Ilmu Mantik III
Telaah atas Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) dan
Logika Material (al-Manṭiq al-Māddī)
Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.
Logika dalam Filsafat, Logika dalam Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam pembagian ilmu
mantiq (logika Islam) berdasarkan objeknya, yakni al-manṭiq al-ṣuwarī
(logika formal) dan al-manṭiq al-māddī (logika material), sebagai dua
dimensi epistemologis dan ontologis dalam struktur pengetahuan Islam. Melalui
pendekatan historis-filosofis, penelitian ini menelusuri akar konseptual
pembagian tersebut sejak masa Aristoteles hingga perkembangannya dalam tradisi
intelektual Islam melalui tokoh-tokoh seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī,
dan Ibn Rushd. Analisis menunjukkan bahwa pembagian logika ini bukanlah bentuk
dikotomi, melainkan relasi komplementer antara bentuk dan isi berpikir: logika formal menjamin validitas struktur penalaran, sedangkan logika material
memastikan kesesuaian isi pengetahuan dengan realitas dan nilai kebenaran.
Secara ontologis, keduanya mencerminkan kesatuan antara rasionalitas manusia
dan keteraturan kosmik; secara epistemologis, keduanya menjadi dasar bagi
sistem pengetahuan yang koheren, objektif, dan bernilai; sedangkan secara
aksiologis, keduanya memiliki fungsi pedagogis dan etis dalam membentuk adab
al-fikr (etika berpikir) dan budaya intelektual Islam.
Kajian ini juga menyoroti relevansi mantiq
dalam konteks kontemporer, terutama dalam menghadapi krisis rasionalitas,
disinformasi digital, dan fragmentasi pengetahuan modern. Integrasi antara al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī menawarkan paradigma rasionalitas
yang integral—menggabungkan ketepatan logis, kebenaran substansial, dan
orientasi etis—yang dapat dijadikan dasar bagi rekonstruksi epistemologi Islam
dan pengembangan ilmu pengetahuan yang humanistik. Dengan demikian, mantiq
dalam pembagian ini tidak hanya menjadi alat berpikir, tetapi juga sarana
menuju kesadaran filosofis dan spiritual yang menyatukan akal, nilai, dan
realitas dalam satu kesatuan kebenaran (al-ḥaqq).
Kata Kunci: Mantiq, Logika Islam, al-manṭiq al-ṣuwarī, al-manṭiq al-māddī,
epistemologi Islam, ontologi pengetahuan, aksiologi
rasionalitas, filsafat Islam kontemporer.
PEMBAHASAN
Pembagian Ilmu Mantiq Berdasarkan Objek
1.
Pendahuluan
Ilmu mantiq (logika) menempati posisi
fundamental dalam tradisi intelektual Islam sebagai alat untuk menjaga
konsistensi berpikir dan validitas penalaran. Ia merupakan perangkat
metodologis yang menuntun akal manusia untuk berpikir secara benar, sistematis,
dan terarah. Dalam konteks filsafat Islam, mantiq berfungsi tidak hanya
sebagai seni berpikir benar, tetapi juga sebagai fondasi epistemologis yang
menghubungkan pengetahuan manusia dengan kebenaran rasional dan realitas
metafisis.¹
Salah satu aspek penting dalam kajian mantiq
adalah pembagian disiplin ini berdasarkan objeknya, yakni al-manṭiq al-ṣuwarī (logika formal) dan al-manṭiq al-māddī (logika material).
Pembagian ini merefleksikan dua sisi utama dalam proses berpikir: pertama,
aspek bentuk (ṣūrah) yang berkenaan dengan struktur penalaran dan hubungan
antar-proposisi; kedua, aspek isi (māddah) yang berkenaan dengan kebenaran
materi dari proposisi itu sendiri.² Dengan demikian, pembagian ini bukan
sekadar klasifikasi teknis, melainkan cerminan dari cara kerja rasionalitas
manusia dalam mencari kebenaran secara menyeluruh.
Secara historis, akar pembagian tersebut dapat
ditelusuri dari tradisi logika Yunani, khususnya karya Aristoteles dalam Organon,
yang membedakan antara validitas bentuk penalaran dan kebenaran isi proposisi.³
Dalam perkembangan filsafat Islam, konsep ini diserap dan disistematisasi oleh
para logikawan seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī, yang menekankan
pentingnya mantiq sebagai prasyarat bagi setiap ilmu, karena tanpa
logika, manusia berisiko terjerumus dalam kesalahan berpikir (mughālaṭah).⁴
Dalam konteks ini, logika formal (al-manṭiq al-ṣuwarī) menekankan struktur berpikir yang benar tanpa mempersoalkan isi
pernyataan. Ia memastikan bahwa jika bentuk inferensi valid, maka kesimpulan
akan mengikuti secara konsisten dari premis-premisnya. Sebaliknya, logika material (al-manṭiq al-māddī) menaruh perhatian pada isi kognitif dan
kebenaran proposisional yang sesuai dengan realitas objektif.⁵ Kedua cabang ini
bersifat saling melengkapi, karena bentuk yang benar tanpa isi yang benar tidak
menghasilkan kebenaran substantif, sedangkan isi yang benar tanpa bentuk yang
sahih berisiko menimbulkan kesalahan penalaran.
Kajian mengenai pembagian ilmu mantiq
berdasarkan objeknya menjadi penting, karena ia membuka ruang bagi refleksi
filosofis tentang hakikat kebenaran, validitas berpikir, serta hubungan antara
bentuk dan isi dalam pengetahuan manusia. Dalam era modern yang sarat dengan
problem epistemik—mulai dari disinformasi digital hingga relativisme
logis—pemahaman terhadap kedua dimensi mantiq ini dapat berperan sebagai
basis untuk menata ulang rasionalitas manusia yang integral dan kritis.⁶
Kajian ini bertujuan untuk menelusuri dasar
ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari pembagian ilmu mantiq
tersebut, sekaligus menegaskan relevansinya dalam konteks filsafat Islam dan
dunia kontemporer. Dengan demikian, artikel ini berupaya membangun pemahaman
yang komprehensif tentang bagaimana al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī tidak hanya mencerminkan dua aspek berpikir, tetapi juga membentuk
paradigma rasionalitas yang menyatukan bentuk dan substansi pengetahuan.
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 15–17.
[2]
Muhammad Abduh, Risālah fī ʿIlm al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1982), 8–10.
[3]
Aristotle, Organon, trans. by H. Tredennick
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1938), 12–14.
[4]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 23; Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 45–47.
[5]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 31–33.
[6]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 5–8.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Perkembangan ilmu mantiq memiliki akar
historis yang panjang dan lintas peradaban. Secara genealogis, disiplin ini
berakar dari tradisi filsafat Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles yang
menghimpun karya-karya logikanya dalam kumpulan Organon. Dalam tradisi
tersebut, logika dimaknai sebagai instrumen berpikir benar (organon tēs
logikēs technēs) yang menuntun akal agar mencapai pengetahuan yang sahih
melalui inferensi yang valid.¹ Aristoteles membedakan antara kebenaran bentuk
inferensi (validitas formal) dan kebenaran isi pernyataan (materi proposisi).
Pembedaannya inilah yang kemudian menjadi dasar bagi lahirnya pembagian antara
logika formal dan logika material.²
Ketika tradisi intelektual Yunani diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab pada abad ke-8 dan ke-9 M, terutama melalui proyek Bayt
al-Ḥikmah di Baghdad, konsep logika Aristotelian diadaptasi dan
disistematisasi oleh para filsuf Muslim.³ Tokoh-tokoh seperti al-Kindī (w. 873
M) dan al-Fārābī (w. 950 M) menjadi pionir dalam memperkenalkan mantiq
sebagai alat epistemologis universal yang melampaui sekadar perangkat retoris.
Al-Fārābī secara khusus menyusun struktur logika Aristoteles ke dalam sistem
bahasa Arab, menegaskan bahwa mantiq adalah “qanūn al-fikr” (hukum
berpikir) yang menjaga akal dari kesalahan penalaran.⁴
Pada masa Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037 M), ilmu mantiq
mencapai bentuk yang lebih matang. Ibn Sīnā menegaskan bahwa logika bukan hanya
alat bantu retorika, tetapi juga instrumen epistemologis yang memiliki nilai
ontologis dalam proses pencapaian pengetahuan.⁵ Dalam karyanya Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt dan Al-Najāt, ia membedakan secara eksplisit antara
logika yang membahas struktur berpikir (ṣuwar) dan logika yang membahas isi
berpikir (māddah). Dengan demikian, ia meletakkan fondasi bagi pembagian mantiq
ke dalam dua cabang: al-manṭiq al-ṣuwarī (logika formal) dan al-manṭiq al-māddī (logika material).⁶
Al-Ghazālī (w. 1111 M) kemudian menegaskan
pentingnya logika dalam seluruh bidang ilmu, terutama dalam teologi dan fikih.
Dalam Miʿyār al-ʿIlm, ia menekankan bahwa mantiq harus digunakan
sebagai alat ukur bagi semua argumentasi ilmiah dan religius.⁷ Ia juga
menyoroti dimensi material logika, karena kebenaran bentuk tidaklah cukup tanpa
kebenaran isi. Dengan demikian, al-Ghazālī memadukan pandangan rasional dengan
orientasi teologis, yang menandai pergeseran logika dari domain filosofis
menuju sistem keilmuan Islam yang lebih luas.⁸
Ibn Rushd (Averroes, w. 1198 M), di sisi lain,
berupaya mengembalikan logika kepada bentuk Aristotelian yang murni. Dalam
komentarnya terhadap Organon, ia menolak kecenderungan sebagian
logikawan yang terlalu memperluas mantiq ke dalam ranah metafisika.⁹
Menurutnya, logika formal harus tetap menjadi standar bagi validitas berpikir,
sedangkan aspek material menjadi wilayah penilaian kebenaran empiris.
Perdebatan antara posisi Ibn Sīnā dan Ibn Rushd mencerminkan dinamika
genealogis antara dua orientasi utama dalam mantiq: satu yang integratif
(menggabungkan bentuk dan isi), dan satu yang distingtif (memisahkan bentuk
dari isi).¹⁰
Pada abad pertengahan dan sesudahnya, pembahasan
tentang al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī terus
berkembang dalam tradisi madrasah Islam di Timur Tengah dan Persia.
Karya-karya seperti Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī dan Al-Qisṭās
al-Mustaqīm karya al-Ghazālī memperlihatkan bagaimana logika menjadi bagian
integral dari kurikulum intelektual Islam.¹¹ Dalam konteks ini, pembagian mantiq
berdasarkan objeknya tidak hanya menjadi pembahasan teoritis, tetapi juga
fondasi metodologis bagi pemikiran Islam klasik dalam berbagai bidang
ilmu—termasuk teologi, hukum, dan filsafat.
Dengan demikian, secara historis, pembagian ilmu mantiq
menjadi logika formal dan logika material merupakan hasil dialektika panjang
antara warisan Yunani dan kreativitas intelektual Islam. Genealogi pemikiran
ini menunjukkan bahwa para logikawan Muslim tidak sekadar meniru sistem
Aristoteles, tetapi juga menafsirkannya ulang dalam kerangka tauhid dan
epistemologi Islam, sehingga menghasilkan sistem mantiq yang khas,
dinamis, dan integral.¹²
Footnotes
[1]
Aristotle, Organon, trans. H. Tredennick
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1938), 3–5.
[2]
Jonathan Lear, Aristotle and Logical Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 1980), 27–30.
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 45–49.
[4]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 11–14.
[5]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (Oxford: Oxford
University Press, 1952), 9–12.
[6]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 55–58.
[7]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 19–22.
[8]
George F. Hourani, “Al-Ghazālī and the
Philosophers,” Muslim World 48, no. 2 (1958): 183–184.
[9]
Ibn Rushd, Talkhīs Kitāb al-Burhān, ed. Jamāl
al-Dīn al-ʿAlawī (Casablanca: Dār al-Thaqāfah, 1986), 42–45.
[10]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 248–250.
[11]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 31–35.
[12]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 14–16.
3.
Ontologi
Pembagian Ilmu Mantiq
Dalam tradisi filsafat Islam, pembahasan ontologis
terhadap ilmu mantiq berkaitan dengan hakikat keberadaan (wujūd)
dari objek yang dipelajarinya. Ilmu mantiq tidak membahas realitas
eksternal seperti ilmu alam atau metafisika, melainkan realitas mental (al-wujūd
al-dhihnī), yaitu struktur konseptual dari pikiran manusia ketika berproses
menuju pengetahuan yang benar.¹ Karena itu, secara ontologis, mantiq
berposisi sebagai ilmu normatif yang mengatur bentuk dan arah berpikir rasional
agar sejalan dengan prinsip kebenaran.
Pembagian mantiq menjadi al-manṭiq al-ṣuwarī (logika formal) dan al-manṭiq al-māddī (logika material)
memiliki dasar ontologis yang kuat, sebab keduanya merepresentasikan dua
dimensi realitas rasional: bentuk (ṣūrah) dan isi (māddah).²
Dalam pandangan ini, bentuk adalah struktur universal dari setiap penalaran
yang sahih, sedangkan isi merupakan substansi kognitif yang memberi makna pada
proposisi.³ Dengan demikian, al-manṭiq al-ṣuwarī berkaitan dengan “kayfiyyah
al-taʿaqqul” (cara berpikir yang benar), sedangkan al-manṭiq al-māddī
berhubungan dengan “ṣidq al-maʿqūl” (kebenaran isi yang dipikirkan).
Dari perspektif ontologis Ibn Sīnā, pikiran manusia
selalu beroperasi dalam dua tahap keberadaan: ṣūrah dhihniyyah (bentuk
konseptual) dan maʿnā māddiyyah (isi realitas).⁴ Akal pertama-tama
menangkap bentuk umum dari objek (konsep), kemudian menilai kebenaran isi
melalui korespondensi dengan realitas eksternal (al-wujūd al-khārijī).
Dengan demikian, logika formal berfungsi memastikan kesahihan hubungan
bentuk-bentuk ide dalam pikiran, sedangkan logika material memastikan kesesuaian
antara bentuk tersebut dan realitas yang dirujuknya.
Al-Fārābī menjelaskan bahwa setiap ilmu memiliki
objek yang spesifik (mawḍūʿ al-ʿilm), dan objek mantiq adalah “al-maʿqūlāt
al-thāniyyah” —yakni konsep-konsep sekunder yang membentuk struktur
berpikir.⁵ Dari sini, jelas bahwa mantiq tidak membahas zat (jawhar)
atau aksi (ʿaraḍ) dari benda konkret, tetapi relasi-relasi konseptual
seperti genus, spesies, predikat, dan proposisi. Pembagian logika formal dan
material muncul karena objek tersebut dapat ditinjau dari dua sisi: sebagai
bentuk murni berpikir (tanpa memperhatikan isi), atau sebagai bentuk yang
dipertimbangkan bersama substansinya.
Secara ontologis, hubungan antara ṣūrah dan māddah
bersifat komplementer, bukan dualistik. Logika formal tidak dapat berdiri
sendiri tanpa materi proposisi yang bermakna, sementara logika material
kehilangan landasan normatif tanpa struktur bentuk yang sahih.⁶ Dalam hal ini,
konsep kesatuan bentuk dan isi sejalan dengan prinsip ontologi Islam yang
menolak dikotomi antara akal dan realitas. Akal tidak menciptakan kebenaran,
melainkan menyingkapnya melalui bentuk rasional yang benar.
Al-Ghazālī menegaskan bahwa bentuk dan isi berpikir
ibarat dua sisi mata uang: bentuk menjamin ketertiban (niẓām) berpikir,
sementara isi menjamin substansi kebenaran.⁷ Jika salah satu hilang,
pengetahuan kehilangan dimensi ontologisnya. Dengan demikian, pembagian mantiq
tidak dimaksudkan untuk memisahkan dua wilayah otonom, tetapi untuk menjelaskan
dua aspek eksistensial dari proses berpikir manusia yang saling mengandaikan.
Dari sudut pandang metafisika Islam, keberadaan
rasional (ontologi logis) merupakan bayangan dari tatanan keberadaan real (wujūd
khārijī).⁸ Oleh karena itu, logika formal mencerminkan tatanan nalar yang
ideal (nizām al-ʿaql), sedangkan logika material mencerminkan tatanan
realitas empiris (nizām al-wujūd). Kedua tatanan ini bersatu dalam
epistemologi Islam, di mana pengetahuan yang benar adalah hasil kesesuaian
antara tatanan berpikir dan tatanan realitas. Dengan kata lain, ontologi mantiq
menegaskan kesatuan antara rasionalitas dan eksistensi, antara bentuk dan
substansi, yang menjadi dasar seluruh struktur pengetahuan Islam.⁹
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 21–23.
[2]
Muhammad Abduh, Risālah fī ʿIlm al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1982), 14–16.
[3]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (Oxford: Oxford
University Press, 1952), 18–20.
[4]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 59–61.
[5]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 27–29.
[6]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 252–254.
[7]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 35–38.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 125–128.
[9]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 23–25.
4.
Epistemologi
Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī)
Epistemologi al-manṭiq al-ṣuwarī berfokus
pada hakikat pengetahuan yang bersumber dari bentuk dan struktur berpikir yang
benar. Dalam tradisi Islam klasik, logika formal tidak dimaksudkan untuk
membahas substansi realitas empiris, melainkan tata aturan berpikir yang
menjamin kesahihan inferensi.¹ Al-manṭiq al-ṣuwarī berfungsi sebagai
ukuran validitas penalaran dengan menelaah hubungan antarproposisi, tanpa
memperhatikan benar atau salahnya isi proposisi tersebut secara material.
Dengan kata lain, logika formal merupakan qānūn al-fikr al-ṣaḥīḥ—hukum
berpikir yang benar secara struktural.²
Al-Fārābī mendefinisikan mantiq sebagai
“alat untuk memelihara akal dari kesalahan,” yang menunjukkan bahwa logika formal berfungsi sebagai penjaga (ḥāris) rasionalitas.³ Ia menyusun
klasifikasi penalaran berdasarkan bentuknya (ṣūrah al-qiyās), di mana
keabsahan kesimpulan tergantung pada keteraturan hubungan antara
premis-premisnya.⁴ Dalam kerangka ini, kebenaran formal bukanlah kebenaran
ontologis, tetapi kebenaran relasional yang bersifat konsisten dan
non-kontradiktif. Prinsip dasar ini melahirkan tiga hukum berpikir utama yang
menjadi fondasi logika formal: hukum identitas (qānūn al-huwiyyah),
hukum kontradiksi (qānūn al-tanāquḍ), dan hukum eksklusi tengah (qānūn
al-wasaṭ al-manfī).⁵
Ibn Sīnā melanjutkan kerangka ini dengan mengembangkan
epistemologi logika formal dalam sistem silogistik yang lebih kompleks. Ia
menjelaskan bahwa berpikir logis adalah proses penghubungan antara dua konsep
(subjek dan predikat) melalui proposisi yang sahih, yang kemudian disusun dalam
bentuk deduksi (qiyās).⁶ Validitas qiyās tidak diukur dari
kebenaran materiilnya, melainkan dari bentuk relasi yang menghubungkan term
mayor, minor, dan konklusi.⁷ Dengan demikian, logika formal menjadi sarana
untuk memastikan bahwa setiap kesimpulan diperoleh secara niscaya (ḍarūrī)
dari premis-premis yang telah diberikan.
Secara epistemologis, al-manṭiq al-ṣuwarī
berfungsi sebagai instrumen universal dalam semua bidang pengetahuan.
Al-Ghazālī menegaskan bahwa siapa pun yang tidak menguasai mantiq “tidak
dapat dipercaya ilmunya,” karena ia tidak memiliki alat ukur untuk membedakan
antara penalaran yang sahih dan yang keliru.⁸ Dalam pandangannya, mantiq
ṣuwarī adalah sarana untuk memperoleh pengetahuan yang yaqīnī
(pasti), sebab ia menertibkan struktur berpikir manusia agar selaras dengan
prinsip rasionalitas yang niscaya.
Fungsi epistemologis logika formal juga terlihat
dalam konsep validitas inferensial. Menurut al-Kātibī dalam Al-Risālah
al-Shamsiyyah, suatu argumentasi dinilai benar apabila kesimpulannya
mengikuti secara niscaya dari bentuk hubungan antar-premis, bukan dari isi
empirisnya.⁹ Hal ini menegaskan bahwa epistemologi logika formal beroperasi
pada tataran ṣuwar taʿaqquliyyah (bentuk-bentuk intelektual), bukan pada
substansi realitas. Maka, kesalahan berpikir (mughālaṭah) dianggap
sebagai cacat dalam bentuk inferensi, bukan semata-mata kesalahan dalam isi
proposisi.
Dalam konteks filsafat Islam, hubungan antara
logika formal dan pengetahuan rasional menunjukkan adanya kesinambungan antara al-ʿaql
al-naẓarī (akal teoretis) dan al-ʿaql al-ʿamalī (akal praktis).¹⁰
Logika formal menjadi dasar bagi al-ʿaql al-naẓarī untuk memahami
kebenaran secara sistematik. Melalui struktur inferensi yang benar, akal
memperoleh kejelasan konseptual dan keteraturan berpikir, yang kemudian menjadi
landasan bagi aktivitas praktis dalam bidang etika, hukum, dan teologi.
Dalam pandangan epistemologis Islam, al-manṭiq al-ṣuwarī bukan hanya sekadar alat teknis, tetapi juga cermin dari
keteraturan rasionalitas ilahi yang tertanam dalam tatanan ciptaan.¹¹
Sebagaimana struktur kosmos tunduk pada hukum-hukum keteraturan, demikian pula
akal manusia tunduk pada hukum logika yang menjamin koherensi penalaran. Karena
itu, logika formal berfungsi ganda: secara metodologis sebagai pengatur berpikir,
dan secara filosofis sebagai cerminan keteraturan ontologis alam semesta.
Dengan demikian, epistemologi logika formal (al-manṭiq al-ṣuwarī) dalam tradisi Islam menekankan bahwa kebenaran berpikir tidak
ditentukan oleh pengalaman empiris semata, melainkan oleh kesahihan bentuk
inferensial yang sesuai dengan prinsip rasionalitas universal. Ia membentuk
dasar bagi segala bentuk pengetahuan yang sahih, sekaligus menjadi sarana untuk
menghindarkan akal dari kekeliruan konseptual. Dalam tataran filosofis, logika formal menjadi manifestasi tertinggi dari rasionalitas yang tertib, koheren,
dan berakar pada hakikat intelektual manusia.¹²
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 33–35.
[2]
Muhammad Abduh, Risālah fī ʿIlm al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1982), 21–22.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 18–19.
[4]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 28–30.
[5]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 256–257.
[6]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 64–66.
[7]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (Oxford: Oxford
University Press, 1952), 22–24.
[8]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 41–43.
[9]
Najm al-Dīn al-Kātibī, Al-Risālah al-Shamsiyyah
fī al-Qawāʿid al-Manṭiqiyyah, ed. Khaled El-Rouayheb (Tehran: Iranian
Institute of Philosophy, 2010), 12–14.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 87–89.
[11]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 72–74.
[12]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 49–52.
5.
Epistemologi
Logika Material (al-Manṭiq al-Māddī)
Epistemologi al-manṭiq al-māddī membahas
aspek kebenaran pengetahuan yang bersumber dari isi (māddah) pemikiran,
bukan semata-mata dari bentuk (ṣūrah) penalaran. Jika al-manṭiq al-ṣuwarī menjamin validitas struktur berpikir, maka al-manṭiq al-māddī
memastikan kebenaran substansi proposisi yang berhubungan langsung dengan
realitas objektif.¹ Dalam konteks ini, logika material berfungsi sebagai
penghubung antara penalaran rasional dan kebenaran ontologis, sebab ia menilai
apakah isi pikiran sesuai dengan realitas yang diacu (mutābiq li al-wāqiʿ).²
Konsep ini berakar pada pandangan para filsuf
Muslim klasik, khususnya Ibn Sīnā dan al-Ghazālī, yang memandang bahwa proses
berpikir terdiri atas dua tahap epistemik: (1) penataan bentuk penalaran secara
logis, dan (2) pembenaran materi proposisi berdasarkan kesesuaiannya dengan
realitas.³ Ibn Sīnā menegaskan bahwa akal tidak hanya berfungsi membentuk
relasi konseptual antar-ide, tetapi juga menilai kesesuaian ide tersebut dengan
al-wujūd al-khārijī (realitas eksternal).⁴ Oleh karena itu, kebenaran
logis formal belum cukup tanpa kebenaran material yang bersifat
korespondensial.
Al-Fārābī menggambarkan hubungan ini sebagai
integrasi antara dua jenis kebenaran: ṣidq ṣuwarī (kebenaran bentuk) dan
ṣidq māddī (kebenaran isi).⁵ Menurutnya, akal harus beroperasi dalam
keseimbangan antara keduanya, sebab bentuk yang benar tanpa isi yang benar
menghasilkan pengetahuan kosong, sementara isi yang benar tanpa bentuk yang
sahih menghasilkan pengetahuan yang rancu.⁶ Maka, al-manṭiq al-māddī
hadir sebagai penguji validitas isi berpikir—yakni sebagai epistemologi yang
menjamin taṭābuq al-fikr wa al-wāqiʿ (kesesuaian antara pikiran dan
kenyataan).
Dalam kerangka al-Ghazālī, mantiq māddī
terkait dengan dimensi moral dan religius dari pengetahuan. Dalam Miʿyār
al-ʿIlm, ia menegaskan bahwa penalaran yang benar harus mengandung
kebenaran substansial yang menuntun manusia pada realitas hakiki, bukan sekadar
kemenangan argumentatif.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa logika material tidak hanya
bersifat epistemik, tetapi juga aksiologis: ia memastikan bahwa isi berpikir
mengandung nilai kebenaran dan kebaikan. Dengan demikian, al-manṭiq al-māddī
menjadi jembatan antara epistemologi dan etika rasional.
Pada masa kemudian, para logikawan Islam seperti
al-Kātibī dan al-Ṭūsī memperluas cakupan mantiq māddī dalam konteks
filsafat ilmu. Mereka membedakan antara pengetahuan yang hanya sah secara
formal (ʿilm ṣuwarī) dan pengetahuan yang sah secara material (ʿilm
māddī), yakni yang didukung oleh bukti empiris dan korespondensi
ontologis.⁸ Dalam pandangan ini, mantiq māddī menjadi dasar bagi
perkembangan ilmu-ilmu rasional dan eksperimental di dunia Islam, karena ia
mengajarkan bahwa kebenaran tidak cukup diverifikasi oleh bentuk logis, tetapi
harus dibuktikan oleh isi yang benar secara real.
Epistemologi logika material juga memperlihatkan
keterhubungan erat antara rasionalitas dan realitas. Dalam filsafat Ibn Rushd,
misalnya, rasio manusia harus bekerja sesuai dengan struktur realitas yang
teratur (nizām al-wujūd).⁹ Oleh karena itu, validitas berpikir tidak
hanya diukur dari logika inferensial, tetapi juga dari kemampuan akal menangkap
keteraturan alam secara proporsional. Dengan cara ini, al-manṭiq al-māddī
menjadi epistemologi yang bersifat realistis—menyatukan nalar, pengalaman, dan
keberadaan.
Dari perspektif epistemologi Islam yang integral, al-manṭiq al-māddī berperan dalam menjembatani antara pengetahuan rasional (ʿaqlī)
dan pengetahuan empiris (tajrībī).¹⁰ Ia menegaskan bahwa isi pengetahuan
yang benar harus memenuhi tiga syarat utama: kesesuaian dengan realitas
(korespondensi), keterpaduan dengan prinsip logis (koherensi), dan manfaat bagi
tujuan kebenaran (pragmatis).¹¹ Dengan demikian, al-manṭiq al-māddī
memperluas fungsi logika dari sekadar alat berpikir formal menjadi alat
pembenaran ilmiah dan moral bagi seluruh disiplin pengetahuan.
Dalam konteks modern, prinsip-prinsip al-manṭiq al-māddī relevan untuk memahami dasar epistemologis ilmu pengetahuan
empiris dan rasional kritis. Ia mengingatkan bahwa setiap kebenaran ilmiah
harus didukung oleh bukti yang benar dan bebas dari mughālaṭah māddiyyah
(kesalahan isi).¹² Karena itu, logika material berfungsi sebagai penjaga
integritas pengetahuan—menghubungkan struktur berpikir dengan realitas yang
hidup, serta menegakkan prinsip bahwa kebenaran sejati selalu terletak dalam
kesesuaian antara nalar dan eksistensi.
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 37–39.
[2]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 258–260.
[3]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (Oxford: Oxford
University Press, 1952), 25–27.
[4]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 69–71.
[5]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 31–33.
[6]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 35–37.
[7]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 47–49.
[8]
Najm al-Dīn al-Kātibī, Al-Risālah al-Shamsiyyah
fī al-Qawāʿid al-Manṭiqiyyah, ed. Khaled El-Rouayheb (Tehran: Iranian
Institute of Philosophy, 2010), 18–20.
[9]
Ibn Rushd, Talkhīs Kitāb al-Burhān, ed.
Jamāl al-Dīn al-ʿAlawī (Casablanca: Dār al-Thaqāfah, 1986), 52–54.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 93–95.
[11]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 81–84.
[12]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 59–61.
6.
Aksiologi
dan Fungsi Praktis Pembagian Ilmu Mantiq
Aksiologi mantiq membahas nilai, manfaat,
dan fungsi praktis dari logika sebagai perangkat intelektual dalam kehidupan
ilmiah dan sosial. Dalam tradisi filsafat Islam, mantiq tidak hanya
dipahami sebagai disiplin teoretis, tetapi juga sebagai sarana etis dan
pedagogis untuk menata cara berpikir manusia.¹ Pembagian ilmu mantiq
menjadi al-manṭiq al-ṣuwarī (logika formal) dan al-manṭiq al-māddī
(logika material) memperlihatkan dua fungsi aksiologis utama: pertama, fungsi
normatif untuk menjamin ketepatan bentuk berpikir; kedua, fungsi evaluatif
untuk memastikan kebenaran isi pengetahuan yang dihasilkan.²
Secara aksiologis, al-manṭiq al-ṣuwarī
bernilai sebagai penjaga struktur rasionalitas. Ia menanamkan kebiasaan
berpikir sistematis, tertib, dan konsisten. Al-Fārābī menegaskan bahwa mantiq ṣuwarī berperan seperti timbangan bagi akal (mīzān al-ʿaql), yakni
mengatur proposisi agar tidak bertentangan dan memastikan kesimpulan ditarik
secara sah.³ Dengan demikian, manfaat praktisnya tidak terbatas pada filsafat,
tetapi juga pada semua bidang ilmu yang menuntut konsistensi
inferensial—seperti teologi (ʿilm al-kalām), hukum Islam (uṣūl
al-fiqh), dan retorika.⁴
Sementara itu, al-manṭiq al-māddī memiliki
nilai aksiologis dalam ranah penilaian substansi berpikir. Ia mengajarkan
pentingnya kebenaran materi proposisi, bukan sekadar keindahan argumentasi.⁵
Menurut Ibn Sīnā, kebenaran formal harus diikuti oleh kebenaran material agar
pengetahuan tidak berhenti pada tataran deduktif yang kosong.⁶ Dengan demikian,
logika material menjadi pedoman etis dan epistemologis yang menuntun akal
manusia untuk menyesuaikan pikirannya dengan realitas dan nilai kebenaran yang
hakiki (al-ḥaqq).
Kedua cabang logika ini memiliki fungsi praktis
yang berbeda namun saling melengkapi. Logika formal menghindarkan manusia dari mughālaṭah
ṣuwarīyah (kesalahan bentuk berpikir), sedangkan logika material melindungi
dari mughālaṭah māddiyyah (kesalahan isi atau makna).⁷ Dalam konteks
pendidikan Islam klasik, pembagian ini menjadi dasar pembentukan adab
al-fikr—yakni etika berpikir yang menyeimbangkan ketajaman rasio dan
ketulusan hati dalam mencari kebenaran.⁸
Al-Ghazālī menegaskan bahwa nilai logika tidak
hanya terletak pada ketepatan berpikir, tetapi juga pada tujuan moralnya. Dalam
Miʿyār al-ʿIlm, ia menyatakan bahwa logika adalah alat untuk menuntun
manusia pada pengetahuan yang benar dan menjauhkannya dari ilusi intelektual
yang menyesatkan.⁹ Dengan demikian, aksiologi mantiq mencakup dimensi
spiritual: berpikir benar adalah bentuk ibadah intelektual karena ia merupakan
partisipasi akal manusia dalam keteraturan ilahi.
Fungsi praktis pembagian ilmu mantiq juga
tercermin dalam penerapannya pada berbagai disiplin keilmuan. Dalam uṣūl
al-fiqh, logika formal digunakan untuk menyusun kaidah deduktif hukum,
sementara logika material digunakan untuk menilai kesesuaian dalil dengan
konteks realitas sosial dan moral.¹⁰ Dalam filsafat dan teologi, kedua jenis
logika tersebut berfungsi sebagai alat klarifikasi konsep, penolakan
kontradiksi, serta penegakan argumentasi yang rasional dan etis.¹¹ Dengan
demikian, mantiq menjadi dasar keilmuan yang mempertautkan rasionalitas,
etika, dan keadilan epistemik.
Selain nilai intelektualnya, pembagian mantiq
juga memiliki fungsi sosial. Dalam tradisi madrasah Islam, pengajaran logika
membentuk budaya berpikir kritis dan dialogis yang mendorong toleransi
intelektual.¹² Seorang pemikir yang terlatih dalam mantiq ṣuwarī tidak
mudah terjebak dalam kekeliruan nalar, sementara yang memahami mantiq māddī
tidak mudah tertipu oleh argumentasi yang kelihatannya benar tetapi secara
substansial keliru. Dengan demikian, mantiq memiliki fungsi sosial
sebagai pengendali wacana dan penjaga etika berpikir dalam ruang publik
Islam.¹³
Dalam konteks modern, aksiologi mantiq
menemukan relevansi baru dalam dunia pendidikan, sains, dan komunikasi digital.
Logika formal menjadi dasar bagi sistem komputasi dan algoritma rasional,
sedangkan logika material menjadi prinsip bagi etika informasi dan validasi
kebenaran data.¹⁴ Kedua dimensi ini, bila diintegrasikan, mampu melahirkan
paradigma berpikir kritis yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga
bijaksana secara moral. Dengan demikian, mantiq tetap relevan sebagai
fondasi intelektual bagi pembentukan manusia rasional, etis, dan integral.¹⁵
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 41–43.
[2]
Muhammad Abduh, Risālah fī ʿIlm al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1982), 24–26.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 35–37.
[4]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 38–40.
[5]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 262–264.
[6]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 73–75.
[7]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 51–53.
[8]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 85–88.
[9]
George F. Hourani, “Al-Ghazālī and the
Philosophers,” Muslim World 48, no. 2 (1958): 189–191.
[10]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal
Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 42–44.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 130–132.
[12]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 63–66.
[13]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 1998), 112–114.
[14]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Future of
Natural Philosophy (London: Mansell, 1989), 59–61.
[15]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of
Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 88–91.
7.
Dimensi
Sosial dan Intelektual dalam Tradisi Islam
Ilmu mantiq tidak hanya berfungsi sebagai
disiplin rasional individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan
intelektual yang luas dalam sejarah peradaban Islam. Ia memainkan peran penting
dalam membentuk tradisi berpikir kritis, metodologi ilmiah, dan etika
intelektual di berbagai pusat keilmuan Islam klasik, seperti Baghdad, Cordoba,
Kairo, dan Nishapur.¹ Melalui mantiq, komunitas ilmuwan Muslim membangun
kerangka epistemik yang menekankan keteraturan berpikir (niẓām al-fikr),
kejelasan argumentasi, serta penghormatan terhadap kebenaran dan perbedaan
pendapat.
Secara sosial, mantiq berfungsi sebagai
bahasa universal ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Ia menjadi alat komunikasi
intelektual lintas disiplin—menghubungkan ahli fikih, teolog, filsuf, dan
ilmuwan alam.² Dengan menguasai logika, para ulama mampu berdebat secara
rasional tanpa terjebak pada retorika emosional atau dogmatisme. Al-Fārābī
bahkan menggambarkan mantiq sebagai “alat penyatu nalar umat” (ālah li
jamʿ al-ʿuqūl), karena ia memungkinkan terjadinya dialog epistemik yang
melampaui sekat mazhab dan disiplin.³
Dalam lingkungan intelektual Islam klasik,
pengajaran mantiq menjadi bagian penting dari kurikulum madrasah
dan hawzah. Ibn Khaldūn mencatat bahwa logika, bersama dengan gramatika
(naḥw) dan retorika (balāghah), merupakan tiga pilar utama
pendidikan rasional dalam ʿulūm al-ʿaqlīyah (ilmu-ilmu rasional).⁴
Melalui sistem pendidikan ini, mantiq membentuk generasi pemikir yang
tidak hanya cakap secara ilmiah, tetapi juga disiplin secara intelektual dan
etis. Oleh karena itu, logika berfungsi sebagai instrumen sosial untuk
menanamkan budaya berpikir kritis dan menegakkan keadilan epistemik dalam
masyarakat.
Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, mantiq
juga memainkan peran dalam membentuk metode ilmiah Islam. Al-Ghazālī
menggunakan logika formal dalam menyusun kaidah deduktif bagi uṣūl al-fiqh,
sementara Ibn al-Haytham dan al-Bīrūnī mengintegrasikan prinsip logika material dalam eksperimen ilmiah mereka.⁵ Dengan demikian, pembagian mantiq ṣuwarī
dan mantiq māddī tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga
mempengaruhi praktik keilmuan yang empiris dan metodologis.
Dimensi sosial mantiq juga terlihat dalam
fungsinya sebagai sarana menjaga adab al-ikhtilāf—etika perbedaan
pendapat. Dalam tradisi ḥalaqah (lingkaran studi), para ulama
menggunakan logika untuk menguji argumen secara objektif dan menghindari debat
yang destruktif.⁶ Ibn Rushd menekankan bahwa diskusi rasional yang didasarkan
pada logika bukanlah ancaman bagi agama, melainkan cara untuk memperkuat iman
melalui pemahaman yang benar terhadap dalil.⁷ Dengan demikian, mantiq
berperan sebagai perekat intelektual yang menumbuhkan budaya dialog dan saling
menghormati dalam masyarakat ilmiah Islam.
Selain itu, mantiq turut melahirkan
paradigma intelektual yang menekankan keseimbangan antara rasio dan wahyu.⁸
Dalam masyarakat Islam, nalar tidak diposisikan sebagai oposisi terhadap iman,
tetapi sebagai instrumen untuk memahami pesan ilahi secara lebih dalam. Inilah
sebabnya mengapa banyak teolog dan sufi, seperti al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn
al-Rāzī, mengintegrasikan logika ke dalam metode tafsir dan ilmu kalām. Logika
menjadi sarana untuk menjembatani teks wahyu dengan penalaran manusia, sehingga
melahirkan sintesis antara rasionalitas dan spiritualitas.
Dimensi intelektual mantiq juga tercermin
dalam pengaruhnya terhadap tradisi filsafat dan kebudayaan Islam.⁹ Ia
melahirkan suatu ethos ilmiah yang menghargai argumentasi, bukti, dan
keteraturan berpikir. Etos ini menjadi dasar berkembangnya tradisi sains,
filsafat, dan sastra Islam yang rasional dan reflektif. Para sarjana seperti
Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī, al-Kātibī, dan al-Abharī mempopulerkan studi logika di
madrasah, menjadikannya fondasi bagi metodologi ilmiah yang bertahan
berabad-abad.¹⁰
Dalam konteks modern, dimensi sosial dan
intelektual mantiq tetap relevan. Pembagian logika formal dan material
dapat diterapkan dalam dunia pendidikan, politik, dan komunikasi publik untuk
melatih kemampuan berpikir kritis dan etika berargumentasi.¹¹ Di era
disinformasi dan polarisasi wacana, nilai-nilai mantiq menjadi penting
untuk menegakkan rasionalitas publik, mengajarkan klarifikasi konseptual, dan
menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam yang dialogis dan terbuka.¹²
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 85–87.
[2]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 43–45.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 39–41.
[4]
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd
al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-ʿUlūm, 2005), 348–351.
[5]
A. I. Sabra, “Science and Philosophy in Medieval
Islamic Theology,” Zeitschrift für Geschichte der Arabisch-Islamischen
Wissenschaften 9 (1994): 15–18.
[6]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal
Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 51–54.
[7]
Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl fīmā Bayna al-Ḥikmah wa
al-Sharīʿah min al-Ittiṣāl, ed. Muḥammad ʿĀbid al-Jābirī (Beirut: Markaz
Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah, 1998), 28–30.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 136–138.
[9]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 93–95.
[10]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 69–72.
[11]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Future of
Natural Philosophy (London: Mansell, 1989), 63–65.
[12]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to
the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 101–104.
8.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
Kajian terhadap pembagian ilmu mantiq
menjadi al-manṭiq al-ṣuwarī (logika formal) dan al-manṭiq al-māddī
(logika material) tidak luput dari kritik dan klarifikasi filosofis, baik dari
kalangan pemikir Islam klasik maupun dari perspektif filsafat modern.
Kritik-kritik tersebut umumnya berpusat pada dua hal: pertama, pada pertanyaan
apakah pemisahan antara bentuk dan isi berpikir dapat dipertahankan secara
mutlak; dan kedua, pada sejauh mana pembagian tersebut masih relevan bagi
epistemologi kontemporer.¹
Secara historis, beberapa logikawan Islam
menganggap bahwa pemisahan antara bentuk dan isi dalam mantiq bersifat
metodologis, bukan ontologis. Al-Fārābī dan Ibn Sīnā, misalnya, tidak bermaksud
memisahkan secara tegas antara ṣūrah (bentuk) dan māddah (isi),
melainkan menjelaskan dua aspek komplementer dalam satu proses berpikir.²
Bentuk berpikir menjamin keteraturan inferensial, sementara isi berpikir
menjamin kebenaran proposisional. Karena itu, kritik yang menyatakan bahwa
pembagian mantiq bersifat dikotomis dianggap tidak memahami maksud
filosofis di balik klasifikasi tersebut.³
Namun, kritik yang lebih substansial datang dari
kalangan teolog dan ahli kalām, terutama pada masa pasca-Ibn Rushd. Mereka
berpendapat bahwa logika formal cenderung terlalu menekankan validitas bentuk
tanpa mempertimbangkan konteks moral, etis, dan teologis dari isi pengetahuan.⁴
Al-Ghazālī sendiri, meskipun mendukung mantiq sebagai sarana ilmiah,
memperingatkan bahwa penggunaan logika formal yang terlepas dari nilai dapat
menjerumuskan akal pada formalisme kering yang tidak mengantar pada kebenaran
hakiki.⁵ Kritik ini menegaskan bahwa logika, meskipun sahih secara bentuk,
dapat kehilangan makna jika terpisah dari tujuan etis dan kebenaran metafisis.
Dalam konteks filsafat modern, kritik terhadap
pembagian logika formal dan material juga muncul dari filsafat analitik dan
hermeneutika. Bertrand Russell, misalnya, mengembangkan logika simbolik yang
menolak pembedaan tradisional antara bentuk dan isi dengan alasan bahwa isi
proposisi dapat dianalisis secara struktural.⁶ Sementara itu, Hans-Georg
Gadamer berpendapat bahwa setiap bentuk berpikir selalu mengandung horizon
makna yang kontekstual; dengan demikian, “bentuk murni” tidak pernah
benar-benar bebas dari isi historisnya.⁷ Perspektif ini sejalan dengan kritik
kontemporer terhadap dikotomi klasik ṣūrah–māddah, yang dinilai
mengabaikan dimensi linguistik dan interpretatif dari rasionalitas manusia.
Meskipun demikian, tradisi Islam memiliki keunikan
dalam menanggapi kritik semacam ini. Para pemikir seperti Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī
dan al-Kātibī memberikan klarifikasi bahwa pembagian mantiq hanyalah
alat analisis epistemologis yang fleksibel.⁸ Dalam pandangan mereka, logika formal tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa terarah pada isi yang benar.
Sementara logika material tidak mungkin beroperasi tanpa struktur bentuk yang
rasional. Dengan demikian, keduanya tidak berlawanan, tetapi merupakan dua
kutub dalam satu sistem berpikir integral yang mencerminkan keteraturan kosmik
dan akal manusia.⁹
Klarifikasi filosofis ini penting untuk meluruskan
kesalahpahaman modern yang menganggap mantiq sebagai sistem rasional
tertutup. Dalam filsafat Islam, logika bukan hanya “alat berpikir”, melainkan
juga jalan menuju kebenaran yang bersifat ontologis.¹⁰ Karena itu, kritik
terhadap pembagian mantiq hendaknya dipahami sebagai upaya memperkaya,
bukan menolak, kerangka epistemik yang diwariskan tradisi.
Selain itu, perlu dicatat bahwa dalam konteks
filsafat ilmu kontemporer, pembagian mantiq ṣuwarī dan mantiq māddī
dapat dibaca ulang secara produktif. Logika formal dapat diasosiasikan dengan
aspek metodologis ilmu (struktur berpikir ilmiah), sedangkan logika material
berkaitan dengan dimensi empiris dan etis ilmu pengetahuan.¹¹ Dengan cara ini,
pembagian klasik tersebut justru membuka ruang bagi sintesis baru antara
rasionalitas analitik dan nilai-nilai humanistik dalam keilmuan modern.
Kritik dan klarifikasi filosofis ini menunjukkan
bahwa mantiq bukanlah disiplin yang statis, melainkan dinamis dan
terbuka terhadap revisi konseptual. Ia terus berkembang seiring dengan
perkembangan cara manusia memahami realitas dan bahasa.¹² Dengan demikian,
pembagian logika formal dan material, apabila dipahami secara filosofis, bukan
sekadar dikotomi, tetapi representasi dialektis antara struktur dan substansi
pengetahuan—antara tatanan akal dan tatanan wujud.
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 47–49.
[2]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 39–40.
[3]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (Oxford: Oxford
University Press, 1952), 28–30.
[4]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 75–77.
[5]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq (Beirut:
Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 59–61.
[6]
Bertrand Russell, Introduction to Mathematical
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1919), 19–21.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1998), 260–263.
[8]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed.
ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Tehran: Anjuman-e Āsār-e Melli, 1971), 14–16.
[9]
Najm al-Dīn al-Kātibī, Al-Risālah al-Shamsiyyah
fī al-Qawāʿid al-Manṭiqiyyah, ed. Khaled El-Rouayheb (Tehran: Iranian
Institute of Philosophy, 2010), 25–28.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 145–148.
[11]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Future of
Natural Philosophy (London: Mansell, 1989), 67–70.
[12]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 98–101.
9.
Relevansi
Kontemporer
Pembahasan mengenai al-manṭiq al-ṣuwarī
(logika formal) dan al-manṭiq al-māddī (logika material) tidak hanya
bernilai historis, tetapi juga memiliki relevansi yang mendalam dalam konteks
intelektual dan sosial kontemporer. Dalam era modern yang ditandai oleh
kemajuan teknologi, globalisasi informasi, dan krisis epistemik, kedua cabang
logika tersebut menawarkan kerangka rasional untuk menghadapi tantangan
kebenaran, keadilan berpikir, dan integritas pengetahuan.¹
Dalam dunia sains dan teknologi, prinsip-prinsip al-manṭiq al-ṣuwarī memiliki relevansi dalam pengembangan sistem berpikir komputasional
dan kecerdasan buatan.² Struktur formal logika yang menekankan koherensi,
inferensi, dan validitas argumen menjadi fondasi bagi bahasa pemrograman,
algoritma, dan sistem kecerdasan buatan yang meniru pola berpikir manusia.³ Di
sisi lain, al-manṭiq al-māddī berperan dalam menilai kebenaran dan nilai
etis dari data, informasi, serta keputusan teknologi tersebut.⁴ Dalam konteks
ini, pembagian logika formal dan material dapat dipahami sebagai refleksi
epistemologis dari relasi antara struktur algoritmik (bentuk) dan kebenaran
moral atau empiris (isi).
Dalam ranah filsafat ilmu, pembagian mantiq
membantu menjembatani jurang antara rasionalisme dan empirisme. Logika formal
melambangkan ketertiban berpikir deduktif, sedangkan logika material menekankan
hubungan antara pengetahuan dan pengalaman empiris.⁵ Sintesis antara keduanya
membuka jalan bagi pendekatan ilmiah yang integral—di mana penalaran formal
tidak terlepas dari validitas materiil dan etisnya. Dalam konteks ini,
epistemologi Islam yang mengakui keterpaduan akal dan realitas dapat memberikan
kontribusi penting bagi perdebatan filosofis modern tentang objektivitas ilmu.⁶
Relevansi mantiq juga tampak dalam konteks
pendidikan dan formasi intelektual modern. Di tengah krisis berpikir kritis dan
maraknya disinformasi, pengajaran logika formal berperan penting dalam melatih
keterampilan berpikir sistematis dan argumentatif.⁷ Sementara itu, logika material menanamkan kesadaran bahwa setiap argumen harus diuji berdasarkan
kebenaran substansial, bukan sekadar ketepatan bentuk atau kekuatan retorika.⁸
Dalam pendidikan Islam kontemporer, integrasi al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī dapat menumbuhkan paradigma berpikir yang rasional, etis, dan
kontekstual, yang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern yang kompleks.
Dalam dimensi sosial dan politik, prinsip logika formal dan material dapat diaplikasikan untuk memperbaiki kualitas diskursus
publik. Logika formal menuntut kejelasan struktur argumentasi dan menghindarkan
masyarakat dari kekeliruan berpikir (mughālaṭah), sedangkan logika material mengajarkan tanggung jawab epistemik atas isi dan implikasi moral dari
pernyataan publik.⁹ Dalam konteks demokrasi informasi, pembagian ini menjadi
landasan penting untuk membangun budaya dialog yang rasional dan beretika—suatu
kebutuhan mendesak di tengah fenomena polarisasi wacana dan manipulasi
kognitif.¹⁰
Selain itu, pembagian mantiq memiliki
relevansi filosofis dalam diskursus postmodern yang cenderung relativistik. Di
tengah klaim bahwa kebenaran bersifat kontekstual dan terfragmentasi, logika formal menawarkan prinsip koherensi universal, sedangkan logika material
menegaskan perlunya orientasi pada realitas dan nilai-nilai kebenaran yang
objektif.¹¹ Dengan demikian, mantiq dapat menjadi landasan epistemologis
bagi upaya menegakkan kembali rasionalitas yang integral—rasionalitas yang
mengakui pluralitas pandangan tanpa kehilangan arah menuju kebenaran yang utuh.
Dalam perspektif spiritual dan humanistik,
relevansi mantiq juga mencakup pembentukan kesadaran intelektual yang
etis. Berpikir benar bukan hanya soal konsistensi logis, tetapi juga tentang
kejujuran niat dan orientasi moral terhadap kebenaran.¹² Dengan demikian, mantiq
berfungsi sebagai jalan bagi tazkiyah al-ʿaql—penyucian akal melalui
penataan berpikir yang benar dan bernilai. Dalam kerangka ini, logika formal
dan material dapat dipahami sebagai dua sisi dari satu kesadaran filosofis yang
menuntun manusia untuk berpikir jernih, bertanggung jawab, dan adil terhadap
kebenaran.¹³
Akhirnya, dalam era digital dan globalisasi
pengetahuan, integrasi al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī
menjadi prasyarat bagi peradaban rasional yang beretika. Keduanya menyediakan
dasar bagi pembentukan budaya berpikir kritis yang tidak terlepas dari
nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.¹⁴ Dengan menghidupkan kembali semangat mantiq
dalam bentuknya yang integral, umat Islam dapat memberikan kontribusi penting
bagi pengembangan rasionalitas universal yang terbuka, dialogis, dan
berkeadilan—sebuah rasionalitas yang menyatukan akal dan hati dalam menafsirkan
realitas dan kebenaran.¹⁵
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 53–55.
[2]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 47–49.
[3]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 270–272.
[4]
Luciano Floridi, The Logic of Information: A
Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press,
2019), 12–14.
[5]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 103–106.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 97–100.
[7]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal
Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 58–60.
[8]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 65–67.
[9]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 83–85.
[10]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Future of
Natural Philosophy (London: Mansell, 1989), 72–74.
[11]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1998), 288–291.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 151–154.
[13]
George F. Hourani, “Al-Ghazālī and the
Philosophers,” Muslim World 48, no. 2 (1958): 196–198.
[14]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to
the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 107–110.
[15]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 121–123.
10. Sintesis Filosofis
Sintesis filosofis atas pembagian ilmu mantiq
menjadi al-manṭiq al-ṣuwarī (logika formal) dan al-manṭiq al-māddī
(logika material) bertujuan untuk mengintegrasikan keduanya dalam satu kesatuan
epistemologis dan ontologis yang harmonis. Dalam tradisi filsafat Islam,
sintesis ini tidak dipahami sebagai kompromi sederhana antara dua sistem
berpikir, melainkan sebagai penegasan bahwa bentuk dan isi merupakan dua aspek
yang tak terpisahkan dari satu realitas pengetahuan yang utuh.¹
Dari sudut pandang ontologis, ṣūrah (bentuk)
dan māddah (isi) tidak berdiri sendiri; keduanya saling melengkapi
seperti akal dan realitas.² Al-manṭiq al-ṣuwarī menjaga struktur
berpikir agar selaras dengan prinsip rasionalitas universal, sedangkan al-manṭiq al-māddī memastikan bahwa isi berpikir tersebut merefleksikan kebenaran
empiris dan metafisis.³ Dalam hal ini, bentuk tanpa isi hanyalah kerangka
kosong, sementara isi tanpa bentuk adalah chaos epistemik. Oleh karena itu,
kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui kesatuan harmonis antara bentuk
yang benar dan isi yang benar.
Ibn Sīnā mengisyaratkan sintesis ini melalui konsep
al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif) yang berfungsi menghubungkan dunia ide
dengan dunia realitas.⁴ Akal aktif bekerja melalui logika formal untuk menyusun
pengetahuan secara rasional, namun pada saat yang sama berorientasi pada isi
realitas eksternal.⁵ Dalam kerangka ini, mantiq berfungsi sebagai
jembatan antara rasio dan wujud, antara pemahaman konseptual dan pengalaman
empiris. Dengan demikian, sintesis mantiq ṣuwarī dan mantiq māddī
menjadi dasar bagi epistemologi Islam yang integral dan transenden.
Al-Fārābī menyebut kesatuan tersebut sebagai tawāfuq
bayn al-ʿaql wa al-wujūd—kesesuaian antara struktur akal dan tatanan
realitas.⁶ Artinya, hukum-hukum berpikir yang sahih tidak berdiri terpisah dari
hukum-hukum kosmik yang mengatur alam semesta. Prinsip-prinsip logika formal,
seperti identitas dan non-kontradiksi, mencerminkan hukum-hukum ontologis yang
melekat pada ciptaan.⁷ Dengan demikian, sintesis filosofis logika formal dan
material bukan hanya bersifat epistemik, tetapi juga metafisik: ia mengungkap
keselarasan antara nalar manusia dan keteraturan ciptaan Tuhan.
Dalam perspektif al-Ghazālī, kesatuan tersebut
mengandung makna spiritual. Logika formal melatih manusia berpikir dengan
tertib dan benar, sementara logika material menuntun manusia pada kebenaran
hakiki (al-ḥaqq).⁸ Dengan demikian, berpikir logis bukan sekadar
aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk tazkiyah al-ʿaql (penyucian
akal). Proses berpikir yang benar menjadi bagian dari ibadah intelektual,
karena ia meniru keteraturan ilahi yang tercermin dalam struktur rasionalitas
manusia.⁹
Secara epistemologis, sintesis al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī juga menegaskan pentingnya
keseimbangan antara taʿaqqul (berpikir rasional) dan taḥaqquq
(penghayatan kebenaran). Logika formal menjamin keabsahan berpikir, sementara
logika material menegaskan kesesuaian dengan kebenaran real.¹⁰ Keduanya berpadu
untuk menghasilkan pengetahuan yang tidak hanya benar secara logis, tetapi juga
bermakna secara eksistensial.
Dalam konteks kontemporer, sintesis filosofis ini
relevan untuk membangun paradigma berpikir integral—sebuah rasionalitas yang
menolak dikotomi antara ilmu dan nilai, antara fakta dan makna.¹¹ Mantiq
yang bersifat integral dapat menjadi fondasi bagi rekonstruksi ilmu pengetahuan
Islam yang memadukan akurasi metodologis dengan orientasi moral dan spiritual.
Dengan menggabungkan disiplin logika formal yang sistematik dan logika material
yang etis, epistemologi Islam dapat menjawab tantangan relativisme dan krisis
makna yang melanda dunia modern.¹²
Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa penyatuan
antara bentuk dan substansi dalam berpikir adalah refleksi dari penyatuan
antara intelek manusia (ʿaql) dan intelek ilahi (al-ʿaql al-awwal).¹³
Dalam kerangka metafisika Islam, kebenaran rasional dan kebenaran spiritual
tidak berlawanan, tetapi bersumber dari satu realitas tunggal (al-ḥaqq
al-wāḥid). Dengan demikian, sintesis filosofis dalam mantiq adalah
refleksi dari tauhid epistemik—kesatuan kebenaran dalam keberagaman bentuk
pengetahuan.¹⁴
Dengan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
sintesis filosofis al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī
merupakan puncak dari integrasi rasionalitas Islam. Ia menegaskan bahwa
berpikir yang benar harus selalu diiringi oleh makna dan tujuan yang benar.
Logika bukan sekadar alat analisis, melainkan jalan menuju kesadaran
intelektual yang menyatukan akal, realitas, dan nilai-nilai ilahi.¹⁵ Dengan
demikian, sintesis ini melahirkan suatu paradigma filsafat Islam yang
komprehensif—rasional tanpa kehilangan dimensi spiritual, empiris tanpa kehilangan
makna metafisis, dan kritis tanpa kehilangan kesadaran etis.
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 57–59.
[2]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 43–45.
[3]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 274–276.
[4]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (Oxford: Oxford
University Press, 1952), 31–33.
[5]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 78–80.
[6]
Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf, ed. Muhsin Mahdi
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 92–94.
[7]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 53–55.
[8]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 69–71.
[9]
George F. Hourani, “Al-Ghazālī and the
Philosophers,” Muslim World 48, no. 2 (1958): 201–203.
[10]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 108–110.
[11]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Future of
Natural Philosophy (London: Mansell, 1989), 78–80.
[12]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 128–130.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 157–159.
[14]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to
the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 111–114.
[15]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 89–92.
11. Kesimpulan
Pembahasan mengenai pembagian ilmu mantiq
berdasarkan objeknya—yakni al-manṭiq al-ṣuwarī (logika formal) dan al-manṭiq al-māddī (logika material)—menunjukkan bahwa tradisi logika Islam telah
mencapai kedalaman konseptual yang luar biasa dalam memahami hakikat berpikir
manusia. Kedua cabang logika ini bukanlah dua disiplin yang terpisah secara
mutlak, melainkan dua aspek yang saling melengkapi dalam satu kesatuan
epistemologis, ontologis, dan aksiologis.¹ Melalui pembagian ini, para
logikawan Muslim berusaha menata struktur berpikir yang tidak hanya benar
secara formal, tetapi juga benar secara substansial, sehingga pengetahuan yang
dihasilkan memiliki validitas rasional sekaligus kebenaran ontologis.²
Dari sisi ontologis, mantiq berfungsi
sebagai cermin keteraturan akal dan realitas. Logika formal menata bentuk
berpikir agar sejalan dengan hukum-hukum rasionalitas universal, sedangkan
logika material memastikan isi pengetahuan sesuai dengan kenyataan objektif dan
nilai kebenaran.³ Kesatuan antara bentuk dan isi berpikir mencerminkan prinsip
kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd) yang menjadi dasar metafisika
Islam—bahwa segala pengetahuan yang benar bersumber dari dan berujung kepada al-ḥaqq,
kebenaran tertinggi yang merupakan realitas ilahi.⁴
Dari sisi epistemologis, pembagian mantiq
mengajarkan bahwa validitas berpikir tidak hanya bergantung pada konsistensi
logis, tetapi juga pada kebenaran substansial yang diuji melalui pengalaman,
intuisi, dan wahyu.⁵ Dengan demikian, mantiq berfungsi ganda: secara
formal, ia membentuk struktur berpikir yang sahih; secara material, ia menuntun
akal kepada kebenaran yang sesuai dengan realitas.⁶ Dalam konteks ini, logika
Islam menempuh jalan tengah antara rasionalisme yang kering dan empirisme yang
sempit, menghasilkan epistemologi yang integral antara akal dan realitas,
antara deduksi dan observasi.
Dari sisi aksiologis, nilai praktis mantiq
tidak hanya terletak pada manfaat intelektualnya, tetapi juga pada pembentukan
kepribadian rasional dan moral. Al-Ghazālī menyebut berpikir benar sebagai
bagian dari tazkiyah al-ʿaql (penyucian akal), karena berpikir yang
tertib dan benar merupakan refleksi dari keselarasan dengan kehendak dan
keteraturan ilahi.⁷ Oleh karena itu, mantiq tidak semata-mata ilmu
rasional, melainkan juga sarana etis dan spiritual yang menuntun manusia menuju
kebijaksanaan (ḥikmah).
Dalam konteks sosial dan intelektual, pembagian mantiq
berkontribusi besar dalam membentuk budaya dialog, toleransi ilmiah, dan
integrasi ilmu pengetahuan di dunia Islam.⁸ Tradisi madrasah klasik menunjukkan
bahwa mantiq menjadi prasyarat bagi semua cabang ilmu—baik rasional
maupun keagamaan—karena ia menjamin objektivitas, konsistensi, dan kejujuran
berpikir. Relevansi ini masih bertahan hingga kini, terutama dalam menghadapi
disrupsi informasi dan polarisasi intelektual di era digital.⁹
Secara filosofis, sintesis antara al-manṭiq al-ṣuwarī dan al-manṭiq al-māddī mengandung pesan bahwa kebenaran
rasional dan kebenaran moral tidak dapat dipisahkan. Logika yang benar harus
senantiasa diarahkan pada tujuan kebenaran yang sejati, bukan sekadar
kemenangan argumentatif.¹⁰ Inilah ciri khas logika Islam—yakni rasionalitas
yang etis, berpikir yang berakar pada nilai, dan ilmu yang berorientasi pada
kebenaran universal.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pembagian ilmu mantiq
berdasarkan objeknya merupakan pencapaian epistemologis besar dalam tradisi
filsafat Islam. Ia menawarkan model berpikir yang komprehensif dan seimbang
antara bentuk dan isi, antara akal dan realitas, antara pengetahuan dan
nilai.¹¹ Dalam dunia modern yang ditandai oleh krisis makna dan fragmentasi
kebenaran, sintesis mantiq ṣuwarī dan mantiq māddī dapat menjadi
inspirasi bagi pembangunan rasionalitas yang integral—rasionalitas yang ilmiah,
etis, dan spiritual sekaligus.¹² Dengan menghidupkan kembali semangat mantiq
sebagai disiplin berpikir dan etika intelektual, umat manusia dapat menapaki
kembali jalan menuju al-ḥikmah al-muttaṣilah bi al-ḥaqq—kebijaksanaan
yang bersatu dengan kebenaran ilahi.¹³
Footnotes
[1]
Ibrahim Madkour, Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1960), 61–63.
[2]
Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 278–280.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq
al-ʿAjam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 46–48.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 161–163.
[5]
Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English
Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (Oxford: Oxford
University Press, 1952), 35–37.
[6]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 82–84.
[7]
Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm fī Fan al-Manṭiq
(Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 73–75.
[8]
Khaled El-Rouayheb, The Development of Arabic
Logic (1200–1800) (Leiden: Brill, 2010), 95–98.
[9]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal
Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 63–65.
[10]
Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 58–60.
[11]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 112–114.
[12]
Ziauddin Sardar, Islamic Science: The Future of
Natural Philosophy (London: Mansell, 1989), 83–85.
[13]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to
the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 117–119.
Daftar Pustaka
Al-Fārābī. (1969). Kitāb al-Ḥurūf (M. Mahdi,
Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.
Al-Fārābī. (1986). Kitāb al-Qiyās (R.
al-ʿAjam, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.
Al-Ghazālī. (1993). Miʿyār al-ʿIlm fī Fan
al-Manṭiq. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Al-Kātibī, N. al-D. (2010). Al-Risālah
al-Shamsiyyah fī al-Qawāʿid al-Manṭiqiyyah (K. El-Rouayheb, Ed.). Tehran:
Iranian Institute of Philosophy.
Al-Ṭūsī, N. al-D. (1971). Asās al-Iqtibās
(ʿA. al-R. Badawī, Ed.). Tehran: Anjuman-e Āsār-e Melli.
Aristotle. (1938). Organon (H. Tredennick,
Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bakar, O. (1998). Classification of Knowledge in
Islam. Cambridge: Islamic Texts Society.
El-Rouayheb, K. (2010). The Development of
Arabic Logic (1200–1800). Leiden: Brill.
Floridi, L. (2019). The Logic of Information: A
Theory of Philosophy as Conceptual Design. Oxford: Oxford University Press.
Gadamer, H.-G. (1998). Truth and Method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries). London: Routledge.
Hallaq, W. B. (1997). A History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunnī Uṣūl al-Fiqh. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hourani, G. F. (1958). Al-Ghazālī and the
Philosophers. Muslim World, 48(2), 183–203.
Ibn Khaldūn. (2005). Al-Muqaddimah (ʿA.
al-S. al-Shaddādī, Ed.). Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-ʿUlūm.
Ibn Rushd. (1986). Talkhīs Kitāb al-Burhān
(J. al-D. al-ʿAlawī, Ed.). Casablanca: Dār al-Thaqāfah.
Ibn Rushd. (1998). Faṣl al-Maqāl fīmā Bayna
al-Ḥikmah wa al-Sharīʿah min al-Ittiṣāl (M. ʿĀ. al-Jābirī, Ed.). Beirut:
Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah.
Ibn Sīnā. (1952). Avicenna’s Psychology: An
English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI (F. Rahman,
Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Ibn Sīnā. (1957). Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt
(S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.
Lear, J. (1980). Aristotle and Logical Theory.
Cambridge: Cambridge University Press.
Leaman, O. (2002). An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Madkour, I. (1960). Al-Manṭiq ʿInda al-Falāsifah
al-Muslimīn. Cairo: Dār al-Maʿārif.
Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in
Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
Albany: State University of New York Press.
Rahman, F. (1952). Avicenna’s Psychology: An
English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II, Chapter VI. Oxford: Oxford
University Press.
Rescher, N. (1963). Studies in Arabic Logic.
Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.
Russell, B. (1919). Introduction to Mathematical
Philosophy. London: George Allen & Unwin.
Sabra, A. I. (1994). Science and Philosophy in
Medieval Islamic Theology. Zeitschrift für Geschichte der
Arabisch-Islamischen Wissenschaften, 9, 15–18.
Sardar, Z. (1989). Islamic Science: The Future
of Natural Philosophy. London: Mansell.
Street, T. (2005). Arabic Logic. In P. Adamson
& R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
(pp. 247–280). Cambridge: Cambridge University Press.
al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the
Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC).
al-Attas, S. M. N. (1999). The Concept of Education
in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur:
ISTAC.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar