Selasa, 23 September 2025

Filsafat dan Agama: Sebuah Kajian Komprehensif tentang Hubungan, Dialog, dan Tantangannya

Filsafat dan Agama

Sebuah Kajian Komprehensif tentang Hubungan, Dialog, dan Tantangannya


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif hubungan antara filsafat dan agama, dua bidang yang sejak awal sejarah intelektual manusia memainkan peran penting dalam pencarian kebenaran dan makna hidup. Filsafat, dengan pendekatan rasional-kritis, berupaya menyingkap hakikat realitas melalui refleksi konseptual, sementara agama, dengan landasan wahyu dan iman, menghadirkan horizon transendental yang memberi arah moral dan spiritual. Kajian ini menelusuri dinamika historis interaksi keduanya, mulai dari filsafat Yunani Kuno, Patristik dan Skolastik, tradisi Islam klasik, hingga refleksi modern dan kontemporer.

Analisis dilanjutkan dengan menelaah dimensi epistemologis, ontologis-metafisik, etis, serta eksistensial-psikologis, yang memperlihatkan titik temu sekaligus perbedaan mendasar antara filsafat dan agama. Ketegangan yang muncul tidak hanya menimbulkan konflik, tetapi juga memicu dialog, integrasi, dan sintesis yang memperkaya khazanah pemikiran manusia. Artikel ini menegaskan relevansi filsafat dan agama dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti sekularisme, pluralisme, sains modern, etika global, dan krisis spiritualitas.

Refleksi filosofis-spiritual yang ditawarkan menunjukkan bahwa filsafat dan agama dapat saling melengkapi: filsafat memberi perangkat kritis untuk menjaga rasionalitas, sementara agama menyediakan orientasi transendental yang melampaui keterbatasan akal. Dengan demikian, sintesis keduanya berpotensi melahirkan paradigma kehidupan yang lebih utuh, yang tidak hanya memperkaya intelektualitas, tetapi juga memperdalam spiritualitas manusia modern.

Kata Kunci: Filsafat; Agama; Epistemologi; Ontologi; Etika; Eksistensialisme; Dialog; Sintesis; Spiritualitas; Modernitas


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat dan Agama


1.          Pendahuluan

1.1.      Latar Belakang

Hubungan antara filsafat dan agama merupakan salah satu tema sentral dalam sejarah pemikiran manusia. Filsafat, yang secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia—“cinta kebijaksanaan”—bertujuan untuk memahami realitas melalui refleksi rasional dan argumentatif. Agama, di sisi lain, bersumber dari wahyu dan tradisi keimanan yang memberikan orientasi moral, spiritual, dan eksistensial bagi kehidupan manusia. Kedua bidang ini, meskipun berbeda landasan epistemologisnya, sama-sama berusaha menjawab pertanyaan fundamental tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta.¹

Dalam lintasan sejarah, filsafat dan agama tidak hanya berinteraksi dalam bentuk dialog harmonis, tetapi juga dalam ketegangan yang melahirkan kontroversi. Di satu sisi, filsafat dianggap sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman iman dengan menggunakan nalar. Di sisi lain, ia juga dituduh berpotensi mereduksi wahyu ke dalam kerangka akal manusia yang terbatas.² Oleh karena itu, kajian sistematis mengenai filsafat dan agama menjadi relevan untuk memahami bagaimana keduanya berkontribusi terhadap pembentukan horizon pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban.

1.2.      Rumusan Masalah

Permasalahan utama yang hendak dikaji dalam artikel ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan pokok:

1)                 Bagaimana konsep dasar filsafat dan agama dapat dipahami secara akademis?

2)                 Bagaimana dinamika hubungan keduanya sepanjang sejarah, baik dalam bentuk konflik maupun dialog?

3)                 Bagaimana perbedaan epistemologis, ontologis, dan etis antara filsafat dan agama memengaruhi cara pandang manusia terhadap realitas?

4)                 Apa relevansi filsafat dan agama dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti sekularisme, pluralisme, dan perkembangan sains modern?

1.3.      Tujuan Kajian

Artikel ini bertujuan untuk:

·                     Menyajikan analisis komprehensif tentang filsafat dan agama dari sudut pandang historis, konseptual, dan kritis.

·                     Menggali titik temu serta perbedaan epistemologis antara filsafat dan agama.

·                     Merefleksikan kontribusi keduanya dalam merespons problem-problem kemanusiaan kontemporer.

1.4.      Metodologi

Kajian ini menggunakan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan analisis historis, filosofis, dan teologis. Sumber utama berasal dari literatur klasik (Plato, Aristoteles, Agustinus, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Thomas Aquinas) hingga pemikiran modern (Descartes, Kant, Kierkegaard, Nietzsche), serta literatur kontemporer mengenai filsafat agama.³ Pendekatan komparatif juga digunakan untuk menelusuri bagaimana filsafat dan agama saling menafsirkan, mengkritik, sekaligus melengkapi dalam berbagai konteks sejarah.

1.5.      Signifikansi Kajian

Kajian ini diharapkan memberi kontribusi akademik dalam memahami relasi filsafat dan agama secara komprehensif, sekaligus membuka ruang refleksi filosofis-spiritual dalam konteks kehidupan modern. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praktis dalam memberikan wawasan etis dan eksistensial bagi masyarakat kontemporer.⁴


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 12–15.

[2]                Etienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–30.

[3]                John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 1–5.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 3–6.


2.          Konsep Dasar Filsafat dan Agama

2.1.      Definisi Filsafat

Secara etimologis, filsafat berasal dari kata Yunani philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan), sehingga berarti “cinta kebijaksanaan.”¹ Dalam pengertian klasik, filsafat dipahami sebagai usaha rasional manusia untuk memahami realitas, baik dalam dimensi kosmologis, epistemologis, maupun etis. Plato menekankan filsafat sebagai pencarian kebenaran yang abadi melalui dialektika, sementara Aristoteles melihat filsafat sebagai pengetahuan tertinggi yang mengkaji sebab-sebab pertama (causa prima) dan prinsip-prinsip universal dari segala sesuatu.²

Dalam perkembangan modern, filsafat semakin beragam makna dan cabangnya. René Descartes mendefinisikan filsafat sebagai “pengetahuan yang sempurna” yang mencakup semua ilmu, sementara Immanuel Kant membatasinya pada upaya manusia menjawab empat pertanyaan fundamental: “Apa yang dapat saya ketahui? Apa yang seharusnya saya lakukan? Apa yang boleh saya harapkan? Apa itu manusia?”³ Dengan demikian, filsafat tidak hanya bersifat spekulatif, melainkan juga praktis dalam membimbing tindakan manusia.

2.2.      Definisi Agama

Agama, secara terminologis, berasal dari kata Latin religare yang berarti “mengikat kembali” atau “relasi dengan yang suci.”⁴ Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan, ibadah, dan moral yang berakar pada keyakinan terhadap Yang Transenden. Dalam tradisi Islam, agama (al-dīn) dipahami sebagai ketaatan kepada Allah yang diturunkan melalui wahyu kepada para nabi, yang mencakup aspek akidah, syariat, dan akhlak.⁵ Tradisi Kristen memandang agama sebagai persekutuan manusia dengan Allah melalui iman dan keselamatan dalam Kristus.⁶

Agama memiliki beberapa dimensi utama: (1) dimensi keimanan atau keyakinan terhadap Tuhan dan hal-hal gaib, (2) dimensi ritual dan ibadah sebagai ekspresi keyakinan, (3) dimensi moral sebagai pedoman etis, dan (4) dimensi sosial yang mengikat komunitas pemeluknya.⁷ Dengan kata lain, agama berfungsi sebagai orientasi eksistensial yang memberikan makna, tujuan, serta tata nilai dalam kehidupan manusia.

2.3.      Persamaan dan Perbedaan Ontologis

Filsafat dan agama sama-sama berusaha menjawab pertanyaan mendasar mengenai hakikat realitas, manusia, dan tujuan hidup. Persamaannya terletak pada orientasi pencarian kebenaran yang melampaui fenomena empiris, serta upaya memberikan kerangka makna bagi kehidupan. Perbedaannya, filsafat mengandalkan kekuatan akal, logika, dan refleksi kritis; sedangkan agama bersandar pada wahyu, iman, dan otoritas transenden.

Meski demikian, tidak sedikit pemikir yang mencoba mengintegrasikan keduanya. Al-Farabi, misalnya, menyatakan bahwa filsafat dan agama memiliki tujuan yang sama—yakni kebenaran—tetapi berbeda dalam metode pencapaiannya: filsafat melalui demonstrasi rasional, agama melalui simbol dan wahyu.⁸ Thomas Aquinas dalam tradisi Kristen juga menekankan harmoni antara iman dan akal, dengan menyatakan bahwa wahyu dan filsafat, meski berbeda sumber, tidak mungkin saling bertentangan karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.⁹

2.4.      Fungsi dan Relevansi dalam Kehidupan Manusia

Baik filsafat maupun agama memiliki fungsi penting bagi eksistensi manusia. Filsafat berperan sebagai sarana refleksi kritis yang membebaskan manusia dari belenggu dogmatisme dan mendorong lahirnya ilmu pengetahuan. Agama, pada sisi lain, berfungsi sebagai pedoman spiritual dan moral yang menata kehidupan individu maupun kolektif.

Dalam konteks kontemporer, hubungan filsafat dan agama menjadi semakin relevan. Sains modern yang lahir dari tradisi filosofis menghadirkan pertanyaan etis dan eksistensial yang sering kali hanya dapat dijawab secara memadai dengan perspektif religius. Sebaliknya, agama dalam masyarakat plural membutuhkan refleksi filosofis agar tidak terjebak dalam fundamentalisme atau eksklusivisme.¹⁰ Dengan demikian, filsafat dan agama bukanlah domain yang saling meniadakan, melainkan dua jalan yang dapat saling memperkaya dalam pencarian makna hidup.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 3–5.

[2]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. IV (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 12–15.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 672.

[4]                Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion (New York: Harcourt, 1959), 25–27.

[5]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 22.

[6]                Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 45–48.

[7]                Ninian Smart, The World’s Religions (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 10–14.

[8]                Al-Farabi, On the Perfect State, trans. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 57–59.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 1, a. 8.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 10–12.


3.          Sejarah Hubungan Filsafat dan Agama

3.1.      Masa Yunani Kuno

Sejarah hubungan filsafat dan agama dapat ditelusuri sejak peradaban Yunani Kuno. Pada masa ini, filsafat muncul sebagai usaha rasional untuk menjelaskan realitas, berbeda dengan mitos keagamaan yang sebelumnya mendominasi kehidupan masyarakat. Pemikir pra-Sokrates seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos mencoba memahami asal-usul kosmos melalui prinsip-prinsip rasional, bukan semata-mata melalui kisah mitologis.¹ Plato mengangkat gagasan tentang Idea atau Form sebagai realitas transenden yang menjadi dasar segala sesuatu, sedangkan Aristoteles mengajukan konsep causa prima (sebab pertama) yang bersifat ilahi.² Dengan demikian, dalam filsafat Yunani, terdapat upaya untuk menjembatani dimensi rasional dengan yang transenden.

3.2.      Masa Patristik dan Skolastik

Ketika agama Kristen berkembang pada abad pertama Masehi, hubungan filsafat dan agama mengambil bentuk baru. Para Bapa Gereja (Patristik), seperti Agustinus, berusaha mengintegrasikan filsafat Plato dengan teologi Kristen. Agustinus menekankan bahwa iman mendahului akal, tetapi akal tetap berperan dalam memperdalam iman.³ Pada Abad Pertengahan, tradisi Skolastik mencapai puncaknya melalui pemikiran Thomas Aquinas yang menggabungkan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Aquinas menegaskan bahwa wahyu dan akal, meskipun berbeda sumbernya, tetap harmonis karena keduanya berasal dari Tuhan.⁴

Namun, periode ini juga menyaksikan ketegangan. Beberapa pemikir yang terlalu menekankan rasionalitas, seperti kaum Averrois Latin, sering dicurigai menggeser otoritas iman. Konflik antara filsafat dan otoritas gereja juga tampak dalam kasus Galileo pada abad ke-17, yang menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari kosmologi teologis ke kosmologi ilmiah.⁵

3.3.      Periode Islam Klasik

Dalam peradaban Islam klasik, filsafat dan agama mengalami perkembangan yang dinamis. Para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd berusaha menyelaraskan ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Ibn Sina mengembangkan konsep wajib al-wujud (wujud niscaya) untuk menjelaskan keberadaan Tuhan, sementara Ibn Rusyd menegaskan bahwa wahyu dan filsafat tidak mungkin bertentangan karena keduanya menuju pada kebenaran yang sama.⁶

Namun, tidak semua ulama menerima pendekatan ini. Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan Para Filosof), mengkritik para filosof yang dianggapnya berlebihan dalam menggunakan akal sehingga menyimpang dari akidah Islam.⁷ Meskipun demikian, perdebatan tersebut justru memperkaya khazanah intelektual Islam dan melahirkan tradisi ilmu kalam serta filsafat Islam yang khas.

3.4.      Era Modern dan Kontemporer

Memasuki era modern, hubungan filsafat dan agama mengalami perubahan signifikan. Descartes menekankan rasionalitas dan metode keraguan sebagai dasar pengetahuan, yang berimplikasi pada sekularisasi ilmu. Immanuel Kant kemudian mencoba mendamaikan iman dan akal dengan membatasi ranah pengetahuan manusia hanya pada fenomena, sementara agama diposisikan dalam ranah praktis-etis.⁸

Pada abad ke-19, muncul filsuf-filsuf kritis terhadap agama, seperti Feuerbach yang menafsirkan agama sebagai proyeksi kebutuhan manusia, Nietzsche yang menyatakan “Tuhan telah mati,” serta Marx yang melihat agama sebagai “candu masyarakat.”⁹ Di sisi lain, Kierkegaard dan kemudian pemikir eksistensialis seperti Gabriel Marcel justru menekankan pentingnya iman sebagai dimensi eksistensial manusia.¹⁰

Dalam konteks kontemporer, muncul upaya baru untuk membangun dialog antara filsafat dan agama, khususnya dalam menghadapi tantangan global seperti sekularisme, pluralisme, krisis ekologi, dan perkembangan sains modern. Pemikir seperti Paul Tillich, John Hick, dan Seyyed Hossein Nasr berusaha mengintegrasikan filsafat dengan perspektif teologis maupun spiritual dalam menjawab problem-problem kemanusiaan.¹¹


Refleksi Historis

Sejarah menunjukkan bahwa hubungan filsafat dan agama tidak pernah statis, melainkan dinamis dan kontekstual. Dalam periode tertentu, keduanya berada dalam ketegangan, tetapi dalam momen lain keduanya justru saling melengkapi. Dari mitos Yunani hingga filsafat modern, dari teologi Kristen hingga filsafat Islam, interaksi filsafat dan agama selalu melahirkan gagasan-gagasan baru yang memperkaya khazanah pemikiran manusia.


Footnotes

[1]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 45–47.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 105–110.

[3]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), VII, 10.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 1, a. 8.

[5]                Pietro Redondi, Galileo Heretic (Princeton: Princeton University Press, 1987), 55–60.

[6]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 45–50.

[7]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 12–15.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), Bxxvii–Bxxx.

[9]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12–20; Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–82.

[10]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 54–59.

[11]             John Hick, An Interpretation of Religion (New Haven: Yale University Press, 1989), 1–5; Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 25–30.


4.          Dimensi Epistemologis

4.1.      Epistemologi dalam Filsafat

Epistemologi, atau teori pengetahuan, merupakan salah satu cabang inti dalam filsafat yang menelaah sumber, metode, dan validitas pengetahuan manusia. Sejak masa Yunani, filsuf seperti Plato menekankan pembedaan antara doxa (opini) dan episteme (pengetahuan sejati) yang hanya dapat dicapai melalui rasio dan kontemplasi intelektual.¹ Aristoteles, sebaliknya, menekankan peran pengalaman inderawi sebagai awal pengetahuan, yang kemudian diolah melalui abstraksi intelektual.²

Dalam filsafat modern, epistemologi berkembang semakin kompleks. René Descartes menekankan rasionalisme dan metode keraguan sistematis untuk mencapai kepastian.³ Sebaliknya, John Locke dan David Hume meletakkan dasar empirisme, yang menekankan pengalaman inderawi sebagai fondasi seluruh pengetahuan.⁴ Immanuel Kant mencoba mendamaikan kedua pendekatan ini dengan menunjukkan bahwa pengalaman inderawi dan kategori apriori rasio sama-sama diperlukan dalam membangun pengetahuan.⁵ Dengan demikian, epistemologi filsafat menekankan proses kritis, rasional, dan argumentatif dalam memahami realitas.

4.2.      Epistemologi dalam Agama

Dalam tradisi agama, epistemologi tidak hanya bertumpu pada rasio dan pengalaman empiris, melainkan pada wahyu, iman, dan intuisi spiritual. Wahyu dipandang sebagai sumber pengetahuan transenden yang melampaui keterbatasan akal manusia. Dalam Islam, Al-Qur’an menjadi sumber utama pengetahuan yang diyakini mutlak kebenarannya.⁶ Demikian pula dalam tradisi Kristen, wahyu dipahami sebagai penyataan diri Allah melalui Kitab Suci dan inkarnasi Kristus.⁷

Selain wahyu, iman menjadi instrumen epistemologis yang memungkinkan manusia mengakses kebenaran yang tidak dapat dicapai oleh akal semata. Søren Kierkegaard, misalnya, menegaskan bahwa iman melibatkan “lompatan eksistensial” ke dalam misteri ilahi, yang melampaui bukti rasional.⁸ Dalam tradisi mistik baik Islam maupun Kristen, intuisi spiritual dan pengalaman religius juga dipandang sebagai jalan sahih menuju pengetahuan tentang Yang Ilahi.⁹

4.3.      Ketegangan Epistemologis

Ketegangan antara filsafat dan agama terutama terletak pada perbedaan cara memperoleh pengetahuan. Filsafat menekankan rasionalitas kritis dan skeptisisme metodologis, sementara agama menekankan wahyu dan iman sebagai otoritas kebenaran. Konflik Galileo dengan Gereja Katolik mencerminkan pertentangan epistemologis antara observasi ilmiah dan tafsir teologis pada abad ke-17.¹⁰

Namun, tidak semua interaksi bersifat konflik. Ibn Rusyd menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara wahyu dan filsafat, karena keduanya pada akhirnya menuju pada kebenaran yang sama.¹¹ Thomas Aquinas juga menyatakan bahwa akal dapat meneguhkan iman, meskipun ada kebenaran tertentu yang hanya dapat diakses melalui wahyu.¹² Dengan demikian, ketegangan epistemologis sering kali menjadi ruang dialog yang produktif bagi pengembangan pemikiran.

4.4.      Komplementaritas Epistemologis

Dalam perspektif kontemporer, filsafat dan agama justru dapat saling melengkapi. Filsafat memberikan perangkat kritis untuk menafsirkan teks keagamaan secara rasional, sehingga terhindar dari dogmatisme dan fundamentalisme. Sebaliknya, agama memberikan horizon makna dan arah etis yang tidak selalu dapat dicapai filsafat semata.¹³ Paul Tillich, misalnya, menekankan bahwa iman selalu berakar pada dimensi “ultimate concern” manusia, yang dapat dipahami lebih dalam dengan analisis filosofis.¹⁴

Dalam konteks ini, epistemologi filsafat dan agama tidak harus dipertentangkan, melainkan dipahami sebagai dua pendekatan berbeda yang dapat bersinergi. Filsafat berperan sebagai refleksi kritis, sedangkan agama menawarkan horizon transendental yang memberi kedalaman eksistensial.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 476e–480a.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), I, 1.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12–18.

[4]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: T. Tegg and Son, 1836), II, 1–3; David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2008), 15–18.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B75–B78.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 22–23.

[7]                Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 45–46.

[8]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 54–55.

[9]                William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 379–382.

[10]             Pietro Redondi, Galileo Heretic (Princeton: Princeton University Press, 1987), 58–61.

[11]             Ibn Rushd (Averroes), The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 5–6.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 1, a. 8.

[13]             John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 4–6.

[14]             Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 1–3.


5.          Dimensi Ontologis dan Metafisik

5.1.      Ontologi dalam Filsafat

Ontologi, sebagai cabang filsafat, membahas tentang “ada” dan “keberadaan” dalam makna yang paling fundamental. Aristoteles mendefinisikan filsafat pertama sebagai ilmu tentang being qua being, yakni keberadaan sejauh ia adalah keberadaan.¹ Dalam tradisi filsafat klasik, pertanyaan tentang hakikat realitas, substansi, dan perubahan menjadi pusat perhatian.

Tradisi modern dan kontemporer kemudian memperluas cakupan ontologi. Martin Heidegger, misalnya, membedakan antara Sein (Ada) dan Seiendes (yang-ada), dengan menekankan bahwa filsafat Barat terlalu sering melupakan pertanyaan tentang makna Ada itu sendiri.² Dengan demikian, filsafat ontologis terus berusaha menjawab pertanyaan mendasar: apa hakikat realitas, bagaimana ia hadir, dan apa posisinya terhadap manusia?

5.2.      Ontologi dalam Agama

Dalam perspektif agama, ontologi berakar pada keyakinan akan realitas transenden, yaitu Tuhan sebagai sumber dan dasar segala keberadaan. Dalam Islam, Tuhan disebut sebagai al-Wājib al-Wujūd (Yang Niscaya Ada), sedangkan segala sesuatu selain-Nya adalah mumkin al-wujūd (yang mungkin ada).³ Pandangan ini dikembangkan secara filosofis oleh Ibn Sina dan dilanjutkan dalam tradisi filsafat Islam.

Dalam tradisi Kristen, ontologi dipahami melalui doktrin creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan), yang menegaskan bahwa seluruh realitas bergantung secara radikal kepada Tuhan sebagai Pencipta.⁴ Sementara itu, dalam tradisi Hindu dan Buddha, ontologi agama mengambil bentuk berbeda, seperti konsep Brahman sebagai realitas mutlak atau doktrin anatta (tanpa-aku) yang menolak substansi tetap.⁵

5.3.      Tuhan sebagai Realitas Metafisik

Baik filsafat maupun agama sama-sama menempatkan Tuhan atau prinsip transenden sebagai pusat realitas metafisik, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Filsafat klasik, misalnya, memperkenalkan konsep “causa prima” atau “penggerak tak tergerakkan” (Aristoteles), sementara Plotinus mengajukan gagasan tentang “Sang Satu” sebagai sumber emanasi segala realitas.⁶

Dalam agama, Tuhan tidak hanya dipahami sebagai sebab pertama, tetapi juga sebagai pribadi yang berelasi dengan manusia melalui wahyu, doa, dan ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi metafisik agama tidak semata-mata bersifat spekulatif, melainkan juga eksistensial dan personal.

5.4.      Esensi dan Eksistensi

Perdebatan penting dalam dimensi metafisik adalah tentang relasi antara esensi (māhiyyah) dan eksistensi (wujūd). Dalam filsafat Islam, khususnya oleh Ibn Sina, esensi dipandang mendahului eksistensi, sedangkan eksistensi hanyalah aksiden yang melekat pada esensi.⁷ Namun, pandangan ini dikritik oleh Mulla Sadra dengan doktrin ashālat al-wujūd (primasi eksistensi), yang menyatakan bahwa eksistensi lebih fundamental daripada esensi.⁸

Dalam filsafat Barat, eksistensialisme menggeser paradigma dengan menekankan eksistensi di atas esensi. Sartre, misalnya, menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi,” menandai perbedaan mendasar dengan metafisika tradisional.⁹

5.5.      Transendensi dan Immanensi

Dimensi metafisik juga menyangkut persoalan transendensi dan immanensi Tuhan. Dalam teologi monoteistik (Islam, Kristen, dan Yahudi), Tuhan dipandang transenden, melampaui ciptaan-Nya, namun sekaligus imanen dalam menopang eksistensi segala sesuatu.¹⁰ Ketegangan antara transendensi dan immanensi ini memunculkan beragam pendekatan teologis, mulai dari deisme yang menekankan keterpisahan Tuhan, hingga panteisme yang menekankan kehadiran-Nya dalam segala sesuatu.


Refleksi Filosofis dan Teologis

Dimensi ontologis dan metafisik filsafat dan agama menunjukkan adanya keterhubungan mendalam. Filsafat menyediakan kerangka konseptual untuk memahami realitas secara abstrak, sementara agama memberikan horizon transendental yang mengikat realitas pada makna dan tujuan ilahi. Keduanya, meski berbeda pendekatan, sama-sama berupaya menjawab pertanyaan eksistensial manusia tentang asal-usul, hakikat, dan tujuan hidup.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), IV, 1.

[2]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–25.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 28–30.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 45, a. 1.

[5]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. II (London: George Allen & Unwin, 1927), 23–25.

[6]                Plotinus, The Enneads, trans. A.H. Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), V, 1.

[7]                Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed. Sulayman Dunya (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1957), 121–22.

[8]                Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1981), I, 45–48.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[10]             Karl Rahner, The Trinity, trans. Joseph Donceel (New York: Herder and Herder, 1970), 21–24.


6.          Dimensi Etis

6.1.      Etika dalam Tradisi Filsafat

Etika, sebagai cabang filsafat praktis, membahas prinsip-prinsip moral yang mengarahkan tindakan manusia. Dalam filsafat Yunani Kuno, Socrates menekankan pentingnya pengetahuan moral dengan adagium terkenal: the unexamined life is not worth living (“hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani”).¹ Plato mengaitkan etika dengan pencapaian kebaikan tertinggi, sedangkan Aristoteles mengembangkan konsep eudaimonia (kebahagiaan sejati) yang dicapai melalui kebajikan (arete) dan hidup dalam keselarasan dengan rasio.²

Pada era modern, muncul pendekatan etika yang lebih beragam. Immanuel Kant mengajukan etika deontologis dengan prinsip imperatif kategoris, yakni bertindak hanya menurut maksima yang dapat dijadikan hukum universal.³ Sebaliknya, Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menekankan utilitarianisme, yaitu prinsip mencari “kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.”⁴ Sementara itu, etika eksistensialis—seperti yang dikemukakan Jean-Paul Sartre—menekankan kebebasan individu sebagai dasar tanggung jawab moral.⁵

6.2.      Etika dalam Tradisi Agama

Dalam agama, etika berakar pada wahyu dan kehendak Tuhan yang dijadikan pedoman moral. Dalam Islam, etika mencakup akidah, syariat, dan akhlak, dengan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama.⁶ Etika Islam menekankan keseimbangan antara kewajiban individu dan tanggung jawab sosial, serta prinsip keadilan dan kasih sayang. Dalam tradisi Kristen, etika berpusat pada ajaran Yesus Kristus, terutama dalam Khotbah di Bukit, yang menekankan kasih, pengampunan, dan kerendahan hati.⁷

Agama-agama lain juga mengembangkan etika khas. Hindu menekankan dharma (kewajiban moral sesuai kedudukan dan tahap kehidupan), sementara Buddha menekankan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai kerangka etika dan spiritual.⁸ Dengan demikian, agama memberikan fondasi normatif yang tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga spiritual dan transendental.

6.3.      Persinggungan Etika Filsafat dan Agama

Meskipun berbeda landasan epistemologis, etika filsafat dan agama sering kali bertemu pada titik-titik fundamental. Aristoteles dengan konsep keutamaan moral memiliki kedekatan dengan ajaran etika agama tentang kebajikan, sedangkan Kantianisme menemukan resonansi dengan prinsip moral agama yang bersifat universal. Namun, terdapat juga perbedaan: filsafat etis sering menekankan otonomi rasio, sementara agama menekankan ketaatan terhadap otoritas ilahi.

Dalam sejarah Islam, Al-Farabi dan Ibn Miskawayh mencoba menggabungkan filsafat etika Yunani dengan ajaran Islam.⁹ Di Barat, Thomas Aquinas mengembangkan etika natural law yang menekankan bahwa hukum moral bersumber dari rasio manusia tetapi tetap berakar pada hukum ilahi.¹⁰

6.4.      Etika dan Tantangan Kontemporer

Dimensi etis filsafat dan agama menjadi sangat penting dalam merespons problem kemanusiaan modern. Isu-isu seperti hak asasi manusia, bioetika, ekologi, teknologi, dan keadilan sosial memerlukan refleksi etis yang mendalam. Filsafat memberikan kerangka kritis untuk menimbang implikasi rasional dari suatu tindakan, sementara agama menawarkan horizon moral yang mengakar pada keyakinan spiritual.¹¹

Sebagai contoh, dalam isu bioetika, filsafat berperan dalam merumuskan prinsip otonomi, benefisiensi, dan keadilan, sementara agama menegaskan kesucian hidup dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.¹² Dalam isu ekologi, etika agama berkontribusi melalui prinsip stewardship (penatalayanan) terhadap alam, sementara filsafat lingkungan mengembangkan gagasan etika keberlanjutan.¹³


Refleksi Etis

Dimensi etis memperlihatkan bahwa filsafat dan agama, meski berbeda fondasi epistemologis, saling melengkapi dalam memberikan panduan moral. Filsafat menawarkan kerangka kritis dan rasional, sedangkan agama memberikan motivasi transendental yang membentuk komitmen moral. Keduanya sama-sama berperan dalam membangun kehidupan yang bermartabat, adil, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Plato, Apology, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 1992), 38a.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), I, 7.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 31–33.

[4]                John Stuart Mill, Utilitarianism (Indianapolis: Hackett, 2001), 7–9.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 45–47.

[7]                The Holy Bible, Matthew 5–7 (New Revised Standard Version).

[8]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 55–57.

[9]                Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed. Constantine K. Zurayk (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), 10–12.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q. 94, a. 2.

[11]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–5.

[12]             Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 101–104.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 97–100.


7.          Dimensi Eksistensial dan Psikologis

7.1.      Pergulatan Manusia dengan Makna Hidup

Dimensi eksistensial membahas pertanyaan mendasar tentang makna hidup, penderitaan, kematian, dan kebebasan. Filsafat eksistensialisme menyoroti pengalaman subjektif manusia yang berhadapan dengan absurditas dunia. Albert Camus, misalnya, menggambarkan kondisi manusia sebagai absurd—yakni kesenjangan antara kerinduan manusia akan makna dan “keheningan” alam semesta.¹ Søren Kierkegaard menekankan bahwa manusia hanya dapat menemukan makna melalui “lompatan iman” menuju Tuhan.² Dengan demikian, eksistensi dipahami bukan sekadar keberadaan biologis, melainkan keterlibatan aktif dalam mencari makna.

7.2.      Spiritualitas dan Dimensi Psikologis dalam Agama

Agama memberikan jawaban eksistensial melalui wahyu, iman, dan praktik spiritual. Doa, ibadah, dan penghayatan iman menjadi sarana manusia untuk meraih ketenangan batin sekaligus mengatasi kecemasan eksistensial. Dalam Islam, konsep tawakkul (penyerahan diri kepada Allah) berfungsi sebagai mekanisme psikologis untuk menghadapi ketidakpastian hidup.³ Dalam tradisi Kristen, praktik doa dan sakramen dilihat sebagai jalan menuju keselamatan dan penyatuan dengan Allah.⁴

Psikologi agama modern menegaskan bahwa iman memiliki fungsi terapeutik. William James dalam The Varieties of Religious Experience menunjukkan bagaimana pengalaman religius dapat mengatasi krisis psikologis dan menghasilkan transformasi personal.⁵ Viktor Frankl, melalui logoterapinya, menekankan pentingnya menemukan makna hidup bahkan dalam penderitaan yang ekstrem, seperti yang dialaminya di kamp konsentrasi.⁶

7.3.      Penderitaan dan Harapan

Penderitaan merupakan aspek eksistensial universal yang memunculkan refleksi mendalam dalam filsafat dan agama. Filsafat stoik menekankan penerimaan rasional terhadap penderitaan dengan mengendalikan sikap batin, sementara agama memandang penderitaan sebagai ujian yang mengandung hikmah. Dalam Islam, penderitaan dihubungkan dengan konsep sabr (kesabaran) yang menjadi jalan menuju kedewasaan spiritual.⁷ Dalam Kristen, penderitaan dipahami dalam terang salib Kristus yang justru melahirkan harapan akan kebangkitan.⁸

Dimensi psikologis penderitaan juga penting. Agama sering kali menyediakan kerangka naratif yang membantu individu menafsirkan penderitaan dalam perspektif yang lebih luas, sehingga mampu mengurangi kecemasan dan keputusasaan.

7.4.      Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Kecemasan

Eksistensialisme menekankan kebebasan sebagai ciri fundamental manusia. Sartre menegaskan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas,” artinya tidak ada esensi yang mendahului keberadaannya, sehingga setiap individu bertanggung jawab penuh atas pilihannya.⁹ Namun, kebebasan ini sering kali melahirkan kecemasan (angst) karena manusia menyadari keterbatasan dan ketiadaan landasan absolut dalam dirinya.

Agama memberikan horizon transendental yang meredakan kecemasan eksistensial tersebut. Dalam kerangka iman, kebebasan dipahami bukan sekadar pilihan tanpa arah, tetapi diarahkan pada tujuan ilahi. Dengan demikian, kebebasan manusia sekaligus dipandu oleh tanggung jawab moral dan spiritual.¹⁰


Sintesis Eksistensial-Psikologis

Dimensi eksistensial dan psikologis memperlihatkan bahwa filsafat dan agama sama-sama berperan dalam menolong manusia menghadapi pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hidup, penderitaan, dan kematian. Filsafat menawarkan refleksi kritis dan kerangka rasional, sedangkan agama menghadirkan makna transendental dan harapan spiritual. Keduanya, dalam sintesis, dapat membekali manusia dengan daya tahan batin, optimisme, dan orientasi moral dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 10–12.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 55–57.

[3]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 60–62.

[4]                Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 101–104.

[5]                William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 379–383.

[6]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 66–69.

[7]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Patience and Gratitude, trans. Nasiruddin al-Khattab (Riyadh: International Islamic Publishing House, 1997), 15–18.

[8]                Jürgen Moltmann, The Crucified God (London: SCM Press, 1974), 204–207.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–30.

[10]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 213–215.


8.          Kritik dan Ketegangan

8.1.      Kritik Agama terhadap Filsafat

Dalam sejarah intelektual, agama kerap mengkritik filsafat karena dianggap terlalu mengandalkan akal manusia yang terbatas. Kritik ini berakar pada keyakinan bahwa wahyu ilahi merupakan sumber kebenaran yang lebih tinggi daripada rasio. Dalam Islam, Al-Ghazali melalui Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan Para Filosof) mengkritik para filosof seperti Ibn Sina dan Al-Farabi karena dianggap menyimpang dari akidah, khususnya dalam isu keabadian alam semesta, ilmu Tuhan, dan kebangkitan jasmani.¹ Kritik serupa muncul dalam tradisi Kristen Abad Pertengahan, di mana pemikiran-pemikiran yang terlalu rasional sering dituduh mengancam iman gereja.²

Selain itu, agama juga mengkritik kecenderungan filsafat untuk bersifat spekulatif, relativistik, atau bahkan ateistik. Pemikiran Nietzsche tentang “kematian Tuhan” misalnya, dipandang berlawanan dengan doktrin religius dan dianggap meruntuhkan fondasi moral masyarakat.³ Dengan demikian, agama sering menegaskan bahwa filsafat tidak dapat berdiri sebagai sumber kebenaran absolut tanpa bimbingan wahyu.

8.2.      Kritik Filsafat terhadap Agama

Sebaliknya, filsafat juga melontarkan kritik terhadap agama. Kritik utama terletak pada kecenderungan agama untuk bersifat dogmatis, eksklusif, dan menolak pertanyaan kritis. Voltaire, tokoh Pencerahan Prancis, menolak otoritas agama yang dianggap mengekang kebebasan berpikir.⁴ Feuerbach menafsirkan agama sebagai proyeksi kebutuhan manusia, sementara Marx menyebut agama sebagai “candu masyarakat” yang melanggengkan ketidakadilan sosial.⁵ Freud dalam perspektif psikoanalisis memandang agama sebagai ilusi yang muncul dari kebutuhan psikologis manusia akan figur ayah yang melindungi.⁶

Kritik ini mengandung tantangan bagi agama untuk membuka diri terhadap refleksi kritis dan pembaruan, agar tidak terjebak pada stagnasi dogmatis.

8.3.      Konflik Historis Filsafat dan Agama

Sepanjang sejarah, hubungan filsafat dan agama juga ditandai dengan konflik nyata. Kasus Galileo Galilei menjadi contoh klasik di mana temuan ilmiah yang didasarkan pada observasi empiris bertentangan dengan tafsir teologis gereja.⁷ Dalam tradisi Islam, kontroversi antara para filosof rasionalis dan kaum ortodoks sering menimbulkan perdebatan panjang yang bahkan berimplikasi pada politik dan masyarakat.

Konflik ini menunjukkan bahwa filsafat dan agama sering kali memiliki klaim epistemologis yang berbeda, dan ketika keduanya saling menegasikan, muncullah ketegangan yang berujung pada polarisasi.

8.4.      Ketegangan Kontemporer

Dalam konteks modern, ketegangan filsafat dan agama terwujud dalam perdebatan mengenai sekularisasi, pluralisme, dan sains. Sekularisme yang lahir dari filsafat politik modern cenderung menyingkirkan agama dari ruang publik. Agama, pada gilirannya, menolak reduksi realitas hanya pada dimensi empiris-rasional semata.⁸

Ketegangan lain muncul dalam isu etika kontemporer. Misalnya, bioetika mengenai aborsi, eutanasia, dan rekayasa genetika sering memperlihatkan perbedaan tajam antara pendekatan filosofis sekuler dan norma-norma agama. Demikian pula, filsafat postmodern yang menekankan relativisme nilai dipandang agama sebagai ancaman bagi klaim kebenaran absolut wahyu.⁹


Refleksi Kritis

Meskipun kritik dan ketegangan sering kali menimbulkan konflik, keduanya juga dapat menjadi pemicu perkembangan intelektual. Kritik agama terhadap filsafat mencegah rasionalitas menjadi spekulatif tanpa arah, sementara kritik filsafat terhadap agama mencegah religiusitas terjebak dalam dogmatisme. Dengan demikian, relasi kritis ini dapat dipahami bukan sebagai pemisahan mutlak, melainkan sebagai dialektika yang terus membentuk pemikiran manusia.¹⁰


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 15–18.

[2]                Etienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–30.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–82.

[4]                Voltaire, Philosophical Dictionary, trans. Theodore Besterman (New York: Penguin, 1972), 45–47.

[5]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12–15; Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 131.

[6]                Sigmund Freud, The Future of an Illusion, trans. James Strachey (New York: Norton, 1961), 23–25.

[7]                Pietro Redondi, Galileo Heretic (Princeton: Princeton University Press, 1987), 55–60.

[8]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 1–5.

[9]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[10]             John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 5–7.


9.          Dialog, Integrasi, dan Sintesis

9.1.      Upaya Dialog antara Filsafat dan Agama

Sejak awal sejarah intelektual, filsafat dan agama tidak hanya berada dalam posisi konflik, tetapi juga menjalin dialog yang produktif. Dalam tradisi Kristen, Agustinus mengadopsi filsafat Plato untuk memperdalam doktrin iman, sedangkan Thomas Aquinas menggunakan Aristoteles untuk membangun teologi sistematis.¹ Dalam Islam, dialog ini tampak dalam karya Al-Farabi dan Ibn Sina, yang berusaha menafsirkan wahyu dalam kerangka filsafat Yunani, serta Ibn Rusyd yang menekankan bahwa wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan.²

Dialog serupa juga muncul dalam tradisi agama-agama Timur. Dalam Hindu, filsafat Vedanta merefleksikan teks-teks suci Veda dan Upanishad dengan pendekatan rasional, sedangkan dalam Buddhisme, filsafat Madhyamaka mengembangkan kerangka logis untuk menjelaskan doktrin tentang kekosongan (śūnyatā).³

9.2.      Model-model Integrasi

Integrasi antara filsafat dan agama terjadi dalam berbagai bentuk. Pertama, integrasi epistemologis, di mana filsafat dipandang sebagai sarana untuk memahami agama lebih dalam. Contoh utamanya adalah teologi naturalis, yang berusaha membuktikan keberadaan Tuhan melalui argumen kosmologis, teleologis, dan ontologis.⁴ Kedua, integrasi etis, di mana prinsip-prinsip moral agama diperkaya dengan refleksi filosofis. Ketiga, integrasi eksistensial, yang menekankan bahwa pengalaman religius dapat dipahami melalui analisis filosofis tentang makna, kebebasan, dan penderitaan.⁵

Dalam sejarah Islam, integrasi ini terlihat jelas dalam filsafat peripatetik dan iluminatif. Al-Farabi menganggap filsafat sebagai jalan rasional menuju kebenaran, sementara agama menyajikan kebenaran yang sama dalam bentuk simbolis.⁶ Suhrawardi melalui filsafat iluminasi menekankan dimensi intuitif dan spiritual sebagai sintesis antara filsafat dan agama.⁷

9.3.      Sintesis Filosofis-Spiritual

Beberapa pemikir modern mencoba membangun sintesis baru antara filsafat dan agama. Paul Tillich, misalnya, mengembangkan teologi filosofis dengan menekankan bahwa iman adalah “ultimate concern” yang dapat dianalisis secara eksistensial.⁸ John Hick menawarkan pluralisme religius dengan pendekatan filosofis yang berusaha menemukan titik temu berbagai tradisi keagamaan.⁹ Dalam Islam kontemporer, Seyyed Hossein Nasr mengusulkan philosophia perennis yang menggabungkan tradisi metafisika klasik dengan pandangan keagamaan untuk menghadapi krisis modernitas.¹⁰

Sintesis ini menunjukkan bahwa filsafat tidak harus menegasikan agama, dan agama tidak harus menolak filsafat. Sebaliknya, keduanya dapat berinteraksi secara dialektis untuk membangun pemahaman yang lebih utuh tentang realitas.


Refleksi Kritis atas Dialog dan Integrasi

Meskipun dialog dan integrasi menghasilkan sintesis yang memperkaya, terdapat pula bahaya reduksionisme. Filsafat yang terlalu mendominasi dapat menggeser agama menjadi sekadar konstruksi rasional, sementara agama yang terlalu menekankan wahyu dapat menutup pintu dialog kritis. Oleh karena itu, relasi keduanya harus dipahami sebagai dialektika terbuka yang saling mengoreksi dan memperkaya.

Integrasi yang sehat memungkinkan filsafat tetap kritis terhadap agama tanpa meniadakan dimensi transendennya, sementara agama tetap memberikan horizon makna yang melampaui keterbatasan filsafat. Dengan demikian, dialog keduanya berpotensi melahirkan sintesis yang tidak hanya teoretis, tetapi juga relevan dalam menjawab problem kemanusiaan kontemporer.¹¹


Footnotes

[1]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), VII, 10; Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 1, a. 8.

[2]                Al-Farabi, On the Perfect State, trans. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 57–59; Ibn Rushd (Averroes), The Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 5–6.

[3]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. II (London: George Allen & Unwin, 1927), 23–25.

[4]                William Lane Craig, The Cosmological Argument from Plato to Leibniz (London: Macmillan, 1980), 5–7.

[5]                Paul Ricoeur, Philosophy and Religion (New York: Routledge, 1995), 33–35.

[6]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 98–100.

[7]                Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham Young University Press, 1999), 11–15.

[8]                Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 1–3.

[9]                John Hick, An Interpretation of Religion (New Haven: Yale University Press, 1989), 1–5.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 25–30.

[11]             David Tracy, Blessed Rage for Order: The New Pluralism in Theology (New York: Seabury Press, 1975), 65–67.


10.      Relevansi dalam Konteks Kontemporer

10.1.   Filsafat, Agama, dan Sains Modern

Perkembangan sains modern telah membawa perubahan besar dalam cara manusia memahami realitas. Teori kosmologi, biologi evolusioner, dan teknologi digital mengubah paradigma tradisional tentang dunia.¹ Dalam konteks ini, filsafat dan agama menghadapi tantangan untuk tetap relevan. Filsafat berperan dalam menafsirkan implikasi etis dan epistemologis dari sains, sementara agama berfungsi memberikan horizon makna dan orientasi moral yang tidak dapat disediakan sains semata.²

Dialog antara filsafat, agama, dan sains menjadi krusial. Misalnya, teori evolusi Darwin memunculkan perdebatan serius dalam teologi, namun filsafat membantu merumuskan kerangka konseptual untuk mendamaikan iman dengan pengetahuan ilmiah.³ Dalam isu-isu kontemporer seperti kecerdasan buatan (AI), filsafat mengajukan pertanyaan tentang kesadaran dan etika teknologi, sementara agama menegaskan tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah di bumi.⁴

10.2.   Sekularisme dan Pluralisme

Fenomena sekularisasi menandai pergeseran peran agama dalam masyarakat modern, khususnya di Barat. Agama tidak lagi menjadi otoritas tunggal, melainkan salah satu dari banyak sistem makna. Charles Taylor menunjukkan bahwa dalam “a secular age,” individu hidup dalam kerangka imanen di mana iman hanyalah salah satu pilihan di antara banyak kemungkinan.⁵

Filsafat membantu merefleksikan kondisi pluralisme ini dengan menyediakan ruang dialog antaragama dan antarworldview. Agama, pada gilirannya, memberikan sumber etis untuk menjaga harmoni dalam masyarakat plural. Tantangan utamanya adalah bagaimana agama dapat tetap setia pada klaim kebenarannya tanpa menafikan keberagaman. John Hick, melalui pendekatan pluralisme religius, menegaskan bahwa berbagai tradisi agama merupakan respons berbeda terhadap Realitas Ultim yang sama.⁶

10.3.   Tantangan Etika Global

Globalisasi menghadirkan problem-problem etis baru, seperti krisis ekologi, ketidakadilan ekonomi, konflik politik, dan bioetika. Hans Küng mengusulkan Global Ethic sebagai fondasi moral universal yang dapat disepakati lintas tradisi agama dan filsafat.⁷ Dalam isu lingkungan, agama-agama menekankan prinsip tanggung jawab manusia terhadap alam, sementara filsafat lingkungan mengembangkan konsep keberlanjutan sebagai kerangka etis.⁸

Dalam bidang bioetika, integrasi filsafat dan agama menjadi penting untuk membahas isu-isu kontroversial seperti aborsi, euthanasia, dan rekayasa genetika. Filsafat menyediakan kerangka analisis kritis, sedangkan agama menegaskan kesucian hidup manusia. Dengan demikian, keduanya berperan saling melengkapi dalam memberikan jawaban yang lebih komprehensif.⁹

10.4.   Relevansi Spiritual dalam Kehidupan Modern

Modernitas yang ditandai dengan rasionalisasi dan materialisme sering kali memunculkan krisis spiritual dan alienasi eksistensial. Filsafat eksistensialis menyoroti kehampaan makna dalam dunia sekular, sementara agama menawarkan jawaban transendental yang memberi harapan dan orientasi hidup.¹⁰

Di era digital, praktik spiritual seperti meditasi, doa, dan refleksi filosofis justru mengalami kebangkitan kembali sebagai cara untuk mengatasi stres, kecemasan, dan fragmentasi kehidupan modern.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat dan agama tetap memiliki relevansi eksistensial yang nyata bagi manusia kontemporer.


Refleksi Akhir

Relevansi filsafat dan agama dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuan keduanya untuk berdialog dengan sains, merespons sekularisme, membangun etika global, dan menawarkan horizon spiritual. Filsafat berfungsi sebagai refleksi kritis yang menguji konsistensi dan rasionalitas, sementara agama menyediakan fondasi transendental dan moral. Bersama-sama, keduanya dapat membentuk paradigma yang lebih utuh dalam menjawab tantangan zaman.¹²


Footnotes

[1]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 10–12.

[2]                Alister E. McGrath, Science and Religion: From Conflict to Conversation (Oxford: Blackwell, 1999), 3–5.

[3]                John F. Haught, God After Darwin: A Theology of Evolution (Boulder: Westview Press, 2000), 14–17.

[4]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 115–118.

[5]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 3–4.

[6]                John Hick, An Interpretation of Religion (New Haven: Yale University Press, 1989), 233–235.

[7]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17–19.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 99–101.

[9]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 101–104.

[10]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 65–68.

[11]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 82–84.

[12]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 211–213.


11.      Sintesis dan Refleksi Filosofis

11.1.   Sintesis Historis

Sejarah memperlihatkan bahwa hubungan filsafat dan agama tidak pernah bersifat statis, melainkan bergerak dalam dialektika antara konflik dan integrasi. Dari filsafat Yunani yang mencari prinsip rasional kosmos, hingga teologi Skolastik yang menggabungkan iman Kristen dengan Aristotelianisme, serta tradisi Islam klasik yang menyintesiskan wahyu dan akal, terlihat adanya upaya berulang untuk menjembatani keduanya.¹ Dalam proses tersebut, filsafat berfungsi memperkaya refleksi agama dengan kerangka rasional, sedangkan agama memberi arah transendental bagi filsafat.

11.2.   Harmoni dan Dialektika

Sintesis antara filsafat dan agama bukan berarti peleburan total, melainkan pencarian harmoni yang mempertahankan keunikan masing-masing. Filsafat memiliki peran kritis, mendorong agama untuk merefleksikan klaim-klaimnya secara rasional. Sebaliknya, agama memberi filsafat horizon makna yang melampaui empirisme dan rasionalitas murni.² Dengan demikian, relasi keduanya dapat dipahami sebagai dialektika kreatif yang menghasilkan keseimbangan antara rasio dan iman, kritisisme dan spiritualitas.

11.3.   Refleksi Epistemologis

Secara epistemologis, filsafat dan agama sering dianggap menempuh jalan yang berbeda: filsafat melalui logika, kritik, dan rasio; agama melalui wahyu, iman, dan intuisi spiritual. Namun refleksi filosofis menunjukkan bahwa keduanya tidak sepenuhnya terpisah. Wahyu tetap memerlukan penafsiran rasional agar dapat dipahami secara kontekstual, sementara filsafat yang murni rasional sering kali membutuhkan horizon nilai agar tidak jatuh dalam relativisme atau nihilisme.³ Dengan kata lain, epistemologi filsafat dan agama dapat saling mengoreksi sekaligus melengkapi.

11.4.   Refleksi Ontologis dan Metafisik

Dari perspektif ontologis, filsafat dan agama sama-sama berupaya menjawab pertanyaan tentang hakikat realitas dan keberadaan Tuhan. Filsafat berbicara dalam bahasa konsep seperti causa prima atau “Ada,” sementara agama menegaskannya dalam bahasa iman dan pengalaman spiritual.⁴ Refleksi metafisik memperlihatkan bahwa meski berbeda dalam simbol dan metode, keduanya mengarah pada horizon transendental yang sama: realitas ilahi sebagai dasar keberadaan.

11.5.   Refleksi Etis dan Eksistensial

Dalam bidang etika, filsafat menyumbangkan kerangka kritis dan argumentatif, sedangkan agama menambahkan fondasi normatif dan motivasi spiritual. Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat dan agama dapat membentuk sintesis moral yang lebih kokoh dalam merespons tantangan kontemporer, mulai dari bioetika hingga keadilan sosial.⁵ Secara eksistensial, filsafat membantu manusia menyadari kebebasan dan tanggung jawabnya, sementara agama menawarkan makna dan pengharapan dalam menghadapi penderitaan dan kematian.⁶

11.6.   Menuju Sintesis Filosofis-Spiritual

Refleksi atas dimensi epistemologis, ontologis, etis, dan eksistensial mengarah pada kesadaran bahwa filsafat dan agama bukanlah dua domain yang saling meniadakan, melainkan dua horizon yang bisa dipadukan dalam sintesis filosofis-spiritual. Sintesis ini menuntut keterbukaan filsafat terhadap wahyu dan transendensi, serta kesediaan agama untuk berdialog dengan kritik rasional.⁷

Dalam konteks modern yang ditandai dengan sekularisasi, pluralisme, dan krisis makna, sintesis filsafat dan agama dapat menjadi fondasi baru untuk membangun paradigma kehidupan yang lebih utuh. Dengan jalan ini, manusia tidak hanya memperoleh pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan yang mengarahkan pada kebenaran dan kebaikan.⁸


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 45–49.

[2]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 15–18.

[3]                John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 5–7.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23; Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 2, a. 3.

[5]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–5; Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 47–49.

[6]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 66–69.

[7]                Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 210–212.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 28–30.


12.      Penutup

12.1.   Ringkasan Temuan

Kajian panjang mengenai filsafat dan agama memperlihatkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang kompleks: kadang bersifat harmonis, kadang penuh ketegangan. Filsafat, dengan ciri rasional dan kritisnya, berusaha menyingkap hakikat realitas, kebenaran, dan moralitas melalui argumentasi. Agama, dengan landasan wahyu dan iman, menawarkan horizon transendental yang memberi makna dan tujuan hidup.¹ Sejarah menunjukkan dinamika ini sejak Yunani Kuno, melalui teologi Patristik dan Skolastik, tradisi Islam klasik, hingga refleksi modern dan kontemporer.²

12.2.   Kesimpulan Akademik

Dari analisis epistemologis, ontologis, etis, hingga eksistensial, dapat disimpulkan bahwa filsafat dan agama bukanlah domain yang sepenuhnya terpisah, melainkan dua horizon yang sering bersinggungan.³ Filsafat membantu agama menjaga rasionalitas dan menghindari dogmatisme, sementara agama menolong filsafat menghindari relativisme nihilistik dengan memberikan fondasi moral dan spiritual. Dengan kata lain, filsafat dan agama berada dalam relasi dialektis yang saling memperkaya.⁴

12.3.   Relevansi dan Implikasi

Dalam konteks kontemporer, relevansi filsafat dan agama semakin nyata. Tantangan sekularisme, pluralisme, sains, teknologi, dan problem etika global menuntut integrasi keduanya. Filsafat menyediakan kerangka refleksi kritis atas perkembangan zaman, sedangkan agama menawarkan orientasi nilai yang menuntun manusia pada kehidupan yang lebih bermartabat.⁵ Oleh karena itu, dialog antara filsafat dan agama harus terus dipelihara agar mampu menjawab tantangan dunia modern secara komprehensif.

12.4.   Arah Kajian Lanjutan

Kajian ini membuka ruang untuk penelitian lebih lanjut, baik dalam konteks komparatif lintas agama maupun dalam dialog dengan disiplin ilmu lain seperti sains sosial, psikologi, dan ilmu alam. Studi interdisipliner di masa depan dapat memperdalam pemahaman tentang bagaimana filsafat dan agama membentuk etika global, tanggung jawab ekologis, serta orientasi spiritual manusia modern.⁶

12.5.   Penutup Reflektif

Pada akhirnya, filsafat dan agama adalah dua jalan manusia dalam pencarian kebenaran. Keduanya, meski menempuh metode berbeda, bertemu pada horizon yang sama: upaya memahami realitas, memberi makna hidup, dan menuntun manusia menuju kebijaksanaan.⁷ Dengan menjaga keterbukaan dialog antara filsafat dan agama, manusia dapat menemukan sintesis yang tidak hanya memperkaya intelektualitas, tetapi juga memperdalam dimensi spiritualitas.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 12–15.

[2]                Etienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–30.

[3]                John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 5–7.

[4]                Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 210–213.

[5]                Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17–19.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 45–48.

[7]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 65–69.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1968). Al-Madina al-Fadilah (A. Nader, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Farabi. (1985). On the Perfect State (R. Walzer, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (M. al-Syarif, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Augustine. (1998). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge: Polity Press.

Barbour, I. G. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. San Francisco: HarperSanFrancisco.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.). Oxford: Oxford University Press.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). New York: Vintage International.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol. I: Greece and Rome. New York: Image Books.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol. II: Medieval philosophy. New York: Image Books.

Craig, W. L. (1980). The cosmological argument from Plato to Leibniz. London: Macmillan.

Darwin, C. (2000). On the origin of species. Mineola, NY: Dover Publications. (Catatan: terkait referensi evolusi dari pembahasan, tambahan relevan bila ingin konsisten)

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Eliade, M. (1959). The sacred and the profane: The nature of religion. New York: Harcourt.

Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity (G. Eliot, Trans.). New York: Harper & Row.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Boston: Beacon Press.

Freud, S. (1961). The future of an illusion (J. Strachey, Trans.). New York: Norton.

Gilson, E. (1938). Reason and revelation in the Middle Ages. New York: Charles Scribner’s Sons.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy, Vol. I. Cambridge: Cambridge University Press.

Guthrie, W. K. C. (1975). A history of Greek philosophy, Vol. IV. Cambridge: Cambridge University Press.

Haught, J. F. (2000). God after Darwin: A theology of evolution. Boulder: Westview Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Hick, J. (1983). Philosophy of religion. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion. New Haven: Yale University Press.

Holy Bible, The. (1989). New Revised Standard Version. Nashville: Thomas Nelson.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhib al-akhlaq (C. K. Zurayk, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1997). Patience and gratitude (N. al-Khattab, Trans.). Riyadh: International Islamic Publishing House.

Ibn Sina. (1957). Al-Isharat wa al-Tanbihat (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’arif.

Ibn Sina. (2005). Al-Shifa: Metaphysics (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.

Ibn Rushd (Averroes). (1954). The incoherence of the incoherence (S. van den Bergh, Trans.). London: Luzac.

James, W. (1902). The varieties of religious experience. New York: Longmans, Green, and Co.

Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). London: Penguin.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. New York: Crossroad.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Cambridge: Polity Press.

Locke, J. (1836). An essay concerning human understanding. London: T. Tegg and Son.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Marx, K. (1970). Contribution to the critique of Hegel’s philosophy of right (J. O’Malley, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

McGrath, A. E. (1999). Science and religion: From conflict to conversation. Oxford: Blackwell.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism. Indianapolis: Hackett.

Moltmann, J. (1974). The crucified God. London: SCM Press.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. London: Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. New York: Oxford University Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.

Paul, R. (1995). Philosophy and religion. New York: Routledge.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Plato. (1992). Apology (B. Jowett, Trans.). New York: Dover Publications.

Plotinus. (1966). The Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.

Rahner, K. (1978). Foundations of Christian faith. New York: Crossroad.

Rahner, K. (1970). The Trinity (J. Donceel, Trans.). New York: Herder and Herder.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy, Vol. I. London: George Allen & Unwin.

Radhakrishnan, S. (1927). Indian philosophy, Vol. II. London: George Allen & Unwin.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge: Harvard University Press.

Redondi, P. (1987). Galileo heretic. Princeton: Princeton University Press.

Ricoeur, P. (1995). Philosophy and religion. New York: Routledge.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Smart, N. (1998). The world’s religions. Cambridge: Cambridge University Press.

Suhrawardi, S. (1999). The philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge: Harvard University Press.

Tillich, P. (1951). Systematic theology, Vol. I. Chicago: University of Chicago Press.

Tillich, P. (1957). Dynamics of faith. New York: Harper & Row.

Tracy, D. (1975). Blessed rage for order: The new pluralism in theology. New York: Seabury Press.

Voltaire. (1972). Philosophical dictionary (T. Besterman, Trans.). New York: Penguin.

Walbridge, J., & Ziai, H. (Eds. & Trans.). (1999). The philosophy of illumination by Suhrawardi. Provo, UT: Brigham Young University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar