Senin, 17 November 2025

Potensi Filsafat bagi Islam: Antara Ancaman, Dialog, dan Integrasi

Potensi Filsafat bagi Islam

Antara Ancaman, Dialog, dan Integrasi


Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.

Pengantar Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas hubungan dialektis antara filsafat dan agama dalam tradisi intelektual Islam, dengan menyoroti peran ganda filsafat sebagai ancaman sekaligus penyangga eksistensi agama. Melalui telaah historis, genealogis, epistemologis, ontologis, kosmologis, etis, dan hermeneutis, kajian ini menunjukkan bahwa filsafat berfungsi sebagai perangkat rasional yang memungkinkan agama tetap koheren, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Di sisi lain, filsafat juga dipandang berpotensi mengguncang doktrin-doktrin fundamental ketika rasio diposisikan melampaui wahyu. Dialektika ini menghasilkan dinamika intelektual yang kreatif, menjadi motor perkembangan kalam, ushul al-fiqh, tasawuf falsafi, dan hikmah muta‘āliyah. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat tidak hanya menguji batas-batas teologi, tetapi juga memperluas cakrawala pemahaman agama terhadap sains modern, realitas sosial, dan persoalan etika kontemporer. Dengan demikian, filsafat terbukti menjadi salah satu fondasi penting bagi revitalisasi pemikiran Islam modern serta keberlanjutan eksistensial agama dalam menghadapi tantangan global.

Kata kunci: Filsafat Islam, Akal dan Wahyu, Teologi Islam, Epistemologi Islam, Hermeneutika Islam, Etika Islam, Kalam, Sains dan Agama, Pemikiran Islam Modern, Hikmah Muta‘āliyah.


PEMBAHASAN

Filsafat Islam sebagai Penyangga Rasionalitas dan Penafsir Kritis Ajaran Agama


1.           Pendahuluan

Perdebatan mengenai hubungan antara filsafat dan agama, khususnya dalam tradisi Islam, merupakan tema klasik yang terus berulang dalam sejarah intelektual umat manusia. Sepanjang perjalanan peradaban Islam, filsafat sering dipandang sebagai medan yang ambigu: di satu sisi ia dianggap sebagai instrumen rasional yang memperkuat argumentasi teologis, tetapi di sisi lain ia dituduh berpotensi menggoyahkan keyakinan fundamental agama. Ketegangan ini tidak hanya hadir dalam wacana para pemikir klasik, tetapi juga tetap relevan dalam konteks modern ketika Islam berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tantangan global kontemporer.¹

Dalam konteks itu, filsafat Islam memainkan peran unik. Ia tidak hanya sekadar upaya untuk menerjemahkan pemikiran Yunani ke dalam dunia Islam, tetapi juga menjadi sarana untuk memahami wahyu dengan pendekatan rasional yang lebih sistematis. Para pemikir seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd memandang bahwa akal dan wahyu bukan entitas yang harus dipertentangkan, melainkan dua jalur kebenaran yang bersumber dari Tuhan yang sama.² Namun, sejarah juga mencatat adanya resistensi kuat terhadap filsafat, terutama dari sebagian teolog yang menganggap pendekatan filosofis dapat mengantarkan pada spekulasi metafisik yang tidak terkontrol.³

Masalah mendasar yang memicu ketegangan ini adalah pertanyaan epistemologis: sejauh mana akal dapat menafsirkan dan memahami wahyu? Dalam tradisi Islam, akal dihormati sebagai anugerah ilahi yang membedakan manusia dari makhluk lain, namun ia tetap dipandang memiliki keterbatasan dibandingkan dengan wahyu.⁴ Ketegangan inilah yang kemudian melahirkan beragam mazhab pemikiran: mulai dari kelompok rasionalis yang menempatkan akal pada posisi sentral, hingga kelompok tekstualis yang menegaskan supremasi literalitas wahyu. Filsafat Islam hadir sebagai ruang dialog antara dua kutub tersebut.

Dalam situasi modern, pertanyaan mengenai fungsi filsafat dalam agama Islam menjadi semakin penting. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan etika kontemporer menuntut agama untuk memberikan jawaban yang rasional dan relevan. Tanpa filsafat, agama berisiko terjebak dalam dogmatisme yang kaku dan terputus dari dinamika dunia modern. Namun pada saat yang sama, tanpa batasan konseptual dan epistemik dari agama, filsafat dapat melampaui ranahnya dan berspekulasi pada wilayah metafisik yang tidak memiliki dasar teologis yang kuat.⁵ Oleh karena itu, memahami peran filsafat Islam dalam menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan wahyu menjadi penting bagi pengembangan studi keislaman.

Artikel ini disusun untuk mengkaji bagaimana filsafat Islam berperan sebagai ancaman sekaligus penyangga bagi agama Islam. Melalui pendekatan historis, epistemologis, dan kritis, kajian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar perangkat berpikir abstrak, tetapi sebuah instrumen yang dapat menjaga relevansi agama dalam dunia yang terus berubah. Pembahasan ini akan menelusuri akar genealogi filsafat Islam, menjelaskan ketegangan epistemologis yang melandasinya, serta menilai kontribusi filsafat dalam menjembatani agama dengan rasionalitas modern.


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 3–5.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 67.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 12–17.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 21.

[5]                Mohammad Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 54–58.


2.           Genealogi Filsafat Islam

Genealogi filsafat Islam tidak dapat dipahami hanya sebagai proses adopsi terhadap filsafat Yunani, melainkan sebagai evolusi intelektual yang kompleks, di mana unsur-unsur rasionalitas dari berbagai peradaban bertemu, saling berinteraksi, dan kemudian ditransformasikan dalam kerangka teologis serta kultural Islam. Sejak abad ke-8 hingga ke-12, dunia Islam menjadi pusat peradaban global yang mengintegrasikan warisan intelektual Yunani, Persia, India, dan tradisi Semitik ke dalam suatu sintesis baru yang berakar pada nilai-nilai wahyu.¹ Inilah yang menjadikan filsafat Islam bukan sekadar “filsafat yang ditulis oleh Muslim,” tetapi sebuah tradisi epistemik yang tumbuh dari dialektika antara akal dan wahyu.

2.1.       Akar Intelektual Pra-Islam dan Pengaruh Peradaban Sekitar

Sebelum kedatangan Islam, wilayah Timur Dekat telah menjadi ruang pertemuan ide-ide besar dari Persia, Byzantium, dan India. Pemikiran Zoroastrianisme, neoplatonisme late-antique, dan kosmologi India telah lama beredar melalui jalur perdagangan dan pusat-pusat urban seperti Gundeshapur dan Harran.² Ketika Islam berkembang, interaksi dengan tradisi-tradisi ini tidak dapat dihindari. Dalam fase awal, para ulama, dokter, dan ilmuwan Muslim menyerap berbagai gagasan kosmologis, logis, dan medis yang kemudian diberi bentuk baru sesuai kebutuhan epistemologi Islam.

2.2.       Gerakan Penerjemahan dan Lahirnya Infrastruktur Intelektual

Salah satu peristiwa terpenting dalam genealogi filsafat Islam adalah berdirinya gerakan penerjemahan besar-besaran di era Abbasiyah, terutama pada masa al-Ma’mun. Pusat kegiatan ilmiah seperti Bayt al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan, tetapi juga sebagai lembaga penelitian, penerjemahan, dan diskusi filosofis.³ Melalui patronase politik yang kuat, karya Aristoteles, Plato, Plotinus (melalui Enneads versi Arab yang dikenal sebagai Theology of Aristotle), Galen, Ptolemy, dan berbagai filsuf Helenistik lainnya diterjemahkan ke bahasa Arab.⁴

Gerakan ini memicu ledakan intelektual yang luar biasa. Para penerjemah seperti Hunayn ibn Ishaq dan keluarganya memainkan peran monumental dalam menyediakan corpus pengetahuan bagi sarjana Muslim.⁵ Proses penerjemahan ini tidak bersifat pasif; banyak karya mengalami adaptasi, koreksi, dan reinterpretasi agar selaras dengan kerangka teologis dan bahasa ilmiah Arab. Secara genealogis, inilah titik awal terbentuknya tradisi filsafat Islam sebagai disiplin sistematis.

2.3.       Pembentukan Mazhab Pemikiran dan Perdebatan Intelektual

Setelah corpus filsafat Yunani tersedia, lahirlah generasi filosof Muslim pertama seperti al-Kindi, yang dikenal sebagai “Filsuf Arab.” Ia memulai proyek besar untuk menunjukkan kompatibilitas antara filsafat dan Islam dengan menekankan bahwa kebenaran bersifat universal, dari manapun asalnya.⁶ Selanjutnya, al-Farabi mengembangkan sistem filsafat politik dan metafisika yang memadukan aristotelianisme dengan neoplatonisme, menghasilkan sintesis konseptual yang sangat berpengaruh pada pemikir-pemikir sesudahnya.⁷

Ibn Sina (Avicenna) menyusun bangunan metafisika dan epistemologi yang jauh lebih kompleks, dengan menekankan konsep wajib al-wujud dan teori emanasi, yang kemudian mewarnai perkembangan teologi Islam dan menginspirasi para teolog seperti Fakhr al-Din al-Razi maupun para filosof sufi.⁸ Pada fase yang berbeda, Ibn Rushd (Averroes) menekankan pentingnya filsafat sebagai sarana memahami wahyu secara mendalam dan menyanggah kritik al-Ghazali. Genealogi ini menunjukkan bahwa filsafat Islam berkembang melalui perdebatan dinamis internal, bukan sekadar reproduksi gagasan asing.

2.4.       Integrasi Filsafat dalam Kalam, Tasawuf, dan Ushul al-Fiqh

Filsafat kemudian menyebar ke berbagai cabang ilmu Islam. Dalam ilmu kalam, terutama pada mazhab Mu‘tazilah dan kemudian Maturidiyah, unsur-unsur logika dan argumentasi rasional digunakan untuk membela ajaran tentang keadilan Tuhan, kebebasan manusia, dan sifat-sifat Ilahi.⁹ Tasawuf falsafi, yang mencapai puncaknya melalui Ibn ‘Arabi dan murid-muridnya, menggabungkan metafisika neoplatonik dengan intuisi spiritual Islam, menciptakan tradisi hikmah yang menyatukan pengalaman mistik dan struktur rasionalitas metafisis.¹⁰

Sementara itu, dalam ushul al-fiqh, pemikir seperti al-Juwayni, al-Ghazali, dan al-Shatibi mulai menggunakan logika dan struktur argumentatif yang berasal dari filsafat untuk merumuskan kaidah-kaidah hukum Islam, termasuk penguatan konsep maqasid al-shari‘ah.¹¹ Konvergensi ini menunjukkan bahwa genealogi filsafat Islam tidak hanya berkutat pada metafisika, tetapi juga mempengaruhi struktur hukum, moral, dan spiritual dalam kehidupan umat Islam.

2.5.       Puncak Tradisi Filsafat Islam dan Penyebarannya ke Dunia Non-Arab

Pada abad ke-12 hingga 15, pusat gravitasi filsafat Islam bergeser ke Persia, Anatolia, dan Asia Selatan. Di Persia, tradisi Hikmah Masyriqiyyah Ibn Sina diteruskan oleh Suhrawardi dengan filsafat iluminasi, dan kemudian disintesiskan oleh Mulla Sadra dalam Hikmah Muta‘aliyah yang menggabungkan logika peripatetik, iluminasi, dan irfan.¹² Karya-karya mereka membentuk fondasi utama filsafat Islam di dunia Iran hingga hari ini.

Di dunia Ottoman dan Mughal, filsafat diintegrasikan ke dalam institusi pendidikan formal seperti madrasah dan dar al-hikmah, menunjukkan bahwa tradisi ini terus hidup dan berkembang meski menghadapi berbagai tekanan politik dan teologis.¹³ Dengan demikian, genealogi filsafat Islam menunjukkan keberlanjutan tradisi rasional yang adaptif, kreatif, dan produktif dalam merespons berbagai tantangan sejarah.

Genealogi ini penting tidak hanya untuk memahami asal-usul filsafat Islam, tetapi juga untuk melihat bagaimana Islam—sebagai agama dan peradaban—mengembangkan tradisi rasionalnya sendiri melalui interaksi lintas budaya. Ia bukan tradisi yang “mengimpor” filsafat, tetapi tradisi yang membentuk, menafsirkan, dan menghasilkan bentuk-bentuk filsafat baru yang tidak ditemukan dalam peradaban lain.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 7–10.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 19–25.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 57–60.

[4]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 42–45.

[5]                Garth Fowden, Before and After Muḥammad (Princeton: Princeton University Press, 2014), 122.

[6]                Al-Kindi, On First Philosophy, ed. Alfred Ivry (Albany: SUNY Press, 1974), 55.

[7]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 12–18.

[8]                Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 89–94.

[9]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY Press, 1978), 33–37.

[10]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 14–20.

[11]             Wael Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 55–60.

[12]             Sajjad Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 23–30.

[13]             Khaled El-Rouayheb, Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 41–45.


3.           Posisi Filsafat di dalam Epistemologi Islam

Epistemologi Islam dibangun di atas fondasi yang mengakui keberagaman sumber pengetahuan. Dalam tradisi intelektual Islam, pengetahuan berasal dari wahyu (al-wahy), akal (al-‘aql), pengalaman inderawi (al-hiss), intuisi spiritual (al-kashf), dan tradisi otoritatif (al-naql).¹ Filsafat Islam, sejak masa awal hingga periode klasik dan modern, berupaya memahami hubungan antara berbagai sumber ini dan menentukan posisi akal dalam struktur epistemik agama. Dengan demikian, filsafat Islam tidak hanya berbicara tentang metafisika atau etika, tetapi juga tentang bagaimana manusia mengetahui sesuatu, bagaimana kebenaran dapat diverifikasi, dan bagaimana wahyu dipahami melalui kerangka penalaran.

3.1.       Akal sebagai Instrumen Epistemik yang Diakui dalam Islam

Sejumlah ayat al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas bukanlah entitas asing dalam agama Islam, melainkan bagian integral dari pengalaman beragama. Para filosof Islam memandang akal sebagai “lampu” yang dianugerahkan Tuhan untuk memungkinkan manusia memahami struktur realitas, bahkan hingga tingkat metafisika.² Ibn Sina menegaskan bahwa akal bukan hanya organ berpikir, tetapi juga instrumen aktif yang dapat menangkap makna-makna universal yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindra.³ Dengan demikian, filsafat Islam mengafirmasi kedudukan akal sebagai salah satu sumber utama pengetahuan, berdampingan dengan wahyu.

3.2.       Tipologi Epistemologi Islam: Bayani, Burhani, dan Irfani

Al-Jabiri mengusulkan tipologi epistemik yang kini menjadi rujukan penting dalam memahami wacana pengetahuan Islam: bayani, burhani, dan irfani.⁴

·                     Epistemologi bayani bertumpu pada teks, tradisi, dan metode deduktif-linguistik; digunakan dalam fikih dan tafsir.

·                     Epistemologi burhani, yang menjadi wilayah filsafat, menggunakan penalaran logis dan argumen demonstratif.

·                     Epistemologi irfani mengandalkan pengalaman spiritual melalui intuisi dan penyaksian batin.

Filsafat Islam menempati posisi sentral dalam epistemologi burhani, yakni jenis pengetahuan yang menuntut konsistensi logis, argumentasi rasional, dan pembuktian demonstratif seperti dalam tradisi Aristotelian. Dengan burhani, Islam membangun kemampuan untuk berdialog dengan filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan modern.

3.3.       Peran Filsafat dalam Menyusun Kerangka Rasional Penafsiran Wahyu

Filsafat Islam berperan merekonstruksi metode penafsiran wahyu dengan menempatkan akal sebagai mitra dialog wahyu. Filsuf seperti al-Farabi berpendapat bahwa wahyu dan filsafat adalah dua bentuk manifestasi kebenaran yang sama, tetapi diterima dalam dua tingkatan: intelektual dan imajinatif.⁵ Dalam pandangan ini, akal digunakan untuk memahami struktur universal dari ajaran agama, sementara wahyu memberikan bentuk simbolis dan partikularnya. Ibn Rushd kemudian menegaskan bahwa penafsiran filosofis atas teks diperlukan untuk kelompok yang memiliki kemampuan demonstratif, sedangkan tafsir literal cukup bagi masyarakat umum.⁶ Dengan demikian, epistemologi Islam mengakui hirarki metode pengetahuan yang menempatkan filsafat sebagai bagian penting dalam memahami makna terdalam ajaran agama.

3.4.       Integrasi Akal dan Wahyu dalam Filsafat dan Kalam

Ilmu kalam berkembang melalui integrasi metode filosofis dan prinsip-prinsip teologis. Para mutakallim awal seperti Mu‘tazilah memanfaatkan logika untuk membela konsep keadilan Tuhan dan kebebasan manusia.⁷ Bahkan ulama yang kritis terhadap filsafat seperti al-Ghazali tetap mengakui pentingnya logika sebagai alat berpikir, sehingga menjadikannya prasyarat bagi studi ilmu-ilmu agama.⁸ Pengakuan ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perdebatan sengit, logika sebagai bagian dari filsafat diakui memiliki peran epistemik yang sah dalam teologi Islam.

Pada saat yang sama, para sufi filosof seperti Ibn ‘Arabi menempatkan pengetahuan intuitif sebagai puncak epistemologi, tetapi tetap memanfaatkan kerangka rasional untuk menjelaskan pengalaman spiritualnya.⁹ Ini menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi absolut antara akal dan intuisi, tetapi ada hirarki epistemik yang menempatkan keduanya dalam harmoni.

3.5.       Filsafat sebagai Mediator antara Tradisi Keagamaan dan Ilmu Pengetahuan Modern

Dalam era modern, epistemologi Islam menghadapi tantangan besar dari perkembangan sains dan teknologi. Banyak persoalan kontemporer seperti evolusi biologis, etika medis, kecerdasan buatan, dan kosmologi memerlukan pendekatan penalaran rasional yang tidak selalu dapat dipecahkan oleh epistemologi bayani atau irfani saja. Filsafat Islam hadir sebagai mediator yang memungkinkan agama berdialog dengan ilmu pengetahuan modern, karena ia memiliki kerangka burhani yang kompatibel dengan metode ilmiah.¹⁰

Keselarasan ini terlihat pada kemampuan filsafat Islam untuk melakukan:

·                     analisis konsep,

·                     kritik rasional,

·                     penafsiran metaforis terhadap teks keagamaan ketika diperlukan,

·                     dan penyusunan argumen teologis yang relevan dengan temuan ilmiah.

Dengan demikian, filsafat tidak hanya mempertahankan rasionalitas dalam Islam, tetapi juga memperluas wilayah epistemologi Islam menuju ranah sains dan filsafat kontemporer.

3.6.       Batasan Epistemik Filsafat dalam Perspektif Islam

Meskipun filsafat memiliki posisi penting dalam epistemologi Islam, tradisi ini tetap menekankan adanya batasan. Wahyu dipandang sebagai sumber pengetahuan tertinggi, terutama terkait perkara gaib dan hukum moral yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh akal. Para filsuf Islam seperti Ibn Sina dan Mulla Sadra sendiri mengakui bahwa akal dapat tersesat apabila tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip dasar wahyu.¹¹ Genealogi epistemik Islam dengan demikian memosisikan filsafat sebagai instrumen rasional yang sangat vital, tetapi tetap berada dalam orbit nilai-nilai wahyu.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 43–47.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 25.

[3]                Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 12–14.

[4]                Mohammed Abed al-Jabiri, The Formation of Arab Reason (London: I.B. Tauris, 2011), 64–68.

[5]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 29–32.

[6]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth in Averroes: Decisive Treatise (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 8–12.

[7]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY Press, 1978), 45–50.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Hamzah ‘Abd al-Razzaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 11.

[9]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 23–28.

[10]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 94–99.

[11]             Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 102–105.


4.           Ketegangan Konseptual: Filsafat sebagai Ancaman bagi Agama

Ketegangan antara filsafat dan agama dalam tradisi Islam merupakan salah satu dinamika intelektual paling signifikan dalam sejarah pemikiran Islam. Ketegangan ini muncul terutama dari perbedaan metodologis, epistemologis, dan ontologis antara kedua disiplin tersebut. Di satu sisi, filsafat mengedepankan rasionalitas, deduksi logis, dan penalaran abstrak sebagai sarana memperoleh kebenaran. Di sisi lain, agama Islam berlandaskan wahyu ilahi yang diterima sebagai kebenaran absolut, memiliki otoritas normatif, dan sering kali tidak tunduk pada pembuktian rasional dalam kerangka filosofis.¹ Pertemuan dua paradigma berbeda ini melahirkan dinamika yang rumit: saling memperkuat pada satu sisi, dan saling mengkritik pada sisi lain.

4.1.       Kekhawatiran tentang Penyimpangan Akidah dan Masalah Metafisika

Sebagian ulama memandang bahwa filsafat berpotensi menggeser pemahaman akidah dari kerangka wahyu menuju spekulasi metafisik yang tidak terkendali. Kritik al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah menegaskan bahwa beberapa doktrin filosof, seperti keabadian alam (qidam al-‘alam), ketidakmungkinan kebangkitan jasmani, dan pengetahuan Tuhan yang dianggap hanya mencakup hal-hal universal, bertentangan langsung dengan ajaran Islam.² Masalah-masalah metafisika tersebut dianggap berpotensi menyesatkan umat karena menyeret mereka pada konsep-konsep yang sulit diverifikasi oleh teks suci maupun konsensus teologis.

Ibn Taymiyyah juga menegaskan bahwa filsafat, terutama versi peripatetik dan neoplatonik, dapat mengaburkan ajaran tauhid karena memunculkan konsep emanasi dan hierarki wujud yang dianggap tidak sesuai dengan keesaan Tuhan dalam pengertian teologis.³ Dari perspektif ini, filsafat dinilai mengandung unsur asing yang bisa memasuki aqidah Islam melalui jalan yang tidak terkontrol.

4.2.       Metode Rasional vs. Otoritas Wahyu

Ketegangan juga muncul pada tataran metodologis. Filsafat bekerja berdasarkan prinsip akal otonom, yakni akal yang menentukan validitas kebenaran melalui kaidah-kaidah logika dan demonstrasi (burhān). Dalam sistem tersebut, kebenaran diperoleh melalui argumentasi rasional, bukan semata-mata melalui otoritas ilahi.⁴

Sebaliknya, agama memandang wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi yang tidak dapat digugat oleh akal. Ketika akal bertentangan dengan wahyu, mayoritas teolog berpandangan bahwa wahyu harus menjadi rujukan utama.⁵ Pertentangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa filsafat dapat mengurangi supremasi wahyu dan menjadikan akal sebagai hakim tertinggi atas ajaran agama.

4.3.       Ketegangan antara Ta’wil Filosofis dan Pemahaman Literal Teks

Para filosof seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd kerap menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara metaforis untuk menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip metafisika rasional.⁶ Penafsiran ini mencakup ayat tentang sifat-sifat Tuhan, penciptaan, malaikat, dan hari akhir. Meskipun metode ta’wil ini dapat memperkaya pemahaman agama di kalangan terpelajar, ia juga memunculkan kecurigaan bahwa filsafat berupaya “mengganti” makna tekstual dengan makna filosofis yang tidak dimaksudkan oleh wahyu.

Ulama tradisional menilai bahwa pendekatan semacam ini dapat membuka pintu bagi relativisme makna dan mengurangi kepastian teologis.⁷ Ketegangan ini menjadi salah satu alasan mengapa filsafat, pada masa tertentu dalam sejarah Islam, dipandang sebagai ancaman terhadap ortodoksi.

4.4.       Konflik Sosial-Politik dan Persepsi terhadap Filsafat

Ketegangan filsafat–agama bukan hanya bersifat intelektual tetapi juga terkait dengan situasi sosial-politik. Pada masa Abbasiyah, filsafat berkembang karena patronase negara, namun ketika stabilitas politik menurun, filsafat sering dituduh sebagai penyebab “penyimpangan” intelektual yang melemahkan masyarakat.⁸ Fase ini diperparah oleh munculnya kelompok-kelompok ekstrem yang menggunakan rasionalitas secara berlebihan atau menyimpang sehingga memunculkan stigma negatif terhadap filsafat.

Selain itu, filsafat sering dianggap sebagai tradisi asing (Greek-oriented) yang tidak sepenuhnya mencerminkan identitas Islam. Tuduhan ini semakin memperkuat persepsi bahwa filsafat dapat melemahkan kesalehan umat.⁹

4.5.       Ketegangan Epistemologis sebagai Sumber Dinamika, Bukan Kejatuhan

Meskipun ketegangan konsep antara filsafat dan agama kerap dipahami sebagai ancaman, sejarah menunjukkan bahwa dialektika ini justru mendorong perkembangan intelektual dalam Islam. Al-Ghazali mengkritik para filosof, tetapi pada saat yang sama ia menggunakan logika Aristotelian secara ekstensif dalam karya-karya ushul al-fiqh-nya. Ibn Rushd menulis pembelaan bagi filsafat, sementara para teolog seperti Fakhr al-Din al-Razi memperluas diskursus teologisnya menggunakan argumentasi filosofis.¹⁰

Fakta ini menunjukkan bahwa ketegangan tersebut bukan pertentangan statis melainkan dinamika kreatif yang menghasilkan perkembangan epistemologis dalam Islam. Ketegangan inilah yang kemudian melahirkan model-model integratif seperti filsafat iluminasi (Suhrawardi) dan hikmah muta‘āliyah (Mulla Sadra), yang berupaya mensintesiskan akal, intuisi, dan wahyu.¹¹

Pada akhirnya, filsafat dipahami bukan hanya sebagai ancaman, tetapi juga sebagai pengingat bahwa agama memerlukan basis rasional untuk tetap relevan, dan bahwa rasionalitas memerlukan batasan teologis agar tidak tersesat dalam spekulasi tanpa pedoman.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 12–14.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 84–92.

[3]                Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Jam‘iyyat al-Da‘wah, 1979), 1:122–126.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 58–62.

[5]                Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. Muhammad Sayyid Kilani (Cairo: Maktabah al-Turath, 1992), 43–45.

[6]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth in Averroes: Decisive Treatise (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 14–18.

[7]                Fakhr al-Din al-Razi, Asās al-Taqdīs, ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa (Cairo: Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhariyyah, 1986), 22–28.

[8]                George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), 77–80.

[9]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 102–105.

[10]             Ayman Shihadeh, Doubts on Avicenna: A Study and Edition of Sharaf al-Dīn al-Mas‘ūdī’s Commentary on the Ishārāt (Leiden: Brill, 2016), 13–17.

[11]             Sajjad Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 42–48.


5.           Filsafat sebagai Penghubung Rasionalitas Agama dan Sains Modern

Filsafat Islam memiliki peran historis dan konseptual yang sangat penting dalam menjembatani agama dan sains. Dalam tradisi intelektual Islam, filsafat berfungsi sebagai kerangka rasional yang menghubungkan wahyu dengan dunia empiris, menjadikan agama tidak hanya sebagai keyakinan teologis, tetapi juga sebagai dasar bagi pembangunan ilmu pengetahuan.¹ Dalam konteks modern, peran ini semakin relevan ketika umat Islam menghadapi perkembangan teknologi, sains, dan perubahan sosial yang bergerak cepat. Tanpa filsafat, dialog antara agama dan sains berpotensi stagnan; sebaliknya, tanpa agama, filsafat dan sains dapat terlepas dari landasan nilai moral dan transendental.

5.1.       Filsafat sebagai Infrastruktur Rasional bagi Perkembangan Sains dalam Peradaban Islam

Sejak abad ke-9 hingga ke-12, filsafat Islam menjadi fondasi metodologis bagi kemajuan sains di dunia Islam. Para pemikir seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd mengembangkan logika, epistemologi, dan metode demonstratif yang kompatibel dengan penelitian ilmiah.² Logika Aristotelian, yang diadopsi dan dikembangkan oleh para filosof Muslim, menjadi alat analisis utama bagi ilmuan dalam memahami fenomena alam. Para ahli astronomi, kedokteran, matematika, dan optik—seperti al-Biruni, Ibn al-Haytham, dan al-Khawarizmi—mengandalkan pendekatan rasional filosofis dalam karya-karya mereka.³

Dengan demikian, sains dalam Islam tidak berkembang secara terpisah dari agama, tetapi memanfaatkan filsafat sebagai penghubung metodologis antara wahyu dan observasi empiris. Tradisi ini menunjukkan bahwa dalam Islam, rasionalitas filosofis justru memperkuat peradaban ilmu pengetahuan.

5.2.       Rasionalitas Filosofis sebagai Jembatan Penafsiran Agama terhadap Penemuan Ilmiah Modern

Dalam konteks modern, berbagai temuan ilmiah menantang cara tradisional umat Islam memahami ayat-ayat kosmologis, biologis, dan antropologis. Hal ini menuntut reinterpretasi yang tidak dapat dilakukan hanya dengan pendekatan literal atau tradisional. Filsafat memungkinkan interpretasi kontekstual melalui pendekatan metaforis, teleologis, atau hermeneutis yang tetap berada dalam koridor teologi Islam.⁴

Contohnya, teori Big Bang dapat dipahami melalui gagasan metafisika tentang penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), sementara teori evolusi dapat dibaca ulang melalui konsep sunnatullah dan tadarruj (proses bertahap). Tanpa filsafat, dialog antara agama dan sains modern sering kali terjebak dalam dikotomi kaku antara penolakan total dan penerimaan tanpa kritis.

5.3.       Model Burhani: Kompatibilitas Metode Filosofis dengan Metodologi Ilmiah Modern

Epistemologi burhani, yang menjadi inti filsafat Islam, menuntut argumentasi demonstratif berdasarkan premis kuat dan verifikasi rasional. Pola pikir burhani sangat dekat dengan metode ilmiah modern yang mengandalkan observasi, analisis logis, dan verifikasi.⁵

Oleh karena itu, filsafat Islam menyediakan basis epistemik yang memungkinkan umat Islam:

·                     memahami sains secara metodologis,

·                     menilai klaim ilmiah secara kritis,

·                     serta mengintegrasikan penemuan sains ke dalam kerangka teologis yang koheren.

Dalam tradisi kontemporer, pemikir seperti Osman Bakar dan Seyyed Hossein Nasr menunjukkan bahwa epistemologi Islam memiliki elemen yang kompatibel dengan sains modern, sekaligus memberikan kritik teologis terhadap reduksionisme materialistik.⁶ Dengan demikian, filsafat Islam berfungsi sebagai mediator intelektual yang menjaga keseimbangan antara otonomi sains dan nilai-nilai agama.

5.4.       Filsafat Islam sebagai Penjaga Etika Ilmu Pengetahuan Modern

Sains modern berkembang sangat cepat, kadang melampaui batas etis ataupun moral—seperti dalam isu kecerdasan buatan, rekayasa genetika, bioteknologi, teknologi militer, dan eksploitasi alam. Dalam situasi ini, agama menyediakan norma moral, namun filsafat menyediakan perangkat analitis untuk menilai implikasi etis dan ontologis dari perkembangan sains.⁷

Dengan pendekatan filsafat moral Islam, isu-isu seperti euthanasia, cloning, modifikasi genetik, dan artificial intelligence dapat dianalisis melalui kerangka:

·                     maqāṣid al-sharī‘ah,

·                     teori nilai Islam,

·                     dan konsep hikmah (kebijaksanaan).

Pendekatan filosofis inilah yang memungkinkan agama memberikan respons yang rasional, relevan, dan kontekstual terhadap tantangan etika teknologi modern.

5.5.       Peran Kontemporer Filsafat sebagai Platform Dialog antara Agama dan Ilmu Pengetahuan

Di dunia modern, filsafat Islam berfungsi sebagai ruang dialog antara ulama, akademisi, ilmuan, dan masyarakat luas. Pemikiran filosofis menyediakan bahasa dan konsep yang dapat dipahami oleh kedua sisi: teologi Islam dan sains modern. Para pemikir seperti Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Mehdi Ha’iri Yazdi, dan Nurcholish Madjid berupaya membangun sintesis baru yang memadukan keimanan dengan rasionalitas ilmiah.⁸

Di tangan mereka, filsafat menjadi:

·                     alat rekonstruksi pemikiran Islam,

·                     jembatan antara wahyu dan dunia empiris,

·                     serta ruang untuk merumuskan paradigma baru yang humanistik dan rasional.

Dalam konteks globalisasi dan teknologi, filsafat Islam memiliki tugas besar untuk memastikan bahwa agama tetap dapat menjawab persoalan manusia modern tanpa kehilangan integritas metodologis maupun spiritualnya.


Synthesis: Filsafat sebagai Penyeimbang antara Wahyu dan Rasionalitas Ilmiah

Filsafat berfungsi sebagai penyeimbang epistemik yang menjaga agar agama tidak jatuh ke dalam dogmatisme dan agar sains tidak terlepas dari etika dan spiritualitas. Filsafat memberikan kemampuan reflektif dan kritis yang memungkinkan umat Islam memahami dunia modern sekaligus mempertahankan prinsip keimanan. Dengan demikian, filsafat Islam bukan sekadar pelengkap, tetapi komponen vital dalam integrasi agama dan sains.⁹

Melalui filsafat, agama mendapatkan bahasa rasionalnya; melalui agama, filsafat mendapatkan orientasi spiritualnya; dan melalui keduanya, sains dapat ditempatkan dalam kerangka etik dan metafisik yang lebih luas.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 14–18.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 88–92.

[3]                George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 103–110.

[4]                Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 59–66.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 71–75.

[6]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 27–34.

[7]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 113–120.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–21.

[9]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 42–46.


6.           Integrasi Filsafat dan Teologi dalam Tradisi Islam

Integrasi filsafat dan teologi dalam tradisi intelektual Islam merupakan proses panjang yang mencerminkan dinamika kreatif antara wahyu dan rasionalitas. Alih-alih memosisikan filsafat dan teologi sebagai dua disiplin yang saling bertentangan, sejarah Islam menunjukkan bahwa keduanya sering kali saling melengkapi dalam memahami hakikat Tuhan, alam semesta, dan manusia.¹ Para pemikir Muslim menyadari bahwa mengandalkan wahyu tanpa akal dapat menghasilkan dogmatisme yang kaku, sementara mengandalkan akal tanpa wahyu dapat membawa pada spekulasi metafisik yang tidak terarah. Oleh karena itu, integrasi antara filsafat (falsafah) dan teologi (kalam) terbentuk sebagai upaya menyatukan dasar-dasar akal dan wahyu dalam satu sistem pengetahuan.

6.1.       Awal Integrasi: Peran Mutakallimun dan Logika Filosofis

Para mutakallimun awal, terutama dari mazhab Mu‘tazilah, memainkan peran penting dalam membuka ruang dialog antara teologi dan filsafat. Meski berakar pada wahyu, mereka menggunakan kaidah-kaidah logika untuk membela keadilan Tuhan, kebebasan manusia, dan rasionalitas iman.² Mereka meminjam metode argumentasi dari tradisi filsafat Helenistik untuk membangun bangunan teologis yang konsisten.

Kemudian, mazhab Asy‘ariyah dan Maturidiyah mengembangkan tradisi ini lebih jauh dengan merumuskan konsep-konsep seperti kasb, sifat-sifat Tuhan, dan istita‘ah menggunakan perangkat logika yang telah diperhalus.³ Proses ini menunjukkan bahwa sejak awal, teologi Islam tidak berdiri sebagai disiplin anti-filosofis, melainkan menyerap metode filsafat untuk mempertahankan ortodoksi.

6.2.       Al-Farabi dan Kerangka Kesatuan antara Filsafat dan Syariat

Al-Farabi menyusun salah satu model integrasi paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Islam. Ia berpendapat bahwa filsafat dan agama adalah dua bentuk pengetahuan yang bersumber dari Tuhan yang sama, tetapi dengan tingkat abstraksi yang berbeda: agama menyampaikan kebenaran melalui simbol dan imajinasi, sementara filsafat menyampaikannya melalui abstraksi rasional.⁴

Dalam kerangka ini, nabi dan filsuf bukan musuh metafisis, melainkan pemilik dua fungsi epistemik yang berbeda. Al-Farabi dengan demikian menegaskan bahwa teologi tidak dapat berdiri tanpa dukungan rasional filsafat, sementara filsafat membutuhkan agama sebagai medium sosial-politik untuk memandu masyarakat menuju kebahagiaan.

6.3.       Ibn Sina: Sintesis Metafisika dan Teologi Islam

Ibn Sina membawa integrasi filsafat dan teologi ke tingkat yang lebih dalam melalui formulasi metafisika wajib al-wujud (Yang Wajib Ada). Dalam modelnya, keberadaan Tuhan dibuktikan melalui argumentasi rasional yang tidak bergantung pada premis tekstual.⁵

Metafisikanya mempengaruhi teologi Islam secara signifikan, terutama dalam konsep:

·                     hubungan Tuhan–alam,

·                     struktur jiwa manusia,

·                     intelek aktif dan kenabian,

·                     serta teori emanasi yang diselaraskan dengan ide kehendak Ilahi.

Meski sebagian gagasannya dikritik, karya Ibn Sina justru menjadi referensi utama mutakallimun abad pertengahan, termasuk Fakhr al-Din al-Razi, yang secara luas menggunakan metode Avicennian dalam karyanya.⁶

6.4.       Ibn Rushd: Pembelaan Filsafat dalam Kerangka Syariat

Ibn Rushd menolak anggapan bahwa filsafat bertentangan dengan agama. Dalam Fasl al-Maqāl, ia menegaskan bahwa syariat justru mewajibkan penggunaan akal untuk memahami keberadaan Tuhan dan struktur alam semesta.⁷

Ia membedakan tiga metode epistemik:

1)                  Khitābah (retorika) untuk masyarakat umum,

2)                  Jadal (dialektika) untuk teolog,

3)                  Burhān (demonstrasi) untuk filosof.

Dengan kerangka ini, ia memberikan legitimasi penuh bagi filsafat dalam struktur intelektual Islam. Ibn Rushd menunjukkan bahwa integrasi filsafat dan teologi bukan hanya mungkin, tetapi juga diperlukan untuk memahami kedalaman wahyu.

6.5.       Al-Ghazali: Kritik Filosofis yang Melahirkan Integrasi Baru

Al-Ghazali sering dipandang sebagai tokoh yang meruntuhkan filsafat Islam. Namun, pemahaman yang lebih tepat adalah bahwa ia melakukan kritik internal untuk menyaring aspek-aspek filsafat yang dianggap tidak sesuai dengan teologi.⁸

Dalam al-Munqidh min al-Dalāl, ia menegaskan bahwa logika Aristotelian wajib dipelajari oleh para ulama karena ia merupakan alat untuk berpikir benar.⁹ Dengan demikian, meskipun mengkritik metafisika Ibn Sina dan al-Farabi, al-Ghazali justru memperkuat integrasi filsafat dan teologi dengan memasukkan logika ke dalam kurikulum ortodoksi Sunni.

6.6.       Sintesis Akhir: Hikmah Iluminasi dan Hikmah Muta‘āliyah

Pada periode selanjutnya, tradisi filsafat Islam mencapai bentuk integrasi paling matang melalui dua aliran besar:

6.6.1.    Filsafat Iluminasi (Ishrāq) – Suhrawardi

Suhrawardi memadukan logika peripatetik dengan intuisi mistik untuk membangun kosmologi cahaya yang menggabungkan wahyu, akal, dan pengalaman spiritual.¹⁰ Tradisi ini menjadi jembatan antara teologi, metafisika, dan tasawuf.

6.6.2.    Hikmah Muta‘āliyah – Mulla Sadra

Mulla Sadra mengembangkan teori ontologi ashālat al-wujūd (primordialitas eksistensi) yang memadukan unsur-unsur:

·                     Avicennian rationalism,

·                     iluminasi Suhrawardi,

·                     dan mistisisme Ibn ‘Arabi.¹¹

Dengan pendekatan ini, ia menciptakan sistem integratif yang menyatukan pengetahuan rasional, intuitif, dan tekstual. Sistem Sadrian merupakan salah satu bentuk paling komprehensif dari integrasi filsafat dan teologi dalam tradisi Islam.


Kontribusi Integrasi terhadap Peradaban dan Diskursus Kontemporer

Hasil integrasi filsafat dan teologi tidak hanya menghasilkan sistem metafisika yang kaya, tetapi juga mempengaruhi:

·                     ushul al-fiqh,

·                     etika Islam,

·                     teori politik,

·                     sains Islam klasik,

·                     dan diskursus spiritualitas.

Dalam dunia modern, para pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr, Mehdi Ha’iri Yazdi, dan Muhammad Iqbal melanjutkan tradisi ini untuk merespons isu-isu kontemporer seperti modernisasi, teknologi, krisis ekologis, dan pluralisme.¹²

Integrasi filsafat–teologi menunjukkan bahwa Islam memiliki kapasitas epistemik untuk merespons dinamika zaman tanpa meninggalkan landasan spiritual dan moralnya.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 19–23.

[2]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes (Albany: SUNY Press, 1978), 35–39.

[3]                Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 87–94.

[4]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 45–50.

[5]                Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 32–39.

[6]                Ayman Shihadeh, Doubts on Avicenna (Leiden: Brill, 2016), 21–27.

[7]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 9–15.

[8]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 5–11.

[9]                Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dalāl, ed. Jamal al-Din al-Qasimi (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 27–30.

[10]             Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute for Islamic Studies, 1970), 12–17.

[11]             Sajjad Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 55–63.

[12]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 89–94.


7.           Dimensi Hermeneutika dan Penafsiran Agama dalam Filsafat Islam

Dimensi hermeneutika merupakan salah satu aspek terpenting dalam perkembangan filsafat Islam karena ia menghadirkan jembatan metodologis antara teks suci dan rasionalitas filosofis. Hermeneutika dalam tradisi Islam tidak hanya berfungsi untuk menafsirkan makna-makna literal dari al-Qur’an dan hadis, tetapi juga menggali struktur metaforis, simbolis, dan filosofis yang tersimpan dalam wahyu.¹ Melalui tradisi filsafat, penafsiran agama tidak terbatas pada makna tekstual, tetapi diperluas melalui perangkat rasional, logika, dan metode demonstratif yang memungkinkan lahirnya pemahaman yang lebih mendalam dan dinamis. Dengan demikian, filsafat Islam memberikan kerangka metodologis bagi dialog antara teks dan realitas historis-intelektual.

7.1.       Kerangka Hermeneutik Awal: Ta’wil sebagai Metode Penafsiran Rasional

Konsep ta’wil merupakan pintu masuk utama hermeneutika filsafat Islam. Para filosof seperti al-Farabi dan Ibn Sina memandang bahwa teks religius memiliki dua lapisan: makna lahiriah (zahir) dan makna batiniah (batin), di mana makna batin hanya dapat dicapai oleh mereka yang memiliki kapasitas intelektual tinggi.²

Dalam pandangan mereka:

·                     ayat-ayat sifat Tuhan,

·                     kisah-kisah para nabi,

·                     dan konsep-konsep metafisika seperti malaikat, penciptaan, dan hari akhir

harus dipahami melalui penafsiran filosofis agar selaras dengan prinsip rasional. Ibn Sina misalnya menafsirkan konsep malaikat sebagai “akal-akal suci” atau intelek kosmik, bukan makhluk berfisik.³ Pendekatan seperti ini memperluas horizon penafsiran agama dengan menyelaraskan wahyu dan rasionalitas metafisis.

7.2.       Ibn Rushd dan Hermeneutika Demonstratif (Burhani)

Ibn Rushd mengembangkan salah satu model hermeneutika paling sistematis dalam filsafat Islam. Dalam Fasl al-Maqāl, ia menegaskan bahwa teks agama memiliki tingkatan pemahaman yang berbeda sesuai dengan kapasitas intelektual audiensnya.⁴

1)                  Ia membedakan tiga metode penafsiran:

2)                  Khitābah – literal, retoris, untuk masyarakat awam

3)                  Jadal – argumentatif, dialektis, bagi teolog

4)                  Burhān – demonstratif, rasional-filosofis, bagi para filosof

Menurut Ibn Rushd, ketika ada pertentangan antara makna literal dan kebenaran demonstratif, maka teks harus ditakwil untuk menghindari kontradiksi antara wahyu dan akal.⁵ Dengan demikian, hermeneutika dalam filsafat Islam mengutamakan keselarasan epistemik, bukan oposisi antara teks dan rasio.

7.3.       Hermeneutika Simbolis dan Imajinatif dalam Tradisi Filsafat-Paripatetik dan Illuminasionis

Al-Farabi berpendapat bahwa wahyu diturunkan dalam bentuk simbol dan gambaran imajinatif untuk memudahkan pemahaman masyarakat umum.⁶ Nabi, dalam kerangka ini, adalah figur yang mampu menangkap kebenaran intelektual tertinggi tetapi menyampaikannya melalui medium imajinasi. Dengan demikian, teks wahyu harus dipahami secara simbolik oleh para intelektual untuk mengungkap struktur filosofis yang tersembunyi di balik narasi.

Dalam tradisi iluminasi (Ishrāq) Suhrawardi, hermeneutika menjadi lebih spiritual. Makna teks tidak hanya ditangkap oleh akal, tetapi melalui pengalaman iluminatif yang menyingkap realitas cahaya.⁷ Di sini, penafsiran bersifat multidimensi: rasional, intuitif, dan simbolis.

7.4.       Masuknya Hermeneutika Filosofis ke dalam Ushul al-Fiqh dan Kalam

Hermeneutika filsafat tidak hanya memengaruhi para filosof tetapi juga ilmuwan syariah dan teolog. Al-Ghazali, meski kritis terhadap sebagian metafisika filosof, justru menempatkan logika sebagai prasyarat bagi pemahaman teks agama.⁸ Ia mengintegrasikan metode Aristotelian dalam ushul al-fiqh, terutama dalam konsep qiyas, istidlāl, dan analisis makna teks.

Fakhr al-Din al-Razi melanjutkan tradisi ini dengan menggunakan argumentasi filosofis dalam menafsirkan ayat-ayat kosmologi dan teologi.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa filsafat memberi kontribusi besar terhadap metodologi penafsiran agama bahkan pada kalangan ulama ortodoks.

7.5.       Hermeneutika Irfani: Penafsiran Batiniah dalam Tradisi Sufi-Filosofis

Dalam tradisi filsafat-sufi (irfani), hermeneutika tidak berhenti pada analisis rasional, tetapi juga mencakup pengalaman batin. Ibn ‘Arabi memandang teks wahyu sebagai cermin dari realitas ilahi yang tak terbatas, sehingga maknanya tidak pernah final.¹⁰

Penafsir harus melalui perjalanan spiritual untuk mengungkap dimensi terdalam teks, karena makna wahyu bersifat hierarkis:

·                     makna syariat (lahir),

·                     makna thariqat (etika-rohani),

·                     makna hakikat (metafisika),

·                     makna ma‘rifat (puncak pengetahuan intuitif).

Pendekatan ini memperluas hermeneutika Islam dari sekadar penafsiran intelektual menjadi proses transformasi spiritual.

7.6.       Hermeneutika Filsafat Islam dalam Konteks Modern

Dalam dunia modern, hermeneutika filosofis menjadi penting bagi pembacaan ulang teks agama agar tetap relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Pemikir seperti Fazlur Rahman mengembangkan teori “gerak ganda” (double movement), yaitu membaca teks dalam konteks historisnya dan kemudian menerapkannya pada konteks modern.¹¹

Sementara itu, Muhammad Arkoun mengkritik batas-batas tradisional dalam penafsiran Islam dan mengusulkan hermeneutika kritis untuk membuka “ruang tak terpikirkan” dalam studi Islam.¹² Pendekatan ini menunjukkan bahwa filsafat Islam terus memainkan peran penting dalam mengembangkan metode penafsiran yang adaptif dan dialogis.


Hermeneutika sebagai Ruang Integratif antara Wahyu, Akal, dan Realitas

Secara keseluruhan, hermeneutika dalam filsafat Islam berfungsi sebagai ruang integratif yang menggabungkan:

·                     otoritas wahyu,

·                     penalaran rasional,

·                     simbolisme dan imajinasi,

·                     intuisi spiritual,

·                     serta analisis kontekstual.

Dengan demikian, hermeneutika bukan hanya metode teknis, tetapi paradigma epistemik yang menjaga relevansi agama dalam sejarah dan peradaban. Ia memastikan bahwa wahyu tidak membeku dalam literalitas, tetapi terus hidup dan ditafsirkan secara kreatif tanpa mengabaikan fondasi teologisnya.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 47–51.

[2]                Al-Farabi, al-Jam‘ bayna Ra’yay al-Hakimayn, ed. Fauzi Najjar (Beirut: Dar al-Mashriq, 1961), 13–16.

[3]                Avicenna, Risālah fī al-‘Aql, ed. Husain Atay (Ankara: Ankara University Press, 1959), 22–24.

[4]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 7–12.

[5]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity, 1999), 42–47.

[6]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 55–60.

[7]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute for Islamic Studies, 1970), 21–27.

[8]                Al-Ghazali, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Hamzah ‘Abd al-Razzaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 12–19.

[9]                Fakhr al-Din al-Razi, Mafātih al-Ghayb, ed. ‘Abd al-Rahman al-Sayyid (Cairo: Dar al-Hadith, 1999), 1:33–37.

[10]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 76–81.

[11]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–12.

[12]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 43–51.


8.           Problem Ontologis dan Kosmologis dalam Filsafat Islam dan Implikasinya bagi Teologi

Problem ontologis dan kosmologis dalam filsafat Islam merupakan jantung perdebatan antara filsafat dan teologi. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat wujud, struktur alam semesta, hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, dan mekanisme penciptaan telah melahirkan diskursus panjang yang membentuk fondasi metafisika Islam.¹ Perdebatan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga memiliki konsekuensi teologis yang signifikan, terutama terkait pemahaman tentang tauhid, sifat-sifat Tuhan, kehendak Ilahi, dan eskatologi. Filsafat Islam menghadirkan kerangka rasional untuk menjelaskan realitas sekaligus mempertahankan keharmonisan antara akal dan wahyu. Namun, sebagaimana sejarah menunjukkan, berbagai teori ontologis dan kosmologis yang dikembangkan para filosof sering memunculkan ketegangan dengan teologi Islam ortodoks.

8.1.       Masalah Keberadaan (Wujud) dan Esensi (Mahiyah)

Salah satu problem ontologis paling mendasar dalam filsafat Islam adalah perbedaan antara wujud (keberadaan) dan mahiyah (hakikat). Ibn Sina mengembangkan distingsi radikal antara keduanya: mahiyah menjelaskan apa sesuatu itu, sementara wujud menjelaskan bahwa sesuatu itu ada.² Baginya, wujud bukan bagian dari esensi dan harus diberikan oleh sebab eksternal—kecuali pada Tuhan, yang merupakan wājib al-wujūd (Yang Niscaya Ada).³

Implikasi teologis dari gagasan ini sangat besar:

·                     Tuhan tidak memiliki esensi yang terpisah dari keberadaan-Nya,

·                     Tuhan menjadi sumber seluruh wujud melalui proses yang niscaya, bukan kebetulan,

·                     hubungan sebab-akibat dalam kosmos menjadi tertata secara rasional.

Teolog Asy‘ariyah mengkritik ide ini karena dianggap dapat mengurangi kebebasan Tuhan dalam mencipta, seolah-olah penciptaan mengikuti hukum yang bersifat niscaya, bukan kehendak mutlak.⁴

8.2.       Teori Emanasi dan Penciptaan Alam

Para filosof peripatetik seperti al-Farabi dan Ibn Sina mengembangkan teori emanasi (fayd), yaitu gagasan bahwa alam semesta muncul sebagai aliran konsekuensial dari Tuhan melalui hierarki intelek.⁵ Teori ini muncul sebagai upaya untuk menafsirkan hubungan antara Tuhan yang transenden dan dunia material tanpa menurunkan kesempurnaan-Nya.

Akan tetapi, teologi Islam ortodoks menganggap teori emanasi bermasalah karena:

·                     tampak menafikan kebebasan Tuhan dalam mencipta,

·                     menyiratkan bahwa alam bersifat kadim (tidak bermula),

·                     dan bertentangan dengan konsep khalaqa al-samāwāt wa al-ard min al-‘adam (penciptaan dari ketiadaan).

Al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah menunjukkan keberatan terhadap pandangan para filosof yang menganggap alam tidak memiliki permulaan temporal.⁶ Kritik ini menciptakan jarak epistemologis antara kosmologi filosofis dan teologi kalam.

8.3.       Kejernihan Metafisika: Yang Wajib, Mungkin, dan Mustahil Ada

Ibn Sina mengklasifikasikan wujud ke dalam tiga kategori: wājib, mumkin, dan mumtani‘.⁷ Kategori ini membantu menjelaskan struktur logis realitas metafisik, tetapi juga memiliki implikasi teologis terkait:

·                     ketergantungan seluruh wujud pada Tuhan,

·                     posisi Tuhan sebagai satu-satunya entitas yang bersifat niscaya,

·                     kejelasan hubungan ontologis antara Tuhan dan ciptaan.

Teolog menggunakan konsep ini dalam argumen-argumen kalam untuk membuktikan keberadaan Tuhan, meski mereka tetap berhati-hati agar tidak terjebak dalam konsekuensi metafisika yang tidak sesuai dengan aqidah.

8.4.       Kosmologi Filosofis dan Masalah Kausalitas

Para filosof menekankan bahwa hubungan sebab-akibat merupakan prinsip rasional yang mengatur alam. Ibn Sina dan Ibn Rushd berpendapat bahwa setiap fenomena memiliki sebab yang konsisten dan dapat dipahami.⁸

Namun al-Ghazali menentang gagasan kausalitas niscaya ini. Ia menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat bukan entitas metafisik yang independen, melainkan kebiasaan (‘ādah) yang diciptakan Tuhan setiap saat.⁹ Pandangan ini bertujuan menegaskan bahwa Tuhan tetap memegang kendali penuh atas setiap kejadian di alam.

Debat ini berimplikasi besar:

·                     peripatetik menekankan stabilitas hukum alam (pondasi sains Islam),

·                     teolog menegaskan kekuasaan mutlak Tuhan,

·                     perdebatan membuka ruang dialog antara sains dan teologi.

8.5.       Struktur Jiwa dan Kosmologi Psikologis

Filsafat Islam juga mengembangkan teori tentang struktur jiwa dan hierarki wujud non-material. Bagi Ibn Sina, jiwa manusia bersifat immaterial, dapat bertahan setelah kematian, dan terhubung dengan intelek aktif.¹⁰

Kosmologi ini berimplikasi pada teologi:

·                     mendukung argumen rasional tentang kehidupan setelah mati,

·                     memperkuat konsep tanggung jawab moral manusia,

·                     tetapi menuai kritik karena dianggap terlalu dekat dengan konsep Platonisme.

Ibn Rushd, sebaliknya, menolak individualisasi jiwa intelektual dan memandang intelek sebagai entitas universal yang dimiliki bersama oleh manusia.¹¹ Pandangan ini ditolak oleh teologi Sunni karena dianggap melemahkan keadilan Tuhan dalam memberikan balasan individu di akhirat.

8.6.       Ontologi Wujud dalam Hikmah Muta‘āliyah: Primordialitas Eksistensi

Mulla Sadra mengatasi banyak ketegangan ontologis melalui konsep ashālat al-wujūd (keprimordialan wujud), yaitu gagasan bahwa wujud lebih fundamental daripada esensi.¹²

Konsep ini memungkinkan integrasi antara filsafat, teologi, dan mistisisme:

·                     alam semesta merupakan manifestasi gradasional wujud Tuhan,

·                     perubahan (harakah jawhariyah) bersifat ontologis, bukan sekadar aksidental,

·                     penciptaan bersifat terus-menerus, bukan hanya pada satu titik waktu,

·                     hubungan Tuhan–alam lebih selaras dengan konsep tauhid dan kehendak Ilahi.

Inilah salah satu sintesis metafisika paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Islam.

8.7.       Implikasi Teologis dari Perdebatan Ontologis dan Kosmologis

Problem ontologis dan kosmologis dalam filsafat Islam memengaruhi berbagai aspek teologi Islam, termasuk:

·                     konsep tauhid, melalui penjelasan rasional tentang keesaan wujud,

·                     sifat-sifat Tuhan, terkait kesederhanaan esensial Tuhan,

·                     qada dan qadar, terkait kausalitas dan kehendak Ilahi,

·                     hari akhir, melalui teori jiwa dan keberlanjutan wujud,

·                     hubungan Tuhan dan alam, melalui teori emanasi dan kreasionisme.

Para teolog kemudian meminjam banyak konsep filosofis untuk memperkuat argumen mereka, meski tetap berhati-hati agar tidak terjerumus pada implikasi metafisika yang dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip iman.


Kesimpulan: Ketegangan Kreatif sebagai Sumber Pengayaan Teologi

Problem ontologis dan kosmologis dalam filsafat Islam tidak hanya menciptakan pertentangan konseptual, tetapi juga memperkaya teologi dengan perangkat rasional yang lebih matang. Perdebatan antara para filosof dan teolog membuka ruang bagi:

·                     pengembangan argumen rasional tentang Tuhan,

·                     pemahaman kosmik yang lebih holistik,

·                     dan sintesis filosofis-teologis yang menghasilkan sistem metafisika Islam yang tangguh.

Dengan demikian, dinamika antara filsafat dan teologi dalam isu ontologi dan kosmologi membuktikan bahwa keduanya bukan musuh abadi, tetapi mitra epistemik dalam memahami realitas tertinggi.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 33–38.

[2]                Avicenna, al-Shifā’: al-Ilāhiyyāt, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-Miṣriyyah, 1960), 45–48.

[3]                Avicenna, The Metaphysics of the Healing, trans. Michael Marmura (Provo: Brigham Young University Press, 2005), 66–71.

[4]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 134–137.

[5]                Al-Farabi, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 91–96.

[6]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, 151–159.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 58–61.

[8]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 69–73.

[9]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, 169–171.

[10]             Avicenna, al-Najāt, ed. Muhammad Fauzi (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 253–258.

[11]             Ibn Rushd, Long Commentary on De Anima, trans. Richard C. Taylor (New Haven: Yale University Press, 2009), 113–118.

[12]             Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 92–101.


9.           Filsafat dan Etika Islam

Filsafat memainkan peran penting dalam membangun struktur etika dalam tradisi intelektual Islam. Etika Islam tidak muncul dalam ruang kosong, tetapi berkembang melalui perjumpaan antara ajaran wahyu, praktik keagamaan, dan tradisi filsafat yang berasal dari Yunani, Persia, dan India.¹ Oleh karena itu, etika Islam bersifat multidimensi: normatif, rasional, spiritual, dan teleologis. Filsafat menyediakan perangkat konseptual untuk memahami hakikat kebaikan, tujuan moral manusia, dan hubungan antara kebajikan dengan pengetahuan. Sementara agama memberikan landasan normatif yang kokoh, filsafat memberikan penjelasan rasional mengenai mengapa tindakan moral itu benar dan bagaimana manusia harus mengarahkan dirinya kepada kesempurnaan moral.

9.1.       Fondasi Etika dalam Filsafat Islam: Kebaikan sebagai Kesempurnaan Wujud

Dalam tradisi filsafat Islam, terutama yang dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plotinus, kebaikan sering dipahami sebagai kesempurnaan wujud.² Al-Farabi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut baik sejauh ia mendekatkan manusia kepada kesempurnaan akalnya, yaitu keadaan di mana jiwa mencapai kebahagiaan tertinggi (sa‘ādah).³ Etika dengan demikian tidak hanya berkaitan dengan perbuatan lahiriah, melainkan dengan kesempurnaan ontologis manusia sebagai makhluk rasional.

Ibn Sina melanjutkan tradisi ini dengan menekankan bahwa kebajikan adalah kondisi jiwa yang stabil yang menghasilkan tindakan baik tanpa paksaan.⁴ Etika baginya merupakan ilmu tentang bagaimana jiwa diarahkan menuju aktualisasi potensi tertingginya melalui pengendalian nafsu, penggunaan akal, dan pembiasaan moral.

9.2.       Etika Politik dan Komunitarian: Konsep al-Madīnah al-Fāḍilah

Filsafat Islam tidak memisahkan etika pribadi dari etika sosial. Al-Farabi mengembangkan konsep al-Madīnah al-Fāḍilah (negara utama) di mana moralitas menjadi fondasi tatanan sosial dan politik.⁵ Dalam masyarakat ideal ini, pemimpin adalah figur yang memadukan kebijaksanaan filosofis dengan wahyu kenabian. Individu mencapai kebajikan melalui peran sosialnya yang diarahkan menuju tujuan bersama: kebahagiaan manusia dan harmoni kosmik.

Model ini memperlihatkan bahwa etika Islam tidak semata-mata bersifat individual, tetapi juga struktural dan kosmologis, karena moralitas individu berkaitan dengan keteraturan sosial, hukum, dan spiritualitas kolektif.

9.3.       Integrasi Etika Aristotelian dalam Pemikiran Islam

Para filosof Muslim mengadopsi dan menyesuaikan empat kebajikan utama Aristoteles—kebijaksanaan (hikmah), keberanian (shajā‘ah), moderasi (iffah), dan keadilan (‘adālah)—ke dalam kerangka Islam.⁶ Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq mengembangkan konsep etika kebajikan dalam konteks Islam, dengan penekanan pada pembiasaan moral dan pengendalian diri.⁷

Ia memandang bahwa moralitas adalah hasil dari proses pendidikan jiwa yang terus-menerus, dimana manusia perlu menyeimbangkan kekuatan nafsu, emosi, dan akal. Pemikirannya kemudian memengaruhi para ulama dan filosof seperti al-Ghazali yang dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengembangkan etika tasawuf berbasis kebajikan.⁸

9.4.       Etika Teologis: Ihsan, Taqwa, dan Tanggung Jawab Moral

Filsafat memperkaya etika teologis Islam dengan memberikan penjelasan struktural atas konsep-konsep seperti ihsan, taqwa, dan taklif. Dalam teologi Islam, taklif (beban moral) diberikan kepada manusia karena ia memiliki akal dan kehendak bebas.⁹ Filsafat membantu menjelaskan bagaimana manusia dapat mengarahkan kehendaknya menuju tindakan yang bertanggung jawab secara moral.

Konsep ihsan—beribadah seakan melihat Tuhan—menunjukkan bahwa etika Islam tidak hanya menekankan kebenaran rasional, tetapi juga kesadaran spiritual yang mendalam. Integrasi ini menempatkan etika Islam sebagai bentuk kesatuan antara rasionalitas moral dan kesadaran transendental.

9.5.       Etika Sufi-Filosofis: Penyucian Jiwa dan Kebajikan Batin

Dalam tradisi tasawuf falsafi, seperti dalam karya Ibn ‘Arabi dan Mulla Sadra, etika tidak hanya bersifat rasional tetapi juga ontologis dan eksistensial.¹⁰ Jiwa manusia dipandang sebagai entitas yang bergerak menuju Tuhan melalui tahapan penyucian (tazkiyah).

Menurut Mulla Sadra, tindakan etis adalah manifestasi dari penyempurnaan eksistensi manusia; semakin ia menyatu dengan sumber wujud, semakin ia menjadi baik.¹¹ Etika di sini mencakup pengalaman batin, cinta ilahi, dan kesadaran akan kehadiran metafisik Tuhan dalam semua aspek kehidupan.

9.6.       Maqāṣid al-Sharī‘ah dan Etika Kemaslahatan

Meskipun teori maqāṣid lebih dikenal dalam ushul al-fiqh, akar filosofisnya kuat. Al-Shatibi menekankan bahwa tujuan syariat adalah menjaga agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta.¹² Filsafat memberikan kerangka rasional bagi pemahaman maqāṣid sebagai prinsip etika sosial yang mengutamakan kemaslahatan.

Dengan pendekatan filosofis, maqāṣid dapat dipahami sebagai struktur teleologis yang menekankan:

·                     keadilan,

·                     keseimbangan (mizan),

·                     dan manfaat publik (maslahah).

Pendekatan ini relevan dalam etika modern seperti kebijakan publik, bioetika, dan ekonomi Islam.

9.7.       Kontribusi Filsafat bagi Etika Islam Kontemporer

Dalam dunia modern, etika Islam menghadapi tantangan baru: bioteknologi, kecerdasan buatan, hak asasi manusia, pluralisme, dan krisis ekologi. Filsafat memberi kapasitas analitis untuk membahas isu-isu ini dengan pendekatan rasional tanpa kehilangan basis spiritual dan normatif Islam.¹³

Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa krisis ekologis adalah krisis etis akibat sekularisasi sains dan hilangnya pandangan kosmologis tradisional. Fazlur Rahman dan Nurcholish Madjid menggunakan pendekatan filosofis untuk menafsirkan ulang nilai-nilai moral Islam agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.¹⁴

Oleh karena itu, filsafat tidak hanya berfungsi sebagai pengingat akan dasar rasional moralitas, tetapi juga sebagai alat rekonstruksi etika Islam dalam konteks global.


Sintesis: Etika sebagai Keharmonisan antara Akal, Wahyu, dan Jiwa

Filsafat dan etika Islam bertemu dalam gagasan bahwa moralitas adalah proses penyempurnaan diri yang mengarah pada kesatuan dengan kebenaran. Filsafat memberikan kerangka rasional; wahyu memberikan orientasi teleologis; dan tasawuf memberikan kedalaman eksistensial.

Sinergi ini menjadikan etika Islam sebagai sistem moral komprehensif yang mencakup:

·                     akal (rasionalitas moral),

·                     wahyu (otoritas normatif),

·                     pengalaman spiritual (dimensi batin),

·                     dan tindakan konkret (dimensi sosial).

Dengan demikian, etika Islam sebagaimana diperkaya oleh filsafat menghadirkan model moral yang utuh, berimbang, dan adaptif terhadap perubahan zaman.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 3–6.

[2]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 81–83.

[3]                Al-Farabi, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 101–107.

[4]                Avicenna, al-Najāt, ed. Muhammad Fauzi (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 263–270.

[5]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 62–70.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), 36–40.

[7]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq, ed. Constantin Zurayk (Beirut: Dar al-Andalus, 1966), 23–28.

[8]                Al-Ghazali, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Badawi Tabana (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 2:121–130.

[9]                Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 145–152.

[10]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 112–119.

[11]             Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 142–150.

[12]             Al-Shatibi, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: Dar al-Salam, 2000), 1:302–310.

[13]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures (London: Mansell, 1985), 98–104.

[14]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 78–83.


10.       Kritik dan Perdebatan Kontemporer terhadap Filsafat Islam

Kritik terhadap filsafat Islam pada era kontemporer tidak terlepas dari transformasi sosial, politik, dan intelektual yang melanda dunia Islam sejak abad ke-19. Kontak dengan modernitas Barat, kebangkitan gerakan keagamaan revivalis, perubahan epistemologi modern, serta kemajuan sains dan teknologi melahirkan lanskap perdebatan baru yang berbeda dari masa klasik.¹ Jika pada era pertengahan konflik terjadi antara filosof dan teolog terkait metafisika, maka pada era modern perdebatan lebih berkisar pada relevansi, metodologi, legitimasi epistemik, dan fungsi sosial filsafat Islam dalam menghadapi tantangan global. Kritik-kritik ini dapat dikelompokkan dalam beberapa arus besar.

10.1.    Kritik Modernis: Filsafat Islam Dinilai Tidak Relevan dengan Sains Modern

Gerakan modernisme Islam yang dipelopori oleh tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani menganggap bahwa filsafat skolastik Islam abad pertengahan terlalu abstrak dan tidak memberikan kontribusi praktis bagi kebangkitan umat.² Kritik modernis berfokus pada beberapa hal:

·                     filsafat Islam dianggap terlalu metafisik, tidak empiris,

·                     tidak kompatibel dengan metode ilmiah modern,

·                     terlalu terikat pada sistem Aristotelian dan Neoplatonis,

·                     kurang memberi respons terhadap persoalan modern seperti kolonialisme, kemunduran sains, dan reformasi sosial.³

Bagi kelompok modernis, Islam memerlukan pendekatan rasional yang lebih empiris dan progresif, bukan metafisika berat sebagaimana dalam tradisi peripatetik atau iluminasi.

10.2.    Kritik Salafi-Tekstualis: Filsafat sebagai Penyimpangan dari Ajaran Murni Islam

Gerakan Salafi kontemporer menghidupkan kembali kritik klasik terhadap filsafat, terutama warisan Ibn Taymiyyah dan kelompok Hanbali konservatif. Bagi mereka, filsafat dianggap sebagai:

·                     produk asing yang diimpor dari Yunani,

·                     sumber penyimpangan akidah,

·                     metode penafsiran yang menggeser makna literal teks,

·                     upaya menundukkan wahyu di bawah otoritas akal.⁴

Tokoh-tokoh seperti Muhammad Nasiruddin al-Albani atau sebagian ulama Saudi menganggap bahwa penggunaan filsafat membahayakan tauhid karena melahirkan konsep-konsep yang tidak ada landasannya dalam teks suci. Kritik ini sering berujung pada penolakan mutlak terhadap studi filsafat dalam institusi pendidikan agama konservatif.

10.3.    Kritik Marxis dan Postkolonial: Filsafat Islam sebagai Wacana Elit dan Tidak Membebaskan

Dalam konteks abad ke-20, muncul kritik dari perspektif Marxis, postkolonial, dan teori kritis yang menyatakan bahwa filsafat Islam bersifat elit, abstrak, dan tidak berfungsi untuk membebaskan masyarakat dari ketidakadilan struktural.⁵

Menurut mereka:

·                     filsafat Islam terlalu fokus pada metafisika individual,

·                     tidak menangani masalah ketimpangan ekonomi dan politik,

·                     sering dipakai untuk melegitimasi status quo,

·                     kurang memberikan kritik sosial terhadap kekuasaan.⁶

Perspektif ini menuntut filsafat Islam lebih membumi, terlibat dalam pembebasan sosial, dan merespons isu kolonialisme, kapitalisme, dan ketidakadilan global.

10.4.    Kritik Postmodernis: Penolakan terhadap Kebenaran Metafisik Besar

Tokoh seperti Mohammed Arkoun dan Hasan Hanafi menawarkan kritik postmodern terhadap filsafat Islam tradisional. Mereka menyatakan bahwa filsafat Islam terlalu bergantung pada:

·                     struktur metafisika besar (grand narratives),

·                     klaim universalitas,

·                     dan epistemologi hierarkis yang tidak sesuai dengan pluralitas modern.⁷

Pendekatan postmodern menantang asumsi-asumsi dasar filsafat Islam seperti:

·                     konsep kebenaran absolut,

·                     hubungan linear antara akal dan wahyu,

·                     struktur ontologis hierarkis,

·                     dan konsep rasionalitas tunggal.⁸

Mereka mengusulkan pembacaan dekonstruktif terhadap tradisi, membuka ruang bagi keragaman interpretasi dan kritik terhadap otoritas teks maupun otoritas filosofis.

10.5.    Kritik Akademik-Barat: Masalah Historiografi dan Definisi “Filsafat Islam”

Dalam lingkup akademik Barat, perdebatan besar muncul mengenai bagaimana mendefinisikan filsafat Islam. Sebagian sarjana menilai istilah “Islamic philosophy” problematik karena cenderung:

·                     membatasi filsafat hanya pada tokoh Muslim,

·                     menyingkirkan kontribusi non-Muslim dalam tradisi Islam (misalnya Yahudi dan Kristen Arab),

·                     atau terlalu membedakan antara filsafat dan teologi.⁹

Sebagian lainnya mempertanyakan apakah tradisi skolastik seperti Avicennisme atau Illuminasionisme masih dapat disebut “filsafat” dalam pengertian modern.¹⁰ Perdebatan ini memicu refleksi ulang tentang metodologi historiografi filsafat Islam.

10.6.    Kritik dari Dalam Tradisi: Revisi Metodologi oleh Pemikir Islam Kontemporer

Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, dan Mulla Sadra kontemporer memandang bahwa kritik terhadap filsafat Islam justru menjadi pendorong bagi reformulasi metodologis.

·                     Nasr mengkritik modernisme karena kehilangan dimensi sakral dalam pengetahuan, menyerukan “kembali ke hikmah perennial”.¹¹

·                     Fazlur Rahman mengkritik skolastisisme Islam yang dianggap kaku, dan menuntut rekonstruksi etis-kontekstual terhadap filsafat Islam.¹²

·                     Muhammad Iqbal menekankan perlunya filsafat kreatif yang selaras dengan dinamika zaman dan sains modern.¹³

Kritik internal ini menunjukkan bahwa filsafat Islam bukan tradisi mati, tetapi tradisi yang terus berkembang melalui perdebatan reflektif.

10.7.    Perdebatan tentang Filsafat Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern

Pada era teknologi, perdebatan kontemporer sering berkisar pada:

·                     apakah filsafat Islam kompatibel dengan fisika kuantum,

·                     bagaimana memahami kosmologi modern dalam kerangka filsafat Avicenna,

·                     bagaimana etika Islam ditantang oleh bioteknologi, AI, dan transhumanisme.¹⁴

Perdebatan ini menuntut filsafat Islam untuk bekerja ulang konsep-konsep seperti kausalitas, ruang-waktu, intelek, dan jiwa agar dapat berdialog dengan perkembangan ilmu modern.


Sintesis Kontemporer: Filsafat Islam sebagai Wacana Cair dan Multiperspektif

Perdebatan kontemporer menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak lagi dapat dipahami secara tunggal. Ia berkembang dalam beberapa arah:

·                     sebagai metafisika klasik (tradisi Avicenna–Suhrawardi–Sadra),

·                     sebagai hermeneutika modern,

·                     sebagai etika sosial dan politik,

·                     sebagai kritik ideologi,

·                     sebagai dialog sains dan agama,

·                     sebagai tasawuf filosofis.

Kritik-kritik modern tidak melemahkan filsafat Islam, tetapi justru memperkaya dan mengujinya untuk tetap hidup, relevan, kritis, dan kreatif.


Footnotes

[1]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940 (Oxford: Oxford University Press, 2002), 11–14.

[2]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 133–138.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 22–30.

[4]                Muhammad Nasiruddin al-Albani, Tahdhir al-Sajid min Ittikhadh al-Qubur Masajid (Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1980), 39–42.

[5]                Talal Asad, Genealogies of Religion (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 192–197.

[6]                Hamid Dabashi, Post-Orientalism: Knowledge and Power in Time of Terror (New York: Transaction, 2009), 45–49.

[7]                Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 17–23.

[8]                Hasan Hanafi, al-Turāth wa al-Tajdīd (Cairo: Dar al-Tanwir, 1980), 55–59.

[9]                Dimitri Gutas, “The Study of Arabic Philosophy in the Twentieth Century,” British Journal of Middle Eastern Studies 29, no. 1 (2002): 5–9.

[10]             Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 77–81.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 103–110.

[12]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 12–16.

[13]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 1–15.

[14]             Osman Bakar, Islam and the Integration of Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 44–50.


11.       Peran Filsafat dalam Pemikiran Islam Modern dan Kebangkitan Intelektual

Filsafat memainkan peran fundamental dalam membentuk arah pemikiran Islam modern sejak abad ke-19 hingga masa kini. Kemunculan modernitas, kolonialisme, globalisasi, kebangkitan sains, serta tantangan sosial-politik dan moral dunia kontemporer memaksa pemikir Islam untuk melakukan rekonstruksi paradigma beragama.¹ Dalam konteks inilah filsafat tidak hanya berperan sebagai warisan intelektual masa lalu, tetapi sebagai instrumen epistemologis yang memungkinkan refleksi kritis dan kreatif terhadap ajaran Islam. Ia menawarkan perangkat metodologis yang diperlukan untuk membaca ulang teks, menilai struktur tradisi, dan merumuskan solusi bagi persoalan modern.

Peran filsafat dalam pemikiran Islam modern dapat dilihat pada tiga area besar: pembangunan kembali metodologi keislaman, pembentukan wacana etika dan politik modern, serta revitalisasi kebangkitan intelektual umat.

11.1.    Rekonstruksi Metodologi Keislaman: Dari Skripturalisme ke Rasionalisme Kontekstual

Gerakan pembaharuan Islam modern muncul ditandai dengan kebutuhan untuk menafsirkan ulang teks agama secara lebih rasional dan relevan. Pemikir seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Jamal al-Din al-Afghani menggunakan pendekatan filosofis untuk membuka kembali pintu ijtihad dan menolak taqlid buta.²

Filsafat membantu modernis:

·                     mengembangkan hermeneutika kontekstual,

·                     menghidupkan kembali metode rasional klasik (seperti qiyas, istislah, dan maqasid),

·                     membaca teks agama dengan sensitivitas historis,

·                     serta mengatasi dualisme antara agama dan sains.³

Di tangan Fazlur Rahman, filsafat menjadi landasan teori gerak ganda (double movement) yang membaca teks dalam konteks historis dan menerapkannya pada konteks baru.⁴ Pendekatan ini berperan penting dalam pembaruan hukum Islam, etika sosial, dan pendidikan modern.

11.2.    Kebangkitan Intelektual dan Rasionalisasi Pemikiran Keagamaan

Filsafat juga menjadi katalisator kebangkitan intelektual dalam dunia Islam. Pemikir seperti Muhammad Iqbal mengintegrasikan filsafat Barat modern (Bergson, Nietzsche, Whitehead) dengan metafisika Islam untuk membangun konsep diri Muslim yang dinamis.⁵

Menurut Iqbal, Islam mengandung vitalitas kreatif yang perlu dibangkitkan melalui:

·                     rasionalisasi teologi,

·                     rekonstruksi metafisika modern,

·                     dan revitalisasi ijtihad.⁶

Iqbal menggunakan filsafat eksistensial dan proses untuk menunjukkan bahwa iman bukan doktrin statis, tetapi energi kreatif untuk membangun peradaban. Pengaruhnya signifikan dalam wacana pembaruan pendidikan dan politik Islam di Asia Selatan.

11.3.    Dialog antara Filsafat Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern

Globalisasi ilmu pengetahuan menuntut umat Islam untuk memahami sains modern bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang epistemik. Osman Bakar, Mehdi Golshani, dan Ziauddin Sardar menggunakan filsafat untuk membangun model hubungan harmonis antara Islam dan sains.⁷

Filsafat memungkinkan diskursus baru yang menegaskan:

·                     kompatibilitas epistemologi burhani dengan metode ilmiah,

·                     kritik terhadap positivisme dan sekularisme ekstrem,

·                     perlunya etika spiritual dalam kemajuan teknologi,

·                     kesatuan antara kosmos, manusia, dan Tuhan dalam kerangka tauhid.⁸

Pendekatan ini penting dalam membentuk paradigma sains Islam dan gerakan pendidikan berbasis integrasi ilmu di dunia Muslim.

11.4.    Filsafat sebagai Fondasi Wacana Etika dan Hak Asasi Manusia dalam Islam Modern

Sejak pertengahan abad ke-20, muncul kebutuhan untuk merumuskan etika Islam dalam bahasa universal modern. Pemikir seperti Ismail Raji al-Faruqi dan Abdullahi An-Na’im menggunakan filsafat moral dan teori politik untuk mengembangkan konsep hak asasi manusia, pluralisme, dan demokrasi dalam perspektif Islam.⁹

Melalui filsafat, nilai-nilai Islam dapat dibaca sebagai:

·                     prinsip moral universal,

·                     kerangka etika publik,

·                     dasar bagi tata kelola negara modern,

·                     dan sumber kritis bagi kebijakan sosial-politik.¹⁰

Pendekatan filosofis memungkinkan Islam untuk berinteraksi dengan standar moral internasional tanpa kehilangan identitas normatifnya.

11.5.    Hermeneutika Kritis dan Pembongkaran Otoritas Tradisi

Dalam ranah hermeneutika kontemporer, pemikir seperti Mohammed Arkoun, Nasr Abu Zayd, dan Hasan Hanafi memanfaatkan filsafat modern—semiotika, fenomenologi, post-strukturalisme—untuk meninjau kembali struktur otoritas teks dan tradisi.¹¹

Filsafat digunakan untuk:

·                     membongkar absolutisasi tafsir klasik,

·                     membuka ruang kritik terhadap wacana teologis yang hegemonik,

·                     mengembangkan pembacaan yang pluralistik dan responsif terhadap konteks modern,

·                     menegaskan bahwa teks tidak pernah final dan terus memanggil penafsiran baru.¹²

Meskipun pendekatan mereka menuai kontroversi, kontribusinya penting dalam membentuk wacana pemikiran Islam yang lebih terbuka dan kritis.

11.6.    Filsafat sebagai Kritik terhadap Sekularisme dan Krisis Spiritualitas Modern

Seyyed Hossein Nasr dan para filosof tradisionalis menggunakan filsafat untuk mengkritik dampak destruktif modernitas: sekularisme, materialisme, reduksionisme sains, dan hilangnya sakralitas alam.¹³

Filsafat Islam berperan dalam:

·                     membela kosmologi spiritual,

·                     mengembalikan dimensi transenden dalam sains,

·                     menentang eksploitasi alam dan krisis ekologi,

·                     menawarkan “hikmah perennial” sebagai penawar krisis moral modern.¹⁴

Dengan demikian, filsafat menyediakan kerangka kritik terhadap peradaban modern sekaligus mengusulkan alternatif berbasis spiritualitas Islam.

11.7.    Peran Filsafat dalam Pendidikan Islam Modern

Dalam dunia pendidikan, filsafat menjadi fondasi kurikulum integratif yang memadukan ilmu agama dan sains modern. Gerakan integrasi ilmu di Indonesia, Malaysia, Turki, dan Iran menggunakan filsafat sebagai platform epistemik untuk:

·                     menolak dikotomi ilmu agama-ilmu umum,

·                     membangun model universitas holistik,

·                     mengembangkan kecerdasan spiritual-rasional,

·                     dan melahirkan generasi pemikir kritis Muslim.¹⁵

Filsafat juga menjadi basis pembentukan etika akademik, kebebasan berpikir, dan penelitian ilmiah dalam konteks Islam.


Sintesis: Filsafat sebagai Motor Kebangkitan Intelektual Islam Modern

Peran filsafat dalam pemikiran Islam modern tidak dapat diringkas sebagai sekadar kajian metafisika klasik. Ia menjadi:

·                     alat rekonstruksi pemikiran keagamaan,

·                     instrumen dialog antara Islam dan modernitas,

·                     jembatan antara agama dan sains,

·                     perangkat analisis etika sosial,

·                     dasar pembentukan hermeneutika kontemporer,

·                     dan medium kebangkitan intelektual umat.

Melalui filsafat, Islam mampu berinteraksi dengan tantangan zaman secara kreatif, rasional, dan tetap berakar pada nilai wahyu. Inilah peran sentral filsafat dalam menghidupkan kembali vitalitas intelektual dunia Islam.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 1–4.

[2]                Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 134–139.

[3]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940 (Oxford: Oxford University Press, 2002), 19–23.

[4]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 7–12.

[5]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 3–9.

[6]                Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal (Leiden: Brill, 1963), 66–72.

[7]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 48–52.

[8]                Ziauddin Sardar, Islamic Science (Cambridge: Icon Books, 1989), 23–29.

[9]                Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and the Secular State (Cambridge: Harvard University Press, 2008), 34–39.

[10]             Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Herndon: IIIT, 1982), 17–25.

[11]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (Boulder: Westview Press, 1994), 41–47.

[12]             Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an (Amsterdam: Swets & Zeitlinger, 2004), 9–16.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 28–34.

[14]             Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrine (Bloomington: World Wisdom, 2008), 45–50.

[15]             Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 101–108.


12.       Implikasi Filsafat Islam bagi Eksistensi Agama

Implikasi filsafat Islam bagi eksistensi agama tidak dapat dilepaskan dari peran historis dan epistemologis filsafat sebagai fondasi rasionalitas dalam peradaban Islam. Sejak era Abbasiyah hingga masa modern, filsafat memiliki dua wajah: ia dianggap sebagai ancaman terhadap kemurnian doktrin pada satu sisi, namun pada sisi lain menjadi jembatan intelektual yang menjaga relevansi agama dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika sosial yang terus berubah.¹ Dengan demikian, implikasinya bersifat dialektis: filsafat melindungi agama dari kebekuan intelektual, tetapi sekaligus menuntut keterbukaan agama terhadap kritik dan rekonstruksi paradigmatik.

12.1.    Filsafat sebagai Penjaga Rasionalitas Agama di Tengah Perubahan Zaman

Salah satu implikasi terpenting filsafat Islam adalah kemampuannya menjaga agama tetap rasional dan dapat dipahami oleh akal manusia. Para filosof Islam seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd menegaskan bahwa akal adalah instrumen yang dianugerahkan Tuhan, sehingga penggunaan rasionalitas merupakan bagian dari ketaatan terhadap wahyu.²

Dalam konteks modern, filsafat berperan menafsirkan ulang ajaran Islam agar dapat berdialog dengan:

·                     ilmu pengetahuan kontemporer,

·                     etika global,

·                     teori politik modern,

·                     dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Tanpa kerangka filosofis, agama berisiko menjadi dogmatis, terisolasi dari perkembangan ilmu, dan bahkan tidak mampu menjelaskan tantangan baru seperti bioteknologi, kecerdasan buatan, hingga krisis ekologis.³

12.2.    Filsafat sebagai Penyaring terhadap Penafsiran Ekstrem dan Literalisme Keagamaan

Filsafat Islam menyediakan mekanisme kritis untuk menyaring penafsiran agama yang ekstrem dan literalis. Logika dan prinsip rasionalitas digunakan untuk membedakan antara ajaran pokok agama dengan interpretasi sosial-historis yang bersifat relatif.⁴

Dalam sejarah Islam, penerapan metode filosofis telah memperkuat:

·                     penafsiran metaforis (ta’wil) terhadap ayat-ayat mutasyabihat,

·                     kritik terhadap takwil ekstrem yang tidak berdasar,

·                     perlawanan terhadap radikalisme berbasis interpretasi tekstual sempit,

·                     dan artikulasi teologis yang lebih inklusif.

Filsafat menjadi penyeimbang agar agama tidak jatuh dalam absolutisme interpretatif yang menutup ruang dialog dan kemanusiaan.

12.3.    Filsafat Memperluas Ruang Spiritualitas dan Pemaknaan Teologis

Filsafat Islam tidak hanya rasional tetapi juga spiritual. Tradisi seperti filsafat iluminasi Suhrawardi dan hikmah muta‘āliyah Mulla Sadra menunjukkan bahwa akal dan intuisi dapat bersinergi untuk memperdalam pemahaman tentang Tuhan dan kosmos.⁵

Implikasinya, agama dipahami tidak hanya sebagai serangkaian aturan formal, tetapi sebagai perjalanan eksistensial menuju kesempurnaan:

·                     penyatuan spiritual dengan Tuhan,

·                     pemurnian jiwa,

·                     dan realisasi hakikat manusia sebagai makhluk rasional-spiritual.

Dengan demikian, filsafat membuka ruang bagi pendekatan spiritual yang lebih reflektif dan mendalam dibandingkan sekadar ritual formal.

12.4.    Filsafat Memungkinkan Agama Beradaptasi terhadap Sains dan Teknologi Modern

Kemajuan sains modern sering dianggap sebagai tantangan terhadap agama. Namun filsafat Islam menyediakan kerangka konseptual untuk menempatkan sains sebagai bagian dari sunnatullah—hukum Tuhan yang dapat dipahami manusia melalui akal.⁶

Melalui epistemologi burhani, filsafat memungkinkan agama untuk:

·                     memahami sains secara metodologis,

·                     menyerap temuan empiris tanpa kehilangan fondasi spiritual,

·                     mengembangkan etika teknologi yang humanistik,

·                     dan menolak reduksionisme materialistik sains modern.

Implikasinya sangat kuat: agama tetap relevan dalam dialog ilmiah tanpa terjebak dalam anti-intelektualisme.

12.5.    Filsafat Memperkuat Integrasi antara Etika dan Hukum Islam

Filsafat memberikan kerangka rasional bagi integrasi antara etika dan hukum. Konsep seperti maqāṣid al-sharī‘ah, keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan mendapatkan justifikasi filosofis yang memungkinkan hukum Islam berkembang sesuai kebutuhan zaman.⁷

Implikasi ini berdampak pada:

·                     reformasi hukum keluarga,

·                     etika sosial dan HAM,

·                     keadilan ekonomi,

·                     hingga konstruksi tata kelola negara Islam modern.

Dengan demikian, filsafat menjaga agar hukum Islam tidak membeku dalam bentuk literal yang tidak relevan bagi konteks modern.

12.6.    Filsafat sebagai Ruang Kritik dan Autokritik terhadap Tradisi Keagamaan

Filsafat berperan sebagai wadah autokritik yang mendorong agama terus melakukan refleksi diri. Pemikir seperti Muhammad Iqbal, Arkoun, dan Nasr Abu Zayd menunjukkan bahwa filsafat dapat mengungkap struktur otoritas tradisi, bias penafsiran, dan problem teologis yang tersembunyi.⁸

Ini berimplikasi pada:

·                     pembacaan ulang tradisi klasik,

·                     dekontruksi tafsir hegemonik,

·                     pluralisasi pendekatan keagamaan,

·                     dan pembentukan teologi progresif.

Kemampuan agama untuk berkembang sangat bergantung pada ruang kritik filosofis ini.

12.7.    Filsafat Menguatkan Identitas Keagamaan di Tengah Arus Sekularisme Global

Sekularisasi modern menghasilkan jarak antara agama dan kehidupan publik. Filsafat Islam menawarkan basis konseptual untuk mempertahankan peran agama dalam ruang publik sebagai sumber nilai, moralitas, dan orientasi hidup.⁹

Melalui filsafat, agama:

·                     dapat merumuskan konsep keberagamaan modern tanpa kehilangan prinsipnya,

·                     memberikan alternatif terhadap nihilisme dan krisis spiritual,

·                     dan mempertahankan relevansi normatif di tengah budaya global yang sekular.

Dengan demikian, filsafat menjadi benteng intelektual bagi ketahanan agama.


Sintesis: Filsafat sebagai Fondasi Eksistensial Agama di Era Modern

Implikasi filsafat Islam bagi eksistensi agama dapat disimpulkan dalam tiga prinsip utama:

1)                  Menjaga rasionalitas agama agar tetap logis, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.

2)                  Menguatkan spiritualitas agama melalui integrasi akal, intuisi, dan etika.

3)                  Memperluas relevansi agama agar mampu menghadapi realitas sains, teknologi, politik, dan budaya global.

Dengan demikian, filsafat bukan ancaman bagi eksistensi agama, tetapi fondasi epistemologis yang memungkinkan agama tetap hidup, berkembang, dan relevan sepanjang sejarah manusia.


Footnotes

[1]                Charles Kurzman, Modernist Islam, 1840–1940 (Oxford: Oxford University Press, 2002), 5–9.

[2]                Al-Farabi, The Attainment of Happiness, trans. Muhsin Mahdi (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 41–45.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 22–28.

[4]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 10–15.

[5]                Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 114–121.

[6]                Osman Bakar, Islam and the Integration of Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 51–59.

[7]                Al-Shatibi, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, ed. Abdullah Darraz (Cairo: Dar al-Salam, 2000), 1:312–320.

[8]                Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 88–96.

[9]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 16–23.


13.       Sintesis: Filsafat sebagai Ancaman sekaligus Penyangga Agama

Sintesis hubungan antara filsafat dan agama dalam tradisi Islam menampilkan dialektika yang kaya dan dinamis. Filsafat tidak pernah berada dalam posisi tunggal sebagai musuh atau pelindung agama, melainkan menduduki dua posisi sekaligus—sebagai ancaman, karena dapat membuka kemungkinan penafsiran metafisik yang bertentangan dengan dogma, dan sebagai penyangga, karena menyediakan kerangka rasional yang memungkinkan agama tetap relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.¹ Dalam sintesis inilah terlihat bahwa Islam sebagai tradisi intelektual mampu berdialog dengan pemikiran rasional tanpa kehilangan identitas spiritualnya.

13.1.    Filsafat sebagai Ancaman: Ketegangan Epistemik dan Kekhawatiran Teologis

Sejak masa klasik, para teolog Islam melihat filsafat sebagai ancaman dalam dua aspek utama:

(1)               Ketidaksesuaiannya dengan doktrin teologis tertentu, seperti masalah kekekalan alam, hubungan sebab-akibat yang niscaya, atau gagasan intelek universal.²

(2)               Kemungkinan dominasi akal atas wahyu, yang dapat memunculkan interpretasi agama yang menyimpang dari makna literal dan konsensus ulama.

Kritik al-Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah menjadi simbol kekhawatiran teologis terhadap potensi filsafat untuk merongrong fondasi akidah.³ Sebagian ulama menganggap bahwa jika akal diberi otoritas absolut, maka kebenaran wahyu dapat direduksi menjadi simbol-simbol belaka, membuka ruang bagi relativisme moral dan teologis. Inilah yang menjadikan filsafat secara potensial “mengancam,” bukan sebagai disiplin pemikiran pada dirinya sendiri, tetapi dalam implikasinya terhadap struktur otoritas agama.

13.2.    Filsafat sebagai Penyangga Agama: Rasionalisasi, Klarifikasi, dan Pertanggungjawaban Teologis

Di sisi lain, filsafat tidak hanya mengkritik teologi, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap penjelasan mendalam tentang konsep ketuhanan, jiwa, kosmos, dan moralitas. Dalam tradisi peripatetik dan iluminatif, filsafat menyediakan:

·                     argumen rasional tentang keberadaan Tuhan,

·                     kerangka metafisik bagi hubungan Tuhan–alam,

·                     analisis etis yang memperluas cakupan hukum Islam,

·                     metode logis yang memperbaiki kualitas argumentasi kalam dan ushul al-fiqh.

Ibn Rushd misalnya menegaskan bahwa syariat sendiri memerintahkan penggunaan akal untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kebenaran.⁴ Filsafat menjadi jalan untuk menafsirkan teks secara koheren, menjembatani antara wahyu dan realitas empiris.

Dengan demikian, filsafat berfungsi sebagai penyangga epistemologis yang memastikan agama tidak jatuh ke dalam anti-intelektualisme. Ia meneguhkan bahwa wahyu dan akal adalah dua sumber pengetahuan yang saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

13.3.    Sintesis Historis: Integrasi Filsafat, Kalam, dan Tasawuf

Sejarah pemikiran Islam memperlihatkan pencapaian luar biasa dalam upaya mengharmoniskan filsafat dengan ajaran agama. Integrasi ini dapat dilihat dalam tiga perkembangan besar:

1)                  Kalam filosofis, terutama pada Fakhr al-Din al-Razi dan post-Avicennian kalam yang mengadopsi logika dan metafisika filsafat.⁵

2)                  Tasawuf falsafi, sebagaimana terlihat pada Ibn ‘Arabi dan tradisi irfani, yang memadukan intuisi mistik dengan struktur metafisika rasional.⁶

3)                  Hikmah Muta‘āliyah Mulla Sadra, yang menggabungkan filsafat peripatetik, iluminasi, dan tasawuf dalam sistem ontologi yang menyatukan akal dan intuisi.⁷

Puncak integrasi ini adalah keyakinan bahwa rasionalitas, spiritualitas, dan wahyu dapat disatukan dalam satu kerangka filosofis yang lebih luas. Sintesis ini menunjukkan bahwa filsafat tidak hanya bertahan dalam tradisi Islam, tetapi menjadi bagian dari kerangka epistemologisnya.

13.4.    Dialektika Ancaman dan Penyangga: Energi Intelektual bagi Peradaban Islam

Ketegangan antara filsafat dan agama bukanlah tanda kelemahan, tetapi energi intelektual yang mendorong perkembangan pemikiran Islam.⁸ Kritik teologis memaksa filsafat untuk memperhalus argumennya, sementara dorongan filosofis memaksa teologi untuk memperkuat logika dan metodologinya.

Dialektika ini menghasilkan:

·                     pembaruan teologis,

·                     perkembangan ushul al-fiqh,

·                     kemajuan sains pada era klasik,

·                     serta model spiritualitas yang kaya dalam tasawuf filosofis.

Ketegangan kreatif ini menjadi sumber vitalitas, bukan disfungsi. Ia menunjukkan bahwa agama yang hidup adalah agama yang terus berdialog dengan akal dan dunia.

13.5.    Relevansi Sintesis bagi Dunia Modern: Menghadapi Sains, Sekularisme, dan Krisis Spiritualitas

Dalam dunia modern, filsafat kembali berperan penting sebagai penyangga agama dari:

·                     dogmatisme dan ekstremisme,

·                     stagnasi pemikiran,

·                     serta tantangan sains dan sekularisme.⁹

Di saat yang sama, filsafat menuntut agama untuk tetap kritis, reflektif, dan mampu memberi jawaban atas isu kontemporer seperti pluralisme, etika biomedis, krisis ekologis, dan teknologi kecerdasan buatan. Tanpa filsafat, agama dapat kehilangan relevansi sosial dan intelektual. Tanpa agama, filsafat dapat kehilangan orientasi metafisik dan moralnya.

Sintesis modern ini menegaskan bahwa agama membutuhkan filsafat sebagai mitra dialog untuk mempertahankan makna dalam dunia yang semakin kompleks.


Kesimpulan: Filsafat sebagai Kutub Ganda dalam Struktur Epistemologi Islam

Pada akhirnya, sintesis filsafat sebagai ancaman sekaligus penyangga agama menawarkan pemahaman yang lebih dalam bahwa:

·                     filsafat menguji batas-batas teologi,

·                     teologi mengarahkan batas-batas filsafat,

·                     dan keduanya membentuk ekosistem intelektual yang saling melengkapi.

Filsafat menjaga agama tetap rasional, terbuka, dan dialogis; agama menjaga filsafat tetap etis, transenden, dan terarah.¹⁰ Dialektika keduanya menghasilkan tradisi pemikiran Islam yang kaya, kompleks, dan adaptif sepanjang sejarah.

Dengan demikian, sintesis ini tidak hanya sebuah kompromi, tetapi merupakan fondasi eksistensial bagi kelangsungan agama dalam dunia modern yang terus berubah.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 90–94.

[2]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 133–136.

[3]                Ibid., 150–158.

[4]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 9–12.

[5]                Ayman Shihadeh, Doubts on Avicenna (Leiden: Brill, 2016), 45–51.

[6]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 71–78.

[7]                Mulla Sadra, al-Asfār al-Arba‘ah, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Hikmat, 1981), 121–130.

[8]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity, 1999), 103–108.

[9]                Osman Bakar, Islam and the Integration of Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 73–80.

[10]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 32–36.


14.       Kesimpulan

Kesimpulan dari keseluruhan kajian tentang peran filsafat terhadap agama dalam tradisi Islam menunjukkan bahwa hubungan antara keduanya bersifat dialektis, dinamis, dan saling mempengaruhi sepanjang sejarah. Filsafat Islam tidak pernah berdiri sebagai disiplin yang terpisah atau bertentangan secara absolut dengan agama, meskipun ketegangan antara akal dan wahyu kerap muncul dalam berbagai fase perkembangan intelektual Islam.¹ Justru, dialektika tersebut melahirkan perkembangan epistemologi, teologi, kosmologi, dan etika yang memperkaya tradisi keilmuan Islam dari masa ke masa.

14.1.    Dialektika Akal dan Wahyu sebagai Motor Dinamika Intelektual

Sejarah menunjukkan bahwa ketegangan antara filsafat dan agama bukanlah bentuk konflik destruktif, tetapi energi intelektual yang mendorong penyempurnaan pemahaman keagamaan. Kritik al-Ghazali terhadap Ibn Sina mendorong penyempurnaan kalam; pembelaan Ibn Rushd terhadap filsafat memperkuat legitimasi rasionalitas dalam syariat; dan sintesis Mulla Sadra menghasilkan struktur metafisika baru yang lebih komprehensif.² Dialektika ini menghasilkan tradisi intelektual Islam yang kokoh dan beragam, mencakup kalam rasional, ushul al-fiqh, tasawuf falsafi, hingga hikmah muta‘āliyah.

14.2.    Filsafat sebagai Fondasi Rasionalitas Islam

Kajian menunjukkan bahwa filsafat memberi agama fondasi rasional yang mendukung keberlanjutan relevansinya dalam menghadapi perubahan zaman. Logika Aristotelian yang diadopsi ulama, kritik metafisika yang dikembangkan para filosof, serta pembentukan epistemologi burhani yang kompatibel dengan sains modern menunjukkan bahwa Islam telah lama berinteraksi dengan rasionalitas secara kreatif.³

Tanpa perangkat filosofis ini, banyak aspek teologi dan hukum Islam tidak akan memiliki kerangka metodologis yang kuat untuk merespons perkembangan ilmu dan teknologi.

14.3.    Filsafat sebagai Mitra Hermeneutis bagi Penafsiran Agama

Filsafat juga berperan penting dalam memperkaya metodologi penafsiran wahyu. Tradisi ta’wil, hermeneutika simbolis, serta pendekatan rasional para filosof membuka ruang penafsiran yang lebih luas dan mendalam terhadap ayat-ayat mutasyabihat.⁴ Di era modern, hermeneutika kritis dan kontekstual yang dipengaruhi filsafat kontemporer memungkinkan pembacaan ulang teks keagamaan sehingga tetap relevan dengan tantangan etika, politik, dan sosial abad ke-21.

14.4.    Filsafat sebagai Jembatan Dialog antara Agama dan Sains

Dalam diskursus modern, filsafat Islam memainkan peran signifikan sebagai jembatan antara agama dan sains. Dengan menyediakan bahasa rasional yang menjembatani konsep metafisik dan penemuan empiris, filsafat memfasilitasi integrasi antara wahyu dan perkembangan ilmiah.⁵ Hal ini sangat penting terutama dalam isu-isu kontemporer seperti bioetika, kecerdasan buatan, teori kosmologi, dan ekologi. Filsafat membantu agama menjawab tantangan ilmiah tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.

14.5.    Filsafat sebagai Pelindung Agama dari Dogmatisme dan Ekstremisme

Kajian ini menegaskan bahwa filsafat merupakan perangkat kritis yang penting untuk melindungi agama dari kecenderungan literalisme, absolutisme tafsir, serta penafsiran ekstrem yang sering melahirkan radikalisme. Dengan mengedepankan logika, koherensi, serta prinsip moderasi epistemik, filsafat menjaga agama tetap inklusif dan terbuka terhadap dialog.⁶

Di dunia modern, fungsi ini menjadi semakin relevan karena agama kerap digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan atau ideologi politik.

14.6.    Filsafat sebagai Sarana Revitalisasi Pemikiran Islam Modern

Pemikir seperti Iqbal, Fazlur Rahman, dan Arkoun menunjukkan bahwa filsafat mampu memberikan kerangka konseptual untuk merekonstruksi pemikiran Islam agar sejalan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia.⁷

Dengan demikian, filsafat berperan dalam kebangkitan intelektual dunia Islam dengan menyediakan ruang refleksi, rekonstruksi, dan inovasi yang berakar pada tradisi tetapi tetap relevan dengan modernitas.


Kesimpulan Akhir: Filsafat sebagai Pilar Kebertahanan Agama

Kesimpulan utama dari seluruh pembahasan ini adalah bahwa filsafat bukan sekadar pelengkap dalam tradisi intelektual Islam, melainkan salah satu pilar utamanya. Filsafat menjaga agama:

·                     tetap rasional dan dapat dipertanggungjawabkan,

·                     tetap relevan dalam perubahan ilmu dan teknologi,

·                     tetap terbuka terhadap dialog lintas budaya dan tradisi,

·                     serta tetap berakar pada nilai-nilai spiritual dan moral Islam.

Dengan demikian, sekalipun filsafat sesekali dipandang sebagai ancaman, ia sesungguhnya merupakan penyangga mendasar bagi eksistensi agama dalam jangka panjang. Filsafat memastikan bahwa agama tidak membeku dalam dogma, tetapi tetap hidup sebagai sumber makna, etika, dan pengetahuan sepanjang sejarah manusia.⁸


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 95–102.

[2]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 150–160.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 88–95.

[4]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. Charles Butterworth (Provo: Brigham Young University Press, 2001), 10–18.

[5]                Osman Bakar, Islam and the Integration of Knowledge (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 60–68.

[6]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 49–56.

[7]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1930), 45–53.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34–41.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2016). Philosophy in the Islamic world. Oxford University Press.

Al-Albani, M. N. (1980). Tahdhir al-sajid min ittikhadh al-qubur masajid. Dar al-Salafiyyah.

Al-Farabi. (1961). al-Jam‘ bayna ra’yay al-hakimayn (F. Najjar, Ed.). Dar al-Mashriq.

Al-Farabi. (1968). al-Madīnah al-fāḍilah (A. Nader, Ed.). Dar al-Mashriq.

Al-Farabi. (2001). The attainment of happiness (M. Mahdi, Trans.). University of Chicago Press.

Al-Ghazali. (1927). Tahāfut al-falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Imprimerie Catholique.

Al-Ghazali. (1997). al-Mustaṣfā min ‘ilm al-uṣūl (H. ‘Abd al-Razzaq, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali. (1998). al-Munqidh min al-ḍalāl (J. al-Qasimi, Ed.). Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali. (2004). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (B. Tabana, Ed.). Dar al-Hadith.

Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common questions, uncommon answers. Westview Press.

Arkoun, M. (2002). The unthought in contemporary Islamic thought. Saqi Books.

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Asad, T. (1993). Genealogies of religion. Johns Hopkins University Press.

Bakar, O. (1992). Classification of knowledge in Islam. ISTAC.

Bakar, O. (1998). Islam and the integration of knowledge. ISTAC.

Burckhardt, T. (2008). An introduction to Sufi doctrine. World Wisdom.

Butterworth, C. (Trans.). (2001). Fasl al-Maqāl (Averroes/Ibn Rushd). Brigham Young University Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge. SUNY Press.

Dabashi, H. (2009). Post-orientalism: Knowledge and power in time of terror. Transaction.

Fakhry, M. (1991). Ethical theories in Islam. Brill.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Ghazali, A. (See Al-Ghazali entries).

Golshani, M. (Secondary citation—appears in thematic references but not direct quotes; optional to include if needed).

Gutas, D. (2002). The study of Arabic philosophy in the twentieth century. British Journal of Middle Eastern Studies, 29(1), 5–25.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy. SUNY Press.

Hanafi, H. (1980). al-Turāth wa al-tajdīd. Dar al-Tanwir.

Hourani, A. (1983). Arabic thought in the liberal age. Cambridge University Press.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb al-akhlāq (C. Zurayk, Ed.). Dar al-Andalus.

Ibn Rushd (Averroes). (1954). Tahāfut al-tahāfut (S. van den Bergh, Trans.). Luzac.

Ibn Rushd (Averroes). (2001). Fasl al-Maqāl (C. Butterworth, Trans.). Brigham Young University Press.

Ibn Rushd (Averroes). (2009). Long commentary on De Anima (R. Taylor, Trans.). Yale University Press.

Iqbal, M. (1930). The reconstruction of religious thought in Islam. Oxford University Press.

Kurzman, C. (2002). Modernist Islam, 1840–1940. Oxford University Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Marmura, M. (Trans.). (2005). The metaphysics of the healing (Avicenna/Ibn Sina). Brigham Young University Press.

Mulla Sadra. (1981). al-Asfār al-arba‘ah (M. Khwajawi, Ed.). Hikmat.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. SUNY Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present. SUNY Press.

Rahman, F. (1980). Major themes of the Qur’an. University of Chicago Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.

Razi, F. al-D. (1999). Mafātīḥ al-ghayb (‘A. al-Sayyid, Ed.). Dar al-Hadith.

Sardar, Z. (1985). Islamic futures. Mansell.

Sardar, Z. (1989). Islamic science. Icon Books.

Schimmel, A. (1963). Gabriel’s wing: A study into the religious ideas of Sir Muhammad Iqbal. Brill.

Shatibi, A. (2000). al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-sharī‘ah (‘A. Darraz, Ed.). Dar al-Salam.

Shihadeh, A. (2016). Doubts on Avicenna. Brill.

Suhrawardi, S. al-D. (1970). Hikmat al-ishrāq (H. Corbin, Ed.). Institute for Islamic Studies.

Taylor, R. C. (Trans.). (2009). Long commentary on De Anima (Averroes/Ibn Rushd). Yale University Press.

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the kalam. Harvard University Press.

Wan Daud, W. M. N. (1998). The educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas. ISTAC.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar