resmi dan memiliki kekuatan sanksi.
Keempatnya membentuk sistem yang saling melengkapi. Moral menjadi dasar
kesadaran, etika memberikan
legitimasi rasional, norma berfungsi sebagai ikatan sosial, dan hukum menjadi
bentuk konkret yang dijalankan secara institusional.¹²
Footnotes
[1]
Paul W. Taylor, Normative Discourse (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1961), 5.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 35.
[3]
Louis Pojman, Ethics: Discovering Right and Wrong
(Belmont: Wadsworth, 2006), 14.
[4]
Jacques Maritain, Introduction to Philosophy
(New York: Sheed & Ward, 1931), 198.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–32.
[6]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 10–11.
[7]
Emile Durkheim, The Division of Labor in Society
(New York: Free Press, 1997), 62.
[8]
Soerjono
Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2013),
132–134.
[9]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Berkeley:
University of California Press, 1967), 67.
[10]
Gustav Radbruch, Legal Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2006), 89.
[11]
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven:
Yale University Press, 1969), 42.
[12]
Bernard Crick, In Defence of Politics (London:
Continuum, 2000), 115.
3.
Perspektif Filosofis
3.1.
Moral dalam Filsafat
Klasik
Dalam filsafat Yunani kuno, moral
dipandang sebagai inti dari pencarian kebahagiaan (eudaimonia). Socrates
menekankan pentingnya pengetahuan sebagai dasar moralitas: seseorang yang
mengetahui kebaikan tidak mungkin melakukan kejahatan, karena kejahatan muncul dari ketidaktahuan.¹ Plato
mengaitkan moral dengan struktur ideal jiwa dan negara, di mana keadilan (dikaiosyne)
merupakan harmoni antara akal, keberanian, dan nafsu.² Sementara itu, Aristoteles
menegaskan bahwa moralitas diwujudkan dalam arete (keutamaan) yang
membawa manusia pada kehidupan yang baik dan seimbang.³
Tradisi Stoa (Stoisisme)
kemudian mengembangkan pandangan bahwa moralitas sejati terletak pada hidup
selaras dengan rasio alam semesta (logos).
Bagi kaum Stoa, kebajikan seperti kebijaksanaan, keberanian, dan keadilan
bersifat universal dan merupakan jalan menuju kebebasan batin.⁴
3.2.
Etika dalam Filsafat
Modern
Memasuki era modern, perdebatan mengenai etika menjadi semakin
sistematis. Immanuel Kant memandang etika sebagai hukum moral yang
bersifat apriori dan universal, yang dirumuskan dalam imperatif kategoris. Menurut
Kant, tindakan moral adalah tindakan yang dilakukan karena kewajiban, bukan
sekadar demi konsekuensi.⁵
Berbeda dengan Kant, aliran utilitarianisme (Jeremy Bentham dan
John Stuart Mill) menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan akibatnya.
Prinsip the greatest happiness for the greatest number menjadi ukuran
utama dalam menentukan benar-salah.⁶ Pandangan ini menekankan dimensi pragmatis
moralitas, namun sering
dikritik karena berpotensi mengorbankan hak individu demi kepentingan
mayoritas.
Di sisi lain, filsafat eksistensialisme (Jean-Paul Sartre,
Albert Camus) menyoroti kebebasan individu dalam menciptakan nilai-nilai
moralnya sendiri. Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi,”
artinya manusia harus bertanggung jawab penuh atas pilihan moralnya, tanpa
bersembunyi di balik otoritas eksternal.⁷
3.3.
Norma dan Kontrak
Sosial
Konsep norma banyak dikaitkan dengan teori kontrak sosial.
Thomas Hobbes dalam Leviathan menegaskan bahwa tanpa norma dan
hukum, manusia hidup dalam keadaan alami yang penuh konflik (homo homini
lupus). Oleh karena itu, manusia menyerahkan sebagian kebebasannya kepada
otoritas demi ketertiban.⁸
John Locke berpendapat bahwa
norma sosial dan hukum bertujuan menjaga hak-hak alamiah (life, liberty,
property). Berbeda dengan Hobbes yang menekankan kekuasaan absolut, Locke
melihat kontrak sosial sebagai dasar pemerintahan demokratis.⁹ Jean-Jacques
Rousseau menambahkan konsep volonté générale (kehendak umum), di
mana norma dan hukum lahir dari kesepakatan kolektif demi kebaikan bersama.¹⁰
3.4.
Hukum dan Teori
Keadilan
Dalam filsafat kontemporer, John
Rawls mengembangkan teori keadilan dengan prinsip “justice as fairness.”
Ia menekankan pentingnya dua asas: kebebasan yang sama bagi semua dan perbedaan
sosial-ekonomi yang hanya sah bila menguntungkan
pihak yang paling lemah (the difference principle).¹¹ Sementara itu, Jürgen
Habermas mengaitkan hukum dengan komunikasi rasional. Bagi Habermas,
legitimasi hukum muncul melalui proses diskursif yang partisipatif, bukan
sekadar pemaksaan kekuasaan.¹²
Dengan demikian, hukum tidak semata-mata instrumen koersif, melainkan
sarana dialogis untuk membangun konsensus etis dalam masyarakat.
3.5. Kritik
Postmodern terhadap Moralitas dan Hukum
Pemikiran postmodern menantang klaim-klaim universalitas moral
dan hukum. Michel Foucault mengkritik hukum dan norma sebagai instrumen
kuasa yang tersembunyi dalam praktik sosial. Menurutnya, moral dan hukum tidak
netral, melainkan sarana pengendalian yang melanggengkan dominasi.¹³
Jacques Derrida melalui konsep deconstruction
menolak pandangan hukum sebagai sistem yang final. Ia menekankan bahwa keadilan
selalu bersifat “tertunda” (à venir), sehingga hukum harus terbuka
terhadap tafsir baru.¹⁴ Kritik postmodern ini membuka ruang refleksi bahwa moral, etika, norma, dan hukum bukan
entitas statis, melainkan konstruksi historis yang senantiasa bisa ditinjau
ulang.
Sintesis Filosofis
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perspektif filosofis
memperlihatkan pluralitas pemahaman mengenai moral, etika, norma, dan hukum.
Filsafat klasik menekankan kebajikan dan harmoni, filsafat modern menekankan
rasionalitas dan utilitas, filsafat sosial menekankan kontrak dan konsensus,
sementara filsafat
kontemporer dan postmodern menekankan keadilan, partisipasi, serta kritik
terhadap dominasi. Keempat konsep tersebut pada akhirnya menunjukkan bahwa
moralitas dan hukum selalu berada dalam dialektika antara nilai universal,
kebutuhan sosial, dan kekuasaan.
Footnotes
[1]
Plato, Apology, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 2002), 25.
[2]
Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1968), 119–121.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 23–25.
[4]
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory
Hays (New York: Modern Library, 2002), 45.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 30–32.
[6]
John Stuart Mill, Utilitarianism (Indianapolis:
Hackett, 2001), 7.
[7]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[8]
Thomas Hobbes, Leviathan (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 87.
[9]
John Locke, Two Treatises of Government
(Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 123.
[10]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract
(London: Penguin, 1968), 54.
[11]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1971), 60–65.
[12]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms
(Cambridge: MIT Press, 1996), 107.
[13]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–28.
[14]
Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical
Foundation of Authority”, in Deconstruction and the Possibility of
Justice, ed. Drucilla Cornell et al. (New York: Routledge, 1992), 14–15.
4.
Perspektif Agama
4.1.
Moralitas dalam
Tradisi Abrahamik
Dalam tradisi agama-agama Abrahamik
(Islam, Kristen, Yahudi), moralitas dipandang bersumber dari wahyu ilahi. Dalam
Yudaisme, moralitas terkodifikasi dalam Torah yang berisi
hukum-hukum dan perintah Tuhan, termasuk Ten Commandments sebagai
fondasi etika kehidupan.¹ Dalam Kristen, moralitas terpusat pada ajaran
kasih yang diajarkan Yesus Kristus, khususnya melalui Sermon on the Mount yang menekankan keadilan,
kasih, dan pengampunan.² Sementara itu, dalam Islam, moralitas memiliki
dasar pada Al-Qur’an dan Sunnah, yang mencakup nilai-nilai universal seperti
keadilan (al-‘adl), kebajikan (al-ihsan), serta larangan terhadap
kezaliman dan kerusakan.³
Dengan demikian, moralitas dalam tradisi Abrahamik bersifat normatif,
transenden, dan berorientasi pada hubungan manusia dengan Tuhan sekaligus
manusia dengan sesama.
4.2.
Etika dalam Tradisi
Timur
Tradisi keagamaan Timur seperti Hindu, Buddha, dan Konfusianisme
juga menekankan etika sebagai pedoman kehidupan. Dalam Hindu, prinsip dharma
menjadi dasar moralitas, yaitu kewajiban kosmis dan sosial yang harus
dijalankan setiap individu sesuai kedudukannya.⁴ Dalam Buddhisme, etika
dijabarkan dalam Five Precepts (lima sila) yang mengajarkan untuk
menghindari kekerasan, pencurian, kebohongan, perzinaan, dan mabuk-mabukan.⁵
Sementara itu, Konfusianisme menekankan pentingnya li
(aturan kesopanan dan norma sosial) dan ren (kemanusiaan/kebajikan)
sebagai landasan tatanan moral masyarakat.⁶ Tradisi-tradisi ini menunjukkan
bahwa etika keagamaan tidak hanya menekankan ketaatan ritual, melainkan juga
pembentukan karakter dan harmoni sosial.
4.3.
Norma Religius
sebagai Fondasi Hukum
Norma religius dalam banyak peradaban historis menjadi basis utama
hukum. Syariat Islam merupakan contoh jelas di mana hukum (fiqh)
dibangun dari prinsip moral Al-Qur’an dan Hadis, mencakup aspek ibadah maupun
muamalah.⁷ Dalam tradisi Barat abad pertengahan, hukum kanonik Gereja Katolik
juga berperan penting dalam membentuk sistem hukum Eropa.⁸
Namun, seiring perkembangan modernitas dan sekularisasi, muncul
pemisahan antara norma religius dan hukum negara. Meski demikian, banyak sistem hukum
kontemporer tetap menyerap prinsip moral agama, misalnya larangan pembunuhan,
perzinaan, atau pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa hukum positif sekalipun
tidak sepenuhnya terlepas dari akar moral religius.
4.4. Hubungan
Wahyu, Akal, dan Hukum Moral
Perspektif agama menempatkan wahyu sebagai sumber utama moralitas.
Namun, terdapat perdebatan mengenai peran akal dalam memahami dan merumuskan
hukum moral. Dalam Islam, misalnya, perdebatan antara aliran Mu‘tazilah
yang menekankan rasionalitas moral dan Asy‘ariyah yang menekankan
kehendak Tuhan menunjukkan dinamika hubungan antara wahyu dan akal.⁹ Dalam
Kristen, perdebatan serupa dapat ditemukan pada Thomas Aquinas, yang
berusaha memadukan wahyu dan hukum alam (natural law).¹⁰
Kedua tradisi ini memperlihatkan bahwa meskipun wahyu menjadi landasan
normatif, akal tetap diperlukan untuk menafsirkan, mengaktualisasikan, dan
mengkodifikasikan hukum moral dalam konteks sosial tertentu.
4.5.
Tantangan
Sekularisasi Moral dan Hukum
Modernitas membawa arus sekularisasi yang berusaha memisahkan
agama dari ranah publik, termasuk hukum dan moralitas. Moralitas religius
sering dianggap bersifat partikular, sehingga digantikan oleh moralitas sekuler
yang bersifat universal.¹¹ Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah
mungkin membangun hukum dan etika global tanpa basis religius?
Di satu sisi, sekularisasi memungkinkan terbentuknya norma dan hukum
yang lebih inklusif dalam masyarakat plural. Namun, di sisi lain, krisis moral
modern seperti relativisme
etis, individualisme ekstrem, dan degradasi nilai kemanusiaan menimbulkan
kekhawatiran akan kehilangan fondasi moral transenden.¹² Oleh karena itu,
tantangan terbesar agama dalam konteks modern adalah bagaimana menghadirkan
nilai moral universal yang mampu berdialog dengan norma sekuler dan hukum
positif tanpa kehilangan dimensi transendennya.
Sintesis
Perspektif agama menunjukkan bahwa moral, etika, norma, dan hukum
memiliki akar religius yang kuat. Moralitas dalam tradisi Abrahamik menekankan
ketaatan pada Tuhan, etika
dalam tradisi Timur menekankan harmoni dan kebajikan, norma religius menjadi
fondasi hukum historis, dan relasi antara wahyu dan akal menunjukkan dinamika
pemikiran yang kaya. Meskipun sekularisasi membawa tantangan, agama tetap
berperan penting sebagai sumber inspirasi moral dan hukum, terutama dalam
menghadapi krisis moral kontemporer.
Footnotes
[1]
Michael Fishbane, Biblical Interpretation in
Ancient Israel (Oxford: Clarendon Press, 1985), 45.
[2]
Augustine, The Sermon on the Mount, trans. John
J. Jepson (New York: Paulist Press, 1982), 12–14.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
University of Chicago Press, 1982), 37–39.
[4]
Radhakrishnan, Indian Philosophy, vol. 2
(London: Allen & Unwin, 1952), 29.
[5]
Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New
York: Grove Press, 1974), 48.
[6]
Confucius, The Analects, trans. Arthur Waley
(New York: Vintage, 1989), 72–74.
[7]
Wael B. Hallaq, Sharī‘a: Theory, Practice,
Transformations (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 11.
[8]
Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation
of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1983), 95.
[9]
George Hourani, Islamic Rationalism: The Ethics of
‘Abd al-Jabbār (Oxford: Oxford University Press, 1971), 64.
[10]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I-II, Q. 91, Art. 2.
[11]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2007), 13.
[12]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 62.
5.
Perspektif
Sosiologis dan Antropologis
5.1.
Moral sebagai Produk
Sosial
Dalam perspektif sosiologi, moral dipandang bukan hanya sebagai
ekspresi individual, melainkan hasil konstruksi sosial. Émile Durkheim
menegaskan bahwa moralitas merupakan “fakta sosial” yang lahir dari
kolektivitas masyarakat.¹ Moral berfungsi memperkuat integrasi sosial dengan
menciptakan kesadaran kolektif yang mengikat individu pada nilai bersama. Hal
ini menjelaskan mengapa moralitas dapat berbeda dari satu masyarakat ke
masyarakat lain, tergantung pada struktur sosial, agama, dan budaya yang
mendasarinya.
5.2.
Norma sebagai Alat
Kontrol Sosial
Norma, dalam kerangka sosiologis, berfungsi sebagai mekanisme kontrol
sosial yang mengatur perilaku anggota masyarakat. Talcott Parsons
berpendapat bahwa norma berperan penting dalam menjaga stabilitas sistem sosial
melalui internalisasi
nilai.² Norma juga dilengkapi dengan sanksi sosial, baik dalam bentuk
penghargaan maupun hukuman, yang memastikan kepatuhan anggota masyarakat.
Dari perspektif antropologi, norma sering terwujud dalam adat istiadat
dan ritual. Misalnya, dalam masyarakat tradisional, norma adat tidak hanya
mengatur hubungan antarindividu,
tetapi juga mencerminkan kosmologi dan pandangan hidup komunitas tersebut.³
5.3. Relasi
Etika dengan Budaya dan Adat Istiadat
Etika dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya. Clifford
Geertz menyebut bahwa budaya adalah sistem makna yang memberi kerangka bagi
manusia dalam menafsirkan pengalaman hidupnya.⁴ Dengan demikian, etika bukan
sekadar refleksi filosofis universal, melainkan juga praksis yang terikat pada
simbol, bahasa, dan tradisi budaya tertentu.
Dalam antropologi, praktik etis sering kali mewujud dalam aturan adat.
Misalnya, prinsip gotong royong dalam masyarakat Indonesia tidak hanya bernilai
moral, tetapi juga etis karena mencerminkan solidaritas dan keadilan sosial
dalam kerangka budaya lokal.⁵
5.4.
Evolusi Hukum dalam
Masyarakat
Hukum dalam pandangan sosiologis merupakan produk dinamika sosial. Max
Weber membedakan antara hukum tradisional, hukum kharismatik, dan hukum
rasional-legal.⁶ Hukum modern lebih bersifat rasional-legal, artinya dibentuk
melalui prosedur formal yang sah dan dijalankan secara birokratis. Namun demikian, antropologi hukum
menunjukkan bahwa hukum negara tidak selalu menggantikan hukum adat.
Dalam banyak masyarakat, terutama yang masih kental dengan tradisi,
hukum adat tetap hidup berdampingan dengan hukum positif.⁷ Fenomena pluralisme
hukum ini menunjukkan
bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan budaya tempat ia
diterapkan.
5.5.
Globalisasi,
Modernisasi, dan Perubahan Norma
Globalisasi dan modernisasi membawa perubahan besar terhadap moral,
etika, dan norma sosial. Proses globalisasi menciptakan homogenisasi nilai,
misalnya melalui penyebaran ide hak asasi manusia, demokrasi, dan kesetaraan
gender. Namun, globalisasi juga memicu resistensi budaya, di mana
masyarakat lokal berusaha mempertahankan norma tradisional yang dianggap
terancam oleh nilai global.⁸
Selain itu, perkembangan teknologi digital menciptakan norma-norma
baru, seperti etika bermedia sosial, perlindungan data pribadi, dan aturan
hukum terkait ruang virtual. Hal ini memperlihatkan bahwa norma dan moral
bersifat dinamis, senantiasa berubah mengikuti arus perkembangan zaman.⁹
Sintesis Sosiologis
dan Antropologis
Dari perspektif sosiologi dan antropologi, moral, etika, norma, dan
hukum dipahami sebagai konstruksi sosial-budaya yang tidak statis. Moral
dipandang sebagai produk kolektivitas, norma sebagai instrumen kontrol sosial,
etika sebagai refleksi budaya, dan hukum sebagai institusi yang berkembang
seiring transformasi masyarakat. Dengan demikian, keberadaan keempat konsep ini
selalu terkait erat dengan dinamika struktur sosial, budaya, dan sejarah suatu
komunitas.
Footnotes
[1]
Émile Durkheim, The Division of Labor in Society,
trans. W. D. Halls (New York: Free Press, 1997), 37.
[2]
Talcott Parsons, The Social System (New York:
Free Press, 1951), 29.
[3]
Bronislaw Malinowski, Crime and Custom in Savage
Society (London: Routledge, 1926), 57.
[4]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5.
[5]
Koentjaraningrat,
Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985), 112.
[6]
Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther
Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1978), 311.
[7]
John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?” Journal
of Legal Pluralism 24, no. 1 (1986): 2–4.
[8]
Anthony Giddens, Runaway World: How Globalization
Is Reshaping Our Lives (London: Profile Books, 1999), 28–30.
[9]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 71.
6.
Perspektif
Psikologis
6.1.
Perkembangan Moral
(Moral Development)
Dalam psikologi, moral tidak hanya dipahami sebagai seperangkat aturan
eksternal, tetapi juga sebagai hasil dari proses perkembangan kognitif dan
afektif individu. Jean Piaget merupakan salah satu tokoh awal yang
meneliti perkembangan moral anak. Menurut Piaget, terdapat dua tahap utama
perkembangan moral: tahap heteronom (moralitas berdasarkan otoritas
eksternal) dan tahap autonom (moralitas yang didasarkan pada kesadaran
internal dan rasionalitas).¹
Teori ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lawrence Kohlberg,
yang memformulasikan enam tahap perkembangan moral dalam tiga tingkat:
prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional.² Pada tingkat pascakonvensional, individu menilai moralitas
berdasarkan prinsip universal, seperti keadilan dan hak asasi manusia, bukan
sekadar pada aturan eksternal.
6.2.
Internalisasi Norma
dalam Psikologi Sosial
Psikologi sosial menyoroti bagaimana norma diinternalisasi ke dalam
perilaku individu. Albert Bandura, melalui teori social learning,
menekankan bahwa individu belajar perilaku moral melalui observasi, imitasi,
dan penguatan sosial.³ Norma yang pada awalnya bersifat eksternal lambat laun
diinternalisasi sehingga membentuk disposisi psikologis yang memandu perilaku.
Selain itu, konsep conformity dalam penelitian klasik Solomon
Asch menunjukkan bahwa tekanan sosial dapat memengaruhi kepatuhan individu
terhadap norma, bahkan ketika norma tersebut bertentangan dengan persepsi
pribadi.⁴ Hal ini memperlihatkan kuatnya peran norma sosial dalam membentuk
kesadaran moral dan etis seseorang.
6.3.
Etika sebagai Proses
Pembentukan Karakter
Dari perspektif psikologi kepribadian, etika berkaitan erat dengan
pembentukan karakter. Erik Erikson mengaitkan perkembangan identitas
moral dengan tahapan psikososial sepanjang hidup manusia, misalnya dalam krisis
identitas remaja yang menuntut konsistensi antara nilai etis dan jati diri.⁵
Dengan demikian, etika berfungsi tidak hanya sebagai panduan rasional, tetapi
juga sebagai bagian
dari integrasi kepribadian.
Psikologi humanistik, seperti yang dikembangkan oleh Abraham Maslow
dan Carl Rogers, menekankan bahwa perkembangan moral dan etis merupakan
bagian dari aktualisasi diri.⁶ Individu yang mampu hidup sesuai dengan prinsip
etis akan lebih dekat pada kondisi psikologis yang sehat, otentik, dan
bermakna.
6.4. Hubungan
Hukum dengan Kesadaran Psikologis Masyarakat
Hukum, dari perspektif psikologis, tidak hanya dipahami sebagai aturan
formal, tetapi juga sebagai fenomena yang berkaitan dengan kesadaran
masyarakat. Legal psychology meneliti bagaimana persepsi masyarakat terhadap
hukum, keadilan, dan otoritas memengaruhi kepatuhan hukum.⁷ Penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih patuh pada hukum yang dianggap
adil dan sesuai dengan nilai moral yang dianut, daripada hukum yang sekadar dipaksakan
oleh otoritas.
Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi hukum tidak dapat dipisahkan dari
kesadaran psikologis kolektif. Apabila hukum dipersepsikan bertentangan dengan
moralitas dan norma sosial, maka
muncul fenomena resistensi atau ketidaktaatan sipil.⁸
6.5. Patologi
Sosial akibat Lemahnya Moral dan Etika
Psikologi juga mengkaji dampak lemahnya internalisasi moral dan etika
terhadap individu dan masyarakat. Fenomena seperti kriminalitas, penyalahgunaan
kekuasaan, korupsi, hingga perilaku menyimpang di ruang digital dapat dipahami
sebagai bentuk patologi sosial. Menurut perspektif psikologi abnormal,
perilaku menyimpang
sering kali berkorelasi dengan kegagalan internalisasi nilai moral pada masa
perkembangan.⁹
Patologi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengancam
kohesi sosial. Oleh karena itu, pendidikan moral dan etika sejak usia dini
dipandang penting sebagai upaya preventif untuk membangun masyarakat yang sehat secara
psikologis maupun sosial.
Sintesis Psikologis
Dari perspektif psikologis, moral, etika, norma, dan hukum bukanlah
entitas yang terpisah, melainkan bagian dari proses perkembangan manusia secara
menyeluruh. Moral berkembang melalui tahapan kognitif, norma diinternalisasi
melalui interaksi
sosial, etika berkontribusi pada pembentukan karakter, dan hukum memperoleh
legitimasi melalui kesadaran psikologis masyarakat. Lemahnya salah satu unsur
ini berpotensi menimbulkan patologi sosial. Oleh karena itu, perspektif
psikologis memberikan pemahaman bahwa penguatan moral, etika, norma, dan hukum
harus dilakukan secara simultan sejak tingkat individu hingga masyarakat luas.
Footnotes
[1]
Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child,
trans. Marjorie Gabain (London: Routledge & Kegan Paul, 1932), 21–22.
[2]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development,
Vol. 1: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper &
Row, 1981), 16–18.
[3]
Albert Bandura, Social Learning Theory
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1977), 22.
[4]
Solomon E. Asch, “Opinions and Social Pressure,” Scientific
American 193, no. 5 (1955): 31–35.
[5]
Erik H. Erikson, Identity: Youth and Crisis
(New York: W. W. Norton, 1968), 132.
[6]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality
(New York: Harper & Row, 1970), 45; Carl R. Rogers, On Becoming a Person
(Boston: Houghton Mifflin, 1961), 122.
[7]
Lawrence S. Wrightsman and Michael T. Nietzel, Psychology
and the Legal System (Belmont: Wadsworth, 1994), 5.
[8]
Tom R. Tyler, Why People Obey the Law
(Princeton: Princeton University Press, 1990), 25.
[9]
David L. Rosenhan and Martin E. Seligman, Abnormal
Psychology (New York: W. W. Norton, 1989), 67–68.
7.
Dimensi Yuridis
7.1.
Hukum sebagai
Institusi Formal
Hukum dalam perspektif yuridis merupakan institusi formal yang mengatur
kehidupan bersama melalui aturan-aturan yang dilembagakan oleh otoritas sah,
seperti negara. Hans Kelsen menegaskan bahwa hukum adalah sistem norma
yang bersifat hierarkis dan
terikat pada struktur perundang-undangan.¹ Dengan demikian, hukum berfungsi
menjaga keteraturan sosial dengan memastikan adanya kepastian dan konsistensi
aturan.
Namun, hukum tidak sekadar institusi teknis, melainkan juga sarana
untuk menegakkan nilai-nilai keadilan. Fungsi hukum tidak hanya represif
(mengatur dan memberi sanksi), tetapi juga progresif, yaitu menciptakan kondisi
yang memungkinkan masyarakat berkembang secara adil dan bermartabat.²
7.2. Perbedaan
Norma Hukum dan Norma Non-Hukum
Hukum merupakan salah satu bentuk norma, namun berbeda dari norma
moral, sosial, atau religius. Norma hukum memiliki ciri khas berupa sanksi
yang bersifat memaksa dan terinstitusionalisasi.³ Seseorang yang melanggar
hukum dapat dikenakan hukuman melalui mekanisme formal seperti pengadilan,
sementara pelanggaran terhadap norma sosial biasanya hanya dikenai sanksi
berupa celaan atau pengucilan.
Meski demikian, hukum sering kali bersumber dari norma non-hukum.
Larangan mencuri atau membunuh, misalnya, awalnya merupakan norma moral dan
religius yang kemudian dikodifikasi menjadi hukum positif.⁴ Oleh karena itu,
terdapat relasi erat antara hukum dan norma sosial, meskipun keduanya tetap
dapat dibedakan secara konseptual.
7.3. Teori
Positivisme Hukum vs Hukum Alam
Dalam filsafat hukum, terdapat perdebatan klasik antara positivisme
hukum dan teori hukum alam. Positivisme hukum, sebagaimana dirumuskan oleh
Kelsen, menekankan bahwa validitas hukum ditentukan oleh prosedur formal
pembentukannya, bukan oleh muatan moralnya.⁵ Sebaliknya, teori hukum alam
(natural law), sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas, menegaskan
bahwa hukum positif harus selaras dengan hukum moral universal yang berasal
dari rasio atau wahyu Tuhan.⁶
Debat antara keduanya berimplikasi besar terhadap praktik hukum.
Positivisme hukum menekankan kepastian, sementara hukum alam menekankan
keadilan. Dalam praktiknya, banyak sistem hukum modern berusaha mengintegrasikan
kedua pendekatan tersebut, misalnya melalui konsep rule of law yang
menuntut hukum bersifat formal sekaligus adil.⁷
7.4.
Sistem Hukum di
Berbagai Negara
Sistem hukum dunia terbagi dalam beberapa tradisi besar:
1)
Civil law (Eropa
Kontinental), yang didasarkan pada kodifikasi undang-undang, seperti di Prancis
dan Jerman.
2)
Common law (Anglo-Saxon), yang menekankan pada preseden
yudisial, seperti di Inggris dan Amerika Serikat.
3)
Hukum Islam (Syariah), yang bersumber pada Al-Qur’an,
Sunnah, dan ijtihad ulama.
4)
Hukum Adat, yang berlaku di komunitas tradisional dan
berakar pada norma budaya setempat.⁸
Keempat sistem ini menunjukkan pluralitas pendekatan yuridis, di mana setiap sistem
mencerminkan nilai moral, etika, dan norma yang hidup dalam masyarakatnya.
Dalam konteks globalisasi, sering terjadi interaksi dan akulturasi antar sistem
hukum tersebut.
7.5. Implementasi
Hukum dalam Konteks Keadilan Sosial
Hukum yang baik tidak hanya memberikan kepastian, tetapi juga
menegakkan keadilan. Gustav Radbruch menekankan tiga nilai fundamental
hukum: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmäßigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).⁹ Dalam kenyataannya,
konflik antara kepastian hukum dan keadilan sering tidak terhindarkan.
Misalnya, suatu undang-undang yang berlaku sah secara formal bisa saja
menimbulkan ketidakadilan substantif. Dalam kasus demikian, banyak filsuf hukum
berpendapat bahwa prinsip keadilan harus didahulukan.¹⁰ Perspektif ini
melahirkan gagasan hukum progresif, yang dipopulerkan oleh Satjipto
Rahardjo, bahwa hukum harus berfungsi sebagai instrumen untuk melindungi martabat manusia, bukan sekadar
alat formal kekuasaan.¹¹
Sintesis Yuridis
Dimensi yuridis memperlihatkan bahwa hukum merupakan puncak formalisasi
norma dalam masyarakat. Hukum berbeda dari norma lain karena bersifat memaksa
dan dilembagakan secara formal,
namun ia tidak bisa dilepaskan dari akar moral dan etika. Perdebatan antara
positivisme hukum dan hukum alam menunjukkan bahwa hukum harus sekaligus
menjamin kepastian dan keadilan. Sistem hukum yang berbeda di berbagai negara
menegaskan bahwa hukum tidak tunggal, tetapi berakar pada tradisi historis,
budaya, dan religius yang berbeda. Pada akhirnya, implementasi hukum yang adil
dan manusiawi menjadi kunci bagi keberlangsungan kehidupan sosial yang beradab.
Footnotes
[1]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 66–68.
[2]
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of
Law (New Haven: Yale University Press, 1922), 43.
[3]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum
(Jakarta: Rajawali Press, 2014), 22.
[4]
Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation
of the Western Legal Tradition (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1983), 95.
[5]
Hans Kelsen, General Theory of Law and State
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1945), 110.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I-II, Q. 91.
[7]
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven:
Yale University Press, 1969), 39–40.
[8]
René David and John E.C. Brierley, Major Legal
Systems in the World Today (London: Stevens & Sons, 1985), 21–23.
[9]
Gustav Radbruch, Legal Philosophy, trans. Kurt
Wilk (Oxford: Clarendon Press, 1950), 107.
[10]
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1977), 81.
[11]
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang
Membebaskan (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), 13.
8.
Relasi dan Distingsi antara Moral, Etika,
Norma, dan Hukum
8.1.
Moral sebagai Basis
Etika
Moral dapat dipandang sebagai substansi yang mendasari refleksi etis.
Moralitas adalah praktik nilai yang dihidupi dalam kehidupan sehari-hari,
sedangkan etika adalah refleksi kritis dan rasional atas moralitas tersebut.¹
Misalnya, kejujuran sebagai nilai moral dipraktikkan dalam kehidupan sosial,
sementara etika berusaha menjawab mengapa kejujuran itu baik dan bagaimana ia
harus diterapkan secara konsisten. Dengan demikian, moral menyediakan materi,
sedangkan etika memberikan justifikasi filosofisnya.
8.2. Etika
sebagai Refleksi Rasional atas Moral
Etika tidak hanya menjustifikasi moral, tetapi juga mengkritisinya.²
Dalam konteks ini, etika berfungsi sebagai “cermin” yang mengevaluasi moralitas yang
berlaku dalam masyarakat. Hal ini penting karena moralitas yang lahir dari
kebiasaan tidak selalu sejalan dengan prinsip keadilan universal. Etika
memungkinkan manusia menguji apakah moralitas tertentu benar-benar sesuai
dengan martabat manusia atau sekadar merupakan kebiasaan yang dilanggengkan.³
8.3.
Norma sebagai
Pengikat Sosial
Norma berfungsi menjembatani moral dan etika dalam ruang sosial. Ia mengatur
interaksi antarindividu melalui aturan yang disepakati bersama, baik secara
implisit (adat) maupun eksplisit (aturan sosial).⁴ Norma juga memiliki dimensi
dinamis, karena dapat berubah seiring transformasi sosial. Misalnya, norma
mengenai peran gender atau pola keluarga berubah secara signifikan di era
modern dibandingkan dengan masa tradisional.⁵ Dengan demikian, norma
merefleksikan moralitas kolektif sekaligus menjadi sarana internalisasi etika
dalam praktik sosial.
8.4. Hukum
sebagai Bentuk Konkret dari Norma
Hukum adalah bentuk formal dari norma yang dilembagakan oleh otoritas.
Ia memiliki sanksi yang bersifat memaksa dan mengikat.⁶ Hukum tidak dapat
dipisahkan dari moral, etika, dan norma, karena keberadaannya berakar pada
nilai moral yang diinternalisasi masyarakat, direfleksikan secara etis, dan diwujudkan dalam norma sosial. Namun, hukum
memiliki keunikan dalam kepastian dan daya paksa.⁷
Meskipun demikian, hukum tidak selalu sejalan dengan moral atau etika.
Sejarah mencatat banyak hukum positif yang sah secara formal, tetapi dianggap
tidak adil secara moral, misalnya praktik perbudakan di masa lalu atau hukum
diskriminatif terhadap kelompok tertentu.⁸ Oleh karena itu, hukum yang baik
harus tetap berakar pada moralitas dan etika universal agar tidak kehilangan
legitimasi sosial.
8.5.
Konflik dan Harmoni
Antar Konsep
Relasi moral, etika, norma, dan hukum sering kali bersifat
dialektis—kadang harmonis, kadang menimbulkan konflik. Suatu tindakan bisa
legal secara hukum tetapi tidak etis (misalnya praktik monopoli yang merugikan
konsumen), atau sebaliknya, tindakan bisa bermoral namun melanggar hukum
positif (misalnya pembangkangan sipil untuk menentang hukum yang tidak adil).⁹
Namun, ketika keempat konsep tersebut selaras, tercipta harmoni sosial
yang kuat. Moral memberikan dasar nilai, etika menawarkan refleksi kritis, norma
mengatur kehidupan sosial, dan hukum memastikan kepastian serta keadilan. Dalam
kondisi demikian, keempatnya bekerja sebagai pilar penopang peradaban yang
adil, manusiawi, dan beradab.¹⁰
Sintesis
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa moral, etika, norma, dan
hukum adalah empat konsep yang berbeda tetapi saling melengkapi. Moral menjadi
basis nilai, etika memberikan refleksi kritis, norma menjembatani dalam
kehidupan sosial, dan hukum mewujudkannya dalam sistem formal. Relasi
mereka menunjukkan bahwa kehidupan manusia membutuhkan keterpaduan antara
keempat aspek ini agar tercipta keadilan, ketertiban, dan martabat kemanusiaan
yang utuh.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170.
[2]
Jacques Maritain, Moral Philosophy: An Historical
and Critical Survey of the Great Systems (New York: Charles Scribner’s
Sons, 1964), 15.
[3]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 23–24.
[4]
Émile Durkheim, Moral Education: A Study in the
Theory and Application of the Sociology of Education, trans. Everett K.
Wilson and Herman Schnurer (New York: Free Press, 1961), 38.
[5]
Anthony Giddens, The Transformation of Intimacy:
Sexuality, Love, and Eroticism in Modern Societies (Stanford: Stanford
University Press, 1992), 45–47.
[6]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 71.
[7]
Lon L. Fuller, The Morality of Law (New Haven:
Yale University Press, 1969), 43.
[8]
Ronald Dworkin, Law’s Empire (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 110–111.
[9]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1971), 327.
[10]
Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), 92.
9.
Tantangan
Kontemporer
9.1.
Krisis Moral di Era
Digital
Perkembangan teknologi digital membawa tantangan baru terhadap
moralitas. Media sosial, misalnya, sering menjadi ruang penyebaran ujaran
kebencian, hoaks, dan polarisasi politik.¹ Fenomena ini memperlihatkan
bagaimana ruang virtual melahirkan etika baru yang berbeda dari interaksi tatap
muka. Anonimitas di dunia digital kerap mengikis tanggung jawab moral individu,
sehingga perilaku tidak etis lebih mudah muncul.²
Selain itu, era digital juga menimbulkan dilema etis terkait privasi,
komersialisasi data pribadi, serta manipulasi opini publik melalui algoritma.
Hal ini menunjukkan bahwa moral dan etika harus terus diperbarui agar mampu
menghadapi dinamika teknologi.³
9.2. Etika
Teknologi, Bioetika, dan AI Ethics
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan cabang etika baru,
seperti bioetika dan etika kecerdasan buatan (AI ethics).
Bioetika membahas isu-isu seperti rekayasa genetika, euthanasia, dan
transplantasi organ, yang menimbulkan pertanyaan moral tentang hak hidup, martabat
manusia, dan batas intervensi manusia terhadap alam.⁴
Sementara itu, perkembangan kecerdasan buatan (artificial
intelligence) menimbulkan persoalan baru: sejauh mana mesin dapat mengambil
keputusan yang memiliki implikasi moral? Apakah algoritma dapat dianggap
netral, atau justru mencerminkan
bias sosial?⁵ Perdebatan ini menuntut integrasi moral, etika, norma, dan hukum
dalam ranah teknologi yang terus berkembang pesat.
9.3. Pergeseran
Norma akibat Globalisasi dan Multikulturalisme
Globalisasi membawa dampak besar terhadap norma sosial. Nilai-nilai
universal seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender menyebar
luas, namun sering berbenturan dengan norma lokal yang berbeda.⁶ Dalam
masyarakat multikultural, muncul pertanyaan tentang bagaimana menyeimbangkan
norma global dengan
identitas budaya lokal.
Contohnya, perdebatan tentang pernikahan lintas agama atau orientasi
seksual sering menimbulkan ketegangan antara norma tradisional dan prinsip hak
asasi manusia.⁷ Tantangan ini memperlihatkan bahwa norma tidak lagi bersifat
homogen, tetapi berada dalam
arus dialog dan bahkan konflik antara nilai lokal dan global.
9.4.
Hukum dalam
Menghadapi Kejahatan Transnasional
Globalisasi juga memunculkan
bentuk-bentuk kejahatan baru yang bersifat transnasional, seperti terorisme,
perdagangan manusia, pencucian uang, dan kejahatan siber.⁸ Sistem hukum
nasional sering kali kesulitan menghadapi kejahatan lintas batas ini karena keterbatasan
yurisdiksi. Oleh karena itu,
kerja sama internasional
menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan efektivitas hukum.
Persoalan ini menunjukkan bahwa hukum tidak lagi dapat dipahami hanya
dalam konteks negara-bangsa, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka global
yang menuntut koordinasi, harmonisasi, dan solidaritas internasional.⁹
9.5. Isu HAM,
Keadilan Sosial, dan Moralitas Global
Isu hak asasi manusia (HAM) tetap menjadi tantangan global. Pelanggaran
HAM dalam bentuk diskriminasi, perang, dan ketidakadilan ekonomi memperlihatkan
kesenjangan
antara hukum internasional dengan praktik nyata.¹⁰ Konsep moralitas global
berusaha membangun konsensus etis lintas budaya dan agama, misalnya melalui Universal
Declaration of Human Rights (1948).¹¹
Namun, penerapan HAM sering menghadapi resistensi, terutama di
negara-negara dengan norma religius dan budaya yang berbeda dari standar Barat.
Hal ini menimbulkan perdebatan filosofis: apakah ada moralitas universal yang
dapat diterima semua bangsa, ataukah moralitas selalu bersifat relatif terhadap
konteks
budaya?¹²
Sintesis Tantangan
Kontemporer
Tantangan kontemporer memperlihatkan bahwa moral, etika, norma, dan
hukum terus diuji oleh dinamika globalisasi, teknologi, dan pluralisme budaya.
Krisis moral digital, bioetika, pergeseran norma, kejahatan transnasional, dan
isu HAM menunjukkan perlunya kerangka moral dan etis yang fleksibel, sekaligus
hukum yang adaptif dan inklusif. Dengan demikian, keempat konsep ini harus
dipahami sebagai sistem terbuka yang mampu merespons perubahan zaman tanpa
kehilangan orientasi pada martabat manusia dan keadilan universal.
Footnotes
[1]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More
from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011),
153.
[2]
John Suler, “The Online Disinhibition Effect,” CyberPsychology
& Behavior 7, no. 3 (2004): 321–26.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 75.
[4]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics (New York: Oxford University Press, 2019), 23.
[5]
Luciano Floridi and Josh Cowls, “A Unified Framework
of Five Principles for AI in Society,” Harvard Data Science Review 1,
no. 1 (2019): 3–4.
[6]
Jan Nederveen Pieterse, Globalization and Culture:
Global Mélange (Lanham: Rowman & Littlefield, 2009), 48.
[7]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development:
The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
71.
[8]
Phil Williams, Transnational Criminal Organizations
and International Security (London: Routledge, 1994), 27.
[9]
David Held and Anthony McGrew, Globalization/Anti-Globalization:
Beyond the Great Divide (Cambridge: Polity Press, 2007), 114.
[10]
Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and
Practice (Ithaca: Cornell University Press, 2003), 19.
[11]
United Nations, Universal Declaration of Human
Rights (New York: United Nations, 1948), preamble.
[12]
Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in
Interpretive Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 215.
10.
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
10.1. Integrasi
Moral, Etika, Norma, dan Hukum dalam Kehidupan Manusia
Kajian dari berbagai perspektif sebelumnya menunjukkan bahwa moral,
etika, norma, dan hukum merupakan empat dimensi yang berbeda tetapi saling
melengkapi. Moral hadir sebagai pengalaman nilai yang dihidupi oleh individu
maupun kelompok; etika memberikan refleksi kritis dan rasional terhadap
moralitas; norma mengikat individu dalam kerangka sosial; sedangkan hukum merepresentasikan
institusionalisasi norma dengan daya paksa formal.¹
Filsafat memperlihatkan bahwa keterpaduan keempat konsep ini membentuk
dasar peradaban manusia. Tanpa moralitas, etika kehilangan materi; tanpa etika,
moralitas berisiko menjadi dogma tak kritis; tanpa norma, nilai etis sulit
terinternalisasi dalam praktik sosial; dan tanpa hukum, norma kehilangan
kepastian serta sanksi.²
10.2.
Prinsip Keadilan
sebagai Pengikat Universal
Meskipun terdapat pluralitas budaya dan
perbedaan historis, prinsip keadilan muncul sebagai benang merah yang
mengikat moral, etika, norma, dan hukum.³ Aristoteles mendefinisikan
keadilan sebagai memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sementara John Rawls menekankan keadilan
sebagai “fairness” yang melindungi pihak paling lemah.⁴ Syariat Islam
menempatkan keadilan (al-‘adl) sebagai tujuan utama hukum.⁵
Dengan demikian, keadilan menjadi
horizon universal yang memungkinkan dialog antarperadaban dalam membangun
kerangka moral dan hukum global. Prinsip ini juga menjadi ukuran legitimasi
setiap sistem hukum dan norma sosial yang berlaku.
10.3. Relevansi
bagi Pendidikan, Politik, dan Kehidupan Sosial
Integrasi moral, etika, norma, dan hukum memiliki relevansi praktis
yang luas:
1)
Dalam pendidikan, moral dan etika menjadi fondasi pembentukan
karakter. Pendidikan karakter bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga
internalisasi nilai yang memadukan kesadaran moral dengan penalaran etis.⁶
2)
Dalam politik, hukum dan norma berfungsi menjaga legitimasi
kekuasaan. Kekuasaan yang lepas dari moralitas dan etika cenderung berubah
menjadi otoritarianisme.⁷
3)
Dalam kehidupan sosial, keempat aspek tersebut menjamin
kohesi dan solidaritas. Norma sosial tanpa dasar moral bisa kehilangan makna,
sementara hukum tanpa legitimasi etis akan kehilangan kepercayaan masyarakat.⁸
10.4. Refleksi
Kritis terhadap Masa Depan Moralitas dan Hukum
Konteks kontemporer memperlihatkan bahwa moralitas dan hukum terus diuji oleh
globalisasi, teknologi, dan pluralisme budaya. Relativisme etis, krisis moral
digital, dan ketidakadilan struktural menunjukkan rapuhnya fondasi etis
masyarakat modern.⁹
Filsafat mengajarkan bahwa moral, etika, norma, dan hukum tidak boleh
dipandang statis, melainkan dinamis dan terbuka untuk kritik. Jacques
Derrida menekankan bahwa keadilan selalu bersifat “à venir” (akan datang),
artinya keadilan tidak pernah tuntas, tetapi senantiasa menjadi tugas yang
harus diperjuangkan.¹⁰ Refleksi ini menegaskan bahwa tugas utama filsafat
adalah menjaga keterbukaan sistem nilai terhadap koreksi dan pengembangan.
Sintesis Filosofis
Dari perspektif filosofis, dapat disimpulkan bahwa moral, etika, norma,
dan hukum membentuk suatu ekologi nilai yang saling menopang. Moral menjadi
akar, etika menjadi refleksi, norma menjadi batang penghubung sosial, dan hukum
menjadi buah institusionalisasi. Keempatnya harus dijaga keseimbangannya agar
peradaban manusia tidak terjebak pada kekacauan normatif atau kekakuan
legalistik.
Dengan menempatkan keadilan sebagai orientasi universal, manusia dapat
membangun tatanan sosial yang lebih manusiawi, rasional, dan berkeadaban.
Refleksi ini menegaskan pentingnya filsafat dalam merawat harmoni antara nilai
transenden dan realitas
historis, antara kebebasan individu dan keteraturan sosial, serta antara hukum
positif dan moralitas universal.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170.
[2]
Jacques Maritain, Moral Philosophy: An Historical
and Critical Survey of the Great Systems (New York: Charles Scribner’s
Sons, 1964), 45.
[3]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2009), 13.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 112; John Rawls, A Theory of Justice
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 60–61.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
40.
[6]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 23.
[7]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago:
University of Chicago Press, 1958), 152.
[8]
Émile Durkheim, The Division of Labor in Society,
trans. W. D. Halls (New York: Free Press, 1997), 40.
[9]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism
(New York: PublicAffairs, 2019), 89.
[10]
Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical
Foundation of Authority”, in Deconstruction and the Possibility of
Justice, ed. Drucilla Cornell et al. (New York: Routledge, 1992), 15.
11.
Penutup
11.1.
Kesimpulan
Kajian panjang mengenai moral,
etika, norma, dan hukum memperlihatkan bahwa keempat konsep ini merupakan
pilar utama dalam membangun peradaban manusia. Meskipun berbeda secara terminologis dan
metodologis, keempatnya saling berkaitan: moral adalah nilai yang
dihidupi secara personal dan kolektif; etika adalah refleksi kritis dan
rasional atas moralitas; norma adalah aturan sosial yang mengikat
komunitas; dan hukum adalah bentuk institusional yang memberikan
kepastian serta sanksi.¹
Dari perspektif filosofis, moralitas dipandang sebagai inti kebajikan
(Aristoteles, Stoa), etika sebagai refleksi rasional (Kant, Mill, Sartre),
norma sebagai dasar kontrak sosial (Hobbes, Locke, Rousseau), dan hukum sebagai
sarana keadilan (Rawls, Habermas).² Dari perspektif agama, keempatnya berakar
pada wahyu dan tradisi religius yang menekankan dimensi transendental.³
Perspektif sosiologis dan antropologis memperlihatkan bahwa moral dan norma
adalah konstruksi sosial yang dinamis, sementara perspektif psikologis
menekankan proses internalisasi nilai dalam individu.⁴ Perspektif yuridis
menunjukkan hukum sebagai puncak formalisasi norma yang harus selaras dengan
keadilan.⁵
Dalam konteks kontemporer, moral, etika, norma, dan hukum menghadapi tantangan
globalisasi, krisis moral digital, bioetika, kejahatan transnasional, serta isu
hak asasi manusia.⁶ Namun, filsafat memberikan sintesis bahwa prinsip keadilan
tetap menjadi pengikat universal yang menjaga keterpaduan antara keempat
dimensi tersebut.
11.2.
Implikasi Teoretis
dan Praktis
Secara teoretis, kajian ini menegaskan pentingnya pendekatan
interdisipliner dalam memahami moral, etika, norma, dan hukum. Tidak ada satu
disiplin ilmu pun yang mampu menjelaskan kompleksitas keempat konsep ini secara utuh.⁷
Secara praktis, integrasi moral, etika, norma, dan hukum sangat relevan
dalam tiga ranah utama:
1)
Pendidikan – membentuk karakter generasi muda melalui
internalisasi nilai moral dan refleksi etis.
2)
Politik dan hukum – menjamin legitimasi kekuasaan serta
menegakkan keadilan substantif.
3)
Kehidupan sosial – memperkuat kohesi, solidaritas, dan harmoni
dalam masyarakat yang plural.⁸
11.3.
Saran
Artikel ini masih bersifat kajian pustaka yang bersifat konseptual. Penelitian lebih
lanjut dapat dilakukan dengan pendekatan empiris, misalnya melalui studi kasus
mengenai penerapan moral, etika, norma, dan hukum dalam masyarakat tertentu.
Selain itu, dialog antaragama, antarbudaya, dan antarbangsa perlu terus
ditingkatkan untuk mencari titik temu moralitas global yang tetap menghargai
keragaman lokal.
Dengan demikian, moral, etika, norma, dan hukum bukanlah entitas
statis, melainkan sistem nilai yang dinamis dan senantiasa memerlukan refleksi
kritis agar tetap relevan dengan tantangan zaman. Keempatnya harus dijaga
keseimbangannya, karena tanpa moral, etika kehilangan dasar; tanpa etika, moral
kehilangan refleksi; tanpa norma, nilai kehilangan wadah sosial; dan tanpa
hukum, norma kehilangan kepastian. Keselarasannya merupakan syarat bagi
terciptanya kehidupan manusia yang adil, bermartabat, dan berperadaban.⁹
Footnotes
[1]
Paul W. Taylor, Normative Discourse (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1961), 5.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 25; John Rawls, A Theory of Justice
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 61.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
37.
[4]
Émile Durkheim, The Division of Labor in Society,
trans. W. D. Halls (New York: Free Press, 1997), 37; Lawrence Kohlberg, Essays
on Moral Development, Vol. 1 (San Francisco: Harper & Row, 1981), 16.
[5]
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, trans. Max
Knight (Berkeley: University of California Press, 1967), 66–67.
[6]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More
from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011),
153.
[7]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2009), 13.
[8]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 23.
[9]
Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical
Foundation of Authority”, in Deconstruction and the Possibility of
Justice, ed. Drucilla Cornell et al. (New York: Routledge, 1992), 15.
Daftar Pustaka
Arendt, H.
(1958). The human condition. University of Chicago Press.
Aristotle.
(1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.
Asch, S. E.
(1955). Opinions and social pressure. Scientific American, 193(5),
31–35.
Augustine.
(1982). The sermon on the mount (J. J. Jepson, Trans.). Paulist Press.
Bandura, A.
(1977). Social learning theory. Prentice Hall.
Beauchamp,
T. L., & Childress, J. F. (2019). Principles of biomedical ethics
(8th ed.). Oxford University Press.
Berman, H.
J. (1983). Law and revolution: The formation of the Western legal tradition.
Harvard University Press.
Confucius.
(1989). The analects (A. Waley, Trans.). Vintage.
David, R.,
& Brierley, J. E. C. (1985). Major legal systems in the world today.
Stevens & Sons.
Derrida, J.
(1992). Force of law: The “mystical foundation of authority.” In D. Cornell, M.
Rosenfeld, & D. Carlson (Eds.), Deconstruction and the possibility of
justice (pp. 3–67). Routledge.
Donnelly,
J. (2003). Universal human rights in theory and practice (2nd ed.).
Cornell University Press.
Durkheim,
É. (1961). Moral education: A study in the theory and application of the
sociology of education (E. K. Wilson & H. Schnurer, Trans.). Free
Press.
Durkheim,
É. (1997). The division of labor in society (W. D. Halls, Trans.). Free
Press.
Dworkin, R.
(1977). Taking rights seriously. Harvard University Press.
Dworkin, R.
(1986). Law’s empire. Harvard University Press.
Erikson, E.
H. (1968). Identity: Youth and crisis. W. W. Norton.
Fishbane,
M. (1985). Biblical interpretation in ancient Israel. Clarendon Press.
Floridi,
L., & Cowls, J. (2019). A unified framework of five principles for AI in
society. Harvard Data
Science Review, 1(1), 1–15.
Foucault,
M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan,
Trans.). Vintage.
Fuller, L.
L. (1969). The morality of law (Rev. ed.). Yale University Press.
Geertz, C.
(1973). The interpretation of cultures. Basic Books.
Geertz, C.
(1983). Local knowledge: Further essays in interpretive anthropology.
Basic Books.
Giddens, A.
(1992). The transformation of intimacy: Sexuality, love, and eroticism in
modern societies. Stanford University Press.
Giddens, A.
(1999). Runaway world: How globalization is reshaping our lives. Profile
Books.
Griffiths,
J. (1986). What is legal pluralism? Journal of Legal
Pluralism, 24(1), 1–55.
Habermas,
J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of
law and democracy. MIT Press.
Hallaq, W.
B. (2009). Sharī‘a: Theory, practice, transformations. Cambridge
University Press.
Held, D.,
& McGrew, A. (2007). Globalization/anti-globalization: Beyond the great
divide (2nd ed.). Polity Press.
Hobbes, T.
(1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press.
Hourani, G.
(1971). Islamic rationalism: The ethics of ‘Abd al-Jabbār. Oxford
University Press.
Kant, I.
(1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.).
Cambridge University Press.
Kelsen, H.
(1945). General theory of law and state. Harvard University Press.
Kelsen, H.
(1967). Pure theory of law (M. Knight, Trans.). University of California
Press.
Koentjaraningrat.
(1985). Kebudayaan,
mentalitet, dan pembangunan. Gramedia.
Kohlberg,
L. (1981). Essays on moral development, Vol. 1: The philosophy of moral
development. Harper & Row.
Lickona, T.
(1991). Educating for character: How our schools can teach respect and
responsibility. Bantam Books.
Locke, J.
(1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge
University Press.
MacIntyre,
A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.
Malinowski,
B. (1926). Crime and custom in savage society. Routledge.
Maritain,
J. (1931). Introduction to philosophy. Sheed & Ward.
Maritain,
J. (1964). Moral philosophy: An historical and critical survey of the great
systems. Charles Scribner’s Sons.
Marcus
Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.
Maslow, A.
H. (1970). Motivation and personality (2nd ed.). Harper & Row.
Mill, J. S.
(2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Hackett. (Original work published
1861)
Moleong, L.
J. (2018). Metodologi penelitian kualitatif (38th ed.). Remaja
Rosdakarya.
Nussbaum,
M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach.
Cambridge University Press.
Parsons, T.
(1951). The social system. Free Press.
Piaget, J.
(1932). The moral judgment of the child (M. Gabain, Trans.). Routledge
& Kegan Paul.
Pieterse,
J. N. (2009). Globalization and culture: Global mélange (2nd ed.).
Rowman & Littlefield.
Plato.
(1968). The republic (A. Bloom, Trans.). Basic Books.
Plato.
(2002). Apology (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.
Pojman, L.
P. (2006). Ethics: Discovering right and wrong (5th ed.). Wadsworth.
Pound, R.
(1922). An introduction to the philosophy of law. Yale University Press.
Rahman, F.
(1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition.
University of Chicago Press.
Rahula, W.
(1974). What the Buddha taught. Grove Press.
Radbruch,
G. (1950). Legal philosophy (K. Wilk, Trans.). Clarendon Press.
Radhakrishnan,
S. (1952). Indian philosophy (Vol. 2). Allen & Unwin.
Rawls, J.
(1971). A theory of justice. Harvard University Press.
Ricoeur, P.
(1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago
Press.
Rogers, C.
R. (1961). On becoming a person. Houghton Mifflin.
Rosenhan, D. L., & Seligman,
M. E. P. (1989). Abnormal psychology. W. W. Norton.
Rousseau,
J.-J. (1968). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin.
Satjipto
Rahardjo. (1980). Hukum dan masyarakat. Angkasa.
Satjipto
Rahardjo. (2009). Hukum progresif: Hukum yang membebaskan. Genta
Publishing.
Sen, A.
(2009). The idea of justice. Harvard University Press.
Singer, P.
(2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Soekanto,
S. (2013). Sosiologi:
Suatu pengantar.
Rajawali Press.
Soekanto, S. (2014). Pokok-pokok
sosiologi hukum. Rajawali Press.
Suler, J.
(2004). The online disinhibition effect. CyberPsychology &
Behavior, 7(3), 321–326.
Taylor, C.
(2007). A secular age. Harvard University Press.
Taylor, P.
W. (1961). Normative discourse. Prentice-Hall.
Turkle, S.
(2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from
each other. Basic Books.
Tyler, T.
R. (1990). Why people obey the law. Princeton University Press.
United
Nations. (1948). Universal
declaration of human rights.
Weber, M.
(1978). Economy and society (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University
of California Press.
Williams,
P. (1994). Transnational criminal organizations and international security.
Routledge.
Wrightsman,
L. S., & Nietzel, M. T. (1994). Psychology and the legal system (3rd
ed.). Wadsworth.
Zuboff, S.
(2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar