Sabtu, 08 November 2025

Al-Sulūk Al-‘Irfānī: Perjalanan Eksistensial dari Ketidaktahuan Menuju Penyaksian Tuhan

Al-Sulūk Al-‘Irfānī

Perjalanan Eksistensial dari Ketidaktahuan Menuju Penyaksian Tuhan


Alihkan ke: Metafisika Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara mendalam konsep al-sulūk al-‘irfānī sebagai perjalanan eksistensial manusia dari ketidaktahuan menuju penyaksian Ilahi (tajallī Allāh) dalam tradisi filsafat dan spiritualitas Islam. Melalui pendekatan filosofis-historis, tulisan ini mengurai tiga tahap utama perjalanan spiritual—takhallī (penyucian diri), taḥallī (penghiasan diri dengan sifat-sifat Ilahi), dan tajallī (penyingkapan realitas Tuhan dalam kesadaran)—sebagai struktur epistemik, ontologis, dan aksiologis yang saling terhubung. Kajian ini menunjukkan bahwa al-sulūk al-‘irfānī bukan sekadar praktik mistik individual, tetapi juga sistem pengetahuan yang mengintegrasikan rasionalitas, etika, dan spiritualitas dalam satu kesatuan tauhid.

Dari perspektif ontologis, manusia dipahami sebagai cermin Ilahi yang berpotensi memantulkan seluruh tingkat wujud; secara epistemologis, pengetahuan sejati (ma‘rifah) dicapai melalui pencerahan batin (‘ilm ḥuḍūrī) yang melampaui logika diskursif; sedangkan secara aksiologis, moralitas Ilahi menjadi manifestasi dari kesadaran tauhid. Artikel ini juga mengkaji dimensi sosial, kultural, dan ekologis dari al-sulūk al-‘irfānī, menegaskan relevansinya terhadap krisis makna, degradasi moral, dan disintegrasi spiritual manusia modern.

Melalui perbandingan dengan Neoplatonisme, Vedānta, Buddhisme Mahāyāna, dan mistisisme Kristen, al-sulūk al-‘irfānī ditunjukkan sebagai paradigma spiritual universal yang menegaskan keseimbangan antara transendensi dan immanensi. Sintesis filosofis yang dihasilkan menggambarkan ‘irfān sebagai bentuk filsafat eksistensial Islam yang menyatukan wujud, pengetahuan, dan nilai dalam satu poros kesadaran Ilahi. Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī tidak hanya menjadi jalan mistik, tetapi juga menjadi kerangka metafisika dan etika bagi pembentukan manusia paripurna (al-insān al-kāmil) yang hidup dalam kesadaran, cinta, dan tanggung jawab kosmik.

Kata Kunci: al-sulūk al-‘irfānī, takhallī, taḥallī, tajallī, filsafat Islam, ma‘rifah, ontologi wujud, etika Ilahi, kesadaran eksistensial, al-insān al-kāmil.


PEMBAHASAN

Bagaimana Proses Takhallī, Taḥallī, dan Tajallī Menggambarkan Dinamika Spiritual Menuju Penyaksian Tuhan (Mushāhadah)?


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah intelektual Islam, al-sulūk al-‘irfānī menempati posisi sentral sebagai jalan spiritual dan eksistensial menuju penyaksian Tuhan (mushāhadah). Istilah sulūk secara etimologis berarti “menempuh jalan,” dan secara terminologis merujuk pada proses perjalanan batin seorang salik (pejalan spiritual) dari kegelapan ketidaktahuan menuju cahaya pengetahuan Ilahi.¹ Perjalanan ini bukan sekadar praktik asketis, melainkan transformasi ontologis yang melibatkan perubahan kesadaran, moralitas, dan makna eksistensi manusia di hadapan Tuhan. Dalam konteks ‘irfānī, sulūk tidak berhenti pada dimensi moral-psikologis, melainkan mengarah pada realisasi kesatuan eksistensial antara makhluk dan Sang Pencipta.

Tradisi ‘irfān (gnosis Islam) menafsirkan realitas sebagai pancaran (tajallī) dari wujud Ilahi.² Karena itu, jalan spiritual ini menuntut tiga tahapan utama: takhallī (penyucian diri dari sifat-sifat tercela), taḥallī (penghiasan diri dengan sifat-sifat ilahi), dan tajallī (penampakan realitas Ilahi dalam kesadaran).³ Ketiga tahap ini bukan sekadar urutan moral, melainkan struktur epistemik dan ontologis dari kesadaran manusia dalam perjalanan menuju kebenaran absolut (al-Ḥaqq). Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī dapat dipahami sebagai dinamika dialektis antara transendensi dan immanensi: manusia menempuh jalan menuju Tuhan melalui proses penyucian eksistensi dirinya yang semula terikat oleh ilusi dualitas.

Dalam sejarah pemikiran Islam, gagasan sulūk telah mendapatkan artikulasi mendalam dari para sufi dan filosof mistik, seperti al-Ghazālī, al-Suhrawardī, dan Ibn ‘Arabī.⁴ Al-Ghazālī menempatkan sulūk sebagai proses tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) yang berujung pada ma‘rifah, sementara al-Suhrawardī melihatnya sebagai iluminasi batin yang membuka jalan bagi penyaksian hakikat cahaya.⁵ Ibn ‘Arabī melangkah lebih jauh dengan menjelaskan bahwa seluruh proses sulūk adalah perjalanan Tuhan di dalam diri manusia—yakni tajallī Tuhan melalui bentuk eksistensial manusia.⁶

Kajian terhadap al-sulūk al-‘irfānī menjadi semakin relevan dalam konteks modern, ketika manusia mengalami krisis makna dan alienasi spiritual akibat dominasi rasionalitas instrumental. Dalam situasi ini, sulūk menawarkan model transformasi kesadaran yang memadukan pengetahuan rasional dengan pengalaman intuitif, sehingga membuka ruang bagi pemahaman baru tentang spiritualitas eksistensial.⁷ Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan secara filosofis struktur ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari al-sulūk al-‘irfānī, dengan menyoroti integrasi antara dimensi penyucian, penghiasan, dan penyingkapan dalam perjalanan menuju Tuhan.


Footnotes

[1]                ¹ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 106.

[2]                ² Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 125.

[3]                ³ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 214–217.

[4]                ⁴ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 121.

[5]                ⁵ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1976), 45–48.

[6]                ⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 56–58.

[7]                ⁷ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 12.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Konsep al-sulūk al-‘irfānī tidak muncul secara tiba-tiba dalam khazanah intelektual Islam. Ia berakar pada fondasi Qur’ani dan kenabian yang menekankan perjalanan spiritual sebagai jalan menuju pengetahuan Ilahi (ma‘rifah). Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang dipanggil untuk mengenal Tuhan melalui proses penyucian jiwa: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (QS al-Syams [91] ayat 9–10).¹ Ayat ini menjadi dasar bagi tradisi tazkiyah al-nafs, yang kemudian berkembang menjadi landasan moral dan spiritual bagi seluruh bentuk sulūk dalam tasawuf Islam. Nabi Muhammad Saw sendiri memberikan teladan dalam hal ini melalui praktik khalwah (penyendirian), dzikr, dan muraqabah, yang oleh generasi sahabat dan tabi‘in ditransformasikan menjadi metodologi spiritual.²

2.1.       Awal Mula dalam Tradisi Sufi Klasik

Pada abad ke-2 dan ke-3 H, sulūk mulai memperoleh struktur konseptual yang lebih sistematis melalui para sufi awal seperti al-Ḥasan al-Baṣrī, Rābi‘ah al-‘Adawiyyah, dan al-Muḥāsibī.³ Mereka menafsirkan sulūk sebagai jalan menuju maḥabbah (cinta Ilahi) dan ma‘rifah, yang menuntut penyucian diri dari hawa nafsu dan keterikatan duniawi. Pada tahap ini, sulūk dipahami sebagai asketisme spiritual (zuhd) yang berfokus pada kontrol diri dan ketaatan kepada Tuhan.⁴ Al-Muḥāsibī dalam al-Ri‘āyah li Ḥuqūq Allāh menekankan pentingnya muhasabah diri sebagai tahap awal takhallī, sementara al-Junayd al-Baghdādī kemudian memperluasnya menjadi perjalanan menuju kesadaran tauhid yang sejati.⁵

2.2.       Integrasi Metafisika dan ‘Irfān: Peran Al-Ghazālī dan Al-Suhrawardī

Periode klasik lanjut (abad ke-5–6 H) menandai integrasi antara tasawuf dan filsafat yang melahirkan paradigma ‘irfānī. Abū Ḥāmid al-Ghazālī menjadi figur sentral yang menjembatani moralitas sufistik dengan epistemologi rasional. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ia menguraikan sulūk sebagai proses bertahap dari takhallī hingga tajallī, yang berpuncak pada ma‘rifah—suatu pengetahuan langsung terhadap realitas Ilahi.⁶ Al-Ghazālī menolak pandangan ekstrem rasionalisme filosofis dan formalisme fikih dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya tercapai melalui penyinaran batin (nūr al-qalb) yang dianugerahkan oleh Tuhan.⁷

Setelahnya, Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī (w. 587 H) mengembangkan hikmat al-ishrāq (filsafat iluminasi) yang memandang realitas sebagai hierarki cahaya.⁸ Dalam sistem ini, sulūk menjadi proses ontologis di mana jiwa manusia menempuh jalan kembali menuju Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala Cahaya).⁹ Suhrawardī mengintegrasikan simbolisme sufistik dengan metafisika Neoplatonik, sehingga ‘irfān memperoleh bentuk filosofis yang lebih sistematik. Dengan demikian, sulūk tidak lagi dipandang sekadar sebagai latihan spiritual, melainkan sebagai jalan pencerahan eksistensial yang menyingkap hakikat wujud.

2.3.       Klimaks Genealogis: Ibn ‘Arabī dan Filsafat Wahdat al-Wujūd

Pemikiran Ibn ‘Arabī (w. 638 H) membawa al-sulūk al-‘irfānī mencapai puncak sistematiknya. Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam dan al-Futūḥāt al-Makkiyyah, ia menjelaskan bahwa sulūk merupakan ekspresi dinamis dari tajallī Ilahi di alam kesadaran manusia.¹⁰ Tahapan takhallī dan taḥallī bukan sekadar moral, tetapi transformasi eksistensial yang mempersiapkan diri untuk menyaksikan al-Ḥaqq dalam segala manifestasinya. Menurut Ibn ‘Arabī, salik sejati menyadari bahwa seluruh wujud adalah manifestasi Tuhan, dan perjalanan spiritual pada hakikatnya adalah perjalanan Tuhan di dalam diri manusia.¹¹

Dengan gagasan wahdat al-wujūd (kesatuan wujud), Ibn ‘Arabī menggabungkan dimensi teologis, metafisis, dan psikologis dari sulūk ke dalam satu sistem ontologis yang utuh.¹² Inilah yang kemudian menjadi landasan bagi tradisi ‘irfān falsafī di dunia Islam Timur (Iran, Turki, India), terutama melalui karya Mullā Ṣadrā yang menafsirkan sulūk sebagai gerak substansial jiwa menuju kesempurnaan (al-ḥarakah al-jawhariyyah).¹³

2.4.       Perbandingan dan Penyerapan Lintas Tradisi

Genealogi al-sulūk al-‘irfānī juga memperlihatkan dialog produktif dengan tradisi mistik lain. Unsur-unsur konseptual seperti “naik turun jiwa” dalam Neoplatonisme Plotinus atau pembersihan diri dalam Vedānta dapat ditemukan dalam kerangka serupa dengan takhallī dan tajallī.¹⁴ Namun, keunikan ‘irfān Islam terletak pada kesatuan antara pengetahuan dan penyembahan (‘ilm dan ‘ubūdiyyah), di mana setiap tahap sulūk tidak pernah memisahkan antara pengalaman mistik dan etika tauhid.¹⁵

Dengan demikian, secara historis dan genealogis, al-sulūk al-‘irfānī merupakan hasil sintesis antara spiritualitas Qur’ani, praksis tasawuf klasik, dan refleksi metafisik filsafat Islam. Ia bukan hanya representasi pengalaman mistik, tetapi juga ekspresi tertinggi dari upaya manusia untuk memahami eksistensi dirinya dalam horizon keilahian.


Footnotes

[1]                ¹ Al-Qur’an, QS al-Syams [91] ayat 9–10.

[2]                ² Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources (Cambridge: Islamic Texts Society, 1983), 35–37.

[3]                ³ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 22–25.

[4]                ⁴ Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge, 1963), 41.

[5]                ⁵ al-Muḥāsibī, al-Ri‘āyah li Ḥuqūq Allāh (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1964), 17–19.

[6]                ⁶ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 298–301.

[7]                ⁷ Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Ash‘arite School,” Dumbarton Oaks Papers 37 (1983): 125–127.

[8]                ⁸ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1976), 44.

[9]                ⁹ Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 63–66.

[10]             ¹⁰ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 2 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 243–246.

[11]             ¹¹ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 57–61.

[12]             ¹² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 142.

[13]             ¹³ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 89–93.

[14]             ¹⁴ Pierre Hadot, Plotinus or the Simplicity of Vision (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 56–59.

[15]             ¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 116.


3.           Ontologi al-Sulūk al-‘Irfānī

Secara ontologis, al-sulūk al-‘irfānī merupakan proses transformasi wujud manusia menuju kesadaran Ilahi yang lebih tinggi. Dalam pandangan ini, manusia tidak hanya dipahami sebagai entitas biologis atau rasional, tetapi sebagai wujūd nāṭiq rūḥānī—makhluk yang memiliki potensi untuk menyingkap hakikat realitas melalui pembersihan eksistensinya.¹ Ontologi sulūk berakar pada kesadaran bahwa seluruh keberadaan adalah manifestasi dari Wujud Tunggal (al-wujūd al-muṭlaq), dan bahwa perjalanan spiritual sejati adalah kembalinya wujud partikular manusia menuju sumber segala realitas tersebut.²

3.1.       Hakikat Wujud dan Martabat Eksistensi

Dalam kerangka ‘irfānī, realitas tertinggi adalah Tuhan sebagai al-Ḥaqq, yang menjadi sumber dan penopang segala yang ada. Wujud segala sesuatu merupakan pancaran atau manifestasi dari Wujud Ilahi melalui proses tajallī.³ Dengan demikian, alam semesta bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan penyingkapan bertingkat dari eksistensi Ilahi yang tak terbatas. Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa “Tuhan menampakkan diri-Nya melalui bentuk-bentuk makhluk agar Dia dapat dikenal,”⁴ dan oleh karenanya, proses sulūk sejatinya merupakan jalan kembali dari keragaman bentuk menuju kesatuan wujud.

Dalam konteks ini, manusia menduduki posisi ontologis yang istimewa sebagai cermin Ilahi (mir’āt al-ḥaqq). Ia adalah tempat penampakan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, yang menjadikannya subjek sekaligus objek dari perjalanan eksistensial ini.⁵ Ontologi al-sulūk al-‘irfānī memandang bahwa transformasi spiritual hanya mungkin terjadi bila manusia menyadari kedudukan ontologisnya—bahwa ia adalah partisipan dalam realitas Ilahi, bukan entitas yang terpisah dari-Nya.

3.2.       Takhallī, Taḥallī, dan Tajallī sebagai Transformasi Ontologis

Tiga tahap utama dalam sulūktakhallī, taḥallī, dan tajallī—dapat dipahami sebagai struktur ontologis dari proses keberadaan manusia. Takhallī menandai peniadaan wujud egoistik (nafs ammārah), yang masih terikat oleh dualitas dan keterbatasan duniawi.⁶ Pada tahap ini, salik menempuh proses “negasi ontologis,” yaitu mengosongkan diri dari segala sifat yang bukan berasal dari Tuhan. Proses ini sejalan dengan prinsip lā ilāha, penafian segala bentuk keberadaan selain Tuhan.

Tahap taḥallī kemudian menjadi afirmasi dari aspek Ilahi dalam diri manusia, yakni penghayatan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (asmā’ Allāh al-ḥusnā) dalam kesadaran dan tindakan.⁷ Secara ontologis, ini adalah proses partisipasi dalam realitas Wujud Mutlak—transformasi dari ketiadaan eksistensial menuju eksistensi yang bercahaya. Sedangkan tajallī merupakan puncak dari perjalanan ini: penyaksian realitas Ilahi secara langsung di mana subjek dan objek lenyap dalam kesatuan pengalaman.⁸ Dalam keadaan ini, manusia tidak lagi memandang dirinya sebagai sesuatu yang terpisah dari Tuhan, tetapi sebagai cermin yang memantulkan keberadaan-Nya secara sempurna.

3.3.       Relasi Tuhan dan Makhluk: Wahdat al-Wujūd dan Wahdat al-Shuhūd

Ontologi al-sulūk al-‘irfānī secara historis diartikulasikan melalui dua paradigma besar: wahdat al-wujūd (kesatuan wujud) dan wahdat al-shuhūd (kesatuan penyaksian). Ibn ‘Arabī meletakkan dasar wahdat al-wujūd dengan menyatakan bahwa tidak ada realitas hakiki selain Tuhan; semua yang lain hanyalah bentuk manifestasi dari Wujud-Nya.⁹ Sementara Aḥmad Sirhindī dalam tradisi India menekankan wahdat al-shuhūd, yakni bahwa kesatuan itu terjadi dalam ranah kesadaran (shuhūd), bukan dalam realitas ontologis itu sendiri.¹⁰

Dua pandangan ini saling melengkapi dalam menjelaskan dinamika sulūk: dalam tataran kesadaran, salik mengalami penyingkapan yang seolah-olah menghapus jarak antara dirinya dan Tuhan; namun dalam tataran ontologis, ia tetap menyadari keterbatasan dirinya sebagai makhluk.¹¹ Kesadaran ganda ini menjadi inti dari pengalaman tajallī, di mana Tuhan menyingkap diri-Nya tanpa kehilangan transendensi-Nya.

3.4.       Manusia sebagai Poros Ontologis: al-Insān al-Kāmil

Puncak sulūk adalah realisasi al-insān al-kāmil (manusia sempurna), yang merupakan manifestasi tertinggi dari kesempurnaan Ilahi dalam eksistensi manusia.¹² Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, manusia sempurna adalah mikrokosmos yang memantulkan seluruh martabat wujud, menjembatani antara Tuhan dan alam.¹³ Dengan demikian, sulūk bukan sekadar proses penyucian moral, tetapi perjalanan ontologis yang mengaktualisasikan potensi Ilahi dalam diri manusia.

Konsep al-insān al-kāmil juga menjadi prinsip kosmologis: melalui kesempurnaan manusia, seluruh ciptaan menemukan maknanya.¹⁴ Oleh sebab itu, al-sulūk al-‘irfānī memandang manusia bukan hanya sebagai pencari Tuhan, tetapi juga sebagai tempat di mana Tuhan menyingkap diri-Nya. Ini merupakan penegasan tertinggi dari ontologi Islam, bahwa wujud adalah satu, dan perjalanan menuju Tuhan adalah perjalanan dari Tuhan, melalui Tuhan, dan kembali kepada Tuhan.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 57.

[2]                ² Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 101.

[3]                ³ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 47–48.

[4]                ⁴ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 121.

[5]                ⁵ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 142–144.

[6]                ⁶ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 214–216.

[7]                ⁷ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 302–305.

[8]                ⁸ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 56–58.

[9]                ⁹ Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 90–92.

[10]             ¹⁰ Aḥmad Sirhindī, Maktūbāt-e Imām Rabbānī, vol. 1 (Lahore: Majlis-e Isha‘at-e Islām, 1973), 44–46.

[11]             ¹¹ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 282–284.

[12]             ¹² Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 131.

[13]             ¹³ William Chittick, The Perfect Man: Studies in Ibn al-‘Arabī’s Concept of the Microcosm (London: KPI, 1982), 17–20.

[14]             ¹⁴ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 153–154.

[15]             ¹⁵ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 201–203.


4.           Epistemologi dan Proses Pencerahan

Epistemologi al-sulūk al-‘irfānī menempatkan pengetahuan (ma‘rifah) bukan sekadar hasil dari proses kognitif rasional, tetapi sebagai buah dari pencerahan eksistensial. Dalam tradisi ini, pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui representasi intelektual, melainkan melalui transformasi kesadaran yang mengantarkan manusia pada penyaksian langsung terhadap realitas Ilahi.¹ Pengetahuan menjadi identik dengan penyatuan (ittiḥād) antara subjek dan objek, di mana yang mengetahui dan yang diketahui melebur dalam satu kesadaran Ilahi.² Dengan demikian, epistemologi ‘irfānī melampaui batasan epistemologi diskursif dan proposisional yang lazim dalam filsafat rasional.

4.1.       Hakikat Ma‘rifah dan Hirarki Pengetahuan

Dalam pandangan para sufi, ma‘rifah merupakan bentuk pengetahuan yang tertinggi, diperoleh bukan melalui akal semata, tetapi melalui pembersihan hati (qalb) sebagai wadah pancaran cahaya Ilahi.³ Al-Qur’an menegaskan: “Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarkan kepadamu” (QS al-Baqarah [2] ayat 282), yang menunjukkan hubungan langsung antara kesucian batin dan penerimaan pengetahuan.⁴ Al-Ghazālī menegaskan bahwa pengetahuan semacam ini adalah ‘ilm ladunnī—pengetahuan yang diberikan langsung oleh Tuhan tanpa perantara.⁵

Para arif membagi hirarki pengetahuan ke dalam tiga tingkatan epistemik: ‘ilm al-yaqīn (pengetahuan berdasarkan dalil), ‘ayn al-yaqīn (pengetahuan melalui penyaksian), dan ḥaqq al-yaqīn (pengetahuan melalui penyatuan dengan kebenaran).⁶ Tingkatan pertama dicapai melalui argumentasi rasional, tingkatan kedua melalui pengalaman batin, dan tingkatan ketiga melalui realisasi ontologis di mana pengetahuan menjadi bagian dari wujud itu sendiri. Dalam struktur ini, ‘ilm bersifat konseptual, ‘ayn bersifat intuitif-visioner, dan ḥaqq bersifat eksistensial.

4.2.       Peran Intuisi dan Dzikir sebagai Jalan Pencerahan

Proses epistemik dalam sulūk tidak bersandar pada logika diskursif, melainkan pada pembersihan batin dan kehadiran hati. Dzikir, kontemplasi (tafakkur), dan muraqabah merupakan sarana utama dalam membuka tabir kesadaran.⁷ Ibn ‘Arabī menyebut proses ini sebagai kashf—penyingkapan yang terjadi ketika hijab antara kesadaran manusia dan realitas Ilahi tersingkap.⁸ Dalam momen kashf, pengetahuan hadir tanpa mediasi simbol, tanpa perantara bahasa atau konsep.

Menurut Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, intuisi (dhawq) adalah sumber pengetahuan tertinggi yang melampaui akal konseptual.⁹ Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, ia menjelaskan bahwa cahaya Ilahi menyinari jiwa yang telah suci, sehingga pengetahuan muncul sebagai iluminasi, bukan inferensi.¹⁰ Ini selaras dengan pandangan Ibn Sīnā tentang ‘ilm ḥuḍūrī (pengetahuan hadiriah), yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kehadiran langsung objek dalam kesadaran, bukan melalui representasi.¹¹ Epistemologi ‘irfānī dengan demikian menegaskan bahwa pencerahan sejati hanya dapat dicapai melalui penjernihan eksistensi dan keterbukaan terhadap penyinaran Ilahi.

4.3.       Hubungan antara Rasio, Wahyu, dan Intuisi

Salah satu keunikan epistemologi ‘irfānī ialah kemampuannya menyatukan tiga sumber pengetahuan: rasio (‘aql), wahyu (waḥy), dan intuisi (dhawq).¹² Rasio berfungsi sebagai alat verifikasi, wahyu sebagai petunjuk objektif, dan intuisi sebagai pengalaman langsung terhadap realitas spiritual.¹³ Dalam kerangka ini, akal tidak ditolak, tetapi ditundukkan pada cahaya hati; ia berfungsi bukan sebagai penguasa kebenaran, melainkan sebagai pelayan kebenaran yang disingkap oleh Ilahi.

Al-Ghazālī menjelaskan bahwa rasio hanyalah tangga awal menuju pengetahuan sejati; ketika seseorang telah mencapai ma‘rifah, ia meninggalkan rasio sebagaimana pelaut meninggalkan perahu setelah tiba di pantai.¹⁴ Ibn ‘Arabī pun menegaskan bahwa wahyu dan intuisi berasal dari sumber yang sama—Tuhan—namun wahyu bersifat universal dan normatif, sedangkan intuisi bersifat personal dan eksistensial.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi ‘irfānī bukanlah anti-rasional, melainkan supra-rasional: ia menempatkan akal dalam harmoni dengan intuisi dan wahyu sebagai jalan menuju kesatuan pengetahuan.

4.4.       Pencerahan dan Transformasi Kesadaran

Proses pencerahan (tanwīr) dalam al-sulūk al-‘irfānī adalah transformasi kesadaran dari tingkat empiris menuju kesadaran Ilahi. Dalam kerangka ini, pengetahuan bukan sekadar “memiliki” kebenaran, tetapi “menjadi” kebenaran itu sendiri.¹⁶ Ketika salik mencapai tahap tajallī, ia tidak lagi memandang Tuhan sebagai objek pengetahuan eksternal, melainkan sebagai realitas yang hadir dalam dirinya. Ini sesuai dengan hadis qudsi: “Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan penglihatannya yang dengannya ia melihat.”¹⁷

Epistemologi ‘irfānī dengan demikian bersifat performatif dan eksistensial: mengetahui berarti berubah.¹⁸ Proses takhallī menghapus ilusi dualitas pengetahuan, taḥallī menumbuhkan kesadaran Ilahi, dan tajallī menyempurnakan pencerahan di mana pengetahuan, eksistensi, dan cinta bersatu dalam satu titik kesadaran Ilahi.¹⁹ Dalam titik puncak ini, ma‘rifah bukanlah sekadar hasil dari perjalanan, melainkan realitas yang mengubah seluruh dimensi keberadaan manusia.


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 69–71.

[2]                ² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 221.

[3]                ³ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 294–296.

[4]                ⁴ Al-Qur’an, QS al-Baqarah [2] ayat 282.

[5]                ⁵ Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Theory of ‘Ilm Ladunni,” Studia Islamica 57 (1983): 31–33.

[6]                ⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 102–103.

[7]                ⁷ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 216–218.

[8]                ⁸ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 87–88.

[9]                ⁹ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1976), 62–64.

[10]             ¹⁰ Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 71–72.

[11]             ¹¹ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 28–31.

[12]             ¹² Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 141.

[13]             ¹³ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton: Princeton University Press, 1960), 187–189.

[14]             ¹⁴ al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1969), 45.

[15]             ¹⁵ Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 156–158.

[16]             ¹⁶ Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 89–90.

[17]             ¹⁷ Hadis Qudsi, dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Riqāq, no. 6502.

[18]             ¹⁸ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 295.

[19]             ¹⁹ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 211–213.


5.           Aksiologi dan Orientasi Etis

Dimensi aksiologis al-sulūk al-‘irfānī memusatkan perhatian pada nilai, tujuan, dan orientasi moral dari perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan. Dalam kerangka ini, etika bukanlah sekadar norma perilaku sosial, tetapi manifestasi langsung dari kesadaran ontologis yang telah tercerahkan.¹ Nilai-nilai moral muncul sebagai refleksi dari tingkat pencerahan batin; semakin tinggi tingkat ma‘rifah, semakin luhur pula perilaku etis yang dihasilkan. Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī memandang bahwa realisasi pengetahuan Ilahi (ma‘rifah Allāh) niscaya berimplikasi pada pembentukan moralitas Ilahiah (akhlaq rabbāniyyah).

5.1.       Etika Penyucian Diri (Takhallī)

Tahap awal dalam aksiologi sulūk adalah takhallī, yaitu pembersihan diri dari sifat-sifat tercela (al-radhā’il) yang menutupi cahaya fitrah manusia.² Proses ini tidak hanya berorientasi moral, tetapi juga ontologis, sebab setiap sifat buruk meneguhkan keterpisahan antara manusia dan Tuhan. Al-Ghazālī menegaskan bahwa takhallī adalah “pengosongan wadah hati agar dapat diisi oleh cahaya kebenaran.”³ Dengan menyingkirkan keangkuhan, hasrat duniawi, dan cinta terhadap kekuasaan, salik membebaskan kesadarannya dari belenggu ego yang bersifat ilusif. Dalam konteks etika, takhallī menjadi landasan asketis yang menyiapkan individu untuk menapaki tahap-tahap moral yang lebih tinggi.

Etika takhallī juga mencerminkan prinsip Qur’ani: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (QS al-Syams [91] ayat 9–10).⁴ Penyucian jiwa bukanlah tindakan pasif, tetapi proses aktif yang menuntut refleksi diri, pengendalian hawa nafsu (mujāhadah), dan pembiasaan moral.⁵ Dalam pandangan ‘irfānī, kejahatan moral tidak lain adalah bentuk kebodohan ontologis—ketidaktahuan terhadap hakikat diri dan Tuhan. Karenanya, pembersihan moral adalah langkah epistemik menuju pengetahuan yang benar.

5.2.       Etika Penghiasan Diri (Taḥallī)

Setelah mengosongkan diri dari sifat tercela, salik melangkah ke tahap taḥallī, yakni penghiasan diri dengan sifat-sifat Ilahi (al-asmā’ al-ḥusnā).⁶ Etika taḥallī berakar pada hadis Nabi: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah” (takhallaqū bi-akhlāq Allāh), yang menegaskan bahwa tujuan moral tertinggi adalah meneladani sifat-sifat Tuhan dalam batas kemanusiaan.⁷

Dalam tahap ini, kesucian hati berbuah kebaikan yang bersifat spontan dan natural, bukan lagi hasil rekayasa kehendak. Manusia yang telah menghiasi diri dengan sifat raḥmah, ḥilm, ‘adl, dan ṣidq bukan hanya menjadi pribadi etis, tetapi juga saluran kasih Ilahi di dunia. Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa taḥallī adalah tahapan di mana “nama-nama Tuhan bertajallī melalui manusia,” sehingga etika menjadi refleksi dari kehadiran Ilahi dalam diri seseorang.⁸

Etika taḥallī juga mengandung dimensi sosial: seseorang yang telah mencapai kebeningan batin tidak akan mampu menolak keadilan dan kasih.⁹ Ia menjadi cermin Ilahi bagi masyarakatnya. Dalam perspektif aksiologis, inilah tahap di mana nilai-nilai moral berubah dari kewajiban normatif menjadi ekspresi eksistensial.

5.3.       Etika Penyaksian (Tajallī)

Tahap tajallī menandai puncak etika al-sulūk al-‘irfānī, di mana seluruh tindakan manusia berakar dari kesadaran tauhid.¹⁰ Pada tahap ini, moralitas tidak lagi dipandang sebagai serangkaian aturan eksternal, tetapi sebagai pancaran spontan dari kesadaran Ilahi yang menyatu dengan wujud. Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, manusia yang telah mencapai tajallī berperilaku bukan karena kewajiban, tetapi karena Tuhan “bertindak melalui dirinya.”¹¹

Etika tajallī bersifat kosmik dan transpersonal: ia melampaui batas keakuan serta membentuk relasi harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam.¹² Kesadaran akan kesatuan wujud (wahdat al-wujūd) melahirkan empati universal, sebab setiap makhluk dipandang sebagai manifestasi Ilahi yang layak dihormati. Dalam kerangka ini, tanggung jawab moral tidak hanya terbatas pada sesama manusia, tetapi juga meluas ke seluruh ciptaan.¹³

Dengan demikian, tajallī menghasilkan etika tauhid yang bersifat ekologis dan universal. Manusia yang tercerahkan tidak mungkin berbuat zalim terhadap sesama atau terhadap alam, sebab keduanya adalah cerminan Tuhan yang ia saksikan.¹⁴ Inilah puncak dari aksiologi ‘irfānī: kesatuan antara pengetahuan, cinta, dan tindakan yang berakar pada penyaksian Ilahi.

5.4.       Al-Insān al-Kāmil sebagai Orientasi Etis Tertinggi

Orientasi akhir dari al-sulūk al-‘irfānī adalah realisasi al-insān al-kāmil (manusia sempurna), sosok yang menjadi poros etika kosmis.¹⁵ Dalam dirinya terhimpun seluruh nama dan sifat Tuhan, sehingga ia berfungsi sebagai jembatan antara transendensi dan immanensi. Al-insān al-kāmil bukan sekadar ideal moral, melainkan telos dari seluruh eksistensi manusia: menjadi refleksi kesempurnaan Ilahi dalam dunia fenomenal.¹⁶

Dalam tataran praksis, konsep ini menuntut orientasi moral yang dinamis—bukan moralitas statis berbasis larangan, melainkan moralitas kreatif berbasis cinta (maḥabbah) dan pengabdian (‘ubūdiyyah).¹⁷ Kesempurnaan etis tidak terletak pada ketaatan formal, tetapi pada integrasi antara ilmu, amal, dan kesadaran Ilahi. Oleh sebab itu, al-sulūk al-‘irfānī menegaskan bahwa etika tertinggi adalah rahmah—kasih yang universal, yang menembus batas agama, budaya, dan alam.¹⁸

Dengan demikian, dimensi aksiologis al-sulūk al-‘irfānī menunjukkan bahwa perjalanan spiritual bukan hanya transformasi batin, tetapi juga revolusi etis yang membentuk manusia menjadi wakil Ilahi di bumi (khalīfat Allāh fī al-arḍ).¹⁹


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 134–136.

[2]                ² al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 214–215.

[3]                ³ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 292–293.

[4]                ⁴ Al-Qur’an, QS al-Syams [91] ayat 9–10.

[5]                ⁵ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 47–48.

[6]                ⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 74–76.

[7]                ⁷ Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 31–33.

[8]                ⁸ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 112–113.

[9]                ⁹ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 95.

[10]             ¹⁰ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 83.

[11]             ¹¹ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 211.

[12]             ¹² Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 287.

[13]             ¹³ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 89–91.

[14]             ¹⁴ Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 104–106.

[15]             ¹⁵ William Chittick, The Perfect Man: Studies in Ibn al-‘Arabī’s Concept of the Microcosm (London: KPI, 1982), 21–22.

[16]             ¹⁶ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 129–130.

[17]             ¹⁷ al-Suhrawardī, ‘Awārif al-Ma‘ārif (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1966), 42–43.

[18]             ¹⁸ Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 175–176.

[19]             ¹⁹ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), 142.


6.           Dimensi Psikologis dan Eksistensial

Dimensi psikologis dan eksistensial al-sulūk al-‘irfānī menyoroti dinamika batin dan kesadaran manusia dalam perjalanan menuju penyaksian Tuhan. Proses sulūk bukan sekadar perjalanan moral atau intelektual, tetapi transformasi menyeluruh terhadap struktur kepribadian dan eksistensi manusia.¹ Dalam perspektif ini, aspek psikologis tidak dapat dipisahkan dari dimensi metafisik, sebab jiwa manusia merupakan cermin kecil dari tatanan wujud Ilahi.² Dengan demikian, seluruh tahapan takhallī, taḥallī, dan tajallī mencerminkan pergerakan eksistensial dari keterikatan terhadap ego menuju kebebasan spiritual dan kesadaran tauhid.

6.1.       Jiwa dan Dinamika Kesadaran dalam Sulūk

Tradisi ‘irfānī memahami manusia sebagai entitas berlapis yang terdiri atas nafs (jiwa egoistik), qalb (hati spiritual), rūḥ (jiwa Ilahi), dan sirr (rahasia terdalam kesadaran).³ Keempat lapisan ini membentuk medan psikologis yang menjadi ruang berlangsungnya sulūk. Tahap awal perjalanan spiritual melibatkan pergulatan antara nafs ammārah (jiwa yang memerintah kepada keburukan) dan potensi Ilahi dalam diri manusia.⁴

Dalam tahap takhallī, salik menempuh perjuangan batin (mujāhadah) melawan dominasi nafs ammārah melalui disiplin spiritual seperti dzikir, khalwah, dan puasa.⁵ Proses ini menyerupai terapi eksistensial yang bertujuan memurnikan kesadaran dari distorsi ego dan ketergantungan duniawi. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Ghazālī, “jiwa yang tidak dibersihkan akan menjadi cermin yang berdebu, yang tak mampu memantulkan cahaya Tuhan.”⁶ Pembersihan ini menandai awal kebangkitan kesadaran reflektif yang memungkinkan manusia menatap dirinya dalam cahaya Ilahi.

6.2.       Krisis Eksistensial dan Pengalaman Fana’

Proses sulūk sering kali disertai dengan krisis eksistensial yang mendalam, karena manusia dihadapkan pada kehancuran identitas egoistiknya. Pengalaman fana’ (peleburan diri dalam Tuhan) menggambarkan momen eksistensial di mana seluruh konstruksi “aku” runtuh, dan kesadaran memasuki ruang keheningan absolut.⁷ Ibn ‘Arabī memandang fana’ bukan sebagai kemusnahan ontologis, tetapi sebagai penyingkapan kesadaran tentang ketidakmandirian wujud manusia di hadapan Wujud Mutlak.⁸

Dalam perspektif psikologis, pengalaman fana’ dapat dipahami sebagai bentuk transendensi diri (self-transcendence) yang membebaskan manusia dari pusat egonya.⁹ Ernest Becker menyebut pengalaman spiritual semacam ini sebagai upaya manusia melampaui “teror eksistensi” yang ditimbulkan oleh kesadaran kematian dan keterbatasan.¹⁰ Namun, dalam konteks ‘irfānī, pelepasan diri bukanlah nihilisme, melainkan jalan menuju baqā’, yakni keberlanjutan kesadaran dalam Tuhan. Pada tahap baqā’, manusia hidup kembali dalam dimensi yang lebih tinggi—ia tidak lagi “memiliki” kesadaran, tetapi “menjadi” kesadaran itu sendiri.¹¹

6.3.       Kesadaran Reflektif dan Pengalaman Tajallī

Tahap tajallī menandai transformasi kesadaran dari refleksi terhadap Tuhan menuju partisipasi langsung dalam realitas Ilahi.¹² Dalam tahap ini, kesadaran manusia beralih dari mode dualistik—di mana Tuhan dipandang sebagai objek eksternal—menuju kesadaran unifatif yang menyadari bahwa seluruh wujud adalah penyingkapan Tuhan. Pengalaman tajallī bukanlah ilusi psikologis, tetapi bentuk tertinggi dari kesadaran reflektif yang mengatasi dikotomi subjek-objek.¹³

Menurut Henry Corbin, tajallī adalah “fenomena imaginal”—yakni bentuk kesadaran antara dunia inderawi dan dunia intelektual, di mana Tuhan menyingkap diri-Nya melalui citra batin yang hidup.¹⁴ Dalam kondisi ini, imajinasi tidak berfungsi sebagai khayalan, tetapi sebagai organ ontologis bagi persepsi realitas spiritual. Karena itu, kesadaran tajallī bersifat kreatif sekaligus partisipatif: manusia menjadi saksi sekaligus medium dari kehadiran Ilahi.

Secara psikologis, pengalaman tajallī menghasilkan ketenangan eksistensial (sakīnah) dan kebahagiaan batin yang bersumber dari kesadaran kesatuan wujud.¹⁵ Hal ini selaras dengan konsep nafs al-muṭma’innah dalam Al-Qur’an: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai” (QS al-Fajr [89] ayat 27–28).¹⁶ Dengan demikian, tajallī adalah puncak integrasi spiritual di mana kesadaran manusia mencapai keseimbangan sempurna antara keabadian dan kefanaan.

6.4.       Eksistensi Autentik dan Kebebasan Spiritual

Dalam terminologi eksistensialis, al-sulūk al-‘irfānī dapat dipahami sebagai proses menuju eksistensi autentik (authentic being). Kebebasan sejati tidak dicapai melalui afirmasi kehendak individual, tetapi melalui penyerahan diri total (taslīm) kepada realitas Ilahi.¹⁷ Dengan melepaskan keterikatan pada ego, manusia menemukan kebebasan ontologis: ia tidak lagi dikendalikan oleh ketakutan, ambisi, atau penilaian eksternal.¹⁸

Martin Heidegger menyebut kondisi ini sebagai Gelassenheit—“keterlepasan” yang membuka ruang bagi kehadiran realitas transenden.¹⁹ Dalam konteks ‘irfānī, konsep ini memiliki kesetaraan dengan ridā (kerelaan batin) dan tawakkul (kepercayaan total kepada Tuhan).²⁰ Jiwa yang mencapai keadaan ini tidak lagi beroperasi berdasarkan hasrat individual, melainkan dalam harmoni dengan kehendak kosmis. Kesadaran semacam ini menandai puncak transformasi eksistensial yang menjadikan manusia sebagai khalīfat Allāh, agen Ilahi yang bertindak berdasarkan pengetahuan dan cinta.²¹

Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī memandang transformasi psikologis sebagai inti dari perjalanan eksistensial. Ia mengajarkan bahwa pembebasan sejati tidak mungkin tanpa penyucian batin, dan penyaksian Tuhan tidak mungkin tanpa pembubaran ego.²² Melalui dinamika takhallī, taḥallī, dan tajallī, manusia menempuh jalur penyadaran diri yang berpuncak pada penemuan eksistensi Ilahi dalam dirinya sendiri—sebuah pencerahan yang mengubah seluruh makna “ada.”


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 114–116.

[2]                ² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 239.

[3]                ³ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 189–191.

[4]                ⁴ Al-Qur’an, QS Yūsuf [12] ayat 53.

[5]                ⁵ Abū Ṭālib al-Makkī, Qūt al-Qulūb, vol. 1 (Beirut: Dār Ṣādir, 1995), 73–75.

[6]                ⁶ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 291.

[7]                ⁷ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 269–272.

[8]                ⁸ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 86–88.

[9]                ⁹ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 145–146.

[10]             ¹⁰ Ernest Becker, The Denial of Death (New York: Free Press, 1973), 92–94.

[11]             ¹¹ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 217–218.

[12]             ¹² Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism (New York: HarperOne, 2007), 84.

[13]             ¹³ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 77–78.

[14]             ¹⁴ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 184–186.

[15]             ¹⁵ Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, 278.

[16]             ¹⁶ Al-Qur’an, QS al-Fajr [89] ayat 27–28.

[17]             ¹⁷ Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 142–144.

[18]             ¹⁸ Victor Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 109–111.

[19]             ¹⁹ Martin Heidegger, Discourse on Thinking, trans. John M. Anderson and E. Hans Freund (New York: Harper & Row, 1966), 55–57.

[20]             ²⁰ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 63.

[21]             ²¹ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 191–192.

[22]             ²² Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), 148.


7.           Dimensi Sosial dan Kultural

Dimensi sosial dan kultural al-sulūk al-‘irfānī menunjukkan bahwa perjalanan spiritual tidak berhenti pada pengalaman mistik individual, melainkan menembus wilayah sosial, budaya, dan peradaban. Dalam tradisi Islam klasik, sulūk bukanlah pelarian dari dunia, melainkan transformasi batin yang menumbuhkan etika sosial, solidaritas kemanusiaan, dan kepekaan terhadap dimensi kultural kehidupan.¹ Dengan demikian, ‘irfān tidak hanya membentuk manusia yang saleh secara pribadi, tetapi juga melahirkan tatanan sosial yang berakar pada kesadaran Ilahi dan nilai-nilai universal kemanusiaan.²

7.1.       Dari Pengalaman Individual ke Kesadaran Kolektif

Dalam perspektif ‘irfānī, pengalaman spiritual sejati meniscayakan tanggung jawab sosial. Seorang ‘ārif tidak hanya mengenal Tuhan dalam kesendirian, tetapi juga dalam wajah-wajah manusia dan realitas sosial. Ibn ‘Arabī menegaskan, “Tuhan menampakkan diri-Nya dalam segala bentuk; maka siapa yang mengenal-Nya, melihat-Nya di setiap wajah yang ia temui.”³ Dengan demikian, kesadaran tajallī memiliki implikasi sosial: setiap makhluk dipandang sebagai manifestasi Ilahi yang menuntut penghormatan dan kasih.

Proses takhallī dan taḥallī juga membawa dimensi sosial yang mendalam. Pembersihan diri (takhallī) membebaskan manusia dari keserakahan, kebencian, dan egoisme yang menjadi sumber konflik sosial.⁴ Sedangkan taḥallī, penghiasan diri dengan sifat-sifat Ilahi seperti kasih (raḥmah), keadilan (‘adl), dan kebijaksanaan (ḥikmah), melahirkan etika sosial yang berakar pada cinta dan empati.⁵ Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī dapat dibaca sebagai etika sosial transformatif yang menekankan perbaikan diri sebagai prasyarat perbaikan masyarakat.

7.2.       Tasawuf dan Integrasi Sosial

Sejarah Islam menunjukkan bahwa tasawuf berperan besar dalam pembentukan struktur sosial yang harmonis. Para sufi tidak hanya menjadi pembimbing spiritual, tetapi juga agen sosial yang membangun lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit, dapur umum, dan jaringan solidaritas lintas kelas.⁶ Dalam konteks ini, sulūk menjadi motor penggerak bagi tatanan sosial berbasis kasih dan keadilan.

Gerakan tarekat (ṭuruq) yang berkembang sejak abad ke-12, seperti Qādiriyyah, Naqsyabandiyyah, dan Syādhiliyyah, memperlihatkan dimensi sosial sulūk yang konkret.⁷ Para mursyid mengajarkan disiplin spiritual yang berpadu dengan pelayanan sosial, menegaskan bahwa jalan menuju Tuhan juga merupakan jalan pengabdian kepada umat manusia.⁸ Kesalehan dalam ‘irfān tidak diukur dari keterasingan dari dunia, tetapi dari sejauh mana seseorang menghadirkan sifat-sifat Ilahi di tengah masyarakat.⁹

Menurut Annemarie Schimmel, tasawuf berhasil mengubah kesalehan individual menjadi energi sosial yang mengikat komunitas melalui cinta dan solidaritas spiritual.¹⁰ Hal ini menjelaskan mengapa tradisi sufi sering menjadi sumber stabilitas sosial dan jembatan antarbudaya di dunia Islam, termasuk di Nusantara.

7.3.       Manifestasi Kultural dan Estetika Spiritual

Selain aspek sosial, al-sulūk al-‘irfānī juga memiliki pengaruh mendalam terhadap perkembangan budaya dan seni Islam. Estetika Islam pada dasarnya adalah ekspresi simbolik dari kesadaran tajallī—penampakan keindahan Ilahi dalam bentuk-bentuk duniawi.¹¹ Seni kaligrafi, arsitektur, musik, dan puisi sufi semuanya berakar pada prinsip bahwa keindahan adalah jalan menuju Tuhan (al-jamāl min al-ḥaqq).¹²

Puisi Jalāl al-Dīn Rūmī, misalnya, merupakan ekspresi kultural dari pengalaman fana’ dan baqā’, di mana cinta Ilahi menjadi prinsip penciptaan sekaligus penyatuan segala sesuatu.¹³ Musik sufi, seperti samā‘ dalam tarekat Mawlawiyyah, berfungsi sebagai medium pengalaman mistik kolektif—sebuah bentuk sulūk yang bersifat komunal.¹⁴ Dalam konteks ini, ‘irfān mempengaruhi dimensi budaya bukan melalui dogma, tetapi melalui resonansi spiritual yang menembus seni, bahasa, dan simbol-simbol kehidupan sehari-hari.

Di dunia Melayu-Nusantara, nilai-nilai sulūk diinternalisasi dalam karya sastra religius seperti Hikayat Nur Muhammad, Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, dan Serat Centhini di Jawa, yang menampilkan integrasi antara mistisisme Islam dan budaya lokal.¹⁵ Tradisi ini menunjukkan bahwa al-sulūk al-‘irfānī mampu beradaptasi dengan konteks kultural, tanpa kehilangan inti transendennya.

7.4.       Kesadaran Sosial dan Spiritualitas Publik

Dalam konteks modern, al-sulūk al-‘irfānī memiliki relevansi sebagai model spiritualitas publik yang menekankan kesadaran etis, keadilan sosial, dan harmoni ekologis. Seyyed Hossein Nasr menyebut bahwa krisis spiritual manusia modern tidak dapat diatasi melalui reformasi politik atau ekonomi semata, tetapi melalui transformasi batin kolektif yang menumbuhkan pandangan sakral terhadap kehidupan.¹⁶ Spiritualitas ‘irfānī mengajarkan bahwa perubahan sosial sejati harus dimulai dari kesadaran—dari individu yang tercerahkan yang kemudian menularkan cahayanya ke ruang publik.¹⁷

Etika sosial sulūk menolak kekerasan, keserakahan, dan dominasi atas nama agama, karena kesadaran tajallī menegaskan bahwa setiap wujud memiliki martabat Ilahi.¹⁸ Dalam kerangka ini, al-sulūk al-‘irfānī dapat berfungsi sebagai paradigma kultural untuk membangun masyarakat yang beradab—yakni masyarakat yang tidak hanya adil secara struktural, tetapi juga tercerahkan secara spiritual.


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 147–148.

[2]                ² Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 93.

[3]                ³ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 174.

[4]                ⁴ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 294.

[5]                ⁵ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 112.

[6]                ⁶ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 81–83.

[7]                ⁷ J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: Clarendon Press, 1971), 13–15.

[8]                ⁸ al-Suhrawardī, ‘Awārif al-Ma‘ārif (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1966), 53–54.

[9]                ⁹ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), 145.

[10]             ¹⁰ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 360–362.

[11]             ¹¹ Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 98.

[12]             ¹² Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987), 33–35.

[13]             ¹³ Jalāl al-Dīn Rūmī, Mathnawī-yi Ma‘nawī, ed. Reynold A. Nicholson, vol. 1 (London: E. J. W. Gibb Memorial, 1925), 47–49.

[14]             ¹⁴ Laleh Bakhtiar, Sufi: Expressions of the Mystic Quest (London: Thames & Hudson, 1976), 62–64.

[15]             ¹⁵ Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 132–135.

[16]             ¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 88.

[17]             ¹⁷ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 182–184.

[18]             ¹⁸ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 201–203.


8.           Perbandingan Filosofis

Dimensi perbandingan filosofis al-sulūk al-‘irfānī menyingkap keterkaitannya dengan berbagai tradisi mistik dan filosofis dunia. Walau berakar kuat dalam wahyu dan spiritualitas Islam, konsep perjalanan eksistensial dari ketidaktahuan menuju penyaksian Tuhan memiliki korespondensi dengan gagasan mistik dalam tradisi Neoplatonisme, Vedānta, Buddhisme Mahāyāna, dan mistisisme Kristen.¹ Melalui perbandingan ini, tampak bahwa al-sulūk al-‘irfānī merepresentasikan salah satu model universal dari pencarian manusia terhadap kesatuan ontologis dan kesadaran transenden.

8.1.       Pararelisme dengan Neoplatonisme dan Filsafat Yunani

Neoplatonisme, sebagaimana dirumuskan oleh Plotinus (204–270 M), memandang realitas tertinggi sebagai The One, sumber segala wujud yang tak terkatakan.² Segala sesuatu berasal dari The One melalui proses emanasi (emanatio), dan jiwa manusia dapat kembali kepadanya melalui kontemplasi dan pemurnian diri.³ Konsep ini memiliki kemiripan struktural dengan tahapan takhallī, taḥallī, dan tajallī dalam sulūk, di mana jiwa meninggalkan keterikatan material dan mencapai penyatuan dengan sumbernya.

Namun, perbedaan fundamental antara Neoplatonisme dan ‘irfān terletak pada dimensi teologisnya. Dalam ‘irfān, Tuhan bukan prinsip impersonal, tetapi Wujud Personal yang memiliki kehendak dan cinta.⁴ Ibn ‘Arabī menolak pandangan emanasi murni dan menggantinya dengan konsep tajallī, yaitu penyingkapan Ilahi yang bersifat dinamis dan penuh cinta (ḥubb).⁵ Dengan demikian, jika Neoplatonisme menekankan gerak intelektual menuju The One, maka ‘irfān menekankan gerak cinta Ilahi yang menyingkap diri-Nya dalam keberagaman ciptaan.⁶

8.2.       Relasi dengan Vedānta dan Spiritualitas India

Dalam filsafat Vedānta, khususnya Advaita Vedānta yang diajarkan oleh Śaṅkara (w. 820 M), realitas tertinggi adalah Brahman, dan dunia fenomenal hanyalah ilusi (māyā).⁷ Tujuan tertinggi manusia adalah menyadari bahwa dirinya identik dengan Brahman—tat tvam asi (“engkau adalah itu”).⁸ Sekilas, hal ini tampak sejalan dengan gagasan wahdat al-wujūd dalam ‘irfān yang menegaskan kesatuan antara Tuhan dan wujud.

Namun, ‘irfān Islam tidak memandang dunia sebagai ilusi yang harus disangkal, melainkan sebagai penampakan Ilahi yang memiliki makna simbolik.⁹ Ibn ‘Arabī dan Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa realitas alam bersifat nyata, tetapi tidak mandiri: ia “nyata dengan kerealitasan Tuhan.”¹⁰ Berbeda dari mokṣa (pembebasan) dalam Vedānta yang cenderung berorientasi pada pelarian dari dunia, tajallī dalam ‘irfān menuntut kehadiran spiritual dalam dunia sebagai medan manifestasi Tuhan.¹¹ Dengan demikian, ‘irfān mengintegrasikan spiritualitas transenden dengan tanggung jawab imanen terhadap kehidupan.

8.3.       Kesetaraan dengan Mistisisme Kristen

Dalam tradisi Kristen, terutama melalui pemikiran Meister Eckhart (1260–1328) dan St. John of the Cross (1542–1591), ditemukan gagasan yang paralel dengan al-sulūk al-‘irfānī. Eckhart menekankan proses “kelahiran Tuhan dalam jiwa,” yakni kesadaran bahwa Tuhan hadir di dalam batin manusia ketika ego dibungkam.¹² Sementara St. John of the Cross mengajarkan the dark night of the soul—sebuah pengalaman penderitaan batin dan pengosongan diri yang membawa jiwa kepada penyatuan mistik dengan Tuhan.¹³

Kesamaan dengan konsep takhallī dan fana’ dalam ‘irfān jelas terlihat: baik Eckhart maupun para sufi menekankan keheningan batin sebagai kondisi bagi kehadiran Ilahi.¹⁴ Namun, mistisisme Kristen umumnya mempertahankan perbedaan ontologis antara makhluk dan Tuhan; penyatuan yang dimaksud bersifat relasional, bukan esensial.¹⁵ Dalam ‘irfān, sebaliknya, penyatuan itu dihayati secara ontologis melalui tajallī—bukan berarti makhluk menjadi Tuhan, melainkan bahwa Tuhan menyingkap diri-Nya melalui makhluk tanpa kehilangan keesaan-Nya.¹⁶

8.4.       Kesadaran Kosmik dan Buddhisme Mahāyāna

Buddhisme Mahāyāna juga menampilkan struktur kesadaran yang mirip dengan al-sulūk al-‘irfānī. Dalam ajaran prajñā-pāramitā, pencerahan terjadi ketika manusia menyadari kekosongan segala fenomena (śūnyatā) dan melihat kesatuan antara bentuk (rūpa) dan kehampaan.¹⁷ Kesadaran ini menghasilkan welas asih universal (karuṇā), serupa dengan etika rahmah dalam ‘irfān Islam.¹⁸

Namun, Buddhisme tidak mengenal konsep Tuhan personal; pencerahan dalam Buddhisme adalah kesadaran akan non-dualitas eksistensi, bukan penyaksian terhadap realitas Ilahi.¹⁹ Perbedaan ini menandai batas teologis antara ‘irfān dan Buddhisme, walaupun keduanya sama-sama menekankan transendensi ego dan kesatuan kosmik.²⁰ Dengan demikian, ‘irfān dapat dianggap sebagai bentuk spiritualitas non-dualistik yang teistik—mengakui kesatuan eksistensi tanpa meniadakan personalitas Tuhan.

8.5.       Sintesis Universal: Jalan Cinta dan Kesadaran

Dari perbandingan ini tampak bahwa seluruh tradisi mistik berbagi struktur eksistensial yang serupa: pembersihan diri, pencerahan kesadaran, dan penyatuan dengan realitas tertinggi.²¹ Namun, al-sulūk al-‘irfānī memiliki keunikan karena menggabungkan unsur metafisika, etika, dan teologi dalam satu kesatuan yang utuh. Ia bukan hanya sistem spiritual, tetapi juga sistem pengetahuan dan aksi yang menjadikan cinta (maḥabbah) sebagai inti gerak kosmos.²²

Dalam ‘irfān, Tuhan tidak hanya objek penyembahan, tetapi juga subjek yang mencintai dan diinginkan.²³ Karena itu, perjalanan spiritual bukan sekadar gerak jiwa menuju Tuhan, melainkan gerak Tuhan menuju diri-Nya melalui manusia.²⁴ Hal ini menjadikan al-sulūk al-‘irfānī sebagai jembatan konseptual antara mistisisme timur dan barat—antara rasionalitas dan cinta, antara kontemplasi dan tindakan.²⁵


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 189–191.

[2]                ² Pierre Hadot, Plotinus or the Simplicity of Vision (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 42–44.

[3]                ³ A. H. Armstrong, The Architecture of the Intelligible Universe in the Philosophy of Plotinus (Cambridge: Cambridge University Press, 1940), 51–52.

[4]                ⁴ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton: Princeton University Press, 1960), 211–212.

[5]                ⁵ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 144–145.

[6]                ⁶ William Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 22–24.

[7]                ⁷ Śaṅkara, Brahma Sūtra Bhāṣya, trans. George Thibaut (Delhi: Motilal Banarsidass, 1962), 38–39.

[8]                ⁸ Eliot Deutsch, Advaita Vedānta: A Philosophical Reconstruction (Honolulu: University of Hawaii Press, 1973), 52.

[9]                ⁹ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 171–172.

[10]             ¹⁰ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 211–213.

[11]             ¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 95–96.

[12]             ¹² Meister Eckhart, Sermons and Treatises, trans. M. O’C. Walshe, vol. 1 (London: Watkins, 1979), 17–18.

[13]             ¹³ St. John of the Cross, The Dark Night of the Soul, trans. E. Allison Peers (New York: Image Books, 1959), 73–75.

[14]             ¹⁴ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 285–286.

[15]             ¹⁵ Denys Turner, The Darkness of God: Negativity in Christian Mysticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 68.

[16]             ¹⁶ Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 192.

[17]             ¹⁷ Edward Conze, Buddhist Wisdom: The Diamond Sutra and The Heart Sutra (New York: Vintage, 2001), 34–36.

[18]             ¹⁸ D. T. Suzuki, Essays in Zen Buddhism (London: Rider, 1949), 111–112.

[19]             ¹⁹ Masao Abe, Zen and Western Thought (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), 79–80.

[20]             ²⁰ Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 121–122.

[21]             ²¹ Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 98–100.

[22]             ²² Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 210–212.

[23]             ²³ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 56.

[24]             ²⁴ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 218–220.

[25]             ²⁵ Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 156.


9.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Meskipun al-sulūk al-‘irfānī memiliki struktur metafisik dan spiritual yang mendalam, tradisi ini tidak luput dari kritik filosofis dan teologis. Sejak masa klasik, para pemikir Islam dan Barat telah menyoal status epistemik dan ontologis dari pengalaman mistik, serta implikasinya terhadap rasionalitas, ortodoksi teologis, dan etika. Kritik ini menjadi penting, bukan untuk menolak ‘irfān, tetapi untuk memperjelas batas dan legitimasi filosofisnya. Oleh karena itu, bagian ini menguraikan tiga ranah kritik utama: rasionalitas dan verifikasi pengetahuan mistik, problem ontologis wahdat al-wujūd, dan klarifikasi terhadap potensi antinomianisme moral dalam sulūk.

9.1.       Kritik Rasionalitas dan Verifikasi Pengetahuan Mistik

Kritik terhadap ‘irfān pertama-tama diarahkan pada validitas epistemologisnya. Al-Fārābī dan Ibn Sīnā, yang menekankan supremasi akal sebagai sarana pengetahuan, memandang pengalaman mistik (dhawq) tidak memiliki objektivitas rasional.¹ Bagi mereka, pengetahuan sejati adalah hasil penalaran logis (burhānī), bukan hasil intuisi subjektif.² Dalam kerangka epistemologi peripatetik, kebenaran harus bersifat universal dan komunikatif, sedangkan pengalaman tajallī bersifat personal dan tidak dapat diverifikasi secara intersubjektif.³

Al-Ghazālī berupaya menjembatani jurang ini dengan menegaskan bahwa intuisi spiritual bukanlah pengetahuan irasional, melainkan supra-rasional.⁴ Dalam al-Munqidh min al-ḍalāl, ia menjelaskan bahwa intuisi adalah pancaran Ilahi (nūr ilāhī) yang diberikan kepada hati yang telah suci, dan oleh karenanya memiliki status epistemik yang sah karena bersumber dari Tuhan.⁵ Ibn ‘Arabī pun menguatkan posisi ini dengan menyatakan bahwa pengetahuan kashfī (melalui penyingkapan) bukanlah antitesis dari rasionalitas, tetapi kelanjutan dari rasionalitas yang telah mencapai kesempurnaannya.⁶ Kritik ini, pada akhirnya, melahirkan klarifikasi penting bahwa epistemologi ‘irfānī tidak menolak akal, tetapi mengatasi keterbatasannya dengan menghadirkan dimensi langsung dari realitas.⁷

9.2.       Kritik Ontologis terhadap Wahdat al-Wujūd

Salah satu kritik paling tajam terhadap al-sulūk al-‘irfānī datang dari persoalan ontologis wahdat al-wujūd. Banyak teolog dan fuqaha menilai bahwa doktrin ini mengarah pada panteisme—penyamaan Tuhan dengan makhluk—yang dianggap bertentangan dengan prinsip tauhid.⁸ Aḥmad Sirhindī, misalnya, mengajukan koreksi melalui konsep wahdat al-shuhūd (kesatuan penyaksian), untuk menjaga transendensi Tuhan dari risiko immanensi ekstrem.⁹

Namun, para arif seperti Ibn ‘Arabī, al-Qūnawī, dan Mullā Ṣadrā memberikan klarifikasi filosofis bahwa wahdat al-wujūd tidak berarti identitas substansial antara Tuhan dan ciptaan, melainkan kesatuan dalam tingkat realitas wujud.¹⁰ Tuhan adalah Wujud Hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bentuk manifestasi-Nya dalam derajat yang berbeda.¹¹ Corbin menegaskan bahwa dalam kerangka ‘irfānī, dunia bukan Tuhan, tetapi tajallī Tuhan—yakni cermin di mana Tuhan menampakkan diri tanpa kehilangan transendensi-Nya.¹²

Mullā Ṣadrā memperdalam hal ini melalui teori tashkīk al-wujūd (gradasi wujud), yang menyatakan bahwa eksistensi bersifat bertingkat dari yang paling sempurna (Wujud Ilahi) hingga yang paling lemah (materi).¹³ Dengan demikian, kesatuan wujud bukanlah penyamaan, melainkan hierarki ontologis di mana segala sesuatu memiliki realitas sejauh ia berpartisipasi dalam Wujud Ilahi.¹⁴ Kritik terhadap wahdat al-wujūd dengan demikian menjadi titik tolak untuk memperjelas ontologi ‘irfānī yang menolak dualisme mutlak tanpa jatuh ke dalam panteisme.

9.3.       Kritik Etis: Antinomianisme dan Spiritualitas Tanpa Hukum

Kritik lain terhadap al-sulūk al-‘irfānī berkaitan dengan dugaan antinomianisme, yakni kecenderungan menempatkan pengalaman batin di atas norma-norma syariah. Sebagian tokoh—seperti Ibn Taymiyyah dan kemudian para pembaharu modernis—menuduh sebagian sufi melampaui batas hukum dengan mengklaim kebebasan moral berdasarkan “pengetahuan langsung” dari Tuhan.¹⁵ Dalam kasus tertentu, penyimpangan praktik spiritual memang pernah terjadi, seperti klaim kesatuan total (ittihād) yang disalahpahami sebagai penghapusan kewajiban religius.¹⁶

Namun, kritik ini sebagian besar bersumber dari kesalahpahaman terhadap bahasa simbolik ‘irfān. Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa pengalaman fana’ tidak berarti lenyapnya hukum, tetapi penyingkapan makna terdalam di balik hukum.¹⁷ Ia menulis bahwa “tiada orang yang lebih berpegang pada syariat daripada seorang arif sejati,” sebab syariat adalah bentuk lahir dari hakikat.¹⁸ Al-Ghazālī juga menolak dikotomi antara syariat dan hakikat dengan menyatakan bahwa “syariat adalah kapal, dan hakikat adalah lautan; siapa yang ingin menyeberang tanpa kapal akan tenggelam.”¹⁹

Dengan demikian, klarifikasi etis al-sulūk al-‘irfānī menegaskan bahwa moralitas spiritual tidak meniadakan norma hukum, tetapi memperdalamnya menjadi kesadaran batin yang penuh makna.²⁰ Spiritualitas sejati tidak menolak hukum, melainkan menghayatinya dengan cinta dan kesadaran Ilahi.

9.4.       Kritik Modern dan Klarifikasi Kontemporer

Dalam konteks modern, kritik terhadap ‘irfān banyak datang dari dua arah: positivisme rasional dan psikologi empiris.²¹ Kaum positivis menolak klaim pengetahuan intuitif karena tidak dapat diverifikasi secara ilmiah, sementara psikologi modern kadang menafsirkan pengalaman mistik sebagai fenomena neuropsikologis semata.²² Namun, filsuf seperti William James, Carl Jung, dan kemudian Seyyed Hossein Nasr membela nilai epistemik dan transformasional dari pengalaman spiritual.²³ James dalam The Varieties of Religious Experience menyatakan bahwa pengalaman mistik memiliki “kebenaran praktis,” karena mengubah struktur kesadaran dan perilaku moral individu.²⁴

Klarifikasi kontemporer terhadap ‘irfān menunjukkan bahwa tradisi ini tidak bertentangan dengan rasionalitas ilmiah, tetapi beroperasi pada tataran eksistensial yang berbeda.²⁵ Ia berbicara bukan tentang fenomena empiris, tetapi tentang makna dan kesadaran yang mendasari fenomena.²⁶ Dengan demikian, kritik modern justru membuka ruang baru bagi reinterpretasi al-sulūk al-‘irfānī sebagai paradigma spiritual dan filosofis yang relevan dengan tantangan manusia modern—yakni krisis makna dan alienasi ontologis.²⁷


Footnotes

[1]                ¹ Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 45–46.

[2]                ² Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā, vol. 3 (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 122.

[3]                ³ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983), 114.

[4]                ⁴ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 302–304.

[5]                ⁵ al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1969), 51–52.

[6]                ⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 88–90.

[7]                ⁷ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 107–108.

[8]                ⁸ Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Riyadh: Dār al-‘Āṣimah, 1995), 374.

[9]                ⁹ Aḥmad Sirhindī, Maktūbāt-e Imām Rabbānī, vol. 1 (Lahore: Majlis-e Isha‘at-e Islām, 1973), 46–47.

[10]             ¹⁰ Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī, al-Nuṣūṣ, ed. Afīfī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1958), 32–33.

[11]             ¹¹ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 98–100.

[12]             ¹² Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 121.

[13]             ¹³ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 206–209.

[14]             ¹⁴ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 91–93.

[15]             ¹⁵ Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 10 (Riyadh: Dār al-‘Āṣimah, 1995), 286.

[16]             ¹⁶ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 67–68.

[17]             ¹⁷ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 178–179.

[18]             ¹⁸ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 115–117.

[19]             ¹⁹ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 53.

[20]             ²⁰ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), 141–142.

[21]             ²¹ Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New York: Simon & Schuster, 1945), 648–649.

[22]             ²² Andrew Newberg and Eugene d’Aquili, Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief (New York: Ballantine Books, 2001), 72–73.

[23]             ²³ William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green & Co., 1902), 297–298.

[24]             ²⁴ Ibid., 304–306.

[25]             ²⁵ Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 102–103.

[26]             ²⁶ Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 142.

[27]             ²⁷ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 274–276.


10.       Relevansi Kontemporer

Dalam konteks modern, al-sulūk al-‘irfānī menghadirkan relevansi yang signifikan terhadap berbagai krisis eksistensial, sosial, dan ekologis yang dihadapi manusia kontemporer. Tradisi ini menawarkan paradigma spiritual yang melampaui sekularisme dan materialisme, dengan menegaskan kembali kesakralan eksistensi dan keterhubungan mendalam antara manusia, Tuhan, dan alam.¹ Di tengah globalisasi yang menumbuhkan alienasi batin, al-sulūk al-‘irfānī mengajarkan transformasi kesadaran sebagai jalan menuju keseimbangan antara kehidupan batin dan tanggung jawab sosial.²

10.1.    Krisis Makna dan Spiritualitas Modern

Manusia modern hidup dalam situasi yang disebut oleh Viktor Frankl sebagai existential vacuum—kekosongan makna akibat hilangnya orientasi spiritual dan moral.³ Dalam dunia yang diatur oleh rasionalitas teknologis dan konsumtivisme, manusia kehilangan relasi ontologis dengan realitas Ilahi. Al-sulūk al-‘irfānī menawarkan penyembuhan terhadap krisis ini melalui pemulihan kesadaran sakral, yakni pandangan bahwa seluruh wujud memiliki makna transendental.⁴

Menurut Seyyed Hossein Nasr, spiritualitas modern perlu beralih dari “pengetahuan tentang dunia” menuju “pengetahuan tentang diri dan Tuhan.”⁵ Dengan menempuh jalan takhallī, manusia membebaskan diri dari dominasi ego dan sistem yang memisahkan antara subjek dan objek; dengan taḥallī, ia menumbuhkan cinta, welas asih, dan kebijaksanaan; dan melalui tajallī, ia mengalami penyatuan dengan realitas Ilahi dalam kehidupan sehari-hari.⁶ Dalam kerangka ini, ‘irfān menjadi terapi spiritual bagi jiwa modern yang terjebak dalam mekanisme dan kehilangan makna eksistensi.

10.2.    Relevansi dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Dalam ranah pendidikan, al-sulūk al-‘irfānī dapat berfungsi sebagai paradigma integral untuk pembentukan karakter spiritual dan moral.⁷ Pendidikan modern cenderung mengutamakan dimensi kognitif dan teknis, tetapi mengabaikan pembinaan jiwa dan kesadaran etis. Padahal, dalam tradisi Islam, ilmu tidak dapat dipisahkan dari tazkiyah (penyucian diri). Al-Ghazālī menegaskan bahwa “ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”⁸

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ‘irfānī ke dalam pendidikan, peserta didik tidak hanya diajak berpikir rasional, tetapi juga merenung, mengenal diri, dan menumbuhkan empati terhadap makhluk lain.⁹ Pendekatan ini sejalan dengan prinsip taḥallī, yaitu menanamkan sifat-sifat Ilahi seperti kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang dalam kehidupan sosial.¹⁰ Oleh sebab itu, al-sulūk al-‘irfānī dapat menjadi fondasi bagi pendidikan holistik yang menyatukan rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas.

10.3.    Relevansi Sosial dan Politik: Etika Tauhid dalam Ruang Publik

Dalam konteks sosial-politik, al-sulūk al-‘irfānī menolak polarisasi ekstrem antara religiusitas formal dan sekularisme pragmatis. Ia menawarkan model spiritualitas publik yang menekankan etika tauhid: kesadaran akan kesatuan realitas yang melahirkan keadilan, kasih, dan solidaritas sosial.¹¹ Seorang ‘ārif sejati bukanlah yang menjauh dari dunia, tetapi yang memandang dunia sebagai ladang tajallī Ilahi, tempat kebenaran harus diwujudkan dalam bentuk keadilan sosial.¹²

Kesadaran tauhid ini berimplikasi pada praksis sosial yang humanistik. Ibn ‘Arabī menulis bahwa “agama seorang arif adalah cinta,” karena ia melihat wajah Tuhan dalam setiap makhluk.¹³ Dalam kerangka ini, al-sulūk al-‘irfānī menjadi dasar bagi etika dialog antaragama, toleransi sosial, dan perdamaian global.¹⁴ Dengan menghadirkan Tuhan sebagai sumber kesatuan, bukan perpecahan, ‘irfān mengubah spiritualitas menjadi kekuatan sosial yang membebaskan, bukan membelenggu.¹⁵

10.4.    Relevansi Ekologis dan Krisis Keberlanjutan

Salah satu aspek paling aktual dari al-sulūk al-‘irfānī adalah kontribusinya terhadap etika ekologis. Krisis lingkungan modern berakar pada pandangan dualistik yang memisahkan manusia dari alam dan menempatkan alam sebagai objek eksploitasi.¹⁶ Sebaliknya, ‘irfān menegaskan bahwa seluruh makhluk adalah manifestasi dari Wujud Ilahi, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya, hanya kalian tidak memahami tasbih mereka” (QS al-Isrā’ [17] ayat 44).¹⁷

Dari perspektif ini, perusakan alam adalah bentuk kezaliman spiritual karena berarti menodai cermin tempat Tuhan menampakkan diri.¹⁸ Takhallī dalam konteks ekologis berarti membersihkan diri dari keserakahan, taḥallī berarti menumbuhkan rasa hormat terhadap alam, dan tajallī berarti melihat alam sebagai tempat penyingkapan Ilahi.¹⁹ Nasr menyebut paradigma ini sebagai “eko-spiritualitas Islam,” yang menekankan hubungan sakral antara manusia dan kosmos.²⁰ Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī tidak hanya relevan bagi pembinaan pribadi, tetapi juga bagi penyelamatan planet dan peradaban manusia.

10.5.    Relevansi dengan Psikologi Transpersonal dan Spiritualitas Global

Dalam perkembangan filsafat dan psikologi modern, terutama melalui psikologi transpersonal, konsep-konsep ‘irfānī menemukan resonansinya.²¹ Tokoh seperti Carl Jung, Abraham Maslow, dan Ken Wilber menegaskan bahwa puncak perkembangan kesadaran manusia adalah transendensi ego dan penyatuan dengan kesadaran universal.²² Prinsip ini sejalan dengan tahap fana’ dan baqā’ dalam al-sulūk al-‘irfānī.

Lebih jauh, dalam konteks spiritualitas global, ‘irfān dapat berperan sebagai paradigma lintas agama yang memfasilitasi dialog antara tradisi Timur dan Barat.²³ Dengan menempatkan cinta Ilahi (maḥabbah) dan kesadaran kesatuan (tawḥīd) sebagai inti spiritualitas, al-sulūk al-‘irfānī menawarkan bahasa universal bagi manusia modern yang haus makna.²⁴

Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī tetap aktual dan relevan sebagai jalan eksistensial yang mengintegrasikan dimensi batin dan sosial, rasionalitas dan cinta, serta ilmu dan nilai. Ia bukan sekadar warisan mistik, melainkan tawaran filsafat kehidupan yang menegakkan kembali makna “manusia sebagai cermin Tuhan” di tengah dunia yang kehilangan pantulan ketuhanan.²⁵


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 213–214.

[2]                ² William Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 25.

[3]                ³ Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–106.

[4]                ⁴ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 98–99.

[5]                ⁵ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 167.

[6]                ⁶ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 298.

[7]                ⁷ Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 87–88.

[8]                ⁸ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 45.

[9]                ⁹ Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan, 2000), 92.

[10]             ¹⁰ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 71.

[11]             ¹¹ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), 152–153.

[12]             ¹² Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 105.

[13]             ¹³ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 183.

[14]             ¹⁴ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 373.

[15]             ¹⁵ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 201–203.

[16]             ¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 90–92.

[17]             ¹⁷ Al-Qur’an, QS al-Isrā’ [17] ayat 44.

[18]             ¹⁸ Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 117.

[19]             ¹⁹ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 248–249.

[20]             ²⁰ Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 106.

[21]             ²¹ Ken Wilber, The Atman Project: A Transpersonal View of Human Development (Wheaton: Quest Books, 1980), 61–62.

[22]             ²² Abraham Maslow, Toward a Psychology of Being (New York: Van Nostrand, 1968), 111–112.

[23]             ²³ Raimon Panikkar, The Experience of God: Icons of the Mystery (Maryknoll: Orbis Books, 2006), 78–79.

[24]             ²⁴ Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 153–155.

[25]             ²⁵ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 226–228.


11.       Sintesis Filosofis

Bagian ini berfungsi sebagai jantung reflektif dari seluruh pembahasan, yakni upaya menyatukan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis al-sulūk al-‘irfānī ke dalam satu kerangka filsafat eksistensial Islam yang utuh. Sulūk dalam tradisi ‘irfān bukan hanya perjalanan spiritual menuju Tuhan, melainkan proses kosmik di mana Tuhan menyingkap diri-Nya melalui manusia.¹ Dengan demikian, sintesis filosofis al-sulūk al-‘irfānī terletak pada kesadaran bahwa antara wujud, pengetahuan, dan nilai tidak ada dikotomi, tetapi kontinuitas yang saling meneguhkan.

11.1.    Kesatuan Ontologi dan Epistemologi: Dari Wujud ke Ma‘rifah

Dalam filsafat ‘irfānī, pengetahuan (ma‘rifah) bukanlah representasi dari realitas, melainkan partisipasi langsung dalam realitas itu sendiri.² Hal ini sejalan dengan prinsip ittihād al-‘āqil wa al-ma‘qūl (kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan) yang dikembangkan oleh Ibn Sīnā dan diperluas oleh Mullā Ṣadrā dalam teori al-‘ilm al-ḥuḍūrī.³ Melalui takhallī, manusia menafikan segala bentuk kesadaran palsu; melalui taḥallī, ia membangun kesadaran reflektif; dan dalam tajallī, ia mencapai kesadaran ilāhī di mana pengetahuan, eksistensi, dan kesadaran menyatu.⁴

Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin jika yang mengetahui dan yang diketahui adalah satu dalam wujud Ilahi.⁵ Hal ini mengimplikasikan bahwa epistemologi ‘irfānī berakar pada ontologi yang unifikatif—pengetahuan bukan hasil dari aktivitas intelektual yang terpisah dari realitas, tetapi merupakan pencerahan eksistensial yang membiarkan realitas menyingkap dirinya sendiri.⁶ Dengan demikian, ma‘rifah tidak bersifat deskriptif, tetapi transformatif; ia mengubah struktur eksistensi manusia agar menjadi cermin bagi Wujud Mutlak.⁷

11.2.    Integrasi Aksiologi: Etika Sebagai Refleksi Ontologis

Secara aksiologis, al-sulūk al-‘irfānī menolak pemisahan antara etika dan ontologi. Dalam kerangka ini, perilaku etis tidak didasarkan pada hukum eksternal atau kewajiban formal, tetapi pada kesadaran ontologis tentang kesatuan segala sesuatu dengan Tuhan.⁸ Seorang ‘ārif berbuat baik bukan karena perintah, melainkan karena kebaikan adalah sifat esensial dari Wujud itu sendiri.⁹

Etika semacam ini dapat disebut ontological virtue ethics, yakni etika yang berakar pada realitas wujud Ilahi. Dalam tahap taḥallī, manusia meneladani sifat-sifat Tuhan seperti kasih (raḥmah), keadilan (‘adl), dan kebijaksanaan (ḥikmah); sedangkan dalam tajallī, seluruh tindakannya menjadi ekspresi spontan dari kesadaran tauhid.¹⁰ Mullā Ṣadrā menegaskan bahwa moralitas sejati hanya mungkin jika manusia mencapai taḥqīq al-wujūd—realisasi eksistensinya dalam Wujud Mutlak.¹¹ Dengan demikian, sulūk tidak menghasilkan moralitas yang legalistik, melainkan moralitas yang kontemplatif dan partisipatif terhadap kebenaran Ilahi.

11.3.    Dialektika Transendensi dan Immanensi: Tuhan dalam Diri dan Dunia

Salah satu kontribusi penting al-sulūk al-‘irfānī bagi filsafat Islam ialah kemampuannya menjaga keseimbangan antara transendensi Tuhan (tanzīh) dan immanensi-Nya (tashbīh).¹² Dalam perjalanan spiritual, Tuhan tidak dipahami sebagai entitas jauh yang hanya dapat disembah, tetapi juga sebagai realitas batin yang dapat disaksikan dalam kesadaran. Ibn ‘Arabī menyebut relasi ini sebagai jam‘ bayna al-ḍiddayn—kesatuan antara dua hal yang tampak bertentangan.¹³

Di satu sisi, manusia menyadari keterbatasannya dan tunduk pada transendensi Tuhan (takhallī); di sisi lain, ia mengalami kehadiran Ilahi di dalam dirinya (tajallī).¹⁴ Proses ini melahirkan dialektika spiritual yang dinamis: Tuhan dikenal melalui ciptaan, dan ciptaan menemukan maknanya melalui Tuhan. Dalam hal ini, sulūk menjadi jembatan filosofis yang menghapus dikotomi metafisik antara yang ilahi dan yang manusiawi, tanpa meniadakan keduanya.¹⁵

11.4.    Rekonstruksi Rasionalitas dan Spiritualitas

Salah satu sintesis terpenting dari al-sulūk al-‘irfānī ialah rekonsiliasi antara rasionalitas dan spiritualitas. Modernitas sering menempatkan keduanya secara oposisi: akal dianggap bertentangan dengan intuisi, ilmu dengan iman, logika dengan cinta. Dalam paradigma ‘irfānī, semua dimensi ini justru bersatu dalam satu poros kesadaran.¹⁶

Al-Ghazālī telah menunjukkan bahwa akal sejati (‘aql ṣarīḥ) adalah cahaya yang bersumber dari Tuhan dan berfungsi sebagai pemandu dalam perjalanan spiritual.¹⁷ Rasionalitas tidak ditolak, tetapi dimurnikan; ia tidak lagi bersifat reduksionistik, melainkan iluminatif. Nasr menyebut hal ini sebagai “rasionalitas sakral” (sacred rationality), yakni cara berpikir yang menempatkan akal dalam kerangka tauhid dan realitas transenden.¹⁸ Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī menjadi basis bagi filsafat Islam yang menggabungkan rasionalitas, intuisi, dan pengalaman eksistensial dalam kesatuan epistemik yang koheren.

11.5.    Kesatuan Kosmos dan Manusia: Al-Insān al-Kāmil sebagai Simbol Integrasi

Dalam struktur kosmologis ‘irfān, manusia merupakan poros kesatuan antara realitas Ilahi dan alam semesta. Ibn ‘Arabī menggambarkan manusia sempurna (al-insān al-kāmil) sebagai “cermin total” di mana Tuhan memandang diri-Nya sendiri.¹⁹ Dalam diri manusia, seluruh martabat wujud—dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi—bertemu dalam kesatuan harmoni.²⁰

Oleh karena itu, al-insān al-kāmil bukan hanya ideal spiritual, tetapi juga simbol filosofis bagi kesatuan eksistensi dan kesadaran.²¹ Dalam tataran sosial, konsep ini menegaskan bahwa kesempurnaan manusia hanya dapat dicapai ketika ia menjadi saluran bagi rahmat Ilahi di dunia.²² Dengan demikian, sintesis al-sulūk al-‘irfānī berpuncak pada rekonsiliasi antara mikro dan makrokosmos, antara kontemplasi dan aksi, antara Tuhan yang transenden dan manusia yang imanen.²³

11.6.    Arah Filosofis: Sulūk sebagai Filsafat Eksistensial Islam

Pada tataran meta-filosofis, al-sulūk al-‘irfānī dapat dipahami sebagai bentuk filsafat eksistensial Islam—yakni filsafat yang berangkat dari pengalaman eksistensi menuju realitas Ilahi.²⁴ Sebagaimana eksistensialisme Barat menekankan “ada” sebagai pusat makna, ‘irfān menegaskan “Wujud” sebagai kebenaran yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman penyaksian.²⁵ Bedanya, eksistensialisme Barat berakhir pada absurditas manusia tanpa Tuhan, sedangkan eksistensialisme Islam berpuncak pada kesadaran Ilahi yang memberi makna pada seluruh eksistensi.²⁶

Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī bukan hanya sistem spiritual, melainkan filsafat hidup yang menegaskan kesatuan antara berpikir, beriman, dan mengalami.²⁷ Ia menyatukan metafisika dengan praksis, kontemplasi dengan etika, dan menjadikan manusia bukan sekadar pencari Tuhan, melainkan partisipan dalam proses Ilahi yang terus berlangsung.²⁸


Footnotes

[1]                ¹ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 189.

[2]                ² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 213.

[3]                ³ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 225–227.

[4]                ⁴ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 295–296.

[5]                ⁵ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 87–88.

[6]                ⁶ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 119.

[7]                ⁷ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 128.

[8]                ⁸ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 151–153.

[9]                ⁹ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 95–96.

[10]             ¹⁰ al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1976), 58–59.

[11]             ¹¹ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 218.

[12]             ¹² Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 174–176.

[13]             ¹³ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 4 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 212.

[14]             ¹⁴ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 144–145.

[15]             ¹⁵ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 299.

[16]             ¹⁶ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), 157–158.

[17]             ¹⁷ al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1969), 55.

[18]             ¹⁸ Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 113.

[19]             ¹⁹ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 101.

[20]             ²⁰ Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986), 121–122.

[21]             ²¹ William Chittick, The Perfect Man: Studies in Ibn al-‘Arabī’s Concept of the Microcosm (London: KPI, 1982), 34–35.

[22]             ²² Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 89.

[23]             ²³ Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 154–156.

[24]             ²⁴ Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 88–89.

[25]             ²⁵ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 57–58.

[26]             ²⁶ Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 121–122.

[27]             ²⁷ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton: Princeton University Press, 1960), 233.

[28]             ²⁸ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism, 281–282.


12.       Kesimpulan

Kajian tentang al-sulūk al-‘irfānī sebagai perjalanan eksistensial dari ketidaktahuan menuju penyaksian Tuhan menyingkap satu struktur spiritual dan filosofis yang menyeluruh dalam tradisi Islam. Ia bukan sekadar kerangka etika atau mistik individual, melainkan suatu paradigma ontologis dan epistemologis yang mengintegrasikan pengetahuan, eksistensi, dan nilai dalam satu sistem kesadaran tauhid.¹ Melalui tiga tahap utamanyatakhallī, taḥallī, dan tajallīsulūk membentuk dinamika dialektis antara transendensi dan immanensi, antara penyucian diri dan penyaksian Ilahi, yang menggambarkan perjalanan wujud manusia dari keterpecahan menuju kesatuan realitas.²

Secara ontologis, al-sulūk al-‘irfānī menegaskan bahwa manusia adalah cermin Ilahi yang memiliki potensi untuk memantulkan seluruh martabat wujud.³ Proses spiritual bukanlah pelarian dari dunia, tetapi perjalanan kembali menuju sumber wujud melalui penyadaran diri yang mendalam. Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa Tuhan tidak dikenal kecuali melalui ciptaan-Nya, dan ciptaan tidak bermakna tanpa kesadaran akan kehadiran Ilahi di dalamnya.⁴ Dalam hal ini, sulūk menjadi mekanisme kosmik yang meneguhkan keterhubungan eksistensial antara manusia dan Tuhan tanpa meniadakan jarak ontologis yang sakral.⁵

Secara epistemologis, pengetahuan dalam ‘irfān bersifat iluminatif, bukan diskursif. Ia diperoleh melalui pencerahan hati, bukan semata rasionalitas intelektual.⁶ Tahapan takhallī membersihkan kesadaran dari ilusi ego, taḥallī mengisinya dengan sifat-sifat Ilahi, dan tajallī mempertemukan manusia dengan hakikat realitas yang satu.⁷ Pengetahuan semacam ini bersifat ḥuḍūrī—pengetahuan melalui kehadiran, bukan representasi.⁸ Karena itu, ma‘rifah bukanlah hasil dari proses logis, melainkan transformasi eksistensial di mana manusia mengenal Tuhan melalui dirinya sendiri.⁹

Secara aksiologis, al-sulūk al-‘irfānī mengajarkan bahwa etika sejati berakar pada kesadaran wujud. Kebaikan bukan hanya tindakan moral, tetapi perwujudan dari realitas Ilahi dalam diri manusia.¹⁰ Etika ‘irfānī menolak dualisme antara hukum dan hakikat; syariat dipandang sebagai wadah yang melindungi kesadaran batin agar tetap berporos pada tauhid.¹¹ Dengan demikian, moralitas dalam ‘irfān bersifat transformatif: ia tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga membentuk struktur kesadaran yang berakar pada cinta Ilahi (maḥabbah).¹²

Dalam dimensi sosial dan kultural, al-sulūk al-‘irfānī menampilkan spiritualitas yang tidak elitis, melainkan inklusif dan universal.¹³ Kesadaran tajallī melahirkan pandangan kosmik bahwa seluruh makhluk merupakan tanda-tanda Tuhan yang layak dihormati.¹⁴ Karena itu, sulūk berimplikasi pada etika sosial, dialog antaragama, dan kesadaran ekologis yang memuliakan kehidupan sebagai refleksi Ilahi.¹⁵ Dalam konteks modern, pandangan ini menjadi alternatif bagi krisis makna dan kehampaan spiritual manusia, sekaligus menawarkan dasar filosofis bagi harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.¹⁶

Dari sisi filsafat eksistensial, al-sulūk al-‘irfānī dapat dibaca sebagai bentuk “eksistensialisme spiritual Islam”—yakni filsafat yang menegaskan bahwa keberadaan manusia menemukan maknanya hanya dalam relasi dengan Wujud Mutlak.¹⁷ Berbeda dengan eksistensialisme Barat yang sering berakhir pada absurditas dan nihilisme, ‘irfān mengarahkan kesadaran manusia menuju partisipasi dalam realitas Ilahi.¹⁸ Dalam hal ini, al-sulūk al-‘irfānī bukan hanya sistem etika atau doktrin teologis, tetapi juga filsafat hidup yang memulihkan kesatuan antara berpikir (‘aql), merasa (qalb), dan ada (wujūd).¹⁹

Pada akhirnya, al-sulūk al-‘irfānī memberikan sintesis antara ilmu, iman, dan amal; antara metafisika dan etika; antara kontemplasi dan tindakan.²⁰ Ia mengajarkan bahwa perjalanan menuju Tuhan bukanlah pelarian dari dunia, melainkan penemuan makna Ilahi di tengah dunia.²¹ Dalam penyaksian tertinggi (tajallī), manusia tidak lagi mencari Tuhan di luar dirinya, karena seluruh wujud menjadi cermin kehadiran-Nya.²² Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī adalah perjalanan dari Tuhan, melalui Tuhan, dan kembali kepada Tuhan—sebuah gerak spiral kesadaran yang terus berlangsung tanpa akhir, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu.” (QS an-Najm [53] ayat 42).²³


Footnotes

[1]                ¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 221–223.

[2]                ² al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 294–295.

[3]                ³ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984), 229–230.

[4]                ⁴ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 183–184.

[5]                ⁵ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 142–143.

[6]                ⁶ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 88–90.

[7]                ⁷ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 216–218.

[8]                ⁸ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 31–32.

[9]                ⁹ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), 154.

[10]             ¹⁰ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 62.

[11]             ¹¹ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 74–75.

[12]             ¹² William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 198–200.

[13]             ¹³ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 362–364.

[14]             ¹⁴ Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 112–113.

[15]             ¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 89–90.

[16]             ¹⁶ Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 141–143.

[17]             ¹⁷ Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 89–90.

[18]             ¹⁸ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 59–61.

[19]             ¹⁹ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton: Princeton University Press, 1960), 236–238.

[20]             ²⁰ Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 178–179.

[21]             ²¹ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 99.

[22]             ²² Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7 (Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 219–220.

[23]             ²³ Al-Qur’an, QS an-Najm [53] ayat 42.


Daftar Pustaka

Azra, A. (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Azra, A. (2000). Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan.

Bakhtiar, L. (1976). Sufi: Expressions of the Mystic Quest. London: Thames & Hudson.

Becker, E. (1973). The Denial of Death. New York: Free Press.

Chittick, W. C. (1982). The Perfect Man: Studies in Ibn al-‘Arabī’s Concept of the Microcosm. London: KPI.

Chittick, W. C. (1983). The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi. Albany: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology. Albany: State University of New York Press.

Conze, E. (2001). Buddhist Wisdom: The Diamond Sutra and The Heart Sutra. New York: Vintage.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the Visionary Recital. Princeton: Princeton University Press.

Corbin, H. (1969). Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī. Princeton: Princeton University Press.

Corbin, H. (1986). Temple and Contemplation. London: KPI.

Deutsch, E. (1973). Advaita Vedānta: A Philosophical Reconstruction. Honolulu: University of Hawaii Press.

Fakhry, M. (1983). A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.

Hadot, P. (1993). Plotinus or the Simplicity of Vision. Chicago: University of Chicago Press.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Albany: State University of New York Press.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Heidegger, M. (1966). Discourse on Thinking (J. M. Anderson & E. H. Freund, Trans.). New York: Harper & Row.

Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam (A. al-‘A. ‘Afīfī, Ed.). Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Ibn ‘Arabī. (1997). al-Futūḥāt al-Makkiyyah (Vols. 3–4). Beirut: Dār Ṣādir.

Ibn Sīnā. (1957). al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (S. Dunyā, Ed., Vol. 3). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-Fatāwā (Vols. 2 & 10). Riyadh: Dār al-‘Āṣimah.

Izutsu, T. (1964). Ethico-Religious Concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press.

Izutsu, T. (1984). Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts. Berkeley: University of California Press.

Izutsu, T. (1994). Creation and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy. Ashland: White Cloud Press.

Jalāl al-Dīn Rūmī. (1925). Mathnawī-yi Ma‘nawī (R. A. Nicholson, Ed., Vol. 1). London: E. J. W. Gibb Memorial.

James, W. (1902). The Varieties of Religious Experience. New York: Longmans, Green & Co.

Kartanegara, M. (2005). Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy.

Knysh, A. (2000). Islamic Mysticism: A Short History. Leiden: Brill.

Maslow, A. H. (1968). Toward a Psychology of Being. New York: Van Nostrand.

Mullā Ṣadrā. (1981). al-Asfār al-Arba‘ah (Vols. 6–7). Tehran: Dār al-Ḥikmah.

Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1981). Islamic Life and Thought. London: Routledge & Kegan Paul.

Nasr, S. H. (1987). Islamic Art and Spirituality. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne.

Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York: HarperOne.

Newberg, A., & d’Aquili, E. (2001). Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine Books.

Panikkar, R. (2006). The Experience of God: Icons of the Mystery. Maryknoll: Orbis Books.

Plotinus. (1940). The Architecture of the Intelligible Universe in the Philosophy of Plotinus (A. H. Armstrong, Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Qushayrī, al-. (2002). al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Russell, B. (1945). A History of Western Philosophy. New York: Simon & Schuster.

Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

Shah-Kazemi, R. (2006). Paths to Transcendence: According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart. Bloomington: World Wisdom.

Sirhindī, A. (1973). Maktūbāt-e Imām Rabbānī (Vol. 1). Lahore: Majlis-e Isha‘at-e Islām.

Suhrawardī, al-. (1966). ‘Awārif al-Ma‘ārif. Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Suhrawardī, al-. (1976). Ḥikmat al-Ishrāq (H. Corbin, Ed.). Tehran: Institute Franco-Iranien.

Śaṅkara. (1962). Brahma Sūtra Bhāṣya (G. Thibaut, Trans.). Delhi: Motilal Banarsidass.

Trimingham, J. S. (1971). The Sufi Orders in Islam. Oxford: Clarendon Press.

Turner, D. (1995). The Darkness of God: Negativity in Christian Mysticism. Cambridge: Cambridge University Press.

Wilber, K. (1980). The Atman Project: A Transpersonal View of Human Development. Wheaton: Quest Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar