Kamis, 06 November 2025

Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī): Struktur, Prinsip, dan Nilai dalam Tradisi Pemikiran Islam dan Filsafat Klasik

Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī)

Struktur, Prinsip, dan Nilai dalam Tradisi Pemikiran Islam dan Filsafat Klasik


Alihkan ke: Ilmu Mantiq.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) sebagai salah satu cabang utama dalam tradisi ilmu manṭiq Islam, dengan pendekatan filosofis, historis, dan aksiologis. Melalui analisis komprehensif terhadap sumber-sumber klasik seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī, Ibn Rushd, hingga Mullā Ṣadrā, tulisan ini menegaskan bahwa logika formal bukan sekadar sistem inferensi deduktif, tetapi juga fondasi epistemik dan etis bagi seluruh struktur pengetahuan Islam. Secara historis, logika formal berkembang dari akar Aristotelian menuju sintesis Islam yang menekankan keteraturan berpikir dan tanggung jawab moral akal. Secara ontologis, ia mengkaji ṣūrah al-fikr (bentuk pikiran) sebagai realitas rasional yang mencerminkan tatanan kosmos; secara epistemologis, ia menegakkan prinsip validitas, koherensi, dan non-kontradiksi sebagai hukum akal universal; dan secara aksiologis, ia berfungsi sebagai mīzān al-ʿaql—penuntun bagi kejujuran berpikir, ketertiban intelektual, dan etika ilmiah.

Artikel ini juga menyoroti dimensi sosial dan intelektual logika formal dalam tradisi pendidikan Islam, perannya dalam budaya debat (munāẓarah), serta kontribusinya terhadap metodologi ilmiah dan hukum Islam (uṣūl al-fiqh). Berbagai kritik terhadap formalisme dan abstraksi logika—baik dari Ibn Taymiyyah hingga pemikir modern seperti al-Jābirī—dibahas secara analitik untuk menunjukkan bahwa al-Manṭiq al-Ṣuwarī tetap relevan sebagai struktur nalar kritis yang terbuka terhadap pembaruan. Relevansi kontemporernya tampak dalam konteks pendidikan modern, etika digital, kecerdasan buatan, dan dialog antarperadaban, di mana prinsip-prinsip logika Islam dapat memperkuat rasionalitas, integritas epistemik, dan kesadaran spiritual.

Pada tataran sintesis filosofis, al-Manṭiq al-Ṣuwarī dipahami sebagai sistem integral yang menyatukan antara bentuk dan isi pikiran, antara rasionalitas dan moralitas, serta antara akal dan wahyu. Ia menjadi paradigma berpikir yang menghubungkan dimensi empiris dan metafisis dari realitas, menegaskan bahwa berpikir benar bukan hanya proses kognitif, tetapi juga perjalanan eksistensial menuju ḥikmah (kebijaksanaan). Dengan demikian, logika formal Islam bukan sekadar warisan intelektual masa lalu, melainkan sumber daya rasional dan spiritual yang relevan bagi pembentukan nalar kritis, etika berpikir, dan harmoni intelektual manusia modern.

Kata Kunci: al-Manṭiq al-Ṣuwarī, logika formal Islam, filsafat rasional, epistemologi Islam, aksiologi logika, Ibn Sīnā, al-Fārābī, rasionalitas dan spiritualitas, etika berpikir, hikmah.


PEMBAHASAN

Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) dalam Tradisi Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Logika formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) menempati posisi yang sangat fundamental dalam tradisi keilmuan Islam maupun filsafat klasik. Ia berfungsi sebagai disiplin yang menelaah struktur atau bentuk berpikir yang benar tanpa memperhatikan isi atau materi dari pikiran itu sendiri. Dalam konteks epistemologi Islam, logika formal dipahami sebagai perangkat metodologis untuk menjaga keteraturan akal manusia dalam mencapai kebenaran (ḥaqīqah) melalui penalaran yang sahih dan terhindar dari kesesatan berpikir (mughālaṭah). Dengan demikian, al-Manṭiq al-Ṣuwarī bukan sekadar sistem simbolik atau teknik deduktif, tetapi juga sebuah disiplin yang memiliki dimensi moral, intelektual, dan spiritual, karena ia membentuk cara berpikir yang konsisten, tertib, dan bertanggung jawab terhadap kebenaran.¹

Secara historis, kemunculan logika formal dalam dunia Islam tidak dapat dilepaskan dari pengaruh karya-karya Aristoteles, terutama Organon, yang kemudian diadaptasi, disempurnakan, dan diislamkan oleh para pemikir Muslim seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī.² Para pemikir ini tidak hanya menerjemahkan atau mengomentari teks Yunani, melainkan juga menafsirkan logika dalam bingkai epistemologi Islam. Misalnya, al-Fārābī menegaskan bahwa logika adalah qānūn al-fikr—hukum berpikir yang menjaga pikiran manusia dari kesalahan sebagaimana gramatika menjaga bahasa dari kekeliruan.³ Sedangkan Ibn Sīnā menempatkan logika sebagai instrumen untuk memperoleh yaqīn (keyakinan yang pasti) melalui proses taṣawwur (konsepsi) dan taṣdīq (asersi atau penetapan kebenaran).⁴ Dengan demikian, logika formal dalam tradisi Islam berfungsi sebagai sarana epistemik untuk menata struktur nalar dalam bentuk-bentuk proposisi dan silogisme yang benar secara formal.

Dalam kerangka ini, al-Manṭiq al-Ṣuwarī menekankan analisis terhadap ṣūrah al-fikr (bentuk pikiran), bukan terhadap māddah al-fikr (isi pikiran).⁵ Fokus utamanya ialah pada hubungan antar-konsep (term), antar-proposisi, dan keterikatan logis yang membentuk silogisme sebagai model berpikir deduktif. Prinsip-prinsip seperti identitas, non-kontradiksi, dan eksklusi tengah menjadi fondasi dari logika formal yang memastikan konsistensi berpikir.⁶ Dalam tradisi Islam, prinsip-prinsip ini tidak dipandang sebagai produk akal manusia semata, melainkan sebagai refleksi keteraturan rasional ciptaan Tuhan dalam tatanan wujud (niẓām al-wujūd). Oleh sebab itu, mempelajari logika formal berarti sekaligus mempelajari hukum-hukum universal berpikir yang sejalan dengan fitrah rasional manusia.⁷

Tujuan utama kajian logika formal ialah untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang benar secara struktural dan metodis. Dalam konteks pendidikan Islam, logika formal berperan sebagai alat untuk melatih disiplin mental (riyāḍah al-ʿaql) serta meningkatkan kapasitas kritis peserta didik terhadap argumen yang muncul dalam wacana ilmiah maupun sosial.⁸ Melalui penguasaan prinsip-prinsip logika formal, seseorang diharapkan dapat menghindari kekeliruan nalar seperti fallacy, ambiguitas, dan inferensi yang tidak sah, sehingga menghasilkan pemikiran yang jernih dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Lebih jauh, logika formal tidak hanya relevan dalam tataran akademis, tetapi juga memiliki dimensi aksiologis yang mendalam. Ketertiban berpikir yang ditanamkan oleh al-Manṭiq al-Ṣuwarī merefleksikan nilai kejujuran intelektual dan keadilan epistemik, karena logika menuntut agar setiap kesimpulan diambil berdasarkan premis yang sah dan sesuai dengan kaidah.⁹ Oleh karena itu, logika formal menjadi jembatan antara rasionalitas dan etika, antara metode dan moralitas.

Dalam konteks kontemporer, pembahasan tentang logika formal menjadi semakin penting ketika dunia modern menghadapi krisis nalar dan penyebaran informasi yang sering kali tidak terverifikasi. Dengan memahami al-Manṭiq al-Ṣuwarī, kita dapat menegakkan kembali disiplin berpikir kritis dan sistematis sebagai dasar bagi ilmu, teknologi, dan etika digital yang bertanggung jawab.¹⁰ Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif hakikat, struktur, dan nilai logika formal dalam tradisi pemikiran Islam, menelusuri akar historisnya, menjelaskan aspek ontologis dan epistemologisnya, serta menilai relevansinya bagi dunia intelektual dan sosial masa kini.


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 112–113.

[2]                Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 5–8.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 14.

[4]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 39–42.

[5]                A.I. Sabra, “Avicenna on the Subject Matter of Logic,” Journal of Philosophy in Islam 12, no. 2 (1986): 145–160.

[6]                W. Kneale and M. Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 25–30.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 97–99.

[8]                M. Saeed Sheikh, A New Approach to Islamic Logic (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1982), 58–60.

[9]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 7–10.

[10]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 133–135.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Kajian mengenai Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) dalam tradisi Islam tidak dapat dilepaskan dari akar historisnya yang panjang dan kompleks, yang berawal dari filsafat Yunani klasik hingga mencapai bentuknya yang matang dalam pemikiran para logikawan Muslim abad pertengahan. Secara historis, istilah al-Manṭiq al-Ṣuwarī merujuk pada dimensi formal dari logika, yakni pada ṣūrah al-fikr—struktur atau bentuk pikiran yang menentukan validitas suatu penalaran tanpa mempertimbangkan kebenaran material dari isi proposisi.¹ Dengan demikian, sejak awal, logika formal telah menempati posisi epistemik sebagai instrumen berpikir yang bertujuan menata nalar manusia agar dapat mencapai kebenaran melalui jalan yang sahih dan metodis.

Akar genealogis logika formal dapat ditelusuri hingga karya Aristoteles, khususnya Organon, yang menjadi kumpulan teks utama bagi seluruh tradisi logika Yunani dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti ʿAbbāsiyyah (abad ke-8 hingga ke-10 M).² Penerjemahan dan pengembangan ini dimotori oleh para ilmuwan di Bayt al-Ḥikmah di Baghdad, seperti Ḥunayn ibn Isḥāq dan Ishāq ibn Ḥunayn, yang memperkenalkan terminologi logis ke dalam bahasa Arab dengan kecermatan terminologis yang tinggi.³ Proses penerjemahan ini bukan hanya bersifat linguistik, tetapi juga hermeneutik, karena para cendekiawan Muslim berupaya menafsirkan logika Aristoteles dalam kerangka epistemologi Islam yang menekankan keteraturan rasional sebagai manifestasi dari tatanan ilahi (niẓām ilāhī).⁴

Tokoh pertama yang secara sistematis mengintegrasikan logika Aristoteles dengan tradisi Islam adalah al-Fārābī (w. 950 M), yang dijuluki sebagai Muʿallim al-Thānī (Guru Kedua) setelah Aristoteles.⁵ Dalam karya-karyanya seperti Kitāb al-Qiyās dan Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, al-Fārābī membedakan antara dua aspek utama logika: aspek formal (yang membahas bentuk penalaran) dan aspek material (yang membahas isi atau muatan proposisi).⁶ Menurutnya, logika formal merupakan qānūn al-fikr, yaitu hukum berpikir yang berfungsi sebagaimana tata bahasa (naḥw) berfungsi dalam bahasa; ia menjaga pikiran dari kesalahan sebagaimana gramatika menjaga ujaran dari kesalahan linguistik.⁷ Pandangan ini menandai permulaan formalisasi logika dalam konteks Islam, di mana ṣūrah al-fikr menjadi titik fokus analisis epistemik.

Setelah al-Fārābī, Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037 M) mengembangkan sistem logika yang lebih kompleks dan sistematis, menjadikannya sebagai bagian integral dari filsafat Islam.⁸ Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt dan Al-Shifāʾ, Ibn Sīnā menegaskan bahwa logika bukan hanya alat bantu berpikir, tetapi juga fondasi epistemologi bagi seluruh ilmu rasional.⁹ Ia menekankan pentingnya membedakan antara bentuk (ṣūrah) dan isi (māddah) dalam setiap penalaran. Menurutnya, kebenaran formal merupakan syarat perlu bagi validitas penalaran, sedangkan kebenaran material merupakan syarat cukup bagi pengetahuan yang benar.¹⁰ Dengan demikian, Ibn Sīnā menempatkan logika formal pada posisi yang lebih tinggi secara metodologis daripada sekadar alat teknis; ia adalah struktur nalar itu sendiri.

Al-Ghazālī (w. 1111 M) kemudian memainkan peran penting dalam meneguhkan legitimasi logika formal dalam teologi dan hukum Islam.¹¹ Dalam karyanya Miʿyār al-ʿIlm dan Miḥakk al-Naẓar, ia menegaskan bahwa logika adalah prasyarat sah bagi semua bentuk penalaran ilmiah, termasuk dalam uṣūl al-fiqh dan ilmu kalām.¹² Al-Ghazālī bahkan menyatakan bahwa siapa pun yang tidak menguasai logika, maka keilmuannya tidak dapat dipercaya.¹³ Pernyataan ini bukanlah sekadar hiperbola retoris, melainkan refleksi atas kesadarannya akan pentingnya bentuk berpikir yang tertib dan sahih. Dalam konteks inilah logika formal memperoleh status epistemologis sebagai ilmu alat (ʿilm ālah) yang mendasari disiplin ilmiah lainnya.

Perkembangan selanjutnya dapat dilihat pada karya Athīr al-Dīn al-Abharī (w. 1265 M) yang menyusun Isāghūjī, sebuah teks ringkas tentang logika yang menjadi kitab standar di madrasah Islam selama berabad-abad.¹⁴ Melalui karya ini, konsep-konsep dasar logika formal seperti term (mafhūm), proposisi (qaḍiyyah), dan silogisme (qiyās) disusun secara sistematis dan diajarkan sebagai instrumen berpikir yang harus dikuasai oleh setiap pelajar ilmu-ilmu rasional.¹⁵ Tradisi ini berlanjut hingga ke pemikir-pemikir Islam modern seperti Mullā Ṣadrā, al-Taftāzānī, dan ʿAllāmah Ṭabāṭabāʾī, yang terus merefleksikan dimensi ontologis dan epistemologis dari logika formal dalam kaitannya dengan metafisika dan teologi rasional.¹⁶

Dengan demikian, secara genealogis, al-Manṭiq al-Ṣuwarī bukan sekadar warisan Yunani yang diislamkan, tetapi merupakan hasil sintesis kreatif antara rasionalitas Hellenistik dan spiritualitas Islam. Ia berkembang sebagai sistem berpikir yang tidak hanya menekankan validitas formal, tetapi juga keutuhan epistemik antara akal dan wahyu. Sejak al-Fārābī hingga para logikawan kontemporer, logika formal dalam Islam telah menjadi jembatan antara disiplin filosofis dan teologis, antara penalaran deduktif dan penyingkapan makna ilahi (kashf).¹⁷ Oleh karena itu, memahami landasan historis dan genealogis al-Manṭiq al-Ṣuwarī berarti memahami dinamika evolusi rasionalitas Islam itu sendiri.


Footnotes

[1]                A.I. Sabra, “Avicenna on the Subject Matter of Logic,” Journal of Philosophy in Islam 12, no. 2 (1986): 145–160.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 31–33.

[3]                F. E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 22–24.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 44–47.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 71.

[6]                Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. ʿUthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1949), 39–40.

[7]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 14.

[8]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 63–65.

[9]                Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Hayʾah al-ʿĀmmah li Shuʾūn al-Maṭābiʿ, 1952), 12–15.

[10]             Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology (London: Oxford University Press, 1952), 22–24.

[11]             Michael Marmura, “Ghazālī and Demonstrative Science,” Journal of the History of Philosophy 3, no. 2 (1965): 183–204.

[12]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 7–10.

[13]             Al-Ghazālī, Al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl, ed. Muḥammad ʿAbd al-Salām ʿAbd al-Shāfī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 12.

[14]             Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī, ed. ʿAbd al-Raḥmān ʿUmayrah (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1991), 5–6.

[15]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 25–27.

[16]             ʿAllāmah Muḥammad Ḥusayn Ṭabāṭabāʾī, Nihāyat al-Ḥikmah (Qom: Dār al-Ḥikmah, 1985), 103–106.

[17]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 142–145.


3.           Ontologi Logika Formal

Dalam kerangka filsafat Islam, ontologi logika formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat dan status keberadaan objek kajiannya—yakni ṣūrah al-fikr (bentuk pikiran). Secara ontologis, logika formal tidak membahas realitas eksternal (al-wujūd al-khārijī), melainkan realitas intelektual yang eksis dalam akal manusia (al-wujūd al-dhihnī).¹ Objeknya bukanlah benda-benda konkret atau fakta empiris, melainkan struktur berpikir yang bersifat universal dan abstrak. Dengan demikian, al-Manṭiq al-Ṣuwarī beroperasi pada tataran “ada dalam pikiran,” bukan “ada dalam kenyataan,” namun keberadaannya tetap riil dalam dimensi intelektual sebagai hukum-hukum berpikir yang mengatur konsistensi rasionalitas.²

Al-Fārābī menyatakan bahwa logika “mempertimbangkan bentuk pikiran sebagaimana tata bahasa mempertimbangkan bentuk ucapan.”³ Pernyataan ini menegaskan bahwa ontologi logika formal berakar pada konsep ṣūrah, yakni bentuk ideal dari suatu pikiran yang terlepas dari muatan materialnya (māddah). Bentuk ini memiliki eksistensi konseptual yang tetap, sekalipun tidak memiliki padanan material di dunia luar. Dalam hal ini, bentuk pikiran bukanlah fiksi, melainkan entitas rasional yang dapat ditangkap oleh akal melalui abstraksi (tajrīd).⁴ Para filsuf Muslim memandang bahwa bentuk-bentuk logis seperti mafhūm (konsep), qaḍiyyah (proposisi), dan qiyās (silogisme) merupakan “wujud kedua” (al-wujūd al-thānī)—yakni eksistensi yang diturunkan dari realitas pertama (objek eksternal), tetapi memiliki kemandirian fungsional dalam nalar manusia.⁵

Secara lebih spesifik, objek ontologis logika formal dapat dibedakan menjadi tiga tingkat: pertama, term atau konsep (mafhūm), yang merupakan bentuk pikiran paling sederhana dan menjadi dasar seluruh struktur logis; kedua, proposisi (qaḍiyyah), yaitu pernyataan yang menghubungkan dua konsep dalam relasi afirmatif atau negatif; dan ketiga, silogisme (qiyās), yaitu struktur inferensial yang menghubungkan dua atau lebih proposisi untuk menghasilkan kesimpulan baru.⁶ Ketiganya membentuk hierarki ontologis pikiran formal, di mana setiap tingkat mengandung hukum-hukum internal yang menentukan validitasnya.

Ibn Sīnā menganggap logika formal sebagai ilmu yang mempelajari bentuk universal (ṣuwar kulliyyah) dari penalaran, di mana keberadaan bentuk tersebut bersifat iʿtibārī—yakni eksistensi yang diakui oleh akal sejauh ia berfungsi untuk menata pemikiran.⁷ Bentuk-bentuk ini tidak berdiri sendiri seperti entitas material, melainkan eksis sebagai struktur mental yang bergantung pada kesadaran rasional. Dengan demikian, logika formal tidak mengandaikan ontologi realistis dalam arti tradisional, tetapi memiliki ontologi kognitif: ia berurusan dengan kaifiyyah wujūd al-maʿqūl (cara keberadaan sesuatu dalam akal).⁸ Dalam perspektif ini, bentuk-bentuk logis tidak hanya “dipikirkan,” melainkan juga menjadi sarana bagi akal untuk “memikirkan” yang lain.

Secara metafisik, relasi antara bentuk logis dan realitas eksternal menjadi persoalan penting dalam filsafat Islam. Para logikawan seperti al-Ghazālī dan al-Taftāzānī menegaskan bahwa bentuk logis bersifat representasional: ia tidak identik dengan realitas, tetapi merepresentasikan tatanan objektifnya dalam struktur proposisi.⁹ Dengan kata lain, hubungan antara pikiran dan realitas tidak bersifat isomorfik (identik secara bentuk), melainkan analogis. Bentuk logis hanya menangkap aspek-aspek universal dari realitas, bukan partikularitasnya. Karena itu, logika formal berfungsi sebagai cermin ideal dari dunia empiris, bukan sebagai duplikasi ontologisnya.¹⁰

Pandangan ini menghasilkan distingsi yang khas dalam filsafat Islam antara bentuk pikiran (ṣūrah fikriyyah) dan isi pikiran (māddah fikriyyah).¹¹ Bentuk pikiran adalah tatanan internal dari cara berpikir yang sahih, sementara isi pikiran mengacu pada objek atau makna yang diacu. Jika isi pikiran bersumber dari pengalaman empiris atau wahyu, maka bentuk pikiran menjamin bahwa penalaran terhadap isi tersebut berlangsung secara logis dan koheren. Dengan demikian, logika formal memiliki status ontologis sebagai “hukum-hukum bentuk” (qawāʿid al-ṣūrah) yang inheren dalam nalar manusia, yang secara potensial selalu teraktualisasi ketika manusia berpikir secara rasional.¹²

Dalam perspektif teologis-filosofis, ontologi logika formal juga mencerminkan keteraturan ciptaan Tuhan dalam tatanan akal. Ibn Rushd (Averroes) menegaskan bahwa hukum-hukum berpikir yang dikaji logika formal bukan hasil kesepakatan sosial, melainkan manifestasi dari hukum universal yang bersumber pada rasionalitas ilahi.¹³ Maka, struktur deduktif yang sahih bukan sekadar konstruksi intelektual, melainkan juga ekspresi dari keteraturan kosmos yang rasional (niẓām al-kawn).¹⁴ Dengan kata lain, mempelajari logika formal berarti memahami dimensi ontologis rasionalitas yang menegaskan kesatuan antara akal manusia dan tatanan realitas.

Dari sudut pandang ontologi modern, gagasan ini menemukan relevansinya dalam perbandingan dengan logika simbolik dan teori sistem formal kontemporer. Struktur logis yang bersifat apriori tetap dipandang sebagai kondisi kemungkinan bagi pengetahuan ilmiah, sebagaimana ditegaskan oleh Immanuel Kant dalam kerangka transendentalnya.¹⁵ Namun, dalam tradisi Islam, prinsip apriori tersebut tidak berdiri otonom dari realitas metafisik, melainkan selalu dihubungkan dengan sumber keesaan Tuhan sebagai dasar rasionalitas semesta. Oleh sebab itu, al-Manṭiq al-Ṣuwarī tidak hanya mempersoalkan validitas bentuk berpikir, tetapi juga mengandung dimensi ontologis yang lebih dalam—yakni keterhubungan antara bentuk rasional dan realitas wujud yang hakiki.¹⁶

Dengan demikian, ontologi logika formal menegaskan bahwa bentuk-bentuk pikiran memiliki eksistensi intelektual yang nyata dan fungsional. Ia menjadi medium antara akal dan realitas, antara yang empiris dan yang metafisis. Dalam perspektif ini, logika formal bukanlah sistem simbolik yang kering, melainkan bagian dari struktur wujud rasional manusia yang mencerminkan keteraturan ontologis alam semesta dan, pada akhirnya, kebijaksanaan Ilahi yang menopang seluruh realitas.¹⁷


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 108–109.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 56–58.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 14.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 71–72.

[5]                Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Muḥammad Taqī Dānishpazhūh (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehrān, 1985), 12–14.

[6]                A.I. Sabra, “Avicenna on the Subject Matter of Logic,” Journal of Philosophy in Islam 12, no. 2 (1986): 145–160.

[7]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 39–42.

[8]                M. Saeed Sheikh, A New Approach to Islamic Logic (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1982), 58–60.

[9]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 20–23.

[10]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 32–34.

[11]             Al-Taftāzānī, Sharḥ al-Talwīḥ ʿalā al-Tawḍīḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2001), 15–16.

[12]             Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 10–12.

[13]             Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Qiyās li-Arisṭūṭālīs, ed. George Hourani (Beirut: Dār al-Mashriq, 1952), 27–28.

[14]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 141–143.

[15]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 99–101.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 97–99.

[17]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 87–90.


4.           Epistemologi Logika Formal

Epistemologi Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) berkaitan erat dengan kajian mengenai sumber, metode, dan validitas pengetahuan yang dihasilkan melalui struktur berpikir yang sahih. Dalam kerangka filsafat Islam, logika formal dipahami bukan sekadar sebagai alat teknis untuk menarik kesimpulan, tetapi sebagai perangkat epistemik yang menjamin ṣihḥat al-taʿaqqul (kesehatan penalaran).¹ Ia berfungsi mengatur cara akal bekerja sehingga setiap kesimpulan yang diperoleh memiliki dasar yang benar, teratur, dan bebas dari kontradiksi. Dalam pengertian ini, epistemologi logika formal menempati posisi sentral sebagai jembatan antara tashawwur (konsepsi) dan tashdīq (penetapan kebenaran), dua fase utama dalam proses pengetahuan menurut para logikawan Islam.²

4.1.       Logika sebagai Instrumen Pengetahuan yang Valid

Al-Fārābī menegaskan bahwa logika adalah ʿilm ālah (ilmu alat) yang mengatur kaidah berpikir benar, sebagaimana tata bahasa mengatur kaidah berbicara.³ Ia bukan sumber pengetahuan yang memberikan isi baru, melainkan metodologi yang memastikan kebenaran struktural dari proses berpikir. Karena itu, logika formal memiliki nilai epistemik instrumental—ia tidak memberi pengetahuan empiris, tetapi menjamin bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera, akal, atau intuisi memiliki bentuk penalaran yang benar.⁴ Dengan kata lain, logika berfungsi sebagai penjaga kebenaran formal, sementara pengalaman dan wahyu menjadi sumber kebenaran material.

Ibn Sīnā memperluas pandangan ini dengan menegaskan bahwa logika formal berperan dalam menentukan ṭarīq al-yaqīn (jalan menuju keyakinan yang pasti).⁵ Menurutnya, akal manusia dapat terjerumus dalam kesalahan bukan karena kekurangan data empiris, melainkan karena kesalahan dalam struktur berpikir. Oleh sebab itu, logika formal menjadi syarat epistemologis bagi tercapainya ʿilm yaqīnī (pengetahuan yang pasti).⁶ Ia menjelaskan bahwa kebenaran penalaran formal bergantung pada dua hal: (a) konsistensi bentuk inferensi (validitas logis), dan (b) kejelasan konsep yang digunakan dalam proposisi.⁷ Dalam kerangka ini, logika formal memfasilitasi hubungan epistemik antara tasawwur—yakni pembentukan makna konseptual yang jelas—dan tasdīq—yakni penetapan kebenaran yang teruji melalui inferensi yang sah.⁸

4.2.       Prinsip-Prinsip Epistemik Logika Formal

Tiga prinsip dasar yang menopang struktur epistemologi logika formal adalah identitas (al-huwiyyah), non-kontradiksi (nafyu al-tanāquḍ), dan eksklusi tengah (nafyu al-wasaṭ).⁹ Prinsip identitas menyatakan bahwa sesuatu adalah dirinya sendiri (A = A), yang menjadi dasar bagi kejelasan konsep. Prinsip non-kontradiksi menegaskan bahwa dua proposisi yang saling bertentangan tidak dapat benar pada waktu dan cara yang sama (A ≠ non-A).¹⁰ Sedangkan prinsip eksklusi tengah memastikan bahwa setiap proposisi hanya memiliki dua nilai kebenaran: benar atau salah; tidak ada posisi di antara keduanya.¹¹ Ketiga prinsip ini merupakan asas formal bagi seluruh inferensi logis dan menjadi landasan epistemik bagi stabilitas rasionalitas.

Dalam tradisi Islam, ketiga prinsip tersebut tidak dipandang semata-mata sebagai hukum buatan manusia, tetapi sebagai hukum rasional yang bersumber dari keteraturan wujud ciptaan Tuhan.¹² Hal ini sejalan dengan pandangan Ibn Rushd yang menyatakan bahwa hukum-hukum berpikir bersifat ṭabīʿī (natural) dan universal, karena akal manusia diciptakan untuk berfungsi selaras dengan struktur realitas.¹³ Dengan demikian, epistemologi logika formal dalam Islam mengandung fondasi teologis yang menegaskan kesatuan antara kebenaran rasional dan kebenaran ontologis.

4.3.       Validitas, Koherensi, dan Kebenaran

Epistemologi logika formal juga membedakan secara tegas antara validitas (ṣiḥḥah) dan kebenaran (ḥaqīqah).¹⁴ Validitas berkaitan dengan bentuk inferensi—apakah kesimpulan mengikuti dari premis secara sah menurut aturan logika. Sementara kebenaran menyangkut kesesuaian antara proposisi dan realitas eksternal.¹⁵ Logika formal hanya menjamin yang pertama, bukan yang kedua. Namun, dalam epistemologi Islam, keduanya saling melengkapi: bentuk yang sah (valid) menjadi syarat perlu bagi pengetahuan yang benar, sedangkan kesesuaian dengan realitas menjadi syarat cukup.¹⁶

Prinsip koherensi menjadi mekanisme utama bagi penentuan validitas formal. Al-Ghazālī dalam Miʿyār al-ʿIlm menegaskan bahwa berpikir benar berarti berpikir secara koheren—yakni konsisten antara premis dan kesimpulan.¹⁷ Koherensi di sini bukan hanya konsistensi logis, tetapi juga kesesuaian metodologis antara struktur argumen dan kriteria akal sehat (ʿaql salīm).¹⁸ Maka, logika formal dalam Islam tidak terlepas dari etika berpikir, karena validitas formal mencerminkan ketertiban moral dalam nalar manusia.

4.4.       Logika Formal dan Proses Pembentukan Ilmu

Epistemologi logika formal memainkan peranan penting dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan. Ia berfungsi sebagai fondasi metodologis bagi semua disiplin rasional (ʿulūm ʿaqliyyah), termasuk filsafat, teologi (ʿilm al-kalām), dan hukum Islam (uṣūl al-fiqh).¹⁹ Dalam kerangka ini, logika formal menjadi alat untuk menilai kebenaran argumen dan menolak kesesatan (mughālaṭah).²⁰ Oleh karena itu, setiap ilmu yang bersifat deduktif bergantung pada prinsip-prinsip logika formal sebagai jaminan bagi konsistensi metodologisnya.

Dalam konteks kontemporer, epistemologi logika formal memiliki relevansi baru ketika dikaitkan dengan sistem logika simbolik, matematika, dan kecerdasan buatan. Struktur inferensi yang dikembangkan dalam al-Manṭiq al-Ṣuwarī menunjukkan kesamaan dengan sistem formal modern dalam hal penalaran deduktif, meskipun berbeda dalam dimensi metafisiknya.²¹ Logika formal Islam tetap mempertahankan prinsip bahwa rasionalitas manusia tidak otonom dari nilai dan realitas, melainkan berakar pada keteraturan ontologis yang bersumber dari Tuhan.²² Dengan demikian, epistemologi logika formal menjadi jembatan antara pengetahuan ilmiah dan hikmah metafisik, antara metode rasional dan makna eksistensial.


Kesimpulan Epistemologis

Dari keseluruhan pembahasan, dapat ditegaskan bahwa epistemologi logika formal menempatkan al-Manṭiq al-Ṣuwarī sebagai sistem hukum berpikir yang bersifat universal, rasional, dan normatif. Ia menjamin konsistensi internal penalaran sekaligus membuka jalan menuju pengetahuan yang pasti (ʿilm yaqīnī). Dalam tradisi Islam, logika formal tidak hanya menjelaskan “bagaimana kita berpikir,” tetapi juga “mengapa berpikir itu memiliki makna epistemik dan etis.”²³ Dengan demikian, logika formal menjadi sarana untuk menegakkan integritas intelektual dan menautkan rasionalitas manusia dengan tatanan kebenaran kosmik yang bersumber dari Tuhan.²⁴


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 115–117.

[2]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 39–42.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 14–15.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 74–75.

[5]                Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Hayʾah al-ʿĀmmah li Shuʾūn al-Maṭābiʿ, 1952), 22–25.

[6]                Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology (London: Oxford University Press, 1952), 26–28.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 69–71.

[8]                M. Saeed Sheikh, A New Approach to Islamic Logic (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1982), 61–63.

[9]                W. Kneale and M. Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 25–30.

[10]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 97–100.

[11]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 141–143.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 95–97.

[13]             Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Qiyās li-Arisṭūṭālīs, ed. George Hourani (Beirut: Dār al-Mashriq, 1952), 28–30.

[14]             Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 11–12.

[15]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 10–13.

[16]             Michael Marmura, “Ghazālī and Demonstrative Science,” Journal of the History of Philosophy 3, no. 2 (1965): 183–204.

[17]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, 24–25.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 47–49.

[19]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 30–34.

[20]             Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī, ed. ʿAbd al-Raḥmān ʿUmayrah (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1991), 6–8.

[21]             Jon McGinnis, “Arabic Logic: Form and Function,” History and Philosophy of Logic 24, no. 1 (2003): 37–55.

[22]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 90–93.

[23]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 102–104.

[24]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi (Albany: SUNY Press, 1975), 58–60.


5.           Aksiologi Logika Formal: Nilai dan Fungsi

Kajian aksiologis terhadap Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) menempatkannya bukan hanya sebagai disiplin teknis yang membahas bentuk berpikir yang benar, melainkan sebagai ilmu yang memiliki nilai instrumental, moral, dan intelektual bagi pembentukan manusia rasional dan beretika. Dalam perspektif filsafat Islam, logika tidak berhenti pada tataran metodologis, tetapi juga memuat dimensi normatif—yakni nilai-nilai yang melekat dalam kegiatan berpikir itu sendiri.¹ Dengan demikian, aksiologi logika formal membicarakan mengapa berpikir benar itu bernilai, dan bagaimana logika formal berfungsi dalam kehidupan intelektual, ilmiah, serta spiritual manusia.

5.1.       Nilai Normatif: Ketertiban Akal dan Tanggung Jawab Intelektual

Nilai pertama dari logika formal adalah sifatnya yang normatif, yakni sebagai “penuntun moral akal.” Al-Fārābī menegaskan bahwa logika berfungsi li taḥrīr al-fikr—untuk membebaskan pikiran dari kesalahan dan ketidakteraturan.² Ketertiban berpikir (tartīb al-ʿaql) bukan semata keteraturan teknis, melainkan manifestasi dari adab al-fikr—etika intelektual yang menuntut agar seseorang berpikir sesuai dengan kaidah kebenaran.³ Dalam pandangan Islam, berpikir benar merupakan bentuk ʿibādah ʿaqliyyah (ibadah rasional), karena akal digunakan sesuai dengan fitrahnya: mencari dan menegakkan kebenaran.⁴ Maka, logika formal menjadi sarana untuk melatih akal agar tidak tunduk pada hawa nafsu intelektual seperti kesembronoan, dogmatisme, atau kontradiksi diri.

Nilai normatif logika formal juga mencerminkan prinsip kejujuran epistemik. Ibn Sīnā menegaskan bahwa kebenaran logis menuntut ketulusan niat (ikhlāṣ al-niyyah) dalam berpikir: tidak boleh seseorang menyimpulkan sesuatu yang tidak didukung oleh premis yang sah.⁵ Dengan demikian, logika formal membentuk karakter epistemik berupa integritas rasional, di mana kejujuran berpikir menjadi bentuk kejujuran moral. Sebagaimana kebenaran ilmiah tidak dapat dicapai tanpa disiplin metodologis, demikian pula kebenaran batin tidak akan terwujud tanpa ketertiban berpikir.⁶

5.2.       Nilai Instrumental: Fungsi Logika dalam Ilmu dan Pendidikan

Nilai instrumental logika formal tampak dalam fungsinya sebagai alat (instrumentum) bagi semua ilmu rasional. Al-Ghazālī menyebut logika sebagai miftāḥ al-ʿulūm—kunci bagi segala pengetahuan, karena tanpanya ilmu tidak dapat dibangun secara konsisten.⁷ Ia menegaskan bahwa setiap ilmu, baik yang bersumber dari wahyu maupun dari akal, harus tunduk pada hukum berpikir yang benar. Oleh sebab itu, logika formal memiliki fungsi universal dalam seluruh struktur ilmu pengetahuan.

Dalam pendidikan Islam klasik, logika formal diajarkan sebagai ʿilm ālah, yakni ilmu alat yang menyiapkan peserta didik untuk memahami ilmu-ilmu yang lebih tinggi.⁸ Tujuan pengajaran logika bukan sekadar kemampuan menghafal kaidah silogisme, tetapi pembentukan kebiasaan berpikir runtut, kritis, dan objektif.⁹ Logika melatih akal agar terhindar dari mughālaṭah (fallacy), menumbuhkan daya analisis terhadap argumen, serta membentuk sikap ilmiah yang terbuka terhadap koreksi.¹⁰ Dengan demikian, fungsi aksiologis logika formal adalah mendisiplinkan pikiran agar setiap proses ilmiah dijalankan berdasarkan asas rasional dan etis.

Dalam konteks keilmuan modern, logika formal berperan penting dalam pengembangan epistemologi ilmiah dan metode deduktif dalam ilmu eksakta maupun sosial.¹¹ Prinsip-prinsip logis seperti validitas inferensi, konsistensi internal, dan non-kontradiksi menjadi fondasi bagi teori ilmiah yang dapat diuji secara rasional. Dengan demikian, logika formal tidak hanya memiliki nilai akademik, tetapi juga menjadi jantung dari kegiatan ilmiah kontemporer yang menuntut penalaran ketat dan objektif.

5.3.       Nilai Etis: Keteraturan Berpikir sebagai Cermin Moralitas

Aksiologi logika formal juga mencakup dimensi etis yang mendalam. Dalam pandangan Islam, akal bukan hanya instrumen kognitif, tetapi juga entitas moral yang harus diarahkan kepada kebenaran.¹² Karena itu, berpikir logis adalah bentuk moralitas: ketertiban berpikir mencerminkan ketertiban jiwa. Ibn Rushd menegaskan bahwa kesalahan berpikir merupakan bentuk ketidakadilan terhadap akal—karena akal diciptakan untuk mencapai pengetahuan yang benar, bukan untuk membenarkan kesalahan.¹³ Maka, berpikir tidak logis adalah bentuk ẓulm al-ʿaql (kezaliman terhadap rasio).

Logika formal, dalam kerangka ini, menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan intelektual (ʿadālah ʿilmiyyah), yakni menempatkan setiap ide pada tempatnya sesuai proporsi rasional.¹⁴ Dengan berpikir secara formal dan sahih, seseorang menjaga diri dari fanatisme dan sikap eksklusif, serta membuka ruang bagi dialog rasional yang sehat. Nilai etis logika formal dengan demikian berakar pada prinsip keadilan epistemik—bahwa kebenaran harus diperoleh melalui metode yang benar, bukan melalui otoritas atau hawa nafsu.¹⁵

5.4.       Nilai Spiritual: Rasionalitas sebagai Jalan Menuju Hikmah

Selain nilai normatif dan instrumental, logika formal juga memiliki nilai spiritual dalam tradisi filsafat Islam. Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa berpikir benar (taʿaqqul ṣaḥīḥ) merupakan bentuk partisipasi manusia terhadap rasionalitas ilahi (al-ʿaql al-kullī).¹⁶ Dalam perspektif ini, struktur berpikir logis bukanlah ciptaan manusia semata, melainkan refleksi dari tatanan kosmos yang rasional. Ketika seseorang berpikir dengan benar, ia sesungguhnya menyesuaikan dirinya dengan harmoni universal yang diciptakan Tuhan.¹⁷

Oleh karena itu, logika formal mengandung nilai spiritual yang menghubungkan rasionalitas dengan hikmah (wisdom). Hikmah, menurut Ibn Sīnā, adalah “mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya dan bertindak sesuai dengan pengetahuannya.”¹⁸ Logika formal berperan dalam aspek pertama—yakni memastikan bahwa pengetahuan seseorang tentang realitas didasarkan pada struktur berpikir yang sahih. Dengan demikian, nilai logika formal tidak hanya terletak pada ketepatan inferensi, tetapi juga pada kontribusinya terhadap penyucian akal sebagai instrumen kebenaran.


Fungsi Sosial dan Kultural: Rasionalitas Kolektif

Secara sosial, logika formal berfungsi menumbuhkan budaya berpikir kritis dan dialogis dalam masyarakat. Tradisi munāẓarah (debat ilmiah) di dunia Islam klasik memperlihatkan bagaimana logika formal menjadi fondasi etika komunikasi intelektual.¹⁹ Argumentasi yang sahih, penyusunan premis yang tepat, dan kesediaan menerima koreksi adalah manifestasi dari masyarakat yang menghormati kebenaran rasional. Dalam konteks modern, fungsi ini menjadi semakin penting di tengah krisis disinformasi dan polarisasi intelektual. Logika formal mengajarkan prinsip verifikasi dan validasi rasional yang dapat memperkuat budaya diskusi publik yang sehat dan beradab.²⁰

Dengan demikian, nilai dan fungsi logika formal bersifat multidimensional: ia membentuk akal individu, memperkuat struktur ilmu, menjaga etika berpikir, dan menumbuhkan rasionalitas kolektif. Dalam filsafat Islam, seluruh fungsi ini berpuncak pada satu tujuan aksiologis tertinggi: menegakkan kebenaran sebagai jalan menuju kebijaksanaan (ḥikmah), yang merupakan kesempurnaan akal sekaligus puncak keutamaan manusia.²¹


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 118–120.

[2]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 15–16.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 97–99.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 77–79.

[5]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 44–46.

[6]                Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi (Albany: SUNY Press, 1975), 62–64.

[7]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 7–10.

[8]                Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī, ed. ʿAbd al-Raḥmān ʿUmayrah (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1991), 5–6.

[9]                Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 28–30.

[10]             M. Saeed Sheikh, A New Approach to Islamic Logic (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1982), 64–66.

[11]             W. Kneale and M. Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 41–44.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 50–53.

[13]             Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Qiyās li-Arisṭūṭālīs, ed. George Hourani (Beirut: Dār al-Mashriq, 1952), 30–32.

[14]             Al-Taftāzānī, Sharḥ al-Talwīḥ ʿalā al-Tawḍīḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 2001), 18–19.

[15]             Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 13–15.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 57–59.

[17]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 102–104.

[18]             Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Hayʾah al-ʿĀmmah li Shuʾūn al-Maṭābiʿ, 1952), 28–30.

[19]             Khaled El-Rouayheb, Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 66–68.

[20]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 148–150.

[21]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 95–98.


6.           Dimensi Sosial dan Intelektual

Dimensi sosial dan intelektual Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) menunjukkan bagaimana disiplin ini tidak hanya berperan dalam wilayah abstraksi teoritis, tetapi juga membentuk kebudayaan intelektual Islam yang luas. Sejak abad pertengahan, logika formal telah menjadi fondasi bagi lahirnya tradisi ilmiah dan etika berpikir kolektif yang menjunjung keteraturan, kejelasan, dan rasionalitas.¹ Ia tidak hanya mendidik individu agar berpikir benar, tetapi juga membentuk cara masyarakat ilmiah (al-mujtamaʿ al-ʿilmī) berinteraksi, berdialog, dan menyusun pengetahuan secara sistematis. Dengan demikian, logika formal berfungsi sebagai pilar epistemik bagi peradaban Islam—menyatukan dimensi kognitif, etis, dan sosial dalam satu sistem rasional yang terintegrasi.

6.1.       Logika sebagai Tradisi Intelektual dalam Pendidikan Islam

Sejak masa al-Fārābī dan Ibn Sīnā, logika telah menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan Islam klasik.² Dalam sistem madrasah dan hawzah ʿilmiyyah, logika dipelajari sebagai ʿilm ālah (ilmu alat) yang wajib dikuasai sebelum mendalami ilmu-ilmu lain seperti teologi (ʿilm al-kalām), filsafat (ḥikmah), atau hukum Islam (uṣūl al-fiqh).³ Kitab Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī dan Asās al-Manṭiq karya al-Kātibī menjadi teks standar selama berabad-abad, tidak hanya di dunia Islam Timur (Mashriq) tetapi juga di dunia Islam Barat (Maghrib).⁴

Kurikulum ini melatih generasi ulama dan cendekia untuk berpikir sistematis, menyusun argumen secara logis, dan menilai validitas penalaran.⁵ Pembelajaran logika di madrasah bukanlah aktivitas mekanis, melainkan proses pembentukan adab al-fikr—yakni tata krama berpikir yang mengajarkan kehati-hatian dalam berargumen dan keterbukaan terhadap kritik.⁶ Dengan demikian, logika formal memiliki dimensi pedagogis yang membentuk habitus intelektual kolektif, di mana berpikir benar dipandang sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan spiritual.

6.2.       Peran Logika dalam Tradisi Debat dan Dialog Intelektual

Salah satu manifestasi sosial paling nyata dari logika formal adalah dalam tradisi munāẓarah (debat ilmiah). Sejak abad ke-10, para ulama, teolog, dan filosof Muslim mengembangkan forum debat publik yang diatur oleh kaidah logika formal.⁷ Dalam forum ini, setiap argumen harus disusun dengan struktur silogistik yang sah, setiap proposisi harus dibenarkan dengan premis yang jelas, dan setiap kesimpulan harus bebas dari mughālaṭah (kesesatan berpikir).⁸

Praktik ini bukan hanya latihan intelektual, tetapi juga mekanisme sosial untuk menjaga integritas ilmu. Al-Ghazālī menyatakan bahwa munāẓarah yang berlandaskan logika melatih kesabaran intelektual dan kejujuran ilmiah (ṣidq al-ʿaql), karena peserta debat harus tunduk pada kriteria kebenaran rasional, bukan pada ego atau otoritas pribadi.⁹ Maka, logika formal berperan sebagai etika komunikasi akademik—menjadi hukum tidak tertulis yang mengatur perilaku ilmiah di dalam masyarakat pengetahuan Islam.¹⁰

Dalam konteks ini, logika formal berfungsi sosial sebagai penegak “hukum rasional” yang melampaui sekadar perdebatan ide. Ia menjadi prinsip kesetaraan intelektual: setiap pendapat dapat diuji dan ditolak hanya berdasarkan argumen yang rasional, bukan karena status sosial atau politik penuturnya.¹¹ Dengan demikian, al-Manṭiq al-Ṣuwarī membangun ruang publik intelektual yang demokratis, rasional, dan etis—sebuah model dialog ilmiah yang sejalan dengan semangat ijtihād dan shūrā dalam Islam.¹²

6.3.       Kontribusi Logika terhadap Perkembangan Ilmu dan Kebudayaan

Logika formal memiliki kontribusi mendasar terhadap struktur pengetahuan Islam. Dalam uṣūl al-fiqh, misalnya, metode qiyās (analogi hukum) merupakan aplikasi langsung dari prinsip-prinsip inferensial logika formal.¹³ Al-Juwaynī dan al-Ghazālī menyusun teori hukum Islam berdasarkan kategori proposisi, hubungan sebab-akibat, dan validitas deduktif.¹⁴ Dalam ilmu kalām, logika formal digunakan untuk menegaskan argumentasi teologis tentang keberadaan dan keesaan Tuhan, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan al-Taftāzānī.¹⁵

Selain itu, logika juga memengaruhi struktur penulisan dan penyusunan ilmu dalam peradaban Islam. Pola argumentatif yang sistematis dan terstruktur yang tampak dalam karya-karya filosof, mutakallim, dan fuqahā menunjukkan internalisasi logika formal dalam budaya tulis Islam.¹⁶ Hal ini menjadikan al-Manṭiq al-Ṣuwarī tidak hanya disiplin ilmu tersendiri, tetapi juga fondasi metodologis yang menjiwai seluruh aktivitas intelektual Islam, mulai dari penulisan ensiklopedis Ibn Khaldūn hingga komentar filosofis Mullā Ṣadrā.¹⁷

6.4.       Dimensi Intelektual dalam Dunia Islam Kontemporer

Dalam konteks modern, dimensi sosial-intelektual logika formal menghadapi tantangan baru seiring dengan kemunculan logika simbolik, teknologi informasi, dan kecerdasan buatan.¹⁸ Namun, esensi logika formal Islam tetap relevan, terutama dalam menegakkan disiplin berpikir kritis, etika diskursus, dan kejujuran akademik. Di tengah krisis informasi dan polarisasi ideologis, prinsip-prinsip al-Manṭiq al-Ṣuwarī dapat menjadi panduan epistemik untuk membangun masyarakat ilmiah yang beradab dan rasional.¹⁹

Universitas dan lembaga pendidikan Islam kontemporer, seperti al-Azhar, Qom, dan Madinah, masih mempertahankan pengajaran logika formal sebagai bagian dari kurikulum filsafat dan teologi.²⁰ Namun, beberapa pemikir modern seperti Muhammad ʿĀbid al-Jābirī dan Fazlur Rahman menyerukan revitalisasi logika formal agar tidak sekadar diajarkan sebagai sistem deduktif klasik, melainkan sebagai manhaj al-tafkīr—metode berpikir rasional yang kontekstual dengan tantangan zaman.²¹ Dengan demikian, logika formal dapat kembali menjadi motor penggerak bagi pembaruan epistemologi Islam, bukan sekadar warisan historis.


Kesimpulan Dimensi Sosial-Intelektual

Dimensi sosial dan intelektual al-Manṭiq al-Ṣuwarī menegaskan bahwa logika formal bukanlah sistem tertutup, tetapi suatu budaya rasional yang mengatur cara berpikir dan berinteraksi manusia. Ia membentuk masyarakat ilmiah yang menghargai argumentasi sahih, menghormati perbedaan pendapat, dan menjadikan kebenaran sebagai orientasi utama.²² Dalam pengertian ini, logika formal memiliki fungsi sosial sebagai etika berpikir kolektif dan fungsi intelektual sebagai struktur rasionalitas yang menopang seluruh bangunan ilmu.

Dengan demikian, al-Manṭiq al-Ṣuwarī bukan hanya ilmu tentang bentuk berpikir yang benar, tetapi juga peradaban berpikir yang benar—sebuah logos sosial yang menata hubungan antara akal, masyarakat, dan kebenaran.²³


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 123–125.

[2]                Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. ʿUthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1949), 39–40.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 78–79.

[4]                Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 27–29.

[5]                Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī, ed. ʿAbd al-Raḥmān ʿUmayrah (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1991), 6–7.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 102–103.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 145–147.

[8]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 13–15.

[9]                Michael Marmura, “Ghazālī and Demonstrative Science,” Journal of the History of Philosophy 3, no. 2 (1965): 183–204.

[10]             Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 15–17.

[11]             Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Qiyās li-Arisṭūṭālīs, ed. George Hourani (Beirut: Dār al-Mashriq, 1952), 30–31.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 55–56.

[13]             Al-Juwaynī, Al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh, ed. ʿAbd al-ʿAẓīm al-Dīb (Qatar: Wizarat al-Awqāf, 1979), 12–15.

[14]             Al-Ghazālī, Al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl, ed. Muḥammad ʿAbd al-Salām ʿAbd al-Shāfī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 10–12.

[15]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Maḥṣūl fī ʿIlm al-Uṣūl, ed. Ṭāhā Jābir al-ʿAlwānī (Beirut: Muʾassasat al-Risālah, 1997), 22–25.

[16]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 105–107.

[17]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 99–101.

[18]             Jon McGinnis, “Arabic Logic: Form and Function,” History and Philosophy of Logic 24, no. 1 (2003): 37–55.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 60–62.

[20]             Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 2009), 151–152.

[21]             Muhammad ʿĀbid al-Jābirī, Naqd al-ʿAql al-ʿArabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah, 1982), 89–91.

[22]             M. Saeed Sheikh, A New Approach to Islamic Logic (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1982), 70–72.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 108–110.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Kritik terhadap Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) telah muncul sejak masa klasik hingga modern, baik dari kalangan internal Islam maupun dari luar tradisi filsafat Islam. Kritik-kritik tersebut umumnya berfokus pada tiga aspek utama: pertama, sifat formalis logika yang dianggap terlepas dari realitas konkret; kedua, keterbatasannya dalam menghasilkan pengetahuan baru; dan ketiga, tuduhan bahwa logika formal bersifat kaku dan tidak relevan dengan perkembangan epistemologi kontemporer. Namun demikian, berbagai klarifikasi filosofis menunjukkan bahwa banyak dari kritik tersebut berangkat dari kesalahpahaman mengenai hakikat, fungsi, dan konteks operasional logika formal dalam tradisi Islam.¹

7.1.       Kritik terhadap Formaisme dan Abstraksi Logika Formal

Sebagian kritikus menilai bahwa al-Manṭiq al-Ṣuwarī terlalu menekankan aspek bentuk (ṣūrah) dan mengabaikan isi (māddah) pikiran. Kritik ini sudah tampak sejak masa awal Islam, terutama dari kelompok fuqahāʾ (ahli hukum) dan muḥaddithīn (ahli hadis), yang memandang logika sebagai sistem Yunani yang cenderung rasionalistik dan spekulatif.² Ibn Taymiyyah, misalnya, dalam Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, menuduh logika formal tidak memberi manfaat bagi pemahaman agama karena hanya berurusan dengan struktur berpikir yang kosong dari makna substansial.³ Ia berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat dicapai hanya melalui bentuk inferensi, tetapi melalui kesesuaian antara akal dan wahyu.

Kritik serupa juga muncul di Barat. Francis Bacon, sebagai pelopor empirisme modern, menolak logika silogistik Aristoteles yang menjadi dasar al-Manṭiq al-Ṣuwarī, karena dianggap tidak mampu menghasilkan pengetahuan empiris baru.⁴ Menurutnya, logika formal hanya menata apa yang sudah diketahui tanpa menambah substansi pengetahuan. Kritik ini kemudian diperkuat oleh John Stuart Mill, yang menilai bahwa logika deduktif bersifat tautologis, sementara ilmu pengetahuan memerlukan logika induktif yang bersandar pada observasi empiris.⁵

Namun, klarifikasi filosofis yang diajukan oleh para pemikir Islam seperti Ibn Sīnā dan al-Ghazālī menunjukkan bahwa kritik tersebut bersifat parsial. Mereka menegaskan bahwa logika formal memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan isi pengetahuan baru, melainkan untuk memastikan validitas struktur penalaran.⁶ Dengan kata lain, al-Manṭiq al-Ṣuwarī tidak bersaing dengan ilmu empiris, tetapi melengkapinya sebagai disiplin normatif yang menjaga akal dari kekeliruan. Fungsi logika adalah taʿṣīm al-fikr ʿan al-khaṭaʾ (menghindarkan pikiran dari kesalahan), bukan taḥṣīl al-maʿārif (memperoleh pengetahuan empiris).⁷

7.2.       Kritik terhadap Kemandekan dan Dogmatisme Logika

Kritik lain menyasar aspek metodologis logika formal, yang dianggap menyebabkan stagnasi intelektual dalam tradisi Islam. Beberapa sarjana modern seperti Muhammad ʿĀbid al-Jābirī berpendapat bahwa dominasi logika Aristotelian dalam sistem pendidikan Islam klasik telah membatasi kreativitas berpikir.⁸ Menurutnya, al-Manṭiq al-Ṣuwarī terlalu menekankan deduksi dan silogisme, sehingga menyingkirkan metode induktif dan eksperimental yang lebih dinamis. Kritik ini bersumber dari keinginan untuk membangun epistemologi baru yang lebih kontekstual dan empiris dalam dunia modern.

Namun, klarifikasi terhadap tuduhan ini menunjukkan bahwa logika formal dalam Islam tidak pernah bersifat dogmatis atau menutup diri terhadap metode lain. Ibn Rushd, misalnya, telah menggabungkan pendekatan deduktif dan induktif dalam kerangka epistemologi rasionalnya.⁹ Begitu pula Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Mullā Ṣadrā, yang memandang logika formal sebagai bagian dari sistem berpikir integral yang mencakup rasionalitas, intuisi, dan pengalaman spiritual.¹⁰ Dalam pandangan mereka, logika formal adalah struktur universal yang tetap diperlukan bahkan dalam metode ilmiah modern—karena setiap inferensi, baik induktif maupun deduktif, memerlukan validitas bentuk berpikir.¹¹

Kritik tentang kemandekan justru menunjukkan perlunya revitalisasi logika formal, bukan penolakannya. Logika formal harus dipahami sebagai kerangka berpikir dinamis yang membuka jalan bagi inovasi metodologis dalam sains dan filsafat, bukan sebagai sistem tertutup.¹²

7.3.       Kritik terhadap Keterbatasan Bahasa dan Representasi Logika

Beberapa filsuf analitik modern, seperti Ludwig Wittgenstein dan Alfred Tarski, mengajukan kritik terhadap logika formal dalam hal keterbatasannya merepresentasikan makna bahasa alami.¹³ Logika tradisional dianggap terlalu sederhana untuk menggambarkan kompleksitas semantik dan konteks komunikasi manusia. Dalam hal ini, simbolisasi proposisional dan logika predikat modern dianggap lebih unggul karena dapat menangkap relasi yang lebih kompleks antara subjek dan predikat.

Namun, para pemikir Islam klasik telah mengantisipasi problem serupa dalam konteks berbeda. Al-Fārābī dan Ibn Sīnā telah membedakan antara lafẓ (ungkapan) dan maʿnā (makna), serta menegaskan bahwa logika tidak mengkaji bahasa sebagai bunyi, melainkan sebagai representasi makna rasional.¹⁴ Dengan demikian, logika formal Islam lebih dekat kepada logika intensional (makna-konseptual) daripada logika ekstensional (simbolik), sehingga tetap relevan dalam diskusi semantik kontemporer.¹⁵

7.4.       Klarifikasi Filosofis: Sintesis antara Bentuk dan Materi

Klarifikasi filosofis yang paling penting terhadap berbagai kritik adalah bahwa logika formal tidak dapat dipisahkan dari logika material (al-Manṭiq al-Māddī).¹⁶ Keduanya merupakan dua sisi dari satu proses berpikir: logika formal menilai bentuk inferensi, sementara logika material menilai kebenaran isi. Ibn Sīnā menegaskan bahwa kesempurnaan pengetahuan hanya dicapai bila kedua dimensi ini bersatu dalam sistem berpikir yang utuh.¹⁷ Oleh karena itu, formalisme dalam logika bukan berarti pengabaian terhadap realitas, tetapi justru penegasan bahwa struktur rasional merupakan syarat bagi kebenaran substantif.

Dalam konteks modern, pandangan ini selaras dengan teori Karl Popper tentang “rasionalitas kritis,” di mana logika berfungsi bukan untuk menjustifikasi kebenaran, tetapi untuk menguji validitas klaim pengetahuan.¹⁸ Maka, al-Manṭiq al-Ṣuwarī dapat dipahami sebagai bentuk awal dari metodologi rasional kritis dalam tradisi Islam.


Relevansi Kritik bagi Pembaruan Epistemologi Islam

Kritik-kritik terhadap logika formal, baik klasik maupun modern, justru memperkaya pemahaman tentang peran dan batasannya. Ia menegaskan perlunya reinterpretasi al-Manṭiq al-Ṣuwarī sebagai sistem terbuka yang dapat berdialog dengan sains, linguistik, dan filsafat kontemporer.¹⁹ Klarifikasi filosofis menunjukkan bahwa nilai logika formal tidak terletak pada keabadiannya sebagai dogma, melainkan pada fleksibilitas dan daya adaptasinya terhadap dinamika pengetahuan.

Dengan demikian, kritik terhadap logika formal bukanlah tanda kemundurannya, tetapi kesempatan untuk menegaskan kembali fungsinya sebagai penjaga integritas nalar manusia. Ia bukan penghalang bagi kreativitas, melainkan prasyarat bagi rasionalitas yang bertanggung jawab.²⁰ Dalam konteks filsafat Islam, al-Manṭiq al-Ṣuwarī tetap menjadi titik temu antara rasio dan wahyu, antara bentuk dan makna, serta antara disiplin intelektual dan moralitas berpikir.²¹


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 127–129.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 80–81.

[3]                Ibn Taymiyyah, Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn, ed. Rifʿat Fawzī ʿAbd al-Muṭṭalib (Riyadh: Maktabat al-Rushd, 1993), 5–8.

[4]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45–47.

[5]                John Stuart Mill, A System of Logic (London: Longman, 1843), 9–12.

[6]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 38–40.

[7]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 21–22.

[8]                Muhammad ʿĀbid al-Jābirī, Naqd al-ʿAql al-ʿArabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah, 1982), 94–96.

[9]                Ibn Rushd, Talkhīṣ Kitāb al-Qiyās li-Arisṭūṭālīs, ed. George Hourani (Beirut: Dār al-Mashriq, 1952), 29–30.

[10]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muḥammad Riḍā al-Muẓaffar (Tehran: Dār al-Muʾayyad, 1963), 77–79.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 57–59.

[12]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 31–33.

[13]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 18–21.

[14]             Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 14–15.

[15]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 101–103.

[16]             Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 17–18.

[17]             Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Hayʾah al-ʿĀmmah li Shuʾūn al-Maṭābiʿ, 1952), 32–33.

[18]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 40–43.

[19]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 104–106.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 108–110.

[21]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi (Albany: SUNY Press, 1975), 65–67.


8.            Relevansi Kontemporer

Relevansi kontemporer Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) terletak pada kemampuannya untuk menegaskan kembali peran rasionalitas dan disiplin berpikir dalam menghadapi kompleksitas dunia modern yang ditandai oleh pluralitas informasi, relativisme nilai, dan disrupsi teknologi. Di tengah berkembangnya budaya instan dan arus informasi yang tidak terverifikasi, al-Manṭiq al-Ṣuwarī menawarkan fondasi epistemologis yang kokoh untuk membangun nalar kritis, sistematis, dan bertanggung jawab.¹ Ia bukan sekadar warisan intelektual masa lalu, tetapi sistem berpikir yang terus dapat direvitalisasi agar selaras dengan kebutuhan zaman, baik dalam pendidikan, ilmu pengetahuan, maupun etika publik.

8.1.       Rasionalitas dan Krisis Pengetahuan di Era Digital

Krisis epistemik yang dihadapi masyarakat modern—terutama akibat banjir informasi (information overload) dan disinformasi—menunjukkan urgensi logika formal sebagai penuntun berpikir yang sahih.² Dalam ruang digital yang serba cepat dan penuh bias algoritmik, kemampuan membedakan antara inferensi valid dan argumen sesat menjadi keterampilan intelektual yang sangat dibutuhkan.³ Prinsip-prinsip dasar logika formal seperti koherensi, non-kontradiksi, dan validitas deduktif dapat menjadi instrumen untuk memfilter informasi, menilai kredibilitas klaim, dan mencegah penalaran emosional yang destruktif.⁴

Dalam konteks ini, al-Manṭiq al-Ṣuwarī dapat diposisikan sebagai “etika rasionalitas digital.” Ia menuntun pengguna teknologi agar tidak hanya mengonsumsi data, tetapi juga menilai dan mengolahnya secara kritis.⁵ Dengan demikian, logika formal berperan dalam membangun masyarakat informasi yang cerdas dan berintegritas epistemik—suatu masyarakat yang tidak mudah terjebak dalam post-truth atau polarisasi intelektual.⁶

8.2.       Reaktualisasi Logika Formal dalam Pendidikan dan Kurikulum Modern

Dalam ranah pendidikan, logika formal memiliki relevansi mendasar dalam pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills).⁷ Pendidikan modern, termasuk di dunia Islam, semakin menekankan kompetensi analitis, sintesis, dan evaluasi—semuanya merupakan domain yang bersumber dari kemampuan berpikir logis. Dalam konteks ini, al-Manṭiq al-Ṣuwarī dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum sebagai pendekatan pedagogis yang melatih peserta didik untuk berpikir metodis, argumentatif, dan reflektif.⁸

Revitalisasi logika formal dalam pendidikan juga berarti mengembalikan esensi taʿaqqul (penggunaan rasio) sebagai bagian dari ibadah intelektual. Al-Fārābī menyebutkan bahwa logika adalah jalan menuju saʿādah ʿaqliyyah—kebahagiaan intelektual yang diperoleh melalui penyempurnaan daya pikir.⁹ Maka, pembelajaran logika bukan sekadar kegiatan kognitif, tetapi juga proses pembentukan kepribadian rasional yang beretika. Relevansi ini menjadi semakin penting di era ketika kemampuan berpikir kritis sering kali tergantikan oleh pola pikir algoritmik yang serba otomatis.¹⁰

8.3.       Integrasi dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern

Logika formal memiliki keterkaitan historis dan konseptual dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Struktur inferensi deduktif yang dikembangkan oleh para logikawan Islam menjadi landasan bagi metode ilmiah yang mengandalkan validitas penalaran.¹¹ Dalam konteks kontemporer, al-Manṭiq al-Ṣuwarī dapat berkontribusi pada pengembangan kecerdasan buatan (AI), linguistik komputasional, dan teori informasi, karena ketiganya beroperasi dalam ranah formalitas dan struktur representasi pengetahuan.¹²

Pemikiran logis Ibn Sīnā dan al-Fārābī tentang proposisi, silogisme, dan kategori bahkan menunjukkan kemiripan dengan sistem logika simbolik modern yang digunakan dalam pemrograman dan algoritma.¹³ Integrasi nilai-nilai logika Islam dengan teknologi modern dapat mengarahkan pengembangan AI yang lebih beretika—yakni kecerdasan buatan yang bukan hanya efisien secara matematis, tetapi juga selaras dengan prinsip rasionalitas dan moralitas manusia.¹⁴ Dengan demikian, al-Manṭiq al-Ṣuwarī dapat memberikan dasar filosofis bagi rekonstruksi epistemologi teknologi yang berkeadaban.

8.4.       Logika Formal sebagai Etika Publik dan Fondasi Dialog Antarperadaban

Dalam konteks sosial global, logika formal berperan sebagai bahasa universal rasionalitas yang dapat menjembatani dialog antarperadaban. Rasionalitas formal bersifat lintas budaya, karena prinsip koherensi dan validitas inferensial diakui oleh semua tradisi berpikir yang sehat.¹⁵ Oleh karena itu, al-Manṭiq al-Ṣuwarī dapat menjadi medium untuk membangun komunikasi filosofis antara dunia Islam dan Barat, bukan melalui dominasi, tetapi melalui kesetaraan metodologis.

Al-Ghazālī dan Ibn Rushd telah menunjukkan bahwa dialog rasional yang sehat harus didasarkan pada bentuk berpikir yang sahih, bukan pada retorika atau kekuasaan.¹⁶ Dalam era globalisasi yang sarat konflik epistemik dan ideologis, prinsip logika formal dapat menjadi model etika publik: berpikir dengan benar, berbicara dengan bukti, dan berdebat dengan adab.¹⁷ Maka, al-Manṭiq al-Ṣuwarī tidak hanya relevan dalam ruang akademik, tetapi juga dalam ruang sosial dan politik sebagai dasar moral bagi rasionalitas publik.

8.5.       Relevansi Spiritualitas Logika dalam Kehidupan Modern

Selain nilai intelektual dan sosialnya, logika formal juga memiliki relevansi spiritual. Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa berpikir benar adalah bentuk partisipasi manusia dalam al-ʿaql al-kullī (rasio universal ilahi).¹⁸ Dalam pandangan ini, keteraturan berpikir bukan sekadar produk budaya, tetapi refleksi dari tatanan kosmis yang rasional. Maka, di tengah fragmentasi pengetahuan modern yang sering memisahkan sains dari makna, logika formal menghadirkan kembali kesatuan antara kebenaran rasional dan kebenaran spiritual.¹⁹

Logika formal mengajarkan bahwa berpikir benar adalah bentuk tazkiyat al-ʿaql—penyucian rasio dari kesalahan, kesombongan, dan kebingungan.²⁰ Dengan demikian, relevansinya melampaui ranah epistemologis menuju aksiologis: ia mengembalikan manusia kepada fitrah rasionalitas yang sejati, yang tidak bertentangan dengan iman, tetapi justru memperkuatnya.²¹


Kesimpulan Relevansi Kontemporer

Dalam dunia yang semakin kompleks, al-Manṭiq al-Ṣuwarī tetap menjadi instrumen universal bagi pemeliharaan rasionalitas dan etika berpikir. Ia mengajarkan disiplin intelektual yang diperlukan untuk menghadapi era digital, memberikan landasan filosofis bagi perkembangan ilmu dan teknologi, serta membangun jembatan etis antara budaya rasional dan spiritual.²² Relevansi kontemporernya tidak terletak pada pengulangan dogmatis terhadap sistem klasik, tetapi pada kemampuannya untuk diinterpretasi ulang sebagai metodologi berpikir kritis, integratif, dan manusiawi.²³ Dengan demikian, logika formal Islam hadir bukan sebagai peninggalan sejarah, melainkan sebagai sumber daya intelektual yang terus hidup, menuntun manusia menuju kebenaran dan kebijaksanaan dalam setiap zaman.²⁴


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 130–132.

[2]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 14–16.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 215–217.

[4]                W. Kneale and M. Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 51–54.

[5]                Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 125–127.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 111–113.

[7]                Benjamin Bloom, Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (New York: Longmans, 1956), 22–25.

[8]                M. Saeed Sheikh, A New Approach to Islamic Logic (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1982), 68–70.

[9]                Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. ʿUthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1949), 38–39.

[10]             Peter Suber, Logic and Educational Theory (New York: Springer, 2012), 19–21.

[11]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi (Albany: SUNY Press, 1975), 70–72.

[12]             Stuart Russell and Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2020), 52–55.

[13]             Jon McGinnis, “Avicenna’s Logic and Its Influence on Medieval Science,” Arabic Sciences and Philosophy 15, no. 1 (2005): 27–48.

[14]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 108–110.

[15]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 150–152.

[16]             Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 10–12.

[17]             Ibn Rushd, Faṣl al-Maqāl fīmā bayna al-Ḥikmah wa al-Sharīʿah min al-Ittiṣāl, ed. Georges Hourani (Leiden: Brill, 1959), 27–28.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 60–63.

[19]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 104–106.

[20]             Al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ed. Muḥammad ʿAbd al-Salām Shāhīn (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1999), 42–43.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 63–65.

[22]             Muhammad ʿĀbid al-Jābirī, Naqd al-ʿAql al-ʿArabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah, 1982), 102–104.

[23]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 35–37.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 115–118.


9.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) menempati posisi penting dalam upaya mengintegrasikan antara dimensi rasional, ontologis, dan etis dari pemikiran Islam. Ia berfungsi sebagai jembatan antara bentuk (ṣūrah) dan substansi (māddah), antara metode berpikir dan tujuan berpikir, serta antara kebenaran rasional dan kebenaran metafisis.¹ Dalam perspektif ini, logika formal tidak hanya dipahami sebagai sistem teknis inferensi, tetapi sebagai struktur filsafat integral yang merefleksikan keteraturan rasional kosmos dan tanggung jawab moral manusia di dalamnya.²

9.1.       Penyatuan antara Bentuk dan Isi Pikiran

Salah satu sintesis utama dalam filsafat logika Islam adalah upaya mengharmonikan antara logika formal (al-manṭiq al-ṣuwarī) dan logika material (al-manṭiq al-māddī). Ibn Sīnā menegaskan bahwa bentuk berpikir yang sahih tidak mungkin terlepas dari isi yang benar; validitas formal tanpa kebenaran material hanyalah kekosongan, sementara kebenaran material tanpa bentuk formal berisiko pada kekacauan berpikir.³ Oleh karena itu, ia memandang logika sebagai mīzān al-fikr—timbangan rasio yang menilai baik bentuk maupun isi pikiran secara proporsional.⁴

Dalam sintesis ini, bentuk berpikir dipahami sebagai hukum universal akal, sementara isi berpikir bersumber dari pengalaman empiris dan intuisi intelektual.⁵ Al-Fārābī menguraikan hubungan ini melalui konsep tawāfuq bayna al-ʿaql wa al-maʿqūl—kesesuaian antara akal yang berpikir dan objek yang dipikirkan.⁶ Dengan demikian, logika formal berperan bukan sebagai oposisi terhadap pengalaman, tetapi sebagai prinsip yang menstrukturkan pengalaman agar menjadi pengetahuan yang sahih dan komunikatif.⁷

9.2.       Rasionalitas sebagai Jalan Menuju Hikmah

Dalam filsafat Islam, logika formal berujung pada ḥikmah (kebijaksanaan) sebagai puncak aktivitas rasional. Ibn Sīnā dan al-Ghazālī sama-sama menegaskan bahwa berpikir logis bukan tujuan akhir, melainkan sarana menuju pengetahuan yang benar dan bermanfaat.⁸ Rasionalitas yang diatur oleh logika formal menghasilkan ʿilm (pengetahuan), sedangkan rasionalitas yang diarahkan oleh nilai menghasilkan ḥikmah.⁹ Dengan kata lain, sintesis antara kebenaran rasional dan moralitas berpikir merupakan esensi aksiologis logika formal.

Dalam konteks ini, al-Manṭiq al-Ṣuwarī tidak hanya mengatur cara berpikir yang benar, tetapi juga menata orientasi berpikir agar selaras dengan tujuan eksistensial manusia. Seperti dikemukakan oleh Mullā Ṣadrā, akal yang teratur secara logis adalah cermin dari tatanan kosmis yang teratur secara metafisis.¹⁰ Ia menyebut keteraturan berpikir sebagai niẓām al-ʿaql—yakni refleksi kecil dari niẓām al-wujūd (tatanan wujud).¹¹ Maka, berpikir logis bukan hanya kegiatan kognitif, tetapi juga partisipasi spiritual dalam rasionalitas universal yang menjadi manifestasi kebijaksanaan Tuhan.¹²

9.3.       Sintesis antara Rasionalisme dan Spiritualisme

Filsafat Islam tidak pernah memisahkan antara rasionalitas dan spiritualitas. Dalam kerangka sintesis ini, logika formal menjadi titik temu antara keduanya. Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa logika formal Islam didasarkan pada kesadaran metafisik bahwa rasio manusia (al-ʿaql al-juzʾī) adalah pantulan dari rasio kosmik (al-ʿaql al-kullī).¹³ Dengan demikian, penggunaan logika yang benar bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk penyucian akal (tazkiyat al-ʿaql).¹⁴

Al-Ghazālī menggambarkan hubungan ini melalui analogi cahaya: logika adalah lampu akal yang menerangi jalan pencarian ilmu, sementara hati adalah wadah penerimaan cahaya kebenaran.¹⁵ Tanpa logika, pencarian ilmu menjadi gelap dan rawan kesesatan; tanpa hati yang bersih, logika kehilangan makna spiritualnya.¹⁶ Dengan demikian, sintesis logika formal dan spiritualitas menghasilkan rasionalitas yang berakar pada kebenaran sekaligus berorientasi pada kebijaksanaan.

9.4.       Integrasi antara Tradisi Islam dan Filsafat Modern

Sintesis filosofis juga dapat ditemukan dalam dialog antara al-Manṭiq al-Ṣuwarī dan filsafat modern. Struktur berpikir deduktif yang dikembangkan dalam logika formal Islam memiliki kesepadanan dengan sistem logika simbolik dan logika matematika kontemporer.¹⁷ Namun, perbedaannya terletak pada dasar ontologis dan aksiologisnya. Sementara logika modern beroperasi dalam kerangka netralitas nilai, logika Islam menggabungkan rasionalitas dengan etika dan metafisika.¹⁸

Upaya untuk mensintesiskan keduanya dapat dilihat dalam pendekatan epistemologi Islam kontemporer yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dan Muhammad Iqbal. Rahman menekankan bahwa pembaruan ilmu pengetahuan modern harus disertai dengan kebangkitan nalar logis yang etis dan religius.¹⁹ Iqbal, di sisi lain, menafsirkan logika sebagai ekspresi dinamis dari ijtihād ʿaqlī—kreativitas rasional yang berakar pada wahyu namun terbuka terhadap pembaruan ilmiah.²⁰ Sintesis ini menghidupkan kembali makna logika formal sebagai jembatan antara keimanan dan kemajuan intelektual.

9.5.       Logika Formal sebagai Prinsip Kesatuan Ilmu

Dari perspektif sintesis epistemologis, al-Manṭiq al-Ṣuwarī berfungsi sebagai prinsip kesatuan ilmu (waḥdat al-ʿulūm).²¹ Ia menyediakan kerangka berpikir universal yang dapat menghubungkan ilmu-ilmu rasional, empiris, dan spiritual. Dengan hukum-hukum inferensialnya, logika formal memastikan bahwa setiap cabang ilmu memiliki koherensi metodologis dan tidak jatuh ke dalam fragmentasi epistemik.²² Dalam hal ini, logika formal menjadi fondasi bagi epistemologi Islam yang integratif—suatu sistem pengetahuan yang menggabungkan rasionalitas, empirisme, dan wahyu dalam satu kesatuan hierarkis.²³

Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa ilmu yang sejati tidak dapat dipisahkan dari prinsip rasionalitas yang tertib dan metafisika wujud yang satu.²⁴ Maka, sintesis logika formal dengan prinsip ontologis Islam menghasilkan pandangan bahwa berpikir benar berarti berpikir sesuai dengan struktur realitas.²⁵ Logika, dengan demikian, adalah refleksi epistemik dari kosmos yang rasional.


Kesimpulan Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis al-Manṭiq al-Ṣuwarī menegaskan bahwa logika formal merupakan titik pertemuan antara metodologi rasional, etika intelektual, dan spiritualitas metafisik.²⁶ Ia menyatukan antara bentuk dan isi pikiran, antara rasionalitas dan nilai, serta antara akal dan wahyu. Dalam konteks modern, sintesis ini memberikan paradigma berpikir integral yang mampu menjawab krisis epistemik kontemporer: rasionalitas tanpa kehilangan makna, ilmu tanpa kehilangan hikmah.²⁷

Dengan demikian, logika formal bukan hanya instrumen berpikir, tetapi arsitektura rasionalitas manusia yang menata hubungan antara pengetahuan, moralitas, dan eksistensi.²⁸ Dalam tradisi Islam, sintesis ini bermuara pada satu tujuan tertinggi filsafat: mencapai al-ḥikmah al-mutaʿāliyah—kebijaksanaan yang menggabungkan kebenaran akal dan cahaya hati dalam harmoni yang sempurna.²⁹


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 133–135.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 120–122.

[3]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 39–41.

[4]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 14–16.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 85–87.

[6]                Al-Fārābī, Iḥṣāʾ al-ʿUlūm, ed. ʿUthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1949), 41–43.

[7]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 111–113.

[8]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 8–10.

[9]                Ibn Sīnā, Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq, ed. ʿAbd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Hayʾah al-ʿĀmmah li Shuʾūn al-Maṭābiʿ, 1952), 25–27.

[10]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muḥammad Riḍā al-Muẓaffar (Tehran: Dār al-Muʾayyad, 1963), 81–83.

[11]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 105–107.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 65–67.

[13]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 124–126.

[14]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi (Albany: SUNY Press, 1975), 72–74.

[15]             Al-Ghazālī, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, ed. Muḥammad ʿAbd al-Salām Shāhīn (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1999), 38–40.

[16]             Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 69–71.

[17]             W. Kneale and M. Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 58–60.

[18]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 153–155.

[19]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 117–119.

[20]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Ashraf Press, 1958), 64–66.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNY Press, 1981), 142–144.

[22]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, 118–120.

[23]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 127–130.

[24]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, 85–87.

[25]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 109–111.

[26]             Nasr, Science and Civilization in Islam, 68–70.

[27]             Muhammad ʿĀbid al-Jābirī, Naqd al-ʿAql al-ʿArabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah, 1982), 111–113.

[28]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 91–93.

[29]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi, 75–78.


10.       Kesimpulan

Kajian terhadap Logika Formal (al-Manṭiq al-Ṣuwarī) menegaskan bahwa disiplin ini tidak hanya merupakan sistem inferensial yang mengatur cara berpikir benar, tetapi juga suatu fondasi filosofis yang memadukan rasionalitas, etika, dan spiritualitas dalam satu kesatuan epistemik. Sejak awal perkembangannya dalam tradisi Islam, al-Manṭiq al-Ṣuwarī telah berfungsi sebagai alat sekaligus paradigma berpikir yang menjaga integritas penalaran manusia dari kekeliruan dan kontradiksi.¹ Ia menempati posisi sentral dalam membangun kerangka nalar ilmiah yang teratur, koheren, dan bertanggung jawab secara intelektual maupun moral.

Secara ontologis, logika formal beroperasi dalam ranah ṣūrah al-fikr (bentuk pikiran), yaitu struktur intelektual yang bersifat universal dan imanen dalam akal manusia.² Bentuk ini bukanlah entitas empiris, tetapi eksistensi intelektual yang memiliki realitas dalam tatanan mental dan menjadi cermin dari keteraturan kosmos rasional yang diciptakan Tuhan.³ Oleh karena itu, logika formal mengandung aspek metafisik: berpikir benar berarti menyesuaikan struktur akal dengan struktur wujud (niẓām al-wujūd).⁴ Dengan demikian, logika bukan hanya analisis proposisi, tetapi partisipasi manusia dalam tatanan rasional semesta.

Secara epistemologis, al-Manṭiq al-Ṣuwarī merupakan qānūn al-fikr (hukum berpikir) yang menjamin validitas penalaran dan ketepatan kesimpulan.⁵ Ia mengatur hubungan antara tasawwur (pembentukan konsep) dan tasdīq (penetapan kebenaran), dua pilar utama dalam proses pengetahuan. Prinsip identitas, non-kontradiksi, dan eksklusi tengah yang menjadi dasar logika formal berfungsi sebagai penjaga rasionalitas agar berpikir tidak terperosok ke dalam relativisme atau ambiguitas.⁶ Dalam tradisi Islam, prinsip-prinsip ini bukan produk konvensi manusia, tetapi refleksi dari hukum rasional ilahi yang menata baik akal maupun alam.⁷

Secara aksiologis, logika formal mengandung nilai moral dan spiritual yang mendalam. Ia melatih kejujuran intelektual, disiplin berpikir, dan tanggung jawab epistemik.⁸ Al-Ghazālī menekankan bahwa siapa yang tidak menguasai logika, maka ilmunya tidak dapat dipercaya, karena logika adalah mīzān al-ʿaql—timbangan akal yang menilai benar dan salahnya penalaran.⁹ Dengan demikian, berpikir logis adalah sekaligus tindakan etis: bentuk kesetiaan manusia kepada kebenaran.¹⁰ Aksiologi al-Manṭiq al-Ṣuwarī juga bersifat sosial, karena ia menumbuhkan budaya dialog rasional dan menghormati perbedaan melalui argumen yang sahih, bukan otoritas atau emosi.¹¹

Dimensi sosial dan intelektual logika formal tampak dalam sejarah panjang dunia Islam, di mana ia menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan dan kebudayaan ilmiah.¹² Tradisi munāẓarah (debat rasional), penyusunan ilmu secara sistematis, dan metode ijtihād hukum Islam semuanya merupakan manifestasi dari penerapan logika formal.¹³ Maka, al-Manṭiq al-Ṣuwarī tidak hanya membentuk individu yang berpikir tertib, tetapi juga komunitas ilmiah yang beradab dan menghargai rasionalitas sebagai bagian dari iman.

Dalam konteks kontemporer, relevansi logika formal semakin kuat di tengah krisis rasionalitas dan banjir disinformasi.¹⁴ Prinsip-prinsip inferensialnya dapat diaplikasikan dalam pendidikan kritis, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan etika digital.¹⁵ Logika formal melatih manusia untuk berpikir jernih di tengah kompleksitas dunia modern yang sering kali kabur antara fakta dan opini, data dan ideologi.¹⁶ Di sini, al-Manṭiq al-Ṣuwarī bukan hanya disiplin akademik, tetapi juga benteng moral bagi integritas intelektual manusia modern.¹⁷

Sintesis filosofis logika formal menunjukkan bahwa ia merupakan titik temu antara rasionalitas dan spiritualitas, antara deduksi ilmiah dan intuisi metafisik.¹⁸ Logika formal Islam menolak dikotomi antara akal dan iman, antara sains dan nilai, dan menggantikannya dengan paradigma kesatuan ilmu (waḥdat al-ʿulūm) yang menegaskan bahwa kebenaran sejati bersifat integral.¹⁹ Dalam hal ini, berpikir logis bukanlah sekadar kegiatan intelektual, tetapi bagian dari perjalanan eksistensial manusia menuju ḥikmah—kebijaksanaan yang menyatukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam satu harmoni kosmis.²⁰

Akhirnya, al-Manṭiq al-Ṣuwarī harus dipahami sebagai warisan dinamis yang terus dapat dikembangkan. Ia tidak berhenti pada Aristotelianisme klasik, tetapi dapat berinteraksi dengan logika simbolik, teori sistem, dan filsafat bahasa modern.²¹ Namun, keunggulan khas logika Islam tetap terletak pada orientasi etik dan metafisiknya: bahwa berpikir benar adalah bentuk pengabdian kepada Kebenaran Yang Maha Benar (al-Ḥaqq).²² Dengan demikian, al-Manṭiq al-Ṣuwarī bukan sekadar ilmu tentang bentuk berpikir, melainkan sebuah jalan rasional menuju kesempurnaan akal dan kesucian jiwa—sebuah sintesis abadi antara pengetahuan dan kebijaksanaan.²³


Footnotes

[1]                Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1983), 137–138.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 120–121.

[3]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1957), 39–41.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 106–108.

[5]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 14–16.

[6]                W. Kneale and M. Kneale, The Development of Logic (Oxford: Clarendon Press, 1962), 25–30.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: SUNY Press, 1993), 69–70.

[8]                M. Saeed Sheikh, A New Approach to Islamic Logic (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1982), 71–73.

[9]                Al-Ghazālī, Miʿyār al-ʿIlm, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Maʿārif, 1961), 7–10.

[10]             Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi (Albany: SUNY Press, 1975), 72–74.

[11]             Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 17–18.

[12]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 28–31.

[13]             Al-Juwaynī, Al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh, ed. ʿAbd al-ʿAẓīm al-Dīb (Qatar: Wizarat al-Awqāf, 1979), 12–15.

[14]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 19–20.

[15]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 156–158.

[16]             Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 125–127.

[17]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 217–220.

[18]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arbaʿah, ed. Muḥammad Riḍā al-Muẓaffar (Tehran: Dār al-Muʾayyad, 1963), 83–85.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNY Press, 1981), 144–146.

[20]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 120–122.

[21]             Jon McGinnis, “Arabic Logic: Form and Function,” History and Philosophy of Logic 24, no. 1 (2003): 37–55.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 91–93.

[23]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy (Albany: SUNY Press, 1992), 125–127.


Daftar Pustaka

Al-Fārābī. (1949). Iḥṣāʾ al-ʿUlūm (ʿUthmān Amīn, Ed.). Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī.

Al-Fārābī. (1968). Kitāb al-Qiyās (Muḥsin Mahdi, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Ghazālī. (1961). Miʿyār al-ʿIlm (Sulaymān Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Al-Ghazālī. (1993). Al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl (Muḥammad ʿAbd al-Salām ʿAbd al-Shāfī, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Al-Ghazālī. (1999). Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn (Muḥammad ʿAbd al-Salām Shāhīn, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Al-Juwaynī. (1979). Al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh (ʿAbd al-ʿAẓīm al-Dīb, Ed.). Qatar: Wizarat al-Awqāf.

Al-Taftāzānī. (2001). Sharḥ al-Talwīḥ ʿalā al-Tawḍīḥ. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Athīr al-Dīn al-Abharī. (1991). Isāghūjī (ʿAbd al-Raḥmān ʿUmayrah, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Bacon, F. (2000). Novum Organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge: Cambridge University Press.

Bloom, B. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals. New York: Longmans.

Carr, N. (2010). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. New York: W. W. Norton.

El-Rouayheb, K. (2010). Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900. Leiden: Brill.

El-Rouayheb, K. (2015). Islamic Intellectual History in the Seventeenth Century. Cambridge: Cambridge University Press.

Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information. Oxford: Oxford University Press.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries). London: Routledge.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy. Albany: State University of New York Press.

Ibn Rushd. (1952). Talkhīṣ Kitāb al-Qiyās li-Arisṭūṭālīs (G. Hourani, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Ibn Rushd. (1959). Faṣl al-Maqāl fīmā bayna al-Ḥikmah wa al-Sharīʿah min al-Ittiṣāl (G. Hourani, Ed.). Leiden: Brill.

Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifāʾ: Al-Manṭiq (ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Ed.). Cairo: al-Hayʾah al-ʿĀmmah li Shuʾūn al-Maṭābiʿ.

Ibn Sīnā. (1957). Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (Sulaymān Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Ibn Sīnā. (1985). Al-Najāt (Muḥammad Taqī Dānishpazhūh, Ed.). Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehrān.

Ibn Taymiyyah. (1993). Ar-Radd ʿalā al-Manṭiqiyyīn (R. F. ʿAbd al-Muṭṭalib, Ed.). Riyadh: Maktabat al-Rushd.

Iqbal, M. (1958). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Ashraf Press.

Izutsu, T. (1971). The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.

Jābirī, M. ʿĀ. al-. (1982). Naqd al-ʿAql al-ʿArabī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah.

Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kneale, W., & Kneale, M. (1962). The Development of Logic. Oxford: Clarendon Press.

Leaman, O. (2009). An Introduction to Classical Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Madkour, I. (1983). Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq. Cairo: Dār al-Maʿārif.

Marmura, M. (1965). Ghazālī and Demonstrative Science. Journal of the History of Philosophy, 3(2), 183–204.

McGinnis, J. (2003). Arabic Logic: Form and Function. History and Philosophy of Logic, 24(1), 37–55.

McGinnis, J. (2005). Avicenna’s Logic and Its Influence on Medieval Science. Arabic Sciences and Philosophy, 15(1), 27–48.

Mill, J. S. (1843). A System of Logic. London: Longman.

Mullā Ṣadrā. (1963). Al-Asfār al-Arbaʿah (Muḥammad Riḍā al-Muẓaffar, Ed.). Tehran: Dār al-Muʾayyad.

Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1981). Islamic Life and Thought. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1993). An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperCollins.

Peters, F. E. (1968). Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam. New York: New York University Press.

Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. London: Hutchinson.

Rahman, F. (1952). Avicenna’s Psychology. London: Oxford University Press.

Rahman, F. (1975). The Philosophy of Mulla Sadra Shirazi. Albany: State University of New York Press.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rescher, N. (1964). The Development of Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

Russell, S., & Norvig, P. (2020). Artificial Intelligence: A Modern Approach (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Sabra, A.I. (1986). Avicenna on the Subject Matter of Logic. Journal of Philosophy in Islam, 12(2), 145–160.

Sheikh, M. S. (1982). A New Approach to Islamic Logic. Lahore: Institute of Islamic Culture.

Suber, P. (2012). Logic and Educational Theory. New York: Springer.

Tarski, A. (1956). Logic, Semantics, Metamathematics. Oxford: Clarendon Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus Logico-Philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar