Selasa, 30 September 2025

Pemikiran Martha Craven Nussbaum: Kapabilitas, Etika, dan Keadilan dalam Filsafat Kontemporer

Pemikiran Martha Craven Nussbaum

Kapabilitas, Etika, dan Keadilan dalam Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Tokoh-Tokoh Filsafat, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas pemikiran Martha Craven Nussbaum, seorang filsuf kontemporer Amerika sekaligus Profesor Hukum dan Etika di Universitas Chicago yang dikenal luas melalui kontribusinya dalam filsafat moral, politik, hukum, dan pembangunan manusia. Dengan berangkat dari fondasi Aristotelian, Nussbaum merumuskan Teori Kapabilitas (Capabilities Approach) sebagai kerangka normatif yang menekankan pentingnya martabat dan kesempatan substantif bagi setiap individu untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Selain teori kapabilitas, ia juga mengembangkan pemikiran mendalam mengenai peran emosi dalam etika dan politik, menolak dikotomi antara rasionalitas dan afeksi, serta menekankan pentingnya emosi positif seperti belas kasih, cinta, dan solidaritas dalam menopang demokrasi deliberatif. Pemikirannya tentang keadilan sosial bersifat inklusif, dengan perhatian besar terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan minoritas global. Artikel ini juga menyoroti kontribusinya dalam filsafat hukum, di mana Nussbaum mengkritisi penggunaan rasa jijik dan malu sebagai dasar legal, serta menekankan hukum berbasis kapabilitas dan penghormatan martabat manusia. Di samping pengaruhnya yang luas, baik dalam kebijakan pembangunan global maupun teori feminis, pemikiran Nussbaum tidak lepas dari kritik, khususnya terkait universalisasi daftar kapabilitas dan kemungkinan bias budaya. Meski demikian, relevansinya tetap kuat dalam menghadapi persoalan kontemporer seperti ketidaksetaraan global, diskriminasi gender, rapuhnya demokrasi, dan krisis ekologi. Artikel ini menyimpulkan bahwa pemikiran Nussbaum bukan hanya berkontribusi pada filsafat teoretis, tetapi juga memberikan landasan praktis bagi pembangunan masyarakat yang adil, inklusif, dan humanistik.

Kata Kunci: Martha C. Nussbaum, Teori Kapabilitas, Etika, Emosi, Keadilan Sosial, Demokrasi, Filsafat Hukum, Hak Asasi Manusia.


PEMBAHASAN

Telaah Kritis atas Pemikiran Martha Craven Nussbaum


1.           Pendahuluan

Martha Craven Nussbaum (lahir 1947) adalah salah satu filsuf kontemporer paling berpengaruh dalam bidang filsafat moral, politik, hukum, dan etika publik. Ia menjabat sebagai Ernst Freund Distinguished Service Professor of Law and Ethics di Universitas Chicago, suatu posisi yang mencerminkan reputasinya sebagai pemikir lintas disiplin yang menjembatani filsafat dengan hukum, politik, dan kebijakan publik. Karya-karyanya menekankan pentingnya melihat manusia bukan hanya sebagai individu rasional, melainkan sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan emosional, keterikatan sosial, dan kapabilitas yang harus dikembangkan agar dapat hidup secara bermartabat. Dalam konteks akademik maupun praktis, pemikiran Nussbaum menjadi relevan karena menawarkan perspektif baru dalam menanggapi persoalan keadilan global, pembangunan, gender, disabilitas, hingga demokrasi.

Akar pemikiran Nussbaum dapat ditelusuri pada pengaruh filsafat Yunani klasik, khususnya Aristoteles, yang menekankan konsep eudaimonia atau kehidupan yang baik. Nussbaum menghidupkan kembali gagasan klasik ini dalam kerangka kontemporer, dengan merumuskannya dalam Teori Kapabilitas (Capabilities Approach) yang kemudian ia kembangkan bersama ekonom pemenang Nobel, Amartya Sen. Teori ini berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan dicapai seseorang (kapabilitas), alih-alih hanya menilai distribusi sumber daya atau tingkat kepuasan subjektif. Dalam perspektif ini, keadilan tidak hanya ditentukan oleh angka pertumbuhan ekonomi, tetapi oleh sejauh mana setiap individu memiliki kesempatan nyata untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna.¹

Selain kontribusinya dalam teori kapabilitas, Nussbaum juga menekankan peran emosi dalam etika dan politik. Ia menolak anggapan bahwa emosi bersifat irasional dan harus dipisahkan dari ruang publik. Sebaliknya, Nussbaum berargumen bahwa emosi seperti belas kasih (compassion) dan rasa marah (anger) dapat menjadi fondasi moral bagi pembentukan kebijakan yang lebih adil.² Pemikiran ini tidak hanya memperluas diskusi dalam filsafat moral, tetapi juga memberikan kerangka etis yang berguna bagi demokrasi deliberatif, pendidikan kewarganegaraan, dan perlindungan hak-hak minoritas.

Karya-karya Nussbaum seperti The Fragility of Goodness (1986), Women and Human Development (2000), Upheavals of Thought (2001), hingga Creating Capabilities (2011) menunjukkan konsistensinya dalam menggabungkan filsafat dengan isu-isu nyata yang dihadapi masyarakat global.³ Pandangan-pandangannya berupaya menyeimbangkan analisis teoretis yang ketat dengan relevansi praktis, sehingga membangun jembatan antara dunia akademik dan kebijakan publik. Melalui pendekatan yang humanis, rasional, serta kritis, pemikiran Nussbaum berhasil menantang dominasi paradigma ekonomi konvensional yang cenderung mengabaikan dimensi etis dan manusiawi dari pembangunan.

Dengan demikian, pendahuluan ini menegaskan bahwa pemikiran Martha C. Nussbaum memiliki signifikansi besar dalam memahami isu-isu etika, keadilan sosial, dan politik global kontemporer. Ia menawarkan perspektif yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan martabat manusia, yang tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga aplikatif dalam menghadapi tantangan dunia modern.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 17–20.

[2]                ² Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–5.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 22–30.


2.           Biografi Intelektual Martha C. Nussbaum

Martha Craven Nussbaum lahir pada 6 Mei 1947 di New York City. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga kelas menengah atas dengan akses luas pada pendidikan dan kebudayaan, sesuatu yang kelak berpengaruh dalam minatnya terhadap filsafat klasik dan kesenian. Sejak masa mudanya, Nussbaum telah menaruh perhatian besar pada literatur dan filsafat Yunani, sebuah minat yang kemudian ia perdalam dalam pendidikan formalnya. Ia menempuh studi sarjana di bidang theater and classics di New York University (BA, 1969), sebelum melanjutkan program pascasarjana di Harvard University, di mana ia meraih gelar MA (1971) dan PhD (1975) dalam bidang Filsafat.¹

Pada masa studi doktoralnya di Harvard, Nussbaum mendalami filsafat Yunani kuno, khususnya Aristoteles, tragedi Yunani, serta tradisi Stoisisme. Karya awalnya, The Fragility of Goodness (1986), merefleksikan kecenderungan intelektual ini dengan membahas bagaimana tragedi Yunani menyingkap kerentanan kehidupan manusia terhadap keberuntungan, keterbatasan, dan ketidakpastian.² Karya tersebut bukan hanya mengokohkan reputasinya sebagai filsuf moral dengan basis filologis yang kuat, tetapi juga memperlihatkan kepekaannya terhadap kompleksitas kondisi manusia yang kelak menjadi ciri khas pemikirannya.

Karier akademiknya mencakup pengajaran di beberapa institusi bergengsi, termasuk Harvard University dan Brown University. Di Brown, ia menjabat sebagai profesor filsafat dan mengembangkan pemikirannya lebih jauh mengenai etika Aristotelian serta teori moral dalam konteks kontemporer.³ Pada tahun 1995, Nussbaum bergabung dengan University of Chicago, di mana ia diangkat sebagai Ernst Freund Distinguished Service Professor of Law and Ethics. Posisi ini memperkuat reputasinya sebagai pemikir multidisipliner, karena ia tidak hanya mengajar di Departemen Filsafat, tetapi juga di Divinity School, Law School, dan Committee on Southern Asian Studies.⁴

Selain latar akademiknya, Nussbaum juga aktif dalam kerja-kerja yang berhubungan dengan kebijakan internasional. Ia pernah bekerja sama dengan World Institute for Development Economics Research (WIDER) dan berkontribusi dalam pengembangan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) yang disusun oleh Amartya Sen dan UNDP.⁵ Keterlibatannya dalam diskursus pembangunan global memperlihatkan komitmen intelektualnya untuk menjembatani teori filsafat dengan tantangan nyata yang dihadapi masyarakat internasional, khususnya dalam hal keadilan, gender, dan disabilitas.

Secara intelektual, Nussbaum dikenal sebagai pemikir yang produktif dan kritis. Ia tidak hanya menghidupkan kembali warisan Aristoteles dalam etika kontemporer, tetapi juga meradikalkan pembahasan tentang peran emosi dalam politik, hukum, dan keadilan sosial. Jejak intelektualnya menunjukkan sebuah perjalanan yang konsisten: dari penekunan filsafat klasik, menuju pengembangan teori moral modern, hingga keterlibatan aktif dalam advokasi pembangunan manusia yang lebih adil dan inklusif. Hal ini menempatkannya di garis depan filsafat kontemporer, sekaligus menjadikan biografi intelektualnya sebagai refleksi dari komitmen akademik dan praksis sosial yang saling berkaitan.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), xi–xv.

[2]                ² Nussbaum, The Fragility of Goodness, 1–10.

[3]                ³ Robert C. Bartlett and Susan Collins, Aristotle’s Nicomachean Ethics: A New Translation (Chicago: University of Chicago Press, 2011), introduction.

[4]                ⁴ University of Chicago Law School, “Martha C. Nussbaum,” Faculty Bio, diakses 25 September 2025, law.uchicago.edu.

[5]                ⁵ Martha C. Nussbaum and Amartya Sen, eds., The Quality of Life (Oxford: Clarendon Press, 1993), 3–5.


3.           Dasar Filosofis Pemikiran Nussbaum

Dasar filosofis pemikiran Martha C. Nussbaum berakar pada tradisi filsafat klasik, terutama Aristoteles, Stoisisme, serta pemikiran modern mengenai etika dan keadilan. Sejak karya awalnya, The Fragility of Goodness (1986), Nussbaum menekankan bahwa kehidupan manusia selalu rentan terhadap ketidakpastian dan keberuntungan (contingency). Dari Aristoteles, ia mengadopsi gagasan bahwa tujuan etika adalah mencapai eudaimonia—kehidupan yang baik—yang hanya dapat diraih jika manusia memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan fundamentalnya.¹ Dalam kerangka ini, etika bukan sekadar aturan moral, melainkan upaya sistematis untuk memahami bagaimana kondisi sosial, politik, dan budaya memengaruhi kemampuan seseorang untuk hidup bermartabat.

Selain Aristoteles, Nussbaum juga banyak dipengaruhi oleh tradisi Stoisisme, khususnya pandangan mengenai martabat manusia yang bersifat universal dan rasionalitas sebagai ciri khas manusia. Namun, ia tidak sepenuhnya menerima pandangan Stoik yang menekankan kemandirian mutlak terhadap emosi. Sebaliknya, Nussbaum mengkritik dan merevisi gagasan tersebut dengan menunjukkan bahwa emosi bukanlah kelemahan, melainkan bagian integral dari kapasitas manusia untuk menilai, mencintai, dan bertindak secara etis.² Kritik ini melahirkan pendekatannya yang khas dalam filsafat emosi, yang menolak dikotomi rasionalitas versus perasaan, dan justru melihat keterkaitannya dalam membangun kehidupan sosial dan politik yang adil.

Nussbaum juga terlibat dalam dialog kritis dengan tradisi liberalisme modern, khususnya melalui karyanya yang membandingkan dan mengembangkan teori keadilan John Rawls. Ia menghargai prinsip dasar Rawls tentang kesetaraan dan keadilan distributif, tetapi menganggap teorinya masih terlalu abstrak dan tidak cukup memperhatikan kondisi konkret manusia, terutama kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.³ Dari sinilah lahir Teori Kapabilitas yang menjadi ciri khas Nussbaum, dengan menekankan bahwa keadilan harus diukur dari apa yang dapat dilakukan dan dicapai oleh setiap individu, bukan hanya distribusi sumber daya atau kebebasan formal.

Selain itu, Nussbaum memanfaatkan tradisi humanisme renaisans dan pencerahan untuk mengembangkan pandangan bahwa martabat manusia bersifat universal dan harus dihormati tanpa diskriminasi. Ia menegaskan bahwa nilai-nilai ini memiliki relevansi global dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti ketidaksetaraan ekonomi, diskriminasi gender, hingga krisis kemanusiaan.⁴ Pendekatan filosofisnya bersifat rasional, kritis, dan metodologis, dengan tetap menjaga keterkaitan erat antara filsafat normatif dan realitas sosial.

Dengan demikian, dasar filosofis pemikiran Nussbaum dapat dipahami sebagai sintesis kreatif antara filsafat klasik, kritik terhadap tradisi modern, serta komitmen humanistik universal. Ia menggabungkan analisis konseptual yang ketat dengan orientasi praktis terhadap isu-isu keadilan dan martabat manusia. Hal ini menjadikannya salah satu filsuf kontemporer yang mampu menjembatani teori filosofis dengan kebijakan publik, dan sekaligus menawarkan kerangka etis yang relevan untuk masyarakat global.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 14–20.

[2]                ² Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 1–7.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 18–25.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 72–80.


4.           Teori Kapabilitas (Capabilities Approach)

Teori Kapabilitas (Capabilities Approach) merupakan kontribusi paling menonjol Martha C. Nussbaum dalam filsafat moral, politik, dan pembangunan manusia. Teori ini awalnya dikembangkan dalam dialog dengan ekonom Amartya Sen, yang menekankan pentingnya menilai kesejahteraan manusia bukan berdasarkan pendapatan atau utilitas semata, melainkan pada kemampuan nyata yang dimiliki seseorang untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga.¹ Nussbaum mengembangkan gagasan Sen dengan memberikan fondasi filosofis yang lebih sistematis, normatif, dan universal, sehingga teori ini dapat digunakan sebagai kerangka keadilan sosial dan dasar kebijakan publik.

Inti dari pendekatan ini adalah bahwa keadilan sejati hanya dapat tercapai apabila setiap individu memiliki kesempatan substantif untuk mengembangkan kapabilitas dasarnya. Nussbaum menolak pandangan bahwa distribusi sumber daya atau kebebasan formal sudah cukup untuk menjamin keadilan, sebab faktor sosial, budaya, dan biologis dapat membatasi kemampuan aktual seseorang untuk menggunakan sumber daya tersebut.² Misalnya, seorang perempuan yang hidup dalam budaya patriarkal mungkin memiliki akses formal terhadap pendidikan, tetapi tidak memiliki kebebasan nyata untuk menuntut ilmu karena adanya hambatan sosial. Dalam konteks ini, teori kapabilitas menekankan keadilan substantif yang memperhatikan kondisi konkret kehidupan manusia.

Nussbaum merumuskan sepuluh kapabilitas sentral yang menurutnya bersifat universal dan menjadi syarat minimum bagi kehidupan yang bermartabat: (1) kehidupan (life), (2) kesehatan tubuh (bodily health), (3) integritas tubuh (bodily integrity), (4) indra, imajinasi, dan pemikiran (senses, imagination, and thought), (5) emosi (emotions), (6) alasan praktis (practical reason), (7) afiliasi (affiliation), (8) relasi dengan spesies lain (other species), (9) permainan (play), dan (10) kontrol atas lingkungan (control over one’s environment).³ Sepuluh kapabilitas ini dipandang sebagai standar normatif untuk menilai apakah sebuah masyarakat telah memberikan kesempatan yang adil bagi semua anggotanya.

Perbedaan utama antara Nussbaum dan Sen terletak pada universalisasi daftar kapabilitas tersebut. Sen menolak membuat daftar final, dengan alasan bahwa kapabilitas yang relevan harus disesuaikan secara demokratis oleh masyarakat. Sebaliknya, Nussbaum menegaskan bahwa sepuluh kapabilitasnya bersifat universal dan transkultural, karena berakar pada konsep martabat manusia yang tidak dapat ditawar.⁴ Dengan demikian, teorinya berupaya menetapkan standar normatif global bagi keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Implikasi praktis teori ini sangat luas. Dalam bidang pembangunan internasional, pendekatan kapabilitas telah digunakan oleh United Nations Development Programme (UNDP) untuk merumuskan Human Development Index (HDI) yang mengukur pembangunan berdasarkan indikator kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak.⁵ Dalam bidang hukum, teori ini menjadi dasar argumentasi untuk memperjuangkan hak-hak kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan minoritas. Selain itu, teori ini juga relevan dalam etika lingkungan, dengan menekankan pentingnya hubungan manusia dengan spesies lain serta tanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan.

Dengan demikian, teori kapabilitas Nussbaum tidak hanya memberikan kontribusi konseptual dalam filsafat moral dan politik, tetapi juga menyediakan kerangka normatif yang dapat dipraktikkan secara nyata dalam kebijakan publik. Ia menegaskan bahwa ukuran kesejahteraan sejati adalah sejauh mana setiap manusia mampu menjalani kehidupan yang bermartabat, bukan sekadar angka pertumbuhan ekonomi atau kepuasan subjektif.


Footnotes

[1]                ¹ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 74–80.

[2]                ² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–25.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 78–80.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 69–74.

[5]                ⁵ United Nations Development Programme (UNDP), Human Development Report 1990 (New York: Oxford University Press, 1990), 1–15.


5.           Pemikiran tentang Emosi dan Etika

Salah satu aspek paling inovatif dalam filsafat Martha C. Nussbaum adalah penekanan pada peran emosi dalam kehidupan moral dan politik. Berbeda dengan tradisi filsafat modern yang cenderung memandang emosi sebagai gangguan irasional terhadap penilaian moral, Nussbaum justru melihat emosi sebagai bentuk penilaian kognitif yang sarat makna. Menurutnya, emosi tidak sekadar luapan perasaan, melainkan mencerminkan cara manusia menilai dunia, orang lain, dan dirinya sendiri.¹ Dengan demikian, emosi memiliki peran penting dalam membentuk penilaian etis serta komitmen terhadap keadilan.

Dalam karya monumentalnya, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (2001), Nussbaum mengembangkan argumentasi bahwa emosi harus dipahami sebagai mode of evaluative judgment—yakni cara manusia merespons sesuatu yang dianggap bernilai dalam hidupnya.² Sebagai contoh, rasa belas kasih (compassion) lahir dari pengakuan bahwa penderitaan orang lain adalah hal yang buruk dan penting secara moral. Pandangan ini menolak dikotomi tajam antara rasionalitas dan emosi, karena keduanya justru saling melengkapi dalam membentuk perilaku etis yang konsisten.

Nussbaum juga menaruh perhatian khusus pada emosi marah (anger) dalam politik dan kehidupan publik. Dalam bukunya Anger and Forgiveness: Resentment, Generosity, Justice (2016), ia mengkritik kecenderungan politik modern yang sering memanfaatkan kemarahan sebagai instrumen balas dendam.³ Menurut Nussbaum, kemarahan dapat dipahami sebagai emosi yang berangkat dari perasaan bahwa seseorang diperlakukan tidak adil. Namun, alih-alih membenarkan balas dendam, ia menekankan transformasi marah ke arah sikap yang lebih konstruktif, seperti mencari keadilan melalui hukum dan memperkuat solidaritas sosial. Pandangan ini mencerminkan komitmennya terhadap demokrasi deliberatif yang mengedepankan rasionalitas, belas kasih, dan kerja sama.

Selain itu, Nussbaum menekankan peran emosi dalam pendidikan moral. Ia berargumen bahwa demokrasi yang sehat tidak dapat berdiri hanya di atas prinsip formal atau hukum, tetapi juga membutuhkan pembentukan karakter warganya melalui pendidikan yang menumbuhkan empati, imajinasi moral, dan solidaritas.⁴ Di sini, emosi dilihat sebagai fondasi untuk membangun keterikatan sosial yang kuat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap kelompok rentan.

Pemikiran Nussbaum tentang emosi dan etika juga memiliki relevansi luas dalam isu-isu kontemporer. Dalam konteks feminisme, ia menyoroti bagaimana rasa malu (shame) dan jijik (disgust) sering digunakan sebagai alat untuk menindas perempuan atau minoritas seksual.⁵ Ia mengajak pembaca untuk mengkritisi konstruksi sosial atas emosi-emosi tersebut dan membebaskan individu dari penilaian moral yang diskriminatif. Dengan demikian, emosi tidak hanya penting dalam ranah personal, tetapi juga dalam membentuk struktur sosial dan institusi yang lebih inklusif.

Secara keseluruhan, pemikiran Nussbaum menempatkan emosi sebagai bagian integral dari kehidupan etis. Ia menolak reduksi emosi menjadi sekadar dorongan psikologis, dan justru menekankan bahwa emosi adalah sarana kognitif yang menghubungkan individu dengan nilai-nilai fundamental kemanusiaan. Perspektif ini memperluas horizon filsafat moral dengan menggabungkan analisis psikologis, etika normatif, dan teori politik dalam satu kerangka yang menyeluruh.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, Love’s Knowledge: Essays on Philosophy and Literature (New York: Oxford University Press, 1990), 41–45.

[2]                ² Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 19–25.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Anger and Forgiveness: Resentment, Generosity, Justice (New York: Oxford University Press, 2016), 5–10.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 2–6.

[5]                ⁵ Martha C. Nussbaum, Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004), 14–20.


6.           Nussbaum dan Keadilan Sosial

Pemikiran Martha C. Nussbaum mengenai keadilan sosial menempati posisi sentral dalam karya-karyanya dan menunjukkan orientasi praktis dari filsafatnya. Berbeda dengan teori keadilan klasik yang menitikberatkan pada distribusi sumber daya atau aturan kontraktual, Nussbaum menegaskan bahwa ukuran keadilan sejati adalah sejauh mana setiap individu memiliki kesempatan nyata untuk menjalani kehidupan yang bermartabat.¹ Perspektif ini tampak jelas dalam Teori Kapabilitas, yang menekankan bahwa hakikat keadilan bukan hanya terletak pada pemberian hak formal, tetapi pada akses substantif yang memungkinkan individu menggunakan hak tersebut.

Salah satu kontribusi penting Nussbaum dalam diskursus keadilan sosial adalah kritiknya terhadap pendekatan utilitarianisme dan liberalisme klasik. Ia menilai utilitarianisme bermasalah karena mengutamakan agregasi kebahagiaan mayoritas, sehingga dapat mengabaikan penderitaan kelompok minoritas.² Sementara itu, liberalisme klasik dianggap terlalu fokus pada kebebasan negatif (bebas dari intervensi), tanpa memastikan bahwa individu benar-benar memiliki kapabilitas untuk menjalani kehidupan yang layak. Dalam hal ini, Nussbaum mendorong pergeseran dari kebebasan formal menuju keadilan substantif yang memberi ruang bagi setiap manusia untuk berkembang sesuai potensinya.

Nussbaum juga menaruh perhatian besar pada kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan minoritas global. Dalam Women and Human Development (2000), ia menunjukkan bagaimana struktur sosial, budaya, dan hukum sering kali membatasi kehidupan perempuan, meskipun secara formal mereka memiliki hak yang sama.³ Dengan mengintegrasikan analisis feminis dalam filsafat politik, Nussbaum menegaskan bahwa keadilan sosial tidak dapat dicapai tanpa memastikan kapabilitas dasar perempuan untuk berpartisipasi setara dalam masyarakat.

Keadilan sosial bagi Nussbaum tidak hanya terbatas pada tingkat domestik, tetapi juga mencakup konteks global. Dalam Frontiers of Justice (2006), ia memperluas cakrawala teori keadilan Rawls yang bersifat nasional menjadi lebih kosmopolitan.⁴ Nussbaum menekankan bahwa prinsip keadilan harus berlaku lintas batas negara, sehingga negara-negara kaya memiliki tanggung jawab moral terhadap kemiskinan global, krisis pengungsi, dan kesenjangan antarbangsa. Pendekatan kosmopolitan ini menegaskan bahwa martabat manusia bersifat universal dan tidak dapat dibatasi oleh kewarganegaraan.

Selain itu, ia juga menyoroti keadilan bagi penyandang disabilitas, yang sering kali terpinggirkan dalam teori keadilan arus utama. Nussbaum mengkritik John Rawls karena kurang memberi ruang bagi isu disabilitas dalam kerangka justice as fairness. Menurutnya, keadilan sosial harus mencakup pemberian dukungan dan fasilitas yang memungkinkan penyandang disabilitas hidup dengan martabat setara dengan warga lainnya.⁵ Hal ini menunjukkan komitmen Nussbaum pada inklusivitas dan pengakuan atas perbedaan dalam masyarakat plural.

Dengan demikian, pemikiran Nussbaum tentang keadilan sosial dapat dipahami sebagai sebuah kerangka normatif yang humanistik, inklusif, dan kosmopolitan. Ia menolak reduksi keadilan pada angka-angka ekonomi atau kebebasan formal, dan justru menekankan pentingnya kapabilitas nyata yang dimiliki setiap manusia. Pemikiran ini tidak hanya memberi arah baru dalam filsafat politik, tetapi juga memiliki implikasi langsung bagi hukum, kebijakan publik, dan agenda pembangunan internasional.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–22.

[2]                ² Amartya Sen and Martha C. Nussbaum, eds., The Quality of Life (Oxford: Clarendon Press, 1993), 32–36.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 41–50.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 20–27.

[5]                ⁵ Nussbaum, Frontiers of Justice, 96–105.


7.           Pemikiran Nussbaum tentang Hukum dan Demokrasi

Pemikiran Martha C. Nussbaum tentang hukum dan demokrasi menekankan pentingnya melihat kedua ranah tersebut sebagai sarana untuk menjamin martabat manusia, bukan sekadar instrumen formal dalam mengatur kehidupan publik. Menurutnya, hukum yang adil harus berakar pada prinsip-prinsip kapabilitas dasar yang memungkinkan setiap individu hidup secara bermartabat.¹ Dengan demikian, hukum bukan hanya mekanisme legal-formal, melainkan juga perangkat normatif yang berfungsi memperluas akses nyata terhadap keadilan sosial.

Dalam konteks demokrasi, Nussbaum menolak pemahaman minimalis yang hanya menekankan prosedur elektoral. Ia berargumen bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan demokrasi deliberatif, di mana warga negara berpartisipasi aktif dalam diskusi publik dengan saling menghormati dan mempertimbangkan kepentingan bersama.² Demokrasi bukan hanya soal suara mayoritas, tetapi juga tentang pengakuan martabat minoritas dan pemberdayaan kelompok rentan. Pandangan ini memperlihatkan kesinambungan antara filsafat moral Nussbaum dengan komitmennya pada keadilan politik yang inklusif.

Salah satu kontribusi penting Nussbaum dalam pemikiran hukum adalah kajiannya tentang emosi dalam hukum. Dalam Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law (2004), ia mengkritik kecenderungan hukum modern yang masih dipengaruhi oleh emosi negatif seperti rasa jijik (disgust) dan malu (shame).³ Ia menilai bahwa kedua emosi ini sering digunakan untuk menjustifikasi diskriminasi, misalnya terhadap perempuan, minoritas seksual, atau kelompok terpinggirkan lainnya. Oleh karena itu, ia menyerukan agar hukum didasarkan pada prinsip-prinsip rasional, empati, dan kapabilitas manusia, bukan pada prasangka emosional yang menindas.

Dalam Political Emotions: Why Love Matters for Justice (2013), Nussbaum memperluas diskusinya dengan menunjukkan bahwa emosi positif seperti cinta (love), belas kasih (compassion), dan solidaritas diperlukan untuk menopang demokrasi.⁴ Tanpa adanya dasar emosional yang kuat, institusi demokratis akan mudah rapuh dan gagal menumbuhkan kohesi sosial. Pandangan ini menantang asumsi liberal tradisional yang ingin memisahkan hukum dan politik dari ranah emosional. Bagi Nussbaum, hukum dan demokrasi justru memerlukan pembentukan emosi publik yang sehat agar keadilan dapat ditegakkan secara berkelanjutan.

Selain itu, Nussbaum juga kritis terhadap neoliberalisme yang menekankan kebebasan pasar tanpa memperhatikan keadilan substantif. Ia menilai bahwa hukum dan kebijakan publik tidak boleh tunduk sepenuhnya pada logika pasar, sebab tujuan utama demokrasi adalah melindungi kapabilitas dasar warga negara, bukan sekadar memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.⁵ Oleh karena itu, ia menekankan bahwa demokrasi harus selalu berorientasi pada prinsip martabat manusia, dengan hukum sebagai instrumen yang memastikan perlindungan terhadap kelompok paling rentan.

Secara keseluruhan, pemikiran Nussbaum tentang hukum dan demokrasi menghadirkan perspektif yang interdisipliner dan humanistik. Ia memadukan teori kapabilitas, filsafat moral, dan teori politik untuk membangun kerangka normatif yang menekankan bahwa hukum dan demokrasi hanya sah jika keduanya benar-benar memajukan kebebasan substantif, solidaritas, dan keadilan sosial.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–30.

[2]                ² Amy Gutmann and Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy? (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004), 18–22.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004), 85–90.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 6–12.

[5]                ⁵ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 302–310.


8.           Pengaruh, Kritik, dan Perdebatan

Pemikiran Martha C. Nussbaum memiliki pengaruh luas dalam filsafat moral, politik, hukum, dan kebijakan internasional. Melalui Teori Kapabilitas, ia berhasil membangun kerangka normatif yang tidak hanya berpengaruh dalam ranah akademik, tetapi juga dipraktikkan dalam pembangunan global. Karyanya bersama Amartya Sen, khususnya melalui The Quality of Life (1993), berkontribusi langsung pada pengembangan Human Development Index (HDI) yang digunakan oleh United Nations Development Programme (UNDP) sebagai ukuran kesejahteraan global.¹ Dengan demikian, pengaruh Nussbaum tidak terbatas pada diskursus filsafat, tetapi juga nyata dalam kebijakan internasional yang berdampak pada kehidupan jutaan orang.

Dalam ranah akademis, kontribusi Nussbaum sangat signifikan terhadap teori feminis, filsafat hukum, dan teori politik kosmopolitan. Melalui Women and Human Development (2000), ia memperluas cakupan filsafat politik agar lebih sensitif terhadap pengalaman perempuan, serta mengintegrasikan analisis gender ke dalam teori keadilan.² Di sisi lain, Frontiers of Justice (2006) menunjukkan pengaruh pemikirannya dalam memperluas horizon teori Rawlsian ke isu-isu global, disabilitas, dan hubungan manusia dengan spesies lain.³ Hal ini menjadikannya salah satu tokoh yang menjembatani filsafat normatif dengan gerakan sosial progresif.

Meski demikian, pemikiran Nussbaum tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik utama datang dari perbedaan dengan Amartya Sen mengenai status daftar kapabilitas. Sen menolak membuat daftar universal yang tetap, dengan alasan bahwa penentuan kapabilitas harus diserahkan pada proses demokratis di tiap masyarakat. Sebaliknya, Nussbaum bersikeras bahwa sepuluh kapabilitas sentral yang ia tawarkan bersifat universal dan transkultural, karena berakar pada martabat manusia yang tidak dapat ditawar.⁴ Perbedaan ini memicu perdebatan luas mengenai apakah teori kapabilitas seharusnya bersifat normatif universal atau fleksibel kontekstual.

Selain itu, beberapa kalangan komunitarian dan postmodern mengkritik Nussbaum karena dianggap terlalu mengandalkan rasionalitas liberal dan cenderung mengabaikan keragaman budaya. Menurut mereka, daftar kapabilitas universal berpotensi mencerminkan bias Barat dan dapat dipaksakan pada masyarakat lain dengan nilai-nilai yang berbeda.⁵ Kritik ini sering muncul dalam diskusi tentang penerapan teori kapabilitas dalam konteks non-Barat, khususnya terkait dengan isu gender, agama, dan tradisi lokal.

Kritik lainnya datang dari perspektif utilitarian dan liberal klasik yang menilai pendekatan Nussbaum terlalu normatif dan sulit diimplementasikan dalam kebijakan publik yang kompleks. Mereka berpendapat bahwa penekanan pada kapabilitas substantif dapat menimbulkan kesulitan praktis, misalnya dalam mengukur tingkat pencapaian setiap kapabilitas atau dalam menentukan prioritas alokasi sumber daya yang terbatas.⁶

Walaupun demikian, perdebatan tersebut justru menunjukkan dinamika intelektual yang memperkaya penerimaan pemikiran Nussbaum. Pengaruhnya melintasi batas disiplin, dari filsafat hingga ekonomi pembangunan, dari teori feminis hingga hukum internasional. Bahkan kritik terhadapnya mendorong diskusi lebih lanjut tentang cara terbaik menyeimbangkan norma universal dengan konteks kultural. Dengan demikian, pemikiran Nussbaum bukan hanya menyumbang gagasan substantif, tetapi juga membuka ruang bagi perdebatan kritis yang memperkuat relevansinya dalam wacana keadilan global kontemporer.


Footnotes

[1]                ¹ Amartya Sen and Martha C. Nussbaum, eds., The Quality of Life (Oxford: Clarendon Press, 1993), 3–5.

[2]                ² Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45–50.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 19–25.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–39.

[5]                ⁵ Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 112–118.

[6]                ⁶ Ingrid Robeyns, “The Capability Approach: A Theoretical Survey,” Journal of Human Development 6, no. 1 (2005): 93–94.


9.           Relevansi Pemikiran Nussbaum dalam Konteks Kontemporer

Pemikiran Martha C. Nussbaum memiliki relevansi yang sangat kuat dalam menghadapi tantangan kontemporer, baik di bidang politik, sosial, hukum, maupun pembangunan global. Teori Kapabilitas yang ia kembangkan menawarkan kerangka evaluatif yang lebih manusiawi dibandingkan pendekatan ekonomi konvensional, karena menilai kesejahteraan tidak semata-mata berdasarkan indikator makroekonomi, melainkan pada kemampuan substantif setiap individu untuk menjalani kehidupan yang bermakna.¹ Dalam konteks dunia yang ditandai oleh ketimpangan global, diskriminasi gender, krisis pengungsi, hingga perubahan iklim, teori ini menyediakan instrumen konseptual yang mampu menghubungkan ideal moral dengan kebijakan publik yang konkret.

Dalam isu pembangunan internasional, pendekatan Nussbaum berkontribusi terhadap pengembangan indeks kesejahteraan multidimensional yang digunakan oleh UNDP. Melalui Human Development Reports, gagasan kapabilitas telah diterapkan untuk mengukur kemajuan pembangunan secara lebih holistik, mencakup kesehatan, pendidikan, dan partisipasi sosial.² Dengan demikian, relevansi teorinya tidak hanya akademis, tetapi juga nyata dalam memengaruhi kebijakan global.

Dalam ranah gender dan feminisme, pemikiran Nussbaum sangat penting untuk menantang praktik diskriminatif yang masih bertahan dalam banyak masyarakat. Women and Human Development (2000) menegaskan bahwa pembangunan yang berkeadilan tidak mungkin tercapai tanpa memperhatikan kapabilitas perempuan.³ Teori ini menjadi landasan filosofis bagi perjuangan kesetaraan gender, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan reproduksi, dan partisipasi politik. Relevansinya semakin nyata ketika ketidakadilan gender masih menjadi masalah sistemik di berbagai belahan dunia.

Pemikiran Nussbaum juga berkontribusi dalam perdebatan mengenai disabilitas. Ia menolak pandangan yang memarginalkan penyandang disabilitas dalam teori keadilan arus utama, seperti dalam kerangka Rawlsian. Dalam Frontiers of Justice (2006), ia menegaskan bahwa keadilan sejati hanya dapat dicapai jika kapabilitas penyandang disabilitas dihormati melalui dukungan struktural dan kebijakan afirmatif.⁴ Dalam konteks kontemporer, hal ini relevan dengan upaya global memperjuangkan inklusivitas, aksesibilitas, dan penghormatan terhadap hak penyandang disabilitas.

Selain itu, Nussbaum memberi kontribusi besar dalam etika politik emosi. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh populisme, kebencian, dan politik identitas, karyanya Political Emotions: Why Love Matters for Justice (2013) mengingatkan pentingnya membangun emosi publik yang positif seperti empati, cinta, dan solidaritas.⁵ Menurutnya, demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan institusi formal, tetapi juga fondasi emosional yang menopang kohesi sosial. Relevansi gagasan ini tampak dalam tantangan demokrasi kontemporer yang dihadapkan pada krisis kepercayaan, radikalisasi politik, dan melemahnya solidaritas sosial.

Lebih jauh, pemikiran Nussbaum juga menyentuh isu etika lingkungan. Dengan memasukkan “relasi dengan spesies lain” ke dalam daftar sepuluh kapabilitas dasarnya, ia menekankan bahwa keadilan tidak hanya menyangkut manusia, tetapi juga hubungan dengan alam dan makhluk hidup lain.⁶ Hal ini relevan dalam era perubahan iklim dan krisis ekologi global, di mana pendekatan etis yang berpusat pada manusia perlu diperluas menjadi pendekatan yang lebih ekosentris.

Secara keseluruhan, relevansi pemikiran Nussbaum dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menyatukan filsafat normatif dengan realitas praktis. Ia menghubungkan gagasan abstrak tentang martabat manusia dengan kerangka kebijakan yang dapat diterapkan secara global. Di tengah tantangan besar dunia modern—ketidaksetaraan, diskriminasi, populisme, dan krisis lingkungan—pemikirannya menawarkan visi humanistik dan inklusif untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 18–22.

[2]                ² United Nations Development Programme (UNDP), Human Development Report 2010: The Real Wealth of Nations (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 15–18.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 78–84.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 98–103.

[5]                ⁵ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 6–12.

[6]                ⁶ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 325–332.


10.       Kesimpulan

Pemikiran Martha C. Nussbaum memberikan kontribusi yang mendalam terhadap filsafat moral, politik, hukum, dan pembangunan manusia. Berakar pada tradisi Aristotelian, ia merumuskan pendekatan normatif yang menekankan pentingnya martabat dan kapabilitas manusia sebagai fondasi keadilan sosial.¹ Melalui Teori Kapabilitas, Nussbaum menunjukkan bahwa kesejahteraan tidak dapat diukur hanya dengan indikator ekonomi atau kebebasan formal, tetapi harus dinilai berdasarkan sejauh mana setiap individu memiliki kesempatan nyata untuk hidup bermakna.² Dengan menekankan sepuluh kapabilitas sentral, ia menyediakan kerangka universal yang dapat digunakan untuk menilai keadilan lintas budaya dan konteks global.

Selain itu, Nussbaum merevolusi cara pandang terhadap emosi dalam etika dan politik. Ia menolak anggapan tradisional bahwa emosi adalah gangguan irasional, dan justru menegaskan bahwa emosi merupakan penilaian kognitif yang berperan penting dalam memperkuat solidaritas sosial, membangun empati, serta menopang demokrasi deliberatif.³ Dengan demikian, filsafatnya menampilkan sintesis unik antara rasionalitas, humanisme, dan pengakuan atas dimensi afektif manusia.

Relevansi pemikiran Nussbaum semakin nyata dalam menghadapi persoalan kontemporer: ketidaksetaraan global, diskriminasi gender, marginalisasi penyandang disabilitas, rapuhnya demokrasi, serta krisis lingkungan. Ia menawarkan pendekatan humanistik dan kosmopolitan yang menekankan tanggung jawab moral lintas batas negara dan budaya.⁴ Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat tidak hanya berfungsi sebagai refleksi teoretis, melainkan juga sebagai panduan praktis untuk merumuskan kebijakan publik dan memajukan keadilan global.

Meskipun pemikirannya menuai kritik, baik dari kalangan utilitarian, komunitarian, maupun postmodern, perdebatan yang muncul justru memperkaya penerimaan gagasannya. Kritik-kritik tersebut menegaskan daya tarik intelektual Nussbaum sekaligus membuka ruang untuk pengembangan lebih lanjut, terutama dalam mencari keseimbangan antara standar normatif universal dan sensitivitas terhadap konteks kultural.⁵ Dengan demikian, warisan intelektual Nussbaum dapat dipandang sebagai kontribusi monumental dalam filsafat kontemporer, yang tidak hanya menggabungkan teori dengan praksis, tetapi juga menegaskan kembali pentingnya martabat manusia sebagai pusat keadilan dan kehidupan bermasyarakat.


Footnotes

[1]                ¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 14–20.

[2]                ² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–30.

[3]                ³ Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 2–6.

[4]                ⁴ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 310–320.

[5]                ⁵ Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 112–118.


Daftar Pustaka

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.

Gutmann, A., & Thompson, D. (2004). Why deliberative democracy? Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (1990). Love’s knowledge: Essays on philosophy and literature. Oxford University Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2004). Hiding from humanity: Disgust, shame, and the law. Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2013). Political emotions: Why love matters for justice. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2016). Anger and forgiveness: Resentment, generosity, justice. Oxford University Press.

Nussbaum, M. C., & Sen, A. (Eds.). (1993). The quality of life. Clarendon Press.

Robeyns, I. (2005). The capability approach: A theoretical survey. Journal of Human Development, 6(1), 93–117.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

United Nations Development Programme. (1990). Human development report 1990. Oxford University Press.

United Nations Development Programme. (2010). Human development report 2010: The real wealth of nations. Palgrave Macmillan.

University of Chicago Law School. (2025). Martha C. Nussbaum [Faculty bio]. Retrieved September 25, 2025, from law.uchicago.edu


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar