Dampak AI terhadap Penelitian Sains
Analisis Epistemologis,
Metodologis, dan Etis
Alihkan ke: Metode
Penelitian.
Abstrak
Modul ini membahas secara komprehensif dampak kecerdasan buatan
(Artificial Intelligence/AI) terhadap penelitian sains dengan meninjau aspek
epistemologis, metodologis, dan etis. Perkembangan AI yang pesat pada abad
ke-21 telah mengubah paradigma penelitian, dari metode konvensional berbasis
teori-eksperimen menuju pendekatan data-driven science yang memanfaatkan
big data dan algoritme pembelajaran mesin. Modul ini menguraikan konsep dasar
AI, karakteristik penelitian sains, serta peran AI dalam otomasi pengolahan
data, pemodelan prediktif, penemuan pola ilmiah, dan kolaborasi manusia-mesin.
Selain menyoroti dampak positif berupa efisiensi, percepatan penemuan, dan
demokratisasi akses pengetahuan, modul ini juga mengidentifikasi tantangan
serius seperti bias algoritmik, krisis validitas dan replikasi, persoalan etis,
serta ketimpangan akses teknologi. Analisis epistemologis dan metodologis
menegaskan bahwa AI tidak hanya sekadar alat bantu, tetapi juga aktor epistemik
yang merekonstruksi fondasi ilmu pengetahuan modern. Di sisi lain, analisis
etis dan sosial menekankan pentingnya regulasi, tanggung jawab akademik, dan
etika kolaboratif dalam pemanfaatan AI. Studi kasus di bidang biologi, fisika,
astronomi, dan ilmu lingkungan menunjukkan bagaimana AI telah mendorong
terobosan signifikan, sementara prospek masa depan mengindikasikan lahirnya
ekosistem pengetahuan baru yang kolaboratif dan global. Modul ini ditujukan
untuk mahasiswa pascasarjana program studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, dengan harapan dapat memperkaya wawasan akademik sekaligus memberikan
arahan praktis dalam mengintegrasikan AI ke dalam penelitian sains yang
inovatif, kritis, dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Kecerdasan Buatan, Penelitian Sains, Epistemologi,
Metodologi, Etika, Big Data, Data-Driven Science, Multidisipliner, Kolaborasi
Manusia-Mesin, Revolusi Ilmiah.
PEMBAHASAN
Dampak Kecerdasan Buatan
terhadap Penelitian Sains
1.
Pendahuluan
Perkembangan kecerdasan buatan
(artificial intelligence/AI) pada abad ke-21 telah menjadi salah satu fenomena
paling signifikan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. AI tidak hanya
merevolusi cara manusia berinteraksi dengan mesin, tetapi juga membawa
transformasi mendasar dalam metodologi penelitian sains. Jika pada masa
sebelumnya penelitian sains bertumpu pada eksperimen empiris, perhitungan
manual, serta analisis berbasis teori
yang dilakukan manusia, kini hadir teknologi yang mampu melakukan komputasi
kompleks, analisis data berskala besar, bahkan menghasilkan hipotesis baru
dengan kecepatan yang jauh melampaui kapasitas kognitif manusia. Hal ini
menandai sebuah pergeseran paradigma dalam dunia riset ilmiah.
1.1.
Latar
Belakang Permasalahan
Ilmu pengetahuan dan penelitian sains
selalu berkembang seiring dengan kemajuan alat bantu dan teknologi. Pada era
klasik, instrumen penelitian terbatas pada alat-alat observasi sederhana
seperti teleskop dan mikroskop. Era modern ditandai dengan hadirnya komputasi digital yang mempercepat pengolahan
data. Kini, memasuki era AI, penelitian sains menghadapi lompatan kualitas:
dari sekadar mengolah data menjadi proses otomatisasi penalaran, pengenalan
pola yang rumit, hingga kemampuan prediktif yang akurat. Meskipun demikian,
perubahan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana validitas
ilmiah, otonomi peneliti, serta etika penelitian dapat dipertahankan di tengah
dominasi sistem berbasis algoritme.
Selain itu, hadirnya AI juga menantang
epistemologi sains itu sendiri. Apabila selama ini ilmu pengetahuan dibangun
melalui proses rasional yang disertai eksperimen dan pembuktian empiris, kini
algoritme AI dapat menghasilkan hipotesis atau prediksi tanpa melalui jalur
tradisional yang sepenuhnya dapat dipahami
oleh manusia. Fenomena ini menimbulkan dilema: apakah hasil yang dihasilkan AI
dapat sepenuhnya dianggap sebagai pengetahuan ilmiah, atau hanya sebatas produk
teknis dari sistem komputasi?
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa persoalan kunci yang perlu
dikaji:
1)
Bagaimana peran dan
kontribusi AI dalam mengubah cara penelitian sains dilakukan?
2)
Apa dampak positif AI
terhadap efisiensi, akurasi, dan inovasi dalam penelitian sains?
3)
Apa potensi risiko dan
tantangan epistemologis, metodologis, serta etis yang ditimbulkan AI?
4)
Bagaimana prospek integrasi
AI dalam penelitian sains masa depan dan implikasinya bagi pengembangan ilmu
pengetahuan?
Rumusan masalah ini penting untuk
ditelaah agar modul tidak hanya bersifat deskriptif, melainkan juga analitis-kritis terhadap fenomena
perkembangan AI.
1.3.
Tujuan
Modul
Modul ini disusun dengan beberapa
tujuan utama. Pertama, untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang konsep dasar AI dan implikasinya terhadap
penelitian ilmiah, khususnya di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam.
Kedua, untuk menganalisis dampak positif dan negatif penggunaan AI dalam proses
penelitian. Ketiga, untuk mengeksplorasi dimensi epistemologis, metodologis,
dan etis yang timbul akibat penerapan AI. Keempat, untuk menawarkan refleksi
dan rekomendasi mengenai arah penelitian sains di era digital. Dengan tujuan
ini, modul diharapkan dapat menjadi bahan akademik yang memperluas wawasan
mahasiswa pascasarjana dalam menghadapi tantangan penelitian kontemporer.
1.4.
Manfaat
Modul
Manfaat dari penyusunan modul ini dapat
dilihat dalam dua ranah: akademik dan praktis. Secara akademik, modul ini akan
memperkaya literatur tentang hubungan antara teknologi AI dan ilmu pengetahuan,
khususnya bagi program studi MIPA yang membutuhkan perspektif multidisipliner.
Mahasiswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman mendalam mengenai perubahan
paradigma penelitian di era AI serta keterkaitannya dengan filsafat sains.
Secara praktis, modul ini akan
memberikan wawasan mengenai cara AI dapat dimanfaatkan secara efektif dalam
penelitian, sekaligus menekankan pentingnya sikap kritis agar peneliti tidak
hanya terjebak pada ketergantungan terhadap teknologi. Dengan demikian, mahasiswa pascasarjana dapat
mengembangkan kemampuan analisis, evaluasi, serta integrasi AI secara
bertanggung jawab dalam riset mereka.
1.5.
Relevansi
dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Topik mengenai dampak AI terhadap
penelitian sains memiliki relevansi yang tinggi dengan kondisi global saat ini.
Di bidang biologi molekuler, AI telah digunakan untuk memprediksi struktur
protein yang rumit. Dalam fisika dan astronomi, AI membantu mendeteksi pola
kosmik yang sulit diidentifikasi dengan metode konvensional. Dalam ilmu
lingkungan, AI berperan dalam memodelkan perubahan iklim serta merumuskan
strategi mitigasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa AI bukan hanya pelengkap,
melainkan telah menjadi salah satu aktor utama dalam ekosistem penelitian
ilmiah.
Dengan demikian, pendahuluan ini
menjadi fondasi penting untuk memahami modul secara keseluruhan. Perubahan yang
dibawa oleh AI bukan sekadar teknis, melainkan juga menyentuh aspek filosofis
dan etis dari sains itu sendiri. Oleh karena
itu, analisis yang mendalam diperlukan agar para peneliti mampu menavigasi
peluang dan tantangan AI dalam konteks penelitian sains modern.
2.
Konsep Dasar
Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI)
2.1.
Definisi
Kecerdasan Buatan
Kecerdasan buatan (Artificial
Intelligence/AI) secara umum didefinisikan sebagai cabang ilmu komputer yang
berfokus pada penciptaan sistem yang mampu meniru kecerdasan manusia melalui
kemampuan belajar, penalaran, dan pengambilan keputusan. John McCarthy, yang
pertama kali memperkenalkan istilah “artificial intelligence” pada tahun 1956,
mendefinisikan AI sebagai “ilmu dan rekayasa dalam menciptakan mesin yang
cerdas” (Russell & Norvig, 2021). Definisi ini menekankan bahwa AI tidak
hanya berkaitan dengan algoritme, tetapi juga mencakup upaya untuk
mengembangkan sistem yang dapat menginterpretasikan data, memahami konteks,
serta bertindak secara adaptif terhadap lingkungan.
Dalam konteks penelitian sains, AI
dapat dipahami sebagai sebuah pendekatan teknologi yang memungkinkan
otomatisasi proses kognitif tertentu, mulai dari pengumpulan data hingga
formulasi hipotesis. Oleh karena itu, AI berfungsi bukan sekadar sebagai alat
bantu, melainkan sebagai mitra analitis dalam aktivitas ilmiah (Nilsson, 2010).
2.2.
Sejarah
Perkembangan AI
Sejarah perkembangan AI dapat
ditelusuri dari berbagai fase penting. Fase awal dimulai pada pertengahan abad
ke-20, ketika para ilmuwan seperti Alan Turing mengajukan pertanyaan mendasar
tentang kemungkinan mesin berpikir, yang kemudian dikenal melalui “Turing Test”
(Turing, 1950). Pada dekade 1950–1970, penelitian AI berkembang pesat dengan
fokus pada logika simbolik, sistem pakar, dan pemrograman berbasis aturan.
Memasuki dekade 1980–1990, AI
menghadapi tantangan besar karena keterbatasan komputasi dan data yang dikenal
sebagai “AI Winter” (Crevier, 1993). Namun, dengan meningkatnya daya komputasi,
ketersediaan big data, serta inovasi dalam algoritme pembelajaran mesin, AI
kembali mengalami kebangkitan pada awal abad ke-21. Perkembangan jaringan saraf
tiruan (neural networks) dan deep learning menjadi tonggak penting dalam
mendorong AI ke tingkat yang lebih canggih, memungkinkan penerapan pada
berbagai bidang, termasuk penelitian ilmiah (Goodfellow, Bengio, &
Courville, 2016).
2.3.
Ragam
Teknologi AI
Kecerdasan buatan bukanlah konsep
tunggal, melainkan mencakup berbagai pendekatan dan teknologi yang berkembang
sesuai dengan kebutuhan penelitian dan aplikasi. Beberapa ragam teknologi utama
dalam AI meliputi:
·
Machine Learning (ML):
Teknologi yang memungkinkan sistem belajar dari data tanpa diprogram secara
eksplisit. ML digunakan secara luas dalam penelitian sains untuk menemukan pola
tersembunyi dan membuat prediksi yang akurat (Jordan & Mitchell, 2015).
·
Deep Learning (DL):
Subbidang ML yang menggunakan jaringan saraf dalam (deep neural networks) untuk
menganalisis data berskala besar. DL sangat efektif dalam pengenalan gambar,
pemrosesan bahasa alami, serta analisis genomik (LeCun, Bengio, & Hinton,
2015).
·
Natural Language
Processing (NLP): Teknologi yang memungkinkan mesin memahami, memproses,
dan menghasilkan bahasa manusia. NLP penting dalam analisis teks ilmiah,
penemuan literatur, dan sistem tanya-jawab berbasis sains (Jurafsky &
Martin, 2023).
·
Computer Vision:
Bidang yang berfokus pada pengenalan dan interpretasi gambar atau video. Dalam
sains, computer vision digunakan untuk menganalisis citra satelit, mikroskopis,
maupun data observasi astronomi (Szeliski, 2022).
·
Reinforcement Learning
(RL): Metode pembelajaran berbasis trial-and-error dengan tujuan
memaksimalkan hasil jangka panjang. RL digunakan dalam simulasi sistem
kompleks, misalnya dalam fisika partikel atau pemodelan iklim (Sutton &
Barto, 2018).
2.4.
AI
dalam Konteks Sains
Dalam dunia penelitian, AI berfungsi
sebagai instrumen epistemik yang mampu memperluas cakrawala pengetahuan
manusia. Berbeda dengan metode konvensional yang terbatas pada kapasitas
intelektual individu atau tim peneliti, AI mampu mengolah jutaan variabel
sekaligus untuk menghasilkan pola atau model baru yang sebelumnya sulit
dijangkau. Hal ini membuat AI menjadi elemen yang integral dalam revolusi sains
kontemporer (Kelleher, 2019).
Dengan demikian, konsep dasar AI tidak
hanya penting dipahami secara teknis, tetapi juga filosofis. AI menggeser
pemahaman kita mengenai hakikat pengetahuan dan metode ilmiah, karena ia
memperkenalkan bentuk baru dari “kecerdasan” yang bekerja secara kolaboratif
dengan manusia dalam mengembangkan sains. Bab ini menjadi dasar bagi analisis
selanjutnya mengenai dampak AI terhadap penelitian sains, baik dari segi
epistemologis, metodologis, maupun etis.
3.
Penelitian Sains:
Karakteristik dan Paradigma
3.1.
Hakikat
Penelitian Ilmiah dalam MIPA
Penelitian sains, khususnya dalam rumpun Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam (MIPA), merupakan suatu aktivitas sistematis untuk memperoleh pengetahuan
baru melalui observasi, eksperimen, dan analisis rasional. Hakikat penelitian
ilmiah terletak pada usahanya untuk menjawab pertanyaan mengenai fenomena alam
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris dan logis. Robert K. Merton
menyebut sains memiliki ethos yang khas, yakni universalism, communism,
disinterestedness, dan organized skepticism, yang menjadi norma dasar dalam
penelitian ilmiah (Merton, 1973).
Dalam disiplin MIPA, penelitian berorientasi pada keakuratan data,
validitas metode, serta replikasi hasil. Hal ini karena kebenaran ilmiah
dipandang bukan sebagai sesuatu yang mutlak, melainkan bersifat tentatif dan terbuka untuk diuji kembali.
Dengan demikian, penelitian ilmiah menuntut adanya keterbukaan, transparansi,
serta kemampuan untuk diverifikasi oleh komunitas akademik (Popper, 2002).
3.2.
Karakteristik
Penelitian Sains
Penelitian sains memiliki sejumlah karakteristik fundamental yang
membedakannya dari bentuk pengetahuan lainnya:
·
Objektivitas: Penelitian
harus bebas dari bias subjektif peneliti, meskipun dalam praktiknya
objektivitas selalu diusahakan melalui prosedur ilmiah yang ketat.
·
Empiris: Data
penelitian diperoleh dari observasi dan eksperimen nyata, bukan semata dari
spekulasi atau asumsi.
·
Sistematis: Penelitian
dilakukan melalui tahapan metodologis yang jelas, mulai dari perumusan masalah,
pengumpulan data, analisis, hingga kesimpulan.
·
Kritis dan Skeptis: Setiap
temuan harus terbuka untuk diuji dan dikritisi oleh pihak lain.
·
Replikatif: Hasil
penelitian harus dapat diulang dan diverifikasi dalam kondisi serupa oleh
peneliti lain.
Karakteristik-karakteristik tersebut menjadi fondasi yang menjamin bahwa
pengetahuan ilmiah yang dihasilkan dapat dipercaya, meskipun sifatnya selalu sementara dan berkembang
(Chalmers, 2013).
3.3.
Paradigma
Penelitian Sains Tradisional
Konsep paradigma diperkenalkan secara populer oleh Thomas S. Kuhn dalam The
Structure of Scientific Revolutions, yang menjelaskan bahwa perkembangan
sains tidak bersifat linear, melainkan melalui fase normal science, anomaly,
crisis, dan scientific revolution
(Kuhn, 2012). Paradigma dalam penelitian sains adalah kerangka konseptual yang
membimbing komunitas ilmiah dalam memandang masalah, metode, dan solusi
penelitian.
Dalam paradigma tradisional, penelitian sains banyak dipengaruhi oleh
positivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada observasi
empiris dan verifikasi.
Positivisme mengandaikan adanya hubungan sebab-akibat yang dapat dijelaskan
secara hukum universal, seperti yang dirumuskan dalam fisika Newtonian. Dalam
kerangka ini, matematika menjadi bahasa utama sains karena dianggap mampu
memberikan kepastian, ketepatan, dan konsistensi (Hempel, 1966).
3.4.
Pergeseran
Paradigma Penelitian Modern
Seiring perkembangan abad ke-20 dan 21, paradigma penelitian sains mulai
bergeser. Positivisme yang dominan menghadapi kritik dari berbagai arah,
terutama dari filsuf ilmu pengetahuan
seperti Karl Popper yang mengusulkan falsifikasionisme, yakni pandangan bahwa
teori ilmiah tidak dapat diverifikasi secara absolut, melainkan hanya dapat
diuji untuk dipalsukan (Popper, 2002).
Lebih jauh, perkembangan kompleksitas alam dan masyarakat mendorong
lahirnya pendekatan post-positivistik, konstruktivistik, dan kritis dalam
penelitian sains. Pendekatan ini mengakui bahwa pengamatan ilmiah tidak
sepenuhnya bebas dari teori,
nilai, atau bahkan teknologi yang digunakan. Misalnya, penggunaan instrumen
berbasis kecerdasan buatan dalam penelitian modern dapat membentuk cara
peneliti memahami data dan realitas (Latour & Woolgar, 1986).
3.5.
Relevansi
Paradigma dalam Era Digital dan AI
Di era digital, paradigma penelitian sains semakin ditantang oleh
ketersediaan big data, komputasi kuantum, dan algoritme AI. Jika paradigma
klasik berorientasi pada reduksionisme—memecah fenomena menjadi bagian terkecil
untuk dipahami—maka paradigma
kontemporer cenderung bergerak ke arah kompleksitas dan keterhubungan sistem
(Mitchell, 2009).
Paradigma baru ini memungkinkan sains menggabungkan model matematis,
simulasi komputer, dan analisis algoritmik untuk menjawab pertanyaan yang
sebelumnya sulit dijangkau. Dengan
demikian, paradigma penelitian sains saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh
filsafat ilmu, tetapi juga oleh perkembangan teknologi informasi, yang secara
signifikan mengubah cara pengetahuan dihasilkan, divalidasi, dan disebarkan.
Bab ini menegaskan bahwa penelitian sains memiliki fondasi karakteristik
yang kuat, namun sekaligus fleksibel untuk mengalami transformasi seiring
perkembangan paradigma dan teknologi. Pemahaman tentang karakteristik dan
paradigma penelitian menjadi penting sebelum memasuki analisis mengenai
bagaimana AI mengintervensi dan membentuk ulang dunia sains kontemporer.
4.
Peran AI dalam
Penelitian Sains
4.1.
Automasi
Pengolahan Data dan Eksperimen
Salah satu peran utama kecerdasan buatan dalam penelitian sains adalah
kemampuannya mengotomatisasi pengolahan data dalam jumlah besar. Dalam disiplin
MIPA, eksperimen sering menghasilkan data yang kompleks dan berukuran masif,
misalnya genomik, citra astronomi, maupun data simulasi fisika. AI, khususnya melalui teknik machine learning dan deep learning,
mampu menyaring, mengklasifikasi, dan menganalisis data dengan kecepatan yang
tidak mungkin dicapai oleh manusia. Dalam biologi molekuler, misalnya, algoritme
AI digunakan untuk mengidentifikasi interaksi protein dalam waktu jauh lebih
singkat dibandingkan metode laboratorium konvensional (Jumper et al., 2021).
Demikian pula dalam kimia, AI telah berperan dalam otomasi eksperimen “robot
chemist” yang dapat merancang dan menjalankan percobaan secara mandiri (Coley
et al., 2019).
4.2.
Model
Prediksi Berbasis AI
AI berfungsi sebagai instrumen prediktif yang memungkinkan para peneliti
meramalkan fenomena ilmiah dengan tingkat akurasi tinggi. Dengan memanfaatkan
big data, model AI mampu mendeteksi korelasi non-linear yang sulit diungkap
melalui metode statistik klasik. Dalam klimatologi, AI digunakan untuk
memprediksi perubahan cuaca ekstrem dengan memanfaatkan data satelit dan sensor
iklim global (Reichstein et al., 2019). Dalam bidang fisika partikel, AI membantu mendeteksi pola tabrakan partikel di Large Hadron
Collider yang sebelumnya hampir mustahil diidentifikasi secara manual (Radovic
et al., 2018). Peran prediktif ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teoritis,
tetapi juga memiliki implikasi praktis, seperti peringatan dini bencana alam
atau penemuan material baru.
4.3.
Penemuan
Pola dan Keteraturan Ilmiah
AI memiliki kapasitas unik dalam menemukan pola tersembunyi dari data
kompleks, yang sering kali terlewatkan oleh analisis tradisional. Melalui
pembelajaran mendalam, AI dapat mengekstraksi representasi data yang mendasari
struktur fenomena ilmiah. Dalam
astronomi, misalnya, algoritme computer vision berbasis AI digunakan untuk
mengidentifikasi galaksi baru dan menganalisis data kosmik dalam skala terabyte
(Schawinski et al., 2017). Dalam biomedis, AI membantu mendeteksi biomarker
dari data kesehatan pasien yang beragam, sehingga mempercepat diagnosis dan
pengembangan terapi presisi (Esteva et al., 2019).
Temuan semacam ini menunjukkan bahwa AI bukan sekadar alat bantu teknis,
tetapi berperan dalam memperluas horizon epistemik penelitian sains, karena ia
menghadirkan keteraturan baru yang
dapat dijadikan dasar hipotesis ilmiah.
4.4.
Kolaborasi
Manusia dan Mesin dalam Riset
Peran AI dalam penelitian sains tidak dapat dipandang hanya sebagai
pengganti peran manusia, melainkan sebagai mitra kolaboratif. AI memperkuat kemampuan peneliti dalam tahap
eksplorasi dan analisis, sementara intuisi, kreativitas, dan pertimbangan etis
tetap menjadi domain manusia. Model kolaborasi ini menghasilkan bentuk baru
“augmented science” di mana pengetahuan manusia dan kapasitas komputasi mesin
berpadu untuk menciptakan inovasi (Gil et al., 2014).
Contohnya, dalam proyek-proyek lintas disiplin seperti Human Cell Atlas,
para ilmuwan menggunakan AI untuk memetakan seluruh sel manusia. AI bertugas mengintegrasikan data
genomik, transkriptomik, dan proteomik, sementara para peneliti memberikan
interpretasi biologis dan implikasi medis dari data tersebut (Regev et al.,
2017). Hal ini menunjukkan bahwa AI bukanlah entitas otonom penuh, tetapi
bagian dari ekosistem riset yang membutuhkan pengawasan, interpretasi, dan
validasi oleh komunitas ilmiah.
Bab ini menegaskan bahwa peran AI dalam penelitian sains mencakup spektrum yang luas, mulai dari otomasi data
hingga kolaborasi epistemik. Kehadiran AI telah mempercepat penemuan ilmiah,
memperluas kapasitas prediksi, dan menghadirkan pola baru dalam pemahaman
fenomena alam. Namun, peran ini sekaligus mengandung tantangan baru yang
memerlukan refleksi kritis, terutama terkait validitas pengetahuan, etika
penggunaan, serta otonomi manusia dalam riset ilmiah. Bab selanjutnya akan
mengulas secara lebih mendalam mengenai dampak positif AI dalam konteks
penelitian sains.
5.
Dampak Positif AI
terhadap Penelitian Sains
5.1.
Efisiensi
dan Percepatan Riset
Salah satu dampak paling nyata dari
penerapan kecerdasan buatan dalam penelitian sains adalah peningkatan
efisiensi. Algoritme AI mampu melakukan pemrosesan data dalam skala terabyte
hingga petabyte dengan kecepatan yang melampaui keterbatasan manusia. Dalam
genomik, misalnya, teknologi AI memungkinkan analisis sekuens DNA yang
sebelumnya membutuhkan waktu berbulan-bulan dapat diselesaikan hanya dalam
hitungan jam (Libbrecht & Noble, 2015). Hal ini mempercepat siklus
penelitian, mulai dari pengumpulan data, pengujian hipotesis, hingga publikasi
hasil. Selain itu, otomasi berbasis AI juga mengurangi risiko kesalahan manusia
(human error), sehingga meningkatkan reliabilitas hasil riset.
5.2.
Penemuan
Ilmiah Baru
AI telah berkontribusi signifikan
terhadap munculnya penemuan-penemuan baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Salah satu contoh monumental adalah sistem AlphaFold yang dikembangkan oleh
DeepMind. Dengan menggunakan deep learning, AlphaFold berhasil memprediksi
struktur protein dengan tingkat akurasi yang mendekati eksperimen laboratorium,
sebuah pencapaian yang telah lama menjadi tantangan dalam biologi struktural
(Jumper et al., 2021). Dalam bidang kimia, AI telah mempercepat penemuan
senyawa obat baru dengan menyaring jutaan kemungkinan molekul dan memprediksi
interaksinya (Zhavoronkov et al., 2019).
Dalam fisika dan astronomi, AI membantu
mendeteksi gelombang gravitasi serta memetakan struktur kosmos dalam skala
besar. Dengan kemampuan ini, AI bukan hanya mempercepat proses penelitian,
tetapi juga membuka jalan bagi pemahaman baru tentang realitas alam semesta
(George & Huerta, 2018).
5.3.
Demokratisasi
Akses Data dan Pengetahuan
AI berperan penting dalam
mendemokratisasi akses terhadap data dan pengetahuan ilmiah. Melalui pemrosesan
bahasa alami (natural language processing), AI dapat menelusuri jutaan artikel
penelitian secara cepat dan menyajikan ringkasan yang relevan bagi peneliti.
Teknologi ini memungkinkan peneliti dari berbagai negara, bahkan yang memiliki
keterbatasan sumber daya, untuk memperoleh informasi ilmiah mutakhir secara
lebih mudah (Lu et al., 2019).
Selain itu, platform berbasis AI telah
memungkinkan terbentuknya kolaborasi lintas disiplin dan lintas negara.
Contohnya, dalam penelitian perubahan iklim, data dari berbagai sumber seperti
satelit, sensor lingkungan, dan laporan ilmiah dapat diintegrasikan dan
dianalisis secara komprehensif oleh AI, sehingga menghasilkan model prediksi
global yang dapat diakses oleh banyak pihak (Reichstein et al., 2019). Dengan
cara ini, AI membantu mengurangi kesenjangan akses pengetahuan antara pusat
riset besar dengan komunitas ilmiah di wilayah berkembang.
5.4.
Transformasi
Metodologis dan Inovasi
Dampak positif lainnya adalah
transformasi metodologis dalam penelitian. AI memperkenalkan pendekatan baru
yang berbasis pada analisis big data dan pembelajaran mendalam, sehingga
memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi hipotesis non-linear dan hubungan
kompleks antarvariabel. Metodologi ini berbeda dengan pendekatan reduksionistik
klasik, karena lebih berfokus pada keterhubungan sistem yang kompleks
(Mitchell, 2009).
Sebagai contoh, dalam bidang ekologi,
AI digunakan untuk membangun model ekosistem yang mempertimbangkan ribuan
faktor interaktif, sehingga memberikan prediksi yang lebih realistis mengenai
dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati (Christin, Hervet, &
Lecomte, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya memperkaya metode
penelitian, tetapi juga mendorong lahirnya inovasi konseptual dalam memahami
fenomena ilmiah.
5.5.
Peningkatan
Kapasitas Kolaborasi Ilmuwan
AI juga memperkuat kolaborasi
antarpeneliti melalui sistem berbasis jaringan cerdas. Dengan adanya alat
analisis berbasis AI, tim peneliti dari berbagai latar belakang dapat bekerja
secara sinergis untuk memecahkan persoalan kompleks. Kolaborasi manusia dan
mesin ini telah melahirkan konsep augmented science, yakni bentuk riset
di mana kemampuan analitis mesin dipadukan dengan intuisi, kreativitas, dan
pertimbangan etis manusia (Gil et al., 2014).
Dalam konteks ini, AI tidak sekadar
meningkatkan produktivitas individu, tetapi juga mendorong terbentuknya
ekosistem penelitian yang lebih inklusif dan adaptif. Dengan begitu, AI
berfungsi sebagai katalis yang memperluas kapasitas komunitas ilmiah global
dalam menghadapi tantangan multidisipliner abad ke-21.
Bab ini menunjukkan bahwa dampak
positif AI terhadap penelitian sains bersifat multidimensional: meningkatkan
efisiensi, mempercepat penemuan baru, memperluas akses pengetahuan, memperkaya
metodologi, dan memperkuat kolaborasi global. Meskipun demikian, capaian ini
harus tetap dipahami secara kritis, karena di balik manfaatnya terdapat pula
potensi tantangan epistemologis, metodologis, dan etis yang akan dibahas pada
bab selanjutnya.
6.
Dampak Negatif dan
Tantangan AI
6.1.
Potensi
Bias Algoritmik
Salah satu tantangan utama dalam
penerapan kecerdasan buatan dalam penelitian sains adalah potensi bias
algoritmik. AI belajar dari data yang diberikan, sehingga kualitas prediksi dan
analisis sangat tergantung pada representasi data yang digunakan. Jika data
yang digunakan mengandung bias atau tidak mencerminkan keragaman fenomena yang
diteliti, maka hasil penelitian dapat menjadi keliru atau menyesatkan (Barocas,
Hardt, & Narayanan, 2019). Dalam bidang biomedis, misalnya, bias dalam data
pasien dapat menghasilkan diagnosis yang tidak akurat bagi kelompok populasi
tertentu. Kondisi ini menimbulkan problem etis sekaligus metodologis, karena
kebenaran ilmiah yang dihasilkan oleh AI tidak sepenuhnya bebas dari distorsi
data.
Selain itu, bias algoritmik tidak hanya
berdampak pada akurasi hasil, tetapi juga berpotensi memperkuat ketidakadilan
dalam akses terhadap pengetahuan. Jika algoritme hanya dilatih dengan data dari
pusat-pusat riset besar di negara maju, maka fenomena yang khas terjadi di
negara berkembang dapat terabaikan, sehingga memperlebar kesenjangan
pengetahuan global (Crawford, 2021).
6.2.
Krisis
Validitas dan Replikasi Penelitian
Validitas merupakan aspek fundamental
dalam penelitian sains. Namun, penerapan AI menghadirkan tantangan baru terkait
kemampuan replikasi hasil. Banyak algoritme AI, terutama yang berbasis deep
learning, berfungsi sebagai “black box” yang sulit ditafsirkan. Artinya,
meskipun AI dapat menghasilkan output yang akurat, jalur logika atau proses
internal yang menghasilkan keputusan tersebut sering tidak transparan (Burrell,
2016).
Ketidakjelasan ini menimbulkan krisis
epistemik: apakah hasil prediksi AI benar-benar sahih sebagai pengetahuan
ilmiah, jika mekanisme yang melandasinya tidak dapat dipahami dan dijelaskan
secara rasional? Dalam beberapa kasus, replikasi hasil penelitian berbasis AI
menjadi sulit karena perbedaan kecil dalam data atau parameter pelatihan dapat
menghasilkan output yang berbeda (Lipton, 2018). Hal ini berpotensi mengganggu
salah satu prinsip dasar sains, yakni keterulangan (replicability).
6.3.
Ancaman
Etis dan Hilangnya Otonomi Ilmuwan
Tantangan lain adalah isu etika dan
pergeseran peran ilmuwan. Ketergantungan yang terlalu besar pada AI dapat
menyebabkan peneliti kehilangan sebagian otonomi mereka dalam mengontrol
jalannya penelitian. Misalnya, ketika peneliti menerima hasil prediksi AI tanpa
melakukan evaluasi kritis, maka terjadi risiko delegasi tanggung jawab
pengetahuan kepada sistem komputasi (Mittelstadt et al., 2016).
Di sisi lain, penggunaan AI juga
menimbulkan dilema etis terkait kepemilikan data, privasi, dan keamanan. Dalam
penelitian medis, pemanfaatan data pasien yang sangat sensitif berpotensi
melanggar hak privasi individu jika tidak dikelola dengan regulasi yang ketat
(Floridi & Chiriatti, 2020). Di bidang lingkungan, penggunaan AI untuk
memodelkan perubahan iklim menimbulkan pertanyaan mengenai tanggung jawab
sosial ketika hasil prediksi tersebut dijadikan dasar kebijakan publik.
6.4.
Kompleksitas
Infrastruktur dan Ketimpangan Akses
Penerapan AI dalam penelitian sains
menuntut infrastruktur komputasi yang canggih, seperti superkomputer,
penyimpanan data skala besar, dan jaringan berkecepatan tinggi. Hal ini
menimbulkan ketimpangan antara institusi penelitian dengan sumber daya besar
dan institusi yang memiliki keterbatasan dana (Ahmed et al., 2020). Akibatnya,
hanya sebagian kecil komunitas ilmiah global yang dapat sepenuhnya memanfaatkan
potensi AI, sementara mayoritas peneliti di wilayah berkembang menghadapi
hambatan teknologi.
Ketimpangan ini tidak hanya
memperlambat kontribusi ilmiah dari negara-negara berkembang, tetapi juga
mempersempit cakupan pengetahuan ilmiah karena data global yang dianalisis
cenderung lebih representatif terhadap konteks tertentu.
6.5.
Risiko
Overreliance terhadap AI
Keterampilan analitis dan kreativitas
manusia merupakan komponen penting dalam penelitian sains. Namun, ketika AI
dianggap sebagai solusi utama dalam menjawab semua persoalan, ada risiko
terjadinya overreliance. Fenomena ini dapat menurunkan kapasitas kritis
peneliti, karena mereka cenderung menerima hasil analisis AI tanpa skeptisisme
ilmiah yang memadai (Marcus & Davis, 2019). Dalam jangka panjang, hal ini
berpotensi mengurangi inovasi konseptual yang bersumber dari refleksi manusia.
Bab ini menegaskan bahwa meskipun AI
membawa banyak keuntungan bagi penelitian sains, terdapat pula sisi gelap yang
harus diantisipasi. Potensi bias algoritmik, krisis validitas dan replikasi,
tantangan etis, ketimpangan infrastruktur, serta risiko overreliance
menjadi isu-isu penting yang harus dikaji lebih dalam. Kesadaran terhadap
tantangan ini penting agar penerapan AI dalam penelitian sains tetap berada
dalam koridor etika, epistemologi, dan metodologi yang sehat. Bab selanjutnya
akan membahas analisis epistemologis mengenai peran AI dalam mengubah lanskap
pengetahuan ilmiah.
7.
Analisis
Epistemologis
7.1.
AI
dan Konsep Kebenaran Ilmiah
Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat pengetahuan,
menghadirkan kerangka penting untuk menilai bagaimana kecerdasan buatan (AI)
mengubah cara sains memproduksi kebenaran. Dalam tradisi klasik, kebenaran
ilmiah dipahami sebagai hasil korespondensi antara teori dan realitas empiris,
yang diverifikasi melalui metode observasi dan eksperimen (Popper, 2002).
Kehadiran AI menantang pandangan ini karena algoritme mampu menghasilkan
prediksi yang akurat tanpa selalu menyajikan justifikasi yang dapat dipahami oleh manusia. Fenomena “black box”
dalam deep learning menimbulkan pertanyaan epistemologis mendasar: apakah hasil
yang dihasilkan AI dapat disebut pengetahuan jika mekanisme internalnya tidak
transparan (Burrell, 2016)?
Dengan demikian, AI menggeser orientasi kebenaran ilmiah dari paradigma
korespondensi menuju paradigma pragmatis: kebenaran dipandang sahih sejauh ia
mampu menghasilkan prediksi yang berhasil atau aplikasi yang efektif. Pergeseran ini menunjukkan bahwa epistemologi sains di era AI
semakin bercorak instrumental, meskipun tetap menyisakan dilema filosofis
mengenai legitimasi pengetahuan.
7.2.
Perubahan
dalam Epistemologi Sains
AI juga mempengaruhi epistemologi sains melalui pergeseran metodologis
dari teori-eksperimen menuju data-driven science. Tradisi sains abad ke-20
menekankan deduksi teori dan verifikasi empiris, sedangkan AI mengedepankan inferensi statistik dari big data tanpa memerlukan hipotesis
awal yang jelas (Kitchin, 2014). Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai
“data-intensive science” atau the fourth paradigm of science (Hey,
Tansley, & Tolle, 2009).
Implikasinya adalah, sains tidak lagi hanya dipahami sebagai upaya
rasional untuk menguji hipotesis, tetapi juga sebagai praktik komputasional
yang mencari pola dari data masif. Paradigma baru ini memberi peluang besar
bagi penemuan ilmiah,
namun juga menimbulkan risiko bahwa pengetahuan dapat dipersempit hanya pada
pola-pola statistik tanpa pemahaman kausalitas yang mendalam (Leonelli, 2016).
7.3.
AI
sebagai “Alat Bantu” atau “Aktor Epistemik”?
Pertanyaan kunci dalam analisis epistemologis adalah apakah AI hanya
berfungsi sebagai alat bantu teknis atau dapat dipandang sebagai aktor
epistemik. Sebagai alat bantu, AI diposisikan dalam kerangka instrumentalisme:
ia mempercepat proses analisis, tetapi kebenaran tetap ditentukan oleh
komunitas ilmiah manusia. Namun, semakin kompleks peran AI—misalnya dalam
menghasilkan hipotesis baru atau menemukan pola yang tidak terpikirkan oleh peneliti—muncul gagasan bahwa AI dapat
dianggap sebagai aktor epistemik yang turut berkontribusi pada produksi
pengetahuan (Bishop, 2009).
Pandangan ini menimbulkan dilema epistemologis. Jika AI dianggap sebagai
aktor epistemik, maka status ontologis pengetahuan ilmiah harus diperluas untuk
mencakup kontribusi non-manusia. Namun, jika tetap dianggap sebagai alat, maka
tanggung jawab penuh atas validasi pengetahuan harus tetap dipegang oleh
manusia. Dalam praktiknya, posisi epistemik AI tampaknya bersifat hibrid: ia
berfungsi sebagai co-producer of knowledge, di mana kecerdasan komputasi
dan intuisi manusia saling melengkapi (Floridi & Chiriatti, 2020).
7.4.
Epistemologi
Kolektif di Era AI
AI juga memunculkan bentuk baru epistemologi kolektif. Pengetahuan
ilmiah kini tidak lagi lahir dari individu atau komunitas manusia semata,
melainkan dari interaksi jaringan manusia dan mesin. Dalam ekologi data global, AI mengintegrasikan
beragam sumber data yang berasal dari laboratorium, observatorium, dan sensor
lingkungan untuk membentuk pengetahuan komprehensif (Leonelli, 2018). Dengan
demikian, pengetahuan ilmiah di era digital semakin merefleksikan sifat
kolaboratif, terdistribusi, dan transnasional.
Hal ini memperluas pemahaman epistemologi klasik yang menekankan peran
rasio manusia. AI memperlihatkan bahwa
kebenaran ilmiah dapat dihasilkan melalui kolaborasi multi-agen, yang
menggabungkan rasionalitas manusia, kekuatan komputasi, dan kompleksitas data
global.
Bab ini menegaskan bahwa analisis epistemologis atas AI dalam penelitian
sains menyingkap dilema mendalam:
apakah kebenaran ilmiah tetap berbasis korespondensi dan rasionalitas, ataukah
bergeser menjadi instrumen prediktif yang lebih pragmatis. AI menggeser
epistemologi sains ke arah paradigma data-driven, menghadirkan pertanyaan
tentang statusnya sebagai alat atau aktor epistemik, serta memperluas horizon
pengetahuan ke dalam bentuk epistemologi kolektif. Dengan demikian, AI bukan
hanya menambah kapasitas teknis sains, tetapi juga merekonstruksi fondasi
filosofis tentang apa yang disebut sebagai pengetahuan ilmiah.
8.
Analisis Metodologis
8.1.
Integrasi
Metode Tradisional dan AI
Metodologi penelitian sains secara tradisional bertumpu pada eksperimen
empiris, observasi sistematis, dan
analisis matematis. Kehadiran kecerdasan buatan (AI) tidak menggantikan
kerangka ini, melainkan menambah dimensi baru melalui integrasi metode
konvensional dengan pendekatan berbasis komputasi. Dalam bidang biologi,
misalnya, metode eksperimen laboratorium dipadukan dengan algoritme machine learning
untuk mempercepat analisis ekspresi gen. Pendekatan hibrid ini memungkinkan
validasi silang antara data empiris dan hasil prediksi algoritmik, sehingga
memperkuat reliabilitas penelitian (Libbrecht & Noble, 2015).
Integrasi ini juga memperkaya metode simulasi ilmiah. Dalam fisika, simulasi tradisional berbasis hukum
Newton atau persamaan diferensial kini diperkuat oleh model deep learning yang
mampu menangkap dinamika non-linear secara lebih presisi (Carleo et al., 2019).
Hal tersebut menunjukkan bahwa AI tidak sekadar menjadi alat tambahan,
melainkan mitra metodologis yang mendukung perkembangan paradigma riset.
8.2.
Redefinisi
Eksperimen dan Simulasi
Penerapan AI dalam penelitian sains telah mendorong redefinisi konsep
eksperimen dan simulasi. Eksperimen ilmiah yang sebelumnya dilakukan secara
fisik kini dapat digantikan atau dilengkapi dengan eksperimen in silico
berbasis AI. Dalam farmakologi, misalnya, drug discovery tidak lagi
semata dilakukan melalui uji laboratorium, tetapi melalui pemodelan molekul
menggunakan jaringan saraf tiruan untuk memprediksi efektivitas obat
(Zhavoronkov et al., 2019).
Sementara itu, simulasi ilmiah juga mengalami transformasi. AI
memungkinkan penciptaan model adaptif yang mampu belajar dari hasil simulasi
sebelumnya untuk memperbaiki akurasi
prediksi selanjutnya. Hal ini mempercepat proses penelitian yang sebelumnya
membutuhkan ribuan jam komputasi dengan mengurangi kebutuhan simulasi ulang
(Baker et al., 2019). Dengan demikian, metodologi ilmiah kini menggabungkan
eksperimen empiris, simulasi tradisional, dan eksperimen berbasis AI sebagai
tiga pilar utama.
8.3.
Reliabilitas
Hasil Penelitian Berbasis AI
Salah satu tantangan metodologis penting adalah reliabilitas hasil
penelitian berbasis AI. Model AI sering berfungsi sebagai “black box,”
menghasilkan output yang akurat tanpa mekanisme interpretasi yang jelas. Dalam
konteks sains, kondisi ini menimbulkan masalah karena reliabilitas tidak hanya ditentukan oleh akurasi, tetapi
juga oleh keterjelasan prosedur yang memungkinkan replikasi (Lipton, 2018).
Untuk mengatasi hal ini, berkembanglah bidang explainable AI
(XAI) yang bertujuan memberikan penjelasan transparan mengenai cara kerja
algoritme. Penerapan XAI menjadi penting dalam penelitian ilmiah agar hasil
yang diperoleh dapat dievaluasi, dikritisi, dan direplikasi oleh komunitas
akademik (Samek, Montavon, & Müller, 2021). Dengan demikian, reliabilitas
metodologis AI dapat dijaga melalui keseimbangan antara performa prediksi dan
keterbukaan interpretatif.
8.4.
Pergeseran
Logika Metodologis
Metodologi tradisional dalam sains umumnya mengikuti logika
hipotesis-deduktif: peneliti merumuskan hipotesis, melakukan eksperimen, lalu
menguji kebenarannya. Namun, AI memperkenalkan logika induktif-statistik, di
mana pola pengetahuan muncul dari
data tanpa hipotesis awal yang eksplisit (Kitchin, 2014). Pergeseran ini
menggeser peran teori dari pusat utama penelitian menuju posisi yang lebih
fleksibel sebagai interpretasi atas temuan data.
Meskipun demikian, pergeseran logika ini bukan berarti teori kehilangan
relevansi. Justru, teori tetap diperlukan untuk memberikan konteks interpretatif atas pola yang ditemukan AI.
Dengan kata lain, metodologi sains di era AI bersifat dua arah: teori
membimbing arah eksplorasi data, sementara AI membantu menemukan pola yang
memperkaya teori (Leonelli, 2016).
8.5.
Implikasi
Metodologis bagi Disiplin MIPA
Dalam disiplin MIPA, implikasi metodologis dari penggunaan AI sangat
signifikan. Di matematika, AI digunakan untuk menemukan bukti numerik dan pola
baru yang memicu munculnya hipotesis matematis (Davies et al., 2021). Di
fisika, AI membantu menyusun model energi partikel dengan akurasi tinggi. Di
ilmu lingkungan, AI digunakan untuk mengintegrasikan data iklim global dan
menghasilkan model prediksi perubahan iklim yang lebih komprehensif (Reichstein
et al., 2019).
Implikasi ini menunjukkan bahwa metodologi ilmiah tidak lagi linear dan
tunggal, melainkan bersifat eklektik, menggabungkan eksperimen empiris,
komputasi tradisional, dan algoritme AI. Pendekatan ini membuka kemungkinan baru dalam menjawab persoalan
ilmiah yang kompleks dan multidimensional.
Bab ini menegaskan bahwa analisis metodologis atas peran AI
memperlihatkan adanya transformasi mendalam dalam cara penelitian sains
dilakukan. AI memperluas metode tradisional, mendefinisikan ulang eksperimen
dan simulasi, serta menggeser logika metodologis dari hipotesis-deduktif menuju
data-driven. Namun, reliabilitas hasil tetap menjadi syarat utama, sehingga
keseimbangan antara kecanggihan teknologi dan prinsip-prinsip metodologi ilmiah
klasik harus dijaga. Dengan demikian, AI bukan hanya alat teknis, melainkan
katalis metodologis yang merekonstruksi lanskap penelitian sains kontemporer.
9.
Analisis Etis dan
Sosial
9.1.
Etika
Penggunaan AI dalam Penelitian Sains
Etika merupakan dimensi penting dalam
penerapan kecerdasan buatan (AI) di bidang penelitian sains. Penggunaan AI
tidak hanya berdampak pada kualitas hasil penelitian, tetapi juga menimbulkan
pertanyaan mengenai tanggung jawab moral atas data, metode, dan implikasi yang
dihasilkannya. Salah satu isu utama adalah transparansi. Banyak model AI,
khususnya deep learning, beroperasi sebagai “black box” sehingga sulit
dijelaskan bagaimana sebuah kesimpulan dicapai. Kondisi ini menimbulkan dilema
etis karena komunitas ilmiah menuntut keterbukaan prosedural agar hasil
penelitian dapat diverifikasi (Burrell, 2016).
Selain transparansi, isu etis lainnya
berkaitan dengan privasi dan keamanan data. Dalam penelitian medis, misalnya,
penggunaan data pasien yang bersifat sensitif menghadapi risiko pelanggaran hak
privasi jika tidak dikelola dengan regulasi ketat. Hal ini menuntut
pengembangan kerangka etika data yang menekankan prinsip informed consent,
proteksi data pribadi, serta penggunaan data hanya untuk tujuan penelitian yang
sah (Floridi & Taddeo, 2016).
9.2.
Implikasi
Sosial dari Dominasi AI
Di luar isu etis, penggunaan AI dalam
penelitian sains juga menimbulkan dampak sosial yang signifikan. Pertama,
terdapat risiko ketimpangan akses pengetahuan. Institusi penelitian dengan
sumber daya komputasi besar akan lebih diuntungkan dibanding institusi kecil
atau negara berkembang yang menghadapi keterbatasan infrastruktur. Hal ini
berpotensi memperdalam kesenjangan global dalam produksi ilmu pengetahuan
(Ahmed et al., 2020).
Kedua, dominasi AI dalam sains dapat
memengaruhi struktur kerja ilmuwan. Jika sebagian besar proses analisis dan
prediksi dialihkan kepada AI, peran manusia sebagai produsen utama pengetahuan
berisiko bergeser. Hal ini dapat menimbulkan krisis identitas bagi profesi
ilmuwan, karena nilai-nilai seperti intuisi, kreativitas, dan refleksi
filosofis bisa tersisih oleh efisiensi algoritmik (Mittelstadt et al., 2016).
Selain itu, ada dimensi sosial-politik
yang lebih luas. Hasil penelitian berbasis AI yang digunakan sebagai dasar
kebijakan publik dapat menimbulkan persoalan legitimasi. Misalnya, jika model
AI memprediksi dampak perubahan iklim tertentu, bagaimana masyarakat dapat
memastikan bahwa hasil prediksi tersebut benar-benar akurat dan tidak bias?
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa sains berbasis AI tidak dapat dilepaskan dari
kepercayaan publik serta mekanisme akuntabilitas sosial (Crawford, 2021).
9.3.
Regulasi
dan Tanggung Jawab Akademik
Untuk mengatasi tantangan etis dan
sosial, regulasi yang jelas diperlukan. Regulasi harus mencakup standar
transparansi algoritme, akuntabilitas penggunaan data, serta keadilan akses
terhadap teknologi AI. Uni Eropa melalui Ethics Guidelines for Trustworthy
AI menekankan tiga prinsip utama: lawful, ethical, dan robust AI, yang
dapat menjadi acuan dalam penelitian sains (European Commission, 2019).
Namun, regulasi saja tidak cukup.
Tanggung jawab akademik juga harus diperkuat. Komunitas ilmiah perlu
menginternalisasi nilai-nilai etis dalam penggunaan AI, termasuk kesadaran akan
potensi bias, perlindungan terhadap kelompok rentan, serta refleksi kritis atas
dampak sosial yang mungkin timbul. Dengan demikian, AI dapat dimanfaatkan bukan
hanya sebagai instrumen teknis, tetapi sebagai sarana untuk memperkuat tanggung
jawab moral sains terhadap masyarakat.
9.4.
Menuju
Etika Kolaboratif
Di era digital, pendekatan etis yang
relevan bukan hanya bersifat individual, tetapi kolaboratif. AI menciptakan
ekosistem pengetahuan baru di mana manusia, mesin, dan institusi saling
berinteraksi. Oleh karena itu, etika penggunaan AI harus dipandang sebagai
hasil konsensus kolektif antara ilmuwan, regulator, teknolog, dan masyarakat
sipil (Floridi & Chiriatti, 2020). Konsep etika kolaboratif ini memastikan
bahwa penelitian berbasis AI tidak hanya mengejar efisiensi ilmiah, tetapi juga
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan keberlanjutan.
Bab ini menunjukkan bahwa analisis etis
dan sosial atas penggunaan AI dalam penelitian sains tidak dapat diabaikan.
Transparansi, privasi, dan keadilan akses merupakan isu etis yang krusial,
sementara ketimpangan pengetahuan, perubahan struktur profesi ilmuwan, serta
legitimasi sosial menjadi tantangan yang lebih luas. Regulasi dan tanggung
jawab akademik, jika dipadukan dengan etika kolaboratif, dapat menjadi fondasi
untuk memastikan bahwa peran AI dalam sains tidak hanya mempercepat kemajuan
pengetahuan, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebutuhan
masyarakat global.
10.
Studi Kasus
10.1. Penerapan AI dalam Riset Biologi dan Kesehatan
Salah satu studi kasus paling menonjol
dalam pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) adalah dalam bidang biologi molekuler
dan kesehatan. Sistem AlphaFold yang dikembangkan oleh DeepMind berhasil
memprediksi struktur tiga dimensi protein dengan tingkat akurasi mendekati
hasil eksperimen laboratorium (Jumper et al., 2021). Penemuan ini merevolusi
biologi struktural karena permasalahan prediksi protein telah menjadi tantangan
ilmiah selama lebih dari lima dekade. Dengan kemampuan AI dalam memetakan
struktur protein, para ilmuwan kini dapat mempercepat penemuan obat baru,
memahami mekanisme penyakit, dan mengembangkan terapi yang lebih tepat sasaran.
Selain itu, dalam bidang kesehatan
publik, AI telah digunakan untuk menganalisis data epidemiologi dalam
memprediksi penyebaran penyakit menular. Selama pandemi COVID-19, model
berbasis machine learning mampu memprediksi kurva infeksi berdasarkan data mobilitas
dan interaksi sosial (Kucharski et al., 2020). Hal ini memberikan bukti nyata
bahwa AI dapat mendukung pengambilan keputusan cepat dalam situasi darurat
kesehatan global.
10.2. Penerapan AI dalam Fisika dan Astronomi
Bidang fisika dan astronomi juga
menunjukkan bagaimana AI dapat memperluas cakrawala penelitian ilmiah. Dalam
fisika partikel, AI digunakan di Large Hadron Collider (LHC) untuk menganalisis
data tabrakan partikel yang jumlahnya mencapai miliaran per detik. Algoritme
deep learning memungkinkan deteksi pola tabrakan yang relevan, misalnya untuk
mengidentifikasi jejak partikel baru yang dapat membuka pemahaman lebih lanjut
mengenai struktur dasar alam semesta (Radovic et al., 2018).
Dalam astronomi, AI telah digunakan
untuk mengklasifikasi galaksi, mendeteksi planet ekstrasurya, dan menganalisis
gelombang gravitasi. Sebagai contoh, jaringan saraf tiruan berhasil
mengidentifikasi sinyal gelombang gravitasi yang tersembunyi dalam data bising
dari observatorium LIGO, sesuatu yang sangat sulit dilakukan dengan metode
analisis manual (George & Huerta, 2018). Penerapan ini memperlihatkan bahwa
AI mampu menangani data astronomi berskala besar sekaligus mempercepat penemuan
kosmik yang signifikan.
10.3. Penerapan AI dalam Ilmu Lingkungan dan Klimatologi
AI juga memainkan peran kunci dalam
ilmu lingkungan, terutama dalam memahami dan memprediksi dinamika perubahan
iklim. Model berbasis machine learning digunakan untuk mengintegrasikan data
satelit, sensor cuaca, dan catatan historis iklim guna menghasilkan prediksi
yang lebih akurat mengenai pola cuaca ekstrem (Reichstein et al., 2019).
Kemampuan ini sangat penting untuk mitigasi bencana dan perencanaan adaptasi
iklim di berbagai negara.
Di bidang ekologi, AI dimanfaatkan
untuk memantau keanekaragaman hayati melalui analisis citra satelit dan suara
akustik dari lingkungan alam. Algoritme computer vision mampu mengidentifikasi
spesies dalam rekaman gambar atau video dengan tingkat akurasi tinggi, sehingga
mempercepat pemetaan ekosistem global (Christin, Hervet, & Lecomte, 2019).
Studi kasus ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya bermanfaat bagi pengembangan
ilmu teoretis, tetapi juga memiliki dampak praktis bagi kelestarian lingkungan dan
kebijakan publik.
10.4. Sintesis dari Studi Kasus
Dari ketiga bidang di atas, terlihat
bahwa AI memiliki kontribusi lintas disiplin dalam mempercepat, memperdalam,
dan memperluas jangkauan penelitian sains. Dalam biologi dan kesehatan, AI
membantu mengatasi tantangan struktural molekul kompleks. Dalam fisika dan
astronomi, AI mendukung penemuan fenomena kosmik yang sulit diakses. Sementara
dalam ilmu lingkungan, AI memperkuat kapasitas prediksi perubahan iklim dan
konservasi alam.
Studi kasus ini menegaskan bahwa peran
AI tidak terbatas pada fungsi teknis, melainkan juga membentuk ulang
metodologi, epistemologi, dan tanggung jawab sosial penelitian. Dengan
demikian, pemanfaatan AI di berbagai bidang sains tidak hanya merepresentasikan
revolusi teknologi, tetapi juga menandai transformasi mendasar dalam cara
manusia memahami alam semesta dan dirinya sendiri.
11.
Prospek Masa Depan
11.1. AI dan Paradigma Sains Abad ke-21
Masa depan penelitian sains akan semakin ditandai oleh keterlibatan
kecerdasan buatan (AI) dalam seluruh tahapan proses ilmiah. Jika abad ke-20
ditandai dengan transisi dari eksperimen manual ke komputasi digital, maka abad
ke-21 mencerminkan integrasi penuh
antara peneliti manusia dan sistem cerdas dalam menghasilkan pengetahuan.
Beberapa ilmuwan menyebut era ini sebagai the fourth paradigm of science,
yakni sains berbasis data intensif yang menempatkan AI sebagai instrumen utama
untuk menemukan pola, membangun model, dan memformulasikan hipotesis (Hey,
Tansley, & Tolle, 2009). Dengan kapasitasnya untuk mengolah big data, AI
diharapkan menjadi katalis utama dalam menjawab persoalan ilmiah yang sangat
kompleks, mulai dari pemahaman otak manusia hingga simulasi kosmologis berskala
besar.
11.2. Kolaborasi Multidisipliner
Prospek masa depan AI dalam penelitian sains juga erat kaitannya dengan
meningkatnya kolaborasi multidisipliner. AI memungkinkan penggabungan data dari
berbagai disiplin yang sebelumnya terfragmentasi, seperti genomik, klimatologi, fisika partikel, dan ilmu komputer. Misalnya,
riset mengenai perubahan iklim dapat mengintegrasikan data atmosfer, ekologi,
ekonomi, dan kebijakan publik melalui algoritme machine learning untuk
menghasilkan model prediksi yang lebih komprehensif (Reichstein et al., 2019).
Kolaborasi lintas disiplin ini tidak hanya memperluas cakupan
penelitian, tetapi juga menggeser batas-batas tradisional antarbidang ilmu. Dengan adanya AI, peneliti matematika
dapat bekerja sama dengan ahli biologi, atau ilmuwan komputer dengan fisikawan,
untuk menyelesaikan masalah global yang memerlukan pendekatan integratif.
11.3. Arah Pengembangan Penelitian Berbasis AI
Arah pengembangan penelitian berbasis AI ke depan dapat dipetakan dalam
beberapa tren utama. Pertama, munculnya explainable AI (XAI), yang
bertujuan mengatasi keterbatasan transparansi algoritme. Dengan XAI, hasil penelitian tidak hanya akurat, tetapi juga
dapat dijelaskan secara logis sehingga lebih sesuai dengan prinsip keterulangan
ilmiah (Samek, Montavon, & Müller, 2021).
Kedua, integrasi AI dengan komputasi kuantum diperkirakan akan
mempercepat revolusi metodologis. AI kuantum berpotensi menyelesaikan
perhitungan yang saat ini di luar jangkauan superkomputer klasik, seperti
pemodelan sistem molekul kompleks atau optimasi algoritme besar (Biamonte et
al., 2017). Ketiga, pengembangan AI yang lebih hemat energi akan menjadi fokus
penting, mengingat tantangan keberlanjutan yang dihadapi teknologi ini
(Strubell, Ganesh, & McCallum, 2019).
11.4. Tantangan Etis dan Sosial di Masa Depan
Meskipun prospeknya menjanjikan, penggunaan AI dalam sains tetap
menghadapi tantangan etis dan sosial. Regulasi internasional diperlukan untuk memastikan keadilan akses terhadap
teknologi, agar penelitian global tidak semakin timpang antara negara maju dan
berkembang (Crawford, 2021). Selain itu, diperlukan etika kolektif yang
menekankan tanggung jawab bersama dalam memanfaatkan AI untuk tujuan
kemanusiaan dan keberlanjutan (Floridi & Chiriatti, 2020).
Tantangan lain adalah memastikan bahwa AI tidak mengurangi peran
refleksi kritis manusia dalam penelitian. Sains masa depan harus menjaga
keseimbangan antara efisiensi algoritmik dan kreativitas ilmuwan. Dengan
demikian, AI dapat diposisikan bukan sebagai pengganti manusia, tetapi sebagai
mitra yang memperluas kapasitas epistemik dan metodologis penelitian.
11.5. Menuju Ekosistem Pengetahuan Baru
Prospek jangka panjang menunjukkan bahwa AI akan membentuk ekosistem
pengetahuan baru yang bersifat terdistribusi, kolaboratif, dan berbasis data
global. Pengetahuan ilmiah tidak lagi hanya lahir dari eksperimen lokal, tetapi
dari integrasi jaringan data
internasional yang dianalisis oleh sistem AI. Ekosistem ini dapat memperkuat
daya tanggap sains terhadap masalah global seperti krisis kesehatan, perubahan
iklim, dan keberlanjutan energi.
Dengan demikian, prospek masa depan AI dalam penelitian sains bukan
hanya menyangkut kecanggihan teknologi, melainkan juga arah perkembangan sains
sebagai praktik sosial dan filosofis. AI berpotensi menjadi motor utama
transformasi ilmiah abad ke-21, asalkan disertai dengan regulasi, etika, dan
kolaborasi global yang memastikan bahwa kemajuan pengetahuan tetap berpihak
pada kemanusiaan.
12.
Penutup
Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi salah satu kekuatan transformatif
terbesar dalam perkembangan penelitian sains kontemporer. Melalui analisis yang
telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa AI bukan hanya
alat teknis, melainkan katalis metodologis, epistemologis, dan sosial yang
merekonstruksi cara manusia memahami dan memproduksi pengetahuan ilmiah.
Dampak positif AI tampak nyata dalam peningkatan efisiensi, percepatan
penemuan ilmiah, serta kemampuan untuk
menemukan pola kompleks dari data berukuran masif (Libbrecht & Noble, 2015;
Jumper et al., 2021). AI juga berperan dalam memperluas akses pengetahuan dan
memperkuat kolaborasi lintas disiplin, sehingga mempercepat terciptanya
ekosistem penelitian yang inklusif dan global (Reichstein et al., 2019). Dengan
cara ini, AI membantu membuka horizon baru bagi sains, baik dalam ranah
biologi, fisika, astronomi, maupun ilmu lingkungan.
Namun, manfaat tersebut tidak lepas dari tantangan. Risiko bias
algoritmik, keterbatasan transparansi model, krisis replikasi, serta
ketimpangan infrastruktur menjadi persoalan mendasar yang harus diantisipasi
(Burrell, 2016; Crawford, 2021). Selain itu, AI memunculkan dilema etis
mengenai privasi,
akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial ilmuwan. Oleh karena itu, kehadiran AI
menuntut adanya kerangka regulasi, etika kolektif, dan sikap reflektif dari
komunitas akademik agar penggunaannya tidak hanya menghasilkan efisiensi,
tetapi juga selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan (Floridi & Chiriatti,
2020).
Secara epistemologis, AI memunculkan pergeseran dari paradigma
hipotesis-deduktif menuju paradigma data-driven, sekaligus menantang pemahaman klasik tentang
kebenaran ilmiah (Kitchin, 2014; Leonelli, 2016). Secara metodologis, AI
memperluas spektrum penelitian dengan menghadirkan eksperimen in silico
dan model prediksi berbasis komputasi yang melengkapi metode empiris. Sementara
itu, secara sosial, AI menuntut sains untuk lebih peka terhadap keadilan global dalam akses pengetahuan dan dampaknya
bagi masyarakat luas.
Dengan demikian, modul ini menegaskan bahwa AI adalah bagian integral
dari masa depan penelitian sains. Ia menawarkan potensi revolusioner sekaligus
tantangan yang signifikan. Prospek ke depan akan sangat ditentukan oleh
kemampuan komunitas ilmiah untuk menyeimbangkan antara kecanggihan algoritme dengan prinsip dasar sains: transparansi,
replikasi, dan tanggung jawab etis.
Pada akhirnya, AI bukan sekadar mempercepat penemuan, tetapi juga
mengubah cara manusia memahami dirinya sendiri dan alam semesta. Sains di era
AI akan semakin kolaboratif, multidisipliner, dan global, namun tetap
memerlukan peran reflektif manusia sebagai penuntun moral dan epistemik. Hanya dengan cara inilah,
kecerdasan buatan dapat benar-benar menjadi mitra yang memperkaya pengetahuan,
bukan sekadar instrumen teknis.
Daftar Pustaka
Ahmed, S.
M., Wahed, M., Khan, A., Akbar, M. I., & Das, A. K. (2020). The digital
divide and AI in developing countries. Journal of Information Technology for
Development, 26(3), 597–606. https://doi.org/10.1080/02681102.2020.1785019
Baker, N.,
Alexander, F., Bremer, T., Hagberg, A., Kevrekidis, I., Najm, H., Parashar, M.,
Sethian, J., Wild, S., Willcox, K., & Lee, S. (2019). Workshop report on
basic research needs for scientific machine learning: Core technologies for
artificial intelligence. U.S. Department of Energy, Office of Science. https://doi.org/10.2172/1478744
Barocas,
S., Hardt, M., & Narayanan, A. (2019). Fairness and machine learning.
Cambridge, MA: MIT Press.
Biamonte,
J., Wittek, P., Pancotti, N., Rebentrost, P., Wiebe, N., & Lloyd, S.
(2017). Quantum machine learning. Nature, 549(7671), 195–202. https://doi.org/10.1038/nature23474
Bishop, M.
(2009). Artificial intelligence as an epistemic tool. Minds and Machines, 19(3),
421–436. https://doi.org/10.1007/s11023-009-9163-7
Burrell, J.
(2016). How the machine ‘thinks’: Understanding opacity in machine learning
algorithms. Big Data & Society, 3(1), 1–12. https://doi.org/10.1177/2053951715622512
Carleo, G.,
Cirac, I., Cranmer, K., Daudet, L., Schuld, M., Tishby, N., Vogt-Maranto, L.,
& Zdeborová, L. (2019). Machine learning and the physical sciences. Reviews
of Modern Physics, 91(4), 045002. https://doi.org/10.1103/RevModPhys.91.045002
Chalmers,
A. F. (2013). What is this thing called science? (4th ed.). Buckingham:
Open University Press.
Christin,
S., Hervet, É., & Lecomte, N. (2019). Applications for deep learning in
ecology. Methods in Ecology and Evolution, 10(10), 1632–1644. https://doi.org/10.1111/2041-210X.13256
Coley, C.
W., Green, W. H., & Jensen, K. F. (2019). Machine learning in
computer-aided synthesis planning. Accounts of Chemical Research, 51(5),
1281–1289. https://doi.org/10.1021/acs.accounts.8b00571
Crawford,
K. (2021). Atlas of AI: Power, politics, and the planetary costs of
artificial intelligence. New Haven, CT: Yale University Press.
Crevier, D.
(1993). AI: The tumultuous history of the search for artificial intelligence.
New York, NY: Basic Books.
Davies, A.,
Bosio, B., Joshi, C. K., Buesing, L., Tomasev, N., Pascanu, R., … Kohli, P.
(2021). Advancing mathematics by guiding human intuition with AI. Nature,
600(7887), 70–74. https://doi.org/10.1038/s41586-021-04086-x
Esteva, A.,
Robicquet, A., Ramsundar, B., Kuleshov, V., DePristo, M., Chou, K., … Dean, J.
(2019). A guide to deep learning in healthcare. Nature Medicine, 25(1),
24–29. https://doi.org/10.1038/s41591-018-0316-z
European
Commission. (2019). Ethics guidelines for trustworthy AI. Brussels:
European Union.
Floridi,
L., & Chiriatti, M. (2020). GPT-3: Its nature, scope, limits, and
consequences. Minds and Machines, 30(4), 681–694. https://doi.org/10.1007/s11023-020-09548-1
Floridi,
L., & Taddeo, M. (2016). What is data ethics? Philosophical Transactions
of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences, 374(2083),
1–5. https://doi.org/10.1098/rsta.2016.0360
George, D.,
& Huerta, E. A. (2018). Deep neural networks to enable real-time
multimessenger astrophysics. Physical Review D, 97(4), 044039. https://doi.org/10.1103/PhysRevD.97.044039
Gil, Y.,
David, C., Greaves, M., & Hendler, J. (2014). Amplify scientific discovery
with artificial intelligence. Science, 346(6206), 171–172. https://doi.org/10.1126/science.1259439
Goodfellow,
I., Bengio, Y., & Courville, A. (2016). Deep learning. Cambridge,
MA: MIT Press.
Hempel, C.
G. (1966). Philosophy of natural science. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Hey, T.,
Tansley, S., & Tolle, K. (2009). The fourth paradigm: Data-intensive
scientific discovery. Redmond, WA: Microsoft Research.
Jordan, M.
I., & Mitchell, T. M. (2015). Machine learning: Trends, perspectives, and
prospects. Science, 349(6245), 255–260. https://doi.org/10.1126/science.aaa8415
Jumper, J.,
Evans, R., Pritzel, A., Green, T., Figurnov, M., Ronneberger, O., … Hassabis,
D. (2021). Highly accurate protein structure prediction with AlphaFold. Nature,
596(7873), 583–589. https://doi.org/10.1038/s41586-021-03819-2
Jurafsky,
D., & Martin, J. H. (2023). Speech and language processing (3rd
ed.). London: Pearson.
Kelleher,
J. D. (2019). Deep learning. Cambridge, MA: MIT Press.
Kitchin, R.
(2014). Big data, new epistemologies and paradigm shifts. Big Data &
Society, 1(1), 1–12. https://doi.org/10.1177/2053951714528481
Kucharski,
A. J., Russell, T. W., Diamond, C., Liu, Y., Edmunds, J., Funk, S., … Eggo, R.
M. (2020). Early dynamics of transmission and control of COVID-19: A
mathematical modelling study. The Lancet Infectious Diseases, 20(5),
553–558. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30144-4
Kuhn, T. S.
(2012). The structure of scientific revolutions (4th ed.). Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Latour, B.,
& Woolgar, S. (1986). Laboratory life: The construction of scientific
facts (2nd ed.). Princeton, NJ: Princeton University Press.
LeCun, Y.,
Bengio, Y., & Hinton, G. (2015). Deep learning. Nature, 521(7553),
436–444. https://doi.org/10.1038/nature14539
Leonelli,
S. (2016). Data-centric biology: A philosophical study. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Leonelli,
S. (2018). Global data for local science: Assessing the reproducibility and
reusability of digital data. Data Science Journal, 17(13), 1–12. https://doi.org/10.5334/dsj-2018-013
Libbrecht,
M. W., & Noble, W. S. (2015). Machine learning applications in genetics and
genomics. Nature Reviews Genetics, 16(6), 321–332. https://doi.org/10.1038/nrg3920
Lipton, Z.
C. (2018). The mythos of model interpretability. Communications of the ACM,
61(10), 36–43. https://doi.org/10.1145/3233231
Lu, W., Yu,
H., & Cai, Y. (2019). Artificial intelligence and open science: Tools,
implications, and challenges. Frontiers in Big Data, 2(32), 1–9. https://doi.org/10.3389/fdata.2019.00032
Marcus, G.,
& Davis, E. (2019). Rebooting AI: Building artificial intelligence we
can trust. New York, NY: Pantheon Books.
Merton, R.
K. (1973). The sociology of science: Theoretical and empirical
investigations. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Mitchell,
M. (2009). Complexity: A guided tour. Oxford: Oxford University Press.
Mittelstadt,
B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter, S., & Floridi, L. (2016). The ethics
of algorithms: Mapping the debate. Big Data & Society, 3(2), 1–21. https://doi.org/10.1177/2053951716679679
Nilsson, N.
J. (2010). The quest for artificial intelligence: A history of ideas and
achievements. Cambridge: Cambridge University Press.
Popper, K.
(2002). The logic of scientific discovery. London: Routledge.
Radovic,
A., Williams, M., Rousseau, D., Kagan, M., Bonacorsi, D., Himmel, A., …
Whiteson, D. (2018). Machine learning at the energy and intensity frontiers of
particle physics. Nature, 560(7716), 41–48. https://doi.org/10.1038/s41586-018-0361-2
Regev, A.,
Teichmann, S. A., Lander, E. S., Amit, I., Benoist, C., Birney, E., … Human
Cell Atlas Consortium. (2017). The Human Cell Atlas. eLife, 6, e27041. https://doi.org/10.7554/eLife.27041
Reichstein,
M., Camps-Valls, G., Stevens, B., Jung, M., Denzler, J., Carvalhais, N., &
Prabhat. (2019). Deep learning and process understanding for data-driven Earth
system science. Nature, 566(7743), 195–204. https://doi.org/10.1038/s41586-019-0912-1
Russell,
S., & Norvig, P. (2021). Artificial intelligence: A modern approach
(4th ed.). London: Pearson.
Samek, W.,
Montavon, G., & Müller, K. R. (2021). Explaining deep learning models—A
review of methods and applications. Frontiers in Artificial Intelligence, 4(608486),
1–16. https://doi.org/10.3389/frai.2021.608486
Schawinski,
K., Zhang, C., Zhang, H., Fowler, L., & Santhanam, G. K. (2017). Generative
adversarial networks recover features in astrophysical images of galaxies
beyond the deconvolution limit. Monthly Notices of the Royal Astronomical
Society: Letters, 467(1), L110–L114. https://doi.org/10.1093/mnrasl/slx008
Strubell,
E., Ganesh, A., & McCallum, A. (2019). Energy and policy considerations for
deep learning in NLP. Proceedings of the 57th Annual Meeting of the
Association for Computational Linguistics, 3645–3650. https://doi.org/10.18653/v1/P19-1355
Sutton, R.
S., & Barto, A. G. (2018). Reinforcement learning: An introduction
(2nd ed.). Cambridge, MA: MIT Press.
Szeliski,
R. (2022). Computer vision: Algorithms and applications (2nd ed.). Cham:
Springer.
Turing, A.
M. (1950). Computing machinery and intelligence. Mind, 59(236), 433–460.
https://doi.org/10.1093/mind/LIX.236.433
Zhavoronkov,
A., Ivanenkov, Y., Aliper, A., Veselov, M., Aladinskiy, V., Aladinskaya, A., …
Zholus, A. (2019). Deep learning enables rapid identification of potent DDR1
kinase inhibitors. Nature Biotechnology, 37(9), 1038–1040. https://doi.org/10.1038/s41587-019-0224-x

Tidak ada komentar:
Posting Komentar