Potensi Filsafat bagi Islam
Antara Ancaman, Dialog, dan Integrasi
Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas hubungan dialektis antara
filsafat dan agama dalam tradisi intelektual Islam, dengan menyoroti peran
ganda filsafat sebagai ancaman sekaligus penyangga eksistensi agama. Melalui
telaah historis, genealogis, epistemologis, ontologis, kosmologis, etis, dan
hermeneutis, kajian ini menunjukkan bahwa filsafat berfungsi sebagai perangkat
rasional yang memungkinkan agama tetap koheren, relevan, dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Di sisi lain,
filsafat juga dipandang berpotensi mengguncang doktrin-doktrin fundamental
ketika rasio diposisikan melampaui wahyu. Dialektika ini menghasilkan dinamika
intelektual yang kreatif, menjadi motor perkembangan kalam, ushul al-fiqh,
tasawuf falsafi, dan hikmah muta‘āliyah. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat
tidak hanya menguji batas-batas teologi, tetapi juga memperluas cakrawala
pemahaman agama terhadap sains modern, realitas sosial, dan persoalan etika
kontemporer. Dengan demikian, filsafat terbukti menjadi salah satu fondasi
penting bagi revitalisasi pemikiran Islam modern serta keberlanjutan
eksistensial agama dalam menghadapi tantangan global.
Kata kunci: Filsafat Islam, Akal dan Wahyu, Teologi Islam,
Epistemologi Islam, Hermeneutika Islam, Etika Islam, Kalam, Sains dan Agama,
Pemikiran Islam Modern, Hikmah Muta‘āliyah.
PEMBAHASAN
Filsafat Islam sebagai Penyangga Rasionalitas dan
Penafsir Kritis Ajaran Agama
1.
Pendahuluan
Perdebatan mengenai hubungan antara filsafat dan
agama, khususnya dalam tradisi Islam, merupakan tema klasik yang terus berulang
dalam sejarah intelektual umat manusia. Sepanjang perjalanan peradaban Islam,
filsafat sering dipandang sebagai medan yang ambigu: di satu sisi ia dianggap
sebagai instrumen rasional yang memperkuat argumentasi teologis, tetapi di sisi
lain ia dituduh berpotensi menggoyahkan keyakinan fundamental agama. Ketegangan
ini tidak hanya hadir dalam wacana para pemikir klasik, tetapi juga tetap
relevan dalam konteks modern ketika Islam berhadapan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tantangan global kontemporer.¹
Dalam konteks itu, filsafat Islam memainkan peran
unik. Ia tidak hanya sekadar upaya untuk menerjemahkan pemikiran Yunani ke
dalam dunia Islam, tetapi juga menjadi sarana untuk memahami wahyu dengan
pendekatan rasional yang lebih sistematis. Para pemikir seperti al-Farabi, Ibn
Sina, dan Ibn Rushd memandang bahwa akal dan wahyu bukan entitas yang harus
dipertentangkan, melainkan dua jalur kebenaran yang bersumber dari Tuhan yang
sama.² Namun, sejarah juga mencatat adanya resistensi kuat terhadap filsafat,
terutama dari sebagian teolog yang menganggap pendekatan filosofis dapat
mengantarkan pada spekulasi metafisik yang tidak terkontrol.³
Masalah mendasar yang memicu ketegangan ini adalah
pertanyaan epistemologis: sejauh mana akal dapat menafsirkan dan memahami
wahyu? Dalam tradisi Islam, akal dihormati sebagai anugerah ilahi yang
membedakan manusia dari makhluk lain, namun ia tetap dipandang memiliki
keterbatasan dibandingkan dengan wahyu.⁴ Ketegangan inilah yang kemudian
melahirkan beragam mazhab pemikiran: mulai dari kelompok rasionalis yang menempatkan
akal pada posisi sentral, hingga kelompok tekstualis yang menegaskan supremasi
literalitas wahyu. Filsafat Islam hadir sebagai ruang dialog antara dua kutub
tersebut.
Dalam situasi modern, pertanyaan mengenai fungsi
filsafat dalam agama Islam menjadi semakin penting. Perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan etika kontemporer menuntut agama untuk memberikan
jawaban yang rasional dan relevan. Tanpa filsafat, agama berisiko terjebak
dalam dogmatisme yang kaku dan terputus dari dinamika dunia modern. Namun pada
saat yang sama, tanpa batasan konseptual dan epistemik dari agama, filsafat
dapat melampaui ranahnya dan berspekulasi pada wilayah metafisik yang tidak
memiliki dasar teologis yang kuat.⁵ Oleh karena itu, memahami peran filsafat
Islam dalam menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan wahyu menjadi penting
bagi pengembangan studi keislaman.
Artikel ini disusun untuk mengkaji bagaimana
filsafat Islam berperan sebagai ancaman sekaligus penyangga bagi agama Islam.
Melalui pendekatan historis, epistemologis, dan kritis, kajian ini bertujuan
untuk menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar perangkat berpikir abstrak,
tetapi sebuah instrumen yang dapat menjaga relevansi agama dalam dunia yang
terus berubah. Pembahasan ini akan menelusuri akar genealogi filsafat Islam,
menjelaskan ketegangan epistemologis yang melandasinya, serta menilai
kontribusi filsafat dalam menjembatani agama dengan rasionalitas modern.
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 67.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah,
ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 12–17.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 21.
[5]
Mohammad Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 54–58.
2.
Genealogi Filsafat Islam
Genealogi filsafat Islam tidak dapat dipahami hanya
sebagai proses adopsi terhadap filsafat Yunani, melainkan sebagai evolusi
intelektual yang kompleks, di mana unsur-unsur rasionalitas dari berbagai
peradaban bertemu, saling berinteraksi, dan kemudian ditransformasikan dalam
kerangka teologis serta kultural Islam. Sejak abad ke-8 hingga ke-12, dunia
Islam menjadi pusat peradaban global yang mengintegrasikan warisan intelektual
Yunani, Persia, India, dan tradisi Semitik ke dalam suatu sintesis baru yang
berakar pada nilai-nilai wahyu.¹ Inilah yang menjadikan filsafat Islam bukan
sekadar “filsafat yang ditulis oleh Muslim,” tetapi sebuah tradisi epistemik
yang tumbuh dari dialektika antara akal dan wahyu.
2.1.
Akar Intelektual Pra-Islam dan
Pengaruh Peradaban Sekitar
Sebelum kedatangan Islam, wilayah Timur Dekat telah
menjadi ruang pertemuan ide-ide besar dari Persia, Byzantium, dan India.
Pemikiran Zoroastrianisme, neoplatonisme late-antique, dan kosmologi India
telah lama beredar melalui jalur perdagangan dan pusat-pusat urban seperti
Gundeshapur dan Harran.² Ketika Islam berkembang, interaksi dengan
tradisi-tradisi ini tidak dapat dihindari. Dalam fase awal, para ulama, dokter,
dan ilmuwan Muslim menyerap berbagai gagasan kosmologis, logis, dan medis yang
kemudian diberi bentuk baru sesuai kebutuhan epistemologi Islam.
2.2.
Gerakan Penerjemahan dan Lahirnya
Infrastruktur Intelektual
Salah satu peristiwa terpenting dalam genealogi
filsafat Islam adalah berdirinya gerakan penerjemahan besar-besaran di era
Abbasiyah, terutama pada masa al-Ma’mun. Pusat kegiatan ilmiah seperti Bayt
al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan, tetapi juga sebagai
lembaga penelitian, penerjemahan, dan diskusi filosofis.³ Melalui patronase
politik yang kuat, karya Aristoteles, Plato, Plotinus (melalui Enneads
versi Arab yang dikenal sebagai Theology of Aristotle), Galen, Ptolemy,
dan berbagai filsuf Helenistik lainnya diterjemahkan ke bahasa Arab.⁴
Gerakan ini memicu ledakan intelektual yang luar
biasa. Para penerjemah seperti Hunayn ibn Ishaq dan keluarganya memainkan peran
monumental dalam menyediakan corpus pengetahuan bagi sarjana Muslim.⁵ Proses
penerjemahan ini tidak bersifat pasif; banyak karya mengalami adaptasi,
koreksi, dan reinterpretasi agar selaras dengan kerangka teologis dan bahasa
ilmiah Arab. Secara genealogis, inilah titik awal terbentuknya tradisi filsafat
Islam sebagai disiplin sistematis.
2.3.
Pembentukan Mazhab Pemikiran dan
Perdebatan Intelektual
Setelah corpus filsafat Yunani tersedia, lahirlah
generasi filosof Muslim pertama seperti al-Kindi, yang dikenal sebagai “Filsuf
Arab.” Ia memulai proyek besar untuk menunjukkan kompatibilitas antara filsafat
dan Islam dengan menekankan bahwa kebenaran bersifat universal, dari manapun
asalnya.⁶ Selanjutnya, al-Farabi mengembangkan sistem filsafat politik dan
metafisika yang memadukan aristotelianisme dengan neoplatonisme, menghasilkan
sintesis konseptual yang sangat berpengaruh pada pemikir-pemikir sesudahnya.⁷
Ibn Sina (Avicenna) menyusun bangunan metafisika
dan epistemologi yang jauh lebih kompleks, dengan menekankan konsep wajib
al-wujud dan teori emanasi, yang kemudian mewarnai perkembangan teologi
Islam dan menginspirasi para teolog seperti Fakhr al-Din al-Razi maupun para
filosof sufi.⁸ Pada fase yang berbeda, Ibn Rushd (Averroes) menekankan
pentingnya filsafat sebagai sarana memahami wahyu secara mendalam dan
menyanggah kritik al-Ghazali. Genealogi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam
berkembang melalui perdebatan dinamis internal, bukan sekadar reproduksi
gagasan asing.
2.4.
Integrasi Filsafat dalam Kalam,
Tasawuf, dan Ushul al-Fiqh
Filsafat kemudian menyebar ke berbagai cabang ilmu
Islam. Dalam ilmu kalam, terutama pada mazhab Mu‘tazilah dan kemudian
Maturidiyah, unsur-unsur logika dan argumentasi rasional digunakan untuk membela
ajaran tentang keadilan Tuhan, kebebasan manusia, dan sifat-sifat Ilahi.⁹
Tasawuf falsafi, yang mencapai puncaknya melalui Ibn ‘Arabi dan murid-muridnya,
menggabungkan metafisika neoplatonik dengan intuisi spiritual Islam,
menciptakan tradisi hikmah yang menyatukan pengalaman mistik dan
struktur rasionalitas metafisis.¹⁰
Sementara itu, dalam ushul al-fiqh, pemikir seperti
al-Juwayni, al-Ghazali, dan al-Shatibi mulai menggunakan logika dan struktur
argumentatif yang berasal dari filsafat untuk merumuskan kaidah-kaidah hukum
Islam, termasuk penguatan konsep maqasid al-shari‘ah.¹¹ Konvergensi ini
menunjukkan bahwa genealogi filsafat Islam tidak hanya berkutat pada
metafisika, tetapi juga mempengaruhi struktur hukum, moral, dan spiritual dalam
kehidupan umat Islam.
2.5.
Puncak Tradisi Filsafat Islam dan
Penyebarannya ke Dunia Non-Arab
Pada abad ke-12 hingga 15, pusat gravitasi filsafat
Islam bergeser ke Persia, Anatolia, dan Asia Selatan. Di Persia, tradisi Hikmah
Masyriqiyyah Ibn Sina diteruskan oleh Suhrawardi dengan filsafat iluminasi,
dan kemudian disintesiskan oleh Mulla Sadra dalam Hikmah Muta‘aliyah
yang menggabungkan logika peripatetik, iluminasi, dan irfan.¹² Karya-karya
mereka membentuk fondasi utama filsafat Islam di dunia Iran hingga hari ini.
Di dunia Ottoman dan Mughal, filsafat
diintegrasikan ke dalam institusi pendidikan formal seperti madrasah dan dar
al-hikmah, menunjukkan bahwa tradisi ini terus hidup dan berkembang meski
menghadapi berbagai tekanan politik dan teologis.¹³ Dengan demikian, genealogi
filsafat Islam menunjukkan keberlanjutan tradisi rasional yang adaptif,
kreatif, dan produktif dalam merespons berbagai tantangan sejarah.
Genealogi ini penting tidak hanya untuk memahami
asal-usul filsafat Islam, tetapi juga untuk melihat bagaimana Islam—sebagai
agama dan peradaban—mengembangkan tradisi rasionalnya sendiri melalui interaksi
lintas budaya. Ia bukan tradisi yang “mengimpor” filsafat, tetapi tradisi yang membentuk,
menafsirkan, dan menghasilkan bentuk-bentuk filsafat baru yang
tidak ditemukan dalam peradaban lain.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 7–10.
[2]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 1998), 19–25.
[3]
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 57–60.
[4]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 42–45.
[5]
Garth Fowden, Before and After Muḥammad
(Princeton: Princeton University Press, 2014), 122.
[6]
Al-Kindi, On First Philosophy, ed. Alfred
Ivry (Albany: SUNY Press, 1974), 55.
[7]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness,
trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 12–18.
[8]
Avicenna, The Metaphysics of the Healing,
trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 89–94.
[9]
Richard M. Frank, Beings and Their Attributes
(Albany: SUNY Press, 1978), 33–37.
[10]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge
(Albany: SUNY Press, 1989), 14–20.
[11]
Wael Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 55–60.
[12]
Sajjad Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics
(London: Routledge, 2009), 23–30.
[13]
Khaled El-Rouayheb, Islamic Intellectual History
in the Seventeenth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2015),
41–45.
3.
Posisi Filsafat di dalam Epistemologi Islam
Epistemologi Islam dibangun di atas fondasi yang
mengakui keberagaman sumber pengetahuan. Dalam tradisi intelektual Islam,
pengetahuan berasal dari wahyu (al-wahy), akal (al-‘aql),
pengalaman inderawi (al-hiss), intuisi spiritual (al-kashf), dan
tradisi otoritatif (al-naql).¹ Filsafat Islam, sejak masa awal hingga
periode klasik dan modern, berupaya memahami hubungan antara berbagai sumber
ini dan menentukan posisi akal dalam struktur epistemik agama. Dengan demikian,
filsafat Islam tidak hanya berbicara tentang metafisika atau etika, tetapi juga
tentang bagaimana manusia mengetahui sesuatu, bagaimana kebenaran dapat
diverifikasi, dan bagaimana wahyu dipahami melalui kerangka penalaran.
3.1.
Akal sebagai Instrumen Epistemik
yang Diakui dalam Islam
Sejumlah ayat al-Qur’an memerintahkan manusia untuk
berpikir, merenung, dan menggunakan akal. Hal ini menunjukkan bahwa
rasionalitas bukanlah entitas asing dalam agama Islam, melainkan bagian
integral dari pengalaman beragama. Para filosof Islam memandang akal sebagai
“lampu” yang dianugerahkan Tuhan untuk memungkinkan manusia memahami struktur
realitas, bahkan hingga tingkat metafisika.² Ibn Sina menegaskan bahwa akal
bukan hanya organ berpikir, tetapi juga instrumen aktif yang dapat menangkap
makna-makna universal yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindra.³ Dengan
demikian, filsafat Islam mengafirmasi kedudukan akal sebagai salah satu sumber
utama pengetahuan, berdampingan dengan wahyu.
3.2.
Tipologi Epistemologi Islam: Bayani,
Burhani, dan Irfani
Al-Jabiri mengusulkan tipologi epistemik yang kini
menjadi rujukan penting dalam memahami wacana pengetahuan Islam: bayani,
burhani, dan irfani.⁴
·
Epistemologi bayani bertumpu
pada teks, tradisi, dan metode deduktif-linguistik; digunakan dalam fikih dan
tafsir.
·
Epistemologi burhani, yang
menjadi wilayah filsafat, menggunakan penalaran logis dan argumen demonstratif.
·
Epistemologi irfani
mengandalkan pengalaman spiritual melalui intuisi dan penyaksian batin.
Filsafat Islam menempati posisi sentral dalam
epistemologi burhani, yakni jenis pengetahuan yang menuntut konsistensi logis,
argumentasi rasional, dan pembuktian demonstratif seperti dalam tradisi
Aristotelian. Dengan burhani, Islam membangun kemampuan untuk berdialog dengan
filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan modern.
3.3.
Peran Filsafat dalam Menyusun
Kerangka Rasional Penafsiran Wahyu
Filsafat Islam berperan merekonstruksi metode
penafsiran wahyu dengan menempatkan akal sebagai mitra dialog wahyu. Filsuf
seperti al-Farabi berpendapat bahwa wahyu dan filsafat adalah dua bentuk
manifestasi kebenaran yang sama, tetapi diterima dalam dua tingkatan:
intelektual dan imajinatif.⁵ Dalam pandangan ini, akal digunakan untuk memahami
struktur universal dari ajaran agama, sementara wahyu memberikan bentuk
simbolis dan partikularnya. Ibn Rushd kemudian menegaskan bahwa penafsiran
filosofis atas teks diperlukan untuk kelompok yang memiliki kemampuan
demonstratif, sedangkan tafsir literal cukup bagi masyarakat umum.⁶ Dengan
demikian, epistemologi Islam mengakui hirarki metode pengetahuan yang
menempatkan filsafat sebagai bagian penting dalam memahami makna terdalam
ajaran agama.
3.4.
Integrasi Akal dan Wahyu dalam
Filsafat dan Kalam
Ilmu kalam berkembang melalui integrasi metode
filosofis dan prinsip-prinsip teologis. Para mutakallim awal seperti Mu‘tazilah
memanfaatkan logika untuk membela konsep keadilan Tuhan dan kebebasan manusia.⁷
Bahkan ulama yang kritis terhadap filsafat seperti al-Ghazali tetap mengakui pentingnya
logika sebagai alat berpikir, sehingga menjadikannya prasyarat bagi studi
ilmu-ilmu agama.⁸ Pengakuan ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perdebatan
sengit, logika sebagai bagian dari filsafat diakui memiliki peran epistemik
yang sah dalam teologi Islam.
Pada saat yang sama, para sufi filosof seperti Ibn
‘Arabi menempatkan pengetahuan intuitif sebagai puncak epistemologi, tetapi
tetap memanfaatkan kerangka rasional untuk menjelaskan pengalaman
spiritualnya.⁹ Ini menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi absolut
antara akal dan intuisi, tetapi ada hirarki epistemik yang menempatkan keduanya
dalam harmoni.
3.5.
Filsafat sebagai Mediator antara
Tradisi Keagamaan dan Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam era modern, epistemologi Islam menghadapi
tantangan besar dari perkembangan sains dan teknologi. Banyak persoalan
kontemporer seperti evolusi biologis, etika medis, kecerdasan buatan, dan
kosmologi memerlukan pendekatan penalaran rasional yang tidak selalu dapat
dipecahkan oleh epistemologi bayani atau irfani saja. Filsafat Islam hadir
sebagai mediator yang memungkinkan agama berdialog dengan ilmu pengetahuan
modern, karena ia memiliki kerangka burhani yang kompatibel dengan metode
ilmiah.¹⁰
Keselarasan ini terlihat pada kemampuan filsafat
Islam untuk melakukan:
·
analisis konsep,
·
kritik rasional,
·
penafsiran metaforis terhadap teks keagamaan ketika diperlukan,
·
dan penyusunan argumen teologis yang relevan dengan temuan ilmiah.
Dengan demikian, filsafat tidak hanya
mempertahankan rasionalitas dalam Islam, tetapi juga memperluas wilayah
epistemologi Islam menuju ranah sains dan filsafat kontemporer.
3.6.
Batasan Epistemik Filsafat dalam
Perspektif Islam
Meskipun filsafat memiliki posisi penting dalam
epistemologi Islam, tradisi ini tetap menekankan adanya batasan. Wahyu
dipandang sebagai sumber pengetahuan tertinggi, terutama terkait perkara gaib
dan hukum moral yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh akal. Para filsuf
Islam seperti Ibn Sina dan Mulla Sadra sendiri mengakui bahwa akal dapat
tersesat apabila tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip dasar wahyu.¹¹ Genealogi
epistemik Islam dengan demikian memosisikan filsafat sebagai instrumen rasional
yang sangat vital, tetapi tetap berada dalam orbit nilai-nilai wahyu.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 43–47.
[2]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 25.
[3]
Avicenna, The Metaphysics of the Healing,
trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 12–14.
[4]
Mohammed Abed al-Jabiri, The Formation of Arab
Reason (London: I.B. Tauris, 2011), 64–68.
[5]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness,
trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 29–32.
[6]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles
Butterworth in Averroes: Decisive Treatise (Provo: Brigham Young
University Press, 2001), 8–12.
[7]
Richard M. Frank, Beings and Their Attributes
(Albany: SUNY Press, 1978), 45–50.
[8]
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaṣfā min ‘Ilm
al-Uṣūl, ed. Hamzah ‘Abd al-Razzaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1997), 11.
[9]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge
(Albany: SUNY Press, 1989), 23–28.
[10]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The
Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 94–99.
[11]
Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 102–105.
4.
Ketegangan Konseptual: Filsafat sebagai Ancaman
bagi Agama
Ketegangan antara filsafat dan agama dalam tradisi
Islam merupakan salah satu dinamika intelektual paling signifikan dalam sejarah
pemikiran Islam. Ketegangan ini muncul terutama dari perbedaan metodologis,
epistemologis, dan ontologis antara kedua disiplin tersebut. Di satu sisi,
filsafat mengedepankan rasionalitas, deduksi logis, dan penalaran abstrak
sebagai sarana memperoleh kebenaran. Di sisi lain, agama Islam berlandaskan
wahyu ilahi yang diterima sebagai kebenaran absolut, memiliki otoritas
normatif, dan sering kali tidak tunduk pada pembuktian rasional dalam kerangka
filosofis.¹ Pertemuan dua paradigma berbeda ini melahirkan dinamika yang rumit:
saling memperkuat pada satu sisi, dan saling mengkritik pada sisi lain.
4.1.
Kekhawatiran tentang Penyimpangan
Akidah dan Masalah Metafisika
Sebagian ulama memandang bahwa filsafat berpotensi
menggeser pemahaman akidah dari kerangka wahyu menuju spekulasi metafisik yang
tidak terkendali. Kritik al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah
menegaskan bahwa beberapa doktrin filosof, seperti keabadian alam (qidam
al-‘alam), ketidakmungkinan kebangkitan jasmani, dan pengetahuan Tuhan yang
dianggap hanya mencakup hal-hal universal, bertentangan langsung dengan ajaran
Islam.² Masalah-masalah metafisika tersebut dianggap berpotensi menyesatkan
umat karena menyeret mereka pada konsep-konsep yang sulit diverifikasi oleh
teks suci maupun konsensus teologis.
Ibn Taymiyyah juga menegaskan bahwa filsafat,
terutama versi peripatetik dan neoplatonik, dapat mengaburkan ajaran tauhid
karena memunculkan konsep emanasi dan hierarki wujud yang dianggap tidak sesuai
dengan keesaan Tuhan dalam pengertian teologis.³ Dari perspektif ini, filsafat
dinilai mengandung unsur asing yang bisa memasuki aqidah Islam melalui jalan
yang tidak terkontrol.
4.2.
Metode Rasional vs. Otoritas Wahyu
Ketegangan juga muncul pada tataran metodologis.
Filsafat bekerja berdasarkan prinsip akal otonom, yakni akal yang menentukan
validitas kebenaran melalui kaidah-kaidah logika dan demonstrasi (burhān).
Dalam sistem tersebut, kebenaran diperoleh melalui argumentasi rasional, bukan
semata-mata melalui otoritas ilahi.⁴
Sebaliknya, agama memandang wahyu sebagai sumber
kebenaran tertinggi yang tidak dapat digugat oleh akal. Ketika akal
bertentangan dengan wahyu, mayoritas teolog berpandangan bahwa wahyu harus
menjadi rujukan utama.⁵ Pertentangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa
filsafat dapat mengurangi supremasi wahyu dan menjadikan akal sebagai hakim
tertinggi atas ajaran agama.
4.3.
Ketegangan antara Ta’wil Filosofis
dan Pemahaman Literal Teks
Para filosof seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd kerap
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara metaforis untuk menyesuaikannya dengan
prinsip-prinsip metafisika rasional.⁶ Penafsiran ini mencakup ayat tentang
sifat-sifat Tuhan, penciptaan, malaikat, dan hari akhir. Meskipun metode ta’wil
ini dapat memperkaya pemahaman agama di kalangan terpelajar, ia juga
memunculkan kecurigaan bahwa filsafat berupaya “mengganti” makna tekstual
dengan makna filosofis yang tidak dimaksudkan oleh wahyu.
Ulama tradisional menilai bahwa pendekatan semacam
ini dapat membuka pintu bagi relativisme makna dan mengurangi kepastian
teologis.⁷ Ketegangan ini menjadi salah satu alasan mengapa filsafat, pada masa
tertentu dalam sejarah Islam, dipandang sebagai ancaman terhadap ortodoksi.
4.4.
Konflik Sosial-Politik dan Persepsi
terhadap Filsafat
Ketegangan filsafat–agama bukan hanya bersifat
intelektual tetapi juga terkait dengan situasi sosial-politik. Pada masa
Abbasiyah, filsafat berkembang karena patronase negara, namun ketika stabilitas
politik menurun, filsafat sering dituduh sebagai penyebab “penyimpangan”
intelektual yang melemahkan masyarakat.⁸ Fase ini diperparah oleh munculnya
kelompok-kelompok ekstrem yang menggunakan rasionalitas secara berlebihan atau
menyimpang sehingga memunculkan stigma negatif terhadap filsafat.
Selain itu, filsafat sering dianggap sebagai
tradisi asing (Greek-oriented) yang tidak sepenuhnya mencerminkan identitas
Islam. Tuduhan ini semakin memperkuat persepsi bahwa filsafat dapat melemahkan
kesalehan umat.⁹
4.5.
Ketegangan Epistemologis sebagai
Sumber Dinamika, Bukan Kejatuhan
Meskipun ketegangan konsep antara filsafat dan
agama kerap dipahami sebagai ancaman, sejarah menunjukkan bahwa dialektika ini
justru mendorong perkembangan intelektual dalam Islam. Al-Ghazali mengkritik
para filosof, tetapi pada saat yang sama ia menggunakan logika Aristotelian
secara ekstensif dalam karya-karya ushul al-fiqh-nya. Ibn Rushd menulis
pembelaan bagi filsafat, sementara para teolog seperti Fakhr al-Din al-Razi
memperluas diskursus teologisnya menggunakan argumentasi filosofis.¹⁰
Fakta ini menunjukkan bahwa ketegangan tersebut
bukan pertentangan statis melainkan dinamika kreatif yang menghasilkan
perkembangan epistemologis dalam Islam. Ketegangan inilah yang kemudian
melahirkan model-model integratif seperti filsafat iluminasi (Suhrawardi) dan
hikmah muta‘āliyah (Mulla Sadra), yang berupaya mensintesiskan akal, intuisi,
dan wahyu.¹¹
Pada akhirnya, filsafat dipahami bukan hanya
sebagai ancaman, tetapi juga sebagai pengingat bahwa agama memerlukan basis
rasional untuk tetap relevan, dan bahwa rasionalitas memerlukan batasan
teologis agar tidak tersesat dalam spekulasi tanpa pedoman.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 12–14.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah,
ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 84–92.
[3]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql,
ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Jam‘iyyat al-Da‘wah, 1979), 1:122–126.
[4]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 58–62.
[5]
Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed.
Muhammad Sayyid Kilani (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 43–45.
[6]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles
Butterworth in Averroes: Decisive Treatise (Provo: Brigham Young
University Press, 2001), 14–18.
[7]
Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed.
Ahmad Hijazi al-Saqqa (Cairo: Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhariyyah, 1986),
22–28.
[8]
George Makdisi, The Rise of Humanism in
Classical Islam and the Christian West (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1990), 77–80.
[9]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 1998), 102–105.
[10]
Ayman Shihadeh, Doubts on Avicenna: A Study and
Edition of Sharaf al-Dīn al-Mas‘ūdī’s Commentary on the Ishārāt (Leiden:
Brill, 2016), 13–17.
[11]
Sajjad Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics
(London: Routledge, 2009), 42–48.
5.
Filsafat sebagai Penghubung Rasionalitas Agama
dan Sains Modern
Filsafat Islam memiliki peran historis dan
konseptual yang sangat penting dalam menjembatani agama dan sains. Dalam
tradisi intelektual Islam, filsafat berfungsi sebagai kerangka rasional yang
menghubungkan wahyu dengan dunia empiris, menjadikan agama tidak hanya sebagai
keyakinan teologis, tetapi juga sebagai dasar bagi pembangunan ilmu
pengetahuan.¹ Dalam konteks modern, peran ini semakin relevan ketika umat Islam
menghadapi perkembangan teknologi, sains, dan perubahan sosial yang bergerak
cepat. Tanpa filsafat, dialog antara agama dan sains berpotensi stagnan;
sebaliknya, tanpa agama, filsafat dan sains dapat terlepas dari landasan nilai
moral dan transendental.
5.1.
Filsafat sebagai Infrastruktur
Rasional bagi Perkembangan Sains dalam Peradaban Islam
Sejak abad ke-9 hingga ke-12, filsafat Islam
menjadi fondasi metodologis bagi kemajuan sains di dunia Islam. Para pemikir
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd mengembangkan logika,
epistemologi, dan metode demonstratif yang kompatibel dengan penelitian
ilmiah.² Logika Aristotelian, yang diadopsi dan dikembangkan oleh para filosof
Muslim, menjadi alat analisis utama bagi ilmuan dalam memahami fenomena alam.
Para ahli astronomi, kedokteran, matematika, dan optik—seperti al-Biruni, Ibn
al-Haytham, dan al-Khawarizmi—mengandalkan pendekatan rasional filosofis dalam
karya-karya mereka.³
Dengan demikian, sains dalam Islam tidak berkembang
secara terpisah dari agama, tetapi memanfaatkan filsafat sebagai penghubung
metodologis antara wahyu dan observasi empiris. Tradisi ini menunjukkan bahwa
dalam Islam, rasionalitas filosofis justru memperkuat peradaban ilmu
pengetahuan.
5.2.
Rasionalitas Filosofis sebagai
Jembatan Penafsiran Agama terhadap Penemuan Ilmiah Modern
Dalam konteks modern, berbagai temuan ilmiah
menantang cara tradisional umat Islam memahami ayat-ayat kosmologis, biologis,
dan antropologis. Hal ini menuntut reinterpretasi yang tidak dapat dilakukan
hanya dengan pendekatan literal atau tradisional. Filsafat memungkinkan
interpretasi kontekstual melalui pendekatan metaforis, teleologis, atau hermeneutis
yang tetap berada dalam koridor teologi Islam.⁴
Contohnya, teori Big Bang dapat dipahami melalui
gagasan metafisika tentang penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo),
sementara teori evolusi dapat dibaca ulang melalui konsep sunnatullah
dan tadarruj (proses bertahap). Tanpa filsafat, dialog antara agama dan
sains modern sering kali terjebak dalam dikotomi kaku antara penolakan total
dan penerimaan tanpa kritis.
5.3.
Model Burhani: Kompatibilitas Metode
Filosofis dengan Metodologi Ilmiah Modern
Epistemologi burhani, yang menjadi inti filsafat
Islam, menuntut argumentasi demonstratif berdasarkan premis kuat dan verifikasi
rasional. Pola pikir burhani sangat dekat dengan metode ilmiah modern yang
mengandalkan observasi, analisis logis, dan verifikasi.⁵
Oleh karena itu, filsafat Islam menyediakan basis
epistemik yang memungkinkan umat Islam:
·
memahami sains secara metodologis,
·
menilai klaim ilmiah secara kritis,
·
serta mengintegrasikan penemuan sains ke dalam kerangka teologis yang
koheren.
Dalam tradisi kontemporer, pemikir seperti Osman
Bakar dan Seyyed Hossein Nasr menunjukkan bahwa epistemologi Islam memiliki
elemen yang kompatibel dengan sains modern, sekaligus memberikan kritik
teologis terhadap reduksionisme materialistik.⁶ Dengan demikian, filsafat Islam
berfungsi sebagai mediator intelektual yang menjaga keseimbangan antara otonomi
sains dan nilai-nilai agama.
5.4.
Filsafat Islam sebagai Penjaga Etika
Ilmu Pengetahuan Modern
Sains modern berkembang sangat cepat, kadang
melampaui batas etis ataupun moral—seperti dalam isu kecerdasan buatan,
rekayasa genetika, bioteknologi, teknologi militer, dan eksploitasi alam. Dalam
situasi ini, agama menyediakan norma moral, namun filsafat menyediakan
perangkat analitis untuk menilai implikasi etis dan ontologis dari perkembangan
sains.⁷
Dengan pendekatan filsafat moral Islam, isu-isu
seperti euthanasia, cloning, modifikasi genetik, dan artificial intelligence
dapat dianalisis melalui kerangka:
·
maqāṣid al-sharī‘ah,
·
teori nilai Islam,
·
dan konsep hikmah (kebijaksanaan).
Pendekatan filosofis inilah yang memungkinkan agama
memberikan respons yang rasional, relevan, dan kontekstual terhadap tantangan
etika teknologi modern.
5.5.
Peran Kontemporer Filsafat sebagai
Platform Dialog antara Agama dan Ilmu Pengetahuan
Di dunia modern, filsafat Islam berfungsi sebagai
ruang dialog antara ulama, akademisi, ilmuan, dan masyarakat luas. Pemikiran
filosofis menyediakan bahasa dan konsep yang dapat dipahami oleh kedua sisi:
teologi Islam dan sains modern. Para pemikir seperti Muhammad Iqbal, Fazlur
Rahman, Mehdi Ha’iri Yazdi, dan Nurcholish Madjid berupaya membangun sintesis
baru yang memadukan keimanan dengan rasionalitas ilmiah.⁸
Di tangan mereka, filsafat menjadi:
·
alat rekonstruksi pemikiran Islam,
·
jembatan antara wahyu dan dunia empiris,
·
serta ruang untuk merumuskan paradigma baru yang humanistik dan
rasional.
Dalam konteks globalisasi dan teknologi, filsafat
Islam memiliki tugas besar untuk memastikan bahwa agama tetap dapat menjawab
persoalan manusia modern tanpa kehilangan integritas metodologis maupun
spiritualnya.
Synthesis:
Filsafat sebagai Penyeimbang antara Wahyu dan Rasionalitas Ilmiah
Filsafat berfungsi sebagai penyeimbang epistemik
yang menjaga agar agama tidak jatuh ke dalam dogmatisme dan agar sains tidak terlepas
dari etika dan spiritualitas. Filsafat memberikan kemampuan reflektif dan
kritis yang memungkinkan umat Islam memahami dunia modern sekaligus
mempertahankan prinsip keimanan. Dengan demikian, filsafat Islam bukan sekadar
pelengkap, tetapi komponen vital dalam integrasi agama dan sains.⁹
Melalui filsafat, agama mendapatkan bahasa
rasionalnya; melalui agama, filsafat mendapatkan orientasi spiritualnya; dan
melalui keduanya, sains dapat ditempatkan dalam kerangka etik dan metafisik
yang lebih luas.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 14–18.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 88–92.
[3]
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 103–110.
[4]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 59–66.
[5]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 71–75.
[6]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 27–34.
[7]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of
Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 113–120.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 15–21.
[9]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 42–46.
6.
Integrasi Filsafat dan Teologi dalam Tradisi
Islam
Integrasi filsafat
dan teologi dalam tradisi intelektual Islam merupakan proses panjang yang
mencerminkan dinamika kreatif antara wahyu dan rasionalitas. Alih-alih
memosisikan filsafat dan teologi sebagai dua disiplin yang saling bertentangan,
sejarah Islam menunjukkan bahwa keduanya sering kali saling melengkapi dalam
memahami hakikat Tuhan, alam semesta, dan manusia.¹ Para pemikir Muslim
menyadari bahwa mengandalkan wahyu tanpa akal dapat menghasilkan dogmatisme
yang kaku, sementara mengandalkan akal tanpa wahyu dapat membawa pada spekulasi
metafisik yang tidak terarah. Oleh karena itu, integrasi antara filsafat (falsafah)
dan teologi (kalam) terbentuk sebagai upaya
menyatukan dasar-dasar akal dan wahyu dalam satu sistem pengetahuan.
6.1.
Awal Integrasi: Peran Mutakallimun
dan Logika Filosofis
Para mutakallimun
awal, terutama dari mazhab Mu‘tazilah, memainkan peran penting dalam membuka
ruang dialog antara teologi dan filsafat. Meski berakar pada wahyu, mereka
menggunakan kaidah-kaidah logika untuk membela keadilan Tuhan, kebebasan
manusia, dan rasionalitas iman.² Mereka meminjam metode argumentasi dari
tradisi filsafat Helenistik untuk membangun bangunan teologis yang konsisten.
Kemudian, mazhab
Asy‘ariyah dan Maturidiyah mengembangkan tradisi ini lebih jauh dengan
merumuskan konsep-konsep seperti kasb, sifat-sifat Tuhan, dan istita‘ah
menggunakan perangkat logika yang telah diperhalus.³ Proses ini menunjukkan
bahwa sejak awal, teologi Islam tidak berdiri sebagai disiplin anti-filosofis,
melainkan menyerap metode filsafat untuk mempertahankan ortodoksi.
6.2.
Al-Farabi dan Kerangka Kesatuan
antara Filsafat dan Syariat
Al-Farabi menyusun
salah satu model integrasi paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Islam. Ia
berpendapat bahwa filsafat dan agama adalah dua bentuk pengetahuan yang
bersumber dari Tuhan yang sama, tetapi dengan tingkat abstraksi yang berbeda:
agama menyampaikan kebenaran melalui simbol dan imajinasi, sementara filsafat
menyampaikannya melalui abstraksi rasional.⁴
Dalam kerangka ini,
nabi dan filsuf bukan musuh metafisis, melainkan pemilik dua fungsi epistemik
yang berbeda. Al-Farabi dengan demikian menegaskan bahwa teologi tidak dapat
berdiri tanpa dukungan rasional filsafat, sementara filsafat membutuhkan agama
sebagai medium sosial-politik untuk memandu masyarakat menuju kebahagiaan.
6.3.
Ibn Sina: Sintesis Metafisika dan
Teologi Islam
Ibn Sina membawa
integrasi filsafat dan teologi ke tingkat yang lebih dalam melalui formulasi
metafisika wajib
al-wujud (Yang Wajib Ada). Dalam modelnya, keberadaan Tuhan
dibuktikan melalui argumentasi rasional yang tidak bergantung pada premis
tekstual.⁵
Metafisikanya
mempengaruhi teologi Islam secara signifikan, terutama dalam konsep:
·
hubungan Tuhan–alam,
·
struktur jiwa manusia,
·
intelek aktif dan kenabian,
·
serta teori emanasi yang
diselaraskan dengan ide kehendak Ilahi.
Meski sebagian
gagasannya dikritik, karya Ibn Sina justru menjadi referensi utama mutakallimun
abad pertengahan, termasuk Fakhr al-Din al-Razi, yang secara luas menggunakan
metode Avicennian dalam karyanya.⁶
6.4.
Ibn Rushd: Pembelaan Filsafat dalam
Kerangka Syariat
Ibn Rushd menolak
anggapan bahwa filsafat bertentangan dengan agama. Dalam Fasl
al-Maqāl, ia menegaskan bahwa syariat justru mewajibkan penggunaan
akal untuk memahami keberadaan Tuhan dan struktur alam semesta.⁷
Ia membedakan tiga
metode epistemik:
1)
Khitābah (retorika) untuk
masyarakat umum,
2)
Jadal (dialektika) untuk
teolog,
3)
Burhān (demonstrasi)
untuk filosof.
Dengan kerangka ini,
ia memberikan legitimasi penuh bagi filsafat dalam struktur intelektual Islam.
Ibn Rushd menunjukkan bahwa integrasi filsafat dan teologi bukan hanya mungkin,
tetapi juga diperlukan untuk memahami kedalaman wahyu.
6.5.
Al-Ghazali: Kritik Filosofis yang
Melahirkan Integrasi Baru
Al-Ghazali sering
dipandang sebagai tokoh yang meruntuhkan filsafat Islam. Namun, pemahaman yang
lebih tepat adalah bahwa ia melakukan kritik internal untuk menyaring
aspek-aspek filsafat yang dianggap tidak sesuai dengan teologi.⁸
Dalam al-Munqidh
min al-Dalāl, ia menegaskan bahwa logika Aristotelian wajib
dipelajari oleh para ulama karena ia merupakan alat untuk berpikir benar.⁹
Dengan demikian, meskipun mengkritik metafisika Ibn Sina dan al-Farabi,
al-Ghazali justru memperkuat integrasi filsafat dan teologi dengan memasukkan
logika ke dalam kurikulum ortodoksi Sunni.
6.6.
Sintesis Akhir: Hikmah Iluminasi dan
Hikmah Muta‘āliyah
Pada periode
selanjutnya, tradisi filsafat Islam mencapai bentuk integrasi paling matang
melalui dua aliran besar:
6.6.1.
Filsafat Iluminasi
(Ishrāq) – Suhrawardi
Suhrawardi memadukan logika peripatetik dengan
intuisi mistik untuk membangun kosmologi cahaya yang menggabungkan wahyu, akal,
dan pengalaman spiritual.¹⁰ Tradisi ini menjadi jembatan antara teologi,
metafisika, dan tasawuf.
6.6.2.
Hikmah Muta‘āliyah –
Mulla Sadra
Mulla Sadra mengembangkan teori ontologi ashālat
al-wujūd (primordialitas eksistensi) yang memadukan unsur-unsur:
·
Avicennian rationalism,
·
iluminasi Suhrawardi,
·
dan mistisisme Ibn
‘Arabi.¹¹
Dengan pendekatan
ini, ia menciptakan sistem integratif yang menyatukan pengetahuan rasional,
intuitif, dan tekstual. Sistem Sadrian merupakan salah satu bentuk paling
komprehensif dari integrasi filsafat dan teologi dalam tradisi Islam.
Kontribusi
Integrasi terhadap Peradaban dan Diskursus Kontemporer
Hasil integrasi
filsafat dan teologi tidak hanya menghasilkan sistem metafisika yang kaya,
tetapi juga mempengaruhi:
·
ushul al-fiqh,
·
etika Islam,
·
teori politik,
·
sains Islam klasik,
·
dan diskursus
spiritualitas.
Dalam dunia modern,
para pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr, Mehdi Ha’iri Yazdi, dan Muhammad
Iqbal melanjutkan tradisi ini untuk merespons isu-isu kontemporer seperti
modernisasi, teknologi, krisis ekologis, dan pluralisme.¹²
Integrasi
filsafat–teologi menunjukkan bahwa Islam memiliki kapasitas epistemik untuk
merespons dinamika zaman tanpa meninggalkan landasan spiritual dan moralnya.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: SUNY Press, 2006), 19–23.
[2]
Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY
Press, 1978), 35–39.
[3]
Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge:
Harvard University Press, 1976), 87–94.
[4]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi
(Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45–50.
[5]
Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael
Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 32–39.
[6]
Ayman Shihadeh, Doubts on Avicenna (Leiden: Brill, 2016),
21–27.
[7]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth (Provo:
Brigham Young University Press, 2001), 9–15.
[8]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1927), 5–11.
[9]
Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dalāl, ed. Jamal al-Din
al-Qasimi (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 27–30.
[10]
Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishrāq, ed. Henry
Corbin (Tehran: Institute for Islamic Studies, 1970), 12–17.
[11]
Sajjad Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics (London: Routledge,
2009), 55–63.
[12]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 89–94.
7.
Dimensi Hermeneutika dan Penafsiran Agama dalam
Filsafat Islam
Dimensi hermeneutika merupakan salah satu aspek
terpenting dalam perkembangan filsafat Islam karena ia menghadirkan jembatan
metodologis antara teks suci dan rasionalitas filosofis. Hermeneutika dalam
tradisi Islam tidak hanya berfungsi untuk menafsirkan makna-makna literal dari
al-Qur’an dan hadis, tetapi juga menggali struktur metaforis, simbolis, dan
filosofis yang tersimpan dalam wahyu.¹ Melalui tradisi filsafat, penafsiran
agama tidak terbatas pada makna tekstual, tetapi diperluas melalui perangkat
rasional, logika, dan metode demonstratif yang memungkinkan lahirnya pemahaman
yang lebih mendalam dan dinamis. Dengan demikian, filsafat Islam memberikan
kerangka metodologis bagi dialog antara teks dan realitas historis-intelektual.
7.1.
Kerangka Hermeneutik Awal: Ta’wil
sebagai Metode Penafsiran Rasional
Konsep ta’wil merupakan pintu masuk utama
hermeneutika filsafat Islam. Para filosof seperti al-Farabi dan Ibn Sina
memandang bahwa teks religius memiliki dua lapisan: makna lahiriah (zahir)
dan makna batiniah (batin), di mana makna batin hanya dapat dicapai oleh
mereka yang memiliki kapasitas intelektual tinggi.²
Dalam pandangan mereka:
·
ayat-ayat sifat Tuhan,
·
kisah-kisah para nabi,
·
dan konsep-konsep metafisika seperti malaikat, penciptaan, dan hari
akhir
harus dipahami melalui penafsiran filosofis agar
selaras dengan prinsip rasional. Ibn Sina misalnya menafsirkan konsep malaikat
sebagai “akal-akal suci” atau intelek kosmik, bukan makhluk berfisik.³
Pendekatan seperti ini memperluas horizon penafsiran agama dengan menyelaraskan
wahyu dan rasionalitas metafisis.
7.2.
Ibn Rushd dan Hermeneutika
Demonstratif (Burhani)
Ibn Rushd mengembangkan salah satu model hermeneutika
paling sistematis dalam filsafat Islam. Dalam Fasl al-Maqāl, ia
menegaskan bahwa teks agama memiliki tingkatan pemahaman yang berbeda sesuai
dengan kapasitas intelektual audiensnya.⁴
1)
Ia membedakan tiga metode penafsiran:
2)
Khitābah – literal,
retoris, untuk masyarakat awam
3)
Jadal –
argumentatif, dialektis, bagi teolog
4)
Burhān –
demonstratif, rasional-filosofis, bagi para filosof
Menurut Ibn Rushd, ketika ada pertentangan antara
makna literal dan kebenaran demonstratif, maka teks harus ditakwil untuk
menghindari kontradiksi antara wahyu dan akal.⁵ Dengan demikian, hermeneutika
dalam filsafat Islam mengutamakan keselarasan epistemik, bukan oposisi antara
teks dan rasio.
7.3.
Hermeneutika Simbolis dan Imajinatif
dalam Tradisi Filsafat-Paripatetik dan Illuminasionis
Al-Farabi berpendapat bahwa wahyu diturunkan dalam
bentuk simbol dan gambaran imajinatif untuk memudahkan pemahaman masyarakat
umum.⁶ Nabi, dalam kerangka ini, adalah figur yang mampu menangkap kebenaran
intelektual tertinggi tetapi menyampaikannya melalui medium imajinasi. Dengan
demikian, teks wahyu harus dipahami secara simbolik oleh para intelektual untuk
mengungkap struktur filosofis yang tersembunyi di balik narasi.
Dalam tradisi iluminasi (Ishrāq) Suhrawardi,
hermeneutika menjadi lebih spiritual. Makna teks tidak hanya ditangkap oleh
akal, tetapi melalui pengalaman iluminatif yang menyingkap realitas cahaya.⁷ Di
sini, penafsiran bersifat multidimensi: rasional, intuitif, dan simbolis.
7.4.
Masuknya Hermeneutika Filosofis ke
dalam Ushul al-Fiqh dan Kalam
Hermeneutika filsafat tidak hanya memengaruhi para
filosof tetapi juga ilmuwan syariah dan teolog. Al-Ghazali, meski kritis
terhadap sebagian metafisika filosof, justru menempatkan logika sebagai
prasyarat bagi pemahaman teks agama.⁸ Ia mengintegrasikan metode Aristotelian
dalam ushul al-fiqh, terutama dalam konsep qiyas, istidlāl,
dan analisis makna teks.
Fakhr al-Din al-Razi melanjutkan tradisi ini dengan
menggunakan argumentasi filosofis dalam menafsirkan ayat-ayat kosmologi dan
teologi.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat memberi kontribusi besar terhadap
metodologi penafsiran agama bahkan pada kalangan ulama ortodoks.
7.5.
Hermeneutika Irfani: Penafsiran
Batiniah dalam Tradisi Sufi-Filosofis
Dalam tradisi filsafat-sufi (irfani), hermeneutika
tidak berhenti pada analisis rasional, tetapi juga mencakup pengalaman batin.
Ibn ‘Arabi memandang teks wahyu sebagai cermin dari realitas ilahi yang tak
terbatas, sehingga maknanya tidak pernah final.¹⁰
Penafsir harus melalui perjalanan spiritual untuk
mengungkap dimensi terdalam teks, karena makna wahyu bersifat hierarkis:
·
makna syariat (lahir),
·
makna thariqat (etika-rohani),
·
makna hakikat (metafisika),
·
makna ma‘rifat (puncak pengetahuan intuitif).
Pendekatan ini memperluas hermeneutika Islam dari
sekadar penafsiran intelektual menjadi proses transformasi spiritual.
7.6.
Hermeneutika Filsafat Islam dalam
Konteks Modern
Dalam dunia modern, hermeneutika filosofis menjadi
penting bagi pembacaan ulang teks agama agar tetap relevan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Pemikir seperti Fazlur Rahman
mengembangkan teori “gerak ganda” (double movement), yaitu membaca teks
dalam konteks historisnya dan kemudian menerapkannya pada konteks modern.¹¹
Sementara itu, Muhammad Arkoun mengkritik
batas-batas tradisional dalam penafsiran Islam dan mengusulkan hermeneutika
kritis untuk membuka “ruang tak terpikirkan” dalam studi Islam.¹² Pendekatan
ini menunjukkan bahwa filsafat Islam terus memainkan peran penting dalam
mengembangkan metode penafsiran yang adaptif dan dialogis.
Hermeneutika
sebagai Ruang Integratif antara Wahyu, Akal, dan Realitas
Secara keseluruhan, hermeneutika dalam filsafat
Islam berfungsi sebagai ruang integratif yang menggabungkan:
·
otoritas wahyu,
·
penalaran rasional,
·
simbolisme dan imajinasi,
·
intuisi spiritual,
·
serta analisis kontekstual.
Dengan demikian, hermeneutika bukan hanya metode
teknis, tetapi paradigma epistemik yang menjaga relevansi agama dalam sejarah
dan peradaban. Ia memastikan bahwa wahyu tidak membeku dalam literalitas,
tetapi terus hidup dan ditafsirkan secara kreatif tanpa mengabaikan fondasi
teologisnya.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 47–51.
[2]
Al-Farabi, al-Jam‘ bayna Ra’yay al-Hakimayn,
ed. Fauzi Najjar (Beirut: Dar al-Mashriq, 1961), 13–16.
[3]
Avicenna, Risālah fī al-‘Aql, ed. Husain
Atay (Ankara: Ankara University Press, 1959), 22–24.
[4]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles
Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 7–12.
[5]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity, 1999), 42–47.
[6]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness,
trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 55–60.
[7]
Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishrāq,
ed. Henry Corbin (Tehran: Institute for Islamic Studies, 1970), 21–27.
[8]
Al-Ghazali, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl,
ed. Hamzah ‘Abd al-Razzaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 12–19.
[9]
Fakhr al-Din al-Razi, Mafātih al-Ghayb, ed.
‘Abd al-Rahman al-Sayyid (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 1:33–37.
[10]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge
(Albany: SUNY Press, 1989), 76–81.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 6–12.
[12]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 43–51.
8.
Problem Ontologis dan Kosmologis dalam Filsafat
Islam dan Implikasinya bagi Teologi
Problem ontologis dan kosmologis dalam filsafat
Islam merupakan jantung perdebatan antara filsafat dan teologi.
Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat wujud, struktur alam semesta, hubungan
Tuhan dengan ciptaan-Nya, dan mekanisme penciptaan telah melahirkan diskursus
panjang yang membentuk fondasi metafisika Islam.¹ Perdebatan ini tidak hanya
bersifat teoretis, tetapi juga memiliki konsekuensi teologis yang signifikan,
terutama terkait pemahaman tentang tauhid, sifat-sifat Tuhan, kehendak Ilahi,
dan eskatologi. Filsafat Islam menghadirkan kerangka rasional untuk menjelaskan
realitas sekaligus mempertahankan keharmonisan antara akal dan wahyu. Namun,
sebagaimana sejarah menunjukkan, berbagai teori ontologis dan kosmologis yang
dikembangkan para filosof sering memunculkan ketegangan dengan teologi Islam ortodoks.
8.1.
Masalah Keberadaan (Wujud) dan
Esensi (Mahiyah)
Salah satu problem ontologis paling mendasar dalam
filsafat Islam adalah perbedaan antara wujud (keberadaan) dan mahiyah
(hakikat). Ibn Sina mengembangkan distingsi radikal antara keduanya: mahiyah
menjelaskan apa sesuatu itu, sementara wujud menjelaskan bahwa sesuatu
itu ada.² Baginya, wujud bukan bagian dari esensi dan harus diberikan oleh
sebab eksternal—kecuali pada Tuhan, yang merupakan wājib al-wujūd (Yang
Niscaya Ada).³
Implikasi teologis dari gagasan ini sangat besar:
·
Tuhan tidak memiliki esensi yang terpisah dari keberadaan-Nya,
·
Tuhan menjadi sumber seluruh wujud melalui proses yang niscaya, bukan
kebetulan,
·
hubungan sebab-akibat dalam kosmos menjadi tertata secara rasional.
Teolog Asy‘ariyah mengkritik ide ini karena
dianggap dapat mengurangi kebebasan Tuhan dalam mencipta, seolah-olah
penciptaan mengikuti hukum yang bersifat niscaya, bukan kehendak mutlak.⁴
8.2.
Teori Emanasi dan Penciptaan Alam
Para filosof peripatetik seperti al-Farabi dan Ibn
Sina mengembangkan teori emanasi (fayd), yaitu gagasan bahwa alam
semesta muncul sebagai aliran konsekuensial dari Tuhan melalui hierarki
intelek.⁵ Teori ini muncul sebagai upaya untuk menafsirkan hubungan antara
Tuhan yang transenden dan dunia material tanpa menurunkan kesempurnaan-Nya.
Akan tetapi, teologi Islam ortodoks menganggap
teori emanasi bermasalah karena:
·
tampak menafikan kebebasan Tuhan dalam mencipta,
·
menyiratkan bahwa alam bersifat kadim (tidak bermula),
·
dan bertentangan dengan konsep khalaqa al-samāwāt wa al-ard min
al-‘adam (penciptaan dari ketiadaan).
Al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah
menunjukkan keberatan terhadap pandangan para filosof yang menganggap alam
tidak memiliki permulaan temporal.⁶ Kritik ini menciptakan jarak epistemologis
antara kosmologi filosofis dan teologi kalam.
8.3.
Kejernihan Metafisika: Yang Wajib,
Mungkin, dan Mustahil Ada
Ibn Sina mengklasifikasikan wujud ke dalam tiga
kategori: wājib, mumkin, dan mumtani‘.⁷ Kategori ini
membantu menjelaskan struktur logis realitas metafisik, tetapi juga memiliki
implikasi teologis terkait:
·
ketergantungan seluruh wujud pada Tuhan,
·
posisi Tuhan sebagai satu-satunya entitas yang bersifat niscaya,
·
kejelasan hubungan ontologis antara Tuhan dan ciptaan.
Teolog menggunakan konsep ini dalam argumen-argumen
kalam untuk membuktikan keberadaan Tuhan, meski mereka tetap berhati-hati agar
tidak terjebak dalam konsekuensi metafisika yang tidak sesuai dengan aqidah.
8.4.
Kosmologi Filosofis dan Masalah
Kausalitas
Para filosof menekankan bahwa hubungan sebab-akibat
merupakan prinsip rasional yang mengatur alam. Ibn Sina dan Ibn Rushd
berpendapat bahwa setiap fenomena memiliki sebab yang konsisten dan dapat
dipahami.⁸
Namun al-Ghazali menentang gagasan kausalitas
niscaya ini. Ia menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat bukan entitas metafisik
yang independen, melainkan kebiasaan (‘ādah) yang diciptakan Tuhan
setiap saat.⁹ Pandangan ini bertujuan menegaskan bahwa Tuhan tetap memegang
kendali penuh atas setiap kejadian di alam.
Debat ini berimplikasi besar:
·
peripatetik menekankan stabilitas hukum alam (pondasi sains Islam),
·
teolog menegaskan kekuasaan mutlak Tuhan,
·
perdebatan membuka ruang dialog antara sains dan teologi.
8.5.
Struktur Jiwa dan Kosmologi
Psikologis
Filsafat Islam juga mengembangkan teori tentang
struktur jiwa dan hierarki wujud non-material. Bagi Ibn Sina, jiwa manusia
bersifat immaterial, dapat bertahan setelah kematian, dan terhubung dengan
intelek aktif.¹⁰
Kosmologi ini berimplikasi pada teologi:
·
mendukung argumen rasional tentang kehidupan setelah mati,
·
memperkuat konsep tanggung jawab moral manusia,
·
tetapi menuai kritik karena dianggap terlalu dekat dengan konsep
Platonisme.
Ibn Rushd, sebaliknya, menolak individualisasi jiwa
intelektual dan memandang intelek sebagai entitas universal yang dimiliki
bersama oleh manusia.¹¹ Pandangan ini ditolak oleh teologi Sunni karena
dianggap melemahkan keadilan Tuhan dalam memberikan balasan individu di
akhirat.
8.6.
Ontologi Wujud dalam Hikmah
Muta‘āliyah: Primordialitas Eksistensi
Mulla Sadra mengatasi banyak ketegangan ontologis
melalui konsep ashālat al-wujūd (keprimordialan wujud), yaitu gagasan
bahwa wujud lebih fundamental daripada esensi.¹²
Konsep ini memungkinkan integrasi antara filsafat,
teologi, dan mistisisme:
·
alam semesta merupakan manifestasi gradasional wujud Tuhan,
·
perubahan (harakah jawhariyah) bersifat ontologis, bukan sekadar
aksidental,
·
penciptaan bersifat terus-menerus, bukan hanya pada satu titik waktu,
·
hubungan Tuhan–alam lebih selaras dengan konsep tauhid dan kehendak
Ilahi.
Inilah salah satu sintesis metafisika paling
berpengaruh dalam sejarah intelektual Islam.
8.7.
Implikasi Teologis dari Perdebatan
Ontologis dan Kosmologis
Problem ontologis dan kosmologis dalam filsafat
Islam memengaruhi berbagai aspek teologi Islam, termasuk:
·
konsep tauhid, melalui
penjelasan rasional tentang keesaan wujud,
·
sifat-sifat Tuhan, terkait
kesederhanaan esensial Tuhan,
·
qada dan qadar, terkait
kausalitas dan kehendak Ilahi,
·
hari akhir, melalui
teori jiwa dan keberlanjutan wujud,
·
hubungan Tuhan dan alam, melalui teori emanasi dan kreasionisme.
Para teolog kemudian meminjam banyak konsep
filosofis untuk memperkuat argumen mereka, meski tetap berhati-hati agar tidak
terjerumus pada implikasi metafisika yang dapat bertentangan dengan
prinsip-prinsip iman.
Kesimpulan:
Ketegangan Kreatif sebagai Sumber Pengayaan Teologi
Problem ontologis dan kosmologis dalam filsafat
Islam tidak hanya menciptakan pertentangan konseptual, tetapi juga memperkaya
teologi dengan perangkat rasional yang lebih matang. Perdebatan antara para
filosof dan teolog membuka ruang bagi:
·
pengembangan argumen rasional tentang Tuhan,
·
pemahaman kosmik yang lebih holistik,
·
dan sintesis filosofis-teologis yang menghasilkan sistem metafisika
Islam yang tangguh.
Dengan demikian, dinamika antara filsafat dan
teologi dalam isu ontologi dan kosmologi membuktikan bahwa keduanya bukan musuh
abadi, tetapi mitra epistemik dalam memahami realitas tertinggi.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 33–38.
[2]
Avicenna, al-Shifā’: al-Ilāhiyyāt, ed.
Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah, 1960), 45–48.
[3]
Avicenna, The Metaphysics of the Healing,
trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 66–71.
[4]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed.
Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 134–137.
[5]
Al-Farabi, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 91–96.
[6]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, 151–159.
[7]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 58–61.
[8]
Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, trans. Simon
van den Bergh (London: Luzac, 1954), 69–73.
[9]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, 169–171.
[10]
Avicenna, al-Najāt, ed. Muhammad Fauzi
(Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 253–258.
[11]
Ibn Rushd, Long Commentary on De Anima,
trans. Richard C. Taylor (New Haven: Yale University Press, 2009), 113–118.
[12]
Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 92–101.
9.
Filsafat dan Etika Islam
Filsafat memainkan peran penting dalam membangun
struktur etika dalam tradisi intelektual Islam. Etika Islam tidak muncul dalam
ruang kosong, tetapi berkembang melalui perjumpaan antara ajaran wahyu, praktik
keagamaan, dan tradisi filsafat yang berasal dari Yunani, Persia, dan India.¹
Oleh karena itu, etika Islam bersifat multidimensi: normatif, rasional,
spiritual, dan teleologis. Filsafat menyediakan perangkat konseptual untuk
memahami hakikat kebaikan, tujuan moral manusia, dan hubungan antara kebajikan
dengan pengetahuan. Sementara agama memberikan landasan normatif yang kokoh,
filsafat memberikan penjelasan rasional mengenai mengapa tindakan moral itu
benar dan bagaimana manusia harus mengarahkan dirinya kepada kesempurnaan
moral.
9.1.
Fondasi Etika dalam Filsafat Islam:
Kebaikan sebagai Kesempurnaan Wujud
Dalam tradisi filsafat Islam, terutama yang
dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plotinus, kebaikan sering dipahami sebagai
kesempurnaan wujud.² Al-Farabi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut baik
sejauh ia mendekatkan manusia kepada kesempurnaan akalnya, yaitu keadaan di
mana jiwa mencapai kebahagiaan tertinggi (sa‘ādah).³ Etika dengan
demikian tidak hanya berkaitan dengan perbuatan lahiriah, melainkan dengan
kesempurnaan ontologis manusia sebagai makhluk rasional.
Ibn Sina melanjutkan tradisi ini dengan menekankan
bahwa kebajikan adalah kondisi jiwa yang stabil yang menghasilkan tindakan baik
tanpa paksaan.⁴ Etika baginya merupakan ilmu tentang bagaimana jiwa diarahkan
menuju aktualisasi potensi tertingginya melalui pengendalian nafsu, penggunaan
akal, dan pembiasaan moral.
9.2.
Etika Politik dan Komunitarian:
Konsep al-Madīnah al-Fāḍilah
Filsafat Islam tidak memisahkan etika pribadi dari
etika sosial. Al-Farabi mengembangkan konsep al-Madīnah al-Fāḍilah
(negara utama) di mana moralitas menjadi fondasi tatanan sosial dan politik.⁵
Dalam masyarakat ideal ini, pemimpin adalah figur yang memadukan kebijaksanaan
filosofis dengan wahyu kenabian. Individu mencapai kebajikan melalui peran
sosialnya yang diarahkan menuju tujuan bersama: kebahagiaan manusia dan harmoni
kosmik.
Model ini memperlihatkan bahwa etika Islam tidak
semata-mata bersifat individual, tetapi juga struktural dan kosmologis, karena
moralitas individu berkaitan dengan keteraturan sosial, hukum, dan
spiritualitas kolektif.
9.3.
Integrasi Etika Aristotelian dalam
Pemikiran Islam
Para filosof Muslim mengadopsi dan menyesuaikan
empat kebajikan utama Aristoteles—kebijaksanaan (hikmah), keberanian (shajā‘ah),
moderasi (iffah), dan keadilan (‘adālah)—ke dalam kerangka
Islam.⁶ Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq mengembangkan konsep etika
kebajikan dalam konteks Islam, dengan penekanan pada pembiasaan moral dan
pengendalian diri.⁷
Ia memandang bahwa moralitas adalah hasil dari
proses pendidikan jiwa yang terus-menerus, dimana manusia perlu menyeimbangkan
kekuatan nafsu, emosi, dan akal. Pemikirannya kemudian memengaruhi para ulama
dan filosof seperti al-Ghazali yang dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn
mengembangkan etika tasawuf berbasis kebajikan.⁸
9.4.
Etika Teologis: Ihsan, Taqwa, dan
Tanggung Jawab Moral
Filsafat memperkaya etika teologis Islam dengan
memberikan penjelasan struktural atas konsep-konsep seperti ihsan, taqwa,
dan taklif. Dalam teologi Islam, taklif (beban moral) diberikan
kepada manusia karena ia memiliki akal dan kehendak bebas.⁹ Filsafat membantu
menjelaskan bagaimana manusia dapat mengarahkan kehendaknya menuju tindakan
yang bertanggung jawab secara moral.
Konsep ihsan—beribadah seakan melihat
Tuhan—menunjukkan bahwa etika Islam tidak hanya menekankan kebenaran rasional,
tetapi juga kesadaran spiritual yang mendalam. Integrasi ini menempatkan etika
Islam sebagai bentuk kesatuan antara rasionalitas moral dan kesadaran
transendental.
9.5.
Etika Sufi-Filosofis: Penyucian Jiwa
dan Kebajikan Batin
Dalam tradisi tasawuf falsafi, seperti dalam karya
Ibn ‘Arabi dan Mulla Sadra, etika tidak hanya bersifat rasional tetapi juga
ontologis dan eksistensial.¹⁰ Jiwa manusia dipandang sebagai entitas yang
bergerak menuju Tuhan melalui tahapan penyucian (tazkiyah).
Menurut Mulla Sadra, tindakan etis adalah
manifestasi dari penyempurnaan eksistensi manusia; semakin ia menyatu dengan
sumber wujud, semakin ia menjadi baik.¹¹ Etika di sini mencakup pengalaman
batin, cinta ilahi, dan kesadaran akan kehadiran metafisik Tuhan dalam semua
aspek kehidupan.
9.6.
Maqāṣid al-Sharī‘ah dan Etika
Kemaslahatan
Meskipun teori maqāṣid lebih dikenal dalam ushul
al-fiqh, akar filosofisnya kuat. Al-Shatibi menekankan bahwa tujuan syariat
adalah menjaga agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta.¹² Filsafat
memberikan kerangka rasional bagi pemahaman maqāṣid sebagai prinsip etika
sosial yang mengutamakan kemaslahatan.
Dengan pendekatan filosofis, maqāṣid dapat dipahami
sebagai struktur teleologis yang menekankan:
·
keadilan,
·
keseimbangan (mizan),
·
dan manfaat publik (maslahah).
Pendekatan ini relevan dalam etika modern seperti
kebijakan publik, bioetika, dan ekonomi Islam.
9.7.
Kontribusi Filsafat bagi Etika Islam
Kontemporer
Dalam dunia modern, etika Islam menghadapi
tantangan baru: bioteknologi, kecerdasan buatan, hak asasi manusia, pluralisme,
dan krisis ekologi. Filsafat memberi kapasitas analitis untuk membahas isu-isu
ini dengan pendekatan rasional tanpa kehilangan basis spiritual dan normatif
Islam.¹³
Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menekankan
bahwa krisis ekologis adalah krisis etis akibat sekularisasi sains dan
hilangnya pandangan kosmologis tradisional. Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid
menggunakan pendekatan filosofis untuk menafsirkan ulang nilai-nilai moral
Islam agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.¹⁴
Oleh karena itu, filsafat tidak hanya berfungsi
sebagai pengingat akan dasar rasional moralitas, tetapi juga sebagai alat rekonstruksi
etika Islam dalam konteks global.
Sintesis:
Etika sebagai Keharmonisan antara Akal, Wahyu, dan Jiwa
Filsafat dan etika Islam bertemu dalam gagasan
bahwa moralitas adalah proses penyempurnaan diri yang mengarah pada kesatuan
dengan kebenaran. Filsafat memberikan kerangka rasional; wahyu memberikan
orientasi teleologis; dan tasawuf memberikan kedalaman eksistensial.
Sinergi ini menjadikan etika Islam sebagai sistem
moral komprehensif yang mencakup:
·
akal (rasionalitas moral),
·
wahyu (otoritas normatif),
·
pengalaman spiritual (dimensi batin),
·
dan tindakan konkret (dimensi sosial).
Dengan demikian, etika Islam sebagaimana diperkaya
oleh filsafat menghadirkan model moral yang utuh, berimbang, dan adaptif
terhadap perubahan zaman.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam
(Leiden: Brill, 1991), 3–6.
[2]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 81–83.
[3]
Al-Farabi, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 101–107.
[4]
Avicenna, al-Najāt, ed. Muhammad Fauzi
(Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 263–270.
[5]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness,
trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 62–70.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), 36–40.
[7]
Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq, ed.
Constantin Zurayk (Beirut: Dar al-Andalus, 1966), 23–28.
[8]
Al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi
Tabana (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 2:121–130.
[9]
Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge: Harvard University Press, 1976), 145–152.
[10]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge
(Albany: SUNY Press, 1989), 112–119.
[11]
Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 142–150.
[12]
Al-Shatibi, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah,
ed. Abdullah Darraz (Cairo: Dar al-Salam, 2000), 1:302–310.
[13]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures (London:
Mansell, 1985), 98–104.
[14]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 78–83.
10.
Kritik dan Perdebatan Kontemporer terhadap
Filsafat Islam
Kritik terhadap filsafat Islam pada era kontemporer
tidak terlepas dari transformasi sosial, politik, dan intelektual yang melanda
dunia Islam sejak abad ke-19. Kontak dengan modernitas Barat, kebangkitan
gerakan keagamaan revivalis, perubahan epistemologi modern, serta kemajuan
sains dan teknologi melahirkan lanskap perdebatan baru yang berbeda dari masa
klasik.¹ Jika pada era pertengahan konflik terjadi antara filosof dan teolog
terkait metafisika, maka pada era modern perdebatan lebih berkisar pada
relevansi, metodologi, legitimasi epistemik, dan fungsi sosial filsafat Islam
dalam menghadapi tantangan global. Kritik-kritik ini dapat dikelompokkan dalam
beberapa arus besar.
10.1.
Kritik Modernis: Filsafat Islam
Dinilai Tidak Relevan dengan Sains Modern
Gerakan modernisme Islam yang dipelopori oleh tokoh
seperti Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani menganggap bahwa filsafat
skolastik Islam abad pertengahan terlalu abstrak dan tidak memberikan
kontribusi praktis bagi kebangkitan umat.² Kritik modernis berfokus pada
beberapa hal:
·
filsafat Islam dianggap terlalu metafisik, tidak empiris,
·
tidak kompatibel dengan metode ilmiah modern,
·
terlalu terikat pada sistem Aristotelian dan Neoplatonis,
·
kurang memberi respons terhadap persoalan modern seperti kolonialisme,
kemunduran sains, dan reformasi sosial.³
Bagi kelompok modernis, Islam memerlukan pendekatan
rasional yang lebih empiris dan progresif, bukan metafisika berat sebagaimana
dalam tradisi peripatetik atau iluminasi.
10.2.
Kritik Salafi-Tekstualis: Filsafat
sebagai Penyimpangan dari Ajaran Murni Islam
Gerakan Salafi kontemporer menghidupkan kembali
kritik klasik terhadap filsafat, terutama warisan Ibn Taymiyyah dan kelompok
Hanbali konservatif. Bagi mereka, filsafat dianggap sebagai:
·
produk asing yang diimpor dari Yunani,
·
sumber penyimpangan akidah,
·
metode penafsiran yang menggeser makna literal teks,
·
upaya menundukkan wahyu di bawah otoritas akal.⁴
Tokoh-tokoh seperti Muhammad Nasiruddin al-Albani
atau sebagian ulama Saudi menganggap bahwa penggunaan filsafat membahayakan
tauhid karena melahirkan konsep-konsep yang tidak ada landasannya dalam teks
suci. Kritik ini sering berujung pada penolakan mutlak terhadap studi filsafat
dalam institusi pendidikan agama konservatif.
10.3.
Kritik Marxis dan Postkolonial:
Filsafat Islam sebagai Wacana Elit dan Tidak Membebaskan
Dalam konteks abad ke-20, muncul kritik dari
perspektif Marxis, postkolonial, dan teori kritis yang menyatakan bahwa
filsafat Islam bersifat elit, abstrak, dan tidak berfungsi untuk membebaskan
masyarakat dari ketidakadilan struktural.⁵
Menurut mereka:
·
filsafat Islam terlalu fokus pada metafisika individual,
·
tidak menangani masalah ketimpangan ekonomi dan politik,
·
sering dipakai untuk melegitimasi status quo,
·
kurang memberikan kritik sosial terhadap kekuasaan.⁶
Perspektif ini menuntut filsafat Islam lebih
membumi, terlibat dalam pembebasan sosial, dan merespons isu kolonialisme,
kapitalisme, dan ketidakadilan global.
10.4.
Kritik Postmodernis: Penolakan
terhadap Kebenaran Metafisik Besar
Tokoh seperti Mohammed Arkoun dan Hasan Hanafi
menawarkan kritik postmodern terhadap filsafat Islam tradisional. Mereka
menyatakan bahwa filsafat Islam terlalu bergantung pada:
·
struktur metafisika besar (grand narratives),
·
klaim universalitas,
·
dan epistemologi hierarkis yang tidak sesuai dengan pluralitas modern.⁷
Pendekatan postmodern menantang asumsi-asumsi dasar
filsafat Islam seperti:
·
konsep kebenaran absolut,
·
hubungan linear antara akal dan wahyu,
·
struktur ontologis hierarkis,
·
dan konsep rasionalitas tunggal.⁸
Mereka mengusulkan pembacaan dekonstruktif terhadap
tradisi, membuka ruang bagi keragaman interpretasi dan kritik terhadap otoritas
teks maupun otoritas filosofis.
10.5.
Kritik Akademik-Barat: Masalah
Historiografi dan Definisi “Filsafat Islam”
Dalam lingkup akademik Barat, perdebatan besar
muncul mengenai bagaimana mendefinisikan filsafat Islam. Sebagian sarjana
menilai istilah “Islamic philosophy” problematik karena cenderung:
·
membatasi filsafat hanya pada tokoh Muslim,
·
menyingkirkan kontribusi non-Muslim dalam tradisi Islam (misalnya Yahudi
dan Kristen Arab),
·
atau terlalu membedakan antara filsafat dan teologi.⁹
Sebagian lainnya mempertanyakan apakah tradisi
skolastik seperti Avicennisme atau Illuminasionisme masih dapat disebut
“filsafat” dalam pengertian modern.¹⁰ Perdebatan ini memicu refleksi ulang
tentang metodologi historiografi filsafat Islam.
10.6.
Kritik dari Dalam Tradisi: Revisi
Metodologi oleh Pemikir Islam Kontemporer
Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman,
dan Mulla Sadra kontemporer memandang bahwa kritik terhadap filsafat Islam
justru menjadi pendorong bagi reformulasi metodologis.
·
Nasr mengkritik
modernisme karena kehilangan dimensi sakral dalam pengetahuan, menyerukan
“kembali ke hikmah perennial”.¹¹
·
Fazlur Rahman mengkritik
skolastisisme Islam yang dianggap kaku, dan menuntut rekonstruksi
etis-kontekstual terhadap filsafat Islam.¹²
·
Muhammad Iqbal menekankan
perlunya filsafat kreatif yang selaras dengan dinamika zaman dan sains
modern.¹³
Kritik internal ini menunjukkan bahwa filsafat
Islam bukan tradisi mati, tetapi tradisi yang terus berkembang melalui
perdebatan reflektif.
10.7.
Perdebatan tentang Filsafat Islam
dan Ilmu Pengetahuan Modern
Pada era teknologi, perdebatan kontemporer sering
berkisar pada:
·
apakah filsafat Islam kompatibel dengan fisika kuantum,
·
bagaimana memahami kosmologi modern dalam kerangka filsafat Avicenna,
·
bagaimana etika Islam ditantang oleh bioteknologi, AI, dan
transhumanisme.¹⁴
Perdebatan ini menuntut filsafat Islam untuk
bekerja ulang konsep-konsep seperti kausalitas, ruang-waktu, intelek, dan jiwa
agar dapat berdialog dengan perkembangan ilmu modern.
Sintesis
Kontemporer: Filsafat Islam sebagai Wacana Cair dan Multiperspektif
Perdebatan kontemporer menunjukkan bahwa filsafat
Islam tidak lagi dapat dipahami secara tunggal. Ia berkembang dalam beberapa
arah:
·
sebagai metafisika klasik (tradisi Avicenna–Suhrawardi–Sadra),
·
sebagai hermeneutika modern,
·
sebagai etika sosial dan politik,
·
sebagai kritik ideologi,
·
sebagai dialog sains dan agama,
·
sebagai tasawuf filosofis.
Kritik-kritik modern tidak melemahkan filsafat
Islam, tetapi justru memperkaya dan mengujinya untuk tetap hidup, relevan,
kritis, dan kreatif.
Footnotes
[1]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 11–14.
[2]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal
Age (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 133–138.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
University of Chicago Press, 1982), 22–30.
[4]
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Tahdhir al-Sajid
min Ittikhadh al-Qubur Masajid (Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1980), 39–42.
[5]
Talal Asad, Genealogies of Religion
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 192–197.
[6]
Hamid Dabashi, Post-Orientalism: Knowledge and
Power in Time of Terror (New York: Transaction, 2009), 45–49.
[7]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 17–23.
[8]
Hasan Hanafi, al-Turāth wa al-Tajdīd (Cairo:
Dar al-Tanwir, 1980), 55–59.
[9]
Dimitri Gutas, “The Study of Arabic Philosophy in
the Twentieth Century,” British Journal of Middle Eastern Studies 29,
no. 1 (2002): 5–9.
[10]
Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World
(Oxford: Oxford University Press, 2016), 77–81.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 103–110.
[12]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 12–16.
[13]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 1–15.
[14]
Osman Bakar, Islam and the Integration of
Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 44–50.
11.
Peran Filsafat dalam Pemikiran Islam Modern dan
Kebangkitan Intelektual
Filsafat memainkan peran fundamental dalam
membentuk arah pemikiran Islam modern sejak abad ke-19 hingga masa kini.
Kemunculan modernitas, kolonialisme, globalisasi, kebangkitan sains, serta
tantangan sosial-politik dan moral dunia kontemporer memaksa pemikir Islam
untuk melakukan rekonstruksi paradigma beragama.¹ Dalam konteks inilah filsafat
tidak hanya berperan sebagai warisan intelektual masa lalu, tetapi sebagai
instrumen epistemologis yang memungkinkan refleksi kritis dan kreatif terhadap
ajaran Islam. Ia menawarkan perangkat metodologis yang diperlukan untuk membaca
ulang teks, menilai struktur tradisi, dan merumuskan solusi bagi persoalan
modern.
Peran filsafat dalam pemikiran Islam modern dapat
dilihat pada tiga area besar: pembangunan kembali metodologi keislaman,
pembentukan wacana etika dan politik modern, serta revitalisasi kebangkitan
intelektual umat.
11.1.
Rekonstruksi Metodologi Keislaman:
Dari Skripturalisme ke Rasionalisme Kontekstual
Gerakan pembaharuan Islam modern muncul ditandai
dengan kebutuhan untuk menafsirkan ulang teks agama secara lebih rasional dan
relevan. Pemikir seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Jamal al-Din
al-Afghani menggunakan pendekatan filosofis untuk membuka kembali pintu ijtihad
dan menolak taqlid buta.²
Filsafat membantu modernis:
·
mengembangkan hermeneutika kontekstual,
·
menghidupkan kembali metode rasional klasik (seperti qiyas, istislah,
dan maqasid),
·
membaca teks agama dengan sensitivitas historis,
·
serta mengatasi dualisme antara agama dan sains.³
Di tangan Fazlur Rahman, filsafat menjadi landasan
teori gerak ganda (double movement) yang membaca teks dalam konteks
historis dan menerapkannya pada konteks baru.⁴ Pendekatan ini berperan penting
dalam pembaruan hukum Islam, etika sosial, dan pendidikan modern.
11.2.
Kebangkitan Intelektual dan
Rasionalisasi Pemikiran Keagamaan
Filsafat juga menjadi katalisator kebangkitan
intelektual dalam dunia Islam. Pemikir seperti Muhammad Iqbal mengintegrasikan
filsafat Barat modern (Bergson, Nietzsche, Whitehead) dengan metafisika Islam
untuk membangun konsep diri Muslim yang dinamis.⁵
Menurut Iqbal, Islam mengandung vitalitas kreatif
yang perlu dibangkitkan melalui:
·
rasionalisasi teologi,
·
rekonstruksi metafisika modern,
·
dan revitalisasi ijtihad.⁶
Iqbal menggunakan filsafat eksistensial dan proses
untuk menunjukkan bahwa iman bukan doktrin statis, tetapi energi kreatif untuk
membangun peradaban. Pengaruhnya signifikan dalam wacana pembaruan pendidikan
dan politik Islam di Asia Selatan.
11.3.
Dialog antara Filsafat Islam dan
Ilmu Pengetahuan Modern
Globalisasi ilmu pengetahuan menuntut umat Islam
untuk memahami sains modern bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang
epistemik. Osman Bakar, Mehdi Golshani, dan Ziauddin Sardar menggunakan
filsafat untuk membangun model hubungan harmonis antara Islam dan sains.⁷
Filsafat memungkinkan diskursus baru yang
menegaskan:
·
kompatibilitas epistemologi burhani dengan metode ilmiah,
·
kritik terhadap positivisme dan sekularisme ekstrem,
·
perlunya etika spiritual dalam kemajuan teknologi,
·
kesatuan antara kosmos, manusia, dan Tuhan dalam kerangka tauhid.⁸
Pendekatan ini penting dalam membentuk paradigma
sains Islam dan gerakan pendidikan berbasis integrasi ilmu di dunia Muslim.
11.4.
Filsafat sebagai Fondasi Wacana
Etika dan Hak Asasi Manusia dalam Islam Modern
Sejak pertengahan abad ke-20, muncul kebutuhan
untuk merumuskan etika Islam dalam bahasa universal modern. Pemikir seperti
Ismail Raji al-Faruqi dan Abdullahi An-Na’im menggunakan filsafat moral dan
teori politik untuk mengembangkan konsep hak asasi manusia, pluralisme, dan
demokrasi dalam perspektif Islam.⁹
Melalui filsafat, nilai-nilai Islam dapat dibaca
sebagai:
·
prinsip moral universal,
·
kerangka etika publik,
·
dasar bagi tata kelola negara modern,
·
dan sumber kritis bagi kebijakan sosial-politik.¹⁰
Pendekatan filosofis memungkinkan Islam untuk berinteraksi
dengan standar moral internasional tanpa kehilangan identitas normatifnya.
11.5.
Hermeneutika Kritis dan Pembongkaran
Otoritas Tradisi
Dalam ranah hermeneutika kontemporer, pemikir
seperti Mohammed Arkoun, Nasr Abu Zayd, dan Hasan Hanafi memanfaatkan filsafat
modern—semiotika, fenomenologi, post-strukturalisme—untuk meninjau kembali
struktur otoritas teks dan tradisi.¹¹
Filsafat digunakan untuk:
·
membongkar absolutisasi tafsir klasik,
·
membuka ruang kritik terhadap wacana teologis yang hegemonik,
·
mengembangkan pembacaan yang pluralistik dan responsif terhadap konteks
modern,
·
menegaskan bahwa teks tidak pernah final dan terus memanggil penafsiran
baru.¹²
Meskipun pendekatan mereka menuai kontroversi,
kontribusinya penting dalam membentuk wacana pemikiran Islam yang lebih terbuka
dan kritis.
11.6.
Filsafat sebagai Kritik terhadap
Sekularisme dan Krisis Spiritualitas Modern
Seyyed Hossein Nasr dan para filosof tradisionalis
menggunakan filsafat untuk mengkritik dampak destruktif modernitas: sekularisme,
materialisme, reduksionisme sains, dan hilangnya sakralitas alam.¹³
Filsafat Islam berperan dalam:
·
membela kosmologi spiritual,
·
mengembalikan dimensi transenden dalam sains,
·
menentang eksploitasi alam dan krisis ekologi,
·
menawarkan “hikmah perennial” sebagai penawar krisis moral modern.¹⁴
Dengan demikian, filsafat menyediakan kerangka
kritik terhadap peradaban modern sekaligus mengusulkan alternatif berbasis
spiritualitas Islam.
11.7.
Peran Filsafat dalam Pendidikan
Islam Modern
Dalam dunia pendidikan, filsafat menjadi fondasi
kurikulum integratif yang memadukan ilmu agama dan sains modern. Gerakan
integrasi ilmu di Indonesia, Malaysia, Turki, dan Iran menggunakan filsafat
sebagai platform epistemik untuk:
·
menolak dikotomi ilmu agama-ilmu umum,
·
membangun model universitas holistik,
·
mengembangkan kecerdasan spiritual-rasional,
·
dan melahirkan generasi pemikir kritis Muslim.¹⁵
Filsafat juga menjadi basis pembentukan etika
akademik, kebebasan berpikir, dan penelitian ilmiah dalam konteks Islam.
Sintesis:
Filsafat sebagai Motor Kebangkitan Intelektual Islam Modern
Peran filsafat dalam pemikiran Islam modern tidak
dapat diringkas sebagai sekadar kajian metafisika klasik. Ia menjadi:
·
alat rekonstruksi pemikiran keagamaan,
·
instrumen dialog antara Islam dan modernitas,
·
jembatan antara agama dan sains,
·
perangkat analisis etika sosial,
·
dasar pembentukan hermeneutika kontemporer,
·
dan medium kebangkitan intelektual umat.
Melalui filsafat, Islam mampu berinteraksi dengan
tantangan zaman secara kreatif, rasional, dan tetap berakar pada nilai wahyu.
Inilah peran sentral filsafat dalam menghidupkan kembali vitalitas intelektual
dunia Islam.
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 1–4.
[2]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal
Age (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 134–139.
[3]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 19–23.
[4]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 7–12.
[5]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 3–9.
[6]
Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into
the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 66–72.
[7]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 48–52.
[8]
Ziauddin Sardar, Islamic Science (Cambridge:
Icon Books, 1989), 23–29.
[9]
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and the Secular
State (Cambridge: Harvard University Press, 2008), 34–39.
[10]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge
(Herndon: IIIT, 1982), 17–25.
[11]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (Boulder:
Westview Press, 1994), 41–47.
[12]
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an
(Amsterdam: Swets & Zeitlinger, 2004), 9–16.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 28–34.
[14]
Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi
Doctrine (Bloomington: World Wisdom, 2008), 45–50.
[15]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1998), 101–108.
12.
Implikasi Filsafat Islam bagi Eksistensi Agama
Implikasi filsafat Islam bagi eksistensi agama
tidak dapat dilepaskan dari peran historis dan epistemologis filsafat sebagai
fondasi rasionalitas dalam peradaban Islam. Sejak era Abbasiyah hingga masa
modern, filsafat memiliki dua wajah: ia dianggap sebagai ancaman terhadap
kemurnian doktrin pada satu sisi, namun pada sisi lain menjadi jembatan
intelektual yang menjaga relevansi agama dalam menghadapi perkembangan ilmu
pengetahuan dan dinamika sosial yang terus berubah.¹ Dengan demikian,
implikasinya bersifat dialektis: filsafat melindungi agama dari kebekuan intelektual,
tetapi sekaligus menuntut keterbukaan agama terhadap kritik dan rekonstruksi
paradigmatik.
12.1.
Filsafat sebagai Penjaga
Rasionalitas Agama di Tengah Perubahan Zaman
Salah satu implikasi terpenting filsafat Islam
adalah kemampuannya menjaga agama tetap rasional dan dapat dipahami oleh akal
manusia. Para filosof Islam seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd
menegaskan bahwa akal adalah instrumen yang dianugerahkan Tuhan, sehingga
penggunaan rasionalitas merupakan bagian dari ketaatan terhadap wahyu.²
Dalam konteks modern, filsafat berperan menafsirkan
ulang ajaran Islam agar dapat berdialog dengan:
·
ilmu pengetahuan kontemporer,
·
etika global,
·
teori politik modern,
·
dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Tanpa kerangka filosofis, agama berisiko menjadi
dogmatis, terisolasi dari perkembangan ilmu, dan bahkan tidak mampu menjelaskan
tantangan baru seperti bioteknologi, kecerdasan buatan, hingga krisis
ekologis.³
12.2.
Filsafat sebagai Penyaring terhadap
Penafsiran Ekstrem dan Literalisme Keagamaan
Filsafat Islam menyediakan mekanisme kritis untuk
menyaring penafsiran agama yang ekstrem dan literalis. Logika dan prinsip
rasionalitas digunakan untuk membedakan antara ajaran pokok agama dengan
interpretasi sosial-historis yang bersifat relatif.⁴
Dalam sejarah Islam, penerapan metode filosofis
telah memperkuat:
·
penafsiran metaforis (ta’wil) terhadap ayat-ayat mutasyabihat,
·
kritik terhadap takwil ekstrem yang tidak berdasar,
·
perlawanan terhadap radikalisme berbasis interpretasi tekstual sempit,
·
dan artikulasi teologis yang lebih inklusif.
Filsafat menjadi penyeimbang agar agama tidak jatuh
dalam absolutisme interpretatif yang menutup ruang dialog dan kemanusiaan.
12.3.
Filsafat Memperluas Ruang
Spiritualitas dan Pemaknaan Teologis
Filsafat Islam tidak hanya rasional tetapi juga
spiritual. Tradisi seperti filsafat iluminasi Suhrawardi dan hikmah
muta‘āliyah Mulla Sadra menunjukkan bahwa akal dan intuisi dapat bersinergi
untuk memperdalam pemahaman tentang Tuhan dan kosmos.⁵
Implikasinya, agama dipahami tidak hanya sebagai
serangkaian aturan formal, tetapi sebagai perjalanan eksistensial menuju
kesempurnaan:
·
penyatuan spiritual dengan Tuhan,
·
pemurnian jiwa,
·
dan realisasi hakikat manusia sebagai makhluk rasional-spiritual.
Dengan demikian, filsafat membuka ruang bagi
pendekatan spiritual yang lebih reflektif dan mendalam dibandingkan sekadar
ritual formal.
12.4.
Filsafat Memungkinkan Agama
Beradaptasi terhadap Sains dan Teknologi Modern
Kemajuan sains modern sering dianggap sebagai
tantangan terhadap agama. Namun filsafat Islam menyediakan kerangka konseptual
untuk menempatkan sains sebagai bagian dari sunnatullah—hukum Tuhan yang
dapat dipahami manusia melalui akal.⁶
Melalui epistemologi burhani, filsafat memungkinkan
agama untuk:
·
memahami sains secara metodologis,
·
menyerap temuan empiris tanpa kehilangan fondasi spiritual,
·
mengembangkan etika teknologi yang humanistik,
·
dan menolak reduksionisme materialistik sains modern.
Implikasinya sangat kuat: agama tetap relevan dalam
dialog ilmiah tanpa terjebak dalam anti-intelektualisme.
12.5.
Filsafat Memperkuat Integrasi antara
Etika dan Hukum Islam
Filsafat memberikan kerangka rasional bagi
integrasi antara etika dan hukum. Konsep seperti maqāṣid al-sharī‘ah,
keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan mendapatkan justifikasi filosofis yang
memungkinkan hukum Islam berkembang sesuai kebutuhan zaman.⁷
Implikasi ini berdampak pada:
·
reformasi hukum keluarga,
·
etika sosial dan HAM,
·
keadilan ekonomi,
·
hingga konstruksi tata kelola negara Islam modern.
Dengan demikian, filsafat menjaga agar hukum Islam
tidak membeku dalam bentuk literal yang tidak relevan bagi konteks modern.
12.6.
Filsafat sebagai Ruang Kritik dan
Autokritik terhadap Tradisi Keagamaan
Filsafat berperan sebagai wadah autokritik
yang mendorong agama terus melakukan refleksi diri. Pemikir seperti Muhammad
Iqbal, Arkoun, dan Nasr Abu Zayd menunjukkan bahwa filsafat dapat mengungkap
struktur otoritas tradisi, bias penafsiran, dan problem teologis yang
tersembunyi.⁸
Ini berimplikasi pada:
·
pembacaan ulang tradisi klasik,
·
dekontruksi tafsir hegemonik,
·
pluralisasi pendekatan keagamaan,
·
dan pembentukan teologi progresif.
Kemampuan agama untuk berkembang sangat bergantung
pada ruang kritik filosofis ini.
12.7.
Filsafat Menguatkan Identitas
Keagamaan di Tengah Arus Sekularisme Global
Sekularisasi modern menghasilkan jarak antara agama
dan kehidupan publik. Filsafat Islam menawarkan basis konseptual untuk
mempertahankan peran agama dalam ruang publik sebagai sumber nilai, moralitas,
dan orientasi hidup.⁹
Melalui filsafat, agama:
·
dapat merumuskan konsep keberagamaan modern tanpa kehilangan prinsipnya,
·
memberikan alternatif terhadap nihilisme dan krisis spiritual,
·
dan mempertahankan relevansi normatif di tengah budaya global yang
sekular.
Dengan demikian, filsafat menjadi benteng intelektual
bagi ketahanan agama.
Sintesis:
Filsafat sebagai Fondasi Eksistensial Agama di Era Modern
Implikasi filsafat Islam bagi eksistensi agama
dapat disimpulkan dalam tiga prinsip utama:
1)
Menjaga rasionalitas agama agar tetap logis, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan secara
intelektual.
2)
Menguatkan spiritualitas agama melalui integrasi akal, intuisi, dan etika.
3)
Memperluas relevansi agama agar mampu menghadapi realitas sains, teknologi, politik, dan budaya
global.
Dengan demikian, filsafat bukan ancaman bagi
eksistensi agama, tetapi fondasi epistemologis yang memungkinkan agama tetap
hidup, berkembang, dan relevan sepanjang sejarah manusia.
Footnotes
[1]
Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 5–9.
[2]
Al-Farabi, The Attainment of Happiness,
trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 41–45.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 22–28.
[4]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles
Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 10–15.
[5]
Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 114–121.
[6]
Osman Bakar, Islam and the Integration of
Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 51–59.
[7]
Al-Shatibi, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah,
ed. Abdullah Darraz (Cairo: Dar al-Salam, 2000), 1:312–320.
[8]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 88–96.
[9]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 16–23.
13.
Sintesis: Filsafat sebagai Ancaman sekaligus
Penyangga Agama
Sintesis hubungan antara filsafat dan agama dalam
tradisi Islam menampilkan dialektika yang kaya dan dinamis. Filsafat tidak
pernah berada dalam posisi tunggal sebagai musuh atau pelindung agama,
melainkan menduduki dua posisi sekaligus—sebagai ancaman, karena dapat membuka
kemungkinan penafsiran metafisik yang bertentangan dengan dogma, dan sebagai
penyangga, karena menyediakan kerangka rasional yang memungkinkan agama tetap
relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.¹ Dalam sintesis inilah terlihat bahwa
Islam sebagai tradisi intelektual mampu berdialog dengan pemikiran rasional
tanpa kehilangan identitas spiritualnya.
13.1.
Filsafat sebagai Ancaman: Ketegangan
Epistemik dan Kekhawatiran Teologis
Sejak masa klasik, para teolog Islam melihat
filsafat sebagai ancaman dalam dua aspek utama:
(1)
Ketidaksesuaiannya dengan doktrin teologis tertentu, seperti masalah kekekalan alam, hubungan
sebab-akibat yang niscaya, atau gagasan intelek universal.²
(2)
Kemungkinan dominasi akal atas wahyu, yang dapat memunculkan interpretasi agama yang menyimpang dari makna
literal dan konsensus ulama.
Kritik al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah
menjadi simbol kekhawatiran teologis terhadap potensi filsafat untuk merongrong
fondasi akidah.³ Sebagian ulama menganggap bahwa jika akal diberi otoritas
absolut, maka kebenaran wahyu dapat direduksi menjadi simbol-simbol belaka,
membuka ruang bagi relativisme moral dan teologis. Inilah yang menjadikan
filsafat secara potensial “mengancam,” bukan sebagai disiplin pemikiran pada
dirinya sendiri, tetapi dalam implikasinya terhadap struktur otoritas agama.
13.2.
Filsafat sebagai Penyangga Agama:
Rasionalisasi, Klarifikasi, dan Pertanggungjawaban Teologis
Di sisi lain, filsafat tidak hanya mengkritik
teologi, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap penjelasan mendalam
tentang konsep ketuhanan, jiwa, kosmos, dan moralitas. Dalam tradisi
peripatetik dan iluminatif, filsafat menyediakan:
·
argumen rasional tentang
keberadaan Tuhan,
·
kerangka metafisik bagi
hubungan Tuhan–alam,
·
analisis etis yang
memperluas cakupan hukum Islam,
·
metode logis yang
memperbaiki kualitas argumentasi kalam dan ushul al-fiqh.
Ibn Rushd misalnya menegaskan bahwa syariat sendiri
memerintahkan penggunaan akal untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam
tentang kebenaran.⁴ Filsafat menjadi jalan untuk menafsirkan teks secara
koheren, menjembatani antara wahyu dan realitas empiris.
Dengan demikian, filsafat berfungsi sebagai penyangga
epistemologis yang memastikan agama tidak jatuh ke dalam
anti-intelektualisme. Ia meneguhkan bahwa wahyu dan akal adalah dua sumber
pengetahuan yang saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
13.3.
Sintesis Historis: Integrasi
Filsafat, Kalam, dan Tasawuf
Sejarah pemikiran Islam memperlihatkan pencapaian
luar biasa dalam upaya mengharmoniskan filsafat dengan ajaran agama. Integrasi
ini dapat dilihat dalam tiga perkembangan besar:
1)
Kalam filosofis, terutama
pada Fakhr al-Din al-Razi dan post-Avicennian kalam yang mengadopsi logika dan
metafisika filsafat.⁵
2)
Tasawuf falsafi,
sebagaimana terlihat pada Ibn ‘Arabi dan tradisi irfani, yang memadukan intuisi
mistik dengan struktur metafisika rasional.⁶
3)
Hikmah Muta‘āliyah Mulla Sadra, yang menggabungkan filsafat peripatetik, iluminasi, dan tasawuf dalam
sistem ontologi yang menyatukan akal dan intuisi.⁷
Puncak integrasi ini adalah keyakinan bahwa
rasionalitas, spiritualitas, dan wahyu dapat disatukan dalam satu kerangka
filosofis yang lebih luas. Sintesis ini menunjukkan bahwa filsafat tidak hanya
bertahan dalam tradisi Islam, tetapi menjadi bagian dari kerangka
epistemologisnya.
13.4.
Dialektika Ancaman dan Penyangga:
Energi Intelektual bagi Peradaban Islam
Ketegangan antara filsafat dan agama bukanlah tanda
kelemahan, tetapi energi intelektual yang mendorong perkembangan pemikiran
Islam.⁸ Kritik teologis memaksa filsafat untuk memperhalus argumennya,
sementara dorongan filosofis memaksa teologi untuk memperkuat logika dan
metodologinya.
Dialektika ini menghasilkan:
·
pembaruan teologis,
·
perkembangan ushul al-fiqh,
·
kemajuan sains pada era klasik,
·
serta model spiritualitas yang kaya dalam tasawuf filosofis.
Ketegangan kreatif ini menjadi sumber vitalitas,
bukan disfungsi. Ia menunjukkan bahwa agama yang hidup adalah agama yang terus
berdialog dengan akal dan dunia.
13.5.
Relevansi Sintesis bagi Dunia
Modern: Menghadapi Sains, Sekularisme, dan Krisis Spiritualitas
Dalam dunia modern, filsafat kembali berperan
penting sebagai penyangga agama dari:
·
dogmatisme dan ekstremisme,
·
stagnasi pemikiran,
·
serta tantangan sains dan sekularisme.⁹
Di saat yang sama, filsafat menuntut agama untuk
tetap kritis, reflektif, dan mampu memberi jawaban atas isu kontemporer seperti
pluralisme, etika biomedis, krisis ekologis, dan teknologi kecerdasan buatan.
Tanpa filsafat, agama dapat kehilangan relevansi sosial dan intelektual. Tanpa
agama, filsafat dapat kehilangan orientasi metafisik dan moralnya.
Sintesis modern ini menegaskan bahwa agama
membutuhkan filsafat sebagai mitra dialog untuk mempertahankan makna dalam
dunia yang semakin kompleks.
Kesimpulan:
Filsafat sebagai Kutub Ganda dalam Struktur Epistemologi Islam
Pada akhirnya, sintesis filsafat sebagai ancaman
sekaligus penyangga agama menawarkan pemahaman yang lebih dalam bahwa:
·
filsafat menguji batas-batas teologi,
·
teologi mengarahkan batas-batas filsafat,
·
dan keduanya membentuk ekosistem intelektual yang saling melengkapi.
Filsafat menjaga agama tetap rasional, terbuka, dan
dialogis; agama menjaga filsafat tetap etis, transenden, dan terarah.¹⁰
Dialektika keduanya menghasilkan tradisi pemikiran Islam yang kaya, kompleks,
dan adaptif sepanjang sejarah.
Dengan demikian, sintesis ini tidak hanya sebuah
kompromi, tetapi merupakan fondasi eksistensial bagi kelangsungan agama dalam
dunia modern yang terus berubah.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 90–94.
[2]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed.
Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 133–136.
[3]
Ibid., 150–158.
[4]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles
Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 9–12.
[5]
Ayman Shihadeh, Doubts on Avicenna (Leiden:
Brill, 2016), 45–51.
[6]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge
(Albany: SUNY Press, 1989), 71–78.
[7]
Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed.
Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 121–130.
[8]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity, 1999), 103–108.
[9]
Osman Bakar, Islam and the Integration of
Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 73–80.
[10]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
University of Chicago Press, 1982), 32–36.
14.
Kesimpulan
Kesimpulan dari keseluruhan kajian tentang peran
filsafat terhadap agama dalam tradisi Islam menunjukkan bahwa hubungan antara
keduanya bersifat dialektis, dinamis, dan saling mempengaruhi sepanjang
sejarah. Filsafat Islam tidak pernah berdiri sebagai disiplin yang terpisah
atau bertentangan secara absolut dengan agama, meskipun ketegangan antara akal
dan wahyu kerap muncul dalam berbagai fase perkembangan intelektual Islam.¹
Justru, dialektika tersebut melahirkan perkembangan epistemologi, teologi,
kosmologi, dan etika yang memperkaya tradisi keilmuan Islam dari masa ke masa.
14.1.
Dialektika Akal dan Wahyu sebagai
Motor Dinamika Intelektual
Sejarah menunjukkan bahwa ketegangan antara
filsafat dan agama bukanlah bentuk konflik destruktif, tetapi energi
intelektual yang mendorong penyempurnaan pemahaman keagamaan. Kritik al-Ghazali
terhadap Ibn Sina mendorong penyempurnaan kalam; pembelaan Ibn Rushd terhadap
filsafat memperkuat legitimasi rasionalitas dalam syariat; dan sintesis Mulla
Sadra menghasilkan struktur metafisika baru yang lebih komprehensif.²
Dialektika ini menghasilkan tradisi intelektual Islam yang kokoh dan beragam,
mencakup kalam rasional, ushul al-fiqh, tasawuf falsafi, hingga hikmah muta‘āliyah.
14.2.
Filsafat sebagai Fondasi
Rasionalitas Islam
Kajian menunjukkan bahwa filsafat memberi agama
fondasi rasional yang mendukung keberlanjutan relevansinya dalam menghadapi
perubahan zaman. Logika Aristotelian yang diadopsi ulama, kritik metafisika
yang dikembangkan para filosof, serta pembentukan epistemologi burhani yang
kompatibel dengan sains modern menunjukkan bahwa Islam telah lama berinteraksi
dengan rasionalitas secara kreatif.³
Tanpa perangkat filosofis ini, banyak aspek teologi
dan hukum Islam tidak akan memiliki kerangka metodologis yang kuat untuk
merespons perkembangan ilmu dan teknologi.
14.3.
Filsafat sebagai Mitra Hermeneutis
bagi Penafsiran Agama
Filsafat juga berperan penting dalam memperkaya
metodologi penafsiran wahyu. Tradisi ta’wil, hermeneutika simbolis,
serta pendekatan rasional para filosof membuka ruang penafsiran yang lebih luas
dan mendalam terhadap ayat-ayat mutasyabihat.⁴ Di era modern, hermeneutika
kritis dan kontekstual yang dipengaruhi filsafat kontemporer memungkinkan
pembacaan ulang teks keagamaan sehingga tetap relevan dengan tantangan etika,
politik, dan sosial abad ke-21.
14.4.
Filsafat sebagai Jembatan Dialog
antara Agama dan Sains
Dalam diskursus modern, filsafat Islam memainkan
peran signifikan sebagai jembatan antara agama dan sains. Dengan menyediakan
bahasa rasional yang menjembatani konsep metafisik dan penemuan empiris,
filsafat memfasilitasi integrasi antara wahyu dan perkembangan ilmiah.⁵ Hal ini
sangat penting terutama dalam isu-isu kontemporer seperti bioetika, kecerdasan
buatan, teori kosmologi, dan ekologi. Filsafat membantu agama menjawab
tantangan ilmiah tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.
14.5.
Filsafat sebagai Pelindung Agama
dari Dogmatisme dan Ekstremisme
Kajian ini menegaskan bahwa filsafat merupakan
perangkat kritis yang penting untuk melindungi agama dari kecenderungan
literalisme, absolutisme tafsir, serta penafsiran ekstrem yang sering
melahirkan radikalisme. Dengan mengedepankan logika, koherensi, serta prinsip
moderasi epistemik, filsafat menjaga agama tetap inklusif dan terbuka terhadap
dialog.⁶
Di dunia modern, fungsi ini menjadi semakin relevan
karena agama kerap digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan atau ideologi
politik.
14.6.
Filsafat sebagai Sarana Revitalisasi
Pemikiran Islam Modern
Pemikir seperti Iqbal, Fazlur Rahman, dan Arkoun
menunjukkan bahwa filsafat mampu memberikan kerangka konseptual untuk
merekonstruksi pemikiran Islam agar sejalan dengan nilai-nilai universal
kemanusiaan, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia.⁷
Dengan demikian, filsafat berperan dalam
kebangkitan intelektual dunia Islam dengan menyediakan ruang refleksi,
rekonstruksi, dan inovasi yang berakar pada tradisi tetapi tetap relevan dengan
modernitas.
Kesimpulan
Akhir: Filsafat sebagai Pilar Kebertahanan Agama
Kesimpulan utama dari seluruh pembahasan ini adalah
bahwa filsafat bukan sekadar pelengkap dalam tradisi intelektual Islam,
melainkan salah satu pilar utamanya. Filsafat menjaga agama:
·
tetap rasional dan dapat dipertanggungjawabkan,
·
tetap relevan dalam perubahan ilmu dan teknologi,
·
tetap terbuka terhadap dialog lintas budaya dan tradisi,
·
serta tetap berakar pada nilai-nilai spiritual dan moral Islam.
Dengan demikian, sekalipun filsafat sesekali
dipandang sebagai ancaman, ia sesungguhnya merupakan penyangga mendasar bagi
eksistensi agama dalam jangka panjang. Filsafat memastikan bahwa agama tidak
membeku dalam dogma, tetapi tetap hidup sebagai sumber makna, etika, dan
pengetahuan sepanjang sejarah manusia.⁸
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 95–102.
[2]
Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed.
Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 150–160.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 88–95.
[4]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles
Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 10–18.
[5]
Osman Bakar, Islam and the Integration of
Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 60–68.
[6]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 49–56.
[7]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 45–53.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
34–41.
Daftar Pustaka
Adamson, P. (2016). Philosophy
in the Islamic world. Oxford University Press.
Al-Albani, M. N. (1980). Tahdhir
al-sajid min ittikhadh al-qubur masajid. Dar al-Salafiyyah.
Al-Farabi. (1961). al-Jam‘
bayna ra’yay al-hakimayn (F. Najjar, Ed.). Dar al-Mashriq.
Al-Farabi. (1968). al-Madīnah
al-fāḍilah (A. Nader, Ed.). Dar al-Mashriq.
Al-Farabi. (2001). The
attainment of happiness (M. Mahdi, Trans.). University of Chicago Press.
Al-Ghazali. (1927). Tahāfut
al-falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Imprimerie Catholique.
Al-Ghazali. (1997). al-Mustaṣfā
min ‘ilm al-uṣūl (H. ‘Abd al-Razzaq, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Ghazali. (1998). al-Munqidh
min al-ḍalāl (J. al-Qasimi, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Ghazali. (2004). Iḥyā’
‘ulūm al-dīn (B. Tabana, Ed.). Dar al-Hadith.
Arkoun, M. (1994). Rethinking
Islam: Common questions, uncommon answers. Westview Press.
Arkoun, M. (2002). The
unthought in contemporary Islamic thought. Saqi Books.
Aristotle. (1985). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Asad, T. (1993). Genealogies
of religion. Johns Hopkins University Press.
Bakar, O. (1992). Classification
of knowledge in Islam. ISTAC.
Bakar, O. (1998). Islam
and the integration of knowledge. ISTAC.
Burckhardt, T. (2008). An
introduction to Sufi doctrine. World Wisdom.
Butterworth, C. (Trans.).
(2001). Fasl al-Maqāl (Averroes/Ibn Rushd). Brigham Young University
Press.
Chittick, W. C. (1989). The
Sufi path of knowledge. SUNY Press.
Dabashi, H. (2009). Post-orientalism:
Knowledge and power in time of terror. Transaction.
Fakhry, M. (1991). Ethical
theories in Islam. Brill.
Fakhry, M. (2004). A
history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Ghazali, A. (See Al-Ghazali
entries).
Golshani, M. (Secondary
citation—appears in thematic references but not direct quotes; optional to
include if needed).
Gutas, D. (2002). The study
of Arabic philosophy in the twentieth century. British Journal of Middle
Eastern Studies, 29(1), 5–25.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The
principles of epistemology in Islamic philosophy. SUNY Press.
Hanafi, H. (1980). al-Turāth
wa al-tajdīd. Dar al-Tanwir.
Hourani, A. (1983). Arabic
thought in the liberal age. Cambridge University Press.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb
al-akhlāq (C. Zurayk, Ed.). Dar al-Andalus.
Ibn Rushd (Averroes).
(1954). Tahāfut al-tahāfut (S. van den Bergh, Trans.). Luzac.
Ibn Rushd (Averroes).
(2001). Fasl al-Maqāl (C. Butterworth, Trans.). Brigham Young
University Press.
Ibn Rushd (Averroes).
(2009). Long commentary on De Anima (R. Taylor, Trans.). Yale
University Press.
Iqbal, M. (1930). The
reconstruction of religious thought in Islam. Oxford University Press.
Kurzman, C. (2002). Modernist
Islam, 1840–1940. Oxford University Press.
Leaman, O. (1999). A
brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.
Marmura, M. (Trans.).
(2005). The metaphysics of the healing (Avicenna/Ibn Sina). Brigham Young
University Press.
Mulla Sadra. (1981). al-Asfār
al-arba‘ah (M. Khwajawi, Ed.). Hikmat.
Nasr, S. H. (1968). Man
and nature: The spiritual crisis of modern man. Allen & Unwin.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge
and the sacred. SUNY Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion
and the order of nature. Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic
philosophy from its origin to the present. SUNY Press.
Rahman, F. (1980). Major
themes of the Qur’an. University of Chicago Press.
Rahman, F. (1982). Islam
and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of
Chicago Press.
Razi, F. al-D. (1999). Mafātīḥ
al-ghayb (‘A. al-Sayyid, Ed.). Dar al-Hadith.
Sardar, Z. (1985). Islamic
futures. Mansell.
Sardar, Z. (1989). Islamic
science. Icon Books.
Schimmel, A. (1963). Gabriel’s
wing: A study into the religious ideas of Sir Muhammad Iqbal. Brill.
Shatibi, A. (2000). al-Muwāfaqāt
fī uṣūl al-sharī‘ah (‘A. Darraz, Ed.). Dar al-Salam.
Shihadeh, A. (2016). Doubts
on Avicenna. Brill.
Suhrawardi, S. al-D. (1970).
Hikmat al-ishrāq (H. Corbin, Ed.). Institute for Islamic Studies.
Taylor, R. C. (Trans.).
(2009). Long commentary on De Anima (Averroes/Ibn Rushd). Yale
University Press.
Wolfson, H. A. (1976). The
philosophy of the kalam. Harvard University Press.
Wan Daud, W. M. N. (1998). The
educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas.
ISTAC.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar