Kamis, 06 November 2025

Tashawwur (Pemahaman Konseptual): Fondasi Pemahaman Konseptual dalam Epistemologi Islam

Tashawwur (Pemahaman Konseptual)

Fondasi Pemahaman Konseptual dalam Epistemologi Islam


Alihkan ke: Ilmu Mantiq.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep tashawwur (pemahaman konseptual) sebagai salah satu kategori utama dalam Ilmu Manṭiq dan epistemologi Islam. Melalui pendekatan historis-filosofis, kajian ini menelusuri akar genealogis tashawwur sejak masa al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī, serta mengungkap relevansinya dalam konteks pemikiran kontemporer. Secara ontologis, tashawwur dipahami sebagai kehadiran bentuk rasional (ṣūrah ma‘qūlah) dalam akal yang menghubungkan manusia dengan hakikat realitas. Secara epistemologis, ia menjadi tahap awal pengetahuan yang mendahului tasdīq, menjamin kejelasan konsep sebelum penilaian proposisional. Sedangkan secara aksiologis, tashawwur mengandung nilai moral, pedagogis, dan spiritual yang menjadikan aktivitas berpikir sebagai tindakan etis dan sarana menuju kebijaksanaan (ḥikmah).

Selain itu, artikel ini menyoroti dimensi sosial dan intelektual tashawwur sebagai fondasi rasionalitas kolektif dalam peradaban Islam, serta sebagai instrumen pedagogis dalam tradisi pendidikan klasik. Melalui kritik dan klarifikasi filosofis dari al-Rāzī hingga Mullā Ṣadrā, artikel ini menyusun sintesis integral bahwa tashawwur tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme konseptualisasi, tetapi juga sebagai manifestasi ontologis dari pengetahuan yang hidup dan bernilai. Dalam konteks kontemporer, tashawwur memiliki relevansi signifikan untuk menata kembali rasionalitas humanistik, pendidikan berbasis makna, dan etika berpikir di era digital. Dengan demikian, tashawwur integral menjadi paradigma filosofis yang menyatukan rasionalitas, etika, dan spiritualitas dalam satu kesatuan epistemologis yang koheren dan humanistik.

Kata Kunci: Tashawwur, Ilmu Manṭiq, epistemologi Islam, rasionalitas humanistik, konsep, Ibn Sīnā, al-Fārābī, Mullā Ṣadrā, ontologi pengetahuan, integrasi filsafat Islam.


PEMBAHASAN

Tashawwur (Pemahaman Konseptual) dalam Ilmu Manṭiq


1.           Pendahuluan

Ilmu Manṭiq (logika) menempati posisi fundamental dalam tradisi intelektual Islam sebagai instrumen penuntun berpikir yang benar, sistematis, dan rasional. Sejak masa al-Fārābī hingga Ibn Sīnā, logika dipandang sebagai “miqyās al-‘aql” (timbangan akal) yang berfungsi menjaga akal dari kesalahan berpikir dalam menalar dan menarik kesimpulan.¹ Dalam konteks ini, Manṭiq tidak semata merupakan disiplin teknis, tetapi juga sebuah metode epistemologis yang membentuk cara manusia memahami realitas secara konseptual dan argumentatif. Salah satu kategori pengetahuan paling mendasar dalam struktur Manṭiq adalah tashawwur (pemahaman konseptual), yang menjadi titik tolak segala bentuk pengetahuan rasional sebelum manusia mencapai taraf tasdīq (pembenaran proposisional).²

Secara etimologis, istilah tashawwur berasal dari akar kata ṣ-w-r yang berarti “membentuk citra” atau “menggambarkan sesuatu dalam pikiran.”³ Dalam konteks epistemologi Islam, tashawwur menunjuk pada tahap awal pengetahuan, yakni saat akal memperoleh gambaran konseptual tentang sesuatu tanpa melibatkan penilaian benar atau salah.⁴ Dengan kata lain, tashawwur adalah bentuk kesadaran konseptual non-proposisional yang menjadi prasyarat bagi terbentuknya pengetahuan yang lebih tinggi. Tanpa tashawwur, akal tidak mungkin memahami makna istilah, mendefinisikan sesuatu, ataupun membangun argumen yang sahih.⁵ Oleh karena itu, para logikawan klasik menegaskan bahwa seluruh kegiatan berpikir logis harus dimulai dari taṣawwurāt ṣaḥīḥah (konsepsi yang benar).⁶

Dalam sejarah perkembangan intelektual Islam, tashawwur menjadi tema penting dalam perdebatan antara para filsuf (falāsifah) dan teolog (mutakallimūn). Bagi Ibn Sīnā, tashawwur merupakan aktivitas akal yang menangkap “ṣūrah al-ma‘qūl” (bentuk rasional) dari sesuatu yang ada di luar pikiran.⁷ Al-Ghazālī, meskipun mengkritik aspek metafisis filsafat, tetap mempertahankan struktur logis ini dalam karyanya Mi‘yār al-‘Ilm, dengan menekankan bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh tanpa definisi konseptual yang jelas.⁸ Bahkan, al-Fārābī menyebut logika sebagai “alat bagi semua ilmu,” sebab ia memurnikan konsep-konsep dari kekeliruan semantik dan kategoris yang dapat menyesatkan akal.⁹

Kajian tentang tashawwur menjadi penting bukan hanya dalam lingkup logika klasik, tetapi juga dalam filsafat pengetahuan modern. Dalam konteks kontemporer, persoalan tashawwur beririsan dengan problem konseptualisasi dan representasi kognitif dalam filsafat bahasa serta ilmu kognitif modern.¹⁰ Pemahaman konseptual menjadi dasar bagi struktur semantik dan epistemik yang menentukan bagaimana manusia mengorganisir realitas dan memaknai simbol. Dalam tradisi Islam, tashawwur bukan hanya bersifat mental, melainkan juga memiliki dimensi ontologis: ia merupakan bentuk kehadiran makna dalam jiwa yang berkaitan dengan realitas objektif.¹¹ Dengan demikian, tashawwur bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan juga bagian integral dari relasi antara akal dan wujud.

Dari sudut pandang metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis–hermeneutik untuk menelusuri hakikat tashawwur sebagai kategori epistemik dalam Ilmu Manṭiq. Kajian ini menyoroti hubungan antara tashawwur dan tasdīq, serta implikasinya terhadap rasionalitas, pendidikan, dan etika berpikir dalam tradisi Islam. Pendekatan ini menuntut analisis historis, konseptual, dan aksiologis agar pemahaman terhadap tashawwur tidak berhenti pada tataran linguistik, tetapi juga menyentuh dimensi fungsional dan normatifnya dalam kehidupan intelektual.¹²

Dengan demikian, tujuan utama pembahasan ini adalah menguraikan secara sistematis posisi tashawwur sebagai fondasi epistemologi Islam dan memperlihatkan relevansinya dalam konteks pemikiran modern. Kajian ini tidak hanya menegaskan kedalaman tradisi logika Islam, tetapi juga membuka ruang refleksi kritis tentang bagaimana manusia membentuk, memahami, dan menilai konsep-konsep yang menopang segala bentuk pengetahuan.


Footnotes

[1]                Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 12.

[2]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59–60.

[3]                Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, jld. 4 (Beirut: Dār Ṣādir, 1988), 318.

[4]                Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat al-Ta’wīl (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1990), 42.

[5]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 17.

[6]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.

[7]                Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 19.

[8]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 33.

[9]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.

[10]             Wilfrid Sellars, “Empiricism and the Philosophy of Mind,” dalam Science, Perception, and Reality (London: Routledge, 1963), 127–196.

[11]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 58–59.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 22–23.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Tashawwur

Konsep tashawwur sebagai pemahaman konseptual tidak muncul dalam ruang hampa sejarah, melainkan merupakan hasil asimilasi intelektual antara warisan logika Yunani dan tradisi filsafat Islam yang menekankan keterpaduan antara akal, bahasa, dan realitas.¹ Dalam kerangka historis, tashawwur dapat ditelusuri akarnya dari teori noesis (νοῦς) dan eidos (εἶδος) dalam filsafat Yunani Klasik, yang kemudian diislamkan dan dikontekstualisasikan oleh para falāsifah seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā.² Pada tahap inilah terbentuk pemahaman bahwa pengetahuan manusia berawal dari penggambaran mental (mental representation) terhadap objek luar, sebelum sampai pada penilaian kebenaran (tasdīq).³

2.1.       Akar Konseptual dalam Filsafat Yunani

Dalam tradisi filsafat Yunani, Aristoteles memperkenalkan logikē epistēmē sebagai ilmu tentang aturan berpikir yang benar (orthos logos), dan dalam Organon, ia membedakan antara simple apprehension (penangkapan makna tanpa penilaian) dan judgment (penilaian terhadap kebenaran proposisi).⁴ Konsep simple apprehension inilah yang kemudian menjadi dasar bagi tashawwur dalam logika Islam. Melalui proses penerjemahan dan elaborasi oleh para filsuf Muslim, istilah ini memperoleh nuansa metafisis yang lebih dalam, terutama melalui teori bentuk (ṣūrah) dan materi (māddah), yang menegaskan hubungan antara konsep mental dan realitas eksternal.⁵

Proyek penerjemahan karya Aristoteles dan komentatornya, seperti Themistius dan Alexander dari Aphrodisias, pada masa Dinasti ‘Abbāsiyyah menjadi momentum penting dalam pembentukan Manṭiq Islāmī.⁶ Para penerjemah seperti Ḥunayn ibn Isḥāq dan Yaḥyā ibn al-Biṭrīq tidak hanya menerjemahkan teks Yunani, tetapi juga mengadaptasi terminologinya ke dalam konteks bahasa Arab, menghasilkan kosakata filosofis baru seperti ma‘qūl, taṣawwur, dan taṣdīq.⁷ Adaptasi ini tidak sekadar linguistik, melainkan juga konseptual, sebab para logikawan Muslim kemudian menafsirkan konsep-konsep tersebut dalam kerangka ontologi Islam yang menegaskan keteraturan ciptaan dan rasionalitas Ilahi.⁸

2.2.       Elaborasi dalam Tradisi Filsafat Islam

Al-Fārābī (w. 950 M) menjadi tokoh pertama yang secara sistematis membangun fondasi Ilmu Manṭiq Islam dengan struktur epistemologis yang mencakup tashawwur dan tasdīq.⁹ Dalam karyanya Kitāb al-Qiyās dan Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ia mendefinisikan logika sebagai “qānūn ya‘ṣimu al-‘aql min al-khaṭa’” (aturan yang melindungi akal dari kesalahan).¹⁰ Ia menjelaskan bahwa semua pengetahuan bermula dari tashawwur, yaitu penangkapan makna suatu entitas dalam bentuk ṣūrah dhihniyyah (gambaran mental).¹¹ Tashawwur bagi al-Fārābī merupakan syarat mutlak bagi tasdīq, sebab tanpa konsep yang jelas, tidak mungkin terbentuk proposisi yang benar.¹²

Ibn Sīnā (w. 1037 M) kemudian mengembangkan kerangka ini dalam sistem logikanya yang lebih matang. Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ia menegaskan bahwa seluruh pengetahuan (‘ilm) terbagi dua: tashawwur dan tasdīq.¹³ Menurutnya, tashawwur adalah “ṣūrah mā fī al-nafs li mā huwa fī al-khārij,” yakni bentuk sesuatu dalam jiwa sebagaimana ia ada di luar.¹⁴ Dengan kata lain, tashawwur tidak bersifat arbitrer, tetapi merepresentasikan realitas eksternal secara proporsional sesuai dengan kapasitas akal manusia. Ibn Sīnā juga menekankan pentingnya ḥadd (definisi esensial) dan rasm (definisi deskriptif) sebagai instrumen untuk memperjelas konsep-konsep dan membedakannya dari yang lain.¹⁵

2.3.       Integrasi Teologis dan Kritik dari Kalangan Mutakallimūn

Sementara para falāsifah memandang tashawwur sebagai proses rasional yang berakar pada realitas eksternal, para mutakallimūn (teolog dialektis) memberikan nuansa yang lebih teologis. Al-Ghazālī (w. 1111 M) dalam Mi‘yār al-‘Ilm dan Al-Qisṭās al-Mustaqīm mempertahankan struktur logika Aristotelian, namun menempatkannya dalam kerangka epistemologi Islam yang lebih normatif.¹⁶ Ia menyatakan bahwa tashawwur adalah tahap awal pengetahuan yang memungkinkan manusia mengenali hakikat sesuatu sebelum menilai kebenarannya, sehingga “barang siapa tidak memiliki tashawwur yang benar, maka penilaiannya niscaya salah.”¹⁷ Meskipun demikian, al-Ghazālī menolak klaim rasionalis yang berlebihan dan menegaskan bahwa akal tetap tunduk pada kebenaran wahyu.¹⁸

Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M) kemudian memperluas perdebatan ini dengan mengkritik pemahaman Ibn Sīnā yang terlalu realistis. Ia memperkenalkan pendekatan konseptualis yang menegaskan bahwa tashawwur adalah bentuk makna dalam pikiran, bukan cerminan langsung realitas eksternal.¹⁹ Pandangan ini membuka ruang bagi refleksi epistemologis yang lebih kritis dalam tradisi manṭiqīyah, khususnya dalam hubungan antara bahasa, makna, dan wujud.


Posisi Tashawwur dalam Tradisi Pendidikan Islam

Dalam konteks pendidikan Islam klasik, tashawwur bukan sekadar topik teoretis, melainkan bagian integral dari kurikulum logika yang diajarkan di madrasah dan pesantren.²⁰ Kitab-kitab seperti Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī dan Sullam al-Munāraḥ karya al-Akhdarī menjadi instrumen pedagogis utama untuk melatih santri memahami proses konseptualisasi sebelum beranjak ke pembenaran logis.²¹ Melalui tradisi pengajaran ini, tashawwur berfungsi menanamkan kebiasaan berpikir jernih dan sistematis, yang menjadi fondasi bagi metodologi keilmuan Islam di berbagai bidang, dari fikih hingga tasawuf.


Footnotes

[1]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 112.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 41–42.

[3]                Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 17.

[4]                Aristotle, Organon, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1939), 35.

[5]                F. E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 74.

[6]                Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, 65.

[7]                R. Walzer, Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1962), 102.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 56.

[9]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 14.

[10]             Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.

[11]             Ibid., 49.

[12]             Ibid., 52.

[13]             Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59–60.

[14]             Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 19.

[15]             Ibid., 25.

[16]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 33.

[17]             Ibid., 36.

[18]             Al-Ghazālī, Al-Qisṭās al-Mustaqīm (Cairo: Dār al-Manār, 1904), 12–13.

[19]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.

[20]             A. K. S. Lambton, Continuity and Change in Medieval Persia (Albany: SUNY Press, 1988), 209.

[21]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 92.


3.           Ontologi Tashawwur: Hakikat Konseptualisasi

Secara ontologis, tashawwur berakar pada persoalan mendasar mengenai “ada”-nya pengetahuan konseptual dalam relasi antara subjek dan objek. Ia bukan sekadar proses mental psikologis, melainkan suatu modus kehadiran makna (ḥuḍūr al-ma‘nā) dalam akal manusia.¹ Dalam kerangka Ilmu Manṭiq, tashawwur merupakan bentuk “keberadaan mental” (wujūd dhihnī) yang memungkinkan akal menangkap hakikat sesuatu melalui citra konseptual tanpa harus bersentuhan langsung dengan realitas eksternal.² Dengan demikian, tashawwur menempati posisi ontologis unik di antara dua ranah: ia bukan materi empiris di dunia luar, tetapi juga bukan sekadar imajinasi subjektif; ia adalah realitas kognitif yang merepresentasikan wujud melalui bentuk rasional (ṣūrah ma‘qūlah).³

3.1.       Hakikat Wujud Mental dalam Tradisi Filsafat Islam

Dalam filsafat Islam, khususnya pada pemikiran Ibn Sīnā, tashawwur dikaitkan erat dengan teori ṣūrah (bentuk) dan wujūd dhihnī (eksistensi mental). Menurut Ibn Sīnā, setiap pengetahuan terbentuk karena akal memperoleh ṣūrah dari sesuatu, yakni bentuk immaterial yang merepresentasikan hakikat benda sebagaimana ia ada di luar pikiran.⁴ Ṣūrah dhihniyyah ini bersifat real dalam domain intelektual, meskipun keberadaannya bergantung pada subjek yang berpikir. Dengan demikian, ketika akal memahami konsep “manusia,” ia tidak memiliki manusia eksternal di dalam dirinya, melainkan bentuk universal tentang “manusia” sebagai ma‘qūl (konsep yang dipahami).⁵

Konsepsi ini menempatkan tashawwur sebagai penghubung ontologis antara wujud eksternal (wujūd khārijī) dan wujud mental (wujūd dhihnī). Al-Fārābī menjelaskan bahwa hubungan keduanya bersifat isytirāk fī al-ma‘nā (partisipasi dalam makna): makna “manusia” yang dipahami akal sama secara konseptual dengan manusia eksternal, meski eksistensinya berbeda secara modus.⁶ Dalam hal ini, tashawwur memiliki status ontologis sebagai entitas intelektual yang meniru struktur realitas tanpa kehilangan ketergantungan pada subjek kognitif.

3.2.       Relasi Akal, Makna, dan Realitas

Akal (‘aql) dalam pandangan para falāsifah berfungsi sebagai cermin yang menangkap citra realitas dalam bentuk ṣūrah ma‘qūlah.⁷ Melalui proses ini, makna eksternal “dihadirkan” ke dalam jiwa, bukan dalam bentuk materi, tetapi dalam bentuk konsep. Al-Ghazālī menggambarkan proses ini sebagai “intiqāl al-ma‘nā ilā al-dhihn,” yakni perpindahan makna ke dalam kesadaran, di mana akal membentuk representasi internal dari hakikat yang ditangkap oleh indra dan diolah melalui imajinasi (khayāl).⁸

Dengan demikian, tashawwur mencerminkan struktur ontologis pengetahuan yang berlapis: (a) data inderawi sebagai dasar pengalaman empiris, (b) representasi imajinatif sebagai media penghubung, dan (c) konsep rasional sebagai hasil sublimasi makna universal.⁹ Pada tingkat ini, tashawwur berfungsi sebagai perantara antara realitas fisik dan pengetahuan intelektual. Dalam istilah Mulla Ṣadrā, pengetahuan konseptual bukan hanya sekadar representasi pasif, tetapi juga “eksistensi rasional” yang memanifestasikan bentuk wujud secara immaterial.¹⁰

3.3.       Universalitas dan Partikularitas Konsep

Salah satu aspek ontologis paling penting dari tashawwur adalah pembagian konsep menjadi universal (kullī) dan partikular (juz’ī). Konsep universal adalah bentuk makna yang dapat diterapkan pada banyak hal sekaligus, seperti “manusia,” “keadilan,” atau “kehidupan.”¹¹ Sebaliknya, konsep partikular merujuk pada sesuatu yang unik dan spesifik, seperti “Zaid” atau “kota Baghdad.” Ibn Sīnā menegaskan bahwa universalitas tidak melekat pada benda eksternal, melainkan pada cara akal memandangnya.¹² Akal mengabstraksi ciri-ciri esensial dari objek partikular dan membentuk tashawwur kullī yang bebas dari batas-batas ruang dan waktu.

Dengan demikian, tashawwur memainkan peran ontologis ganda: di satu sisi, ia bersumber dari realitas empiris yang terikat waktu dan ruang; di sisi lain, ia menghasilkan struktur makna yang bersifat universal dan abadi.¹³ Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam, pengetahuan tidak pernah terlepas dari realitas, tetapi juga tidak terikat sepenuhnya padanya. Ontologi tashawwur mengajarkan bahwa makna sejati terletak pada kesesuaian antara ṣūrah dhihniyyah dengan wujud eksternal, bukan pada keberadaan fisik benda itu sendiri.¹⁴

3.4.       Implikasi Ontologis terhadap Pengetahuan dan Bahasa

Hubungan antara tashawwur dan bahasa juga bersifat ontologis, karena kata-kata (alfāẓ) dianggap sebagai wadah yang menampung konsep-konsep mental. Al-Fārābī menegaskan bahwa kata hanyalah simbol dari makna yang telah dipahami akal, bukan sumber makna itu sendiri.¹⁵ Oleh karena itu, kejelasan bahasa tergantung pada kejelasan tashawwur. Ketika konsep yang terbentuk kabur, maka penyampaian makna melalui bahasa pun menjadi salah arah, dan kebenaran proposisi akan terganggu.¹⁶

Dari perspektif ini, tashawwur bukan sekadar kategori epistemik, tetapi juga dimensi ontologis yang menopang seluruh struktur pengetahuan manusia. Ia memastikan bahwa pengetahuan memiliki fondasi real dalam jiwa dan keterkaitan yang sahih dengan realitas luar.¹⁷ Kesalahan dalam berpikir sering kali berakar bukan pada kekeliruan logis semata, tetapi pada kekeliruan ontologis dalam memahami hakikat konsep itu sendiri.


Kesimpulan Sementara

Ontologi tashawwur menempatkan pemahaman konseptual sebagai jembatan antara akal dan realitas. Ia bukan ilusi mental, melainkan bentuk eksistensi makna yang memiliki realitas tersendiri dalam domain intelektual. Dengan demikian, studi tentang tashawwur tidak hanya menyentuh ranah logika formal, tetapi juga membuka wacana metafisika pengetahuan: bagaimana makna hadir, bagaimana akal mengetahui, dan bagaimana realitas dipahami. Dalam tradisi filsafat Islam, hakikat konseptualisasi ini menjadi dasar bagi seluruh bangunan rasionalitas, karena di dalamnya terkandung kesatuan antara wujūd, ma‘nā, dan ‘aql.¹⁸


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 48.

[2]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.

[3]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 22.

[4]                Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 19.

[5]                Ibid., 25.

[6]                Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf (Beirut: Dār al-Mashriq, 1990), 88.

[7]                Al-Fārābī, Risālah fī al-‘Aql (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 14.

[8]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 35.

[9]                M. M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 363.

[10]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), 59–60.

[11]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 25.

[12]             Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 72.

[13]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 67.

[14]             Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 46–47.

[15]             Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 51.

[16]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 41.

[17]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 62.

[18]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 63.


4.           Epistemologi Tashawwur: Jalan Menuju Pengetahuan

Dalam kerangka Ilmu Manṭiq dan epistemologi Islam, tashawwur menempati posisi yang sangat mendasar sebagai tahap pertama dari keseluruhan proses pengetahuan manusia. Ia merupakan titik mula setiap aktivitas intelektual, karena tanpa adanya tashawwur yang benar, tidak mungkin lahir tasdīq (pembenaran proposisional) yang sahih.¹ Epistemologi tashawwur menjelaskan bagaimana akal manusia mencapai pemahaman konseptual terhadap realitas, melalui serangkaian tahapan kognitif yang melibatkan persepsi inderawi, pengolahan imajinatif, abstraksi intelektual, hingga pembentukan definisi yang jelas.² Dengan demikian, tashawwur bukan sekadar penggambaran pasif terhadap realitas, melainkan proses aktif yang bersifat rasional, terarah, dan berfungsi sebagai fondasi bagi seluruh struktur pengetahuan.

4.1.       Distingsi Epistemologis antara Tashawwur dan Tasdīq

Para logikawan Muslim, terutama al-Fārābī dan Ibn Sīnā, membagi pengetahuan (‘ilm) menjadi dua kategori utama: tashawwur dan tasdīqTashawwur adalah pengetahuan tentang “apa sesuatu itu” (māhiyyah), sedangkan tasdīq adalah pengetahuan tentang “bahwa sesuatu itu demikian.”⁴ Dengan kata lain, tashawwur berhubungan dengan pengenalan konsep, sedangkan tasdīq berkaitan dengan penilaian benar atau salah terhadap suatu proposisi. Ibn Sīnā menjelaskan: “Segala yang diketahui entah berupa konsep murni yang tidak dapat diuraikan menjadi proposisi, atau berupa proposisi yang mengandung penegasan atau penolakan; yang pertama disebut tashawwur, yang kedua disebut tasdīq.”⁵

Al-Ghazālī memperkuat pembagian ini dengan menegaskan bahwa tashawwur adalah prasyarat logis bagi tasdīq.⁶ Seorang penalar tidak dapat mengucapkan proposisi seperti “manusia adalah makhluk rasional” tanpa terlebih dahulu memiliki tashawwur tentang “manusia” dan “rasionalitas.” Hubungan ini bersifat hierarkis dan kausal: tashawwur mendahului tasdīq sebagaimana sebab mendahului akibat.⁷ Dalam konteks epistemologi Islam, kejelasan konsep (wuḍūḥ al-mafāhīm) menentukan keabsahan penilaian (ṣiḥḥat al-aḥkām), sehingga kesalahan epistemik umumnya berakar dari tashawwur yang kabur atau salah.⁸

4.2.       Proses Pembentukan Tashawwur: Dari Persepsi ke Abstraksi

Epistemologi tashawwur tidak dapat dilepaskan dari struktur hierarkis pengetahuan manusia sebagaimana dirumuskan oleh para falāsifah. Prosesnya berawal dari pengalaman inderawi (ḥiss), di mana jiwa menangkap bentuk lahiriah objek melalui indra eksternal.⁹ Bentuk ini kemudian disimpan oleh daya imajinatif (khayāl), yang berfungsi sebagai penghubung antara dunia material dan dunia rasional.¹⁰ Setelah itu, daya pemikir (‘aql) melakukan proses abstraksi (tajrīd), yaitu melepaskan makna universal dari ciri-ciri partikular.¹¹

Ibn Sīnā menjelaskan bahwa abstraksi ini terjadi melalui tiga tahapan: (a) al-ḥiss al-khārijī (pengindraan luar), (b) al-ḥiss al-bāṭin (pengindraan dalam, seperti imajinasi dan memori), dan (c) al-‘aql al-fa‘‘āl (intelek aktif) yang memberikan bentuk universal pada makna yang telah diolah oleh imajinasi.¹² Dengan demikian, tashawwur merupakan hasil kerja sintesis antara indra, imajinasi, dan akal, yang berpuncak pada pemahaman konseptual yang bebas dari batas-batas empiris.¹³

Al-Fārābī menggambarkan proses ini sebagai intiqāl al-ṣūrah min al-maḥsūs ilā al-ma‘qūl — perpindahan bentuk dari yang terindra menuju yang dipahami.¹⁴ Melalui mekanisme ini, akal manusia membentuk konsep-konsep universal (ma‘qūlāt kulliyyah) yang menjadi bahan dasar bagi seluruh proposisi logis dan pengetahuan ilmiah.

4.3.       Fungsi Definisi (Ḥadd dan Rasm) dalam Memperjelas Konsep

Salah satu aspek penting dalam epistemologi tashawwur adalah fungsi definisi (ḥadd) sebagai instrumen untuk memperjelas batas-batas konseptual.¹⁵ Dalam tradisi logika Islam, ḥadd diartikan sebagai pernyataan yang mengungkapkan esensi sesuatu melalui genus (jins) dan diferensia (faṣl).¹⁶ Sebagai contoh, manusia didefinisikan sebagai “hewan rasional” (ḥayawān nāṭiq), di mana ḥayawān adalah genus dan nāṭiq adalah diferensia yang menunjukkan sifat esensial.¹⁷

Selain ḥadd, terdapat pula rasm, yaitu definisi deskriptif yang menunjukkan ciri-ciri aksidental suatu hal tanpa mengungkapkan esensinya.¹⁸ Para logikawan menegaskan bahwa ḥadd menghasilkan tashawwur tam (konsep sempurna), sedangkan rasm hanya menghasilkan tashawwur nāqiṣ (konsep tidak lengkap).¹⁹ Dengan demikian, kejelasan definisi menjadi syarat epistemologis bagi validitas konsep. Al-Ghazālī menulis: “Setiap kebingungan dalam berpikir berakar dari tidak jelasnya definisi.”²⁰

Melalui definisi, akal menyingkap struktur internal suatu konsep dan memisahkannya dari hal-hal lain yang serupa. Proses ini menunjukkan bahwa tashawwur bukanlah sekadar hasil persepsi pasif, melainkan aktivitas intelektual reflektif yang berupaya mencapai taḥdīd al-ma‘nā (penetapan makna secara tegas).²¹

4.4.       Tashawwur sebagai Dasar Pengetahuan Logis dan Ilmiah

Dalam sistem logika Islam, tashawwur memiliki fungsi epistemologis sebagai landasan bagi pembentukan proposisi (qaḍiyyah) dan silogisme (qiyās).²² Tanpa adanya tashawwur, tidak mungkin terbentuk hubungan subjek-predikat yang benar. Sebagai contoh, proposisi “setiap manusia fana” memerlukan tashawwur yang jelas tentang “manusia” dan “fana,” serta pemahaman hubungan keduanya.²³

Fakhr al-Dīn al-Rāzī menegaskan bahwa tashawwur menentukan arah kebenaran proposisi, karena kesalahan dalam pengertian (ghalaṭ fī al-taṣawwur) akan menyebabkan kesalahan dalam penilaian (ghalaṭ fī al-taṣdīq).²⁴ Oleh karena itu, pembinaan logika dan pendidikan intelektual dalam tradisi Islam selalu dimulai dari tashawwurāt ṣaḥīḥah (konsepsi yang benar).²⁵

Dalam perspektif ilmu pengetahuan, tashawwur berperan sebagai basis konseptual bagi pembentukan teori ilmiah.²⁶ Setiap teori ilmiah pada hakikatnya tersusun dari konsep-konsep yang dihubungkan melalui proposisi dan hukum, sehingga ketepatan konseptual menentukan ketepatan teoritis. Dengan demikian, epistemologi tashawwur memberikan legitimasi filosofis bagi logika sebagai miqyās al-‘aql — timbangan bagi akal — untuk menilai validitas pengetahuan.²⁷

4.5.       Hubungan antara Tashawwur, Kebenaran, dan Pengetahuan

Epistemologi Islam membedakan antara ṣidq (kebenaran proposisional) dan taḥqīq (pembenaran konseptual).²⁸ Jika tasdīq menilai kebenaran hubungan antara dua konsep, maka tashawwur menilai ketepatan representasi konsep itu sendiri terhadap realitas. Dengan demikian, tashawwur yang benar adalah konsep yang sesuai (mutābiq) dengan hakikat sesuatu (ḥaqīqah al-shay’).²⁹

Ibn Sīnā menegaskan bahwa kebenaran konseptual tidak terletak pada proposisi, melainkan pada kesesuaian ṣūrah dhihniyyah dengan ṣūrah khārijiyyah.³⁰ Dalam pandangan Mulla Ṣadrā, hubungan ini bersifat dinamis: konsep bukan sekadar cermin pasif realitas, tetapi juga manifestasi wujud yang dihadirkan dalam kesadaran rasional.³¹ Dengan demikian, tashawwur menjadi jalan epistemologis yang menghubungkan manusia dengan realitas melalui refleksi intelektual.³²


Penutup Sementara

Epistemologi tashawwur menegaskan bahwa pengetahuan sejati berawal dari kejelasan konsep. Ia merupakan langkah pertama dalam tangga epistemik yang mengantarkan manusia dari persepsi menuju pemahaman, dari makna menuju kebenaran. Dalam konteks ini, tashawwur berfungsi sebagai pondasi rasionalitas Islam — suatu prasyarat bagi keteraturan berpikir, argumentasi yang valid, dan pencarian kebenaran yang bertanggung jawab.³³ Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, tetapi juga mengapa pengetahuan itu memiliki makna ontologis dan etis dalam keseluruhan tatanan kosmos.


Footnotes

[1]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.

[2]                Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 19–20.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 12.

[4]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.

[5]                Ibid., 60.

[6]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 34.

[7]                Ibid., 36.

[8]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.

[9]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Nafs (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1952), 42.

[10]             Ibid., 44.

[11]             M. M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 365.

[12]             Ibn Sīnā, Al-Najāt, 23–25.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 49.

[14]             Al-Fārābī, Risālah fī al-‘Aql (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 15.

[15]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 38.

[16]             Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf (Beirut: Dār al-Mashriq, 1990), 90.

[17]             Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 70.

[18]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq, 25.

[19]             Ibid., 26.

[20]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 41.

[21]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 27.

[22]             Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 20.

[23]             Ibn Sīnā, Al-Najāt, 29.

[24]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq, 28.

[25]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 93.

[26]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 57.

[27]             Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, 53.

[28]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 44.

[29]             Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 75.

[30]             Ibid., 76.

[31]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), 65.

[32]             Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 49.

[33]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 72.


5.           Aksiologi Tashawwur: Nilai, Fungsi, dan Tujuan Praktis

Dalam sistem Ilmu Manṭiq dan epistemologi Islam, tashawwur tidak hanya memiliki nilai teoretis sebagai kategori pengetahuan dasar, tetapi juga mengandung dimensi aksiologis yang menentukan bagaimana pengetahuan digunakan dan diarahkan. Aksiologi tashawwur menyoroti nilai, fungsi, dan tujuan praktis dari pemahaman konseptual, baik dalam ranah intelektual maupun moral.¹ Ia menghubungkan antara pengetahuan yang benar dengan tindakan yang benar, sehingga menjadi jembatan antara dimensi epistemik dan etis dari aktivitas berpikir manusia.²

5.1.       Nilai Instrumental dan Intrinsik Tashawwur

Secara aksiologis, tashawwur memiliki dua nilai utama: nilai instrumental (ghāyah āliyah) dan nilai intrinsik (ghāyah dhātiyyah). Nilai instrumentalnya terletak pada fungsinya sebagai alat bagi pembentukan pengetahuan yang benar (tasdīq ṣaḥīḥ), sementara nilai intrinsiknya terdapat pada kemampuan manusia memahami makna dan hakikat sesuatu secara mendalam.³ Dengan kata lain, tashawwur bernilai karena ia memungkinkan manusia mengenali realitas sebagaimana adanya, dan sekaligus bernilai pada dirinya sendiri sebagai ekspresi dari potensi intelektual manusia yang rasional.

Menurut al-Fārābī, akal manusia memperoleh kesempurnaannya melalui tashawwurāt ṣaḥīḥah, sebab dengan mengenali hakikat sesuatu, akal menjadi serupa dengan tatanan rasional kosmos.⁴ Pemahaman ini menegaskan bahwa nilai tertinggi dari tashawwur adalah tercapainya taḥaqquq bi al-‘aql — aktualisasi potensi intelektual yang mengantarkan manusia kepada kebenaran.⁵ Sementara Ibn Sīnā menekankan bahwa proses konseptualisasi yang benar memiliki nilai etis karena menuntut kejujuran epistemik: seseorang harus menghindari kekeliruan dalam membentuk konsep agar tidak menyesatkan dirinya dan orang lain.⁶

5.2.       Fungsi Rasional dan Pedagogis Tashawwur

Fungsi utama tashawwur adalah sebagai instrumen rasional untuk menata dan mengarahkan pemikiran manusia agar terhindar dari kekacauan logis (al-khaṭa’ fī al-ta‘aqqul).⁷ Dengan membentuk konsep-konsep yang jelas dan terdefinisi, akal dapat menilai proposisi dan menarik kesimpulan secara sahih. Oleh sebab itu, tashawwur merupakan prasyarat bagi penalaran logis, argumentasi ilmiah, dan diskursus filosofis.⁸ Tanpa tashawwur yang benar, pengetahuan manusia akan terjebak pada ambiguitas linguistik dan kesalahan kategoris yang mengacaukan struktur berpikir.

Fungsi pedagogis tashawwur juga sangat penting, terutama dalam tradisi pendidikan Islam klasik. Al-Ghazālī menegaskan bahwa kejelasan konsep adalah inti dari pengajaran yang benar.⁹ Dalam Mi‘yār al-‘Ilm, ia menyebut bahwa guru sejati bukanlah yang sekadar menghafal dalil, tetapi yang mampu menanamkan tashawwur ṣaḥīḥ dalam jiwa murid-muridnya.¹⁰ Melalui proses ini, tashawwur menjadi bagian dari pembentukan karakter intelektual (ta’dīb al-‘aql), yaitu latihan untuk berpikir jernih, sistematis, dan bertanggung jawab.

Dari perspektif ini, tashawwur berfungsi tidak hanya sebagai sarana logika, tetapi juga sebagai metode pendidikan akal budi.¹¹ Tradisi madrasah dan pesantren menempatkan pengajaran logika (terutama bagian taṣawwurāt dalam kitab Isāghūjī atau Sullam al-Munāraḥ) sebagai pelatihan mendasar untuk mengasah ketajaman berpikir dan ketelitian dalam memahami makna.¹² Hal ini menunjukkan bahwa tashawwur memiliki nilai formasi intelektual sekaligus moral, karena mendidik manusia untuk berpikir dengan disiplin dan kejujuran epistemik.

5.3.       Dimensi Etis dan Moral dalam Tashawwur

Dimensi etis tashawwur berakar pada kesadaran bahwa setiap aktivitas intelektual memiliki tanggung jawab moral.¹³ Dalam pandangan Islam, pengetahuan bukan sekadar akumulasi konsep, tetapi juga amanah yang harus digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, tashawwur yang benar harus diarahkan kepada tujuan etis yang lebih tinggi — yakni pengabdian kepada kebenaran (al-ḥaqq).¹⁴

Al-Ghazālī menegaskan bahwa kekacauan moral sering kali bersumber dari kekacauan epistemik: ketika manusia gagal memahami hakikat sesuatu secara benar, ia akan menilai dan bertindak salah.¹⁵ Karena itu, tashawwur bukan hanya persoalan logika formal, tetapi juga moralitas berpikir. Menyalahgunakan konsep atau mendistorsi makna adalah bentuk ketidakjujuran intelektual yang dapat merusak tatanan sosial dan spiritual.¹⁶

Dalam konteks modern, hal ini memiliki relevansi yang besar: kejelasan konseptual mencegah penyalahgunaan istilah, bias ideologis, dan manipulasi kognitif yang sering terjadi dalam komunikasi publik.¹⁷ Dengan demikian, tashawwur yang benar merupakan fondasi bagi etika berpikir kritis dan komunikasi yang jujur — nilai-nilai yang menjadi inti dari epistemologi Islam humanistik.

5.4.       Fungsi Sosial dan Peradaban Tashawwur

Selain fungsi individual dan moral, tashawwur juga memiliki fungsi sosial dalam membangun struktur pengetahuan kolektif. Dalam pandangan Ibn Khaldūn, kemajuan peradaban sangat ditentukan oleh kejernihan dan konsistensi konsep yang digunakan oleh masyarakatnya.¹⁸ Setiap ilmu dan kebudayaan berlandaskan pada sistem taṣawwurāt musytarakah (konsep bersama) yang menjadi bahasa epistemik suatu komunitas. Ketika konsep-konsep dasar seperti “keadilan,” “pengetahuan,” atau “agama” disalahpahami, maka struktur sosial pun akan kehilangan arah.¹⁹

Dengan demikian, tashawwur berfungsi sebagai sarana pembentukan konsensus intelektual yang memungkinkan manusia berkomunikasi dan membangun ilmu bersama.²⁰ Dalam sejarah Islam, kejernihan tashawwur menjadi faktor penting dalam kejayaan ilmiah peradaban Islam klasik, di mana para pemikir dari berbagai disiplin — teologi, hukum, filsafat, dan sains — berbagi kerangka konseptual yang koheren dan saling dapat diterjemahkan.²¹

Fungsi sosial tashawwur ini memperlihatkan bahwa pemahaman konseptual bukan hanya urusan individu yang berpikir, tetapi juga fondasi epistemik bagi masyarakat berilmu. Ia membentuk dasar rasionalitas publik yang diperlukan untuk diskursus ilmiah dan kebijakan yang adil.


5.5.       Tujuan Praktis: Dari Konseptualisasi ke Kearifan

Tujuan akhir tashawwur bukan hanya pembentukan konsep yang benar, melainkan tercapainya kearifan (ḥikmah).²² Dalam pandangan filsafat Islam, ḥikmah adalah kesempurnaan pengetahuan yang tidak hanya memahami sesuatu sebagaimana adanya, tetapi juga menempatkannya pada tempat yang seharusnya.²³ Dengan demikian, tashawwur yang benar membuka jalan bagi ḥikmah ‘amaliyyah (kebijaksanaan praktis), di mana pengetahuan konseptual diterapkan untuk mengatur kehidupan dengan keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang.

Mulla Ṣadrā menyebut tashawwur sebagai “jalan pertama menuju penyaksian hakikat” (ṭarīq al-awwal ilā al-shuhūd).²⁴ Ia menegaskan bahwa konsep bukan tujuan akhir, tetapi sarana bagi perjalanan spiritual akal menuju pemahaman eksistensial yang utuh. Dalam kerangka ini, tashawwur memiliki dimensi transendental — ia bukan hanya proses intelektual, tetapi juga bagian dari penyucian akal dalam perjalanan menuju kebenaran Ilahi.²⁵

Dengan demikian, tujuan praktis tashawwur mencakup tiga lapisan: (1) kebenaran rasional (ṣidq ma‘qūl), (2) kejujuran moral (ṣidq akhlāqī), dan (3) kesempurnaan spiritual (taḥqīq rūḥānī).²⁶ Ketiganya menunjukkan bahwa nilai sejati dari tashawwur tidak terletak hanya pada kejelasan intelektual, tetapi juga pada orientasinya menuju kebijaksanaan dan kebenaran yang integral.


Penutup Sementara

Aksiologi tashawwur menunjukkan bahwa pemahaman konseptual memiliki nilai ganda — sebagai alat berpikir yang sistematis dan sebagai sarana penyempurnaan diri. Ia mengajarkan bahwa berpikir secara benar adalah bentuk ibadah intelektual, dan membentuk konsep dengan jujur adalah wujud etika ilmiah. Dalam tradisi filsafat Islam, tashawwur menjadi pondasi rasionalitas yang humanistik: pengetahuan yang bukan hanya benar secara logis, tetapi juga baik secara moral dan bermanfaat secara sosial.²⁷ Dengan demikian, nilai tashawwur melampaui ranah logika menuju dimensi kehidupan — mengikat akal, hati, dan tindakan dalam satu kesatuan makna.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 53.

[2]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 27.

[3]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 51.

[4]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 15.

[5]                Ibid., 18.

[6]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 63.

[7]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.

[8]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 62.

[9]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 39.

[10]             Ibid., 41.

[11]             M. M. Sharif, ed., A History of Muslim Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963), 367.

[12]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 94.

[13]             Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, 43.

[14]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 56.

[15]             Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 97.

[16]             Ibid., 99.

[17]             Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 88.

[18]             Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn, 2005), 211.

[19]             Ibid., 214.

[20]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 60.

[21]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 117.

[22]             Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 27.

[23]             Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 32.

[24]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), 69.

[25]             Ibid., 73.

[26]             Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 57.

[27]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 70.


6.           Dimensi Sosial dan Intelektual Tashawwur dalam Tradisi Islam

Dalam tradisi intelektual Islam, tashawwur tidak hanya berperan sebagai instrumen epistemologis yang bekerja dalam ruang kognitif individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan intelektual yang sangat signifikan. Ia merupakan fondasi bagi pembentukan manhaj al-fikr (metode berpikir) yang memungkinkan lahirnya peradaban ilmu, serta menjadi mekanisme kolektif dalam membangun kerangka konseptual bersama di antara komunitas ilmiah.¹ Dengan kata lain, tashawwur merupakan titik temu antara rasionalitas individu dan struktur pengetahuan kolektif, antara kerja akal dan dinamika sosial pengetahuan.

6.1.       Tashawwur sebagai Fondasi Tradisi Ilmiah Islam

Tradisi ilmiah Islam dibangun di atas prinsip bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui kejelasan konsep dan konsistensi berpikir. Al-Fārābī menegaskan bahwa semua ilmu, baik rasional maupun keagamaan, bergantung pada tashawwurāt ṣaḥīḥah (konsep-konsep yang benar) sebelum bisa menghasilkan tasdīqāt ṣaḥīḥah (pembenaran yang sahih).² Oleh karena itu, disiplin ilmu seperti teologi (‘ilm al-kalām), fikih, tasawuf, dan falsafah seluruhnya berpijak pada kejelasan konseptual yang ditata oleh logika.³

Dalam konteks ini, tashawwur berperan sebagai prinsip pengorganisasi ilmu. Ia menyediakan kerangka makna yang memungkinkan berbagai cabang pengetahuan berkomunikasi melalui kategori-kategori rasional yang sama. Ibn Sīnā dalam Al-Shifā’ menegaskan bahwa tanpa tashawwur yang benar tentang hakikat objek ilmu, perbedaan disiplin tidak akan dapat dipahami secara koheren.⁴ Karena itu, seluruh sistem keilmuan Islam — mulai dari filsafat, teologi, hingga hukum — memerlukan tahap taṣawwurī sebelum taṣdīqī: memahami konsep-konsep dasar sebelum membuat keputusan rasional atau hukum.⁵

6.2.       Tashawwur dalam Dinamika Intelektual dan Adab al-Baḥth

Dimensi sosial dari tashawwur tampak jelas dalam praktik adab al-baḥth wa al-munāẓarah (etika diskusi dan perdebatan ilmiah).⁶ Tradisi ini, yang berkembang pesat di kalangan mutakallimūn dan falāsifah, menempatkan tashawwur sebagai tahap pertama yang harus disepakati sebelum berdebat mengenai kebenaran suatu proposisi. Para ulama menegaskan, “al-baḥth qabla al-ḥukm” — pencarian makna harus mendahului penilaian.⁷ Dengan demikian, tashawwur menjadi mekanisme epistemik sekaligus etis yang menjamin bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama tidak lahir dari kesalahpahaman terminologis, tetapi dari interpretasi konseptual yang disadari secara bersama.

Dalam sistem adab al-baḥth, peserta debat diwajibkan menjelaskan terlebih dahulu definisi istilah yang digunakan, agar tidak terjadi kekacauan makna (iltibās al-ma‘nā).⁸ Prosedur ini bukan sekadar teknis, tetapi memiliki dimensi sosial yang mendalam, karena ia melatih komunitas ilmiah untuk menghargai makna, menahan diri dari penilaian prematur, dan menjunjung integritas rasionalitas.⁹ Dengan cara ini, tashawwur menjadi semacam kontrak intelektual yang menjaga komunikasi ilmiah agar tetap jernih dan terarah.

6.3.       Tashawwur dan Pembentukan Rasionalitas Kolektif

Salah satu keunikan epistemologi Islam adalah bahwa rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai kemampuan berpikir individu, tetapi juga sebagai struktur pengetahuan yang hidup dalam masyarakat.¹⁰ Dalam konteks ini, tashawwur berfungsi sebagai instrumen pembentukan ‘aql jamā‘ī (akal kolektif). Ibn Khaldūn menegaskan bahwa ilmu dan peradaban tumbuh karena masyarakat mampu mengembangkan sistem simbol dan konsep bersama yang menjadi dasar komunikasi dan pendidikan.¹¹

Proses sosialisasi ilmu melalui madāris (madrasah) dan ḥalaqah (lingkaran keilmuan) memperlihatkan bagaimana tashawwur bekerja dalam ruang sosial.¹² Konsep-konsep dasar seperti ‘ilm, ḥikmah, ‘adl, atau tawḥīd tidak hanya dipelajari secara teoretis, tetapi juga diinternalisasi dalam kehidupan sosial dan budaya.¹³ Dengan demikian, tashawwur berfungsi membentuk kesadaran kolektif yang rasional dan etis, yang menjadi fondasi bagi stabilitas intelektual peradaban Islam.

Sebagai contoh, sistem fiqh Islam bergantung pada tashawwur yang benar terhadap istilah seperti niyyah, ‘illah, dan ḥukm.¹⁴ Kesalahan konseptual dalam istilah-istilah ini dapat menghasilkan perbedaan hukum yang signifikan. Karena itu, para uṣūliyyūn menekankan pentingnya taḥqīq al-manāṭ — memastikan kejelasan makna sebelum menerapkan hukum.¹⁵ Dalam hal ini, tashawwur tidak hanya berfungsi epistemologis, tetapi juga sosial, karena menentukan keabsahan hukum yang berdampak langsung pada kehidupan umat.

6.4.       Tashawwur dalam Tradisi Pendidikan dan Pembentukan Intelektual Muslim

Tradisi pendidikan Islam klasik menempatkan pembentukan tashawwur sebagai fondasi dari seluruh proses belajar.¹⁶ Sebelum murid dapat memahami dalil, teks, atau teori, ia harus memiliki konsep yang benar tentang makna istilah yang digunakan. Oleh karena itu, logika (manṭiq) diajarkan sejak tahap awal pendidikan tinggi, bersama dengan gramatika Arab (naḥw dan ṣarf), untuk melatih kejernihan konsep dan struktur bahasa.¹⁷

Kitab Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī menjadi teks dasar dalam pengajaran taṣawwurāt selama berabad-abad, diikuti oleh komentar-komentar seperti Sullam al-Munāraḥ karya al-Akhdarī.¹⁸ Melalui tradisi ini, tashawwur membentuk ethos intelektual Islam: berpikir jernih, mendefinisikan istilah dengan tepat, dan memahami hubungan antara konsep-konsep.¹⁹ Proses pendidikan semacam ini tidak hanya menanamkan pengetahuan logis, tetapi juga membentuk karakter intelektual yang berdisiplin, rendah hati, dan dialogis.

Dalam konteks modern, dimensi pedagogis tashawwur kembali relevan. Di tengah banjir informasi dan relativisme makna, kemampuan untuk membentuk konsep yang jelas menjadi kebutuhan epistemologis dan etis.²⁰ Tashawwur melatih masyarakat untuk membedakan antara pengetahuan dan opini, antara istilah ilmiah dan retorika ideologis.²¹ Dengan demikian, ia berperan dalam membangun budaya berpikir kritis dan literasi konseptual di tengah masyarakat Islam kontemporer.

6.5.       Tashawwur sebagai Perekat Intelektual Peradaban

Secara historis, peradaban Islam mencapai kejayaannya karena para ulama dan cendekiawan berbagi tashawwurāt musytarakah (konsep-konsep bersama) yang menjembatani perbedaan disiplin.²² Filsuf, ahli kalam, dan fuqahā’ mungkin berdebat keras dalam argumentasi, tetapi mereka berbicara dalam bahasa epistemik yang sama — bahasa logika dan konsep.²³ Inilah yang memungkinkan munculnya dialog lintas disiplin antara metafisika, hukum, dan sains, sebagaimana terlihat pada karya al-Fārābī, Ibn Rushd, dan Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī.²⁴

Dengan demikian, tashawwur berfungsi sebagai “infrastruktur intelektual” yang menopang seluruh bangunan ilmu dan kebudayaan Islam.²⁵ Ia memelihara kontinuitas intelektual di tengah keragaman mazhab dan metodologi, dan menjadi perekat antara tradisi keilmuan agama dan rasionalitas filosofis.²⁶

Dalam perspektif ini, dimensi sosial dan intelektual tashawwur tidak hanya menjelaskan bagaimana pengetahuan dipahami, tetapi juga bagaimana ia dihidupkan — dalam diskursus, pendidikan, dan peradaban.²⁷ Melalui tashawwur, akal manusia menjadi bagian dari struktur makna bersama yang mengikat individu dalam jejaring rasionalitas universal.


Penutup Sementara

Dimensi sosial dan intelektual tashawwur menegaskan bahwa pengetahuan konseptual adalah fenomena yang bersifat intersubjektif. Ia membentuk cara masyarakat berpikir, berdebat, dan membangun ilmu. Dalam tradisi Islam, tashawwur berperan sebagai poros yang menyatukan akal individu dengan nalar kolektif peradaban.²⁸ Kejelasan konsep menjadi dasar keadilan berpikir, sementara kesepahaman makna menjadi fondasi bagi dialog yang produktif. Dengan demikian, memahami tashawwur berarti memahami bagaimana Islam menanamkan rasionalitas yang berakar pada etika, serta bagaimana ilmu menjadi sarana pembentukan masyarakat yang beradab (madani).


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 64.

[2]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 14.

[4]                Ibn Sīnā, Al-Shifā’ (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1952), 32.

[5]                Ibid., 34.

[6]                Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 93.

[7]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 41.

[8]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 22.

[9]                Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat al-Ta’wīl (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1990), 55.

[10]             Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 68.

[11]             Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn, 2005), 209.

[12]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 112.

[13]             Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio University Press, 1964), 23.

[14]             Al-Shāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah, vol. 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1997), 56.

[15]             Ibid., 58.

[16]             Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 102.

[17]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 66.

[18]             Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī (Cairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 5.

[19]             Al-Akhdarī, Sullam al-Munāraḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1980), 3.

[20]             Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 93.

[21]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 74.

[22]             El-Rouayheb, Relational Syllogisms, 95.

[23]             Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut (Beirut: Dār al-Mashriq, 1987), 12–13.

[24]             Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1981), 17.

[25]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 70.

[26]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 51.

[27]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 75.

[28]             Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, 212.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Sebagai kategori pengetahuan dasar dalam Ilmu Manṭiq, tashawwur telah mendapat perhatian luas dalam tradisi filsafat Islam. Namun, seiring perkembangan refleksi epistemologis dan metafisis, konsep ini tidak luput dari kritik, reinterpretasi, dan klarifikasi filosofis. Kritik terhadap tashawwur terutama berkisar pada dua persoalan utama: pertama, status ontologisnya sebagai bentuk pengetahuan non-proposisional; kedua, relasinya dengan realitas eksternal dan struktur bahasa.¹ Di sisi lain, klarifikasi filosofis yang diajukan oleh para pemikir seperti al-Ghazālī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, dan Mullā Ṣadrā menunjukkan bahwa tashawwur harus dipahami bukan sekadar sebagai operasi mental, tetapi sebagai momen ontologis dalam proses hadirnya makna di dalam kesadaran rasional.²

7.1.       Kritik terhadap Reduksionisme Kognitif dalam Tashawwur

Salah satu kritik paling awal terhadap konsep tashawwur datang dari para teolog yang menilai bahwa pembagian pengetahuan menjadi tashawwur dan tasdīq bersifat terlalu kognitif dan mengabaikan aspek intuitif atau spiritual dari pengetahuan.³ Menurut mereka, reduksi pengetahuan menjadi sekadar representasi konseptual tidak cukup untuk menjelaskan pengalaman intelektual dan religius yang bersifat ḥuḍūrī (kehadiran langsung).⁴

Al-Ghazālī, dalam Al-Munqidh min al-Ḍalāl, menyoroti keterbatasan rasionalisme filosofis: “Akal hanya mampu memberikan gambaran (taṣawwur) tentang sesuatu, tetapi tidak selalu dapat menghadirkan hakikatnya.”⁵ Dengan kata lain, tashawwur dapat menjelaskan bagaimana manusia memahami sesuatu secara konseptual, tetapi tidak menjamin bahwa konsep itu menghadirkan kebenaran eksistensial dari yang dipahami.⁶ Kritik ini memperingatkan bahwa pengetahuan konseptual harus disertai dimensi spiritual dan intuitif agar tidak terperangkap dalam simbol-simbol semata.

Dalam konteks modern, kritik ini menemukan resonansi dalam filsafat fenomenologi. Husserl dan para fenomenolog Islam kontemporer menilai bahwa kesadaran konseptual bersifat “representasional,” bukan “intensional” dalam arti kehadiran langsung.⁷ Dengan demikian, tashawwur perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang bagaimana objek hadir dalam kesadaran, bukan hanya bagaimana ia didefinisikan secara logis.

7.2.       Klarifikasi Ibn Sīnā: Relasi antara Tashawwur dan Realitas

Ibn Sīnā sendiri menyadari kemungkinan kesalahpahaman terhadap tashawwur. Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ia menjelaskan bahwa tashawwur bukan sekadar penciptaan gambar mental, melainkan penangkapan ṣūrah ma‘qūlah (bentuk rasional) yang secara esensial merepresentasikan hakikat sesuatu.⁸ Ia menegaskan bahwa kebenaran tashawwur bergantung pada mutābaqah (korespondensi) antara konsep dalam akal dan realitas luar.⁹

Namun, Ibn Sīnā menolak pandangan realisme naif yang menganggap konsep sepenuhnya identik dengan realitas. Menurutnya, apa yang ada dalam akal adalah bentuk immaterial yang memiliki eksistensi tersendiri — bukan bayangan fisik dari objek luar.¹⁰ Dengan demikian, tashawwur memiliki status ontologis ganda: ia merupakan ṣūrah dhihniyyah (bentuk dalam pikiran) yang bersumber dari ṣūrah khārijiyyah (bentuk luar), tetapi tidak sepenuhnya menyatu dengannya.¹¹

Klarifikasi ini penting karena membedakan antara pengetahuan sebagai representasi konseptual dan pengetahuan sebagai kehadiran langsung.¹² Ibn Sīnā menyusun kerangka logika yang tetap menjaga hubungan rasional antara konsep dan realitas, sambil mengakui keterbatasan akal dalam menjangkau hakikat eksistensial sesuatu.

7.3.       Kritik Fakhr al-Dīn al-Rāzī: Problematika Realisme Konseptual

Fakhr al-Dīn al-Rāzī memperluas perdebatan ini dengan mengajukan kritik terhadap konsepsi Ibn Sīnā. Ia menolak pandangan bahwa tashawwur secara niscaya merepresentasikan realitas eksternal, karena bagi al-Rāzī, banyak konsep yang tidak memiliki padanan aktual di luar pikiran, seperti “keberadaan tidak ada” (al-ma‘dūm).¹³ Hal ini menunjukkan bahwa konsep dapat eksis tanpa harus memiliki objek real, sehingga tashawwur tidak dapat disamakan dengan pengetahuan tentang wujud.¹⁴

Dalam Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, al-Rāzī menegaskan bahwa tashawwur adalah bentuk “makna dalam jiwa” (ma‘nā fī al-nafs), bukan realitas eksternal.¹⁵ Dengan demikian, ia menggeser pembahasan dari ontologi ke semantik: tashawwur menjadi fenomena linguistik dan logis yang beroperasi dalam ranah makna, bukan dalam ranah wujud.¹⁶

Kritik al-Rāzī ini kemudian membuka jalan bagi perdebatan konseptualisme dalam tradisi Islam, yang mempertanyakan apakah makna universal (kullī) benar-benar memiliki eksistensi independen atau hanya konstruksi intelektual.¹⁷ Dalam hal ini, tashawwur menjadi arena pertemuan antara filsafat bahasa dan metafisika pengetahuan.

7.4.       Klarifikasi Kontemporer: Tashawwur dalam Perspektif Hermeneutika dan Filsafat Bahasa

Dalam konteks filsafat modern dan kontemporer, para pemikir Muslim seperti Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Hasan Hanafi, dan Muhammad ‘Ābid al-Jābirī mengajukan reinterpretasi terhadap tashawwur dalam kerangka hermeneutika dan teori makna. Mereka menilai bahwa konsep-konsep dalam pikiran manusia tidak bersifat netral, melainkan dibentuk oleh struktur bahasa, budaya, dan ideologi.¹⁸ Dengan demikian, tashawwur tidak hanya bersifat epistemik, tetapi juga sosial dan historis.

Abū Zayd, dalam Falsafat al-Ta’wīl, menegaskan bahwa setiap tashawwur lahir dari horizon pemahaman tertentu (ufuq al-ma‘rifah), sehingga maknanya selalu terbuka untuk reinterpretasi.¹⁹ Ia mengkritik tradisi logika klasik yang cenderung menganggap konsep sebagai entitas statis dan universal. Sebaliknya, ia mengusulkan tashawwur ta’wīlī — konseptualisasi yang sadar akan konteks dan dinamika makna.²⁰

Dalam arah serupa, Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa tashawwur tidak dapat dilepaskan dari lughah al-wujūd — bahasa eksistensial yang membentuk persepsi manusia terhadap realitas.²¹ Ia menegaskan bahwa setiap istilah konseptual membawa horizon metafisis tertentu, sehingga memahami konsep berarti menyingkap struktur makna yang tersembunyi di balik bahasa.²²

7.5.       Sintesis Mullā Ṣadrā: Tashawwur sebagai Eksistensi Rasional

Puncak klarifikasi filosofis terhadap tashawwur dapat ditemukan dalam filsafat transendental (al-ḥikmah al-muta‘āliyah) Mullā Ṣadrā.²³ Ia menolak dikotomi tajam antara konsep dan realitas, dengan menegaskan bahwa tashawwur adalah salah satu bentuk wujūd dhihnī (eksistensi mental) yang memiliki realitas ontologis sejati.²⁴ Menurutnya, “Mengetahui sesuatu berarti menjadi sesuatu dalam bentuk rasionalnya.”²⁵

Dengan demikian, tashawwur bukan sekadar representasi statis, melainkan aktualisasi dinamis dari potensi eksistensial akal.²⁶ Ia menggabungkan teori pengetahuan Ibn Sīnā dengan prinsip kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd) Ibn ‘Arabī, sehingga menjadikan tashawwur sebagai bagian dari proses ontologis penyatuan subjek dan objek pengetahuan.²⁷

Klarifikasi ini menyatukan dua kutub epistemologi Islam: rasionalitas logis dan spiritualitas intuitif. Tashawwur dipahami bukan hanya sebagai aktivitas kognitif, tetapi juga sebagai momen ontologis ketika realitas hadir dalam kesadaran manusia — bukan melalui perantara simbol, tetapi melalui keserupaan eksistensial.²⁸


Penutup Sementara

Kritik dan klarifikasi filosofis terhadap tashawwur menunjukkan bahwa konsep ini terus berkembang dari ranah logika formal menuju ranah ontologis dan hermeneutik.²⁹ Ia mengalami transformasi dari sekadar “gambaran akal” menjadi “kehadiran makna,” dari representasi menuju partisipasi dalam wujud.³⁰ Perdebatan antara Ibn Sīnā, al-Ghazālī, al-Rāzī, dan Mullā Ṣadrā memperlihatkan dinamika epistemologi Islam yang hidup dan reflektif.³¹ Dalam perspektif kontemporer, tashawwur dapat dipahami sebagai jembatan antara kognisi, bahasa, dan eksistensi — suatu konsep yang tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia berpikir, tetapi juga bagaimana manusia menjadi bagian dari kebenaran itu sendiri.³²


Footnotes

[1]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 49.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 58.

[3]                Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 34.

[4]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 39.

[5]                Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, 36.

[6]                Ibid., 37.

[7]                Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 72.

[8]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.

[9]                Ibid., 60.

[10]             Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 23.

[11]             Ibid., 25.

[12]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 67.

[13]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.

[14]             Ibid., 24.

[15]             Ibid., 26.

[16]             Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 19.

[17]             Al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq, 27.

[18]             Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat al-Ta’wīl (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1990), 62.

[19]             Ibid., 63.

[20]             Ibid., 65.

[21]             Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio University Press, 1964), 27.

[22]             Ibid., 30.

[23]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), 61.

[24]             Ibid., 63.

[25]             Ibid., 65.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 44.

[27]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 69.

[28]             Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 54.

[29]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 70.

[30]             Izutsu, God and Man in the Qur’an, 36.

[31]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 72.

[32]             Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 59.


8.           Relevansi Kontemporer Tashawwur

Dalam konteks peradaban modern yang ditandai oleh percepatan informasi, fragmentasi makna, dan krisis epistemik, konsep tashawwur menawarkan suatu landasan filosofis untuk menata kembali cara manusia memahami realitas. Ia tidak hanya relevan bagi tradisi keilmuan Islam klasik, tetapi juga memiliki nilai metodologis dan etis dalam menghadapi tantangan zaman digital, pluralitas budaya, serta relativisme pengetahuan.¹ Relevansi tashawwur dalam konteks kontemporer dapat dibaca dari tiga dimensi utama: (1) rekonstruksi epistemologi pendidikan dan ilmu pengetahuan modern; (2) peran konseptualisasi dalam era teknologi dan media digital; serta (3) pembentukan rasionalitas humanistik dan etika berpikir di tengah krisis makna global.

8.1.       Rekonstruksi Epistemologi dan Pendidikan Modern

Salah satu krisis mendasar dunia modern adalah krisis konseptual, yaitu kehilangan kemampuan untuk memahami makna secara mendalam di balik simbol dan data.² Dalam dunia yang dikuasai oleh informasi cepat dan fragmentasi wacana, konsep-konsep dasar seperti “manusia,” “pengetahuan,” dan “kebenaran” sering kali direduksi menjadi konstruksi teknologis dan pragmatis tanpa kedalaman reflektif. Tashawwur dalam tradisi Islam memberikan alternatif epistemologis dengan menekankan bahwa setiap pengetahuan sejati harus berakar pada pemahaman konseptual yang jelas dan bermakna (ma‘nā ṣaḥīḥ).³

Dalam pendidikan, penerapan prinsip tashawwur berarti menempatkan proses pembelajaran bukan semata pada transfer informasi, tetapi pada pembentukan konsep yang benar dan reflektif.⁴ Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah taṣawwur al-ḥaqīqah — penyingkapan makna hakiki dari sesuatu, bukan sekadar hafalan terminologis.⁵ Oleh karena itu, pedagogi Islam berbasis tashawwur menuntut integrasi antara logika, etika, dan spiritualitas dalam pembelajaran, sehingga siswa tidak hanya mengetahui sesuatu, tetapi juga memahami maknanya secara filosofis dan moral.⁶

Relevansi ini terlihat dalam pergeseran paradigma pendidikan abad ke-21 yang menekankan critical conceptual thinking dan metacognition — dua aspek yang sejatinya telah diartikulasikan dalam kerangka tashawwur klasik.⁷ Dalam konteks ini, logika Islam dapat berkontribusi terhadap pembaruan epistemologi pendidikan global, dengan menawarkan orientasi yang lebih reflektif, maknawi, dan berakar pada kesatuan antara akal dan nilai.

8.2.       Tashawwur dan Era Digital: Krisis Makna dan Representasi

Dalam era digital, manusia hidup dalam ruang simbolik yang dipenuhi oleh citra, data, dan algoritma. Dunia maya membentuk realitas baru yang memanipulasi konsep dan makna, hingga batas antara realitas dan representasi menjadi kabur.⁸ Di tengah fenomena ini, tashawwur dapat berfungsi sebagai alat kritis untuk memeriksa validitas dan kedalaman makna yang beredar dalam komunikasi digital.

Konsep tashawwur mengajarkan bahwa setiap representasi harus mengandung ṣūrah ma‘qūlah (bentuk rasional yang bermakna) dan bukan sekadar ṣūrah ḥissiyyah (gambaran inderawi).⁹ Dengan demikian, pemahaman konseptual berfungsi sebagai filter epistemik terhadap banjir informasi yang dangkal dan manipulatif. Ibn Sīnā telah menegaskan bahwa akal tidak boleh berhenti pada bentuk-bentuk luar, tetapi harus menembus makna universal yang tersembunyi di balik fenomena.¹⁰ Dalam konteks digital, hal ini berarti bahwa manusia modern harus mengembangkan literasi konseptual — kemampuan memahami struktur makna dari setiap simbol, narasi, atau algoritma yang memengaruhi kesadarannya.¹¹

Selain itu, tashawwur juga memiliki nilai etis dalam dunia digital. Di tengah penyebaran disinformasi, tashawwur ṣaḥīḥ menjadi dasar bagi kejujuran intelektual.¹² Sebagaimana dalam logika klasik kesalahan berpikir (ghalaṭ fī al-taṣawwur) mengakibatkan kekeliruan dalam tasdīq, dalam konteks digital kesalahan konseptual dapat menimbulkan penyimpangan informasi dan manipulasi publik.¹³ Maka, membangun tashawwur yang jernih dan benar merupakan langkah epistemologis sekaligus moral untuk melawan dekadensi makna di era informasi.

8.3.       Kontribusi terhadap Ilmu Humaniora dan Filsafat Kontemporer

Dalam filsafat modern, terutama dalam filsafat analitik dan hermeneutik, perdebatan tentang konsep dan makna menempati posisi sentral. Pemikiran Wittgenstein tentang meaning as use dan Gadamer tentang fusion of horizons menunjukkan bahwa makna tidak bersifat statis, tetapi hidup dalam interaksi manusia dan bahasa.¹⁴ Pandangan ini memiliki resonansi kuat dengan tashawwur dalam filsafat Islam, yang melihat konsep sebagai produk dialog antara akal dan realitas, antara bahasa dan wujud.¹⁵

Dalam konteks ini, tashawwur dapat diposisikan sebagai bentuk epistemologi integratif yang menggabungkan kejelasan rasional (seperti dalam filsafat analitik) dengan kesadaran maknawi (seperti dalam hermeneutika).¹⁶ Ia menegaskan bahwa berpikir konseptual tidak berarti berpikir kering dan mekanis, melainkan suatu aktivitas eksistensial yang melibatkan seluruh dimensi manusia.¹⁷ Sebagaimana dijelaskan oleh Mullā Ṣadrā, “Mengetahui sesuatu berarti mengada dalam bentuk rasionalnya” — suatu pandangan yang mendekatkan epistemologi dengan ontologi, dan pengetahuan dengan kehidupan.¹⁸

Melalui kerangka ini, tashawwur dapat menjadi jembatan konseptual antara tradisi filsafat Islam dan pemikiran kontemporer. Ia menyediakan dasar metodologis untuk mengembangkan filsafat ilmu yang bersifat integral — yang tidak hanya menilai validitas logis, tetapi juga makna etis dan spiritual dari pengetahuan.¹⁹ Dengan demikian, tashawwur berkontribusi pada dialog antara ilmu, nilai, dan kemanusiaan dalam lanskap filsafat global.

8.4.       Tashawwur dan Rasionalitas Humanistik

Salah satu relevansi paling penting dari tashawwur pada era kontemporer terletak pada kemampuannya mengembalikan rasionalitas kepada dimensi humanistik.²⁰ Rasionalitas modern yang cenderung instrumental sering kali memisahkan pengetahuan dari nilai, mengubah konsep menjadi sekadar alat teknis tanpa muatan moral.²¹ Tashawwur, sebaliknya, menegaskan bahwa berpikir secara benar adalah tindakan etis; kejelasan konsep berhubungan langsung dengan kejujuran intelektual.²²

Konsep ini memiliki implikasi luas bagi etika akademik, wacana publik, dan pengembangan ilmu yang berkeadilan. Dalam tradisi Islam, kebenaran tidak hanya dinilai dari koherensi logis, tetapi juga dari ṣidq — kesesuaian antara konsep, niat, dan tindakan.²³ Dengan demikian, tashawwur mengembalikan dimensi moral ke dalam proses berpikir, menjadikan rasionalitas bukan sekadar kemampuan analisis, tetapi juga sarana pembentukan diri yang bertanggung jawab secara sosial dan spiritual.²⁴

Dalam era pasca-kebenaran (post-truth), di mana fakta sering dikalahkan oleh narasi emosional dan ideologi, prinsip tashawwur ṣaḥīḥ memiliki urgensi yang tinggi.²⁵ Ia melatih manusia untuk berpikir dengan kedalaman, menghindari penyederhanaan ekstrem, dan menimbang makna sebelum membuat penilaian. Dengan kata lain, tashawwur adalah jalan menuju rasionalitas yang sadar nilai — rasionalitas yang tidak memisahkan kebenaran dari kemanusiaan.


Penutup Sementara

Relevansi tashawwur dalam dunia kontemporer menunjukkan bahwa konsep ini jauh melampaui batas logika klasik. Ia berfungsi sebagai fondasi epistemologis, metodologis, dan etis untuk menghadapi tantangan zaman modern: krisis makna, dehumanisasi pengetahuan, dan kehilangan orientasi moral dalam berpikir.²⁶ Dengan menempatkan tashawwur sebagai proses pembentukan makna yang rasional dan bernilai, tradisi Islam menawarkan alternatif terhadap paradigma modern yang fragmentaris — suatu model berpikir yang integral, di mana rasio, moralitas, dan spiritualitas saling menguatkan.²⁷

Oleh karena itu, revitalisasi konsep tashawwur bukan sekadar upaya akademis, melainkan proyek peradaban: menghidupkan kembali kesadaran bahwa memahami berarti menghadirkan kebenaran dalam diri, dan berpikir benar berarti berbuat adil terhadap makna.²⁸ Dalam dunia yang semakin terjebak dalam kebisingan simbolik, tashawwur mengingatkan bahwa jalan menuju kebijaksanaan bermula dari kejernihan konsep — dari kemampuan akal untuk melihat hakikat di balik rupa.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 73.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 87.

[3]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 49.

[4]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 68.

[5]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 112.

[6]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 52.

[7]                Peter Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 14.

[8]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 5.

[9]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 62.

[10]             Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 29.

[11]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 76.

[12]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 39.

[13]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.

[14]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1958), §43.

[15]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 302.

[16]             Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 47.

[17]             Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 44.

[18]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), 61.

[19]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 72.

[20]             Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio University Press, 1964), 59.

[21]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1972), 310.

[22]             Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 32.

[23]             Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 2 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 97.

[24]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 81.

[25]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 19.

[26]             Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, 65.

[27]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 74.

[28]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 69.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Konsep Tashawwur Integral

Kajian tentang tashawwur dalam tradisi Ilmu Manṭiq memperlihatkan bahwa konsep ini tidak dapat dipahami hanya dari satu dimensi — baik ontologis, epistemologis, maupun aksiologis — melainkan melalui pendekatan integral yang menghubungkan seluruh dimensi pengetahuan manusia.¹ Tashawwur bukan sekadar kategori teknis dalam logika Islam, tetapi merupakan ekspresi mendasar dari cara akal manusia menyingkap makna dan menghadirkan realitas dalam kesadaran. Sintesis filosofis ini berupaya mengintegrasikan tiga poros utama: realitas (wujūd), makna (ma‘nā), dan pengetahuan (‘ilm) dalam satu kesatuan yang dinamis.²

9.1.       Kesatuan Ontologis antara Akal, Makna, dan Realitas

Dari sudut pandang ontologi, tashawwur menempati posisi unik sebagai jembatan antara dunia objektif dan dunia mental.³ Ia menegaskan bahwa pengetahuan tidak berdiri terpisah dari realitas, tetapi merupakan bentuk partisipasi akal dalam tatanan wujud. Ibn Sīnā menggambarkan pengetahuan sebagai “kehadiran bentuk sesuatu dalam jiwa tanpa materi,” yang berarti bahwa tashawwur merupakan cara akal “mengada bersama” objeknya dalam bentuk immaterial.⁴

Konsepsi ini diperluas oleh Mullā Ṣadrā yang memandang bahwa seluruh pengetahuan adalah wujūd, dan tashawwur adalah salah satu modenya.⁵ Dalam kerangka al-ḥikmah al-muta‘āliyah, aktivitas berpikir tidak bersifat representasional, tetapi ontologis — artinya, dalam memahami sesuatu, akal menjadi bagian dari wujud rasionalnya.⁶ Dengan demikian, pengetahuan konseptual bukan hanya “gambaran tentang realitas,” melainkan “kehadiran realitas” itu sendiri dalam kesadaran intelektual.

Sintesis ini mengatasi dikotomi klasik antara subjektivitas dan objektivitas: tashawwur bukan milik subjek semata, melainkan peristiwa keterhubungan eksistensial antara manusia dan hakikat.⁷ Dengan ini, filsafat Islam menegaskan pandangan bahwa kebenaran konseptual bersumber dari kesatuan akal dan wujud, bukan dari konstruksi semata.

9.2.       Integrasi Epistemologis: Dari Representasi ke Kehadiran Makna

Secara epistemologis, sintesis integral tashawwur menggeser pemahaman pengetahuan dari model representasional ke model kehadiran (ḥuḍūrī).⁸ Pengetahuan tidak hanya dipahami sebagai penyusunan tanda-tanda, tetapi sebagai partisipasi langsung akal dalam makna yang dihadirkan. Al-Fārābī dan Ibn Sīnā telah menekankan peran ṣūrah ma‘qūlah dalam menjembatani dunia inderawi dan dunia intelektual; namun Mullā Ṣadrā menambahkan dimensi eksistensial — bahwa ṣūrah itu sendiri adalah bentuk wujūd.⁹

Dalam kerangka ini, tashawwur bukan aktivitas netral, tetapi melibatkan tajallī al-ma‘nā — manifestasi makna di dalam jiwa yang siap menerimanya.¹⁰ Maka, proses konseptualisasi sejati memerlukan kesiapan moral dan spiritual, bukan hanya kecerdasan logis.¹¹ Inilah yang menjelaskan mengapa dalam tradisi Islam, pengetahuan selalu diiringi dengan tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa): akal yang keruh tidak mampu menangkap makna yang jernih.¹²

Sintesis epistemologis ini membawa tashawwur keluar dari batas logika formal menuju epistemologi spiritual, di mana pengetahuan dipahami sebagai kehadiran makna yang memurnikan akal dan menuntun manusia pada kebenaran yang hidup.

9.3.       Dimensi Aksiologis: Nilai Kebenaran, Kejujuran, dan Kebijaksanaan

Aksiologi tashawwur integral menekankan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat dipisahkan dari nilai moral dan spiritual.¹³ Al-Ghazālī berulang kali mengingatkan bahwa kesalahan berpikir sering kali berakar dari penyakit hati, bukan dari kekurangan logika.¹⁴ Oleh karena itu, tashawwur yang benar tidak hanya menuntut ketepatan rasional, tetapi juga kejujuran epistemik — yaitu keterbukaan akal terhadap kebenaran tanpa dikaburkan oleh hawa nafsu atau kepentingan.¹⁵

Nilai tashawwur sejati tidak hanya diukur dari koherensi logis, tetapi juga dari ṣidq — kesesuaian antara pemahaman konseptual dan niat batin yang tulus untuk mencari kebenaran.¹⁶ Ketika tashawwur mencapai integritas moral ini, ia menjadi jalan menuju ḥikmah (kebijaksanaan), yaitu pengetahuan yang tidak hanya benar, tetapi juga bermanfaat dan menuntun pada kebaikan.¹⁷ Dengan demikian, dimensi aksiologis tashawwur menghubungkan epistemologi dengan etika dan spiritualitas, menjadikannya bagian dari kehidupan yang bernilai.

9.4.       Sintesis Sosial-Intelektual: Tashawwur sebagai Struktur Rasional Peradaban

Dalam tataran sosial dan intelektual, tashawwur integral menjadi dasar bagi pembentukan kesadaran kolektif yang beradab (al-‘aql al-madanī).¹⁸ Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Khaldūn, kemajuan peradaban bergantung pada kejelasan konsep yang disepakati bersama.¹⁹ Dalam tradisi Islam klasik, kesatuan makna dalam bidang-bidang ilmu memungkinkan dialog lintas disiplin antara teologi, hukum, dan filsafat.²⁰

Konsep tashawwur integral berupaya menghidupkan kembali model epistemik ini di era modern — dengan menegaskan pentingnya bahasa konseptual yang koheren dan etis dalam wacana publik.²¹ Di tengah polarisasi sosial dan krisis makna global, kejernihan konsep menjadi prasyarat bagi keadilan sosial dan kebijakan publik yang rasional.²² Maka, membangun tashawwur bersama berarti membangun peradaban berpikir yang berakar pada kejujuran, keterbukaan, dan pencarian makna yang universal.

9.5.       Konvergensi Filosofis: Dari Manṭiq ke Filsafat Integral

Sintesis filosofis ini membawa tashawwur melampaui batas-batas manṭiq menuju filsafat integral — yakni sistem berpikir yang memadukan rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas.²³ Dalam tradisi Ibn Sīnā, tashawwur berfungsi sebagai dasar logika; dalam pandangan al-Ghazālī, ia menjadi bagian dari disiplin akhlak intelektual; sementara dalam filsafat Mullā Ṣadrā, ia menjadi bentuk wujūd rasional yang menyingkap realitas Ilahi.²⁴

Dari perspektif ini, tashawwur integral adalah sintesis dari ketiganya: pengetahuan yang rasional, bermoral, dan eksistensial sekaligus.²⁵ Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, tetapi juga mengapa pengetahuan itu bermakna — karena setiap konsep sejati merupakan cermin dari realitas yang lebih tinggi.²⁶ Dengan demikian, tashawwur integral memulihkan makna filosofis terdalam dari logika Islam: bukan sekadar seni berpikir benar, tetapi jalan menuju kesatuan antara akal dan wujud.²⁷


Penutup Sementara

Taṣawwur integral merupakan hasil evolusi panjang dari tradisi filsafat Islam — dari al-Fārābī hingga Mullā Ṣadrā — yang menyatukan logika, metafisika, dan etika dalam satu kerangka epistemologis.²⁸ Ia mengajarkan bahwa pengetahuan konseptual adalah bentuk keterlibatan manusia dalam tatanan makna kosmis, dan bahwa berpikir dengan benar berarti hidup dalam kebenaran itu sendiri.²⁹ Dalam dunia yang cenderung memisahkan pengetahuan dari nilai, tashawwur integral menghadirkan paradigma baru: pengetahuan yang bersatu dengan kebijaksanaan, rasionalitas yang berakar pada kemanusiaan, dan logika yang berpuncak pada spiritualitas.³⁰


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 74.

[2]                Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 45.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 15.

[4]                Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 25.

[5]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), 63.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 46.

[7]                Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio University Press, 1964), 32.

[8]                Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 68.

[9]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.

[10]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 67.

[11]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 41.

[12]             Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 106.

[13]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 63.

[14]             Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1, 97.

[15]             Ibid., 99.

[16]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 24.

[17]             Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 31.

[18]             Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn, 2005), 212.

[19]             Ibid., 214.

[20]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 115.

[21]             Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat al-Ta’wīl (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1990), 58.

[22]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1972), 309.

[23]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 79.

[24]             Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, 62.

[25]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 70.

[26]             Izutsu, The Concept and Reality of Existence, 52.

[27]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 74.

[28]             Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy, 49.

[29]             Izutsu, God and Man in the Qur’an, 40.

[30]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 82.


10.       Kesimpulan

Kajian filosofis mengenai tashawwur menegaskan bahwa konsep ini merupakan pilar epistemologis dan ontologis dalam keseluruhan bangunan Ilmu Manṭiq serta dalam filsafat Islam secara umum. Ia menjadi fondasi bagi seluruh proses pengetahuan, sebab tanpa tashawwur yang benar tidak mungkin lahir tasdīq yang sahih.¹ Melalui analisis historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial-intelektual, tampak bahwa tashawwur tidak sekadar kategori teknis dalam logika, melainkan prinsip yang menegaskan hubungan integral antara akal, makna, dan realitas.²

10.1.    Rekapitulasi Filosofis

Secara historis, tashawwur berkembang sebagai hasil asimilasi antara filsafat Yunani (khususnya logika Aristoteles) dengan tradisi intelektual Islam yang menekankan keterpaduan antara rasionalitas dan wahyu.³ Melalui al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī, tashawwur mengalami transformasi dari sekadar simple apprehension menjadi struktur konseptual yang memiliki dimensi ontologis.⁴ Para pemikir ini melihat tashawwur sebagai aktivitas akal yang menangkap hakikat sesuatu melalui ṣūrah ma‘qūlah — bentuk rasional yang merepresentasikan realitas dalam kesadaran manusia.⁵

Dari sisi ontologi, tashawwur mengungkapkan kesatuan antara akal dan wujud. Ia memperlihatkan bahwa pengetahuan bukan hanya cermin pasif dari realitas, tetapi juga partisipasi aktif dalam eksistensi makna.⁶ Epistemologinya menegaskan bahwa pengetahuan sejati berawal dari kejelasan konsep; proses berpikir yang benar harus didahului oleh pemahaman yang jernih tentang objeknya.⁷ Sementara secara aksiologis, tashawwur memiliki nilai moral dan pedagogis: ia menuntut kejujuran intelektual, keteraturan berpikir, serta orientasi menuju kebenaran dan kebijaksanaan.⁸

10.2.    Implikasi Sosial dan Intelektual

Dalam tataran sosial, tashawwur membentuk kerangka rasionalitas kolektif peradaban Islam.⁹ Tradisi adab al-baḥth wa al-munāẓarah menunjukkan bagaimana kejelasan konsep menjadi dasar etika dialog dan keilmuan.¹⁰ Para ulama dan filosof membangun konsensus epistemik melalui kesepahaman terhadap definisi dan makna istilah — suatu praktik yang menjadi tulang punggung bagi perkembangan ilmu dan hukum Islam.¹¹ Dengan demikian, tashawwur bukan hanya proses individual, melainkan struktur sosial pengetahuan yang menjaga koherensi diskursus ilmiah dan keadilan berpikir.¹²

Di era modern, prinsip-prinsip ini tetap relevan. Dunia kontemporer tengah mengalami krisis makna akibat reduksi pengetahuan menjadi informasi tanpa refleksi.¹³ Dalam konteks ini, tashawwur menawarkan pendekatan alternatif — bukan hanya untuk berpikir secara sistematis, tetapi juga untuk memahami secara substantif. Ia menuntut agar pengetahuan tidak berhenti pada simbol dan data, melainkan menembus hingga pada makna yang esensial.¹⁴

10.3.    Sintesis Integral dan Relevansi Kontemporer

Taṣawwur integral, sebagaimana disintesiskan dalam filsafat Islam klasik dan transendental Mullā Ṣadrā, memperlihatkan kesatuan antara dimensi rasional, etis, dan spiritual dari pengetahuan.¹⁵ Ia mengatasi dikotomi antara konsep dan realitas, serta antara akal dan wahyu, dengan menunjukkan bahwa berpikir secara benar merupakan bentuk keterlibatan eksistensial manusia dengan kebenaran.¹⁶ Dengan kata lain, tashawwur tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, tetapi juga bagaimana pengetahuan itu memurnikan akal dan menuntun jiwa kepada ḥikmah.¹⁷

Dalam konteks global kontemporer — di tengah arus post-truth, relativisme nilai, dan disintegrasi epistemik — tashawwur menghadirkan paradigma baru bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan: pengetahuan yang berakar pada kejernihan konsep, kejujuran moral, dan kesatuan makna.¹⁸ Ia menawarkan model rasionalitas humanistik yang menghubungkan akal dengan nilai, bahasa dengan realitas, serta teori dengan etika.¹⁹


Penutup

Akhirnya, tashawwur dapat dipahami sebagai inti dari rasionalitas Islam yang integral: rasionalitas yang tidak memisahkan berpikir dari berbuat, dan mengetahui dari menjadi.²⁰ Ia menyatukan logos, ethos, dan spiritus dalam satu kerangka epistemik yang humanistik dan transenden.²¹ Dalam filsafat Islam, berpikir dengan jernih berarti hidup secara benar, dan memahami makna berarti menghidupkan kembali kebenaran itu dalam diri.²² Oleh karena itu, kebangkitan kembali tashawwur bukan sekadar agenda intelektual, melainkan misi etis dan spiritual — suatu upaya untuk mengembalikan pengetahuan kepada maknanya yang sejati: jalan menuju ḥikmah dan kesempurnaan insan.²³


Footnotes

[1]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 72.

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 41.

[4]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 14.

[5]                Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59–60.

[6]                Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), 63.

[7]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 34.

[8]                Ibid., 41.

[9]                Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn, 2005), 211.

[10]             Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 93.

[11]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 115.

[12]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 66.

[13]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 5.

[14]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 52.

[15]             Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 69.

[16]             Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 45.

[17]             Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 32.

[18]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 22.

[19]             Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston: Beacon Press, 1972), 310.

[20]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio University Press, 1971), 54.

[21]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 80.

[22]             Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 2 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 97.

[23]             Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present, 74.


Daftar Pustaka

Abū Zayd, N. H. (1990). Falsafat al-Ta’wīl. Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya.

Al-Akhdarī. (1980). Sullam al-Munāraḥ. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah.

Al-Fārābī. (1986). Kitāb al-Qiyās. Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Fārābī. (1988). Taḥṣīl al-Sa‘ādah. Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Fārābī. (1996). Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl.

Al-Ghazālī. (1939). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Vols. 1–3). Cairo: Dār al-Manār.

Al-Ghazālī. (1961). Al-Munqidh min al-Ḍalāl. Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Al-Ghazālī. (1961). Mi‘yār al-‘Ilm. Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Al-Shāṭibī. (1997). Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah (Vol. 1). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Athīr al-Dīn al-Abharī. (1994). Isāghūjī. Cairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press.

El-Rouayheb, K. (2010). Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900. Leiden: Brill.

Fakhr al-Dīn al-Rāzī. (1983). Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah. Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. Marshall, Trans.). London: Continuum.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture. London: Routledge.

Habermas, J. (1972). Knowledge and Human Interests (J. Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.

Husserl, E. (1982). Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology (F. Kersten, Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff.

Ibn Khaldūn. (2005). Al-Muqaddimah (ʿA. al-S. al-Shaddādī, Ed.). Casablanca: Bayt al-Funūn.

Ibn Manẓūr. (1988). Lisān al-‘Arab (Vol. 4). Beirut: Dār Ṣādir.

Ibn Rushd. (1987). Tahāfut al-Tahāfut. Beirut: Dār al-Mashriq.

Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifā’. Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya.

Ibn Sīnā. (1957). Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Ibn Sīnā. (1982). Al-Najāt. Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah.

Izutsu, T. (1964). God and Man in the Qur’an. Tokyo: Keio University Press.

Izutsu, T. (1966). Ethico-Religious Concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press.

Izutsu, T. (1971). The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio University Press.

MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1988). Whose Justice? Which Rationality? Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

McIntyre, L. (2018). Post-Truth. Cambridge, MA: MIT Press.

Mullā Ṣadrā. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (Vol. 1). Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Nasr, S. H. (1978). Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy. Albany: State University of New York Press.

Rescher, N. (1963). Studies in the History of Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

Senge, P. (1990). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. New York: Doubleday.

Sharif, M. M. (Ed.). (1963). A History of Muslim Philosophy (Vol. 1). Wiesbaden: Otto Harrassowitz.

Ṣadrā, M. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (Vol. 1). Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Wilfrid Sellars. (1963). Science, Perception, and Reality. London: Routledge.

Wittgenstein, L. (1958). Philosophical Investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar