Senin, 17 November 2025

Naskah Klasik: Analisis Historis, Filologis, dan Filosofis terhadap Tradisi Intelektual Islam Klasik

Naskah Klasik

Analisis Historis, Filologis, dan Filosofis terhadap Tradisi Intelektual Islam Klasik


Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tradisi naskah klasik filsafat Islam melalui pendekatan historis, filologis, ontologis, epistemologis, teosofis, dan etis. Penelitian ini menelusuri akar genealogis perkembangan filsafat Islam, mulai dari proses penerjemahan dan asimilasi warisan intelektual Yunani hingga pembentukan tradisi komentar, syarḥ, dan ḥāsyiyah yang menjadi fondasi transmisi ilmu di dunia Islam. Pembahasan mencakup analisis kodikologi dan filologi untuk memahami konteks material dan intelektual naskah, klasifikasi tematik yang memperlihatkan keluasan disiplin filosofis, serta kajian mendalam mengenai struktur ontologi, epistemologi, etika, politik, dan humanisme filosofis. Selain itu, artikel ini menyoroti dimensi mistis dan teosofis yang mengintegrasikan rasionalitas dengan pengalaman intuitif, serta menggambarkan dinamika perdebatan antara filsafat dan teologi dalam pembentukan aliran-aliran pemikiran utama. Pada bagian akhir, artikel ini mengkaji relevansi kontemporer naskah filsafat Islam, termasuk kontribusinya terhadap epistemologi modern, etika teknologi, dialog antarperadaban, dan pembaruan pendidikan. Melalui pendekatan sintesis, artikel ini menunjukkan bahwa filsafat Islam merupakan tradisi intelektual terbuka dan dinamis, yang memiliki potensi besar untuk memberikan wawasan filosofis bagi persoalan-persoalan global masa kini.

Kata Kunci: Filsafat Islam, naskah klasik, kodikologi, filologi, ontologi, epistemologi, hikmah, teologi, mistisisme, syarḥ, relevansi kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Naskah Klasik Filsafat Islam


1.          Pendahuluan

Kajian terhadap naskah-naskah klasik filsafat Islam merupakan salah satu pilar penting dalam memahami bagaimana tradisi intelektual Islam berkembang, bertransformasi, dan diwariskan sepanjang berabad-abad. Naskah-naskah tersebut bukan sekadar artefak historis, melainkan representasi konkret dari proses kreatif para filsuf Muslim dalam merespons persoalan metafisika, epistemologi, etika, politik, dan kosmologi yang muncul dalam konteks peradaban Islam maupun sebagai hasil dialog intelektual dengan tradisi Yunani, Persia, dan India. Manuskrip-manuskrip ini menghadirkan dinamika pemikiran yang sangat kaya, baik dalam bentuk karya asli, komentar (syarḥ), ringkasan (mukhtaṣar), catatan pinggir (ḥāsyiyah), maupun super-komentar (‘taʿlīq), yang mencerminkan kedalaman dan keluasan dunia intelektual Islam klasik.¹

Kajian akademik terhadap naskah klasik filsafat Islam tidak hanya berfungsi untuk memetakan gagasan-gagasan besar yang pernah diutarakan oleh para pemikir seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rushd, Suhrawardī, atau Mullā Ṣadrā, tetapi juga untuk menelaah bagaimana gagasan tersebut diformulasikan, diperdebatkan, dan diteruskan melalui berbagai tradisi literasi manuskrip.² Proses transmisi intelektual melalui penyalinan, pengajaran, dan komentar memperlihatkan bahwa filsafat Islam bukan sekadar kumpulan teori statis, melainkan sebuah tradisi hidup yang berkembang melalui interaksi antar-generasi, antar-disiplin, dan antar-wilayah peradaban. Melalui tradisi manuskrip inilah kompleksitas, keberagaman, dan kehalusan argumen filosofis Islam dapat diakses dan dipahami secara utuh.

Dalam konteks metodologis, kajian naskah klasik filsafat Islam membutuhkan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filologi, kodikologi, hermeneutika, dan studi sejarah intelektual. Filologi memberikan perangkat untuk memahami struktur teks, varian bacaan, dan konteks penyusunan naskah; kodikologi membantu dalam menganalisis aspek material manuskrip seperti jenis kertas, tinta, iluminasi, dan teknik penjilidan; sementara hermeneutika membuka ruang interpretasi filosofis yang kritis terhadap makna, intensi, dan horizon pemahaman pengarang maupun komentator.³ Pendekatan ini memungkinkan kajian yang tidak hanya deskriptif, tetapi juga analitis, sehingga naskah dipahami bukan sebagai dokumen pasif, melainkan sebagai jejak pemikiran yang hidup dan selalu terbuka untuk pembacaan baru.

Permasalahan inti dalam kajian naskah klasik filsafat Islam dapat dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan mendasar: Bagaimana karakter epistemologis dan ontologis yang terkandung dalam manuskrip-manuskrip tersebut? Sejauh mana tradisi komentar memengaruhi bentuk dan arah perkembangan filsafat Islam? Sampai di mana relevansi pemikiran klasik tersebut bagi isu-isu kontemporer, seperti etika teknologi, filsafat politik modern, dan epistemologi kritis? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa kajian naskah klasik tidak berdiri pada masa lampau semata, tetapi memberikan fondasi bagi pengembangan pemikiran modern dan kontemporer.⁴

Tujuan dari studi ini adalah untuk menelaah secara sistematis berbagai dimensi naskah klasik filsafat Islam, mulai dari konteks historis kemunculannya, struktur teksnya, orientasi tematiknya, hingga implikasi filosofisnya. Dengan menggali hubungan antara gagasan dan bentuk teks, kajian ini berharap dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana filsafat Islam terbentuk sebagai sebuah tradisi pengetahuan yang rasional, reflektif, dan dialogis. Selain itu, kajian ini berupaya menunjukkan relevansi praktis dan teoretis naskah-naskah tersebut bagi pengembangan ilmu pengetahuan di era modern, terutama dalam menghadapi problem-problem etis, epistemologis, dan metafisis yang muncul dalam masyarakat kontemporer.⁵

Akhirnya, penting untuk menekankan bahwa kajian naskah klasik filsafat Islam juga berfungsi sebagai upaya pelestarian warisan intelektual dunia Islam. Proses digitalisasi, penyuntingan ilmiah, dan penerjemahan manuskrip menjadi bagian integral dari usaha global untuk menjaga keberlanjutan dan keterbacaan tradisi intelektual tersebut. Dengan demikian, kajian naskah bukan hanya kegiatan akademis, tetapi juga bentuk kontribusi terhadap pemeliharaan khazanah pemikiran universal.⁶


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 12–15.

[2]                Peter Adamson, Philosophy in the Islamic World (Oxford: Oxford University Press, 2016), 45–50.

[3]                Wadad Kadi dan Victor B. F. Houben, “The Manuscript Tradition in Islamic Civilization,” dalam The Encyclopaedia of Islam, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2014), 300–305.

[4]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 90–104.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 200–220.

[6]                Geoffrey Roper, “The Digital Islamic Manuscripts Library,” Manuscripts of the Middle East 15 (2012): 5–12.


2.          Landasan Historis dan Genealogis Naskah Filsafat Islam

Kajian historis dan genealogis terhadap naskah-naskah filsafat Islam menyingkap perjalanan panjang tradisi intelektual yang melewati berbagai fase: penerjemahan, asimilasi, elaborasi kreatif, perdebatan teologis, hingga pengembangan hikmah dan sintesis metafisik pada periode pasca-klasik. Manuskrip-manuskrip yang bertahan hingga hari ini merupakan jejak konkret dari dinamika intelektual yang berlangsung selama lebih dari seribu tahun. Mereka tidak hanya mencerminkan transmisi teks, tetapi juga perpindahan gagasan, transformasi metodologis, dan pergulatan epistemologis yang mencirikan filsafat Islam sebagai sebuah tradisi.¹

2.1.       Perkembangan pada Abad Keemasan Islam

Perkembangan naskah filsafat Islam mencapai momentum penting pada masa Abbasiyah, khususnya abad ke-9 hingga ke-12, ketika pusat-pusat ilmu seperti Baghdad, Basrah, Kufah, dan kemudian Kairo dan Cordoba menjadi tempat berkembangnya proyek-proyek intelektual besar. Proses penerjemahan teks-teks Yunani, terutama melalui Bayt al-Ḥikmah, menghasilkan perpindahan besar-besaran karya Aristoteles, Plato, Plotinus, Galen, dan para komentator Helenistik ke dalam bahasa Arab.²

Filsuf Muslim awal seperti al-Kindī menulis karya-karya filsafat dengan gaya yang memadukan warisan Hellenistik dan realitas intelektual Islam, membuka jalan bagi generasi berikutnya.³ Tradisi manuskrip pada masa ini tidak hanya menyimpan hasil penerjemahan, tetapi juga komentar-komentar awal yang menunjukkan bagaimana gagasan asing tersebut dipahami, diadaptasi, dan dinilai kembali.

2.2.       Pusat-Pusat Produksi Manuskrip

Seiring berkembangnya dunia Islam, wilayah-wilayah seperti Damaskus, Nishapur, Bukhara, Isfahan, Maragha, Andalusia, dan kemudian Istanbul menjadi pusat utama produksi manuskrip. Setiap wilayah menyumbangkan corak intelektual yang khas:

·                     Baghdad sebagai pusat rasionalisme Aristotelian dan perkembangan logika,

·                     Kairo sebagai pusat filsafat Ismaili dan kemudian kajian Avicennian,

·                     Andalusia sebagai tempat pengembangan kritik terhadap Avicennianisme dan pembelaan rasionalisme oleh Ibn Rushd,

·                     Persia dan wilayah Timur sebagai tempat berkembangnya iluminasi (Isyrāq) Suhrawardī dan metafisika transenden (al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah) Mullā Ṣadrā.⁴

Karakteristik masing-masing wilayah tercermin dalam gaya penyalinan, sistematika teks, serta preferensi karya-karya tertentu dalam tradisi pengajaran setempat.

2.3.       Tradisi Penerjemahan, Adaptasi, dan Dialog Intelektual

Fondasi genealogis naskah filsafat Islam terletak pada integrasi kreatif antara pemikiran Yunani dan kebutuhan intelektual Islam. Para penerjemah seperti Ḥunayn ibn Isḥāq dan murid-muridnya memainkan peran sentral dalam mentransfer konsep-konsep logika, metafisika, dan etika ke dalam bahasa Arab.⁵

Namun, proses penerjemahan bukanlah mekanisme transmisi pasif. Para filsuf Muslim mengajukan kritik, koreksi, dan reinterpretasi substantif terhadap teks-teks tersebut. Ibn Sīnā, misalnya, membangun sistem filsafatnya sendiri yang berbeda dari Aristotelianisme murni, sementara al-Fārābī mengembangkan teori logika yang lebih sistematis dan argumentatif dibandingkan model Yunani.⁶ Relasi kreatif ini menjadi cikal bakal kemunculan naskah-naskah orisinal sekaligus komentar-komentar kritis yang memperkaya tradisi manuskrip.

2.4.       Evolusi Tradisi Syarḥ, Ḥāsyiyah, dan Mukhtaṣar

Genealogi naskah filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi syarḥ (komentar) dan ḥāsyiyah (catatan pinggir), yang menjadi ciri khas pendidikan intelektual Islam selama berabad-abad. Ketika sebuah karya klasik, seperti al-Shifā’, Ishārāt wa al-Tanbīhāt, atau Tahāfut al-Falāsifah, dipelajari oleh generasi baru, ia menghadirkan kebutuhan untuk diberi komentar, penjelasan, atau koreksi.⁷

Teks komentar ini kemudian melahirkan super-komentar (‘taʿlīq) dan ringkasan sistematis (mukhtaṣar) yang memudahkan pembelajaran. Tradisi ini membuat naskah filsafat Islam berkembang secara vertikal (melalui generasi penafsir) dan horizontal (melalui diversifikasi disiplin: logika, teologi, tasawuf, politik), menciptakan jaringan intelektual yang kompleks.

2.5.       Figur-Figur Sentral dan Pengaruhnya terhadap Manuskrip

Genealogi naskah filsafat Islam tidak hanya bersifat regional atau tematik, tetapi juga personal. Para tokoh besar menciptakan garis keturunan intelektual yang memengaruhi bentuk dan struktur manuskrip.

·                     al-Kindī membuka jalan bagi integrasi filsafat ke dalam dunia Islam.

·                     al-Fārābī menyusun kerangka logika dan politik yang sistematis.

·                     Ibn Sīnā menghasilkan tradisi Avicennian yang mendominasi pendidikan selama berabad-abad.

·                     Ibn Rushd memberikan kritik terhadap Avicennianisme dan membangun rasionalisme filosofis.

·                     Suhrawardī memperkenalkan filsafat cahaya yang mengintegrasikan rasionalisme dan intuisi.

·                     Mullā Ṣadrā mengembangkan sintesis metafisik yang menjadi puncak evolusi pemikiran filsafat Islam pasca-klasik.⁸

Manuskrip-manuskrip yang memuat karya mereka beserta komentar para pengikutnya menjadi fondasi tradisi intelektual hingga ke era modern, ketika proses digitalisasi dan penyuntingan kritis mulai dilakukan.


Footnotes

[1]                Hossein Ziai, “Source and Nature of the Islamic Philosophical Tradition,” Journal of Islamic Studies 4, no. 2 (1993): 123–145.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 39–58.

[3]                Peter Adamson, Al-Kindī (New York: Oxford University Press, 2007), 10–18.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 90–145.

[5]                Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, 20–35.

[6]                Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s Early Works (Leiden: Brill, 2006), 5–12.

[7]                Khaled El-Rouayheb, Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 40–65.

[8]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 1–25.


3.          Kodikologi dan Filologi Naskah Filsafat Islam

Kajian kodikologi dan filologi terhadap naskah filsafat Islam memberikan fondasi metodologis yang sangat penting dalam memahami konteks, struktur, dan transmisi intelektual yang terkandung dalam manuskrip-manuskrip klasik. Disiplin ini memungkinkan peneliti menelusuri asal-usul teks, mengetahui perbedaan versi, memetakan jaringan transmisi, serta mengungkap dinamika pemikiran filosofis yang berkembang lintas ruang dan waktu di dunia Islam. Kodikologi menekankan aspek material dan budaya penyalinan manuskrip, sementara filologi menekankan analisis kritis terhadap teks itu sendiri untuk menghasilkan versi yang paling mendekati bentuk asli atau paling dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.¹

3.1.       Karakteristik Material Manuskrip

Aspek material adalah unsur pertama yang menjadi objek perhatian dalam kodikologi. Naskah filsafat Islam ditulis pada berbagai media, terutama kertas (waraq) setelah abad ke-9, menggantikan papirus dan perkamen. Jenis kertas—serta watermark, ketebalan, tekstur, dan warna—memberikan petunjuk mengenai asal geografis dan masa penyalinan naskah.² Selain itu, elemen seperti tinta, pola iluminasi, kaligrafi (naskh, thuluth, maghribī, atau nastaʿlīq), dan gaya penjilidan membantu mengidentifikasi pusat produksi manuskrip serta jaringan keilmuan yang terkait dengan filsafat pada masa tersebut. Kualitas penyalinan, keseragaman huruf, dan keberadaan marginalia juga menjadi indikator keterlibatan penyalin profesional maupun komunitas madrasah tertentu.³

3.2.       Struktur Teks: Muqaddimah, Bab, dan Penutup

Struktur tekstual naskah filsafat Islam umumnya memiliki pola tripartit:

1)                  Muqaddimah, yang berisi tujuan penyusunan, metode, dan ruang lingkup pembahasan,

2)                  Isi Teks, yang disusun dalam bab (abwāb), fasal, dan subbagian, serta

3)                  Penutup, yang memuat ringkasan atau penegasan kesimpulan.

Banyak teks filsafat, seperti karya Ibn Sīnā atau al-Fārābī, disusun secara sistematis dan logis, mencerminkan struktur kurikulum filsafat yang berkembang di dunia Islam. Pola struktur semacam ini memengaruhi cara para komentator kemudian mengembangkan syarḥ atau ḥāsyiyah, sehingga struktur teks asli berperan penting dalam pola tradisi intelektual selanjutnya.⁴

3.3.       Metode Filologi dalam Studi Filsafat Islam

Metode filologi digunakan untuk menghasilkan edisi yang paling dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan perbandingan berbagai manuskrip. Langkah utama yang dilakukan meliputi:

·                     Identifikasi manuskrip yang relevan,

·                     Kolasi untuk mencatat varian bacaan,

·                     Penyusunan stemma codicum untuk melacak hubungan genealogi antar-naskah,

·                     Rekonstruksi teks berdasarkan varian yang paling kuat, dan

·                     Penyusunan aparat kritik yang menunjukkan alasan pemilihan bacaan tertentu.⁵

Dalam konteks filsafat Islam, filologi menjadi semakin kompleks karena teks-teks filosofis sering mengalami pengembangan melalui komentar, ringkasan, atau catatan tambahan yang kadang bercampur dengan teks asli. Oleh karena itu, identifikasi yang tepat antara teks primer dan sekunder menjadi tantangan yang menuntut ketelitian tinggi.

3.4.       Varian Teks dan Problem Otoritas Manuskrip

Salah satu karakter utama manuskrip filsafat Islam adalah keberagaman varian teks yang terkadang signifikan. Naskah yang disalin di Persia, Andalusia, atau Mesir sering menampilkan perbedaan terminologi atau penyusunan kalimat yang mencerminkan tradisi lokal. Selain itu, komentar dan tambahan dari para penyalin atau pengajar sering masuk ke dalam tubuh teks, menciptakan lapisan interpretasi yang kompleks.⁶

Pertanyaan tentang otoritas manuskrip kemudian muncul: naskah mana yang dianggap paling mendekati teks orisinal? Terkadang, naskah yang lebih tua bukanlah yang paling otoritatif, karena pengarang atau murid-muridnya mungkin merevisi teks pada periode belakangan. Masalah ini terlihat, misalnya, dalam teks-teks Ibn Sīnā, Suhrawardī, dan Mullā Ṣadrā, di mana para penafsir memerlukan analisis mendalam untuk membedakan versi otentik dari interpretasi generasi kemudian.⁷

3.5.       Tantangan Pelestarian dan Digitalisasi Manuskrip

Pelestarian naskah filsafat menghadapi tantangan lingkungan, politik, dan institusional. Banyak manuskrip mengalami kerusakan akibat iklim tropis, kebakaran, konflik, atau penyimpanan yang tidak memadai. Upaya modern melalui digitalisasi oleh lembaga seperti al-Azhar, Bibliotheca Alexandrina, dan berbagai perpustakaan Eropa serta Timur Tengah menjadi solusi penting untuk mengamankan akses dan keberlanjutan naskah ini.⁸

Digitalisasi tidak hanya menjaga fisik naskah, tetapi juga memberikan kemungkinan baru dalam studi filologis: perbandingan multispektral, akses lintas negara, serta basis data manuskrip yang memudahkan analisis genealogis dan kolasional. Namun demikian, digitalisasi juga menghadirkan tantangan baru seperti standardisasi metadata, verifikasi katalog, dan perbedaan kualitas pemindaian.


Studi Kasus: Analisis Perbandingan Beberapa Manuskrip Penting

Analisis kodikologis dan filologis banyak dilakukan pada karya-karya besar seperti al-Shifā’ dan al-Ishārāt karya Ibn Sīnā, karya-karya politik al-Fārābī, atau teks-teks iluminasi (ḥikmat al-ishrāq) Suhrawardī. Misalnya, perbandingan antara manuskrip Ishārāt yang berasal dari Maragha, Istanbul, dan Qom menunjukkan variasi marginalia dan struktur subbab yang mencerminkan perbedaan tradisi pengajaran filsafat di masing-masing wilayah.⁹

Demikian pula, studi terhadap al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah karya Mullā Ṣadrā menunjukkan bahwa sebagian besar teks yang beredar merupakan hasil penggabungan dari berbagai versi yang disalin oleh murid-muridnya, sehingga rekonstruksi kritis menuntut kolasi mendalam terhadap banyak manuskrip.¹⁰ Studi-studi ini memperlihatkan bagaimana kodikologi dan filologi menjadi instrumen penting dalam membuka lapisan-lapisan perkembangan filsafat Islam.


Footnotes

[1]                François Déroche, Islamic Codicology: An Introduction to the Study of Manuscripts in Arabic Script (London: Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, 2006), 3–10.

[2]                Jonathan Bloom, Paper Before Print: The History and Impact of Paper in the Islamic World (New Haven: Yale University Press, 2001), 45–68.

[3]                Adam Gacek, Arabic Manuscripts: A Vademecum for Readers (Leiden: Brill, 2009), 12–25.

[4]                Dimitri Gutas, “The Study of Arabic Philosophy: Structure and Categories,” Journal of the History of Ideas 53, no. 4 (1992): 561–564.

[5]                R. Sellheim, “Philology,” dalam Encyclopaedia of Islam, ed. P. Bearman et al. (Leiden: Brill, 2012), 115–119.

[6]                Jan Just Witkam, Seven Codicological Essays (Leiden: Ter Lugt Press, 2005), 30–44.

[7]                Amos Bertolacci, “The Manuscript Tradition of Avicenna’s Philosophical Works,” Oriens 41, no. 3–4 (2013): 257–281.

[8]                Geoffrey Roper, “Islamic Manuscripts and Digitization Projects,” Manuscripts of the Middle East 17 (2014): 7–19.

[9]                Ayman Shihadeh, “Marginalia and the Transmission of Classical Islamic Philosophy,” Arabic Sciences and Philosophy 25, no. 2 (2015): 197–218.

[10]             Sajjad Rizvi, “Manuscript Traditions of Mullā Ṣadrā’s Works,” Journal of Islamic Manuscripts 1, no. 1 (2010): 47–62.


4.          Klasifikasi Tematik Naskah Filsafat Islam

Klasifikasi tematik naskah filsafat Islam merupakan langkah penting untuk memahami ruang lingkup, perkembangan, dan orientasi keilmuan para pemikir Muslim dari berbagai periode sejarah. Naskah-naskah klasik yang tersebar di perpustakaan dunia mencerminkan spektrum disiplin filosofis yang luas—mulai dari metafisika, logika, epistemologi, etika, politik, hingga psikologi rasional dan teosofi. Pengelompokan tematik ini bukan hanya membantu peneliti dalam membaca dan menafsirkan teks, tetapi juga menyingkap struktur kurikulum filsafat yang diwariskan dalam tradisi intelektual Islam.¹

Klasifikasi berikut mencerminkan kategori yang secara historis berkembang dalam korpus filsafat Islam, baik yang berasal dari karya-karya asli filsuf Muslim maupun teks terjemahan Yunani yang membentuk fondasi bagi diskusi filosofis pada periode klasik.

4.1.       Naskah Metafisika

Metafisika (al-ilāhiyyāt) merupakan jantung filsafat Islam. Di dalam tradisi ini, metafisika mencakup pembahasan tentang wujūd (eksistensi), mahiyyah (hakikat), sebab pertama (al-sabab al-awwal), dan hierarki keberadaan. Karya-karya seperti bagian Ilāhiyyāt dalam al-Shifā’ dan al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt karya Ibn Sīnā menjadi rujukan utama.²

Metafisika juga berkembang dalam bentuk-bentuk yang lebih spiritual dan teosofis, seperti Ḥikmat al-Ishrāq karya Suhrawardī dan al-Asfār al-Arba‘ah karya Mullā Ṣadrā, yang menampilkan integrasi antara ontologi, mistisisme, dan epistemologi intuitif.³

4.2.       Naskah Logika (Mantiq)

Logika mendapat kedudukan sentral sebagai alat (ālah) dalam seluruh disiplin filsafat Islam. Hampir semua filsuf Muslim menyusun karya logika dalam bentuk risalah tersendiri atau bagian dari ensiklopedia filsafat.

Kategori naskah logika biasanya mencakup:

·                     definisi dan konsep dasar,

·                     pembagian kata dan proposisi,

·                     bentuk-bentuk silogisme,

·                     metode demonstrasi (burhān), dialektika (jadal), retorika (khiṭābah), dan puisi (shi‘r).⁴

Teks-teks logika yang paling berpengaruh adalah Isāghūjī (terjemahan dari Isagoge Porphyry), Al-Qiyās dari Organon, serta karya-karya al-Fārābī dan Ibn Sīnā yang mengembangkan logika Aristotelian ke dalam bentuk kurikulum baru.

4.3.       Naskah Epistemologi

Epistemologi (naẓariyyat al-ma‘rifah) dalam filsafat Islam berkaitan dengan sumber, struktur, dan validitas pengetahuan. Naskah-naskah epistemologi mengulas hubungan antara akal (‘aql), intuisi (ḥads), pengalaman inderawi, dan wahyu.

Ibn Sīnā memberikan konseptualisasi sistematik mengenai pembentukan pengetahuan melalui abstraksi, sementara tradisi Isyrāq Suhrawardī menekankan peran iluminasi yang bersifat langsung dan non-diskursif.⁵

Karya-karya Mullā Ṣadrā memperlihatkan sintesis epistemologi melalui teori al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan hudhūrī), yaitu pengetahuan yang hadir tanpa perantara.

4.4.       Naskah Etika

Etika (ʿilm al-akhlāq) menempati posisi penting dalam tradisi filsafat Islam karena berkaitan dengan tujuan kehidupan manusia (sa‘ādah) dan kesempurnaan jiwa.

Naskah etika sering bersifat praktis dan sistematis, seperti:

·                     Tahdhīb al-Akhlāq karya Ibn Miskawayh,

·                     al-Siyāsah dan karya-karya politik-etis al-Fārābī, serta

·                     risalah etis dalam tradisi hikmah Persia dan sufistik.⁶

·                     Etika dalam filsafat Islam menggabungkan unsur rasional, spiritual, dan politis, mencerminkan pandangan bahwa kesempurnaan moral tidak terlepas dari kehidupan sosial dan kenegaraan.

4.5.       Naskah Filsafat Politik

Filsafat politik berkembang pesat dalam tradisi Islam, terutama melalui karya-karya al-Fārābī seperti al-Madīnah al-Fāḍilah, al-Siyāsāt al-Madanīyah, dan Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah.

Naskah-naskah ini mengembangkan teori negara ideal, kepemimpinan filosofis, struktur masyarakat, dan peran hukum.⁷

Tradisi politik ini memengaruhi banyak diskusi dalam naskah-naskah berikutnya, termasuk dalam tradisi Andalusia (Ibn Bājja, Ibn Ṭufayl, dan Ibn Rushd) yang menghubungkan politik dengan epistemologi dan pedagogi.

4.6.       Naskah Kosmologi

Kosmologi (al-‘ilm al-kawnī) membahas struktur alam semesta, hubungan antara dunia materi dan dunia ruh, serta pergerakan benda-benda langit. Kosmologi filsafat Islam sangat dipengaruhi oleh Neoplatonisme dan Aristotelianisme, terutama dalam gagasan emanasi (al-fayḍ) dan teori akal sepuluh.⁸

Naskah kosmologi sering berkaitan dengan metafisika dan psikologi rasional karena menjelaskan posisi manusia dalam struktur kosmik.

4.7.       Naskah Psikologi Rasional (ʿIlm al-Nafs)

Psikologi rasional merupakan salah satu cabang paling penting dalam naskah filsafat Islam. Bidang ini membahas hakikat jiwa, hubungan jiwa–tubuh, tingkatan kemampuan ruhani, fakultas kognitif, serta tujuan akhir kesempurnaan manusia.

Bagian ʿIlm al-Nafs dalam al-Shifā’ dan al-Najāt karya Ibn Sīnā menjadi rujukan utama dan melahirkan banyak komentar pada periode berikutnya.⁹

Diskusi tentang keabadian jiwa, gerak substansial, dan transformasi ruh kemudian berkembang dalam filsafat Illuminasionis dan Hikmah Muta‘āliyah.

4.8.       Naskah Hikmah Ilahiyah dan Teosofi

Kategori ini mencakup karya-karya yang mengintegrasikan filsafat rasional, intuisi spiritual, dan hermeneutika batiniah. Naskah-naskah dalam tradisi Isyrāq (Suhrawardī), hikmah transenden (Mullā Ṣadrā), serta teks-teks yang memadukan filsafat dengan tasawuf (Ibn ‘Arabī dan pengikutnya) memperlihatkan kecenderungan teosofis yang kuat.¹⁰

Karya-karya ini menegaskan bahwa filsafat Islam tidak hanya bergerak di ranah rasional-deduktif, tetapi juga spiritual-intuitif, menciptakan sintesis unik antara akal dan intuisi.

4.9.       Naskah Ensiklopedisme: Ikhwān al-Ṣafā’ dan Tradisi Kompilatif

Ensiklopedia Ikhwān al-Ṣafā’ merupakan salah satu karya paling berpengaruh dalam kategori ini. Teks ini mencakup matematika, logika, astronomi, zoologi, metafisika, etika, dan politik secara terpadu.

Karakter kompilatif dan ensiklopedis ini mencerminkan upaya menyatukan seluruh cabang pengetahuan dalam satu sistem filsafat universal. Model ini berpengaruh pada penyusunan karya-karya besar lainnya di dunia Islam, termasuk sikap eklektis yang mewarnai perkembangan hikmah Persia pada periode belakangan.¹¹


Tradisi Komentar, Ringkasan, dan Super-Kommentar

Sejumlah besar naskah filsafat Islam berbentuk komentar (syarḥ), ringkasan (mukhtaṣar), dan super-komentar (taʿlīq).

Jenis naskah ini sangat penting karena:

·                     menunjukkan penerimaan dan perkembangan pemikiran tertentu,

·                     mencerminkan kurikulum pengajaran filsafat,

·                     membantu memahami cara generasi baru menafsirkan karya klasik seperti al-Shifā’ atau Isagoge,

·                     menjadi media kritik dan pembaruan gagasan secara terus-menerus.¹²


Footnotes

[1]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 78–85.

[2]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 110–145.

[3]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 12–30.

[4]                Tony Street, “Arabic Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 247–265.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 1–20.

[6]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq, ed. Constantine Zurayk (Beirut: American University of Beirut Press, 1966), 5–8.

[7]                Al-Fārābī, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. al-Fārūqī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 1–15.

[8]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 2009), 60–75.

[9]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 100–115.

[10]             Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 34–48.

[11]             Carmela Baffioni, The Brethren of Purity: Epistles (Oxford: Oxford University Press, 2013), 20–33.

[12]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic (Leiden: Brill, 2010), 12–22.


5.          Analisis Ontologis dalam Naskah Filsafat Islam

Ontologi merupakan salah satu pilar utama dalam filsafat Islam karena membahas persoalan-persoalan fundamental mengenai hakikat keberadaan (wujūd), esensi (mahiyyah), struktur realitas, dan hubungan antara Tuhan, akal, serta alam semesta. Naskah-naskah filsafat Islam klasik memperlihatkan perkembangan pemikiran ontologis yang sangat kaya dan berlapis, mulai dari model Aristotelian–Neoplatonik yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab hingga sintesis metafisik yang lebih matang pada masa pasca-klasik. Analisis ontologis ini tidak hanya menunjukkan perkembangan internal filsafat Islam, tetapi juga mengungkap bagaimana para pemikir Muslim menegosiasikan warisan Yunani dengan konteks teologis dan epistemologis Islam.¹

5.1.       Konsep Wujūd dan Mahiyyah

Salah satu perdebatan paling mendasar dalam ontologi Islam adalah hubungan antara wujūd (eksistensi) dan mahiyyah (esensi). Dalam tradisi Avicennian, mahiyyah dipahami sebagai inti definisional sesuatu, sedangkan wujūd adalah keberadaannya yang faktual. Menurut Ibn Sīnā, esensi pada dirinya sendiri (fī nafsihā) bersifat kontingen: ia tidak niscaya ada atau tidak ada, sehingga keberadaan yang aktual memerlukan sebab.²

Konsep dualitas esensi-eksistensi ini memiliki implikasi mendalam dalam metafisika Islam:

·                     memisahkan antara apa sesuatu itu dan bahwa sesuatu itu ada,

·                     membentuk kerangka analisis terhadap kemungkinan (imkān), keniscayaan (wujūb), dan kemustahilan (istihālah),

·                     serta menjadi dasar argumen dalīl al-imkān, yaitu bukti keberadaan Tuhan sebagai Wājib al-Wujūd (yang keberadaannya niscaya).³

Pada masa pasca-klasik, Mullā Ṣadrā mengkritisi posisi Avicennian dengan menegaskan primasi eksistensi (aṣālat al-wujūd) dan subordinasi esensi. Bagi Ṣadrā, eksistensi bukan hanya realitas objektif tetapi juga memiliki gradasi intensional (tashkīk al-wujūd) yang menunjukkan hirarki keberadaan.⁴

5.2.       Hierarki Keberadaan

Ontologi Islam juga mengembangkan konsep tentang hirarki kosmik yang menunjukkan tingkat-tingkat realitas. Dalam sistem Neoplatonik yang diadopsi dan dimodifikasi oleh filsuf Muslim, emanasi dari Tuhan berlangsung bertingkat:

1)                  Akal Pertama (al-‘aql al-awwal)

2)                  Jiwa universal (al-nafs al-kulliyyah)

3)                  Langit-langit dan bentuk-bentuk substansi langit

4)                  Alam materi

Struktur ini terlihat jelas dalam karya-karya al-Fārābī dan Ibn Sīnā.⁵ Namun, Suhrawardī memperkenalkan model ontologi cahaya (nūr) yang menggantikan substansi metafisik dengan intensitas cahaya yang berderajat; semakin dekat suatu entitas dengan Sumber Cahaya, semakin sempurna keberadaannya.⁶

Dalam Hikmah Muta‘āliyah, Mullā Ṣadrā memadukan kedua tradisi tersebut dan memperluasnya melalui doktrin gerak substansial (al-ḥarakah al-jawhariyyah) yang menyatakan bahwa seluruh materi bergerak secara ontologis menuju tingkat eksistensi yang lebih sempurna.⁷

5.3.       Ontologi Substansi dan Aksiden

Sebagaimana dalam tradisi Aristotelian, naskah filsafat Islam mendiskusikan secara sistematis struktur keberadaan menurut kategori substansi (jawhar) dan aksiden (‘araḍ). Substansi dianggap sebagai entitas yang memiliki keberadaan mandiri, sedangkan aksiden adalah atribut yang melekat pada substansi.

Kategori-kategori ini—jumlah, kualitas, relasi, tempat, waktu, dan seterusnya—berfungsi sebagai alat analisis untuk memahami struktur realitas.⁸

Ibn Sīnā, misalnya, menegaskan bahwa substansi memiliki lima kategori utama: bentuk (ṣūrah), materi (hayūlā), komposit antara keduanya, jiwa, dan akal. Ontologi ini menjadi kerangka teoretis bagi pembahasan jiwa, akal, dan alam metafisik.

Keberadaan substansi juga memunculkan diskusi tentang keberlanjutan, perubahan, dan gerak, yang menjadi dasar bagi kritik-kritik teologis terhadap filsafat, seperti yang dikemukakan oleh al-Ghazālī dalam Tahāfut al-Falāsifah.

5.4.       Kausalitas dan Keberadaan Tuhan

Analisis ontologis dalam filsafat Islam tidak terlepas dari perdebatan mengenai kausalitas dan hubungan antara Tuhan sebagai sebab pertama dan alam semesta sebagai hasil emanasi. Avicennianisme menyatakan bahwa Tuhan adalah sebab niscaya yang darinya emanasi terjadi menurut hukum ontologis yang pasti.⁹

Ibn Rushd, sebaliknya, berusaha mempertahankan kausalitas Aristotelian yang berdiri di atas hubungan aktual antara bentuk dan materi. Perdebatannya dengan al-Ghazālī terkait kausalitas menunjukkan salah satu titik paling kritis dalam sejarah ontologi Islam.¹⁰

Di sisi lain, dalam tradisi iluminasi dan hikmah transenden, hubungan sebab-akibat dipahami secara intensional dan non-mekanis, sehingga keberadaan alam tidak berdiri secara independen di luar pancaran wujud Ilahi.

5.5.       Reinterpretasi Ontologis pada Masa Pasca-Klasik

Periode pasca-klasik menyaksikan perkembangan ontologis yang lebih kreatif. Para pemikir seperti Jalāl al-Dīn al-Dawwānī, Mīr Dāmād, dan Mullā Ṣadrā mengembangkan reinterpretasi mendalam terhadap konsep-konsep klasik:

·                     Mīr Dāmād memperkenalkan konsep hudūth dahrī (kejadian supra-temporal),

·                     Ṣadrā memformulasikan teori tashkīk (gradasi eksistensi) secara sistematis,

·                     konsep gerak substansial memperkenalkan gagasan tentang dinamika esensial alam, bukan sekadar perubahan aksidental.¹¹

Transformasi pemikiran ini memperlihatkan bagaimana naskah filsafat Islam tidak berhenti pada masa klasik, tetapi terus berkembang melalui interaksi kritis antartradisi intelektual.


Implikasi Ontologis bagi Filsafat dan Teologi Islam

Kajian ontologis dalam naskah filsafat Islam memiliki dampak besar pada berbagai bidang lain:

·                     pembentukan epistemologi rasional dan intuitif,

·                     pengembangan teori jiwa dan spiritualitas,

·                     penyusunan teori politik dan etika berdasarkan konsep kesempurnaan eksistensial,

·                     serta dialog kritis antara filsafat dan teologi (kalām).

Ontologi menjadi dasar bagi pemahaman tentang hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam, sehingga menjadi elemen kunci bagi worldview Islam klasik maupun modern.¹²


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 1–9.

[2]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 112–120.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 35–41.

[4]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 22–30.

[5]                Al-Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dār al-Mashriq, 1995), 45–55.

[6]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 63–75.

[7]                Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, 97–115.

[8]                Richard C. Taylor, “Aristotle’s Categories in the Arabic Tradition,” Arabic Sciences and Philosophy 10, no. 2 (2000): 161–183.

[9]                Amos Bertolacci, “Avicenna’s Theory of Emanation,” Documenti e Studi 14 (2004): 139–157.

[10]             Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. M. Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 63–90.

[11]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 50–70.

[12]             Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 2009), 88–104.


6.          Analisis Epistemologis dalam Naskah Filsafat Islam

Epistemologi dalam filsafat Islam merupakan salah satu bidang pembahasan paling kompleks dan berpengaruh dalam tradisi intelektual Islam. Ia bukan hanya membahas sumber dan struktur pengetahuan, tetapi juga hubungan antara akal, intuisi, indera, wahyu, dan realitas metafisik. Naskah-naskah filsafat Islam mengungkap beragam pendekatan epistemologis yang berkembang dari masa klasik hingga pasca-klasik, mulai dari rasionalisme ketat ala Aristotelian–Avicennian, iluminasi intuitif dalam filsafat Isyrāq, hingga epistemologi eksistensial yang dikembangkan oleh Hikmah Muta‘āliyah.¹

Epistemologi dalam naskah filsafat Islam tidak hanya berfungsi sebagai teori pengetahuan, tetapi juga sebagai fondasi metodologis bagi metafisika, kosmologi, etika, dan spiritualitas. Dengan demikian, analisis epistemologis merupakan elemen kunci untuk memahami keseluruhan struktur filsafat Islam.

6.1.       Sumber-Sumber Pengetahuan: Indera, Akal, dan Intuisi

Filsafat Islam mengakui tiga sumber utama pengetahuan: al-ḥiss (indera), al-‘aql (akal), dan al-ḥads (intuisi).

·                     Indera menjadi sumber pertama dalam memperoleh data empiris. Namun, sebagian besar filsuf Muslim menganggap indera tidak cukup untuk mencapai pengetahuan yang pasti karena keterbatasan objek-objek material.²

·                     Akal, terutama akal aktif (al-‘aql al-fa‘‘āl), menjadi instrumen utama dalam proses abstraksi (intizā‘) untuk menangkap esensi universal. Tradisi Avicennian memberi penekanan besar pada peran akal dalam mencapai pengetahuan demonstratif (burhānī).³

·                     Intuisi (ḥads), bagi Ibn Sīnā, adalah kemampuan intelektual yang memungkinkan jiwa menerima pengetahuan secara cepat dan langsung dari akal aktif. Dalam filsafat Isyrāq, intuisi bahkan dianggap lebih kuat dan lebih mendasar daripada pengetahuan diskursif.⁴

Pembahasan mengenai tiga sumber pengetahuan ini menunjukkan adanya ketegangan kreatif antara rasionalisme dan intuisionisme dalam epistemologi Islam.

6.2.       Proses Abstraksi dan Pembentukan Pengetahuan

Epistemologi Avicennian memberikan model sistematik tentang bagaimana pengetahuan terbentuk:

1)                  Objek eksternal memengaruhi indera;

2)                  Imajinasi merekam bentuk partikular;

3)                  Akal potensial mengabstraksi bentuk-bentuk universal dari data inderawi;

4)                  Akal aktif mengaktualkan potensi tersebut sehingga menjadi pengetahuan aktual.⁵

Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak sekadar bersifat empiris atau spekulatif, tetapi merupakan gerakan intelektual yang melibatkan interaksi antara jiwa manusia dan akal kosmik. Model abstraksi ini kemudian diadopsi, dikritisi, dan dikembangkan oleh banyak pemikir setelahnya.

6.3.       Pengetahuan Demonstratif (Burhān) dan Hirarki Kognisi

Naskah-naskah filsafat—terutama dalam tradisi logika—menempatkan burhān (demonstrasi) sebagai bentuk tertinggi dari pengetahuan rasional. Burhān menuntut tiga syarat: premis yang benar, pasti, dan universal.⁶

Hirarki kognisi dalam filsafat Islam dapat diringkas sebagai berikut:

1)                  Takhayyul (imajinasi)

2)                  Tawwahum (estimasi)

3)                  Ta‘aqqul (inteleksi rasional)

4)                  Tajarrud (abstraksi murni)

5)                  Syuhūd atau mushāhadah (penyaksian intuitif)

Hirarki ini memperlihatkan integrasi antara pengetahuan rasional dan intuisi spiritual, terutama dalam tradisi hikmah yang diwakili Suhrawardī dan Ṣadrā.

6.4.       Epistemologi Iluminasi (Isyrāq)

Suhrawardī mengembangkan epistemologi iluminasi yang menolak supremasi pengetahuan diskursif. Menurutnya, pengetahuan sejati adalah pengetahuan hadir (‘ilm ḥuḍūrī), yaitu ketika objek pengetahuan hadir secara langsung di hadapan subjek tanpa perantara konsep.⁷

Dalam paradigma ini:

·                     Pengetahuan bukan abstraksi dari bentuk materiel, tetapi pencerahan melalui intensitas cahaya spiritual.

·                     Jiwa mengetahui dirinya sendiri bukan melalui konsep, melainkan melalui kehadiran eksistensial.

·                     Hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui bersifat ontologis, bukan representasional.

Epistemologi iluminasi ini kemudian sangat mempengaruhi tradisi filsafat Persia, terutama Hikmah Muta‘āliyah.

6.5.       Epistemologi Hudhūrī dalam Hikmah Muta‘āliyah

Mullā Ṣadrā memperluas epistemologi iluminatif dengan memperkenalkan teori al-‘ilm al-ḥuḍūrī (pengetahuan hadir) sebagai bentuk pengetahuan paling otentik. Baginya:

·                     Pengetahuan adalah mode eksistensi (ṣūrat wujūdiyyah) yang terjadi di dalam jiwa, bukan representasi mental.⁸

·                     Hubungan antara subjek dan objek pengetahuan bersifat kesatuan eksistensial (ittiḥād al-‘āqil wa al-ma‘qūl).

·                     Pengetahuan diskursif (‘ilm ḥuṣūlī) hanyalah langkah awal menuju pengetahuan eksistensial.

Epistemologi ini menggeser fokus dari representasi menuju transformasi spiritual, sehingga pengetahuan menjadi bagian integral dari perkembangan ontologis jiwa.

6.6.       Wahyu, Akal, dan Pengetahuan Keagamaan

Naskah filsafat Islam tidak memisahkan secara kaku antara pengetahuan filosofis dan agama. Banyak filsuf, seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā, memandang wahyu sebagai bentuk tertinggi dari penyampaian pengetahuan, yang melampaui penalaran rasional.⁹

Dalam kerangka ini:

·                     Nabi memiliki kemampuan imajinatif dan intelektual yang sempurna untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan universal dari akal aktif dan mewujudkannya dalam bahasa simbolik bagi masyarakat.

·                     Wahyu menjadi bentuk penyampaian metafisika dan etika dalam bentuk pedagogis.

Pandangan ini memperlihatkan integrasi epistemologis antara filsafat dan agama yang khas dalam tradisi Islam.

6.7.       Kritik Teolog dan Sufi terhadap Epistemologi Filsafat

Para teolog Asy‘ari, seperti al-Ghazālī, mengkritik klaim kepastian rasional para filsuf. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menyoroti keterbatasan akal dalam memahami fenomena kosmik dan argumen metafisik tertentu.¹⁰

Namun al-Ghazālī juga menekankan pentingnya intuisi dan penyaksian spiritual (kasyf), yang justru memperkuat aspek intuitif dalam epistemologi filsafat Islam.

Di sisi lain, tradisi sufistik—seperti Ibn ‘Arabī—mengembangkan epistemologi ma‘rifah, pengetahuan yang bersifat langsung dan kasyfī, yang tidak selalu dapat dicapai melalui metode diskursif.¹¹

6.8.       Epistemologi dalam Tradisi Komentar dan Madrasah Pasca-Klasik

Pada masa pasca-klasik (abad ke-13–17), tradisi komentar memperluas diskusi epistemologis melalui syarḥ dan ḥāsyiyah atas karya-karya Avicennian dan Isyrāq:

·                     ulama seperti al-Tūsī, al-Dawwānī, dan Mīr Dāmād menafsirkan ulang epistemologi klasik,

·                     risalah epistemologi berdiri sebagai disiplin tersendiri,

·                     muncul integrasi antara filsafat, kalam, dan tasawuf.¹²

Perkembangan ini menunjukkan bahwa epistemologi tetap menjadi bidang paling dinamis dalam filsafat Islam.


Implikasi Epistemologi Filsafat Islam

Analisis epistemologis dalam naskah filsafat Islam memiliki berbagai implikasi:

·                     menyediakan dasar bagi metode demonstratif dalam logika dan metafisika,

·                     memberikan kerangka integratif antara akal dan intuisi,

·                     membuka ruang dialog antara filsafat, tasawuf, dan teologi,

·                     serta menginspirasi epistemologi modern dalam kajian Islam kontemporer.

Epistemologi menjadi fondasi bagi pemahaman realitas, manusia, dan Tuhan, serta menjadi jembatan antara ranah filosofis dan spiritual.


Footnotes

[1]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 1–12.

[2]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 42–50.

[3]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 135–148.

[4]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination (Atlanta: Scholars Press, 1990), 10–18.

[5]                Goodman, Avicenna, 85–96.

[6]                Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Adamson dan Taylor (Cambridge: CUP, 2005), 248–255.

[7]                Ziai, Knowledge and Illumination, 63–70.

[8]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 50–65.

[9]                Al-Fārābī, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. al-Fārūqī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 20–28.

[10]             Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 91–120.

[11]             William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 35–60.

[12]             Khaled El-Rouayheb, Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (Cambridge: CUP, 2015), 75–88.


7.          Analisis Etika, Politik, dan Humanisme Filosofis

Pembahasan tentang etika, politik, dan humanisme dalam naskah filsafat Islam menunjukkan bagaimana para pemikir Muslim mengembangkan suatu pandangan menyeluruh mengenai manusia, masyarakat, dan tujuan hidup. Dimensi etis dan politis tidak dipahami sebagai cabang terpisah dari filsafat, melainkan sebagai kelanjutan logis dari struktur metafisika dan epistemologi yang dibangun oleh para filsuf. Melalui risalah-risalah etika, teks-teks politik, dan karya-karya humanistik, tradisi filsafat Islam berupaya menyusun model manusia sempurna (al-insān al-kāmil) dan masyarakat unggul yang berlandaskan pada akal, keadilan, dan kesempurnaan moral.¹

Analisis ini menyoroti tiga aspek utama: etika sebagai disiplin pembentukan karakter, politik sebagai tata kelola yang mengarahkan manusia menuju kesempurnaan, dan humanisme filosofis sebagai pengakuan atas martabat serta kapasitas rasional manusia.

7.1.       Etika Kebahagiaan dan Kesempurnaan Jiwa

Etika dalam filsafat Islam berakar pada pandangan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah mencapai sa‘ādah (kebahagiaan) yang bersifat intelektual dan spiritual. Tokoh seperti Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq, menekankan bahwa kesempurnaan moral dicapai melalui harmonisasi jiwa dan pengendalian dorongan-dorongan nafsu.²

Etika filosofis Islam menggabungkan:

·                     konsep keseimbangan jiwa (mirip dengan gagasan Aristotelian golden mean),

·                     peran latihan moral dan pendidikan,

·                     pentingnya akal sebagai pengatur tindakan,

·                     serta hubungan antara kebajikan individual dan kehidupan sosial.

Dalam kerangka Avicennian, kebahagiaan tertinggi adalah pencapaian intelektual melalui penyatuan jiwa dengan akal aktif, sehingga etika tidak dapat dipisahkan dari epistemologi dan metafisika.³

7.2.       Etika Humanistik dalam Tradisi Hikmah

Tradisi hikmah Persia dan pemikiran pasca-klasik, seperti karya Nāṣir al-Dīn al-Ṭūsī dan Jalāl al-Dīn al-Dawwānī, mengembangkan pendekatan etika yang lebih humanistik. Mereka menekankan sifat dasar manusia sebagai makhluk rasional, sosial, dan spiritual.⁴

Dalam kerangka ini:

·                     manusia dilihat sebagai entitas yang memiliki potensi moral yang harus diaktualkan,

·                     kebajikan harus diusahakan melalui disiplin, dialog, dan pendidikan,

·                     etika tidak hanya tertuju pada individu tetapi juga pada komunitas moral.

Humanisme filosofis ini juga tercermin dalam gagasan adab, yaitu kecakapan moral, intelektual, dan sosial sebagai kualitas utama manusia beradab.

7.3.       Filsafat Politik: Negara Ideal dan Kepemimpinan Filosofis

Filsafat politik Islam, terutama pada era klasik, berkembang dalam karya-karya al-Fārābī yang menampilkan sintesis metafisika-politik. Dalam al-Madīnah al-Fāḍilah, al-Fārābī berargumen bahwa negara yang baik adalah negara yang diarahkan oleh pengetahuan tertinggi, yaitu pengetahuan metafisik. Pemimpin ideal adalah ra’īs al-awwal, sosok yang memiliki kebijaksanaan filosofis layaknya nabi atau filsuf-raja.⁵

Tema utama filsafat politik Islam meliputi:

·                     hubungan antara kebajikan individu dan kebijakan publik,

·                     struktur masyarakat berdasarkan peran dan kemampuan masing-masing,

·                     pentingnya hukum sebagai alat pembentukan moral,

·                     serta konsep solidaritas sosial dan keadilan.

Dalam tradisi Andalusia, Ibn Bājja, Ibn Ṭufayl, dan Ibn Rushd memberikan pendekatan berbeda: lebih rasional, kritis, dan menekankan pentingnya pendidikan dan intelektualitas dalam membangun masyarakat yang sehat.⁶

7.4.       Politik dan Etika sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan

Naskah-naskah filsafat Islam memahami politik bukan sebagai ilmu kekuasaan, tetapi sebagai disiplin pengaturan masyarakat agar setiap individu dapat mencapai kesempurnaan moral dan intelektual. Dengan demikian, politik memiliki dimensi etis yang kuat.

Bagi Ibn Rushd, keadilan adalah tujuan utama tatanan politik karena ia memungkinkan manusia mewujudkan potensi akalnya dalam kehidupan bersama.⁷

Sebaliknya, dalam tradisi hikmah iluminatif, kesempurnaan politik hanya mungkin jika masyarakat diarahkan oleh prinsip-prinsip spiritual dan cahaya intelektual.⁸

Dengan kata lain, politik dalam filsafat Islam adalah kelanjutan natural dari etika: sebuah upaya kolektif untuk menciptakan kondisi ideal bagi perkembangan manusia.

7.5.       Humanisme Filosofis: Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Spiritual

Humanisme filosofis dalam naskah filsafat Islam tidak identik dengan humanisme sekuler modern, melainkan suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatian moral dan intelektual dalam kerangka kosmologi teistik.

Humanisme ini berpijak pada tiga gagasan pokok:

1)                  Martabat manusia berasal dari akalnya, yang memungkinkan ia mengenal Tuhan dan alam.

2)                  Kesempurnaan manusia tidak hanya bersifat rasional tetapi juga spiritual, karena akal harus bertransformasi menuju pengetahuan intuitif dan penyaksian (mushāhadah).

3)                  Manusia adalah makhluk sosial, sehingga perkembangan dirinya memerlukan interaksi, pendidikan, dan tatanan politik yang adil.⁹

Hikmah Muta‘āliyah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang “bergerak” menuju kesempurnaan ontologis melalui transformasi jiwa, menjadikan humanisme filsafat Islam sebuah konsep eksistensial yang mendalam.¹⁰


Integrasi Etika, Politik, dan Humanisme

Keterkaitan kuat antara etika, politik, dan humanisme filosofis mengungkap visi filsafat Islam mengenai kehidupan yang baik:

·                     Etika membentuk karakter individu,

·                     Politik menyediakan struktur sosial yang memungkinkan pembentukan kebajikan,

·                     Humanisme memberikan makna spiritual bagi perjalanan manusia.

Integrasi ini menjadi ciri khas filsafat Islam yang memadukan rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas, sekaligus menyediakan kerangka konseptual yang kaya bagi wacana kebudayaan dan peradaban Islam.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 3–10.

[2]                Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq, ed. C. Zurayk (Beirut: AUB Press, 1966), 12–25.

[3]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 162–175.

[4]                Nasrullah Pourjavady, “Ethics in Post-Classical Islamic Philosophy,” Journal of Islamic Philosophy 3 (2007): 45–60.

[5]                Al-Fārābī, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. al-Fārūqī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 50–70.

[6]                Charles Genequand, Ibn Rushd’s Metaphysics in Context (Leiden: Brill, 1984), 33–45.

[7]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 2009), 125–135.

[8]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination (Atlanta: Scholars Press, 1990), 80–95.

[9]                William Chittick, The Self-Disclosure of God (Albany: SUNY Press, 1998), 20–35.

[10]             Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 112–130.


8.          Dimensi Mistis dan Teosofis dalam Naskah Filsafat Islam

Dimensi mistis dan teosofis merupakan salah satu aspek paling khas dan mendalam dalam tradisi filsafat Islam. Berbeda dari asumsi bahwa filsafat Islam hanya bersifat rasionalistik atau Aristotelian, analisis naskah-naskah klasik menunjukkan bahwa pemikiran filosofis dalam dunia Islam berkembang melalui dialog kreatif antara rasionalitas, intuisi spiritual, dan pengalaman mistis.¹ Tradisi filsafat Islam, terutama sejak masa Suhrawardī dan puncaknya pada Mullā Ṣadrā, menghadirkan sintesis unik antara filsafat, hikmah (kebijaksanaan), dan tasawuf. Dimensi ini memperkaya khazanah metafisika Islam dengan menghadirkan gagasan tentang cahaya, penyaksian, kehadiran eksistensial, dan kesatuan realitas.

8.1.       Integrasi antara Rasionalisme dan Mistisisme

Di dalam naskah-naskah filsafat Islam, mistisisme bukanlah antitesis dari rasionalisme, tetapi justru dipandang sebagai tahap lebih tinggi dari pengetahuan yang melampaui argumentasi diskursif. Para filsuf seperti Ibn Sīnā sendiri, dalam bagian akhir al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, menyinggung kategori para “‘ārifīn”—kaum mistikus yang mencapai pengetahuan intuitif setelah melewati fase rasional.²

Dengan demikian, filsafat Islam mengakui dua mode pengetahuan:

1)                  Pengetahuan rasional (ḥuṣūlī) melalui demonstrasi (burhān),

2)                  Pengetahuan intuitif atau penyaksian (ḥuḍūrī) melalui pengalaman mistis.

Hubungan ini menjembatani filsafat dan tasawuf, sehingga kedua tradisi berkembang secara komplementer, bukan kontradiktif.

8.2.       Konsep Cahaya dalam Filsafat Isyrāq

Suhrawardī (w. 1191) adalah figur kunci yang mengembangkan tradisi ḥikmat al-ishrāq (filsafat iluminasi). Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, ia menggambarkan realitas sebagai hierarki cahaya (anwār) yang berpuncak pada “Cahaya Segala Cahaya” (Nūr al-Anwār).³

Ciri utama ontologi-mistis Suhrawardī meliputi:

·                     Realitas dipahami sebagai intensitas cahaya yang bergradasi.

·                     Pengetahuan sejati adalah penyinaran langsung (syuhūd) dari cahaya pada jiwa.

·                     Logika dan argumen rasional tetap penting tetapi tidak memadai untuk memahami struktur terdalam realitas.

Dalam kerangka iluminatif, pengalaman mistis dianggap sebagai metode epistemologis sekaligus ontologis, karena cahaya bukan hanya simbol metaforis, tetapi struktur realitas itu sendiri.⁴

8.3.       Mistisisme Avicennian dan Pengetahuan Penyaksian

Walaupun Ibn Sīnā dikenal sebagai filsuf rasional, beberapa bagian tulisannya menampilkan dimensi mistis yang signifikan, misalnya dalam risalah Ḥayy ibn Yaqẓān, al-Ishārāt, dan puisi-puisi filsafatnya. Ia memperkenalkan gagasan ittihād al-‘āqil wa al-ma‘qūl (kesatuan intelek dan objek pengetahuan) yang menjadi dasar bagi penyaksian intuitif.⁵

Mistisisme Avicennian berperan besar dalam membentuk tradisi hikmah Persia, karena membuka ruang bagi integrasi antara intelektualisme dan spiritualitas. Tokoh-tokoh pasca-Avicennian seperti al-Suhrawardī al-Maqtūl dan para pemikir madrasah Isfahan mengembangkan unsur-unsur ini secara lebih eksplisit.

8.4.       Kesatuan Wujud (Waḥdat al-Wujūd) dan Teosofi Ibn ‘Arabī

Dalam tradisi sufi-filosofis, Ibn ‘Arabī (w. 1240) menawarkan model teosofis yang sangat berpengaruh, yakni doktrin waḥdat al-wujūd (kesatuan eksistensi). Ia berargumen bahwa seluruh keberadaan merupakan manifestasi (tajallī) dari Wujud Mutlak.⁶

Bagi Ibn ‘Arabī:

·                     Realitas memiliki tingkat-tingkat penampakan (tanazzulāt).

·                     Pengetahuan tertinggi dicapai melalui penyaksian langsung terhadap tajallī Ilahi.

·                     Manusia sempurna (al-insān al-kāmil) adalah cermin paling lengkap dari sifat-sifat Tuhan.

Teosofi ini memberikan basis mistis bagi banyak karya filsafat pasca-klasik, khususnya dalam tradisi hikmah transenden.

8.5.       Hikmah Muta‘āliyah dan Sintesis Mistis-Rasional

Puncak integrasi antara filsafat, mistisisme, dan teologi ditemukan dalam karya Mullā Ṣadrā (w. 1640), khususnya dalam al-Asfār al-Arba‘ah. Ia menggabungkan epistemologi Avicennian, iluminasi Suhrawardī, dan teosofi Ibn ‘Arabī menjadi sistem metafisika yang holistik.⁷

Tiga gagasan utama yang membentuk sintesis Ṣadrā adalah:

1)                  Aṣālat al-wujūd – primasi eksistensi atas esensi.

2)                  Tashkīk al-wujūd – gradasi eksistensi yang memungkinkan pemahaman mistis tentang hierarki wujud.

3)                  al-‘Ilm al-ḥuḍūrī – pengetahuan hadir sebagai dasar epistemologi intuitif.

Dengan mengintegrasikan aspek ontologis, epistemologis, dan mistis, Ṣadrā menciptakan sistem teosofi filosofis (al-ḥikmah al-muta‘āliyah) yang menjadi salah satu landasan utama filsafat Islam Iran hingga masa modern.⁸

8.6.       Jiwa, Spiritualitas, dan Jalan Menuju Kesempurnaan

Dimensi mistis dalam naskah filsafat Islam juga terkait erat dengan teori jiwa. Para filsuf seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Suhrawardī menekankan bahwa jiwa manusia memiliki potensi untuk naik menuju tingkat eksistensi yang lebih tinggi melalui:

·                     penyucian moral,

·                     disiplin akal,

·                     meditasi,

·                     dan penyaksian spiritual.

Dalam tradisi hikmah, perjalanan jiwa menuju kesempurnaan disebut sayr wa sulūk, sebuah perjalanan eksistensial yang menyatukan pengembangan intelektual dan penyucian spiritual.⁹

8.7.       Tradisi Simbolisme dan Hermeneutika Mistis

Banyak naskah filsafat mistis menggunakan bahasa simbolik, alegoris, dan metaforis. Contoh terkenal adalah karya Ibn Sīnā dan Ibn Ṭufayl tentang perjalanan intelektual dalam kisah Ḥayy ibn Yaqẓān.¹⁰

Suhrawardī memakai simbol-simbol cahaya dan kegelapan, sedangkan Ibn ‘Arabī menggunakan bahasa simbolik seperti “laut,” “cermin,” dan “nafas Yang Maha Pengasih.”

Hermeneutika mistis memandang teks sebagai jembatan antara dunia materi dan realitas metafisik, sehingga pemahaman penuh terhadap naskah memerlukan pengetahuan rasional dan pengalaman intuitif.


Dampak Dimensi Mistis terhadap Perkembangan Filsafat Islam

Dimensi mistis dan teosofis memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat Islam:

·                     membentuk madrasah Isfahan dan Syirāz,

·                     memengaruhi literatur etika dan politik,

·                     memperkaya metafisika dengan konsep intensionalitas dan penyaksian,

·                     menciptakan tradisi filsafat spiritual yang berlanjut hingga era modern (misalnya pemikiran Tabāṭabā’ī dan Ṭabāṭaba’ī).

Dengan demikian, dimensi mistis tidak hanya menjadi bagian kecil dalam filsafat Islam, melainkan salah satu fondasi epistemologis dan ontologis yang membentuk wajah intelektual dunia Islam.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 3–10.

[2]                Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1960), 357–380.

[3]                Shihāb al-Dīn Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: ICP, 1976), 5–15.

[4]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination (Atlanta: Scholars Press, 1990), 18–32.

[5]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 177–190.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 90–115.

[7]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 60–85.

[8]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 80–104.

[9]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism (Berkeley: University of California Press, 1983), 240–260.

[10]             Ibrahim Y. Najjar, “Hayy ibn Yaqzan and the Origins of Islamic Philosophical Allegory,” Studia Islamica 36 (1972): 57–72.


9.          Tradisi Komentar, Syarḥ, dan Tafsir Filosofis

Tradisi komentar (syarḥ), catatan pinggir (ḥāsyiyah), dan tafsir filosofis merupakan salah satu pilar terpenting dalam sejarah perkembangan filsafat Islam. Tradisi ini bukan sekadar upaya penjelasan atas teks-teks klasik, tetapi juga sarana kreatif untuk memperluas, mengkritisi, dan menginternalisasi gagasan-gagasan filosofis dari generasi ke generasi.¹ Melalui komentar-komentar inilah filsafat Islam berkembang secara organik, membentuk jaringan intelektual lintas abad yang menunjukkan keberlanjutan dan dinamika tradisi keilmuan Islam.

Naskah-naskah komentar tidak hanya berfungsi sebagai alat pedagogis, tetapi juga sebagai medium dialog filosofis, tempat para pemikir Muslim menegosiasikan gagasan mereka dengan pemikiran pendahulu. Tradisi syarḥ menciptakan ekosistem intelektual yang memungkinkan pemikiran Avicennian, Illuminasionis, dan Hikmah Muta‘āliyah bertahan hingga era modern.

9.1.       Peran Komentar (Syarḥ) dalam Pembentukan Tradisi Filosofis

Komentar atau syarḥ memiliki fungsi dasar untuk menjelaskan teks primer (matn) secara sistematis, termasuk:

·                     menjelaskan istilah teknis,

·                     menyusun ulang argumen,

·                     menjelaskan premis-premis implisit, dan

·                     menanggapi keberatan-keberatan yang mungkin muncul.²

Tradisi ini sangat penting terutama dalam karya-karya yang kompleks seperti al-Shifā’, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, dan Ḥikmat al-Ishrāq. Banyak filsuf besar tidak hanya menghasilkan karya orisinal, tetapi juga komentar atas karya pendahulunya. Melalui syarḥ inilah gagasan filosofis mengalami transformasi.

9.2.       Ḥāsyiyah dan Ta‘līq: Lapisan-lapisan Penafsiran Lanjutan

Selain syarḥ, tradisi ḥāsyiyah (komentar marginal) dan ta‘līq (catatan komentar lanjut) berkembang luas terutama pada era pasca-klasik (abad ke-13–18).³

Jika syarḥ menjelaskan teks secara komprehensif, maka:

·                     Ḥāsyiyah biasanya berisi catatan tambahan terhadap syarḥ sebelumnya,

·                     Ta‘līq berisi komentar atas komentar, yang seringkali mencakup interpretasi teologis, logika tambahan, atau kritik epistemologis.

Tradisi ini menghasilkan jaringan multilapis penafsiran, di mana satu teks dapat memiliki puluhan hingga ratusan komentar dari berbagai periode. Fenomena ini menandakan intensitas perkembangan pendidikan filsafat dalam madrasah Islam.

9.3.       Tradisi Komentar atas Karya-Karya Logika dan Metafisika

Karya logika dan metafisika mendapatkan tradisi komentar yang sangat kaya. Misalnya:

·                     Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī memiliki ratusan syarḥ dan ḥāsyiyah karena menjadi buku pengantar logika standar dalam madrasah.⁴

·                     al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt karya Ibn Sīnā dikomentari oleh tokoh-tokoh seperti al-Rāzī, al-Ṭūsī, al-Jurjānī, dan al-Qūshjī.

·                     Tradisi komentar atas karya Suhrawardī melahirkan dua aliran besar: penyelamatan rasional terhadap iluminasi dan pengembangan teosofi metafisik.⁵

Kekayaan komentar ini memungkinkan berbagai interpretasi dan memunculkan spektrum pemikiran yang luas dari yang rasionalis hingga intuitif-spiritual.

9.4.       Syarḥ sebagai Sarana Pembentukan Kurikulum Madrasah

Sejak abad ke-13, syarḥ menjadi komponen kunci kurikulum filsafat dan logika di madrasah Persia, Anatolia, dan Asia Tengah. Kitab primer biasanya terlalu padat untuk dipelajari secara langsung, sehingga syarḥ memungkinkan guru menjelaskan bagian-bagian tersulit.⁶

Hal ini menghasilkan fenomena kurikuler di mana sebuah teks, seperti al-Mawāqif atau Sharḥ al-Tajrīd, dipelajari melalui rantai komentar. Pendidikan filsafat Islam dengan demikian beroperasi melalui dialog intergenerasional dan pemahaman bertingkat terhadap teks primer.

9.5.       Komentar sebagai Ruang Perdebatan Intelektual

Syarḥ sering berfungsi sebagai ruang perdebatan epistemologis, teologis, dan metafisis. Banyak komentar tidak hanya menjelaskan teks, tetapi juga:

·                     memodifikasi argumen,

·                     mengkritik kesimpulan pengarang,

·                     menambahkan perspektif baru, dan

·                     menyelesaikan kontradiksi logis.

Perdebatan terkenal terjadi antara Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī dalam komentar mereka terhadap al-Ishārāt.⁷

Perdebatan ini berpengaruh besar karena membentuk arah teologi dan filsafat selama beberapa abad.

9.6.       Tafsir Filosofis atas al-Qur’an

Di samping komentar atas teks-teks logika dan metafisika, para filsuf Muslim juga menghasilkan tafsir al-Qur’an yang bersifat filosofis.

Contoh penting meliputi:

·                     Tafsīr Ibn Sīnā terhadap beberapa ayat metafisika,

·                     tafsir filosofis al-Rāzī dalam Mafātīḥ al-Ghayb,

·                     tafsir esoteris Suhrawardī,

·                     tafsir teosofis Ibn ‘Arabī,

·                     dan komentar Mullā Ṣadrā dalam Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm.⁸

Dalam tafsir-tafsir ini, filsafat berfungsi sebagai instrumen hermeneutika yang menyingkap makna batiniah (bāṭin) ayat-ayat metafisik.

9.7.       Tradisi Komentar sebagai Mekanisme Transmisi Intelektual

Tradisi syarḥ dan ḥāsyiyah adalah instrumen utama transmisi filsafat Islam dari satu era ke era berikutnya. Melalui komentar:

·                     teks tetap hidup dan terus diperbarui,

·                     konsep abstrak dijelaskan sesuai konteks zaman,

·                     interaksi antara filsafat, teologi, dan tasawuf diperluas,

·                     madrasah membentuk generasi baru filosof dan mutakallim.

Tradisi ini memungkinkan filsafat Islam tidak hanya bertahan, tetapi berkembang secara progresif.


Kreativitas dalam Komentar dan Reinterpretasi

Meskipun komentar bertujuan menjelaskan teks asli, para komentator sering menambahkan perspektif baru yang mencerminkan perkembangan intelektual zamannya. Oleh karena itu, syarḥ adalah ruang kreativitas, bukan sekadar penjelasan mekanis.⁹

Contohnya:

·                     komentar Suhrawardī terhadap Avicennianisme memunculkan tradisi iluminasi,

·                     komentar Ṣadrā terhadap Suhrawardī dan Ibn ‘Arabī menghasilkan Hikmah Muta‘āliyah,

·                     komentar ulama Ottoman terhadap logika Avicennian menciptakan epistemologi baru dalam studi kalam.

Komentar menjadi semacam “dialog hidup” antara masa lalu dan masa kini.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, “The Study of Arabic Philosophy: Structure and Categories,” Journal of the History of Ideas 53, no. 4 (1992): 561–564.

[2]                Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic (Leiden: Brill, 2010), 40–55.

[3]                Sabine Schmidtke, The Oxford Handbook of Islamic Philosophy (Oxford: OUP, 2017), 120–132.

[4]                Tony Street, “Arabic Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 259–273.

[5]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination (Atlanta: Scholars Press, 1990), 71–90.

[6]                El-Rouayheb, Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (Cambridge: CUP, 2015), 22–36.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 188–194.

[8]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God (Albany: SUNY Press, 1998), 90–110.

[9]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 118–130.


10.      Perdebatan Teologis dan Filsafat dalam Naskah Klasik

Perdebatan teologis dan filosofis dalam naskah-naskah klasik filsafat Islam merupakan salah satu medan intelektual paling dinamis dalam sejarah pemikiran Islam. Ketegangan antara filsafat (falsafah) dan teologi (kalām) tidak hanya mencerminkan perbedaan metodologis, tetapi juga pertarungan epistemologis, metafisis, dan etis mengenai bagaimana realitas, Tuhan, manusia, serta alam semesta harus dipahami.¹ Dalam naskah-naskah klasik, perdebatan ini terekam dalam bentuk argumentasi, bantahan, komentar, dan kritik yang memperlihatkan kedewasaan tradisi intelektual Islam serta kemampuannya menyerap, mengolah, dan menguji gagasan-gagasan filosofis dari berbagai sumber, terutama warisan Yunani.

10.1.    Pengantar Ketegangan antara Filsafat dan Teologi

Para teolog (mutakallimūn), terutama dari mazhab Asy‘ariyah, Māturidiyah, dan Mu‘tazilah, secara aktif berinteraksi dengan karya-karya filsafat. Filsafat dianggap memiliki kedudukan penting dalam menjelaskan hakikat Tuhan dan dunia, tetapi sekaligus dipandang berbahaya jika melampaui batas-batas ajaran agama.²

Ketegangan ini melahirkan tradisi panjang kritik dan counter-kritik antara para filsuf dan teolog.

Tiga isu utama yang paling sering diperdebatkan ialah:

1)                  Kausalitas dan hubungan sebab-akibat,

2)                  Keabadian alam semesta,

3)                  Pengetahuan Tuhan tentang partikular (juz’iyyāt).

Perdebatan terhadap tiga isu ini membentuk struktur argumentatif naskah-naskah teologi dan filsafat selama berabad-abad.

10.2.    Kritik al-Ghazālī terhadap Filsafat

Tokoh paling terkenal dalam kritik terhadap filsafat adalah Abū Ḥāmid al-Ghazālī (w. 1111). Dalam Tahāfut al-Falāsifah (“Keruntuhan Para Filsuf”), ia menuduh para filsuf seperti Ibn Sīnā dan al-Fārābī melakukan kekeliruan dalam tiga hal yang dianggap kufur:

1)                  Keyakinan bahwa alam semesta tidak memiliki permulaan dalam waktu (qidam al-‘ālam),

2)                  Penolakan kebangkitan jasmani,

3)                  Keyakinan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal.³

Selain itu, al-Ghazālī menggugat prinsip kausalitas filosofis dengan argumen bahwa hubungan sebab-akibat tidak bersifat niscaya; yang niscaya hanyalah kehendak Allah. Kritik ini menjadi fondasi penting dalam teologi Asy‘ariyah.

10.3.    Pembelaan Ibn Rushd terhadap Filsafat

Ibn Rushd (Averroes, w. 1198) menganggap kritik al-Ghazālī sebagai serangan terhadap metode rasional yang sah. Dalam Tahāfut al-Tahāfut (“Keruntuhan atas Keruntuhan”), ia membela filsafat dengan argumentasi sistematis.⁴

Ibn Rushd menegaskan bahwa:

·                     akal dan wahyu adalah dua jalan menuju kebenaran yang tidak saling bertentangan,

·                     filsafat diperlukan untuk memahami bukti-bukti tekstual secara mendalam,

·                     kausalitas adalah prinsip rasional yang tak dapat ditolak, karena tanpa kausalitas tidak ada ilmu.

Ia juga menolak tuduhan bahwa para filsuf bertentangan dengan ajaran Islam, dan berargumen bahwa ajaran filosofis tentang emanasi dan keabadian alam memiliki dasar rasional yang kuat.

10.4.    Perdebatan tentang Kausalitas

Perdebatan mengenai kausalitas menjadi fokus utama dalam banyak naskah klasik.

·                     Para filsuf Avicennian berpendapat bahwa hubungan sebab-akibat bersifat niscaya karena berasal dari susunan esensial realitas.⁵

·                     Teolog Asy‘ari, mengikuti al-Ghazālī, menolak keniscayaan kausalitas, dan berpendapat bahwa apa yang kita anggap sebab-akibat hanyalah kebiasaan (ʿādah) yang diciptakan Allah setiap saat.

Perdebatan ini tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga epistemologis, karena terkait dengan kemampuan manusia memahami hubungan alamiah serta keterbatasan akal dalam menangkap kehendak Tuhan.

10.5.    Isu Keabadian Alam Semesta

Para filsuf, terutama Ibn Sīnā dan Ibn Rushd, cenderung menerima gagasan bahwa alam bersifat kekal dalam bentuk kontinuitas emanasi, meskipun bergantung sepenuhnya kepada Tuhan sebagai Sumber Wujud.⁶

Sebaliknya, para teolog menegaskan bahwa alam memiliki permulaan dalam waktu (hudūth al-‘ālam).

Isu ini melibatkan perdebatan panjang mengenai hakikat waktu, emanasi, dan hubungan antara ketergantungan ontologis dengan permulaan temporal.

10.6.    Pengetahuan Tuhan tentang Partikular

Salah satu kritik al-Ghazālī adalah bahwa para filsuf mengajarkan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, bukan partikular.

Filsuf Avicennian berargumen bahwa Tuhan mengetahui partikular sebagai universal—yaitu dalam bentuk kausalitas dan struktur umum realitas, bukan dalam detail temporal.⁷

Filsuf dan teolog kemudian terlibat dalam diskusi panjang untuk menjelaskan bagaimana Tuhan mengetahui segala sesuatu tanpa terikat waktu dan perubahan.

Perdebatan ini berkontribusi besar pada pematangan metafisika Islam dan pengembangan teori pengetahuan Ilahi.

10.7.    Reaksi dan Pengembangan pada Era Pasca-Klasik

Setelah masa Ibn Rushd dan al-Ghazālī, perdebatan antara filsafat dan teologi tidak mereda; justru berkembang menjadi lebih kompleks. Pemikir seperti:

·                     Fakhr al-Dīn al-Rāzī,

·                     Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī,

·                     Mīr Dāmād,

·                     dan Mullā Ṣadrā

mengembangkan sintesis baru antara kalām, falsafah, dan tasawuf.⁸

Misalnya, Mullā Ṣadrā mengkritik baik al-Ghazālī maupun Ibn Rushd, dan menyusun metafisika transenden yang menggabungkan rasionalitas dan mistisisme dalam kerangka ontologis baru (aṣālat al-wujūd). Ia mengatasi perdebatan klasik dengan pendekatan yang lebih holistik terhadap wujud, kausalitas, dan pengetahuan Tuhan.

10.8.    Pengaruh Perdebatan terhadap Struktur Naskah Filsafat dan Kalam

Perdebatan filsafat–teologi mendorong munculnya genre-genre naskah baru:

·                     Tahāfut, yang berisi kritik destruktif terhadap filsafat,

·                     Syarḥ dan ḥāsyiyah atas karya logika dan metafisika,

·                     risalah-risalah sintesis, seperti Sharḥ al-Ishārāt atau al-Mawāqif,

·                     tafsir filosofis atas al-Qur’an,

·                     serta naskah-naskah hikmah yang menggabungkan filsafat, tasawuf, dan kalām.⁹

Genre-genre ini menunjukkan bahwa perdebatan teologis dan filosofis telah menjadi bagian integral dari tradisi keilmuan Islam.


Implikasi Perdebatan dalam Filsafat Islam Modern

Perdebatan klasik berpengaruh besar pada pemikiran modern. Kontroversi tentang akal dan wahyu, sains dan agama, serta hubungan antara Tuhan dan alam tetap menjadi agenda penting dalam filsafat Islam kontemporer.

Banyak sarjana modern—termasuk Fazlur Rahman, Nasr, dan Arkoun—membaca ulang perdebatan klasik untuk merumuskan epistemologi baru yang lebih sesuai dengan konteks modern.¹⁰

Dengan demikian, perdebatan klasik bukanlah masa lalu yang tertutup, tetapi fondasi bagi dinamika filsafat Islam hingga saat ini.


Footnotes

[1]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 3–10.

[2]                Richard Frank, Creation and the Cosmic System: Al-Ghazālī and Avicenna (Heidelberg: Carl Winter, 1992), 25–40.

[3]                Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, ed. M. Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 63–90.

[4]                Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut, ed. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 111–130.

[5]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 215–225.

[6]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 122–140.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 109–125.

[8]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 95–120.

[9]                Sabine Schmidtke, The Oxford Handbook of Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2017), 270–290.

[10]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 12–28.


11.      Relevansi Kontemporer Naskah Filsafat Islam

Relevansi kontemporer naskah-naskah filsafat Islam semakin menonjol di tengah kompleksitas dunia modern yang ditandai oleh krisis epistemologi, problem etika teknologi, pertarungan ideologi, dan pencarian kembali nilai-nilai kemanusiaan. Naskah-naskah ini bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi sumber intelektual yang masih hidup (living tradition) dan terus memberikan inspirasi bagi pengembangan pemikiran filosofis, teologis, dan humanistik dalam konteks global.¹

Meskipun lahir pada abad pertengahan, gagasan-gagasan dalam karya Ibn Sīnā, al-Fārābī, Suhrawardī, Ibn Rushd, Ibn ‘Arabī, hingga Mullā Ṣadrā menawarkan kerangka konseptual yang kaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental masa kini, baik dalam ranah keilmuan, kemanusiaan, maupun kehidupan bernegara.

11.1.    Pembaruan Epistemologi: Menjawab Krisis Pengetahuan Modern

Salah satu tantangan terbesar dunia kontemporer adalah krisis epistemologis yang ditandai oleh relativisme ekstrem, polarisasi informasi, dan tumpang tindih antara data dan opini. Epistemologi Islam klasik, melalui kerangka rasionalitas Avicennian, iluminasi Suhrawardī, dan epistemologi hudhūrī Ṣadrā, menawarkan model pengetahuan yang integratif antara akal, intuisi, dan etika intelektual.²

Gagasan ini relevan untuk:

·                     membangun paradigma pengetahuan yang kritis namun tidak terjebak pada positivisme,

·                     memulihkan hubungan antara etika dan epistemologi,

·                     serta mengembangkan “epistemologi spiritual” yang dapat menjadi alternatif di tengah krisis makna modern.

Dengan demikian, naskah filsafat Islam dapat memperkaya diskursus epistemologi kontemporer, terutama dalam filsafat ilmu dan studi interdisipliner.

11.2.    Etika dan Bioetika: Jawaban untuk Dunia Teknologi Tinggi

Kemajuan bioteknologi, kecerdasan buatan, dan neuroteknologi menghadirkan dilema moral baru. Etika klasik Islam, sebagaimana ditemukan dalam karya Miskawayh, al-Fārābī, dan madrasah hikmah, menawarkan model etika kebajikan (virtue ethics) yang berfokus pada karakter, keseimbangan, dan kesempurnaan manusia.³

Konsep-konsep seperti:

·                     sa‘ādah (kebahagiaan),

·                     i‘tidāl (moderasi),

·                     tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa),

·                     dan humanisme transenden

memiliki relevansi besar dalam merancang etika teknologi yang tidak sekadar normatif, tetapi berorientasi pada pembentukan manusia bermoral dalam masyarakat digital.

11.3.    Politik dan Kepemimpinan: Menghadapi Tantangan Kebangsaan

Naskah filsafat politik Islam telah mengembangkan teori negara ideal, keadilan, serta kepemimpinan etis dan rasional. Al-Fārābī, Ibn Rushd, serta tokoh pasca-klasik seperti al-Dawwānī memberikan model kepemimpinan moral-intelektual yang berakar pada integritas, kebijaksanaan, dan pelayanan publik.⁴

Gagasan ini penting untuk konteks kekinian, terutama:

·                     dalam membangun tata kelola yang etis,

·                     memperkuat fondasi moral bangsa,

·                     serta mengembangkan pendidikan karakter bagi pemimpin masa depan.

Pemikiran politik klasik Islam dapat menjadi sumber bagi dialog dengan teori politik modern mengenai demokrasi, keadilan sosial, dan etika publik.

11.4.    Humanisme Filosofis dalam Krisis Kemanusiaan Global

Dunia modern menghadapi krisis kemanusiaan: dehumanisasi akibat teknologi, krisis makna, dan meningkatnya konflik sosial. Humanisme filosofis Islam—terutama dalam karya Ibn Sīnā, Suhrawardī, dan Ibn ‘Arabī—menawarkan pandangan yang menempatkan manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual yang memiliki martabat intrinsik.⁵

Konsep al-insān al-kāmil dan gagasan kesempurnaan jiwa memberikan:

·                     kerangka ontologis bagi pengembangan psikologi dan spiritualitas,

·                     alternatif terhadap humanisme sekuler yang cenderung reduksionistik,

·                     serta fondasi etis bagi rekonstruksi kehidupan sosial yang berpusat pada martabat manusia.

11.5.    Relevansi bagi Filsafat Sains dan Keilmuan Modern

Filsafat Islam klasik memiliki tradisi kuat dalam analisis logika, kosmologi, dan metafisika yang dapat berkontribusi kepada filsafat sains modern. Tradisi Avicennian dan komentar-komentar logika pasca-klasik menekankan pentingnya argumentasi rasional yang ketat serta klasifikasi ilmu.⁶

Gagasan-gagasan filosofis Islam dapat digunakan untuk:

·                     meninjau kembali hubungan antara ilmu alam dan metafisika,

·                     merumuskan “kerangka etik” dalam metodologi sains,

·                     dan mengintegrasikan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu eksakta.

Beberapa sarjana kontemporer bahkan melihat potensi filsafat Islam untuk menjadi dasar bagi paradigma sains Islam atau rekonstruksi epistemologi keilmuan.

11.6.    Kontribusi bagi Dialog Filsafat Global

Naskah-naskah filsafat Islam dapat memberikan kontribusi penting bagi percakapan filsafat global karena menawarkan:

·                     sintesis antara rasionalitas dan spiritualitas,

·                     model integratif antara ilmu dan etika,

·                     pendekatan kosmologis yang lebih organik dan holistik.⁷

Karya-karya Suhrawardī dan Mullā Ṣadrā, misalnya, telah menarik perhatian para filsuf Barat kontemporer yang melihat potensi teosofi Islam sebagai alternatif terhadap reduksionisme materialistik.

11.7.    Dekolonisasi Pengetahuan dan Pembaruan Pemikiran Islam

Dalam wacana dekolonisasi epistemologi, naskah-naskah filsafat Islam menjadi sumber penting untuk membangun paradigma ilmu yang tidak sepenuhnya bergantung pada model Barat. Pemikiran filsafat Islam menyediakan kerangka kerja untuk:

·                     membangun identitas intelektual Muslim,

·                     merevitalisasi khazanah klasik,

·                     dan mengembangkan metode kritis yang otonom namun terbuka.

Pemikir seperti Muhammad Iqbal, Seyyed Hossein Nasr, dan Mohammed Arkoun telah memanfaatkan tradisi filsafat klasik sebagai sumber pembaruan intelektual dan spiritual.⁸

11.8.    Relevansi bagi Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Naskah filsafat Islam kaya dengan tradisi syarḥ, ḥāsyiyah, dan hikmah yang selama berabad-abad menjadi basis kurikulum madrasah. Model pendidikan yang holistik ini dapat menginspirasi:

·                     kurikulum filsafat Islam modern,

·                     pendidikan karakter berbasis kebijaksanaan,

·                     integrasi ilmu-ilmu rasional dengan spiritualitas.

Dengan demikian, naskah filsafat Islam relevan tidak hanya bagi riset akademik, tetapi juga bagi pedagogi dan pembinaan moral generasi baru.

11.9.    Kontribusi bagi Etika Lingkungan dan Ekologi Kontemporer

Krisis ekologis global membutuhkan paradigma baru mengenai hubungan manusia–alam. Dalam banyak naskah filsafat Islam, alam dipahami sebagai cerminan keteraturan Ilahi dan sebagai tanda-tanda Tuhan.⁹

Konsep kesatuan realitas (waḥdat al-wujūd), kosmologi Avicennian, dan simbolisme alam dalam filsafat Isyrāq dapat memberikan kontribusi bagi etika lingkungan yang lebih spiritual dan bertanggung jawab.


Tradisi sebagai Sumber Dialog Antarperadaban

Akhirnya, relevansi kontemporer naskah filsafat Islam terletak pada kemampuannya menjadi jembatan dialog antara peradaban, terutama antara dunia Islam dan Barat. Dengan menawarkan kerangka etis, epistemologis, dan metafisik yang mendalam, tradisi ini dapat menjadi basis bagi kerja sama global dalam sains, etika, dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 1–14.

[2]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 45–60.

[3]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 90–105.

[4]                Al-Fārābī, al-Madīnah al-Fāḍilah, ed. al-Fārūqī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 70–85.

[5]                William Chittick, The Self-Disclosure of God (Albany: SUNY Press, 1998), 22–40.

[6]                Khaled El-Rouayheb, Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (Cambridge: CUP, 2015), 100–120.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 200–217.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–33.

[9]                Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 85–105.


12.      Sintesis dan Perspektif Filosofis

Sintesis dan perspektif filosofis dalam kajian naskah filsafat Islam mencerminkan usaha panjang para pemikir Muslim untuk mengintegrasikan berbagai tradisi intelektual—Aristotelian, Neoplatonik, iluminatif, teosofis, dan teologis—ke dalam sebuah kerangka yang koheren dan berfungsi bagi pemahaman realitas, manusia, dan Tuhan.¹ Berbeda dari gambaran yang menganggap filsafat Islam sebagai sekadar repetisi filsafat Yunani, tradisi ini justru berkembang melalui proses kreatif yang berkesinambungan: menerima, mengoreksi, memodifikasi, dan mensintesiskan gagasan-gagasan filosofis dari berbagai sumber untuk menghasilkan struktur pemikiran yang khas. Sintesis ini mencapai bentuk-bentuknya yang paling matang pada masa pasca-klasik, terutama dalam Hikmah Muta‘āliyah, tetapi akar-akar integratifnya telah terlihat pada masa al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan Suhrawardī.

12.1.    Sintesis antara Rasionalisme dan Intuisi

Salah satu perspektif filosofis paling menonjol dalam naskah filsafat Islam adalah upaya menyatukan rasionalitas (burhān) dengan intuisi (dhawq atau ḥuḍūr).²

·                     Tradisi Avicennian memperkuat dasar rasional bagi metafisika dan epistemologi.

·                     Filsafat Iluminasi (Isyrāq) menekankan intuisi sebagai puncak pengetahuan.

·                     Hikmah Muta‘āliyah menggabungkan kedua pendekatan tersebut dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah transformasi eksistensial.³

Dengan demikian, sintesis epistemologis ini menghasilkan kerangka pengetahuan yang tidak reduksionistik dan membuka kemungkinan dialog antara filsafat dan spiritualitas.

12.2.    Integrasi Ontologi Avicennian, Iluminasi, dan Teosofi Ibn ‘Arabī

Ontologi Islam mengalami pengayaan besar ketika pemikir seperti Suhrawardī dan Mullā Ṣadrā membaca ulang karya Ibn Sīnā dalam cahaya (secara harfiah maupun metaforis) dan dalam kerangka pengalaman mistis.

Tiga poros utama integrasi tersebut ialah:

1)                  Esensialisme dan ontologi Avicennian, yang menegaskan perbedaan wujūd–mahiyyah;

2)                  Ontologi cahaya Suhrawardī, yang menggantikan substansi dengan intensitas cahaya;

3)                  Kesatuan wujud Ibn ‘Arabī, yang menampilkan realitas sebagai manifestasi tunggal dari Wujud Mutlak.⁴

Sistematika Ṣadrā menggabungkan ketiganya dalam bentuk:

·                     aṣālat al-wujūd (eksistensi adalah realitas fundamental),

·                     tashkīk al-wujūd (eksistensi bergradasi),

·                     ḥarakah jawhariyyah (gerak substansial),

·                     dan ittiḥād al-‘āqil wa al-ma‘qūl (kesatuan subjek dan objek pengetahuan).⁵

Integrasi ini menempatkan eksistensi sebagai pusat filsafat Islam pasca-klasik.

12.3.    Sintesis antara Kalam, Falsafah, dan Tasawuf

Banyak naskah filsafat pasca-klasik memperlihatkan penyerapan unsur-unsur kalam dan tasawuf ke dalam struktur filosofis. Periode ini ditandai oleh:

·                     pemikiran teologis Fakhr al-Dīn al-Rāzī yang kritis terhadap Avicennianisme,

·                     analisis logika dalam Sharḥ al-Tajrīd oleh al-Ṭūsī,

·                     pengembangan hikmah teosofis oleh Mīr Dāmād dan Ṣadrā,

·                     serta integrasi pemikiran Ibn ‘Arabī dalam kerangka filosofis.⁶

Dengan demikian, filsafat Islam tidak lagi berada dalam oposisi dengan teologi dan tasawuf, tetapi berfungsi sebagai titik temu konseptual antara rasio, wahyu, dan pengalaman mistis.

12.4.    Harmonisasi Etika dan Metafisika

Naskah filsafat Islam klasik menekankan bahwa etika tidak dapat dipisahkan dari metafisika. Kebajikan moral mengikuti struktur ontologis manusia dan alam.

·                     Dalam tradisi Avicennian, kebahagiaan adalah kesempurnaan intelektual yang berakar pada ontologi akal aktif.

·                     Dalam tradisi iluminatif, kesempurnaan moral adalah hasil “pencahayaan” jiwa oleh realitas cahaya.

·                     Dalam Hikmah Muta‘āliyah, moralitas adalah perjalanan eksistensial menuju realitas tertinggi.⁷

Sintesis antara etika dan metafisika ini penting dalam wacana etika kontemporer yang sering kehilangan landasan ontologis.

12.5.    Perspektif Filosofis tentang Manusia dan Kosmos

Tradisi filsafat Islam mengembangkan konsep manusia sebagai makhluk rasional-spiritual yang berada di pusat kosmos, bukan sebagai entitas material semata.

Suhrawardī menggambarkan manusia sebagai entitas cahaya yang terbatas; Ibn ‘Arabī melihat manusia sebagai cermin Tuhan; dan Ṣadrā memandang manusia sebagai makhluk yang mengalami perjalanan eksistensial menuju kesempurnaan.⁸

Perspektif ini mendorong:

·                     humanisme transenden,

·                     pemahaman ekologis berbasis spiritualitas,

·                     visi kosmologi yang holistik dan tidak mekanistik.

12.6.    Sintesis Metodologis: Burhān, Jadal, dan Kasyf

Dalam tradisi filsafat Islam, metode tidak pernah tunggal. Para pemikir mengintegrasikan:

·                     Burhān (demonstrasi rasional),

·                     Jadal (dialektika),

·                     dan Kasyf (penyingkapan intuitif).

Integrasi ini memungkinkan filsafat Islam mempertahankan ketelitian argumentatif tanpa mengabaikan kedalaman pengalaman spiritual.⁹

Dalam konteks pendidikan filosofis modern, sintesis metodologis ini relevan karena mendorong pendekatan interdisipliner dan holistik.

12.7.    Arah Baru: Relevansi Sintesis Filosofis bagi Dunia Modern

Sintesis filosofis yang dikembangkan dalam naskah-naskah filsafat Islam memberikan kontribusi signifikan bagi wacana kontemporer, antara lain:

·                     rekonstruksi epistemologi yang integratif,

·                     pembaruan etika dan bioetika,

·                     filsafat politik berbasis spiritualitas dan akal publik,

·                     dialog antara agama dan sains,

·                     serta dekolonisasi pengetahuan.¹⁰

Filsafat Islam menawarkan paradigma alternatif bagi dunia modern yang cenderung fragmentaris, dengan menekankan kesatuan rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas.


Kesimpulan Perspektif Sintesis Filosofis

Keseluruhan tradisi naskah filsafat Islam menunjukkan bahwa filsafat bukan sekadar warisan historis, tetapi sebuah proyek intelektual yang terus berkembang. Ia menyediakan model pemikiran yang integratif dan relevan bagi berbagai persoalan modern, menawarkan perspektif filosofis yang mampu menjembatani antara ilmu, agama, moralitas, dan pengalaman batin. Sintesis ini menjadikan filsafat Islam salah satu warisan intelektual paling kaya dan produktif dalam sejarah umat manusia.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 200–215.

[2]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2014), 170–190.

[3]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination (Atlanta: Scholars Press, 1990), 45–58.

[4]                William Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: SUNY Press, 1989), 100–115.

[5]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Albany: SUNY Press, 1975), 78–95.

[6]                Sabine Schmidtke, The Oxford Handbook of Islamic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2017), 260–280.

[7]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 115–130.

[8]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism (Berkeley: University of California Press, 1983), 250–275.

[9]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 130–150.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 300–320.


13.      Kesimpulan

Kajian terhadap naskah-naskah klasik filsafat Islam memperlihatkan bahwa tradisi intelektual Islam bukanlah sebuah bangunan monolitik, melainkan suatu ekosistem gagasan yang hidup, dinamis, dan berlapis. Naskah-naskah tersebut menampilkan interaksi produktif antara filsafat, teologi, dan tasawuf, serta memperlihatkan bagaimana para pemikir Muslim mengolah warisan intelektual Yunani, Persia, dan India ke dalam bentuk sintesis konseptual yang khas.¹ Tradisi ini tidak sekadar menyalin gagasan-gagasan luar, tetapi mengembangkan pola argumentasi baru, pendekatan epistemologis yang terintegrasi, struktur ontologis yang orisinal, dan horizon mistis yang memperkaya visi metafisik Islam.

13.1.    Keberlanjutan Tradisi Filsafat Islam

Salah satu temuan paling penting adalah kesinambungan tradisi filsafat Islam melalui mekanisme syarḥ, ḥāsyiyah, dan ta‘līq yang memfasilitasi dialog lintas generasi. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat Islam bukan fenomena sesaat pada masa Abbasiyah, tetapi suatu warisan intelektual yang terus diperbaharui dan diteruskan melalui lembaga-lembaga pendidikan, perpustakaan, madrasah, dan komunitas ulama.²

Keberlanjutan ini menegaskan bahwa filsafat Islam memiliki daya hidup internal yang sangat kuat.

13.2.    Kekayaan Tematik: Dari Ontologi hingga Politik

Kajian tematik menunjukkan bahwa naskah filsafat Islam mencakup spektrum keilmuan yang sangat luas: metafisika, epistemologi, logika, kosmologi, psikologi rasional, etika, politik, dan teosofi. Kelimpahan ini memperlihatkan bagaimana filsafat Islam berfungsi sebagai “ilmu komprehensif” yang berupaya memahami realitas secara menyeluruh.³

Setiap cabang saling terkait dan memperkuat sehingga membentuk struktur pemikiran yang kohesif.

13.3.    Integrasi Rasionalitas dan Spiritualitas

Salah satu ciri paling menonjol dari filsafat Islam adalah upaya mengintegrasikan rasionalitas (burhān) dengan intuisi (kasyf atau ḥuḍūr). Tradisi Avicennian, iluminasi Suhrawardī, dan hikmah transenden Ṣadrā menunjukkan bahwa filsafat Islam memandang pengetahuan rasional sebagai tahapan penting, tetapi tidak memadai tanpa penyempurnaan spiritual.⁴

Model integratif ini tidak hanya memperkaya epistemologi klasik, tetapi juga menawarkan perspektif alternatif bagi krisis epistemologis modern.

13.4.    Dialog Kritis antara Filsafat dan Teologi

Perdebatan antara filsafat (falsafah) dan teologi (kalām) memberikan kontribusi besar bagi pengembangan argumentasi intelektual di dunia Islam. Kritik al-Ghazālī, pembelaan Ibn Rushd, dan dialog panjang antara tokoh-tokoh seperti al-Rāzī dan al-Ṭūsī menunjukkan bahwa pertentangan dan sintesis antara kedua disiplin dapat menghasilkan perkembangan intelektual yang signifikan.⁵

Perdebatan ini melahirkan solusi konseptual baru mengenai kausalitas, keabadian alam, dan pengetahuan Tuhan, yang menjadi fondasi metafisika Islam pasca-klasik.

13.5.    Kekuatan Tradisi Komentar dan Pendidikan Madrasah

Tradisi komentar atas karya-karya filsafat Islam menciptakan jejaring intelektual yang kompleks dan kaya. Dalam konteks pendidikan, tradisi ini membantu menjaga kesinambungan dan memperdalam pemahaman filsafat.

Melalui syarḥ dan ḥāsyiyah, teks klasik “dibaca ulang” secara terus-menerus menurut konteks zaman, sehingga filsafat Islam tidak membeku, tetapi berkembang.⁶

Tradisi inilah yang memungkinkan filsafat Islam bertahan hingga modern.

13.6.    Relevansi bagi Dunia Kontemporer

Naskah-naskah klasik filsafat Islam tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga menawarkan wawasan filosofis bagi persoalan kontemporer:

·                     krisis identitas dan kemanusiaan,

·                     etika teknologi dan bioetika,

·                     hubungan antara agama dan sains,

·                     dialog antarperadaban,

·                     serta dekolonisasi epistemologi.

Pemikiran Suhrawardī, Ibn ‘Arabī, dan Mullā Ṣadrā, misalnya, memberikan inspirasi baru bagi filsafat modern yang mencari integrasi antara rasionalitas dan spiritualitas.⁷

13.7.    Kontribusi terhadap Peradaban dan Pemikiran Global

Filsafat Islam telah memberikan kontribusi besar terhadap peradaban dunia, khususnya melalui penerjemahan, komentar, dan elaborasi gagasan-gagasan metafisik dan ilmiah. Warisan ini tidak hanya mempengaruhi dunia Islam, tetapi juga Eropa melalui tradisi Andalusia dan Latin.

Di era globalisasi intelektual, filsafat Islam kembali mendapat perhatian sebagai sumber pengetahuan universal yang mampu menjembatani krisis moral, spiritual, dan epistemologis dunia modern.⁸


Penutup: Filsafat Islam sebagai Tradisi Terbuka

Kesimpulannya, naskah-naskah klasik filsafat Islam memperlihatkan bahwa filsafat Islam adalah tradisi terbuka, tidak dogmatis, dan terus berkembang. Ia menggabungkan masa lalu dengan masa depan, rasionalitas dengan intuisi, teks dengan pengalaman, serta metafisika dengan realitas sosial.

Tradisi ini menyisakan ruang luas bagi penelitian lanjutan, baik dalam bidang filologi, hermeneutika, maupun filsafat komparatif, sekaligus menyajikan fondasi kokoh bagi pembentukan pemikiran Islam yang lebih reflektif dan relevan bagi zaman yang terus berubah.⁹


Footnotes

[1]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul, 1993), 1–15.

[2]                Dimitri Gutas, “The Study of Arabic Philosophy: Structure and Categories,” Journal of the History of Ideas 53, no. 4 (1992): 561–564.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 55–80.

[4]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 15–35.

[5]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 54–70.

[6]                Khaled El-Rouayheb, Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 22–36.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 280–300.

[8]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 2009), 145–166.

[9]                Sajjad Rizvi, Mullā Ṣadrā and Metaphysics (London: Routledge, 2009), 170–185.


Daftar Pustaka

Adamson, P. (2007). Al-Kindī. Oxford University Press.

Adamson, P., & Taylor, R. (Eds.). (2005). The Cambridge companion to Arabic philosophy. Cambridge University Press.

Baffioni, C. (2013). The Brethren of Purity: Epistles. Oxford University Press.

Bertolacci, A. (2006). The reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s early works. Brill.

Bertolacci, A. (2004). Avicenna’s theory of emanation. Documenti e Studi, 14, 139–157.

Bertolacci, A. (2013). The manuscript tradition of Avicenna’s philosophical works. Oriens, 41(3–4), 257–281.

Bloom, J. (2001). Paper before print: The history and impact of paper in the Islamic world. Yale University Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge. SUNY Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God. SUNY Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy. Kegan Paul.

Déroche, F. (2006). Islamic codicology: An introduction to the study of manuscripts in Arabic script. Al-Furqan Islamic Heritage Foundation.

El-Rouayheb, K. (2010). Relational syllogisms and the history of Arabic logic. Brill.

El-Rouayheb, K. (2015). Islamic intellectual history in the seventeenth century. Cambridge University Press.

Fakhry, M. (1991). Ethical theories in Islam. Brill.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Farabī, Al-. (1968). Al-Madīnah al-Fāḍilah (al-Fārūqī, Ed.). Dār al-Ma‘ārif.

Frank, R. (1992). Creation and the cosmic system: Al-Ghazālī and Avicenna. Carl Winter.

Gacek, A. (2009). Arabic manuscripts: A vademecum for readers. Brill.

Genequand, C. (1984). Ibn Rushd’s metaphysics in context. Brill.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. Routledge.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture. Routledge.

Gutas, D. (2014). Avicenna and the Aristotelian tradition. Brill.

Gutas, D. (1992). The study of Arabic philosophy: Structure and categories. Journal of the History of Ideas, 53(4), 561–569.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The principles of epistemology in Islamic philosophy. SUNY Press.

Ibn ‘Arabī. (1989). The Sufi path of knowledge (W. Chittick, Trans.). SUNY Press.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb al-Akhlāq (C. Zurayk, Ed.). American University of Beirut Press.

Ibn Rushd. (1954). Tahāfut al-Tahāfut (S. van den Bergh, Ed.). Luzac.

Ibn Sīnā. (1960). Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (S. Dunyā, Ed.). Dār al-Ma‘ārif.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism. University of California Press.

Leaman, O. (2009). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Mullā Ṣadrā. (2009). Mullā Ṣadrā and metaphysics (S. Rizvi). Routledge.

Najjar, I. Y. (1972). Hayy ibn Yaqzan and the origins of Islamic philosophical allegory. Studia Islamica, 36, 57–72.

Nasr, S. H. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present. SUNY Press.

Pourjavady, N. (2007). Ethics in post-classical Islamic philosophy. Journal of Islamic Philosophy, 3, 45–60.

Rahman, F. (1975). The philosophy of Mulla Sadra. SUNY Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity. University of Chicago Press.

Rizvi, S. (2009). Mullā Ṣadrā and metaphysics. Routledge.

Roper, G. (2012). The digital Islamic manuscripts library. Manuscripts of the Middle East, 15, 5–12.

Roper, G. (2014). Islamic manuscripts and digitization projects. Manuscripts of the Middle East, 17, 7–19.

Schmidtke, S. (2017). The Oxford handbook of Islamic philosophy. Oxford University Press.

Sellheim, R. (2012). Philology. In P. Bearman et al. (Eds.), Encyclopaedia of Islam. Brill.

Shihadeh, A. (2015). Marginalia and the transmission of classical Islamic philosophy. Arabic Sciences and Philosophy, 25(2), 197–218.

Street, T. (2000). Aristotle’s Categories in the Arabic tradition. Arabic Sciences and Philosophy, 10(2), 161–183.

Street, T. (2005). Arabic logic. In P. Adamson & R. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 247–273). Cambridge University Press.

Suhrawardī, S. (1976). Ḥikmat al-Ishrāq (H. Corbin, Ed.). ICP.

Taylor, R. C. (2000). Aristotle’s Categories in the Arabic tradition. Arabic Sciences and Philosophy, 10(2), 165–182. (Catatan: beberapa artikel Taylor dan Street sering dirujuk bersama)

Witkam, J. J. (2005). Seven codicological essays. Ter Lugt Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and illumination. Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar