Filsafat dan Agama
Sebuah Kajian Komprehensif tentang Hubungan, Dialog,
dan Tantangannya
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif hubungan
antara filsafat dan agama, dua bidang yang sejak awal sejarah intelektual
manusia memainkan peran penting dalam pencarian kebenaran dan makna hidup.
Filsafat, dengan pendekatan rasional-kritis, berupaya menyingkap hakikat
realitas melalui refleksi konseptual, sementara agama, dengan landasan wahyu
dan iman, menghadirkan horizon transendental yang memberi arah moral dan
spiritual. Kajian ini menelusuri dinamika historis interaksi keduanya, mulai
dari filsafat Yunani Kuno, Patristik dan Skolastik, tradisi Islam klasik,
hingga refleksi modern dan kontemporer.
Analisis dilanjutkan dengan menelaah dimensi
epistemologis, ontologis-metafisik, etis, serta eksistensial-psikologis, yang
memperlihatkan titik temu sekaligus perbedaan mendasar antara filsafat dan
agama. Ketegangan yang muncul tidak hanya menimbulkan konflik, tetapi juga
memicu dialog, integrasi, dan sintesis yang memperkaya khazanah pemikiran
manusia. Artikel ini menegaskan relevansi filsafat dan agama dalam menjawab
tantangan kontemporer, seperti sekularisme, pluralisme, sains modern, etika
global, dan krisis spiritualitas.
Refleksi filosofis-spiritual yang ditawarkan
menunjukkan bahwa filsafat dan agama dapat saling melengkapi: filsafat memberi
perangkat kritis untuk menjaga rasionalitas, sementara agama menyediakan
orientasi transendental yang melampaui keterbatasan akal. Dengan demikian,
sintesis keduanya berpotensi melahirkan paradigma kehidupan yang lebih utuh,
yang tidak hanya memperkaya intelektualitas, tetapi juga memperdalam
spiritualitas manusia modern.
Kata Kunci: Filsafat; Agama; Epistemologi; Ontologi; Etika;
Eksistensialisme; Dialog; Sintesis; Spiritualitas; Modernitas
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat dan Agama
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar
Belakang
Hubungan
antara filsafat dan agama merupakan salah satu tema sentral dalam sejarah
pemikiran manusia. Filsafat, yang secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia—“cinta
kebijaksanaan”—bertujuan untuk memahami realitas melalui refleksi rasional dan
argumentatif. Agama, di sisi lain, bersumber dari wahyu dan tradisi keimanan
yang memberikan orientasi moral, spiritual, dan eksistensial bagi kehidupan
manusia. Kedua bidang ini, meskipun berbeda landasan epistemologisnya, sama-sama berusaha
menjawab pertanyaan fundamental tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta.¹
Dalam
lintasan sejarah, filsafat dan agama tidak hanya berinteraksi dalam bentuk
dialog harmonis, tetapi juga dalam ketegangan yang melahirkan kontroversi. Di
satu sisi, filsafat dianggap sebagai sarana untuk memperdalam pemahaman iman
dengan menggunakan nalar. Di sisi lain, ia juga dituduh berpotensi mereduksi
wahyu ke dalam kerangka akal manusia yang terbatas.² Oleh karena itu, kajian
sistematis mengenai filsafat dan agama menjadi relevan untuk memahami bagaimana
keduanya berkontribusi terhadap pembentukan horizon pengetahuan, kebudayaan,
dan peradaban.
1.2.
Rumusan
Masalah
Permasalahan
utama yang hendak dikaji dalam artikel ini dapat dirumuskan dalam beberapa
pertanyaan pokok:
1)
Bagaimana
konsep dasar filsafat dan agama dapat dipahami secara akademis?
2)
Bagaimana
dinamika hubungan keduanya sepanjang sejarah, baik dalam bentuk konflik maupun
dialog?
3)
Bagaimana
perbedaan epistemologis, ontologis, dan etis antara filsafat dan agama
memengaruhi cara pandang manusia terhadap realitas?
4)
Apa
relevansi filsafat dan agama dalam menjawab tantangan kontemporer, seperti
sekularisme, pluralisme, dan perkembangan sains modern?
1.3.
Tujuan
Kajian
Artikel
ini bertujuan untuk:
·
Menyajikan
analisis komprehensif tentang filsafat dan agama dari sudut pandang historis,
konseptual, dan kritis.
·
Menggali
titik temu serta perbedaan epistemologis antara filsafat dan agama.
·
Merefleksikan
kontribusi keduanya dalam merespons problem-problem kemanusiaan kontemporer.
1.4.
Metodologi
Kajian
ini menggunakan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan analisis
historis, filosofis, dan teologis. Sumber utama berasal dari literatur klasik
(Plato, Aristoteles, Agustinus, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Thomas
Aquinas) hingga pemikiran modern (Descartes, Kant, Kierkegaard, Nietzsche),
serta literatur kontemporer mengenai filsafat agama.³ Pendekatan komparatif
juga digunakan untuk menelusuri bagaimana filsafat dan agama saling
menafsirkan, mengkritik, sekaligus melengkapi dalam berbagai konteks sejarah.
1.5.
Signifikansi
Kajian
Kajian
ini diharapkan memberi kontribusi akademik dalam memahami relasi filsafat dan
agama secara komprehensif, sekaligus membuka ruang refleksi filosofis-spiritual
dalam konteks kehidupan modern. Dengan demikian, artikel ini tidak hanya
bersifat teoretis, tetapi juga praktis dalam memberikan wawasan etis dan
eksistensial bagi masyarakat kontemporer.⁴
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 12–15.
[2]
Etienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–30.
[3]
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 1–5.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 3–6.
2.
Konsep Dasar Filsafat dan
Agama
2.1.
Definisi
Filsafat
Secara
etimologis, filsafat berasal dari kata Yunani philos (cinta) dan sophia
(kebijaksanaan), sehingga berarti “cinta kebijaksanaan.”¹ Dalam pengertian klasik,
filsafat dipahami sebagai usaha rasional manusia untuk memahami realitas, baik
dalam dimensi kosmologis, epistemologis, maupun etis. Plato menekankan filsafat
sebagai pencarian kebenaran yang abadi melalui dialektika, sementara Aristoteles
melihat filsafat sebagai pengetahuan tertinggi yang mengkaji sebab-sebab
pertama (causa
prima) dan prinsip-prinsip universal dari segala sesuatu.²
Dalam
perkembangan modern, filsafat semakin beragam makna dan cabangnya. René
Descartes mendefinisikan filsafat sebagai “pengetahuan yang sempurna” yang
mencakup semua ilmu, sementara Immanuel Kant membatasinya pada upaya manusia menjawab empat
pertanyaan fundamental: “Apa yang dapat saya ketahui? Apa yang seharusnya saya
lakukan? Apa yang boleh saya harapkan? Apa itu manusia?”³ Dengan demikian,
filsafat tidak hanya bersifat spekulatif, melainkan juga praktis dalam
membimbing tindakan manusia.
2.2.
Definisi
Agama
Agama,
secara terminologis, berasal dari kata Latin religare yang berarti “mengikat
kembali” atau “relasi dengan yang suci.”⁴ Agama dipandang sebagai sistem
kepercayaan, ibadah, dan moral yang berakar pada keyakinan terhadap Yang
Transenden. Dalam tradisi Islam, agama (al-dīn) dipahami sebagai ketaatan kepada Allah yang
diturunkan melalui wahyu kepada para nabi, yang mencakup aspek akidah, syariat,
dan akhlak.⁵ Tradisi Kristen memandang agama sebagai persekutuan manusia dengan
Allah melalui iman dan keselamatan dalam Kristus.⁶
Agama
memiliki beberapa dimensi utama: (1) dimensi keimanan atau keyakinan terhadap
Tuhan dan hal-hal gaib, (2) dimensi ritual dan ibadah sebagai ekspresi
keyakinan, (3) dimensi moral sebagai pedoman etis, dan (4) dimensi sosial yang
mengikat komunitas pemeluknya.⁷ Dengan kata lain, agama berfungsi sebagai orientasi
eksistensial yang memberikan makna, tujuan, serta tata nilai dalam kehidupan
manusia.
2.3.
Persamaan
dan Perbedaan Ontologis
Filsafat
dan agama sama-sama berusaha menjawab pertanyaan mendasar mengenai hakikat realitas, manusia, dan tujuan
hidup. Persamaannya terletak pada orientasi pencarian kebenaran yang melampaui
fenomena empiris, serta upaya memberikan kerangka makna bagi kehidupan.
Perbedaannya, filsafat mengandalkan kekuatan akal, logika, dan refleksi kritis;
sedangkan agama bersandar pada wahyu, iman, dan otoritas transenden.
Meski
demikian, tidak sedikit pemikir yang mencoba mengintegrasikan keduanya. Al-Farabi, misalnya,
menyatakan bahwa filsafat dan agama memiliki tujuan yang sama—yakni
kebenaran—tetapi berbeda dalam metode pencapaiannya: filsafat melalui
demonstrasi rasional, agama melalui simbol dan wahyu.⁸ Thomas Aquinas dalam
tradisi Kristen juga menekankan harmoni antara iman dan akal, dengan menyatakan
bahwa wahyu dan filsafat, meski berbeda sumber, tidak mungkin saling
bertentangan karena keduanya berasal dari Tuhan yang sama.⁹
2.4.
Fungsi
dan Relevansi dalam Kehidupan Manusia
Baik
filsafat maupun agama memiliki fungsi penting bagi eksistensi manusia. Filsafat berperan sebagai
sarana refleksi kritis yang membebaskan manusia dari belenggu dogmatisme dan
mendorong lahirnya ilmu pengetahuan. Agama, pada sisi lain, berfungsi sebagai
pedoman spiritual dan moral yang menata kehidupan individu maupun kolektif.
Dalam
konteks kontemporer, hubungan filsafat dan agama menjadi semakin relevan. Sains
modern yang lahir dari tradisi filosofis menghadirkan pertanyaan etis dan
eksistensial yang sering kali hanya dapat dijawab secara memadai dengan
perspektif religius. Sebaliknya, agama dalam masyarakat plural membutuhkan
refleksi filosofis agar tidak terjebak dalam fundamentalisme atau
eksklusivisme.¹⁰ Dengan demikian, filsafat dan agama bukanlah domain yang
saling meniadakan, melainkan dua jalan yang dapat saling memperkaya dalam
pencarian makna hidup.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 3–5.
[2]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. IV (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 12–15.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 672.
[4]
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The
Nature of Religion (New York: Harcourt, 1959), 25–27.
[5]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad
al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 22.
[6]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 45–48.
[7]
Ninian Smart, The World’s Religions
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 10–14.
[8]
Al-Farabi, On the Perfect State, trans.
Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 57–59.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q. 1, a. 8.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 10–12.
3.
Sejarah Hubungan Filsafat
dan Agama
3.1.
Masa
Yunani Kuno
Sejarah
hubungan filsafat dan agama dapat ditelusuri sejak peradaban Yunani Kuno. Pada
masa ini, filsafat muncul sebagai usaha rasional untuk menjelaskan realitas,
berbeda dengan mitos keagamaan yang sebelumnya mendominasi kehidupan
masyarakat. Pemikir pra-Sokrates seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos
mencoba memahami asal-usul kosmos melalui prinsip-prinsip rasional, bukan
semata-mata melalui kisah mitologis.¹ Plato mengangkat gagasan tentang Idea
atau Form
sebagai realitas transenden yang menjadi dasar segala sesuatu, sedangkan
Aristoteles mengajukan konsep causa prima (sebab pertama) yang
bersifat ilahi.² Dengan demikian, dalam filsafat Yunani, terdapat upaya untuk
menjembatani dimensi rasional dengan yang transenden.
3.2.
Masa
Patristik dan Skolastik
Ketika
agama Kristen berkembang pada abad pertama Masehi, hubungan filsafat dan agama
mengambil bentuk baru. Para Bapa Gereja (Patristik), seperti Agustinus, berusaha mengintegrasikan
filsafat Plato dengan teologi Kristen. Agustinus menekankan bahwa iman mendahului
akal, tetapi akal tetap berperan dalam memperdalam iman.³ Pada Abad
Pertengahan, tradisi Skolastik mencapai puncaknya melalui pemikiran Thomas
Aquinas yang menggabungkan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Aquinas
menegaskan bahwa wahyu dan akal, meskipun berbeda sumbernya, tetap harmonis
karena keduanya berasal dari Tuhan.⁴
Namun,
periode ini juga menyaksikan ketegangan. Beberapa pemikir yang terlalu
menekankan rasionalitas, seperti kaum Averrois Latin, sering dicurigai
menggeser otoritas iman. Konflik antara filsafat dan otoritas gereja juga
tampak dalam kasus Galileo pada abad ke-17, yang menunjukkan adanya pergeseran
paradigma dari kosmologi teologis ke kosmologi ilmiah.⁵
3.3.
Periode
Islam Klasik
Dalam
peradaban Islam klasik, filsafat dan agama mengalami perkembangan yang dinamis.
Para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd
berusaha menyelaraskan ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Ibn Sina mengembangkan konsep wajib
al-wujud (wujud niscaya) untuk menjelaskan keberadaan Tuhan,
sementara Ibn Rusyd menegaskan bahwa wahyu dan filsafat tidak mungkin
bertentangan karena keduanya menuju pada kebenaran yang sama.⁶
Namun,
tidak semua ulama menerima pendekatan ini. Al-Ghazali, dalam Tahafut
al-Falasifah (Keruntuhan Para Filosof),
mengkritik para filosof yang dianggapnya berlebihan dalam menggunakan akal
sehingga menyimpang dari akidah Islam.⁷ Meskipun demikian, perdebatan tersebut
justru memperkaya khazanah intelektual Islam dan melahirkan tradisi ilmu kalam
serta filsafat Islam yang khas.
3.4.
Era
Modern dan Kontemporer
Memasuki
era modern, hubungan filsafat dan agama mengalami perubahan signifikan.
Descartes menekankan rasionalitas dan metode keraguan sebagai dasar
pengetahuan, yang berimplikasi pada sekularisasi ilmu. Immanuel Kant kemudian mencoba mendamaikan
iman dan akal dengan membatasi ranah pengetahuan manusia hanya pada fenomena,
sementara agama diposisikan dalam ranah praktis-etis.⁸
Pada
abad ke-19, muncul filsuf-filsuf kritis terhadap agama, seperti Feuerbach yang
menafsirkan agama sebagai proyeksi kebutuhan manusia, Nietzsche yang menyatakan
“Tuhan telah mati,” serta Marx yang melihat agama sebagai “candu masyarakat.”⁹ Di sisi
lain, Kierkegaard dan kemudian pemikir eksistensialis seperti Gabriel Marcel
justru menekankan pentingnya iman sebagai dimensi eksistensial manusia.¹⁰
Dalam
konteks kontemporer, muncul upaya baru untuk membangun dialog antara filsafat
dan agama, khususnya dalam menghadapi tantangan global seperti sekularisme,
pluralisme, krisis ekologi, dan perkembangan sains modern. Pemikir seperti Paul Tillich,
John Hick, dan Seyyed Hossein Nasr berusaha mengintegrasikan filsafat dengan
perspektif teologis maupun spiritual dalam menjawab problem-problem
kemanusiaan.¹¹
Refleksi Historis
Sejarah
menunjukkan bahwa hubungan filsafat dan agama tidak pernah statis, melainkan
dinamis dan kontekstual. Dalam periode tertentu, keduanya berada dalam ketegangan, tetapi
dalam momen lain keduanya justru saling melengkapi. Dari mitos Yunani hingga
filsafat modern, dari teologi Kristen hingga filsafat Islam, interaksi filsafat
dan agama selalu melahirkan gagasan-gagasan baru yang memperkaya khazanah
pemikiran manusia.
Footnotes
[1]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. I (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 45–47.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 105–110.
[3]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1998), VII, 10.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.
1, a. 8.
[5]
Pietro Redondi, Galileo Heretic (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 55–60.
[6]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 45–50.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 12–15.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), Bxxvii–Bxxx.
[9]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
trans. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12–20; Friedrich
Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage,
1974), 181–82.
[10]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 54–59.
[11]
John Hick, An Interpretation of Religion (New
Haven: Yale University Press, 1989), 1–5; Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 25–30.
4.
Dimensi Epistemologis
4.1.
Epistemologi
dalam Filsafat
Epistemologi,
atau teori pengetahuan, merupakan salah satu cabang inti dalam filsafat yang
menelaah sumber, metode, dan validitas pengetahuan manusia. Sejak masa Yunani,
filsuf seperti Plato menekankan pembedaan antara doxa (opini) dan episteme
(pengetahuan sejati) yang hanya dapat dicapai melalui rasio dan kontemplasi
intelektual.¹ Aristoteles, sebaliknya, menekankan peran pengalaman inderawi
sebagai awal pengetahuan, yang kemudian diolah melalui abstraksi intelektual.²
Dalam
filsafat modern, epistemologi berkembang semakin kompleks. René Descartes
menekankan rasionalisme dan metode keraguan sistematis untuk mencapai
kepastian.³ Sebaliknya, John Locke dan David Hume meletakkan dasar empirisme,
yang menekankan pengalaman inderawi sebagai fondasi seluruh pengetahuan.⁴
Immanuel Kant mencoba mendamaikan kedua pendekatan ini dengan menunjukkan bahwa
pengalaman inderawi dan kategori apriori rasio sama-sama diperlukan dalam membangun pengetahuan.⁵ Dengan
demikian, epistemologi filsafat menekankan proses kritis, rasional, dan
argumentatif dalam memahami realitas.
4.2.
Epistemologi
dalam Agama
Dalam
tradisi agama, epistemologi tidak hanya bertumpu pada rasio dan pengalaman
empiris, melainkan pada wahyu, iman, dan intuisi spiritual. Wahyu dipandang
sebagai sumber pengetahuan transenden yang melampaui keterbatasan akal manusia.
Dalam Islam, Al-Qur’an menjadi sumber utama pengetahuan yang diyakini mutlak kebenarannya.⁶
Demikian pula dalam tradisi Kristen, wahyu dipahami sebagai penyataan diri
Allah melalui Kitab Suci dan inkarnasi Kristus.⁷
Selain
wahyu, iman menjadi instrumen epistemologis yang memungkinkan manusia mengakses
kebenaran yang tidak dapat dicapai oleh akal semata. Søren Kierkegaard,
misalnya, menegaskan bahwa iman melibatkan “lompatan eksistensial” ke dalam
misteri ilahi, yang melampaui bukti rasional.⁸ Dalam tradisi mistik baik Islam
maupun Kristen, intuisi spiritual dan pengalaman religius juga dipandang sebagai jalan
sahih menuju pengetahuan tentang Yang Ilahi.⁹
4.3.
Ketegangan
Epistemologis
Ketegangan
antara filsafat dan agama terutama terletak pada perbedaan cara memperoleh
pengetahuan. Filsafat menekankan rasionalitas kritis dan skeptisisme
metodologis, sementara agama menekankan wahyu dan iman sebagai otoritas
kebenaran. Konflik Galileo dengan Gereja Katolik mencerminkan pertentangan
epistemologis antara observasi ilmiah dan tafsir teologis pada abad ke-17.¹⁰
Namun,
tidak semua interaksi bersifat konflik. Ibn Rusyd menegaskan bahwa tidak ada
kontradiksi antara wahyu dan filsafat, karena keduanya pada akhirnya menuju
pada kebenaran yang sama.¹¹ Thomas Aquinas juga menyatakan bahwa akal dapat
meneguhkan iman, meskipun ada kebenaran tertentu yang hanya dapat diakses
melalui wahyu.¹² Dengan demikian, ketegangan epistemologis sering kali menjadi
ruang dialog yang produktif bagi pengembangan pemikiran.
4.4.
Komplementaritas
Epistemologis
Dalam
perspektif kontemporer, filsafat dan agama justru dapat saling melengkapi.
Filsafat memberikan perangkat kritis untuk menafsirkan teks keagamaan secara
rasional, sehingga terhindar dari dogmatisme dan fundamentalisme. Sebaliknya, agama memberikan horizon makna
dan arah etis yang tidak selalu dapat dicapai filsafat semata.¹³ Paul Tillich,
misalnya, menekankan bahwa iman selalu berakar pada dimensi “ultimate concern”
manusia, yang dapat dipahami lebih dalam dengan analisis filosofis.¹⁴
Dalam
konteks ini, epistemologi filsafat dan agama tidak harus dipertentangkan,
melainkan dipahami sebagai dua pendekatan berbeda yang dapat bersinergi.
Filsafat berperan sebagai refleksi kritis, sedangkan agama menawarkan horizon transendental yang
memberi kedalaman eksistensial.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 476e–480a.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), I, 1.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12–18.
[4]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: T. Tegg and Son, 1836), II, 1–3; David Hume, An
Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press,
2008), 15–18.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), B75–B78.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad
al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 22–23.
[7]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 45–46.
[8]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 54–55.
[9]
William James, The Varieties of Religious
Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 379–382.
[10]
Pietro Redondi, Galileo Heretic (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 58–61.
[11]
Ibn Rushd (Averroes), The Incoherence of the
Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 5–6.
[12]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q. 1, a. 8.
[13]
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 4–6.
[14]
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 1–3.
5.
Dimensi Ontologis dan
Metafisik
5.1.
Ontologi
dalam Filsafat
Ontologi,
sebagai cabang filsafat, membahas tentang “ada” dan “keberadaan” dalam makna
yang paling fundamental. Aristoteles mendefinisikan filsafat pertama sebagai
ilmu tentang being qua being, yakni keberadaan
sejauh ia adalah keberadaan.¹ Dalam tradisi filsafat klasik, pertanyaan tentang hakikat
realitas, substansi, dan perubahan menjadi pusat perhatian.
Tradisi
modern dan kontemporer kemudian memperluas cakupan ontologi. Martin Heidegger,
misalnya, membedakan antara Sein (Ada) dan Seiendes
(yang-ada), dengan menekankan bahwa filsafat Barat terlalu sering melupakan pertanyaan tentang
makna Ada itu sendiri.² Dengan demikian, filsafat ontologis terus berusaha
menjawab pertanyaan mendasar: apa hakikat realitas, bagaimana ia hadir, dan apa
posisinya terhadap manusia?
5.2.
Ontologi
dalam Agama
Dalam
perspektif agama, ontologi berakar pada keyakinan akan realitas transenden, yaitu
Tuhan sebagai sumber dan dasar segala keberadaan. Dalam Islam, Tuhan disebut sebagai al-Wājib al-Wujūd
(Yang Niscaya Ada), sedangkan segala sesuatu selain-Nya adalah mumkin
al-wujūd (yang mungkin ada).³ Pandangan ini dikembangkan secara
filosofis oleh Ibn Sina dan dilanjutkan dalam tradisi filsafat Islam.
Dalam
tradisi Kristen, ontologi dipahami melalui doktrin creatio ex nihilo (penciptaan dari
ketiadaan), yang menegaskan bahwa seluruh realitas bergantung secara radikal
kepada Tuhan sebagai Pencipta.⁴ Sementara itu, dalam tradisi Hindu dan Buddha,
ontologi agama mengambil bentuk berbeda, seperti konsep Brahman
sebagai realitas mutlak atau doktrin anatta (tanpa-aku) yang menolak
substansi tetap.⁵
5.3.
Tuhan
sebagai Realitas Metafisik
Baik
filsafat maupun agama sama-sama menempatkan Tuhan atau prinsip transenden
sebagai pusat realitas metafisik, meskipun dengan pendekatan yang berbeda.
Filsafat klasik, misalnya, memperkenalkan konsep “causa prima” atau “penggerak
tak tergerakkan” (Aristoteles), sementara Plotinus mengajukan gagasan tentang
“Sang Satu” sebagai sumber emanasi segala realitas.⁶
Dalam
agama, Tuhan tidak hanya dipahami sebagai sebab pertama, tetapi juga sebagai
pribadi yang berelasi dengan manusia melalui wahyu, doa, dan ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi
metafisik agama tidak semata-mata bersifat spekulatif, melainkan juga
eksistensial dan personal.
5.4.
Esensi
dan Eksistensi
Perdebatan
penting dalam dimensi metafisik adalah tentang relasi antara esensi (māhiyyah)
dan eksistensi (wujūd). Dalam filsafat Islam,
khususnya oleh Ibn Sina, esensi dipandang mendahului eksistensi, sedangkan eksistensi hanyalah aksiden yang
melekat pada esensi.⁷ Namun, pandangan ini dikritik oleh Mulla Sadra dengan
doktrin ashālat
al-wujūd (primasi eksistensi), yang menyatakan bahwa eksistensi
lebih fundamental daripada esensi.⁸
Dalam
filsafat Barat, eksistensialisme menggeser paradigma dengan menekankan
eksistensi di atas esensi. Sartre, misalnya, menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi,”
menandai perbedaan mendasar dengan metafisika tradisional.⁹
5.5.
Transendensi
dan Immanensi
Dimensi
metafisik juga menyangkut persoalan transendensi dan immanensi Tuhan. Dalam
teologi monoteistik (Islam, Kristen, dan Yahudi), Tuhan dipandang transenden,
melampaui ciptaan-Nya, namun sekaligus imanen dalam menopang eksistensi segala
sesuatu.¹⁰ Ketegangan antara transendensi dan immanensi ini memunculkan beragam
pendekatan teologis, mulai dari deisme yang menekankan keterpisahan Tuhan,
hingga panteisme yang menekankan kehadiran-Nya dalam segala sesuatu.
Refleksi Filosofis dan Teologis
Dimensi
ontologis dan metafisik filsafat dan agama menunjukkan adanya keterhubungan mendalam. Filsafat
menyediakan kerangka konseptual untuk memahami realitas secara abstrak,
sementara agama memberikan horizon transendental yang mengikat realitas pada
makna dan tujuan ilahi. Keduanya, meski berbeda pendekatan, sama-sama berupaya
menjawab pertanyaan eksistensial manusia tentang asal-usul, hakikat, dan tujuan
hidup.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), IV, 1.
[2]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–25.
[3]
Ibn Sina, Al-Shifa: Metaphysics, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2005), 28–30.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q. 45, a. 1.
[5]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol.
II (London: George Allen & Unwin, 1927), 23–25.
[6]
Plotinus, The Enneads, trans. A.H. Armstrong
(Cambridge: Harvard University Press, 1966), V, 1.
[7]
Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed.
Sulayman Dunya (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1957), 121–22.
[8]
Mulla Sadra, Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar
al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-‘Arabi, 1981), I,
45–48.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[10]
Karl Rahner, The Trinity, trans. Joseph
Donceel (New York: Herder and Herder, 1970), 21–24.
6.
Dimensi Etis
6.1.
Etika
dalam Tradisi Filsafat
Etika,
sebagai cabang filsafat praktis, membahas prinsip-prinsip moral yang
mengarahkan tindakan manusia. Dalam filsafat Yunani Kuno, Socrates menekankan
pentingnya pengetahuan moral dengan adagium terkenal: the
unexamined life is not worth living (“hidup yang tidak diperiksa
tidak layak dijalani”).¹ Plato mengaitkan etika dengan pencapaian kebaikan
tertinggi, sedangkan Aristoteles mengembangkan konsep eudaimonia (kebahagiaan sejati)
yang dicapai melalui kebajikan (arete) dan hidup dalam keselarasan
dengan rasio.²
Pada
era modern, muncul pendekatan etika yang lebih beragam. Immanuel Kant
mengajukan etika deontologis dengan prinsip imperatif kategoris, yakni bertindak
hanya menurut maksima yang dapat dijadikan hukum universal.³ Sebaliknya, Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill menekankan utilitarianisme, yaitu prinsip mencari
“kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.”⁴ Sementara itu, etika
eksistensialis—seperti yang dikemukakan Jean-Paul Sartre—menekankan kebebasan individu sebagai dasar
tanggung jawab moral.⁵
6.2.
Etika
dalam Tradisi Agama
Dalam
agama, etika berakar pada wahyu dan kehendak Tuhan yang dijadikan pedoman
moral. Dalam Islam, etika mencakup akidah, syariat, dan akhlak, dengan
Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama.⁶ Etika Islam menekankan keseimbangan
antara kewajiban individu dan tanggung jawab sosial, serta prinsip keadilan dan
kasih sayang. Dalam tradisi Kristen, etika berpusat pada ajaran Yesus Kristus,
terutama dalam Khotbah di Bukit, yang menekankan kasih, pengampunan, dan
kerendahan hati.⁷
Agama-agama
lain juga mengembangkan etika khas. Hindu menekankan dharma
(kewajiban moral sesuai kedudukan dan tahap kehidupan), sementara Buddha menekankan
Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai kerangka etika dan spiritual.⁸ Dengan
demikian, agama memberikan fondasi normatif yang tidak hanya bersifat rasional,
tetapi juga spiritual dan transendental.
6.3.
Persinggungan
Etika Filsafat dan Agama
Meskipun
berbeda landasan epistemologis, etika filsafat dan agama sering kali bertemu
pada titik-titik fundamental. Aristoteles dengan konsep keutamaan moral memiliki kedekatan
dengan ajaran etika agama tentang kebajikan, sedangkan Kantianisme menemukan
resonansi dengan prinsip moral agama yang bersifat universal. Namun, terdapat
juga perbedaan: filsafat etis sering menekankan otonomi rasio, sementara agama
menekankan ketaatan terhadap otoritas ilahi.
Dalam
sejarah Islam, Al-Farabi dan Ibn Miskawayh mencoba menggabungkan filsafat etika
Yunani dengan ajaran Islam.⁹ Di Barat, Thomas Aquinas mengembangkan etika
natural law yang menekankan bahwa hukum moral bersumber dari rasio manusia
tetapi tetap berakar pada hukum ilahi.¹⁰
6.4.
Etika
dan Tantangan Kontemporer
Dimensi
etis filsafat dan agama menjadi sangat penting dalam merespons problem
kemanusiaan modern. Isu-isu seperti hak asasi manusia, bioetika, ekologi,
teknologi, dan keadilan sosial memerlukan refleksi etis yang mendalam. Filsafat
memberikan kerangka kritis untuk menimbang implikasi rasional dari suatu tindakan, sementara
agama menawarkan horizon moral yang mengakar pada keyakinan spiritual.¹¹
Sebagai
contoh, dalam isu bioetika, filsafat berperan dalam merumuskan prinsip otonomi,
benefisiensi, dan keadilan, sementara agama menegaskan kesucian hidup dan tanggung jawab manusia
sebagai khalifah di bumi.¹² Dalam isu ekologi, etika agama berkontribusi
melalui prinsip stewardship (penatalayanan) terhadap alam, sementara filsafat
lingkungan mengembangkan gagasan etika keberlanjutan.¹³
Refleksi Etis
Dimensi
etis memperlihatkan bahwa filsafat dan agama, meski berbeda fondasi
epistemologis, saling melengkapi dalam memberikan panduan moral. Filsafat
menawarkan kerangka kritis dan rasional, sedangkan agama memberikan motivasi transendental yang membentuk
komitmen moral. Keduanya sama-sama berperan dalam membangun kehidupan yang
bermartabat, adil, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Plato, Apology, trans. Benjamin Jowett (New
York: Dover Publications, 1992), 38a.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), I, 7.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
31–33.
[4]
John Stuart Mill, Utilitarianism
(Indianapolis: Hackett, 2001), 7–9.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad
al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 45–47.
[7]
The Holy Bible, Matthew 5–7 (New Revised
Standard Version).
[8]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol.
I (London: George Allen & Unwin, 1923), 55–57.
[9]
Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed.
Constantine K. Zurayk (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), 10–12.
[10]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.
94, a. 2.
[11]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 3–5.
[12]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 101–104.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 97–100.
7.
Dimensi Eksistensial dan
Psikologis
7.1.
Pergulatan
Manusia dengan Makna Hidup
Dimensi
eksistensial membahas pertanyaan mendasar tentang makna hidup, penderitaan,
kematian, dan kebebasan. Filsafat eksistensialisme menyoroti pengalaman
subjektif manusia yang berhadapan dengan absurditas dunia. Albert Camus,
misalnya, menggambarkan kondisi manusia sebagai absurd—yakni kesenjangan antara
kerinduan manusia akan makna dan “keheningan” alam semesta.¹ Søren Kierkegaard
menekankan bahwa manusia hanya dapat menemukan makna melalui “lompatan iman”
menuju Tuhan.² Dengan demikian, eksistensi dipahami bukan sekadar keberadaan
biologis, melainkan keterlibatan aktif dalam mencari makna.
7.2.
Spiritualitas
dan Dimensi Psikologis dalam Agama
Agama
memberikan jawaban eksistensial melalui wahyu, iman, dan praktik spiritual. Doa, ibadah, dan
penghayatan iman menjadi sarana manusia untuk meraih ketenangan batin sekaligus
mengatasi kecemasan eksistensial. Dalam Islam, konsep tawakkul
(penyerahan diri kepada Allah) berfungsi sebagai mekanisme psikologis untuk
menghadapi ketidakpastian hidup.³ Dalam tradisi Kristen, praktik doa dan
sakramen dilihat sebagai jalan menuju keselamatan dan penyatuan dengan Allah.⁴
Psikologi
agama modern menegaskan bahwa iman memiliki fungsi terapeutik. William James
dalam The
Varieties of Religious Experience menunjukkan bagaimana pengalaman
religius dapat mengatasi krisis psikologis dan menghasilkan transformasi
personal.⁵ Viktor Frankl, melalui logoterapinya, menekankan pentingnya menemukan makna
hidup bahkan dalam penderitaan yang ekstrem, seperti yang dialaminya di kamp
konsentrasi.⁶
7.3.
Penderitaan
dan Harapan
Penderitaan
merupakan aspek eksistensial universal yang memunculkan refleksi mendalam dalam
filsafat dan agama. Filsafat stoik menekankan penerimaan rasional terhadap
penderitaan dengan mengendalikan sikap batin, sementara agama memandang
penderitaan sebagai ujian yang mengandung hikmah. Dalam Islam, penderitaan dihubungkan dengan
konsep sabr
(kesabaran) yang menjadi jalan menuju kedewasaan spiritual.⁷ Dalam Kristen,
penderitaan dipahami dalam terang salib Kristus yang justru melahirkan harapan
akan kebangkitan.⁸
Dimensi
psikologis penderitaan juga penting. Agama sering kali menyediakan kerangka
naratif yang
membantu individu menafsirkan penderitaan dalam perspektif yang lebih luas,
sehingga mampu mengurangi kecemasan dan keputusasaan.
7.4.
Kebebasan,
Tanggung Jawab, dan Kecemasan
Eksistensialisme
menekankan kebebasan sebagai ciri fundamental manusia. Sartre menegaskan bahwa
manusia “dikutuk untuk bebas,” artinya tidak ada esensi yang mendahului
keberadaannya, sehingga setiap individu bertanggung jawab penuh atas
pilihannya.⁹ Namun, kebebasan ini sering kali melahirkan kecemasan (angst)
karena manusia menyadari keterbatasan dan ketiadaan landasan absolut dalam dirinya.
Agama
memberikan horizon transendental yang meredakan kecemasan eksistensial tersebut. Dalam kerangka
iman, kebebasan dipahami bukan sekadar pilihan tanpa arah, tetapi diarahkan
pada tujuan ilahi. Dengan demikian, kebebasan manusia sekaligus dipandu oleh
tanggung jawab moral dan spiritual.¹⁰
Sintesis Eksistensial-Psikologis
Dimensi
eksistensial dan psikologis memperlihatkan bahwa filsafat dan agama sama-sama
berperan dalam menolong manusia menghadapi pertanyaan-pertanyaan fundamental
tentang hidup, penderitaan, dan kematian. Filsafat menawarkan refleksi kritis
dan kerangka rasional, sedangkan agama menghadirkan makna transendental dan
harapan spiritual. Keduanya, dalam sintesis, dapat membekali manusia dengan daya
tahan batin, optimisme, dan orientasi moral dalam menghadapi kompleksitas
kehidupan modern.
Footnotes
[1]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 10–12.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 55–57.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Muhammad
al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 60–62.
[4]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1978), 101–104.
[5]
William James, The Varieties of Religious
Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 379–383.
[6]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 66–69.
[7]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Patience and Gratitude,
trans. Nasiruddin al-Khattab (Riyadh: International Islamic Publishing House,
1997), 15–18.
[8]
Jürgen Moltmann, The Crucified God (London:
SCM Press, 1974), 204–207.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–30.
[10]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 213–215.
8.
Kritik dan Ketegangan
8.1.
Kritik
Agama terhadap Filsafat
Dalam
sejarah intelektual, agama kerap mengkritik filsafat karena dianggap terlalu
mengandalkan akal manusia yang terbatas. Kritik ini berakar pada keyakinan
bahwa wahyu ilahi merupakan sumber kebenaran yang lebih tinggi daripada rasio.
Dalam Islam, Al-Ghazali melalui Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan
Para Filosof) mengkritik para filosof seperti Ibn Sina dan Al-Farabi karena
dianggap menyimpang dari akidah, khususnya dalam isu keabadian alam semesta, ilmu
Tuhan, dan kebangkitan jasmani.¹ Kritik serupa muncul dalam tradisi Kristen
Abad Pertengahan, di mana pemikiran-pemikiran yang terlalu rasional sering
dituduh mengancam iman gereja.²
Selain
itu, agama juga mengkritik kecenderungan filsafat untuk bersifat spekulatif,
relativistik, atau bahkan ateistik. Pemikiran Nietzsche tentang “kematian
Tuhan” misalnya,
dipandang berlawanan dengan doktrin religius dan dianggap meruntuhkan fondasi
moral masyarakat.³ Dengan demikian, agama sering menegaskan bahwa filsafat
tidak dapat berdiri sebagai sumber kebenaran absolut tanpa bimbingan wahyu.
8.2.
Kritik
Filsafat terhadap Agama
Sebaliknya,
filsafat juga melontarkan kritik terhadap agama. Kritik utama terletak pada
kecenderungan agama untuk bersifat dogmatis, eksklusif, dan menolak pertanyaan
kritis. Voltaire, tokoh Pencerahan Prancis, menolak otoritas agama yang
dianggap mengekang kebebasan berpikir.⁴ Feuerbach menafsirkan agama sebagai proyeksi
kebutuhan manusia, sementara Marx menyebut agama sebagai “candu masyarakat”
yang melanggengkan ketidakadilan sosial.⁵ Freud dalam perspektif psikoanalisis
memandang agama sebagai ilusi yang muncul dari kebutuhan psikologis manusia
akan figur ayah yang melindungi.⁶
Kritik
ini mengandung tantangan bagi agama untuk membuka diri terhadap refleksi kritis
dan pembaruan,
agar tidak terjebak pada stagnasi dogmatis.
8.3.
Konflik
Historis Filsafat dan Agama
Sepanjang
sejarah, hubungan filsafat dan agama juga ditandai dengan konflik nyata. Kasus
Galileo Galilei menjadi contoh klasik di mana temuan ilmiah yang didasarkan
pada observasi empiris bertentangan dengan tafsir teologis gereja.⁷ Dalam
tradisi Islam, kontroversi antara para filosof rasionalis dan kaum ortodoks
sering menimbulkan perdebatan panjang yang bahkan berimplikasi pada politik dan
masyarakat.
Konflik
ini menunjukkan bahwa filsafat dan agama sering kali memiliki klaim epistemologis
yang berbeda, dan ketika keduanya saling menegasikan, muncullah ketegangan yang
berujung pada polarisasi.
8.4.
Ketegangan
Kontemporer
Dalam
konteks modern, ketegangan filsafat dan agama terwujud dalam perdebatan
mengenai sekularisasi, pluralisme, dan sains. Sekularisme yang lahir dari filsafat politik modern
cenderung menyingkirkan agama dari ruang publik. Agama, pada gilirannya,
menolak reduksi realitas hanya pada dimensi empiris-rasional semata.⁸
Ketegangan
lain muncul dalam isu etika kontemporer. Misalnya, bioetika mengenai aborsi,
eutanasia, dan rekayasa genetika sering memperlihatkan perbedaan tajam antara
pendekatan filosofis sekuler dan norma-norma agama. Demikian pula, filsafat postmodern yang
menekankan relativisme nilai dipandang agama sebagai ancaman bagi klaim
kebenaran absolut wahyu.⁹
Refleksi Kritis
Meskipun
kritik dan ketegangan sering kali menimbulkan konflik, keduanya juga dapat
menjadi pemicu perkembangan intelektual. Kritik agama terhadap filsafat
mencegah rasionalitas menjadi spekulatif tanpa arah, sementara kritik filsafat terhadap
agama mencegah religiusitas terjebak dalam dogmatisme. Dengan demikian, relasi
kritis ini dapat dipahami bukan sebagai pemisahan mutlak, melainkan sebagai
dialektika yang terus membentuk pemikiran manusia.¹⁰
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans.
Michael E. Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 15–18.
[2]
Etienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–30.
[3]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 181–82.
[4]
Voltaire, Philosophical Dictionary, trans.
Theodore Besterman (New York: Penguin, 1972), 45–47.
[5]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
trans. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12–15; Karl Marx, Contribution
to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (Cambridge: Cambridge
University Press, 1970), 131.
[6]
Sigmund Freud, The Future of an Illusion,
trans. James Strachey (New York: Norton, 1961), 23–25.
[7]
Pietro Redondi, Galileo Heretic (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 55–60.
[8]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 1–5.
[9]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[10]
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 5–7.
9.
Dialog, Integrasi, dan
Sintesis
9.1.
Upaya
Dialog antara Filsafat dan Agama
Sejak
awal sejarah intelektual, filsafat dan agama tidak hanya berada dalam posisi
konflik, tetapi juga menjalin dialog yang produktif. Dalam tradisi Kristen,
Agustinus mengadopsi filsafat Plato untuk memperdalam doktrin iman, sedangkan Thomas Aquinas menggunakan
Aristoteles untuk membangun teologi sistematis.¹ Dalam Islam, dialog ini tampak
dalam karya Al-Farabi dan Ibn Sina, yang berusaha menafsirkan wahyu dalam
kerangka filsafat Yunani, serta Ibn Rusyd yang menekankan bahwa wahyu dan akal
tidak mungkin bertentangan.²
Dialog
serupa juga muncul dalam tradisi agama-agama Timur. Dalam Hindu, filsafat
Vedanta merefleksikan teks-teks suci Veda dan Upanishad dengan pendekatan rasional, sedangkan dalam
Buddhisme, filsafat Madhyamaka mengembangkan kerangka logis untuk menjelaskan
doktrin tentang kekosongan (śūnyatā).³
9.2.
Model-model
Integrasi
Integrasi
antara filsafat dan agama terjadi dalam berbagai bentuk. Pertama, integrasi
epistemologis, di mana filsafat dipandang sebagai sarana untuk memahami agama
lebih dalam. Contoh utamanya adalah teologi naturalis, yang berusaha
membuktikan keberadaan Tuhan melalui argumen kosmologis, teleologis, dan
ontologis.⁴ Kedua, integrasi etis, di mana prinsip-prinsip moral agama
diperkaya dengan refleksi filosofis. Ketiga, integrasi eksistensial, yang
menekankan bahwa pengalaman religius dapat dipahami melalui analisis filosofis
tentang makna, kebebasan, dan penderitaan.⁵
Dalam
sejarah Islam, integrasi ini terlihat jelas dalam filsafat peripatetik dan
iluminatif. Al-Farabi menganggap filsafat sebagai jalan rasional menuju
kebenaran, sementara agama menyajikan kebenaran yang sama dalam bentuk
simbolis.⁶ Suhrawardi melalui filsafat iluminasi menekankan dimensi intuitif
dan spiritual sebagai sintesis antara filsafat dan agama.⁷
9.3.
Sintesis
Filosofis-Spiritual
Beberapa
pemikir modern mencoba membangun sintesis baru antara filsafat dan agama. Paul
Tillich, misalnya, mengembangkan teologi filosofis dengan menekankan bahwa iman
adalah “ultimate concern” yang dapat dianalisis secara eksistensial.⁸ John Hick
menawarkan pluralisme religius dengan pendekatan filosofis yang berusaha
menemukan titik temu berbagai tradisi keagamaan.⁹ Dalam Islam kontemporer,
Seyyed Hossein Nasr mengusulkan philosophia perennis yang
menggabungkan tradisi metafisika klasik dengan pandangan keagamaan untuk
menghadapi krisis modernitas.¹⁰
Sintesis
ini menunjukkan bahwa filsafat tidak harus menegasikan agama, dan agama tidak
harus menolak filsafat. Sebaliknya, keduanya dapat berinteraksi secara dialektis untuk
membangun pemahaman yang lebih utuh tentang realitas.
Refleksi Kritis atas Dialog dan Integrasi
Meskipun
dialog dan integrasi menghasilkan sintesis yang memperkaya, terdapat pula
bahaya reduksionisme. Filsafat yang terlalu mendominasi dapat menggeser agama menjadi sekadar konstruksi
rasional, sementara agama yang terlalu menekankan wahyu dapat menutup pintu
dialog kritis. Oleh karena itu, relasi keduanya harus dipahami sebagai
dialektika terbuka yang saling mengoreksi dan memperkaya.
Integrasi
yang sehat memungkinkan filsafat tetap kritis terhadap agama tanpa meniadakan
dimensi transendennya, sementara agama tetap memberikan horizon makna yang
melampaui keterbatasan filsafat. Dengan demikian, dialog keduanya berpotensi
melahirkan sintesis yang tidak hanya teoretis, tetapi juga relevan dalam menjawab problem
kemanusiaan kontemporer.¹¹
Footnotes
[1]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1998), VII, 10; Thomas Aquinas, Summa
Theologica, I, q. 1, a. 8.
[2]
Al-Farabi, On the Perfect State, trans.
Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 57–59; Ibn Rushd (Averroes), The
Incoherence of the Incoherence, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac,
1954), 5–6.
[3]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol.
II (London: George Allen & Unwin, 1927), 23–25.
[4]
William Lane Craig, The Cosmological Argument from
Plato to Leibniz (London: Macmillan, 1980), 5–7.
[5]
Paul Ricoeur, Philosophy and Religion (New
York: Routledge, 1995), 33–35.
[6]
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadilah, ed. Albert
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 98–100.
[7]
Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of
Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo, UT: Brigham
Young University Press, 1999), 11–15.
[8]
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 1–3.
[9]
John Hick, An Interpretation of Religion (New
Haven: Yale University Press, 1989), 1–5.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 25–30.
[11]
David Tracy, Blessed Rage for Order: The New
Pluralism in Theology (New York: Seabury Press, 1975), 65–67.
10.
Relevansi dalam Konteks
Kontemporer
10.1.
Filsafat,
Agama, dan Sains Modern
Perkembangan
sains modern telah membawa perubahan besar dalam cara manusia memahami
realitas. Teori kosmologi, biologi evolusioner, dan teknologi digital mengubah
paradigma tradisional tentang dunia.¹ Dalam konteks ini, filsafat dan agama
menghadapi tantangan untuk tetap relevan. Filsafat berperan dalam menafsirkan implikasi etis dan
epistemologis dari sains, sementara agama berfungsi memberikan horizon makna
dan orientasi moral yang tidak dapat disediakan sains semata.²
Dialog
antara filsafat, agama, dan sains menjadi krusial. Misalnya, teori evolusi
Darwin memunculkan perdebatan serius dalam teologi, namun filsafat membantu
merumuskan kerangka konseptual untuk mendamaikan iman dengan pengetahuan
ilmiah.³ Dalam isu-isu kontemporer seperti kecerdasan buatan (AI), filsafat
mengajukan pertanyaan tentang kesadaran dan etika teknologi, sementara agama
menegaskan tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah di bumi.⁴
10.2.
Sekularisme
dan Pluralisme
Fenomena
sekularisasi menandai pergeseran peran agama dalam masyarakat modern, khususnya
di Barat. Agama tidak lagi menjadi otoritas tunggal, melainkan salah satu dari
banyak sistem makna. Charles Taylor menunjukkan bahwa dalam “a
secular age,” individu hidup dalam kerangka imanen di mana iman
hanyalah salah satu pilihan di antara banyak kemungkinan.⁵
Filsafat
membantu merefleksikan kondisi pluralisme ini dengan menyediakan ruang dialog
antaragama dan antarworldview. Agama, pada gilirannya, memberikan sumber etis
untuk menjaga harmoni dalam masyarakat plural. Tantangan utamanya adalah bagaimana agama dapat
tetap setia pada klaim kebenarannya tanpa menafikan keberagaman. John Hick,
melalui pendekatan pluralisme religius, menegaskan bahwa berbagai tradisi agama
merupakan respons berbeda terhadap Realitas Ultim yang sama.⁶
10.3.
Tantangan
Etika Global
Globalisasi
menghadirkan problem-problem etis baru, seperti krisis ekologi, ketidakadilan
ekonomi, konflik politik, dan bioetika. Hans Küng mengusulkan Global Ethic
sebagai fondasi moral universal yang dapat disepakati lintas tradisi agama dan
filsafat.⁷ Dalam isu lingkungan, agama-agama menekankan prinsip tanggung jawab manusia
terhadap alam, sementara filsafat lingkungan mengembangkan konsep keberlanjutan
sebagai kerangka etis.⁸
Dalam
bidang bioetika, integrasi filsafat dan agama menjadi penting untuk membahas
isu-isu kontroversial seperti aborsi, euthanasia, dan rekayasa genetika. Filsafat menyediakan
kerangka analisis kritis, sedangkan agama menegaskan kesucian hidup manusia.
Dengan demikian, keduanya berperan saling melengkapi dalam memberikan jawaban
yang lebih komprehensif.⁹
10.4.
Relevansi
Spiritual dalam Kehidupan Modern
Modernitas
yang ditandai dengan rasionalisasi dan materialisme sering kali memunculkan krisis spiritual dan
alienasi eksistensial. Filsafat eksistensialis menyoroti kehampaan makna dalam
dunia sekular, sementara agama menawarkan jawaban transendental yang memberi
harapan dan orientasi hidup.¹⁰
Di
era digital, praktik spiritual seperti meditasi, doa, dan refleksi filosofis
justru mengalami kebangkitan kembali sebagai cara untuk mengatasi stres,
kecemasan, dan fragmentasi kehidupan modern.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat dan agama
tetap memiliki relevansi eksistensial yang nyata bagi manusia kontemporer.
Refleksi Akhir
Relevansi
filsafat dan agama dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuan keduanya untuk berdialog dengan
sains, merespons sekularisme, membangun etika global, dan menawarkan horizon
spiritual. Filsafat berfungsi sebagai refleksi kritis yang menguji konsistensi
dan rasionalitas, sementara agama menyediakan fondasi transendental dan moral.
Bersama-sama, keduanya dapat membentuk paradigma yang lebih utuh dalam menjawab
tantangan zaman.¹²
Footnotes
[1]
Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1997), 10–12.
[2]
Alister E. McGrath, Science and Religion: From
Conflict to Conversation (Oxford: Blackwell, 1999), 3–5.
[3]
John F. Haught, God After Darwin: A Theology of
Evolution (Boulder: Westview Press, 2000), 14–17.
[4]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 115–118.
[5]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 3–4.
[6]
John Hick, An Interpretation of Religion (New
Haven: Yale University Press, 1989), 233–235.
[7]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17–19.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 99–101.
[9]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 101–104.
[10]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 65–68.
[11]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge:
Polity Press, 2000), 82–84.
[12]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 211–213.
11.
Sintesis dan Refleksi
Filosofis
11.1.
Sintesis
Historis
Sejarah
memperlihatkan bahwa hubungan filsafat dan agama tidak pernah bersifat statis,
melainkan bergerak dalam dialektika antara konflik dan integrasi. Dari filsafat
Yunani yang mencari prinsip rasional kosmos, hingga teologi Skolastik yang
menggabungkan iman Kristen dengan Aristotelianisme, serta tradisi Islam klasik
yang menyintesiskan wahyu dan akal, terlihat adanya upaya berulang untuk
menjembatani keduanya.¹ Dalam proses tersebut, filsafat berfungsi memperkaya
refleksi agama dengan kerangka rasional, sedangkan agama memberi arah
transendental bagi filsafat.
11.2.
Harmoni
dan Dialektika
Sintesis
antara filsafat dan agama bukan berarti peleburan total, melainkan pencarian
harmoni yang
mempertahankan keunikan masing-masing. Filsafat memiliki peran kritis,
mendorong agama untuk merefleksikan klaim-klaimnya secara rasional. Sebaliknya,
agama memberi filsafat horizon makna yang melampaui empirisme dan rasionalitas
murni.² Dengan demikian, relasi keduanya dapat dipahami sebagai dialektika
kreatif yang menghasilkan keseimbangan antara rasio dan iman, kritisisme dan
spiritualitas.
11.3.
Refleksi
Epistemologis
Secara
epistemologis, filsafat dan agama sering dianggap menempuh jalan yang berbeda:
filsafat melalui logika, kritik, dan rasio; agama melalui wahyu, iman, dan
intuisi spiritual. Namun refleksi filosofis menunjukkan bahwa keduanya tidak
sepenuhnya terpisah. Wahyu tetap memerlukan penafsiran rasional agar dapat
dipahami secara kontekstual, sementara filsafat yang murni rasional sering kali
membutuhkan horizon nilai agar tidak jatuh dalam relativisme atau nihilisme.³
Dengan kata lain, epistemologi filsafat dan agama dapat saling mengoreksi sekaligus
melengkapi.
11.4.
Refleksi
Ontologis dan Metafisik
Dari
perspektif ontologis, filsafat dan agama sama-sama berupaya menjawab pertanyaan
tentang hakikat realitas dan keberadaan Tuhan. Filsafat berbicara dalam bahasa
konsep seperti causa prima atau “Ada,” sementara
agama menegaskannya dalam bahasa iman dan pengalaman spiritual.⁴ Refleksi
metafisik memperlihatkan bahwa meski berbeda dalam simbol dan metode, keduanya mengarah pada
horizon transendental yang sama: realitas ilahi sebagai dasar keberadaan.
11.5.
Refleksi
Etis dan Eksistensial
Dalam
bidang etika, filsafat menyumbangkan kerangka kritis dan argumentatif,
sedangkan agama menambahkan fondasi normatif dan motivasi spiritual. Hal ini memperlihatkan
bahwa filsafat dan agama dapat membentuk sintesis moral yang lebih kokoh dalam
merespons tantangan kontemporer, mulai dari bioetika hingga keadilan sosial.⁵
Secara eksistensial, filsafat membantu manusia menyadari kebebasan dan tanggung
jawabnya, sementara agama menawarkan makna dan pengharapan dalam menghadapi
penderitaan dan kematian.⁶
11.6.
Menuju
Sintesis Filosofis-Spiritual
Refleksi
atas dimensi epistemologis, ontologis, etis, dan eksistensial mengarah pada
kesadaran bahwa filsafat dan agama bukanlah dua domain yang saling meniadakan,
melainkan dua horizon yang bisa dipadukan dalam sintesis filosofis-spiritual.
Sintesis ini menuntut keterbukaan filsafat terhadap wahyu dan transendensi,
serta kesediaan agama untuk berdialog dengan kritik rasional.⁷
Dalam
konteks modern yang ditandai dengan sekularisasi, pluralisme, dan krisis makna,
sintesis filsafat dan agama dapat menjadi fondasi baru untuk membangun
paradigma kehidupan yang lebih utuh. Dengan jalan ini, manusia tidak hanya
memperoleh pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan yang mengarahkan pada kebenaran dan kebaikan.⁸
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 45–49.
[2]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 15–18.
[3]
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 5–7.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 21–23;
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q. 2, a. 3.
[5]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 3–5; Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din,
ed. Muhammad al-Syarif (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 47–49.
[6]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 66–69.
[7]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 210–212.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 28–30.
12.
Penutup
12.1.
Ringkasan
Temuan
Kajian
panjang mengenai filsafat dan agama memperlihatkan bahwa keduanya memiliki
hubungan yang kompleks: kadang bersifat harmonis, kadang penuh ketegangan.
Filsafat, dengan ciri rasional dan kritisnya, berusaha menyingkap hakikat
realitas, kebenaran, dan moralitas melalui argumentasi. Agama, dengan landasan wahyu
dan iman, menawarkan horizon transendental yang memberi makna dan tujuan
hidup.¹ Sejarah menunjukkan dinamika ini sejak Yunani Kuno, melalui teologi
Patristik dan Skolastik, tradisi Islam klasik, hingga refleksi modern dan
kontemporer.²
12.2.
Kesimpulan
Akademik
Dari
analisis epistemologis, ontologis, etis, hingga eksistensial, dapat disimpulkan
bahwa filsafat dan agama bukanlah domain yang sepenuhnya terpisah, melainkan
dua horizon yang sering bersinggungan.³ Filsafat membantu agama menjaga
rasionalitas dan menghindari dogmatisme, sementara agama menolong filsafat
menghindari relativisme nihilistik dengan memberikan fondasi moral dan
spiritual. Dengan kata lain, filsafat dan agama berada dalam relasi dialektis yang
saling memperkaya.⁴
12.3.
Relevansi
dan Implikasi
Dalam
konteks kontemporer, relevansi filsafat dan agama semakin nyata. Tantangan
sekularisme, pluralisme, sains, teknologi, dan problem etika global menuntut integrasi
keduanya. Filsafat menyediakan kerangka refleksi kritis atas perkembangan
zaman, sedangkan agama menawarkan orientasi nilai yang menuntun manusia pada
kehidupan yang lebih bermartabat.⁵ Oleh karena itu, dialog antara filsafat dan
agama harus terus dipelihara agar mampu menjawab tantangan dunia modern secara
komprehensif.
12.4.
Arah
Kajian Lanjutan
Kajian
ini membuka ruang untuk penelitian lebih lanjut, baik dalam konteks komparatif
lintas agama maupun dalam dialog dengan disiplin ilmu lain seperti sains sosial,
psikologi, dan ilmu alam. Studi interdisipliner di masa depan dapat memperdalam
pemahaman tentang bagaimana filsafat dan agama membentuk etika global, tanggung
jawab ekologis, serta orientasi spiritual manusia modern.⁶
12.5.
Penutup
Reflektif
Pada
akhirnya, filsafat dan agama adalah dua jalan manusia dalam pencarian
kebenaran. Keduanya, meski menempuh metode berbeda, bertemu pada horizon yang
sama: upaya
memahami realitas, memberi makna hidup, dan menuntun manusia menuju
kebijaksanaan.⁷ Dengan menjaga keterbukaan dialog antara filsafat dan agama,
manusia dapat menemukan sintesis yang tidak hanya memperkaya intelektualitas,
tetapi juga memperdalam dimensi spiritualitas.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
I: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 12–15.
[2]
Etienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–30.
[3]
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1983), 5–7.
[4]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 210–213.
[5]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17–19.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 45–48.
[7]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 65–69.
Daftar Pustaka
Al-Farabi. (1968). Al-Madina al-Fadilah (A.
Nader, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Farabi. (1985). On the Perfect State (R.
Walzer, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the
philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. E. Marmura, Trans.). Provo, UT:
Brigham Young University Press.
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din (M.
al-Syarif, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Augustine. (1998). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge:
Polity Press.
Barbour, I. G. (1997). Religion and science:
Historical and contemporary issues. San Francisco: HarperSanFrancisco.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles
of biomedical ethics (7th ed.). Oxford: Oxford University Press.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). New York: Vintage International.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol.
I: Greece and Rome. New York: Image Books.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol.
II: Medieval philosophy. New York: Image Books.
Craig, W. L. (1980). The cosmological argument from
Plato to Leibniz. London: Macmillan.
Darwin, C. (2000). On the origin of species.
Mineola, NY: Dover Publications. (Catatan: terkait referensi evolusi dari
pembahasan, tambahan relevan bila ingin konsisten)
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Eliade, M. (1959). The sacred and the profane: The
nature of religion. New York: Harcourt.
Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity
(G. Eliot, Trans.). New York: Harper & Row.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Boston: Beacon Press.
Freud, S. (1961). The future of an illusion (J.
Strachey, Trans.). New York: Norton.
Gilson, E. (1938). Reason and revelation in the
Middle Ages. New York: Charles Scribner’s Sons.
Gilson, E. (1991). The spirit of medieval
philosophy. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek
philosophy, Vol. I. Cambridge: Cambridge University Press.
Guthrie, W. K. C. (1975). A history of Greek
philosophy, Vol. IV. Cambridge: Cambridge University Press.
Haught, J. F. (2000). God after Darwin: A theology
of evolution. Boulder: Westview Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Hick, J. (1983). Philosophy of religion.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Hick, J. (1989). An interpretation of religion.
New Haven: Yale University Press.
Holy Bible, The. (1989). New Revised Standard
Version. Nashville: Thomas Nelson.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhib al-akhlaq (C. K.
Zurayk, Ed.). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1997). Patience and
gratitude (N. al-Khattab, Trans.). Riyadh: International Islamic Publishing
House.
Ibn Sina. (1957). Al-Isharat wa al-Tanbihat (S.
Dunya, Ed.). Cairo: Dar al-Ma’arif.
Ibn Sina. (2005). Al-Shifa: Metaphysics (M. E.
Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.
Ibn Rushd (Averroes). (1954). The incoherence of
the incoherence (S. van den Bergh, Trans.). London: Luzac.
James, W. (1902). The varieties of religious experience.
New York: Longmans, Green, and Co.
Kant, I. (1997). Groundwork of the metaphysics of
morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A.
Hannay, Trans.). London: Penguin.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In search
of a new world ethic. New York: Crossroad.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic
philosophy. Cambridge: Polity Press.
Locke, J. (1836). An essay concerning human
understanding. London: T. Tegg and Son.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A
report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Marx, K. (1970). Contribution to the critique of
Hegel’s philosophy of right (J. O’Malley, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
McGrath, A. E. (1999). Science and religion: From
conflict to conversation. Oxford: Blackwell.
Mill, J. S. (2001). Utilitarianism.
Indianapolis: Hackett.
Moltmann, J. (1974). The crucified God. London:
SCM Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual
crisis of modern man. London: Allen & Unwin.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of
nature. New York: Oxford University Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.
Paul, R. (1995). Philosophy and religion. New
York: Routledge.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Indianapolis: Hackett.
Plato. (1992). Apology (B. Jowett, Trans.). New
York: Dover Publications.
Plotinus. (1966). The Enneads (A. H. Armstrong,
Trans.). Cambridge: Harvard University Press.
Rahner, K. (1978). Foundations of Christian faith.
New York: Crossroad.
Rahner, K. (1970). The Trinity (J. Donceel,
Trans.). New York: Herder and Herder.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy, Vol. I.
London: George Allen & Unwin.
Radhakrishnan, S. (1927). Indian philosophy, Vol.
II. London: George Allen & Unwin.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Cambridge: Harvard University Press.
Redondi, P. (1987). Galileo heretic. Princeton:
Princeton University Press.
Ricoeur, P. (1995). Philosophy and religion. New
York: Routledge.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism
(C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.
Smart, N. (1998). The world’s religions.
Cambridge: Cambridge University Press.
Suhrawardi, S. (1999). The philosophy of illumination
(J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University
Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge:
Harvard University Press.
Tillich, P. (1951). Systematic theology, Vol. I.
Chicago: University of Chicago Press.
Tillich, P. (1957). Dynamics of faith. New
York: Harper & Row.
Tracy, D. (1975). Blessed rage for order: The new
pluralism in theology. New York: Seabury Press.
Voltaire. (1972). Philosophical dictionary (T.
Besterman, Trans.). New York: Penguin.
Walbridge, J., & Ziai, H. (Eds. & Trans.).
(1999). The philosophy of illumination by Suhrawardi. Provo, UT: Brigham
Young University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar