Akhiran -is dan -isme
Analisis Linguistik, Historis, dan Sosiologis dalam
Konteks Bahasa Indonesia
Alihkan ke: Bahasa Indonesia Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif fungsi dan makna akhiran
serapan -is dan -isme dalam bahasa Indonesia dengan pendekatan
linguistik, historis, dan sosiologis. Sufiks -is umumnya menunjuk pada individu
atau kelompok pelaku serta penganut suatu ideologi, sedangkan -isme digunakan
untuk menandai paham, ajaran, sistem, atau aliran yang lebih abstrak. Analisis
menunjukkan bahwa kedua akhiran ini memiliki hubungan semantis yang erat, di
mana -is mewakili dimensi personal (subjektif) dan -isme merepresentasikan
dimensi ideologis (objektif).
Secara historis, masuknya kedua akhiran melalui kolonialisme Belanda dan
kontak dengan literatur Barat memperlihatkan bahwa perkembangan bahasa sangat
dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan budaya global. Secara
sosiologis, penggunaan -is dan -isme sering berfungsi sebagai label identitas
maupun instrumen diskursif yang dapat mengukuhkan atau mendelegitimasi ideologi
tertentu. Artikel ini juga menyoroti kritik terhadap penggunaan yang salah
kaprah, pergeseran makna, serta dinamika pemakaian dalam wacana populer.
Refleksi akhir menegaskan bahwa bahasa tidak pernah netral; ia selalu
menjadi arena pertarungan simbolik yang membentuk identitas dan realitas
sosial. Kesadaran kritis terhadap penggunaan -is dan -isme diperlukan agar
masyarakat dapat menggunakan bahasa sebagai sarana dialog, refleksi, dan
transformasi sosial yang lebih inklusif.
Kata Kunci: Bahasa
Indonesia; morfologi; sufiks
-is; sufiks -isme; ideologi; sosiolinguistik; semantik; wacana.
PEMBAHASAN
Analisis Linguistik, Historis, dan Sosiologis Akhiran -is
dan -isme
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Masalah
Bahasa Indonesia, sebagai bahasa
nasional dan bahasa ilmu pengetahuan, terus mengalami perkembangan melalui
penyerapan kosakata asing, terutama dari bahasa Arab, Sanskerta, Belanda,
Inggris, dan Prancis. Salah satu fenomena menarik dalam kajian morfologi bahasa
Indonesia adalah masuknya akhiran serapan seperti -is dan -isme.
Kedua akhiran ini berperan penting dalam pembentukan istilah yang terkait
dengan identitas individu, profesi, maupun paham ideologis. Misalnya, kata aktif
berkembang menjadi aktivis (penyebutan pelaku) dan aktivisme
(penyebutan gerakan atau paham) yang memperlihatkan relasi erat antara individu
dan ideologi.¹
Dalam kajian linguistik, akhiran -is
lazimnya berfungsi menunjuk pada orang (pelaku atau penganut suatu ajaran),
sedangkan -isme menunjuk pada paham, aliran, atau ideologi.² Hal ini
menunjukkan bahwa -is lebih bersifat personal dan subyektif, sementara -isme
bersifat abstrak, kolektif, dan konseptual. Perbedaan fungsi semantis ini tidak
hanya berimplikasi pada pembentukan kata, tetapi juga pada cara masyarakat
membingkai identitas sosial dan ideologi.³
Di ranah sosial-politik, istilah yang
berakhiran -is sering kali dipakai sebagai label terhadap individu atau
kelompok, baik dengan konotasi positif maupun negatif. Sebagai contoh,
penyebutan komunis di Indonesia sarat dengan muatan politis dan stigma
historis, sedangkan nasionalis cenderung bernilai positif dalam konteks
kebangsaan.⁴ Sementara itu, akhiran -isme seperti kapitalisme, komunisme,
dan nasionalisme dipakai untuk menunjuk sistem, ideologi, atau aliran
besar yang memengaruhi sejarah dan dinamika sosial masyarakat.⁵
Fenomena ini memperlihatkan bahwa
bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena pertarungan makna dan
kekuasaan. Istilah dengan akhiran -is dan -isme kerap kali menjadi instrumen
politik wacana, baik untuk memperkuat identitas maupun untuk melakukan
delegitimasi.⁶ Oleh karena itu, kajian mengenai fungsi dan makna kedua akhiran
ini penting untuk memahami bagaimana bahasa membentuk realitas sosial,
ideologi, dan budaya di Indonesia.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penelitian
ini merumuskan beberapa pertanyaan:
1)
Apa fungsi morfologis
akhiran -is dan -isme dalam bahasa Indonesia?
2)
Bagaimana makna konseptual
keduanya dalam perkembangan istilah di berbagai bidang?
3)
Apa perbedaan dan hubungan
semantis di antara keduanya?
4)
Bagaimana implikasi sosial,
ideologis, dan budaya dari penggunaan istilah yang berakhiran -is dan -isme?
1.3.
Tujuan Penelitian
Kajian ini bertujuan untuk:
1)
Mendeskripsikan fungsi
linguistik dan semantis akhiran -is dan -isme.
2)
Menelusuri asal-usul
historis dan proses masuknya ke dalam bahasa Indonesia.
3)
Menganalisis hubungan
antara penggunaan istilah berakhiran -is dan -isme dengan identitas sosial,
politik, dan budaya.
4)
Memberikan kontribusi bagi
kajian linguistik, filsafat bahasa, dan analisis wacana kritis di Indonesia.
1.4.
Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini
diharapkan memperkaya studi linguistik Indonesia, khususnya dalam bidang
morfologi serapan dan semantik. Secara praktis, kajian ini dapat membantu
masyarakat dan akademisi memahami nuansa makna yang terkandung dalam istilah
berakhiran -is dan -isme, sehingga dapat menggunakannya dengan lebih kritis dan
reflektif.
Footnotes
[1]
Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam
Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2013), 45.
[2]
Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 112.
[3]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 78.
[4]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966:
Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 23.
[5]
Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006),
142.
[6]
Norman Fairclough, Language and Power (London:
Routledge, 2015), 51.
2.
Landasan Teoretis
2.1.
Kajian Morfologi
dalam Bahasa Indonesia
Morfologi adalah cabang linguistik yang
mempelajari struktur internal kata serta proses pembentukannya. Dalam bahasa
Indonesia, salah satu proses penting adalah afiksasi, yaitu penambahan imbuhan
pada kata dasar untuk menghasilkan bentuk baru dengan makna tertentu.¹ Afiksasi
dalam bahasa Indonesia meliputi prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks, baik asli
maupun serapan.²
Dalam konteks kajian ini, akhiran -is
dan -isme termasuk ke dalam sufiks serapan yang masuk melalui pengaruh
bahasa asing. Kehadirannya memperkaya kosakata bahasa Indonesia, terutama dalam
bidang akademik, filsafat, politik, dan seni.³ Dengan demikian, studi morfologi
menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana kedua akhiran tersebut berfungsi
dalam sistem bahasa Indonesia.
2.2.
Asal-usul Historis
Akhiran -is dan -isme
Secara etimologis, akhiran -is dan
-isme berasal dari bahasa Yunani dan Latin, kemudian diserap ke dalam
bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis, Belanda, dan Inggris.⁴ Sufiks -is
dalam bahasa Yunani berfungsi membentuk kata benda yang menunjuk pada individu
atau pelaku, sedangkan sufiks -ismos (yang berkembang menjadi -isme)
menunjuk pada ajaran, sistem, atau aliran tertentu.⁵
Melalui kolonialisme Belanda dan
penetrasi literatur Barat, sufiks-sufiks tersebut masuk ke dalam bahasa
Indonesia.⁶ Contohnya dapat ditemukan dalam istilah komunis/komunisme, kapitalis/kapitalisme,
dan nasionalis/nasionalisme.⁷ Dengan demikian, pemahaman tentang akar
historis ini penting untuk menyingkap makna konseptual yang terkandung di dalam
istilah-istilah tersebut.
2.3.
Kerangka Semantik
dan Pragmatik
Secara semantis, perbedaan utama antara
-is dan -isme terletak pada fokus makna:
·
-is berorientasi
pada individu atau kelompok yang menjadi pelaku atau penganut.
·
-isme berorientasi
pada sistem ide, doktrin, atau aliran yang dianut.⁸
Dari sudut pandang pragmatik,
penggunaan istilah dengan akhiran ini sering kali membawa implikasi sosial.
Misalnya, sebutan aktivis tidak sekadar menunjuk orang yang aktif,
tetapi juga mengandung makna ideologis yang melekat pada gerakan tertentu.⁹
Demikian pula, istilah kapitalisme atau sosialisme tidak netral
secara makna, melainkan sarat dengan nilai, posisi, dan ideologi yang
diperdebatkan.¹⁰
2.4.
Kerangka
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik memandang bahasa
sebagai bagian dari kehidupan sosial, tempat terjadinya proses identifikasi,
labelisasi, dan negosiasi makna.¹¹ Akhiran -is dan -isme dalam bahasa Indonesia
berfungsi bukan hanya secara linguistik, tetapi juga sebagai penanda identitas
sosial dan ideologis.
Istilah berakhiran -is sering
dipakai untuk memberi label pada individu atau kelompok, terkadang dalam
konteks stigma, seperti komunis di Indonesia pasca-1965.¹² Sebaliknya,
istilah berakhiran -isme sering digunakan untuk menandai wacana besar,
misalnya nasionalisme yang dipandang positif dalam konstruksi
kebangsaan.¹³
Dengan kerangka ini, jelas bahwa
penggunaan -is dan -isme tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, politik,
dan budaya yang melingkupinya. Bahasa, dalam hal ini, menjadi arena pertarungan
simbolik yang menentukan bagaimana identitas dan ideologi dipahami di
masyarakat.¹⁴
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 63.
[2]
Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam
Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2013), 22.
[3]
Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 119.
[4]
Philip Baldi, The Foundations of Latin (Berlin:
Walter de Gruyter, 2002), 95.
[5]
Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is
Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 67.
[6]
James Sneddon, The Indonesian Language: Its History
and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 88.
[7]
Bambang Kaswanti Purwo, Serapan Bahasa Asing dalam
Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000), 41.
[8]
John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 142.
[9]
Norman Fairclough, Language and Power (London:
Routledge, 2015), 63.
[10]
Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A
Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 51.
[11]
Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction
to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 34.
[12]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966:
Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 26.
[13]
Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006),
148.
[14]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 75.
3.
Fungsi Morfologis
Akhiran -is
3.1.
Akhiran -is sebagai
Penunjuk Pelaku
Dalam sistem morfologi bahasa
Indonesia, akhiran -is sering berfungsi menunjuk pada individu atau
kelompok yang menjadi pelaku suatu aktivitas.¹ Contoh paling jelas terlihat
pada kata aktif yang membentuk aktivis, yakni orang yang
senantiasa terlibat secara aktif dalam suatu gerakan sosial, politik, atau
budaya.² Demikian pula, istilah analis (dari kata analisis)
menunjuk pada orang yang melakukan kegiatan analisis.³
Fungsi ini memperlihatkan peran sufiks
-is sebagai pembentuk nomina personal, yang menekankan identitas individu dalam
hubungannya dengan suatu tindakan atau peran tertentu. Hal ini sesuai dengan
fungsi afiks serapan dalam memperluas kosakata sekaligus memberi nuansa
akademik dan formal pada bahasa Indonesia.⁴
3.2.
Akhiran -is sebagai
Penunjuk Penganut Ideologi
Selain menunjuk pelaku, akhiran -is
juga berfungsi menunjuk pada penganut suatu ideologi, pandangan hidup, atau
sistem kepercayaan. Istilah seperti komunis, kapitalis, dan nasionalis
bukan hanya menunjuk individu secara deskriptif, tetapi juga mengandung makna
ideologis yang melekat pada identitas sosial dan politik orang tersebut.⁵
Sebagai label ideologis, sufiks -is
sering digunakan dalam konteks perdebatan politik atau sosial. Misalnya,
penyebutan fundamentalis dalam wacana agama dapat mengandung nuansa
negatif atau stereotip tertentu, bergantung pada konteks pemakaiannya.⁶ Dengan
demikian, akhiran -is berperan sebagai instrumen bahasa yang dapat membangun
atau meruntuhkan legitimasi sosial seseorang.⁷
3.3.
Akhiran -is sebagai
Penunjuk Profesi atau Peran Sosial
Dalam ranah akademik dan profesional,
sufiks -is digunakan untuk menunjuk orang dengan spesialisasi atau peran
sosial tertentu. Misalnya, istilah futuris (dari futurisme)
menunjuk pada seniman atau pemikir yang berorientasi pada masa depan, sedangkan
teoretis dapat menunjuk pada orang yang mengedepankan aspek teori
dibanding praktik.⁸
Fungsi ini memperlihatkan fleksibilitas
akhiran -is yang tidak hanya terbatas pada label ideologis, tetapi juga dapat
menunjuk pada posisi sosial atau identitas intelektual.⁹ Dalam konteks ini, -is
membantu membentuk kategori sosial yang diakui secara luas dalam komunikasi
akademik maupun budaya populer.¹⁰
3.4.
Analisis Konteks
Penggunaan
Penggunaan istilah berakhiran -is
sangat bergantung pada konteks. Dalam wacana akademik, kata-kata seperti analis
atau teoretis cenderung netral dan teknis. Sebaliknya, dalam wacana
politik, kata seperti komunis atau imperialis sering kali
digunakan dengan muatan ideologis dan emosional.¹¹
Hal ini sejalan dengan pandangan
sosiolinguistik bahwa makna bahasa tidak pernah sepenuhnya netral, melainkan
selalu dipengaruhi oleh relasi kekuasaan dan ideologi.¹² Dengan demikian,
akhiran -is dalam bahasa Indonesia bukan hanya unsur morfologis, tetapi juga
bagian dari praktik diskursif yang membentuk identitas, relasi sosial, dan
wacana ideologis.¹³
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 81.
[2]
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 23.
[3]
Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 121.
[4]
Verhaar, J. W. M., Asas-asas Linguistik Umum
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 155.
[5]
James Sneddon, The Indonesian Language: Its History
and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 89.
[6]
Norman Fairclough, Language and Power (London:
Routledge, 2015), 77.
[7]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 103.
[8]
Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is
Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 69.
[9]
John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 146.
[10]
Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction
to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 58.
[11]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966:
Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 29.
[12]
Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A
Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 54.
[13]
Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New
York: Palgrave Macmillan, 2008), 42.
4.
Fungsi Morfologis
Akhiran -isme
4.1.
Akhiran -isme
sebagai Penunjuk Ajaran atau Paham
Sufiks -isme dalam bahasa
Indonesia umumnya digunakan untuk membentuk kata benda abstrak yang menunjuk
pada suatu ajaran, paham, atau ideologi.¹ Contoh yang paling sering dijumpai
adalah istilah komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme.²
Keempatnya bukan hanya sekadar label linguistik, melainkan mengandung muatan
ideologis dan politis yang membentuk cara pandang masyarakat. Dengan demikian,
-isme berfungsi sebagai penanda konseptual yang mengabstraksikan praktik atau
ide tertentu ke dalam sebuah sistem pemikiran.³
4.2.
Akhiran -isme
sebagai Penunjuk Gaya atau Aliran
Selain menunjuk pada ajaran, akhiran -isme
juga digunakan untuk menandai gaya atau aliran tertentu, terutama dalam seni,
sastra, dan budaya. Istilah seperti realisme, romantisme, modernisme,
dan surrealisme menunjukkan corak artistik atau aliran estetik yang
berkembang dalam sejarah peradaban.⁴ Dalam hal ini, -isme tidak sekadar
menandai ideologi, melainkan juga mengkategorikan ekspresi estetis dan kultural
ke dalam suatu gerakan yang diakui.⁵
4.3.
Akhiran -isme
sebagai Penunjuk Kecenderungan atau Sikap Hidup
Dalam dimensi lain, akhiran -isme
dapat menunjuk pada sikap, orientasi hidup, atau kecenderungan psikologis dan
moral. Contoh yang jelas adalah hedonisme (paham yang menekankan
kesenangan sebagai tujuan hidup), materialisme (kecenderungan menilai
segala sesuatu berdasarkan aspek material), dan egoisme (sikap
mementingkan diri sendiri).⁶ Dengan demikian, -isme dalam konteks ini lebih
dekat dengan filsafat moral dan eksistensial, karena ia merepresentasikan cara
pandang manusia terhadap kehidupan.⁷
4.4.
Analisis Konteks
Penggunaan
Penggunaan istilah berakhiran -isme
tidak pernah netral secara semantik. Di satu sisi, ia berfungsi akademik untuk
mendeskripsikan aliran pemikiran; di sisi lain, ia juga dapat digunakan secara
retoris untuk membingkai wacana ideologis tertentu.⁸ Misalnya, istilah fundamentalisme
dapat dipakai untuk menganalisis suatu gerakan agama secara akademis, tetapi
dalam wacana populer ia sering dipakai dengan konotasi negatif.⁹
Dengan demikian, sufiks -isme bukan
sekadar perangkat morfologis, melainkan juga instrumen diskursif yang membentuk
cara pandang kolektif terhadap paham, ajaran, dan aliran tertentu. Bahasa,
melalui -isme, tidak hanya menamai dunia, tetapi juga memengaruhi cara dunia
dipahami.¹⁰
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 85.
[2]
James Sneddon, The Indonesian Language: Its History
and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 90.
[3]
Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 125.
[4]
René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature
(New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 323.
[5]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction
(Oxford: Blackwell, 2008), 65.
[6]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
4: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 214.
[7]
Richard Osborne, Philosophy for Beginners
(Cambridge: Icon Books, 2001), 72.
[8]
Norman Fairclough, Discourse and Social Change
(Cambridge: Polity Press, 1992), 189.
[9]
Martin E. Marty and R. Scott Appleby, Fundamentalisms
Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 15.
[10]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 88.
5.
Hubungan Semantis
antara -is dan -isme
5.1.
Relasi Individu dan
Ideologi
Secara semantis, sufiks -is dan -isme
memiliki keterkaitan yang erat, meskipun fungsi utamanya berbeda. Akhiran -is
lebih menekankan pada individu atau pelaku, sedangkan -isme menunjuk pada
sistem pemikiran, aliran, atau ideologi yang dianut.¹ Dengan kata lain, aktivis
adalah individu yang menghidupi atau memperjuangkan suatu ide, sementara aktivisme
adalah sistem tindakan dan wacana kolektif yang melandasi aktivitasnya.²
Relasi ini memperlihatkan bahwa kedua
akhiran tidak dapat dipisahkan: eksistensi individu (-is) menemukan makna penuh
ketika dihubungkan dengan sistem ideologis (-isme) yang melatarbelakanginya.³
5.2.
Dikotomi Subjektif
dan Objektif
Dari sudut pandang semantik, perbedaan
utama antara -is dan -isme dapat dipahami sebagai dikotomi antara subjektif
dan objektif.⁴ Akhiran -is menekankan pada dimensi personal, identitas,
dan peran individu dalam sebuah gerakan atau ajaran. Sebaliknya, -isme
mengabstraksikan ide tersebut ke dalam ranah konseptual yang lebih luas,
menjadikannya sistem yang relatif independen dari individu.⁵
Contoh konkret terlihat dalam istilah komunis
dan komunisme: yang pertama menunjuk individu atau kelompok tertentu,
sedangkan yang kedua menunjuk pada ajaran atau sistem ekonomi-politik yang
lebih besar.⁶ Dikotomi ini menegaskan bahwa bahasa berfungsi ganda: membingkai
identitas individu sekaligus memetakan kerangka ideologis yang mereka anut.⁷
5.3.
Contoh dalam Sejarah
Bahasa Indonesia
Dalam perkembangan bahasa Indonesia,
keterkaitan antara -is dan -isme tampak jelas pada istilah politik, seni, dan
agama. Misalnya, nasionalis digunakan untuk menyebut individu yang
memperjuangkan kemerdekaan bangsa, sedangkan nasionalisme menunjuk pada
ideologi kebangsaan yang lebih abstrak dan kolektif.⁸
Di bidang seni, istilah realis
menunjuk pada seniman atau pemikir yang menganut corak realisme, sementara realisme
menunjuk pada gerakan estetik yang lebih luas.⁹ Dalam wacana keagamaan, istilah
modernis digunakan untuk menyebut pemikir Islam yang berusaha
menafsirkan ajaran sesuai konteks modern, sedangkan modernisme menunjuk
pada aliran pembaharuan keagamaan itu sendiri.¹⁰
Korelasi ini memperlihatkan bahwa
sufiks -is dan -isme tidak hanya memiliki relasi morfologis, tetapi juga
membentuk dinamika semantik dan sosiologis yang memengaruhi perkembangan wacana
di Indonesia.¹¹
5.4.
Bahasa sebagai
Medium Identitas dan Ideologi
Melalui hubungan semantis antara -is
dan -isme, dapat dipahami bahwa bahasa berfungsi sebagai medium pembentuk
identitas sekaligus arena produksi ideologi.¹² Sufiks -is menjadikan individu
sebagai representasi ideologi, sedangkan -isme menjadikan ideologi sebagai
entitas konseptual yang dapat diperdebatkan, dipertahankan, atau ditolak.¹³
Dengan demikian, kajian hubungan antara
-is dan -isme tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga membuka ruang
refleksi kritis mengenai bagaimana bahasa bekerja dalam membentuk relasi antara
individu, ideologi, dan masyarakat.¹⁴
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 87.
[2]
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 25.
[3]
Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 129.
[4]
John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 148.
[5]
Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is
Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 73.
[6]
James Sneddon, The Indonesian Language: Its History
and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 94.
[7]
Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New
York: Palgrave Macmillan, 2008), 38.
[8]
Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006),
154.
[9]
René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature
(New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 327.
[10]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
11.
[11]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 91.
[12]
Norman Fairclough, Discourse and Social Change
(Cambridge: Polity Press, 1992), 190.
[13]
Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A
Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 59.
[14]
Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction
to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 61.
6.
Implikasi Sosial,
Politik, dan Budaya
6.1.
Akhiran -is dan
Identitas Sosial
Penggunaan akhiran -is dalam
masyarakat Indonesia sering kali mengandung muatan sosial yang kuat. Sebagai
label, kata berakhiran -is dapat menjadi penanda identitas, status, atau posisi
seseorang di dalam kelompok sosial.¹ Misalnya, penyebutan aktivis bukan
hanya menunjuk individu yang aktif dalam gerakan sosial, tetapi juga mengaitkan
identitasnya dengan nilai-nilai perjuangan tertentu.² Demikian pula, istilah
seperti nasionalis atau komunis dapat berfungsi sebagai alat
kategorisasi sosial, yang menempatkan seseorang dalam kerangka identitas
tertentu, baik dengan konotasi positif maupun negatif.³
Dalam hal ini, sufiks -is berfungsi
sebagai mekanisme simbolik yang membentuk persepsi publik terhadap individu
atau kelompok, sehingga bahasa menjadi sarana penguatan atau pengaburan
identitas.⁴
6.2.
Akhiran -isme dan
Diskursus Ideologi
Sementara itu, akhiran -isme
lebih banyak digunakan untuk menandai ideologi, paham, atau aliran besar yang
memengaruhi struktur masyarakat.⁵ Istilah seperti kapitalisme, sosialisme,
dan nasionalisme bukan hanya istilah linguistik, tetapi juga kategori
diskursif yang menentukan arah kebijakan politik, sistem ekonomi, dan pola
budaya.⁶
Dalam ranah politik Indonesia, istilah komunisme
menjadi contoh jelas bagaimana sebuah kata berakhiran -isme dapat membentuk
wacana hegemonik. Setelah peristiwa 1965, komunisme tidak hanya ditolak sebagai
ideologi, tetapi juga dilekatkan sebagai ancaman eksistensial terhadap negara.⁷
Sebaliknya, nasionalisme dipromosikan sebagai ideologi pemersatu bangsa
yang sahih.⁸ Hal ini memperlihatkan bahwa sufiks -isme memiliki kekuatan wacana
untuk menentukan legitimasi atau delegitimasi suatu paham dalam masyarakat.⁹
6.3.
Studi Kasus dalam
Kehidupan Sosial-Politik Indonesia
Beberapa contoh menunjukkan bagaimana
-is dan -isme berfungsi dalam praktik sosial-politik:
·
Aktivis dan Aktivisme:
dalam gerakan mahasiswa, aktivis dipandang sebagai motor perubahan
sosial, sedangkan aktivisme merepresentasikan gerakan kolektif yang
terorganisasi.¹⁰
·
Komunis dan Komunisme:
dalam sejarah politik Indonesia, komunis menjadi label yang sering
disematkan untuk melumpuhkan lawan politik, sementara komunisme
dijadikan simbol ancaman ideologis.¹¹
·
Modernis dan Modernisme:
dalam wacana keagamaan, modernis menunjuk pada pemikir atau ulama yang
mengupayakan pembaharuan, sedangkan modernisme menunjuk pada gerakan
intelektual yang lebih luas.¹²
Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa
akhiran -is dan -isme tidak hanya berfungsi sebagai kategori linguistik, tetapi
juga membentuk praktik sosial yang nyata.
6.4.
Dimensi Budaya dan
Wacana Publik
Dalam ranah budaya, akhiran -isme
sering digunakan untuk menamai aliran seni dan sastra, seperti realisme
atau romantisme, yang pada gilirannya membentuk pola apresiasi estetik
dalam masyarakat.¹³ Sementara itu, akhiran -is, seperti dalam istilah realis
atau futuris, menunjuk individu-individu yang mewakili corak tersebut.¹⁴
Dalam wacana publik, istilah berakhiran
-is dan -isme sering digunakan dalam retorika politik maupun media massa.
Kata-kata ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif, karena
mengandung penilaian, stereotip, bahkan strategi persuasi.¹⁵ Oleh karena itu,
memahami implikasi sosial, politik, dan budaya dari akhiran -is dan -isme
menjadi penting untuk menyingkap bagaimana bahasa bekerja sebagai instrumen
kekuasaan.¹⁶
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 91.
[2]
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 27.
[3]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966:
Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 32.
[4]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 94.
[5]
James Sneddon, The Indonesian Language: Its History
and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 95.
[6]
Norman Fairclough, Discourse and Social Change
(Cambridge: Polity Press, 1992), 193.
[7]
John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September
30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (Madison: University
of Wisconsin Press, 2006), 212.
[8]
Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006),
162.
[9]
Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A
Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 63.
[10]
Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam
Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2003), 287.
[11]
Rex Mortimer, Indonesian Communism under Sukarno:
Ideology and Politics, 1959–1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1974),
44.
[12]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
19.
[13]
René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature
(New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 329.
[14]
Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction
(Oxford: Blackwell, 2008), 68.
[15]
Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New
York: Palgrave Macmillan, 2008), 47.
[16]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon, 1980), 119.
7.
Kritik dan Dinamika
Penggunaan
7.1.
Kritik Linguistik
terhadap Penggunaan -is dan -isme
Meskipun akhiran -is dan -isme
telah menjadi bagian integral dari kosakata bahasa Indonesia, penggunaannya
sering kali menimbulkan kerancuan. Salah satu kritik utama adalah kecenderungan
penggunaan yang tidak tepat secara morfologis maupun semantis. Misalnya,
masyarakat kerap keliru menggunakan istilah psikologis untuk menyebut
“ahli psikologi”, padahal secara baku istilah yang benar adalah psikolog.¹
Kekeliruan ini menunjukkan bahwa adaptasi sufiks serapan sering tidak disertai
pemahaman yang memadai mengenai fungsi linguistiknya.²
Selain itu, terdapat kecenderungan
generalisasi makna yang membuat sufiks -is atau -isme dipakai secara longgar.
Dalam praktik bahasa populer, kata berakhiran -isme sering dipakai untuk
menandai kecenderungan sederhana, bahkan tanpa landasan ideologis yang jelas,
seperti istilah anak gaul-isme atau cinta-isme.³ Hal ini
menimbulkan kritik dari kalangan linguistik mengenai degradasi makna sufiks
tersebut.⁴
7.2.
Pergeseran Makna dan
Konotasi
Kata berakhiran -is dan -isme juga
mengalami pergeseran makna yang signifikan seiring perkembangan wacana sosial.
Dalam ranah politik, misalnya, istilah komunis dan komunisme yang
pada awal abad ke-20 dipandang sebagai ideologi revolusioner, di era Orde Baru
mengalami pergeseran menjadi label negatif penuh stigma.⁵ Sebaliknya, nasionalis
dan nasionalisme justru mendapatkan konotasi positif sebagai simbol
perjuangan bangsa.⁶
Fenomena ini menunjukkan bahwa sufiks
-is dan -isme bersifat dinamis dan maknanya tidak tetap. Makna dapat berubah
sesuai dengan konteks sosial-politik yang mendominasi pada periode tertentu.⁷
Dengan kata lain, sufiks-sufiks ini menjadi arena negosiasi antara bahasa,
kekuasaan, dan ideologi.⁸
7.3.
Dampak Ideologis dan
Politik Labelisasi
Penggunaan akhiran -is sering kali
dikritik karena fungsinya sebagai alat labelisasi yang bisa bersifat stigmatis.
Menyebut seseorang sebagai fundamentalis, misalnya, tidak selalu
dimaksudkan sebagai deskripsi netral, melainkan sering mengandung muatan
ideologis untuk mendeligitimasi.⁹ Begitu pula istilah imperialis dalam
wacana anti-kolonialisme, yang digunakan sebagai strategi retoris untuk melawan
dominasi Barat.¹⁰
Sementara itu, akhiran -isme sering
dipakai untuk menggeneralisasi atau menakut-nakuti publik. Misalnya, istilah liberalisme
dalam wacana keagamaan Indonesia kadang digunakan bukan untuk membahas ajaran
filsafat politik Barat secara akademis, melainkan sebagai retorika untuk
menolak gagasan tertentu.¹¹ Akibatnya, -isme tidak hanya berfungsi sebagai
kategori ideologis, tetapi juga sebagai instrumen politik untuk membentuk opini
publik.¹²
7.4.
Dinamika dalam Media
dan Budaya Populer
Dalam budaya kontemporer, penggunaan
-is dan -isme mengalami perluasan yang lebih kreatif, terutama dalam media dan
komunikasi populer. Istilah-istilah baru seperti selfie-isme atau narsis
(yang diserap dari narcissism) menunjukkan bagaimana sufiks ini
dimanfaatkan untuk memberi nuansa humor, kritik sosial, atau identitas gaya
hidup.¹³
Dinamika ini memperlihatkan bahwa
meskipun kedua sufiks memiliki akar akademik dan ideologis, pemakaiannya dalam
wacana populer telah membentuk ranah baru di luar kaidah linguistik formal. Hal
ini bisa dipandang positif sebagai bukti produktivitas bahasa, tetapi juga
negatif karena dapat melemahkan ketepatan makna dalam ranah akademik.¹⁴
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 95.
[2]
Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 131.
[3]
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 29.
[4]
Verhaar, J. W. M., Asas-asas Linguistik Umum
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 162.
[5]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966:
Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 34.
[6]
Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006),
168.
[7]
John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 152.
[8]
Norman Fairclough, Discourse and Power (London:
Routledge, 2015), 81.
[9]
Martin E. Marty and R. Scott Appleby, Fundamentalisms
Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 21.
[10]
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth (New
York: Grove Press, 2004), 65.
[11]
Greg Barton, Liberal Islam: A Sourcebook
(Oxford: Oxford University Press, 2003), 12.
[12]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 101.
[13]
Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A
Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 67.
[14]
Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction
to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 66.
8.
Sintesis dan
Refleksi
8.1.
Sintesis Linguistik
Kajian mengenai sufiks -is dan -isme
memperlihatkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dalam struktur morfologi
bahasa Indonesia. Akhiran -is berfungsi sebagai penanda individu atau
pelaku, sedangkan -isme menunjuk pada paham, ajaran, atau sistem yang
lebih abstrak.¹ Relasi keduanya membentuk pasangan semantik yang melengkapi:
individu (-is) menemukan makna penuh melalui sistem ideologi (-isme), sementara
sistem (-isme) menemukan wujud konkretnya melalui individu (-is).²
Dari perspektif linguistik, fenomena
ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia, melalui serapan dari bahasa asing,
memperkaya dirinya dengan perangkat morfologis yang mampu menampung
konsep-konsep modern.³ Afiksasi serapan ini sekaligus menghubungkan bahasa
Indonesia dengan tradisi intelektual global, baik dalam ranah politik,
filsafat, maupun budaya.⁴
8.2.
Sintesis Historis
dan Sosial
Secara historis, masuknya sufiks -is
dan -isme melalui kolonialisme Belanda dan kontak dengan literatur Barat
menunjukkan bahwa perkembangan bahasa erat kaitannya dengan dinamika
sosial-politik.⁵ Sufiks ini menjadi medium untuk menyerap konsep-konsep modernitas
seperti kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme ke dalam
bahasa Indonesia.⁶
Dalam konteks sosial, penggunaan
akhiran -is sering berfungsi sebagai label yang menandai identitas personal
atau kelompok, sedangkan -isme berfungsi sebagai representasi abstrak dari
ideologi yang lebih luas.⁷ Dengan demikian, bahasa melalui sufiks ini tidak
hanya bersifat komunikatif, tetapi juga politis, karena membentuk arena
representasi identitas dan ideologi dalam masyarakat.⁸
8.3.
Refleksi Filosofis
Kajian ini menegaskan bahwa bahasa
bukanlah entitas netral. Melalui sufiks -is dan -isme, bahasa bekerja sebagai instrumen
pembentuk realitas sosial dan ideologis.⁹ Label komunis atau kapitalis,
misalnya, tidak sekadar menunjuk penganut ideologi, melainkan mengandung
nilai-nilai politis yang melekat pada istilah tersebut.¹⁰ Demikian pula, komunisme
atau kapitalisme tidak hanya menamai sebuah sistem, tetapi juga
membentuk horizon berpikir dan praktik sosial.¹¹
Dari perspektif filsafat bahasa, hal
ini menunjukkan bahwa bahasa bersifat performatif: ia tidak hanya
mendeskripsikan dunia, tetapi juga menciptakan realitas sosial baru.¹² Dengan
demikian, kesadaran kritis terhadap makna -is dan -isme diperlukan agar masyarakat
tidak terjebak pada manipulasi bahasa yang dapat memperkuat stereotip, stigma,
atau hegemoni ideologis tertentu.¹³
8.4.
Refleksi Kritis
terhadap Masa Kini
Dalam konteks kontemporer, dinamika
penggunaan -is dan -isme memperlihatkan fleksibilitas bahasa. Di satu sisi,
keduanya tetap digunakan dalam diskursus akademik, politik, dan keagamaan. Di
sisi lain, dalam wacana populer, akhiran ini sering dimanfaatkan untuk
menciptakan istilah baru yang bersifat humoris, satiris, atau bahkan
peyoratif.¹⁴ Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa terus bertransformasi sesuai
kebutuhan zaman.
Refleksi kritisnya adalah bahwa
pembaca, penulis, maupun masyarakat luas perlu memahami potensi kekuatan bahasa
dalam membingkai identitas dan ideologi.¹⁵ Dengan kesadaran tersebut, kita
dapat menggunakan bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga
sebagai sarana refleksi dan transformasi sosial yang lebih adil dan inklusif.¹⁶
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 87.
[2]
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 25.
[3]
Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 129.
[4]
Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is
Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 73.
[5]
James Sneddon, The Indonesian Language: Its History
and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 94.
[6]
Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006),
154.
[7]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 91.
[8]
Norman Fairclough, Discourse and Social Change
(Cambridge: Polity Press, 1992), 190.
[9]
John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 148.
[10]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966:
Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 29.
[11]
Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New
York: Palgrave Macmillan, 2008), 38.
[12]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Cambridge: Harvard University Press, 1975), 94.
[13]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon, 1980), 119.
[14]
Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A
Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 67.
[15]
Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction
to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 66.
[16]
Noam Chomsky, Language and Responsibility (New
York: Pantheon Books, 1979), 131.
9.
Penutup
9.1.
Kesimpulan
Kajian mengenai akhiran -is dan -isme
dalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa kedua sufiks serapan ini memiliki
fungsi morfologis, semantis, dan sosiologis yang signifikan. Akhiran -is
umumnya digunakan untuk menunjuk pada individu atau kelompok pelaku serta
penganut ideologi, sementara -isme dipakai untuk menunjuk pada paham,
ajaran, sistem, atau aliran tertentu.¹ Hubungan keduanya bersifat komplementer:
-is menekankan pada dimensi personal (subjektif), sedangkan -isme
mengabstraksikan ideologi ke dalam ranah konseptual (objektif).²
Dari sudut pandang historis, masuknya
kedua sufiks ini melalui pengaruh bahasa Belanda dan literatur Barat
memperlihatkan keterkaitan erat antara perkembangan bahasa dan dinamika
kolonialisme serta modernitas.³ Dalam konteks sosial-politik, akhiran -is dan
-isme tidak hanya berfungsi sebagai perangkat linguistik, tetapi juga sebagai
instrumen diskursif untuk membentuk identitas, memberi label, dan mengonstruksi
legitimasi atau delegitimasi ideologi.⁴
9.2.
Saran Kajian
Lanjutan
Penelitian ini membuka ruang untuk
studi lebih lanjut mengenai dinamika penggunaan -is dan -isme. Pertama, perlu
dilakukan kajian korpus linguistik untuk meneliti frekuensi dan pola
penggunaannya dalam wacana kontemporer, baik di media massa, media sosial,
maupun literatur akademik.⁵ Kedua, studi perbandingan lintas bahasa
(misalnya dengan bahasa Arab, Jawa, atau bahasa lokal lainnya) akan memperkaya
pemahaman tentang adaptasi sufiks asing dalam konteks kebudayaan yang berbeda.⁶
Selain itu, diperlukan kajian
interdisipliner yang mengaitkan analisis linguistik dengan teori kritis,
sosiologi bahasa, dan filsafat bahasa, untuk menyingkap bagaimana bahasa,
melalui akhiran -is dan -isme, berfungsi sebagai medium pembentukan realitas sosial,
politik, dan budaya.⁷
9.3.
Refleksi Akhir
Sebagai refleksi, kajian ini menegaskan
bahwa bahasa tidak pernah netral. Istilah dengan akhiran -is dan -isme dapat
berfungsi sebagai cermin sekaligus sebagai senjata dalam pergulatan wacana.⁸
Seseorang yang disebut aktivis atau komunis tidak hanya diberi
label linguistik, tetapi juga dimasukkan ke dalam kerangka identitas sosial dan
ideologis tertentu. Demikian pula, istilah aktivisme atau komunisme
membentuk horizon pemikiran yang dapat memengaruhi arah sejarah dan budaya.⁹
Oleh karena itu, kesadaran kritis
terhadap makna dan implikasi penggunaan kedua sufiks ini menjadi penting.
Dengan memahami fungsi linguistik, historis, dan sosiologisnya, masyarakat
dapat lebih arif dalam menggunakan bahasa, sehingga ia berfungsi bukan sebagai
alat stigmatisasi, tetapi sebagai sarana dialog, refleksi, dan transformasi
sosial.¹⁰
Footnotes
[1]
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka
Cipta, 2014), 87.
[2]
John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 148.
[3]
James Sneddon, The Indonesian Language: Its History
and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 94.
[4]
Norman Fairclough, Discourse and Social Change
(Cambridge: Polity Press, 1992), 193.
[5]
Douglas Biber et al., Corpus Linguistics:
Investigating Language Structure and Use (Cambridge: Cambridge University
Press, 1998), 45.
[6]
Bambang Kaswanti Purwo, Serapan Bahasa Asing dalam
Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000), 43.
[7]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
(Cambridge: Polity Press, 1991), 101.
[8]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon, 1980), 119.
[9]
Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966:
Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 29.
[10]
Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A
Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 63.
Daftar Pustaka
Anderson, B. (2006). Imagined
communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (Revised
ed.). Verso.
Aronoff, M., & Fudeman, K.
(2011). What is morphology? (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Austin, J. L. (1975). How to do
things with words (2nd ed.). Harvard University Press.
Barton, G. (2003). Liberal Islam:
A sourcebook. Oxford University Press.
Biber, D., Conrad, S., & Reppen,
R. (1998). Corpus linguistics: Investigating language structure and use.
Cambridge University Press.
Bourdieu, P. (1991). Language and
symbolic power. Polity Press.
Chaer, A. (2014). Linguistik umum.
Rineka Cipta.
Chomsky, N. (1979). Language and
responsibility. Pantheon Books.
Copleston, F. (1994). A history of
philosophy, Vol. 4: Modern philosophy. Image Books.
Cribb, R. (1990). The Indonesian
killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali. Monash University.
Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan
dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Gramedia.
Eagleton, T. (2008). Literary
theory: An introduction (Anniversary ed.). Blackwell.
Fairclough, N. (1992). Discourse
and social change. Polity Press.
Fairclough, N. (2015). Language
and power (3rd ed.). Routledge.
Fanon, F. (2004). The wretched of
the earth. Grove Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge:
Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.).
Pantheon.
Kaswanti Purwo, B. (2000). Serapan
bahasa asing dalam bahasa Indonesia. Pusat Bahasa.
Kridalaksana, H. (2008). Kamus
linguistik (4th ed.). Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, H. (2013). Pembentukan
kata dalam bahasa Indonesia. Gramedia.
Lyons, J. (1995). Semantics
(Vol. 1–2). Cambridge University Press.
Marty, M. E., & Appleby, R. S.
(Eds.). (1991). Fundamentalisms observed. University of Chicago Press.
Moeliono, A. M. (2017). Tata
bahasa baku bahasa Indonesia (4th ed.). Balai Pustaka.
Mortimer, R. (1974). Indonesian
communism under Sukarno: Ideology and politics, 1959–1965. Cornell
University Press.
Osborne, R. (2001). Philosophy for
beginners. Icon Books.
Rahman, F. (1982). Islam and
modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of
Chicago Press.
Romaine, S. (2000). Sociolinguistics:
An introduction to language and society (4th ed.). Oxford University Press.
Roosa, J. (2006). Pretext for mass
murder: The September 30th movement and Suharto’s coup d’état in Indonesia.
University of Wisconsin Press.
Simpson, P., & Mayr, A. (2010). Language
and power: A resource book for students. Routledge.
Sneddon, J. (2003). The Indonesian
language: Its history and role in modern society. UNSW Press.
Van Dijk, T. A. (2008). Discourse
and power. Palgrave Macmillan.
Verhaar, J. W. M. (2010). Asas-asas
linguistik umum (5th ed.). Gadjah Mada University Press.
Wellek, R., & Warren, A. (1949). Theory
of literature. Harcourt, Brace and Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar