Jumat, 07 November 2025

Ilmu Balaghah: Epistemologi Keindahan Bahasa dan Rasionalitas Retorika dalam Tradisi Islam

Ilmu Balaghah

Epistemologi Keindahan Bahasa dan Rasionalitas Retorika dalam Tradisi Islam


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat Islam.

Ilmu Ma'ani, Ilmu Bayan, Ilmu Badi'.


Abstrak

Artikel ini mengkaji Ilmu Balāghah sebagai salah satu pilar utama dalam tradisi intelektual Islam yang mengintegrasikan dimensi rasionalitas, estetika, dan etika dalam berbahasa. Kajian dilakukan melalui pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual terhadap teks-teks klasik para balāghiyyīn seperti al-Jāḥiẓ, ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, dan al-Sakkākī, serta dikontekstualisasikan dengan teori bahasa dan komunikasi modern. Secara ontologis, Balāghah dipahami sebagai ilmu yang menyingkap hakikat bahasa sebagai medium penyingkapan makna yang hidup, dinamis, dan kontekstual. Secara epistemologis, ia merupakan sistem pengetahuan yang berlandaskan wahyu, rasio, dan pengalaman estetik manusia, dengan metode analisis berbasis naẓm, qiyās, dan istidlāl. Sementara secara aksiologis, Balāghah mengandung nilai-nilai moral dan sosial yang menuntun penggunaan bahasa secara santun, rasional, dan indah.

Artikel ini juga menyoroti dimensi sosial dan intelektual Balāghah sebagai kekuatan pembentuk budaya wacana Islam yang beradab, serta mengajukan kritik terhadap kecenderungan formalisme dan reduksionisme estetika dalam kajian klasiknya. Dengan memadukan perspektif klasik dan modern, penelitian ini menyimpulkan bahwa Ilmu Balāghah memiliki relevansi kontemporer dalam menghadapi tantangan komunikasi digital dan globalisasi wacana. Melalui sintesis filosofis, Balāghah diposisikan sebagai filsafat bahasa Islam yang integral, yang menyatukan kebenaran, keindahan, dan kebajikan dalam kesatuan makna dan ekspresi. Dengan demikian, Balāghah tidak hanya merupakan warisan linguistik masa lalu, tetapi juga paradigma etik dan epistemik untuk membangun komunikasi manusia yang rasional, estetis, dan beradab di era modern.

Kata kunci: Ilmu Balāghah, Filsafat Bahasa Islam, Rasionalitas Bahasa, Estetika Komunikasi, Etika Linguistik, Hermeneutika, Relevansi Kontemporer.


PEMBAHASAN

Hakikat, Fungsi, dan Aktualisasi Ilmu Balāghah


1.           Pendahuluan

Ilmu Balāghah merupakan salah satu disiplin sentral dalam khazanah keilmuan bahasa Arab yang berakar kuat pada kebutuhan untuk memahami keindahan, ketepatan, dan kekuatan makna dalam tuturan, khususnya dalam teks-teks wahyu seperti Al-Qur’an dan hadis. Secara terminologis, balāghah berarti “sampainya makna kepada hati pendengar dengan cara yang paling tepat dan indah,” sebuah konsep yang menggabungkan antara dimensi logika, estetika, dan etika dalam berbahasa.¹ Dengan demikian, Ilmu Balāghah tidak sekadar menjadi alat analisis linguistik, melainkan juga menjadi epistemologi komunikasi yang menuntun manusia untuk menyampaikan kebenaran dengan hikmah dan keindahan.

Kelahiran Ilmu Balāghah tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya Arab yang sangat menjunjung tinggi kefasihan (faṣāḥah) dan retorika (khiṭābah). Dalam masyarakat pra-Islam, kepiawaian berbahasa menjadi simbol kecerdasan dan kehormatan. Ketika wahyu Al-Qur’an turun dengan gaya bahasa yang luar biasa, keunggulan estetik dan maknawi teks ilahi itu menantang struktur retorika manusiawi.² Fenomena ini menimbulkan dorongan ilmiah bagi para ulama untuk menelaah aspek-aspek kebahasaan Al-Qur’an secara sistematis, hingga lahirlah disiplin Ilmu Balāghah sebagai upaya ilmiah untuk menjelaskan mukjizat bahasa wahyu.

Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu Islam, Balāghah berperan penting sebagai jembatan antara ʿulūm al-lughah (ilmu bahasa) dan ʿulūm al-dīn (ilmu keagamaan). Ia menjadi perangkat metodologis dalam tafsir, ushul fiqh, dan ilmu kalam untuk menyingkap makna-makna implisit yang tersembunyi di balik struktur bahasa.³ Di sinilah Balāghah tampil sebagai ilmu yang tidak hanya mengkaji apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana sesuatu dikatakan dan mengapa disampaikan dengan cara tertentu. Dimensi ini memperlihatkan bahwa Balāghah bukan sekadar estetika verbal, melainkan juga rasionalitas komunikatif yang bertujuan mencapai kesesuaian antara pikiran, makna, dan konteks sosial.

Kajian akademik terhadap Ilmu Balāghah menjadi semakin penting di era modern karena perannya yang luas dalam mengembangkan kesadaran kritis terhadap penggunaan bahasa di ruang publik, baik dalam konteks dakwah, pendidikan, maupun media. Pendekatan interdisipliner yang menghubungkan Balāghah dengan linguistik modern, pragmatik, dan semiotika membuka peluang bagi reinterpretasi nilai-nilai klasik agar tetap relevan di tengah perubahan budaya komunikasi.⁴ Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah Ilmu Balāghah secara komprehensif—meliputi aspek historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis—guna mengungkap kedudukannya sebagai ilmu yang memadukan keindahan bahasa dengan rasionalitas berpikir serta etika komunikasi manusia.


Footnotes

[1]                ¹ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 25.

[2]                ² al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:41–42.

[3]                ³ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 12–13.

[4]                ⁴ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 95–97.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Ilmu Balāghah

Ilmu Balāghah lahir dari perjumpaan antara tradisi kefasihan Arab pra-Islam dan kebutuhan epistemologis umat Islam untuk memahami mukjizat bahasa Al-Qur’an. Dalam masyarakat Arab sebelum Islam, kemampuan berbahasa dan bersyair merupakan simbol kehormatan sosial dan ukuran kecerdasan intelektual. Setiap kabilah memiliki penyair yang menjadi juru bicara kolektif dalam mengungkapkan kebanggaan, moral, dan narasi identitas mereka.¹ Tradisi inilah yang melahirkan kompetisi sastra dan retorika, terutama dalam pasar budaya seperti Sūq ʿUkāẓ, yang menjadi wadah lahirnya ekspresi linguistik dengan keindahan dan kekuatan argumentatif tinggi.²

Ketika wahyu Al-Qur’an diturunkan, masyarakat Arab menyadari bahwa teks tersebut melampaui seluruh bentuk kefasihan yang pernah mereka kenal. Struktur sintaksisnya yang kompleks namun harmonis, keindahan metafor (istiʿārah), dan koherensi semantik di antara ayat-ayatnya menimbulkan kekaguman sekaligus tantangan intelektual.³ Dari sinilah lahir kesadaran baru bahwa bahasa bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan juga wahana penyingkapan makna ilahiah. Maka, para ulama generasi awal berusaha memahami rahasia linguistik Al-Qur’an dengan pendekatan ilmiah, hingga berkembanglah ilmu-ilmu bahasa seperti naḥw (tata bahasa), ṣarf (morfologi), dan balāghah (retorika).⁴

Perkembangan Ilmu Balāghah secara sistematis dapat ditelusuri melalui tiga fase utama. Fase pertama adalah fase embrional, yang muncul pada abad ke-2 H ketika para ulama seperti al-Khalīl ibn Aḥmad al-Farāhīdī (w. 170 H) dan Sibawayh (w. 180 H) mulai menata kaidah bahasa Arab berdasarkan pengamatan empiris terhadap teks dan syair.⁵ Walaupun fokus mereka lebih pada gramatika, analisis semantik dan sintaktik yang mereka lakukan menjadi fondasi awal bagi pemahaman faṣāḥah dan balāghah.

Fase kedua adalah fase konseptualisasi, yang mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan ke-5 H. Tokoh seperti al-Jāḥiẓ (w. 255 H) dalam al-Bayān wa al-Tabyīn menegaskan bahwa kefasihan tidak hanya bergantung pada pilihan kata, tetapi juga pada kemampuan membangun struktur makna yang sesuai dengan maqām (situasi komunikasi).⁶ Pemikiran ini diperluas oleh ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī (w. 471 H) melalui karya monumentalnya Dalā’il al-Iʿjāz dan Asrār al-Balāghah, yang menempatkan hubungan sintaksis (naẓm) sebagai sumber utama keindahan dan kekuatan bahasa.⁷ Ia menolak pandangan bahwa keindahan bahasa terletak semata pada kata-kata indah, dan menegaskan bahwa makna lahir dari tatanan relasional antarunsur bahasa.⁸

Fase ketiga adalah fase kodifikasi, yang ditandai oleh upaya sistematis untuk mengklasifikasikan cabang-cabang Balāghah menjadi tiga disiplin: ʿIlm al-Maʿānī, ʿIlm al-Bayān, dan ʿIlm al-Badīʿ.⁹ Pembakuan struktur ini dikembangkan oleh al-Sakkākī (w. 626 H) melalui karyanya Miftāḥ al-ʿUlūm, yang menjadi rujukan utama bagi generasi ulama sesudahnya, termasuk al-Qazwīnī (w. 739 H) dengan Talkhīṣ al-Miftāḥ.¹⁰ Ketiga cabang tersebut menjadikan Balāghah bukan hanya ilmu keindahan bahasa, tetapi juga metodologi berpikir rasional dalam memahami hubungan antara makna, konteks, dan maksud penutur.

Dari sisi genealogi intelektual, Ilmu Balāghah tumbuh dalam ekosistem keilmuan Islam yang dinamis. Ia berinteraksi erat dengan ʿIlm al-Tafsīr dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, dengan ʿIlm al-Manṭiq dalam penyusunan hujjah, dan dengan ʿIlm al-Adab dalam pembinaan sastra.¹¹ Interaksi lintas-disiplin ini membentuk Balāghah sebagai disiplin yang berada di antara seni dan logika, antara bahasa dan filsafat.¹² Dengan demikian, Ilmu Balāghah tidak hanya merupakan produk sejarah linguistik Arab, melainkan juga kristalisasi dari cara berpikir Islam yang menggabungkan nalar, rasa, dan nilai spiritual dalam bahasa.


Footnotes

[1]                ¹ Aḥmad al-Ḥāfiẓ, Tārīkh al-Adab al-ʿArabī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1975), 33.

[2]                ² ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī (Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 41–42.

[3]                ³ Muḥammad ʿAbd al-Karīm al-Khaṭīb, al-Iʿjāz al-Bayānī li al-Qurʾān (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1963), 22–23.

[4]                ⁴ Ibrāhīm Anīs, al-Lughah bayna al-Qadīm wa al-Ḥadīth (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1982), 59.

[5]                ⁵ al-Suyūṭī, al-Mazhar fī ʿUlūm al-Lughah wa Anwāʿihā, ed. Fuʾād ʿAlī Manṣūr (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1998), 1:77.

[6]                ⁶ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:52–53.

[7]                ⁷ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 45–46.

[8]                ⁸ Ibid., 50.

[9]                ⁹ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 1–2.

[10]             ¹⁰ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 3–4.

[11]             ¹¹ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 18–20.

[12]             ¹² Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 64–65.


3.           Ontologi Ilmu Balāghah: Hakikat, Unsur, dan Objek Kajian

Secara ontologis, Ilmu Balāghah berakar pada upaya manusia untuk memahami hakikat bahasa sebagai medium penyingkapan makna (kashf al-maʿnā) yang tidak semata bersifat struktural, tetapi juga maknawi, kontekstual, dan estetis. Dalam pandangan para ulama klasik, balāghah bukan hanya “keindahan bahasa” (jamāl al-lughah), melainkan kemampuan menyampaikan makna dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan tujuan komunikasi (muṭābaqat al-kalām li-muqtaḍā al-ḥāl).¹ Hakikat ini menjadikan Balāghah bukan sekadar ilmu formal yang mengatur hubungan kata dan makna, tetapi juga ilmu rasional dan nilai yang menghubungkan bahasa dengan jiwa, akal, dan konteks sosial.

Berdasarkan pendekatan filosofis-linguistik, hakikat Balāghah dapat dipahami sebagai kesatuan antara bentuk (ṣūrah) dan makna (maʿnā) dalam kerangka relasional. ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī menegaskan bahwa keindahan bahasa bukanlah hasil dari pemilihan kata secara terpisah, melainkan dari susunan (naẓm) yang membentuk keserasian makna dan fungsi sintaksis.² Dengan demikian, bahasa yang balīgh (fasih dan efektif) adalah bahasa yang mencerminkan harmoni antara intensi batin penutur dan bentuk lahir ujarannya. Dalam pandangan ini, balāghah bersifat ontologis karena merepresentasikan proses emanasi makna dari pikiran menuju realitas sosial melalui simbol linguistik.³

Unsur-unsur pokok dalam struktur ontologis Ilmu Balāghah mencakup empat elemen utama: (1) lafẓ (kata/ungkapan), (2) maʿnā (makna), (3) siyāq (konteks), dan (4) maqām (situasi komunikasi).⁴ Keempat unsur ini tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi dalam membentuk efektivitas pesan. Lafẓ berfungsi sebagai wadah simbolik; maʿnā adalah isi intelektual dan emosional yang dikandungnya; siyāq mengatur hubungan sintaksis dan semantik antar unsur bahasa; sementara maqām menentukan kesesuaian ekspresi dengan kondisi penutur dan pendengar.⁵ Dari sinilah muncul kaidah utama Balāghah, yaitu bahwa “setiap ungkapan memiliki kadar makna dan keindahan yang bergantung pada kesesuaian antara kata, konteks, dan tujuan.”⁶

Objek formal dari Ilmu Balāghah adalah hubungan ekspresif antara bahasa dan makna dalam konteks tertentu, sedangkan objek materialnya adalah teks bahasa Arab itu sendiri, baik berupa Al-Qur’an, hadis, maupun karya sastra klasik.⁷ Ilmu ini tidak berhenti pada analisis struktur linguistik, melainkan menembus dimensi batin bahasa—yakni bagaimana makna dibangun, disampaikan, dan diterima secara efektif oleh akal dan perasaan manusia. Dengan demikian, balāghah menjadi epistemologi keindahan yang berpijak pada rasionalitas komunikatif: ia berusaha mencapai kebenaran (ṣidq), kebaikan (ḥusn), dan keindahan (jamāl) dalam satu kesatuan makna.⁸

Lebih jauh, ontologi Ilmu Balāghah juga berkaitan dengan filsafat eksistensi bahasa dalam Islam. Bahasa dipandang sebagai amanah ilahiah yang memungkinkan manusia berkomunikasi dengan Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang diajari nama-nama segala sesuatu (ʿallama al-asmāʾa kullahā), yang menandakan bahwa bahasa memiliki dimensi kosmologis dan spiritual.⁹ Karena itu, Balāghah tidak sekadar mengkaji ekspresi retoris, tetapi juga menyingkap cara wahyu memanifestasikan makna transenden melalui bentuk kebahasaan yang indah dan rasional.

Dari perspektif ontologis inilah Ilmu Balāghah menempati posisi unik: ia adalah ilmu yang menyatukan dimensi estetika (jamāl), logika (ʿaql), dan etika (akhlaq) dalam satu sistem kebahasaan. Keindahan bahasa tanpa rasionalitas akan jatuh pada kemewahan verbal, sedangkan rasionalitas tanpa estetika akan kehilangan daya pengaruh dan pesona. Maka, Balāghah hadir sebagai harmoni antara kejelasan makna dan keindahan ungkapan—sebuah bentuk kesempurnaan komunikasi manusia yang sekaligus mencerminkan tatanan kosmos ilahi.¹⁰


Footnotes

[1]                ¹ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 6.

[2]                ² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 35–36.

[3]                ³ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 18.

[4]                ⁴ Muḥammad al-Ṭanṭāwī, al-Talkhīṣ fī ʿUlūm al-Balāghah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 11.

[5]                ⁵ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 42–43.

[6]                ⁶ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 3.

[7]                ⁷ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 52–54.

[8]                ⁸ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 133–134.

[9]                ⁹ QS. al-Baqarah [2] ayat  31.

[10]             ¹⁰ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 102–103.


4.           Epistemologi Ilmu Balāghah: Sumber, Metode, dan Rasionalitas

Secara epistemologis, Ilmu Balāghah berlandaskan pada keyakinan bahwa bahasa adalah sarana utama penyingkapan makna dan kebenaran, baik dalam dimensi wahyu maupun realitas empiris. Dalam kerangka keilmuan Islam, Balāghah tidak hanya dipahami sebagai produk estetik, tetapi juga sebagai disiplin rasional yang memiliki metodologi ilmiah dalam menafsirkan teks dan ujaran.¹ Ia berfungsi sebagai sistem pengetahuan (niẓām al-maʿrifah) yang menjembatani antara bahasa (lafẓ), makna (maʿnā), dan tujuan komunikasi (maqṣad). Epistemologi Balāghah dengan demikian bertumpu pada tiga poros utama: sumber pengetahuan, metode analisis, dan rasionalitas kebahasaan.

4.1.       Sumber Pengetahuan Balāghah

Sumber epistemik Ilmu Balāghah bersandar pada tiga pilar utama: (a) teks wahyu (Al-Qur’an dan hadis), (b) karya sastra dan pidato Arab klasik, dan (c) pengalaman rasional manusia dalam berbahasa.² Al-Qur’an merupakan sumber tertinggi, karena di dalamnya terkandung bentuk-bentuk tertinggi kefasihan (faṣāḥah) dan ketepatan retorika (balāghah). Mukjizat Al-Qur’an bukanlah pada isi semata, tetapi juga pada cara penyampaiannya yang melampaui kemampuan manusia untuk menirunya (iʿjāz al-bayān).³ Oleh sebab itu, seluruh teori Balāghah klasik lahir dari upaya menafsirkan keindahan ekspresif wahyu—bagaimana struktur bahasa ilahi mampu menyentuh rasio dan emosi manusia secara bersamaan.

Selain wahyu, karya sastra Arab pra-Islam dan klasik juga menjadi sumber penting bagi penyusunan teori Balāghah. Puisi-puisi jahiliyah dan khutbah para orator Arab menjadi laboratorium linguistik yang menampilkan variasi bentuk dan makna.⁴ Dari sana, para ulama mengekstraksi kaidah-kaidah tentang kesesuaian antara lafẓ dan makna, penggunaan tamsil dan istiʿārah, serta pengaruh maqām terhadap efektivitas ujaran.⁵ Dengan demikian, epistemologi Balāghah berakar pada kombinasi antara wahyu dan pengalaman empiris yang diolah melalui nalar.

4.2.       Metode Analisis dan Pendekatan Rasional

Metode utama dalam Ilmu Balāghah adalah qiyās lughawī (analogi linguistik) dan istidlāl bayānī (inferensi retoris), yang bertujuan untuk menemukan hubungan sebab-akibat antara struktur bahasa dan maknanya.⁶ Dalam tradisi ulama balāghiyyīn seperti ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, metode ini dioperasikan melalui analisis naẓm (tatanan sintaksis) sebagai kunci keindahan dan kekuatan bahasa.⁷ Ia menegaskan bahwa makna tidak lahir dari kata-kata secara individual, melainkan dari cara kata-kata itu dihubungkan dalam struktur logis yang mengandung keteraturan dan makna kontekstual.⁸

Selain itu, Balāghah juga menggunakan metode tadabbur (perenungan reflektif) dan taʾammul (pengamatan mendalam) dalam memahami relasi antara lafẓ dan maʿnā. Metode ini bersifat induktif sekaligus deduktif: induktif dalam meneliti fenomena kebahasaan dari teks-teks empiris, dan deduktif dalam menarik prinsip-prinsip universal dari hasil pengamatan tersebut.⁹ Pendekatan demikian menjadikan Balāghah tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga ilmiah, karena berlandaskan pada observasi dan rasionalisasi terhadap data kebahasaan yang nyata.

4.3.       Rasionalitas Bahasa dan Struktur Makna

Epistemologi Balāghah mengandung dimensi rasional yang mendalam. Rasionalitas dalam konteks ini bukan sekadar kemampuan logis untuk menilai benar atau salah, tetapi kemampuan estetik-rasional untuk memahami kesesuaian antara kata dan makna dalam konteks tertentu.¹⁰ Dalam Dalā’il al-Iʿjāz, al-Jurjānī menyebutkan bahwa bahasa yang fasih adalah bahasa yang “berpikir,” yakni bahasa yang tunduk pada hukum akal dan rasa sekaligus.¹¹ Ia menolak pandangan bahwa keindahan bahasa bersifat subjektif atau emosional semata, karena menurutnya keindahan sejati terletak pada keselarasan struktur pikiran dengan struktur bahasa.

Rasionalitas Balāghah juga tampak dalam kemampuannya untuk menyeimbangkan antara taʿbīr (ekspresi) dan taʿqīl (rasionalisasi).¹² Setiap bentuk retoris seperti istiʿārah, kināyah, atau tasybīh memiliki logika internal yang dapat dijelaskan secara konseptual. Dalam hal ini, Balāghah bukanlah seni tanpa kaidah, melainkan sistem berpikir yang menuntut kepekaan logis terhadap makna.¹³ Keseimbangan antara estetika dan rasionalitas inilah yang menjadikan Ilmu Balāghah berperan ganda: sebagai instrumen pemahaman teks ilahi dan sebagai epistemologi rasional untuk memahami komunikasi manusia.

Dengan demikian, epistemologi Ilmu Balāghah menampilkan wajah ilmu yang unik: empiris dalam sumbernya, rasional dalam metodenya, dan spiritual dalam orientasinya. Ia menggabungkan observasi linguistik dengan refleksi filosofis, dan menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar instrumen teknis, melainkan cermin dari akal dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam struktur pengetahuan Islam, Balāghah berfungsi sebagai jembatan antara ʿaql (nalar) dan dhawq (rasa), antara keindahan dan kebenaran—sebuah sintesis epistemik yang memadukan dimensi logika, estetika, dan etika.¹⁴


Footnotes

[1]                ¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 74.

[2]                ² Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 22–23.

[3]                ³ al-Khaṭīb al-Qazwīnī, al-Īḍāḥ fī ʿUlūm al-Balāghah, ed. ʿAbd al-Raḥmān al-Barqūqī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1998), 14.

[4]                ⁴ Aḥmad al-Ḥāfiẓ, Tārīkh al-Adab al-ʿArabī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1975), 51.

[5]                ⁵ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 2:78.

[6]                ⁶ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 8–9.

[7]                ⁷ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 49–50.

[8]                ⁸ Ibid., 55.

[9]                ⁹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 29–30.

[10]             ¹⁰ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 118–120.

[11]             ¹¹ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, 61.

[12]             ¹² Muḥammad al-Ṭanṭāwī, al-Talkhīṣ fī ʿUlūm al-Balāghah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 18–19.

[13]             ¹³ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 9.

[14]             ¹⁴ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 140–141.


5.           Aksiologi Ilmu Balāghah: Nilai, Fungsi, dan Tujuan

Secara aksiologis, Ilmu Balāghah menempati posisi strategis dalam membentuk kesadaran etis, estetik, dan rasional dalam berbahasa. Ia bukan sekadar ilmu tentang keindahan ujaran, melainkan sistem nilai yang mengajarkan bagaimana kebenaran dapat disampaikan dengan cara yang indah, bijak, dan tepat sasaran. Dalam kerangka filsafat nilai, Balāghah mengandung tiga dimensi pokok: nilai estetis (jamālīyah), nilai etis (akhlāqīyah), dan nilai epistemologis (ʿaqlīyah), yang seluruhnya saling berkaitan dalam membentuk keutuhan makna dan komunikasi manusia.¹

5.1.       Nilai Estetis: Keindahan sebagai Jalan Kebenaran

Ilmu Balāghah menegaskan bahwa keindahan bahasa bukanlah tujuan yang berdiri sendiri, melainkan medium untuk menyampaikan kebenaran secara menyentuh dan efektif. ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī menolak pandangan bahwa keindahan bersumber dari ornamen kata, karena baginya keindahan sejati terletak pada keterpaduan makna dan bentuk yang mencerminkan harmoni rasional.² Dengan demikian, nilai estetis dalam Balāghah berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan ta’dīb al-lughah—pendidikan rasa dan cita bahasa—yang mengasah kepekaan manusia terhadap kehalusan makna dan kebenaran.³

Estetika Balāghah memiliki landasan spiritual yang kuat, sebab Al-Qur’an sendiri menampilkan keindahan struktur bahasa yang tidak hanya memikat pendengaran, tetapi juga menggugah kesadaran.⁴ Keindahan dalam bahasa wahyu menjadi cermin kesempurnaan ilahi yang menggabungkan kebenaran dan kebijaksanaan (ḥikmah). Dengan demikian, nilai estetis Balāghah melampaui dimensi artistik menuju kesadaran ontologis, yakni kesadaran akan keteraturan dan keindahan yang menjadi bagian dari tatanan kosmos.

5.2.       Nilai Etis: Etika Komunikasi dan Keutamaan Bahasa

Balāghah tidak hanya mengajarkan bagaimana berbicara dengan indah, tetapi juga mengapa seseorang harus berbicara dengan benar dan penuh hikmah. Etika komunikasi (adab al-kalām) merupakan aspek aksiologis yang fundamental dalam Ilmu Balāghah.⁵ Sebuah ungkapan tidak dapat disebut “balīgh” apabila ia melanggar norma kejujuran, kesopanan, atau kebijaksanaan. Dalam konteks ini, Balāghah menginternalisasi nilai-nilai moral Islam, seperti kejujuran (ṣidq), kesantunan (ḥilm), dan pertimbangan manfaat (maṣlaḥah), ke dalam praktik komunikasi manusia.⁶

Nilai etis Balāghah juga menegaskan prinsip tanggung jawab moral dalam berbahasa. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa “tiada satu kata pun yang diucapkan kecuali ada pengawas yang mencatatnya” (QS. Qāf [50] ayat 18), maka setiap ucapan adalah cerminan kesadaran moral.⁷ Oleh karena itu, bahasa bukan sekadar alat, tetapi amanah. Dengan menumbuhkan kesadaran ini, Ilmu Balāghah berfungsi membentuk kepribadian komunikatif yang bertanggung jawab, rasional, dan berakhlak.⁸

5.3.       Nilai Epistemologis: Rasionalitas dan Kejelasan Makna

Dari sudut pandang epistemologis, nilai utama Balāghah terletak pada pencapaian keterpahaman makna yang jelas dan rasional. al-Sakkākī dalam Miftāḥ al-ʿUlūm menegaskan bahwa puncak kefasihan adalah ketika struktur bahasa mampu menyingkap makna tanpa kabur dan tanpa berlebih-lebihan.⁹ Dalam kerangka ini, Balāghah menjadi alat epistemik yang menuntun akal untuk memahami realitas melalui struktur bahasa yang teratur. Kejelasan makna (wuḍūḥ al-maʿnā) merupakan nilai rasional yang melandasi setiap bentuk komunikasi yang efektif.

Lebih dari itu, Balāghah memberikan kerangka epistemologis bagi penafsiran teks suci. Para mufassir dan teolog menggunakan prinsip-prinsip Balāghah untuk menyingkap makna simbolik dan konotatif dalam Al-Qur’an.¹⁰ Dengan demikian, nilai epistemologis Balāghah tidak hanya terbatas pada kejelasan linguistik, tetapi juga pada pemahaman makna yang mendalam dan berlapis.¹¹ Dalam konteks inilah Balāghah menjadi jembatan antara teks dan realitas, antara wahyu dan akal.

5.4.       Fungsi dan Tujuan Praktis Ilmu Balāghah

Fungsi utama Ilmu Balāghah adalah sebagai instrumen pendidikan intelektual dan moral dalam penggunaan bahasa.¹² Dalam tradisi Islam klasik, Balāghah digunakan untuk memperhalus daya pikir (taʿqīl al-lughah), melatih kecermatan logika, dan menumbuhkan kepekaan estetis terhadap makna. Melalui kajian ʿIlm al-Maʿānī, seseorang belajar menyesuaikan ungkapan dengan situasi; melalui ʿIlm al-Bayān, ia memahami metafora dan simbol; sedangkan ʿIlm al-Badīʿ menumbuhkan kehalusan cita rasa dalam memilih gaya.¹³

Tujuan akhir Balāghah adalah penyempurnaan komunikasi manusia agar lebih dekat kepada kebenaran, kebijaksanaan, dan keindahan.¹⁴ Dalam konteks modern, fungsi ini dapat diperluas ke ranah pendidikan, retorika sosial, dan dakwah digital, di mana kejelasan pesan dan keindahan ekspresi menjadi sarana efektif untuk membangun pemahaman dan kedamaian sosial.¹⁵ Dengan demikian, Ilmu Balāghah memiliki nilai aksiologis yang melampaui ruang akademik: ia menjadi etika dan estetika hidup yang menuntun manusia untuk berkata benar, berpikir jernih, dan berkomunikasi secara bijak.


Footnotes

[1]                ¹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 72–74.

[2]                ² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 48–49.

[3]                ³ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 132.

[4]                ⁴ al-Khaṭīb al-Qazwīnī, al-Īḍāḥ fī ʿUlūm al-Balāghah, ed. ʿAbd al-Raḥmān al-Barqūqī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1998), 20–21.

[5]                ⁵ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:76–77.

[6]                ⁶ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 35.

[7]                ⁷ QS. Qāf [50] ayat 18.

[8]                ⁸ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 91–92.

[9]                ⁹ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 10–11.

[10]             ¹⁰ al-Zarkashī, al-Burhān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Kairo: Dār al-Maʿrifah, 1957), 1:232–233.

[11]             ¹¹ al-Suyūṭī, al-Itqān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 2:105.

[12]             ¹² ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 47–48.

[13]             ¹³ Muḥammad al-Ṭanṭāwī, al-Talkhīṣ fī ʿUlūm al-Balāghah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 21–22.

[14]             ¹⁴ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 125.

[15]             ¹⁵ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī (Kairo: Dār al-ʿIlm, 2019), 54–56.


6.           Dimensi Sosial dan Intelektual Ilmu Balāghah

Ilmu Balāghah tidak hanya berfungsi sebagai cabang linguistik yang mengkaji keindahan bahasa, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-intelektual yang membentuk cara berpikir, berkomunikasi, dan berperadaban dalam masyarakat Islam. Ia menjadi instrumen yang menjembatani antara ekspresi individual dan komunikasi kolektif, antara seni berbahasa dan rasionalitas publik.¹ Dalam konteks ini, Balāghah berperan sebagai media pembentukan kesadaran sosial (al-waʿy al-ijtimāʿī) sekaligus tradisi intelektual (al-turāth al-fikrī) yang membangun jati diri umat Islam melalui bahasa.

6.1.       Balāghah dan Pembentukan Budaya Diskursif Islam

Sejak abad ke-3 H, Balāghah telah berperan penting dalam membangun budaya diskursif di dunia Islam. Di masjid, majelis ilmu, dan istana Abbasiyah, kemampuan berbahasa dengan balāghah yang tinggi menjadi simbol kecerdasan intelektual dan moralitas.² Para orator (khuṭabāʾ), penyair (shuʿarāʾ), dan ulama menggunakan retorika yang indah untuk menyampaikan nilai-nilai agama dan filsafat. Dengan demikian, Balāghah membentuk habitus linguistik yang menempatkan keindahan bahasa sebagai bagian dari etika berpikir dan berkomunikasi.³

Tradisi ini melahirkan konsep al-khiṭābah al-islāmiyyah—retorika Islam—yang menggabungkan argumentasi logis (burhān) dengan daya persuasif (iqnāʿ) dan kesantunan moral (adab).⁴ Perpaduan tersebut menjadikan Balāghah bukan sekadar seni retorika, tetapi juga mekanisme sosial untuk mengatur bagaimana ide, nilai, dan kebenaran disampaikan dalam ruang publik Islam. Oleh karena itu, keindahan dalam bahasa dipandang tidak netral, melainkan memiliki tanggung jawab sosial terhadap kebenaran dan keadilan.⁵

6.2.       Balāghah dalam Tradisi Intelektual dan Keilmuan Islam

Dari sisi intelektual, Ilmu Balāghah memiliki peran epistemik yang sangat luas karena menjadi fondasi bagi ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, hadis, ushul fiqh, dan kalam.⁶ Para mufassir klasik seperti al-Zamakhsharī dan al-Rāzī menggunakan prinsip-prinsip Balāghah untuk menjelaskan keindahan dan kedalaman makna Al-Qur’an.⁷ Misalnya, melalui analisis tasybīh (perumpamaan) dan istiʿārah (metafora), mereka menyingkap makna tersirat di balik struktur linguistik wahyu. Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana Balāghah berfungsi sebagai metode hermeneutik yang menghubungkan teks dan realitas pemahaman manusia.

Dalam ilmu kalam dan filsafat Islam, Balāghah berperan sebagai medium penyampaian argumentasi rasional.⁸ Para mutakallimūn menggunakan struktur retoris yang logis dan efektif untuk mempertahankan prinsip keesaan Tuhan dan membantah pandangan oposisi teologis.⁹ Balāghah juga menjadi perangkat penting dalam ushul fiqh, di mana makna lafẓ dan konotasinya (ḥaqīqah, majāz, ʿāmm, khāṣṣ, dan lain-lain) ditelaah secara mendalam guna merumuskan hukum yang tepat.¹⁰ Dengan demikian, Ilmu Balāghah berkontribusi besar terhadap pembentukan tradisi intelektual Islam yang bersifat rasional, dialogis, dan berakar pada teks.

6.3.       Balāghah dan Etika Sosial Komunikasi

Dalam tataran sosial, Balāghah mengajarkan prinsip komunikasi yang beradab, efektif, dan harmonis. Bahasa yang balīgh tidak hanya menarik dari sisi estetik, tetapi juga mampu menghubungkan perbedaan dengan kejelasan dan hikmah.¹¹ Prinsip muṭābaqat al-kalām li-muqtaḍā al-ḥāl (kesesuaian ujaran dengan situasi) menuntun seseorang untuk berbicara sesuai konteks, tanpa berlebihan dan tanpa menyinggung pihak lain.¹² Nilai ini sangat penting dalam masyarakat plural, di mana komunikasi sering menjadi sumber konflik atau kesalahpahaman.

Lebih dari sekadar teori retorika, Balāghah berfungsi sebagai etik linguistik yang menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dalam penggunaan bahasa.¹³ Setiap kata memiliki konsekuensi moral, karena bahasa adalah alat pengaruh terhadap pikiran dan tindakan orang lain. Oleh karena itu, Balāghah menuntut adanya kesadaran etis dalam berbahasa: al-kalām maʿrifah wa masʾūliyyah (ucapan adalah pengetahuan dan tanggung jawab).¹⁴

6.4.       Balāghah dan Transformasi Intelektual Modern

Dalam era modern, dimensi sosial dan intelektual Balāghah menemukan relevansi baru dalam konteks pendidikan, media, dan komunikasi digital.¹⁵ Prinsip-prinsip klasik seperti kejelasan makna, kesesuaian konteks, dan keseimbangan antara rasionalitas dan estetika dapat diterapkan dalam praktik jurnalistik, retorika politik, dan penyebaran pesan dakwah di media sosial.¹⁶ Para cendekiawan kontemporer berpendapat bahwa revitalisasi Balāghah dapat menjadi dasar pengembangan “etika komunikasi Islam” yang menjawab tantangan era post-truth dan polarisasi wacana publik.¹⁷

Dalam konteks pendidikan bahasa Arab modern, Balāghah berfungsi sebagai sarana pengembangan kompetensi komunikatif yang tidak hanya mencakup keterampilan linguistik, tetapi juga kesadaran pragmatik dan budaya.¹⁸ Hal ini menunjukkan bahwa Balāghah tidak kehilangan relevansi, melainkan mengalami transformasi menjadi alat pembentukan karakter intelektual dan sosial di tengah perubahan zaman.


Sintesis Sosial-Intelektual

Melalui integrasi antara nilai-nilai etika, estetika, dan rasionalitas, Ilmu Balāghah berperan sebagai fondasi sosial-intelektual bagi peradaban Islam. Ia mengajarkan bahwa keindahan bahasa bukan sekadar hiasan, tetapi cermin dari kematangan akal dan moral.¹⁹ Dalam tataran sosial, ia melahirkan komunikasi yang damai dan konstruktif; dalam tataran intelektual, ia menumbuhkan pemikiran kritis yang menghargai makna dan logika. Dengan demikian, Balāghah dapat dipandang sebagai salah satu bentuk ʿaql lughawī—rasionalitas kebahasaan Islam—yang menjadi pilar bagi pembentukan masyarakat berilmu dan beradab.²⁰


Footnotes

[1]                ¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 103.

[2]                ² Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 147–148.

[3]                ³ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 2:55.

[4]                ⁴ ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī (Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 68–69.

[5]                ⁵ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 41.

[6]                ⁶ al-Zarkashī, al-Burhān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Kairo: Dār al-Maʿrifah, 1957), 1:228.

[7]                ⁷ al-Zamakhsharī, al-Kashshāf ʿan Ḥaqāʾiq al-Tanzīl (Beirut: Dār al-Maʿrifah, 1987), 1:10–11.

[8]                ⁸ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 88.

[9]                ⁹ al-Rāzī, al-Maḥṣūl fī ʿIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1999), 2:143.

[10]             ¹⁰ al-Suyūṭī, al-Itqān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 2:111.

[11]             ¹¹ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 53.

[12]             ¹² al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 6.

[13]             ¹³ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 12.

[14]             ¹⁴ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 131.

[15]             ¹⁵ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī (Kairo: Dār al-ʿIlm, 2019), 65–66.

[16]             ¹⁶ ʿAlī al-Qaradāghī, al-Balāghah al-Islāmiyyah fī ʿAṣr al-Maʿrifah (Doha: Dār al-Thaqāfah, 2018), 78.

[17]             ¹⁷ Muḥammad ʿImārah, al-Fikr al-Islāmī wa Qadāyā al-ʿAṣr (Kairo: Dār al-Shurūq, 2004), 112.

[18]             ¹⁸ ʿAbd al-Ḥamīd ʿAṭiyyah, al-Taʿlīm al-Balāghī fī al-Maʿāhid al-ʿArabiyyah (Kairo: Dār al-Fikr, 2010), 33.

[19]             ¹⁹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 94.

[20]             ²⁰ Aḥmad Amīn, Fajr al-Islām (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1969), 211.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Ilmu Balāghah, meskipun memiliki posisi sentral dalam tradisi intelektual Islam, tidak luput dari kritik dan perdebatan filosofis. Sebagai disiplin yang menautkan antara keindahan bahasa dan rasionalitas berpikir, Balāghah menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan aspek estetika dan epistemologisnya. Kritik terhadap Balāghah dapat dibagi ke dalam tiga ranah utama: (1) kritik formalisme linguistik, (2) kritik reduksionisme estetika, dan (3) klarifikasi filosofis tentang hakikat makna dan komunikasi. Ketiganya menunjukkan dinamika pemikiran yang terus memperbarui posisi Balāghah di antara ilmu bahasa, logika, dan filsafat.

7.1.       Kritik terhadap Formalisme Linguistik

Sejumlah pemikir modern menilai bahwa tradisi Balāghah klasik, terutama pasca al-Sakkākī dan al-Qazwīnī, mengalami kecenderungan formalisme—yakni keterpakuan pada analisis struktur kebahasaan tanpa memperhatikan konteks sosial dan pragmatik.¹ Fokus yang berlebihan pada klasifikasi istiʿārah, tasybīh, dan jinās misalnya, menjadikan Balāghah terjebak dalam deskripsi teknis dan kehilangan daya kritisnya terhadap fungsi komunikasi bahasa.² Akibatnya, ilmu ini cenderung menjadi ilmu deskriptif yang indah secara bentuk, tetapi kurang relevan dalam menjelaskan realitas makna dan interaksi manusia.

Kritik ini terutama disuarakan oleh para sarjana Arab modern seperti Amīn al-Khūlī dan Muḥammad ʿAbduh yang menyerukan perlunya pendekatan balāghah ḥayāhiyyah—Balāghah yang hidup dan kontekstual—yang tidak terkurung oleh tata aturan formal.³ Menurut mereka, keindahan bahasa tidak terletak pada kategorisasi bentuk, tetapi pada kemampuannya untuk menghidupkan makna dalam konteks sosial dan moral. Dengan demikian, Balāghah perlu keluar dari kerangka skolastik menuju wilayah interpretatif yang dinamis.

7.2.       Kritik terhadap Reduksionisme Estetika

Kritik lain datang dari arah yang berlawanan, yakni terhadap kecenderungan sebagian pembelajar Balāghah untuk mereduksinya menjadi sekadar seni hiasan verbal (al-badīʿiyyāt).⁴ Dalam pandangan ini, Balāghah dipahami secara dangkal sebagai permainan gaya bahasa dan ornamen retoris, sehingga kehilangan basis epistemiknya. Padahal, seperti ditegaskan oleh ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, keindahan sejati tidak terletak pada hiasan kata, melainkan pada keteraturan rasional (naẓm) yang menyatukan makna dan bentuk secara harmonis.⁵

Reduksionisme estetika ini berimplikasi pada munculnya dikotomi palsu antara “bahasa indah” dan “bahasa benar.” Padahal, dalam tradisi Islam, kedua aspek tersebut tidak terpisahkan. Bahasa yang indah tanpa kebenaran adalah retorika kosong; sebaliknya, bahasa yang benar tanpa keindahan kehilangan daya pengaruhnya terhadap jiwa.⁶ Karena itu, kritik ini menuntut rehabilitasi makna Balāghah sebagai ilmu yang menyatukan keindahan, kebenaran, dan kebijaksanaan (al-jamāl, al-ḥaqq, al-ḥikmah).

7.3.       Klarifikasi Filosofis tentang Hakikat Makna dan Komunikasi

Dalam dimensi filosofis, perdebatan utama berkisar pada hakikat makna dan cara bahasa merepresentasikan realitas. Para balāghiyyīn klasik seperti al-Jurjānī memandang makna sebagai entitas relasional yang lahir dari hubungan antara kata, struktur, dan konteks (al-maʿnā fī al-naẓm lā fī al-kalimāt).⁷ Pandangan ini mendahului teori modern tentang semantik struktural dan pragmatik. Namun, beberapa pemikir modern, seperti Muḥammad ʿĀbid al-Jābirī, menilai bahwa Balāghah klasik belum sepenuhnya mengembangkan aspek epistemologis dari komunikasi, karena masih terikat pada horizon tekstual dan belum menyentuh dimensi sosial makna.⁸

Klarifikasi filosofis terhadap hal ini memerlukan pendekatan hermeneutik—yakni menafsirkan Balāghah sebagai sistem pengetahuan yang menghubungkan bahasa, realitas, dan kesadaran manusia. Dalam kerangka ini, bahasa tidak dipandang sebagai cermin pasif realitas, tetapi sebagai proses aktif pembentukan makna (taʾwīl).⁹ Dengan demikian, Balāghah dapat direvitalisasi sebagai epistemologi komunikasi yang menempatkan bahasa dalam peran kreatif dan transformatif.

7.4.       Rekonsiliasi antara Estetika, Logika, dan Etika

Kritik dan klarifikasi tersebut mengarah pada kebutuhan untuk merekonsiliasi tiga pilar utama Balāghah: estetika (jamāl), logika (ʿaql), dan etika (akhlāq). Ilmu Balāghah hanya dapat berfungsi utuh apabila keindahan bahasa diarahkan oleh kebenaran logis dan nilai moral.¹⁰ Dalam perspektif filsafat Islam, hal ini sejalan dengan prinsip kesatuan antara al-ḥaqq wa al-jamāl, di mana kebenaran dan keindahan saling memperkuat.¹¹

Keseimbangan ini tidak hanya penting dalam wacana ilmiah, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Bahasa yang indah namun tidak rasional dapat menyesatkan; sebaliknya, bahasa yang logis tetapi dingin dapat mematikan kepekaan manusia. Oleh karena itu, klarifikasi filosofis terhadap Balāghah menegaskan bahwa bahasa adalah bentuk rasionalitas bernuansa moral—ia berpikir sekaligus merasakan, menimbang sekaligus mengilhami.¹²

7.5.       Arah Pengembangan Filsafat Balāghah Kontemporer

Kritik modern terhadap Balāghah klasik justru membuka peluang baru bagi pengembangannya sebagai filsafat bahasa Islam (falsafat al-lughah al-islāmiyyah). Para sarjana kontemporer seperti Ḥasan Ḥanafī dan Naṣr Ḥāmid Abū Zayd melihat Balāghah sebagai model epistemologi alternatif yang mengintegrasikan dimensi tekstual, sosial, dan spiritual bahasa.¹³ Dengan memperluas horizon Balāghah dari estetika menuju filsafat komunikasi, ilmu ini dapat menjadi basis bagi teori wacana Islam yang menghargai kebenaran, keberagaman, dan kemanusiaan.¹⁴

Dalam arah ini, Balāghah tidak lagi dipahami sebagai retorika klasik semata, melainkan sebagai sistem rasional yang menuntun manusia untuk berkomunikasi dengan keindahan yang bermakna dan kebijaksanaan yang berpijak pada akal. Kritik filosofis terhadap Balāghah, oleh karena itu, bukanlah penolakan terhadap tradisi, tetapi upaya menyegarkan semangatnya agar tetap relevan dalam percakapan intelektual modern.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 7–8.

[2]                ² ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 61–62.

[3]                ³ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 54.

[4]                ⁴ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 139–140.

[5]                ⁵ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 28.

[6]                ⁶ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 127.

[7]                ⁷ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 53.

[8]                ⁸ Muḥammad ʿĀbid al-Jābirī, Takwīn al-ʿAql al-ʿArabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah, 1988), 214–215.

[9]                ⁹ Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 92.

[10]             ¹⁰ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 99.

[11]             ¹¹ ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī (Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 112.

[12]             ¹² Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 104.

[13]             ¹³ Ḥasan Ḥanafī, Min al-Naṣ ilā al-Wāqiʿ: Dirāsah fī Fikr al-Tafsīrī al-ʿArabī (Kairo: Dār al-Tanwīr, 1985), 76–77.

[14]             ¹⁴ Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 45–46.

[15]             ¹⁵ Muḥammad ʿImārah, al-Fikr al-Islāmī wa Qadāyā al-ʿAṣr (Kairo: Dār al-Shurūq, 2004), 128–129.


8.           Relevansi Kontemporer Ilmu Balāghah

Dalam konteks kontemporer, Ilmu Balāghah memperoleh signifikansi baru yang melampaui batas tradisionalnya sebagai ilmu kebahasaan klasik. Ia tampil kembali sebagai paradigma berpikir dan berkomunikasi yang relevan dalam menjawab tantangan era global, digital, dan post-truth. Relevansi Balāghah tidak hanya terletak pada kemampuannya mengajarkan keindahan bahasa, tetapi juga pada fungsinya sebagai fondasi etika, epistemologi, dan humanisme komunikasi di tengah krisis makna dan degradasi wacana publik modern.¹

8.1.       Balāghah dan Literasi Komunikasi Digital

Perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah lanskap bahasa dan interaksi sosial. Media sosial menciptakan ruang ekspresi yang luas, tetapi juga menimbulkan distorsi makna, manipulasi bahasa, dan hilangnya etika komunikasi. Dalam situasi ini, prinsip-prinsip Balāghah seperti muṭābaqat al-kalām li-muqtaḍā al-ḥāl (kesesuaian ujaran dengan konteks) dan faṣāḥah (kejernihan makna) menjadi sangat relevan.²

Balāghah dapat dijadikan kerangka untuk membangun etika komunikasi digital yang menuntun pengguna agar menimbang konteks, audiens, dan tujuan komunikasi sebelum berbicara atau menulis.³ Seperti halnya Al-Qur’an mengajarkan qawlan maʿrūfā, qawlan layyinan, dan qawlan sadīdan—tiga prinsip ujaran etis—Balāghah dapat diterjemahkan ke dalam praksis literasi digital yang menghormati kejujuran, kejelasan, dan keindahan dalam berkomunikasi daring.⁴

Lebih jauh, konsep balāghah ḥayāhiyyah (Balāghah yang hidup) yang diperkenalkan oleh Amīn al-Khūlī menegaskan perlunya menerjemahkan nilai-nilai klasik ke dalam konteks teknologi modern.⁵ Ia menolak stagnasi verbalistik dan menyerukan agar Balāghah menjadi ilmu yang berfungsi dalam kehidupan sosial nyata—termasuk dalam interaksi di dunia digital yang menuntut etika komunikasi baru.

8.2.       Balāghah dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Dalam ranah pendidikan, Ilmu Balāghah berperan penting dalam membangun kesadaran linguistik, estetik, dan moral peserta didik. Di tengah dominasi gaya bahasa pragmatis dan instan, Balāghah mengajarkan kehalusan berpikir dan keindahan ekspresi yang berbasis rasionalitas dan empati.⁶ Prinsip-prinsip ʿIlm al-Maʿānī membantu siswa memahami bagaimana makna disesuaikan dengan konteks sosial; ʿIlm al-Bayān melatih sensitivitas simbolik dan imajinasi kreatif; sementara ʿIlm al-Badīʿ menumbuhkan rasa estetika terhadap harmoni bahasa.⁷

Pendidikan Balāghah modern dapat diarahkan untuk membentuk karakter komunikatif yang beradab (adab al-taʿbīr)—yakni kemampuan menyampaikan pikiran dengan jernih, sopan, dan menyentuh nurani.⁸ Hal ini sejalan dengan konsep ta’dīb al-lughah, yaitu pendidikan melalui bahasa yang menumbuhkan akhlak dan kecerdasan emosional. Dengan demikian, Balāghah bukan sekadar keterampilan linguistik, tetapi juga sarana pembentukan karakter rasional dan etis di dunia pendidikan kontemporer.⁹

8.3.       Balāghah dan Etika Wacana Publik

Dalam ruang publik modern, komunikasi sering kali kehilangan dimensi moral dan keindahan. Retorika politik, media, dan wacana sosial kerap digunakan untuk menipu, memecah belah, atau memanipulasi emosi massa. Dalam konteks ini, Balāghah dapat berfungsi sebagai alat kritik wacana publik.¹⁰ Ia mengajarkan bahwa keindahan bahasa harus menyatu dengan kebenaran dan tanggung jawab sosial.

Prinsip iqnāʿ (persuasi) dalam Balāghah klasik dapat ditafsirkan ulang sebagai etika dialog, bukan dominasi wacana.¹¹ Retorika dalam pandangan Islam bukan sekadar seni membujuk, tetapi seni mengajak kepada kebenaran dengan cara yang bijak (udʿu ilā sabīli rabbika bil-ḥikmah).¹² Maka, revitalisasi Balāghah berarti menghidupkan kembali seni berbicara yang jujur dan argumentatif di tengah budaya debat yang dangkal dan manipulatif.

8.4.       Balāghah dan Ilmu Humaniora Modern

Balāghah juga memiliki relevansi teoretis dalam ranah ilmu humaniora kontemporer, terutama linguistik, semiotika, dan pragmatik. Struktur analisis makna dalam ʿIlm al-Bayān sejajar dengan teori metafora konseptual George Lakoff dan Mark Johnson, yang melihat bahasa sebagai cermin pola pikir manusia.¹³ Sementara konsep naẓm al-Jurjānī—tatanan relasional makna dalam struktur kalimat—sejalan dengan teori sintaksis dan semantik modern yang menekankan hubungan kontekstual antar unsur bahasa.¹⁴

Dalam filsafat bahasa kontemporer, Balāghah dapat dipandang sebagai bentuk hermeneutika Islam, yaitu upaya memahami teks dan makna dengan mempertimbangkan konteks, intensi, dan resepsi.¹⁵ Dengan demikian, Balāghah tidak hanya bagian dari masa lalu, melainkan warisan intelektual yang dapat berdialog dengan teori-teori modern tentang makna, tanda, dan komunikasi.

8.5.       Balāghah sebagai Etika Global Komunikasi

Dalam era globalisasi dan krisis komunikasi antarbudaya, Balāghah menawarkan model etika universal berbasis hikmah dan keindahan. Bahasa yang indah, benar, dan bijak bukan hanya milik budaya Arab, melainkan nilai kemanusiaan yang dapat diterapkan dalam konteks lintas budaya.¹⁶ Balāghah mengajarkan bahwa kekuatan bahasa terletak bukan pada dominasi, melainkan pada kemampuan membangun pengertian dan kedamaian.

Karena itu, pengembangan “Balāghah Global” menjadi langkah penting bagi dunia akademik modern: suatu pendekatan lintas disiplin yang mengintegrasikan prinsip-prinsip klasik Balāghah dengan komunikasi lintas budaya, pendidikan moral, dan media digital.¹⁷ Dalam pengertian ini, Ilmu Balāghah bertransformasi dari ilmu linguistik klasik menjadi paradigma etis dan humanistik bagi peradaban global.


Footnotes

[1]                ¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 117.

[2]                ² al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 6–7.

[3]                ³ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī (Kairo: Dār al-ʿIlm, 2019), 75–76.

[4]                ⁴ QS. al-Baqarah [2] ayat 83; QS. Ṭāhā [20] ayat 44; QS. al-Aḥzāb [33] ayat 70.

[5]                ⁵ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 61–62.

[6]                ⁶ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 57–58.

[7]                ⁷ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 73–74.

[8]                ⁸ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:87.

[9]                ⁹ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 142.

[10]             ¹⁰ Aḥmad Amīn, Fajr al-Islām (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1969), 214.

[11]             ¹¹ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 12–13.

[12]             ¹² QS. al-Naḥl [16] ayat 125.

[13]             ¹³ George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–5.

[14]             ¹⁴ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 47.

[15]             ¹⁵ Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 93–94.

[16]             ¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1975), 155–157.

[17]             ¹⁷ Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 73–74.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Konsep Balāghah Integral

Upaya memahami Ilmu Balāghah secara integral menuntut suatu sintesis filosofis yang melampaui batas-batas linguistik semata. Sintesis ini menggabungkan tiga dimensi utama yang membentuk hakikat ilmu tersebut—yakni rasionalitas (al-ʿaql), keindahan (al-jamāl), dan etika (al-akhlāq)—ke dalam satu sistem pemahaman yang utuh.¹ Dalam perspektif ini, Balāghah bukan lagi sekadar alat retoris atau seni berbahasa, tetapi paradigma berpikir yang menegaskan kesatuan antara pikiran, makna, dan moralitas.

9.1.       Kesatuan Rasionalitas dan Estetika

Filsafat Balāghah yang dikembangkan oleh ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī berlandaskan prinsip bahwa bahasa memiliki struktur rasional yang melahirkan keindahan melalui keteraturan (naẓm).² Dengan demikian, keindahan bukan sekadar hasil rasa, tetapi manifestasi dari rasionalitas yang tertib dan proporsional. Pemikiran ini menegaskan bahwa dimensi estetis tidak dapat dipisahkan dari dimensi logis—keindahan sejati muncul ketika bahasa mengikuti hukum rasio dan mencerminkan keselarasan antara bentuk dan makna.³

Dalam kerangka sintesis filosofis, hubungan antara rasionalitas dan estetika dapat dijelaskan sebagai hubungan antara al-maʿqūl (yang dapat dipahami akal) dan al-madhqūq (yang dapat dirasakan indra).⁴ Bahasa yang balīgh bukan hanya dapat dimengerti, tetapi juga dapat dirasakan sebagai indah. Oleh karena itu, Balāghah memadukan dua jenis kebenaran: kebenaran proposisional (yang ditangkap oleh akal) dan kebenaran estetis (yang dirasakan oleh jiwa).⁵ Inilah yang menjadikan Balāghah berbeda dari logika formal—ia bukan sekadar penilaian benar-salah, tetapi juga baik-indah.

9.2.       Etika Bahasa sebagai Fondasi Ontologis

Sintesis Balāghah tidak dapat dilepaskan dari dimensi etisnya. Dalam pandangan Islam, bahasa bukan hanya sarana komunikasi, melainkan amanah moral yang memuat tanggung jawab sosial dan spiritual.⁶ Al-Qur’an menegaskan bahwa “tiada satu kata pun yang diucapkan kecuali ada malaikat yang mencatatnya” (QS. Qāf [50] ayat 18), yang menunjukkan bahwa setiap ujaran memiliki konsekuensi etik.⁷ Dengan demikian, Balāghah tidak hanya mengejar keindahan atau kejelasan, tetapi juga kebaikan (al-khayr).

Dalam filsafat Balāghah integral, etika berfungsi sebagai fondasi ontologis yang menuntun penggunaan rasionalitas dan estetika. Bahasa yang indah tanpa moralitas akan menjadi manipulatif; sebaliknya, moralitas tanpa keindahan akan kehilangan daya sentuh dan pesona spiritual.⁸ Oleh karena itu, komunikasi yang balīgh adalah komunikasi yang ṣādiq (jujur), ḥakīm (bijaksana), dan jamīl (indah). Dimensi inilah yang menjadikan Balāghah sebagai ilmu yang menautkan pengetahuan dan kebajikan dalam ekspresi manusia.

9.3.       Balāghah sebagai Epistemologi Integratif

Dalam perspektif epistemologi Islam, ilmu yang sejati adalah ilmu yang menghubungkan antara al-ʿaql, al-qalb, dan al-lisān—akal, hati, dan bahasa.⁹ Balāghah, sebagai sistem ilmu, bekerja di ruang pertemuan ketiganya. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya ditemukan melalui penalaran logis, tetapi juga melalui kehalusan rasa dan kejujuran moral. Dengan demikian, Balāghah dapat dipandang sebagai epistemologi integratif, yakni kerangka pengetahuan yang menggabungkan rasionalitas, spiritualitas, dan estetik dalam satu kesadaran linguistik.¹⁰

Epistemologi ini juga menegaskan bahwa makna tidak pernah bersifat tunggal atau statis. Setiap ujaran selalu bergantung pada konteks, niat, dan situasi komunikasi (maqām).¹¹ Kesadaran kontekstual ini menjadikan Balāghah lebih dinamis dibandingkan sistem logika formal, karena ia memperhitungkan variabel sosial dan psikologis dalam konstruksi makna. Dalam hal ini, Balāghah lebih dekat dengan teori hermeneutika modern, yang memandang bahasa sebagai proses negosiasi antara teks dan pembaca.¹²

9.4.       Sintesis Balāghah dan Filsafat Bahasa Modern

Konsep Balāghah integral membuka ruang dialog antara tradisi Islam dan filsafat bahasa modern. Gagasan naẓm al-Jurjānī, misalnya, sejalan dengan teori deep structure Noam Chomsky, di mana makna muncul dari keteraturan sintaksis dan semantik yang saling terkait.¹³ Sementara pandangan Balāghah tentang maqām dan siyāq mendekati konsep pragmatik modern tentang konteks ujaran sebagaimana dikembangkan oleh J.L. Austin dan John Searle.¹⁴

Namun, Balāghah melampaui batas linguistik murni karena mengandung dimensi spiritual dan normatif yang tidak terdapat dalam teori bahasa Barat. Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana bahasa bekerja, tetapi juga bagaimana bahasa seharusnya digunakan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keindahan.¹⁵ Dengan demikian, Balāghah dapat diposisikan sebagai filsafat bahasa Islam yang menawarkan model integratif antara rasio, makna, dan nilai.

9.5.       Menuju Konsep Balāghah Integral

Dari keseluruhan dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Balāghah Integral merupakan paradigma yang memandang bahasa sebagai kesatuan epistemik yang mencerminkan harmoni kosmos dan kemanusiaan. Ia bukan hanya ilmu teknis atau estetis, tetapi jalan rasional menuju keindahan dan kebajikan.¹⁶ Dalam tataran teoritis, konsep ini memulihkan kedudukan bahasa sebagai cermin akal dan hati; dalam tataran praksis, ia menuntun manusia untuk berkomunikasi secara jujur, arif, dan bermakna.

Balāghah integral juga memberikan kontribusi penting bagi rekonstruksi peradaban Islam modern. Dalam dunia yang cenderung fragmentaris dan bising, Balāghah menghadirkan sintesis antara logos, ethos, dan pathos dalam kerangka tauhid.¹⁷ Ia mengajarkan bahwa berbicara bukan sekadar menyusun kata, tetapi menyusun makna kehidupan. Seperti yang ditegaskan al-Jāḥiẓ, “kata adalah tubuh, makna adalah ruh; keduanya hidup hanya bila bersatu.”¹⁸ Dengan demikian, Balāghah integral bukan sekadar disiplin ilmu, melainkan filsafat komunikasi Islam yang menghidupkan kembali kesatuan antara nalar, makna, dan nilai dalam setiap ungkapan manusia.


Footnotes

[1]                ¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 125.

[2]                ² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 46–47.

[3]                ³ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 133.

[4]                ⁴ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 115.

[5]                ⁵ Aḥmad Amīn, Fajr al-Islām (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1969), 212.

[6]                ⁶ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:83.

[7]                ⁷ QS. Qāf [50] ayat 18.

[8]                ⁸ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 101.

[9]                ⁹ al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf, ed. Muḥsin Mahdī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 89.

[10]             ¹⁰ ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī (Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 119.

[11]             ¹¹ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 8.

[12]             ¹² Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 95.

[13]             ¹³ Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 38–40.

[14]             ¹⁴ J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 22–23.

[15]             ¹⁵ Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 49.

[16]             ¹⁶ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 66–67.

[17]             ¹⁷ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 86.

[18]             ¹⁸ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, 1:75.


10.       Kesimpulan

Ilmu Balāghah menempati posisi yang unik dan fundamental dalam khazanah intelektual Islam karena ia mengintegrasikan tiga dimensi utama yang jarang disatukan secara harmonis dalam satu disiplin: rasionalitas, keindahan, dan etika. Dalam tradisi klasik, Balāghah berkembang bukan hanya sebagai cabang linguistik, melainkan sebagai ilmu yang memadukan logika bahasa dengan estetika komunikasi dan tanggung jawab moral manusia.¹ Melalui kajian terhadap ʿIlm al-Maʿānī, ʿIlm al-Bayān, dan ʿIlm al-Badīʿ, Balāghah mengajarkan manusia cara berpikir, berbicara, dan memahami dunia secara jernih, indah, dan bijak.

Dari sisi ontologis, Balāghah memandang bahasa sebagai realitas yang hidup dan dinamis, bukan sekadar sistem tanda, melainkan jembatan antara akal, jiwa, dan masyarakat.² Bahasa yang balīgh merupakan ekspresi dari keselarasan antara bentuk dan makna, antara intensi batin dan realitas sosial.³ Sementara dari sisi epistemologis, Balāghah menempatkan bahasa sebagai sarana rasional untuk menyingkap kebenaran. Ia bekerja melalui metode qiyās, istidlāl, dan tafakkur untuk mengungkap hubungan antara struktur linguistik dan makna batiniah.⁴ Dengan demikian, Balāghah adalah ilmu yang berakar pada wahyu, tetapi beroperasi dalam nalar manusia; sebuah sistem pengetahuan yang memadukan iman dan rasio.

Secara aksiologis, Balāghah menjadi sumber nilai dan etika komunikasi yang menuntun manusia untuk berbicara dengan kejujuran (ṣidq), kesantunan (ḥilm), dan kebijaksanaan (ḥikmah).⁵ Dalam perspektif sosial, ia berfungsi membangun budaya dialog yang beradab dan memperhalus wacana publik melalui bahasa yang bermartabat.⁶ Sementara dalam ranah intelektual, Balāghah memberikan perangkat metodologis untuk menafsirkan teks-teks wahyu dan karya sastra secara mendalam, sekaligus menumbuhkan kesadaran rasional terhadap keindahan makna.

Dalam konteks kontemporer, Balāghah memiliki relevansi yang semakin kuat. Prinsip-prinsip klasiknya dapat diterapkan untuk menumbuhkan etika komunikasi digital, memperkuat literasi bahasa, serta memperkaya dialog antarbudaya.⁷ Dalam era di mana bahasa sering disalahgunakan untuk disinformasi dan manipulasi emosional, Balāghah menghadirkan paradigma alternatif yang mengutamakan kejelasan makna, tanggung jawab moral, dan keindahan ekspresi.⁸ Dengan demikian, Balāghah dapat berfungsi sebagai fondasi humanisme komunikatif yang memuliakan akal dan rasa secara seimbang.

Secara filsafati, Ilmu Balāghah dapat disintesiskan sebagai filsafat bahasa Islam—sebuah sistem pengetahuan yang menghubungkan realitas linguistik dengan dimensi spiritual dan etis manusia.⁹ Ia tidak hanya menjawab pertanyaan “bagaimana bahasa bekerja,” tetapi juga “mengapa bahasa harus digunakan secara benar dan indah.” Dalam Balāghah integral, kebenaran, keindahan, dan kebaikan bersatu dalam satu horizon makna yang berorientasi pada Tuhan sebagai sumber makna tertinggi.¹⁰

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Balāghah bukanlah ilmu masa lalu, melainkan warisan intelektual yang terus hidup dan dapat beradaptasi dengan tantangan zaman. Ia mengajarkan manusia seni berpikir dan berbicara dengan nalar yang estetis dan moral yang rasional.¹¹ Dalam kesatuan ini, Balāghah berfungsi sebagai cermin peradaban Islam yang mengajarkan bahwa bahasa adalah amanah ilahi yang harus dijaga, dikembangkan, dan digunakan untuk menegakkan kebenaran, keindahan, dan kebijaksanaan dalam kehidupan manusia.¹²


Footnotes

[1]                ¹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 113.

[2]                ² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah, ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 37.

[3]                ³ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 6–7.

[4]                ⁴ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 8–9.

[5]                ⁵ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:85–86.

[6]                ⁶ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 94.

[7]                ⁷ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī (Kairo: Dār al-ʿIlm, 2019), 81–82.

[8]                ⁸ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 69.

[9]                ⁹ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 145–146.

[10]             ¹⁰ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1981), 122.

[11]             ¹¹ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 145.

[12]             ¹² Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ (Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 77.


Daftar Pustaka

Aḥmad Amīn. (1961). Ḍuḥā al-Islām (Jilid 2). Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah.

Aḥmad Amīn. (1969). Fajr al-Islām. Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah.

al-Fārābī. (1969). Kitāb al-Ḥurūf (ed. Muḥsin Mahdī). Beirut: Dār al-Mashriq.

al-Jāḥiẓ. (1968). al-Bayān wa al-Tabyīn (ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn). Kairo: Maktabat al-Khānijī.

al-Khaṭīb al-Qazwīnī. (1998). al-Īḍāḥ fī ʿUlūm al-Balāghah (ed. ʿAbd al-Raḥmān al-Barqūqī). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

al-Qazwīnī. (1993). Talkhīṣ al-Miftāḥ. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

al-Rāzī. (1999). al-Maḥṣūl fī ʿIlm al-Uṣūl. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

al-Sakkākī. (1987). Miftāḥ al-ʿUlūm. Kairo: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

al-Suyūṭī. (1996). al-Itqān fī ʿUlūm al-Qurʾān. Beirut: Dār al-Fikr.

al-Suyūṭī. (1998). al-Mazhar fī ʿUlūm al-Lughah wa Anwāʿihā (ed. Fuʾād ʿAlī Manṣūr). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

al-Zamakhsharī. (1987). al-Kashshāf ʿan Ḥaqāʾiq al-Tanzīl. Beirut: Dār al-Maʿrifah.

al-Zarkashī. (1957). al-Burhān fī ʿUlūm al-Qurʾān. Kairo: Dār al-Maʿrifah.

Amīn al-Khūlī. (1962). Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab. Kairo: Dār al-Maʿārif.

ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah. (1980). al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī. Kairo: Dār al-Maʿārif.

ʿAbd al-Ḥamīd ʿAṭiyyah. (2010). al-Taʿlīm al-Balāghī fī al-Maʿāhid al-ʿArabiyyah. Kairo: Dār al-Fikr.

ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī. (1992). Dalā’il al-Iʿjāz (ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir). Kairo: Dār al-Madanī.

ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī. (1992). Asrār al-Balāghah (ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir). Kairo: Dār al-Madanī.

ʿAbd al-Raḥmān Badawī. (1984). Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī. Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn.

ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī. (1996). al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā. Damaskus: Dār al-Qalam.

ʿAbd al-Raḥmān ʿImārah. (2004). al-Fikr al-Islāmī wa Qadāyā al-ʿAṣr. Kairo: Dār al-Shurūq.

Aḥmad al-Ḥāfiẓ. (1975). Tārīkh al-Adab al-ʿArabī. Kairo: Dār al-Maʿārif.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, MA: MIT Press.

George Lakoff & Johnson, M. (1980). Metaphors We Live By. Chicago: University of Chicago Press.

Ḥāmid Ṭāhir. (1984). al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah. Kairo: Dār al-Maʿārif.

Ḥasan al-ʿAskarī. (2005). Manāhij al-Balāghiyyīn. Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors We Live By. Chicago: University of Chicago Press.

Muḥammad ʿAbd al-Karīm al-Khaṭīb. (1963). al-Iʿjāz al-Bayānī li al-Qurʾān. Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī.

Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī. (1980). ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ. Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī.

Muḥammad ʿĀbid al-Jābirī. (1988). Takwīn al-ʿAql al-ʿArabī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah.

Muḥammad al-Ṭanṭāwī. (1984). al-Talkhīṣ fī ʿUlūm al-Balāghah. Kairo: Dār al-Maʿārif.

Muḥammad ʿImārah. (2004). al-Fikr al-Islāmī wa Qadāyā al-ʿAṣr. Kairo: Dār al-Shurūq.

Naṣr Ḥāmid Abū Zayd. (1990). Mafhūm al-Naṣ. Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī.

Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of Modern Man. London: Allen and Unwin.

Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the Sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Paul Ricoeur. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Paul Ricoeur. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.

Ṭāriq al-Sayyid. (2019). al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī. Kairo: Dār al-ʿIlm.

ʿAlī al-Qaradāghī. (2018). al-Balāghah al-Islāmiyyah fī ʿAṣr al-Maʿrifah. Doha: Dār al-Thaqāfah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar