Filsafat Cinta
Genealogi, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Cinta
dalam Tradisi Pemikiran Manusia
Alihkan ke: Pikiran Manusia.
Eros, Philia, Agape, Rahmah, Hubb.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif tentang
cinta melalui perspektif filsafat dengan pendekatan multidisipliner yang
meliputi ontologi, epistemologi, aksiologi, fenomenologi, hermeneutika,
psikologi, biologi, serta tradisi filsafat Timur, Islam, dan Nusantara. Cinta
dipahami bukan sekadar emosi interpersonal, melainkan fenomena eksistensial
yang membentuk struktur dasar keberadaan manusia sebagai makhluk relasional.
Melalui tinjauan ontologis, cinta ditampilkan sebagai modus keberadaan yang
membuka kemungkinan pengalaman keterhubungan yang autentik. Dari perspektif
epistemologis dan hermeneutis, cinta dipahami sebagai pengetahuan bernilai yang
ditafsirkan melalui bahasa, simbol, dan narasi budaya. Pendekatan aksiologis
memperlihatkan bahwa cinta memiliki nilai moral yang ambivalen, mampu
mengilhami tindakan solidaritas tetapi juga berpotensi menimbulkan bias
partikular. Integrasi psikologi dan biologi memberikan dasar empiris bagi
pemahaman cinta, sementara kajian fenomenologi menekankan pengalaman hidup yang
langsung dan tak tereduksi.
Selain itu, artikel ini memperlihatkan bagaimana
tradisi filsafat Islam, Timur, dan Nusantara menyumbangkan perspektif yang
memperkaya makna cinta sebagai prinsip kosmis, etika welas asih, serta harmoni
sosial-spiritual. Kritik-kritik kontemporer terhadap cinta—baik dari feminisme,
eksistensialisme, teori kritis, maupun reduksionisme biologis—diuraikan untuk
menunjukkan kompleksitas dan problematisasi konsep cinta dalam konteks modern.
Sintesis filosofis pada bagian akhir merumuskan kerangka teori integral tentang
cinta sebagai fenomena multilevel yang menyatukan dimensi natural, moral,
sosial, kultural, dan spiritual. Artikel ini menegaskan bahwa filsafat cinta
memiliki relevansi mendalam dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti
krisis empati, polarisasi sosial, individualisme modern, serta transformasi relasional
dalam era digital.
Kata Kunci: Cinta; Filsafat; Ontologi; Epistemologi; Aksiologi;
Fenomenologi; Hermeneutika; Filsafat Islam; Filsafat Timur; Tradisi Nusantara;
Etika; Psikologi Cinta; Biologi Cinta; Kritik Cinta; Teori Integral Cinta.
PEMBAHASAN
Genealogi dan Sejarah Pemikiran Filosofis tentang Cinta
1.
Pendahuluan
Pembahasan tentang cinta selalu menempati posisi
yang istimewa dalam sejarah refleksi manusia. Sejak awal peradaban, manusia
berusaha memahami apa yang mendorong afeksi terdalamnya, apa yang menggerakkan
ketertarikan antarindividu, dan apa yang menjadikan cinta kekuatan yang mampu
mengatasi batas-batas sosial, moral, bahkan metafisis. Para filsuf dari
berbagai tradisi telah mengakui bahwa cinta bukan sekadar emosi, melainkan
fenomena eksistensial yang mengungkapkan sesuatu yang fundamental mengenai
hakikat manusia dan dunia yang dihuni.¹ Dengan demikian, studi filosofis
tentang cinta bukan hanya upaya memahami suatu perasaan, tetapi penyelidikan
terhadap struktur terdalam kehidupan manusia.
Fenomena cinta menimbulkan sejumlah problem
filosofis yang kompleks. Misalnya, apakah cinta merupakan pengalaman subjektif
yang sepenuhnya ditentukan oleh kondisi psikologis individu, ataukah ia
memiliki dimensi objektif yang dapat dikenali pada pola relasi antar-manusia?²
Pertanyaan lain menyangkut apakah cinta harus dipahami sebagai dorongan
biologis yang berevolusi demi kelangsungan spesies, sebagai nilai moral yang
mengarahkan tindakan, atau sebagai pengalaman spiritual yang menuntun manusia
menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang diri dan realitas.³ Kompleksitas
inilah yang menjadikan cinta sebuah objek kajian yang menantang sekaligus kaya,
menghubungkan filsafat dengan psikologi, biologi, teologi, dan seni.
Selain itu, cinta juga memiliki implikasi
epistemologis dan etis. Pada satu sisi, cinta dapat membuka horizon pengetahuan
baru tentang diri sendiri dan orang lain, sebagaimana ditegaskan banyak pemikir
fenomenologis yang melihat cinta sebagai bentuk keterbukaan radikal terhadap eksistensi
orang lain.⁴ Pada sisi lain, cinta juga menyingkap dilema moral yang sukar
dihindari: apakah cinta dapat membenarkan tindakan yang melampaui prinsip
keadilan, atau haruskah cinta tunduk pada imperatif moral universal?⁵
Ketegangan antara cinta sebagai afeksi spontan dan cinta sebagai komitmen
rasional menjadi salah satu tema utama dalam perdebatan etika kontemporer.
Tujuan artikel ini adalah menyajikan kajian
komprehensif mengenai cinta dari perspektif filsafat, dengan memadukan
pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pendekatan
historis diperlukan untuk memahami bagaimana gagasan tentang cinta berkembang
dari era Yunani kuno hingga pemikiran kontemporer; pendekatan ontologis
digunakan untuk mengurai hakikat keberadaan cinta; pendekatan epistemologis
untuk membahas cara manusia mengetahui dan memahami cinta; dan pendekatan
aksiologis untuk menilai nilai moral dan etika cinta. Dengan kerangka
multidisipliner ini, artikel diharapkan memberikan gambaran menyeluruh mengenai
cinta sebagai fenomena yang berkaitan erat dengan struktur dasar kehidupan
manusia.
Dalam konteks modern, terutama era digital, cinta
mengalami transformasi signifikan. Pola komunikasi digital, mediasi teknologi,
dan meningkatnya individualisme mengubah cara manusia menjalin, merasakan, dan
memahami cinta.⁶ Dengan demikian, kajian filosofis mengenai cinta tidak hanya
relevan sebagai wacana teoritis, tetapi juga sebagai kerangka analitis untuk
memahami dinamika relasi manusia kontemporer. Artikel ini, pada akhirnya,
berupaya mengajukan sintesis filosofis yang mampu menjembatani
pandangan-pandangan beragam tentang cinta, sekaligus membuka ruang diskusi
untuk pengembangan teori cinta yang lebih integral.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence
of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 251–259.
[2]
Robert C. Solomon, Love: Emotion, Myth, and
Metaphor (Garden City, NY: Anchor Press, 1976), 34–38.
[3]
Irving Singer, The Nature of Love, vol. 1
(Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 12–19.
[4]
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans.
Peter Heath (London: Routledge, 1973), 98–105.
[5]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 211–215.
[6]
Eva Illouz, Cold Intimacies: The Making of Emotional
Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2007), 45–62.
2.
Genealogi dan Sejarah Pemikiran Filosofis
tentang Cinta
Gagasan mengenai cinta memiliki sejarah panjang
dalam tradisi intelektual manusia. Setiap peradaban memaknai cinta secara
berbeda, tetapi jejak pemikiran filosofis tentangnya menunjukkan kesinambungan
tema tertentu: cinta sebagai kekuatan penggerak, sebagai fondasi etika, dan
sebagai jalan menuju pengetahuan. Dalam konteks filsafat, pembahasan mengenai
cinta tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ide metafisika, etika,
antropologi, dan spiritualitas yang mengiringi evolusi pemikiran manusia.¹
Kajian genealogis memungkinkan kita melihat bagaimana konsep cinta mengalami
transformasi, reinterpretasi, dan perluasan makna seiring perubahan sejarah.
2.1.
Cinta dalam Filsafat Yunani Kuno
Pemikiran awal tentang cinta dapat ditemukan dalam
tradisi Yunani kuno, khususnya melalui karya Plato dan Aristoteles. Dalam Symposium,
Plato menggambarkan cinta (eros) sebagai dorongan manusia menuju keindahan
dan kebenaran, yang mencapai puncaknya pada kontemplasi terhadap Form of the
Good.² Melalui “Tangga Diotima,” ia memaparkan bahwa cinta bergerak dari
ketertarikan indrawi menuju cinta universal terhadap kebijaksanaan. Sementara
itu, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics lebih menekankan cinta
persahabatan (philia) sebagai relasi etis yang ditopang oleh kebajikan
dan saling menginginkan kebaikan bagi pihak lain.³
Pemikiran lain dari Stoik seperti Epictetus dan
Seneca menekankan bahwa cinta harus selaras dengan rasionalitas kosmis; cinta
yang tidak dikendalikan oleh akal dianggap dapat menjerumuskan manusia pada
penderitaan.⁴ Tradisi ini memperlihatkan bahwa filsafat Yunani telah
mengukuhkan cinta sebagai fenomena yang menghubungkan antara etika, kosmologi,
dan struktur rasional alam.
2.2.
Cinta dalam Tradisi Helenistik dan
Neoplatonisme
Pada masa Helenistik, pemikiran tentang cinta
semakin diperkaya, terutama dalam Neoplatonisme yang dipelopori Plotinus.
Plotinus memahami cinta sebagai gerak jiwa untuk kembali kepada Sumber Tunggal
yang transenden (the One).⁵ Cinta bukan sekadar pengalaman manusia,
tetapi dinamika kosmis: seluruh realitas bergerak melalui kerinduan metafisis
untuk menyatu kembali dengan prinsip asalnya. Perspektif ini kemudian
memengaruhi tradisi mistik dan teologis selama berabad-abad.
Gagasan Neoplatonis mengenai cinta sebagai “tarikan
menuju yang Ilahi” menjadi fondasi penting bagi pemikiran agama-agama Abrahamik
serta tradisi filsafat Islam, Kristen, dan Yahudi. Cinta dipahami bukan hanya
sebagai emosi manusia, tetapi sebagai struktur metafisis yang menjelaskan
hubungan antara dunia dan keilahian.
2.3.
Cinta dalam Tradisi Agama dan
Mistisisme
Dalam tradisi Kristen awal, Agustinus menekankan
konsep caritas sebagai cinta yang terarah kepada Tuhan dan sesama secara
moral.⁶ Ia membedakan antara cinta yang mengangkat manusia menuju kebaikan dan
cinta yang menjerumuskannya dalam hawa nafsu. Sementara itu, dalam tradisi
Yahudi, pemikiran Kabbalah mengembangkan gagasan cinta sebagai energi spiritual
yang menyatukan dimensi-dimensi kosmik dalam proses penciptaan dan pemulihan
harmoni.
Dalam tradisi Islam, para sufi seperti Rabi‘ah
al-‘Adawiyyah, Ibn ‘Arabi, dan Jalaluddin Rumi berbicara tentang cinta sebagai
esensi hubungan manusia dengan Tuhan. Ibn ‘Arabi, misalnya, melihat cinta
sebagai “realitas eksistensial” yang mempersatukan makhluk dan Sang Pencipta.⁷
Konsep mahabbah, ‘isyq, dan rahmah menandai corak kekayaan
pengalaman cinta dalam spiritualitas Islam, di mana cinta dipandang sebagai
jalan menuju pengetahuan tertinggi (ma‘rifah).
2.4.
Cinta dalam Filsafat Modern
Pada era modern, diskursus cinta mengalami
rasionalisasi. Spinoza melihat cinta sebagai “kegembiraan disertai ide tentang
penyebab eksternal,” yang bersifat mekanis dalam sistem deterministik alam.⁸
Kant mengkritik cinta emosional dan lebih menekankan cinta praktis, yaitu
tindakan moral berdasarkan kewajiban terhadap sesama.⁹ Kierkegaard kemudian
menawarkan sintesis religius dengan memahami cinta sebagai perintah Ilahi yang
bersifat radikal dan tak bersyarat.
Schopenhauer memandang cinta romantis sebagai ilusi
metafisis yang diciptakan oleh “kehendak untuk hidup” demi reproduksi spesies;
pandangan pesimistis ini menjadi kritik terhadap romantisisme modern.¹⁰ Dengan
demikian, pemikiran modern mempertajam perdebatan antara cinta sebagai afeksi
subjektif dan cinta sebagai manifestasi struktur metafisis atau moral.
2.5.
Cinta dalam Eksistensialisme dan
Fenomenologi
Pemikir eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre
melihat cinta sebagai upaya problematis untuk “memiliki kebebasan orang lain,”
sehingga relasi cinta selalu berada dalam ketegangan antara kebebasan dan
objektifikasi.¹¹ Simone de Beauvoir mengkritik struktur patriarkal dalam relasi
cinta yang menempatkan perempuan sebagai “yang lain” dan menekankan cinta yang
setara sebagai relasi antarsubjek.¹²
Max Scheler, dalam tradisi fenomenologi nilai,
memandang cinta sebagai gerak yang mengungkapkan hierarki nilai dan membuka
akses pada kualitas moral terdalam.¹³ Sementara itu, Gabriel Marcel menekankan
cinta sebagai keterlibatan eksistensial yang melampaui hubungan instrumental.
Tradisi fenomenologi memberi penekanan pada pengalaman langsung cinta dan
struktur kesadaran yang menyertainya.
2.6.
Cinta dalam Pemikiran Kontemporer
Pada abad ke-20 dan 21, cinta dibahas melalui
pendekatan antar-disipliner: psikoanalisis, feminisme, teori kritis, hingga
sosiologi emosi. Freud memandang cinta dalam kerangka dinamika libido dan
represi, sementara Lacan melihat cinta sebagai “pemberian sesuatu yang tidak
dimiliki,” menegaskan sifat simboliknya.¹⁴
Pemikiran feminis dan teori kritis, seperti yang
dikembangkan bell hooks, mengartikulasikan cinta sebagai praktik kebebasan dan
resistensi terhadap struktur sosial yang opresif.¹⁵ Eva Illouz menekankan bahwa
cinta modern dibentuk oleh kapitalisme emosional dan mediasi teknologi,
sehingga relasi cinta tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial-ekonomi.¹⁶
Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa
konsep cinta tidak pernah statis. Ia senantiasa ditafsirkan ulang sesuai
konteks historis, intelektual, dan kulturalnya. Genealogi cinta dalam filsafat,
dengan demikian, menjadi upaya memetakan transformasi gagasan yang mencerminkan
dinamika pemaknaan manusia atas pengalaman mendasarnya.
Footnotes
[1]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and
Representation, trans. E. F. J. Payne (New York: Dover Publications, 1969),
322–330.
[2]
Plato, Symposium, trans. Alexander Nehamas
and Paul Woodruff (Indianapolis: Hackett, 1989), 55–61.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1155–1160.
[4]
Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin
Campbell (London: Penguin, 1969), 78–82.
[5]
Plotinus, The Enneads, trans. A. H.
Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 3:125–134.
[6]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 210–218.
[7]
Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans. R.
W. J. Austin (Mahwah, NJ: Paulist Press, 1980), 98–104.
[8]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin, 1996), 3:40–45.
[9]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
65–70.
[10]
Arthur Schopenhauer, On the Basis of Morality,
trans. E. F. J. Payne (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965), 92–99.
[11]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 474–482.
[12]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage, 1989), 642–650.
[13]
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans.
Peter Heath (London: Routledge, 1973), 150–159.
[14]
Jacques Lacan, The Four Fundamental Concepts of
Psychoanalysis, trans. Alan Sheridan (New York: W. W. Norton, 1981),
268–270.
[15]
bell hooks, All About Love: New Visions (New
York: William Morrow, 2000), 87–101.
[16]
Eva Illouz, Consuming the Romantic Utopia: Love
and the Cultural Contradictions of Capitalism (Berkeley: University of
California Press, 1997), 22–31.
3.
Ontologi Cinta: Hakikat dan Eksistensi Cinta
Kajian ontologis mengenai cinta bertujuan menjawab
pertanyaan fundamental tentang apa sebenarnya cinta itu, bagaimana ia “ada,”
dan dalam bentuk apa ia hadir dalam struktur realitas. Pertanyaan ini tampak
sederhana, namun sesungguhnya menyentuh dimensi terdalam ontologi manusia dan
dunia. Banyak tradisi filosofis mengakui bahwa cinta bukan sekadar entitas
psikologis, melainkan fenomena yang memiliki kedudukan eksistensial,
relasional, dan bahkan kosmologis.¹ Dengan menelaah berbagai pendekatan
ontologis, kita dapat memahami cinta sebagai fenomena yang melampaui
batas-batas individu dan mengungkap struktur dasar keberadaan manusia.
3.1.
Apakah Cinta Suatu Substansi,
Relasi, atau Proses?
Pertanyaan pertama dalam ontologi cinta menyangkut
status ontologisnya: apakah cinta dapat dipahami sebagai substansi yang berdiri
sendiri, sebagai relasi antar-subjek, atau sebagai proses dinamis? Dalam
tradisi metafisika klasik, cinta tidak dipahami sebagai substansi karena tidak
memiliki eksistensi mandiri; ia lebih sering dipahami sebagai kualitas atau
disposisi yang melekat pada subjek.² Namun, pemikiran kontemporer, terutama
dalam fenomenologi dan filsafat proses, melihat cinta sebagai gerak atau
aktivitas, sebuah dinamika eksistensial yang tidak dapat direduksi menjadi
sifat statis.³ Dengan demikian, cinta cenderung lebih tepat dipahami sebagai
relasi yang terus-menerus diciptakan dan diperbarui dalam interaksi manusia.
3.2.
Eksistensi Cinta: Fenomena Mental,
Spiritual, atau Biologis?
Cinta dapat dipahami melalui berbagai kerangka
eksistensial. Pandangan psikologis melihat cinta sebagai fenomena mental yang melibatkan
emosi, kognisi, dan motivasi. Tradisi spiritual memandang cinta sebagai
pengalaman yang menghubungkan manusia dengan realitas transenden, entah itu
Tuhan, Kebaikan, atau Kesatuan kosmis. Sebaliknya, sains modern menekankan
bahwa cinta memiliki dasar biologis yang berkaitan dengan hormon dan mekanisme
neuropsikologis tertentu.⁴
Pertanyaan ontologisnya adalah: apakah ketiga
dimensi ini berdiri sendiri atau saling terhubung? Banyak filsuf kontemporer
berargumen bahwa cinta merupakan entitas multilevel: ia memiliki basis
biologis, manifestasi psikologis, tetapi juga struktur makna yang hanya dapat
dipahami melalui pendekatan filosofis dan spiritual.⁵ Dengan demikian,
eksistensi cinta tidak dapat diletakkan hanya pada satu kategori ontologis; ia
bersifat berlapis dan multidimensional.
3.3.
Cinta sebagai Kualitas Ontologis
Relasional
Salah satu perkembangan penting dalam filsafat
modern adalah pengakuan bahwa cinta merupakan kualitas relasional. Artinya,
cinta hanya dapat eksis dalam hubungan antara subjek dan “yang lain.” Filsuf
dialogis seperti Martin Buber menilai bahwa relasi cinta merupakan bentuk
interaksi I–Thou yang memungkinkan manusia mengalami kehadiran orang
lain secara penuh dan otentik.⁶ Dalam perspektif ini, cinta bukan hanya
perasaan personal, tetapi modus keterhubungan yang membuka ruang eksistensial
baru.
Pendekatan relasional ini menggeser fokus dari apa
yang “ada di dalam diri” menuju apa yang “terjadi antara dua keberadaan.”
Ontologi cinta, dengan demikian, menjadi ontologi relasional yang menekankan
keterikatan, kedekatan, dan keterbukaan terhadap keberadaan orang lain sebagai
syarat munculnya cinta.
3.4.
Pembagian Ontologis: Eros, Philia,
Agape, Rahmah, Hubb
Sejarah pemikiran filsafat dan agama memperlihatkan
adanya ragam bentuk cinta yang memiliki hakikat ontologis berbeda. Dalam
tradisi Yunani kuno, eros dipahami sebagai dorongan keindahan dan hasrat
transformatif; philia adalah cinta persahabatan yang berlandaskan
kebajikan dan kesalingan; sementara agape dalam tradisi Kristen merujuk
pada cinta altruistik dan tak bersyarat.⁷ Dalam tradisi Islam, cinta
diekspresikan melalui istilah hubb (kasih sayang), mahabbah
(cinta spiritual), ‘isyq (cinta yang mendalam dan penuh kerinduan),
serta rahmah (kasih sayang yang mengandung belas kasih dan
perlindungan).⁸
Setiap jenis cinta memiliki struktur ontologis yang
berbeda: eros bersifat dinamis dan aspiratif; philia bersifat
etis-relasional; agape bersifat universal; rahmah bersifat
transenden dan moral. Perbedaan ini menunjukkan bahwa cinta tidak pernah hadir
sebagai satu bentuk tunggal, melainkan sebagai pluralitas entitas relasional
yang memiliki struktur ontologis masing-masing.
3.5.
Cinta sebagai Fondasi Eksistensi:
Perspektif Eksistensialisme Teistik dan Ateistik
Dalam tradisi eksistensialisme teistik, seperti
pada pemikiran Kierkegaard atau Gabriel Marcel, cinta dipahami sebagai fondasi
eksistensi manusia yang menghubungkan manusia dengan Tuhan dan sesama. Cinta
hadir sebagai perintah etis dan sebagai kondisi keberadaan yang memungkinkan
keotentikan manusia.⁹ Sebaliknya, eksistensialis ateistik seperti Sartre
menilai cinta sebagai konflik antara kebebasan dan objektifikasi; cinta adalah
upaya sia-sia untuk menyatukan dua subjektivitas yang tidak pernah bisa
sepenuhnya lebur.¹⁰
Pertentangan ini menunjukkan dua interpretasi
ontologis yang sangat berbeda: cinta sebagai peluang penyelamatan eksistensial
atau cinta sebagai ketegangan yang tak terhindarkan dalam kondisi manusia.
Dalam kedua pandangan tersebut, cinta tetap berfungsi sebagai kunci untuk memahami
struktur keberadaan manusia.
3.6.
Cinta sebagai Modalitas Keberadaan
Pendekatan ontologis yang lebih mutakhir melihat
cinta sebagai modus of being—cara berada di dunia yang mencirikan
keterbukaan, penerimaan, dan keterlibatan mendalam. Pemikir seperti Erich Fromm
menekankan bahwa cinta bukan sekadar perasaan, tetapi orientasi karakter dan
cara mengada yang aktif, kreatif, dan bertanggung jawab.¹¹ Dalam kerangka ini,
cinta bukan hanya sesuatu yang “dialami,” tetapi sesuatu yang “dilakukan” dan
“dihidupi.”
Dengan demikian, ontologi cinta memungkinkan kita
memahami cinta bukan sebagai entitas yang terpisah dari manusia, tetapi sebagai
bagian integral dari eksistensi manusia itu sendiri. Cinta bukan sekadar
fenomena, melainkan cara manusia memahami dirinya, orang lain, dan dunia.
Footnotes
[1]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 356–362.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1022a–1023b.
[3]
Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Free Press, 1978), 113–118.
[4]
Helen Fisher, Why We Love: The Nature and
Chemistry of Romantic Love (New York: Henry Holt, 2004), 40–55.
[5]
Robert C. Solomon, About Love: Reinventing
Romance for Our Times (Lanham: Rowman & Littlefield, 1994), 23–31.
[6]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Scribner, 1970), 62–78.
[7]
C. S. Lewis, The Four Loves (London:
Geoffrey Bles, 1960), 17–25.
[8]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 135–148.
[9]
Søren Kierkegaard, Works of Love, trans.
Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1995),
3–12.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 471–484.
[11]
Erich Fromm, The Art of Loving (New York:
Harper & Row, 1956), 19–27.
4.
Epistemologi Cinta: Bagaimana Cinta Diketahui
dan Dipahami?
Epistemologi cinta membahas bagaimana manusia
mengetahui, memahami, dan menafsirkan cinta sebagai pengalaman dan sebagai
konsep. Pertanyaan ini penting karena cinta, meskipun sangat dekat dengan
kehidupan manusia, tetap merupakan fenomena yang sulit dipahami secara
objektif. Cinta memiliki dimensi subjektif yang mendalam, namun juga menunjukkan
pola-pola tertentu yang dapat dianalisis secara rasional.¹ Dengan demikian,
epistemologi cinta berusaha menginvestigasi sumber-sumber pengetahuan tentang
cinta, batasan pemahaman kita terhadapnya, serta cara-cara cinta dimaknai dalam
pengalaman manusia.
4.1.
Pengetahuan Cinta melalui Pengalaman
Langsung (Phenomenal Knowledge)
Sebagian besar pengetahuan tentang cinta diperoleh
dari pengalaman langsung atau phenomenal knowledge, yaitu pengetahuan
yang hanya dapat dipahami melalui “merasakan” cinta itu sendiri.² Para filsuf
fenomenologi menegaskan bahwa cinta tidak dapat diketahui sepenuhnya melalui
definisi atau konsep abstrak; ia harus dialami secara langsung agar maknanya
menjadi nyata. Husserl menekankan bahwa pengalaman cinta melibatkan
intensionalitas, yaitu kesadaran yang selalu terarah pada objek tertentu.³
Dengan demikian, cinta dipahami melalui keterlibatan batin yang konkret, bukan
semata-mata melalui refleksi teoretis.
Pengalaman cinta membawa pengetahuan tentang diri
dan orang lain. Ketika mencintai, seseorang mengetahui kerentanannya,
keterbatasannya, serta aspirasi terdalamnya. Pengetahuan ini tidak dapat
direduksi pada informasi faktual; ia bersifat eksistensial, unik, dan tidak
dapat sepenuhnya dikomunikasikan.⁴
4.2.
Pengetahuan Konseptual tentang Cinta
Selain pengalaman langsung, cinta juga dipahami
melalui kategori konseptual. Pemahaman ini berkembang melalui bahasa, filsafat,
teologi, psikologi, serta tradisi budaya. Melalui konsep-konsep seperti eros,
philia, agape, rahmah, dan mahabbah, manusia
membangun struktur konseptual untuk memahami ragam bentuk cinta.⁵
Namun, pengetahuan konseptual selalu berada dalam
ketegangan dengan realitas cinta yang konkret. Konsep dapat membantu
mengklasifikasi dan menjelaskan pengalaman cinta, tetapi tidak pernah mampu
sepenuhnya menggantikan pengalaman itu sendiri. Dalam epistemologi, hal ini
disebut sebagai “ketidaksepadanan antara konsep dan pengalaman fenomenal,”
sebuah problem klasik dalam pemahaman emosi.⁶
4.3.
Peran Bahasa, Imajinasi, dan Narasi
dalam Memahami Cinta
Bahasa memainkan peran penting dalam menstrukturkan
pemahaman manusia tentang cinta. Melalui metafora, simbol, dan bahasa kiasan,
cinta dimaknai dan dikomunikasikan. Paul Ricoeur menegaskan bahwa narasi
memberikan kerangka hermeneutis untuk memahami pengalaman-pengalaman emosional
yang kompleks, termasuk cinta.⁷ Cinta sering kali tidak dapat dijelaskan secara
literal sehingga membutuhkan bahasa figuratif untuk mengungkap kedalaman
maknanya.
Imajinasi juga memiliki peran epistemik. Imajinasi
memungkinkan seseorang merepresentasikan pengalaman cinta, membentuk
ekspektasi, dan memaknai hubungan interpersonal.⁸ Dalam konteks ini, imajinasi
bukan sekadar fantasi, tetapi instrumen pemahaman yang memungkinkan manusia
menavigasi dunia emosionalnya.
4.4.
Batasan Epistemik: Dapatkah Cinta
Dijelaskan secara Objektif?
Salah satu pertanyaan penting dalam epistemologi
cinta adalah apakah cinta dapat dipahami secara objektif. Para pemikir analitik
berpendapat bahwa sebagian aspek cinta dapat dianalisis melalui argumen logis,
seperti struktur pilihan, komitmen, atau alasan seseorang mencintai.⁹ Namun,
banyak filsuf lain menekankan bahwa cinta bersifat subjektif dan tidak dapat
dipisahkan dari konteks personal pembentuknya.
Michael Stocker, misalnya, berargumen bahwa cinta
tidak dapat dipahami melalui alasan objektif semata, karena cinta adalah
respons terhadap keseluruhan pribadi seseorang, bukan terhadap kualitas
spesifik yang dapat dipahami secara terpisah.¹⁰ Dengan demikian, terdapat batas
epistemik yang tidak dapat dilewati: cinta tidak pernah sepenuhnya dapat
dijelaskan melalui model objektif.
4.5.
Emosi sebagai Sumber Pengetahuan
Epistemik
Dalam studi kontemporer, emosi dipandang sebagai
sumber pengetahuan, bukan sekadar gangguan terhadap rasionalitas. Martha
Nussbaum berargumen bahwa emosi mengandung penilaian (judgment) terhadap
apa yang dianggap penting dan bernilai bagi seseorang.¹¹ Dalam konteks ini,
cinta memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai terdalam yang membentuk makna
hidup manusia.
Cinta membantu seseorang memahami prioritas
moralnya, menerima kerentanannya, serta mengakui keberadaan orang lain sebagai
subjek bernilai. Emosi cinta mengarahkan perhatian seseorang pada dunia moral
dan relasionalnya, sehingga memiliki status epistemik yang signifikan.¹² Dengan
kata lain, cinta tidak hanya sesuatu yang dipahami, tetapi juga cara tertentu
untuk mengetahui dunia.
Footnotes
[1]
Robert C. Solomon, Love: Emotion, Myth, and
Metaphor (Garden City, NY: Anchor Press, 1976), 12–20.
[2]
Bertrand Russell, The Conquest of Happiness
(New York: Liveright, 1930), 112–115.
[3]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 89–94.
[4]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol. 1
(Chicago: Henry Regnery, 1950), 57–63.
[5]
C. S. Lewis, The Four Loves (London:
Geoffrey Bles, 1960), 17–42.
[6]
William Lyons, Emotion (Cambridge: Cambridge
University Press, 1980), 45–51.
[7]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 26–31.
[8]
Susanne K. Langer, Feeling and Form (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1953), 178–185.
[9]
Harry Frankfurt, Reasons of Love (Princeton:
Princeton University Press, 2004), 15–22.
[10]
Michael Stocker, “The Schizophrenia of Modern
Ethical Theories,” The Journal of Philosophy 73, no. 14 (1976): 453–454.
[11]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
19–23.
[12]
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans.
Peter Heath (London: Routledge, 1973), 121–128.
5.
Aksiologi Cinta: Nilai, Etika, dan Moralitas
Cinta
Aksiologi cinta membahas nilai-nilai yang
terkandung dalam cinta serta implikasi etis dan moral yang muncul darinya.
Cinta tidak hanya merupakan fenomena emosional atau eksistensial, tetapi juga
mengandung dimensi normatif yang mengarahkan tindakan manusia.¹ Dalam wilayah
ini, filsafat menelusuri bagaimana cinta menjadi dasar bagi penilaian moral,
bagaimana cinta memengaruhi keputusan etis, serta bagaimana cinta berhubungan
dengan nilai-nilai seperti kebaikan, keadilan, dan kebebasan. Dengan demikian,
aksiologi cinta menempatkan cinta sebagai sumber nilai moral sekaligus medan
konflik etis yang kompleks.
5.1.
Apakah Cinta Nilai Intrinsik atau
Instrumental?
Pertanyaan mendasar dalam aksiologi cinta adalah
apakah cinta memiliki nilai intrinsik (baik pada dirinya sendiri) atau nilai
instrumental (baik karena menghasilkan sesuatu). Dalam tradisi etis tertentu,
cinta dipandang sebagai nilai intrinsik karena kehadirannya memperkaya hidup
manusia secara langsung.² Namun, perspektif utilitarian melihat cinta sebagai
sarana mencapai kebahagiaan yang lebih besar, sehingga nilai cinta diukur dari
konsekuensinya.³
Terdapat pula pendekatan hibrid yang melihat cinta
sebagai nilai intrinsik sekaligus alat untuk memupuk nilai-nilai lain seperti
solidaritas, kepercayaan, dan belas kasih.⁴ Pendekatan ini lebih sesuai dengan
keragaman pengalaman cinta, yang tidak selalu dapat direduksi ke satu kategori
nilai saja.
5.2.
Cinta sebagai Sumber Moralitas
(Ethics of Care)
Salah satu kontribusi penting bagi aksiologi cinta
datang dari tradisi ethics of care, yang menekankan bahwa moralitas
tidak hanya didasarkan pada prinsip universal, tetapi juga pada relasi
perawatan dan keterhubungan antarmanusia. Carol Gilligan dan Nel Noddings
berargumentasi bahwa cinta, perhatian, dan empati merupakan dasar moralitas
yang sama pentingnya dengan keadilan dan rasionalitas.⁵
Dalam etika ini, cinta bukan sekadar perasaan,
tetapi komitmen untuk merawat, merespons kebutuhan pihak lain, dan
mempertahankan hubungan yang bermakna.⁶ Dengan demikian, cinta memiliki nilai
moral karena menciptakan struktur relasional yang sehat dan etis.
5.3.
Ketegangan antara Cinta dan
Kewajiban Moral
Satu problem klasik dalam etika cinta adalah
ketegangan antara cinta dan kewajiban moral. Immanuel Kant, misalnya,
menegaskan bahwa tindakan bermoral hanya bernilai jika dilakukan karena
kewajiban, bukan karena emosi seperti cinta.⁷ Dengan demikian, cinta emosional
dianggap tidak stabil dan tidak dapat menjadi dasar tindakan moral yang
universal.
Namun, banyak filsuf modern dan kontemporer
mengkritik pandangan Kantian ini, dengan berpendapat bahwa cinta dapat
memperkuat kewajiban moral, bukan melemahkannya.⁸ Contohnya, seseorang yang
mencintai akan lebih terdorong untuk menunaikan tugas moralnya dengan ikhlas
dan penuh dedikasi. Di sini, cinta menjadi sumber motivasi moral yang
signifikan.
5.4.
Cinta dan Keadilan
Relasi antara cinta dan keadilan merupakan tema penting
dalam teori etika politik. Beberapa pemikir, seperti Martha Nussbaum,
berargumen bahwa cinta dapat berfungsi sebagai dasar pengembangan belas kasih
dan perhatian sosial yang menumbuhkan keadilan.⁹ Sebaliknya, kritikus seperti
Harry Frankfurt menegaskan bahwa cinta bersifat partikular—sementara keadilan
bersifat universal—sehingga keduanya memiliki orientasi moral yang berbeda.¹⁰
Ketegangan ini terlihat dalam fenomena nyata:
seseorang dapat mencintai keluarganya dan sekaligus harus bersikap adil terhadap
orang lain. Bagaimana menyeimbangkan cinta partikular dengan prinsip keadilan
universal merupakan salah satu persoalan mendasar dalam etika sosial.
5.5.
Cinta, Empati, dan Tanggung Jawab
Antar-Manusia
Cinta sering kali menjadi fondasi empati, yaitu
kemampuan memahami perasaan orang lain. Empati yang lahir dari cinta memperkuat
hubungan manusia dan mendorong tanggung jawab interpersonal. Hans Jonas,
misalnya, berargumen bahwa cinta dapat melahirkan tanggung jawab moral yang
mendalam, terutama dalam konteks hubungan asimetris seperti hubungan orang tua
dan anak.¹¹
Dalam pengertian ini, cinta tidak hanya menjadi
nilai pribadi, tetapi juga prinsip etis yang menuntut tindakan nyata. Cinta
menjadi kekuatan moral yang mengikat manusia dalam jaringan saling peduli dan
saling tanggung jawab, serta membantu membangun tatanan etis yang lebih
manusiawi.
5.6.
Ambiguitas Moral dalam Cinta
Meskipun cinta sering dipandang sebagai sumber
moralitas positif, cinta juga dapat menimbulkan ambiguitas moral. Cinta yang
berlebihan dapat menghasilkan kecemburuan, ketergantungan, atau tindakan tidak
etis demi melindungi orang yang dicintai.¹² Dengan demikian, cinta tidak selalu
menghasilkan kebaikan moral; ia dapat menjadi kekuatan destruktif jika tidak
dituntun oleh kebijaksanaan dan prinsip etis.
Pandangan ini menegaskan bahwa cinta, meskipun
bernilai tinggi, tetap memerlukan orientasi moral untuk memastikan bahwa ia
benar-benar membawa kebaikan. Di sini aksiologi cinta menyoroti pentingnya
integrasi antara cinta dan kebijaksanaan praktis (phronesis).
Footnotes
[1]
Robert C. Roberts, Spiritual Emotions: A
Psychology of Christian Virtues (Grand Rapids: Eerdmans, 2007), 45–52.
[2]
Thomas Hurka, “Love and Value,” Ethics 100,
no. 2 (1990): 191–205.
[3]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 12–18.
[4]
Irving Singer, The Nature of Love, vol. 2
(Cambridge, MA: MIT Press, 1984), 87–94.
[5]
Carol Gilligan, In a Different Voice
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 62–73.
[6]
Nel Noddings, Caring: A Feminine Approach to
Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press,
1984), 1–17.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
55–63.
[8]
Harry Frankfurt, The Reasons of Love
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 35–38.
[9]
Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love
Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 21–29.
[10]
Harry Frankfurt, “Equality and Respect,” Social
Research 64, no. 1 (1997): 12–18.
[11]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 98–105.
[12]
Simon May, Love: A History (New Haven: Yale
University Press, 2011), 154–162.
6.
Antropologi Filosofis tentang Cinta
Antropologi filosofis tentang cinta bertujuan untuk
memahami cinta sebagai bagian integral dari kodrat manusia. Dalam disiplin ini,
cinta tidak dipahami semata sebagai emosi, melainkan sebagai dimensi
konstitutif yang membentuk cara manusia berada di dunia.¹ Dengan demikian,
antropologi cinta meneliti bagaimana cinta muncul dari struktur eksistensial
manusia, bagaimana cinta mengungkapkan kebutuhan terdalam manusia, dan
bagaimana cinta membentuk relasi sosial, identitas, dan kebebasan. Pendekatan
ini menempatkan cinta sebagai unsur dasar yang memediasi pengalaman manusia
terhadap diri, orang lain, dan dunia.
6.1.
Hakikat Manusia sebagai Makhluk
Mencinta
Filsuf humanis seperti Erich Fromm menegaskan bahwa
manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang membutuhkan cinta untuk berkembang
secara utuh. Cinta bukan hanya kebutuhan emosional, tetapi kebutuhan ontologis:
tanpa cinta, manusia terasing dari diri dan dunia.² Pandangan ini berakar pada
pemahaman bahwa manusia adalah makhluk relasional, yang hanya menemukan dirinya
melalui keterhubungan dengan yang lain.³
Dalam banyak tradisi filosofis, manusia dipahami
sebagai ens amans—makhluk yang mencinta—yang mengarahkan dirinya pada
objek yang memberikan makna dan nilai bagi kehidupannya. Cinta, dengan
demikian, bukan sekadar pilihan, tetapi struktur dasar eksistensi manusia.
6.2.
Cinta sebagai Respons atas
Keterbatasan Manusia
Antropologi eksistensial menyoroti bahwa cinta
muncul sebagai respons manusia terhadap keterbatasan dirinya. Heidegger
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk “berkekurangan,” yang selalu mencari
kedekatan dan keterlengkapan.⁴ Cinta, dalam konteks ini, merupakan jawaban atas
pengalaman keterlemparan (Geworfenheit) manusia ke dalam dunia yang
terbatas.
Keterbatasan ini meliputi kerentanan fisik,
emosional, dan keterbatasan temporal. Cinta memungkinkan manusia merasakan
keberlanjutan dan makna, memberi ruang bagi pengakuan bahwa keberadaan tidak
dapat dijalani secara soliter.⁵ Cinta berfungsi sebagai kekuatan penyatukan
yang merespons struktur dasar eksistensi manusia yang rapuh.
6.3.
Relasi Cinta dan Identitas Diri
Identitas manusia tidak terbentuk secara tertutup;
ia dibentuk melalui relasi dengan orang lain. Charles Taylor menegaskan bahwa
identitas moral dan personal individu selalu terbentuk melalui jaringan
pengakuan dan hubungan yang signifikan.⁶ Dalam cinta, seseorang mengalami
dirinya sebagai subjek yang bernilai, diakui, dan dipahami. Hubungan cinta
menjadi arena pembentukan identitas karena ia menyingkap kedalaman diri yang
tidak muncul dalam relasi objektif atau instrumental.
Cinta memberi manusia pengalaman menjadi diri
sendiri dalam kehadiran orang lain. Sebagaimana Marcel jelaskan, cinta
memanggil manusia keluar dari isolasi dan memberikan ruang bagi keterbukaan
ontologis terhadap pihak lain.⁷ Dengan demikian, cinta bukan hanya hubungan
interpersonal, tetapi juga sumber pembentukan diri.
6.4.
Cinta, Kebebasan, dan Pilihan
Masalah kebebasan dalam cinta menjadi tema penting
dalam antropologi filosofis. Sartre melihat cinta sebagai ancaman terhadap
kebebasan karena setiap pihak berupaya “memiliki” kebebasan yang lain.⁸
Sebaliknya, pemikir dialogis seperti Martin Buber memandang cinta sebagai ruang
kebebasan di mana kedua subjek bertemu sebagai I–Thou, bukan sebagai
objek manipulatif.⁹
Dari perspektif antropologi filosofis, cinta dapat
dipahami sebagai paradoks: ia membutuhkan kebebasan namun sekaligus menuntut
keterikatan. Cinta memberikan makna pada kebebasan, tetapi kebebasan juga
menjadi syarat bagi cinta yang otentik.¹⁰ Dengan demikian, cinta dan kebebasan
berada dalam hubungan dialektis yang menentukan kualitas eksistensial relasi
manusia.
6.5.
Cinta dan Struktur Keberadaan
Manusia
Struktur dasar keberadaan manusia mencakup dimensi
rasional, emosional, sosial, dan spiritual. Cinta menghubungkan semua dimensi
ini dalam sebuah kesatuan pengalaman. Dalam tradisi teologis dan mistis, cinta
bahkan dipandang sebagai prinsip ontologis yang menyatukan manusia dengan yang
transenden.¹¹ Sementara dalam antropologi sekuler, cinta dipandang sebagai
kekuatan yang menyatukan manusia dengan komunitas, nilai-nilai, dan dunia
tempat ia hidup.
Selain memediasi relasi interpersonal, cinta juga
membentuk relasi manusia dengan dunia secara luas. Melalui cinta, manusia
merasakan keterikatan terhadap keluarga, komunitas, alam, dan bahkan umat
manusia secara universal. Cinta memperluas horizon eksistensi manusia,
mengatasi isolasi, dan membuka kemungkinan solidaritas yang lebih luas.¹²
6.6.
Dimensi Sosial dan Kultural Cinta
Antropologi filosofis juga mengakui bahwa cinta
tidak berkembang dalam kekosongan; ia dibentuk oleh struktur sosial dan budaya.
Setiap masyarakat memiliki norma, simbol, dan narasi yang menentukan cara
manusia mencintai. Anthony Giddens menyebut bahwa cinta modern dipengaruhi oleh
individualisme refleksif, yang membuat pengalaman cinta lebih dinamis, namun
juga lebih rapuh.¹³
Cinta, karenanya, merupakan fenomena antropologis
yang bersifat historis. Ia berubah sesuai dengan perubahan nilai, teknologi,
dan struktur sosial. Pengaruh media, ekonomi, dan politik turut membentuk
bagaimana manusia membangun relasi cinta, mengelola konflik, dan menegosiasikan
identitas personalnya dalam hubungan.
Footnotes
[1]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 168–175.
[2]
Erich Fromm, The Art of Loving (New York:
Harper & Row, 1956), 27–34.
[3]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 362–368.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
178–183.
[5]
Karl Jaspers, Philosophy, vol. 2 (Chicago:
University of Chicago Press, 1970), 56–61.
[6]
Charles Taylor, Sources of the Self
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–42.
[7]
Gabriel Marcel, Creative Fidelity (New York:
Fordham University Press, 1964), 35–44.
[8]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 475–482.
[9]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Scribner, 1970), 63–69.
[10]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 71–75.
[11]
Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans. R.
W. J. Austin (Mahwah, NJ: Paulist Press, 1980), 97–102.
[12]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 301–310.
[13]
Anthony Giddens, The Transformation of Intimacy
(Stanford: Stanford University Press, 1992), 37–48.
7.
Psikologi dan Biologi Cinta: Titik Temu dengan
Filsafat
Pembahasan mengenai cinta tidak dapat dilepaskan
dari temuan psikologi dan biologi modern. Kedua disiplin ini memberikan
landasan ilmiah yang memperkaya pemahaman filosofis tentang cinta sebagai
fenomena multidimensional. Psikologi menjelaskan dinamika emosional, kognitif,
dan relasional yang membentuk pengalaman cinta, sementara biologi mengungkap
mekanisme neurokimia dan evolusioner yang mendasarinya.¹ Meskipun demikian, filsafat
tetap berperan penting dalam menafsirkan makna, nilai, dan implikasi
eksistensial dari cinta. Interaksi antara ketiga bidang ini menciptakan
pemahaman yang lebih utuh mengenai cinta sebagai fenomena manusiawi yang
kompleks.
7.1.
Neurobiologi Cinta: Hormon, Otak,
dan Mekanisme Afektif
Biologi modern menunjukkan bahwa cinta melibatkan
sejumlah sistem neurokimia, termasuk dopamin, oksitosin, serotonin, dan
vasopresin. Dopamin, misalnya, berperan dalam sistem penghargaan otak yang
menciptakan rasa senang dan ketertarikan intens pada pasangan.² Oksitosin dan
vasopresin memfasilitasi ikatan emosional dan kelekatan jangka panjang,
terutama dalam hubungan intim dan hubungan orang tua–anak.³
Temuan-temuan ini mengubah cara pandang tradisional
yang memisahkan cinta dari tubuh. Dari sudut pandang biologis, cinta bukan
entitas abstrak, tetapi proses yang berakar pada struktur neurofisiologis
manusia. Namun, filsafat menekankan bahwa penjelasan neurobiologis tidak
menghapus makna cinta yang lebih dalam, melainkan membuka dimensi baru dialog
antara fakta empiris dan pemahaman fenomenologis.⁴
7.2.
Psikodinamik Cinta: Perspektif
Psikoanalisis
Psikoanalisis memberikan kontribusi besar dalam
memahami cinta sebagai dinamika antara dorongan bawah sadar, konflik emosional,
dan kebutuhan afektif. Freud menempatkan cinta dalam kerangka Eros,
dorongan hidup yang mempersatukan dan mempertahankan kehidupan.⁵ Cinta romantis
dianggap sebagai sublimasi dorongan seksual yang dialihkan menjadi keterikatan
emosional.
Lacan kemudian mengembangkan pandangan bahwa cinta
adalah “memberikan sesuatu yang tidak dimiliki,” menegaskan bahwa cinta
merupakan fenomena simbolik yang terkait dengan struktur bahasa dan kekurangan
eksistensial manusia.⁶ Dari perspektif psikoanalitik, cinta selalu ambivalen,
penuh konflik, dan melibatkan projekasi keinginan terdalam yang belum
tersadari. Psikologi dan filsafat bertemu dalam upaya memahami makna simbolis
cinta dan bagaimana cinta mengungkap lapisan terdalam kepribadian.
7.3.
Teori Cinta dalam Psikologi Modern
Psikologi kontemporer menawarkan berbagai model
teoretis untuk memahami struktur cinta. Salah satu yang paling terkenal adalah Triangular
Theory of Love dari Robert Sternberg, yang menyebut bahwa cinta terdiri
dari tiga komponen: keintiman (intimacy), gairah (passion), dan
komitmen (commitment).⁷ Kombinasi ketiga unsur ini menghasilkan
bentuk-bentuk cinta yang berbeda seperti romantic love, companionate
love, dan consummate love.
Teori keterlekatan (attachment theory) karya John
Bowlby dan Mary Ainsworth juga menjelaskan bagaimana gaya keterlekatan masa
kecil memengaruhi pola hubungan cinta di masa dewasa.⁸ Dalam hal ini, cinta
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis, tetapi juga pengalaman
perkembangan awal, pola pengasuhan, dan interaksi sosial. Psikologi modern
membuka ruang bagi filsafat untuk menelaah hubungan antara pengalaman cinta dan
pembentukan identitas serta struktur moral manusia.
7.4.
Reduksionisme Biologis: Kritik
Filosofis
Meskipun biologi memberikan penjelasan kuat tentang
mekanisme cinta, terdapat bahaya reduksionisme biologis, yaitu kecenderungan
memahami cinta semata-mata sebagai produk hormon dan evolusi. Banyak filsuf
menolak pandangan reduksionis ini. Misalnya, Martha Nussbaum menekankan bahwa
cinta tidak dapat direduksi menjadi proses biologis karena cinta melibatkan
penilaian nilai, komitmen, dan makna personal.⁹
Pendekatan filosofis menegaskan bahwa cinta
bersifat normatif, bukan hanya deskriptif. Dengan kata lain, memahami cinta
tidak cukup dengan menjelaskan bagaimana ia bekerja secara biologis; perlu juga
menjawab pertanyaan mengapa cinta memiliki nilai, bagaimana cinta mengarahkan
tindakan, dan bagaimana cinta memberikan makna hidup.¹⁰ Kritik ini menunjukkan
bahwa biologi dan psikologi perlu dilengkapi oleh kerangka filosofis untuk
memahami cinta secara utuh.
7.5.
Integrasi Perspektif: Cinta sebagai
Fenomena Multilevel
Pendekatan integratif berpendapat bahwa cinta
merupakan fenomena multilevel yang mencakup aspek biologis, psikologis, sosial,
dan filosofis sekaligus.¹¹ Pada level biologis, cinta muncul dari mekanisme
neuroendokrin; pada level psikologis, cinta melibatkan emosi, persepsi diri,
dan pengalaman relasional; pada level sosial, cinta dipengaruhi oleh norma
budaya dan struktur sosial; dan pada level filosofis, cinta ditafsirkan sebagai
pengalaman bernilai yang menyentuh dimensi moral dan eksistensial manusia.
Integrasi ini tidak hanya memungkinkan dialog
antardisiplin, tetapi juga memperdalam pemahaman tentang cinta sebagai fenomena
yang holistik. Dengan demikian, filsafat psikologi dan biologi cinta membuka
jalan bagi teori cinta yang lebih komprehensif dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Helen Fisher, Why We Love: The Nature and
Chemistry of Romantic Love (New York: Henry Holt, 2004), 12–19.
[2]
Andreas Bartels and Semir Zeki, “The Neural Basis
of Romantic Love,” NeuroReport 11, no. 17 (2000): 3829–3834.
[3]
C. Sue Carter, “Oxytocin Pathways and the Evolution
of Human Behavior,” Annual Review of Psychology 65 (2014): 17–39.
[4]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The
Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[5]
Sigmund Freud, Beyond the Pleasure Principle,
trans. James Strachey (New York: Norton, 1961), 28–43.
[6]
Jacques Lacan, The Four Fundamental Concepts of
Psychoanalysis, trans. Alan Sheridan (New York: W. W. Norton, 1981),
268–272.
[7]
Robert J. Sternberg, “A Triangular Theory of Love,”
Psychological Review 93, no. 2 (1986): 119–135.
[8]
John Bowlby, Attachment and Loss, vol. 1
(New York: Basic Books, 1969), 110–115.
[9]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
53–61.
[10]
Harry Frankfurt, The Reasons of Love
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 27–33.
[11]
Simon May, Love: A History (New Haven: Yale
University Press, 2011), 201–208.
8.
Fenomenologi Cinta
Fenomenologi cinta berupaya memahami cinta
sebagaimana ia ditampakkan dalam pengalaman pertama (first-person experience),
sebelum direduksi menjadi konsep psikologis, biologis, atau moral. Pendekatan
fenomenologis menolak pemahaman cinta yang terlalu abstrak dan menekankan bahwa
cinta harus ditelaah dari cara ia hadir dalam kesadaran manusia.¹ Dari sudut
pandang ini, cinta merupakan sebuah modus penghayatan dunia yang menstrukturkan
cara subjek melihat dirinya, orang lain, dan realitas. Fenomenologi cinta,
dengan demikian, tidak hanya menggambarkan apa itu cinta, tetapi bagaimana
cinta dialami, dirasakan, dan dihayati secara eksistensial.
8.1.
Intentionalitas Cinta
Fenomenologi, mengikuti gagasan Edmund Husserl,
menyatakan bahwa kesadaran selalu bersifat intensional, yaitu selalu terarah
kepada sesuatu.² Dalam konteks ini, cinta dipahami sebagai bentuk
intensionalitas yang khas: cinta tidak hanya mengarah pada objek tertentu
(orang yang dicintai), tetapi juga kepada kemungkinan-kemungkinan eksistensial
yang terletak dalam hubungan itu.³
Cinta tidak hanya memfokuskan perhatian subjek pada
kualitas individu tertentu, melainkan mengungkapkan keseluruhan pribadi yang
dicintai. Max Scheler menekankan bahwa cinta bukan reaksi terhadap nilai-nilai
yang telah ada, melainkan gerak yang mengangkat nilai-nilai tersebut ke dalam
kesadaran.⁴ Dengan demikian, cinta memperluas horizon makna dari orang yang
dicintai dan memungkinkan subjek melihat nilai-nilai yang sebelumnya tidak
tersadari.
8.2.
Cinta sebagai Pengalaman Lived
Experience
Fenomenologi menekankan pentingnya lived
experience, yaitu pengalaman yang dijalani secara langsung dan konkret.
Cinta sebagai pengalaman hidup melibatkan emosi, tubuh, waktu, dan ruang dalam
satu kesatuan. Seorang yang mencintai tidak sekadar memiliki perasaan tertentu;
ia menghayati dunia secara berbeda.⁵
Dalam cinta, waktu dapat dirasakan secara intens:
kehadiran orang yang dicintai mempercepat atau memperlambat pengalaman waktu,
menunjukkan bahwa cinta memiliki struktur temporal yang khas. Begitu pula ruang
dapat mengalami transformasi makna; tempat-tempat menjadi signifikan karena
terkait dengan pengalaman cinta. Hal ini memperlihatkan bahwa cinta tidak hanya
berdampak pada aspek internal subjek, tetapi juga pada cara dunia diberi makna.
8.3.
Struktur Kesadaran dalam Mencintai
Fenomenologi cinta mengakui bahwa cinta memiliki
struktur kesadaran tertentu yang khas. Pertama, cinta bersifat terbuka: ia
membuka subjek pada keberadaan orang lain, bukan sebagai objek, tetapi sebagai
sesama subjek.⁶ Kedua, cinta bersifat afirmatif: cinta menegaskan nilai dan
keberadaan orang lain. Ketiga, cinta bersifat transformatif: ia mengubah cara
subjek memahami dirinya sendiri.
Menurut Gabriel Marcel, cinta menciptakan
“kehadiran” yang tidak dapat direduksi menjadi interaksi fisik atau verbal.⁷
Kehadiran ini merupakan pertemuan eksistensial yang memungkinkan kedua pihak
merasakan keterhubungan yang mendalam. Dengan demikian, struktur kesadaran
cinta mencakup intensitas perhatian, keterbukaan terhadap kerentanan, dan
kesediaan untuk saling memberi makna.
8.4.
Ambiguitas Cinta: Antara Memberi dan
Memiliki
Salah satu tema penting dalam fenomenologi cinta
adalah ambiguitasnya. Jean-Paul Sartre menunjukkan bahwa cinta mengandung
ketegangan antara keinginan untuk menghadirkan diri bagi orang yang dicintai
dan keinginan untuk “memiliki” kesadarannya.⁸ Cinta sering kali berada di
antara pemberian tanpa syarat dan dorongan untuk memperoleh pengakuan.
Ambiguitas ini memperlihatkan bahwa cinta berada
dalam dinamika antara kebebasan dan interdependensi. Dari sudut pandang
fenomenologi nilai Scheler, cinta sejati bukanlah hasrat untuk memiliki, tetapi
gerak yang memungkinkan nilai orang lain bersinar dalam dirinya sendiri.⁹
Dengan demikian, fenomenologi cinta berupaya membedakan antara cinta sebagai
relasi otentik dan cinta sebagai bentuk objektifikasi.
8.5.
Fenomenologi Kasih Sayang dan
Kelembutan
Selain aspek ketegangan dan ambiguitas,
fenomenologi juga menyoroti dimensi kelembutan dan kasih sayang dalam cinta.
Emmanuel Levinas melihat cinta sebagai relasi yang mengandalkan kelembutan
(tenderness), yaitu sikap menerima kerentanan orang lain tanpa menguasainya.¹⁰
Kelembutan merupakan respons terhadap wajah orang lain (the face of the
Other), yang memanggil subjek untuk bertindak secara etis.
Pendekatan ini menggarisbawahi bahwa cinta tidak
semata-mata pengalaman personal, tetapi juga pengalaman etis. Cinta mengandung
tuntutan moral yang berasal dari keberadaan orang lain sebagai subjek yang
memiliki martabat dan nilai. Dengan demikian, fenomenologi tidak hanya
menggambarkan cinta sebagai pengalaman emosional, tetapi juga sebagai dasar
relasi etis.
Footnotes
[1]
Dan Zahavi, Phenomenology: The Basics
(London: Routledge, 2018), 102–110.
[2]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 96–101.
[3]
Anthony J. Steinbock, “Affection and the Problem of
Love in Phenomenology,” Continental Philosophy Review 32, no. 2 (1999):
159–172.
[4]
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans.
Peter Heath (London: Routledge, 1973), 154–161.
[5]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 380–389.
[6]
Jean-Luc Marion, The Erotic Phenomenon,
trans. Stephen E. Lewis (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 35–43.
[7]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol. 1
(Chicago: Henry Regnery, 1950), 112–118.
[8]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 476–483.
[9]
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal
Ethics of Values (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 257–262.
[10]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 254–260.
9.
Hermeneutika Cinta
Hermeneutika cinta berupaya memahami cinta sebagai
fenomena yang selalu ditafsirkan dan dimaknai dalam konteks historis,
linguistik, dan kultural tertentu. Berbeda dari fenomenologi yang menekankan
pengalaman langsung, hermeneutika menyoroti proses penafsiran yang menyertai
pengalaman cinta.¹ Cinta tidak hanya dialami, tetapi juga diceritakan,
digambarkan, dituturkan, dan dikonstruksi melalui simbol serta bahasa. Dengan demikian,
hermeneutika cinta mengkaji bagaimana cinta dipahami melalui proses
interpretatif, bagaimana makna cinta dibentuk dan dinegosiasikan, serta
bagaimana narasi cinta membentuk identitas dan relasi manusia.
9.1.
Cinta sebagai Teks dan Pengalaman
Interpretatif
Dalam perspektif hermeneutis, cinta dapat dipahami
sebagai “teks”—bukan dalam arti literal, tetapi sebagai fenomena yang harus
ditafsirkan. Hans-Georg Gadamer menekankan bahwa semua pengalaman manusia,
termasuk cinta, hadir dalam horizon historis yang membentuk cara kita
memahaminya.² Maka, cinta tidak pernah hadir secara “murni”; ia selalu
dibingkai oleh tradisi, nilai budaya, dan bahasa yang kita warisi.
Melalui pendekatan ini, pengalaman cinta dipandang
sebagai proses interpretatif yang berkelanjutan. Seseorang memberi makna
terhadap hubungan cintanya melalui interpretasi terhadap tindakan, kata-kata,
gestur, dan simbol-simbol yang muncul dalam relasinya.³ Dengan demikian,
memahami cinta berarti memahami cara seseorang menafsirkan dunia emosionalnya.
9.2.
Penafsiran Cinta dalam Sastra, Seni,
dan Budaya
Sastra, seni, dan budaya memainkan peran penting
dalam membentuk cara manusia memahami cinta. Dalam tradisi Barat, misalnya,
narasi cinta romantis dalam karya-karya Shakespeare atau novel-novel abad ke-19
telah membentuk pola-pola ekspektasi tentang cinta sebagai pengalaman yang
dramatis dan penuh ketegangan.⁴ Sementara itu, tradisi Timur dan Islam
memperkenalkan konsep cinta spiritual—seperti dalam puisi Rumi dan Hafiz—yang
menafsirkan cinta sebagai jalan menuju penyatuan dengan Yang Ilahi.⁵
Hermeneutika memperlihatkan bahwa makna cinta tidak
universal, melainkan dihasilkan oleh dialog antara teks (misalnya karya
sastra), pembaca, dan konteks budaya. Narasi cinta dalam budaya populer
modern—film, musik, dan media digital—juga membentuk ekspektasi manusia
terhadap hubungan romantis, sering kali menciptakan idealisasi atau distorsi.⁶
9.3.
Metafora dan Simbol sebagai
Instrumen Penafsiran Cinta
Bahasa cinta banyak bergantung pada metafora.
Lakoff dan Johnson menunjukkan bahwa metafora bukan sekadar ornamen bahasa,
tetapi struktur konseptual yang membentuk cara kita memahami dunia.⁷ Dalam
konteks cinta, metafora seperti “jatuh cinta,” “api cinta,” atau “cinta sebagai
perjalanan” membentuk cara manusia menghayati dan menilai relasinya.
Metafora-metafora ini bukan hanya cerminan pengalaman, tetapi juga instrumen
interpretatif yang memengaruhi pengalaman cinta itu sendiri.
Simbol-simbol cinta, seperti cincin, bunga, atau
warna tertentu, juga memainkan peran hermeneutis. Simbol memberikan bentuk
konkret pada makna emosional yang abstrak, memungkinkan komunikasi cinta yang
tidak selalu dapat diungkapkan melalui bahasa literal.⁸
9.4.
Hermeneutika Kesalahpahaman dalam
Relasi Cinta
Karena cinta adalah fenomena interpretatif,
kesalahpahaman merupakan bagian inheren dari relasi cinta. Gadamer menegaskan
bahwa pemahaman selalu melibatkan “prakonsepsi” (Vorurteile) yang dapat
memengaruhi interpretasi seseorang.⁹ Dalam relasi cinta, prakonsepsi mengenai
peran gender, ekspektasi emosional, dan pola komunikasi dapat menghasilkan
interpretasi yang salah terhadap tindakan atau kata-kata pasangan.
Hermeneutika cinta menggarisbawahi pentingnya dialog
sebagai cara menyembuhkan kesalahpahaman. Dialog memungkinkan kedua pihak
memperbarui horizon interpretatifnya dan mencapai pemahaman yang lebih
otentik.¹⁰ Maka, hermeneutika cinta bukan hanya teori interpretasi teks, tetapi
juga praktik komunikasi interpersonal.
9.5.
Cinta dalam Perspektif Hermeneutika
Eksistensial
Paul Ricoeur menawarkan kerangka hermeneutika
eksistensial yang menekankan bahwa manusia terus-menerus membentuk dirinya
melalui narasi.¹¹ Dalam konteks cinta, individu menceritakan kisah cintanya
sendiri—baik kepada dirinya maupun kepada orang lain—dan narasi tersebut
menjadi bagian dari identitasnya. Cinta, dengan demikian, bukan hanya peristiwa
psikologis, tetapi juga proyek interpretatif yang membentuk siapa seseorang.
Melalui pemahaman ini, cinta dipandang sebagai
suatu struktur makna yang selalu terbuka untuk reinterpretasi. Tidak ada satu
makna cinta yang final; yang ada adalah proses penafsiran yang berkembang
seiring waktu.¹² Hermeneutika cinta, dengan demikian, mengajak kita untuk
melihat cinta sebagai peristiwa interpretatif yang dinamis dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston:
Northwestern University Press, 1969), 13–18.
[2]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 265–274.
[3]
Charles Taylor, Human Agency and Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 43–52.
[4]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
487–498.
[5]
Annemarie Schimmel, The Triumphal Sun: A Study
of the Works of Jalaloddin Rumi (Albany: SUNY Press, 1993), 92–105.
[6]
Eva Illouz, Consuming the Romantic Utopia: Love
and the Cultural Contradictions of Capitalism (Berkeley: University of
California Press, 1997), 45–61.
[7]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We
Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–14.
[8]
Roland Barthes, A Lover’s Discourse: Fragments,
trans. Richard Howard (New York: Hill and Wang, 1978), 57–63.
[9]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,
270–279.
[10]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 112–118.
[11]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1984), 52–60.
[12]
Anthony C. Thiselton, The Two Horizons
(Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 311–321.
10.
Cinta dalam Tradisi Filsafat Islam
Tradisi filsafat Islam memiliki kontribusi yang
sangat kaya terhadap pemahaman cinta, baik sebagai pengalaman spiritual,
dimensi moral, maupun struktur metafisis dari hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam tradisi ini, cinta tidak sekadar dipandang sebagai perasaan atau afeksi
psikologis, tetapi sebagai prinsip kosmologis dan jalan epistemologis menuju
hakikat kebenaran.¹ Pemaknaan cinta dalam filsafat Islam sangat beragam, mulai
dari cinta sebagai rahmat Ilahi, cinta sebagai gerak jiwa menuju kesempurnaan,
hingga cinta sebagai bentuk wahyu eksistensial yang menghubungkan makhluk dan
Sang Pencipta. Keragaman ini menunjukkan bahwa cinta merupakan kategori sentral
dalam pemikiran filosofis dan spiritual Islam.
10.1.
Konsep Hubb, Mahabbah, dan ‘Ishq
dalam Tradisi Klasik
Dalam khazanah bahasa Arab, terdapat banyak istilah
yang merujuk pada cinta, seperti hubb, mahabbah, dan ‘ishq,
masing-masing dengan nuansa makna yang berbeda. Hubb merujuk pada cinta
yang bersifat umum, yang mencakup kasih sayang, kecenderungan hati, dan rasa
kedekatan.² Mahabbah sering dipahami sebagai cinta yang lebih mendalam,
terkait dengan ketulusan dan kerinduan spiritual. Sementara ‘ishq
merujuk pada cinta yang penuh gairah dan intensitas, yang dalam konteks tasawuf
sering ditafsirkan sebagai kerinduan mendalam jiwa kepada Tuhan.³
Para sufi memandang tingkat-tingkat cinta ini
sebagai tahapan perjalanan spiritual (sulūk), di mana jiwa naik dari
cinta terhadap dunia menuju cinta terhadap Tuhan. Melalui cinta, manusia
dibimbing untuk mengenali sumber keberadaannya dan menempuh jalan kesempurnaan
spiritual.
10.2.
Rabi‘ah al-‘Adawiyyah: Cinta Ilahi
yang Murni dan Tanpa Pamrih
Rabi‘ah al-‘Adawiyyah (w. 801) merupakan salah satu
tokoh awal dalam tradisi tasawuf yang menempatkan cinta Ilahi sebagai pusat
kehidupan spiritual. Ia menegaskan bahwa cinta sejati adalah cinta kepada Tuhan
yang bebas dari keinginan akan imbalan maupun ketakutan terhadap hukuman.⁴
Cinta Rabi‘ah bersifat absolut, murni, dan tidak bersyarat. Baginya, ibadah
bukanlah sarana mencari pahala, melainkan ekspresi cinta yang tulus kepada Sang
Kekasih Ilahi.
Konsep cinta Rabi‘ah mengubah arah pengalaman
spiritual dari ketundukan yang berbasis rasa takut menuju relasi personal yang
penuh kelembutan dan kerinduan. Hal ini kemudian memengaruhi pemikiran
sufi-sufi besar setelahnya.
10.3.
Al-Ghazālī: Cinta sebagai Jalan
Menuju Ma‘rifah
Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111) mengembangkan
diskursus cinta dalam kerangka filsafat dan teologi Islam. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm
al-Dīn, ia menjelaskan bahwa cinta merupakan buah dari ma‘rifah
(pengetahuan intuitif tentang Tuhan) dan sekaligus jalan menuju kesempurnaan
spiritual.⁵ Menurutnya, manusia mencintai Tuhan karena menyadari bahwa Tuhan
adalah sumber segala kebaikan dan keindahan. Cinta Ilahi muncul dari kesadaran
bahwa segala sesuatu bergantung pada Tuhan.
Ghazālī juga menekankan bahwa cinta mengandung
dimensi etis: orang yang mencintai Tuhan akan meniru sifat-sifat Tuhan
(al-takhalluq bi-akhlāq Allāh), seperti kasih sayang, keadilan, dan
kedermawanan.⁶ Dengan demikian, cinta menjadi dasar transformasi moral dan
spiritual dalam diri manusia.
10.4.
Ibn ‘Arabī: Cinta sebagai Prinsip
Kosmologis dan Ontologis
Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī (w. 1240) memberikan
kontribusi mendalam terhadap pemikiran cinta melalui perspektif metafisika
wujud (wahdat al-wujūd). Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, ia menyatakan
bahwa cinta adalah “hakikat dari segala sesuatu,” sebab dunia diciptakan
melalui cinta Tuhan untuk dikenal (ḥubb al-ẓuhūr).⁷ Bagi Ibn ‘Arabī,
cinta adalah struktur ontologis yang mendasari hubungan antara Tuhan dan
makhluk.
Ia juga memperkenalkan gagasan bahwa cinta adalah
wahana epistemologis: seseorang mengetahui Tuhan melalui cinta, dan cinta
membuka tabir keesaan realitas.⁸ Dalam pandangannya, cinta bukan hanya
perasaan, tetapi modus eksistensi yang memungkinkan penyatuan spiritual antara
pecinta dan Yang Dicintai.
10.5.
Jalāl al-Dīn Rūmī: Cinta sebagai
Gerak Transformasi Jiwa
Rūmī (w. 1273), penyair sufi besar, memahami cinta
sebagai kekuatan transformatif yang menghancurkan ego dan membawa jiwa pada
penyatuan dengan Tuhan. Dalam Mathnawī, ia menggambarkan cinta sebagai
“nyala api” yang membakar segala keterikatan duniawi sehingga jiwa dapat
menemukan keindahan Ilahi.⁹
Rūmī menekankan bahwa cinta adalah perjalanan: ia
bergerak dari rasa kehilangan menuju penemuan, dari keterpisahan menuju
kesatuan, dari dualitas menuju keesaan. Cinta bukanlah kondisi pasif, tetapi
dinamika spiritual yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan manusia.¹⁰
Pendekatan ini memadukan estetika, metafisika, dan etika dalam satu struktur
pengalaman cinta.
10.6.
Cinta sebagai Rahmah: Dimensi Etis
dan Kosmologis
Dalam Islam, cinta juga identik dengan rahmah
(kasih sayang), sebuah konsep yang mencakup dimensi teologis dan kosmologis.
Tuhan digambarkan sebagai “al-Raḥmān” dan “al-Raḥīm,” yang menandakan bahwa
ciptaan seluruhnya merupakan manifestasi kasih sayang-Nya.¹¹ Dalam kerangka
ini, cinta dipandang sebagai prinsip dasar moral dan tatanan kosmis.
Cinta sebagai rahmah mempengaruhi hubungan manusia
dengan sesama dan alam. Pemahaman ini mengarah pada etika welas asih,
kemanusiaan universal, dan tanggung jawab ekologis.¹² Pendekatan ini memperluas
makna cinta dari pengalaman personal menjadi prinsip sosial dan kosmik.
10.7.
Integrasi Rasionalitas dan
Spiritualitas dalam Filsafat Islam
Ciri khas filsafat Islam adalah kemampuannya
mengintegrasikan cinta sebagai pengalaman spiritual dengan kerangka rasional
dan metafisis. Al-Fārābī dan Ibn Sīnā, misalnya, memahami cinta sebagai gerak
jiwa menuju kesempurnaan intelektual.¹³ ‘Ishq dipandang sebagai daya
kosmik yang menggerakkan seluruh wujud untuk menyatu dengan Sumber Akalnya.¹⁴
Pandangan ini menunjukkan bahwa cinta tidak berada di luar rasionalitas, tetapi
merupakan bagian dari struktur kosmos yang rasional.
Di sini, cinta berfungsi sekaligus sebagai prinsip
ontologis, epistemologis, dan etis. Filosof-filosof Islam memperlihatkan bahwa
cinta adalah cara mengenal Tuhan, cara hidup secara moral, dan cara memahami
hakikat dunia.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, Divine Love: Islamic
Literature and the Path to God (New Haven: Yale University Press, 2013),
1–8.
[2]
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, vol. 1 (Beirut:
Dār Ṣādir, 1990), 312–318.
[3]
Al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah, ed.
‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1966), 228–236.
[4]
Farid al-Din Attar, Tadhkirat al-Awliyā’,
ed. Reynold A. Nicholson (London: E. J. W. Gibb Memorial, 1905), 45–52.
[5]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn,
vol. 4 (Cairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2001), 256–267.
[6]
Ibid., 270–273.
[7]
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, trans. R. W. J.
Austin (Mahwah, NJ: Paulist Press, 1980), 93–102.
[8]
William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The
Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 78–88.
[9]
Jalāl al-Dīn Rūmī, Mathnawī, trans. Reynold
A. Nicholson (London: Gibb Memorial Trust, 1925), 112–118.
[10]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam
(Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 268–279.
[11]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980), 29–35.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 45–53.
[13]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 390–399.
[14]
Al-Fārābī, Risālah fī al-‘Aql, ed. Maurice
Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1986), 112–119.
11.
Cinta dalam Filsafat Timur dan Nusantara
Pemahaman tentang cinta dalam tradisi Timur dan
Nusantara memperlihatkan dimensi filosofis yang berbeda dari tradisi Barat maupun
Islam. Tradisi-tradisi ini menekankan cinta sebagai prinsip kosmis, etika welas
asih, harmoni sosial, dan kesatuan antara manusia dan alam.¹ Cinta bukan hanya
pengalaman batin, tetapi orientasi hidup yang mengatur keterhubungan manusia
dengan dunia, komunitas, dan kenyataan transenden. Dengan demikian, pembahasan
cinta dalam filsafat Timur dan Nusantara memberikan perspektif yang lebih
holistik, integratif, dan relasional.
11.1.
Cinta dalam Buddhisme: Metta dan
Karuna
Dalam tradisi Buddhisme, cinta dipahami terutama
melalui konsep metta (cinta kasih) dan karuna (belas kasih). Metta
merujuk pada cinta universal yang bersifat non-posesif, tidak terikat, dan
tidak egoistik.² Cinta dalam Buddhisme bukan hasrat untuk memiliki, tetapi
kehendak untuk kesejahteraan semua makhluk (the wish for all beings to be
happy). Karuna, sebagai belas kasih, berarti kepekaan terhadap
penderitaan makhluk lain dan aspirasi untuk mengurangi penderitaan tersebut.³
Sikap cinta kasih dan belas kasih merupakan fondasi
etika Buddhis, di mana cinta diarahkan untuk menumbuhkan kedamaian batin dan
harmoni sosial. Cinta sebagai metta bukanlah emosi yang meledak-ledak,
tetapi disiplin batin yang melatih pikiran agar terbuka, lembut, dan tidak
melekat.⁴ Dengan demikian, cinta dalam Buddhisme bersifat universal, non-dual,
dan transformatif.
11.2.
Cinta dalam Hindu: Bhakti dan Relasi
dengan Ketuhanan
Tradisi Hindu menempatkan bhakti—cinta dan
pengabdian kepada Tuhan—sebagai salah satu jalan utama menuju pembebasan (moksha).
Dalam Bhakti Yoga, cinta bukan hanya afeksi emosional tetapi bentuk
kesatuan spiritual antara jiwa (atman) dan realitas absolut (Brahman).⁵
Teks-teks seperti Bhagavad Gita menekankan
bahwa cinta kepada Tuhan membebaskan jiwa dari egoisme dan menjadikan manusia
sebagai instrumen kehendak Ilahi.⁶ Cinta dalam tradisi ini bersifat teosentris
dan devosional, tetapi juga memiliki dimensi etis: seseorang yang mencintai
Tuhan akan menunjukkan kasih sayang kepada semua makhluk.
11.3.
Cinta dalam Konfusianisme: Ren (仁) dan Harmoni Sosial
Dalam tradisi Tiongkok, terutama Konfusianisme,
cinta dipahami melalui konsep ren (仁), yang berarti “kemurnian hati,” “kemanusiaan,”
atau “kebaikan moral.” Ren adalah cinta yang diwujudkan dalam tindakan
moral untuk menjaga keharmonisan keluarga, masyarakat, dan negara.⁷
Tidak seperti tradisi Barat yang menekankan cinta
romantis, Konfusianisme menekankan cinta sebagai prinsip etis yang mengatur
relasi hierarkis dan sosial, seperti cinta anak kepada orang tua (xiao),
cinta pemimpin kepada rakyat, serta cinta antar-anggota masyarakat.⁸ Cinta
dalam perspektif ini merupakan fondasi moral yang memperkuat keadilan,
kesopanan, dan tanggung jawab sosial.
11.4.
Taoisme: Cinta sebagai Keselarasan
dengan Alam
Berbeda dari Konfusianisme yang berorientasi
sosial, Taoisme memahami cinta sebagai bentuk keselarasan dengan Dao—prinsip
kosmis yang mengatur seluruh realitas. Dalam teks Tao Te Ching, Laozi
menggambarkan cinta sebagai salah satu dari “tiga permata” (sanbao), bersama
dengan kelembutan dan penghematan.⁹ Cinta berarti kesediaan untuk selaras
dengan aliran alam, tanpa memaksakan kehendak ego.
Dalam Taoisme, cinta bukan emosi interpersonal,
tetapi cara mengada (mode of being) yang selaras dengan ritme alam, yang
menghasilkan ketenangan, kerendahan hati, dan tindakan tanpa paksaan (wu wei).¹⁰
11.5.
Cinta dalam Tradisi Nusantara: Welas
Asih, Gotong Royong, dan Keselarasan Kosmik
Tradisi Nusantara memiliki pemahaman cinta yang
khas, lebih bersifat komunal dan kosmis dibandingkan perspektif
individualistik. Beberapa konsep penting antara lain:
·
Welas asih: rasa kasih
sayang dan empati terhadap sesama makhluk.
·
Gotong royong: ekspresi
cinta dalam bentuk kebersamaan, solidaritas, dan tanggung jawab kolektif.¹¹
·
Keselarasan kosmik: pandangan
bahwa cinta menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual.¹²
Dalam budaya Jawa, misalnya, cinta dipahami melalui
konsep tresna, yaitu kasih yang mengandung harmoni, ketulusan, dan
penerimaan. Ajaran Sangkan Paraning Dumadi memandang cinta sebagai
energi kosmis yang menjadi asal dan tujuan manusia.¹³
Tradisi Bali menempatkan cinta sebagai bagian dari Tri
Hita Karana—tiga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama
manusia, dan alam.¹⁴ Dengan demikian, cinta dalam budaya Nusantara bersifat
holistik, menekankan keseimbangan dan kebersamaan.
11.6.
Perbandingan dan Sintesis Filosofis
Tradisi Timur dan Nusantara memperlihatkan
pemahaman cinta yang berbeda dari tradisi Barat yang lebih menekankan cinta
personal dan emosional. Pendekatan Timur menekankan cinta sebagai disiplin
moral, praktik spiritual, dan harmoni kosmik. Sementara pendekatan Nusantara
menekankan cinta sebagai kekuatan komunal yang membentuk solidaritas dan
keseimbangan ekologis.
Sintesis dari berbagai tradisi ini menunjukkan
bahwa cinta merupakan prinsip universal yang merentang dari dimensi personal
hingga kosmis, dari etika hingga spiritualitas, dan dari relasi interpersonal
hingga hubungan manusia dengan alam.¹⁵
Footnotes
[1]
Jeffery D. Long, A Vision for Hinduism: Beyond
Hindu Nationalism (London: I.B. Tauris, 2007), 122–131.
[2]
Bhikkhu Bodhi, The Noble Eightfold Path
(Kandy: Buddhist Publication Society, 1984), 75–82.
[3]
Thich Nhat Hanh, The Heart of the Buddha's
Teaching (New York: Broadway Books, 1998), 143–150.
[4]
Sharon Salzberg, Lovingkindness: The
Revolutionary Art of Happiness (Boston: Shambhala, 1995), 21–29.
[5]
Swami Vivekananda, Bhakti Yoga (Calcutta:
Advaita Ashrama, 1960), 3–11.
[6]
Bhagavad Gita, trans. Barbara Stoler Miller (New York: Bantam,
1986), 97–108.
[7]
Confucius, The Analects, trans. D. C. Lau
(London: Penguin, 1979), 54–58.
[8]
Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay
on Confucian Religiousness (Albany: SUNY Press, 1989), 22–31.
[9]
Laozi, Tao Te Ching, trans. Stephen Mitchell
(New York: Harper & Row, 1988), 91–95.
[10]
Benjamin Hoff, The Tao of Pooh (New York:
Dutton, 1982), 33–38.
[11]
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), 120–127.
[12]
Niels Mulder, Mysticism in Java: Ideology in
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 44–50.
[13]
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta:
Gramedia, 1997), 88–96.
[14]
I Wayan Geriya, Tri Hita Karana: Konsep,
Implementasi, dan Perkembangannya (Denpasar: LPPM UNUD, 2008), 15–23.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 191–199.
12.
Kritik Filosofis terhadap Konsep Cinta
Kajian filosofis tentang cinta tidak hanya menelaah
makna, nilai, dan struktur eksistensial cinta, tetapi juga mencakup kritik
terhadap konsep cinta itu sendiri. Kritik ini lahir dari berbagai tradisi
pemikiran—rasionalisme, eksistensialisme, feminisme, psikoanalisis, hingga
teori kritis—yang mempertanyakan klaim metafisis, moral, maupun sosial yang
sering dilekatkan pada cinta.¹ Kritik-kritik tersebut penting untuk menghindari
idealisasi cinta secara berlebihan dan untuk memahami dimensi ambivalen, ambigu,
bahkan problematik dari fenomena cinta.
12.1.
Kritik Reduksionis: Cinta sebagai
Ilusi Biologis atau Psikologis
Sebagian pemikir modern memandang cinta bukan
sebagai fenomena metafisis atau moral, melainkan sebagai hasil mekanisme
biologis atau psikologis yang dapat dijelaskan secara naturalistik. Richard
Dawkins, misalnya, menginterpretasikan cinta sebagai strategi evolusioner untuk
mempertahankan keberlangsungan gen.² Dalam perspektif ini, cinta hanyalah
“mesin genetik” yang bekerja untuk memastikan reproduksi dan perawatan
keturunan.
Di sisi lain, perspektif psikodinamik Freud
berpendapat bahwa cinta hanyalah sublimasi dari dorongan libido, sebuah
kompromi antara dorongan seksual dan norma sosial.³ Kritik-kritik ini menentang
idealisasi cinta sebagai sesuatu yang luhur, dengan menekankan bahwa cinta
terbentuk dari dorongan bawah sadar atau mekanisme biologis yang tidak memiliki
dimensi moral atau spiritual.
12.2.
Kritik Feminist terhadap Cinta
Romantis
Para pemikir feminis menyoroti bagaimana konsep
cinta romantis sering digunakan untuk mempertahankan struktur patriarkal.
Simone de Beauvoir mengkritik bahwa cinta romantis dalam masyarakat patriarkal
menuntut perempuan untuk “melebur” ke dalam identitas laki-laki, sehingga
menghilangkan subjektivitas dan kebebasan perempuan.⁴ Cinta romantis dipandang
sebagai perangkat ideologis yang menginternalisasi ketimpangan gender dalam
hubungan intim.
Bell hooks menambahkan bahwa cinta sering dipahami
secara keliru sebagai kepemilikan, kontrol, atau pengorbanan total, yang melanggengkan
pola relasi tidak sehat.⁵ Feminisme mengajak untuk mendekonstruksi ide-ide
cinta yang menindas dan menggantikannya dengan konsep cinta yang egaliter,
saling menghormati, dan berbasis transparansi emosional.
12.3.
Kritik Eksistensialis: Cinta sebagai
Ancaman terhadap Kebebasan
Eksistensialisme, terutama dalam pemikiran
Jean-Paul Sartre, memberikan kritik tajam terhadap cinta sebagai ancaman bagi
kebebasan. Sartre menilai bahwa cinta mengandung usaha untuk “memiliki
kebebasan orang lain,” sehingga setiap relasi cinta terperangkap dalam konflik
antara subjektivitas dan objektifikasi.⁶ Pecinta ingin dicintai secara bebas,
tetapi sekaligus ingin menjamin bahwa cinta itu tetap ada—tuntutan yang
kontradiktif dan mustahil dipenuhi.
Menurut Sartre, cinta romantis menciptakan hubungan
yang penuh dengan kecemasan, ketergantungan, dan manipulasi halus.⁷ Kritik ini
menekankan bahwa cinta dapat memicu keterikatan yang tidak otentik dan
menghambat perkembangan eksistensial seseorang.
12.4.
Kritik Moral: Cinta dan Ketidakadilan
Partikular
Beberapa filsuf moral berargumen bahwa cinta yang
bersifat partikular dapat memicu ketidakadilan. Harry Frankfurt menegaskan
bahwa cinta menimbulkan keberpihakan mendalam kepada orang tertentu, sehingga
bisa berbenturan dengan prinsip keadilan yang menuntut perlakuan setara bagi
semua.⁸ Dalam konteks ini, cinta partikular—misalnya cinta keluarga—dapat
mendorong tindakan nepotis atau preferensi yang merugikan pihak lain.
Michael Sandel dan Martha Nussbaum menunjukkan
bahwa cinta dapat memperkuat empati dan keadilan, tetapi juga dapat melampaui
batas moral ketika cinta membuat seseorang mengabaikan kewajiban sosial.⁹
Kritik moral terhadap cinta menyoroti bahwa cinta bukan selalu kekuatan etis
positif; ia dapat memperuncing bias dan ketidaksetaraan jika tidak
diseimbangkan dengan prinsip moral yang universal.
12.5.
Kritik Sosial dan Budaya: Cinta
sebagai Konstruksi Sosial
Dalam teori kritis dan sosiologi budaya, cinta
dipahami sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh ekonomi, media, dan
struktur kekuasaan. Eva Illouz berargumen bahwa cinta modern telah
“dikosmetikkan” oleh kapitalisme, sehingga emosi cinta menjadi komoditas yang
dikendalikan oleh logika pasar.¹⁰ Industri film, musik, dan media sosial
membentuk ekspektasi cinta romantis yang tidak realistis, menciptakan standar
hubungan yang tidak sehat dan menekan individu untuk mengidealkan cinta dalam
bentuk-bentuk tertentu.
Michel Foucault juga menyoroti bagaimana cinta dan
seksualitas berada dalam jaringan kekuasaan yang membentuk subjektivitas.¹¹
Dengan demikian, cinta bukan hanya fenomena personal, tetapi produk dari
praktik diskursif dan institusi sosial.
12.6.
Kritik Relasional: Risiko,
Kerentanan, dan Kekerasan dalam Cinta
Dalam beberapa konteks, cinta menjadi justifikasi
bagi tindakan kekerasan atau dominasi. Psikologi relasional menunjukkan bahwa
hubungan cinta dapat mengandung manipulasi, ketergantungan, dan penyalahgunaan
emosional.¹² Filsafat relasional menyoroti dimensi gelap cinta ini sebagai
bukti bahwa cinta tidak otomatis menghasilkan kebaikan moral. Sebaliknya, cinta
dapat menjadi alat untuk mengontrol atau menundukkan orang lain.
Kritik ini mengajak kita untuk melihat cinta secara
lebih realistis dan menghindari glorifikasi berlebihan terhadap pengalaman
cinta. Kesadaran akan risiko-risiko ini penting untuk membangun konsep cinta
yang lebih sehat dan etis.
12.7.
Upaya Sintesis: Antara Cinta Ideal
dan Kritik-Kritiknya
Meskipun berbagai kritik terhadap cinta memiliki
bobot filosofis yang signifikan, mereka juga membuka peluang untuk membangun konsep
cinta yang lebih matang dan reflektif. Kritik biologis mengingatkan kita
tentang fondasi natural cinta; kritik feminis memperingatkan bahaya relasi
dominatif; kritik eksistensialis menyoroti kebutuhan akan kebebasan; kritik
moral menekankan pentingnya keadilan; dan kritik sosial menyingkap struktur
kekuasaan yang membentuk pengalaman cinta.
Melalui dialog antara cinta ideal dan kritik-kritik
ini, kita dapat mengembangkan pemahaman cinta yang lebih realistis, humanistik,
dan etis.¹³
Footnotes
[1]
Simon May, Love: A History (New Haven: Yale
University Press, 2011), 210–223.
[2]
Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford:
Oxford University Press, 1976), 159–170.
[3]
Sigmund Freud, Three Essays on the Theory of
Sexuality, trans. James Strachey (New York: Basic Books, 2000), 78–85.
[4]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
H. M. Parshley (New York: Vintage, 1989), 646–653.
[5]
bell hooks, All About Love: New Visions (New
York: William Morrow, 2000), 87–102.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 472–483.
[7]
Ibid., 484–489.
[8]
Harry Frankfurt, The Reasons of Love
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 45–52.
[9]
Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love
Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 32–41.
[10]
Eva Illouz, Cold Intimacies: The Making of
Emotional Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2007), 21–34.
[11]
Michel Foucault, The History of Sexuality,
vol. 1, trans. Robert Hurley (New York: Pantheon, 1978), 81–89.
[12]
Judith Herman, Trauma and Recovery (New
York: Basic Books, 1992), 92–103.
[13]
Charles Taylor, Sources of the Self
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 478–485.
13.
Relevansi Kontemporer Filsafat Cinta
Relevansi filsafat cinta dalam konteks kontemporer
semakin menonjol seiring kompleksitas kehidupan modern yang ditandai oleh
perubahan teknologi, dinamika sosial, dan transformasi nilai-nilai budaya.
Cinta tidak lagi dapat dipahami hanya sebagai fenomena privat yang berlangsung
di ruang domestik; ia menjadi tema sentral dalam perdebatan etika, politik,
ekologi, dan teknologi.¹ Dengan demikian, filsafat cinta berfungsi sebagai
kerangka kritis untuk membaca ulang relasi manusia dalam masyarakat global saat
ini. Bagian ini menyoroti sejumlah isu kontemporer yang memperlihatkan
pentingnya refleksi filosofis tentang cinta.
13.1.
Cinta dalam Era Digital dan Media
Sosial
Teknologi digital telah mengubah pola interaksi
manusia secara radikal. Media sosial, aplikasi kencan, dan ruang digital lainnya
menciptakan bentuk-bentuk baru komunikasi dan kedekatan emosional.² Namun,
perubahan ini juga menimbulkan problem baru: cinta menjadi terfragmentasi,
performatif, dan terkurung dalam mekanisme algoritmik. Interaksi digital sering
kali memperkuat narsisisme, komodifikasi diri, dan konsumsi emosional yang
cepat.
Eva Illouz menyebut fenomena ini sebagai
“kapitalisme emosi,” di mana cinta tidak lagi sekadar pengalaman personal
tetapi bagian dari industri budaya yang mengatur cara manusia merasakan dan mengekspresikan
afeksi.³ Dalam perspektif ini, filsafat cinta berperan penting untuk
merefleksikan bagaimana teknologi mengubah pengalaman dan makna cinta di era
digital.
13.2.
Individualisme Modern dan Krisis
Relasional
Masyarakat modern ditandai oleh meningkatnya
individualisme refleksif, yang memprioritaskan otonomi dan pencapaian
personal.⁴ Meskipun individualisme memberikan kebebasan, ia juga menciptakan
krisis relasional: kesepian, isolasi, dan ketidakmampuan mempertahankan
hubungan jangka panjang. Anthony Giddens menegaskan bahwa hubungan cinta modern
ditandai oleh “pure relationship,” yaitu hubungan yang bertahan hanya selama
memberikan kepuasan emosional bagi masing-masing pihak.⁵
Model hubungan ini memperlemah stabilitas cinta dan
menciptakan kecenderungan untuk memutus hubungan dengan cepat saat tantangan
muncul. Filsafat cinta menawarkan kritik terhadap paradigma ini dengan
menekankan cinta sebagai komitmen, tanggung jawab, dan keterhubungan yang
mendalam.
13.3.
Krisis Empati dan Fragmentasi Sosial
Fenomena global seperti konflik politik, ujaran
kebencian, dan polarisasi ideologis menunjukkan menurunnya empati dalam
masyarakat.⁶ Cinta sebagai nilai yang menekankan empati, perhatian, dan
solidaritas menjadi penting sebagai basis etika sosial. Martha Nussbaum menyatakan
bahwa cinta dapat memperluas cakrawala moral seseorang, menghubungkan manusia
dengan penderitaan orang lain dalam kerangka yang lebih universal.⁷
Dalam konteks ini, filsafat cinta memiliki
relevansi politis dan etis: cinta dipahami sebagai landasan bagi demokrasi,
toleransi, dan perdamaian. Cinta tidak lagi terbatas pada relasi interpersonal,
tetapi menjadi komponen penting dalam etika publik.
13.4.
Cinta dan Teknologi: AI, Robotika,
dan Posthumanisme
Kemajuan Artificial Intelligence (AI) dan robotika
menantang pemahaman tradisional tentang cinta. Kini muncul fenomena hubungan
emosional antara manusia dan entitas non-manusia, seperti social robots
atau asisten virtual.⁸ Sebagian peneliti berargumen bahwa manusia dapat
mencintai entitas non-biologis karena hubungan cinta lebih ditentukan oleh
pengalaman subjektif daripada sifat ontologis pasangan. Namun, kritik lain
menilai bahwa fenomena ini berpotensi mengikis keaslian relasi manusia dan
menciptakan cinta yang semu.⁹
Dalam perspektif posthumanisme, batas antara
manusia dan mesin semakin kabur, sehingga memunculkan pertanyaan: apakah cinta
membutuhkan keberadaan dua subjek otonom, atau cukup dengan keterikatan
emosional yang dialami satu pihak? Filsafat cinta menawarkan kerangka reflektif
untuk mengevaluasi keaslian, etika, dan implikasi moral dari relasi
lintas-ontologi ini.¹⁰
13.5.
Cinta, Solidaritas Global, dan
Tantangan Kemanusiaan
Dalam dunia yang menghadapi berbagai krisis
global—perubahan iklim, ketidaksetaraan ekonomi, migrasi massal, dan konflik
geopolitik—cinta dapat dipahami sebagai landasan etika untuk solidaritas
global.¹¹ Cinta, dalam pengertian ini, bukan sekadar perasaan interpersonal,
tetapi sebagai prinsip moral yang mendorong tindakan kolektif demi kebaikan
bersama.
Konsep cinta universal yang menekankan compassion,
care, dan tanggung jawab moral terhadap sesama, memiliki implikasi
penting dalam kebijakan publik, etika lingkungan, dan diplomasi
internasional.¹² Filsafat cinta membantu mengarahkan perhatian dalam melihat
keterhubungan manusia sebagai satu komunitas moral yang saling bergantung.
13.6.
Cinta sebagai Kritik terhadap
Rasionalitas Instrumental Modern
Masyarakat modern cenderung digerakkan oleh
rasionalitas instrumental—cara berpikir yang menempatkan efisiensi, utilitas,
dan kalkulasi sebagai nilai utama.¹³ Dalam situasi ini, cinta dapat berfungsi
sebagai kritik terhadap dominasi rasionalitas teknokratis. Cinta mengingatkan
bahwa manusia bukan sekadar objek pengukuran atau sumber daya, tetapi subjek
bernilai dengan martabat yang tidak dapat direduksi.
Filsuf seperti Erich Fromm menegaskan bahwa cinta
adalah antidot terhadap alienasi modern; melalui cinta, manusia menemukan
kembali makna, kedekatan, dan keutuhan diri.¹⁴ Dengan demikian, filsafat cinta
memberikan alternatif humanistik yang menyeimbangkan kehidupan modern yang
terfragmentasi dan terinstrumentalisasi.
13.7.
Relevansi Cinta dalam Pendidikan dan
Pembentukan Karakter
Dalam konteks pendidikan, cinta dipandang sebagai
fondasi penting dalam pembentukan karakter dan identitas moral. Paulo Freire menekankan
bahwa pendidikan yang humanistik memerlukan cinta, karena cinta membuka ruang
dialog, empati, dan penghormatan terhadap martabat siswa.¹⁵
Pendidikan berorientasi cinta mempromosikan
aspek-aspek penting seperti kerja sama, solidaritas, dan tanggung jawab
sosial—nilai yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan kontemporer.
Dengan demikian, filsafat cinta memiliki relevansi transformatif bagi dunia
pendidikan.
Footnotes
[1]
Simon May, Love: A History (New Haven: Yale
University Press, 2011), 245–259.
[2]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 112–125.
[3]
Eva Illouz, Cold Intimacies: The Making of
Emotional Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2007), 43–58.
[4]
Zygmunt Bauman, Liquid Love: On the Frailty of
Human Bonds (Cambridge: Polity Press, 2003), 15–24.
[5]
Anthony Giddens, The Transformation of Intimacy
(Stanford: Stanford University Press, 1992), 57–65.
[6]
Martha C. Nussbaum, Political Emotions: Why Love
Matters for Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 12–19.
[7]
Ibid., 41–54.
[8]
Kate Darling, The New Breed: What Our History
with Animals Reveals About Our Future with Robots (New York: Macmillan,
2021), 178–186.
[9]
John Danaher, “Robotic Romantic Companions: A
Morality Play,” AI & Society 33 (2018): 175–186.
[10]
David J. Gunkel, Robot Rights (Cambridge,
MA: MIT Press, 2018), 211–224.
[11]
Pope Francis, Fratelli Tutti (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 2020), 25–32.
[12]
Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate
Life (New York: Anchor Books, 2011), 68–80.
[13]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 143–151.
[14]
Erich Fromm, The Art of Loving (New York:
Harper & Row, 1956), 102–113.
[15]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 1970), 89–97.
14.
Sintesis Filosofis: Menuju Teori Integral
tentang Cinta
Sintesis filosofis tentang cinta bertujuan
merangkum berbagai pendekatan—ontologis, epistemologis, aksiologis, fenomenologis,
hermeneutis, psikologis, biologis, dan kultural—dalam satu kerangka teoretis
yang komprehensif. Mengingat cinta merupakan fenomena multidimensional yang
melampaui batas disiplin, teori integral tentang cinta harus mampu
menggabungkan elemen rasional, emosional, spiritual, moral, dan sosial secara
seimbang.¹ Sintesis ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan keberagaman
pandangan, tetapi untuk menyediakan pemahaman holistik yang membuka ruang
dialog antartradisi dan antardisiplin.
14.1.
Integrasi Dimensi Ontologis dan
Fenomenologis
Pendekatan ontologis menyoroti hakikat cinta
sebagai relasi, proses, atau kualitas eksistensial, sedangkan fenomenologi
menekankan pengalaman cinta sebagaimana ia hadir dalam kesadaran. Sintesis
antara keduanya menunjukkan bahwa cinta memiliki struktur ontologis yang hanya
dapat dipahami melalui pengalaman konkrit subjek.²
Dalam kerangka integral, cinta dipahami sebagai modus-being
yang terwujud melalui pengalaman lived experience. Cinta tidak hanya “ada”
sebagai kategori metafisis, tetapi juga “diwujudkan” dalam tindakan, komitmen,
dan kesadaran manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ontologi dan fenomenologi
cinta saling melengkapi: struktur cinta ditemukan dalam pengalaman, dan
pengalaman cinta memperoleh maknanya dari struktur ontologis yang lebih dalam.³
14.2.
Integrasi Dimensi Epistemologis dan
Hermeneutis
Epistemologi cinta membahas cara manusia mengetahui
cinta, sementara hermeneutika menyoroti cara manusia menafsirkan cinta. Teori
integral melihat bahwa pengetahuan cinta tidak pernah netral; ia selalu
dibentuk oleh bahasa, narasi, dan tradisi kultural.⁴
Sintesis epistemologis-hermeneutis menegaskan bahwa
memahami cinta memerlukan penggabungan antara pengalaman langsung, refleksi
konseptual, dan interpretasi budaya. Dengan kata lain, cinta hanya dapat
dipahami secara utuh melalui dialog antara pengalaman batin subjek dan horizon
makna yang diwarisi dalam budaya tertentu.⁵
14.3.
Integrasi Dimensi Psikologi-Biologi
dan Filsafat Moral
Pendekatan biologis menjelaskan cinta sebagai
mekanisme neuroendokrin, sedangkan psikologi menyoroti dinamika emosi,
keterlekatan, dan perkembangan personal. Namun, aspek-aspek ini tidak dapat
sepenuhnya menjelaskan nilai moral cinta.⁶ Teori integral menggabungkan temuan
biologis dan psikologis dengan refleksi etis dan moral.
Cinta dipahami sebagai fenomena natural yang
memiliki dasar biologis, tetapi makna moral dan nilai-nilainya tidak dapat
direduksi pada proses biologis semata.¹⁰ Dengan demikian, cinta merupakan
fenomena multilevel: determinasi biologis memberi struktur dasar bagi cinta,
sedangkan refleksi moral dan nilai-nilai budaya memberi arah dan makna pada
cinta.
14.4.
Integrasi Dimensi Sosial-Budaya dan
Spiritual
Tradisi Timur, Nusantara, dan Islam menekankan
cinta sebagai prinsip kosmis dan spiritual, sedangkan teori sosial kontemporer
menyoroti cinta sebagai konstruksi budaya dan fenomena sosial. Teori integral
memandang kedua perspektif ini sebagai saling melengkapi: cinta merupakan
pengalaman spiritual yang sekaligus dibentuk oleh norma sosial dan konteks
budaya.⁸
Pendekatan integral menyadari bahwa cinta memiliki
fungsi kosmis dan moral yang universal—seperti welas asih (compassion),
solidaritas, dan humanitas—namun bentuk ekspresinya selalu dipengaruhi tradisi
dan struktur sosial yang spesifik. Dengan demikian, cinta bersifat universal
sekaligus partikular, abadi sekaligus historis.
14.5.
Cinta sebagai Prinsip Antropologis
Universal
Mengintegrasikan berbagai perspektif menghasilkan
gagasan bahwa cinta adalah prinsip antropologis universal yang menopang eksistensi
manusia. Banyak tradisi filsafat dan spiritualitas menggambarkan cinta sebagai
dasar relasionalitas manusia, sebagai gerak menuju kebaikan, dan sebagai syarat
keutuhan diri.⁹
Teori integral mengembangkan gagasan bahwa cinta
adalah fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi kehidupan manusia:
·
Ontologis, karena
cinta merupakan cara mengada yang membuka manusia pada keberadaan lain;
·
Epistemologis, karena
cinta memberi pengetahuan tentang nilai dan makna;
·
Aksiologis, karena
cinta menjadi dasar tindakan moral dan komitmen etis.¹⁰
Dengan demikian, cinta dapat dipahami sebagai
struktur dasar kemanusiaan yang mempersatukan berbagai aspek eksistensi
manusia.
14.6.
Cinta sebagai Kerangka Etis Global
Dalam dunia yang terfragmentasi oleh konflik, polarisasi,
dan krisis ekologis, filsafat cinta memberikan kerangka etis global yang
menekankan empati, solidaritas, dan tanggung jawab terhadap sesama.¹¹ Teori
integral menegaskan bahwa cinta bukan hanya relasi personal, tetapi juga
prinsip normatif yang relevan dalam konteks politik, sosial, dan lingkungan.
Kerangka etis global berbasis cinta mengajak
manusia untuk membangun relasi yang adil, merawat bumi, dan memperkuat
solidaritas antarbangsa. Pendekatan ini menekankan bahwa cinta adalah nilai
universal yang mampu mempertemukan rasionalitas dan spiritualitas, sains dan
etika, individualitas dan komunitas.
14.7.
Konfigurasi Teori Integral tentang
Cinta
Berbagai integrasi di atas dapat dirangkum dalam
empat prinsip utama teori integral tentang cinta:
1)
Relasionalitas Ontologis: cinta adalah relasi nyata yang menyatukan subjek tanpa menghapus
kebebasan masing-masing;
2)
Pengalaman Eksistensial: cinta hanya dapat dipahami melalui pengalaman intersubjektif yang
konkret;
3)
Interpretasi Kultural: cinta
memperoleh makna melalui narasi, simbol, dan tradisi budaya;
4)
Nilai Moral Universal: cinta
mengandung nilai transformatif yang menuntun manusia pada kebaikan dan
keadilan.¹²
Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa cinta adalah
fenomena multidimensional yang tidak dapat direduksi pada satu aspek semata.
14.8.
Menuju Paradigma Filsafat Cinta yang
Holistik
Sintesis filosofis ini membuka jalan bagi paradigma
baru yang memandang cinta sebagai kategori filosofis utama dalam memahami
manusia dan dunia. Cinta menjadi jembatan antara sains dan spiritualitas,
antara subjektivitas dan objektivitas, serta antara individu dan komunitas.¹³
Paradigma holistik ini menegaskan bahwa cinta bukan
sekadar tema etis atau afektif, tetapi konsep fundamental yang dapat membentuk
kerangka filosofis baru dalam menjawab tantangan humanitas kontemporer.
Footnotes
[1]
Ken Wilber, A Theory of Everything (Boston:
Shambhala, 2000), 73–81.
[2]
Max Scheler, The Nature of Sympathy, trans.
Peter Heath (London: Routledge, 1973), 158–164.
[3]
Dan Zahavi, Self and Other (Oxford: Oxford
University Press, 2014), 102–113.
[4]
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human
Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 145–156.
[5]
Charles Taylor, Human Agency and Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 37–46.
[6]
Helen Fisher, Why We Love (New York: Henry
Holt, 2004), 112–119.
[7]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 274–281.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 162–175.
[9]
Erich Fromm, The Art of Loving (New York:
Harper & Row, 1956), 23–31.
[10]
Harry Frankfurt, The Reasons of Love
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 28–34.
[11]
Karen Armstrong, Twelve Steps to a Compassionate
Life (New York: Anchor Books, 2011), 68–75.
[12]
Simon May, Love: A History (New Haven: Yale
University Press, 2011), 289–297.
[13]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 145–158.
15.
Kesimpulan
Kajian filosofis mengenai cinta memperlihatkan
bahwa cinta merupakan fenomena multidimensional yang tidak dapat direduksi pada
satu perspektif tunggal. Seluruh pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya
menunjukkan bahwa cinta mencakup aspek ontologis, epistemologis, aksiologis,
fenomenologis, hermeneutis, psikologis, biologis, spiritual, dan sosial.¹
Pendekatan filosofis terhadap cinta dengan demikian menegaskan bahwa cinta
tidak hanya merupakan pengalaman afektif, melainkan struktur eksistensial yang
membentuk cara manusia memahami diri, orang lain, dan dunia. Filosofi cinta,
sebagai disiplin yang lintas-bidang, menghubungkan refleksi metafisis tentang
hakikat cinta dengan analisis kritis mengenai implikasi moral dan sosialnya.
Pertama, studi tentang ontologi cinta menunjukkan
bahwa cinta merupakan modus keberadaan yang bersifat relasional dan
transformatif. Cinta hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan antarsubjek,
yang membuka kemungkinan bagi pengalaman kehadiran, pengakuan, dan keterikatan
eksistensial.² Perspektif ini menggarisbawahi bahwa cinta adalah realitas yang
berakar pada struktur terdalam manusia sebagai makhluk relasional.
Kedua, kajian epistemologis memperlihatkan bahwa
cinta diketahui melalui pengalaman fenomenal, refleksi konseptual, dan
interpretasi kultural. Cinta memberikan bentuk tertentu kepada pengetahuan
manusia, khususnya pengetahuan tentang nilai, makna, dan identitas moral.³
Dalam hal ini, cinta berfungsi sebagai medium epistemik yang memperluas horizon
pemahaman manusia.
Ketiga, dalam ranah aksiologi, cinta terbukti
memiliki nilai moral yang signifikan: ia menjadi dasar bagi tindakan etis,
perawatan, solidaritas, dan komitmen. Namun cinta juga dapat menimbulkan dilema
moral ketika bertentangan dengan prinsip keadilan atau rasionalitas universal.⁴
Dengan demikian, cinta memiliki dimensi normatif yang ambivalen dan membutuhkan
kebijaksanaan untuk memandu ekspresinya.
Keempat, perspektif fenomenologis dan hermeneutis
menegaskan bahwa cinta hadir dalam pengalaman lived experience dan
diinterpretasikan melalui bahasa, simbol, serta narasi budaya. Perbedaan tafsir
cinta antara budaya menunjukkan bahwa cinta memiliki dimensi historis dan
kultural yang kaya, sekaligus membuka ruang dialog antarsistem makna.⁵
Kelima, temuan psikologi dan biologi memberikan
pemahaman empiris mengenai mekanisme cinta, namun filsafat menegaskan bahwa
aspek naturalistik tersebut tidak cukup untuk menjelaskan makna moral dan
eksistensial cinta.⁶ Oleh karena itu, pendekatan integral yang menggabungkan
sains dan filsafat memberikan pemahaman yang lebih memadai.
Keenam, tradisi filsafat Islam, Timur, dan
Nusantara memperluas cakrawala cinta sebagai prinsip kosmis, etika welas asih,
dan harmoni sosial. Tradisi-tradisi ini menunjukkan bahwa cinta tidak hanya
bersifat individual, tetapi juga komunal dan transenden.⁷ Perspektif ini memperkaya
pemahaman global tentang cinta sebagai kekuatan spiritual dan etis.
Ketujuh, kritik-kritik terhadap cinta—baik dari
eksistensialisme, feminisme, teori kritis, maupun reduksionisme
biologis—menghasilkan kesadaran bahwa cinta dapat menjadi sumber pembebasan
sekaligus potensi penindasan.⁸ Kritik-kritik ini penting untuk membangun konsep
cinta yang lebih reflektif, sehat, dan etis.
Akhirnya, keseluruhan pembahasan menghasilkan
sintesis filosofis bahwa cinta adalah kategori fundamental dalam memahami eksistensi
manusia. Cinta merupakan:
1)
dasar relasionalitas manusia,
2)
medium epistemik bagi pengetahuan nilai,
3)
sumber moralitas dan solidaritas,
4)
prinsip kosmis dalam berbagai tradisi spiritual, dan
5)
kerangka etis yang relevan untuk menjawab tantangan modernitas.⁹
Cinta, sebagai fenomena kompleks, menuntut
pendekatan multidisipliner. Filsafat cinta berperan penting dalam merekatkan
berbagai pendekatan tersebut, sekaligus membuka ruang bagi pengembangan teori
cinta yang lebih holistik, humanistik, dan kontekstual.
Footnotes
[1]
Simon May, Love: A History (New Haven: Yale
University Press, 2011), 287–298.
[2]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Scribner, 1970), 63–77.
[3]
Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
45–61.
[4]
Harry Frankfurt, The Reasons of Love
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 38–47.
[5]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 106–118.
[6]
Helen Fisher, Why We Love: The Nature and
Chemistry of Romantic Love (New York: Henry Holt, 2004), 112–119.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 162–175.
[8]
Eva Illouz, Cold Intimacies: The Making of
Emotional Capitalism (Cambridge: Polity Press, 2007), 21–34.
[9]
Ken Wilber, A Theory of Everything (Boston:
Shambhala, 2000), 73–81.
Daftar Pustaka
Al-Fārābī.
(1986). Risālah fī al-‘Aql (M. Bouyges, Ed.). Imprimerie
Catholique.
Al-Ghazālī, A. H.
(2001). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Vol. 4). al-Maktabah
al-Tawfīqiyyah.
Aristotle.
(1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Aristotle.
(1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.
Armstrong, K.
(2011). Twelve steps to a compassionate life. Anchor Books.
Attar, F. al-D.
(1905). Tadhkirat al-Awliyā’ (R. A. Nicholson, Ed.). E. J.
W. Gibb Memorial.
Augustine.
(1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University
Press.
Barthes, R.
(1978). A lover’s discourse: Fragments (R. Howard, Trans.).
Hill and Wang.
Bartels, A., &
Zeki, S. (2000). The neural basis of romantic love. NeuroReport,
11(17), 3829–3834.
Bauman, Z.
(2003). Liquid love: On the frailty of human bonds. Polity
Press.
Beauvoir, S. de.
(1989). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage.
Bentham, J.
(1907). An introduction to the principles of morals and legislation.
Clarendon Press.
Bodhi, B.
(1984). The noble eightfold path. Buddhist Publication
Society.
Bowlby, J.
(1969). Attachment and loss (Vol. 1). Basic Books.
Buber, M.
(1970). I and Thou (W. Kaufmann, Trans.). Scribner.
Carter, C. S.
(2014). Oxytocin pathways and the evolution of human behavior. Annual
Review of Psychology, 65, 17–39.
Chittick, W. C.
(1983). The Sufi path of love: The spiritual teachings of Rumi.
SUNY Press.
Chittick, W. C.
(2013). Divine love: Islamic literature and the path to God.
Yale University Press.
Confucius.
(1979). The analects (D. C. Lau, Trans.). Penguin.
Danaher, J.
(2018). Robotic romantic companions: A morality play. AI
& Society, 33, 175–186.
Darling, K.
(2021). The new breed: What our history with animals reveals about our
future with robots. Macmillan.
Dawkins, R.
(1976). The selfish gene. Oxford University Press.
Fisher, H.
(2004). Why we love: The nature and chemistry of romantic love.
Henry Holt.
Foucault, M.
(1978). The history of sexuality (Vol. 1, R. Hurley,
Trans.). Pantheon.
Freire, P.
(1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
Freud, S.
(1961). Beyond the pleasure principle (J. Strachey, Trans.).
Norton.
Freud, S.
(2000). Three essays on the theory of sexuality (J.
Strachey, Trans.). Basic Books.
Frankfurt, H.
(1997). Equality and respect. Social Research, 64(1),
12–18.
Frankfurt, H.
(2004). The reasons of love. Princeton University Press.
Fromm, E.
(1956). The art of loving. Harper & Row.
Gadamer, H.-G.
(2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. Marshall,
Trans.). Continuum.
Geriya, I. W.
(2008). Tri Hita Karana: Konsep, implementasi, dan perkembangannya.
LPPM UNUD.
Giddens, A.
(1992). The transformation of intimacy. Stanford University
Press.
Gilligan, C.
(1982). In a different voice. Harvard University Press.
Gunkel, D. J.
(2018). Robot rights. MIT Press.
Hanh, T. N.
(1998). The heart of the Buddha's teaching. Broadway Books.
Habermas, J.
(1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon
Press.
Heidegger, M.
(1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). Harper & Row.
Herman, J.
(1992). Trauma and recovery. Basic Books.
Hoff, B.
(1982). The Tao of Pooh. Dutton.
hooks, b.
(2000). All about love: New visions. William Morrow.
Hoff, B.
(1982). The Tao of Pooh. Dutton.
Husserl, E.
(1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a
phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.
Illouz, E.
(1997). Consuming the romantic utopia: Love and the cultural
contradictions of capitalism. University of California Press.
Illouz, E.
(2007). Cold intimacies: The making of emotional capitalism.
Polity Press.
Ibn ‘Arabi.
(1980). The bezels of wisdom (R. W. J. Austin, Trans.).
Paulist Press.
Ibn Sīnā.
(1957). al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (S. Dunyā, Ed.). Dār
al-Ma‘ārif.
Koentjaraningrat.
(1994). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka.
Lacan, J.
(1981). The four fundamental concepts of psychoanalysis (A.
Sheridan, Trans.). W. W. Norton.
Lakoff, G., &
Johnson, M. (1980). Metaphors we live by.
University of Chicago Press.
Langer, S. K.
(1953). Feeling and form. Charles Scribner’s Sons.
Laozi.
(1988). Tao Te Ching (S. Mitchell, Trans.). Harper &
Row.
Lewis, C. S.
(1960). The four loves. Geoffrey Bles.
Long, J. D.
(2007). A vision for Hinduism: Beyond Hindu nationalism.
I.B. Tauris.
Magnis-Suseno, F.
(1997). Etika Jawa. Gramedia.
Marcel, G.
(1950). The mystery of being (Vol. 1). Henry Regnery.
Marcel, G.
(1964). Creative fidelity. Fordham University Press.
May, S.
(2011). Love: A history. Yale University Press.
Merleau-Ponty, M.
(1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.).
Routledge.
Mitchell, S.
(Trans.). (1988). Tao Te Ching.
Mulder, N.
(1998). Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Kanisius.
Nagel, T.
(1974). What is it like to be a bat? The Philosophical
Review, 83(4), 435–450.
Nasr, S. H.
(1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man.
Allen & Unwin.
Nasr, S. H.
(1989). Knowledge and the sacred. SUNY Press.
Noddings, N.
(1984). Caring: A feminine approach to ethics and moral education.
University of California Press.
Nussbaum, M. C.
(2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions.
Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C.
(2013). Political emotions: Why love matters for justice.
Harvard University Press.
Palmer, R. E.
(1969). Hermeneutics. Northwestern University Press.
Plotinus.
(1984). The Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Harvard
University Press.
Plato.
(1989). Symposium (A. Nehamas & P. Woodruff, Trans.).
Hackett.
Pope Francis.
(2020). Fratelli Tutti. Libreria Editrice Vaticana.
Qushayrī, al-.
(1966). al-Risālah al-Qushayriyyah (‘A. H. Maḥmūd, Ed.). Dār
al-Ma‘ārif.
Rahman, F.
(1980). Major themes of the Qur’an. Bibliotheca Islamica.
Ricoeur, P.
(1981). Hermeneutics and the human sciences. Cambridge
University Press.
Ricoeur, P.
(1984). Time and narrative (Vol. 1). University of Chicago
Press.
Ricoeur, P.
(1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University
of Chicago Press.
Rūmī, J. al-D.
(1925). Mathnawī (R. A. Nicholson, Trans.). Gibb Memorial
Trust.
Salzberg, S.
(1995). Lovingkindness. Shambhala.
Sandel, M.
(2013). Discussion of emotions in politics. (Cited in relation to
Nussbaum).
Sartre, J.-P.
(1993). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.).
Washington Square Press.
Scheler, M.
(1973). The nature of sympathy (P. Heath, Trans.).
Routledge.
Scheler, M.
(1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values.
Northwestern University Press.
Schimmel, A.
(1975). Mystical dimensions of Islam. University of North
Carolina Press.
Schimmel, A.
(1993). The triumphal sun. SUNY Press.
Schopenhauer, A.
(1965). On the basis of morality (E. F. J. Payne, Trans.).
Bobbs-Merrill.
Schopenhauer, A.
(1969). The world as will and representation (E. F. J.
Payne, Trans.). Dover.
Seneca.
(1969). Letters from a stoic (R. Campbell, Trans.). Penguin.
Singer, I.
(1984). The nature of love (Vol. 1–2). MIT Press.
Steinbock, A. J.
(1999). Affection and the problem of love in phenomenology. Continental
Philosophy Review, 32(2), 159–172.
Sternberg, R. J.
(1986). A triangular theory of love. Psychological Review,
93(2), 119–135.
Stocker, M.
(1976). The schizophrenia of modern ethical theories. The
Journal of Philosophy, 73(14), 453–466.
Taylor, C.
(1985). Human agency and language. Cambridge University
Press.
Taylor, C.
(1989). Sources of the self. Harvard University Press.
Thiselton, A. C.
(1980). The two horizons. Eerdmans.
Turkle, S.
(2011). Alone together. Basic Books.
Tu, W.
(1989). Centrality and commonality. SUNY Press.
Vivekananda, S.
(1960). Bhakti yoga. Advaita Ashrama.
Weiming, T.
(1989). Centrality and commonality. SUNY Press.
Whitehead, A. N.
(1978). Process and reality. Free Press.
Wilber, K.
(2000). A theory of everything. Shambhala.
Zahavi, D.
(2018). Phenomenology: The basics. Routledge.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar