Selasa, 09 September 2025

Pengantar Ilmu Filsafat: Keniscayaan, Kritik, dan Relevansi dalam Zaman Modern

Pengantar Ilmu Filsafat

Keniscayaan, Kritik, dan Relevansi dalam Zaman Modern


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.

Pengantar Filsafat Umum, Pengantar Filsafat Islam, Paradoks Penolakan Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas filsafat sebagai suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk berpikir dan bertanya. Filsafat tidak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban karena ia muncul sebagai jawaban terhadap keheranan, pencarian makna, serta refleksi kritis atas realitas. Kritik dan penolakan terhadap filsafat, baik dari kalangan agama, sains, maupun ideologi, justru menegaskan paradoks: bahwa upaya menolak filsafat tetap menggunakan perangkat filosofis. Oleh karena itu, kritik bukanlah akhir dari filsafat, melainkan bahan dialektis yang memperkuat relevansinya.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat memainkan peran ganda: sebagai fondasi epistemologis dan ontologis, sekaligus sebagai pengawal etika dan makna. Filsafat juga membantu manusia menavigasi tantangan kontemporer, seperti globalisasi, era post-truth, krisis lingkungan, serta revolusi teknologi digital. Dengan kemampuannya melakukan kritik diri, filsafat tetap terbuka terhadap pembaruan dan tidak pernah terjebak dalam stagnasi.

Sintesis dari pembahasan ini menegaskan tiga poin utama: (1) filsafat adalah kebutuhan kodrati manusia, (2) kritik merupakan motor penggerak vitalitas filsafat, dan (3) filsafat tetap relevan dan semakin urgen dalam menghadapi kompleksitas zaman modern. Dengan demikian, filsafat adalah dialog abadi sekaligus kompas intelektual dan moral yang menuntun umat manusia menuju kebijaksanaan.

Kata Kunci: Filsafat, Keniscayaan, Kritik, Paradoks, Relevansi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Kontemporer.


PEMBAHASAN

Filsafat Adalah Keniscayaan


1.          Pendahuluan

Filsafat, dalam arti yang paling mendasar, adalah upaya manusia untuk memahami dirinya sendiri, dunia di sekitarnya, serta realitas yang lebih luas yang melingkupinya. Sejak awal peradaban, manusia telah menunjukkan kecenderungan untuk bertanya dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental: Apa hakikat keberadaan? Dari manakah asal-usul segala sesuatu? Apakah kebenaran itu? Bagaimana manusia seharusnya hidup? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini melahirkan suatu medan intelektual yang disebut filsafat, yang tidak hanya sekadar pengetahuan teoretis, melainkan juga refleksi kritis atas makna hidup dan eksistensi.¹

Hakikat filsafat tidak dapat dilepaskan dari kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir (animal rationale). Kemampuan berpikir inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lain. Aristoteles menegaskan bahwa filsafat bermula dari rasa kagum (thaumazein), yaitu ketika manusia menghadapi kenyataan yang menimbulkan pertanyaan mendalam tentang hakikat sesuatu.² Dengan demikian, filsafat merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dari akal budi manusia; di mana ada manusia yang berpikir, di situ pula filsafat lahir. Keniscayaan filsafat ini memperlihatkan bahwa ia bukan sekadar cabang ilmu tambahan, melainkan sesuatu yang inheren dalam eksistensi manusia.

Lebih jauh, filsafat kerap menghadapi kritik bahkan penolakan dari berbagai pihak. Ada yang menilai filsafat terlalu abstrak, jauh dari kehidupan praktis, atau bahkan dianggap bertentangan dengan iman dan tradisi. Namun demikian, setiap kritik dan penolakan itu pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari penggunaan perangkat filosofis itu sendiri, seperti logika, argumen, dan penalaran.³ Hal ini menimbulkan paradoks: menolak filsafat justru berarti secara implisit menggunakan filsafat. Oleh sebab itu, kritik dan penolakan tidak melemahkan filsafat, melainkan justru memperkaya dan memperkuatnya. Kritik menghadirkan ruang dialektika, dan dari dialektika itulah filsafat senantiasa diperbarui serta disesuaikan dengan konteks zaman.

Urgensi filsafat semakin nyata ketika kita meninjau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kemajuan dalam bidang sains, teknologi digital, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan eksplorasi kosmos membawa konsekuensi etis, sosial, dan eksistensial yang tidak dapat dijawab hanya dengan rumus matematis atau eksperimen laboratorium. Di titik inilah filsafat hadir sebagai pengawal, pemberi arah, dan pengingat bahwa pengetahuan tidak pernah netral, melainkan senantiasa mengandung implikasi bagi kemanusiaan.⁴ Tanpa filsafat, perkembangan ilmu dan teknologi berpotensi kehilangan orientasi normatif dan etis.

Artikel ini bertujuan untuk menegaskan kembali keniscayaan filsafat, menguraikan paradoks penolakan terhadapnya, serta menekankan relevansi filsafat dalam menghadapi tantangan kontemporer. Dengan menggabungkan kajian historis, analitis, dan reflektif, pembahasan ini akan menunjukkan bahwa filsafat tidak pernah usang, melainkan justru semakin mendesak untuk dipahami dan dikembangkan. Harapannya, pembahasan ini tidak hanya memberikan pengantar teoretis, tetapi juga membangkitkan kesadaran bahwa filsafat adalah kebutuhan kodrati manusia untuk memahami kehidupan dan menata masa depan dengan lebih bijaksana.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 15.

[2]                Aristoteles, Metaphysics, terj. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 982b.

[3]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 13.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society (Boston: Beacon Press, 1984), 10–12.


2.          Hakikat Filsafat

Pembahasan mengenai hakikat filsafat merupakan langkah awal yang penting untuk memahami posisinya dalam keseluruhan bangunan pengetahuan manusia. Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang berarti “cinta kebijaksanaan.” Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Pythagoras untuk menggambarkan sikap intelektual manusia yang tidak mengklaim dirinya sebagai orang bijak, melainkan sebagai pencinta kebijaksanaan.¹ Makna etimologis ini mencerminkan kerendahan hati intelektual dan dorongan batin manusia untuk mencari kebenaran secara terus-menerus.

Dari segi terminologis, definisi filsafat berkembang seiring zaman dan tradisi. Plato memandang filsafat sebagai latihan kematian, yakni pelepasan jiwa dari kungkungan indra menuju kontemplasi hakikat kebenaran yang abadi.² Aristoteles menyebut filsafat sebagai “ilmu tentang sebab dan prinsip pertama” (first philosophy) yang berusaha menyingkap dasar realitas terdalam.³ Sementara itu, al-Farabi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sejauh yang mungkin dicapai oleh akal manusia.⁴ Perbedaan definisi tersebut menunjukkan keluasan filsafat, namun secara umum dapat dikatakan bahwa filsafat adalah upaya sistematis, rasional, dan kritis untuk memahami realitas, pengetahuan, dan nilai.

Objek filsafat dapat ditinjau dari dua aspek: objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik fisik maupun metafisik, konkret maupun abstrak. Dengan kata lain, filsafat tidak membatasi dirinya pada satu wilayah tertentu, melainkan mencakup keseluruhan realitas.⁵ Adapun objek formal filsafat adalah pendekatan rasional-kritis yang digunakan untuk memahami objek material tersebut. Dengan demikian, filsafat berbeda dari ilmu pengetahuan empiris yang objeknya terbatas pada fenomena tertentu, karena filsafat justru mengkaji dasar, makna, dan hubungan terdalam dari segala sesuatu.

Hakikat filsafat juga dapat dipahami melalui relasinya dengan disiplin lain. Dengan agama, filsafat sering diposisikan dalam hubungan dialektis: kadang sebagai penopang teologis, kadang sebagai kritik, dan kadang sebagai jalan dialog antara iman dan akal.⁶ Dengan ilmu pengetahuan, filsafat bertindak sebagai fondasi epistemologis yang menanyakan dasar, validitas, dan metode ilmiah itu sendiri. Tanpa refleksi filosofis, ilmu pengetahuan berisiko terjebak dalam positivisme sempit yang mengabaikan dimensi etis dan metafisik. Sementara itu, dalam hubungannya dengan seni, filsafat berperan memberikan kerangka konseptual dan refleksi atas makna keindahan, kreativitas, dan ekspresi manusia.

Dengan demikian, hakikat filsafat bukanlah sekadar kumpulan teori abstrak, melainkan suatu proses intelektual yang melekat pada kodrat manusia sebagai makhluk pencari makna. Filsafat senantiasa menuntut sikap kritis, reflektif, dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental. Ia hadir bukan untuk memberi jawaban final yang mutlak, melainkan untuk memelihara dialog abadi tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat adalah fondasi yang tak tergantikan dalam dinamika pengetahuan dan kebudayaan manusia.


Footnotes

[1]                Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy: From the Origins to Socrates, terj. John R. Catan (Albany: State University of New York Press, 1987), 3.

[2]                Plato, Phaedo, terj. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 64a–67d.

[3]                Aristoteles, Metaphysics, terj. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 982a.

[4]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar al-Mashriq, 1995), 55–56.

[5]                K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 12.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 57.


3.          Keniscayaan Filsafat

Keniscayaan filsafat berakar pada kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir dan bertanya. Manusia tidak hanya hidup secara biologis, melainkan juga secara reflektif. Kemampuan untuk bertanya tentang “mengapa” dan “untuk apa” menempatkan manusia pada posisi unik dibandingkan makhluk lain. Heidegger menekankan bahwa manusia adalah Dasein, yaitu ada yang menyadari keberadaannya sendiri, sehingga selalu terdorong untuk merenungkan makna eksistensinya.¹ Filsafat lahir dari dorongan fundamental ini: rasa ingin tahu, rasa kagum, dan pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.

Secara historis, filsafat muncul di setiap peradaban besar, menunjukkan sifatnya yang universal. Di Yunani kuno, filsafat bermula dari keheranan terhadap fenomena alam dan kosmos, sebagaimana ditunjukkan oleh para filsuf pra-Sokrates seperti Thales dan Anaximandros.² Dalam tradisi India kuno, filsafat terwujud dalam Upanishad yang berusaha memahami hakikat diri (atman) dan realitas mutlak (brahman).³ Sementara dalam peradaban Islam, lahir filsafat yang mengintegrasikan wahyu dengan akal, sebagaimana terlihat pada karya al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.⁴ Fakta bahwa filsafat muncul di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar produk budaya tertentu, melainkan bagian kodrati dari aktivitas berpikir manusia.

Keniscayaan filsafat juga tampak dari kenyataan bahwa ia selalu hadir bahkan ketika ditolak. Kritik terhadap filsafat, baik dari kalangan agama, sains, maupun ideologi politik, tetap menggunakan perangkat filsafat seperti argumen, logika, dan konseptualisasi. Auguste Comte, misalnya, berusaha menyingkirkan filsafat demi positivisme ilmiah, namun pada kenyataannya ia membangun kerangka filosofis baru tentang tahap perkembangan intelektual manusia.⁵ Demikian pula Karl Marx, yang sering menuduh filsafat bersifat spekulatif, justru melahirkan filsafat materialisme historis yang berpengaruh luas.⁶ Dari sini tampak paradoks bahwa penolakan terhadap filsafat justru mempertegas eksistensinya: setiap upaya menolak filsafat berarti secara implisit melakukan aktivitas filosofis.

Lebih dari itu, keniscayaan filsafat dapat dipahami dari fungsi vitalnya dalam mengarahkan kehidupan manusia. Filsafat membantu manusia untuk membedakan antara opini dangkal dan pengetahuan yang sahih, antara ilusi dan kebenaran, serta antara tindakan yang sekadar impulsif dengan tindakan yang bermakna. Bertrand Russell menegaskan bahwa filsafat memperluas cakrawala pemikiran manusia, membebaskannya dari prasangka, dan membentuk sikap kritis terhadap berbagai klaim kebenaran.⁷ Tanpa filsafat, manusia mudah terjebak dalam dogmatisme atau relativisme yang ekstrem.

Dalam konteks kontemporer, keniscayaan filsafat semakin terlihat jelas ketika manusia dihadapkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat. Kecerdasan buatan, rekayasa genetika, dan krisis lingkungan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan etis dan eksistensial yang tidak dapat dijawab hanya dengan metode sains empiris. Di sinilah filsafat berperan sebagai penjaga makna dan arah, memastikan bahwa kemajuan teknis tidak mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.⁸ Dengan demikian, filsafat bukanlah pelengkap yang bisa ditinggalkan, melainkan fondasi kritis yang selalu dibutuhkan dalam menghadapi dinamika zaman.

Kesimpulannya, filsafat merupakan keniscayaan karena ia lahir dari kodrat manusia yang berpikir, hadir dalam setiap peradaban, tak tergantikan bahkan ketika ditolak, serta berfungsi sebagai penuntun kehidupan yang bermakna. Ia adalah medan refleksi yang tak pernah usang, sebab sejauh manusia bertanya, sejauh itu pula filsafat akan tetap ada.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67.

[2]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 21.

[3]                S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1 (London: George Allen & Unwin, 1923), 153.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 57–63.

[5]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1–15.

[6]                Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.

[7]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1997), 156–57.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 3–6.


4.          Kritik dan Paradoks Penolakan terhadap Filsafat

Sejarah panjang filsafat tidak pernah lepas dari kritik, bahkan penolakan yang tajam. Sejak zaman kuno hingga era kontemporer, selalu ada pihak yang mempertanyakan relevansi filsafat. Kritik ini lahir dari berbagai latar belakang: keagamaan, ilmiah, maupun sosial-politik. Namun, yang menarik adalah bahwa setiap kritik dan penolakan tersebut pada hakikatnya justru mengandung unsur filsafat itu sendiri, sehingga melahirkan paradoks: penolakan terhadap filsafat sekaligus membuktikan keniscayaan filsafat.

4.1.      Kritik dalam Tradisi Agama dan Teologi

Dalam sejarah pemikiran agama, filsafat kerap dipandang berbahaya karena dianggap mengandalkan akal melebihi wahyu. Tertullian, seorang teolog Kristen awal, terkenal dengan ungkapan retorisnya: “Apa hubungan Yerusalem dengan Athena?” yang dimaksudkan untuk menegaskan keterpisahan antara iman dan filsafat Yunani.¹ Di dunia Islam, kritik serupa pernah dilontarkan al-Ghazali melalui karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), di mana ia menolak beberapa pandangan metafisis filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan al-Farabi yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.² Meskipun demikian, penolakan al-Ghazali bukan berarti menolak akal sepenuhnya, melainkan tetap menggunakan argumentasi rasional yang bersifat filosofis.

4.2.      Kritik dari Ilmu Pengetahuan

Pada masa modern, kritik terhadap filsafat datang dari kaum saintis dan positivis. Auguste Comte, misalnya, menolak filsafat metafisik dan menggantinya dengan positivisme yang hanya mengakui pengetahuan ilmiah sebagai bentuk kebenaran yang sah.³ Demikian pula para ilmuwan abad ke-20 sering menganggap filsafat sebagai spekulasi kosong yang tidak memberi kontribusi praktis. Richard Feynman, seorang fisikawan teoretis, bahkan menyindir bahwa filsafat lebih banyak mengganggu daripada membantu dalam perkembangan sains.⁴ Namun, pandangan ini ironis, sebab positivisme dan kritik sains terhadap filsafat tetap berlandaskan pada kerangka filosofis tertentu mengenai epistemologi dan validitas pengetahuan.

4.3.      Kritik Sosial dan Ideologis

Selain dari agama dan sains, filsafat juga dikritik dari perspektif sosial-politik. Karl Marx menuduh filsafat idealis Jerman terlalu abstrak dan jauh dari realitas praksis. Ia menyatakan bahwa filsafat hanya menafsirkan dunia, sementara tugas sejati adalah mengubahnya.⁵ Kritik ini mengandung unsur penolakan terhadap spekulasi metafisis, namun sekaligus melahirkan filsafat baru berupa materialisme historis. Dengan demikian, bahkan kritik Marx tetap merupakan konstruksi filosofis yang kuat.

4.4.      Paradoks Penolakan terhadap Filsafat

Di sinilah letak paradoks besar: menolak filsafat berarti secara tidak langsung melakukan filsafat. Setiap kritik menggunakan logika, konseptualisasi, dan penalaran yang merupakan instrumen filsafat. Tanpa filsafat, kritik itu sendiri tidak dapat disusun secara rasional. Oleh karena itu, penolakan tidak membubarkan filsafat, tetapi justru menghidupkan kembali dinamika dialektisnya. Dalam istilah Hegel, setiap penyangkalan mengandung momen afirmasi yang memungkinkan sintesis baru.⁶ Filsafat bertahan karena ia sanggup menyerap kritik, mengolahnya, dan melahirkan perspektif baru yang lebih relevan dengan zamannya.

4.5.      Kritik sebagai Sumber Vitalitas Filsafat

Kritik dan penolakan terhadap filsafat pada akhirnya menjadi sumber vitalitasnya. Tanpa kritik, filsafat akan mandek dalam dogmatisme. Justru karena diserang, filsafat berevolusi, memperbaiki kelemahan, dan memperluas cakupan pembahasannya. Dengan demikian, kritik tidak menghancurkan filsafat, melainkan menjadi bahan bakar bagi keberlangsungannya. Filsafat modern, postmodern, hingga filsafat kontemporer lahir dalam ruang dialektika antara penerimaan dan penolakan.⁷


Footnotes

[1]                Tertullian, Prescription Against Heretics, dalam The Ante-Nicene Fathers, Vol. 3, ed. Alexander Roberts dan James Donaldson (Buffalo, NY: Christian Literature Publishing, 1885), 246.

[2]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 13–15.

[3]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 4–6.

[4]                Richard P. Feynman, The Character of Physical Law (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 129.

[5]                Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.

[6]                G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit, terj. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 79–80.

[7]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York: DK Publishing, 2001), 227.


5.          Filsafat sebagai Dialog Abadi

Filsafat, sejak kelahirannya, tidak pernah berhenti menjadi ruang dialog yang tak berkesudahan. Ia bukan sekadar kumpulan doktrin kaku yang diwariskan dari generasi ke generasi, melainkan percakapan intelektual lintas waktu yang selalu terbuka terhadap kritik, reinterpretasi, dan pembaruan. Dialog ini bersifat abadi karena filsafat selalu berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak lekang oleh perubahan zaman: tentang hakikat keberadaan, kebenaran, pengetahuan, kebebasan, keadilan, dan makna hidup.¹ Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah dapat dijawab secara final, melainkan selalu menuntut eksplorasi baru.

5.1.      Filsafat sebagai Percakapan Lintas Generasi

Filsafat dapat dipahami sebagai percakapan panjang antara para pemikir dari berbagai periode sejarah. Plato berdialog dengan gurunya, Socrates, lalu karya-karya Plato sendiri dikritik oleh Aristoteles.² Pada Abad Pertengahan, filsafat Yunani diresepsi oleh pemikir Muslim seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd, lalu diteruskan dalam tradisi Kristen oleh Thomas Aquinas.³ Di era modern, René Descartes berusaha meletakkan dasar baru bagi kepastian pengetahuan melalui rasionalisme, yang kemudian dikritik oleh empirisisme John Locke dan David Hume. Kritik empirisisme itu pada gilirannya menginspirasi Immanuel Kant untuk menyintesiskan rasionalisme dan empirisme dalam filsafat transendentalnya.⁴ Semua ini menunjukkan bahwa filsafat bergerak melalui percakapan tanpa akhir, di mana setiap gagasan membuka ruang bagi tanggapan, bantahan, atau pengembangan baru.

5.2.      Dialektika: Penyangkalan dan Afirmasi

Dialog filosofis bersifat dialektis: setiap tesis melahirkan antitesis, dan dari pertentangan itu lahir sintesis baru. Pola ini bukan sekadar model metodologis Hegelian, tetapi dapat ditemukan dalam sejarah filsafat itu sendiri. Nietzsche, misalnya, menolak metafisika tradisional yang dianggap mengekang kehidupan, tetapi penolakannya justru melahirkan filsafat eksistensialis yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Heidegger, Sartre, dan Camus.⁵ Penolakan dan kritik bukanlah akhir dari filsafat, melainkan motor penggeraknya.

5.3.      Filsafat sebagai Dialog Antarbudaya

Filsafat juga merupakan dialog lintas budaya. Filsafat Yunani kuno diterjemahkan dan dikembangkan dalam bahasa Arab, lalu diserap ke dalam tradisi Latin.⁶ Pada abad ke-20, filsafat Barat mulai berdialog dengan tradisi Timur, seperti filsafat India, Cina, dan Islam, menghasilkan pemikiran yang lebih plural dan global. Contoh kontemporer adalah dialog filsafat mengenai etika lingkungan, yang mempertemukan konsep-konsep Barat seperti deep ecology dengan pandangan kosmologis masyarakat adat.⁷ Dengan demikian, filsafat bukan hanya dialog antarindividu, tetapi juga antarperadaban.

5.4.      Filsafat dan Tantangan Zaman

Dialog filsafat tidak berhenti pada tataran historis, tetapi terus berlanjut dalam merespons tantangan kontemporer. Masalah-masalah seperti krisis ekologi, kecerdasan buatan, bioteknologi, serta globalisasi menghadirkan persoalan baru yang menuntut jawaban filosofis.⁸ Filsafat berperan sebagai forum kritis yang mempertanyakan arah perkembangan teknologi, implikasi moralnya, serta dampaknya bagi masa depan umat manusia. Dengan demikian, filsafat selalu relevan karena ia berfungsi sebagai percakapan reflektif atas persoalan yang senantiasa berubah.

5.5.      Kesadaran akan Dialog yang Tak Pernah Usai

Kesadaran bahwa filsafat adalah dialog abadi melahirkan sikap keterbukaan intelektual. Tidak ada sistem filsafat yang dapat mengklaim kebenaran mutlak, karena setiap sistem selalu terbuka untuk ditinjau kembali. Karl Jaspers menyebut filsafat sebagai “pencarian tanpa akhir,” di mana manusia berusaha meraih kebenaran yang selalu melampaui jangkauan finalitas.⁹ Justru dalam keterbukaan inilah filsafat menemukan vitalitasnya: ia hidup selama manusia terus berpikir, bertanya, dan berdialog.


Footnotes

[1]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York: DK Publishing, 2001), 10.

[2]                Plato, The Republic, terj. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1991), 327a–331d.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 102–108.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 133–35.

[5]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, terj. R. J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), 19–22.

[6]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 55–61.

[7]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, terj. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.

[9]                Karl Jaspers, Philosophy of Existence, terj. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 28.


6.          Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi

Hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi merupakan salah satu aspek paling signifikan dalam memahami dinamika peradaban modern. Sejak awal, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang secara bersamaan: filsafat melahirkan sains, dan sains kemudian berkembang menjadi disiplin yang lebih spesifik. Namun demikian, filsafat tidak pernah kehilangan perannya, sebab ia tetap menjadi fondasi epistemologis, ontologis, dan etis dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa filsafat, perkembangan ilmu dapat kehilangan arah, sedangkan kemajuan teknologi bisa melahirkan problem etis yang serius.¹

6.1.      Filsafat sebagai Fondasi Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan modern berakar pada refleksi filosofis. Dalam filsafat Yunani, para pemikir pra-Sokrates sudah berusaha menjelaskan fenomena alam dengan prinsip rasional, bukan sekadar mitos.² Perkembangan ini mencapai puncaknya dalam filsafat Aristoteles yang menyusun kategori, metode silogisme, dan prinsip sebab-akibat sebagai dasar berpikir ilmiah.³ Pada era modern, René Descartes dengan metode keraguannya dan Francis Bacon dengan empirismenya, sama-sama menegaskan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang melalui fondasi filosofis yang jelas.⁴ Bahkan, hingga kini, pertanyaan-pertanyaan epistemologis seperti “Apa itu pengetahuan?” dan “Bagaimana kebenaran dapat diverifikasi?” tetap menjadi wilayah filsafat yang menopang sains.

6.2.      Filsafat dan Kritik terhadap Ilmu Pengetahuan

Meski berfungsi sebagai fondasi, filsafat juga hadir sebagai pengkritik ilmu pengetahuan. Ilmu sering kali terjebak dalam positivisme yang sempit, hanya mengakui kebenaran empiris dan mengabaikan dimensi metafisik maupun normatif. Auguste Comte, misalnya, menolak metafisika dan hanya mengakui fakta positif sebagai sumber pengetahuan yang sah.⁵ Namun, filsafat kemudian mengoreksi pandangan ini, terutama melalui Karl Popper yang menekankan falsifikasionisme sebagai ciri utama sains yang sejati, bukan sekadar verifikasi empiris.⁶ Demikian pula Thomas Kuhn menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak hanya linier, melainkan terjadi melalui revolusi paradigma yang dipengaruhi faktor historis, sosial, dan budaya.⁷ Kritik ini memperlihatkan bahwa filsafat berfungsi menjaga ilmu agar tetap terbuka, reflektif, dan tidak dogmatis.

6.3.      Filsafat dan Etika Teknologi

Kemajuan teknologi modern menghadirkan persoalan etis yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan semata. Kecerdasan buatan, bioteknologi, rekayasa genetika, serta teknologi digital menimbulkan dilema moral: bagaimana teknologi digunakan, siapa yang bertanggung jawab, dan apa dampaknya bagi kemanusiaan. Hans Jonas menegaskan perlunya etika tanggung jawab (ethics of responsibility) dalam menghadapi teknologi, sebab potensi kerusakannya dapat melampaui kapasitas generasi sekarang dan mengancam generasi mendatang.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat berperan penting sebagai pengawal moral dan arah perkembangan teknologi.

6.4.      Relevansi Filsafat di Era Teknologi Digital

Dalam era digital dan revolusi industri 4.0, filsafat semakin urgen untuk dikaji. Persoalan tentang privasi data, kecerdasan buatan yang dapat melampaui kapasitas manusia, hingga ketidaksetaraan digital membutuhkan refleksi filosofis yang mendalam. Luciano Floridi, melalui filsafat informasi, menegaskan bahwa manusia kini hidup dalam infosphere—ruang realitas informasi—yang menuntut kerangka etika dan ontologi baru.⁹ Tanpa filsafat, perkembangan teknologi digital berisiko mengabaikan aspek kemanusiaan, menjerumuskan manusia pada dehumanisasi atau eksploitasi data.

6.5.      Sintesis: Filsafat sebagai Penuntun Ilmu dan Teknologi

Dengan demikian, filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan saling membutuhkan. Filsafat memberikan landasan dan arah bagi ilmu serta teknologi, sementara perkembangan ilmu dan teknologi memberi bahan baru bagi refleksi filosofis. Hubungan timbal balik ini memperlihatkan bahwa filsafat tetap keniscayaan, bukan sisa masa lalu. Ia hadir sebagai cahaya penuntun, yang menjaga agar pengetahuan dan teknologi berkembang bukan hanya untuk kemajuan material, tetapi juga demi kelestarian nilai-nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, terj. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 67–69.

[2]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 12–15.

[3]                Aristoteles, Posterior Analytics, terj. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71–72.

[4]                René Descartes, Discourse on Method, terj. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 17–19; Francis Bacon, Novum Organum, terj. Peter Urbach dan John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), 95–96.

[5]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1–3.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 33–34.

[7]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 52–65.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 4–7.

[9]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 6–8.


7.          Urgensi Filsafat di Era Kontemporer

Era kontemporer ditandai oleh perubahan cepat dalam bidang sosial, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Globalisasi, digitalisasi, krisis lingkungan, serta dinamika identitas budaya menghadirkan tantangan baru yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh dimensi eksistensial dan etis manusia. Dalam konteks inilah filsafat menemukan kembali urgensinya. Filsafat bukanlah disiplin usang yang terasing dari realitas, melainkan sarana reflektif yang membantu manusia memahami kompleksitas zaman modern sekaligus menjaga orientasi moral dan kemanusiaannya.¹

7.1.      Tantangan Globalisasi dan Krisis Identitas

Globalisasi telah membuka ruang interaksi lintas budaya dan bangsa, tetapi juga menimbulkan homogenisasi nilai serta krisis identitas. Manusia modern sering kali merasa tercerabut dari akar tradisi dan mengalami disorientasi makna.² Filsafat, melalui kajian etika, politik, dan filsafat budaya, menyediakan kerangka untuk memahami pluralitas sekaligus menjaga identitas. Misalnya, filsafat hermeneutika Hans-Georg Gadamer menekankan pentingnya dialog antarbudaya untuk mencapai pemahaman bersama tanpa meniadakan perbedaan.³ Dengan demikian, filsafat membantu manusia menghadapi dunia yang semakin terhubung tanpa kehilangan keunikan nilai-nilainya.

7.2.      Era Post-Truth dan Krisis Kebenaran

Salah satu ciri khas era kontemporer adalah munculnya fenomena post-truth, di mana fakta objektif sering dikesampingkan oleh opini atau emosi.⁴ Media sosial mempercepat penyebaran disinformasi, sehingga kebenaran kerap ditentukan oleh kekuatan narasi, bukan validitas argumen. Dalam situasi ini, filsafat logika dan epistemologi menjadi semakin penting. Filsafat melatih manusia untuk membedakan argumen sahih dari yang keliru, mengembangkan sikap kritis, serta membangun kesadaran bahwa pencarian kebenaran tidak boleh digantikan oleh relativisme pragmatis.⁵

7.3.      Krisis Lingkungan dan Etika Ekologi

Krisis lingkungan global—perubahan iklim, kerusakan ekosistem, dan kepunahan spesies—memunculkan pertanyaan filosofis mendalam tentang relasi manusia dengan alam. Sains dapat menjelaskan penyebab dan akibat ekologis, tetapi tidak mampu menjawab pertanyaan normatif: apakah manusia berhak mengeksploitasi alam tanpa batas? Filsafat ekologi, seperti yang dikembangkan oleh Arne Naess dalam deep ecology, menegaskan pentingnya kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas.⁶ Dengan demikian, filsafat menyediakan basis etis untuk perubahan paradigma dari eksploitasi menuju keberlanjutan.

7.4.      Teknologi Digital dan Kemanusiaan

Kemajuan teknologi digital, khususnya kecerdasan buatan (AI), big data, dan bioteknologi, menimbulkan dilema etis yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Pertanyaan tentang otonomi manusia, privasi, serta potensi dehumanisasi muncul sebagai isu sentral. Luciano Floridi melalui filsafat informasi mengajukan konsep infosphere sebagai ruang ontologis baru yang menuntut kerangka moral yang lebih inklusif.⁷ Tanpa filsafat, teknologi berpotensi berkembang tanpa arah etis, mengabaikan martabat manusia. Dengan filsafat, masyarakat dapat mengembangkan prinsip-prinsip tanggung jawab, keadilan, dan kemaslahatan dalam menghadapi revolusi teknologi.

7.5.      Relevansi Eksistensial Filsafat

Selain aspek sosial dan teknologi, urgensi filsafat juga tampak pada dimensi eksistensial. Di tengah percepatan hidup modern, manusia kerap mengalami kehampaan makna, alienasi, dan keresahan spiritual. Filsafat eksistensialis, misalnya dalam karya Kierkegaard, Sartre, dan Camus, tetap relevan karena menegaskan kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna di tengah absurditas hidup.⁸ Dengan demikian, filsafat berfungsi sebagai ruang refleksi yang membantu manusia menemukan pijakan dalam menghadapi ketidakpastian zaman.

7.6.      Sintesis: Filsafat sebagai Kompas Zaman

Dari berbagai aspek tersebut, jelas bahwa filsafat memiliki peran yang tak tergantikan di era kontemporer. Ia berfungsi sebagai kompas intelektual, moral, dan eksistensial yang menuntun manusia menavigasi kompleksitas kehidupan modern. Filsafat tidak memberikan jawaban instan, tetapi membentuk sikap kritis, reflektif, dan bijaksana yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi krisis global. Sejauh manusia berhadapan dengan persoalan kebenaran, etika, dan makna, sejauh itu pula filsafat akan tetap relevan dan urgen.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 14–15.

[2]                Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives (London: Profile Books, 1999), 21–23.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj. Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.

[4]                Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 11–12.

[5]                Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 45–47.

[6]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, terj. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.

[7]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 9–11.

[8]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–29.


8.          Kritik Diri Filsafat

Salah satu ciri khas filsafat yang membedakannya dari banyak disiplin ilmu lainnya adalah kemampuannya untuk melakukan kritik diri. Filsafat bukan hanya objek kritik dari luar—baik dari agama, sains, maupun ideologi—tetapi juga memiliki mekanisme internal untuk merefleksikan kelemahan, keterbatasan, bahkan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Kemampuan reflektif ini menjadikan filsafat dinamis dan terus relevan, meskipun sering dipertanyakan kegunaannya.¹

8.1.      Tuduhan Abstraksi dan Ketidakpraktisan

Salah satu kritik yang paling sering diarahkan kepada filsafat adalah sifatnya yang terlalu abstrak dan jauh dari kehidupan nyata. Bertrand Russell sendiri mengakui bahwa filsafat tidak menghasilkan jawaban yang pasti seperti ilmu alam, melainkan menimbulkan pertanyaan yang membuka jalan menuju pemikiran baru.² Hal ini membuat filsafat tampak kurang praktis dibandingkan teknologi atau sains. Namun, justru dalam keterbukaan dan ketidakpastian itulah nilai filsafat ditemukan: ia membebaskan pikiran manusia dari dogmatisme, memperluas wawasan, dan menumbuhkan sikap kritis terhadap klaim kebenaran yang bersifat final.³

8.2.      Kritik terhadap Tradisi Dogmatis Filsafat

Ironisnya, meskipun filsafat sering dituduh abstrak, ada kalanya ia sendiri terjebak dalam dogmatisme sistematis. Sejarah mencatat bagaimana sistem metafisika yang dibangun secara tertutup cenderung mendominasi pemikiran pada masanya, sehingga menyingkirkan pendekatan alternatif. Contohnya adalah idealisme Hegelian yang mendominasi abad ke-19, tetapi kemudian dikritik oleh filsafat eksistensialis dan pragmatis sebagai terlalu totalistik.⁴ Kritik internal ini menunjukkan bahwa filsafat memiliki kemampuan untuk merevisi dirinya ketika suatu sistem dianggap terlalu mengekang kebebasan berpikir.

8.3.      Kritik terhadap Netralitas dan Keterlibatan Sosial

Sebagian pemikir menilai bahwa filsafat sering terlalu sibuk dengan abstraksi dan gagal memberi solusi konkret bagi masalah sosial. Karl Marx misalnya menuduh filsafat hanya menafsirkan dunia tanpa mengubahnya.⁵ Kritik ini kemudian mendorong lahirnya tradisi filsafat praksis, termasuk aliran Frankfurt yang menekankan teori kritis sebagai upaya menghubungkan refleksi dengan transformasi sosial.⁶ Dengan demikian, kritik diri filsafat tidak hanya menyadarkan akan keterbatasannya, tetapi juga memacu lahirnya arah baru yang lebih kontekstual.

8.4.      Kritik terhadap Klaim Universalitas

Filsafat Barat dalam sejarahnya sering mengklaim universalitas, seakan-akan pemikiran yang lahir di Eropa dapat mewakili seluruh umat manusia. Kritik dari perspektif postkolonial dan filsafat non-Barat menantang klaim ini, menegaskan pentingnya pluralitas dan pengakuan terhadap tradisi filsafat dari budaya lain, seperti India, Cina, dan Islam.⁷ Kritik ini membuka kesadaran bahwa filsafat bukan monolog tunggal, melainkan dialog antartradisi yang setara.

8.5.      Membumikan Filsafat: Dari Kritik ke Relevansi

Kritik diri filsafat pada akhirnya menuntut agar filsafat tidak terjebak dalam menara gading intelektual, tetapi membumikan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari. Pierre Hadot, misalnya, menekankan filsafat sebagai a way of life—suatu praktik reflektif yang membentuk cara hidup, bukan hanya wacana teoritis.⁸ Dalam perspektif ini, filsafat menjadi latihan spiritual, moral, dan intelektual yang memberi arah pada kehidupan individu dan masyarakat.

8.6.      Kritik Diri sebagai Sumber Vitalitas

Justru karena sanggup mengkritik dirinya, filsafat tidak pernah benar-benar usang. Ia senantiasa terbuka terhadap pembaruan, koreksi, dan reinterpretasi sesuai konteks zaman. Kritik diri menjadi sumber vitalitas filsafat, menjaga agar ia tidak terjebak dalam stagnasi. Dengan demikian, filsafat tetap mampu berdialog dengan perkembangan sains, teknologi, maupun persoalan kemanusiaan kontemporer.⁹


Footnotes

[1]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 5.

[2]                Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1997), 156.

[3]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York: DK Publishing, 2001), 18.

[4]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 7: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 45–46.

[5]                Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.

[6]                Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays (New York: Continuum, 1982), 188.

[7]                Enrique Dussel, Philosophy of Liberation (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1985), 13–15.

[8]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 265.

[9]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 10–12.


9.          Sintesis dan Refleksi Filosofis

Setelah menelaah hakikat, keniscayaan, kritik, dan relevansi filsafat dalam dinamika sejarah maupun konteks kontemporer, dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan kebutuhan kodrati manusia yang tidak dapat dihapuskan. Filsafat lahir dari kecenderungan manusia untuk berpikir dan bertanya, berkembang melalui dialektika kritik dan penolakan, serta menemukan relevansi baru dalam menghadapi tantangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan krisis kemanusiaan modern. Dalam bab ini, dilakukan sintesis terhadap seluruh pembahasan sekaligus refleksi filosofis yang menegaskan posisi filsafat sebagai dialog abadi dan kompas moral-intelektual bagi umat manusia.

9.1.      Filsafat sebagai Kebutuhan Kodrati

Keberadaan filsafat tidak dapat dipisahkan dari hakikat manusia sebagai animal rationale. Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, manusia memiliki kecenderungan alami untuk mengetahui (homo sapiens).¹ Pencarian akan kebenaran, makna, dan nilai merupakan bagian integral dari eksistensi manusia. Oleh karena itu, filsafat bukan sekadar aktivitas intelektual opsional, melainkan manifestasi kodratiah dari kemampuan berpikir reflektif manusia.

9.2.      Kritik sebagai Sumber Pertumbuhan Filsafat

Sejarah menunjukkan bahwa kritik, bahkan penolakan terhadap filsafat, justru memperkaya dan memperkuat eksistensinya. Kritik teologis al-Ghazali terhadap para filsuf Muslim, positivisme Comte, atau penolakan Marx terhadap filsafat spekulatif semuanya membuktikan bahwa filsafat terus bertahan dengan cara menyerap dan menanggapi kritik tersebut.² Paradoks ini menegaskan bahwa filsafat bukanlah bangunan statis, melainkan proses dinamis yang selalu terbuka bagi revisi dan perkembangan baru.

9.3.      Filsafat sebagai Dialog Abadi

Filsafat dapat dipandang sebagai percakapan panjang lintas waktu, ruang, dan budaya. Dari Socrates hingga Habermas, dari Ibn Sina hingga Derrida, filsafat selalu hadir sebagai forum dialog di mana gagasan dipertemukan, diperdebatkan, dan diperkaya.³ Dialog ini tidak pernah mencapai finalitas, karena setiap jawaban menimbulkan pertanyaan baru. Dalam keterbukaan inilah filsafat memperoleh vitalitasnya sebagai percakapan abadi yang terus melintasi generasi.

9.4.      Filsafat dalam Hubungannya dengan Ilmu dan Teknologi

Di era kontemporer, filsafat semakin dibutuhkan untuk mengawal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa filsafat, ilmu berisiko jatuh ke dalam positivisme reduksionis, sementara teknologi berpotensi berkembang tanpa kendali etis. Hans Jonas menekankan bahwa dalam menghadapi teknologi modern, manusia dituntut mengembangkan etika tanggung jawab demi generasi mendatang.⁴ Dengan demikian, filsafat memberikan horizon normatif yang menjaga agar kemajuan ilmiah tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan.

9.5.      Refleksi: Filsafat sebagai Kompas Zaman

Refleksi filosofis membawa kita pada kesadaran bahwa filsafat adalah kompas intelektual dan moral yang membantu manusia menavigasi kompleksitas zaman. Dalam era post-truth, filsafat logika dan epistemologi membekali manusia untuk memilah kebenaran dari kepalsuan. Dalam krisis ekologi, filsafat etika lingkungan menegaskan tanggung jawab manusia terhadap alam. Dalam revolusi teknologi digital, filsafat informasi menyoroti urgensi nilai kemanusiaan.⁵ Dengan demikian, filsafat hadir bukan sebagai warisan mati dari masa lalu, tetapi sebagai sahabat reflektif yang menuntun manusia menuju kehidupan yang lebih bermakna.

9.6.      Kesadaran Filosofis sebagai Tugas Abadi

Pada akhirnya, filsafat mengajarkan bahwa kesadaran filosofis adalah tugas abadi umat manusia. Ia menolak dogmatisme sekaligus relativisme ekstrem, memelihara ruang dialog, dan menumbuhkan sikap kritis, toleran, serta terbuka. Karl Jaspers menyebut filsafat sebagai “pencarian tanpa akhir” yang merefleksikan keterbatasan manusia sekaligus membuka jalan menuju kebijaksanaan.⁶ Filsafat adalah perjalanan, bukan tujuan final; sebuah refleksi tanpa henti untuk memahami diri, dunia, dan transendensi.


Footnotes

[1]                Aristoteles, Metaphysics, terj. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 982a.

[2]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 14–16; Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 3; Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.

[3]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York: DK Publishing, 2001), 11–12.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 6–9.

[5]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 12–15.

[6]                Karl Jaspers, Philosophy of Existence, terj. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 28.


10.      Penutup

Filsafat adalah medan refleksi yang tidak pernah selesai. Ia lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir dan bertanya, berkembang melalui kritik dan penolakan, serta senantiasa relevan dalam menghadapi tantangan zaman. Sepanjang sejarah, filsafat menunjukkan dirinya sebagai dialog abadi yang mempertemukan berbagai pandangan, menimbang argumen, serta melahirkan perspektif baru. Keabadian filsafat terletak bukan pada jawaban yang final, melainkan pada keterbukaannya terhadap pertanyaan yang terus-menerus diajukan.¹

Keniscayaan filsafat tampak dalam kenyataan bahwa ia selalu hadir bahkan ketika ditolak. Paradoks besar filsafat adalah bahwa upaya untuk menolak atau mengkritiknya justru melahirkan filsafat baru. Hal ini terlihat dari berbagai peristiwa intelektual: kritik teologis yang memicu perdebatan metafisik, positivisme yang justru melahirkan refleksi epistemologis, hingga kritik sosial yang mendorong lahirnya filsafat praksis.² Filsafat tetap bertahan karena ia memiliki mekanisme internal untuk mengolah kritik menjadi bahan bagi pertumbuhan dan pembaruan dirinya.

Dalam dunia kontemporer yang diwarnai globalisasi, krisis lingkungan, revolusi teknologi, dan era post-truth, filsafat menemukan urgensi barunya. Ia tidak lagi dapat dipandang sebagai wacana abstrak yang jauh dari kenyataan, tetapi sebagai kompas intelektual dan moral yang menuntun manusia menavigasi kompleksitas zaman.³ Filsafat logika membantu membedakan kebenaran dari kepalsuan; filsafat etika membekali manusia dengan prinsip tanggung jawab terhadap sesama dan alam; filsafat teknologi memberikan orientasi moral terhadap perkembangan kecerdasan buatan dan bioteknologi. Semua ini menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar warisan sejarah, melainkan kebutuhan yang hidup.

Dengan demikian, penutup dari pembahasan ini menegaskan tiga hal pokok. Pertama, filsafat adalah kebutuhan kodrati manusia yang tidak dapat ditanggalkan. Kedua, kritik terhadap filsafat justru membuktikan vitalitasnya, karena dari kritik lahir filsafat yang lebih matang. Ketiga, filsafat tetap relevan dan bahkan semakin urgen dalam menghadapi tantangan dunia modern yang kompleks.⁴

Filsafat, pada akhirnya, adalah pencarian tanpa akhir. Sebagaimana ditegaskan Karl Jaspers, filsafat adalah “jalan” dan bukan “tujuan” yang pasti.⁵ Jalan ini adalah jalan refleksi, dialog, dan kebijaksanaan yang senantiasa terbuka bagi setiap manusia. Maka, sejauh manusia bertanya, sejauh itu pula filsafat akan tetap hidup, menjadi sahabat perjalanan intelektual dan eksistensial umat manusia.


Footnotes

[1]                Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York: DK Publishing, 2001), 10–11.

[2]                Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers, terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 15; Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 4–6; Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.

[3]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 17–18.

[4]                Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 8–10.

[5]                Karl Jaspers, Philosophy of Existence, terj. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 28.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1994). Posterior analytics (J. Barnes, Trans.). Clarendon Press.

Bacon, F. (1994). Novum organum (P. Urbach & J. Gibson, Trans.). Open Court.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol. 1: Greece and Rome. Image Books.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy, Vol. 7: Modern philosophy. Image Books.

Comte, A. (1896). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). George Bell & Sons.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Hackett.

Dussel, E. (1985). Philosophy of liberation. Orbis Books.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy. Columbia University Press.

Feynman, R. P. (1965). The character of physical law. MIT Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy, Vol. 1: The earlier Presocratics and the Pythagoreans. Cambridge University Press.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of modernity. MIT Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life (M. Chase, Trans.). Blackwell.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hegel, G. W. F. (1977). The phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected essays. Continuum.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence (R. F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.

Kuhn, T. S. (2012). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Magee, B. (2001). The story of philosophy. DK Publishing.

Marx, K. (1968). Theses on Feuerbach. In The German ideology. Progress Publishers.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Plato. (1991). The republic (A. Bloom, Trans.). Basic Books.

Plato. (2000). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy, Vol. 1. George Allen & Unwin.

Reale, G. (1987). A history of ancient philosophy: From the origins to Socrates (J. R. Catan, Trans.). State University of New York Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton University Press.

Russell, B. (1997). The problems of philosophy. Oxford University Press.

Russell, B. (2004). History of Western philosophy. Routledge.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Tertullian. (1885). Prescription against heretics. In A. Roberts & J. Donaldson (Eds.), The Ante-Nicene Fathers, Vol. 3. Christian Literature Publishing.

Al-Farabi. (1995). Al-Madina al-fadila. Dar al-Mashriq.

Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar