Prestasi Perempuan
Kritik Filosofis atas Pergeseran
Prestasi Gender di Era Kontemporer
Alihkan ke: Filsafat
Perempuan dan Gender.
Abstrak
Fenomena kontemporer yang menunjukkan perempuan lebih
intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki merupakan realitas sosial
yang menuntut analisis filosofis multidimensional. Artikel ini mengkaji
fenomena tersebut melalui perspektif historis, epistemologis, etis,
eksistensial, sosiologis, pendidikan, hingga refleksi filosofis kontemporer.
Secara historis, pandangan klasik yang menempatkan perempuan sebagai inferior
secara rasional telah terdekonstruksi oleh perkembangan modernitas dan
feminisme. Secara epistemologis, fenomena ini mengungkap bias androcentris
dalam sejarah ilmu pengetahuan dan menegaskan perlunya epistemologi inklusif.
Dari segi etika, prestasi perempuan menjadi kritik terhadap privilese maskulin
dan afirmasi atas keadilan gender. Perspektif eksistensial menunjukkan bahwa
keberhasilan perempuan merupakan bentuk aktualisasi diri otentik, sementara
penurunan prestasi laki-laki dapat dilihat sebagai krisis maskulinitas. Secara
sosiologis-filosofis, fenomena ini menandai pergeseran relasi kuasa pengetahuan
dan dekonstruksi hegemoni patriarki. Sementara itu, dalam perspektif pendidikan
dan human development, keberhasilan perempuan mencerminkan efektivitas
pendidikan emansipatoris dan paradigma capabilities. Relevansi
kontemporer fenomena ini tampak dalam dunia akademik, profesional, relasi
keluarga, hingga pembangunan global. Sintesis filosofis akhirnya menegaskan
bahwa fenomena ini bukan sekadar kompetisi gender, melainkan peluang menuju
masyarakat meritokratis, adil, dan humanistik, di mana intelektualitas dipahami
sebagai kapasitas universal manusia.
Kata Kunci: Perempuan, intelektualitas, prestasi, epistemologi,
etika, eksistensialisme, sosiologi, pendidikan, keadilan gender, filsafat
kontemporer.
PEMBAHASAN
Perempuan, Intelektualitas,
dan Krisis Maskulinitas
1.
Pendahuluan
Fenomena
meningkatnya peran perempuan dalam ranah intelektual dan profesional pada era
kontemporer merupakan salah satu gejala sosial yang menarik untuk ditelaah
secara filosofis. Jika pada masa lalu perempuan kerap ditempatkan pada posisi
subordinat—baik dalam struktur sosial, budaya, maupun epistemologi—kini banyak
kajian dan realitas empiris yang menunjukkan bahwa perempuan dapat melampaui
laki-laki dalam hal capaian akademik, karier, dan kontribusi intelektual.¹ Hal
ini tampak pada berbagai laporan internasional yang menegaskan adanya
kesenjangan prestasi pendidikan di mana perempuan sering kali memperoleh hasil
yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam sistem pendidikan modern.²
Secara
historis, filsafat klasik menempatkan perempuan pada posisi yang problematis.
Aristoteles, misalnya, menyebut perempuan sebagai “laki-laki yang kurang
sempurna” dalam hal rasionalitas.³ Pandangan serupa juga dapat ditemukan
dalam konstruksi sosial patriarkis di berbagai tradisi, termasuk dalam wacana filsafat dan ilmu
pengetahuan era pertengahan. Namun, perkembangan pemikiran modern—melalui
gerakan feminisme, teori keadilan, dan filsafat pendidikan—mulai merombak
paradigma tersebut dengan menekankan kesetaraan potensi intelektual antara
laki-laki dan perempuan.⁴
Fenomena
kekinian yang menunjukkan perempuan lebih intelektual dan berprestasi
menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendalam. Apakah hal ini merupakan bukti
bahwa klaim tradisional tentang superioritas laki-laki dalam hal rasionalitas hanyalah konstruksi sosial?
Apakah ini menandai krisis maskulinitas dalam masyarakat modern? Ataukah,
justru, hal ini mengindikasikan terciptanya meritokrasi baru yang lebih adil,
di mana prestasi ditentukan oleh kemampuan, bukan oleh gender?
Kajian
filosofis menjadi relevan karena ia tidak hanya memotret fenomena secara
deskriptif, tetapi juga menganalisis secara normatif, kritis, dan reflektif.
Melalui perspektif epistemologis, etis, eksistensial, dan sosiologis,
pembahasan ini diharapkan mampu mengungkap dimensi terdalam dari fenomena
tersebut. Dengan demikian, penelitian ini bukan sekadar menyoroti keunggulan
perempuan atas laki-laki, melainkan menggunakannya sebagai titik masuk untuk
memahami ulang relasi gender, makna intelektualitas, dan arah perkembangan manusia
di era kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Sylvia Walby, The Future of Feminism (Cambridge:
Polity Press, 2011), 45.
[2]
OECD, Education at a Glance 2022: OECD Indicators
(Paris: OECD Publishing, 2022), 110.
[3]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(New York: Dover Publications, 2000), 1254b.
[4]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development:
The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
34–36.
2.
Konsep Dasar
Dalam
membahas fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan
laki-laki,
terlebih dahulu perlu dijelaskan konsep-konsep kunci yang menjadi fondasi
analisis, yakni intelektualitas, prestasi,
dan gender
dalam perspektif filosofis.
2.1.
Intelektualitas
Secara
etimologis, kata intelektualitas berasal dari bahasa
Latin intellectus
yang berarti “pemahaman” atau “daya pikir.”¹ Dalam tradisi
filsafat klasik, intelektualitas sering dipahami sebagai kapasitas rasional
yang membedakan manusia dari makhluk lain. Plato, misalnya, menekankan bahwa
intelek adalah
sarana untuk mencapai pengetahuan sejati (epistēmē) yang melampaui opini (doxa).²
Aristoteles kemudian mengembangkan konsep ini dalam nous poietikos (akal aktif), yang
menjadi inti rasionalitas manusia.³
Dalam
perspektif modern, intelektualitas tidak hanya dimaknai sebagai kapasitas
berpikir logis, tetapi juga mencakup kemampuan kritis, kreatif, dan reflektif
dalam menghadapi realitas. Habermas, misalnya, mengaitkan intelektualitas
dengan rational
communication yang memungkinkan tindakan komunikatif menuju
konsensus.⁴ Dengan demikian, intelektualitas dapat dipahami sebagai daya berpikir yang tidak
semata-mata rasional, tetapi juga kritis, komunikatif, dan transformatif.
2.2.
Prestasi
Konsep
prestasi
mengacu pada hasil nyata dari proses usaha atau kompetisi, baik dalam ranah
akademik, profesional, maupun sosial. Dalam filsafat pendidikan, prestasi
dipandang sebagai manifestasi aktualisasi diri. Abraham Maslow menempatkan
kebutuhan aktualisasi diri pada puncak hierarki kebutuhan manusia, yang di dalamnya tercakup
pencapaian intelektual dan moral.⁵ John Dewey menambahkan bahwa prestasi dalam
pendidikan harus dipahami bukan hanya sebagai keberhasilan individual, melainkan
kontribusi pada kehidupan sosial yang lebih luas.⁶
Oleh
karena itu, prestasi perempuan yang lebih menonjol dibanding laki-laki tidak
sekadar fenomena
statistik pendidikan, tetapi juga merepresentasikan transformasi sosial:
bagaimana kelompok yang dulu termarginalkan kini mampu menunjukkan keunggulan
aktual dalam berbagai bidang kehidupan.
2.3.
Gender dalam Perspektif Filosofis
Konsep
gender
berbeda dengan seks. Jika seks merujuk pada
aspek biologis, gender merupakan konstruksi sosial dan kultural tentang peran,
perilaku, dan harapan terhadap laki-laki maupun perempuan. Simone de Beauvoir
menyatakan secara terkenal: “One is not born, but rather becomes, a woman”—seseorang menjadi perempuan
melalui proses sosial, bukan semata-mata karena biologinya.⁷ Pernyataan ini
menegaskan bahwa inferioritas perempuan dalam sejarah bukan karena kodrat,
melainkan akibat struktur sosial dan epistemologis yang membatasi mereka.
Filsafat
feminis modern, terutama melalui Martha Nussbaum dengan capabilities
approach, menekankan bahwa keadilan gender harus diukur dari sejauh
mana perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan dasarnya.⁸ Dengan demikian, ketika perempuan kini lebih berprestasi dalam bidang intelektual,
hal itu menunjukkan bahwa mereka telah mendapatkan akses lebih luas pada
kesempatan dan sarana pengembangan diri yang sebelumnya lebih didominasi oleh
laki-laki.
Kesimpulan Konseptual
Dari
ketiga konsep di atas, dapat ditarik simpulan bahwa intelektualitas merupakan
kapasitas dasar manusia yang universal, prestasi adalah aktualisasi dari
kapasitas tersebut, dan gender merupakan kerangka sosial yang sering kali
menghambat atau mendorong aktualisasi tersebut. Dengan memahami konsep-konsep ini, kita dapat
menganalisis fenomena kekinian secara lebih mendalam, bukan hanya sebagai data
empiris, melainkan sebagai problem filosofis yang menyangkut rasionalitas,
keadilan, dan eksistensi manusia.
Catatan Kaki
[1]
Edward Craig, The Shorter Routledge Encyclopedia
of Philosophy (London: Routledge, 2005), 451.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev.
C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 508d–509d.
[3]
Aristotle, De Anima, trans. Hugh
Lawson-Tancred (London: Penguin Classics, 1986), 430a–431b.
[4]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[5]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality
(New York: Harper & Row, 1954), 236.
[6]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 98–101.
[7]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011), 283.
[8]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 33–37.
3.
Perspektif Historis
Fenomena
perempuan yang pada masa kini lebih menonjol dalam ranah intelektual dan
prestasi akademik tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang relasi gender
dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Pandangan tentang posisi intelektual perempuan telah mengalami
dinamika: mulai dari subordinasi dalam filsafat klasik, keterbatasan dalam era
pertengahan, hingga dekonstruksi dalam pemikiran modern dan kontemporer.
3.1.
Pandangan Filsafat Klasik
Dalam
filsafat Yunani kuno, posisi perempuan cenderung dianggap inferior dalam hal
rasionalitas. Aristoteles menyebut perempuan sebagai “mutilated
males” atau laki-laki yang tidak lengkap, karena dianggap memiliki kapasitas rasional
yang lebih lemah dibanding laki-laki.¹ Pandangan ini berimplikasi pada
marginalisasi perempuan dari ranah politik, pendidikan, dan filsafat.
Meskipun
demikian, terdapat pengecualian yang menarik. Plato, dalam Republic,
mengemukakan gagasan bahwa perempuan berpotensi menjadi guardian
(penjaga negara) sejajar dengan laki-laki, sepanjang mereka mendapatkan pendidikan yang
sama.² Meski tetap memandang perbedaan biologis, Plato membuka ruang
argumentasi bahwa perbedaan intelektual bukanlah kodrat, melainkan akibat
perbedaan kesempatan.
3.2.
Pemikiran Abad Pertengahan
Pada
era filsafat Islam klasik, perdebatan tentang rasionalitas perempuan tidak
sekuat dalam tradisi Yunani. Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd lebih banyak membahas
intelek
manusia secara umum tanpa membedakan gender.³ Namun, dalam praktik sosial,
perempuan tetap mengalami keterbatasan akses terhadap pendidikan formal. Ibn
Rushd bahkan sempat menegaskan, dalam komentarnya atas Plato, bahwa perbedaan
peran perempuan lebih disebabkan oleh konstruksi sosial ketimbang kodrat
biologis.⁴
Sementara
dalam filsafat Kristen abad pertengahan, tokoh seperti Thomas Aquinas
mengadopsi banyak gagasan Aristotelian. Aquinas menilai bahwa perempuan
memiliki kedudukan lebih rendah dalam hierarki penciptaan, meskipun tetap memiliki martabat sebagai
makhluk ciptaan Tuhan.⁵ Dengan demikian, posisi perempuan dalam filsafat abad
pertengahan masih ambivalen: secara teologis diakui martabatnya, tetapi secara
intelektual tetap dipandang subordinat.
3.3.
Pencerahan dan Modernitas
Memasuki
era Pencerahan, muncul kritik terhadap bias patriarkis dalam filsafat. René Descartes menekankan
bahwa cogito
ergo sum berlaku universal—baik untuk laki-laki maupun perempuan—karena
kesadaran berpikir tidak ditentukan oleh jenis kelamin.⁶ Mary Wollstonecraft,
salah satu pemikir feminis awal, menulis A Vindication of the Rights of Woman
(1792), yang menekankan bahwa perempuan bukanlah inferior secara intelektual,
melainkan korban dari sistem pendidikan yang timpang.⁷
Pada
abad ke-19, John Stuart Mill dalam The Subjection of Women menegaskan
bahwa pembatasan perempuan dalam ranah intelektual adalah bentuk tirani sosial
yang tidak rasional.⁸ Pemikiran ini menjadi titik balik dalam wacana kesetaraan
gender, yang
kemudian mendorong munculnya gerakan feminisme modern.
3.4.
Konteks Kontemporer
Abad
ke-20 dan ke-21 ditandai dengan kemunculan filsuf perempuan dan teori feminis
yang menolak bias androcentris dalam epistemologi. Simone de Beauvoir, melalui The
Second Sex (1949), menyatakan bahwa perempuan bukanlah subjek yang secara kodrati inferior,
melainkan dikonstruksi sebagai “the Other” dalam relasi dengan
laki-laki.⁹ Sementara itu, pemikir kontemporer seperti Martha Nussbaum
menekankan pentingnya pendekatan capabilities untuk mengukur
keadilan gender berdasarkan kesempatan yang nyata untuk berkembang.¹⁰
Fenomena
perempuan yang kini lebih berprestasi dalam dunia akademik dan profesional
dapat dipandang sebagai konsekuensi dari sejarah panjang perlawanan terhadap
bias patriarkis dalam filsafat dan struktur sosial. Dari Plato hingga feminisme kontemporer,
terlihat bahwa gagasan tentang kapasitas intelektual perempuan telah bergeser
dari penyangkalan menuju pengakuan dan aktualisasi.
Kesimpulan Historis
Secara
historis, filsafat mencerminkan perjalanan panjang dalam memahami peran
perempuan dalam ranah intelektual. Dari pandangan Aristoteles yang
subordinatif, gagasan egaliter Plato, ambivalensi abad pertengahan, kritik
Pencerahan, hingga refleksi feminisme kontemporer, dapat dilihat bahwa
intelektualitas bukanlah monopoli gender tertentu. Dengan demikian, fenomena
kekinian bukanlah anomali, melainkan buah dari transformasi sejarah yang
panjang.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(New York: Dover Publications, 2000), 1254b.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev.
C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 451c–457c.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy
(New York: Columbia University Press, 2004), 141–155.
[4]
Averroes, Commentary on Plato’s Republic,
trans. Ralph Lerner (Ithaca: Cornell University Press, 1974), 63.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
Q92, Art. 1.
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17.
[7]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights
of Woman (London: J. Johnson, 1792), 45.
[8]
John Stuart Mill, The Subjection of Women
(London: Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1869), 23.
[9]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011),
283–284.
[10]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 34–36.
4.
Kritik Epistemologis
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada
era kontemporer membuka ruang bagi kritik epistemologis terhadap sejarah
filsafat dan ilmu pengetahuan. Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang
membahas tentang hakikat pengetahuan, sumber, dan legitimasi kebenaran, telah
lama dipengaruhi oleh bias androcentris—yakni penempatan laki-laki sebagai
pusat tolok ukur rasionalitas. Kritik epistemologis menjadi penting untuk membongkar
asumsi-asumsi mendasar yang selama berabad-abad menyingkirkan perempuan dari
posisi sebagai subjek pengetahuan.
4.1.
Bias Androcentris dalam Sejarah Epistemologi
Sejak
filsafat Yunani klasik, pengetahuan telah diasosiasikan dengan kapasitas
rasional yang dilekatkan pada laki-laki. Aristoteles menempatkan laki-laki
sebagai wujud rasionalitas sempurna, sementara perempuan dianggap defektif
dalam hal
intelektualitas.¹ Paradigma ini kemudian diwariskan ke dalam tradisi Barat
maupun teologis, sehingga perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek
pengetahuan ketimbang produsen pengetahuan.
Hal
ini melahirkan apa yang oleh filsuf feminis Sandra Harding disebut “the master’s
voice”—suara dominan laki-laki yang mendefinisikan kriteria
validitas pengetahuan, sekaligus menyingkirkan perspektif perempuan.² Dengan
demikian, epistemologi klasik hingga modern awal telah mereproduksi bias gender
yang menghalangi pengakuan terhadap kapasitas intelektual perempuan.
4.2.
Kritik Feminist Epistemology
Epistemologi
feminis muncul sebagai respon kritis terhadap bias androcentris tersebut. Donna
Haraway mengajukan konsep “situated knowledges”, yang menekankan
bahwa semua pengetahuan selalu bersifat terletak (situated), tidak netral, dan
dipengaruhi oleh posisi sosial serta relasi kekuasaan.³ Dengan demikian, klaim
universalisme epistemologi tradisional perlu dipertanyakan, karena sering kali yang disebut universal
sejatinya adalah perspektif laki-laki yang diuniversalkan.
Selain
itu, Lorraine Code menegaskan pentingnya melihat perempuan sebagai knowing
subjects—subjek yang berhak membangun, menafsirkan, dan memvalidasi
pengetahuan.⁴
Dengan masuknya perempuan sebagai subjek epistemik, standar pengetahuan tidak
lagi didominasi oleh satu perspektif gender, melainkan terbuka bagi pluralitas
pengalaman.
4.3.
Epistemologi Kontemporer dan Dekonstruksi
Rasionalitas Maskulin
Fenomena
perempuan yang kini lebih menonjol dalam pendidikan dan prestasi akademik dapat
dipahami sebagai pembalikan posisi epistemik. Jika dulu perempuan dikonstruksi sebagai “yang
irasional” atau “yang emosional,” kini prestasi empiris mereka
membuktikan bahwa kapasitas intelektual tidak ditentukan oleh gender. Dengan
kata lain, fakta sosial kontemporer mendekonstruksi klaim epistemologi
tradisional yang mengidentikkan rasionalitas dengan maskulinitas.
Seyla
Benhabib menambahkan bahwa epistemologi yang sehat harus memberi ruang bagi interactive
universalism, yakni keterbukaan terhadap keragaman subjek pengetahuan
yang tetap diarahkan pada rasionalitas komunikatif.⁵ Hal ini relevan dengan
realitas di mana perempuan kini tidak sekadar menjadi konsumen pengetahuan, tetapi
produsen gagasan yang berpengaruh dalam dunia akademik dan profesional.
4.4.
Implikasi Epistemologis
Kritik
epistemologis atas bias androcentris memiliki implikasi penting. Pertama, ia
mengoreksi klaim bahwa pengetahuan bersifat netral, dengan menunjukkan bahwa ia
sarat dengan relasi kekuasaan gender. Kedua, ia mengafirmasi bahwa
intelektualitas perempuan bukanlah anomali, melainkan bukti empiris bahwa akses
terhadap pendidikan dan ruang publik memungkinkan semua manusia—tanpa memandang
gender—untuk mengembangkan potensi epistemiknya. Ketiga, ia menegaskan perlunya paradigma baru
dalam epistemologi yang menolak eksklusivitas dan menekankan inklusivitas,
pluralitas, serta keadilan epistemik.
Dengan
demikian, fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi pada era kontemporer menjadi argumen
kuat untuk meninjau ulang epistemologi tradisional, serta membangun kerangka
baru yang lebih adil dalam memahami dan mengakui kapasitas intelektual manusia.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(New York: Dover Publications, 2000), 1254b.
[2]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?
Thinking from Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991),
119–121.
[3]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.
[4]
Lorraine Code, What Can She Know? Feminist Theory
and the Construction of Knowledge (Ithaca: Cornell University Press,
1991), 76–79.
[5]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 154–160.
5.
Kritik Etis dan
Moral
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada
era kontemporer tidak hanya relevan dari segi epistemologis, tetapi juga
menimbulkan implikasi etis dan moral yang signifikan. Filsafat etika menekankan
bagaimana manusia bertindak, apa yang dianggap adil, dan bagaimana relasi antarindividu
dibangun berdasarkan prinsip-prinsip normatif. Dengan demikian, fenomena ini
dapat dilihat sebagai kritik terhadap ketidakadilan gender sekaligus tantangan
bagi moralitas masyarakat modern.
5.1.
Keadilan Gender dalam Perspektif Etis
Teori
keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls melalui prinsip justice
as fairness menekankan bahwa setiap orang berhak atas kesempatan
yang setara dalam mengakses sumber daya sosial, termasuk pendidikan dan
karier.¹ Jika kini perempuan tampak lebih unggul dalam dunia akademik, hal ini
dapat dipahami sebagai konsekuensi dari semakin terbukanya akses pendidikan
yang sebelumnya didominasi laki-laki. Artinya, keunggulan perempuan justru menegaskan bahwa ketika
kesempatan diberikan secara adil, prestasi tidak ditentukan oleh gender,
melainkan oleh usaha dan kompetensi.
Martha
Nussbaum, dengan pendekatan capabilities, menekankan bahwa
keadilan sejati tidak hanya soal distribusi formal kesempatan, melainkan juga
pemberian sarana nyata agar setiap individu dapat mengembangkan kemampuannya.² Fenomena ini
mengkritik ketidakadilan masa lalu, di mana perempuan dibatasi perannya, dan
kini memperlihatkan koreksi moral terhadap bias patriarkis.
5.2.
Kritik terhadap Privilege Maskulin
Secara
moral, fenomena ini sekaligus mengkritik privilege laki-laki dalam sejarah.
Selama berabad-abad, laki-laki menikmati posisi sosial yang lebih tinggi tanpa
harus membuktikan kompetensi intelektual yang sepadan.³ Ketika perempuan kini lebih berprestasi, hal
itu menjadi cermin bahwa keistimewaan gender tidak lagi cukup untuk
mempertahankan dominasi moral dan sosial.
Friedrich
Nietzsche menyinggung konsep ressentiment, yakni kecenderungan
kelompok dominan yang merasa terancam oleh munculnya kekuatan baru.⁴ Dalam
konteks ini, sebagian laki-laki mungkin merasakan krisis identitas ketika
perempuan menunjukkan keunggulan. Secara etis, sikap ini problematis, karena
menolak realitas meritokratis dan masih bergantung pada klaim hak istimewa
historis.
5.3.
Etika Relasional dan Tanggung Jawab Moral
Etika
relasional, sebagaimana dikembangkan oleh Nel Noddings, menekankan pentingnya
kepedulian (ethics of care) sebagai basis
moralitas.⁵ Fenomena perempuan yang berprestasi dapat dipahami bukan sekadar
sebagai kompetisi dengan laki-laki, tetapi sebagai kontribusi kolektif bagi
masyarakat. Dengan kata lain, keunggulan perempuan tidak boleh dipandang
sebagai ancaman, melainkan peluang untuk membangun relasi yang lebih seimbang,
adil, dan saling mendukung.
Hal
ini juga sejalan dengan prinsip Kantian tentang martabat manusia (dignity).
Immanuel Kant menekankan bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun
perempuan, harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan
sebagai alat bagi kepentingan sosial atau politik tertentu.⁶ Oleh karena itu,
menolak atau meremehkan prestasi perempuan adalah bentuk pelanggaran terhadap
martabat moral manusia.
5.4.
Implikasi Moral bagi Laki-laki dan Masyarakat
Fenomena
ini menantang laki-laki untuk merefleksikan kembali tanggung jawab moralnya.
Jika sebagian laki-laki mengalami penurunan prestasi, maka etisnya mereka tidak
boleh berlindung di balik stereotip gender, tetapi harus mengembangkan kembali
potensi intelektualnya. Kritik moral yang muncul adalah bahwa kelalaian laki-laki dalam
aktualisasi diri dapat menimbulkan ketidakadilan baru, di mana perempuan
memikul beban ganda sebagai aktor intelektual sekaligus sosial.
Bagi
masyarakat, fenomena ini merupakan momentum untuk mendobrak stereotip lama dan membangun tatanan etis
baru yang berbasis pada meritokrasi, solidaritas, dan tanggung jawab bersama.
Dengan demikian, keunggulan perempuan bukanlah alasan untuk melahirkan
“hegemoni baru,” tetapi untuk memperkuat keadilan gender yang sejati.
Kesimpulan Etis
Secara
etis dan moral, fenomena perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi
dibandingkan laki-laki dapat dibaca sebagai:
1)
Koreksi
terhadap bias patriarkis yang tidak adil.
2)
Kritik
terhadap privilege maskulin yang tidak berbasis kompetensi.
3)
Panggilan
bagi laki-laki untuk kembali mengaktualisasikan potensi moral dan
intelektualnya.
4)
Landasan
untuk membangun relasi sosial yang lebih adil, manusiawi, dan berbasis martabat
universal.
Catatan Kaki
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 53–55.
[2]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development:
The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
41–43.
[3]
Carole Pateman, The Sexual Contract
(Stanford: Stanford University Press, 1988), 118–120.
[4]
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 35–38.
[5]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to
Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press,
1984), 12–15.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
42–43.
6.
Perspektif
Eksistensial dan Antropologis
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada
era kontemporer juga perlu dianalisis dari perspektif eksistensial dan
antropologis. Dimensi eksistensial menyoroti bagaimana manusia mengaktualisasikan dirinya
secara otentik di tengah keterbatasan, sementara dimensi antropologis menelaah
hakikat manusia sebagai makhluk berakal, sosial, dan bermoral. Dengan
menggabungkan kedua perspektif ini, kita dapat memahami fenomena tersebut
sebagai bagian dari dinamika eksistensi manusia dalam masyarakat modern.
6.1.
Eksistensi Otentik Perempuan
Martin
Heidegger menekankan bahwa eksistensi manusia adalah being-in-the-world
(In-der-Welt-sein),
yang menuntut
setiap individu untuk merealisasikan kemungkinan dirinya secara otentik.¹ Dalam
konteks perempuan, eksistensi otentik berarti keberanian untuk melampaui
batasan tradisional yang membelenggu peran sosial dan intelektualnya. Prestasi
perempuan di bidang akademik dan profesional menunjukkan proses aktualisasi
eksistensi otentik tersebut: mereka tidak lagi terjebak pada peran yang “diberikan”
masyarakat, tetapi menentukan dirinya sendiri melalui pilihan dan usaha.
Simone
de Beauvoir menambahkan bahwa perempuan selama ini dikonstruksi sebagai the
Other, yaitu “yang lain” dari laki-laki.² Fenomena kontemporer
memperlihatkan upaya perempuan untuk keluar dari status “yang lain” dan
menjadi subjek eksistensial yang bebas. Dengan kata lain, prestasi perempuan adalah bentuk
perlawanan terhadap reduksi ontologis yang selama berabad-abad meminggirkan
mereka.
6.2.
Krisis Maskulinitas dan Kehilangan Aktualisasi
Di
sisi lain, fenomena ini juga menyingkap adanya krisis maskulinitas. Banyak
penelitian sosial menunjukkan bahwa laki-laki, terutama dalam masyarakat modern, mengalami penurunan
motivasi akademik dan kerap terjebak dalam pola hidup konsumtif.³ Dari sudut
pandang eksistensial, hal ini dapat dibaca sebagai ketidakmampuan sebagian
laki-laki untuk menghidupi eksistensi otentik mereka.
Jean-Paul
Sartre menyebut kondisi ini sebagai bad faith (mauvaise
foi), yakni sikap manusia yang menolak kebebasannya sendiri dengan
bersembunyi di balik peran sosial atau ekspektasi orang lain.⁴ Laki-laki yang
bergantung pada klaim “superioritas gender” tanpa usaha nyata dapat dikatakan
hidup dalam bad faith, karena mereka gagal
bertanggung jawab terhadap kebebasan dan potensi yang dimilikinya.
6.3.
Antropologi Filosofis: Hakikat Manusia sebagai
Makhluk Intelektual
Secara
antropologis, manusia didefinisikan sebagai animal rationale (makhluk
rasional).⁵ Hal ini berlaku universal tanpa memandang gender. Dengan demikian,
kapasitas intelektual perempuan yang kini lebih menonjol tidak boleh dilihat
sebagai anomali,
melainkan sebagai pengingat bahwa intelektualitas adalah bagian dari hakikat
manusia secara keseluruhan.
Filsuf
Islam klasik, seperti Ibn Sina, juga menekankan bahwa jiwa rasional (al-nafs
al-natiqah) bersifat universal, tidak terbatas pada jenis kelamin.⁶
Jika akses dan peluang diberikan, maka baik laki-laki maupun perempuan memiliki
potensi yang sama untuk mencapai kesempurnaan intelektual. Hal ini menegaskan
bahwa perbedaan prestasi kontemporer lebih merupakan persoalan sosiologis
ketimbang ontologis.
6.4.
Dimensi Sosial-Eksistensial
Secara
eksistensial, prestasi perempuan dapat dipahami sebagai will to
meaning (kehendak untuk menemukan makna), sebagaimana dikatakan
Viktor Frankl.⁷ Perempuan yang berjuang dalam dunia pendidikan dan karier
sedang menghidupi makna hidupnya dengan mengatasi hambatan sosial-historis.
Sementara itu, bagi laki-laki, fenomena ini menjadi panggilan untuk tidak
kehilangan makna, melainkan menemukan kembali eksistensi autentik melalui
pengembangan diri, bukan sekadar mengandalkan privilese gender.
Kesimpulan Eksistensial dan
Antropologis
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi adalah cermin dari aktualisasi
eksistensi otentik perempuan dan sekaligus kritik terhadap krisis eksistensi laki-laki.
Secara antropologis, hal ini menegaskan bahwa intelektualitas adalah kapasitas
universal manusia, bukan monopoli gender tertentu. Dengan demikian, pembacaan
eksistensial dan antropologis ini membuka ruang refleksi bahwa tugas moral
seluruh manusia adalah mengaktualisasikan potensi rasional dan eksistensialnya secara otentik, demi
tercapainya keutuhan kemanusiaan.
Catatan Kaki
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–85.
[2]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage, 2011),
283–285.
[3]
Michael Kimmel, Guyland: The Perilous World Where
Boys Become Men (New York: Harper, 2008), 102–107.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.
[5]
Ernst Cassirer, An Essay on Man (New Haven:
Yale University Press, 1944), 25–28.
[6]
Avicenna (Ibn Sina), The Book of Healing:
Psychology, trans. Fazlur Rahman (Oxford: Oxford University Press, 1959),
34–36.
[7]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 101–105.
7.
Kritik
Sosiologis-Filosofis
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada
era kontemporer tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial yang lebih luas.
Analisis sosiologis-filosofis penting untuk menyingkap bagaimana struktur
sosial, budaya, dan kekuasaan berperan dalam membentuk realitas ini. Kritik
sosiologis tidak hanya memotret fakta empiris, tetapi juga menggali makna filosofis
dari perubahan relasi gender di tengah masyarakat modern.
7.1.
Perubahan Struktur Sosial dan Akses Pendidikan
Sosiologi
pendidikan menunjukkan bahwa meningkatnya akses perempuan terhadap pendidikan
formal berkontribusi besar pada prestasi mereka.¹ Dahulu, struktur patriarki membatasi
perempuan dalam ranah domestik, sementara laki-laki lebih dominan di ranah
publik. Dengan terbukanya akses pendidikan, perempuan kini mampu menyaingi dan
bahkan melampaui laki-laki.
Pierre
Bourdieu, melalui konsep cultural capital, menjelaskan bahwa
prestasi seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan individu, tetapi juga
oleh akses terhadap sumber daya simbolik dan sosial.² Dalam konteks ini,
perempuan yang semakin memperoleh modal budaya (pendidikan, literasi,
keterampilan akademik) berhasil mengubah posisi sosialnya dalam masyarakat.
Fenomena ini sekaligus mengkritik dominasi simbolik laki-laki yang selama ini
dianggap sebagai pewaris utama modal budaya.
7.2.
Hegemoni, Kekuasaan, dan Gender
Antonio
Gramsci menegaskan bahwa dominasi sosial tidak hanya berlangsung melalui
kekuatan koersif, tetapi juga melalui hegemoni, yakni penerimaan nilai dan
norma oleh kelompok yang didominasi.³ Dalam masyarakat patriarkis, perempuan sering
menerima inferioritasnya sebagai sesuatu yang wajar. Namun, prestasi perempuan
kontemporer menunjukkan terjadinya pergeseran hegemoni: perempuan tidak lagi
menerima konstruksi inferior, tetapi membangun posisi baru sebagai subjek
intelektual.
Michel
Foucault menambahkan bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling terkait (power/ knowledge).⁴
Jika pengetahuan selama ini diproduksi oleh laki-laki, maka kekuasaan epistemik
juga berada di tangan mereka. Kini, ketika perempuan menjadi produsen
pengetahuan, struktur kekuasaan pun mengalami pergeseran. Fenomena ini
merupakan kritik filosofis terhadap relasi kuasa tradisional yang eksklusif dan
tidak inklusif gender.
7.3.
Nietzsche dan Dekadensi Maskulinitas
Dari
perspektif Nietzsche, fenomena ini dapat dibaca sebagai manifestasi will to
power perempuan—kehendak untuk melampaui keterbatasan historis dan menegaskan
eksistensinya.⁵ Sementara itu, sebagian laki-laki justru mengalami dekadensi,
yakni penurunan vitalitas dan kehilangan daya transformatif. Dekadensi
maskulinitas terlihat dalam menurunnya motivasi belajar, meningkatnya perilaku
konsumtif, dan kecenderungan untuk berlindung pada klaim identitas gender
ketimbang aktualisasi diri.
Dengan
demikian, perempuan berprestasi menjadi simbol kekuatan kreatif (creative
force) yang mampu melampaui hambatan sosial, sementara krisis maskulinitas merefleksikan
nihilisme pasif dalam masyarakat kontemporer.
7.4.
Implikasi Sosial-Filosofis
Fenomena
ini memiliki implikasi luas bagi masyarakat. Pertama, ia membongkar mitos bahwa
superioritas intelektual laki-laki adalah kodrat. Kedua, ia menegaskan
pentingnya meritokrasi dalam dunia pendidikan dan karier: prestasi ditentukan oleh kompetensi, bukan gender.
Ketiga, ia menantang masyarakat untuk menata ulang relasi gender secara lebih
adil dan setara.
Namun,
perlu diingat bahwa keberhasilan perempuan bukanlah tujuan akhir, melainkan
pintu masuk untuk membangun tatanan sosial baru yang lebih inklusif. Kritik
filosofis dalam konteks ini menekankan bahwa kesetaraan sejati hanya akan terwujud jika
keberhasilan perempuan tidak dipandang sebagai “anomali,” tetapi sebagai
bagian dari normalitas baru dalam masyarakat yang adil.
Kesimpulan
Sosiologis-Filosofis
Kritik
sosiologis-filosofis atas fenomena perempuan yang lebih intelektual dan
berprestasi menunjukkan bahwa realitas ini bukan sekadar hasil kompetisi
individual, melainkan buah dari transformasi struktural, kultural, dan
filosofis. Dengan terbukanya akses pendidikan, runtuhnya hegemoni patriarki, serta bergesernya
relasi kuasa epistemik, perempuan kini tampil sebagai subjek utama dalam dunia
intelektual. Secara filosofis, hal ini menuntut redefinisi gender, kekuasaan,
dan intelektualitas dalam masyarakat modern.
Catatan Kaki
[1]
Sylvia Walby, Gender Transformations (London:
Routledge, 1997), 64–66.
[2]
Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of
the Judgement of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1984), 114–117.
[3]
Antonio Gramsci, Selections from the Prison
Notebooks, trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York:
International Publishers, 1971), 12–13.
[4]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–28.
[5]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 112–115.
8.
Perspektif
Pendidikan dan Human Development
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada era
kontemporer tidak dapat dilepaskan dari peran pendidikan dan proses human
development (pengembangan manusia). Pendidikan berfungsi bukan
hanya sebagai transmisi pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana pembebasan dan pemberdayaan. Dalam konteks ini,
keunggulan perempuan dalam ranah akademik dapat
dipahami sebagai konsekuensi dari transformasi paradigma pendidikan modern, yang menekankan
kesetaraan akses, partisipasi aktif, dan pengembangan potensi individu.
8.1.
Pendidikan sebagai Sarana Emansipasi
Sejarah
mencatat bahwa keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan merupakan faktor
utama yang membuat mereka termarginalkan.¹ Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah
proses pembebasan yang memungkinkan manusia sadar akan penindasan dan mengambil
langkah untuk membebaskan dirinya.² Perempuan yang semakin banyak menempuh
pendidikan tinggi merepresentasikan praktik emansipasi tersebut: mereka bukan
lagi objek sistem sosial patriarkis, tetapi subjek yang aktif membangun
dirinya.
Dalam
konteks ini, prestasi perempuan dapat dilihat sebagai keberhasilan pendidikan
dalam membuka ruang kesetaraan, sekaligus kritik terhadap sistem lama yang membatasi mereka.
8.2.
Human Development dan Aktualisasi Potensi
Konsep
human
development yang dipopulerkan oleh Amartya Sen dan Martha Nussbaum
melalui pendekatan capabilities menekankan pentingnya
memberikan kesempatan nyata bagi setiap individu untuk mengembangkan
kemampuannya.³ Ketika perempuan kini lebih unggul dalam dunia akademik, hal itu menunjukkan bahwa
mereka berhasil memanfaatkan peluang capabilities yang tersedia.
Prestasi
ini sekaligus membuktikan bahwa kemampuan intelektual adalah universal, tidak
terbatas pada gender, dan dapat berkembang optimal ketika lingkungan sosial dan
pendidikan mendukungnya.⁴ Dengan demikian, fenomena ini merupakan contoh konkret
bagaimana human
development dapat mengubah struktur sosial yang timpang menjadi
lebih adil.
8.3.
Orientasi Pendidikan Laki-laki dan Perempuan
Sosiologi
pendidikan juga mencatat adanya perbedaan orientasi dalam proses belajar antara
laki-laki dan perempuan. Beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih tekun,
terstruktur, dan disiplin dalam dunia akademik, sementara sebagian laki-laki
lebih mudah teralihkan oleh faktor eksternal seperti hiburan atau tuntutan
sosial maskulinitas.⁵ Hal ini menimbulkan kritik filosofis bahwa paradigma
pendidikan bagi laki-laki perlu dievaluasi ulang: apakah sistem sosial telah
mendorong mereka untuk berfokus pada prestasi intelektual, atau justru
melanggengkan stereotip bahwa laki-laki tidak perlu membuktikan diri secara
akademik?
8.4.
Pendidikan Humanistik dan Karakter
Filsafat
pendidikan Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan sebagai upaya
menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya.⁶ Pendidikan yang humanistik ini sejalan dengan
gagasan Nel Noddings tentang ethics of care dalam pendidikan,
yang menekankan kepedulian, relasi, dan pembentukan karakter.⁷ Prestasi perempuan dalam dunia
pendidikan dapat dilihat sebagai buah dari model pendidikan yang lebih
inklusif, yang tidak hanya mengajarkan keterampilan kognitif, tetapi juga
membentuk daya juang, tanggung jawab, dan orientasi moral.
8.5.
Implikasi untuk Masa Depan
Fenomena
perempuan yang lebih berprestasi menuntut pergeseran paradigma pendidikan
secara keseluruhan.
Pendidikan tidak lagi boleh dipahami sebagai sarana reproduksi struktur
patriarkis, tetapi harus menjadi wadah untuk membangun manusia seutuhnya—baik
laki-laki maupun perempuan—agar mampu hidup otentik, adil, dan bertanggung
jawab. Dalam kerangka human development, prestasi
perempuan bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi langkah menuju masyarakat yang
lebih meritokratis dan berkeadilan gender.
Kesimpulan Pendidikan dan
Human Development
Dari
perspektif pendidikan dan human development, fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi adalah bukti konkret dari
keberhasilan paradigma pendidikan yang lebih inklusif dan emansipatoris. Namun, sekaligus terdapat
kritik bahwa laki-laki masih perlu didorong untuk mengembangkan kembali etos
belajar dan orientasi intelektualnya. Dengan demikian, pendidikan harus
diarahkan tidak hanya untuk menyeimbangkan prestasi, tetapi juga untuk
membangun kesadaran moral, solidaritas sosial, dan aktualisasi potensi manusia
secara universal.
Catatan Kaki
[1]
Sylvia Walby, Gender Transformations (London:
Routledge, 1997), 89–92.
[2]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
[3]
Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Anchor Books, 1999), 87–89.
[4]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 32–35.
[5]
Claudia Buchmann and Thomas A. DiPrete, “The Growing
Female Advantage in College Completion: The Role of Family Background and
Academic Achievement,” American Sociological Review 71, no. 4 (2006):
515–541.
[6]
Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman
Siswa, 1967), 14.
[7]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to
Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press,
1984), 22–24.
9.
Relevansi
Kontemporer
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki tidak
dapat dipandang hanya sebagai perubahan statistik pendidikan, tetapi juga sebagai realitas yang memiliki
implikasi luas dalam konteks kontemporer. Relevansi fenomena ini tampak dalam
dunia akademik, pasar kerja, relasi keluarga, serta dinamika sosial-politik
global. Dengan membaca fenomena ini secara filosofis, kita dapat memahami
bagaimana perubahan gender dalam intelektualitas merefleksikan transformasi
nilai, struktur sosial, dan arah perkembangan masyarakat.
9.1.
Relevansi dalam Dunia Akademik
Prestasi
perempuan di dunia pendidikan merupakan indikator penting dari kesetaraan gender dalam ranah
intelektual. Data OECD menunjukkan bahwa tingkat kelulusan perempuan di
pendidikan tinggi di banyak negara melampaui laki-laki.¹ Fenomena ini bukan
hanya mengoreksi pandangan tradisional tentang inferioritas intelektual
perempuan, tetapi juga menuntut dunia akademik untuk menyesuaikan paradigma pedagogi
agar lebih sensitif terhadap dinamika gender.
Hal
ini sejalan dengan pemikiran bell hooks yang menekankan pentingnya engaged
pedagogy, yakni pendidikan yang inklusif, kritis, dan memampukan
semua peserta didik tanpa memandang latar belakang gender.² Dengan demikian,
keberhasilan perempuan dalam dunia akademik mendorong terciptanya pendidikan
yang lebih adil dan partisipatif.
9.2.
Relevansi dalam Dunia Kerja dan Profesional
Di
ranah profesional, keunggulan akademik perempuan semakin berkontribusi pada
pergeseran struktur tenaga kerja. Martha Nussbaum menegaskan bahwa keadilan
gender harus diukur dari kesempatan yang nyata bagi perempuan untuk
berpartisipasi dalam ranah publik.³ Realitas kontemporer menunjukkan bahwa perempuan
kini hadir tidak hanya sebagai pekerja, tetapi juga sebagai pemimpin di
berbagai bidang, mulai dari politik, bisnis, hingga akademia.
Namun,
tantangan tetap ada: meskipun perempuan lebih unggul dalam pendidikan, kesenjangan upah (gender
pay gap) dan hambatan struktural (glass ceiling) masih terjadi di
banyak negara.⁴ Oleh karena itu, relevansi fenomena ini bukan hanya soal
keberhasilan perempuan, tetapi juga soal kebutuhan reformasi institusi agar prestasi
intelektual dapat diterjemahkan ke dalam keadilan struktural.
9.3.
Relevansi dalam Relasi Keluarga dan Sosial
Prestasi
perempuan juga memengaruhi dinamika keluarga. Dengan meningkatnya pendidikan
dan karier
perempuan, pola relasi dalam keluarga bergeser dari model tradisional yang
hierarkis menuju model yang lebih egaliter. Anthony Giddens menyebut
transformasi ini sebagai pure relationship, yakni relasi
yang dibangun berdasarkan kesetaraan, komunikasi, dan pilihan sadar, bukan lagi
karena tradisi semata.⁵
Fenomena
ini menantang konstruksi maskulinitas tradisional, yang sering mengukur nilai
laki-laki dari peran ekonomi. Jika perempuan lebih berprestasi, laki-laki dituntut
menemukan bentuk kontribusi baru yang tidak semata-mata ekonomis, tetapi juga
afektif, moral, dan intelektual.
9.4.
Relevansi Global dan Sosio-Politik
Dalam
konteks global, keberhasilan perempuan dalam ranah intelektual dan profesional
berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Perserikatan Bangsa-Bangsa
menempatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai salah satu Sustainable
Development Goals (SDG 5).⁶ Fenomena perempuan yang lebih
berprestasi memperlihatkan bahwa tujuan ini bukan hanya ideal normatif,
melainkan kenyataan empiris yang mulai terwujud.
Namun,
masih ada paradoks: di satu sisi perempuan semakin diakui sebagai aktor
intelektual dan sosial, tetapi di sisi lain masih menghadapi diskriminasi,
kekerasan berbasis gender, dan keterbatasan akses di wilayah tertentu. Secara
filosofis, hal ini menegaskan bahwa perjuangan kesetaraan gender bukanlah
proses yang selesai, melainkan terus berlangsung.
9.5.
Refleksi Filosofis Kontemporer
Relevansi
fenomena ini dapat dirangkum dalam tiga refleksi filosofis. Pertama, ia
menegaskan bahwa intelektualitas adalah kapasitas universal manusia, sehingga klaim superioritas gender
dalam rasionalitas tidak lagi valid. Kedua, ia mendorong masyarakat untuk
membangun struktur sosial-politik yang berbasis meritokrasi dan keadilan
gender. Ketiga, ia mengingatkan laki-laki agar tidak terjebak dalam krisis
identitas, tetapi justru menjadikan fenomena ini sebagai panggilan untuk
mengaktualisasikan potensi dirinya secara otentik.
Kesimpulan Relevansi
Kontemporer
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi memiliki relevansi luas dalam
dunia modern. Ia merefleksikan perubahan paradigma pendidikan, menggeser struktur dunia
kerja, menata ulang relasi keluarga, dan berkontribusi pada agenda global
pembangunan berkelanjutan. Filosofisnya, fenomena ini mengajarkan bahwa
keadilan gender bukan hanya isu moral, tetapi juga fondasi peradaban yang lebih
adil, rasional, dan manusiawi.
Catatan Kaki
[1]
OECD, Education at a Glance 2022: OECD Indicators
(Paris: OECD Publishing, 2022), 110.
[2]
bell hooks, Teaching to Transgress: Education as
the Practice of Freedom (New York: Routledge, 1994), 13–15.
[3]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development:
The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
42–45.
[4]
World Economic Forum, Global Gender Gap Report
2023 (Geneva: WEF, 2023), 28–30.
[5]
Anthony Giddens, The Transformation of Intimacy:
Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies (Stanford: Stanford
University Press, 1992), 58–60.
[6]
United Nations, Transforming Our World: The 2030
Agenda for Sustainable Development (New York: UN, 2015), Goal 5.
10.
Sintesis dan
Refleksi Filosofis
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan laki-laki pada
era kontemporer telah ditelaah melalui berbagai perspektif: epistemologis, etis,
eksistensial, sosiologis, hingga pendidikan. Bab ini berfungsi sebagai sintesis
sekaligus ruang refleksi filosofis untuk mengintegrasikan temuan-temuan
tersebut dalam suatu kerangka yang lebih utuh.
10.1.
Rekonstruksi Epistemologi Inklusif
Dari
segi epistemologi, fenomena ini menegaskan bahwa intelektualitas bukanlah
domain eksklusif laki-laki, melainkan kapasitas universal manusia. Pandangan
Aristoteles tentang inferioritas rasional perempuan¹ terbukti rapuh ketika
diuji oleh kenyataan empiris kontemporer. Feminist epistemology, sebagaimana
digagas Donna Haraway melalui konsep situated knowledges, menunjukkan
bahwa klaim netralitas pengetahuan selama ini bias gender.² Oleh karena itu,
sintesis epistemologis yang dapat diambil adalah perlunya membangun
epistemologi inklusif—yakni cara pandang yang mengakui pluralitas pengalaman
manusia sebagai sumber sahih pengetahuan.
10.2.
Rekontekstualisasi Etika dan Keadilan Gender
Secara
etis, fenomena perempuan yang lebih berprestasi adalah kritik terhadap privilese maskulin
dalam sejarah. John Rawls menekankan bahwa keadilan harus dimaknai sebagai
kesetaraan kesempatan,³ sementara Nussbaum menambahkan bahwa keadilan sejati
mensyaratkan adanya capabilities yang nyata bagi semua
individu.⁴ Dalam konteks ini, kesuksesan perempuan menjadi bukti keberhasilan
sebagian upaya keadilan, sekaligus pengingat bahwa struktur sosial masih perlu
direformasi agar laki-laki maupun perempuan sama-sama didorong untuk berkembang.
Refleksi filosofisnya: moralitas manusia seutuhnya tidak dapat direduksi pada
gender, melainkan pada aktualisasi kebebasan dan tanggung jawab.
10.3.
Eksistensi dan Krisis Maskulinitas
Dari
sisi eksistensial, keberhasilan perempuan adalah wujud eksistensi otentik
sebagaimana dibicarakan Heidegger—yakni keberanian untuk melampaui keterbatasan
sosial dan menegaskan diri dalam dunia.⁵ Sebaliknya, penurunan prestasi
laki-laki dapat dipahami sebagai bentuk bad faith Sartrean, yakni sikap
lari dari tanggung jawab kebebasan dengan bersandar pada klaim identitas gender
semata.⁶ Refleksi filosofisnya adalah bahwa krisis maskulinitas tidak
seharusnya dipandang sebagai ancaman dari perempuan, tetapi sebagai tantangan
bagi laki-laki untuk kembali mengaktualisasikan dirinya secara otentik.
10.4.
Sintesis Sosiologis-Filosofis
Secara
sosiologis, fenomena ini menunjukkan pergeseran struktur kekuasaan pengetahuan
(power/knowledge)
sebagaimana dikemukakan Foucault.⁷ Ketika perempuan menjadi produsen
pengetahuan, dominasi epistemik laki-laki mengalami dekonstruksi. Dari sudut
Nietzschean, hal ini dapat dibaca sebagai will to power perempuan untuk
melampaui hambatan historis, sekaligus kritik terhadap dekadensi maskulinitas
yang gagal menghidupi vitalitas kreatif.⁸ Sintesisnya adalah bahwa transformasi sosial hanya dapat
bertahan jika kedua gender bersama-sama berkontribusi dalam membangun
peradaban, bukan saling menegasikan.
10.5.
Refleksi Humanistik dan Universal
Akhirnya,
refleksi filosofis tertinggi dari fenomena ini adalah bahwa intelektualitas,
prestasi, dan aktualisasi diri adalah bagian dari human condition yang universal.
Viktor Frankl menegaskan bahwa manusia menemukan makna hidup melalui usaha mengatasi
penderitaan dan keterbatasan.⁹ Prestasi perempuan dalam dunia kontemporer
adalah bukti pencarian makna itu, sementara laki-laki dipanggil untuk menemukan
makna baru dalam situasi perubahan sosial. Dengan demikian, fenomena ini tidak
boleh dilihat sebagai kemenangan satu gender atas gender lain, melainkan
sebagai kesempatan untuk merealisasikan keutuhan kemanusiaan.
Kesimpulan Sintesis
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi merupakan titik balik dalam
sejarah relasi gender. Ia menegaskan runtuhnya mitos superioritas rasional
laki-laki, mengafirmasi pentingnya keadilan gender, membuka ruang bagi
eksistensi otentik, dan mengubah peta sosial-epistemik masyarakat. Refleksi filosofis akhirnya
menuntun pada pemahaman bahwa tujuan sejati bukanlah dominasi gender tertentu,
melainkan terciptanya masyarakat humanistik yang adil, rasional, dan bermakna.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(New York: Dover Publications, 2000), 1254b.
[2]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1971), 53–55.
[4]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 33–37.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John
Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–85.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.
[7]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–28.
[8]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Modern Library, 1995), 112–115.
[9]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 101–105.
11.
Penutup
Fenomena
kontemporer di mana perempuan lebih intelektual dan berprestasi dibandingkan
laki-laki telah menghadirkan tantangan baru dalam wacana filsafat, etika,
sosiologi, dan pendidikan. Artikel ini menunjukkan bahwa fenomena tersebut bukanlah
sekadar data empiris, tetapi cermin dari transformasi historis, epistemologis,
dan moral yang menuntut refleksi filosofis mendalam.
Secara
historis, perjalanan pemikiran tentang peran perempuan dalam intelektualitas
bergerak dari subordinasi di era klasik hingga pengakuan dan aktualisasi dalam
era modern dan kontemporer.¹ Secara epistemologis, keunggulan perempuan
menyingkap bias androcentris yang selama ini mendominasi filsafat dan ilmu
pengetahuan, serta menegaskan perlunya epistemologi inklusif yang mengakui pluralitas
pengalaman.² Dari perspektif etis, fenomena ini menjadi kritik terhadap
privilese maskulin dan sekaligus afirmasi terhadap keadilan gender, sebagaimana
dirumuskan dalam teori keadilan dan pendekatan capabilities.³
Dimensi
eksistensial memperlihatkan bahwa prestasi perempuan adalah ekspresi eksistensi
otentik, sementara krisis prestasi laki-laki dapat dilihat sebagai gejala bad
faith atau kehilangan aktualisasi diri.⁴ Secara sosiologis,
fenomena ini mendekonstruksi hegemoni patriarki dan memunculkan konfigurasi baru relasi kuasa
pengetahuan.⁵ Dalam konteks pendidikan dan human development, keunggulan
perempuan menunjukkan keberhasilan paradigma pendidikan yang lebih inklusif,
sekaligus mengingatkan bahwa laki-laki perlu membangun kembali etos belajar dan
orientasi intelektualnya.⁶
Relevansi
kontemporer fenomena ini meluas ke dunia akademik, pasar kerja, relasi
keluarga, dan politik global, di mana perempuan kini tampil sebagai aktor utama
dalam pembangunan
masyarakat.⁷ Namun, tantangan berupa kesenjangan struktural, diskriminasi, dan
krisis maskulinitas tetap perlu direspons dengan serius.
Refleksi
filosofis akhirnya menuntun pada pemahaman bahwa tujuan utama dari fenomena ini
bukanlah dominasi gender tertentu, melainkan terciptanya tatanan sosial yang
lebih adil, rasional, dan manusiawi. Sejalan dengan gagasan Viktor Frankl bahwa manusia menemukan
makna hidup melalui perjuangan melampaui keterbatasan,⁸ prestasi perempuan
adalah bukti bahwa makna dapat diwujudkan ketika kesempatan dan potensi
diberdayakan.
Kesimpulan Akhir
Fenomena
perempuan yang lebih intelektual dan berprestasi dibanding laki-laki:
1)
Meruntuhkan
mitos superioritas rasional laki-laki.
2)
Menegaskan
keadilan gender sebagai basis moral dan epistemik.
3)
Mengingatkan
laki-laki untuk mengaktualisasikan kembali eksistensinya secara otentik.
4)
Membuka
jalan menuju masyarakat meritokratis dan humanistik.
Dengan
demikian, fenomena ini bukanlah ancaman, melainkan peluang bagi umat manusia
untuk membangun paradigma baru tentang intelektualitas, gender, dan kemanusiaan—sebuah paradigma
yang berakar pada kesetaraan, kebebasan, dan tanggung jawab moral.
Catatan Kaki
[1]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights
of Woman (London: J. Johnson, 1792), 45.
[2]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.
[3]
Martha C. Nussbaum, Women and Human Development:
The Capabilities Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
42–45.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 86–89.
[5]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth
of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage, 1995), 27–28.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
[7]
World Economic Forum, Global Gender Gap Report
2023 (Geneva: WEF, 2023), 28–30.
[8]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 101–105.
Daftar Pustaka
Aristotle.
(1986). De anima (H. Lawson-Tancred, Trans.). Penguin Classics.
Aristotle.
(2000). Politics (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.
Averroes.
(1974). Commentary on Plato’s Republic (R. Lerner, Trans.). Cornell
University Press.
Beauvoir,
S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier,
Trans.). Vintage.
Benhabib,
S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in
contemporary ethics. Routledge.
Bourdieu,
P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste
(R. Nice, Trans.). Harvard University Press.
Buchmann,
C., & DiPrete, T. A. (2006). The growing female advantage in college
completion: The role of family background and academic achievement. American
Sociological Review, 71(4), 515–541.
Cassirer,
E. (1944). An essay on man. Yale University Press.
Code, L.
(1991). What can she know? Feminist theory and the construction of knowledge.
Cornell University Press.
Craig, E.
(2005). The shorter Routledge encyclopedia of philosophy. Routledge.
Dewantara,
K. H. (1967). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewey, J.
(1916). Democracy and education. Macmillan.
Fakhry, M.
(2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University
Press.
Foucault,
M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A.
Sheridan, Trans.). Vintage.
Frankl, V.
E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.
Freire, P.
(2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Giddens,
A. (1992). The transformation of intimacy: Sexuality, love and eroticism in
modern societies. Stanford University Press.
Habermas,
J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the
rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Haraway,
D. (1988). Situated knowledges: The science question in feminism and the
privilege of partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.
Heidegger,
M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.).
Harper & Row.
hooks, b.
(1994). Teaching to transgress: Education as the practice of freedom.
Routledge.
Kant, I.
(1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.).
Cambridge University Press.
Kimmel, M.
(2008). Guyland: The perilous world where boys become men. Harper.
Maslow, A.
H. (1954). Motivation and personality. Harper & Row.
Mill, J.
S. (1869). The subjection of women. Longmans, Green, Reader, and Dyer.
Nietzsche,
F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage
Books.
Nietzsche,
F. (1995). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Modern
Library.
Noddings,
N. (1984). Caring: A feminine approach to ethics and moral education.
University of California Press.
Nussbaum,
M. C. (2000). Women and human development: The capabilities approach.
Cambridge University Press.
Nussbaum,
M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach.
Harvard University Press.
OECD.
(2022). Education at a glance 2022: OECD indicators.
OECD Publishing.
Pateman,
C. (1988). The sexual contract. Stanford University Press.
Plato.
(1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.; C. D. C. Reeve, Rev.).
Hackett.
Rawls, J.
(1971). A theory of justice. Harvard University Press.
Sartre,
J.-P. (1992). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington
Square Press.
Sen, A.
(1999). Development as freedom. Anchor Books.
Thomas
Aquinas. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican
Province, Trans.). Benziger Bros.
United
Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for sustainable
development. United Nations.
Walby, S.
(1997). Gender transformations. Routledge.
Walby, S.
(2011). The future of feminism. Polity Press.
Wollstonecraft,
M. (1792). A vindication of the rights of woman. J. Johnson.
World
Economic Forum. (2023). Global gender gap report 2023. World Economic
Forum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar