Pemikiran Martha Craven Nussbaum
Kapabilitas, Etika, dan Keadilan dalam Filsafat
Kontemporer
Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas pemikiran Martha Craven
Nussbaum, seorang filsuf kontemporer Amerika sekaligus Profesor Hukum dan Etika
di Universitas Chicago yang dikenal luas melalui kontribusinya dalam filsafat
moral, politik, hukum, dan pembangunan manusia. Dengan berangkat dari fondasi
Aristotelian, Nussbaum merumuskan Teori Kapabilitas (Capabilities Approach)
sebagai kerangka normatif yang menekankan pentingnya martabat dan kesempatan
substantif bagi setiap individu untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Selain
teori kapabilitas, ia juga mengembangkan pemikiran mendalam mengenai peran
emosi dalam etika dan politik, menolak dikotomi antara rasionalitas dan afeksi,
serta menekankan pentingnya emosi positif seperti belas kasih, cinta, dan
solidaritas dalam menopang demokrasi deliberatif. Pemikirannya tentang keadilan
sosial bersifat inklusif, dengan perhatian besar terhadap kelompok rentan,
termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan minoritas global. Artikel ini
juga menyoroti kontribusinya dalam filsafat hukum, di mana Nussbaum mengkritisi
penggunaan rasa jijik dan malu sebagai dasar legal, serta menekankan hukum
berbasis kapabilitas dan penghormatan martabat manusia. Di samping pengaruhnya
yang luas, baik dalam kebijakan pembangunan global maupun teori feminis,
pemikiran Nussbaum tidak lepas dari kritik, khususnya terkait universalisasi
daftar kapabilitas dan kemungkinan bias budaya. Meski demikian, relevansinya
tetap kuat dalam menghadapi persoalan kontemporer seperti ketidaksetaraan
global, diskriminasi gender, rapuhnya demokrasi, dan krisis ekologi. Artikel
ini menyimpulkan bahwa pemikiran Nussbaum bukan hanya berkontribusi pada
filsafat teoretis, tetapi juga memberikan landasan praktis bagi pembangunan
masyarakat yang adil, inklusif, dan humanistik.
Kata Kunci: Martha
C. Nussbaum, Teori Kapabilitas, Etika, Emosi, Keadilan Sosial, Demokrasi,
Filsafat Hukum, Hak Asasi Manusia.
PEMBAHASAN
Telaah Kritis atas Pemikiran Martha Craven Nussbaum
1.
Pendahuluan
Martha Craven Nussbaum (lahir 1947) adalah salah satu
filsuf kontemporer paling berpengaruh dalam bidang filsafat moral, politik,
hukum, dan etika publik. Ia menjabat sebagai Ernst Freund Distinguished
Service Professor of Law and Ethics di Universitas Chicago, suatu posisi
yang mencerminkan reputasinya sebagai pemikir lintas disiplin yang menjembatani
filsafat dengan hukum, politik, dan kebijakan publik. Karya-karyanya menekankan
pentingnya melihat manusia bukan hanya sebagai individu rasional, melainkan
sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan emosional, keterikatan sosial, dan
kapabilitas yang harus dikembangkan agar dapat hidup secara bermartabat. Dalam
konteks akademik maupun praktis, pemikiran Nussbaum menjadi relevan karena
menawarkan perspektif baru dalam menanggapi persoalan keadilan global, pembangunan,
gender, disabilitas, hingga demokrasi.
Akar pemikiran Nussbaum dapat ditelusuri pada
pengaruh filsafat Yunani klasik, khususnya Aristoteles, yang menekankan konsep eudaimonia
atau kehidupan yang baik. Nussbaum menghidupkan kembali gagasan klasik ini
dalam kerangka kontemporer, dengan merumuskannya dalam Teori Kapabilitas
(Capabilities Approach) yang kemudian ia kembangkan bersama ekonom pemenang
Nobel, Amartya Sen. Teori ini berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan
dicapai seseorang (kapabilitas), alih-alih hanya menilai distribusi sumber daya
atau tingkat kepuasan subjektif. Dalam perspektif ini, keadilan tidak hanya
ditentukan oleh angka pertumbuhan ekonomi, tetapi oleh sejauh mana setiap
individu memiliki kesempatan nyata untuk mengembangkan kehidupan yang
bermakna.¹
Selain kontribusinya dalam teori kapabilitas,
Nussbaum juga menekankan peran emosi dalam etika dan politik. Ia menolak
anggapan bahwa emosi bersifat irasional dan harus dipisahkan dari ruang publik.
Sebaliknya, Nussbaum berargumen bahwa emosi seperti belas kasih (compassion)
dan rasa marah (anger) dapat menjadi fondasi moral bagi pembentukan
kebijakan yang lebih adil.² Pemikiran ini tidak hanya memperluas diskusi dalam
filsafat moral, tetapi juga memberikan kerangka etis yang berguna bagi
demokrasi deliberatif, pendidikan kewarganegaraan, dan perlindungan hak-hak
minoritas.
Karya-karya Nussbaum seperti The Fragility of
Goodness (1986), Women and Human Development (2000), Upheavals of
Thought (2001), hingga Creating Capabilities (2011) menunjukkan
konsistensinya dalam menggabungkan filsafat dengan isu-isu nyata yang dihadapi
masyarakat global.³ Pandangan-pandangannya berupaya menyeimbangkan analisis
teoretis yang ketat dengan relevansi praktis, sehingga membangun jembatan antara
dunia akademik dan kebijakan publik. Melalui pendekatan yang humanis, rasional,
serta kritis, pemikiran Nussbaum berhasil menantang dominasi paradigma ekonomi
konvensional yang cenderung mengabaikan dimensi etis dan manusiawi dari
pembangunan.
Dengan demikian, pendahuluan ini menegaskan bahwa
pemikiran Martha C. Nussbaum memiliki signifikansi besar dalam memahami isu-isu
etika, keadilan sosial, dan politik global kontemporer. Ia menawarkan
perspektif yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan martabat manusia, yang
tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga aplikatif dalam menghadapi tantangan
dunia modern.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
17–20.
[2]
² Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
1–5.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Women and Human
Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 22–30.
2.
Biografi Intelektual
Martha C. Nussbaum
Martha Craven
Nussbaum lahir pada 6 Mei 1947 di New York City. Ia tumbuh dalam lingkungan
keluarga kelas menengah atas dengan akses luas pada pendidikan dan kebudayaan,
sesuatu yang kelak berpengaruh dalam minatnya terhadap filsafat klasik dan
kesenian. Sejak masa mudanya, Nussbaum telah menaruh perhatian besar pada
literatur dan filsafat Yunani, sebuah minat yang kemudian ia perdalam dalam
pendidikan formalnya. Ia menempuh studi sarjana di bidang theater
and classics di New York University (BA, 1969),
sebelum melanjutkan program pascasarjana di Harvard University, di mana ia
meraih gelar MA (1971) dan PhD (1975) dalam bidang Filsafat.¹
Pada masa studi
doktoralnya di Harvard, Nussbaum mendalami filsafat Yunani kuno, khususnya
Aristoteles, tragedi Yunani, serta tradisi Stoisisme. Karya awalnya, The
Fragility of Goodness (1986), merefleksikan kecenderungan
intelektual ini dengan membahas bagaimana tragedi Yunani menyingkap kerentanan
kehidupan manusia terhadap keberuntungan, keterbatasan, dan ketidakpastian.²
Karya tersebut bukan hanya mengokohkan reputasinya sebagai filsuf moral dengan
basis filologis yang kuat, tetapi juga memperlihatkan kepekaannya terhadap
kompleksitas kondisi manusia yang kelak menjadi ciri khas pemikirannya.
Karier akademiknya
mencakup pengajaran di beberapa institusi bergengsi, termasuk Harvard
University dan Brown University. Di Brown, ia
menjabat sebagai profesor filsafat dan mengembangkan pemikirannya lebih jauh
mengenai etika Aristotelian serta teori moral dalam konteks kontemporer.³ Pada
tahun 1995, Nussbaum bergabung dengan University of Chicago, di mana
ia diangkat sebagai Ernst Freund Distinguished Service Professor of
Law and Ethics. Posisi ini memperkuat reputasinya sebagai
pemikir multidisipliner, karena ia tidak hanya mengajar di Departemen Filsafat,
tetapi juga di Divinity School, Law School, dan Committee on Southern Asian
Studies.⁴
Selain latar
akademiknya, Nussbaum juga aktif dalam kerja-kerja yang berhubungan dengan
kebijakan internasional. Ia pernah bekerja sama dengan World
Institute for Development Economics Research (WIDER) dan
berkontribusi dalam pengembangan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index, HDI) yang disusun oleh Amartya Sen dan UNDP.⁵
Keterlibatannya dalam diskursus pembangunan global memperlihatkan komitmen
intelektualnya untuk menjembatani teori filsafat dengan tantangan nyata yang
dihadapi masyarakat internasional, khususnya dalam hal keadilan, gender, dan
disabilitas.
Secara intelektual,
Nussbaum dikenal sebagai pemikir yang produktif dan kritis. Ia tidak hanya
menghidupkan kembali warisan Aristoteles dalam etika kontemporer, tetapi juga
meradikalkan pembahasan tentang peran emosi dalam politik, hukum, dan
keadilan sosial. Jejak intelektualnya menunjukkan sebuah perjalanan yang
konsisten: dari penekunan filsafat klasik, menuju pengembangan teori moral
modern, hingga keterlibatan aktif dalam advokasi pembangunan manusia yang lebih
adil dan inklusif. Hal ini menempatkannya di garis depan filsafat kontemporer,
sekaligus menjadikan biografi intelektualnya sebagai refleksi dari komitmen
akademik dan praksis sosial yang saling berkaitan.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), xi–xv.
[2]
² Nussbaum, The Fragility of Goodness, 1–10.
[3]
³ Robert C. Bartlett and Susan Collins, Aristotle’s Nicomachean
Ethics: A New Translation (Chicago: University of Chicago Press, 2011),
introduction.
[4]
⁴ University of Chicago Law School, “Martha C. Nussbaum,” Faculty
Bio, diakses 25 September 2025, law.uchicago.edu.
[5]
⁵ Martha C. Nussbaum and Amartya Sen, eds., The Quality of Life
(Oxford: Clarendon Press, 1993), 3–5.
3.
Dasar Filosofis
Pemikiran Nussbaum
Dasar filosofis pemikiran Martha C. Nussbaum
berakar pada tradisi filsafat klasik, terutama Aristoteles, Stoisisme, serta
pemikiran modern mengenai etika dan keadilan. Sejak karya awalnya, The
Fragility of Goodness (1986), Nussbaum menekankan bahwa kehidupan manusia
selalu rentan terhadap ketidakpastian dan keberuntungan (contingency).
Dari Aristoteles, ia mengadopsi gagasan bahwa tujuan etika adalah mencapai eudaimonia—kehidupan
yang baik—yang hanya dapat diraih jika manusia memiliki kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan fundamentalnya.¹ Dalam kerangka ini, etika
bukan sekadar aturan moral, melainkan upaya sistematis untuk memahami bagaimana
kondisi sosial, politik, dan budaya memengaruhi kemampuan seseorang untuk hidup
bermartabat.
Selain Aristoteles, Nussbaum juga banyak
dipengaruhi oleh tradisi Stoisisme, khususnya pandangan mengenai
martabat manusia yang bersifat universal dan rasionalitas sebagai ciri khas
manusia. Namun, ia tidak sepenuhnya menerima pandangan Stoik yang menekankan
kemandirian mutlak terhadap emosi. Sebaliknya, Nussbaum mengkritik dan merevisi
gagasan tersebut dengan menunjukkan bahwa emosi bukanlah kelemahan, melainkan
bagian integral dari kapasitas manusia untuk menilai, mencintai, dan bertindak
secara etis.² Kritik ini melahirkan pendekatannya yang khas dalam filsafat
emosi, yang menolak dikotomi rasionalitas versus perasaan, dan justru melihat
keterkaitannya dalam membangun kehidupan sosial dan politik yang adil.
Nussbaum juga terlibat dalam dialog kritis dengan
tradisi liberalisme modern, khususnya melalui karyanya yang
membandingkan dan mengembangkan teori keadilan John Rawls. Ia menghargai
prinsip dasar Rawls tentang kesetaraan dan keadilan distributif, tetapi menganggap
teorinya masih terlalu abstrak dan tidak cukup memperhatikan kondisi konkret
manusia, terutama kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang
disabilitas.³ Dari sinilah lahir Teori Kapabilitas yang menjadi ciri
khas Nussbaum, dengan menekankan bahwa keadilan harus diukur dari apa yang
dapat dilakukan dan dicapai oleh setiap individu, bukan hanya distribusi sumber
daya atau kebebasan formal.
Selain itu, Nussbaum memanfaatkan tradisi humanisme
renaisans dan pencerahan untuk mengembangkan pandangan bahwa martabat
manusia bersifat universal dan harus dihormati tanpa diskriminasi. Ia
menegaskan bahwa nilai-nilai ini memiliki relevansi global dalam menghadapi
tantangan kontemporer seperti ketidaksetaraan ekonomi, diskriminasi gender, hingga
krisis kemanusiaan.⁴ Pendekatan filosofisnya bersifat rasional, kritis, dan
metodologis, dengan tetap menjaga keterkaitan erat antara filsafat normatif dan
realitas sosial.
Dengan demikian, dasar filosofis pemikiran Nussbaum
dapat dipahami sebagai sintesis kreatif antara filsafat klasik, kritik terhadap
tradisi modern, serta komitmen humanistik universal. Ia menggabungkan analisis
konseptual yang ketat dengan orientasi praktis terhadap isu-isu keadilan dan
martabat manusia. Hal ini menjadikannya salah satu filsuf kontemporer yang
mampu menjembatani teori filosofis dengan kebijakan publik, dan sekaligus
menawarkan kerangka etis yang relevan untuk masyarakat global.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 14–20.
[2]
² Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
1–7.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability,
Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2006), 18–25.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Women and Human
Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 72–80.
4.
Teori Kapabilitas
(Capabilities Approach)
Teori Kapabilitas (Capabilities Approach)
merupakan kontribusi paling menonjol Martha C. Nussbaum dalam filsafat moral,
politik, dan pembangunan manusia. Teori ini awalnya dikembangkan dalam dialog
dengan ekonom Amartya Sen, yang menekankan pentingnya menilai kesejahteraan
manusia bukan berdasarkan pendapatan atau utilitas semata, melainkan pada
kemampuan nyata yang dimiliki seseorang untuk menjalani kehidupan yang ia nilai
berharga.¹ Nussbaum mengembangkan gagasan Sen dengan memberikan fondasi
filosofis yang lebih sistematis, normatif, dan universal, sehingga teori ini
dapat digunakan sebagai kerangka keadilan sosial dan dasar kebijakan publik.
Inti dari pendekatan ini adalah bahwa keadilan
sejati hanya dapat tercapai apabila setiap individu memiliki kesempatan
substantif untuk mengembangkan kapabilitas dasarnya. Nussbaum menolak
pandangan bahwa distribusi sumber daya atau kebebasan formal sudah cukup untuk
menjamin keadilan, sebab faktor sosial, budaya, dan biologis dapat membatasi
kemampuan aktual seseorang untuk menggunakan sumber daya tersebut.² Misalnya,
seorang perempuan yang hidup dalam budaya patriarkal mungkin memiliki akses
formal terhadap pendidikan, tetapi tidak memiliki kebebasan nyata untuk
menuntut ilmu karena adanya hambatan sosial. Dalam konteks ini, teori
kapabilitas menekankan keadilan substantif yang memperhatikan kondisi konkret
kehidupan manusia.
Nussbaum merumuskan sepuluh kapabilitas sentral
yang menurutnya bersifat universal dan menjadi syarat minimum bagi kehidupan
yang bermartabat: (1) kehidupan (life), (2) kesehatan tubuh (bodily
health), (3) integritas tubuh (bodily integrity), (4) indra,
imajinasi, dan pemikiran (senses, imagination, and thought), (5) emosi (emotions),
(6) alasan praktis (practical reason), (7) afiliasi (affiliation),
(8) relasi dengan spesies lain (other species), (9) permainan (play),
dan (10) kontrol atas lingkungan (control over one’s environment).³
Sepuluh kapabilitas ini dipandang sebagai standar normatif untuk menilai apakah
sebuah masyarakat telah memberikan kesempatan yang adil bagi semua anggotanya.
Perbedaan utama antara Nussbaum dan Sen terletak
pada universalisasi daftar kapabilitas tersebut. Sen menolak membuat
daftar final, dengan alasan bahwa kapabilitas yang relevan harus disesuaikan
secara demokratis oleh masyarakat. Sebaliknya, Nussbaum menegaskan bahwa
sepuluh kapabilitasnya bersifat universal dan transkultural, karena berakar
pada konsep martabat manusia yang tidak dapat ditawar.⁴ Dengan demikian,
teorinya berupaya menetapkan standar normatif global bagi keadilan sosial dan
hak asasi manusia.
Implikasi praktis teori ini sangat luas. Dalam
bidang pembangunan internasional, pendekatan kapabilitas telah digunakan oleh United
Nations Development Programme (UNDP) untuk merumuskan Human Development
Index (HDI) yang mengukur pembangunan berdasarkan indikator kesehatan,
pendidikan, dan standar hidup layak.⁵ Dalam bidang hukum, teori ini menjadi
dasar argumentasi untuk memperjuangkan hak-hak kelompok rentan seperti
perempuan, penyandang disabilitas, dan minoritas. Selain itu, teori ini juga
relevan dalam etika lingkungan, dengan menekankan pentingnya hubungan manusia
dengan spesies lain serta tanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan.
Dengan demikian, teori kapabilitas Nussbaum tidak
hanya memberikan kontribusi konseptual dalam filsafat moral dan politik, tetapi
juga menyediakan kerangka normatif yang dapat dipraktikkan secara nyata dalam
kebijakan publik. Ia menegaskan bahwa ukuran kesejahteraan sejati adalah sejauh
mana setiap manusia mampu menjalani kehidupan yang bermartabat, bukan sekadar
angka pertumbuhan ekonomi atau kepuasan subjektif.
Footnotes
[1]
¹ Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 74–80.
[2]
² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
18–25.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Women and Human
Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 78–80.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 69–74.
[5]
⁵ United Nations Development Programme (UNDP), Human
Development Report 1990 (New York: Oxford University Press, 1990), 1–15.
5.
Pemikiran tentang
Emosi dan Etika
Salah satu aspek paling inovatif dalam filsafat
Martha C. Nussbaum adalah penekanan pada peran emosi dalam kehidupan moral
dan politik. Berbeda dengan tradisi filsafat modern yang cenderung
memandang emosi sebagai gangguan irasional terhadap penilaian moral, Nussbaum
justru melihat emosi sebagai bentuk penilaian kognitif yang sarat makna.
Menurutnya, emosi tidak sekadar luapan perasaan, melainkan mencerminkan cara
manusia menilai dunia, orang lain, dan dirinya sendiri.¹ Dengan demikian, emosi
memiliki peran penting dalam membentuk penilaian etis serta komitmen terhadap
keadilan.
Dalam karya monumentalnya, Upheavals of Thought:
The Intelligence of Emotions (2001), Nussbaum mengembangkan argumentasi
bahwa emosi harus dipahami sebagai mode of evaluative judgment—yakni
cara manusia merespons sesuatu yang dianggap bernilai dalam hidupnya.² Sebagai
contoh, rasa belas kasih (compassion) lahir dari pengakuan bahwa
penderitaan orang lain adalah hal yang buruk dan penting secara moral.
Pandangan ini menolak dikotomi tajam antara rasionalitas dan emosi, karena
keduanya justru saling melengkapi dalam membentuk perilaku etis yang konsisten.
Nussbaum juga menaruh perhatian khusus pada emosi marah
(anger) dalam politik dan kehidupan publik. Dalam bukunya Anger
and Forgiveness: Resentment, Generosity, Justice (2016), ia mengkritik
kecenderungan politik modern yang sering memanfaatkan kemarahan sebagai instrumen
balas dendam.³ Menurut Nussbaum, kemarahan dapat dipahami sebagai emosi yang
berangkat dari perasaan bahwa seseorang diperlakukan tidak adil. Namun,
alih-alih membenarkan balas dendam, ia menekankan transformasi marah ke arah
sikap yang lebih konstruktif, seperti mencari keadilan melalui hukum dan
memperkuat solidaritas sosial. Pandangan ini mencerminkan komitmennya terhadap
demokrasi deliberatif yang mengedepankan rasionalitas, belas kasih, dan kerja
sama.
Selain itu, Nussbaum menekankan peran emosi dalam pendidikan
moral. Ia berargumen bahwa demokrasi yang sehat tidak dapat berdiri hanya
di atas prinsip formal atau hukum, tetapi juga membutuhkan pembentukan karakter
warganya melalui pendidikan yang menumbuhkan empati, imajinasi moral, dan
solidaritas.⁴ Di sini, emosi dilihat sebagai fondasi untuk membangun
keterikatan sosial yang kuat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap
kelompok rentan.
Pemikiran Nussbaum tentang emosi dan etika juga
memiliki relevansi luas dalam isu-isu kontemporer. Dalam konteks feminisme, ia
menyoroti bagaimana rasa malu (shame) dan jijik (disgust) sering
digunakan sebagai alat untuk menindas perempuan atau minoritas seksual.⁵ Ia
mengajak pembaca untuk mengkritisi konstruksi sosial atas emosi-emosi tersebut
dan membebaskan individu dari penilaian moral yang diskriminatif. Dengan
demikian, emosi tidak hanya penting dalam ranah personal, tetapi juga dalam
membentuk struktur sosial dan institusi yang lebih inklusif.
Secara keseluruhan, pemikiran Nussbaum menempatkan
emosi sebagai bagian integral dari kehidupan etis. Ia menolak reduksi emosi
menjadi sekadar dorongan psikologis, dan justru menekankan bahwa emosi adalah
sarana kognitif yang menghubungkan individu dengan nilai-nilai fundamental
kemanusiaan. Perspektif ini memperluas horizon filsafat moral dengan
menggabungkan analisis psikologis, etika normatif, dan teori politik dalam satu
kerangka yang menyeluruh.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, Love’s Knowledge: Essays
on Philosophy and Literature (New York: Oxford University Press, 1990),
41–45.
[2]
² Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
19–25.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Anger and Forgiveness:
Resentment, Generosity, Justice (New York: Oxford University Press, 2016),
5–10.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why
Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
2–6.
[5]
⁵ Martha C. Nussbaum, Hiding from Humanity:
Disgust, Shame, and the Law (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2004), 14–20.
6.
Nussbaum dan
Keadilan Sosial
Pemikiran Martha C. Nussbaum mengenai keadilan
sosial menempati posisi sentral dalam karya-karyanya dan menunjukkan orientasi
praktis dari filsafatnya. Berbeda dengan teori keadilan klasik yang
menitikberatkan pada distribusi sumber daya atau aturan kontraktual, Nussbaum
menegaskan bahwa ukuran keadilan sejati adalah sejauh mana setiap individu
memiliki kesempatan nyata untuk menjalani kehidupan yang bermartabat.¹
Perspektif ini tampak jelas dalam Teori Kapabilitas, yang menekankan
bahwa hakikat keadilan bukan hanya terletak pada pemberian hak formal, tetapi
pada akses substantif yang memungkinkan individu menggunakan hak tersebut.
Salah satu kontribusi penting Nussbaum dalam
diskursus keadilan sosial adalah kritiknya terhadap pendekatan utilitarianisme
dan liberalisme klasik. Ia menilai utilitarianisme bermasalah karena
mengutamakan agregasi kebahagiaan mayoritas, sehingga dapat mengabaikan penderitaan
kelompok minoritas.² Sementara itu, liberalisme klasik dianggap terlalu fokus
pada kebebasan negatif (bebas dari intervensi), tanpa memastikan bahwa individu
benar-benar memiliki kapabilitas untuk menjalani kehidupan yang layak. Dalam
hal ini, Nussbaum mendorong pergeseran dari kebebasan formal menuju keadilan
substantif yang memberi ruang bagi setiap manusia untuk berkembang sesuai
potensinya.
Nussbaum juga menaruh perhatian besar pada kelompok
rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan minoritas
global. Dalam Women and Human Development (2000), ia menunjukkan
bagaimana struktur sosial, budaya, dan hukum sering kali membatasi kehidupan
perempuan, meskipun secara formal mereka memiliki hak yang sama.³ Dengan
mengintegrasikan analisis feminis dalam filsafat politik, Nussbaum menegaskan
bahwa keadilan sosial tidak dapat dicapai tanpa memastikan kapabilitas dasar
perempuan untuk berpartisipasi setara dalam masyarakat.
Keadilan sosial bagi Nussbaum tidak hanya terbatas
pada tingkat domestik, tetapi juga mencakup konteks global. Dalam Frontiers
of Justice (2006), ia memperluas cakrawala teori keadilan Rawls yang
bersifat nasional menjadi lebih kosmopolitan.⁴ Nussbaum menekankan bahwa
prinsip keadilan harus berlaku lintas batas negara, sehingga negara-negara kaya
memiliki tanggung jawab moral terhadap kemiskinan global, krisis pengungsi, dan
kesenjangan antarbangsa. Pendekatan kosmopolitan ini menegaskan bahwa martabat
manusia bersifat universal dan tidak dapat dibatasi oleh kewarganegaraan.
Selain itu, ia juga menyoroti keadilan bagi penyandang
disabilitas, yang sering kali terpinggirkan dalam teori keadilan arus
utama. Nussbaum mengkritik John Rawls karena kurang memberi ruang bagi isu
disabilitas dalam kerangka justice as fairness. Menurutnya, keadilan
sosial harus mencakup pemberian dukungan dan fasilitas yang memungkinkan
penyandang disabilitas hidup dengan martabat setara dengan warga lainnya.⁵ Hal
ini menunjukkan komitmen Nussbaum pada inklusivitas dan pengakuan atas perbedaan
dalam masyarakat plural.
Dengan demikian, pemikiran Nussbaum tentang
keadilan sosial dapat dipahami sebagai sebuah kerangka normatif yang humanistik,
inklusif, dan kosmopolitan. Ia menolak reduksi keadilan pada angka-angka
ekonomi atau kebebasan formal, dan justru menekankan pentingnya kapabilitas
nyata yang dimiliki setiap manusia. Pemikiran ini tidak hanya memberi arah baru
dalam filsafat politik, tetapi juga memiliki implikasi langsung bagi hukum,
kebijakan publik, dan agenda pembangunan internasional.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
18–22.
[2]
² Amartya Sen and Martha C. Nussbaum, eds., The
Quality of Life (Oxford: Clarendon Press, 1993), 32–36.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Women and Human
Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 41–50.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 20–27.
[5]
⁵ Nussbaum, Frontiers of Justice, 96–105.
7.
Pemikiran Nussbaum
tentang Hukum dan Demokrasi
Pemikiran Martha C. Nussbaum tentang hukum dan
demokrasi menekankan pentingnya melihat kedua ranah tersebut sebagai sarana
untuk menjamin martabat manusia, bukan sekadar instrumen formal dalam mengatur
kehidupan publik. Menurutnya, hukum yang adil harus berakar pada
prinsip-prinsip kapabilitas dasar yang memungkinkan setiap individu
hidup secara bermartabat.¹ Dengan demikian, hukum bukan hanya mekanisme
legal-formal, melainkan juga perangkat normatif yang berfungsi memperluas akses
nyata terhadap keadilan sosial.
Dalam konteks demokrasi, Nussbaum menolak pemahaman
minimalis yang hanya menekankan prosedur elektoral. Ia berargumen bahwa
demokrasi yang sehat membutuhkan demokrasi deliberatif, di mana warga
negara berpartisipasi aktif dalam diskusi publik dengan saling menghormati dan
mempertimbangkan kepentingan bersama.² Demokrasi bukan hanya soal suara
mayoritas, tetapi juga tentang pengakuan martabat minoritas dan pemberdayaan
kelompok rentan. Pandangan ini memperlihatkan kesinambungan antara filsafat
moral Nussbaum dengan komitmennya pada keadilan politik yang inklusif.
Salah satu kontribusi penting Nussbaum dalam
pemikiran hukum adalah kajiannya tentang emosi dalam hukum. Dalam Hiding
from Humanity: Disgust, Shame, and the Law (2004), ia mengkritik
kecenderungan hukum modern yang masih dipengaruhi oleh emosi negatif seperti
rasa jijik (disgust) dan malu (shame).³ Ia menilai bahwa kedua
emosi ini sering digunakan untuk menjustifikasi diskriminasi, misalnya terhadap
perempuan, minoritas seksual, atau kelompok terpinggirkan lainnya. Oleh karena
itu, ia menyerukan agar hukum didasarkan pada prinsip-prinsip rasional, empati,
dan kapabilitas manusia, bukan pada prasangka emosional yang menindas.
Dalam Political Emotions: Why Love Matters for
Justice (2013), Nussbaum memperluas diskusinya dengan menunjukkan bahwa
emosi positif seperti cinta (love), belas kasih (compassion), dan
solidaritas diperlukan untuk menopang demokrasi.⁴ Tanpa adanya dasar emosional
yang kuat, institusi demokratis akan mudah rapuh dan gagal menumbuhkan kohesi
sosial. Pandangan ini menantang asumsi liberal tradisional yang ingin memisahkan
hukum dan politik dari ranah emosional. Bagi Nussbaum, hukum dan demokrasi
justru memerlukan pembentukan emosi publik yang sehat agar keadilan dapat
ditegakkan secara berkelanjutan.
Selain itu, Nussbaum juga kritis terhadap neoliberalisme
yang menekankan kebebasan pasar tanpa memperhatikan keadilan substantif. Ia
menilai bahwa hukum dan kebijakan publik tidak boleh tunduk sepenuhnya pada
logika pasar, sebab tujuan utama demokrasi adalah melindungi kapabilitas dasar
warga negara, bukan sekadar memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.⁵ Oleh karena
itu, ia menekankan bahwa demokrasi harus selalu berorientasi pada prinsip
martabat manusia, dengan hukum sebagai instrumen yang memastikan perlindungan
terhadap kelompok paling rentan.
Secara keseluruhan, pemikiran Nussbaum tentang
hukum dan demokrasi menghadirkan perspektif yang interdisipliner dan
humanistik. Ia memadukan teori kapabilitas, filsafat moral, dan teori
politik untuk membangun kerangka normatif yang menekankan bahwa hukum dan
demokrasi hanya sah jika keduanya benar-benar memajukan kebebasan substantif,
solidaritas, dan keadilan sosial.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
25–30.
[2]
² Amy Gutmann and Dennis Thompson, Why
Deliberative Democracy? (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004),
18–22.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Hiding from Humanity:
Disgust, Shame, and the Law (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2004), 85–90.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why
Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
6–12.
[5]
⁵ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 302–310.
8.
Pengaruh, Kritik,
dan Perdebatan
Pemikiran Martha C. Nussbaum memiliki pengaruh luas
dalam filsafat moral, politik, hukum, dan kebijakan internasional. Melalui Teori
Kapabilitas, ia berhasil membangun kerangka normatif yang tidak hanya
berpengaruh dalam ranah akademik, tetapi juga dipraktikkan dalam pembangunan
global. Karyanya bersama Amartya Sen, khususnya melalui The Quality of Life
(1993), berkontribusi langsung pada pengembangan Human Development Index
(HDI) yang digunakan oleh United Nations Development Programme (UNDP)
sebagai ukuran kesejahteraan global.¹ Dengan demikian, pengaruh Nussbaum tidak
terbatas pada diskursus filsafat, tetapi juga nyata dalam kebijakan internasional
yang berdampak pada kehidupan jutaan orang.
Dalam ranah akademis, kontribusi Nussbaum sangat
signifikan terhadap teori feminis, filsafat hukum, dan teori politik
kosmopolitan. Melalui Women and Human Development (2000), ia memperluas
cakupan filsafat politik agar lebih sensitif terhadap pengalaman perempuan,
serta mengintegrasikan analisis gender ke dalam teori keadilan.² Di sisi lain, Frontiers
of Justice (2006) menunjukkan pengaruh pemikirannya dalam memperluas
horizon teori Rawlsian ke isu-isu global, disabilitas, dan hubungan manusia
dengan spesies lain.³ Hal ini menjadikannya salah satu tokoh yang menjembatani
filsafat normatif dengan gerakan sosial progresif.
Meski demikian, pemikiran Nussbaum tidak lepas dari
kritik. Salah satu kritik utama datang dari perbedaan dengan Amartya Sen
mengenai status daftar kapabilitas. Sen menolak membuat daftar universal
yang tetap, dengan alasan bahwa penentuan kapabilitas harus diserahkan pada
proses demokratis di tiap masyarakat. Sebaliknya, Nussbaum bersikeras bahwa
sepuluh kapabilitas sentral yang ia tawarkan bersifat universal dan
transkultural, karena berakar pada martabat manusia yang tidak dapat ditawar.⁴
Perbedaan ini memicu perdebatan luas mengenai apakah teori kapabilitas
seharusnya bersifat normatif universal atau fleksibel kontekstual.
Selain itu, beberapa kalangan komunitarian dan
postmodern mengkritik Nussbaum karena dianggap terlalu mengandalkan
rasionalitas liberal dan cenderung mengabaikan keragaman budaya. Menurut
mereka, daftar kapabilitas universal berpotensi mencerminkan bias Barat dan
dapat dipaksakan pada masyarakat lain dengan nilai-nilai yang berbeda.⁵ Kritik
ini sering muncul dalam diskusi tentang penerapan teori kapabilitas dalam
konteks non-Barat, khususnya terkait dengan isu gender, agama, dan tradisi
lokal.
Kritik lainnya datang dari perspektif utilitarian
dan liberal klasik yang menilai pendekatan Nussbaum terlalu normatif dan
sulit diimplementasikan dalam kebijakan publik yang kompleks. Mereka
berpendapat bahwa penekanan pada kapabilitas substantif dapat menimbulkan
kesulitan praktis, misalnya dalam mengukur tingkat pencapaian setiap
kapabilitas atau dalam menentukan prioritas alokasi sumber daya yang terbatas.⁶
Walaupun demikian, perdebatan tersebut justru
menunjukkan dinamika intelektual yang memperkaya penerimaan pemikiran
Nussbaum. Pengaruhnya melintasi batas disiplin, dari filsafat hingga ekonomi
pembangunan, dari teori feminis hingga hukum internasional. Bahkan kritik
terhadapnya mendorong diskusi lebih lanjut tentang cara terbaik menyeimbangkan
norma universal dengan konteks kultural. Dengan demikian, pemikiran Nussbaum
bukan hanya menyumbang gagasan substantif, tetapi juga membuka ruang bagi
perdebatan kritis yang memperkuat relevansinya dalam wacana keadilan global
kontemporer.
Footnotes
[1]
¹ Amartya Sen and Martha C. Nussbaum, eds., The
Quality of Life (Oxford: Clarendon Press, 1993), 3–5.
[2]
² Martha C. Nussbaum, Women and Human
Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 45–50.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 19–25.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
33–39.
[5]
⁵ Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 2002), 112–118.
[6]
⁶ Ingrid Robeyns, “The Capability Approach: A
Theoretical Survey,” Journal of Human Development 6, no. 1 (2005):
93–94.
9.
Relevansi Pemikiran
Nussbaum dalam Konteks Kontemporer
Pemikiran Martha C. Nussbaum memiliki relevansi
yang sangat kuat dalam menghadapi tantangan kontemporer, baik di bidang
politik, sosial, hukum, maupun pembangunan global. Teori Kapabilitas yang ia
kembangkan menawarkan kerangka evaluatif yang lebih manusiawi dibandingkan
pendekatan ekonomi konvensional, karena menilai kesejahteraan tidak semata-mata
berdasarkan indikator makroekonomi, melainkan pada kemampuan substantif
setiap individu untuk menjalani kehidupan yang bermakna.¹ Dalam konteks dunia
yang ditandai oleh ketimpangan global, diskriminasi gender, krisis pengungsi,
hingga perubahan iklim, teori ini menyediakan instrumen konseptual yang mampu
menghubungkan ideal moral dengan kebijakan publik yang konkret.
Dalam isu pembangunan internasional,
pendekatan Nussbaum berkontribusi terhadap pengembangan indeks kesejahteraan
multidimensional yang digunakan oleh UNDP. Melalui Human Development Reports,
gagasan kapabilitas telah diterapkan untuk mengukur kemajuan pembangunan secara
lebih holistik, mencakup kesehatan, pendidikan, dan partisipasi sosial.² Dengan
demikian, relevansi teorinya tidak hanya akademis, tetapi juga nyata dalam
memengaruhi kebijakan global.
Dalam ranah gender dan feminisme, pemikiran
Nussbaum sangat penting untuk menantang praktik diskriminatif yang masih
bertahan dalam banyak masyarakat. Women and Human Development (2000)
menegaskan bahwa pembangunan yang berkeadilan tidak mungkin tercapai tanpa
memperhatikan kapabilitas perempuan.³ Teori ini menjadi landasan filosofis bagi
perjuangan kesetaraan gender, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan
reproduksi, dan partisipasi politik. Relevansinya semakin nyata ketika
ketidakadilan gender masih menjadi masalah sistemik di berbagai belahan dunia.
Pemikiran Nussbaum juga berkontribusi dalam perdebatan
mengenai disabilitas. Ia menolak pandangan yang memarginalkan penyandang
disabilitas dalam teori keadilan arus utama, seperti dalam kerangka Rawlsian.
Dalam Frontiers of Justice (2006), ia menegaskan bahwa keadilan sejati
hanya dapat dicapai jika kapabilitas penyandang disabilitas dihormati melalui
dukungan struktural dan kebijakan afirmatif.⁴ Dalam konteks kontemporer, hal
ini relevan dengan upaya global memperjuangkan inklusivitas, aksesibilitas, dan
penghormatan terhadap hak penyandang disabilitas.
Selain itu, Nussbaum memberi kontribusi besar dalam
etika politik emosi. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh
populisme, kebencian, dan politik identitas, karyanya Political Emotions:
Why Love Matters for Justice (2013) mengingatkan pentingnya membangun emosi
publik yang positif seperti empati, cinta, dan solidaritas.⁵ Menurutnya,
demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan institusi formal, tetapi juga
fondasi emosional yang menopang kohesi sosial. Relevansi gagasan ini tampak
dalam tantangan demokrasi kontemporer yang dihadapkan pada krisis kepercayaan,
radikalisasi politik, dan melemahnya solidaritas sosial.
Lebih jauh, pemikiran Nussbaum juga menyentuh isu
etika lingkungan. Dengan memasukkan “relasi dengan spesies lain” ke dalam
daftar sepuluh kapabilitas dasarnya, ia menekankan bahwa keadilan tidak hanya
menyangkut manusia, tetapi juga hubungan dengan alam dan makhluk hidup lain.⁶
Hal ini relevan dalam era perubahan iklim dan krisis ekologi global, di mana
pendekatan etis yang berpusat pada manusia perlu diperluas menjadi pendekatan
yang lebih ekosentris.
Secara keseluruhan, relevansi pemikiran Nussbaum
dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menyatukan filsafat
normatif dengan realitas praktis. Ia menghubungkan gagasan abstrak tentang
martabat manusia dengan kerangka kebijakan yang dapat diterapkan secara global.
Di tengah tantangan besar dunia modern—ketidaksetaraan, diskriminasi,
populisme, dan krisis lingkungan—pemikirannya menawarkan visi humanistik dan
inklusif untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
18–22.
[2]
² United Nations Development Programme (UNDP), Human
Development Report 2010: The Real Wealth of Nations (New York: Palgrave
Macmillan, 2010), 15–18.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Women and Human
Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), 78–84.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 98–103.
[5]
⁵ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why
Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
6–12.
[6]
⁶ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 325–332.
10.
Kesimpulan
Pemikiran Martha C. Nussbaum memberikan kontribusi
yang mendalam terhadap filsafat moral, politik, hukum, dan pembangunan manusia.
Berakar pada tradisi Aristotelian, ia merumuskan pendekatan normatif yang
menekankan pentingnya martabat dan kapabilitas manusia sebagai fondasi
keadilan sosial.¹ Melalui Teori Kapabilitas, Nussbaum menunjukkan bahwa
kesejahteraan tidak dapat diukur hanya dengan indikator ekonomi atau kebebasan
formal, tetapi harus dinilai berdasarkan sejauh mana setiap individu memiliki
kesempatan nyata untuk hidup bermakna.² Dengan menekankan sepuluh kapabilitas
sentral, ia menyediakan kerangka universal yang dapat digunakan untuk menilai
keadilan lintas budaya dan konteks global.
Selain itu, Nussbaum merevolusi cara pandang
terhadap emosi dalam etika dan politik. Ia menolak anggapan tradisional
bahwa emosi adalah gangguan irasional, dan justru menegaskan bahwa emosi
merupakan penilaian kognitif yang berperan penting dalam memperkuat solidaritas
sosial, membangun empati, serta menopang demokrasi deliberatif.³ Dengan
demikian, filsafatnya menampilkan sintesis unik antara rasionalitas, humanisme,
dan pengakuan atas dimensi afektif manusia.
Relevansi pemikiran Nussbaum semakin nyata dalam
menghadapi persoalan kontemporer: ketidaksetaraan global, diskriminasi gender,
marginalisasi penyandang disabilitas, rapuhnya demokrasi, serta krisis
lingkungan. Ia menawarkan pendekatan humanistik dan kosmopolitan yang
menekankan tanggung jawab moral lintas batas negara dan budaya.⁴ Hal ini
memperlihatkan bahwa filsafat tidak hanya berfungsi sebagai refleksi teoretis,
melainkan juga sebagai panduan praktis untuk merumuskan kebijakan publik dan
memajukan keadilan global.
Meskipun pemikirannya menuai kritik, baik dari
kalangan utilitarian, komunitarian, maupun postmodern, perdebatan yang muncul
justru memperkaya penerimaan gagasannya. Kritik-kritik tersebut menegaskan daya
tarik intelektual Nussbaum sekaligus membuka ruang untuk pengembangan lebih
lanjut, terutama dalam mencari keseimbangan antara standar normatif universal
dan sensitivitas terhadap konteks kultural.⁵ Dengan demikian, warisan
intelektual Nussbaum dapat dipandang sebagai kontribusi monumental dalam
filsafat kontemporer, yang tidak hanya menggabungkan teori dengan praksis,
tetapi juga menegaskan kembali pentingnya martabat manusia sebagai pusat
keadilan dan kehidupan bermasyarakat.
Footnotes
[1]
¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 14–20.
[2]
² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
25–30.
[3]
³ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why
Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
2–6.
[4]
⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 310–320.
[5]
⁵ Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 2002), 112–118.
Daftar Pustaka
Benhabib, S. (2002). The
claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton
University Press.
Gutmann, A., &
Thompson, D. (2004). Why deliberative democracy? Princeton University
Press.
Nussbaum, M. C. (1986). The
fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy.
Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (1990). Love’s
knowledge: Essays on philosophy and literature. Oxford University Press.
Nussbaum, M. C. (2000). Women
and human development: The capabilities approach. Cambridge University
Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals
of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2004). Hiding
from humanity: Disgust, shame, and the law. Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2013). Political
emotions: Why love matters for justice. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2016). Anger
and forgiveness: Resentment, generosity, justice. Oxford University Press.
Nussbaum, M. C., & Sen,
A. (Eds.). (1993). The quality of life. Clarendon Press.
Robeyns, I. (2005). The capability
approach: A theoretical survey. Journal of Human Development,
6(1), 93–117.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. Alfred A. Knopf.
United Nations Development
Programme. (1990). Human development report 1990. Oxford University
Press.
United Nations Development
Programme. (2010). Human development report 2010: The real wealth of
nations. Palgrave Macmillan.
University of Chicago Law
School. (2025). Martha C. Nussbaum [Faculty bio]. Retrieved September 25, 2025,
from law.uchicago.edu

Tidak ada komentar:
Posting Komentar