Selasa, 16 September 2025

Prestasi Perempuan: Kritik Filosofis atas Pergeseran Prestasi Gender di Era Kontemporer

Prestasi Perempuan

Kritik Filosofis atas Pergeseran Prestasi Gender di Era Kontemporer


Alihkan ke: Filsafat Perempuan dan Gender.


Abstrak

Fenomena kontemporer yang menunjukkan perempuan lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki merupakan realitas sosial yang menuntut analisis filosofis multidimensional. Artikel ini mengkaji fenomena tersebut melalui perspektif historis, epistemologis, etis, eksistensial, sosiologis, pendidikan, hingga refleksi filosofis kontemporer. Secara historis, pandangan klasik yang menempatkan perempuan sebagai inferior secara rasional telah terdekonstruksi oleh perkembangan modernitas dan feminisme. Secara epistemologis, fenomena ini mengungkap bias androcentris dalam sejarah ilmu pengetahuan dan menegaskan perlunya epistemologi inklusif. Dari segi etika, prestasi perempuan menjadi kritik terhadap privilese maskulin dan afirmasi atas keadilan gender. Perspektif eksistensial menunjukkan bahwa keberhasilan perempuan merupakan bentuk aktualisasi diri otentik, sementara penurunan prestasi laki-laki dapat dilihat sebagai krisis maskulinitas. Secara sosiologis-filosofis, fenomena ini menandai pergeseran relasi kuasa pengetahuan dan dekonstruksi hegemoni patriarki. Sementara itu, dalam perspektif pendidikan dan human development, keberhasilan perempuan mencerminkan efektivitas pendidikan emansipatoris dan paradigma capabilities. Relevansi kontemporer fenomena ini tampak dalam dunia akademik, profesional, relasi keluarga, hingga pembangunan global. Sintesis filosofis akhirnya menegaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar kompetisi gender, melainkan peluang menuju masyarakat meritokratis, adil, dan humanistik, di mana intelektualitas dipahami sebagai kapasitas universal manusia.

Kata Kunci: Perempuan, intelektualitas, prestasi, epistemologi, etika, eksistensialisme, sosiologi, pendidikan, keadilan gender, filsafat kontemporer.


PEMBAHASAN

Perempuan, Intelektualitas, dan Krisis Maskulinitas


1.          Pendahuluan

Fenomena meningkatnya peran perempuan dalam ranah intelektual dan profesional pada era kontemporer merupakan salah satu gejala sosial yang menarik untuk ditelaah secara filosofis. Jika pada masa lalu perempuan kerap ditempatkan pada posisi subordinat—baik dalam struktur sosial, budaya, maupun epistemologi—kini banyak kajian dan realitas empiris yang menunjukkan bahwa perempuan dapat melampaui laki-laki dalam hal capaian akademik, karier, dan kontribusi intelektual.¹ Hal ini tampak pada berbagai laporan internasional yang menegaskan adanya kesenjangan prestasi pendidikan di mana perempuan sering kali memperoleh hasil yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam sistem pendidikan modern.²

Secara historis, filsafat klasik menempatkan perempuan pada posisi yang problematis. Aristoteles, misalnya, menyebut perempuan sebagai “laki-laki yang kurang sempurna” dalam hal rasionalitas.³ Pandangan serupa juga dapat ditemukan dalam konstruksi sosial patriarkis di berbagai tradisi, termasuk dalam wacana filsafat dan ilmu pengetahuan era pertengahan. Namun, perkembangan pemikiran modern—melalui gerakan feminisme, teori keadilan, dan filsafat pendidikan—mulai merombak paradigma tersebut dengan menekankan kesetaraan potensi intelektual antara laki-laki dan perempuan.⁴

Fenomena kekinian yang menunjukkan perempuan lebih intelektual dan berprestasi menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendalam. Apakah hal ini merupakan bukti bahwa klaim tradisional tentang superioritas laki-laki dalam hal rasionalitas hanyalah konstruksi sosial? Apakah ini menandai krisis maskulinitas dalam masyarakat modern? Ataukah, justru, hal ini mengindikasikan terciptanya meritokrasi baru yang lebih adil, di mana prestasi ditentukan oleh kemampuan, bukan oleh gender?

Kajian filosofis menjadi relevan karena ia tidak hanya memotret fenomena secara deskriptif, tetapi juga menganalisis secara normatif, kritis, dan reflektif. Melalui perspektif epistemologis, etis, eksistensial, dan sosiologis, pembahasan ini diharapkan mampu mengungkap dimensi terdalam dari fenomena tersebut. Dengan demikian, penelitian ini bukan sekadar menyoroti keunggulan perempuan atas laki-laki, melainkan menggunakannya sebagai titik masuk untuk memahami ulang relasi gender, makna intelektualitas, dan arah perkembangan manusia di era kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Sylvia Walby, The Future of Feminism (Cambridge: Polity Press, 2011), 45.

[2]                OECD, Education at a Glance 2022: OECD Indicators (Paris: OECD Publishing, 2022), 110.

[3]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 1254b.

[4]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 34–36.


2.          Konsep Dasar

Dalam membahas fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki, terlebih dahulu perlu dijelaskan konsep-konsep kunci yang menjadi fondasi analisis, yakni intelektualitas, prestasi, dan gender dalam perspektif filosofis.

2.1.      Intelektualitas

Secara etimologis, kata intelektualitas berasal dari bahasa Latin intellectus yang berarti “pemahaman” atau “daya pikir.”¹ Dalam tradisi filsafat klasik, intelektualitas sering dipahami sebagai kapasitas rasional yang membedakan manusia dari makhluk lain. Plato, misalnya, menekankan bahwa intelek adalah sarana untuk mencapai pengetahuan sejati (epistēmē) yang melampaui opini (doxa).² Aristoteles kemudian mengembangkan konsep ini dalam nous poietikos (akal aktif), yang menjadi inti rasionalitas manusia.³

Dalam perspektif modern, intelektualitas tidak hanya dimaknai sebagai kapasitas berpikir logis, tetapi juga mencakup kemampuan kritis, kreatif, dan reflektif dalam menghadapi realitas. Habermas, misalnya, mengaitkan intelektualitas dengan rational communication yang memungkinkan tindakan komunikatif menuju konsensus.⁴ Dengan demikian, intelektualitas dapat dipahami sebagai daya berpikir yang tidak semata-mata rasional, tetapi juga kritis, komunikatif, dan transformatif.

2.2.      Prestasi

Konsep prestasi mengacu pada hasil nyata dari proses usaha atau kompetisi, baik dalam ranah akademik, profesional, maupun sosial. Dalam filsafat pendidikan, prestasi dipandang sebagai manifestasi aktualisasi diri. Abraham Maslow menempatkan kebutuhan aktualisasi diri pada puncak hierarki kebutuhan manusia, yang di dalamnya tercakup pencapaian intelektual dan moral.⁵ John Dewey menambahkan bahwa prestasi dalam pendidikan harus dipahami bukan hanya sebagai keberhasilan individual, melainkan kontribusi pada kehidupan sosial yang lebih luas.⁶

Oleh karena itu, prestasi perempuan yang lebih menonjol dibanding laki-laki tidak sekadar fenomena statistik pendidikan, tetapi juga merepresentasikan transformasi sosial: bagaimana kelompok yang dulu termarginalkan kini mampu menunjukkan keunggulan aktual dalam berbagai bidang kehidupan.

2.3.      Gender dalam Perspektif Filosofis

Konsep gender berbeda dengan seks. Jika seks merujuk pada aspek biologis, gender merupakan konstruksi sosial dan kultural tentang peran, perilaku, dan harapan terhadap laki-laki maupun perempuan. Simone de Beauvoir menyatakan secara terkenal: “One is not born, but rather becomes, a woman”seseorang menjadi perempuan melalui proses sosial, bukan semata-mata karena biologinya.⁷ Pernyataan ini menegaskan bahwa inferioritas perempuan dalam sejarah bukan karena kodrat, melainkan akibat struktur sosial dan epistemologis yang membatasi mereka.

Filsafat feminis modern, terutama melalui Martha Nussbaum dengan capabilities approach, menekankan bahwa keadilan gender harus diukur dari sejauh mana perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dasarnya.⁸ Dengan demikian, ketika perempuan kini lebih berprestasi dalam bidang intelektual, hal itu menunjukkan bahwa mereka telah mendapatkan akses lebih luas pada kesempatan dan sarana pengembangan diri yang sebelumnya lebih didominasi oleh laki-laki.


Kesimpulan Konseptual

Dari ketiga konsep di atas, dapat ditarik simpulan bahwa intelektualitas merupakan kapasitas dasar manusia yang universal, prestasi adalah aktualisasi dari kapasitas tersebut, dan gender merupakan kerangka sosial yang sering kali menghambat atau mendorong aktualisasi tersebut. Dengan memahami konsep-konsep ini, kita dapat menganalisis fenomena kekinian secara lebih mendalam, bukan hanya sebagai data empiris, melainkan sebagai problem filosofis yang menyangkut rasionalitas, keadilan, dan eksistensi manusia.


Catatan Kaki

[1]                Edward Craig, The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2005), 451.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 508d–509d.

[3]                Aristotle, De Anima, trans. Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Classics, 1986), 430a–431b.

[4]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[5]                Abraham H. Maslow, Motivation and Personality (New York: Harper & Row, 1954), 236.

[6]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 98–101.

[7]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283.

[8]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–37.


3.          Perspektif Historis

Fenomena perempuan yang pada masa kini lebih menonjol dalam ranah intelektual dan prestasi akademik tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang relasi gender dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Pandangan tentang posisi intelektual perempuan telah mengalami dinamika: mulai dari subordinasi dalam filsafat klasik, keterbatasan dalam era pertengahan, hingga dekonstruksi dalam pemikiran modern dan kontemporer.

3.1.      Pandangan Filsafat Klasik

Dalam filsafat Yunani kuno, posisi perempuan cenderung dianggap inferior dalam hal rasionalitas. Aristoteles menyebut perempuan sebagai “mutilated males” atau laki-laki yang tidak lengkap, karena dianggap memiliki kapasitas rasional yang lebih lemah dibanding laki-laki.¹ Pandangan ini berimplikasi pada marginalisasi perempuan dari ranah politik, pendidikan, dan filsafat.

Meskipun demikian, terdapat pengecualian yang menarik. Plato, dalam Republic, mengemukakan gagasan bahwa perempuan berpotensi menjadi guardian (penjaga negara) sejajar dengan laki-laki, sepanjang mereka mendapatkan pendidikan yang sama.² Meski tetap memandang perbedaan biologis, Plato membuka ruang argumentasi bahwa perbedaan intelektual bukanlah kodrat, melainkan akibat perbedaan kesempatan.

3.2.      Pemikiran Abad Pertengahan

Pada era filsafat Islam klasik, perdebatan tentang rasionalitas perempuan tidak sekuat dalam tradisi Yunani. Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd lebih banyak membahas intelek manusia secara umum tanpa membedakan gender.³ Namun, dalam praktik sosial, perempuan tetap mengalami keterbatasan akses terhadap pendidikan formal. Ibn Rushd bahkan sempat menegaskan, dalam komentarnya atas Plato, bahwa perbedaan peran perempuan lebih disebabkan oleh konstruksi sosial ketimbang kodrat biologis.⁴

Sementara dalam filsafat Kristen abad pertengahan, tokoh seperti Thomas Aquinas mengadopsi banyak gagasan Aristotelian. Aquinas menilai bahwa perempuan memiliki kedudukan lebih rendah dalam hierarki penciptaan, meskipun tetap memiliki martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan.⁵ Dengan demikian, posisi perempuan dalam filsafat abad pertengahan masih ambivalen: secara teologis diakui martabatnya, tetapi secara intelektual tetap dipandang subordinat.

3.3.      Pencerahan dan Modernitas

Memasuki era Pencerahan, muncul kritik terhadap bias patriarkis dalam filsafat. René Descartes menekankan bahwa cogito ergo sum berlaku universal—baik untuk laki-laki maupun perempuan—karena kesadaran berpikir tidak ditentukan oleh jenis kelamin.⁶ Mary Wollstonecraft, salah satu pemikir feminis awal, menulis A Vindication of the Rights of Woman (1792), yang menekankan bahwa perempuan bukanlah inferior secara intelektual, melainkan korban dari sistem pendidikan yang timpang.⁷

Pada abad ke-19, John Stuart Mill dalam The Subjection of Women menegaskan bahwa pembatasan perempuan dalam ranah intelektual adalah bentuk tirani sosial yang tidak rasional.⁸ Pemikiran ini menjadi titik balik dalam wacana kesetaraan gender, yang kemudian mendorong munculnya gerakan feminisme modern.

3.4.      Konteks Kontemporer

Abad ke-20 dan ke-21 ditandai dengan kemunculan filsuf perempuan dan teori feminis yang menolak bias androcentris dalam epistemologi. Simone de Beauvoir, melalui The Second Sex (1949), menyatakan bahwa perempuan bukanlah subjek yang secara kodrati inferior, melainkan dikonstruksi sebagai “the Other” dalam relasi dengan laki-laki.⁹ Sementara itu, pemikir kontemporer seperti Martha Nussbaum menekankan pentingnya pendekatan capabilities untuk mengukur keadilan gender berdasarkan kesempatan yang nyata untuk berkembang.¹⁰

Fenomena perempuan yang kini lebih berprestasi dalam dunia akademik dan profesional dapat dipandang sebagai konsekuensi dari sejarah panjang perlawanan terhadap bias patriarkis dalam filsafat dan struktur sosial. Dari Plato hingga feminisme kontemporer, terlihat bahwa gagasan tentang kapasitas intelektual perempuan telah bergeser dari penyangkalan menuju pengakuan dan aktualisasi.


Kesimpulan Historis

Secara historis, filsafat mencerminkan perjalanan panjang dalam memahami peran perempuan dalam ranah intelektual. Dari pandangan Aristoteles yang subordinatif, gagasan egaliter Plato, ambivalensi abad pertengahan, kritik Pencerahan, hingga refleksi feminisme kontemporer, dapat dilihat bahwa intelektualitas bukanlah monopoli gender tertentu. Dengan demikian, fenomena kekinian bukanlah anomali, melainkan buah dari transformasi sejarah yang panjang.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 1254b.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 451c–457c.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 141–155.

[4]                Averroes, Commentary on Plato’s Republic, trans. Ralph Lerner (Ithaca: Cornell University Press, 1974), 63.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, Q92, Art. 1.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.

[7]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: J. Johnson, 1792), 45.

[8]                John Stuart Mill, The Subjection of Women (London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1869), 23.

[9]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283–284.

[10]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 34–36.


4.          Kritik Epistemologis

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada era kontemporer membuka ruang bagi kritik epistemologis terhadap sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan. Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang hakikat pengetahuan, sumber, dan legitimasi kebenaran, telah lama dipengaruhi oleh bias androcentris—yakni penempatan laki-laki sebagai pusat tolok ukur rasionalitas. Kritik epistemologis menjadi penting untuk membongkar asumsi-asumsi mendasar yang selama berabad-abad menyingkirkan perempuan dari posisi sebagai subjek pengetahuan.

4.1.      Bias Androcentris dalam Sejarah Epistemologi

Sejak filsafat Yunani klasik, pengetahuan telah diasosiasikan dengan kapasitas rasional yang dilekatkan pada laki-laki. Aristoteles menempatkan laki-laki sebagai wujud rasionalitas sempurna, sementara perempuan dianggap defektif dalam hal intelektualitas.¹ Paradigma ini kemudian diwariskan ke dalam tradisi Barat maupun teologis, sehingga perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek pengetahuan ketimbang produsen pengetahuan.

Hal ini melahirkan apa yang oleh filsuf feminis Sandra Harding disebut “the master’s voice”—suara dominan laki-laki yang mendefinisikan kriteria validitas pengetahuan, sekaligus menyingkirkan perspektif perempuan.² Dengan demikian, epistemologi klasik hingga modern awal telah mereproduksi bias gender yang menghalangi pengakuan terhadap kapasitas intelektual perempuan.

4.2.      Kritik Feminist Epistemology

Epistemologi feminis muncul sebagai respon kritis terhadap bias androcentris tersebut. Donna Haraway mengajukan konsep “situated knowledges”, yang menekankan bahwa semua pengetahuan selalu bersifat terletak (situated), tidak netral, dan dipengaruhi oleh posisi sosial serta relasi kekuasaan.³ Dengan demikian, klaim universalisme epistemologi tradisional perlu dipertanyakan, karena sering kali yang disebut universal sejatinya adalah perspektif laki-laki yang diuniversalkan.

Selain itu, Lorraine Code menegaskan pentingnya melihat perempuan sebagai knowing subjects—subjek yang berhak membangun, menafsirkan, dan memvalidasi pengetahuan.⁴ Dengan masuknya perempuan sebagai subjek epistemik, standar pengetahuan tidak lagi didominasi oleh satu perspektif gender, melainkan terbuka bagi pluralitas pengalaman.

4.3.      Epistemologi Kontemporer dan Dekonstruksi Rasionalitas Maskulin

Fenomena perempuan yang kini lebih menonjol dalam pendidikan dan prestasi akademik dapat dipahami sebagai pembalikan posisi epistemik. Jika dulu perempuan dikonstruksi sebagai “yang irasional” atau “yang emosional,” kini prestasi empiris mereka membuktikan bahwa kapasitas intelektual tidak ditentukan oleh gender. Dengan kata lain, fakta sosial kontemporer mendekonstruksi klaim epistemologi tradisional yang mengidentikkan rasionalitas dengan maskulinitas.

Seyla Benhabib menambahkan bahwa epistemologi yang sehat harus memberi ruang bagi interactive universalism, yakni keterbukaan terhadap keragaman subjek pengetahuan yang tetap diarahkan pada rasionalitas komunikatif.⁵ Hal ini relevan dengan realitas di mana perempuan kini tidak sekadar menjadi konsumen pengetahuan, tetapi produsen gagasan yang berpengaruh dalam dunia akademik dan profesional.

4.4.      Implikasi Epistemologis

Kritik epistemologis atas bias androcentris memiliki implikasi penting. Pertama, ia mengoreksi klaim bahwa pengetahuan bersifat netral, dengan menunjukkan bahwa ia sarat dengan relasi kekuasaan gender. Kedua, ia mengafirmasi bahwa intelektualitas perempuan bukanlah anomali, melainkan bukti empiris bahwa akses terhadap pendidikan dan ruang publik memungkinkan semua manusia—tanpa memandang gender—untuk mengembangkan potensi epistemiknya. Ketiga, ia menegaskan perlunya paradigma baru dalam epistemologi yang menolak eksklusivitas dan menekankan inklusivitas, pluralitas, serta keadilan epistemik.

Dengan demikian, fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi pada era kontemporer menjadi argumen kuat untuk meninjau ulang epistemologi tradisional, serta membangun kerangka baru yang lebih adil dalam memahami dan mengakui kapasitas intelektual manusia.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 1254b.

[2]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 119–121.

[3]                Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[4]                Lorraine Code, What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 76–79.

[5]                Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 154–160.


5.          Kritik Etis dan Moral

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada era kontemporer tidak hanya relevan dari segi epistemologis, tetapi juga menimbulkan implikasi etis dan moral yang signifikan. Filsafat etika menekankan bagaimana manusia bertindak, apa yang dianggap adil, dan bagaimana relasi antarindividu dibangun berdasarkan prinsip-prinsip normatif. Dengan demikian, fenomena ini dapat dilihat sebagai kritik terhadap ketidakadilan gender sekaligus tantangan bagi moralitas masyarakat modern.

5.1.      Keadilan Gender dalam Perspektif Etis

Teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls melalui prinsip justice as fairness menekankan bahwa setiap orang berhak atas kesempatan yang setara dalam mengakses sumber daya sosial, termasuk pendidikan dan karier.¹ Jika kini perempuan tampak lebih unggul dalam dunia akademik, hal ini dapat dipahami sebagai konsekuensi dari semakin terbukanya akses pendidikan yang sebelumnya didominasi laki-laki. Artinya, keunggulan perempuan justru menegaskan bahwa ketika kesempatan diberikan secara adil, prestasi tidak ditentukan oleh gender, melainkan oleh usaha dan kompetensi.

Martha Nussbaum, dengan pendekatan capabilities, menekankan bahwa keadilan sejati tidak hanya soal distribusi formal kesempatan, melainkan juga pemberian sarana nyata agar setiap individu dapat mengembangkan kemampuannya.² Fenomena ini mengkritik ketidakadilan masa lalu, di mana perempuan dibatasi perannya, dan kini memperlihatkan koreksi moral terhadap bias patriarkis.

5.2.      Kritik terhadap Privilege Maskulin

Secara moral, fenomena ini sekaligus mengkritik privilege laki-laki dalam sejarah. Selama berabad-abad, laki-laki menikmati posisi sosial yang lebih tinggi tanpa harus membuktikan kompetensi intelektual yang sepadan.³ Ketika perempuan kini lebih berprestasi, hal itu menjadi cermin bahwa keistimewaan gender tidak lagi cukup untuk mempertahankan dominasi moral dan sosial.

Friedrich Nietzsche menyinggung konsep ressentiment, yakni kecenderungan kelompok dominan yang merasa terancam oleh munculnya kekuatan baru.⁴ Dalam konteks ini, sebagian laki-laki mungkin merasakan krisis identitas ketika perempuan menunjukkan keunggulan. Secara etis, sikap ini problematis, karena menolak realitas meritokratis dan masih bergantung pada klaim hak istimewa historis.

5.3.      Etika Relasional dan Tanggung Jawab Moral

Etika relasional, sebagaimana dikembangkan oleh Nel Noddings, menekankan pentingnya kepedulian (ethics of care) sebagai basis moralitas.⁵ Fenomena perempuan yang berprestasi dapat dipahami bukan sekadar sebagai kompetisi dengan laki-laki, tetapi sebagai kontribusi kolektif bagi masyarakat. Dengan kata lain, keunggulan perempuan tidak boleh dipandang sebagai ancaman, melainkan peluang untuk membangun relasi yang lebih seimbang, adil, dan saling mendukung.

Hal ini juga sejalan dengan prinsip Kantian tentang martabat manusia (dignity). Immanuel Kant menekankan bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat bagi kepentingan sosial atau politik tertentu.⁶ Oleh karena itu, menolak atau meremehkan prestasi perempuan adalah bentuk pelanggaran terhadap martabat moral manusia.

5.4.      Implikasi Moral bagi Laki-laki dan Masyarakat

Fenomena ini menantang laki-laki untuk merefleksikan kembali tanggung jawab moralnya. Jika sebagian laki-laki mengalami penurunan prestasi, maka etisnya mereka tidak boleh berlindung di balik stereotip gender, tetapi harus mengembangkan kembali potensi intelektualnya. Kritik moral yang muncul adalah bahwa kelalaian laki-laki dalam aktualisasi diri dapat menimbulkan ketidakadilan baru, di mana perempuan memikul beban ganda sebagai aktor intelektual sekaligus sosial.

Bagi masyarakat, fenomena ini merupakan momentum untuk mendobrak stereotip lama dan membangun tatanan etis baru yang berbasis pada meritokrasi, solidaritas, dan tanggung jawab bersama. Dengan demikian, keunggulan perempuan bukanlah alasan untuk melahirkan “hegemoni baru,” tetapi untuk memperkuat keadilan gender yang sejati.


Kesimpulan Etis

Secara etis dan moral, fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki dapat dibaca sebagai:

1)                 Koreksi terhadap bias patriarkis yang tidak adil.

2)                 Kritik terhadap privilege maskulin yang tidak berbasis kompetensi.

3)                 Panggilan bagi laki-laki untuk kembali mengaktualisasikan potensi moral dan intelektualnya.

4)                 Landasan untuk membangun relasi sosial yang lebih adil, manusiawi, dan berbasis martabat universal.


Catatan Kaki

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 53–55.

[2]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 41–43.

[3]                Carole Pateman, The Sexual Contract (Stanford: Stanford University Press, 1988), 118–120.

[4]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 35–38.

[5]                Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 12–15.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 42–43.


6.          Perspektif Eksistensial dan Antropologis

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada era kontemporer juga perlu dianalisis dari perspektif eksistensial dan antropologis. Dimensi eksistensial menyoroti bagaimana manusia mengaktualisasikan dirinya secara otentik di tengah keterbatasan, sementara dimensi antropologis menelaah hakikat manusia sebagai makhluk berakal, sosial, dan bermoral. Dengan menggabungkan kedua perspektif ini, kita dapat memahami fenomena tersebut sebagai bagian dari dinamika eksistensi manusia dalam masyarakat modern.

6.1.      Eksistensi Otentik Perempuan

Martin Heidegger menekankan bahwa eksistensi manusia adalah being-in-the-world (In-der-Welt-sein), yang menuntut setiap individu untuk merealisasikan kemungkinan dirinya secara otentik.¹ Dalam konteks perempuan, eksistensi otentik berarti keberanian untuk melampaui batasan tradisional yang membelenggu peran sosial dan intelektualnya. Prestasi perempuan di bidang akademik dan profesional menunjukkan proses aktualisasi eksistensi otentik tersebut: mereka tidak lagi terjebak pada peran yang “diberikan” masyarakat, tetapi menentukan dirinya sendiri melalui pilihan dan usaha.

Simone de Beauvoir menambahkan bahwa perempuan selama ini dikonstruksi sebagai the Other, yaitu “yang lain” dari laki-laki.² Fenomena kontemporer memperlihatkan upaya perempuan untuk keluar dari status “yang lain” dan menjadi subjek eksistensial yang bebas. Dengan kata lain, prestasi perempuan adalah bentuk perlawanan terhadap reduksi ontologis yang selama berabad-abad meminggirkan mereka.

6.2.      Krisis Maskulinitas dan Kehilangan Aktualisasi

Di sisi lain, fenomena ini juga menyingkap adanya krisis maskulinitas. Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa laki-laki, terutama dalam masyarakat modern, mengalami penurunan motivasi akademik dan kerap terjebak dalam pola hidup konsumtif.³ Dari sudut pandang eksistensial, hal ini dapat dibaca sebagai ketidakmampuan sebagian laki-laki untuk menghidupi eksistensi otentik mereka.

Jean-Paul Sartre menyebut kondisi ini sebagai bad faith (mauvaise foi), yakni sikap manusia yang menolak kebebasannya sendiri dengan bersembunyi di balik peran sosial atau ekspektasi orang lain.⁴ Laki-laki yang bergantung pada klaim “superioritas gender” tanpa usaha nyata dapat dikatakan hidup dalam bad faith, karena mereka gagal bertanggung jawab terhadap kebebasan dan potensi yang dimilikinya.

6.3.      Antropologi Filosofis: Hakikat Manusia sebagai Makhluk Intelektual

Secara antropologis, manusia didefinisikan sebagai animal rationale (makhluk rasional).⁵ Hal ini berlaku universal tanpa memandang gender. Dengan demikian, kapasitas intelektual perempuan yang kini lebih menonjol tidak boleh dilihat sebagai anomali, melainkan sebagai pengingat bahwa intelektualitas adalah bagian dari hakikat manusia secara keseluruhan.

Filsuf Islam klasik, seperti Ibn Sina, juga menekankan bahwa jiwa rasional (al-nafs al-natiqah) bersifat universal, tidak terbatas pada jenis kelamin.⁶ Jika akses dan peluang diberikan, maka baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi yang sama untuk mencapai kesempurnaan intelektual. Hal ini menegaskan bahwa perbedaan prestasi kontemporer lebih merupakan persoalan sosiologis ketimbang ontologis.

6.4.      Dimensi Sosial-Eksistensial

Secara eksistensial, prestasi perempuan dapat dipahami sebagai will to meaning (kehendak untuk menemukan makna), sebagaimana dikatakan Viktor Frankl.⁷ Perempuan yang berjuang dalam dunia pendidikan dan karier sedang menghidupi makna hidupnya dengan mengatasi hambatan sosial-historis. Sementara itu, bagi laki-laki, fenomena ini menjadi panggilan untuk tidak kehilangan makna, melainkan menemukan kembali eksistensi autentik melalui pengembangan diri, bukan sekadar mengandalkan privilese gender.


Kesimpulan Eksistensial dan Antropologis

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi adalah cermin dari aktualisasi eksistensi otentik perempuan dan sekaligus kritik terhadap krisis eksistensi laki-laki. Secara antropologis, hal ini menegaskan bahwa intelektualitas adalah kapasitas universal manusia, bukan monopoli gender tertentu. Dengan demikian, pembacaan eksistensial dan antropologis ini membuka ruang refleksi bahwa tugas moral seluruh manusia adalah mengaktualisasikan potensi rasional dan eksistensialnya secara otentik, demi tercapainya keutuhan kemanusiaan.


Catatan Kaki

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–85.

[2]                Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283–285.

[3]                Michael Kimmel, Guyland: The Perilous World Where Boys Become Men (New York: Harper, 2008), 102–107.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.

[5]                Ernst Cassirer, An Essay on Man (New Haven: Yale University Press, 1944), 25–28.

[6]                Avicenna (Ibn Sina), The Book of Healing: Psychology, trans. Fazlur Rahman (Oxford: Oxford University Press, 1959), 34–36.

[7]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 101–105.


7.          Kritik Sosiologis-Filosofis

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada era kontemporer tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial yang lebih luas. Analisis sosiologis-filosofis penting untuk menyingkap bagaimana struktur sosial, budaya, dan kekuasaan berperan dalam membentuk realitas ini. Kritik sosiologis tidak hanya memotret fakta empiris, tetapi juga menggali makna filosofis dari perubahan relasi gender di tengah masyarakat modern.

7.1.      Perubahan Struktur Sosial dan Akses Pendidikan

Sosiologi pendidikan menunjukkan bahwa meningkatnya akses perempuan terhadap pendidikan formal berkontribusi besar pada prestasi mereka.¹ Dahulu, struktur patriarki membatasi perempuan dalam ranah domestik, sementara laki-laki lebih dominan di ranah publik. Dengan terbukanya akses pendidikan, perempuan kini mampu menyaingi dan bahkan melampaui laki-laki.

Pierre Bourdieu, melalui konsep cultural capital, menjelaskan bahwa prestasi seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan individu, tetapi juga oleh akses terhadap sumber daya simbolik dan sosial.² Dalam konteks ini, perempuan yang semakin memperoleh modal budaya (pendidikan, literasi, keterampilan akademik) berhasil mengubah posisi sosialnya dalam masyarakat. Fenomena ini sekaligus mengkritik dominasi simbolik laki-laki yang selama ini dianggap sebagai pewaris utama modal budaya.

7.2.      Hegemoni, Kekuasaan, dan Gender

Antonio Gramsci menegaskan bahwa dominasi sosial tidak hanya berlangsung melalui kekuatan koersif, tetapi juga melalui hegemoni, yakni penerimaan nilai dan norma oleh kelompok yang didominasi.³ Dalam masyarakat patriarkis, perempuan sering menerima inferioritasnya sebagai sesuatu yang wajar. Namun, prestasi perempuan kontemporer menunjukkan terjadinya pergeseran hegemoni: perempuan tidak lagi menerima konstruksi inferior, tetapi membangun posisi baru sebagai subjek intelektual.

Michel Foucault menambahkan bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling terkait (power/ knowledge).⁴ Jika pengetahuan selama ini diproduksi oleh laki-laki, maka kekuasaan epistemik juga berada di tangan mereka. Kini, ketika perempuan menjadi produsen pengetahuan, struktur kekuasaan pun mengalami pergeseran. Fenomena ini merupakan kritik filosofis terhadap relasi kuasa tradisional yang eksklusif dan tidak inklusif gender.

7.3.      Nietzsche dan Dekadensi Maskulinitas

Dari perspektif Nietzsche, fenomena ini dapat dibaca sebagai manifestasi will to power perempuan—kehendak untuk melampaui keterbatasan historis dan menegaskan eksistensinya.⁵ Sementara itu, sebagian laki-laki justru mengalami dekadensi, yakni penurunan vitalitas dan kehilangan daya transformatif. Dekadensi maskulinitas terlihat dalam menurunnya motivasi belajar, meningkatnya perilaku konsumtif, dan kecenderungan untuk berlindung pada klaim identitas gender ketimbang aktualisasi diri.

Dengan demikian, perempuan berprestasi menjadi simbol kekuatan kreatif (creative force) yang mampu melampaui hambatan sosial, sementara krisis maskulinitas merefleksikan nihilisme pasif dalam masyarakat kontemporer.

7.4.      Implikasi Sosial-Filosofis

Fenomena ini memiliki implikasi luas bagi masyarakat. Pertama, ia membongkar mitos bahwa superioritas intelektual laki-laki adalah kodrat. Kedua, ia menegaskan pentingnya meritokrasi dalam dunia pendidikan dan karier: prestasi ditentukan oleh kompetensi, bukan gender. Ketiga, ia menantang masyarakat untuk menata ulang relasi gender secara lebih adil dan setara.

Namun, perlu diingat bahwa keberhasilan perempuan bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk untuk membangun tatanan sosial baru yang lebih inklusif. Kritik filosofis dalam konteks ini menekankan bahwa kesetaraan sejati hanya akan terwujud jika keberhasilan perempuan tidak dipandang sebagai “anomali,” tetapi sebagai bagian dari normalitas baru dalam masyarakat yang adil.


Kesimpulan Sosiologis-Filosofis

Kritik sosiologis-filosofis atas fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi menunjukkan bahwa realitas ini bukan sekadar hasil kompetisi individual, melainkan buah dari transformasi struktural, kultural, dan filosofis. Dengan terbukanya akses pendidikan, runtuhnya hegemoni patriarki, serta bergesernya relasi kuasa epistemik, perempuan kini tampil sebagai subjek utama dalam dunia intelektual. Secara filosofis, hal ini menuntut redefinisi gender, kekuasaan, dan intelektualitas dalam masyarakat modern.


Catatan Kaki

[1]                Sylvia Walby, Gender Transformations (London: Routledge, 1997), 64–66.

[2]                Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 114–117.

[3]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 12–13.

[4]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–28.

[5]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 112–115.


8.          Perspektif Pendidikan dan Human Development

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada era kontemporer tidak dapat dilepaskan dari peran pendidikan dan proses human development (pengembangan manusia). Pendidikan berfungsi bukan hanya sebagai transmisi pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana pembebasan dan pemberdayaan. Dalam konteks ini, keunggulan perempuan dalam ranah akademik dapat dipahami sebagai konsekuensi dari transformasi paradigma pendidikan modern, yang menekankan kesetaraan akses, partisipasi aktif, dan pengembangan potensi individu.

8.1.      Pendidikan sebagai Sarana Emansipasi

Sejarah mencatat bahwa keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan merupakan faktor utama yang membuat mereka termarginalkan.¹ Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses pembebasan yang memungkinkan manusia sadar akan penindasan dan mengambil langkah untuk membebaskan dirinya.² Perempuan yang semakin banyak menempuh pendidikan tinggi merepresentasikan praktik emansipasi tersebut: mereka bukan lagi objek sistem sosial patriarkis, tetapi subjek yang aktif membangun dirinya.

Dalam konteks ini, prestasi perempuan dapat dilihat sebagai keberhasilan pendidikan dalam membuka ruang kesetaraan, sekaligus kritik terhadap sistem lama yang membatasi mereka.

8.2.      Human Development dan Aktualisasi Potensi

Konsep human development yang dipopulerkan oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum melalui pendekatan capabilities menekankan pentingnya memberikan kesempatan nyata bagi setiap individu untuk mengembangkan kemampuannya.³ Ketika perempuan kini lebih unggul dalam dunia akademik, hal itu menunjukkan bahwa mereka berhasil memanfaatkan peluang capabilities yang tersedia.

Prestasi ini sekaligus membuktikan bahwa kemampuan intelektual adalah universal, tidak terbatas pada gender, dan dapat berkembang optimal ketika lingkungan sosial dan pendidikan mendukungnya.⁴ Dengan demikian, fenomena ini merupakan contoh konkret bagaimana human development dapat mengubah struktur sosial yang timpang menjadi lebih adil.

8.3.      Orientasi Pendidikan Laki-laki dan Perempuan

Sosiologi pendidikan juga mencatat adanya perbedaan orientasi dalam proses belajar antara laki-laki dan perempuan. Beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih tekun, terstruktur, dan disiplin dalam dunia akademik, sementara sebagian laki-laki lebih mudah teralihkan oleh faktor eksternal seperti hiburan atau tuntutan sosial maskulinitas.⁵ Hal ini menimbulkan kritik filosofis bahwa paradigma pendidikan bagi laki-laki perlu dievaluasi ulang: apakah sistem sosial telah mendorong mereka untuk berfokus pada prestasi intelektual, atau justru melanggengkan stereotip bahwa laki-laki tidak perlu membuktikan diri secara akademik?

8.4.      Pendidikan Humanistik dan Karakter

Filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan sebagai upaya menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.⁶ Pendidikan yang humanistik ini sejalan dengan gagasan Nel Noddings tentang ethics of care dalam pendidikan, yang menekankan kepedulian, relasi, dan pembentukan karakter.⁷ Prestasi perempuan dalam dunia pendidikan dapat dilihat sebagai buah dari model pendidikan yang lebih inklusif, yang tidak hanya mengajarkan keterampilan kognitif, tetapi juga membentuk daya juang, tanggung jawab, dan orientasi moral.

8.5.      Implikasi untuk Masa Depan

Fenomena perempuan yang lebih berprestasi menuntut pergeseran paradigma pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan tidak lagi boleh dipahami sebagai sarana reproduksi struktur patriarkis, tetapi harus menjadi wadah untuk membangun manusia seutuhnya—baik laki-laki maupun perempuan—agar mampu hidup otentik, adil, dan bertanggung jawab. Dalam kerangka human development, prestasi perempuan bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi langkah menuju masyarakat yang lebih meritokratis dan berkeadilan gender.


Kesimpulan Pendidikan dan Human Development

Dari perspektif pendidikan dan human development, fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi adalah bukti konkret dari keberhasilan paradigma pendidikan yang lebih inklusif dan emansipatoris. Namun, sekaligus terdapat kritik bahwa laki-laki masih perlu didorong untuk mengembangkan kembali etos belajar dan orientasi intelektualnya. Dengan demikian, pendidikan harus diarahkan tidak hanya untuk menyeimbangkan prestasi, tetapi juga untuk membangun kesadaran moral, solidaritas sosial, dan aktualisasi potensi manusia secara universal.


Catatan Kaki

[1]                Sylvia Walby, Gender Transformations (London: Routledge, 1997), 89–92.

[2]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.

[3]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Anchor Books, 1999), 87–89.

[4]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–35.

[5]                Claudia Buchmann and Thomas A. DiPrete, “The Growing Female Advantage in College Completion: The Role of Family Background and Academic Achievement,” American Sociological Review 71, no. 4 (2006): 515–541.

[6]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1967), 14.

[7]                Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 1984), 22–24.


9.          Relevansi Kontemporer

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki tidak dapat dipandang hanya sebagai perubahan statistik pendidikan, tetapi juga sebagai realitas yang memiliki implikasi luas dalam konteks kontemporer. Relevansi fenomena ini tampak dalam dunia akademik, pasar kerja, relasi keluarga, serta dinamika sosial-politik global. Dengan membaca fenomena ini secara filosofis, kita dapat memahami bagaimana perubahan gender dalam intelektualitas merefleksikan transformasi nilai, struktur sosial, dan arah perkembangan masyarakat.

9.1.      Relevansi dalam Dunia Akademik

Prestasi perempuan di dunia pendidikan merupakan indikator penting dari kesetaraan gender dalam ranah intelektual. Data OECD menunjukkan bahwa tingkat kelulusan perempuan di pendidikan tinggi di banyak negara melampaui laki-laki.¹ Fenomena ini bukan hanya mengoreksi pandangan tradisional tentang inferioritas intelektual perempuan, tetapi juga menuntut dunia akademik untuk menyesuaikan paradigma pedagogi agar lebih sensitif terhadap dinamika gender.

Hal ini sejalan dengan pemikiran bell hooks yang menekankan pentingnya engaged pedagogy, yakni pendidikan yang inklusif, kritis, dan memampukan semua peserta didik tanpa memandang latar belakang gender.² Dengan demikian, keberhasilan perempuan dalam dunia akademik mendorong terciptanya pendidikan yang lebih adil dan partisipatif.

9.2.      Relevansi dalam Dunia Kerja dan Profesional

Di ranah profesional, keunggulan akademik perempuan semakin berkontribusi pada pergeseran struktur tenaga kerja. Martha Nussbaum menegaskan bahwa keadilan gender harus diukur dari kesempatan yang nyata bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah publik.³ Realitas kontemporer menunjukkan bahwa perempuan kini hadir tidak hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai pemimpin di berbagai bidang, mulai dari politik, bisnis, hingga akademia.

Namun, tantangan tetap ada: meskipun perempuan lebih unggul dalam pendidikan, kesenjangan upah (gender pay gap) dan hambatan struktural (glass ceiling) masih terjadi di banyak negara.⁴ Oleh karena itu, relevansi fenomena ini bukan hanya soal keberhasilan perempuan, tetapi juga soal kebutuhan reformasi institusi agar prestasi intelektual dapat diterjemahkan ke dalam keadilan struktural.

9.3.      Relevansi dalam Relasi Keluarga dan Sosial

Prestasi perempuan juga memengaruhi dinamika keluarga. Dengan meningkatnya pendidikan dan karier perempuan, pola relasi dalam keluarga bergeser dari model tradisional yang hierarkis menuju model yang lebih egaliter. Anthony Giddens menyebut transformasi ini sebagai pure relationship, yakni relasi yang dibangun berdasarkan kesetaraan, komunikasi, dan pilihan sadar, bukan lagi karena tradisi semata.⁵

Fenomena ini menantang konstruksi maskulinitas tradisional, yang sering mengukur nilai laki-laki dari peran ekonomi. Jika perempuan lebih berprestasi, laki-laki dituntut menemukan bentuk kontribusi baru yang tidak semata-mata ekonomis, tetapi juga afektif, moral, dan intelektual.

9.4.      Relevansi Global dan Sosio-Politik

Dalam konteks global, keberhasilan perempuan dalam ranah intelektual dan profesional berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Perserikatan Bangsa-Bangsa menempatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai salah satu Sustainable Development Goals (SDG 5).⁶ Fenomena perempuan yang lebih berprestasi memperlihatkan bahwa tujuan ini bukan hanya ideal normatif, melainkan kenyataan empiris yang mulai terwujud.

Namun, masih ada paradoks: di satu sisi perempuan semakin diakui sebagai aktor intelektual dan sosial, tetapi di sisi lain masih menghadapi diskriminasi, kekerasan berbasis gender, dan keterbatasan akses di wilayah tertentu. Secara filosofis, hal ini menegaskan bahwa perjuangan kesetaraan gender bukanlah proses yang selesai, melainkan terus berlangsung.

9.5.      Refleksi Filosofis Kontemporer

Relevansi fenomena ini dapat dirangkum dalam tiga refleksi filosofis. Pertama, ia menegaskan bahwa intelektualitas adalah kapasitas universal manusia, sehingga klaim superioritas gender dalam rasionalitas tidak lagi valid. Kedua, ia mendorong masyarakat untuk membangun struktur sosial-politik yang berbasis meritokrasi dan keadilan gender. Ketiga, ia mengingatkan laki-laki agar tidak terjebak dalam krisis identitas, tetapi justru menjadikan fenomena ini sebagai panggilan untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara otentik.


Kesimpulan Relevansi Kontemporer

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi memiliki relevansi luas dalam dunia modern. Ia merefleksikan perubahan paradigma pendidikan, menggeser struktur dunia kerja, menata ulang relasi keluarga, dan berkontribusi pada agenda global pembangunan berkelanjutan. Filosofisnya, fenomena ini mengajarkan bahwa keadilan gender bukan hanya isu moral, tetapi juga fondasi peradaban yang lebih adil, rasional, dan manusiawi.


Catatan Kaki

[1]                OECD, Education at a Glance 2022: OECD Indicators (Paris: OECD Publishing, 2022), 110.

[2]                bell hooks, Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–15.

[3]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 42–45.

[4]                World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2023 (Geneva: WEF, 2023), 28–30.

[5]                Anthony Giddens, The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies (Stanford: Stanford University Press, 1992), 58–60.

[6]                United Nations, Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development (New York: UN, 2015), Goal 5.


10.      Sintesis dan Refleksi Filosofis

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada era kontemporer telah ditelaah melalui berbagai perspektif: epistemologis, etis, eksistensial, sosiologis, hingga pendidikan. Bab ini berfungsi sebagai sintesis sekaligus ruang refleksi filosofis untuk mengintegrasikan temuan-temuan tersebut dalam suatu kerangka yang lebih utuh.

10.1.   Rekonstruksi Epistemologi Inklusif

Dari segi epistemologi, fenomena ini menegaskan bahwa intelektualitas bukanlah domain eksklusif laki-laki, melainkan kapasitas universal manusia. Pandangan Aristoteles tentang inferioritas rasional perempuan¹ terbukti rapuh ketika diuji oleh kenyataan empiris kontemporer. Feminist epistemology, sebagaimana digagas Donna Haraway melalui konsep situated knowledges, menunjukkan bahwa klaim netralitas pengetahuan selama ini bias gender.² Oleh karena itu, sintesis epistemologis yang dapat diambil adalah perlunya membangun epistemologi inklusif—yakni cara pandang yang mengakui pluralitas pengalaman manusia sebagai sumber sahih pengetahuan.

10.2.   Rekontekstualisasi Etika dan Keadilan Gender

Secara etis, fenomena perempuan yang lebih berprestasi adalah kritik terhadap privilese maskulin dalam sejarah. John Rawls menekankan bahwa keadilan harus dimaknai sebagai kesetaraan kesempatan,³ sementara Nussbaum menambahkan bahwa keadilan sejati mensyaratkan adanya capabilities yang nyata bagi semua individu.⁴ Dalam konteks ini, kesuksesan perempuan menjadi bukti keberhasilan sebagian upaya keadilan, sekaligus pengingat bahwa struktur sosial masih perlu direformasi agar laki-laki maupun perempuan sama-sama didorong untuk berkembang. Refleksi filosofisnya: moralitas manusia seutuhnya tidak dapat direduksi pada gender, melainkan pada aktualisasi kebebasan dan tanggung jawab.

10.3.   Eksistensi dan Krisis Maskulinitas

Dari sisi eksistensial, keberhasilan perempuan adalah wujud eksistensi otentik sebagaimana dibicarakan Heidegger—yakni keberanian untuk melampaui keterbatasan sosial dan menegaskan diri dalam dunia.⁵ Sebaliknya, penurunan prestasi laki-laki dapat dipahami sebagai bentuk bad faith Sartrean, yakni sikap lari dari tanggung jawab kebebasan dengan bersandar pada klaim identitas gender semata.⁶ Refleksi filosofisnya adalah bahwa krisis maskulinitas tidak seharusnya dipandang sebagai ancaman dari perempuan, tetapi sebagai tantangan bagi laki-laki untuk kembali mengaktualisasikan dirinya secara otentik.

10.4.   Sintesis Sosiologis-Filosofis

Secara sosiologis, fenomena ini menunjukkan pergeseran struktur kekuasaan pengetahuan (power/knowledge) sebagaimana dikemukakan Foucault.⁷ Ketika perempuan menjadi produsen pengetahuan, dominasi epistemik laki-laki mengalami dekonstruksi. Dari sudut Nietzschean, hal ini dapat dibaca sebagai will to power perempuan untuk melampaui hambatan historis, sekaligus kritik terhadap dekadensi maskulinitas yang gagal menghidupi vitalitas kreatif.⁸ Sintesisnya adalah bahwa transformasi sosial hanya dapat bertahan jika kedua gender bersama-sama berkontribusi dalam membangun peradaban, bukan saling menegasikan.

10.5.   Refleksi Humanistik dan Universal

Akhirnya, refleksi filosofis tertinggi dari fenomena ini adalah bahwa intelektualitas, prestasi, dan aktualisasi diri adalah bagian dari human condition yang universal. Viktor Frankl menegaskan bahwa manusia menemukan makna hidup melalui usaha mengatasi penderitaan dan keterbatasan.⁹ Prestasi perempuan dalam dunia kontemporer adalah bukti pencarian makna itu, sementara laki-laki dipanggil untuk menemukan makna baru dalam situasi perubahan sosial. Dengan demikian, fenomena ini tidak boleh dilihat sebagai kemenangan satu gender atas gender lain, melainkan sebagai kesempatan untuk merealisasikan keutuhan kemanusiaan.


Kesimpulan Sintesis

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi merupakan titik balik dalam sejarah relasi gender. Ia menegaskan runtuhnya mitos superioritas rasional laki-laki, mengafirmasi pentingnya keadilan gender, membuka ruang bagi eksistensi otentik, dan mengubah peta sosial-epistemik masyarakat. Refleksi filosofis akhirnya menuntun pada pemahaman bahwa tujuan sejati bukanlah dominasi gender tertentu, melainkan terciptanya masyarakat humanistik yang adil, rasional, dan bermakna.


Catatan Kaki

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2000), 1254b.

[2]                Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 53–55.

[4]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–37.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–85.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.

[7]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–28.

[8]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 112–115.

[9]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 101–105.


11.      Penutup

Fenomena kontemporer di mana perempuan lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki telah menghadirkan tantangan baru dalam wacana filsafat, etika, sosiologi, dan pendidikan. Artikel ini menunjukkan bahwa fenomena tersebut bukanlah sekadar data empiris, tetapi cermin dari transformasi historis, epistemologis, dan moral yang menuntut refleksi filosofis mendalam.

Secara historis, perjalanan pemikiran tentang peran perempuan dalam intelektualitas bergerak dari subordinasi di era klasik hingga pengakuan dan aktualisasi dalam era modern dan kontemporer.¹ Secara epistemologis, keunggulan perempuan menyingkap bias androcentris yang selama ini mendominasi filsafat dan ilmu pengetahuan, serta menegaskan perlunya epistemologi inklusif yang mengakui pluralitas pengalaman.² Dari perspektif etis, fenomena ini menjadi kritik terhadap privilese maskulin dan sekaligus afirmasi terhadap keadilan gender, sebagaimana dirumuskan dalam teori keadilan dan pendekatan capabilities

Dimensi eksistensial memperlihatkan bahwa prestasi perempuan adalah ekspresi eksistensi otentik, sementara krisis prestasi laki-laki dapat dilihat sebagai gejala bad faith atau kehilangan aktualisasi diri.⁴ Secara sosiologis, fenomena ini mendekonstruksi hegemoni patriarki dan memunculkan konfigurasi baru relasi kuasa pengetahuan.⁵ Dalam konteks pendidikan dan human development, keunggulan perempuan menunjukkan keberhasilan paradigma pendidikan yang lebih inklusif, sekaligus mengingatkan bahwa laki-laki perlu membangun kembali etos belajar dan orientasi intelektualnya.⁶

Relevansi kontemporer fenomena ini meluas ke dunia akademik, pasar kerja, relasi keluarga, dan politik global, di mana perempuan kini tampil sebagai aktor utama dalam pembangunan masyarakat.⁷ Namun, tantangan berupa kesenjangan struktural, diskriminasi, dan krisis maskulinitas tetap perlu direspons dengan serius.

Refleksi filosofis akhirnya menuntun pada pemahaman bahwa tujuan utama dari fenomena ini bukanlah dominasi gender tertentu, melainkan terciptanya tatanan sosial yang lebih adil, rasional, dan manusiawi. Sejalan dengan gagasan Viktor Frankl bahwa manusia menemukan makna hidup melalui perjuangan melampaui keterbatasan,⁸ prestasi perempuan adalah bukti bahwa makna dapat diwujudkan ketika kesempatan dan potensi diberdayakan.


Kesimpulan Akhir

Fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibanding laki-laki:

1)                 Meruntuhkan mitos superioritas rasional laki-laki.

2)                 Menegaskan keadilan gender sebagai basis moral dan epistemik.

3)                 Mengingatkan laki-laki untuk mengaktualisasikan kembali eksistensinya secara otentik.

4)                 Membuka jalan menuju masyarakat meritokratis dan humanistik.

Dengan demikian, fenomena ini bukanlah ancaman, melainkan peluang bagi umat manusia untuk membangun paradigma baru tentang intelektualitas, gender, dan kemanusiaan—sebuah paradigma yang berakar pada kesetaraan, kebebasan, dan tanggung jawab moral.


Catatan Kaki

[1]                Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: J. Johnson, 1792), 45.

[2]                Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[3]                Martha C. Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 42–45.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.

[5]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–28.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.

[7]                World Economic Forum, Global Gender Gap Report 2023 (Geneva: WEF, 2023), 28–30.

[8]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 101–105.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1986). De anima (H. Lawson-Tancred, Trans.). Penguin Classics.

Aristotle. (2000). Politics (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.

Averroes. (1974). Commentary on Plato’s Republic (R. Lerner, Trans.). Cornell University Press.

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste (R. Nice, Trans.). Harvard University Press.

Buchmann, C., & DiPrete, T. A. (2006). The growing female advantage in college completion: The role of family background and academic achievement. American Sociological Review, 71(4), 515–541.

Cassirer, E. (1944). An essay on man. Yale University Press.

Code, L. (1991). What can she know? Feminist theory and the construction of knowledge. Cornell University Press.

Craig, E. (2005). The shorter Routledge encyclopedia of philosophy. Routledge.

Dewantara, K. H. (1967). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Giddens, A. (1992). The transformation of intimacy: Sexuality, love and eroticism in modern societies. Stanford University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Haraway, D. (1988). Situated knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

hooks, b. (1994). Teaching to transgress: Education as the practice of freedom. Routledge.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kimmel, M. (2008). Guyland: The perilous world where boys become men. Harper.

Maslow, A. H. (1954). Motivation and personality. Harper & Row.

Mill, J. S. (1869). The subjection of women. Longmans, Green, Reader, and Dyer.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (1995). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Modern Library.

Noddings, N. (1984). Caring: A feminine approach to ethics and moral education. University of California Press.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

OECD. (2022). Education at a glance 2022: OECD indicators. OECD Publishing.

Pateman, C. (1988). The sexual contract. Stanford University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Sartre, J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Anchor Books.

Thomas Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable development. United Nations.

Walby, S. (1997). Gender transformations. Routledge.

Walby, S. (2011). The future of feminism. Polity Press.

Wollstonecraft, M. (1792). A vindication of the rights of woman. J. Johnson.

World Economic Forum. (2023). Global gender gap report 2023. World Economic Forum.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar