Ilmu Balaghah
Epistemologi Keindahan Bahasa dan Rasionalitas Retorika
dalam Tradisi Islam
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat Islam.
Ilmu Ma'ani, Ilmu Bayan, Ilmu Badi'.
Abstrak
Artikel ini mengkaji Ilmu Balāghah sebagai
salah satu pilar utama dalam tradisi intelektual Islam yang mengintegrasikan
dimensi rasionalitas, estetika, dan etika dalam berbahasa. Kajian
dilakukan melalui pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual
terhadap teks-teks klasik para balāghiyyīn seperti al-Jāḥiẓ, ʿAbd
al-Qāhir al-Jurjānī, dan al-Sakkākī, serta dikontekstualisasikan dengan teori
bahasa dan komunikasi modern. Secara ontologis, Balāghah dipahami sebagai ilmu
yang menyingkap hakikat bahasa sebagai medium penyingkapan makna yang hidup,
dinamis, dan kontekstual. Secara epistemologis, ia merupakan sistem pengetahuan
yang berlandaskan wahyu, rasio, dan pengalaman estetik manusia, dengan metode
analisis berbasis naẓm, qiyās, dan istidlāl. Sementara
secara aksiologis, Balāghah mengandung nilai-nilai moral dan sosial yang
menuntun penggunaan bahasa secara santun, rasional, dan indah.
Artikel ini juga menyoroti dimensi sosial dan
intelektual Balāghah sebagai kekuatan pembentuk budaya wacana Islam yang
beradab, serta mengajukan kritik terhadap kecenderungan formalisme dan
reduksionisme estetika dalam kajian klasiknya. Dengan memadukan perspektif
klasik dan modern, penelitian ini menyimpulkan bahwa Ilmu Balāghah memiliki relevansi
kontemporer dalam menghadapi tantangan komunikasi digital dan globalisasi
wacana. Melalui sintesis filosofis, Balāghah diposisikan sebagai filsafat
bahasa Islam yang integral, yang menyatukan kebenaran, keindahan, dan
kebajikan dalam kesatuan makna dan ekspresi. Dengan demikian, Balāghah tidak
hanya merupakan warisan linguistik masa lalu, tetapi juga paradigma etik dan
epistemik untuk membangun komunikasi manusia yang rasional, estetis, dan
beradab di era modern.
Kata kunci: Ilmu
Balāghah, Filsafat Bahasa Islam, Rasionalitas Bahasa, Estetika Komunikasi,
Etika Linguistik, Hermeneutika, Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Hakikat, Fungsi, dan Aktualisasi Ilmu Balāghah
1.
Pendahuluan
Ilmu Balāghah merupakan salah satu disiplin
sentral dalam khazanah keilmuan bahasa Arab yang berakar kuat pada kebutuhan
untuk memahami keindahan, ketepatan, dan kekuatan makna dalam tuturan, khususnya
dalam teks-teks wahyu seperti Al-Qur’an dan hadis. Secara terminologis, balāghah
berarti “sampainya makna kepada hati pendengar dengan cara yang paling tepat
dan indah,” sebuah konsep yang menggabungkan antara dimensi logika,
estetika, dan etika dalam berbahasa.¹ Dengan demikian, Ilmu Balāghah tidak
sekadar menjadi alat analisis linguistik, melainkan juga menjadi epistemologi
komunikasi yang menuntun manusia untuk menyampaikan kebenaran dengan hikmah dan
keindahan.
Kelahiran Ilmu Balāghah tidak dapat dilepaskan dari
konteks budaya Arab yang sangat menjunjung tinggi kefasihan (faṣāḥah)
dan retorika (khiṭābah). Dalam masyarakat pra-Islam, kepiawaian
berbahasa menjadi simbol kecerdasan dan kehormatan. Ketika wahyu Al-Qur’an
turun dengan gaya bahasa yang luar biasa, keunggulan estetik dan maknawi teks
ilahi itu menantang struktur retorika manusiawi.² Fenomena ini menimbulkan
dorongan ilmiah bagi para ulama untuk menelaah aspek-aspek kebahasaan Al-Qur’an
secara sistematis, hingga lahirlah disiplin Ilmu Balāghah sebagai upaya ilmiah
untuk menjelaskan mukjizat bahasa wahyu.
Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu Islam,
Balāghah berperan penting sebagai jembatan antara ʿulūm al-lughah (ilmu
bahasa) dan ʿulūm al-dīn (ilmu keagamaan). Ia menjadi perangkat metodologis
dalam tafsir, ushul fiqh, dan ilmu kalam untuk menyingkap makna-makna implisit
yang tersembunyi di balik struktur bahasa.³ Di sinilah Balāghah tampil sebagai
ilmu yang tidak hanya mengkaji apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana
sesuatu dikatakan dan mengapa disampaikan dengan cara tertentu. Dimensi
ini memperlihatkan bahwa Balāghah bukan sekadar estetika verbal, melainkan juga
rasionalitas komunikatif yang bertujuan mencapai kesesuaian antara pikiran,
makna, dan konteks sosial.
Kajian akademik terhadap Ilmu Balāghah menjadi
semakin penting di era modern karena perannya yang luas dalam mengembangkan
kesadaran kritis terhadap penggunaan bahasa di ruang publik, baik dalam konteks
dakwah, pendidikan, maupun media. Pendekatan interdisipliner yang menghubungkan
Balāghah dengan linguistik modern, pragmatik, dan semiotika membuka peluang
bagi reinterpretasi nilai-nilai klasik agar tetap relevan di tengah perubahan
budaya komunikasi.⁴ Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah
Ilmu Balāghah secara komprehensif—meliputi aspek historis, ontologis,
epistemologis, dan aksiologis—guna mengungkap kedudukannya sebagai ilmu yang
memadukan keindahan bahasa dengan rasionalitas berpikir serta etika komunikasi
manusia.
Footnotes
[1]
¹ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz,
ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 25.
[2]
² al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd
al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:41–42.
[3]
³ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah:
al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980),
12–13.
[4]
⁴ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa
al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 95–97.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Ilmu Balāghah
Ilmu Balāghah lahir dari perjumpaan antara
tradisi kefasihan Arab pra-Islam dan kebutuhan epistemologis umat Islam untuk
memahami mukjizat bahasa Al-Qur’an. Dalam masyarakat Arab sebelum Islam,
kemampuan berbahasa dan bersyair merupakan simbol kehormatan sosial dan ukuran
kecerdasan intelektual. Setiap kabilah memiliki penyair yang menjadi juru
bicara kolektif dalam mengungkapkan kebanggaan, moral, dan narasi identitas
mereka.¹ Tradisi inilah yang melahirkan kompetisi sastra dan retorika, terutama
dalam pasar budaya seperti Sūq ʿUkāẓ, yang menjadi wadah lahirnya
ekspresi linguistik dengan keindahan dan kekuatan argumentatif tinggi.²
Ketika wahyu Al-Qur’an diturunkan, masyarakat Arab
menyadari bahwa teks tersebut melampaui seluruh bentuk kefasihan yang pernah
mereka kenal. Struktur sintaksisnya yang kompleks namun harmonis, keindahan
metafor (istiʿārah), dan koherensi semantik di antara ayat-ayatnya
menimbulkan kekaguman sekaligus tantangan intelektual.³ Dari sinilah lahir
kesadaran baru bahwa bahasa bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan juga
wahana penyingkapan makna ilahiah. Maka, para ulama generasi awal berusaha
memahami rahasia linguistik Al-Qur’an dengan pendekatan ilmiah, hingga
berkembanglah ilmu-ilmu bahasa seperti naḥw (tata bahasa), ṣarf
(morfologi), dan balāghah (retorika).⁴
Perkembangan Ilmu Balāghah secara sistematis dapat
ditelusuri melalui tiga fase utama. Fase pertama adalah fase embrional,
yang muncul pada abad ke-2 H ketika para ulama seperti al-Khalīl ibn Aḥmad
al-Farāhīdī (w. 170 H) dan Sibawayh (w. 180 H) mulai menata kaidah bahasa Arab
berdasarkan pengamatan empiris terhadap teks dan syair.⁵ Walaupun fokus mereka
lebih pada gramatika, analisis semantik dan sintaktik yang mereka lakukan
menjadi fondasi awal bagi pemahaman faṣāḥah dan balāghah.
Fase kedua adalah fase konseptualisasi, yang
mencapai puncaknya pada abad ke-4 dan ke-5 H. Tokoh seperti al-Jāḥiẓ (w. 255 H)
dalam al-Bayān wa al-Tabyīn menegaskan bahwa kefasihan tidak hanya
bergantung pada pilihan kata, tetapi juga pada kemampuan membangun struktur
makna yang sesuai dengan maqām (situasi komunikasi).⁶ Pemikiran ini diperluas
oleh ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī (w. 471 H) melalui karya monumentalnya Dalā’il
al-Iʿjāz dan Asrār al-Balāghah, yang menempatkan hubungan sintaksis
(naẓm) sebagai sumber utama keindahan dan kekuatan bahasa.⁷ Ia menolak
pandangan bahwa keindahan bahasa terletak semata pada kata-kata indah, dan
menegaskan bahwa makna lahir dari tatanan relasional antarunsur bahasa.⁸
Fase ketiga adalah fase kodifikasi, yang
ditandai oleh upaya sistematis untuk mengklasifikasikan cabang-cabang Balāghah
menjadi tiga disiplin: ʿIlm al-Maʿānī, ʿIlm al-Bayān, dan ʿIlm
al-Badīʿ.⁹ Pembakuan struktur ini dikembangkan oleh al-Sakkākī (w. 626 H)
melalui karyanya Miftāḥ al-ʿUlūm, yang menjadi rujukan utama bagi
generasi ulama sesudahnya, termasuk al-Qazwīnī (w. 739 H) dengan Talkhīṣ
al-Miftāḥ.¹⁰ Ketiga cabang tersebut menjadikan Balāghah bukan hanya ilmu
keindahan bahasa, tetapi juga metodologi berpikir rasional dalam memahami
hubungan antara makna, konteks, dan maksud penutur.
Dari sisi genealogi intelektual, Ilmu Balāghah
tumbuh dalam ekosistem keilmuan Islam yang dinamis. Ia berinteraksi erat dengan
ʿIlm al-Tafsīr dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, dengan ʿIlm
al-Manṭiq dalam penyusunan hujjah, dan dengan ʿIlm al-Adab dalam
pembinaan sastra.¹¹ Interaksi lintas-disiplin ini membentuk Balāghah sebagai
disiplin yang berada di antara seni dan logika, antara bahasa dan filsafat.¹²
Dengan demikian, Ilmu Balāghah tidak hanya merupakan produk sejarah linguistik
Arab, melainkan juga kristalisasi dari cara berpikir Islam yang menggabungkan
nalar, rasa, dan nilai spiritual dalam bahasa.
Footnotes
[1]
¹ Aḥmad al-Ḥāfiẓ, Tārīkh al-Adab al-ʿArabī
(Kairo: Dār al-Maʿārif, 1975), 33.
[2]
² ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth
al-ʿArabī (Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 41–42.
[3]
³ Muḥammad ʿAbd al-Karīm al-Khaṭīb, al-Iʿjāz
al-Bayānī li al-Qurʾān (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1963), 22–23.
[4]
⁴ Ibrāhīm Anīs, al-Lughah bayna al-Qadīm wa
al-Ḥadīth (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1982), 59.
[5]
⁵ al-Suyūṭī, al-Mazhar fī ʿUlūm al-Lughah wa
Anwāʿihā, ed. Fuʾād ʿAlī Manṣūr (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1998),
1:77.
[6]
⁶ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd
al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:52–53.
[7]
⁷ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz,
ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 45–46.
[8]
⁸ Ibid., 50.
[9]
⁹ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār
al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 1–2.
[10]
¹⁰ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut:
Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 3–4.
[11]
¹¹ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa
al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 18–20.
[12]
¹² Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn
(Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 64–65.
3.
Ontologi
Ilmu Balāghah: Hakikat, Unsur, dan Objek Kajian
Secara ontologis, Ilmu Balāghah berakar pada
upaya manusia untuk memahami hakikat bahasa sebagai medium penyingkapan makna (kashf
al-maʿnā) yang tidak semata bersifat struktural, tetapi juga maknawi,
kontekstual, dan estetis. Dalam pandangan para ulama klasik, balāghah
bukan hanya “keindahan bahasa” (jamāl al-lughah), melainkan
kemampuan menyampaikan makna dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan tujuan
komunikasi (muṭābaqat al-kalām li-muqtaḍā al-ḥāl).¹ Hakikat ini
menjadikan Balāghah bukan sekadar ilmu formal yang mengatur hubungan kata dan
makna, tetapi juga ilmu rasional dan nilai yang menghubungkan bahasa dengan
jiwa, akal, dan konteks sosial.
Berdasarkan pendekatan filosofis-linguistik,
hakikat Balāghah dapat dipahami sebagai kesatuan antara bentuk (ṣūrah)
dan makna (maʿnā) dalam kerangka relasional. ʿAbd al-Qāhir
al-Jurjānī menegaskan bahwa keindahan bahasa bukanlah hasil dari pemilihan
kata secara terpisah, melainkan dari susunan (naẓm) yang membentuk
keserasian makna dan fungsi sintaksis.² Dengan demikian, bahasa yang balīgh
(fasih dan efektif) adalah bahasa yang mencerminkan harmoni antara intensi
batin penutur dan bentuk lahir ujarannya. Dalam pandangan ini, balāghah
bersifat ontologis karena merepresentasikan proses emanasi makna dari pikiran
menuju realitas sosial melalui simbol linguistik.³
Unsur-unsur pokok dalam struktur ontologis Ilmu
Balāghah mencakup empat elemen utama: (1) lafẓ (kata/ungkapan), (2) maʿnā
(makna), (3) siyāq (konteks), dan (4) maqām (situasi komunikasi).⁴ Keempat
unsur ini tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi dalam membentuk
efektivitas pesan. Lafẓ berfungsi sebagai wadah simbolik; maʿnā
adalah isi intelektual dan emosional yang dikandungnya; siyāq mengatur
hubungan sintaksis dan semantik antar unsur bahasa; sementara maqām
menentukan kesesuaian ekspresi dengan kondisi penutur dan pendengar.⁵ Dari
sinilah muncul kaidah utama Balāghah, yaitu bahwa “setiap ungkapan memiliki
kadar makna dan keindahan yang bergantung pada kesesuaian antara kata, konteks,
dan tujuan.”⁶
Objek formal dari Ilmu Balāghah adalah hubungan
ekspresif antara bahasa dan makna dalam konteks tertentu, sedangkan objek
materialnya adalah teks bahasa Arab itu sendiri, baik berupa Al-Qur’an,
hadis, maupun karya sastra klasik.⁷ Ilmu ini tidak berhenti pada analisis
struktur linguistik, melainkan menembus dimensi batin bahasa—yakni bagaimana
makna dibangun, disampaikan, dan diterima secara efektif oleh akal dan perasaan
manusia. Dengan demikian, balāghah menjadi epistemologi keindahan yang
berpijak pada rasionalitas komunikatif: ia berusaha mencapai kebenaran (ṣidq),
kebaikan (ḥusn), dan keindahan (jamāl) dalam satu kesatuan makna.⁸
Lebih jauh, ontologi Ilmu Balāghah juga berkaitan
dengan filsafat eksistensi bahasa dalam Islam. Bahasa dipandang sebagai amanah
ilahiah yang memungkinkan manusia berkomunikasi dengan Tuhan, sesama, dan
dirinya sendiri. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang diajari
nama-nama segala sesuatu (ʿallama al-asmāʾa kullahā), yang menandakan
bahwa bahasa memiliki dimensi kosmologis dan spiritual.⁹ Karena itu, Balāghah
tidak sekadar mengkaji ekspresi retoris, tetapi juga menyingkap cara wahyu
memanifestasikan makna transenden melalui bentuk kebahasaan yang indah dan
rasional.
Dari perspektif ontologis inilah Ilmu Balāghah
menempati posisi unik: ia adalah ilmu yang menyatukan dimensi estetika (jamāl),
logika (ʿaql), dan etika (akhlaq) dalam satu sistem kebahasaan.
Keindahan bahasa tanpa rasionalitas akan jatuh pada kemewahan verbal, sedangkan
rasionalitas tanpa estetika akan kehilangan daya pengaruh dan pesona. Maka,
Balāghah hadir sebagai harmoni antara kejelasan makna dan keindahan
ungkapan—sebuah bentuk kesempurnaan komunikasi manusia yang sekaligus
mencerminkan tatanan kosmos ilahi.¹⁰
Footnotes
[1]
¹ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār
al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 6.
[2]
² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah,
ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 35–36.
[3]
³ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah
al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 18.
[4]
⁴ Muḥammad al-Ṭanṭāwī, al-Talkhīṣ fī ʿUlūm
al-Balāghah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 11.
[5]
⁵ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd
fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 42–43.
[6]
⁶ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār
al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 3.
[7]
⁷ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn
(Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 52–54.
[8]
⁸ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo:
Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 133–134.
[9]
⁹ QS. al-Baqarah [2] ayat 31.
[10]
¹⁰ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa
al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 102–103.
4.
Epistemologi
Ilmu Balāghah: Sumber, Metode, dan Rasionalitas
Secara epistemologis,
Ilmu
Balāghah berlandaskan pada keyakinan bahwa bahasa adalah sarana
utama penyingkapan makna dan kebenaran, baik dalam dimensi wahyu maupun
realitas empiris. Dalam kerangka keilmuan Islam, Balāghah tidak hanya dipahami
sebagai produk estetik, tetapi juga sebagai disiplin rasional yang memiliki
metodologi ilmiah dalam menafsirkan teks dan ujaran.¹ Ia berfungsi sebagai
sistem pengetahuan (niẓām al-maʿrifah) yang
menjembatani antara bahasa (lafẓ), makna (maʿnā), dan tujuan komunikasi (maqṣad).
Epistemologi Balāghah dengan demikian bertumpu pada tiga poros utama: sumber
pengetahuan, metode analisis, dan rasionalitas
kebahasaan.
4.1. Sumber Pengetahuan Balāghah
Sumber epistemik
Ilmu Balāghah bersandar pada tiga pilar utama: (a) teks wahyu (Al-Qur’an dan
hadis), (b) karya sastra dan pidato
Arab klasik, dan (c) pengalaman rasional manusia
dalam berbahasa.² Al-Qur’an merupakan sumber tertinggi, karena di dalamnya
terkandung bentuk-bentuk tertinggi kefasihan (faṣāḥah) dan ketepatan retorika (balāghah).
Mukjizat Al-Qur’an bukanlah pada isi semata, tetapi juga pada cara
penyampaiannya yang melampaui kemampuan manusia untuk menirunya (iʿjāz
al-bayān).³ Oleh sebab itu, seluruh teori Balāghah klasik lahir
dari upaya menafsirkan keindahan ekspresif wahyu—bagaimana struktur bahasa
ilahi mampu menyentuh rasio dan emosi manusia secara bersamaan.
Selain wahyu, karya
sastra Arab pra-Islam dan klasik juga menjadi sumber penting bagi penyusunan
teori Balāghah. Puisi-puisi jahiliyah dan khutbah para orator Arab menjadi
laboratorium linguistik yang menampilkan variasi bentuk dan makna.⁴ Dari sana,
para ulama mengekstraksi kaidah-kaidah tentang kesesuaian antara lafẓ dan
makna, penggunaan tamsil dan istiʿārah, serta pengaruh maqām terhadap
efektivitas ujaran.⁵ Dengan demikian, epistemologi Balāghah berakar pada
kombinasi antara wahyu dan pengalaman empiris yang diolah melalui nalar.
4.2. Metode Analisis dan Pendekatan Rasional
Metode utama dalam
Ilmu Balāghah adalah qiyās lughawī (analogi
linguistik) dan istidlāl bayānī (inferensi
retoris), yang bertujuan untuk menemukan hubungan sebab-akibat antara struktur
bahasa dan maknanya.⁶ Dalam tradisi ulama balāghiyyīn seperti ʿAbd al-Qāhir
al-Jurjānī, metode ini dioperasikan melalui analisis naẓm
(tatanan sintaksis) sebagai kunci keindahan dan kekuatan bahasa.⁷ Ia menegaskan
bahwa makna tidak lahir dari kata-kata secara individual, melainkan dari cara
kata-kata itu dihubungkan dalam struktur logis yang mengandung keteraturan dan
makna kontekstual.⁸
Selain itu, Balāghah
juga menggunakan metode tadabbur (perenungan reflektif) dan
taʾammul
(pengamatan mendalam) dalam memahami relasi antara lafẓ dan maʿnā. Metode ini
bersifat induktif sekaligus deduktif: induktif dalam meneliti fenomena
kebahasaan dari teks-teks empiris, dan deduktif dalam menarik prinsip-prinsip
universal dari hasil pengamatan tersebut.⁹ Pendekatan demikian menjadikan
Balāghah tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga ilmiah, karena berlandaskan
pada observasi dan rasionalisasi terhadap data kebahasaan yang nyata.
4.3. Rasionalitas Bahasa dan Struktur Makna
Epistemologi
Balāghah mengandung dimensi rasional yang mendalam. Rasionalitas dalam konteks
ini bukan sekadar kemampuan logis untuk menilai benar atau salah, tetapi
kemampuan estetik-rasional untuk memahami kesesuaian antara kata dan makna
dalam konteks tertentu.¹⁰ Dalam Dalā’il al-Iʿjāz, al-Jurjānī
menyebutkan bahwa bahasa yang fasih adalah bahasa yang “berpikir,” yakni
bahasa yang tunduk pada hukum akal dan rasa sekaligus.¹¹ Ia menolak pandangan
bahwa keindahan bahasa bersifat subjektif atau emosional semata, karena
menurutnya keindahan sejati terletak pada keselarasan struktur pikiran dengan
struktur bahasa.
Rasionalitas
Balāghah juga tampak dalam kemampuannya untuk menyeimbangkan antara taʿbīr
(ekspresi) dan taʿqīl (rasionalisasi).¹² Setiap
bentuk retoris seperti istiʿārah, kināyah, atau tasybīh memiliki logika
internal yang dapat dijelaskan secara konseptual. Dalam hal ini, Balāghah
bukanlah seni tanpa kaidah, melainkan sistem berpikir yang menuntut kepekaan
logis terhadap makna.¹³ Keseimbangan antara estetika dan rasionalitas inilah
yang menjadikan Ilmu Balāghah berperan ganda: sebagai instrumen pemahaman teks
ilahi dan sebagai epistemologi rasional untuk memahami komunikasi manusia.
Dengan demikian,
epistemologi Ilmu Balāghah menampilkan wajah ilmu yang unik: empiris dalam
sumbernya, rasional dalam metodenya, dan spiritual dalam orientasinya. Ia
menggabungkan observasi linguistik dengan refleksi filosofis, dan menegaskan
bahwa bahasa bukan sekadar instrumen teknis, melainkan cermin dari akal dan
nilai-nilai kemanusiaan. Dalam struktur pengetahuan Islam, Balāghah berfungsi
sebagai jembatan antara ʿaql (nalar) dan dhawq
(rasa), antara keindahan dan kebenaran—sebuah sintesis epistemik yang memadukan
dimensi logika, estetika, dan etika.¹⁴
Footnotes
[1]
¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār
al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 74.
[2]
² Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa
al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 22–23.
[3]
³ al-Khaṭīb al-Qazwīnī, al-Īḍāḥ fī ʿUlūm al-Balāghah, ed. ʿAbd
al-Raḥmān al-Barqūqī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1998), 14.
[4]
⁴ Aḥmad al-Ḥāfiẓ, Tārīkh al-Adab al-ʿArabī (Kairo: Dār
al-Maʿārif, 1975), 51.
[5]
⁵ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad
Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 2:78.
[6]
⁶ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1987), 8–9.
[7]
⁷ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd
Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 49–50.
[8]
⁸ Ibid., 55.
[9]
⁹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah
al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 29–30.
[10]
¹⁰ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo:
Dār al-Maʿārif, 1984), 118–120.
[11]
¹¹ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, 61.
[12]
¹² Muḥammad al-Ṭanṭāwī, al-Talkhīṣ fī ʿUlūm al-Balāghah
(Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 18–19.
[13]
¹³ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1993), 9.
[14]
¹⁴ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat
al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 140–141.
5.
Aksiologi
Ilmu Balāghah: Nilai, Fungsi, dan Tujuan
Secara aksiologis, Ilmu
Balāghah menempati posisi strategis dalam membentuk kesadaran
etis, estetik, dan rasional dalam berbahasa. Ia bukan sekadar ilmu tentang
keindahan ujaran, melainkan sistem nilai yang mengajarkan bagaimana kebenaran
dapat disampaikan dengan cara yang indah, bijak, dan tepat sasaran. Dalam
kerangka filsafat nilai, Balāghah mengandung tiga dimensi pokok: nilai
estetis (jamālīyah), nilai etis (akhlāqīyah), dan nilai
epistemologis (ʿaqlīyah), yang seluruhnya saling berkaitan
dalam membentuk keutuhan makna dan komunikasi manusia.¹
5.1. Nilai Estetis: Keindahan sebagai Jalan Kebenaran
Ilmu Balāghah
menegaskan bahwa keindahan bahasa bukanlah tujuan yang berdiri sendiri,
melainkan medium untuk menyampaikan kebenaran secara menyentuh dan efektif. ʿAbd
al-Qāhir al-Jurjānī menolak pandangan bahwa keindahan bersumber
dari ornamen kata, karena baginya keindahan sejati terletak pada keterpaduan
makna dan bentuk yang mencerminkan harmoni rasional.² Dengan demikian, nilai
estetis dalam Balāghah berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan ta’dīb
al-lughah—pendidikan rasa dan cita bahasa—yang mengasah kepekaan
manusia terhadap kehalusan makna dan kebenaran.³
Estetika Balāghah
memiliki landasan spiritual yang kuat, sebab Al-Qur’an sendiri menampilkan
keindahan struktur bahasa yang tidak hanya memikat pendengaran, tetapi juga
menggugah kesadaran.⁴ Keindahan dalam bahasa wahyu menjadi cermin kesempurnaan
ilahi yang menggabungkan kebenaran dan kebijaksanaan (ḥikmah).
Dengan demikian, nilai estetis Balāghah melampaui dimensi artistik menuju kesadaran
ontologis, yakni kesadaran akan keteraturan dan keindahan yang menjadi bagian
dari tatanan kosmos.
5.2. Nilai Etis: Etika Komunikasi dan Keutamaan Bahasa
Balāghah tidak hanya
mengajarkan bagaimana berbicara dengan indah,
tetapi juga mengapa seseorang harus berbicara
dengan benar dan penuh hikmah. Etika komunikasi (adab al-kalām) merupakan aspek
aksiologis yang fundamental dalam Ilmu Balāghah.⁵ Sebuah ungkapan tidak dapat
disebut “balīgh” apabila ia melanggar norma kejujuran, kesopanan, atau
kebijaksanaan. Dalam konteks ini, Balāghah menginternalisasi nilai-nilai moral
Islam, seperti kejujuran (ṣidq), kesantunan (ḥilm),
dan pertimbangan manfaat (maṣlaḥah), ke dalam praktik
komunikasi manusia.⁶
Nilai etis Balāghah
juga menegaskan prinsip tanggung jawab moral dalam berbahasa. Sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa “tiada satu kata pun yang diucapkan kecuali
ada pengawas yang mencatatnya” (QS. Qāf [50] ayat 18), maka setiap ucapan
adalah cerminan kesadaran moral.⁷ Oleh karena itu, bahasa bukan sekadar alat, tetapi
amanah. Dengan menumbuhkan kesadaran ini, Ilmu Balāghah berfungsi membentuk
kepribadian komunikatif yang bertanggung jawab, rasional, dan berakhlak.⁸
5.3. Nilai Epistemologis: Rasionalitas dan Kejelasan
Makna
Dari sudut pandang
epistemologis, nilai utama Balāghah terletak pada pencapaian keterpahaman
makna yang jelas dan rasional. al-Sakkākī dalam Miftāḥ
al-ʿUlūm menegaskan bahwa puncak kefasihan adalah ketika struktur
bahasa mampu menyingkap makna tanpa kabur dan tanpa berlebih-lebihan.⁹ Dalam
kerangka ini, Balāghah menjadi alat epistemik yang menuntun akal untuk memahami
realitas melalui struktur bahasa yang teratur. Kejelasan makna (wuḍūḥ
al-maʿnā) merupakan nilai rasional yang melandasi setiap bentuk
komunikasi yang efektif.
Lebih dari itu,
Balāghah memberikan kerangka epistemologis bagi penafsiran teks suci. Para
mufassir dan teolog menggunakan prinsip-prinsip Balāghah untuk menyingkap makna
simbolik dan konotatif dalam Al-Qur’an.¹⁰ Dengan demikian, nilai epistemologis
Balāghah tidak hanya terbatas pada kejelasan linguistik, tetapi juga pada
pemahaman makna yang mendalam dan berlapis.¹¹ Dalam konteks inilah Balāghah
menjadi jembatan antara teks dan realitas, antara wahyu dan akal.
5.4. Fungsi dan Tujuan Praktis Ilmu Balāghah
Fungsi utama Ilmu
Balāghah adalah sebagai instrumen pendidikan intelektual dan moral
dalam penggunaan bahasa.¹² Dalam tradisi Islam klasik, Balāghah digunakan untuk
memperhalus daya pikir (taʿqīl al-lughah), melatih
kecermatan logika, dan menumbuhkan kepekaan estetis terhadap makna. Melalui
kajian ʿIlm
al-Maʿānī, seseorang belajar menyesuaikan ungkapan dengan situasi;
melalui ʿIlm
al-Bayān, ia memahami metafora dan simbol; sedangkan ʿIlm
al-Badīʿ menumbuhkan kehalusan cita rasa dalam memilih gaya.¹³
Tujuan akhir
Balāghah adalah penyempurnaan komunikasi manusia
agar lebih dekat kepada kebenaran, kebijaksanaan, dan keindahan.¹⁴ Dalam
konteks modern, fungsi ini dapat diperluas ke ranah pendidikan, retorika
sosial, dan dakwah digital, di mana kejelasan pesan dan keindahan ekspresi
menjadi sarana efektif untuk membangun pemahaman dan kedamaian sosial.¹⁵ Dengan
demikian, Ilmu Balāghah memiliki nilai aksiologis yang melampaui ruang
akademik: ia menjadi etika dan estetika hidup yang menuntun manusia untuk
berkata benar, berpikir jernih, dan berkomunikasi secara bijak.
Footnotes
[1]
¹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah
al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 72–74.
[2]
² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah, ed. Maḥmūd
Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 48–49.
[3]
³ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat
al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 132.
[4]
⁴ al-Khaṭīb al-Qazwīnī, al-Īḍāḥ fī ʿUlūm al-Balāghah, ed. ʿAbd
al-Raḥmān al-Barqūqī (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1998), 20–21.
[5]
⁵ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad
Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:76–77.
[6]
⁶ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa
al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 35.
[7]
⁷ QS. Qāf [50] ayat 18.
[8]
⁸ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār
al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 91–92.
[9]
⁹ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1987), 10–11.
[10]
¹⁰ al-Zarkashī, al-Burhān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Kairo: Dār
al-Maʿrifah, 1957), 1:232–233.
[11]
¹¹ al-Suyūṭī, al-Itqān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Beirut: Dār
al-Fikr, 1996), 2:105.
[12]
¹² ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr
al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 47–48.
[13]
¹³ Muḥammad al-Ṭanṭāwī, al-Talkhīṣ fī ʿUlūm al-Balāghah
(Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 21–22.
[14]
¹⁴ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo:
Dār al-Maʿārif, 1984), 125.
[15]
¹⁵ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī (Kairo:
Dār al-ʿIlm, 2019), 54–56.
6.
Dimensi
Sosial dan Intelektual Ilmu Balāghah
Ilmu Balāghah
tidak hanya berfungsi sebagai cabang linguistik yang mengkaji keindahan bahasa,
tetapi juga sebagai kekuatan sosial-intelektual yang membentuk cara berpikir, berkomunikasi,
dan berperadaban dalam masyarakat Islam. Ia menjadi instrumen yang menjembatani
antara ekspresi individual dan komunikasi kolektif, antara seni berbahasa dan
rasionalitas publik.¹ Dalam konteks ini, Balāghah berperan sebagai media
pembentukan kesadaran sosial (al-waʿy al-ijtimāʿī) sekaligus
tradisi intelektual (al-turāth al-fikrī) yang membangun
jati diri umat Islam melalui bahasa.
6.1. Balāghah dan Pembentukan Budaya Diskursif Islam
Sejak abad ke-3 H,
Balāghah telah berperan penting dalam membangun budaya diskursif di dunia
Islam. Di masjid, majelis ilmu, dan istana Abbasiyah, kemampuan berbahasa
dengan balāghah yang tinggi menjadi simbol kecerdasan intelektual dan
moralitas.² Para orator (khuṭabāʾ), penyair (shuʿarāʾ),
dan ulama menggunakan retorika yang indah untuk menyampaikan nilai-nilai agama
dan filsafat. Dengan demikian, Balāghah membentuk habitus linguistik yang menempatkan
keindahan bahasa sebagai bagian dari etika berpikir dan berkomunikasi.³
Tradisi ini
melahirkan konsep al-khiṭābah al-islāmiyyah—retorika
Islam—yang menggabungkan argumentasi logis (burhān) dengan daya persuasif (iqnāʿ)
dan kesantunan moral (adab).⁴ Perpaduan tersebut
menjadikan Balāghah bukan sekadar seni retorika, tetapi juga mekanisme sosial
untuk mengatur bagaimana ide, nilai, dan kebenaran disampaikan dalam ruang
publik Islam. Oleh karena itu, keindahan dalam bahasa dipandang tidak netral,
melainkan memiliki tanggung jawab sosial terhadap kebenaran dan keadilan.⁵
6.2. Balāghah dalam Tradisi Intelektual dan Keilmuan Islam
Dari sisi
intelektual, Ilmu Balāghah memiliki peran epistemik yang sangat luas karena
menjadi fondasi bagi ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, hadis, ushul fiqh, dan
kalam.⁶ Para mufassir klasik seperti al-Zamakhsharī dan al-Rāzī menggunakan
prinsip-prinsip Balāghah untuk menjelaskan keindahan dan kedalaman makna
Al-Qur’an.⁷ Misalnya, melalui analisis tasybīh (perumpamaan) dan istiʿārah
(metafora), mereka menyingkap makna tersirat di balik struktur linguistik
wahyu. Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana Balāghah berfungsi sebagai
metode hermeneutik yang menghubungkan teks dan realitas pemahaman manusia.
Dalam ilmu kalam dan
filsafat Islam, Balāghah berperan sebagai medium penyampaian argumentasi
rasional.⁸ Para mutakallimūn menggunakan struktur retoris yang logis dan
efektif untuk mempertahankan prinsip keesaan Tuhan dan membantah pandangan
oposisi teologis.⁹ Balāghah juga menjadi perangkat penting dalam ushul fiqh, di
mana makna lafẓ dan konotasinya (ḥaqīqah, majāz, ʿāmm, khāṣṣ, dan lain-lain)
ditelaah secara mendalam guna merumuskan hukum yang tepat.¹⁰ Dengan demikian,
Ilmu Balāghah berkontribusi besar terhadap pembentukan tradisi intelektual
Islam yang bersifat rasional, dialogis, dan berakar pada teks.
6.3. Balāghah dan Etika Sosial Komunikasi
Dalam tataran
sosial, Balāghah mengajarkan prinsip komunikasi yang beradab, efektif, dan
harmonis. Bahasa yang balīgh tidak hanya menarik dari
sisi estetik, tetapi juga mampu menghubungkan perbedaan dengan kejelasan dan
hikmah.¹¹ Prinsip muṭābaqat al-kalām li-muqtaḍā al-ḥāl
(kesesuaian ujaran dengan situasi) menuntun seseorang untuk berbicara sesuai
konteks, tanpa berlebihan dan tanpa menyinggung pihak lain.¹² Nilai ini sangat
penting dalam masyarakat plural, di mana komunikasi sering menjadi sumber
konflik atau kesalahpahaman.
Lebih dari sekadar
teori retorika, Balāghah berfungsi sebagai etik linguistik yang
menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dalam penggunaan bahasa.¹³ Setiap kata
memiliki konsekuensi moral, karena bahasa adalah alat pengaruh terhadap pikiran
dan tindakan orang lain. Oleh karena itu, Balāghah menuntut adanya kesadaran
etis dalam berbahasa: al-kalām maʿrifah wa masʾūliyyah
(ucapan adalah pengetahuan dan tanggung jawab).¹⁴
6.4. Balāghah dan Transformasi Intelektual Modern
Dalam era modern,
dimensi sosial dan intelektual Balāghah menemukan relevansi baru dalam konteks
pendidikan, media, dan komunikasi digital.¹⁵ Prinsip-prinsip klasik seperti
kejelasan makna, kesesuaian konteks, dan keseimbangan antara rasionalitas dan
estetika dapat diterapkan dalam praktik jurnalistik, retorika politik, dan
penyebaran pesan dakwah di media sosial.¹⁶ Para cendekiawan kontemporer
berpendapat bahwa revitalisasi Balāghah dapat menjadi dasar pengembangan “etika
komunikasi Islam” yang menjawab tantangan era post-truth dan polarisasi
wacana publik.¹⁷
Dalam konteks
pendidikan bahasa Arab modern, Balāghah berfungsi sebagai sarana pengembangan kompetensi
komunikatif yang tidak hanya mencakup keterampilan linguistik,
tetapi juga kesadaran pragmatik dan budaya.¹⁸ Hal ini menunjukkan bahwa
Balāghah tidak kehilangan relevansi, melainkan mengalami transformasi menjadi
alat pembentukan karakter intelektual dan sosial di tengah perubahan zaman.
Sintesis Sosial-Intelektual
Melalui integrasi
antara nilai-nilai etika, estetika, dan rasionalitas, Ilmu Balāghah berperan
sebagai fondasi sosial-intelektual bagi
peradaban Islam. Ia mengajarkan bahwa keindahan bahasa bukan sekadar hiasan,
tetapi cermin dari kematangan akal dan moral.¹⁹ Dalam tataran sosial, ia
melahirkan komunikasi yang damai dan konstruktif; dalam tataran intelektual, ia
menumbuhkan pemikiran kritis yang menghargai makna dan logika. Dengan demikian,
Balāghah dapat dipandang sebagai salah satu bentuk ʿaql lughawī—rasionalitas
kebahasaan Islam—yang menjadi pilar bagi pembentukan masyarakat berilmu dan
beradab.²⁰
Footnotes
[1]
¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār
al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 103.
[2]
² Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat
al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 147–148.
[3]
³ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad
Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 2:55.
[4]
⁴ ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī
(Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 68–69.
[5]
⁵ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa
al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 41.
[6]
⁶ al-Zarkashī, al-Burhān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Kairo: Dār
al-Maʿrifah, 1957), 1:228.
[7]
⁷ al-Zamakhsharī, al-Kashshāf ʿan Ḥaqāʾiq al-Tanzīl (Beirut:
Dār al-Maʿrifah, 1987), 1:10–11.
[8]
⁸ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd
Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 88.
[9]
⁹ al-Rāzī, al-Maḥṣūl fī ʿIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1999), 2:143.
[10]
¹⁰ al-Suyūṭī, al-Itqān fī ʿUlūm al-Qurʾān (Beirut: Dār
al-Fikr, 1996), 2:111.
[11]
¹¹ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr
al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 53.
[12]
¹² al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1993), 6.
[13]
¹³ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1987), 12.
[14]
¹⁴ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo:
Dār al-Maʿārif, 1984), 131.
[15]
¹⁵ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī (Kairo:
Dār al-ʿIlm, 2019), 65–66.
[16]
¹⁶ ʿAlī al-Qaradāghī, al-Balāghah al-Islāmiyyah fī ʿAṣr al-Maʿrifah
(Doha: Dār al-Thaqāfah, 2018), 78.
[17]
¹⁷ Muḥammad ʿImārah, al-Fikr al-Islāmī wa Qadāyā al-ʿAṣr
(Kairo: Dār al-Shurūq, 2004), 112.
[18]
¹⁸ ʿAbd al-Ḥamīd ʿAṭiyyah, al-Taʿlīm al-Balāghī fī al-Maʿāhid
al-ʿArabiyyah (Kairo: Dār al-Fikr, 2010), 33.
[19]
¹⁹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah
al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 94.
[20]
²⁰ Aḥmad Amīn, Fajr al-Islām (Kairo: Maktabat al-Nahḍah
al-Miṣriyyah, 1969), 211.
7.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
Ilmu Balāghah,
meskipun memiliki posisi sentral dalam tradisi intelektual Islam, tidak luput
dari kritik dan perdebatan filosofis. Sebagai disiplin yang menautkan antara
keindahan bahasa dan rasionalitas berpikir, Balāghah menghadapi tantangan dalam
menyeimbangkan aspek estetika dan epistemologisnya. Kritik terhadap Balāghah
dapat dibagi ke dalam tiga ranah utama: (1) kritik formalisme linguistik,
(2)
kritik reduksionisme estetika, dan (3)
klarifikasi filosofis tentang hakikat makna dan komunikasi.
Ketiganya menunjukkan dinamika pemikiran yang terus memperbarui posisi Balāghah
di antara ilmu bahasa, logika, dan filsafat.
7.1. Kritik terhadap Formalisme Linguistik
Sejumlah pemikir
modern menilai bahwa tradisi Balāghah klasik, terutama pasca al-Sakkākī dan
al-Qazwīnī, mengalami kecenderungan formalisme—yakni keterpakuan pada analisis
struktur kebahasaan tanpa memperhatikan konteks sosial dan pragmatik.¹ Fokus
yang berlebihan pada klasifikasi istiʿārah, tasybīh,
dan jinās
misalnya, menjadikan Balāghah terjebak dalam deskripsi teknis dan kehilangan
daya kritisnya terhadap fungsi komunikasi bahasa.² Akibatnya, ilmu ini
cenderung menjadi ilmu deskriptif yang indah secara bentuk, tetapi kurang
relevan dalam menjelaskan realitas makna dan interaksi manusia.
Kritik ini terutama
disuarakan oleh para sarjana Arab modern seperti Amīn al-Khūlī dan Muḥammad
ʿAbduh yang menyerukan perlunya pendekatan balāghah ḥayāhiyyah—Balāghah yang
hidup dan kontekstual—yang tidak terkurung oleh tata aturan formal.³ Menurut
mereka, keindahan bahasa tidak terletak pada kategorisasi bentuk, tetapi pada
kemampuannya untuk menghidupkan makna dalam konteks sosial dan moral. Dengan
demikian, Balāghah perlu keluar dari kerangka skolastik menuju wilayah
interpretatif yang dinamis.
7.2. Kritik terhadap Reduksionisme Estetika
Kritik lain datang
dari arah yang berlawanan, yakni terhadap kecenderungan sebagian pembelajar
Balāghah untuk mereduksinya menjadi sekadar seni hiasan verbal (al-badīʿiyyāt).⁴
Dalam pandangan ini, Balāghah dipahami secara dangkal sebagai permainan gaya
bahasa dan ornamen retoris, sehingga kehilangan basis epistemiknya. Padahal,
seperti ditegaskan oleh ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, keindahan
sejati tidak terletak pada hiasan kata, melainkan pada keteraturan rasional (naẓm)
yang menyatukan makna dan bentuk secara harmonis.⁵
Reduksionisme
estetika ini berimplikasi pada munculnya dikotomi palsu antara “bahasa indah”
dan “bahasa benar.” Padahal, dalam tradisi Islam, kedua aspek tersebut
tidak terpisahkan. Bahasa yang indah tanpa kebenaran adalah retorika kosong;
sebaliknya, bahasa yang benar tanpa keindahan kehilangan daya pengaruhnya
terhadap jiwa.⁶ Karena itu, kritik ini menuntut rehabilitasi makna Balāghah
sebagai ilmu yang menyatukan keindahan, kebenaran, dan kebijaksanaan (al-jamāl,
al-ḥaqq, al-ḥikmah).
7.3. Klarifikasi Filosofis tentang Hakikat Makna dan
Komunikasi
Dalam dimensi
filosofis, perdebatan utama berkisar pada hakikat makna dan cara bahasa
merepresentasikan realitas. Para balāghiyyīn klasik seperti al-Jurjānī
memandang makna sebagai entitas relasional yang lahir dari hubungan antara
kata, struktur, dan konteks (al-maʿnā fī al-naẓm lā fī al-kalimāt).⁷
Pandangan ini mendahului teori modern tentang semantik struktural dan
pragmatik. Namun, beberapa pemikir modern, seperti Muḥammad ʿĀbid al-Jābirī,
menilai bahwa Balāghah klasik belum sepenuhnya mengembangkan aspek
epistemologis dari komunikasi, karena masih terikat pada horizon tekstual dan
belum menyentuh dimensi sosial makna.⁸
Klarifikasi
filosofis terhadap hal ini memerlukan pendekatan hermeneutik—yakni menafsirkan
Balāghah sebagai sistem pengetahuan yang menghubungkan bahasa, realitas, dan
kesadaran manusia. Dalam kerangka ini, bahasa tidak dipandang sebagai cermin
pasif realitas, tetapi sebagai proses aktif pembentukan makna (taʾwīl).⁹
Dengan demikian, Balāghah dapat direvitalisasi sebagai epistemologi komunikasi
yang menempatkan bahasa dalam peran kreatif dan transformatif.
7.4. Rekonsiliasi antara Estetika, Logika, dan Etika
Kritik dan
klarifikasi tersebut mengarah pada kebutuhan untuk merekonsiliasi tiga pilar
utama Balāghah: estetika (jamāl), logika
(ʿaql), dan etika (akhlāq). Ilmu Balāghah
hanya dapat berfungsi utuh apabila keindahan bahasa diarahkan oleh kebenaran
logis dan nilai moral.¹⁰ Dalam perspektif filsafat Islam, hal ini sejalan
dengan prinsip kesatuan antara al-ḥaqq wa al-jamāl, di mana
kebenaran dan keindahan saling memperkuat.¹¹
Keseimbangan ini
tidak hanya penting dalam wacana ilmiah, tetapi juga dalam kehidupan sosial.
Bahasa yang indah namun tidak rasional dapat menyesatkan; sebaliknya, bahasa
yang logis tetapi dingin dapat mematikan kepekaan manusia. Oleh karena itu,
klarifikasi filosofis terhadap Balāghah menegaskan bahwa bahasa adalah bentuk
rasionalitas bernuansa moral—ia berpikir sekaligus merasakan, menimbang
sekaligus mengilhami.¹²
7.5. Arah Pengembangan Filsafat Balāghah Kontemporer
Kritik modern
terhadap Balāghah klasik justru membuka peluang baru bagi pengembangannya
sebagai filsafat bahasa Islam (falsafat
al-lughah al-islāmiyyah). Para sarjana kontemporer seperti Ḥasan Ḥanafī
dan Naṣr Ḥāmid Abū Zayd melihat Balāghah sebagai model epistemologi alternatif
yang mengintegrasikan dimensi tekstual, sosial, dan spiritual bahasa.¹³ Dengan
memperluas horizon Balāghah dari estetika menuju filsafat komunikasi, ilmu ini
dapat menjadi basis bagi teori wacana Islam yang menghargai kebenaran,
keberagaman, dan kemanusiaan.¹⁴
Dalam arah ini, Balāghah
tidak lagi dipahami sebagai retorika klasik semata, melainkan sebagai sistem
rasional yang menuntun manusia untuk berkomunikasi dengan keindahan yang
bermakna dan kebijaksanaan yang berpijak pada akal. Kritik filosofis terhadap
Balāghah, oleh karena itu, bukanlah penolakan terhadap tradisi, tetapi upaya
menyegarkan semangatnya agar tetap relevan dalam percakapan intelektual
modern.¹⁵
Footnotes
[1]
¹ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1993), 7–8.
[2]
² ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr
al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 61–62.
[3]
³ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa
al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 54.
[4]
⁴ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2 (Kairo: Maktabat
al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 139–140.
[5]
⁵ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah, ed. Maḥmūd
Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 28.
[6]
⁶ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo:
Dār al-Maʿārif, 1984), 127.
[7]
⁷ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd
Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 53.
[8]
⁸ Muḥammad ʿĀbid al-Jābirī, Takwīn al-ʿAql al-ʿArabī (Beirut:
Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah, 1988), 214–215.
[9]
⁹ Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 92.
[10]
¹⁰ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah
al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 99.
[11]
¹¹ ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī
(Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 112.
[12]
¹² Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany:
State University of New York Press, 1981), 104.
[13]
¹³ Ḥasan Ḥanafī, Min al-Naṣ ilā al-Wāqiʿ: Dirāsah fī Fikr
al-Tafsīrī al-ʿArabī (Kairo: Dār al-Tanwīr, 1985), 76–77.
[14]
¹⁴ Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ (Beirut: al-Markaz
al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 45–46.
[15]
¹⁵ Muḥammad ʿImārah, al-Fikr al-Islāmī wa Qadāyā al-ʿAṣr
(Kairo: Dār al-Shurūq, 2004), 128–129.
8.
Relevansi
Kontemporer Ilmu Balāghah
Dalam konteks
kontemporer, Ilmu Balāghah memperoleh
signifikansi baru yang melampaui batas tradisionalnya sebagai ilmu kebahasaan
klasik. Ia tampil kembali sebagai paradigma berpikir dan berkomunikasi yang
relevan dalam menjawab tantangan era global, digital, dan post-truth. Relevansi
Balāghah tidak hanya terletak pada kemampuannya mengajarkan keindahan bahasa,
tetapi juga pada fungsinya sebagai fondasi etika, epistemologi, dan humanisme
komunikasi di tengah krisis makna dan degradasi wacana publik
modern.¹
8.1. Balāghah dan Literasi Komunikasi Digital
Perkembangan
teknologi komunikasi telah mengubah lanskap bahasa dan interaksi sosial. Media
sosial menciptakan ruang ekspresi yang luas, tetapi juga menimbulkan distorsi
makna, manipulasi bahasa, dan hilangnya etika komunikasi. Dalam situasi ini,
prinsip-prinsip Balāghah seperti muṭābaqat al-kalām li-muqtaḍā al-ḥāl
(kesesuaian ujaran dengan konteks) dan faṣāḥah (kejernihan makna) menjadi
sangat relevan.²
Balāghah dapat
dijadikan kerangka untuk membangun etika komunikasi digital yang
menuntun pengguna agar menimbang konteks, audiens, dan tujuan komunikasi
sebelum berbicara atau menulis.³ Seperti halnya Al-Qur’an mengajarkan qawlan
maʿrūfā, qawlan layyinan, dan qawlan
sadīdan—tiga prinsip ujaran etis—Balāghah dapat diterjemahkan ke
dalam praksis literasi digital yang menghormati kejujuran, kejelasan, dan
keindahan dalam berkomunikasi daring.⁴
Lebih jauh, konsep balāghah
ḥayāhiyyah (Balāghah yang hidup) yang diperkenalkan oleh Amīn
al-Khūlī menegaskan perlunya menerjemahkan nilai-nilai klasik ke dalam konteks
teknologi modern.⁵ Ia menolak stagnasi verbalistik dan menyerukan agar Balāghah
menjadi ilmu yang berfungsi dalam kehidupan sosial nyata—termasuk dalam
interaksi di dunia digital yang menuntut etika komunikasi baru.
8.2. Balāghah dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Dalam ranah
pendidikan, Ilmu Balāghah berperan penting dalam membangun
kesadaran linguistik, estetik, dan moral peserta didik. Di
tengah dominasi gaya bahasa pragmatis dan instan, Balāghah mengajarkan
kehalusan berpikir dan keindahan ekspresi yang berbasis rasionalitas dan
empati.⁶ Prinsip-prinsip ʿIlm al-Maʿānī membantu siswa
memahami bagaimana makna disesuaikan dengan konteks sosial; ʿIlm
al-Bayān melatih sensitivitas simbolik dan imajinasi kreatif;
sementara ʿIlm
al-Badīʿ menumbuhkan rasa estetika terhadap harmoni bahasa.⁷
Pendidikan Balāghah
modern dapat diarahkan untuk membentuk karakter komunikatif yang beradab (adab
al-taʿbīr)—yakni kemampuan menyampaikan pikiran dengan jernih,
sopan, dan menyentuh nurani.⁸ Hal ini sejalan dengan konsep ta’dīb
al-lughah, yaitu pendidikan melalui bahasa yang menumbuhkan akhlak
dan kecerdasan emosional. Dengan demikian, Balāghah bukan sekadar keterampilan
linguistik, tetapi juga sarana pembentukan karakter rasional dan etis di dunia
pendidikan kontemporer.⁹
8.3. Balāghah dan Etika Wacana Publik
Dalam ruang publik
modern, komunikasi sering kali kehilangan dimensi moral dan keindahan. Retorika
politik, media, dan wacana sosial kerap digunakan untuk menipu, memecah belah,
atau memanipulasi emosi massa. Dalam konteks ini, Balāghah dapat berfungsi sebagai
alat
kritik wacana publik.¹⁰ Ia mengajarkan bahwa keindahan bahasa
harus menyatu dengan kebenaran dan tanggung jawab sosial.
Prinsip iqnāʿ
(persuasi) dalam Balāghah klasik dapat ditafsirkan ulang sebagai etika dialog,
bukan dominasi wacana.¹¹ Retorika dalam pandangan Islam bukan sekadar seni
membujuk, tetapi seni mengajak kepada kebenaran dengan cara yang bijak (udʿu ilā
sabīli rabbika bil-ḥikmah).¹² Maka, revitalisasi Balāghah berarti
menghidupkan kembali seni berbicara yang jujur dan argumentatif di tengah
budaya debat yang dangkal dan manipulatif.
8.4. Balāghah dan Ilmu Humaniora Modern
Balāghah juga
memiliki relevansi teoretis dalam ranah ilmu humaniora kontemporer, terutama
linguistik, semiotika, dan pragmatik. Struktur analisis makna dalam ʿIlm
al-Bayān sejajar dengan teori metafora konseptual George Lakoff dan
Mark Johnson, yang melihat bahasa sebagai cermin pola pikir manusia.¹³
Sementara konsep naẓm al-Jurjānī—tatanan relasional
makna dalam struktur kalimat—sejalan dengan teori sintaksis dan semantik modern
yang menekankan hubungan kontekstual antar unsur bahasa.¹⁴
Dalam filsafat
bahasa kontemporer, Balāghah dapat dipandang sebagai bentuk hermeneutika
Islam, yaitu upaya memahami teks dan makna dengan
mempertimbangkan konteks, intensi, dan resepsi.¹⁵ Dengan demikian, Balāghah
tidak hanya bagian dari masa lalu, melainkan warisan intelektual yang dapat
berdialog dengan teori-teori modern tentang makna, tanda, dan komunikasi.
8.5. Balāghah sebagai Etika Global Komunikasi
Dalam era
globalisasi dan krisis komunikasi antarbudaya, Balāghah menawarkan model etika
universal berbasis hikmah dan keindahan. Bahasa yang indah, benar, dan bijak
bukan hanya milik budaya Arab, melainkan nilai kemanusiaan yang dapat
diterapkan dalam konteks lintas budaya.¹⁶ Balāghah mengajarkan bahwa kekuatan
bahasa terletak bukan pada dominasi, melainkan pada kemampuan membangun
pengertian dan kedamaian.
Karena itu,
pengembangan “Balāghah Global” menjadi
langkah penting bagi dunia akademik modern: suatu pendekatan lintas disiplin
yang mengintegrasikan prinsip-prinsip klasik Balāghah dengan komunikasi lintas
budaya, pendidikan moral, dan media digital.¹⁷ Dalam pengertian ini, Ilmu
Balāghah bertransformasi dari ilmu linguistik klasik menjadi paradigma etis dan
humanistik bagi peradaban global.
Footnotes
[1]
¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār
al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 117.
[2]
² al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1993), 6–7.
[3]
³ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām al-Raqmī (Kairo:
Dār al-ʿIlm, 2019), 75–76.
[4]
⁴ QS. al-Baqarah [2] ayat 83; QS. Ṭāhā [20] ayat 44; QS. al-Aḥzāb [33]
ayat 70.
[5]
⁵ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa
al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 61–62.
[6]
⁶ Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī, ʿIlm al-Balāghah: al-Bayān wa
al-Maʿānī wa al-Badīʿ (Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī, 1980), 57–58.
[7]
⁷ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr
al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 73–74.
[8]
⁸ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad
Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:87.
[9]
⁹ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo:
Dār al-Maʿārif, 1984), 142.
[10]
¹⁰ Aḥmad Amīn, Fajr al-Islām (Kairo: Maktabat al-Nahḍah
al-Miṣriyyah, 1969), 214.
[11]
¹¹ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1987), 12–13.
[12]
¹² QS. al-Naḥl [16] ayat 125.
[13]
¹³ George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–5.
[14]
¹⁴ ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd Muḥammad
Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 47.
[15]
¹⁵ Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 93–94.
[16]
¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man
(London: Allen and Unwin, 1975), 155–157.
[17]
¹⁷ Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ (Beirut: al-Markaz
al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 73–74.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Konsep Balāghah Integral
Upaya memahami Ilmu
Balāghah secara integral menuntut suatu sintesis filosofis yang
melampaui batas-batas linguistik semata. Sintesis ini menggabungkan tiga
dimensi utama yang membentuk hakikat ilmu tersebut—yakni rasionalitas
(al-ʿaql), keindahan (al-jamāl), dan etika
(al-akhlāq)—ke dalam satu sistem pemahaman yang utuh.¹ Dalam
perspektif ini, Balāghah bukan lagi sekadar alat retoris atau seni berbahasa,
tetapi paradigma berpikir yang menegaskan kesatuan antara pikiran, makna, dan
moralitas.
9.1. Kesatuan Rasionalitas dan Estetika
Filsafat Balāghah
yang dikembangkan oleh ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī
berlandaskan prinsip bahwa bahasa memiliki struktur rasional yang melahirkan
keindahan melalui keteraturan (naẓm).² Dengan demikian, keindahan
bukan sekadar hasil rasa, tetapi manifestasi dari rasionalitas yang tertib dan
proporsional. Pemikiran ini menegaskan bahwa dimensi estetis tidak dapat
dipisahkan dari dimensi logis—keindahan sejati muncul ketika bahasa mengikuti
hukum rasio dan mencerminkan keselarasan antara bentuk dan makna.³
Dalam kerangka
sintesis filosofis, hubungan antara rasionalitas dan estetika dapat dijelaskan
sebagai hubungan antara al-maʿqūl (yang dapat dipahami
akal) dan al-madhqūq
(yang dapat dirasakan indra).⁴ Bahasa yang balīgh bukan hanya dapat dimengerti,
tetapi juga dapat dirasakan sebagai indah. Oleh karena itu, Balāghah memadukan
dua jenis kebenaran: kebenaran proposisional (yang
ditangkap oleh akal) dan kebenaran estetis (yang
dirasakan oleh jiwa).⁵ Inilah yang menjadikan Balāghah berbeda dari logika
formal—ia bukan sekadar penilaian benar-salah, tetapi juga baik-indah.
9.2. Etika Bahasa sebagai Fondasi Ontologis
Sintesis Balāghah
tidak dapat dilepaskan dari dimensi etisnya. Dalam pandangan Islam, bahasa
bukan hanya sarana komunikasi, melainkan amanah moral yang memuat tanggung
jawab sosial dan spiritual.⁶ Al-Qur’an menegaskan bahwa “tiada satu kata pun
yang diucapkan kecuali ada malaikat yang mencatatnya” (QS. Qāf [50] ayat 18),
yang menunjukkan bahwa setiap ujaran memiliki konsekuensi etik.⁷ Dengan
demikian, Balāghah tidak hanya mengejar keindahan atau kejelasan, tetapi juga
kebaikan (al-khayr).
Dalam filsafat
Balāghah integral, etika berfungsi sebagai fondasi ontologis yang menuntun
penggunaan rasionalitas dan estetika. Bahasa yang indah tanpa moralitas akan
menjadi manipulatif; sebaliknya, moralitas tanpa keindahan akan kehilangan daya
sentuh dan pesona spiritual.⁸ Oleh karena itu, komunikasi yang balīgh adalah
komunikasi yang ṣādiq (jujur), ḥakīm
(bijaksana), dan jamīl (indah). Dimensi inilah yang
menjadikan Balāghah sebagai ilmu yang menautkan pengetahuan dan kebajikan dalam
ekspresi manusia.
9.3. Balāghah sebagai Epistemologi Integratif
Dalam perspektif
epistemologi Islam, ilmu yang sejati adalah ilmu yang menghubungkan antara al-ʿaql,
al-qalb,
dan al-lisān—akal,
hati, dan bahasa.⁹ Balāghah, sebagai sistem ilmu, bekerja di ruang pertemuan
ketiganya. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya ditemukan melalui
penalaran logis, tetapi juga melalui kehalusan rasa dan kejujuran moral. Dengan
demikian, Balāghah dapat dipandang sebagai epistemologi integratif, yakni
kerangka pengetahuan yang menggabungkan rasionalitas, spiritualitas, dan
estetik dalam satu kesadaran linguistik.¹⁰
Epistemologi ini
juga menegaskan bahwa makna tidak pernah bersifat tunggal atau statis. Setiap
ujaran selalu bergantung pada konteks, niat, dan situasi komunikasi (maqām).¹¹
Kesadaran kontekstual ini menjadikan Balāghah lebih dinamis dibandingkan sistem
logika formal, karena ia memperhitungkan variabel sosial dan psikologis dalam
konstruksi makna. Dalam hal ini, Balāghah lebih dekat dengan teori hermeneutika
modern, yang memandang bahasa sebagai proses negosiasi antara teks dan
pembaca.¹²
9.4. Sintesis Balāghah dan Filsafat Bahasa Modern
Konsep Balāghah
integral membuka ruang dialog antara tradisi Islam dan filsafat bahasa modern.
Gagasan naẓm
al-Jurjānī, misalnya, sejalan dengan teori deep structure Noam Chomsky, di
mana makna muncul dari keteraturan sintaksis dan semantik yang saling
terkait.¹³ Sementara pandangan Balāghah tentang maqām dan siyāq
mendekati konsep pragmatik modern tentang konteks ujaran sebagaimana
dikembangkan oleh J.L. Austin dan John Searle.¹⁴
Namun, Balāghah
melampaui batas linguistik murni karena mengandung dimensi spiritual dan
normatif yang tidak terdapat dalam teori bahasa Barat. Ia tidak hanya
menjelaskan bagaimana bahasa bekerja, tetapi juga bagaimana bahasa seharusnya
digunakan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keindahan.¹⁵ Dengan
demikian, Balāghah dapat diposisikan sebagai filsafat bahasa Islam yang
menawarkan model integratif antara rasio, makna, dan nilai.
9.5. Menuju Konsep Balāghah Integral
Dari keseluruhan
dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Balāghah Integral merupakan
paradigma yang memandang bahasa sebagai kesatuan epistemik yang mencerminkan
harmoni kosmos dan kemanusiaan. Ia bukan hanya ilmu teknis atau estetis, tetapi
jalan
rasional menuju keindahan dan kebajikan.¹⁶ Dalam tataran
teoritis, konsep ini memulihkan kedudukan bahasa sebagai cermin akal dan hati;
dalam tataran praksis, ia menuntun manusia untuk berkomunikasi secara jujur,
arif, dan bermakna.
Balāghah integral
juga memberikan kontribusi penting bagi rekonstruksi peradaban Islam modern.
Dalam dunia yang cenderung fragmentaris dan bising, Balāghah menghadirkan
sintesis antara logos, ethos, dan pathos
dalam kerangka tauhid.¹⁷ Ia mengajarkan bahwa berbicara bukan sekadar menyusun
kata, tetapi menyusun makna kehidupan. Seperti yang ditegaskan al-Jāḥiẓ, “kata
adalah tubuh, makna adalah ruh; keduanya hidup hanya bila bersatu.”¹⁸
Dengan demikian, Balāghah integral bukan sekadar disiplin ilmu, melainkan filsafat
komunikasi Islam yang menghidupkan kembali kesatuan antara
nalar, makna, dan nilai dalam setiap ungkapan manusia.
Footnotes
[1]
¹ Ḥasan al-ʿAskarī, Manāhij al-Balāghiyyīn (Beirut: Dār
al-Fikr al-ʿArabī, 2005), 125.
[2]
² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Dalā’il al-Iʿjāz, ed. Maḥmūd
Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 46–47.
[3]
³ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa al-Falsafah (Kairo:
Dār al-Maʿārif, 1984), 133.
[4]
⁴ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1981), 115.
[5]
⁵ Aḥmad Amīn, Fajr al-Islām (Kairo: Maktabat al-Nahḍah
al-Miṣriyyah, 1969), 212.
[6]
⁶ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd al-Salām Muḥammad
Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:83.
[7]
⁷ QS. Qāf [50] ayat 18.
[8]
⁸ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah
al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 101.
[9]
⁹ al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf, ed. Muḥsin Mahdī (Beirut: Dār
al-Mashriq, 1969), 89.
[10]
¹⁰ ʿAbd al-Raḥmān Badawī, Madkhal ilā al-Turāth al-ʿArabī
(Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn, 1984), 119.
[11]
¹¹ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah, 1993), 8.
[12]
¹² Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 95.
[13]
¹³ Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge,
MA: MIT Press, 1965), 38–40.
[14]
¹⁴ J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon
Press, 1962), 22–23.
[15]
¹⁵ Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ (Beirut: al-Markaz
al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 49.
[16]
¹⁶ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa
al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 66–67.
[17]
¹⁷ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd fī al-ʿAṣr
al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 86.
[18]
¹⁸ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, 1:75.
10. Kesimpulan
Ilmu Balāghah menempati posisi yang unik dan
fundamental dalam khazanah intelektual Islam karena ia mengintegrasikan tiga
dimensi utama yang jarang disatukan secara harmonis dalam satu disiplin: rasionalitas,
keindahan, dan etika. Dalam tradisi klasik, Balāghah berkembang
bukan hanya sebagai cabang linguistik, melainkan sebagai ilmu yang memadukan
logika bahasa dengan estetika komunikasi dan tanggung jawab moral manusia.¹
Melalui kajian terhadap ʿIlm al-Maʿānī, ʿIlm al-Bayān, dan ʿIlm
al-Badīʿ, Balāghah mengajarkan manusia cara berpikir, berbicara, dan
memahami dunia secara jernih, indah, dan bijak.
Dari sisi ontologis, Balāghah memandang
bahasa sebagai realitas yang hidup dan dinamis, bukan sekadar sistem tanda,
melainkan jembatan antara akal, jiwa, dan masyarakat.² Bahasa yang balīgh
merupakan ekspresi dari keselarasan antara bentuk dan makna, antara intensi
batin dan realitas sosial.³ Sementara dari sisi epistemologis, Balāghah
menempatkan bahasa sebagai sarana rasional untuk menyingkap kebenaran. Ia
bekerja melalui metode qiyās, istidlāl, dan tafakkur untuk mengungkap hubungan
antara struktur linguistik dan makna batiniah.⁴ Dengan demikian, Balāghah
adalah ilmu yang berakar pada wahyu, tetapi beroperasi dalam nalar manusia;
sebuah sistem pengetahuan yang memadukan iman dan rasio.
Secara aksiologis, Balāghah menjadi sumber
nilai dan etika komunikasi yang menuntun manusia untuk berbicara dengan
kejujuran (ṣidq), kesantunan (ḥilm), dan kebijaksanaan (ḥikmah).⁵
Dalam perspektif sosial, ia berfungsi membangun budaya dialog yang beradab dan
memperhalus wacana publik melalui bahasa yang bermartabat.⁶ Sementara dalam
ranah intelektual, Balāghah memberikan perangkat metodologis untuk menafsirkan
teks-teks wahyu dan karya sastra secara mendalam, sekaligus menumbuhkan
kesadaran rasional terhadap keindahan makna.
Dalam konteks kontemporer, Balāghah memiliki
relevansi yang semakin kuat. Prinsip-prinsip klasiknya dapat diterapkan untuk
menumbuhkan etika komunikasi digital, memperkuat literasi bahasa, serta memperkaya
dialog antarbudaya.⁷ Dalam era di mana bahasa sering disalahgunakan untuk
disinformasi dan manipulasi emosional, Balāghah menghadirkan paradigma
alternatif yang mengutamakan kejelasan makna, tanggung jawab moral, dan
keindahan ekspresi.⁸ Dengan demikian, Balāghah dapat berfungsi sebagai fondasi humanisme
komunikatif yang memuliakan akal dan rasa secara seimbang.
Secara filsafati, Ilmu Balāghah dapat
disintesiskan sebagai filsafat bahasa Islam—sebuah sistem pengetahuan
yang menghubungkan realitas linguistik dengan dimensi spiritual dan etis
manusia.⁹ Ia tidak hanya menjawab pertanyaan “bagaimana bahasa bekerja,”
tetapi juga “mengapa bahasa harus digunakan secara benar dan indah.”
Dalam Balāghah integral, kebenaran, keindahan, dan kebaikan bersatu dalam satu
horizon makna yang berorientasi pada Tuhan sebagai sumber makna tertinggi.¹⁰
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Balāghah
bukanlah ilmu masa lalu, melainkan warisan intelektual yang terus hidup dan
dapat beradaptasi dengan tantangan zaman. Ia mengajarkan manusia seni berpikir
dan berbicara dengan nalar yang estetis dan moral yang rasional.¹¹ Dalam
kesatuan ini, Balāghah berfungsi sebagai cermin peradaban Islam yang
mengajarkan bahwa bahasa adalah amanah ilahi yang harus dijaga, dikembangkan,
dan digunakan untuk menegakkan kebenaran, keindahan, dan kebijaksanaan dalam
kehidupan manusia.¹²
Footnotes
[1]
¹ ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī, al-Balāghah
al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā (Damaskus: Dār al-Qalam, 1996), 113.
[2]
² ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, Asrār al-Balāghah,
ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir (Kairo: Dār al-Madanī, 1992), 37.
[3]
³ al-Qazwīnī, Talkhīṣ al-Miftāḥ (Beirut: Dār
al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1993), 6–7.
[4]
⁴ al-Sakkākī, Miftāḥ al-ʿUlūm (Kairo: Dār
al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1987), 8–9.
[5]
⁵ al-Jāḥiẓ, al-Bayān wa al-Tabyīn, ed. ʿAbd
al-Salām Muḥammad Hārūn (Kairo: Maktabat al-Khānijī, 1968), 1:85–86.
[6]
⁶ ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah, al-Balāghah wa al-Naqd
fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1980), 94.
[7]
⁷ Ṭāriq al-Sayyid, al-Balāghah wa al-Iʿlām
al-Raqmī (Kairo: Dār al-ʿIlm, 2019), 81–82.
[8]
⁸ Amīn al-Khūlī, Manāhij al-Tajdīd fī al-Naḥw wa
al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1962), 69.
[9]
⁹ Ḥāmid Ṭāhir, al-Lughah wa al-Manṭiq wa
al-Falsafah (Kairo: Dār al-Maʿārif, 1984), 145–146.
[10]
¹⁰ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1981), 122.
[11]
¹¹ Aḥmad Amīn, Ḍuḥā al-Islām, jilid 2
(Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1961), 145.
[12]
¹² Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ
(Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī, 1990), 77.
Daftar Pustaka
Aḥmad Amīn. (1961). Ḍuḥā al-Islām (Jilid 2).
Kairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah.
Aḥmad Amīn. (1969). Fajr al-Islām. Kairo:
Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah.
al-Fārābī. (1969). Kitāb al-Ḥurūf (ed.
Muḥsin Mahdī). Beirut: Dār al-Mashriq.
al-Jāḥiẓ. (1968). al-Bayān wa al-Tabyīn (ed.
ʿAbd al-Salām Muḥammad Hārūn). Kairo: Maktabat al-Khānijī.
al-Khaṭīb al-Qazwīnī. (1998). al-Īḍāḥ fī ʿUlūm
al-Balāghah (ed. ʿAbd al-Raḥmān al-Barqūqī). Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah.
al-Qazwīnī. (1993). Talkhīṣ al-Miftāḥ.
Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
al-Rāzī. (1999). al-Maḥṣūl fī ʿIlm al-Uṣūl.
Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
al-Sakkākī. (1987). Miftāḥ al-ʿUlūm. Kairo:
Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
al-Suyūṭī. (1996). al-Itqān fī ʿUlūm al-Qurʾān.
Beirut: Dār al-Fikr.
al-Suyūṭī. (1998). al-Mazhar fī ʿUlūm al-Lughah
wa Anwāʿihā (ed. Fuʾād ʿAlī Manṣūr). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
al-Zamakhsharī. (1987). al-Kashshāf ʿan Ḥaqāʾiq
al-Tanzīl. Beirut: Dār al-Maʿrifah.
al-Zarkashī. (1957). al-Burhān fī ʿUlūm
al-Qurʾān. Kairo: Dār al-Maʿrifah.
Amīn al-Khūlī. (1962). Manāhij al-Tajdīd fī
al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab. Kairo: Dār al-Maʿārif.
ʿAbd al-ʿAzīz ʿAṭiyyah. (1980). al-Balāghah wa
al-Naqd fī al-ʿAṣr al-ʿAbbāsī. Kairo: Dār al-Maʿārif.
ʿAbd al-Ḥamīd ʿAṭiyyah. (2010). al-Taʿlīm
al-Balāghī fī al-Maʿāhid al-ʿArabiyyah. Kairo: Dār al-Fikr.
ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī. (1992). Dalā’il
al-Iʿjāz (ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir). Kairo: Dār al-Madanī.
ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī. (1992). Asrār
al-Balāghah (ed. Maḥmūd Muḥammad Shākir). Kairo: Dār al-Madanī.
ʿAbd al-Raḥmān Badawī. (1984). Madkhal ilā
al-Turāth al-ʿArabī. Beirut: Dār al-ʿIlm lil-Malāyīn.
ʿAbd al-Raḥmān Ḥasan Ḥabannakah al-Maydānī. (1996).
al-Balāghah al-ʿArabiyyah: Ususuhā wa ʿUlūmuhā. Damaskus: Dār al-Qalam.
ʿAbd al-Raḥmān ʿImārah. (2004). al-Fikr
al-Islāmī wa Qadāyā al-ʿAṣr. Kairo: Dār al-Shurūq.
Aḥmad al-Ḥāfiẓ. (1975). Tārīkh al-Adab al-ʿArabī.
Kairo: Dār al-Maʿārif.
Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of
Syntax. Cambridge, MA: MIT Press.
George Lakoff & Johnson, M. (1980). Metaphors
We Live By. Chicago: University of Chicago Press.
Ḥāmid Ṭāhir. (1984). al-Lughah wa al-Manṭiq wa
al-Falsafah. Kairo: Dār al-Maʿārif.
Ḥasan al-ʿAskarī. (2005). Manāhij al-Balāghiyyīn.
Beirut: Dār al-Fikr al-ʿArabī.
Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors
We Live By. Chicago: University of Chicago Press.
Muḥammad ʿAbd al-Karīm al-Khaṭīb. (1963). al-Iʿjāz
al-Bayānī li al-Qurʾān. Kairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī.
Muḥammad ʿAbd al-Munʿim Khafājī. (1980). ʿIlm
al-Balāghah: al-Bayān wa al-Maʿānī wa al-Badīʿ. Kairo: Dār al-Fikr
al-ʿArabī.
Muḥammad ʿĀbid al-Jābirī. (1988). Takwīn al-ʿAql
al-ʿArabī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah.
Muḥammad al-Ṭanṭāwī. (1984). al-Talkhīṣ fī ʿUlūm
al-Balāghah. Kairo: Dār al-Maʿārif.
Muḥammad ʿImārah. (2004). al-Fikr al-Islāmī wa
Qadāyā al-ʿAṣr. Kairo: Dār al-Shurūq.
Naṣr Ḥāmid Abū Zayd. (1990). Mafhūm al-Naṣ.
Beirut: al-Markaz al-Thaqāfī al-ʿArabī.
Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of
Modern Man. London: Allen and Unwin.
Nasr, S. H. (1981). Knowledge and the Sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Paul Ricoeur. (1976). Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian
University Press.
Paul Ricoeur. (1981). Hermeneutics and the Human
Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.
Ṭāriq al-Sayyid. (2019). al-Balāghah wa al-Iʿlām
al-Raqmī. Kairo: Dār al-ʿIlm.
ʿAlī al-Qaradāghī. (2018). al-Balāghah
al-Islāmiyyah fī ʿAṣr al-Maʿrifah. Doha: Dār al-Thaqāfah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar