Pengantar Ilmu Filsafat
Keniscayaan, Kritik, dan Relevansi dalam Zaman Modern
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Pengantar Filsafat
Umum, Pengantar
Filsafat Islam, Paradoks
Penolakan Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas filsafat sebagai suatu
keniscayaan dalam kehidupan manusia, yang lahir dari kodrat manusia sebagai
makhluk berpikir dan bertanya. Filsafat tidak dapat dilepaskan dari sejarah
peradaban karena ia muncul sebagai jawaban terhadap keheranan, pencarian makna,
serta refleksi kritis atas realitas. Kritik dan penolakan terhadap filsafat,
baik dari kalangan agama, sains, maupun ideologi, justru menegaskan paradoks:
bahwa upaya menolak filsafat tetap menggunakan perangkat filosofis. Oleh karena
itu, kritik bukanlah akhir dari filsafat, melainkan bahan dialektis yang
memperkuat relevansinya.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
filsafat memainkan peran ganda: sebagai fondasi epistemologis dan ontologis, sekaligus
sebagai pengawal etika dan makna. Filsafat juga membantu manusia menavigasi
tantangan kontemporer, seperti globalisasi, era post-truth, krisis
lingkungan, serta revolusi teknologi digital. Dengan kemampuannya melakukan
kritik diri, filsafat tetap terbuka terhadap pembaruan dan tidak pernah
terjebak dalam stagnasi.
Sintesis dari pembahasan ini menegaskan tiga poin
utama: (1) filsafat adalah kebutuhan kodrati manusia, (2) kritik merupakan
motor penggerak vitalitas filsafat, dan (3) filsafat tetap relevan dan semakin
urgen dalam menghadapi kompleksitas zaman modern. Dengan demikian, filsafat
adalah dialog abadi sekaligus kompas intelektual dan moral yang menuntun umat
manusia menuju kebijaksanaan.
Kata Kunci: Filsafat, Keniscayaan, Kritik, Paradoks, Relevansi,
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Kontemporer.
PEMBAHASAN
Filsafat Adalah Keniscayaan
1.
Pendahuluan
Filsafat, dalam arti yang paling mendasar, adalah
upaya manusia untuk memahami dirinya sendiri, dunia di sekitarnya, serta
realitas yang lebih luas yang melingkupinya. Sejak awal peradaban, manusia
telah menunjukkan kecenderungan untuk bertanya dan mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan fundamental: Apa hakikat keberadaan? Dari manakah
asal-usul segala sesuatu? Apakah kebenaran itu? Bagaimana manusia seharusnya
hidup? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini melahirkan suatu medan intelektual
yang disebut filsafat, yang tidak hanya sekadar pengetahuan teoretis, melainkan
juga refleksi kritis atas makna hidup dan eksistensi.¹
Hakikat filsafat tidak dapat dilepaskan dari kodrat
manusia sebagai makhluk yang berpikir (animal rationale). Kemampuan
berpikir inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lain. Aristoteles
menegaskan bahwa filsafat bermula dari rasa kagum (thaumazein), yaitu
ketika manusia menghadapi kenyataan yang menimbulkan pertanyaan mendalam
tentang hakikat sesuatu.² Dengan demikian, filsafat merupakan konsekuensi yang
tak terhindarkan dari akal budi manusia; di mana ada manusia yang berpikir, di
situ pula filsafat lahir. Keniscayaan filsafat ini memperlihatkan bahwa ia
bukan sekadar cabang ilmu tambahan, melainkan sesuatu yang inheren dalam eksistensi
manusia.
Lebih jauh, filsafat kerap menghadapi kritik bahkan
penolakan dari berbagai pihak. Ada yang menilai filsafat terlalu abstrak, jauh
dari kehidupan praktis, atau bahkan dianggap bertentangan dengan iman dan
tradisi. Namun demikian, setiap kritik dan penolakan itu pada kenyataannya
tidak dapat dilepaskan dari penggunaan perangkat filosofis itu sendiri, seperti
logika, argumen, dan penalaran.³ Hal ini menimbulkan paradoks: menolak filsafat
justru berarti secara implisit menggunakan filsafat. Oleh sebab itu, kritik dan
penolakan tidak melemahkan filsafat, melainkan justru memperkaya dan
memperkuatnya. Kritik menghadirkan ruang dialektika, dan dari dialektika itulah
filsafat senantiasa diperbarui serta disesuaikan dengan konteks zaman.
Urgensi filsafat semakin nyata ketika kita meninjau
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kemajuan dalam bidang
sains, teknologi digital, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan eksplorasi
kosmos membawa konsekuensi etis, sosial, dan eksistensial yang tidak dapat
dijawab hanya dengan rumus matematis atau eksperimen laboratorium. Di titik
inilah filsafat hadir sebagai pengawal, pemberi arah, dan pengingat bahwa
pengetahuan tidak pernah netral, melainkan senantiasa mengandung implikasi bagi
kemanusiaan.⁴ Tanpa filsafat, perkembangan ilmu dan teknologi berpotensi
kehilangan orientasi normatif dan etis.
Artikel ini bertujuan untuk menegaskan kembali
keniscayaan filsafat, menguraikan paradoks penolakan terhadapnya, serta
menekankan relevansi filsafat dalam menghadapi tantangan kontemporer. Dengan
menggabungkan kajian historis, analitis, dan reflektif, pembahasan ini akan
menunjukkan bahwa filsafat tidak pernah usang, melainkan justru semakin
mendesak untuk dipahami dan dikembangkan. Harapannya, pembahasan ini tidak
hanya memberikan pengantar teoretis, tetapi juga membangkitkan kesadaran bahwa
filsafat adalah kebutuhan kodrati manusia untuk memahami kehidupan dan menata
masa depan dengan lebih bijaksana.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 15.
[2]
Aristoteles, Metaphysics, terj. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 982b.
[3]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy
(London: Routledge, 2004), 13.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society (Boston: Beacon
Press, 1984), 10–12.
2.
Hakikat
Filsafat
Pembahasan mengenai hakikat filsafat merupakan langkah
awal yang penting untuk memahami posisinya dalam keseluruhan bangunan
pengetahuan manusia. Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari
bahasa Yunani, philosophia, yang berarti “cinta kebijaksanaan.”
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Pythagoras untuk menggambarkan sikap
intelektual manusia yang tidak mengklaim dirinya sebagai orang bijak, melainkan
sebagai pencinta kebijaksanaan.¹ Makna etimologis ini mencerminkan kerendahan
hati intelektual dan dorongan batin manusia untuk mencari kebenaran secara
terus-menerus.
Dari segi terminologis, definisi filsafat berkembang
seiring zaman dan tradisi. Plato memandang filsafat sebagai latihan kematian,
yakni pelepasan jiwa dari kungkungan indra menuju kontemplasi hakikat kebenaran
yang abadi.² Aristoteles menyebut filsafat sebagai “ilmu tentang sebab dan
prinsip pertama” (first philosophy) yang berusaha menyingkap dasar
realitas terdalam.³ Sementara itu, al-Farabi mendefinisikan filsafat sebagai
pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sejauh yang mungkin dicapai oleh
akal manusia.⁴ Perbedaan definisi tersebut menunjukkan keluasan filsafat, namun
secara umum dapat dikatakan bahwa filsafat adalah upaya sistematis, rasional,
dan kritis untuk memahami realitas, pengetahuan, dan nilai.
Objek filsafat dapat ditinjau dari dua aspek: objek
material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang
ada dan mungkin ada, baik fisik maupun metafisik, konkret maupun abstrak.
Dengan kata lain, filsafat tidak membatasi dirinya pada satu wilayah tertentu,
melainkan mencakup keseluruhan realitas.⁵ Adapun objek formal filsafat adalah
pendekatan rasional-kritis yang digunakan untuk memahami objek material
tersebut. Dengan demikian, filsafat berbeda dari ilmu pengetahuan empiris yang
objeknya terbatas pada fenomena tertentu, karena filsafat justru mengkaji
dasar, makna, dan hubungan terdalam dari segala sesuatu.
Hakikat filsafat juga dapat dipahami melalui relasinya
dengan disiplin lain. Dengan agama, filsafat sering diposisikan dalam hubungan
dialektis: kadang sebagai penopang teologis, kadang sebagai kritik, dan kadang
sebagai jalan dialog antara iman dan akal.⁶ Dengan ilmu pengetahuan, filsafat
bertindak sebagai fondasi epistemologis yang menanyakan dasar, validitas, dan
metode ilmiah itu sendiri. Tanpa refleksi filosofis, ilmu pengetahuan berisiko terjebak
dalam positivisme sempit yang mengabaikan dimensi etis dan metafisik. Sementara
itu, dalam hubungannya dengan seni, filsafat berperan memberikan kerangka
konseptual dan refleksi atas makna keindahan, kreativitas, dan ekspresi
manusia.
Dengan demikian, hakikat filsafat bukanlah sekadar
kumpulan teori abstrak, melainkan suatu proses intelektual yang melekat pada
kodrat manusia sebagai makhluk pencari makna. Filsafat senantiasa menuntut
sikap kritis, reflektif, dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan
fundamental. Ia hadir bukan untuk memberi jawaban final yang mutlak, melainkan
untuk memelihara dialog abadi tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Hal
ini menunjukkan bahwa filsafat adalah fondasi yang tak tergantikan dalam
dinamika pengetahuan dan kebudayaan manusia.
Footnotes
[1]
Giovanni Reale, A History of Ancient Philosophy:
From the Origins to Socrates, terj. John R. Catan (Albany: State University
of New York Press, 1987), 3.
[2]
Plato, Phaedo, terj. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 64a–67d.
[3]
Aristoteles, Metaphysics, terj. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 982a.
[4]
Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1995), 55–56.
[5]
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), 12.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 57.
3.
Keniscayaan
Filsafat
Keniscayaan filsafat berakar pada kodrat manusia
sebagai makhluk yang berpikir dan bertanya. Manusia tidak hanya hidup secara
biologis, melainkan juga secara reflektif. Kemampuan untuk bertanya tentang “mengapa”
dan “untuk apa” menempatkan manusia pada posisi unik dibandingkan
makhluk lain. Heidegger menekankan bahwa manusia adalah Dasein, yaitu
ada yang menyadari keberadaannya sendiri, sehingga selalu terdorong untuk
merenungkan makna eksistensinya.¹ Filsafat lahir dari dorongan fundamental ini:
rasa ingin tahu, rasa kagum, dan pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Secara historis, filsafat muncul di setiap peradaban
besar, menunjukkan sifatnya yang universal. Di Yunani kuno, filsafat bermula
dari keheranan terhadap fenomena alam dan kosmos, sebagaimana ditunjukkan oleh
para filsuf pra-Sokrates seperti Thales dan Anaximandros.² Dalam tradisi India
kuno, filsafat terwujud dalam Upanishad yang berusaha memahami hakikat diri (atman)
dan realitas mutlak (brahman).³ Sementara dalam peradaban Islam, lahir
filsafat yang mengintegrasikan wahyu dengan akal, sebagaimana terlihat pada
karya al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.⁴ Fakta bahwa filsafat muncul di
berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar produk budaya
tertentu, melainkan bagian kodrati dari aktivitas berpikir manusia.
Keniscayaan filsafat juga tampak dari kenyataan bahwa
ia selalu hadir bahkan ketika ditolak. Kritik terhadap filsafat, baik dari
kalangan agama, sains, maupun ideologi politik, tetap menggunakan perangkat
filsafat seperti argumen, logika, dan konseptualisasi. Auguste Comte, misalnya,
berusaha menyingkirkan filsafat demi positivisme ilmiah, namun pada
kenyataannya ia membangun kerangka filosofis baru tentang tahap perkembangan
intelektual manusia.⁵ Demikian pula Karl Marx, yang sering menuduh filsafat
bersifat spekulatif, justru melahirkan filsafat materialisme historis yang
berpengaruh luas.⁶ Dari sini tampak paradoks bahwa penolakan terhadap filsafat
justru mempertegas eksistensinya: setiap upaya menolak filsafat berarti secara
implisit melakukan aktivitas filosofis.
Lebih dari itu, keniscayaan filsafat dapat dipahami
dari fungsi vitalnya dalam mengarahkan kehidupan manusia. Filsafat membantu
manusia untuk membedakan antara opini dangkal dan pengetahuan yang sahih,
antara ilusi dan kebenaran, serta antara tindakan yang sekadar impulsif dengan
tindakan yang bermakna. Bertrand Russell menegaskan bahwa filsafat memperluas
cakrawala pemikiran manusia, membebaskannya dari prasangka, dan membentuk sikap
kritis terhadap berbagai klaim kebenaran.⁷ Tanpa filsafat, manusia mudah
terjebak dalam dogmatisme atau relativisme yang ekstrem.
Dalam konteks kontemporer, keniscayaan filsafat
semakin terlihat jelas ketika manusia dihadapkan pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat. Kecerdasan buatan, rekayasa
genetika, dan krisis lingkungan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan etis dan
eksistensial yang tidak dapat dijawab hanya dengan metode sains empiris. Di
sinilah filsafat berperan sebagai penjaga makna dan arah, memastikan bahwa
kemajuan teknis tidak mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.⁸ Dengan demikian,
filsafat bukanlah pelengkap yang bisa ditinggalkan, melainkan fondasi kritis
yang selalu dibutuhkan dalam menghadapi dinamika zaman.
Kesimpulannya, filsafat merupakan keniscayaan karena
ia lahir dari kodrat manusia yang berpikir, hadir dalam setiap peradaban, tak
tergantikan bahkan ketika ditolak, serta berfungsi sebagai penuntun kehidupan
yang bermakna. Ia adalah medan refleksi yang tak pernah usang, sebab sejauh
manusia bertanya, sejauh itu pula filsafat akan tetap ada.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John
Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67.
[2]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 21.
[3]
S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1
(London: George Allen & Unwin, 1923), 153.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 57–63.
[5]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896),
1–15.
[6]
Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The
German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.
[7]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 156–57.
[8]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 3–6.
4.
Kritik
dan Paradoks Penolakan terhadap Filsafat
Sejarah panjang filsafat tidak pernah lepas dari
kritik, bahkan penolakan yang tajam. Sejak zaman kuno hingga era kontemporer,
selalu ada pihak yang mempertanyakan relevansi filsafat. Kritik ini lahir dari
berbagai latar belakang: keagamaan, ilmiah, maupun sosial-politik. Namun, yang
menarik adalah bahwa setiap kritik dan penolakan tersebut pada hakikatnya
justru mengandung unsur filsafat itu sendiri, sehingga melahirkan paradoks:
penolakan terhadap filsafat sekaligus membuktikan keniscayaan filsafat.
4.1.
Kritik dalam Tradisi Agama dan
Teologi
Dalam sejarah pemikiran agama, filsafat kerap
dipandang berbahaya karena dianggap mengandalkan akal melebihi wahyu.
Tertullian, seorang teolog Kristen awal, terkenal dengan ungkapan retorisnya: “Apa
hubungan Yerusalem dengan Athena?” yang dimaksudkan untuk menegaskan
keterpisahan antara iman dan filsafat Yunani.¹ Di dunia Islam, kritik serupa
pernah dilontarkan al-Ghazali melalui karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan
Para Filosof), di mana ia menolak beberapa pandangan metafisis filsuf
Muslim seperti Ibn Sina dan al-Farabi yang dianggap bertentangan dengan ajaran
Islam.² Meskipun demikian, penolakan al-Ghazali bukan berarti menolak akal
sepenuhnya, melainkan tetap menggunakan argumentasi rasional yang bersifat
filosofis.
4.2.
Kritik dari Ilmu Pengetahuan
Pada masa modern, kritik terhadap filsafat datang dari
kaum saintis dan positivis. Auguste Comte, misalnya, menolak filsafat metafisik
dan menggantinya dengan positivisme yang hanya mengakui pengetahuan ilmiah
sebagai bentuk kebenaran yang sah.³ Demikian pula para ilmuwan abad ke-20
sering menganggap filsafat sebagai spekulasi kosong yang tidak memberi
kontribusi praktis. Richard Feynman, seorang fisikawan teoretis, bahkan
menyindir bahwa filsafat lebih banyak mengganggu daripada membantu dalam
perkembangan sains.⁴ Namun, pandangan ini ironis, sebab positivisme dan kritik
sains terhadap filsafat tetap berlandaskan pada kerangka filosofis tertentu
mengenai epistemologi dan validitas pengetahuan.
4.3.
Kritik Sosial dan Ideologis
Selain dari agama dan sains, filsafat juga dikritik
dari perspektif sosial-politik. Karl Marx menuduh filsafat idealis Jerman
terlalu abstrak dan jauh dari realitas praksis. Ia menyatakan bahwa filsafat
hanya menafsirkan dunia, sementara tugas sejati adalah mengubahnya.⁵ Kritik ini
mengandung unsur penolakan terhadap spekulasi metafisis, namun sekaligus
melahirkan filsafat baru berupa materialisme historis. Dengan demikian, bahkan
kritik Marx tetap merupakan konstruksi filosofis yang kuat.
4.4.
Paradoks Penolakan terhadap Filsafat
Di sinilah letak paradoks besar: menolak filsafat
berarti secara tidak langsung melakukan filsafat. Setiap kritik menggunakan
logika, konseptualisasi, dan penalaran yang merupakan instrumen filsafat. Tanpa
filsafat, kritik itu sendiri tidak dapat disusun secara rasional. Oleh karena
itu, penolakan tidak membubarkan filsafat, tetapi justru menghidupkan kembali
dinamika dialektisnya. Dalam istilah Hegel, setiap penyangkalan mengandung
momen afirmasi yang memungkinkan sintesis baru.⁶ Filsafat bertahan karena ia
sanggup menyerap kritik, mengolahnya, dan melahirkan perspektif baru yang lebih
relevan dengan zamannya.
4.5.
Kritik sebagai Sumber Vitalitas
Filsafat
Kritik dan penolakan terhadap filsafat pada akhirnya
menjadi sumber vitalitasnya. Tanpa kritik, filsafat akan mandek dalam
dogmatisme. Justru karena diserang, filsafat berevolusi, memperbaiki kelemahan,
dan memperluas cakupan pembahasannya. Dengan demikian, kritik tidak
menghancurkan filsafat, melainkan menjadi bahan bakar bagi keberlangsungannya.
Filsafat modern, postmodern, hingga filsafat kontemporer lahir dalam ruang
dialektika antara penerimaan dan penolakan.⁷
Footnotes
[1]
Tertullian, Prescription Against Heretics,
dalam The Ante-Nicene Fathers, Vol. 3, ed. Alexander Roberts dan James
Donaldson (Buffalo, NY: Christian Literature Publishing, 1885), 246.
[2]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 13–15.
[3]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 4–6.
[4]
Richard P. Feynman, The Character of Physical Law
(Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 129.
[5]
Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The
German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.
[6]
G. W. F. Hegel, The Phenomenology of Spirit,
terj. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 79–80.
[7]
Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York:
DK Publishing, 2001), 227.
5.
Filsafat
sebagai Dialog Abadi
Filsafat, sejak kelahirannya, tidak pernah berhenti
menjadi ruang dialog yang tak berkesudahan. Ia bukan sekadar kumpulan doktrin
kaku yang diwariskan dari generasi ke generasi, melainkan percakapan
intelektual lintas waktu yang selalu terbuka terhadap kritik, reinterpretasi,
dan pembaruan. Dialog ini bersifat abadi karena filsafat selalu berhadapan
dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak lekang oleh perubahan
zaman: tentang hakikat keberadaan, kebenaran, pengetahuan, kebebasan, keadilan,
dan makna hidup.¹ Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah dapat dijawab
secara final, melainkan selalu menuntut eksplorasi baru.
5.1.
Filsafat sebagai Percakapan Lintas
Generasi
Filsafat dapat dipahami sebagai percakapan panjang
antara para pemikir dari berbagai periode sejarah. Plato berdialog dengan
gurunya, Socrates, lalu karya-karya Plato sendiri dikritik oleh Aristoteles.²
Pada Abad Pertengahan, filsafat Yunani diresepsi oleh pemikir Muslim seperti
Ibn Sina dan Ibn Rushd, lalu diteruskan dalam tradisi Kristen oleh Thomas
Aquinas.³ Di era modern, René Descartes berusaha meletakkan dasar baru bagi
kepastian pengetahuan melalui rasionalisme, yang kemudian dikritik oleh
empirisisme John Locke dan David Hume. Kritik empirisisme itu pada gilirannya
menginspirasi Immanuel Kant untuk menyintesiskan rasionalisme dan empirisme
dalam filsafat transendentalnya.⁴ Semua ini menunjukkan bahwa filsafat bergerak
melalui percakapan tanpa akhir, di mana setiap gagasan membuka ruang bagi
tanggapan, bantahan, atau pengembangan baru.
5.2.
Dialektika: Penyangkalan dan
Afirmasi
Dialog filosofis bersifat dialektis: setiap tesis
melahirkan antitesis, dan dari pertentangan itu lahir sintesis baru. Pola ini
bukan sekadar model metodologis Hegelian, tetapi dapat ditemukan dalam sejarah
filsafat itu sendiri. Nietzsche, misalnya, menolak metafisika tradisional yang
dianggap mengekang kehidupan, tetapi penolakannya justru melahirkan filsafat
eksistensialis yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Heidegger, Sartre,
dan Camus.⁵ Penolakan dan kritik bukanlah akhir dari filsafat, melainkan motor
penggeraknya.
5.3.
Filsafat sebagai Dialog Antarbudaya
Filsafat juga merupakan dialog lintas budaya. Filsafat
Yunani kuno diterjemahkan dan dikembangkan dalam bahasa Arab, lalu diserap ke
dalam tradisi Latin.⁶ Pada abad ke-20, filsafat Barat mulai berdialog dengan
tradisi Timur, seperti filsafat India, Cina, dan Islam, menghasilkan pemikiran
yang lebih plural dan global. Contoh kontemporer adalah dialog filsafat
mengenai etika lingkungan, yang mempertemukan konsep-konsep Barat seperti deep
ecology dengan pandangan kosmologis masyarakat adat.⁷ Dengan demikian, filsafat
bukan hanya dialog antarindividu, tetapi juga antarperadaban.
5.4.
Filsafat dan Tantangan Zaman
Dialog filsafat tidak berhenti pada tataran historis,
tetapi terus berlanjut dalam merespons tantangan kontemporer. Masalah-masalah
seperti krisis ekologi, kecerdasan buatan, bioteknologi, serta globalisasi
menghadirkan persoalan baru yang menuntut jawaban filosofis.⁸ Filsafat berperan
sebagai forum kritis yang mempertanyakan arah perkembangan teknologi, implikasi
moralnya, serta dampaknya bagi masa depan umat manusia. Dengan demikian,
filsafat selalu relevan karena ia berfungsi sebagai percakapan reflektif atas
persoalan yang senantiasa berubah.
5.5.
Kesadaran akan Dialog yang Tak
Pernah Usai
Kesadaran bahwa filsafat adalah dialog abadi
melahirkan sikap keterbukaan intelektual. Tidak ada sistem filsafat yang dapat
mengklaim kebenaran mutlak, karena setiap sistem selalu terbuka untuk ditinjau
kembali. Karl Jaspers menyebut filsafat sebagai “pencarian tanpa akhir,” di
mana manusia berusaha meraih kebenaran yang selalu melampaui jangkauan
finalitas.⁹ Justru dalam keterbukaan inilah filsafat menemukan vitalitasnya: ia
hidup selama manusia terus berpikir, bertanya, dan berdialog.
Footnotes
[1]
Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York:
DK Publishing, 2001), 10.
[2]
Plato, The Republic, terj. Allan Bloom (New
York: Basic Books, 1991), 327a–331d.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 102–108.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj.
Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
133–35.
[5]
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols,
terj. R. J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), 19–22.
[6]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 55–61.
[7]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, terj. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–30.
[8]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 6–9.
[9]
Karl Jaspers, Philosophy of Existence, terj.
Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 28.
6.
Filsafat,
Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi
Hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan, dan
teknologi merupakan salah satu aspek paling signifikan dalam memahami dinamika
peradaban modern. Sejak awal, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang secara
bersamaan: filsafat melahirkan sains, dan sains kemudian berkembang menjadi
disiplin yang lebih spesifik. Namun demikian, filsafat tidak pernah kehilangan
perannya, sebab ia tetap menjadi fondasi epistemologis, ontologis, dan etis
dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa filsafat, perkembangan ilmu dapat
kehilangan arah, sedangkan kemajuan teknologi bisa melahirkan problem etis yang
serius.¹
6.1.
Filsafat sebagai Fondasi Ilmu
Pengetahuan
Ilmu pengetahuan modern berakar pada refleksi
filosofis. Dalam filsafat Yunani, para pemikir pra-Sokrates sudah berusaha menjelaskan
fenomena alam dengan prinsip rasional, bukan sekadar mitos.² Perkembangan ini
mencapai puncaknya dalam filsafat Aristoteles yang menyusun kategori, metode
silogisme, dan prinsip sebab-akibat sebagai dasar berpikir ilmiah.³ Pada era
modern, René Descartes dengan metode keraguannya dan Francis Bacon dengan
empirismenya, sama-sama menegaskan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat
berkembang melalui fondasi filosofis yang jelas.⁴ Bahkan, hingga kini,
pertanyaan-pertanyaan epistemologis seperti “Apa itu pengetahuan?” dan
“Bagaimana kebenaran dapat diverifikasi?” tetap menjadi wilayah filsafat yang
menopang sains.
6.2.
Filsafat dan Kritik terhadap Ilmu
Pengetahuan
Meski berfungsi sebagai fondasi, filsafat juga hadir
sebagai pengkritik ilmu pengetahuan. Ilmu sering kali terjebak dalam
positivisme yang sempit, hanya mengakui kebenaran empiris dan mengabaikan
dimensi metafisik maupun normatif. Auguste Comte, misalnya, menolak metafisika
dan hanya mengakui fakta positif sebagai sumber pengetahuan yang sah.⁵ Namun,
filsafat kemudian mengoreksi pandangan ini, terutama melalui Karl Popper yang
menekankan falsifikasionisme sebagai ciri utama sains yang sejati, bukan
sekadar verifikasi empiris.⁶ Demikian pula Thomas Kuhn menunjukkan bahwa
perkembangan ilmu tidak hanya linier, melainkan terjadi melalui revolusi
paradigma yang dipengaruhi faktor historis, sosial, dan budaya.⁷ Kritik ini
memperlihatkan bahwa filsafat berfungsi menjaga ilmu agar tetap terbuka,
reflektif, dan tidak dogmatis.
6.3.
Filsafat dan Etika Teknologi
Kemajuan teknologi modern menghadirkan persoalan etis
yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan semata. Kecerdasan buatan,
bioteknologi, rekayasa genetika, serta teknologi digital menimbulkan dilema
moral: bagaimana teknologi digunakan, siapa yang bertanggung jawab, dan apa
dampaknya bagi kemanusiaan. Hans Jonas menegaskan perlunya etika tanggung jawab
(ethics of responsibility) dalam menghadapi teknologi, sebab potensi
kerusakannya dapat melampaui kapasitas generasi sekarang dan mengancam generasi
mendatang.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat berperan penting sebagai
pengawal moral dan arah perkembangan teknologi.
6.4.
Relevansi Filsafat di Era Teknologi
Digital
Dalam era digital dan revolusi industri 4.0, filsafat
semakin urgen untuk dikaji. Persoalan tentang privasi data, kecerdasan buatan
yang dapat melampaui kapasitas manusia, hingga ketidaksetaraan digital
membutuhkan refleksi filosofis yang mendalam. Luciano Floridi, melalui filsafat
informasi, menegaskan bahwa manusia kini hidup dalam infosphere—ruang
realitas informasi—yang menuntut kerangka etika dan ontologi baru.⁹ Tanpa
filsafat, perkembangan teknologi digital berisiko mengabaikan aspek
kemanusiaan, menjerumuskan manusia pada dehumanisasi atau eksploitasi data.
6.5.
Sintesis: Filsafat sebagai Penuntun
Ilmu dan Teknologi
Dengan demikian, filsafat, ilmu pengetahuan, dan
teknologi bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan
saling membutuhkan. Filsafat memberikan landasan dan arah bagi ilmu serta
teknologi, sementara perkembangan ilmu dan teknologi memberi bahan baru bagi
refleksi filosofis. Hubungan timbal balik ini memperlihatkan bahwa filsafat
tetap keniscayaan, bukan sisa masa lalu. Ia hadir sebagai cahaya penuntun, yang
menjaga agar pengetahuan dan teknologi berkembang bukan hanya untuk kemajuan
material, tetapi juga demi kelestarian nilai-nilai kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
terj. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 67–69.
[2]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 12–15.
[3]
Aristoteles, Posterior Analytics, terj.
Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1994), 71–72.
[4]
René Descartes, Discourse on Method, terj.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 17–19; Francis Bacon, Novum
Organum, terj. Peter Urbach dan John Gibson (Chicago: Open Court, 1994),
95–96.
[5]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, terj. Harriet Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 1–3.
[6]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 2002), 33–34.
[7]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 52–65.
[8]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 4–7.
[9]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 6–8.
7.
Urgensi
Filsafat di Era Kontemporer
Era kontemporer ditandai oleh perubahan cepat dalam
bidang sosial, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Globalisasi,
digitalisasi, krisis lingkungan, serta dinamika identitas budaya menghadirkan
tantangan baru yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh dimensi
eksistensial dan etis manusia. Dalam konteks inilah filsafat menemukan kembali
urgensinya. Filsafat bukanlah disiplin usang yang terasing dari realitas,
melainkan sarana reflektif yang membantu manusia memahami kompleksitas zaman
modern sekaligus menjaga orientasi moral dan kemanusiaannya.¹
7.1.
Tantangan Globalisasi dan Krisis
Identitas
Globalisasi telah membuka ruang interaksi lintas
budaya dan bangsa, tetapi juga menimbulkan homogenisasi nilai serta krisis
identitas. Manusia modern sering kali merasa tercerabut dari akar tradisi dan
mengalami disorientasi makna.² Filsafat, melalui kajian etika, politik, dan
filsafat budaya, menyediakan kerangka untuk memahami pluralitas sekaligus
menjaga identitas. Misalnya, filsafat hermeneutika Hans-Georg Gadamer
menekankan pentingnya dialog antarbudaya untuk mencapai pemahaman bersama tanpa
meniadakan perbedaan.³ Dengan demikian, filsafat membantu manusia menghadapi
dunia yang semakin terhubung tanpa kehilangan keunikan nilai-nilainya.
7.2.
Era Post-Truth dan Krisis Kebenaran
Salah satu ciri khas era kontemporer adalah munculnya
fenomena post-truth, di mana fakta objektif sering dikesampingkan oleh
opini atau emosi.⁴ Media sosial mempercepat penyebaran disinformasi, sehingga
kebenaran kerap ditentukan oleh kekuatan narasi, bukan validitas argumen. Dalam
situasi ini, filsafat logika dan epistemologi menjadi semakin penting. Filsafat
melatih manusia untuk membedakan argumen sahih dari yang keliru, mengembangkan
sikap kritis, serta membangun kesadaran bahwa pencarian kebenaran tidak boleh
digantikan oleh relativisme pragmatis.⁵
7.3.
Krisis Lingkungan dan Etika Ekologi
Krisis lingkungan global—perubahan iklim, kerusakan
ekosistem, dan kepunahan spesies—memunculkan pertanyaan filosofis mendalam tentang
relasi manusia dengan alam. Sains dapat menjelaskan penyebab dan akibat
ekologis, tetapi tidak mampu menjawab pertanyaan normatif: apakah manusia
berhak mengeksploitasi alam tanpa batas? Filsafat ekologi, seperti yang
dikembangkan oleh Arne Naess dalam deep ecology, menegaskan pentingnya
kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas.⁶
Dengan demikian, filsafat menyediakan basis etis untuk perubahan paradigma dari
eksploitasi menuju keberlanjutan.
7.4.
Teknologi Digital dan Kemanusiaan
Kemajuan teknologi digital, khususnya kecerdasan
buatan (AI), big data, dan bioteknologi, menimbulkan dilema etis yang
belum pernah dihadapi sebelumnya. Pertanyaan tentang otonomi manusia, privasi,
serta potensi dehumanisasi muncul sebagai isu sentral. Luciano Floridi melalui
filsafat informasi mengajukan konsep infosphere sebagai ruang ontologis
baru yang menuntut kerangka moral yang lebih inklusif.⁷ Tanpa filsafat,
teknologi berpotensi berkembang tanpa arah etis, mengabaikan martabat manusia.
Dengan filsafat, masyarakat dapat mengembangkan prinsip-prinsip tanggung jawab,
keadilan, dan kemaslahatan dalam menghadapi revolusi teknologi.
7.5.
Relevansi Eksistensial Filsafat
Selain aspek sosial dan teknologi, urgensi filsafat
juga tampak pada dimensi eksistensial. Di tengah percepatan hidup modern,
manusia kerap mengalami kehampaan makna, alienasi, dan keresahan spiritual.
Filsafat eksistensialis, misalnya dalam karya Kierkegaard, Sartre, dan Camus,
tetap relevan karena menegaskan kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna
di tengah absurditas hidup.⁸ Dengan demikian, filsafat berfungsi sebagai ruang
refleksi yang membantu manusia menemukan pijakan dalam menghadapi
ketidakpastian zaman.
7.6.
Sintesis: Filsafat sebagai Kompas
Zaman
Dari berbagai aspek tersebut, jelas bahwa filsafat
memiliki peran yang tak tergantikan di era kontemporer. Ia berfungsi sebagai
kompas intelektual, moral, dan eksistensial yang menuntun manusia menavigasi
kompleksitas kehidupan modern. Filsafat tidak memberikan jawaban instan, tetapi
membentuk sikap kritis, reflektif, dan bijaksana yang sangat dibutuhkan dalam
menghadapi krisis global. Sejauh manusia berhadapan dengan persoalan kebenaran,
etika, dan makna, sejauh itu pula filsafat akan tetap relevan dan urgen.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy
Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 14–15.
[2]
Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation
is Reshaping Our Lives (London: Profile Books, 1999), 21–23.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj.
Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.
[4]
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and
Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 11–12.
[5]
Susan Haack, Evidence and Inquiry: Towards
Reconstruction in Epistemology (Oxford: Blackwell, 1993), 45–47.
[6]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle:
Outline of an Ecosophy, terj. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 28–30.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 9–11.
[8]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
terj. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–29.
8.
Kritik
Diri Filsafat
Salah satu ciri khas filsafat yang membedakannya dari
banyak disiplin ilmu lainnya adalah kemampuannya untuk melakukan kritik diri.
Filsafat bukan hanya objek kritik dari luar—baik dari agama, sains, maupun
ideologi—tetapi juga memiliki mekanisme internal untuk merefleksikan kelemahan,
keterbatasan, bahkan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Kemampuan reflektif ini
menjadikan filsafat dinamis dan terus relevan, meskipun sering dipertanyakan
kegunaannya.¹
8.1.
Tuduhan Abstraksi dan
Ketidakpraktisan
Salah satu kritik yang paling sering diarahkan kepada
filsafat adalah sifatnya yang terlalu abstrak dan jauh dari kehidupan nyata.
Bertrand Russell sendiri mengakui bahwa filsafat tidak menghasilkan jawaban
yang pasti seperti ilmu alam, melainkan menimbulkan pertanyaan yang membuka
jalan menuju pemikiran baru.² Hal ini membuat filsafat tampak kurang praktis
dibandingkan teknologi atau sains. Namun, justru dalam keterbukaan dan
ketidakpastian itulah nilai filsafat ditemukan: ia membebaskan pikiran manusia
dari dogmatisme, memperluas wawasan, dan menumbuhkan sikap kritis terhadap
klaim kebenaran yang bersifat final.³
8.2.
Kritik terhadap Tradisi Dogmatis
Filsafat
Ironisnya, meskipun filsafat sering dituduh abstrak,
ada kalanya ia sendiri terjebak dalam dogmatisme sistematis. Sejarah mencatat
bagaimana sistem metafisika yang dibangun secara tertutup cenderung mendominasi
pemikiran pada masanya, sehingga menyingkirkan pendekatan alternatif. Contohnya
adalah idealisme Hegelian yang mendominasi abad ke-19, tetapi kemudian dikritik
oleh filsafat eksistensialis dan pragmatis sebagai terlalu totalistik.⁴ Kritik
internal ini menunjukkan bahwa filsafat memiliki kemampuan untuk merevisi
dirinya ketika suatu sistem dianggap terlalu mengekang kebebasan berpikir.
8.3.
Kritik terhadap Netralitas dan
Keterlibatan Sosial
Sebagian pemikir menilai bahwa filsafat sering terlalu
sibuk dengan abstraksi dan gagal memberi solusi konkret bagi masalah sosial.
Karl Marx misalnya menuduh filsafat hanya menafsirkan dunia tanpa mengubahnya.⁵
Kritik ini kemudian mendorong lahirnya tradisi filsafat praksis, termasuk
aliran Frankfurt yang menekankan teori kritis sebagai upaya menghubungkan
refleksi dengan transformasi sosial.⁶ Dengan demikian, kritik diri filsafat
tidak hanya menyadarkan akan keterbatasannya, tetapi juga memacu lahirnya arah
baru yang lebih kontekstual.
8.4.
Kritik terhadap Klaim Universalitas
Filsafat Barat dalam sejarahnya sering mengklaim
universalitas, seakan-akan pemikiran yang lahir di Eropa dapat mewakili seluruh
umat manusia. Kritik dari perspektif postkolonial dan filsafat non-Barat
menantang klaim ini, menegaskan pentingnya pluralitas dan pengakuan terhadap
tradisi filsafat dari budaya lain, seperti India, Cina, dan Islam.⁷ Kritik ini
membuka kesadaran bahwa filsafat bukan monolog tunggal, melainkan dialog
antartradisi yang setara.
8.5.
Membumikan Filsafat: Dari Kritik ke
Relevansi
Kritik diri filsafat pada akhirnya menuntut agar
filsafat tidak terjebak dalam menara gading intelektual, tetapi membumikan
refleksinya dalam kehidupan sehari-hari. Pierre Hadot, misalnya, menekankan
filsafat sebagai a way of life—suatu praktik reflektif yang membentuk
cara hidup, bukan hanya wacana teoritis.⁸ Dalam perspektif ini, filsafat
menjadi latihan spiritual, moral, dan intelektual yang memberi arah pada
kehidupan individu dan masyarakat.
8.6.
Kritik Diri sebagai Sumber Vitalitas
Justru karena sanggup mengkritik dirinya, filsafat
tidak pernah benar-benar usang. Ia senantiasa terbuka terhadap pembaruan,
koreksi, dan reinterpretasi sesuai konteks zaman. Kritik diri menjadi sumber
vitalitas filsafat, menjaga agar ia tidak terjebak dalam stagnasi. Dengan demikian,
filsafat tetap mampu berdialog dengan perkembangan sains, teknologi, maupun
persoalan kemanusiaan kontemporer.⁹
Footnotes
[1]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature
(Princeton: Princeton University Press, 1979), 5.
[2]
Bertrand Russell, The Problems of Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 156.
[3]
Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York:
DK Publishing, 2001), 18.
[4]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
7: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 45–46.
[5]
Karl Marx, Theses on Feuerbach, dalam The
German Ideology (Moscow: Progress Publishers, 1968), 121.
[6]
Max Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays
(New York: Continuum, 1982), 188.
[7]
Enrique Dussel, Philosophy of Liberation
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1985), 13–15.
[8]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life,
terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 265.
[9]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 10–12.
9.
Sintesis
dan Refleksi Filosofis
Setelah menelaah hakikat, keniscayaan, kritik, dan
relevansi filsafat dalam dinamika sejarah maupun konteks kontemporer, dapat
disimpulkan bahwa filsafat merupakan kebutuhan kodrati manusia yang tidak dapat
dihapuskan. Filsafat lahir dari kecenderungan manusia untuk berpikir dan
bertanya, berkembang melalui dialektika kritik dan penolakan, serta menemukan
relevansi baru dalam menghadapi tantangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
krisis kemanusiaan modern. Dalam bab ini, dilakukan sintesis terhadap seluruh pembahasan
sekaligus refleksi filosofis yang menegaskan posisi filsafat sebagai dialog
abadi dan kompas moral-intelektual bagi umat manusia.
9.1.
Filsafat sebagai Kebutuhan Kodrati
Keberadaan filsafat tidak dapat dipisahkan dari
hakikat manusia sebagai animal rationale. Sebagaimana dikemukakan
Aristoteles, manusia memiliki kecenderungan alami untuk mengetahui (homo
sapiens).¹ Pencarian akan kebenaran, makna, dan nilai merupakan bagian
integral dari eksistensi manusia. Oleh karena itu, filsafat bukan sekadar aktivitas
intelektual opsional, melainkan manifestasi kodratiah dari kemampuan berpikir
reflektif manusia.
9.2.
Kritik sebagai Sumber Pertumbuhan
Filsafat
Sejarah menunjukkan bahwa kritik, bahkan penolakan
terhadap filsafat, justru memperkaya dan memperkuat eksistensinya. Kritik
teologis al-Ghazali terhadap para filsuf Muslim, positivisme Comte, atau
penolakan Marx terhadap filsafat spekulatif semuanya membuktikan bahwa filsafat
terus bertahan dengan cara menyerap dan menanggapi kritik tersebut.² Paradoks
ini menegaskan bahwa filsafat bukanlah bangunan statis, melainkan proses
dinamis yang selalu terbuka bagi revisi dan perkembangan baru.
9.3.
Filsafat sebagai Dialog Abadi
Filsafat dapat dipandang sebagai percakapan panjang
lintas waktu, ruang, dan budaya. Dari Socrates hingga Habermas, dari Ibn Sina
hingga Derrida, filsafat selalu hadir sebagai forum dialog di mana gagasan
dipertemukan, diperdebatkan, dan diperkaya.³ Dialog ini tidak pernah mencapai
finalitas, karena setiap jawaban menimbulkan pertanyaan baru. Dalam keterbukaan
inilah filsafat memperoleh vitalitasnya sebagai percakapan abadi yang terus
melintasi generasi.
9.4.
Filsafat dalam Hubungannya dengan
Ilmu dan Teknologi
Di era kontemporer, filsafat semakin dibutuhkan untuk
mengawal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa filsafat, ilmu
berisiko jatuh ke dalam positivisme reduksionis, sementara teknologi berpotensi
berkembang tanpa kendali etis. Hans Jonas menekankan bahwa dalam menghadapi
teknologi modern, manusia dituntut mengembangkan etika tanggung jawab demi
generasi mendatang.⁴ Dengan demikian, filsafat memberikan horizon normatif yang
menjaga agar kemajuan ilmiah tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan.
9.5.
Refleksi: Filsafat sebagai Kompas
Zaman
Refleksi filosofis membawa kita pada kesadaran bahwa
filsafat adalah kompas intelektual dan moral yang membantu manusia menavigasi
kompleksitas zaman. Dalam era post-truth, filsafat logika dan
epistemologi membekali manusia untuk memilah kebenaran dari kepalsuan. Dalam
krisis ekologi, filsafat etika lingkungan menegaskan tanggung jawab manusia
terhadap alam. Dalam revolusi teknologi digital, filsafat informasi menyoroti
urgensi nilai kemanusiaan.⁵ Dengan demikian, filsafat hadir bukan sebagai
warisan mati dari masa lalu, tetapi sebagai sahabat reflektif yang menuntun
manusia menuju kehidupan yang lebih bermakna.
9.6.
Kesadaran Filosofis sebagai Tugas
Abadi
Pada akhirnya, filsafat mengajarkan bahwa kesadaran
filosofis adalah tugas abadi umat manusia. Ia menolak dogmatisme sekaligus
relativisme ekstrem, memelihara ruang dialog, dan menumbuhkan sikap kritis,
toleran, serta terbuka. Karl Jaspers menyebut filsafat sebagai “pencarian tanpa
akhir” yang merefleksikan keterbatasan manusia sekaligus membuka jalan menuju
kebijaksanaan.⁶ Filsafat adalah perjalanan, bukan tujuan final; sebuah refleksi
tanpa henti untuk memahami diri, dunia, dan transendensi.
Footnotes
[1]
Aristoteles, Metaphysics, terj. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 982a.
[2]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 14–16;
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet
Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 3; Karl Marx, Theses on
Feuerbach, dalam The German Ideology (Moscow: Progress Publishers,
1968), 121.
[3]
Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York:
DK Publishing, 2001), 11–12.
[4]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 6–9.
[5]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 12–15.
[6]
Karl Jaspers, Philosophy of Existence, terj.
Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 28.
10. Penutup
Filsafat adalah medan refleksi yang tidak pernah
selesai. Ia lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk yang berpikir dan
bertanya, berkembang melalui kritik dan penolakan, serta senantiasa relevan
dalam menghadapi tantangan zaman. Sepanjang sejarah, filsafat menunjukkan dirinya
sebagai dialog abadi yang mempertemukan berbagai pandangan, menimbang argumen,
serta melahirkan perspektif baru. Keabadian filsafat terletak bukan pada
jawaban yang final, melainkan pada keterbukaannya terhadap pertanyaan yang
terus-menerus diajukan.¹
Keniscayaan filsafat tampak dalam kenyataan bahwa ia
selalu hadir bahkan ketika ditolak. Paradoks besar filsafat adalah bahwa upaya
untuk menolak atau mengkritiknya justru melahirkan filsafat baru. Hal ini
terlihat dari berbagai peristiwa intelektual: kritik teologis yang memicu
perdebatan metafisik, positivisme yang justru melahirkan refleksi
epistemologis, hingga kritik sosial yang mendorong lahirnya filsafat praksis.²
Filsafat tetap bertahan karena ia memiliki mekanisme internal untuk mengolah
kritik menjadi bahan bagi pertumbuhan dan pembaruan dirinya.
Dalam dunia kontemporer yang diwarnai globalisasi,
krisis lingkungan, revolusi teknologi, dan era post-truth, filsafat
menemukan urgensi barunya. Ia tidak lagi dapat dipandang sebagai wacana abstrak
yang jauh dari kenyataan, tetapi sebagai kompas intelektual dan moral yang
menuntun manusia menavigasi kompleksitas zaman.³ Filsafat logika membantu
membedakan kebenaran dari kepalsuan; filsafat etika membekali manusia dengan
prinsip tanggung jawab terhadap sesama dan alam; filsafat teknologi memberikan
orientasi moral terhadap perkembangan kecerdasan buatan dan bioteknologi. Semua
ini menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar warisan sejarah, melainkan
kebutuhan yang hidup.
Dengan demikian, penutup dari pembahasan ini
menegaskan tiga hal pokok. Pertama, filsafat adalah kebutuhan kodrati manusia
yang tidak dapat ditanggalkan. Kedua, kritik terhadap filsafat justru
membuktikan vitalitasnya, karena dari kritik lahir filsafat yang lebih matang.
Ketiga, filsafat tetap relevan dan bahkan semakin urgen dalam menghadapi
tantangan dunia modern yang kompleks.⁴
Filsafat, pada akhirnya, adalah pencarian tanpa akhir.
Sebagaimana ditegaskan Karl Jaspers, filsafat adalah “jalan” dan bukan “tujuan”
yang pasti.⁵ Jalan ini adalah jalan refleksi, dialog, dan kebijaksanaan yang
senantiasa terbuka bagi setiap manusia. Maka, sejauh manusia bertanya, sejauh
itu pula filsafat akan tetap hidup, menjadi sahabat perjalanan intelektual dan
eksistensial umat manusia.
Footnotes
[1]
Bryan Magee, The Story of Philosophy (New York:
DK Publishing, 2001), 10–11.
[2]
Al-Ghazali, The Incoherence of the Philosophers,
terj. Michael E. Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2000), 15;
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet
Martineau (London: George Bell & Sons, 1896), 4–6; Karl Marx, Theses on
Feuerbach, dalam The German Ideology (Moscow: Progress Publishers,
1968), 121.
[3]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy
Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 17–18.
[4]
Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of
Modernity (Cambridge: MIT Press, 1987), 8–10.
[5]
Karl Jaspers, Philosophy of Existence, terj.
Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 28.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1994). Posterior analytics (J.
Barnes, Trans.). Clarendon Press.
Bacon, F. (1994). Novum organum (P. Urbach
& J. Gibson, Trans.). Open Court.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vol.
1: Greece and Rome. Image Books.
Copleston, F. (1994). A history of philosophy, Vol.
7: Modern philosophy. Image Books.
Comte, A. (1896). The positive philosophy of
Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). George Bell & Sons.
Descartes, R. (1998). Discourse on method (D.
A. Cress, Trans.). Hackett.
Dussel, E. (1985). Philosophy of liberation.
Orbis Books.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy.
Columbia University Press.
Feynman, R. P. (1965). The character of physical
law. MIT Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of information.
Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek
philosophy, Vol. 1: The earlier Presocratics and the Pythagoreans.
Cambridge University Press.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests
(J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The philosophical discourse of
modernity. MIT Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life
(M. Chase, Trans.). Blackwell.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Hegel, G. W. F. (1977). The phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Horkheimer, M. (1982). Critical theory: Selected
essays. Continuum.
Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility:
In search of an ethics for the technological age. University of Chicago
Press.
Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence (R.
F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Keyes, R. (2004). The post-truth era: Dishonesty
and deception in contemporary life. St. Martin’s Press.
Kuhn, T. S. (2012). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Magee, B. (2001). The story of philosophy. DK
Publishing.
Marx, K. (1968). Theses on Feuerbach. In The
German ideology. Progress Publishers.
Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle:
Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Plato. (1991). The republic (A. Bloom, Trans.).
Basic Books.
Plato. (2000). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.).
Hackett Publishing.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian philosophy, Vol. 1.
George Allen & Unwin.
Reale, G. (1987). A history of ancient philosophy:
From the origins to Socrates (J. R. Catan, Trans.). State University of New
York Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton University Press.
Russell, B. (1997). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Russell, B. (2004). History of Western philosophy.
Routledge.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism
(C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Tertullian. (1885). Prescription against heretics.
In A. Roberts & J. Donaldson (Eds.), The Ante-Nicene Fathers, Vol. 3.
Christian Literature Publishing.
Al-Farabi. (1995). Al-Madina al-fadila. Dar
al-Mashriq.
Al-Ghazali. (2000). The incoherence of the
philosophers (M. E. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar