Senin, 01 September 2025

Akhiran -is dan -isme: Analisis Linguistik, Historis, dan Sosiologis dalam Konteks Bahasa Indonesia

Akhiran -is dan -isme

Analisis Linguistik, Historis, dan Sosiologis dalam Konteks Bahasa Indonesia


Alihkan ke: Bahasa Indonesia Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif fungsi dan makna akhiran serapan -is dan -isme dalam bahasa Indonesia dengan pendekatan linguistik, historis, dan sosiologis. Sufiks -is umumnya menunjuk pada individu atau kelompok pelaku serta penganut suatu ideologi, sedangkan -isme digunakan untuk menandai paham, ajaran, sistem, atau aliran yang lebih abstrak. Analisis menunjukkan bahwa kedua akhiran ini memiliki hubungan semantis yang erat, di mana -is mewakili dimensi personal (subjektif) dan -isme merepresentasikan dimensi ideologis (objektif).

Secara historis, masuknya kedua akhiran melalui kolonialisme Belanda dan kontak dengan literatur Barat memperlihatkan bahwa perkembangan bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan budaya global. Secara sosiologis, penggunaan -is dan -isme sering berfungsi sebagai label identitas maupun instrumen diskursif yang dapat mengukuhkan atau mendelegitimasi ideologi tertentu. Artikel ini juga menyoroti kritik terhadap penggunaan yang salah kaprah, pergeseran makna, serta dinamika pemakaian dalam wacana populer.

Refleksi akhir menegaskan bahwa bahasa tidak pernah netral; ia selalu menjadi arena pertarungan simbolik yang membentuk identitas dan realitas sosial. Kesadaran kritis terhadap penggunaan -is dan -isme diperlukan agar masyarakat dapat menggunakan bahasa sebagai sarana dialog, refleksi, dan transformasi sosial yang lebih inklusif.

Kata Kunci: Bahasa Indonesia; morfologi; sufiks -is; sufiks -isme; ideologi; sosiolinguistik; semantik; wacana.


PEMBAHASAN

Analisis Linguistik, Historis, dan Sosiologis Akhiran -is dan -isme


1.            Pendahuluan

1.1.        Latar Belakang Masalah

Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional dan bahasa ilmu pengetahuan, terus mengalami perkembangan melalui penyerapan kosakata asing, terutama dari bahasa Arab, Sanskerta, Belanda, Inggris, dan Prancis. Salah satu fenomena menarik dalam kajian morfologi bahasa Indonesia adalah masuknya akhiran serapan seperti -is dan -isme. Kedua akhiran ini berperan penting dalam pembentukan istilah yang terkait dengan identitas individu, profesi, maupun paham ideologis. Misalnya, kata aktif berkembang menjadi aktivis (penyebutan pelaku) dan aktivisme (penyebutan gerakan atau paham) yang memperlihatkan relasi erat antara individu dan ideologi.¹

Dalam kajian linguistik, akhiran -is lazimnya berfungsi menunjuk pada orang (pelaku atau penganut suatu ajaran), sedangkan -isme menunjuk pada paham, aliran, atau ideologi.² Hal ini menunjukkan bahwa -is lebih bersifat personal dan subyektif, sementara -isme bersifat abstrak, kolektif, dan konseptual. Perbedaan fungsi semantis ini tidak hanya berimplikasi pada pembentukan kata, tetapi juga pada cara masyarakat membingkai identitas sosial dan ideologi.³

Di ranah sosial-politik, istilah yang berakhiran -is sering kali dipakai sebagai label terhadap individu atau kelompok, baik dengan konotasi positif maupun negatif. Sebagai contoh, penyebutan komunis di Indonesia sarat dengan muatan politis dan stigma historis, sedangkan nasionalis cenderung bernilai positif dalam konteks kebangsaan.⁴ Sementara itu, akhiran -isme seperti kapitalisme, komunisme, dan nasionalisme dipakai untuk menunjuk sistem, ideologi, atau aliran besar yang memengaruhi sejarah dan dinamika sosial masyarakat.⁵

Fenomena ini memperlihatkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena pertarungan makna dan kekuasaan. Istilah dengan akhiran -is dan -isme kerap kali menjadi instrumen politik wacana, baik untuk memperkuat identitas maupun untuk melakukan delegitimasi.⁶ Oleh karena itu, kajian mengenai fungsi dan makna kedua akhiran ini penting untuk memahami bagaimana bahasa membentuk realitas sosial, ideologi, dan budaya di Indonesia.

1.2.        Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini merumuskan beberapa pertanyaan:

1)             Apa fungsi morfologis akhiran -is dan -isme dalam bahasa Indonesia?

2)             Bagaimana makna konseptual keduanya dalam perkembangan istilah di berbagai bidang?

3)             Apa perbedaan dan hubungan semantis di antara keduanya?

4)             Bagaimana implikasi sosial, ideologis, dan budaya dari penggunaan istilah yang berakhiran -is dan -isme?

1.3.        Tujuan Penelitian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)             Mendeskripsikan fungsi linguistik dan semantis akhiran -is dan -isme.

2)             Menelusuri asal-usul historis dan proses masuknya ke dalam bahasa Indonesia.

3)             Menganalisis hubungan antara penggunaan istilah berakhiran -is dan -isme dengan identitas sosial, politik, dan budaya.

4)             Memberikan kontribusi bagi kajian linguistik, filsafat bahasa, dan analisis wacana kritis di Indonesia.

1.4.        Manfaat Penelitian

Secara akademik, penelitian ini diharapkan memperkaya studi linguistik Indonesia, khususnya dalam bidang morfologi serapan dan semantik. Secara praktis, kajian ini dapat membantu masyarakat dan akademisi memahami nuansa makna yang terkandung dalam istilah berakhiran -is dan -isme, sehingga dapat menggunakannya dengan lebih kritis dan reflektif.


Footnotes

[1]            Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2013), 45.

[2]            Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 112.

[3]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 78.

[4]            Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 23.

[5]            Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 142.

[6]            Norman Fairclough, Language and Power (London: Routledge, 2015), 51.


2.            Landasan Teoretis

2.1.        Kajian Morfologi dalam Bahasa Indonesia

Morfologi adalah cabang linguistik yang mempelajari struktur internal kata serta proses pembentukannya. Dalam bahasa Indonesia, salah satu proses penting adalah afiksasi, yaitu penambahan imbuhan pada kata dasar untuk menghasilkan bentuk baru dengan makna tertentu.¹ Afiksasi dalam bahasa Indonesia meliputi prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks, baik asli maupun serapan.²

Dalam konteks kajian ini, akhiran -is dan -isme termasuk ke dalam sufiks serapan yang masuk melalui pengaruh bahasa asing. Kehadirannya memperkaya kosakata bahasa Indonesia, terutama dalam bidang akademik, filsafat, politik, dan seni.³ Dengan demikian, studi morfologi menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana kedua akhiran tersebut berfungsi dalam sistem bahasa Indonesia.

2.2.        Asal-usul Historis Akhiran -is dan -isme

Secara etimologis, akhiran -is dan -isme berasal dari bahasa Yunani dan Latin, kemudian diserap ke dalam bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis, Belanda, dan Inggris.⁴ Sufiks -is dalam bahasa Yunani berfungsi membentuk kata benda yang menunjuk pada individu atau pelaku, sedangkan sufiks -ismos (yang berkembang menjadi -isme) menunjuk pada ajaran, sistem, atau aliran tertentu.⁵

Melalui kolonialisme Belanda dan penetrasi literatur Barat, sufiks-sufiks tersebut masuk ke dalam bahasa Indonesia.⁶ Contohnya dapat ditemukan dalam istilah komunis/komunisme, kapitalis/kapitalisme, dan nasionalis/nasionalisme.⁷ Dengan demikian, pemahaman tentang akar historis ini penting untuk menyingkap makna konseptual yang terkandung di dalam istilah-istilah tersebut.

2.3.        Kerangka Semantik dan Pragmatik

Secara semantis, perbedaan utama antara -is dan -isme terletak pada fokus makna:

·                -is berorientasi pada individu atau kelompok yang menjadi pelaku atau penganut.

·                -isme berorientasi pada sistem ide, doktrin, atau aliran yang dianut.⁸

Dari sudut pandang pragmatik, penggunaan istilah dengan akhiran ini sering kali membawa implikasi sosial. Misalnya, sebutan aktivis tidak sekadar menunjuk orang yang aktif, tetapi juga mengandung makna ideologis yang melekat pada gerakan tertentu.⁹ Demikian pula, istilah kapitalisme atau sosialisme tidak netral secara makna, melainkan sarat dengan nilai, posisi, dan ideologi yang diperdebatkan.¹⁰

2.4.        Kerangka Sosiolinguistik

Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai bagian dari kehidupan sosial, tempat terjadinya proses identifikasi, labelisasi, dan negosiasi makna.¹¹ Akhiran -is dan -isme dalam bahasa Indonesia berfungsi bukan hanya secara linguistik, tetapi juga sebagai penanda identitas sosial dan ideologis.

Istilah berakhiran -is sering dipakai untuk memberi label pada individu atau kelompok, terkadang dalam konteks stigma, seperti komunis di Indonesia pasca-1965.¹² Sebaliknya, istilah berakhiran -isme sering digunakan untuk menandai wacana besar, misalnya nasionalisme yang dipandang positif dalam konstruksi kebangsaan.¹³

Dengan kerangka ini, jelas bahwa penggunaan -is dan -isme tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya. Bahasa, dalam hal ini, menjadi arena pertarungan simbolik yang menentukan bagaimana identitas dan ideologi dipahami di masyarakat.¹⁴


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 63.

[2]            Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2013), 22.

[3]            Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 119.

[4]            Philip Baldi, The Foundations of Latin (Berlin: Walter de Gruyter, 2002), 95.

[5]            Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 67.

[6]            James Sneddon, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 88.

[7]            Bambang Kaswanti Purwo, Serapan Bahasa Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000), 41.

[8]            John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 142.

[9]            Norman Fairclough, Language and Power (London: Routledge, 2015), 63.

[10]          Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 51.

[11]          Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 34.

[12]          Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 26.

[13]          Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 148.

[14]          Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 75.


3.            Fungsi Morfologis Akhiran -is

3.1.        Akhiran -is sebagai Penunjuk Pelaku

Dalam sistem morfologi bahasa Indonesia, akhiran -is sering berfungsi menunjuk pada individu atau kelompok yang menjadi pelaku suatu aktivitas.¹ Contoh paling jelas terlihat pada kata aktif yang membentuk aktivis, yakni orang yang senantiasa terlibat secara aktif dalam suatu gerakan sosial, politik, atau budaya.² Demikian pula, istilah analis (dari kata analisis) menunjuk pada orang yang melakukan kegiatan analisis.³

Fungsi ini memperlihatkan peran sufiks -is sebagai pembentuk nomina personal, yang menekankan identitas individu dalam hubungannya dengan suatu tindakan atau peran tertentu. Hal ini sesuai dengan fungsi afiks serapan dalam memperluas kosakata sekaligus memberi nuansa akademik dan formal pada bahasa Indonesia.⁴

3.2.        Akhiran -is sebagai Penunjuk Penganut Ideologi

Selain menunjuk pelaku, akhiran -is juga berfungsi menunjuk pada penganut suatu ideologi, pandangan hidup, atau sistem kepercayaan. Istilah seperti komunis, kapitalis, dan nasionalis bukan hanya menunjuk individu secara deskriptif, tetapi juga mengandung makna ideologis yang melekat pada identitas sosial dan politik orang tersebut.⁵

Sebagai label ideologis, sufiks -is sering digunakan dalam konteks perdebatan politik atau sosial. Misalnya, penyebutan fundamentalis dalam wacana agama dapat mengandung nuansa negatif atau stereotip tertentu, bergantung pada konteks pemakaiannya.⁶ Dengan demikian, akhiran -is berperan sebagai instrumen bahasa yang dapat membangun atau meruntuhkan legitimasi sosial seseorang.⁷

3.3.        Akhiran -is sebagai Penunjuk Profesi atau Peran Sosial

Dalam ranah akademik dan profesional, sufiks -is digunakan untuk menunjuk orang dengan spesialisasi atau peran sosial tertentu. Misalnya, istilah futuris (dari futurisme) menunjuk pada seniman atau pemikir yang berorientasi pada masa depan, sedangkan teoretis dapat menunjuk pada orang yang mengedepankan aspek teori dibanding praktik.⁸

Fungsi ini memperlihatkan fleksibilitas akhiran -is yang tidak hanya terbatas pada label ideologis, tetapi juga dapat menunjuk pada posisi sosial atau identitas intelektual.⁹ Dalam konteks ini, -is membantu membentuk kategori sosial yang diakui secara luas dalam komunikasi akademik maupun budaya populer.¹⁰

3.4.        Analisis Konteks Penggunaan

Penggunaan istilah berakhiran -is sangat bergantung pada konteks. Dalam wacana akademik, kata-kata seperti analis atau teoretis cenderung netral dan teknis. Sebaliknya, dalam wacana politik, kata seperti komunis atau imperialis sering kali digunakan dengan muatan ideologis dan emosional.¹¹

Hal ini sejalan dengan pandangan sosiolinguistik bahwa makna bahasa tidak pernah sepenuhnya netral, melainkan selalu dipengaruhi oleh relasi kekuasaan dan ideologi.¹² Dengan demikian, akhiran -is dalam bahasa Indonesia bukan hanya unsur morfologis, tetapi juga bagian dari praktik diskursif yang membentuk identitas, relasi sosial, dan wacana ideologis.¹³


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 81.

[2]            Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 23.

[3]            Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 121.

[4]            Verhaar, J. W. M., Asas-asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 155.

[5]            James Sneddon, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 89.

[6]            Norman Fairclough, Language and Power (London: Routledge, 2015), 77.

[7]            Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 103.

[8]            Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 69.

[9]            John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 146.

[10]          Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 58.

[11]          Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 29.

[12]          Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 54.

[13]          Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 42.


4.            Fungsi Morfologis Akhiran -isme

4.1.        Akhiran -isme sebagai Penunjuk Ajaran atau Paham

Sufiks -isme dalam bahasa Indonesia umumnya digunakan untuk membentuk kata benda abstrak yang menunjuk pada suatu ajaran, paham, atau ideologi.¹ Contoh yang paling sering dijumpai adalah istilah komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme.² Keempatnya bukan hanya sekadar label linguistik, melainkan mengandung muatan ideologis dan politis yang membentuk cara pandang masyarakat. Dengan demikian, -isme berfungsi sebagai penanda konseptual yang mengabstraksikan praktik atau ide tertentu ke dalam sebuah sistem pemikiran.³

4.2.        Akhiran -isme sebagai Penunjuk Gaya atau Aliran

Selain menunjuk pada ajaran, akhiran -isme juga digunakan untuk menandai gaya atau aliran tertentu, terutama dalam seni, sastra, dan budaya. Istilah seperti realisme, romantisme, modernisme, dan surrealisme menunjukkan corak artistik atau aliran estetik yang berkembang dalam sejarah peradaban.⁴ Dalam hal ini, -isme tidak sekadar menandai ideologi, melainkan juga mengkategorikan ekspresi estetis dan kultural ke dalam suatu gerakan yang diakui.⁵

4.3.        Akhiran -isme sebagai Penunjuk Kecenderungan atau Sikap Hidup

Dalam dimensi lain, akhiran -isme dapat menunjuk pada sikap, orientasi hidup, atau kecenderungan psikologis dan moral. Contoh yang jelas adalah hedonisme (paham yang menekankan kesenangan sebagai tujuan hidup), materialisme (kecenderungan menilai segala sesuatu berdasarkan aspek material), dan egoisme (sikap mementingkan diri sendiri).⁶ Dengan demikian, -isme dalam konteks ini lebih dekat dengan filsafat moral dan eksistensial, karena ia merepresentasikan cara pandang manusia terhadap kehidupan.⁷

4.4.        Analisis Konteks Penggunaan

Penggunaan istilah berakhiran -isme tidak pernah netral secara semantik. Di satu sisi, ia berfungsi akademik untuk mendeskripsikan aliran pemikiran; di sisi lain, ia juga dapat digunakan secara retoris untuk membingkai wacana ideologis tertentu.⁸ Misalnya, istilah fundamentalisme dapat dipakai untuk menganalisis suatu gerakan agama secara akademis, tetapi dalam wacana populer ia sering dipakai dengan konotasi negatif.⁹

Dengan demikian, sufiks -isme bukan sekadar perangkat morfologis, melainkan juga instrumen diskursif yang membentuk cara pandang kolektif terhadap paham, ajaran, dan aliran tertentu. Bahasa, melalui -isme, tidak hanya menamai dunia, tetapi juga memengaruhi cara dunia dipahami.¹⁰


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 85.

[2]            James Sneddon, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 90.

[3]            Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 125.

[4]            René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 323.

[5]            Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Oxford: Blackwell, 2008), 65.

[6]            Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 4: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 214.

[7]            Richard Osborne, Philosophy for Beginners (Cambridge: Icon Books, 2001), 72.

[8]            Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 189.

[9]            Martin E. Marty and R. Scott Appleby, Fundamentalisms Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 15.

[10]          Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 88.


5.            Hubungan Semantis antara -is dan -isme

5.1.        Relasi Individu dan Ideologi

Secara semantis, sufiks -is dan -isme memiliki keterkaitan yang erat, meskipun fungsi utamanya berbeda. Akhiran -is lebih menekankan pada individu atau pelaku, sedangkan -isme menunjuk pada sistem pemikiran, aliran, atau ideologi yang dianut.¹ Dengan kata lain, aktivis adalah individu yang menghidupi atau memperjuangkan suatu ide, sementara aktivisme adalah sistem tindakan dan wacana kolektif yang melandasi aktivitasnya.²

Relasi ini memperlihatkan bahwa kedua akhiran tidak dapat dipisahkan: eksistensi individu (-is) menemukan makna penuh ketika dihubungkan dengan sistem ideologis (-isme) yang melatarbelakanginya.³

5.2.        Dikotomi Subjektif dan Objektif

Dari sudut pandang semantik, perbedaan utama antara -is dan -isme dapat dipahami sebagai dikotomi antara subjektif dan objektif.⁴ Akhiran -is menekankan pada dimensi personal, identitas, dan peran individu dalam sebuah gerakan atau ajaran. Sebaliknya, -isme mengabstraksikan ide tersebut ke dalam ranah konseptual yang lebih luas, menjadikannya sistem yang relatif independen dari individu.⁵

Contoh konkret terlihat dalam istilah komunis dan komunisme: yang pertama menunjuk individu atau kelompok tertentu, sedangkan yang kedua menunjuk pada ajaran atau sistem ekonomi-politik yang lebih besar.⁶ Dikotomi ini menegaskan bahwa bahasa berfungsi ganda: membingkai identitas individu sekaligus memetakan kerangka ideologis yang mereka anut.⁷

5.3.        Contoh dalam Sejarah Bahasa Indonesia

Dalam perkembangan bahasa Indonesia, keterkaitan antara -is dan -isme tampak jelas pada istilah politik, seni, dan agama. Misalnya, nasionalis digunakan untuk menyebut individu yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa, sedangkan nasionalisme menunjuk pada ideologi kebangsaan yang lebih abstrak dan kolektif.⁸

Di bidang seni, istilah realis menunjuk pada seniman atau pemikir yang menganut corak realisme, sementara realisme menunjuk pada gerakan estetik yang lebih luas.⁹ Dalam wacana keagamaan, istilah modernis digunakan untuk menyebut pemikir Islam yang berusaha menafsirkan ajaran sesuai konteks modern, sedangkan modernisme menunjuk pada aliran pembaharuan keagamaan itu sendiri.¹⁰

Korelasi ini memperlihatkan bahwa sufiks -is dan -isme tidak hanya memiliki relasi morfologis, tetapi juga membentuk dinamika semantik dan sosiologis yang memengaruhi perkembangan wacana di Indonesia.¹¹

5.4.        Bahasa sebagai Medium Identitas dan Ideologi

Melalui hubungan semantis antara -is dan -isme, dapat dipahami bahwa bahasa berfungsi sebagai medium pembentuk identitas sekaligus arena produksi ideologi.¹² Sufiks -is menjadikan individu sebagai representasi ideologi, sedangkan -isme menjadikan ideologi sebagai entitas konseptual yang dapat diperdebatkan, dipertahankan, atau ditolak.¹³

Dengan demikian, kajian hubungan antara -is dan -isme tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga membuka ruang refleksi kritis mengenai bagaimana bahasa bekerja dalam membentuk relasi antara individu, ideologi, dan masyarakat.¹⁴


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 87.

[2]            Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 25.

[3]            Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 129.

[4]            John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 148.

[5]            Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 73.

[6]            James Sneddon, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 94.

[7]            Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 38.

[8]            Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 154.

[9]            René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 327.

[10]          Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 11.

[11]          Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 91.

[12]          Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 190.

[13]          Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 59.

[14]          Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 61.


6.            Implikasi Sosial, Politik, dan Budaya

6.1.        Akhiran -is dan Identitas Sosial

Penggunaan akhiran -is dalam masyarakat Indonesia sering kali mengandung muatan sosial yang kuat. Sebagai label, kata berakhiran -is dapat menjadi penanda identitas, status, atau posisi seseorang di dalam kelompok sosial.¹ Misalnya, penyebutan aktivis bukan hanya menunjuk individu yang aktif dalam gerakan sosial, tetapi juga mengaitkan identitasnya dengan nilai-nilai perjuangan tertentu.² Demikian pula, istilah seperti nasionalis atau komunis dapat berfungsi sebagai alat kategorisasi sosial, yang menempatkan seseorang dalam kerangka identitas tertentu, baik dengan konotasi positif maupun negatif.³

Dalam hal ini, sufiks -is berfungsi sebagai mekanisme simbolik yang membentuk persepsi publik terhadap individu atau kelompok, sehingga bahasa menjadi sarana penguatan atau pengaburan identitas.⁴

6.2.        Akhiran -isme dan Diskursus Ideologi

Sementara itu, akhiran -isme lebih banyak digunakan untuk menandai ideologi, paham, atau aliran besar yang memengaruhi struktur masyarakat.⁵ Istilah seperti kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme bukan hanya istilah linguistik, tetapi juga kategori diskursif yang menentukan arah kebijakan politik, sistem ekonomi, dan pola budaya.⁶

Dalam ranah politik Indonesia, istilah komunisme menjadi contoh jelas bagaimana sebuah kata berakhiran -isme dapat membentuk wacana hegemonik. Setelah peristiwa 1965, komunisme tidak hanya ditolak sebagai ideologi, tetapi juga dilekatkan sebagai ancaman eksistensial terhadap negara.⁷ Sebaliknya, nasionalisme dipromosikan sebagai ideologi pemersatu bangsa yang sahih.⁸ Hal ini memperlihatkan bahwa sufiks -isme memiliki kekuatan wacana untuk menentukan legitimasi atau delegitimasi suatu paham dalam masyarakat.⁹

6.3.        Studi Kasus dalam Kehidupan Sosial-Politik Indonesia

Beberapa contoh menunjukkan bagaimana -is dan -isme berfungsi dalam praktik sosial-politik:

·                Aktivis dan Aktivisme: dalam gerakan mahasiswa, aktivis dipandang sebagai motor perubahan sosial, sedangkan aktivisme merepresentasikan gerakan kolektif yang terorganisasi.¹⁰

·                Komunis dan Komunisme: dalam sejarah politik Indonesia, komunis menjadi label yang sering disematkan untuk melumpuhkan lawan politik, sementara komunisme dijadikan simbol ancaman ideologis.¹¹

·                Modernis dan Modernisme: dalam wacana keagamaan, modernis menunjuk pada pemikir atau ulama yang mengupayakan pembaharuan, sedangkan modernisme menunjuk pada gerakan intelektual yang lebih luas.¹²

Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa akhiran -is dan -isme tidak hanya berfungsi sebagai kategori linguistik, tetapi juga membentuk praktik sosial yang nyata.

6.4.        Dimensi Budaya dan Wacana Publik

Dalam ranah budaya, akhiran -isme sering digunakan untuk menamai aliran seni dan sastra, seperti realisme atau romantisme, yang pada gilirannya membentuk pola apresiasi estetik dalam masyarakat.¹³ Sementara itu, akhiran -is, seperti dalam istilah realis atau futuris, menunjuk individu-individu yang mewakili corak tersebut.¹⁴

Dalam wacana publik, istilah berakhiran -is dan -isme sering digunakan dalam retorika politik maupun media massa. Kata-kata ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif, karena mengandung penilaian, stereotip, bahkan strategi persuasi.¹⁵ Oleh karena itu, memahami implikasi sosial, politik, dan budaya dari akhiran -is dan -isme menjadi penting untuk menyingkap bagaimana bahasa bekerja sebagai instrumen kekuasaan.¹⁶


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 91.

[2]            Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 27.

[3]            Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 32.

[4]            Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 94.

[5]            James Sneddon, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 95.

[6]            Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 193.

[7]            John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (Madison: University of Wisconsin Press, 2006), 212.

[8]            Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 162.

[9]            Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 63.

[10]          Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2003), 287.

[11]          Rex Mortimer, Indonesian Communism under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1974), 44.

[12]          Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 19.

[13]          René Wellek and Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1949), 329.

[14]          Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction (Oxford: Blackwell, 2008), 68.

[15]          Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 47.

[16]          Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon, 1980), 119.


7.            Kritik dan Dinamika Penggunaan

7.1.        Kritik Linguistik terhadap Penggunaan -is dan -isme

Meskipun akhiran -is dan -isme telah menjadi bagian integral dari kosakata bahasa Indonesia, penggunaannya sering kali menimbulkan kerancuan. Salah satu kritik utama adalah kecenderungan penggunaan yang tidak tepat secara morfologis maupun semantis. Misalnya, masyarakat kerap keliru menggunakan istilah psikologis untuk menyebut “ahli psikologi”, padahal secara baku istilah yang benar adalah psikolog.¹ Kekeliruan ini menunjukkan bahwa adaptasi sufiks serapan sering tidak disertai pemahaman yang memadai mengenai fungsi linguistiknya.²

Selain itu, terdapat kecenderungan generalisasi makna yang membuat sufiks -is atau -isme dipakai secara longgar. Dalam praktik bahasa populer, kata berakhiran -isme sering dipakai untuk menandai kecenderungan sederhana, bahkan tanpa landasan ideologis yang jelas, seperti istilah anak gaul-isme atau cinta-isme.³ Hal ini menimbulkan kritik dari kalangan linguistik mengenai degradasi makna sufiks tersebut.⁴

7.2.        Pergeseran Makna dan Konotasi

Kata berakhiran -is dan -isme juga mengalami pergeseran makna yang signifikan seiring perkembangan wacana sosial. Dalam ranah politik, misalnya, istilah komunis dan komunisme yang pada awal abad ke-20 dipandang sebagai ideologi revolusioner, di era Orde Baru mengalami pergeseran menjadi label negatif penuh stigma.⁵ Sebaliknya, nasionalis dan nasionalisme justru mendapatkan konotasi positif sebagai simbol perjuangan bangsa.⁶

Fenomena ini menunjukkan bahwa sufiks -is dan -isme bersifat dinamis dan maknanya tidak tetap. Makna dapat berubah sesuai dengan konteks sosial-politik yang mendominasi pada periode tertentu.⁷ Dengan kata lain, sufiks-sufiks ini menjadi arena negosiasi antara bahasa, kekuasaan, dan ideologi.⁸

7.3.        Dampak Ideologis dan Politik Labelisasi

Penggunaan akhiran -is sering kali dikritik karena fungsinya sebagai alat labelisasi yang bisa bersifat stigmatis. Menyebut seseorang sebagai fundamentalis, misalnya, tidak selalu dimaksudkan sebagai deskripsi netral, melainkan sering mengandung muatan ideologis untuk mendeligitimasi.⁹ Begitu pula istilah imperialis dalam wacana anti-kolonialisme, yang digunakan sebagai strategi retoris untuk melawan dominasi Barat.¹⁰

Sementara itu, akhiran -isme sering dipakai untuk menggeneralisasi atau menakut-nakuti publik. Misalnya, istilah liberalisme dalam wacana keagamaan Indonesia kadang digunakan bukan untuk membahas ajaran filsafat politik Barat secara akademis, melainkan sebagai retorika untuk menolak gagasan tertentu.¹¹ Akibatnya, -isme tidak hanya berfungsi sebagai kategori ideologis, tetapi juga sebagai instrumen politik untuk membentuk opini publik.¹²

7.4.        Dinamika dalam Media dan Budaya Populer

Dalam budaya kontemporer, penggunaan -is dan -isme mengalami perluasan yang lebih kreatif, terutama dalam media dan komunikasi populer. Istilah-istilah baru seperti selfie-isme atau narsis (yang diserap dari narcissism) menunjukkan bagaimana sufiks ini dimanfaatkan untuk memberi nuansa humor, kritik sosial, atau identitas gaya hidup.¹³

Dinamika ini memperlihatkan bahwa meskipun kedua sufiks memiliki akar akademik dan ideologis, pemakaiannya dalam wacana populer telah membentuk ranah baru di luar kaidah linguistik formal. Hal ini bisa dipandang positif sebagai bukti produktivitas bahasa, tetapi juga negatif karena dapat melemahkan ketepatan makna dalam ranah akademik.¹⁴


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 95.

[2]            Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 131.

[3]            Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 29.

[4]            Verhaar, J. W. M., Asas-asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 162.

[5]            Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 34.

[6]            Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 168.

[7]            John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 152.

[8]            Norman Fairclough, Discourse and Power (London: Routledge, 2015), 81.

[9]            Martin E. Marty and R. Scott Appleby, Fundamentalisms Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 21.

[10]          Frantz Fanon, The Wretched of the Earth (New York: Grove Press, 2004), 65.

[11]          Greg Barton, Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 2003), 12.

[12]          Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 101.

[13]          Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 67.

[14]          Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 66.


8.            Sintesis dan Refleksi

8.1.        Sintesis Linguistik

Kajian mengenai sufiks -is dan -isme memperlihatkan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dalam struktur morfologi bahasa Indonesia. Akhiran -is berfungsi sebagai penanda individu atau pelaku, sedangkan -isme menunjuk pada paham, ajaran, atau sistem yang lebih abstrak.¹ Relasi keduanya membentuk pasangan semantik yang melengkapi: individu (-is) menemukan makna penuh melalui sistem ideologi (-isme), sementara sistem (-isme) menemukan wujud konkretnya melalui individu (-is).²

Dari perspektif linguistik, fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia, melalui serapan dari bahasa asing, memperkaya dirinya dengan perangkat morfologis yang mampu menampung konsep-konsep modern.³ Afiksasi serapan ini sekaligus menghubungkan bahasa Indonesia dengan tradisi intelektual global, baik dalam ranah politik, filsafat, maupun budaya.⁴

8.2.        Sintesis Historis dan Sosial

Secara historis, masuknya sufiks -is dan -isme melalui kolonialisme Belanda dan kontak dengan literatur Barat menunjukkan bahwa perkembangan bahasa erat kaitannya dengan dinamika sosial-politik.⁵ Sufiks ini menjadi medium untuk menyerap konsep-konsep modernitas seperti kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme ke dalam bahasa Indonesia.⁶

Dalam konteks sosial, penggunaan akhiran -is sering berfungsi sebagai label yang menandai identitas personal atau kelompok, sedangkan -isme berfungsi sebagai representasi abstrak dari ideologi yang lebih luas.⁷ Dengan demikian, bahasa melalui sufiks ini tidak hanya bersifat komunikatif, tetapi juga politis, karena membentuk arena representasi identitas dan ideologi dalam masyarakat.⁸

8.3.        Refleksi Filosofis

Kajian ini menegaskan bahwa bahasa bukanlah entitas netral. Melalui sufiks -is dan -isme, bahasa bekerja sebagai instrumen pembentuk realitas sosial dan ideologis.⁹ Label komunis atau kapitalis, misalnya, tidak sekadar menunjuk penganut ideologi, melainkan mengandung nilai-nilai politis yang melekat pada istilah tersebut.¹⁰ Demikian pula, komunisme atau kapitalisme tidak hanya menamai sebuah sistem, tetapi juga membentuk horizon berpikir dan praktik sosial.¹¹

Dari perspektif filsafat bahasa, hal ini menunjukkan bahwa bahasa bersifat performatif: ia tidak hanya mendeskripsikan dunia, tetapi juga menciptakan realitas sosial baru.¹² Dengan demikian, kesadaran kritis terhadap makna -is dan -isme diperlukan agar masyarakat tidak terjebak pada manipulasi bahasa yang dapat memperkuat stereotip, stigma, atau hegemoni ideologis tertentu.¹³

8.4.        Refleksi Kritis terhadap Masa Kini

Dalam konteks kontemporer, dinamika penggunaan -is dan -isme memperlihatkan fleksibilitas bahasa. Di satu sisi, keduanya tetap digunakan dalam diskursus akademik, politik, dan keagamaan. Di sisi lain, dalam wacana populer, akhiran ini sering dimanfaatkan untuk menciptakan istilah baru yang bersifat humoris, satiris, atau bahkan peyoratif.¹⁴ Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa terus bertransformasi sesuai kebutuhan zaman.

Refleksi kritisnya adalah bahwa pembaca, penulis, maupun masyarakat luas perlu memahami potensi kekuatan bahasa dalam membingkai identitas dan ideologi.¹⁵ Dengan kesadaran tersebut, kita dapat menggunakan bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana refleksi dan transformasi sosial yang lebih adil dan inklusif.¹⁶


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 87.

[2]            Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 25.

[3]            Anton M. Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2017), 129.

[4]            Mark Aronoff and Kirsten Fudeman, What is Morphology? (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 73.

[5]            James Sneddon, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 94.

[6]            Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006), 154.

[7]            Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 91.

[8]            Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 190.

[9]            John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 148.

[10]          Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 29.

[11]          Teun A. van Dijk, Discourse and Power (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 38.

[12]          J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge: Harvard University Press, 1975), 94.

[13]          Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon, 1980), 119.

[14]          Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 67.

[15]          Suzanne Romaine, Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society (Oxford: Oxford University Press, 2000), 66.

[16]          Noam Chomsky, Language and Responsibility (New York: Pantheon Books, 1979), 131.


9.            Penutup

9.1.        Kesimpulan

Kajian mengenai akhiran -is dan -isme dalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa kedua sufiks serapan ini memiliki fungsi morfologis, semantis, dan sosiologis yang signifikan. Akhiran -is umumnya digunakan untuk menunjuk pada individu atau kelompok pelaku serta penganut ideologi, sementara -isme dipakai untuk menunjuk pada paham, ajaran, sistem, atau aliran tertentu.¹ Hubungan keduanya bersifat komplementer: -is menekankan pada dimensi personal (subjektif), sedangkan -isme mengabstraksikan ideologi ke dalam ranah konseptual (objektif).²

Dari sudut pandang historis, masuknya kedua sufiks ini melalui pengaruh bahasa Belanda dan literatur Barat memperlihatkan keterkaitan erat antara perkembangan bahasa dan dinamika kolonialisme serta modernitas.³ Dalam konteks sosial-politik, akhiran -is dan -isme tidak hanya berfungsi sebagai perangkat linguistik, tetapi juga sebagai instrumen diskursif untuk membentuk identitas, memberi label, dan mengonstruksi legitimasi atau delegitimasi ideologi.⁴

9.2.        Saran Kajian Lanjutan

Penelitian ini membuka ruang untuk studi lebih lanjut mengenai dinamika penggunaan -is dan -isme. Pertama, perlu dilakukan kajian korpus linguistik untuk meneliti frekuensi dan pola penggunaannya dalam wacana kontemporer, baik di media massa, media sosial, maupun literatur akademik.⁵ Kedua, studi perbandingan lintas bahasa (misalnya dengan bahasa Arab, Jawa, atau bahasa lokal lainnya) akan memperkaya pemahaman tentang adaptasi sufiks asing dalam konteks kebudayaan yang berbeda.⁶

Selain itu, diperlukan kajian interdisipliner yang mengaitkan analisis linguistik dengan teori kritis, sosiologi bahasa, dan filsafat bahasa, untuk menyingkap bagaimana bahasa, melalui akhiran -is dan -isme, berfungsi sebagai medium pembentukan realitas sosial, politik, dan budaya.⁷

9.3.        Refleksi Akhir

Sebagai refleksi, kajian ini menegaskan bahwa bahasa tidak pernah netral. Istilah dengan akhiran -is dan -isme dapat berfungsi sebagai cermin sekaligus sebagai senjata dalam pergulatan wacana.⁸ Seseorang yang disebut aktivis atau komunis tidak hanya diberi label linguistik, tetapi juga dimasukkan ke dalam kerangka identitas sosial dan ideologis tertentu. Demikian pula, istilah aktivisme atau komunisme membentuk horizon pemikiran yang dapat memengaruhi arah sejarah dan budaya.⁹

Oleh karena itu, kesadaran kritis terhadap makna dan implikasi penggunaan kedua sufiks ini menjadi penting. Dengan memahami fungsi linguistik, historis, dan sosiologisnya, masyarakat dapat lebih arif dalam menggunakan bahasa, sehingga ia berfungsi bukan sebagai alat stigmatisasi, tetapi sebagai sarana dialog, refleksi, dan transformasi sosial.¹⁰


Footnotes

[1]            Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), 87.

[2]            John Lyons, Semantics (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 148.

[3]            James Sneddon, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (Sydney: UNSW Press, 2003), 94.

[4]            Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 193.

[5]            Douglas Biber et al., Corpus Linguistics: Investigating Language Structure and Use (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 45.

[6]            Bambang Kaswanti Purwo, Serapan Bahasa Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000), 43.

[7]            Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 101.

[8]            Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (New York: Pantheon, 1980), 119.

[9]            Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990), 29.

[10]          Paul Simpson and Andrea Mayr, Language and Power: A Resource Book for Students (London: Routledge, 2010), 63.


Daftar Pustaka

Anderson, B. (2006). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (Revised ed.). Verso.

Aronoff, M., & Fudeman, K. (2011). What is morphology? (2nd ed.). Wiley-Blackwell.

Austin, J. L. (1975). How to do things with words (2nd ed.). Harvard University Press.

Barton, G. (2003). Liberal Islam: A sourcebook. Oxford University Press.

Biber, D., Conrad, S., & Reppen, R. (1998). Corpus linguistics: Investigating language structure and use. Cambridge University Press.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power. Polity Press.

Chaer, A. (2014). Linguistik umum. Rineka Cipta.

Chomsky, N. (1979). Language and responsibility. Pantheon Books.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy, Vol. 4: Modern philosophy. Image Books.

Cribb, R. (1990). The Indonesian killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali. Monash University.

Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Gramedia.

Eagleton, T. (2008). Literary theory: An introduction (Anniversary ed.). Blackwell.

Fairclough, N. (1992). Discourse and social change. Polity Press.

Fairclough, N. (2015). Language and power (3rd ed.). Routledge.

Fanon, F. (2004). The wretched of the earth. Grove Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon.

Kaswanti Purwo, B. (2000). Serapan bahasa asing dalam bahasa Indonesia. Pusat Bahasa.

Kridalaksana, H. (2008). Kamus linguistik (4th ed.). Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, H. (2013). Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Gramedia.

Lyons, J. (1995). Semantics (Vol. 1–2). Cambridge University Press.

Marty, M. E., & Appleby, R. S. (Eds.). (1991). Fundamentalisms observed. University of Chicago Press.

Moeliono, A. M. (2017). Tata bahasa baku bahasa Indonesia (4th ed.). Balai Pustaka.

Mortimer, R. (1974). Indonesian communism under Sukarno: Ideology and politics, 1959–1965. Cornell University Press.

Osborne, R. (2001). Philosophy for beginners. Icon Books.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Romaine, S. (2000). Sociolinguistics: An introduction to language and society (4th ed.). Oxford University Press.

Roosa, J. (2006). Pretext for mass murder: The September 30th movement and Suharto’s coup d’état in Indonesia. University of Wisconsin Press.

Simpson, P., & Mayr, A. (2010). Language and power: A resource book for students. Routledge.

Sneddon, J. (2003). The Indonesian language: Its history and role in modern society. UNSW Press.

Van Dijk, T. A. (2008). Discourse and power. Palgrave Macmillan.

Verhaar, J. W. M. (2010). Asas-asas linguistik umum (5th ed.). Gadjah Mada University Press.

Wellek, R., & Warren, A. (1949). Theory of literature. Harcourt, Brace and Company.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar