Al-Sulūk Al-‘Irfānī
Perjalanan Eksistensial dari Ketidaktahuan Menuju
Penyaksian Tuhan
Alihkan ke: Metafisika
Islam.
Abstrak
Artikel ini membahas secara mendalam konsep al-sulūk
al-‘irfānī sebagai perjalanan eksistensial manusia dari ketidaktahuan
menuju penyaksian Ilahi (tajallī Allāh) dalam tradisi filsafat dan
spiritualitas Islam. Melalui pendekatan filosofis-historis, tulisan ini
mengurai tiga tahap utama perjalanan spiritual—takhallī (penyucian
diri), taḥallī (penghiasan diri dengan sifat-sifat Ilahi), dan tajallī
(penyingkapan realitas Tuhan dalam kesadaran)—sebagai struktur epistemik,
ontologis, dan aksiologis yang saling terhubung. Kajian ini menunjukkan bahwa al-sulūk
al-‘irfānī bukan sekadar praktik mistik individual, tetapi juga sistem
pengetahuan yang mengintegrasikan rasionalitas, etika, dan spiritualitas dalam
satu kesatuan tauhid.
Dari perspektif ontologis, manusia dipahami sebagai
cermin Ilahi yang berpotensi memantulkan seluruh tingkat wujud; secara
epistemologis, pengetahuan sejati (ma‘rifah) dicapai melalui pencerahan
batin (‘ilm ḥuḍūrī) yang melampaui logika diskursif; sedangkan secara
aksiologis, moralitas Ilahi menjadi manifestasi dari kesadaran tauhid. Artikel
ini juga mengkaji dimensi sosial, kultural, dan ekologis dari al-sulūk
al-‘irfānī, menegaskan relevansinya terhadap krisis makna, degradasi moral,
dan disintegrasi spiritual manusia modern.
Melalui perbandingan dengan Neoplatonisme, Vedānta,
Buddhisme Mahāyāna, dan mistisisme Kristen, al-sulūk al-‘irfānī
ditunjukkan sebagai paradigma spiritual universal yang menegaskan keseimbangan
antara transendensi dan immanensi. Sintesis filosofis yang dihasilkan
menggambarkan ‘irfān sebagai bentuk filsafat eksistensial Islam yang
menyatukan wujud, pengetahuan, dan nilai dalam satu poros kesadaran Ilahi.
Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī tidak hanya menjadi jalan mistik,
tetapi juga menjadi kerangka metafisika dan etika bagi pembentukan manusia
paripurna (al-insān al-kāmil) yang hidup dalam kesadaran, cinta, dan
tanggung jawab kosmik.
Kata Kunci: al-sulūk
al-‘irfānī, takhallī, taḥallī, tajallī, filsafat
Islam, ma‘rifah, ontologi wujud, etika Ilahi, kesadaran eksistensial, al-insān
al-kāmil.
PEMBAHASAN
Bagaimana Proses Takhallī, Taḥallī, dan Tajallī
Menggambarkan Dinamika Spiritual Menuju Penyaksian Tuhan (Mushāhadah)?
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah intelektual Islam, al-sulūk
al-‘irfānī menempati posisi sentral sebagai jalan spiritual dan
eksistensial menuju penyaksian Tuhan (mushāhadah). Istilah sulūk
secara etimologis berarti “menempuh jalan,” dan secara terminologis merujuk
pada proses perjalanan batin seorang salik (pejalan spiritual) dari kegelapan
ketidaktahuan menuju cahaya pengetahuan Ilahi.¹ Perjalanan ini bukan sekadar
praktik asketis, melainkan transformasi ontologis yang melibatkan perubahan
kesadaran, moralitas, dan makna eksistensi manusia di hadapan Tuhan. Dalam
konteks ‘irfānī, sulūk tidak berhenti pada dimensi moral-psikologis,
melainkan mengarah pada realisasi kesatuan eksistensial antara makhluk dan Sang
Pencipta.
Tradisi ‘irfān (gnosis Islam) menafsirkan
realitas sebagai pancaran (tajallī) dari wujud Ilahi.² Karena itu, jalan
spiritual ini menuntut tiga tahapan utama: takhallī (penyucian diri dari
sifat-sifat tercela), taḥallī (penghiasan diri dengan sifat-sifat
ilahi), dan tajallī (penampakan realitas Ilahi dalam kesadaran).³ Ketiga
tahap ini bukan sekadar urutan moral, melainkan struktur epistemik dan
ontologis dari kesadaran manusia dalam perjalanan menuju kebenaran absolut (al-Ḥaqq).
Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī dapat dipahami sebagai dinamika
dialektis antara transendensi dan immanensi: manusia menempuh jalan menuju
Tuhan melalui proses penyucian eksistensi dirinya yang semula terikat oleh
ilusi dualitas.
Dalam sejarah pemikiran Islam, gagasan sulūk
telah mendapatkan artikulasi mendalam dari para sufi dan filosof mistik,
seperti al-Ghazālī, al-Suhrawardī, dan Ibn ‘Arabī.⁴ Al-Ghazālī menempatkan sulūk
sebagai proses tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) yang berujung pada ma‘rifah,
sementara al-Suhrawardī melihatnya sebagai iluminasi batin yang membuka jalan
bagi penyaksian hakikat cahaya.⁵ Ibn ‘Arabī melangkah lebih jauh dengan
menjelaskan bahwa seluruh proses sulūk adalah perjalanan Tuhan di dalam
diri manusia—yakni tajallī Tuhan melalui bentuk eksistensial manusia.⁶
Kajian terhadap al-sulūk al-‘irfānī menjadi
semakin relevan dalam konteks modern, ketika manusia mengalami krisis makna dan
alienasi spiritual akibat dominasi rasionalitas instrumental. Dalam situasi
ini, sulūk menawarkan model transformasi kesadaran yang memadukan
pengetahuan rasional dengan pengalaman intuitif, sehingga membuka ruang bagi
pemahaman baru tentang spiritualitas eksistensial.⁷ Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk menguraikan secara filosofis struktur ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dari al-sulūk al-‘irfānī, dengan menyoroti
integrasi antara dimensi penyucian, penghiasan, dan penyingkapan dalam
perjalanan menuju Tuhan.
Footnotes
[1]
¹ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of
Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 106.
[2]
² Henry Corbin, Creative Imagination in the
Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969), 125.
[3]
³ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī
‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 214–217.
[4]
⁴ Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1964), 121.
[5]
⁵ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq,
ed. Henry Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1976), 45–48.
[6]
⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu
al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 56–58.
[7]
⁷ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 12.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Konsep al-sulūk
al-‘irfānī tidak muncul secara tiba-tiba dalam khazanah intelektual
Islam. Ia berakar pada fondasi Qur’ani dan kenabian yang menekankan perjalanan
spiritual sebagai jalan menuju pengetahuan Ilahi (ma‘rifah). Al-Qur’an menggambarkan
manusia sebagai makhluk yang dipanggil untuk mengenal Tuhan melalui proses
penyucian jiwa: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa
itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (QS al-Syams [91]
ayat 9–10).¹ Ayat ini menjadi dasar bagi tradisi tazkiyah al-nafs, yang kemudian
berkembang menjadi landasan moral dan spiritual bagi seluruh bentuk sulūk
dalam tasawuf Islam. Nabi Muhammad Saw sendiri memberikan teladan dalam hal ini
melalui praktik khalwah (penyendirian), dzikr, dan muraqabah, yang oleh
generasi sahabat dan tabi‘in ditransformasikan menjadi metodologi spiritual.²
2.1. Awal Mula dalam Tradisi Sufi Klasik
Pada abad ke-2 dan
ke-3 H, sulūk
mulai memperoleh struktur konseptual yang lebih sistematis melalui para sufi
awal seperti al-Ḥasan al-Baṣrī, Rābi‘ah al-‘Adawiyyah, dan al-Muḥāsibī.³ Mereka
menafsirkan sulūk sebagai jalan menuju maḥabbah
(cinta Ilahi) dan ma‘rifah, yang menuntut penyucian
diri dari hawa nafsu dan keterikatan duniawi. Pada tahap ini, sulūk
dipahami sebagai asketisme spiritual (zuhd) yang berfokus pada kontrol
diri dan ketaatan kepada Tuhan.⁴ Al-Muḥāsibī dalam al-Ri‘āyah li Ḥuqūq Allāh
menekankan pentingnya muhasabah diri sebagai tahap awal takhallī,
sementara al-Junayd al-Baghdādī kemudian memperluasnya menjadi perjalanan
menuju kesadaran tauhid yang sejati.⁵
2.2. Integrasi Metafisika dan ‘Irfān: Peran Al-Ghazālī
dan Al-Suhrawardī
Periode klasik
lanjut (abad ke-5–6 H) menandai integrasi antara tasawuf dan filsafat yang
melahirkan paradigma ‘irfānī. Abū Ḥāmid al-Ghazālī
menjadi figur sentral yang menjembatani moralitas sufistik dengan epistemologi
rasional. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ia menguraikan sulūk
sebagai proses bertahap dari takhallī hingga tajallī,
yang berpuncak pada ma‘rifah—suatu pengetahuan langsung
terhadap realitas Ilahi.⁶ Al-Ghazālī menolak pandangan ekstrem rasionalisme
filosofis dan formalisme fikih dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya
tercapai melalui penyinaran batin (nūr al-qalb) yang dianugerahkan
oleh Tuhan.⁷
Setelahnya, Shihāb al-Dīn
al-Suhrawardī (w. 587 H) mengembangkan hikmat al-ishrāq (filsafat
iluminasi) yang memandang realitas sebagai hierarki cahaya.⁸ Dalam sistem ini, sulūk
menjadi proses ontologis di mana jiwa manusia menempuh jalan kembali menuju Nūr
al-Anwār (Cahaya dari segala Cahaya).⁹ Suhrawardī mengintegrasikan
simbolisme sufistik dengan metafisika Neoplatonik, sehingga ‘irfān
memperoleh bentuk filosofis yang lebih sistematik. Dengan demikian, sulūk
tidak lagi dipandang sekadar sebagai latihan spiritual, melainkan sebagai jalan
pencerahan eksistensial yang menyingkap hakikat wujud.
2.3. Klimaks Genealogis: Ibn ‘Arabī dan Filsafat Wahdat
al-Wujūd
Pemikiran Ibn ‘Arabī
(w. 638 H) membawa al-sulūk al-‘irfānī mencapai puncak
sistematiknya. Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam dan al-Futūḥāt
al-Makkiyyah, ia menjelaskan bahwa sulūk merupakan ekspresi dinamis
dari tajallī
Ilahi di alam kesadaran manusia.¹⁰ Tahapan takhallī dan taḥallī
bukan sekadar moral, tetapi transformasi eksistensial yang mempersiapkan diri
untuk menyaksikan al-Ḥaqq dalam segala
manifestasinya. Menurut Ibn ‘Arabī, salik sejati menyadari bahwa seluruh wujud
adalah manifestasi Tuhan, dan perjalanan spiritual pada hakikatnya adalah
perjalanan Tuhan di dalam diri manusia.¹¹
Dengan gagasan wahdat
al-wujūd (kesatuan wujud), Ibn ‘Arabī menggabungkan dimensi
teologis, metafisis, dan psikologis dari sulūk ke dalam satu sistem
ontologis yang utuh.¹² Inilah yang kemudian menjadi landasan bagi tradisi ‘irfān
falsafī di dunia Islam Timur (Iran, Turki, India), terutama melalui karya Mullā
Ṣadrā yang menafsirkan sulūk sebagai gerak substansial
jiwa menuju kesempurnaan (al-ḥarakah al-jawhariyyah).¹³
2.4. Perbandingan dan Penyerapan Lintas Tradisi
Genealogi al-sulūk
al-‘irfānī juga memperlihatkan dialog produktif dengan tradisi
mistik lain. Unsur-unsur konseptual seperti “naik turun jiwa” dalam
Neoplatonisme Plotinus atau pembersihan diri dalam Vedānta dapat ditemukan
dalam kerangka serupa dengan takhallī dan tajallī.¹⁴
Namun, keunikan ‘irfān Islam terletak pada kesatuan
antara pengetahuan dan penyembahan (‘ilm dan ‘ubūdiyyah),
di mana setiap tahap sulūk tidak pernah memisahkan
antara pengalaman mistik dan etika tauhid.¹⁵
Dengan demikian,
secara historis dan genealogis, al-sulūk al-‘irfānī merupakan hasil
sintesis antara spiritualitas Qur’ani, praksis tasawuf klasik, dan refleksi
metafisik filsafat Islam. Ia bukan hanya representasi pengalaman mistik, tetapi
juga ekspresi tertinggi dari upaya manusia untuk memahami eksistensi dirinya
dalam horizon keilahian.
Footnotes
[1]
¹ Al-Qur’an, QS al-Syams [91] ayat 9–10.
[2]
² Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1983), 35–37.
[3]
³ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 22–25.
[4]
⁴ Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London:
Routledge, 1963), 41.
[5]
⁵ al-Muḥāsibī, al-Ri‘āyah li Ḥuqūq Allāh (Cairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1964), 17–19.
[6]
⁶ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 298–301.
[7]
⁷ Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Ash‘arite School,” Dumbarton
Oaks Papers 37 (1983): 125–127.
[8]
⁸ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry
Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1976), 44.
[9]
⁹ Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardī’s
Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 63–66.
[10]
¹⁰ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 2 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 243–246.
[11]
¹¹ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 57–61.
[12]
¹² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
142.
[13]
¹³ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār
al-Ḥikmah, 1981), 89–93.
[14]
¹⁴ Pierre Hadot, Plotinus or the Simplicity of Vision
(Chicago: University of Chicago Press, 1993), 56–59.
[15]
¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 116.
3.
Ontologi
al-Sulūk al-‘Irfānī
Secara ontologis, al-sulūk
al-‘irfānī merupakan proses transformasi wujud manusia menuju
kesadaran Ilahi yang lebih tinggi. Dalam pandangan ini, manusia tidak hanya
dipahami sebagai entitas biologis atau rasional, tetapi sebagai wujūd nāṭiq
rūḥānī—makhluk yang memiliki potensi untuk menyingkap hakikat
realitas melalui pembersihan eksistensinya.¹ Ontologi sulūk
berakar pada kesadaran bahwa seluruh keberadaan adalah manifestasi dari Wujud
Tunggal (al-wujūd
al-muṭlaq), dan bahwa perjalanan spiritual sejati adalah kembalinya
wujud partikular manusia menuju sumber segala realitas tersebut.²
3.1. Hakikat Wujud dan Martabat Eksistensi
Dalam kerangka ‘irfānī,
realitas tertinggi adalah Tuhan sebagai al-Ḥaqq, yang menjadi sumber dan
penopang segala yang ada. Wujud segala sesuatu merupakan pancaran atau
manifestasi dari Wujud Ilahi melalui proses tajallī.³ Dengan demikian, alam
semesta bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan penyingkapan bertingkat
dari eksistensi Ilahi yang tak terbatas. Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa “Tuhan
menampakkan diri-Nya melalui bentuk-bentuk makhluk agar Dia dapat dikenal,”⁴
dan oleh karenanya, proses sulūk sejatinya merupakan jalan
kembali dari keragaman bentuk menuju kesatuan wujud.
Dalam konteks ini,
manusia menduduki posisi ontologis yang istimewa sebagai cermin Ilahi (mir’āt
al-ḥaqq). Ia adalah tempat penampakan nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan, yang menjadikannya subjek sekaligus objek dari perjalanan eksistensial
ini.⁵ Ontologi al-sulūk al-‘irfānī memandang bahwa
transformasi spiritual hanya mungkin terjadi bila manusia menyadari kedudukan
ontologisnya—bahwa ia adalah partisipan dalam realitas Ilahi, bukan entitas
yang terpisah dari-Nya.
3.2. Takhallī, Taḥallī, dan Tajallī sebagai Transformasi
Ontologis
Tiga tahap utama
dalam sulūk—takhallī,
taḥallī,
dan tajallī—dapat
dipahami sebagai struktur ontologis dari proses keberadaan manusia. Takhallī
menandai peniadaan wujud egoistik (nafs ammārah), yang masih terikat
oleh dualitas dan keterbatasan duniawi.⁶ Pada tahap ini, salik menempuh proses
“negasi ontologis,” yaitu mengosongkan diri dari segala sifat yang bukan
berasal dari Tuhan. Proses ini sejalan dengan prinsip lā ilāha,
penafian segala bentuk keberadaan selain Tuhan.
Tahap taḥallī
kemudian menjadi afirmasi dari aspek Ilahi dalam diri manusia, yakni
penghayatan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (asmā’
Allāh al-ḥusnā) dalam kesadaran dan tindakan.⁷ Secara ontologis,
ini adalah proses partisipasi dalam realitas Wujud Mutlak—transformasi dari
ketiadaan eksistensial menuju eksistensi yang bercahaya. Sedangkan tajallī
merupakan puncak dari perjalanan ini: penyaksian realitas Ilahi secara langsung
di mana subjek dan objek lenyap dalam kesatuan pengalaman.⁸ Dalam keadaan ini,
manusia tidak lagi memandang dirinya sebagai sesuatu yang terpisah dari Tuhan,
tetapi sebagai cermin yang memantulkan keberadaan-Nya secara sempurna.
3.3. Relasi Tuhan dan Makhluk: Wahdat al-Wujūd dan
Wahdat al-Shuhūd
Ontologi al-sulūk
al-‘irfānī secara historis diartikulasikan melalui dua paradigma
besar: wahdat
al-wujūd (kesatuan wujud) dan wahdat al-shuhūd (kesatuan
penyaksian). Ibn ‘Arabī meletakkan dasar wahdat al-wujūd dengan menyatakan
bahwa tidak ada realitas hakiki selain Tuhan; semua yang lain hanyalah bentuk
manifestasi dari Wujud-Nya.⁹ Sementara Aḥmad Sirhindī dalam tradisi India
menekankan wahdat
al-shuhūd, yakni bahwa kesatuan itu terjadi dalam ranah kesadaran (shuhūd),
bukan dalam realitas ontologis itu sendiri.¹⁰
Dua pandangan ini
saling melengkapi dalam menjelaskan dinamika sulūk: dalam tataran kesadaran,
salik mengalami penyingkapan yang seolah-olah menghapus jarak antara dirinya
dan Tuhan; namun dalam tataran ontologis, ia tetap menyadari keterbatasan dirinya
sebagai makhluk.¹¹ Kesadaran ganda ini menjadi inti dari pengalaman tajallī,
di mana Tuhan menyingkap diri-Nya tanpa kehilangan transendensi-Nya.
3.4. Manusia sebagai Poros Ontologis: al-Insān al-Kāmil
Puncak sulūk
adalah realisasi al-insān al-kāmil (manusia
sempurna), yang merupakan manifestasi tertinggi dari kesempurnaan Ilahi dalam
eksistensi manusia.¹² Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, manusia sempurna adalah
mikrokosmos yang memantulkan seluruh martabat wujud, menjembatani antara Tuhan
dan alam.¹³ Dengan demikian, sulūk bukan sekadar proses
penyucian moral, tetapi perjalanan ontologis yang mengaktualisasikan potensi
Ilahi dalam diri manusia.
Konsep al-insān
al-kāmil juga menjadi prinsip kosmologis: melalui kesempurnaan
manusia, seluruh ciptaan menemukan maknanya.¹⁴ Oleh sebab itu, al-sulūk
al-‘irfānī memandang manusia bukan hanya sebagai pencari Tuhan,
tetapi juga sebagai tempat di mana Tuhan menyingkap diri-Nya. Ini merupakan
penegasan tertinggi dari ontologi Islam, bahwa wujud adalah satu, dan perjalanan
menuju Tuhan adalah perjalanan dari Tuhan, melalui Tuhan, dan kembali kepada
Tuhan.¹⁵
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise
of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 57.
[2]
² Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994),
101.
[3]
³ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 47–48.
[4]
⁴ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 121.
[5]
⁵ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 142–144.
[6]
⁶ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 214–216.
[7]
⁷ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 302–305.
[8]
⁸ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 56–58.
[9]
⁹ Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 90–92.
[10]
¹⁰ Aḥmad Sirhindī, Maktūbāt-e Imām Rabbānī, vol. 1 (Lahore:
Majlis-e Isha‘at-e Islām, 1973), 44–46.
[11]
¹¹ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 282–284.
[12]
¹² Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 131.
[13]
¹³ William Chittick, The Perfect Man: Studies in Ibn al-‘Arabī’s
Concept of the Microcosm (London: KPI, 1982), 17–20.
[14]
¹⁴ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
153–154.
[15]
¹⁵ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār
al-Ḥikmah, 1981), 201–203.
4.
Epistemologi
dan Proses Pencerahan
Epistemologi al-sulūk
al-‘irfānī menempatkan pengetahuan (ma‘rifah) bukan sekadar hasil dari
proses kognitif rasional, tetapi sebagai buah dari pencerahan eksistensial.
Dalam tradisi ini, pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui representasi
intelektual, melainkan melalui transformasi kesadaran yang mengantarkan manusia
pada penyaksian langsung terhadap realitas Ilahi.¹ Pengetahuan menjadi identik
dengan penyatuan (ittiḥād) antara subjek dan objek,
di mana yang mengetahui dan yang diketahui melebur dalam satu kesadaran Ilahi.²
Dengan demikian, epistemologi ‘irfānī melampaui batasan epistemologi
diskursif dan proposisional yang lazim dalam filsafat rasional.
4.1. Hakikat Ma‘rifah dan Hirarki Pengetahuan
Dalam pandangan para
sufi, ma‘rifah
merupakan bentuk pengetahuan yang tertinggi, diperoleh bukan melalui akal
semata, tetapi melalui pembersihan hati (qalb) sebagai wadah pancaran cahaya
Ilahi.³ Al-Qur’an menegaskan: “Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan
mengajarkan kepadamu” (QS al-Baqarah [2] ayat 282), yang
menunjukkan hubungan langsung antara kesucian batin dan penerimaan
pengetahuan.⁴ Al-Ghazālī menegaskan bahwa pengetahuan semacam ini adalah ‘ilm
ladunnī—pengetahuan yang diberikan langsung oleh Tuhan tanpa
perantara.⁵
Para arif membagi
hirarki pengetahuan ke dalam tiga tingkatan epistemik: ‘ilm
al-yaqīn (pengetahuan berdasarkan dalil), ‘ayn
al-yaqīn (pengetahuan melalui penyaksian), dan ḥaqq
al-yaqīn (pengetahuan melalui penyatuan dengan kebenaran).⁶
Tingkatan pertama dicapai melalui argumentasi rasional, tingkatan kedua melalui
pengalaman batin, dan tingkatan ketiga melalui realisasi ontologis di mana
pengetahuan menjadi bagian dari wujud itu sendiri. Dalam struktur ini, ‘ilm
bersifat konseptual, ‘ayn bersifat intuitif-visioner,
dan ḥaqq
bersifat eksistensial.
4.2. Peran Intuisi dan Dzikir sebagai Jalan Pencerahan
Proses epistemik
dalam sulūk
tidak bersandar pada logika diskursif, melainkan pada pembersihan batin dan
kehadiran hati. Dzikir, kontemplasi (tafakkur), dan muraqabah
merupakan sarana utama dalam membuka tabir kesadaran.⁷ Ibn ‘Arabī menyebut
proses ini sebagai kashf—penyingkapan yang terjadi
ketika hijab antara kesadaran manusia dan realitas Ilahi tersingkap.⁸ Dalam
momen kashf,
pengetahuan hadir tanpa mediasi simbol, tanpa perantara bahasa atau konsep.
Menurut Shihāb
al-Dīn al-Suhrawardī, intuisi (dhawq) adalah sumber pengetahuan
tertinggi yang melampaui akal konseptual.⁹ Dalam Ḥikmat al-Ishrāq, ia menjelaskan
bahwa cahaya Ilahi menyinari jiwa yang telah suci, sehingga pengetahuan muncul
sebagai iluminasi, bukan inferensi.¹⁰ Ini selaras dengan pandangan Ibn Sīnā
tentang ‘ilm ḥuḍūrī
(pengetahuan hadiriah), yakni pengetahuan yang diperoleh melalui kehadiran
langsung objek dalam kesadaran, bukan melalui representasi.¹¹ Epistemologi ‘irfānī
dengan demikian menegaskan bahwa pencerahan sejati hanya dapat dicapai melalui
penjernihan eksistensi dan keterbukaan terhadap penyinaran Ilahi.
4.3. Hubungan antara Rasio, Wahyu, dan Intuisi
Salah satu keunikan
epistemologi ‘irfānī ialah kemampuannya
menyatukan tiga sumber pengetahuan: rasio (‘aql), wahyu (waḥy),
dan intuisi (dhawq).¹² Rasio berfungsi sebagai
alat verifikasi, wahyu sebagai petunjuk objektif, dan intuisi sebagai
pengalaman langsung terhadap realitas spiritual.¹³ Dalam kerangka ini, akal
tidak ditolak, tetapi ditundukkan pada cahaya hati; ia berfungsi bukan sebagai
penguasa kebenaran, melainkan sebagai pelayan kebenaran yang disingkap oleh
Ilahi.
Al-Ghazālī
menjelaskan bahwa rasio hanyalah tangga awal menuju pengetahuan sejati; ketika
seseorang telah mencapai ma‘rifah, ia meninggalkan rasio
sebagaimana pelaut meninggalkan perahu setelah tiba di pantai.¹⁴ Ibn ‘Arabī pun
menegaskan bahwa wahyu dan intuisi berasal dari sumber yang sama—Tuhan—namun
wahyu bersifat universal dan normatif, sedangkan intuisi bersifat personal dan
eksistensial.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi ‘irfānī bukanlah anti-rasional,
melainkan supra-rasional: ia menempatkan akal dalam harmoni dengan intuisi dan
wahyu sebagai jalan menuju kesatuan pengetahuan.
4.4. Pencerahan dan Transformasi Kesadaran
Proses pencerahan (tanwīr)
dalam al-sulūk
al-‘irfānī adalah transformasi kesadaran dari tingkat empiris
menuju kesadaran Ilahi. Dalam kerangka ini, pengetahuan bukan sekadar “memiliki”
kebenaran, tetapi “menjadi” kebenaran itu sendiri.¹⁶ Ketika salik
mencapai tahap tajallī, ia tidak lagi memandang
Tuhan sebagai objek pengetahuan eksternal, melainkan sebagai realitas yang
hadir dalam dirinya. Ini sesuai dengan hadis qudsi: “Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan
penglihatannya yang dengannya ia melihat.”¹⁷
Epistemologi ‘irfānī
dengan demikian bersifat performatif dan eksistensial: mengetahui berarti
berubah.¹⁸ Proses takhallī menghapus ilusi dualitas
pengetahuan, taḥallī menumbuhkan kesadaran
Ilahi, dan tajallī
menyempurnakan pencerahan di mana pengetahuan, eksistensi, dan cinta bersatu
dalam satu titik kesadaran Ilahi.¹⁹ Dalam titik puncak ini, ma‘rifah
bukanlah sekadar hasil dari perjalanan, melainkan realitas yang mengubah
seluruh dimensi keberadaan manusia.
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 69–71.
[2]
² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
221.
[3]
³ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 294–296.
[4]
⁴ Al-Qur’an, QS al-Baqarah [2] ayat 282.
[5]
⁵ Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Theory of ‘Ilm Ladunni,” Studia
Islamica 57 (1983): 31–33.
[6]
⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 102–103.
[7]
⁷ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 216–218.
[8]
⁸ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 87–88.
[9]
⁹ Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry
Corbin (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1976), 62–64.
[10]
¹⁰ Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of
Suhrawardī’s Hikmat al-Ishrāq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 71–72.
[11]
¹¹ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 28–31.
[12]
¹² Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 141.
[13]
¹³ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital
(Princeton: Princeton University Press, 1960), 187–189.
[14]
¹⁴ al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif,
1969), 45.
[15]
¹⁵ Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 156–158.
[16]
¹⁶ Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in
Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 89–90.
[17]
¹⁷ Hadis Qudsi, dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Riqāq, no.
6502.
[18]
¹⁸ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 295.
[19]
¹⁹ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7 (Tehran: Dār
al-Ḥikmah, 1981), 211–213.
5.
Aksiologi
dan Orientasi Etis
Dimensi aksiologis al-sulūk
al-‘irfānī memusatkan perhatian pada nilai, tujuan, dan orientasi
moral dari perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan. Dalam kerangka ini, etika
bukanlah sekadar norma perilaku sosial, tetapi manifestasi langsung dari
kesadaran ontologis yang telah tercerahkan.¹ Nilai-nilai moral muncul sebagai
refleksi dari tingkat pencerahan batin; semakin tinggi tingkat ma‘rifah,
semakin luhur pula perilaku etis yang dihasilkan. Dengan demikian, al-sulūk
al-‘irfānī memandang bahwa realisasi pengetahuan Ilahi (ma‘rifah
Allāh) niscaya berimplikasi pada pembentukan moralitas Ilahiah (akhlaq
rabbāniyyah).
5.1. Etika Penyucian Diri (Takhallī)
Tahap awal dalam
aksiologi sulūk
adalah takhallī,
yaitu pembersihan diri dari sifat-sifat tercela (al-radhā’il) yang menutupi cahaya
fitrah manusia.² Proses ini tidak hanya berorientasi moral, tetapi juga
ontologis, sebab setiap sifat buruk meneguhkan keterpisahan antara manusia dan
Tuhan. Al-Ghazālī menegaskan bahwa takhallī adalah “pengosongan wadah
hati agar dapat diisi oleh cahaya kebenaran.”³ Dengan menyingkirkan keangkuhan,
hasrat duniawi, dan cinta terhadap kekuasaan, salik membebaskan kesadarannya
dari belenggu ego yang bersifat ilusif. Dalam konteks etika, takhallī
menjadi landasan asketis yang menyiapkan individu untuk menapaki tahap-tahap
moral yang lebih tinggi.
Etika takhallī
juga mencerminkan prinsip Qur’ani: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa
itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (QS al-Syams [91]
ayat 9–10).⁴ Penyucian jiwa bukanlah tindakan pasif, tetapi proses aktif yang
menuntut refleksi diri, pengendalian hawa nafsu (mujāhadah), dan pembiasaan moral.⁵
Dalam pandangan ‘irfānī, kejahatan moral tidak lain
adalah bentuk kebodohan ontologis—ketidaktahuan terhadap hakikat diri dan
Tuhan. Karenanya, pembersihan moral adalah langkah epistemik menuju pengetahuan
yang benar.
5.2. Etika Penghiasan Diri (Taḥallī)
Setelah mengosongkan
diri dari sifat tercela, salik melangkah ke tahap taḥallī, yakni penghiasan diri
dengan sifat-sifat Ilahi (al-asmā’ al-ḥusnā).⁶ Etika taḥallī
berakar pada hadis Nabi: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah”
(takhallaqū
bi-akhlāq Allāh), yang menegaskan bahwa tujuan moral tertinggi
adalah meneladani sifat-sifat Tuhan dalam batas kemanusiaan.⁷
Dalam tahap ini,
kesucian hati berbuah kebaikan yang bersifat spontan dan natural, bukan lagi
hasil rekayasa kehendak. Manusia yang telah menghiasi diri dengan sifat raḥmah,
ḥilm,
‘adl,
dan ṣidq
bukan hanya menjadi pribadi etis, tetapi juga saluran kasih Ilahi di dunia. Ibn
‘Arabī menjelaskan bahwa taḥallī adalah tahapan di mana
“nama-nama Tuhan bertajallī melalui manusia,” sehingga etika menjadi refleksi
dari kehadiran Ilahi dalam diri seseorang.⁸
Etika taḥallī
juga mengandung dimensi sosial: seseorang yang telah mencapai kebeningan batin
tidak akan mampu menolak keadilan dan kasih.⁹ Ia menjadi cermin Ilahi bagi
masyarakatnya. Dalam perspektif aksiologis, inilah tahap di mana nilai-nilai
moral berubah dari kewajiban normatif menjadi ekspresi eksistensial.
5.3. Etika Penyaksian (Tajallī)
Tahap tajallī
menandai puncak etika al-sulūk al-‘irfānī, di mana
seluruh tindakan manusia berakar dari kesadaran tauhid.¹⁰ Pada tahap ini,
moralitas tidak lagi dipandang sebagai serangkaian aturan eksternal, tetapi
sebagai pancaran spontan dari kesadaran Ilahi yang menyatu dengan wujud. Dalam
pandangan Ibn ‘Arabī, manusia yang telah mencapai tajallī berperilaku bukan karena
kewajiban, tetapi karena Tuhan “bertindak melalui dirinya.”¹¹
Etika tajallī
bersifat kosmik dan transpersonal: ia melampaui batas keakuan serta membentuk
relasi harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam.¹² Kesadaran akan kesatuan
wujud (wahdat
al-wujūd) melahirkan empati universal, sebab setiap makhluk
dipandang sebagai manifestasi Ilahi yang layak dihormati. Dalam kerangka ini,
tanggung jawab moral tidak hanya terbatas pada sesama manusia, tetapi juga
meluas ke seluruh ciptaan.¹³
Dengan demikian, tajallī
menghasilkan etika tauhid yang bersifat ekologis dan universal. Manusia yang
tercerahkan tidak mungkin berbuat zalim terhadap sesama atau terhadap alam,
sebab keduanya adalah cerminan Tuhan yang ia saksikan.¹⁴ Inilah puncak dari
aksiologi ‘irfānī:
kesatuan antara pengetahuan, cinta, dan tindakan yang berakar pada penyaksian
Ilahi.
5.4. Al-Insān al-Kāmil sebagai Orientasi Etis Tertinggi
Orientasi akhir dari
al-sulūk
al-‘irfānī adalah realisasi al-insān al-kāmil (manusia
sempurna), sosok yang menjadi poros etika kosmis.¹⁵ Dalam dirinya terhimpun
seluruh nama dan sifat Tuhan, sehingga ia berfungsi sebagai jembatan antara
transendensi dan immanensi. Al-insān al-kāmil bukan sekadar ideal moral,
melainkan telos dari seluruh eksistensi manusia: menjadi refleksi kesempurnaan
Ilahi dalam dunia fenomenal.¹⁶
Dalam tataran
praksis, konsep ini menuntut orientasi moral yang dinamis—bukan moralitas
statis berbasis larangan, melainkan moralitas kreatif berbasis cinta (maḥabbah)
dan pengabdian (‘ubūdiyyah).¹⁷ Kesempurnaan etis
tidak terletak pada ketaatan formal, tetapi pada integrasi antara ilmu, amal,
dan kesadaran Ilahi. Oleh sebab itu, al-sulūk al-‘irfānī menegaskan
bahwa etika tertinggi adalah rahmah—kasih yang universal, yang
menembus batas agama, budaya, dan alam.¹⁸
Dengan demikian,
dimensi aksiologis al-sulūk al-‘irfānī menunjukkan
bahwa perjalanan spiritual bukan hanya transformasi batin, tetapi juga revolusi
etis yang membentuk manusia menjadi wakil Ilahi di bumi (khalīfat
Allāh fī al-arḍ).¹⁹
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 134–136.
[2]
² al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 214–215.
[3]
³ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 292–293.
[4]
⁴ Al-Qur’an, QS al-Syams [91] ayat 9–10.
[5]
⁵ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 47–48.
[6]
⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 74–76.
[7]
⁷ Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah
al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 31–33.
[8]
⁸ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 112–113.
[9]
⁹ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
95.
[10]
¹⁰ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994),
83.
[11]
¹¹ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 211.
[12]
¹² Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 287.
[13]
¹³ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 89–91.
[14]
¹⁴ Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 104–106.
[15]
¹⁵ William Chittick, The Perfect Man: Studies in Ibn al-‘Arabī’s
Concept of the Microcosm (London: KPI, 1982), 21–22.
[16]
¹⁶ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 129–130.
[17]
¹⁷ al-Suhrawardī, ‘Awārif al-Ma‘ārif (Cairo: Dār al-Ma‘ārif,
1966), 42–43.
[18]
¹⁸ Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 175–176.
[19]
¹⁹ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge &
Kegan Paul, 1981), 142.
6.
Dimensi
Psikologis dan Eksistensial
Dimensi psikologis
dan eksistensial al-sulūk al-‘irfānī menyoroti
dinamika batin dan kesadaran manusia dalam perjalanan menuju penyaksian Tuhan.
Proses sulūk
bukan sekadar perjalanan moral atau intelektual, tetapi transformasi menyeluruh
terhadap struktur kepribadian dan eksistensi manusia.¹ Dalam perspektif ini,
aspek psikologis tidak dapat dipisahkan dari dimensi metafisik, sebab jiwa
manusia merupakan cermin kecil dari tatanan wujud Ilahi.² Dengan demikian,
seluruh tahapan takhallī, taḥallī,
dan tajallī
mencerminkan pergerakan eksistensial dari keterikatan terhadap ego menuju
kebebasan spiritual dan kesadaran tauhid.
6.1. Jiwa dan Dinamika Kesadaran dalam Sulūk
Tradisi ‘irfānī
memahami manusia sebagai entitas berlapis yang terdiri atas nafs
(jiwa egoistik), qalb (hati spiritual), rūḥ
(jiwa Ilahi), dan sirr (rahasia terdalam kesadaran).³
Keempat lapisan ini membentuk medan psikologis yang menjadi ruang berlangsungnya
sulūk.
Tahap awal perjalanan spiritual melibatkan pergulatan antara nafs
ammārah (jiwa yang memerintah kepada keburukan) dan potensi Ilahi
dalam diri manusia.⁴
Dalam tahap takhallī,
salik menempuh perjuangan batin (mujāhadah) melawan dominasi nafs
ammārah melalui disiplin spiritual seperti dzikir, khalwah, dan
puasa.⁵ Proses ini menyerupai terapi eksistensial yang bertujuan memurnikan
kesadaran dari distorsi ego dan ketergantungan duniawi. Sebagaimana ditegaskan
oleh al-Ghazālī, “jiwa yang tidak dibersihkan akan menjadi cermin yang
berdebu, yang tak mampu memantulkan cahaya Tuhan.”⁶ Pembersihan ini
menandai awal kebangkitan kesadaran reflektif yang memungkinkan manusia menatap
dirinya dalam cahaya Ilahi.
6.2. Krisis Eksistensial dan Pengalaman Fana’
Proses sulūk
sering kali disertai dengan krisis eksistensial yang mendalam, karena manusia
dihadapkan pada kehancuran identitas egoistiknya. Pengalaman fana’
(peleburan diri dalam Tuhan) menggambarkan momen eksistensial di mana seluruh
konstruksi “aku” runtuh, dan kesadaran memasuki ruang keheningan absolut.⁷ Ibn
‘Arabī memandang fana’ bukan sebagai kemusnahan
ontologis, tetapi sebagai penyingkapan kesadaran tentang ketidakmandirian wujud
manusia di hadapan Wujud Mutlak.⁸
Dalam perspektif
psikologis, pengalaman fana’ dapat dipahami sebagai bentuk
transendensi diri (self-transcendence) yang
membebaskan manusia dari pusat egonya.⁹ Ernest Becker menyebut pengalaman
spiritual semacam ini sebagai upaya manusia melampaui “teror eksistensi”
yang ditimbulkan oleh kesadaran kematian dan keterbatasan.¹⁰ Namun, dalam
konteks ‘irfānī,
pelepasan diri bukanlah nihilisme, melainkan jalan menuju baqā’,
yakni keberlanjutan kesadaran dalam Tuhan. Pada tahap baqā’,
manusia hidup kembali dalam dimensi yang lebih tinggi—ia tidak lagi “memiliki”
kesadaran, tetapi “menjadi” kesadaran itu sendiri.¹¹
6.3. Kesadaran Reflektif dan Pengalaman Tajallī
Tahap tajallī
menandai transformasi kesadaran dari refleksi terhadap Tuhan menuju partisipasi
langsung dalam realitas Ilahi.¹² Dalam tahap ini, kesadaran manusia beralih
dari mode dualistik—di mana Tuhan dipandang sebagai objek eksternal—menuju
kesadaran unifatif yang menyadari bahwa seluruh wujud adalah penyingkapan
Tuhan. Pengalaman tajallī bukanlah ilusi psikologis,
tetapi bentuk tertinggi dari kesadaran reflektif yang mengatasi dikotomi
subjek-objek.¹³
Menurut Henry
Corbin, tajallī
adalah “fenomena imaginal”—yakni bentuk kesadaran antara dunia inderawi
dan dunia intelektual, di mana Tuhan menyingkap diri-Nya melalui citra batin
yang hidup.¹⁴ Dalam kondisi ini, imajinasi tidak berfungsi sebagai khayalan,
tetapi sebagai organ ontologis bagi persepsi realitas spiritual. Karena itu,
kesadaran tajallī
bersifat kreatif sekaligus partisipatif: manusia menjadi saksi sekaligus medium
dari kehadiran Ilahi.
Secara psikologis,
pengalaman tajallī
menghasilkan ketenangan eksistensial (sakīnah) dan kebahagiaan batin yang
bersumber dari kesadaran kesatuan wujud.¹⁵ Hal ini selaras dengan konsep nafs
al-muṭma’innah dalam Al-Qur’an: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan ridha dan diridhai” (QS al-Fajr [89] ayat 27–28).¹⁶
Dengan demikian, tajallī adalah puncak integrasi
spiritual di mana kesadaran manusia mencapai keseimbangan sempurna antara
keabadian dan kefanaan.
6.4. Eksistensi Autentik dan Kebebasan Spiritual
Dalam terminologi
eksistensialis, al-sulūk al-‘irfānī dapat dipahami
sebagai proses menuju eksistensi autentik (authentic being). Kebebasan sejati
tidak dicapai melalui afirmasi kehendak individual, tetapi melalui penyerahan
diri total (taslīm) kepada realitas Ilahi.¹⁷
Dengan melepaskan keterikatan pada ego, manusia menemukan kebebasan ontologis:
ia tidak lagi dikendalikan oleh ketakutan, ambisi, atau penilaian eksternal.¹⁸
Martin Heidegger
menyebut kondisi ini sebagai Gelassenheit—“keterlepasan”
yang membuka ruang bagi kehadiran realitas transenden.¹⁹ Dalam konteks ‘irfānī,
konsep ini memiliki kesetaraan dengan ridā (kerelaan batin) dan tawakkul
(kepercayaan total kepada Tuhan).²⁰ Jiwa yang mencapai keadaan ini tidak lagi
beroperasi berdasarkan hasrat individual, melainkan dalam harmoni dengan
kehendak kosmis. Kesadaran semacam ini menandai puncak transformasi
eksistensial yang menjadikan manusia sebagai khalīfat Allāh, agen Ilahi yang
bertindak berdasarkan pengetahuan dan cinta.²¹
Dengan demikian, al-sulūk
al-‘irfānī memandang transformasi psikologis sebagai inti dari
perjalanan eksistensial. Ia mengajarkan bahwa pembebasan sejati tidak mungkin
tanpa penyucian batin, dan penyaksian Tuhan tidak mungkin tanpa pembubaran
ego.²² Melalui dinamika takhallī, taḥallī,
dan tajallī,
manusia menempuh jalur penyadaran diri yang berpuncak pada penemuan eksistensi
Ilahi dalam dirinya sendiri—sebuah pencerahan yang mengubah seluruh makna
“ada.”
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 114–116.
[2]
² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
239.
[3]
³ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 189–191.
[4]
⁴ Al-Qur’an, QS Yūsuf [12] ayat 53.
[5]
⁵ Abū Ṭālib al-Makkī, Qūt al-Qulūb, vol. 1 (Beirut: Dār Ṣādir,
1995), 73–75.
[6]
⁶ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 291.
[7]
⁷ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 269–272.
[8]
⁸ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 86–88.
[9]
⁹ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 145–146.
[10]
¹⁰ Ernest Becker, The Denial of Death (New York: Free Press,
1973), 92–94.
[11]
¹¹ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7 (Tehran: Dār al-Ḥikmah,
1981), 217–218.
[12]
¹² Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism
(New York: HarperOne, 2007), 84.
[13]
¹³ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994),
77–78.
[14]
¹⁴ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 184–186.
[15]
¹⁵ Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, 278.
[16]
¹⁶ Al-Qur’an, QS al-Fajr [89] ayat 27–28.
[17]
¹⁷ Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperOne, 2002), 142–144.
[18]
¹⁸ Victor Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 109–111.
[19]
¹⁹ Martin Heidegger, Discourse on Thinking, trans. John M.
Anderson and E. Hans Freund (New York: Harper & Row, 1966), 55–57.
[20]
²⁰ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah
al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 63.
[21]
²¹ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 191–192.
[22]
²² Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge &
Kegan Paul, 1981), 148.
7.
Dimensi
Sosial dan Kultural
Dimensi sosial dan
kultural al-sulūk
al-‘irfānī menunjukkan bahwa perjalanan spiritual tidak berhenti
pada pengalaman mistik individual, melainkan menembus wilayah sosial, budaya,
dan peradaban. Dalam tradisi Islam klasik, sulūk bukanlah pelarian dari dunia,
melainkan transformasi batin yang menumbuhkan etika sosial, solidaritas
kemanusiaan, dan kepekaan terhadap dimensi kultural kehidupan.¹ Dengan
demikian, ‘irfān
tidak hanya membentuk manusia yang saleh secara pribadi, tetapi juga melahirkan
tatanan sosial yang berakar pada kesadaran Ilahi dan nilai-nilai universal
kemanusiaan.²
7.1. Dari Pengalaman Individual ke Kesadaran Kolektif
Dalam perspektif ‘irfānī,
pengalaman spiritual sejati meniscayakan tanggung jawab sosial. Seorang ‘ārif
tidak hanya mengenal Tuhan dalam kesendirian, tetapi juga dalam wajah-wajah
manusia dan realitas sosial. Ibn ‘Arabī menegaskan, “Tuhan menampakkan diri-Nya
dalam segala bentuk; maka siapa yang mengenal-Nya, melihat-Nya di setiap wajah
yang ia temui.”³ Dengan demikian, kesadaran tajallī memiliki implikasi sosial:
setiap makhluk dipandang sebagai manifestasi Ilahi yang menuntut penghormatan
dan kasih.
Proses takhallī
dan taḥallī
juga membawa dimensi sosial yang mendalam. Pembersihan diri (takhallī)
membebaskan manusia dari keserakahan, kebencian, dan egoisme yang menjadi
sumber konflik sosial.⁴ Sedangkan taḥallī, penghiasan diri dengan
sifat-sifat Ilahi seperti kasih (raḥmah), keadilan (‘adl),
dan kebijaksanaan (ḥikmah), melahirkan etika sosial
yang berakar pada cinta dan empati.⁵ Dengan demikian, al-sulūk
al-‘irfānī dapat dibaca sebagai etika sosial transformatif yang
menekankan perbaikan diri sebagai prasyarat perbaikan masyarakat.
7.2. Tasawuf dan Integrasi Sosial
Sejarah Islam
menunjukkan bahwa tasawuf berperan besar dalam
pembentukan struktur sosial yang harmonis. Para sufi tidak hanya menjadi
pembimbing spiritual, tetapi juga agen sosial yang membangun lembaga-lembaga
pendidikan, rumah sakit, dapur umum, dan jaringan solidaritas lintas kelas.⁶
Dalam konteks ini, sulūk menjadi motor penggerak bagi
tatanan sosial berbasis kasih dan keadilan.
Gerakan tarekat (ṭuruq)
yang berkembang sejak abad ke-12, seperti Qādiriyyah, Naqsyabandiyyah, dan
Syādhiliyyah, memperlihatkan dimensi sosial sulūk yang konkret.⁷ Para mursyid
mengajarkan disiplin spiritual yang berpadu dengan pelayanan sosial, menegaskan
bahwa jalan menuju Tuhan juga merupakan jalan pengabdian kepada umat manusia.⁸
Kesalehan dalam ‘irfān tidak diukur dari keterasingan
dari dunia, tetapi dari sejauh mana seseorang menghadirkan sifat-sifat Ilahi di
tengah masyarakat.⁹
Menurut Annemarie
Schimmel, tasawuf
berhasil mengubah kesalehan individual menjadi energi sosial yang mengikat
komunitas melalui cinta dan solidaritas spiritual.¹⁰ Hal ini menjelaskan
mengapa tradisi sufi sering menjadi sumber stabilitas sosial dan jembatan
antarbudaya di dunia Islam, termasuk di Nusantara.
7.3. Manifestasi Kultural dan Estetika Spiritual
Selain aspek sosial,
al-sulūk
al-‘irfānī juga memiliki pengaruh mendalam terhadap perkembangan
budaya dan seni Islam. Estetika Islam pada dasarnya adalah ekspresi simbolik
dari kesadaran tajallī—penampakan keindahan Ilahi
dalam bentuk-bentuk duniawi.¹¹ Seni kaligrafi, arsitektur, musik, dan puisi
sufi semuanya berakar pada prinsip bahwa keindahan adalah jalan menuju Tuhan (al-jamāl
min al-ḥaqq).¹²
Puisi Jalāl al-Dīn
Rūmī, misalnya, merupakan ekspresi kultural dari pengalaman fana’
dan baqā’,
di mana cinta Ilahi menjadi prinsip penciptaan sekaligus penyatuan segala
sesuatu.¹³ Musik sufi, seperti samā‘ dalam tarekat Mawlawiyyah,
berfungsi sebagai medium pengalaman mistik kolektif—sebuah bentuk sulūk
yang bersifat komunal.¹⁴ Dalam konteks ini, ‘irfān mempengaruhi dimensi budaya
bukan melalui dogma, tetapi melalui resonansi spiritual yang menembus seni,
bahasa, dan simbol-simbol kehidupan sehari-hari.
Di dunia
Melayu-Nusantara, nilai-nilai sulūk diinternalisasi dalam karya
sastra religius seperti Hikayat Nur Muhammad, Syair
Perahu karya Hamzah Fansuri, dan Serat Centhini di Jawa, yang
menampilkan integrasi antara mistisisme Islam dan budaya lokal.¹⁵ Tradisi ini
menunjukkan bahwa al-sulūk al-‘irfānī mampu
beradaptasi dengan konteks kultural, tanpa kehilangan inti transendennya.
7.4. Kesadaran Sosial dan Spiritualitas Publik
Dalam konteks
modern, al-sulūk
al-‘irfānī memiliki relevansi sebagai model spiritualitas publik
yang menekankan kesadaran etis, keadilan sosial, dan harmoni ekologis. Seyyed
Hossein Nasr menyebut bahwa krisis spiritual manusia modern tidak dapat diatasi
melalui reformasi politik atau ekonomi semata, tetapi melalui transformasi
batin kolektif yang menumbuhkan pandangan sakral terhadap kehidupan.¹⁶
Spiritualitas ‘irfānī mengajarkan bahwa perubahan
sosial sejati harus dimulai dari kesadaran—dari individu yang tercerahkan yang
kemudian menularkan cahayanya ke ruang publik.¹⁷
Etika sosial sulūk
menolak kekerasan, keserakahan, dan dominasi atas nama agama, karena kesadaran tajallī
menegaskan bahwa setiap wujud memiliki martabat Ilahi.¹⁸ Dalam kerangka ini, al-sulūk
al-‘irfānī dapat berfungsi sebagai paradigma kultural untuk
membangun masyarakat yang beradab—yakni masyarakat yang tidak hanya adil secara
struktural, tetapi juga tercerahkan secara spiritual.
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 147–148.
[2]
² Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994),
93.
[3]
³ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 174.
[4]
⁴ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 294.
[5]
⁵ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 112.
[6]
⁶ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 81–83.
[7]
⁷ J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford:
Clarendon Press, 1971), 13–15.
[8]
⁸ al-Suhrawardī, ‘Awārif al-Ma‘ārif (Cairo: Dār al-Ma‘ārif,
1966), 53–54.
[9]
⁹ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge &
Kegan Paul, 1981), 145.
[10]
¹⁰ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 360–362.
[11]
¹¹ Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986),
98.
[12]
¹² Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany:
SUNY Press, 1987), 33–35.
[13]
¹³ Jalāl al-Dīn Rūmī, Mathnawī-yi Ma‘nawī, ed. Reynold A.
Nicholson, vol. 1 (London: E. J. W. Gibb Memorial, 1925), 47–49.
[14]
¹⁴ Laleh Bakhtiar, Sufi: Expressions of the Mystic Quest
(London: Thames & Hudson, 1976), 62–64.
[15]
¹⁵ Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana
dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 132–135.
[16]
¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 88.
[17]
¹⁷ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
182–184.
[18]
¹⁸ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 201–203.
8.
Perbandingan
Filosofis
Dimensi perbandingan
filosofis al-sulūk
al-‘irfānī menyingkap keterkaitannya dengan berbagai tradisi mistik
dan filosofis dunia. Walau berakar kuat dalam wahyu dan spiritualitas Islam,
konsep perjalanan eksistensial dari ketidaktahuan menuju penyaksian Tuhan
memiliki korespondensi dengan gagasan mistik dalam tradisi Neoplatonisme,
Vedānta, Buddhisme Mahāyāna, dan mistisisme Kristen.¹ Melalui perbandingan ini,
tampak bahwa al-sulūk al-‘irfānī
merepresentasikan salah satu model universal dari pencarian manusia terhadap
kesatuan ontologis dan kesadaran transenden.
8.1. Pararelisme dengan Neoplatonisme dan Filsafat
Yunani
Neoplatonisme,
sebagaimana dirumuskan oleh Plotinus (204–270 M), memandang realitas tertinggi
sebagai The One,
sumber segala wujud yang tak terkatakan.² Segala sesuatu berasal dari The One
melalui proses emanasi (emanatio), dan jiwa manusia dapat
kembali kepadanya melalui kontemplasi dan pemurnian diri.³ Konsep ini memiliki
kemiripan struktural dengan tahapan takhallī, taḥallī,
dan tajallī
dalam sulūk,
di mana jiwa meninggalkan keterikatan material dan mencapai penyatuan dengan
sumbernya.
Namun, perbedaan
fundamental antara Neoplatonisme dan ‘irfān terletak pada dimensi
teologisnya. Dalam ‘irfān, Tuhan bukan prinsip
impersonal, tetapi Wujud Personal yang memiliki kehendak dan cinta.⁴ Ibn ‘Arabī
menolak pandangan emanasi murni dan menggantinya dengan konsep tajallī,
yaitu penyingkapan Ilahi yang bersifat dinamis dan penuh cinta (ḥubb).⁵
Dengan demikian, jika Neoplatonisme menekankan gerak intelektual menuju The One,
maka ‘irfān
menekankan gerak cinta Ilahi yang menyingkap diri-Nya dalam keberagaman
ciptaan.⁶
8.2. Relasi dengan Vedānta dan Spiritualitas India
Dalam filsafat
Vedānta, khususnya Advaita Vedānta yang diajarkan oleh Śaṅkara (w. 820 M), realitas
tertinggi adalah Brahman, dan dunia fenomenal
hanyalah ilusi (māyā).⁷ Tujuan tertinggi manusia
adalah menyadari bahwa dirinya identik dengan Brahman—tat tvam asi (“engkau adalah itu”).⁸
Sekilas, hal ini tampak sejalan dengan gagasan wahdat al-wujūd dalam ‘irfān
yang menegaskan kesatuan antara Tuhan dan wujud.
Namun, ‘irfān
Islam tidak memandang dunia sebagai ilusi yang harus disangkal, melainkan
sebagai penampakan Ilahi yang memiliki makna simbolik.⁹ Ibn ‘Arabī dan Mullā Ṣadrā
menegaskan bahwa realitas alam bersifat nyata, tetapi tidak mandiri: ia “nyata
dengan kerealitasan Tuhan.”¹⁰ Berbeda dari mokṣa (pembebasan) dalam Vedānta
yang cenderung berorientasi pada pelarian dari dunia, tajallī
dalam ‘irfān
menuntut kehadiran spiritual dalam dunia sebagai medan manifestasi Tuhan.¹¹
Dengan demikian, ‘irfān mengintegrasikan
spiritualitas transenden dengan tanggung jawab imanen terhadap kehidupan.
8.3. Kesetaraan dengan Mistisisme Kristen
Dalam tradisi
Kristen, terutama melalui pemikiran Meister Eckhart (1260–1328) dan St. John of
the Cross (1542–1591), ditemukan gagasan yang paralel dengan al-sulūk
al-‘irfānī. Eckhart menekankan proses “kelahiran Tuhan dalam
jiwa,” yakni kesadaran bahwa Tuhan hadir di dalam batin manusia ketika ego
dibungkam.¹² Sementara St. John of the Cross mengajarkan the dark
night of the soul—sebuah pengalaman penderitaan batin dan
pengosongan diri yang membawa jiwa kepada penyatuan mistik dengan Tuhan.¹³
Kesamaan dengan
konsep takhallī
dan fana’
dalam ‘irfān
jelas terlihat: baik Eckhart maupun para sufi menekankan keheningan batin
sebagai kondisi bagi kehadiran Ilahi.¹⁴ Namun, mistisisme Kristen umumnya
mempertahankan perbedaan ontologis antara makhluk dan Tuhan; penyatuan yang
dimaksud bersifat relasional, bukan esensial.¹⁵ Dalam ‘irfān,
sebaliknya, penyatuan itu dihayati secara ontologis melalui tajallī—bukan
berarti makhluk menjadi Tuhan, melainkan bahwa Tuhan menyingkap diri-Nya
melalui makhluk tanpa kehilangan keesaan-Nya.¹⁶
8.4. Kesadaran Kosmik dan Buddhisme Mahāyāna
Buddhisme Mahāyāna juga
menampilkan struktur kesadaran yang mirip dengan al-sulūk al-‘irfānī. Dalam ajaran prajñā-pāramitā,
pencerahan terjadi ketika manusia menyadari kekosongan segala fenomena (śūnyatā)
dan melihat kesatuan antara bentuk (rūpa) dan kehampaan.¹⁷ Kesadaran ini
menghasilkan welas asih universal (karuṇā), serupa dengan etika rahmah
dalam ‘irfān
Islam.¹⁸
Namun, Buddhisme
tidak mengenal konsep Tuhan personal; pencerahan dalam Buddhisme adalah
kesadaran akan non-dualitas eksistensi, bukan penyaksian terhadap realitas
Ilahi.¹⁹ Perbedaan ini menandai batas teologis antara ‘irfān
dan Buddhisme, walaupun keduanya sama-sama menekankan transendensi ego dan
kesatuan kosmik.²⁰ Dengan demikian, ‘irfān dapat dianggap sebagai
bentuk spiritualitas non-dualistik yang teistik—mengakui kesatuan eksistensi
tanpa meniadakan personalitas Tuhan.
8.5. Sintesis Universal: Jalan Cinta dan Kesadaran
Dari perbandingan
ini tampak bahwa seluruh tradisi mistik berbagi struktur eksistensial yang
serupa: pembersihan diri, pencerahan kesadaran, dan penyatuan dengan realitas
tertinggi.²¹ Namun, al-sulūk al-‘irfānī memiliki
keunikan karena menggabungkan unsur metafisika, etika, dan teologi dalam satu
kesatuan yang utuh. Ia bukan hanya sistem spiritual, tetapi juga sistem
pengetahuan dan aksi yang menjadikan cinta (maḥabbah) sebagai inti gerak
kosmos.²²
Dalam ‘irfān,
Tuhan tidak hanya objek penyembahan, tetapi juga subjek yang mencintai dan
diinginkan.²³ Karena itu, perjalanan spiritual bukan sekadar gerak jiwa menuju
Tuhan, melainkan gerak Tuhan menuju diri-Nya melalui manusia.²⁴ Hal ini
menjadikan al-sulūk
al-‘irfānī sebagai jembatan konseptual antara mistisisme timur dan
barat—antara rasionalitas dan cinta, antara kontemplasi dan tindakan.²⁵
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 189–191.
[2]
² Pierre Hadot, Plotinus or the Simplicity of Vision (Chicago:
University of Chicago Press, 1993), 42–44.
[3]
³ A. H. Armstrong, The Architecture of the Intelligible Universe in
the Philosophy of Plotinus (Cambridge: Cambridge University Press, 1940),
51–52.
[4]
⁴ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton:
Princeton University Press, 1960), 211–212.
[5]
⁵ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 144–145.
[6]
⁶ William Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings
of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 22–24.
[7]
⁷ Śaṅkara, Brahma Sūtra Bhāṣya, trans. George Thibaut (Delhi:
Motilal Banarsidass, 1962), 38–39.
[8]
⁸ Eliot Deutsch, Advaita Vedānta: A Philosophical Reconstruction
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1973), 52.
[9]
⁹ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
171–172.
[10]
¹⁰ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār
al-Ḥikmah, 1981), 211–213.
[11]
¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present (Albany: SUNY Press, 2006), 95–96.
[12]
¹² Meister Eckhart, Sermons and Treatises, trans. M. O’C.
Walshe, vol. 1 (London: Watkins, 1979), 17–18.
[13]
¹³ St. John of the Cross, The Dark Night of the Soul, trans.
E. Allison Peers (New York: Image Books, 1959), 73–75.
[14]
¹⁴ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 285–286.
[15]
¹⁵ Denys Turner, The Darkness of God: Negativity in Christian
Mysticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 68.
[16]
¹⁶ Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 192.
[17]
¹⁷ Edward Conze, Buddhist Wisdom: The Diamond Sutra and The Heart
Sutra (New York: Vintage, 2001), 34–36.
[18]
¹⁸ D. T. Suzuki, Essays in Zen Buddhism (London: Rider, 1949),
111–112.
[19]
¹⁹ Masao Abe, Zen and Western Thought (Honolulu: University of
Hawaii Press, 1985), 79–80.
[20]
²⁰ Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Essays in
Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994), 121–122.
[21]
²¹ Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s
Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 98–100.
[22]
²² Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 210–212.
[23]
²³ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 56.
[24]
²⁴ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 218–220.
[25]
²⁵ Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 156.
9.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
Meskipun al-sulūk
al-‘irfānī memiliki struktur metafisik dan spiritual yang mendalam,
tradisi ini tidak luput dari kritik filosofis dan teologis. Sejak masa klasik,
para pemikir Islam dan Barat telah menyoal status epistemik dan ontologis dari
pengalaman mistik, serta implikasinya terhadap rasionalitas, ortodoksi
teologis, dan etika. Kritik ini menjadi penting, bukan untuk menolak ‘irfān,
tetapi untuk memperjelas batas dan legitimasi filosofisnya. Oleh karena itu,
bagian ini menguraikan tiga ranah kritik utama: rasionalitas dan verifikasi
pengetahuan mistik, problem ontologis wahdat al-wujūd, dan klarifikasi
terhadap potensi antinomianisme moral dalam sulūk.
9.1. Kritik Rasionalitas dan Verifikasi Pengetahuan
Mistik
Kritik terhadap ‘irfān
pertama-tama diarahkan pada validitas epistemologisnya. Al-Fārābī dan Ibn Sīnā,
yang menekankan supremasi akal sebagai sarana pengetahuan, memandang pengalaman
mistik (dhawq)
tidak memiliki objektivitas rasional.¹ Bagi mereka, pengetahuan sejati adalah
hasil penalaran logis (burhānī), bukan hasil intuisi
subjektif.² Dalam kerangka epistemologi peripatetik, kebenaran harus bersifat
universal dan komunikatif, sedangkan pengalaman tajallī bersifat personal dan tidak
dapat diverifikasi secara intersubjektif.³
Al-Ghazālī berupaya
menjembatani jurang ini dengan menegaskan bahwa intuisi spiritual bukanlah
pengetahuan irasional, melainkan supra-rasional.⁴ Dalam al-Munqidh
min al-ḍalāl, ia menjelaskan bahwa intuisi adalah pancaran Ilahi (nūr
ilāhī) yang diberikan kepada hati yang telah suci, dan oleh
karenanya memiliki status epistemik yang sah karena bersumber dari Tuhan.⁵ Ibn
‘Arabī pun menguatkan posisi ini dengan menyatakan bahwa pengetahuan kashfī
(melalui penyingkapan) bukanlah antitesis dari rasionalitas, tetapi kelanjutan
dari rasionalitas yang telah mencapai kesempurnaannya.⁶ Kritik ini, pada
akhirnya, melahirkan klarifikasi penting bahwa epistemologi ‘irfānī
tidak menolak akal, tetapi mengatasi keterbatasannya dengan menghadirkan
dimensi langsung dari realitas.⁷
9.2. Kritik Ontologis terhadap Wahdat al-Wujūd
Salah satu kritik
paling tajam terhadap al-sulūk al-‘irfānī datang dari
persoalan ontologis wahdat al-wujūd. Banyak teolog dan
fuqaha menilai bahwa doktrin ini mengarah pada panteisme—penyamaan Tuhan dengan
makhluk—yang dianggap bertentangan dengan prinsip tauhid.⁸ Aḥmad Sirhindī,
misalnya, mengajukan koreksi melalui konsep wahdat al-shuhūd (kesatuan
penyaksian), untuk menjaga transendensi Tuhan dari risiko immanensi ekstrem.⁹
Namun, para arif
seperti Ibn ‘Arabī, al-Qūnawī, dan Mullā Ṣadrā memberikan klarifikasi filosofis
bahwa wahdat
al-wujūd tidak berarti identitas substansial antara Tuhan dan
ciptaan, melainkan kesatuan dalam tingkat realitas wujud.¹⁰ Tuhan adalah Wujud
Hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bentuk manifestasi-Nya dalam derajat yang
berbeda.¹¹ Corbin menegaskan bahwa dalam kerangka ‘irfānī, dunia bukan Tuhan, tetapi tajallī
Tuhan—yakni cermin di mana Tuhan menampakkan diri tanpa kehilangan
transendensi-Nya.¹²
Mullā Ṣadrā
memperdalam hal ini melalui teori tashkīk al-wujūd (gradasi wujud),
yang menyatakan bahwa eksistensi bersifat bertingkat dari yang paling sempurna
(Wujud Ilahi) hingga yang paling lemah (materi).¹³ Dengan demikian, kesatuan
wujud bukanlah penyamaan, melainkan hierarki ontologis di mana segala sesuatu
memiliki realitas sejauh ia berpartisipasi dalam Wujud Ilahi.¹⁴ Kritik terhadap
wahdat
al-wujūd dengan demikian menjadi titik tolak untuk memperjelas
ontologi ‘irfānī
yang menolak dualisme mutlak tanpa jatuh ke dalam panteisme.
9.3. Kritik Etis: Antinomianisme dan Spiritualitas Tanpa
Hukum
Kritik lain terhadap
al-sulūk
al-‘irfānī berkaitan dengan dugaan antinomianisme, yakni
kecenderungan menempatkan pengalaman batin di atas norma-norma syariah.
Sebagian tokoh—seperti Ibn Taymiyyah dan kemudian para pembaharu
modernis—menuduh sebagian sufi melampaui batas hukum dengan mengklaim kebebasan
moral berdasarkan “pengetahuan langsung” dari Tuhan.¹⁵ Dalam kasus
tertentu, penyimpangan praktik spiritual memang pernah terjadi, seperti klaim
kesatuan total (ittihād) yang disalahpahami sebagai
penghapusan kewajiban religius.¹⁶
Namun, kritik ini
sebagian besar bersumber dari kesalahpahaman terhadap bahasa simbolik ‘irfān.
Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa pengalaman fana’ tidak berarti lenyapnya
hukum, tetapi penyingkapan makna terdalam di balik hukum.¹⁷ Ia menulis bahwa “tiada
orang yang lebih berpegang pada syariat daripada seorang arif sejati,”
sebab syariat adalah bentuk lahir dari hakikat.¹⁸ Al-Ghazālī juga menolak
dikotomi antara syariat dan hakikat dengan menyatakan bahwa “syariat adalah
kapal, dan hakikat adalah lautan; siapa yang ingin menyeberang tanpa kapal akan
tenggelam.”¹⁹
Dengan demikian,
klarifikasi etis al-sulūk al-‘irfānī menegaskan
bahwa moralitas spiritual tidak meniadakan norma hukum, tetapi memperdalamnya
menjadi kesadaran batin yang penuh makna.²⁰ Spiritualitas sejati tidak menolak
hukum, melainkan menghayatinya dengan cinta dan kesadaran Ilahi.
9.4. Kritik Modern dan Klarifikasi Kontemporer
Dalam konteks
modern, kritik terhadap ‘irfān banyak datang dari dua arah:
positivisme rasional dan psikologi empiris.²¹ Kaum positivis menolak klaim
pengetahuan intuitif karena tidak dapat diverifikasi secara ilmiah, sementara
psikologi modern kadang menafsirkan pengalaman mistik sebagai fenomena
neuropsikologis semata.²² Namun, filsuf seperti William James, Carl Jung, dan
kemudian Seyyed Hossein Nasr membela nilai epistemik dan transformasional dari
pengalaman spiritual.²³ James dalam The Varieties of Religious Experience
menyatakan bahwa pengalaman mistik memiliki “kebenaran praktis,” karena
mengubah struktur kesadaran dan perilaku moral individu.²⁴
Klarifikasi
kontemporer terhadap ‘irfān menunjukkan bahwa tradisi
ini tidak bertentangan dengan rasionalitas ilmiah, tetapi beroperasi pada
tataran eksistensial yang berbeda.²⁵ Ia berbicara bukan tentang fenomena empiris,
tetapi tentang makna dan kesadaran yang mendasari fenomena.²⁶ Dengan demikian,
kritik modern justru membuka ruang baru bagi reinterpretasi al-sulūk
al-‘irfānī sebagai paradigma spiritual dan filosofis yang relevan
dengan tantangan manusia modern—yakni krisis makna dan alienasi ontologis.²⁷
Footnotes
[1]
¹ Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār
al-Mashriq, 1968), 45–46.
[2]
² Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā,
vol. 3 (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 122.
[3]
³ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 1983), 114.
[4]
⁴ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 302–304.
[5]
⁵ al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif,
1969), 51–52.
[6]
⁶ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 88–90.
[7]
⁷ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 107–108.
[8]
⁸ Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 2 (Riyadh: Dār
al-‘Āṣimah, 1995), 374.
[9]
⁹ Aḥmad Sirhindī, Maktūbāt-e Imām Rabbānī, vol. 1 (Lahore:
Majlis-e Isha‘at-e Islām, 1973), 46–47.
[10]
¹⁰ Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī, al-Nuṣūṣ, ed. Afīfī (Cairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1958), 32–33.
[11]
¹¹ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 98–100.
[12]
¹² Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 121.
[13]
¹³ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār
al-Ḥikmah, 1981), 206–209.
[14]
¹⁴ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994),
91–93.
[15]
¹⁵ Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 10 (Riyadh: Dār
al-‘Āṣimah, 1995), 286.
[16]
¹⁶ Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History
(Leiden: Brill, 2000), 67–68.
[17]
¹⁷ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 178–179.
[18]
¹⁸ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 115–117.
[19]
¹⁹ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah
al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 53.
[20]
²⁰ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London:
Routledge & Kegan Paul, 1981), 141–142.
[21]
²¹ Bertrand Russell, A History of Western Philosophy (New
York: Simon & Schuster, 1945), 648–649.
[22]
²² Andrew Newberg and Eugene d’Aquili, Why God Won’t Go Away: Brain
Science and the Biology of Belief (New York: Ballantine Books, 2001),
72–73.
[23]
²³ William James, The Varieties of Religious Experience (New
York: Longmans, Green & Co., 1902), 297–298.
[24]
²⁴ Ibid., 304–306.
[25]
²⁵ Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism,
Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 102–103.
[26]
²⁶ Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986),
142.
[27]
²⁷ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
274–276.
10. Relevansi Kontemporer
Dalam konteks
modern, al-sulūk
al-‘irfānī menghadirkan relevansi yang signifikan terhadap berbagai
krisis eksistensial, sosial, dan ekologis yang dihadapi manusia kontemporer.
Tradisi ini menawarkan paradigma spiritual yang melampaui sekularisme dan
materialisme, dengan menegaskan kembali kesakralan eksistensi dan keterhubungan
mendalam antara manusia, Tuhan, dan alam.¹ Di tengah globalisasi yang
menumbuhkan alienasi batin, al-sulūk al-‘irfānī mengajarkan
transformasi kesadaran sebagai jalan menuju keseimbangan antara kehidupan batin
dan tanggung jawab sosial.²
10.1. Krisis Makna dan Spiritualitas Modern
Manusia modern hidup
dalam situasi yang disebut oleh Viktor Frankl sebagai existential
vacuum—kekosongan makna akibat hilangnya orientasi spiritual dan
moral.³ Dalam dunia yang diatur oleh rasionalitas teknologis dan konsumtivisme,
manusia kehilangan relasi ontologis dengan realitas Ilahi. Al-sulūk
al-‘irfānī menawarkan penyembuhan terhadap krisis ini melalui
pemulihan kesadaran sakral, yakni pandangan bahwa seluruh wujud memiliki makna
transendental.⁴
Menurut Seyyed
Hossein Nasr, spiritualitas modern perlu beralih dari “pengetahuan tentang
dunia” menuju “pengetahuan tentang diri dan Tuhan.”⁵ Dengan menempuh
jalan takhallī,
manusia membebaskan diri dari dominasi ego dan sistem yang memisahkan antara
subjek dan objek; dengan taḥallī, ia menumbuhkan cinta,
welas asih, dan kebijaksanaan; dan melalui tajallī, ia mengalami penyatuan
dengan realitas Ilahi dalam kehidupan sehari-hari.⁶ Dalam kerangka ini, ‘irfān
menjadi terapi spiritual bagi jiwa modern yang terjebak dalam mekanisme dan
kehilangan makna eksistensi.
10.2. Relevansi dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Dalam ranah
pendidikan, al-sulūk al-‘irfānī dapat berfungsi
sebagai paradigma integral untuk pembentukan karakter spiritual dan moral.⁷
Pendidikan modern cenderung mengutamakan dimensi kognitif dan teknis, tetapi
mengabaikan pembinaan jiwa dan kesadaran etis. Padahal, dalam tradisi Islam,
ilmu tidak dapat dipisahkan dari tazkiyah (penyucian diri). Al-Ghazālī
menegaskan bahwa “ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah
kesesatan.”⁸
Dengan
mengintegrasikan nilai-nilai ‘irfānī ke dalam pendidikan,
peserta didik tidak hanya diajak berpikir rasional, tetapi juga merenung,
mengenal diri, dan menumbuhkan empati terhadap makhluk lain.⁹ Pendekatan ini
sejalan dengan prinsip taḥallī, yaitu menanamkan
sifat-sifat Ilahi seperti kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang dalam
kehidupan sosial.¹⁰ Oleh sebab itu, al-sulūk al-‘irfānī dapat menjadi
fondasi bagi pendidikan holistik yang menyatukan rasionalitas, moralitas, dan
spiritualitas.
10.3. Relevansi Sosial dan Politik: Etika Tauhid dalam
Ruang Publik
Dalam konteks
sosial-politik, al-sulūk al-‘irfānī menolak
polarisasi ekstrem antara religiusitas formal dan sekularisme pragmatis. Ia
menawarkan model spiritualitas publik yang
menekankan etika tauhid: kesadaran akan kesatuan realitas yang melahirkan
keadilan, kasih, dan solidaritas sosial.¹¹ Seorang ‘ārif sejati bukanlah yang menjauh
dari dunia, tetapi yang memandang dunia sebagai ladang tajallī
Ilahi, tempat kebenaran harus diwujudkan dalam bentuk keadilan sosial.¹²
Kesadaran tauhid ini
berimplikasi pada praksis sosial yang humanistik. Ibn ‘Arabī menulis bahwa “agama
seorang arif adalah cinta,” karena ia melihat wajah Tuhan dalam setiap
makhluk.¹³ Dalam kerangka ini, al-sulūk al-‘irfānī menjadi dasar
bagi etika dialog antaragama, toleransi sosial, dan perdamaian global.¹⁴ Dengan
menghadirkan Tuhan sebagai sumber kesatuan, bukan perpecahan, ‘irfān
mengubah spiritualitas menjadi kekuatan sosial yang membebaskan, bukan
membelenggu.¹⁵
10.4. Relevansi Ekologis dan Krisis Keberlanjutan
Salah satu aspek
paling aktual dari al-sulūk al-‘irfānī adalah
kontribusinya terhadap etika ekologis. Krisis lingkungan modern berakar pada
pandangan dualistik yang memisahkan manusia dari alam dan menempatkan alam
sebagai objek eksploitasi.¹⁶ Sebaliknya, ‘irfān menegaskan bahwa seluruh
makhluk adalah manifestasi dari Wujud Ilahi, sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Qur’an: “Tidak
ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya, hanya kalian tidak memahami
tasbih mereka” (QS al-Isrā’ [17] ayat 44).¹⁷
Dari perspektif ini,
perusakan alam adalah bentuk kezaliman spiritual karena berarti menodai cermin
tempat Tuhan menampakkan diri.¹⁸ Takhallī dalam konteks ekologis
berarti membersihkan diri dari keserakahan, taḥallī berarti menumbuhkan rasa
hormat terhadap alam, dan tajallī berarti melihat alam
sebagai tempat penyingkapan Ilahi.¹⁹ Nasr menyebut paradigma ini sebagai “eko-spiritualitas
Islam,” yang menekankan hubungan sakral antara manusia dan kosmos.²⁰ Dengan
demikian, al-sulūk
al-‘irfānī tidak hanya relevan bagi pembinaan pribadi, tetapi juga
bagi penyelamatan planet dan peradaban manusia.
10.5. Relevansi dengan Psikologi Transpersonal dan
Spiritualitas Global
Dalam perkembangan
filsafat dan psikologi modern, terutama melalui psikologi transpersonal,
konsep-konsep ‘irfānī menemukan resonansinya.²¹
Tokoh seperti Carl Jung, Abraham Maslow, dan Ken Wilber menegaskan bahwa puncak
perkembangan kesadaran manusia adalah transendensi ego dan penyatuan dengan
kesadaran universal.²² Prinsip ini sejalan dengan tahap fana’
dan baqā’
dalam al-sulūk
al-‘irfānī.
Lebih jauh, dalam
konteks spiritualitas global, ‘irfān dapat berperan sebagai
paradigma lintas agama yang memfasilitasi dialog antara tradisi Timur dan
Barat.²³ Dengan menempatkan cinta Ilahi (maḥabbah) dan kesadaran kesatuan (tawḥīd)
sebagai inti spiritualitas, al-sulūk al-‘irfānī menawarkan
bahasa universal bagi manusia modern yang haus makna.²⁴
Dengan demikian, al-sulūk
al-‘irfānī tetap aktual dan relevan sebagai jalan eksistensial yang
mengintegrasikan dimensi batin dan sosial, rasionalitas dan cinta, serta ilmu
dan nilai. Ia bukan sekadar warisan mistik, melainkan tawaran filsafat
kehidupan yang menegakkan kembali makna “manusia sebagai cermin Tuhan”
di tengah dunia yang kehilangan pantulan ketuhanan.²⁵
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 213–214.
[2]
² William Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings
of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 25.
[3]
³ Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 104–106.
[4]
⁴ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994),
98–99.
[5]
⁵ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 167.
[6]
⁶ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 298.
[7]
⁷ Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik (Bandung: Arasy, 2005), 87–88.
[8]
⁸ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah
al-Kubrā, 1964), 45.
[9]
⁹ Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Menjadi Buih
(Bandung: Mizan, 2000), 92.
[10]
¹⁰ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 71.
[11]
¹¹ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge &
Kegan Paul, 1981), 152–153.
[12]
¹² Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986),
105.
[13]
¹³ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir,
1997), 183.
[14]
¹⁴ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 373.
[15]
¹⁵ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 201–203.
[16]
¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 90–92.
[17]
¹⁷ Al-Qur’an, QS al-Isrā’ [17] ayat 44.
[18]
¹⁸ Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 117.
[19]
¹⁹ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
248–249.
[20]
²⁰ Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism,
Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 106.
[21]
²¹ Ken Wilber, The Atman Project: A Transpersonal View of Human
Development (Wheaton: Quest Books, 1980), 61–62.
[22]
²² Abraham Maslow, Toward a Psychology of Being (New York: Van
Nostrand, 1968), 111–112.
[23]
²³ Raimon Panikkar, The Experience of God: Icons of the Mystery
(Maryknoll: Orbis Books, 2006), 78–79.
[24]
²⁴ Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1964), 153–155.
[25]
²⁵ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 226–228.
11. Sintesis Filosofis
Bagian ini berfungsi
sebagai jantung reflektif dari seluruh pembahasan, yakni upaya menyatukan aspek
ontologis, epistemologis, dan aksiologis al-sulūk al-‘irfānī ke dalam satu
kerangka filsafat eksistensial Islam yang utuh. Sulūk dalam tradisi ‘irfān
bukan hanya perjalanan spiritual menuju Tuhan, melainkan proses kosmik di mana
Tuhan menyingkap diri-Nya melalui manusia.¹ Dengan demikian, sintesis filosofis
al-sulūk
al-‘irfānī terletak pada kesadaran bahwa antara wujud, pengetahuan,
dan nilai tidak ada dikotomi, tetapi kontinuitas yang saling meneguhkan.
11.1. Kesatuan Ontologi dan Epistemologi: Dari Wujud ke
Ma‘rifah
Dalam filsafat ‘irfānī,
pengetahuan (ma‘rifah) bukanlah representasi
dari realitas, melainkan partisipasi langsung dalam realitas itu sendiri.² Hal
ini sejalan dengan prinsip ittihād al-‘āqil wa al-ma‘qūl
(kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan) yang dikembangkan oleh Ibn Sīnā
dan diperluas oleh Mullā Ṣadrā dalam teori al-‘ilm al-ḥuḍūrī.³ Melalui takhallī,
manusia menafikan segala bentuk kesadaran palsu; melalui taḥallī,
ia membangun kesadaran reflektif; dan dalam tajallī, ia mencapai kesadaran
ilāhī di mana pengetahuan, eksistensi, dan kesadaran menyatu.⁴
Ibn ‘Arabī
menjelaskan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin jika yang mengetahui dan
yang diketahui adalah satu dalam wujud Ilahi.⁵ Hal ini mengimplikasikan bahwa
epistemologi ‘irfānī berakar pada ontologi yang
unifikatif—pengetahuan bukan hasil dari aktivitas intelektual yang terpisah
dari realitas, tetapi merupakan pencerahan eksistensial yang membiarkan
realitas menyingkap dirinya sendiri.⁶ Dengan demikian, ma‘rifah
tidak bersifat deskriptif, tetapi transformatif; ia mengubah struktur
eksistensi manusia agar menjadi cermin bagi Wujud Mutlak.⁷
11.2. Integrasi Aksiologi: Etika Sebagai Refleksi
Ontologis
Secara aksiologis, al-sulūk
al-‘irfānī menolak pemisahan antara etika dan ontologi. Dalam
kerangka ini, perilaku etis tidak didasarkan pada hukum eksternal atau
kewajiban formal, tetapi pada kesadaran ontologis tentang kesatuan segala
sesuatu dengan Tuhan.⁸ Seorang ‘ārif berbuat baik bukan karena
perintah, melainkan karena kebaikan adalah sifat esensial dari Wujud itu
sendiri.⁹
Etika semacam ini
dapat disebut ontological virtue ethics, yakni
etika yang berakar pada realitas wujud Ilahi. Dalam tahap taḥallī,
manusia meneladani sifat-sifat Tuhan seperti kasih (raḥmah), keadilan (‘adl),
dan kebijaksanaan (ḥikmah); sedangkan dalam tajallī,
seluruh tindakannya menjadi ekspresi spontan dari kesadaran tauhid.¹⁰ Mullā Ṣadrā
menegaskan bahwa moralitas sejati hanya mungkin jika manusia mencapai taḥqīq
al-wujūd—realisasi eksistensinya dalam Wujud Mutlak.¹¹ Dengan
demikian, sulūk
tidak menghasilkan moralitas yang legalistik, melainkan moralitas yang
kontemplatif dan partisipatif terhadap kebenaran Ilahi.
11.3. Dialektika Transendensi dan Immanensi: Tuhan dalam
Diri dan Dunia
Salah satu
kontribusi penting al-sulūk al-‘irfānī bagi filsafat
Islam ialah kemampuannya menjaga keseimbangan antara transendensi Tuhan (tanzīh)
dan immanensi-Nya (tashbīh).¹² Dalam perjalanan
spiritual, Tuhan tidak dipahami sebagai entitas jauh yang hanya dapat disembah,
tetapi juga sebagai realitas batin yang dapat disaksikan dalam kesadaran. Ibn
‘Arabī menyebut relasi ini sebagai jam‘ bayna al-ḍiddayn—kesatuan
antara dua hal yang tampak bertentangan.¹³
Di satu sisi,
manusia menyadari keterbatasannya dan tunduk pada transendensi Tuhan (takhallī);
di sisi lain, ia mengalami kehadiran Ilahi di dalam dirinya (tajallī).¹⁴
Proses ini melahirkan dialektika spiritual yang dinamis: Tuhan dikenal melalui
ciptaan, dan ciptaan menemukan maknanya melalui Tuhan. Dalam hal ini, sulūk
menjadi jembatan filosofis yang menghapus dikotomi metafisik antara yang
ilahi dan yang manusiawi, tanpa meniadakan
keduanya.¹⁵
11.4. Rekonstruksi Rasionalitas dan Spiritualitas
Salah satu sintesis
terpenting dari al-sulūk al-‘irfānī ialah
rekonsiliasi antara rasionalitas dan spiritualitas. Modernitas sering
menempatkan keduanya secara oposisi: akal dianggap bertentangan dengan intuisi,
ilmu dengan iman, logika dengan cinta. Dalam paradigma ‘irfānī,
semua dimensi ini justru bersatu dalam satu poros kesadaran.¹⁶
Al-Ghazālī telah
menunjukkan bahwa akal sejati (‘aql ṣarīḥ) adalah cahaya yang
bersumber dari Tuhan dan berfungsi sebagai pemandu dalam perjalanan
spiritual.¹⁷ Rasionalitas tidak ditolak, tetapi dimurnikan; ia tidak lagi
bersifat reduksionistik, melainkan iluminatif. Nasr menyebut hal ini sebagai “rasionalitas
sakral” (sacred rationality), yakni cara
berpikir yang menempatkan akal dalam kerangka tauhid dan realitas transenden.¹⁸
Dengan demikian, al-sulūk al-‘irfānī menjadi basis
bagi filsafat Islam yang menggabungkan rasionalitas, intuisi, dan pengalaman
eksistensial dalam kesatuan epistemik yang koheren.
11.5. Kesatuan Kosmos dan Manusia: Al-Insān al-Kāmil
sebagai Simbol Integrasi
Dalam struktur
kosmologis ‘irfān,
manusia merupakan poros kesatuan antara realitas Ilahi dan alam semesta. Ibn ‘Arabī
menggambarkan manusia sempurna (al-insān al-kāmil) sebagai “cermin
total” di mana Tuhan memandang diri-Nya sendiri.¹⁹ Dalam diri manusia,
seluruh martabat wujud—dari yang paling rendah hingga yang paling
tinggi—bertemu dalam kesatuan harmoni.²⁰
Oleh karena itu, al-insān
al-kāmil bukan hanya ideal spiritual, tetapi juga simbol filosofis
bagi kesatuan eksistensi dan kesadaran.²¹ Dalam tataran sosial, konsep ini
menegaskan bahwa kesempurnaan manusia hanya dapat dicapai ketika ia menjadi
saluran bagi rahmat Ilahi di dunia.²² Dengan demikian, sintesis al-sulūk
al-‘irfānī berpuncak pada rekonsiliasi antara mikro dan
makrokosmos, antara kontemplasi dan aksi, antara Tuhan yang transenden dan
manusia yang imanen.²³
11.6. Arah Filosofis: Sulūk sebagai Filsafat Eksistensial
Islam
Pada tataran
meta-filosofis, al-sulūk al-‘irfānī dapat dipahami
sebagai bentuk filsafat eksistensial Islam—yakni filsafat yang berangkat dari
pengalaman eksistensi menuju realitas Ilahi.²⁴ Sebagaimana eksistensialisme
Barat menekankan “ada” sebagai pusat makna, ‘irfān menegaskan “Wujud”
sebagai kebenaran yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman penyaksian.²⁵
Bedanya, eksistensialisme Barat berakhir pada absurditas manusia tanpa Tuhan,
sedangkan eksistensialisme Islam berpuncak pada kesadaran Ilahi yang memberi
makna pada seluruh eksistensi.²⁶
Dengan demikian, al-sulūk
al-‘irfānī bukan hanya sistem spiritual, melainkan filsafat hidup
yang menegaskan kesatuan antara berpikir, beriman, dan mengalami.²⁷ Ia
menyatukan metafisika dengan praksis, kontemplasi dengan etika, dan menjadikan
manusia bukan sekadar pencari Tuhan, melainkan partisipan dalam proses Ilahi
yang terus berlangsung.²⁸
Footnotes
[1]
¹ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 3 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 189.
[2]
² Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1984),
213.
[3]
³ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7 (Tehran: Dār
al-Ḥikmah, 1981), 225–227.
[4]
⁴ al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 295–296.
[5]
⁵ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo:
Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 87–88.
[6]
⁶ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 119.
[7]
⁷ Henry Corbin, Creative Imagination in the Ṣūfism of Ibn ‘Arabī
(Princeton: Princeton University Press, 1969), 128.
[8]
⁸ Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
151–153.
[9]
⁹ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things:
Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White Cloud Press, 1994),
95–96.
[10]
¹⁰ al-Suhrawardī, Ḥikmat al-Ishrāq, ed. Henry Corbin (Tehran:
Institute Franco-Iranien, 1976), 58–59.
[11]
¹¹ Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 6 (Tehran: Dār
al-Ḥikmah, 1981), 218.
[12]
¹² Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 174–176.
[13]
¹³ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol. 4 (Beirut: Dār
Ṣādir, 1997), 212.
[14]
¹⁴ William Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998), 144–145.
[15]
¹⁵ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel
Hill: University of North Carolina Press, 1975), 299.
[16]
¹⁶ Nasr, Islamic Life and Thought (London: Routledge &
Kegan Paul, 1981), 157–158.
[17]
¹⁷ al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif,
1969), 55.
[18]
¹⁸ Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford
University Press, 1996), 113.
[19]
¹⁹ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, 101.
[20]
²⁰ Henry Corbin, Temple and Contemplation (London: KPI, 1986),
121–122.
[21]
²¹ William Chittick, The Perfect Man: Studies in Ibn al-‘Arabī’s
Concept of the Microcosm (London: KPI, 1982), 34–35.
[22]
²² Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(London: George Allen & Unwin, 1968), 89.
[23]
²³ Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal: McGill University Press, 1966), 154–156.
[24]
²⁴ Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence: According to Shankara,
Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World Wisdom, 2006), 88–89.
[25]
²⁵ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 57–58.
[26]
²⁶ Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise
of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007),
121–122.
[27]
²⁷ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton:
Princeton University Press, 1960), 233.
[28]
²⁸ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism, 281–282.
12. Kesimpulan
Kajian tentang al-sulūk al-‘irfānī sebagai
perjalanan eksistensial dari ketidaktahuan menuju penyaksian Tuhan menyingkap
satu struktur spiritual dan filosofis yang menyeluruh dalam tradisi Islam. Ia
bukan sekadar kerangka etika atau mistik individual, melainkan suatu paradigma
ontologis dan epistemologis yang mengintegrasikan pengetahuan, eksistensi, dan
nilai dalam satu sistem kesadaran tauhid.¹ Melalui tiga tahap utamanya—takhallī,
taḥallī, dan tajallī—sulūk membentuk dinamika dialektis
antara transendensi dan immanensi, antara penyucian diri dan penyaksian Ilahi,
yang menggambarkan perjalanan wujud manusia dari keterpecahan menuju kesatuan
realitas.²
Secara ontologis, al-sulūk al-‘irfānī
menegaskan bahwa manusia adalah cermin Ilahi yang memiliki potensi untuk
memantulkan seluruh martabat wujud.³ Proses spiritual bukanlah pelarian dari
dunia, tetapi perjalanan kembali menuju sumber wujud melalui penyadaran diri
yang mendalam. Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa Tuhan tidak dikenal kecuali melalui
ciptaan-Nya, dan ciptaan tidak bermakna tanpa kesadaran akan kehadiran Ilahi di
dalamnya.⁴ Dalam hal ini, sulūk menjadi mekanisme kosmik yang meneguhkan
keterhubungan eksistensial antara manusia dan Tuhan tanpa meniadakan jarak
ontologis yang sakral.⁵
Secara epistemologis, pengetahuan dalam ‘irfān
bersifat iluminatif, bukan diskursif. Ia diperoleh melalui pencerahan hati,
bukan semata rasionalitas intelektual.⁶ Tahapan takhallī membersihkan
kesadaran dari ilusi ego, taḥallī mengisinya dengan sifat-sifat Ilahi,
dan tajallī mempertemukan manusia dengan hakikat realitas yang satu.⁷
Pengetahuan semacam ini bersifat ḥuḍūrī—pengetahuan melalui kehadiran,
bukan representasi.⁸ Karena itu, ma‘rifah bukanlah hasil dari proses
logis, melainkan transformasi eksistensial di mana manusia mengenal Tuhan
melalui dirinya sendiri.⁹
Secara aksiologis, al-sulūk al-‘irfānī
mengajarkan bahwa etika sejati berakar pada kesadaran wujud. Kebaikan bukan hanya
tindakan moral, tetapi perwujudan dari realitas Ilahi dalam diri manusia.¹⁰
Etika ‘irfānī menolak dualisme antara hukum dan hakikat; syariat
dipandang sebagai wadah yang melindungi kesadaran batin agar tetap berporos
pada tauhid.¹¹ Dengan demikian, moralitas dalam ‘irfān bersifat
transformatif: ia tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga membentuk struktur
kesadaran yang berakar pada cinta Ilahi (maḥabbah).¹²
Dalam dimensi sosial dan kultural, al-sulūk
al-‘irfānī menampilkan spiritualitas yang tidak elitis, melainkan inklusif
dan universal.¹³ Kesadaran tajallī melahirkan pandangan kosmik bahwa
seluruh makhluk merupakan tanda-tanda Tuhan yang layak dihormati.¹⁴ Karena itu,
sulūk berimplikasi pada etika sosial, dialog antaragama, dan kesadaran
ekologis yang memuliakan kehidupan sebagai refleksi Ilahi.¹⁵ Dalam konteks
modern, pandangan ini menjadi alternatif bagi krisis makna dan kehampaan
spiritual manusia, sekaligus menawarkan dasar filosofis bagi harmoni antara
manusia, alam, dan Tuhan.¹⁶
Dari sisi filsafat eksistensial, al-sulūk
al-‘irfānī dapat dibaca sebagai bentuk “eksistensialisme spiritual Islam”—yakni
filsafat yang menegaskan bahwa keberadaan manusia menemukan maknanya hanya
dalam relasi dengan Wujud Mutlak.¹⁷ Berbeda dengan eksistensialisme Barat yang
sering berakhir pada absurditas dan nihilisme, ‘irfān mengarahkan
kesadaran manusia menuju partisipasi dalam realitas Ilahi.¹⁸ Dalam hal ini, al-sulūk
al-‘irfānī bukan hanya sistem etika atau doktrin teologis, tetapi juga
filsafat hidup yang memulihkan kesatuan antara berpikir (‘aql), merasa (qalb),
dan ada (wujūd).¹⁹
Pada akhirnya, al-sulūk al-‘irfānī
memberikan sintesis antara ilmu, iman, dan amal; antara metafisika dan etika;
antara kontemplasi dan tindakan.²⁰ Ia mengajarkan bahwa perjalanan menuju Tuhan
bukanlah pelarian dari dunia, melainkan penemuan makna Ilahi di tengah dunia.²¹
Dalam penyaksian tertinggi (tajallī), manusia tidak lagi mencari Tuhan
di luar dirinya, karena seluruh wujud menjadi cermin kehadiran-Nya.²² Dengan
demikian, al-sulūk al-‘irfānī adalah perjalanan dari Tuhan, melalui
Tuhan, dan kembali kepada Tuhan—sebuah gerak spiral kesadaran yang terus
berlangsung tanpa akhir, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya kepada
Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu.” (QS an-Najm [53] ayat 42).²³
Footnotes
[1]
¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 221–223.
[2]
² al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 4
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 294–295.
[3]
³ Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of
California Press, 1984), 229–230.
[4]
⁴ Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkiyyah, vol.
3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1997), 183–184.
[5]
⁵ Henry Corbin, Creative Imagination in the
Ṣūfism of Ibn ‘Arabī (Princeton: Princeton University Press, 1969),
142–143.
[6]
⁶ William Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
88–90.
[7]
⁷ al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayriyyah fī
‘Ilm al-Taṣawwuf (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 216–218.
[8]
⁸ Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY
Press, 1992), 31–32.
[9]
⁹ Nasr, Islamic Life and Thought (London:
Routledge & Kegan Paul, 1981), 154.
[10]
¹⁰ al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal (Cairo:
al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1964), 62.
[11]
¹¹ Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, ed. Abu
al-‘Alā ‘Afīfī (Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), 74–75.
[12]
¹² William Chittick, The Self-Disclosure of God:
Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology (Albany: SUNY Press, 1998),
198–200.
[13]
¹³ Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of
Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 362–364.
[14]
¹⁴ Nasr, Religion and the Order of Nature
(Oxford: Oxford University Press, 1996), 112–113.
[15]
¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968),
89–90.
[16]
¹⁶ Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia
Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999),
141–143.
[17]
¹⁷ Reza Shah-Kazemi, Paths to Transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart (Bloomington: World
Wisdom, 2006), 89–90.
[18]
¹⁸ Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 59–61.
[19]
¹⁹ Henry Corbin, Avicenna and the Visionary
Recital (Princeton: Princeton University Press, 1960), 236–238.
[20]
²⁰ Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 178–179.
[21]
²¹ Toshihiko Izutsu, Creation and the Timeless
Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy (Ashland: White
Cloud Press, 1994), 99.
[22]
²² Mullā Ṣadrā, al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 7
(Tehran: Dār al-Ḥikmah, 1981), 219–220.
[23]
²³ Al-Qur’an, QS an-Najm [53] ayat 42.
Daftar Pustaka
Azra, A. (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara:
Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Azra, A. (2000). Islam Substantif: Agar Umat
Tidak Menjadi Buih. Bandung: Mizan.
Bakhtiar, L. (1976). Sufi: Expressions of the
Mystic Quest. London: Thames & Hudson.
Becker, E. (1973). The Denial of Death. New
York: Free Press.
Chittick, W. C. (1982). The Perfect Man: Studies
in Ibn al-‘Arabī’s Concept of the Microcosm. London: KPI.
Chittick, W. C. (1983). The Sufi Path of Love:
The Spiritual Teachings of Rumi. Albany: State University of New York
Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination. Albany: State
University of New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The Self-Disclosure of
God: Principles of Ibn al-‘Arabī’s Cosmology. Albany: State University of
New York Press.
Conze, E. (2001). Buddhist Wisdom: The Diamond
Sutra and The Heart Sutra. New York: Vintage.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the Visionary
Recital. Princeton: Princeton University Press.
Corbin, H. (1969). Creative Imagination in the
Ṣūfism of Ibn ‘Arabī. Princeton: Princeton University Press.
Corbin, H. (1986). Temple and Contemplation.
London: KPI.
Deutsch, E. (1973). Advaita Vedānta: A
Philosophical Reconstruction. Honolulu: University of Hawaii Press.
Fakhry, M. (1983). A History of Islamic
Philosophy. New York: Columbia University Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning.
Boston: Beacon Press.
Hadot, P. (1993). Plotinus or the Simplicity of
Vision. Chicago: University of Chicago Press.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Albany: State
University of New York Press.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Heidegger, M. (1966). Discourse on Thinking
(J. M. Anderson & E. H. Freund, Trans.). New York: Harper & Row.
Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam (A.
al-‘A. ‘Afīfī, Ed.). Cairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.
Ibn ‘Arabī. (1997). al-Futūḥāt al-Makkiyyah
(Vols. 3–4). Beirut: Dār Ṣādir.
Ibn Sīnā. (1957). al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt
(S. Dunyā, Ed., Vol. 3). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.
Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-Fatāwā
(Vols. 2 & 10). Riyadh: Dār al-‘Āṣimah.
Izutsu, T. (1964). Ethico-Religious Concepts in
the Qur’an. Montreal: McGill University Press.
Izutsu, T. (1984). Sufism and Taoism: A
Comparative Study of Key Philosophical Concepts. Berkeley: University of
California Press.
Izutsu, T. (1994). Creation and the Timeless
Order of Things: Essays in Islamic Mystical Philosophy. Ashland: White
Cloud Press.
Jalāl al-Dīn Rūmī. (1925). Mathnawī-yi Ma‘nawī
(R. A. Nicholson, Ed., Vol. 1). London: E. J. W. Gibb Memorial.
James, W. (1902). The Varieties of Religious
Experience. New York: Longmans, Green & Co.
Kartanegara, M. (2005). Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy.
Knysh, A. (2000). Islamic Mysticism: A Short
History. Leiden: Brill.
Maslow, A. H. (1968). Toward a Psychology of
Being. New York: Van Nostrand.
Mullā Ṣadrā. (1981). al-Asfār al-Arba‘ah
(Vols. 6–7). Tehran: Dār al-Ḥikmah.
Nasr, S. H. (1964). Three Muslim Sages:
Avicenna, Suhrawardī, Ibn ‘Arabī. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The
Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen & Unwin.
Nasr, S. H. (1981). Islamic Life and Thought.
London: Routledge & Kegan Paul.
Nasr, S. H. (1987). Islamic Art and Spirituality.
Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of
Nature. Oxford: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity. New York: HarperOne.
Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The
Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. New York:
HarperOne.
Newberg, A., & d’Aquili, E. (2001). Why God
Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. New York:
Ballantine Books.
Panikkar, R. (2006). The Experience of God:
Icons of the Mystery. Maryknoll: Orbis Books.
Plotinus. (1940). The Architecture of the
Intelligible Universe in the Philosophy of Plotinus (A. H. Armstrong, Ed.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Qushayrī, al-. (2002). al-Risālah
al-Qushayriyyah fī ‘Ilm al-Taṣawwuf. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Russell, B. (1945). A History of Western
Philosophy. New York: Simon & Schuster.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of
Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Shah-Kazemi, R. (2006). Paths to Transcendence:
According to Shankara, Ibn Arabi, and Meister Eckhart. Bloomington: World
Wisdom.
Sirhindī, A. (1973). Maktūbāt-e Imām Rabbānī
(Vol. 1). Lahore: Majlis-e Isha‘at-e Islām.
Suhrawardī, al-. (1966). ‘Awārif al-Ma‘ārif.
Cairo: Dār al-Ma‘ārif.
Suhrawardī, al-. (1976). Ḥikmat al-Ishrāq
(H. Corbin, Ed.). Tehran: Institute Franco-Iranien.
Śaṅkara. (1962). Brahma Sūtra Bhāṣya (G.
Thibaut, Trans.). Delhi: Motilal Banarsidass.
Trimingham, J. S. (1971). The Sufi Orders in
Islam. Oxford: Clarendon Press.
Turner, D. (1995). The Darkness of God:
Negativity in Christian Mysticism. Cambridge: Cambridge University Press.
Wilber, K. (1980). The Atman Project: A
Transpersonal View of Human Development. Wheaton: Quest Books.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar