Tashawwur (Pemahaman Konseptual)
Fondasi Pemahaman Konseptual dalam Epistemologi Islam
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep tashawwur
(pemahaman konseptual) sebagai salah satu kategori utama dalam Ilmu Manṭiq
dan epistemologi Islam. Melalui pendekatan historis-filosofis, kajian ini
menelusuri akar genealogis tashawwur sejak masa al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan
al-Ghazālī, serta mengungkap relevansinya dalam konteks pemikiran kontemporer.
Secara ontologis, tashawwur dipahami sebagai kehadiran bentuk rasional (ṣūrah
ma‘qūlah) dalam akal yang menghubungkan manusia dengan hakikat realitas.
Secara epistemologis, ia menjadi tahap awal pengetahuan yang mendahului tasdīq,
menjamin kejelasan konsep sebelum penilaian proposisional. Sedangkan secara
aksiologis, tashawwur mengandung nilai moral, pedagogis, dan spiritual
yang menjadikan aktivitas berpikir sebagai tindakan etis dan sarana menuju
kebijaksanaan (ḥikmah).
Selain itu, artikel ini menyoroti dimensi sosial
dan intelektual tashawwur sebagai fondasi rasionalitas kolektif dalam
peradaban Islam, serta sebagai instrumen pedagogis dalam tradisi pendidikan
klasik. Melalui kritik dan klarifikasi filosofis dari al-Rāzī hingga Mullā
Ṣadrā, artikel ini menyusun sintesis integral bahwa tashawwur tidak
hanya berfungsi sebagai mekanisme konseptualisasi, tetapi juga sebagai
manifestasi ontologis dari pengetahuan yang hidup dan bernilai. Dalam konteks
kontemporer, tashawwur memiliki relevansi signifikan untuk menata
kembali rasionalitas humanistik, pendidikan berbasis makna, dan etika berpikir
di era digital. Dengan demikian, tashawwur integral menjadi paradigma
filosofis yang menyatukan rasionalitas, etika, dan spiritualitas dalam satu
kesatuan epistemologis yang koheren dan humanistik.
Kata Kunci: Tashawwur,
Ilmu Manṭiq, epistemologi Islam, rasionalitas humanistik, konsep, Ibn Sīnā,
al-Fārābī, Mullā Ṣadrā, ontologi pengetahuan, integrasi filsafat Islam.
PEMBAHASAN
Tashawwur (Pemahaman Konseptual) dalam Ilmu Manṭiq
1.
Pendahuluan
Ilmu Manṭiq (logika) menempati posisi
fundamental dalam tradisi intelektual Islam sebagai instrumen penuntun berpikir
yang benar, sistematis, dan rasional. Sejak masa al-Fārābī hingga Ibn Sīnā,
logika dipandang sebagai “miqyās al-‘aql” (timbangan akal) yang
berfungsi menjaga akal dari kesalahan berpikir dalam menalar dan menarik
kesimpulan.¹ Dalam konteks ini, Manṭiq tidak semata merupakan disiplin
teknis, tetapi juga sebuah metode epistemologis yang membentuk cara manusia
memahami realitas secara konseptual dan argumentatif. Salah satu kategori
pengetahuan paling mendasar dalam struktur Manṭiq adalah tashawwur
(pemahaman konseptual), yang menjadi titik tolak segala bentuk pengetahuan
rasional sebelum manusia mencapai taraf tasdīq (pembenaran proposisional).²
Secara etimologis, istilah tashawwur berasal
dari akar kata ṣ-w-r yang berarti “membentuk citra” atau “menggambarkan
sesuatu dalam pikiran.”³ Dalam konteks epistemologi Islam, tashawwur
menunjuk pada tahap awal pengetahuan, yakni saat akal memperoleh gambaran
konseptual tentang sesuatu tanpa melibatkan penilaian benar atau salah.⁴ Dengan
kata lain, tashawwur adalah bentuk kesadaran konseptual
non-proposisional yang menjadi prasyarat bagi terbentuknya pengetahuan yang
lebih tinggi. Tanpa tashawwur, akal tidak mungkin memahami makna
istilah, mendefinisikan sesuatu, ataupun membangun argumen yang sahih.⁵ Oleh
karena itu, para logikawan klasik menegaskan bahwa seluruh kegiatan berpikir
logis harus dimulai dari taṣawwurāt ṣaḥīḥah (konsepsi yang benar).⁶
Dalam sejarah perkembangan intelektual Islam, tashawwur
menjadi tema penting dalam perdebatan antara para filsuf (falāsifah) dan
teolog (mutakallimūn). Bagi Ibn Sīnā, tashawwur merupakan
aktivitas akal yang menangkap “ṣūrah al-ma‘qūl” (bentuk rasional)
dari sesuatu yang ada di luar pikiran.⁷ Al-Ghazālī, meskipun mengkritik aspek
metafisis filsafat, tetap mempertahankan struktur logis ini dalam karyanya Mi‘yār
al-‘Ilm, dengan menekankan bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh tanpa
definisi konseptual yang jelas.⁸ Bahkan, al-Fārābī menyebut logika sebagai “alat
bagi semua ilmu,” sebab ia memurnikan konsep-konsep dari kekeliruan
semantik dan kategoris yang dapat menyesatkan akal.⁹
Kajian tentang tashawwur menjadi penting
bukan hanya dalam lingkup logika klasik, tetapi juga dalam filsafat pengetahuan
modern. Dalam konteks kontemporer, persoalan tashawwur beririsan dengan
problem konseptualisasi dan representasi kognitif dalam filsafat bahasa serta
ilmu kognitif modern.¹⁰ Pemahaman konseptual menjadi dasar bagi struktur
semantik dan epistemik yang menentukan bagaimana manusia mengorganisir realitas
dan memaknai simbol. Dalam tradisi Islam, tashawwur bukan hanya bersifat
mental, melainkan juga memiliki dimensi ontologis: ia merupakan bentuk
kehadiran makna dalam jiwa yang berkaitan dengan realitas objektif.¹¹ Dengan
demikian, tashawwur bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan juga
bagian integral dari relasi antara akal dan wujud.
Dari sudut pandang metodologis, penelitian ini
menggunakan pendekatan filosofis–hermeneutik untuk menelusuri hakikat tashawwur
sebagai kategori epistemik dalam Ilmu Manṭiq. Kajian ini menyoroti
hubungan antara tashawwur dan tasdīq, serta implikasinya terhadap
rasionalitas, pendidikan, dan etika berpikir dalam tradisi Islam. Pendekatan
ini menuntut analisis historis, konseptual, dan aksiologis agar pemahaman
terhadap tashawwur tidak berhenti pada tataran linguistik, tetapi juga
menyentuh dimensi fungsional dan normatifnya dalam kehidupan intelektual.¹²
Dengan demikian, tujuan utama pembahasan ini adalah
menguraikan secara sistematis posisi tashawwur sebagai fondasi
epistemologi Islam dan memperlihatkan relevansinya dalam konteks pemikiran
modern. Kajian ini tidak hanya menegaskan kedalaman tradisi logika Islam,
tetapi juga membuka ruang refleksi kritis tentang bagaimana manusia membentuk,
memahami, dan menilai konsep-konsep yang menopang segala bentuk pengetahuan.
Footnotes
[1]
Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dār
al-Mashriq, 1986), 12.
[2]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed.
Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59–60.
[3]
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, jld. 4 (Beirut:
Dār Ṣādir, 1988), 318.
[4]
Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat al-Ta’wīl
(Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1990), 42.
[5]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1961), 17.
[6]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq
wa al-Ḥikmah (Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.
[7]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq
al-Jadīdah, 1982), 19.
[8]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 33.
[9]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa
Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.
[10]
Wilfrid Sellars, “Empiricism and the Philosophy of
Mind,” dalam Science, Perception, and Reality (London: Routledge, 1963),
127–196.
[11]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of
Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971),
58–59.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: SUNY Press, 1989), 22–23.
2.
Landasan Historis dan
Genealogis Tashawwur
Konsep tashawwur
sebagai pemahaman konseptual tidak muncul dalam ruang hampa sejarah, melainkan
merupakan hasil asimilasi intelektual antara warisan logika Yunani dan tradisi
filsafat Islam yang menekankan keterpaduan antara akal, bahasa, dan realitas.¹
Dalam kerangka historis, tashawwur dapat ditelusuri akarnya
dari teori noesis
(νοῦς) dan eidos
(εἶδος) dalam filsafat Yunani Klasik, yang kemudian diislamkan dan
dikontekstualisasikan oleh para falāsifah seperti al-Fārābī dan Ibn
Sīnā.² Pada tahap inilah terbentuk pemahaman bahwa pengetahuan manusia berawal
dari penggambaran mental (mental representation) terhadap objek luar, sebelum
sampai pada penilaian kebenaran (tasdīq).³
2.1.
Akar Konseptual dalam Filsafat Yunani
Dalam tradisi
filsafat Yunani, Aristoteles memperkenalkan logikē epistēmē sebagai ilmu
tentang aturan berpikir yang benar (orthos logos), dan dalam Organon,
ia membedakan antara simple apprehension (penangkapan
makna tanpa penilaian) dan judgment (penilaian terhadap
kebenaran proposisi).⁴ Konsep simple apprehension inilah yang
kemudian menjadi dasar bagi tashawwur dalam logika Islam.
Melalui proses penerjemahan dan elaborasi oleh para filsuf Muslim, istilah ini
memperoleh nuansa metafisis yang lebih dalam, terutama melalui teori bentuk (ṣūrah)
dan materi (māddah), yang menegaskan hubungan
antara konsep mental dan realitas eksternal.⁵
Proyek penerjemahan
karya Aristoteles dan komentatornya, seperti Themistius dan Alexander dari
Aphrodisias, pada masa Dinasti ‘Abbāsiyyah menjadi momentum penting dalam
pembentukan Manṭiq Islāmī.⁶ Para penerjemah
seperti Ḥunayn ibn Isḥāq dan Yaḥyā ibn al-Biṭrīq tidak hanya menerjemahkan teks
Yunani, tetapi juga mengadaptasi terminologinya ke dalam konteks bahasa Arab,
menghasilkan kosakata filosofis baru seperti ma‘qūl, taṣawwur, dan taṣdīq.⁷
Adaptasi ini tidak sekadar linguistik, melainkan juga konseptual, sebab para
logikawan Muslim kemudian menafsirkan konsep-konsep tersebut dalam kerangka
ontologi Islam yang menegaskan keteraturan ciptaan dan rasionalitas Ilahi.⁸
2.2.
Elaborasi dalam Tradisi Filsafat Islam
Al-Fārābī (w. 950 M)
menjadi tokoh pertama yang secara sistematis membangun fondasi Ilmu Manṭiq
Islam dengan struktur epistemologis yang mencakup tashawwur dan tasdīq.⁹
Dalam karyanya Kitāb al-Qiyās dan Iḥṣā’
al-‘Ulūm, ia mendefinisikan logika sebagai “qānūn ya‘ṣimu
al-‘aql min al-khaṭa’” (aturan yang melindungi akal dari kesalahan).¹⁰ Ia
menjelaskan bahwa semua pengetahuan bermula dari tashawwur, yaitu penangkapan makna
suatu entitas dalam bentuk ṣūrah dhihniyyah (gambaran
mental).¹¹ Tashawwur
bagi al-Fārābī merupakan syarat mutlak bagi tasdīq, sebab tanpa konsep yang
jelas, tidak mungkin terbentuk proposisi yang benar.¹²
Ibn Sīnā (w. 1037 M)
kemudian mengembangkan kerangka ini dalam sistem logikanya yang lebih matang.
Dalam Al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt, ia menegaskan bahwa seluruh pengetahuan (‘ilm)
terbagi dua: tashawwur dan tasdīq.¹³
Menurutnya, tashawwur adalah “ṣūrah mā fī
al-nafs li mā huwa fī al-khārij,” yakni bentuk sesuatu dalam jiwa
sebagaimana ia ada di luar.¹⁴ Dengan kata lain, tashawwur tidak bersifat arbitrer,
tetapi merepresentasikan realitas eksternal secara proporsional sesuai dengan
kapasitas akal manusia. Ibn Sīnā juga menekankan pentingnya ḥadd
(definisi esensial) dan rasm (definisi deskriptif) sebagai
instrumen untuk memperjelas konsep-konsep dan membedakannya dari yang lain.¹⁵
2.3.
Integrasi Teologis dan Kritik dari Kalangan
Mutakallimūn
Sementara para falāsifah
memandang tashawwur
sebagai proses rasional yang berakar pada realitas eksternal, para mutakallimūn
(teolog dialektis) memberikan nuansa yang lebih teologis. Al-Ghazālī (w. 1111
M) dalam Mi‘yār
al-‘Ilm dan Al-Qisṭās al-Mustaqīm
mempertahankan struktur logika Aristotelian, namun menempatkannya dalam
kerangka epistemologi Islam yang lebih normatif.¹⁶ Ia menyatakan bahwa tashawwur
adalah tahap awal pengetahuan yang memungkinkan manusia mengenali hakikat
sesuatu sebelum menilai kebenarannya, sehingga “barang siapa tidak memiliki tashawwur yang benar, maka penilaiannya
niscaya salah.”¹⁷ Meskipun demikian, al-Ghazālī menolak klaim rasionalis
yang berlebihan dan menegaskan bahwa akal tetap tunduk pada kebenaran wahyu.¹⁸
Fakhr al-Dīn al-Rāzī
(w. 1209 M) kemudian memperluas perdebatan ini dengan mengkritik pemahaman Ibn
Sīnā yang terlalu realistis. Ia memperkenalkan pendekatan konseptualis yang
menegaskan bahwa tashawwur adalah bentuk makna dalam
pikiran, bukan cerminan langsung realitas eksternal.¹⁹ Pandangan ini membuka
ruang bagi refleksi epistemologis yang lebih kritis dalam tradisi manṭiqīyah,
khususnya dalam hubungan antara bahasa, makna, dan wujud.
Posisi Tashawwur dalam Tradisi Pendidikan Islam
Dalam konteks
pendidikan Islam klasik, tashawwur bukan sekadar topik
teoretis, melainkan bagian integral dari kurikulum logika yang diajarkan di
madrasah dan pesantren.²⁰ Kitab-kitab seperti Isāghūjī karya Athīr al-Dīn
al-Abharī dan Sullam al-Munāraḥ karya al-Akhdarī
menjadi instrumen pedagogis utama untuk melatih santri memahami proses
konseptualisasi sebelum beranjak ke pembenaran logis.²¹ Melalui tradisi
pengajaran ini, tashawwur berfungsi menanamkan
kebiasaan berpikir jernih dan sistematis, yang menjadi fondasi bagi metodologi
keilmuan Islam di berbagai bidang, dari fikih hingga tasawuf.
Footnotes
[1]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 112.
[2]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic
Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid
Society (London: Routledge, 1998),
41–42.
[3]
Nicholas Rescher, Studies in the History
of Arabic Logic (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 1963), 17.
[4]
Aristotle, Organon, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1939),
35.
[5]
F. E. Peters, Aristotle and the
Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 74.
[6]
Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, 65.
[7]
R. Walzer, Greek into Arabic:
Essays on Islamic Philosophy
(Cambridge: Harvard University Press, 1962), 102.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic
Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 56.
[9]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 14.
[10]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.
[11]
Ibid., 49.
[12]
Ibid., 52.
[13]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59–60.
[14]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 19.
[15]
Ibid., 25.
[16]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 33.
[17]
Ibid., 36.
[18]
Al-Ghazālī, Al-Qisṭās al-Mustaqīm (Cairo: Dār al-Manār, 1904), 12–13.
[19]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.
[20]
A. K. S. Lambton, Continuity and Change
in Medieval Persia (Albany: SUNY
Press, 1988), 209.
[21]
Khaled El-Rouayheb, Relational
Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 92.
3.
Ontologi Tashawwur: Hakikat Konseptualisasi
Secara ontologis, tashawwur
berakar pada persoalan mendasar mengenai “ada”-nya pengetahuan
konseptual dalam relasi antara subjek dan objek. Ia bukan sekadar proses mental
psikologis, melainkan suatu modus kehadiran makna (ḥuḍūr al-ma‘nā) dalam akal
manusia.¹ Dalam kerangka Ilmu Manṭiq, tashawwur
merupakan bentuk “keberadaan mental” (wujūd dhihnī) yang memungkinkan
akal menangkap hakikat sesuatu melalui citra konseptual tanpa harus bersentuhan
langsung dengan realitas eksternal.² Dengan demikian, tashawwur
menempati posisi ontologis unik di antara dua ranah: ia bukan materi empiris di
dunia luar, tetapi juga bukan sekadar imajinasi subjektif; ia adalah realitas
kognitif yang merepresentasikan wujud melalui bentuk rasional (ṣūrah ma‘qūlah).³
3.1.
Hakikat Wujud Mental dalam Tradisi Filsafat
Islam
Dalam filsafat
Islam, khususnya pada pemikiran Ibn Sīnā, tashawwur dikaitkan erat dengan
teori ṣūrah
(bentuk) dan wujūd dhihnī (eksistensi mental).
Menurut Ibn Sīnā, setiap pengetahuan terbentuk karena akal memperoleh ṣūrah
dari sesuatu, yakni bentuk immaterial yang merepresentasikan hakikat benda
sebagaimana ia ada di luar pikiran.⁴ Ṣūrah dhihniyyah ini bersifat real
dalam domain intelektual, meskipun keberadaannya bergantung pada subjek yang
berpikir. Dengan demikian, ketika akal memahami konsep “manusia,” ia
tidak memiliki manusia eksternal di dalam dirinya, melainkan bentuk universal
tentang “manusia” sebagai ma‘qūl (konsep yang dipahami).⁵
Konsepsi ini
menempatkan tashawwur sebagai penghubung
ontologis antara wujud eksternal (wujūd khārijī) dan wujud mental (wujūd
dhihnī). Al-Fārābī menjelaskan bahwa hubungan keduanya bersifat isytirāk
fī al-ma‘nā (partisipasi dalam makna): makna “manusia” yang
dipahami akal sama secara konseptual dengan manusia eksternal, meski
eksistensinya berbeda secara modus.⁶ Dalam hal ini, tashawwur memiliki status ontologis
sebagai entitas intelektual yang meniru struktur realitas tanpa kehilangan
ketergantungan pada subjek kognitif.
3.2.
Relasi Akal, Makna, dan Realitas
Akal (‘aql)
dalam pandangan para falāsifah berfungsi sebagai cermin
yang menangkap citra realitas dalam bentuk ṣūrah ma‘qūlah.⁷ Melalui proses
ini, makna eksternal “dihadirkan” ke dalam jiwa, bukan dalam bentuk
materi, tetapi dalam bentuk konsep. Al-Ghazālī menggambarkan proses ini sebagai
“intiqāl al-ma‘nā ilā al-dhihn,” yakni perpindahan makna ke dalam
kesadaran, di mana akal membentuk representasi internal dari hakikat yang
ditangkap oleh indra dan diolah melalui imajinasi (khayāl).⁸
Dengan demikian, tashawwur
mencerminkan struktur ontologis pengetahuan yang berlapis: (a) data inderawi
sebagai dasar pengalaman empiris, (b) representasi imajinatif sebagai media
penghubung, dan (c) konsep rasional sebagai hasil sublimasi makna universal.⁹
Pada tingkat ini, tashawwur berfungsi sebagai
perantara antara realitas fisik dan pengetahuan intelektual. Dalam istilah
Mulla Ṣadrā, pengetahuan konseptual bukan hanya sekadar representasi pasif,
tetapi juga “eksistensi rasional” yang memanifestasikan bentuk wujud
secara immaterial.¹⁰
3.3.
Universalitas dan Partikularitas Konsep
Salah satu aspek
ontologis paling penting dari tashawwur adalah pembagian konsep
menjadi universal (kullī) dan partikular (juz’ī).
Konsep universal adalah bentuk makna yang dapat diterapkan pada banyak hal
sekaligus, seperti “manusia,” “keadilan,” atau “kehidupan.”¹¹
Sebaliknya, konsep partikular merujuk pada sesuatu yang unik dan spesifik,
seperti “Zaid” atau “kota Baghdad.” Ibn Sīnā menegaskan bahwa
universalitas tidak melekat pada benda eksternal, melainkan pada cara akal
memandangnya.¹² Akal mengabstraksi ciri-ciri esensial dari objek partikular dan
membentuk tashawwur
kullī yang bebas dari batas-batas ruang dan waktu.
Dengan demikian, tashawwur
memainkan peran ontologis ganda: di satu sisi, ia bersumber dari realitas
empiris yang terikat waktu dan ruang; di sisi lain, ia menghasilkan struktur
makna yang bersifat universal dan abadi.¹³ Hal ini menunjukkan bahwa dalam
pandangan Islam, pengetahuan tidak pernah terlepas dari realitas, tetapi juga
tidak terikat sepenuhnya padanya. Ontologi tashawwur mengajarkan bahwa makna
sejati terletak pada kesesuaian antara ṣūrah dhihniyyah dengan wujud
eksternal, bukan pada keberadaan fisik benda itu sendiri.¹⁴
3.4.
Implikasi Ontologis terhadap Pengetahuan dan
Bahasa
Hubungan antara tashawwur
dan bahasa juga bersifat ontologis, karena kata-kata (alfāẓ)
dianggap sebagai wadah yang menampung konsep-konsep mental. Al-Fārābī
menegaskan bahwa kata hanyalah simbol dari makna yang telah dipahami akal,
bukan sumber makna itu sendiri.¹⁵ Oleh karena itu, kejelasan bahasa tergantung
pada kejelasan tashawwur. Ketika konsep yang
terbentuk kabur, maka penyampaian makna melalui bahasa pun menjadi salah arah,
dan kebenaran proposisi akan terganggu.¹⁶
Dari perspektif ini,
tashawwur
bukan sekadar kategori epistemik, tetapi juga dimensi ontologis yang menopang
seluruh struktur pengetahuan manusia. Ia memastikan bahwa pengetahuan memiliki
fondasi real dalam jiwa dan keterkaitan yang sahih dengan realitas luar.¹⁷
Kesalahan dalam berpikir sering kali berakar bukan pada kekeliruan logis
semata, tetapi pada kekeliruan ontologis dalam memahami hakikat konsep itu
sendiri.
Kesimpulan Sementara
Ontologi tashawwur
menempatkan pemahaman konseptual sebagai jembatan antara akal dan realitas. Ia
bukan ilusi mental, melainkan bentuk eksistensi makna yang memiliki realitas
tersendiri dalam domain intelektual. Dengan demikian, studi tentang tashawwur
tidak hanya menyentuh ranah logika formal, tetapi juga membuka wacana
metafisika pengetahuan: bagaimana makna hadir, bagaimana akal mengetahui, dan
bagaimana realitas dipahami. Dalam tradisi filsafat Islam, hakikat
konseptualisasi ini menjadi dasar bagi seluruh bangunan rasionalitas, karena di
dalamnya terkandung kesatuan antara wujūd, ma‘nā, dan ‘aql.¹⁸
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 48.
[2]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.
[3]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 22.
[4]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 19.
[5]
Ibid., 25.
[6]
Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf (Beirut: Dār al-Mashriq, 1990), 88.
[7]
Al-Fārābī, Risālah fī al-‘Aql (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 14.
[8]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 35.
[9]
M. M. Sharif, ed., A History of Muslim
Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1963), 363.
[10]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī,
1981), 59–60.
[11]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 25.
[12]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, 72.
[13]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 67.
[14]
Izutsu, The Concept and Reality
of Existence, 46–47.
[15]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 51.
[16]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 41.
[17]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany:
SUNY Press, 2006), 62.
[18]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 63.
4.
Epistemologi Tashawwur: Jalan Menuju Pengetahuan
Dalam kerangka Ilmu Manṭiq
dan epistemologi Islam, tashawwur menempati posisi yang
sangat mendasar sebagai tahap pertama dari keseluruhan proses pengetahuan
manusia. Ia merupakan titik mula setiap aktivitas intelektual, karena tanpa
adanya tashawwur
yang benar, tidak mungkin lahir tasdīq (pembenaran proposisional)
yang sahih.¹ Epistemologi tashawwur menjelaskan bagaimana
akal manusia mencapai pemahaman konseptual terhadap realitas, melalui
serangkaian tahapan kognitif yang melibatkan persepsi inderawi, pengolahan
imajinatif, abstraksi intelektual, hingga pembentukan definisi yang jelas.²
Dengan demikian, tashawwur bukan sekadar
penggambaran pasif terhadap realitas, melainkan proses aktif yang bersifat
rasional, terarah, dan berfungsi sebagai fondasi bagi seluruh struktur
pengetahuan.
4.1.
Distingsi Epistemologis antara Tashawwur
dan Tasdīq
Para logikawan
Muslim, terutama al-Fārābī dan Ibn Sīnā, membagi pengetahuan (‘ilm)
menjadi dua kategori utama: tashawwur dan tasdīq.³
Tashawwur
adalah pengetahuan tentang “apa sesuatu itu” (māhiyyah),
sedangkan tasdīq
adalah pengetahuan tentang “bahwa sesuatu itu demikian.”⁴ Dengan kata
lain, tashawwur
berhubungan dengan pengenalan konsep, sedangkan tasdīq berkaitan dengan penilaian
benar atau salah terhadap suatu proposisi. Ibn Sīnā menjelaskan: “Segala
yang diketahui entah berupa konsep murni yang tidak dapat diuraikan menjadi
proposisi, atau berupa proposisi yang mengandung penegasan atau penolakan; yang
pertama disebut tashawwur,
yang kedua disebut tasdīq.”⁵
Al-Ghazālī
memperkuat pembagian ini dengan menegaskan bahwa tashawwur adalah prasyarat logis
bagi tasdīq.⁶
Seorang penalar tidak dapat mengucapkan proposisi seperti “manusia adalah
makhluk rasional” tanpa terlebih dahulu memiliki tashawwur
tentang “manusia” dan “rasionalitas.” Hubungan ini bersifat hierarkis
dan kausal: tashawwur mendahului tasdīq
sebagaimana sebab mendahului akibat.⁷ Dalam konteks epistemologi Islam,
kejelasan konsep (wuḍūḥ al-mafāhīm) menentukan
keabsahan penilaian (ṣiḥḥat al-aḥkām), sehingga
kesalahan epistemik umumnya berakar dari tashawwur yang kabur atau salah.⁸
4.2.
Proses Pembentukan Tashawwur: Dari
Persepsi ke Abstraksi
Epistemologi tashawwur
tidak dapat dilepaskan dari struktur hierarkis pengetahuan manusia sebagaimana
dirumuskan oleh para falāsifah. Prosesnya berawal dari
pengalaman inderawi (ḥiss), di mana jiwa menangkap
bentuk lahiriah objek melalui indra eksternal.⁹ Bentuk ini kemudian disimpan
oleh daya imajinatif (khayāl), yang berfungsi sebagai
penghubung antara dunia material dan dunia rasional.¹⁰ Setelah itu, daya
pemikir (‘aql)
melakukan proses abstraksi (tajrīd), yaitu melepaskan makna
universal dari ciri-ciri partikular.¹¹
Ibn Sīnā menjelaskan
bahwa abstraksi ini terjadi melalui tiga tahapan: (a) al-ḥiss
al-khārijī (pengindraan luar), (b) al-ḥiss al-bāṭin (pengindraan
dalam, seperti imajinasi dan memori), dan (c) al-‘aql al-fa‘‘āl (intelek aktif)
yang memberikan bentuk universal pada makna yang telah diolah oleh imajinasi.¹²
Dengan demikian, tashawwur merupakan hasil kerja
sintesis antara indra, imajinasi, dan akal, yang berpuncak pada pemahaman
konseptual yang bebas dari batas-batas empiris.¹³
Al-Fārābī
menggambarkan proses ini sebagai intiqāl al-ṣūrah min al-maḥsūs ilā al-ma‘qūl
— perpindahan bentuk dari yang terindra menuju yang dipahami.¹⁴ Melalui
mekanisme ini, akal manusia membentuk konsep-konsep universal (ma‘qūlāt
kulliyyah) yang menjadi bahan dasar bagi seluruh proposisi logis
dan pengetahuan ilmiah.
4.3.
Fungsi Definisi (Ḥadd dan Rasm)
dalam Memperjelas Konsep
Salah satu aspek
penting dalam epistemologi tashawwur adalah fungsi definisi (ḥadd)
sebagai instrumen untuk memperjelas batas-batas konseptual.¹⁵ Dalam tradisi
logika Islam, ḥadd diartikan sebagai pernyataan
yang mengungkapkan esensi sesuatu melalui genus (jins) dan diferensia (faṣl).¹⁶
Sebagai contoh, manusia didefinisikan sebagai “hewan rasional” (ḥayawān
nāṭiq), di mana ḥayawān adalah genus dan nāṭiq
adalah diferensia yang menunjukkan sifat esensial.¹⁷
Selain ḥadd,
terdapat pula rasm, yaitu definisi deskriptif
yang menunjukkan ciri-ciri aksidental suatu hal tanpa mengungkapkan
esensinya.¹⁸ Para logikawan menegaskan bahwa ḥadd menghasilkan tashawwur
tam (konsep sempurna), sedangkan rasm hanya menghasilkan tashawwur
nāqiṣ (konsep tidak lengkap).¹⁹ Dengan demikian, kejelasan definisi
menjadi syarat epistemologis bagi validitas konsep. Al-Ghazālī menulis: “Setiap
kebingungan dalam berpikir berakar dari tidak jelasnya definisi.”²⁰
Melalui definisi,
akal menyingkap struktur internal suatu konsep dan memisahkannya dari hal-hal
lain yang serupa. Proses ini menunjukkan bahwa tashawwur bukanlah sekadar hasil
persepsi pasif, melainkan aktivitas intelektual reflektif yang berupaya
mencapai taḥdīd
al-ma‘nā (penetapan makna secara tegas).²¹
4.4.
Tashawwur sebagai Dasar Pengetahuan Logis dan Ilmiah
Dalam sistem logika
Islam, tashawwur
memiliki fungsi epistemologis sebagai landasan bagi pembentukan proposisi (qaḍiyyah)
dan silogisme (qiyās).²² Tanpa adanya tashawwur,
tidak mungkin terbentuk hubungan subjek-predikat yang benar. Sebagai contoh,
proposisi “setiap manusia fana” memerlukan tashawwur yang jelas tentang “manusia”
dan “fana,” serta pemahaman hubungan keduanya.²³
Fakhr al-Dīn al-Rāzī
menegaskan bahwa tashawwur menentukan arah kebenaran
proposisi, karena kesalahan dalam pengertian (ghalaṭ fī al-taṣawwur) akan
menyebabkan kesalahan dalam penilaian (ghalaṭ fī al-taṣdīq).²⁴ Oleh karena
itu, pembinaan logika dan pendidikan intelektual dalam tradisi Islam selalu
dimulai dari tashawwurāt ṣaḥīḥah (konsepsi yang
benar).²⁵
Dalam perspektif
ilmu pengetahuan, tashawwur berperan sebagai basis
konseptual bagi pembentukan teori ilmiah.²⁶ Setiap teori ilmiah pada hakikatnya
tersusun dari konsep-konsep yang dihubungkan melalui proposisi dan hukum,
sehingga ketepatan konseptual menentukan ketepatan teoritis. Dengan demikian,
epistemologi tashawwur memberikan legitimasi
filosofis bagi logika sebagai miqyās al-‘aql — timbangan bagi
akal — untuk menilai validitas pengetahuan.²⁷
4.5.
Hubungan antara Tashawwur, Kebenaran,
dan Pengetahuan
Epistemologi Islam
membedakan antara ṣidq (kebenaran proposisional) dan taḥqīq
(pembenaran konseptual).²⁸ Jika tasdīq menilai kebenaran hubungan
antara dua konsep, maka tashawwur menilai ketepatan
representasi konsep itu sendiri terhadap realitas. Dengan demikian, tashawwur
yang benar adalah konsep yang sesuai (mutābiq) dengan hakikat sesuatu (ḥaqīqah
al-shay’).²⁹
Ibn Sīnā menegaskan
bahwa kebenaran konseptual tidak terletak pada proposisi, melainkan pada
kesesuaian ṣūrah
dhihniyyah dengan ṣūrah khārijiyyah.³⁰ Dalam
pandangan Mulla Ṣadrā, hubungan ini bersifat dinamis: konsep bukan sekadar
cermin pasif realitas, tetapi juga manifestasi wujud yang dihadirkan dalam
kesadaran rasional.³¹ Dengan demikian, tashawwur menjadi jalan
epistemologis yang menghubungkan manusia dengan realitas melalui refleksi
intelektual.³²
Penutup Sementara
Epistemologi tashawwur
menegaskan bahwa pengetahuan sejati berawal dari kejelasan konsep. Ia merupakan
langkah pertama dalam tangga epistemik yang mengantarkan manusia dari persepsi
menuju pemahaman, dari makna menuju kebenaran. Dalam konteks ini, tashawwur
berfungsi sebagai pondasi rasionalitas Islam — suatu prasyarat bagi keteraturan
berpikir, argumentasi yang valid, dan pencarian kebenaran yang bertanggung
jawab.³³ Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, tetapi juga
mengapa pengetahuan itu memiliki makna ontologis dan etis dalam keseluruhan
tatanan kosmos.
Footnotes
[1]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.
[2]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 19–20.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 12.
[4]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.
[5]
Ibid., 60.
[6]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 34.
[7]
Ibid., 36.
[8]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.
[9]
Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Nafs (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1952), 42.
[10]
Ibid., 44.
[11]
M. M. Sharif, ed., A History of Muslim
Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1963), 365.
[12]
Ibn Sīnā, Al-Najāt, 23–25.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 49.
[14]
Al-Fārābī, Risālah fī al-‘Aql (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 15.
[15]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 38.
[16]
Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf (Beirut: Dār al-Mashriq, 1990), 90.
[17]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, 70.
[18]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq, 25.
[19]
Ibid., 26.
[20]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 41.
[21]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 27.
[22]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 20.
[23]
Ibn Sīnā, Al-Najāt, 29.
[24]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq, 28.
[25]
Khaled El-Rouayheb, Relational
Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 93.
[26]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany:
SUNY Press, 2006), 57.
[27]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, 53.
[28]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 44.
[29]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, 75.
[30]
Ibid., 76.
[31]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī,
1981), 65.
[32]
Izutsu, The Concept and Reality
of Existence, 49.
[33]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 72.
5.
Aksiologi Tashawwur: Nilai, Fungsi, dan Tujuan
Praktis
Dalam sistem Ilmu Manṭiq
dan epistemologi Islam, tashawwur tidak hanya memiliki
nilai teoretis sebagai kategori pengetahuan dasar, tetapi juga mengandung
dimensi aksiologis yang menentukan bagaimana pengetahuan digunakan dan
diarahkan. Aksiologi tashawwur menyoroti nilai, fungsi,
dan tujuan praktis dari pemahaman konseptual, baik dalam ranah intelektual
maupun moral.¹ Ia menghubungkan antara pengetahuan yang benar dengan tindakan
yang benar, sehingga menjadi jembatan antara dimensi epistemik dan etis dari
aktivitas berpikir manusia.²
5.1.
Nilai Instrumental dan Intrinsik Tashawwur
Secara aksiologis, tashawwur
memiliki dua nilai utama: nilai instrumental (ghāyah āliyah) dan nilai intrinsik
(ghāyah
dhātiyyah). Nilai instrumentalnya terletak pada fungsinya sebagai
alat bagi pembentukan pengetahuan yang benar (tasdīq ṣaḥīḥ), sementara nilai
intrinsiknya terdapat pada kemampuan manusia memahami makna dan hakikat sesuatu
secara mendalam.³ Dengan kata lain, tashawwur bernilai karena ia
memungkinkan manusia mengenali realitas sebagaimana adanya, dan sekaligus
bernilai pada dirinya sendiri sebagai ekspresi dari potensi intelektual manusia
yang rasional.
Menurut al-Fārābī,
akal manusia memperoleh kesempurnaannya melalui tashawwurāt ṣaḥīḥah, sebab dengan
mengenali hakikat sesuatu, akal menjadi serupa dengan tatanan rasional kosmos.⁴
Pemahaman ini menegaskan bahwa nilai tertinggi dari tashawwur adalah tercapainya taḥaqquq
bi al-‘aql — aktualisasi potensi intelektual yang mengantarkan
manusia kepada kebenaran.⁵ Sementara Ibn Sīnā menekankan bahwa proses
konseptualisasi yang benar memiliki nilai etis karena menuntut kejujuran
epistemik: seseorang harus menghindari kekeliruan dalam membentuk konsep agar
tidak menyesatkan dirinya dan orang lain.⁶
5.2.
Fungsi Rasional dan Pedagogis Tashawwur
Fungsi utama tashawwur
adalah sebagai instrumen rasional untuk menata dan mengarahkan pemikiran
manusia agar terhindar dari kekacauan logis (al-khaṭa’ fī al-ta‘aqqul).⁷ Dengan
membentuk konsep-konsep yang jelas dan terdefinisi, akal dapat menilai
proposisi dan menarik kesimpulan secara sahih. Oleh sebab itu, tashawwur
merupakan prasyarat bagi penalaran logis, argumentasi ilmiah, dan diskursus
filosofis.⁸ Tanpa tashawwur yang benar, pengetahuan
manusia akan terjebak pada ambiguitas linguistik dan kesalahan kategoris yang
mengacaukan struktur berpikir.
Fungsi pedagogis tashawwur
juga sangat penting, terutama dalam tradisi pendidikan Islam klasik. Al-Ghazālī
menegaskan bahwa kejelasan konsep adalah inti dari pengajaran yang benar.⁹
Dalam Mi‘yār
al-‘Ilm, ia menyebut bahwa guru sejati bukanlah yang sekadar
menghafal dalil, tetapi yang mampu menanamkan tashawwur ṣaḥīḥ dalam jiwa
murid-muridnya.¹⁰ Melalui proses ini, tashawwur menjadi bagian dari
pembentukan karakter intelektual (ta’dīb al-‘aql), yaitu latihan
untuk berpikir jernih, sistematis, dan bertanggung jawab.
Dari perspektif ini,
tashawwur
berfungsi tidak hanya sebagai sarana logika, tetapi juga sebagai metode
pendidikan akal budi.¹¹ Tradisi madrasah dan pesantren menempatkan pengajaran
logika (terutama bagian taṣawwurāt dalam kitab Isāghūjī
atau Sullam
al-Munāraḥ) sebagai pelatihan mendasar untuk mengasah ketajaman
berpikir dan ketelitian dalam memahami makna.¹² Hal ini menunjukkan bahwa tashawwur
memiliki nilai formasi intelektual sekaligus moral, karena mendidik manusia
untuk berpikir dengan disiplin dan kejujuran epistemik.
5.3.
Dimensi Etis dan Moral dalam Tashawwur
Dimensi etis tashawwur
berakar pada kesadaran bahwa setiap aktivitas intelektual memiliki tanggung
jawab moral.¹³ Dalam pandangan Islam, pengetahuan bukan sekadar akumulasi
konsep, tetapi juga amanah yang harus digunakan untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan. Oleh karena itu, tashawwur yang benar harus
diarahkan kepada tujuan etis yang lebih tinggi — yakni pengabdian kepada
kebenaran (al-ḥaqq).¹⁴
Al-Ghazālī
menegaskan bahwa kekacauan moral sering kali bersumber dari kekacauan
epistemik: ketika manusia gagal memahami hakikat sesuatu secara benar, ia akan
menilai dan bertindak salah.¹⁵ Karena itu, tashawwur bukan hanya persoalan
logika formal, tetapi juga moralitas berpikir. Menyalahgunakan konsep atau
mendistorsi makna adalah bentuk ketidakjujuran intelektual yang dapat merusak
tatanan sosial dan spiritual.¹⁶
Dalam konteks
modern, hal ini memiliki relevansi yang besar: kejelasan konseptual mencegah
penyalahgunaan istilah, bias ideologis, dan manipulasi kognitif yang sering
terjadi dalam komunikasi publik.¹⁷ Dengan demikian, tashawwur yang benar merupakan
fondasi bagi etika berpikir kritis dan komunikasi yang jujur — nilai-nilai yang
menjadi inti dari epistemologi Islam humanistik.
5.4.
Fungsi Sosial dan Peradaban Tashawwur
Selain fungsi
individual dan moral, tashawwur juga memiliki fungsi
sosial dalam membangun struktur pengetahuan kolektif. Dalam pandangan Ibn
Khaldūn, kemajuan peradaban sangat ditentukan oleh kejernihan dan konsistensi
konsep yang digunakan oleh masyarakatnya.¹⁸ Setiap ilmu dan kebudayaan
berlandaskan pada sistem taṣawwurāt musytarakah (konsep
bersama) yang menjadi bahasa epistemik suatu komunitas. Ketika konsep-konsep dasar
seperti “keadilan,” “pengetahuan,” atau “agama”
disalahpahami, maka struktur sosial pun akan kehilangan arah.¹⁹
Dengan demikian, tashawwur
berfungsi sebagai sarana pembentukan konsensus intelektual yang memungkinkan
manusia berkomunikasi dan membangun ilmu bersama.²⁰ Dalam sejarah Islam,
kejernihan tashawwur
menjadi faktor penting dalam kejayaan ilmiah peradaban Islam klasik, di mana
para pemikir dari berbagai disiplin — teologi, hukum, filsafat, dan sains —
berbagi kerangka konseptual yang koheren dan saling dapat diterjemahkan.²¹
Fungsi sosial tashawwur
ini memperlihatkan bahwa pemahaman konseptual bukan hanya urusan individu yang
berpikir, tetapi juga fondasi epistemik bagi masyarakat berilmu. Ia membentuk
dasar rasionalitas publik yang diperlukan untuk diskursus ilmiah dan kebijakan
yang adil.
5.5.
Tujuan Praktis: Dari Konseptualisasi ke
Kearifan
Tujuan akhir tashawwur
bukan hanya pembentukan konsep yang benar, melainkan tercapainya kearifan (ḥikmah).²²
Dalam pandangan filsafat Islam, ḥikmah adalah kesempurnaan
pengetahuan yang tidak hanya memahami sesuatu sebagaimana adanya, tetapi juga
menempatkannya pada tempat yang seharusnya.²³ Dengan demikian, tashawwur
yang benar membuka jalan bagi ḥikmah ‘amaliyyah (kebijaksanaan
praktis), di mana pengetahuan konseptual diterapkan untuk mengatur kehidupan
dengan keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang.
Mulla Ṣadrā menyebut
tashawwur
sebagai “jalan pertama menuju penyaksian hakikat” (ṭarīq
al-awwal ilā al-shuhūd).²⁴ Ia menegaskan bahwa konsep bukan tujuan
akhir, tetapi sarana bagi perjalanan spiritual akal menuju pemahaman
eksistensial yang utuh. Dalam kerangka ini, tashawwur memiliki dimensi
transendental — ia bukan hanya proses intelektual, tetapi juga bagian dari
penyucian akal dalam perjalanan menuju kebenaran Ilahi.²⁵
Dengan demikian,
tujuan praktis tashawwur mencakup tiga lapisan:
(1) kebenaran rasional (ṣidq ma‘qūl), (2) kejujuran moral (ṣidq
akhlāqī), dan (3) kesempurnaan spiritual (taḥqīq
rūḥānī).²⁶ Ketiganya menunjukkan bahwa nilai sejati dari tashawwur
tidak terletak hanya pada kejelasan intelektual, tetapi juga pada orientasinya
menuju kebijaksanaan dan kebenaran yang integral.
Penutup Sementara
Aksiologi tashawwur
menunjukkan bahwa pemahaman konseptual memiliki nilai ganda — sebagai alat
berpikir yang sistematis dan sebagai sarana penyempurnaan diri. Ia mengajarkan
bahwa berpikir secara benar adalah bentuk ibadah intelektual, dan membentuk
konsep dengan jujur adalah wujud etika ilmiah. Dalam tradisi filsafat Islam, tashawwur
menjadi pondasi rasionalitas yang humanistik: pengetahuan yang bukan hanya
benar secara logis, tetapi juga baik secara moral dan bermanfaat secara
sosial.²⁷ Dengan demikian, nilai tashawwur melampaui ranah logika
menuju dimensi kehidupan — mengikat akal, hati, dan tindakan dalam satu
kesatuan makna.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 53.
[2]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 27.
[3]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 51.
[4]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 15.
[5]
Ibid., 18.
[6]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 63.
[7]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.
[8]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany:
SUNY Press, 2006), 62.
[9]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 39.
[10]
Ibid., 41.
[11]
M. M. Sharif, ed., A History of Muslim
Philosophy, vol. 1 (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1963), 367.
[12]
Khaled El-Rouayheb, Relational
Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 94.
[13]
Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an, 43.
[14]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 56.
[15]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 97.
[16]
Ibid., 99.
[17]
Alasdair MacIntyre, Whose
Justice? Which Rationality? (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 88.
[18]
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt
al-Funūn, 2005), 211.
[19]
Ibid., 214.
[20]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 60.
[21]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 117.
[22]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 27.
[23]
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 32.
[24]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī,
1981), 69.
[25]
Ibid., 73.
[26]
Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 57.
[27]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 70.
6.
Dimensi Sosial dan
Intelektual Tashawwur dalam Tradisi Islam
Dalam tradisi
intelektual Islam, tashawwur tidak hanya berperan
sebagai instrumen epistemologis yang bekerja dalam ruang kognitif individual,
tetapi juga memiliki dimensi sosial dan intelektual yang sangat signifikan. Ia
merupakan fondasi bagi pembentukan manhaj al-fikr (metode berpikir)
yang memungkinkan lahirnya peradaban ilmu, serta menjadi mekanisme kolektif
dalam membangun kerangka konseptual bersama di antara komunitas ilmiah.¹ Dengan
kata lain, tashawwur
merupakan titik temu antara rasionalitas individu dan struktur pengetahuan
kolektif, antara kerja akal dan dinamika sosial pengetahuan.
6.1.
Tashawwur sebagai Fondasi Tradisi Ilmiah Islam
Tradisi ilmiah Islam
dibangun di atas prinsip bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui kejelasan
konsep dan konsistensi berpikir. Al-Fārābī menegaskan bahwa semua ilmu, baik
rasional maupun keagamaan, bergantung pada tashawwurāt ṣaḥīḥah (konsep-konsep
yang benar) sebelum bisa menghasilkan tasdīqāt ṣaḥīḥah (pembenaran yang
sahih).² Oleh karena itu, disiplin ilmu seperti teologi (‘ilm
al-kalām), fikih, tasawuf, dan falsafah seluruhnya berpijak pada
kejelasan konseptual yang ditata oleh logika.³
Dalam konteks ini, tashawwur
berperan sebagai prinsip pengorganisasi ilmu. Ia menyediakan kerangka makna
yang memungkinkan berbagai cabang pengetahuan berkomunikasi melalui
kategori-kategori rasional yang sama. Ibn Sīnā dalam Al-Shifā’
menegaskan bahwa tanpa tashawwur yang benar tentang
hakikat objek ilmu, perbedaan disiplin tidak akan dapat dipahami secara
koheren.⁴ Karena itu, seluruh sistem keilmuan Islam — mulai dari filsafat,
teologi, hingga hukum — memerlukan tahap taṣawwurī sebelum taṣdīqī:
memahami konsep-konsep dasar sebelum membuat keputusan rasional atau hukum.⁵
6.2.
Tashawwur dalam Dinamika Intelektual dan Adab al-Baḥth
Dimensi sosial dari tashawwur
tampak jelas dalam praktik adab al-baḥth wa al-munāẓarah
(etika diskusi dan perdebatan ilmiah).⁶ Tradisi ini, yang berkembang pesat di
kalangan mutakallimūn
dan falāsifah,
menempatkan tashawwur sebagai tahap pertama
yang harus disepakati sebelum berdebat mengenai kebenaran suatu proposisi. Para
ulama menegaskan, “al-baḥth qabla al-ḥukm” — pencarian
makna harus mendahului penilaian.⁷ Dengan demikian, tashawwur menjadi mekanisme
epistemik sekaligus etis yang menjamin bahwa perbedaan pendapat di antara para
ulama tidak lahir dari kesalahpahaman terminologis, tetapi dari interpretasi
konseptual yang disadari secara bersama.
Dalam sistem adab
al-baḥth, peserta debat diwajibkan menjelaskan terlebih dahulu
definisi istilah yang digunakan, agar tidak terjadi kekacauan makna (iltibās
al-ma‘nā).⁸ Prosedur ini bukan sekadar teknis, tetapi memiliki
dimensi sosial yang mendalam, karena ia melatih komunitas ilmiah untuk
menghargai makna, menahan diri dari penilaian prematur, dan menjunjung
integritas rasionalitas.⁹ Dengan cara ini, tashawwur menjadi semacam kontrak
intelektual yang menjaga komunikasi ilmiah agar tetap jernih dan terarah.
6.3.
Tashawwur dan Pembentukan Rasionalitas Kolektif
Salah satu keunikan
epistemologi Islam adalah bahwa rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai
kemampuan berpikir individu, tetapi juga sebagai struktur pengetahuan yang
hidup dalam masyarakat.¹⁰ Dalam konteks ini, tashawwur berfungsi sebagai
instrumen pembentukan ‘aql jamā‘ī (akal kolektif). Ibn
Khaldūn menegaskan bahwa ilmu dan peradaban tumbuh karena masyarakat mampu
mengembangkan sistem simbol dan konsep bersama yang menjadi dasar komunikasi
dan pendidikan.¹¹
Proses sosialisasi
ilmu melalui madāris (madrasah) dan ḥalaqah
(lingkaran keilmuan) memperlihatkan bagaimana tashawwur bekerja dalam ruang
sosial.¹² Konsep-konsep dasar seperti ‘ilm, ḥikmah, ‘adl, atau tawḥīd
tidak hanya dipelajari secara teoretis, tetapi juga diinternalisasi dalam
kehidupan sosial dan budaya.¹³ Dengan demikian, tashawwur berfungsi membentuk
kesadaran kolektif yang rasional dan etis, yang menjadi fondasi bagi stabilitas
intelektual peradaban Islam.
Sebagai contoh,
sistem fiqh
Islam bergantung pada tashawwur yang benar terhadap
istilah seperti niyyah, ‘illah, dan ḥukm.¹⁴
Kesalahan konseptual dalam istilah-istilah ini dapat menghasilkan perbedaan
hukum yang signifikan. Karena itu, para uṣūliyyūn menekankan pentingnya taḥqīq
al-manāṭ — memastikan kejelasan makna sebelum menerapkan hukum.¹⁵
Dalam hal ini, tashawwur tidak hanya berfungsi
epistemologis, tetapi juga sosial, karena menentukan keabsahan hukum yang
berdampak langsung pada kehidupan umat.
6.4.
Tashawwur dalam Tradisi Pendidikan dan Pembentukan
Intelektual Muslim
Tradisi pendidikan
Islam klasik menempatkan pembentukan tashawwur sebagai fondasi dari
seluruh proses belajar.¹⁶ Sebelum murid dapat memahami dalil, teks, atau teori,
ia harus memiliki konsep yang benar tentang makna istilah yang digunakan. Oleh
karena itu, logika (manṭiq) diajarkan sejak tahap awal
pendidikan tinggi, bersama dengan gramatika Arab (naḥw dan ṣarf),
untuk melatih kejernihan konsep dan struktur bahasa.¹⁷
Kitab Isāghūjī
karya Athīr al-Dīn al-Abharī menjadi teks dasar dalam pengajaran taṣawwurāt
selama berabad-abad, diikuti oleh komentar-komentar seperti Sullam
al-Munāraḥ karya al-Akhdarī.¹⁸ Melalui tradisi ini, tashawwur
membentuk ethos intelektual Islam: berpikir jernih, mendefinisikan istilah
dengan tepat, dan memahami hubungan antara konsep-konsep.¹⁹ Proses pendidikan
semacam ini tidak hanya menanamkan pengetahuan logis, tetapi juga membentuk karakter
intelektual yang berdisiplin, rendah hati, dan dialogis.
Dalam konteks
modern, dimensi pedagogis tashawwur kembali relevan. Di
tengah banjir informasi dan relativisme makna, kemampuan untuk membentuk konsep
yang jelas menjadi kebutuhan epistemologis dan etis.²⁰ Tashawwur
melatih masyarakat untuk membedakan antara pengetahuan dan opini, antara
istilah ilmiah dan retorika ideologis.²¹ Dengan demikian, ia berperan dalam
membangun budaya berpikir kritis dan literasi konseptual di tengah masyarakat
Islam kontemporer.
6.5.
Tashawwur sebagai Perekat Intelektual Peradaban
Secara historis,
peradaban Islam mencapai kejayaannya karena para ulama dan cendekiawan berbagi tashawwurāt
musytarakah (konsep-konsep bersama) yang menjembatani perbedaan
disiplin.²² Filsuf, ahli kalam, dan fuqahā’ mungkin berdebat keras dalam
argumentasi, tetapi mereka berbicara dalam bahasa epistemik yang sama — bahasa
logika dan konsep.²³ Inilah yang memungkinkan munculnya dialog lintas disiplin
antara metafisika, hukum, dan sains, sebagaimana terlihat pada karya al-Fārābī,
Ibn Rushd, dan Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī.²⁴
Dengan demikian, tashawwur
berfungsi sebagai “infrastruktur intelektual” yang menopang seluruh
bangunan ilmu dan kebudayaan Islam.²⁵ Ia memelihara kontinuitas intelektual di
tengah keragaman mazhab dan metodologi, dan menjadi perekat antara tradisi
keilmuan agama dan rasionalitas filosofis.²⁶
Dalam perspektif
ini, dimensi sosial dan intelektual tashawwur tidak hanya menjelaskan
bagaimana pengetahuan dipahami, tetapi juga bagaimana ia dihidupkan — dalam
diskursus, pendidikan, dan peradaban.²⁷ Melalui tashawwur, akal manusia menjadi
bagian dari struktur makna bersama yang mengikat individu dalam jejaring
rasionalitas universal.
Penutup Sementara
Dimensi sosial dan
intelektual tashawwur menegaskan bahwa
pengetahuan konseptual adalah fenomena yang bersifat intersubjektif. Ia
membentuk cara masyarakat berpikir, berdebat, dan membangun ilmu. Dalam tradisi
Islam, tashawwur
berperan sebagai poros yang menyatukan akal individu dengan nalar kolektif
peradaban.²⁸ Kejelasan konsep menjadi dasar keadilan berpikir, sementara
kesepahaman makna menjadi fondasi bagi dialog yang produktif. Dengan demikian,
memahami tashawwur
berarti memahami bagaimana Islam menanamkan rasionalitas yang berakar pada etika,
serta bagaimana ilmu menjadi sarana pembentukan masyarakat yang beradab (madani).
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic
Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 64.
[2]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 14.
[4]
Ibn Sīnā, Al-Shifā’ (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya, 1952), 32.
[5]
Ibid., 34.
[6]
Khaled El-Rouayheb, Relational
Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 93.
[7]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 41.
[8]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 22.
[9]
Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat
al-Ta’wīl (Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya,
1990), 55.
[10]
Nasr, Knowledge and the
Sacred (Albany: SUNY Press, 1989),
68.
[11]
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt
al-Funūn, 2005), 209.
[12]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 112.
[13]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an (Tokyo: Keio University
Press, 1964), 23.
[14]
Al-Shāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl
al-Sharī‘ah, vol. 1 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1997), 56.
[15]
Ibid., 58.
[16]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 102.
[17]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 66.
[18]
Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī (Cairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 5.
[19]
Al-Akhdarī, Sullam al-Munāraḥ (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1980), 3.
[20]
Alasdair MacIntyre, Whose
Justice? Which Rationality? (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 93.
[21]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 74.
[22]
El-Rouayheb, Relational Syllogisms, 95.
[23]
Ibn Rushd, Tahāfut al-Tahāfut (Beirut: Dār al-Mashriq, 1987), 12–13.
[24]
Nasīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās
al-Iqtibās (Tehran: Markaz
al-Ṭabā‘ah, 1981), 17.
[25]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 70.
[26]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 51.
[27]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 75.
[28]
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, 212.
7.
Kritik dan Klarifikasi
Filosofis
Sebagai kategori
pengetahuan dasar dalam Ilmu Manṭiq, tashawwur
telah mendapat perhatian luas dalam tradisi filsafat Islam. Namun, seiring
perkembangan refleksi epistemologis dan metafisis, konsep ini tidak luput dari
kritik, reinterpretasi, dan klarifikasi filosofis. Kritik terhadap tashawwur
terutama berkisar pada dua persoalan utama: pertama, status ontologisnya
sebagai bentuk pengetahuan non-proposisional; kedua, relasinya dengan realitas
eksternal dan struktur bahasa.¹ Di sisi lain, klarifikasi filosofis yang
diajukan oleh para pemikir seperti al-Ghazālī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, dan Mullā Ṣadrā
menunjukkan bahwa tashawwur harus dipahami bukan
sekadar sebagai operasi mental, tetapi sebagai momen ontologis dalam proses
hadirnya makna di dalam kesadaran rasional.²
7.1.
Kritik terhadap Reduksionisme Kognitif dalam Tashawwur
Salah satu kritik
paling awal terhadap konsep tashawwur datang dari para teolog
yang menilai bahwa pembagian pengetahuan menjadi tashawwur dan tasdīq
bersifat terlalu kognitif dan mengabaikan aspek intuitif atau spiritual dari
pengetahuan.³ Menurut mereka, reduksi pengetahuan menjadi sekadar representasi
konseptual tidak cukup untuk menjelaskan pengalaman intelektual dan religius
yang bersifat ḥuḍūrī (kehadiran langsung).⁴
Al-Ghazālī, dalam Al-Munqidh
min al-Ḍalāl, menyoroti keterbatasan rasionalisme filosofis: “Akal
hanya mampu memberikan gambaran (taṣawwur)
tentang sesuatu, tetapi tidak selalu dapat menghadirkan hakikatnya.”⁵
Dengan kata lain, tashawwur dapat menjelaskan
bagaimana manusia memahami sesuatu secara konseptual, tetapi tidak menjamin
bahwa konsep itu menghadirkan kebenaran eksistensial dari yang dipahami.⁶
Kritik ini memperingatkan bahwa pengetahuan konseptual harus disertai dimensi
spiritual dan intuitif agar tidak terperangkap dalam simbol-simbol semata.
Dalam konteks
modern, kritik ini menemukan resonansi dalam filsafat fenomenologi. Husserl dan
para fenomenolog Islam kontemporer menilai bahwa kesadaran konseptual bersifat
“representasional,” bukan “intensional” dalam arti kehadiran
langsung.⁷ Dengan demikian, tashawwur perlu dilengkapi dengan
pemahaman tentang bagaimana objek hadir dalam kesadaran, bukan hanya bagaimana
ia didefinisikan secara logis.
7.2.
Klarifikasi Ibn Sīnā: Relasi antara Tashawwur
dan Realitas
Ibn Sīnā sendiri
menyadari kemungkinan kesalahpahaman terhadap tashawwur. Dalam Al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt, ia menjelaskan bahwa tashawwur bukan sekadar penciptaan
gambar mental, melainkan penangkapan ṣūrah ma‘qūlah (bentuk rasional)
yang secara esensial merepresentasikan hakikat sesuatu.⁸ Ia menegaskan bahwa
kebenaran tashawwur
bergantung pada mutābaqah (korespondensi) antara
konsep dalam akal dan realitas luar.⁹
Namun, Ibn Sīnā
menolak pandangan realisme naif yang menganggap konsep sepenuhnya identik
dengan realitas. Menurutnya, apa yang ada dalam akal adalah bentuk immaterial
yang memiliki eksistensi tersendiri — bukan bayangan fisik dari objek luar.¹⁰
Dengan demikian, tashawwur memiliki status ontologis
ganda: ia merupakan ṣūrah dhihniyyah (bentuk dalam
pikiran) yang bersumber dari ṣūrah khārijiyyah (bentuk luar),
tetapi tidak sepenuhnya menyatu dengannya.¹¹
Klarifikasi ini
penting karena membedakan antara pengetahuan sebagai representasi
konseptual dan pengetahuan sebagai kehadiran langsung.¹² Ibn Sīnā
menyusun kerangka logika yang tetap menjaga hubungan rasional antara konsep dan
realitas, sambil mengakui keterbatasan akal dalam menjangkau hakikat
eksistensial sesuatu.
7.3.
Kritik Fakhr al-Dīn al-Rāzī: Problematika
Realisme Konseptual
Fakhr al-Dīn al-Rāzī
memperluas perdebatan ini dengan mengajukan kritik terhadap konsepsi Ibn Sīnā.
Ia menolak pandangan bahwa tashawwur secara niscaya
merepresentasikan realitas eksternal, karena bagi al-Rāzī, banyak konsep yang
tidak memiliki padanan aktual di luar pikiran, seperti “keberadaan tidak ada”
(al-ma‘dūm).¹³
Hal ini menunjukkan bahwa konsep dapat eksis tanpa harus memiliki objek real,
sehingga tashawwur
tidak dapat disamakan dengan pengetahuan tentang wujud.¹⁴
Dalam Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, al-Rāzī menegaskan bahwa tashawwur
adalah bentuk “makna dalam jiwa” (ma‘nā fī al-nafs), bukan realitas
eksternal.¹⁵ Dengan demikian, ia menggeser pembahasan dari ontologi ke
semantik: tashawwur
menjadi fenomena linguistik dan logis yang beroperasi dalam ranah makna, bukan
dalam ranah wujud.¹⁶
Kritik al-Rāzī ini
kemudian membuka jalan bagi perdebatan konseptualisme dalam tradisi Islam, yang
mempertanyakan apakah makna universal (kullī) benar-benar memiliki
eksistensi independen atau hanya konstruksi intelektual.¹⁷ Dalam hal ini, tashawwur
menjadi arena pertemuan antara filsafat bahasa dan metafisika pengetahuan.
7.4.
Klarifikasi Kontemporer: Tashawwur dalam
Perspektif Hermeneutika dan Filsafat Bahasa
Dalam konteks
filsafat modern dan kontemporer, para pemikir Muslim seperti Naṣr Ḥāmid Abū
Zayd, Hasan Hanafi, dan Muhammad ‘Ābid al-Jābirī mengajukan reinterpretasi
terhadap tashawwur
dalam kerangka hermeneutika dan teori makna. Mereka menilai bahwa konsep-konsep
dalam pikiran manusia tidak bersifat netral, melainkan dibentuk oleh struktur
bahasa, budaya, dan ideologi.¹⁸ Dengan demikian, tashawwur tidak hanya bersifat
epistemik, tetapi juga sosial dan historis.
Abū Zayd, dalam Falsafat
al-Ta’wīl, menegaskan bahwa setiap tashawwur lahir dari horizon
pemahaman tertentu (ufuq al-ma‘rifah), sehingga
maknanya selalu terbuka untuk reinterpretasi.¹⁹ Ia mengkritik tradisi logika
klasik yang cenderung menganggap konsep sebagai entitas statis dan universal.
Sebaliknya, ia mengusulkan tashawwur ta’wīlī — konseptualisasi
yang sadar akan konteks dan dinamika makna.²⁰
Dalam arah serupa,
Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa tashawwur tidak dapat dilepaskan
dari lughah
al-wujūd — bahasa eksistensial yang membentuk persepsi manusia
terhadap realitas.²¹ Ia menegaskan bahwa setiap istilah konseptual membawa
horizon metafisis tertentu, sehingga memahami konsep berarti menyingkap
struktur makna yang tersembunyi di balik bahasa.²²
7.5.
Sintesis Mullā Ṣadrā: Tashawwur sebagai
Eksistensi Rasional
Puncak klarifikasi
filosofis terhadap tashawwur dapat ditemukan dalam
filsafat transendental (al-ḥikmah al-muta‘āliyah) Mullā Ṣadrā.²³
Ia menolak dikotomi tajam antara konsep dan realitas, dengan menegaskan bahwa tashawwur
adalah salah satu bentuk wujūd dhihnī (eksistensi mental)
yang memiliki realitas ontologis sejati.²⁴ Menurutnya, “Mengetahui sesuatu
berarti menjadi sesuatu dalam bentuk rasionalnya.”²⁵
Dengan demikian, tashawwur
bukan sekadar representasi statis, melainkan aktualisasi dinamis dari potensi
eksistensial akal.²⁶ Ia menggabungkan teori pengetahuan Ibn Sīnā dengan prinsip
kesatuan wujud (waḥdat al-wujūd) Ibn ‘Arabī,
sehingga menjadikan tashawwur sebagai bagian dari
proses ontologis penyatuan subjek dan objek pengetahuan.²⁷
Klarifikasi ini
menyatukan dua kutub epistemologi Islam: rasionalitas logis dan spiritualitas
intuitif. Tashawwur
dipahami bukan hanya sebagai aktivitas kognitif, tetapi juga sebagai momen
ontologis ketika realitas hadir dalam kesadaran manusia — bukan melalui
perantara simbol, tetapi melalui keserupaan eksistensial.²⁸
Penutup Sementara
Kritik dan
klarifikasi filosofis terhadap tashawwur menunjukkan bahwa konsep
ini terus berkembang dari ranah logika formal menuju ranah ontologis dan
hermeneutik.²⁹ Ia mengalami transformasi dari sekadar “gambaran akal”
menjadi “kehadiran makna,” dari representasi menuju partisipasi dalam
wujud.³⁰ Perdebatan antara Ibn Sīnā, al-Ghazālī, al-Rāzī, dan Mullā Ṣadrā
memperlihatkan dinamika epistemologi Islam yang hidup dan reflektif.³¹ Dalam
perspektif kontemporer, tashawwur dapat dipahami sebagai
jembatan antara kognisi, bahasa, dan eksistensi — suatu konsep yang tidak hanya
menjelaskan bagaimana manusia berpikir, tetapi juga bagaimana manusia menjadi
bagian dari kebenaran itu sendiri.³²
Footnotes
[1]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 49.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 58.
[3]
Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 34.
[4]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 39.
[5]
Al-Ghazālī, Al-Munqidh min al-Ḍalāl, 36.
[6]
Ibid., 37.
[7]
Husserl, Ideas Pertaining to a
Pure Phenomenology, trans. F.
Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 72.
[8]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.
[9]
Ibid., 60.
[10]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 23.
[11]
Ibid., 25.
[12]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany:
SUNY Press, 2006), 67.
[13]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.
[14]
Ibid., 24.
[15]
Ibid., 26.
[16]
Nicholas Rescher, Studies in the History
of Arabic Logic (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 1963), 19.
[17]
Al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq, 27.
[18]
Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat
al-Ta’wīl (Cairo: al-Hay’a
al-Miṣriyya, 1990), 62.
[19]
Ibid., 63.
[20]
Ibid., 65.
[21]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur’an (Tokyo: Keio University
Press, 1964), 27.
[22]
Ibid., 30.
[23]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī,
1981), 61.
[24]
Ibid., 63.
[25]
Ibid., 65.
[26]
Seyyed Hossein Nasr, Ṣadr
al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy,
1978), 44.
[27]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 69.
[28]
Izutsu, The Concept and Reality
of Existence, 54.
[29]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 70.
[30]
Izutsu, God and Man in the
Qur’an, 36.
[31]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 72.
[32]
Izutsu, The Concept and Reality
of Existence, 59.
8.
Relevansi Kontemporer Tashawwur
Dalam konteks
peradaban modern yang ditandai oleh percepatan informasi, fragmentasi makna,
dan krisis epistemik, konsep tashawwur menawarkan suatu landasan
filosofis untuk menata kembali cara manusia memahami realitas. Ia tidak hanya
relevan bagi tradisi keilmuan Islam klasik, tetapi juga memiliki nilai
metodologis dan etis dalam menghadapi tantangan zaman digital, pluralitas
budaya, serta relativisme pengetahuan.¹ Relevansi tashawwur dalam konteks kontemporer
dapat dibaca dari tiga dimensi utama: (1) rekonstruksi epistemologi pendidikan
dan ilmu pengetahuan modern; (2) peran konseptualisasi dalam era teknologi dan
media digital; serta (3) pembentukan rasionalitas humanistik dan etika berpikir
di tengah krisis makna global.
8.1.
Rekonstruksi Epistemologi dan Pendidikan Modern
Salah satu krisis
mendasar dunia modern adalah krisis konseptual, yaitu kehilangan kemampuan
untuk memahami makna secara mendalam di balik simbol dan data.² Dalam dunia
yang dikuasai oleh informasi cepat dan fragmentasi wacana, konsep-konsep dasar
seperti “manusia,” “pengetahuan,” dan “kebenaran” sering
kali direduksi menjadi konstruksi teknologis dan pragmatis tanpa kedalaman
reflektif. Tashawwur
dalam tradisi Islam memberikan alternatif epistemologis dengan menekankan bahwa
setiap pengetahuan sejati harus berakar pada pemahaman konseptual yang jelas
dan bermakna (ma‘nā ṣaḥīḥ).³
Dalam pendidikan,
penerapan prinsip tashawwur berarti menempatkan
proses pembelajaran bukan semata pada transfer informasi, tetapi pada
pembentukan konsep yang benar dan reflektif.⁴ Al-Ghazālī dalam Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah taṣawwur
al-ḥaqīqah — penyingkapan makna hakiki dari sesuatu, bukan sekadar
hafalan terminologis.⁵ Oleh karena itu, pedagogi Islam berbasis tashawwur
menuntut integrasi antara logika, etika, dan spiritualitas dalam pembelajaran,
sehingga siswa tidak hanya mengetahui sesuatu, tetapi juga memahami maknanya
secara filosofis dan moral.⁶
Relevansi ini
terlihat dalam pergeseran paradigma pendidikan abad ke-21 yang menekankan critical
conceptual thinking dan metacognition — dua aspek yang
sejatinya telah diartikulasikan dalam kerangka tashawwur klasik.⁷ Dalam konteks
ini, logika Islam dapat berkontribusi terhadap pembaruan epistemologi
pendidikan global, dengan menawarkan orientasi yang lebih reflektif, maknawi,
dan berakar pada kesatuan antara akal dan nilai.
8.2.
Tashawwur dan Era Digital: Krisis Makna dan Representasi
Dalam era digital,
manusia hidup dalam ruang simbolik yang dipenuhi oleh citra, data, dan
algoritma. Dunia maya membentuk realitas baru yang memanipulasi konsep dan
makna, hingga batas antara realitas dan representasi menjadi kabur.⁸ Di tengah
fenomena ini, tashawwur dapat berfungsi sebagai
alat kritis untuk memeriksa validitas dan kedalaman makna yang beredar dalam
komunikasi digital.
Konsep tashawwur
mengajarkan bahwa setiap representasi harus mengandung ṣūrah
ma‘qūlah (bentuk rasional yang bermakna) dan bukan sekadar ṣūrah ḥissiyyah
(gambaran inderawi).⁹ Dengan demikian, pemahaman konseptual berfungsi sebagai
filter epistemik terhadap banjir informasi yang dangkal dan manipulatif. Ibn
Sīnā telah menegaskan bahwa akal tidak boleh berhenti pada bentuk-bentuk luar,
tetapi harus menembus makna universal yang tersembunyi di balik fenomena.¹⁰
Dalam konteks digital, hal ini berarti bahwa manusia modern harus mengembangkan
literasi
konseptual — kemampuan memahami struktur makna dari setiap simbol,
narasi, atau algoritma yang memengaruhi kesadarannya.¹¹
Selain itu, tashawwur
juga memiliki nilai etis dalam dunia digital. Di tengah penyebaran
disinformasi, tashawwur ṣaḥīḥ menjadi dasar bagi
kejujuran intelektual.¹² Sebagaimana dalam logika klasik kesalahan berpikir (ghalaṭ
fī al-taṣawwur) mengakibatkan kekeliruan dalam tasdīq,
dalam konteks digital kesalahan konseptual dapat menimbulkan penyimpangan
informasi dan manipulasi publik.¹³ Maka, membangun tashawwur yang jernih dan benar merupakan
langkah epistemologis sekaligus moral untuk melawan dekadensi makna di era
informasi.
8.3.
Kontribusi terhadap Ilmu Humaniora dan Filsafat
Kontemporer
Dalam filsafat
modern, terutama dalam filsafat analitik dan hermeneutik, perdebatan tentang
konsep dan makna menempati posisi sentral. Pemikiran Wittgenstein tentang meaning
as use dan Gadamer tentang fusion of horizons menunjukkan
bahwa makna tidak bersifat statis, tetapi hidup dalam interaksi manusia dan
bahasa.¹⁴ Pandangan ini memiliki resonansi kuat dengan tashawwur
dalam filsafat Islam, yang melihat konsep sebagai produk dialog antara akal dan
realitas, antara bahasa dan wujud.¹⁵
Dalam konteks ini, tashawwur
dapat diposisikan sebagai bentuk epistemologi integratif yang menggabungkan
kejelasan rasional (seperti dalam filsafat analitik) dengan kesadaran maknawi
(seperti dalam hermeneutika).¹⁶ Ia menegaskan bahwa berpikir konseptual tidak
berarti berpikir kering dan mekanis, melainkan suatu aktivitas eksistensial
yang melibatkan seluruh dimensi manusia.¹⁷ Sebagaimana dijelaskan oleh Mullā Ṣadrā,
“Mengetahui sesuatu berarti mengada dalam bentuk rasionalnya” — suatu pandangan
yang mendekatkan epistemologi dengan ontologi, dan pengetahuan dengan
kehidupan.¹⁸
Melalui kerangka
ini, tashawwur
dapat menjadi jembatan konseptual antara tradisi filsafat Islam dan pemikiran
kontemporer. Ia menyediakan dasar metodologis untuk mengembangkan filsafat ilmu
yang bersifat integral — yang tidak hanya menilai validitas logis, tetapi juga
makna etis dan spiritual dari pengetahuan.¹⁹ Dengan demikian, tashawwur
berkontribusi pada dialog antara ilmu, nilai, dan kemanusiaan dalam lanskap
filsafat global.
8.4.
Tashawwur dan Rasionalitas Humanistik
Salah satu relevansi
paling penting dari tashawwur pada era kontemporer
terletak pada kemampuannya mengembalikan rasionalitas kepada dimensi
humanistik.²⁰ Rasionalitas modern yang cenderung instrumental sering kali
memisahkan pengetahuan dari nilai, mengubah konsep menjadi sekadar alat teknis
tanpa muatan moral.²¹ Tashawwur, sebaliknya, menegaskan
bahwa berpikir secara benar adalah tindakan etis; kejelasan konsep berhubungan
langsung dengan kejujuran intelektual.²²
Konsep ini memiliki
implikasi luas bagi etika akademik, wacana publik, dan pengembangan ilmu yang
berkeadilan. Dalam tradisi Islam, kebenaran tidak hanya dinilai dari koherensi
logis, tetapi juga dari ṣidq — kesesuaian antara konsep,
niat, dan tindakan.²³ Dengan demikian, tashawwur mengembalikan dimensi
moral ke dalam proses berpikir, menjadikan rasionalitas bukan sekadar kemampuan
analisis, tetapi juga sarana pembentukan diri yang bertanggung jawab secara
sosial dan spiritual.²⁴
Dalam era
pasca-kebenaran (post-truth), di mana fakta sering
dikalahkan oleh narasi emosional dan ideologi, prinsip tashawwur
ṣaḥīḥ memiliki urgensi yang tinggi.²⁵ Ia melatih manusia untuk
berpikir dengan kedalaman, menghindari penyederhanaan ekstrem, dan menimbang
makna sebelum membuat penilaian. Dengan kata lain, tashawwur adalah jalan menuju
rasionalitas yang sadar nilai — rasionalitas yang tidak memisahkan kebenaran
dari kemanusiaan.
Penutup Sementara
Relevansi tashawwur
dalam dunia kontemporer menunjukkan bahwa konsep ini jauh melampaui batas
logika klasik. Ia berfungsi sebagai fondasi epistemologis, metodologis, dan
etis untuk menghadapi tantangan zaman modern: krisis makna, dehumanisasi
pengetahuan, dan kehilangan orientasi moral dalam berpikir.²⁶ Dengan
menempatkan tashawwur sebagai proses
pembentukan makna yang rasional dan bernilai, tradisi Islam menawarkan
alternatif terhadap paradigma modern yang fragmentaris — suatu model berpikir
yang integral, di mana rasio, moralitas, dan spiritualitas saling menguatkan.²⁷
Oleh karena itu,
revitalisasi konsep tashawwur bukan sekadar upaya
akademis, melainkan proyek peradaban: menghidupkan kembali kesadaran bahwa
memahami berarti menghadirkan kebenaran dalam diri, dan berpikir benar berarti
berbuat adil terhadap makna.²⁸ Dalam dunia yang semakin terjebak dalam
kebisingan simbolik, tashawwur mengingatkan bahwa jalan
menuju kebijaksanaan bermula dari kejernihan konsep — dari kemampuan akal untuk
melihat hakikat di balik rupa.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 73.
[2]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 87.
[3]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 49.
[4]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany:
SUNY Press, 2006), 68.
[5]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 112.
[6]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 52.
[7]
Peter Senge, The Fifth Discipline:
The Art and Practice of the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 14.
[8]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1994), 5.
[9]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 62.
[10]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 29.
[11]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 76.
[12]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 39.
[13]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 23.
[14]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1958), §43.
[15]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 302.
[16]
Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 47.
[17]
Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and
His Transcendent Theosophy (Tehran:
Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 44.
[18]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī,
1981), 61.
[19]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 72.
[20]
Izutsu, God and Man in the
Qur’an (Tokyo: Keio University
Press, 1964), 59.
[21]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy Shapiro
(Boston: Beacon Press, 1972), 310.
[22]
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 32.
[23]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 2 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 97.
[24]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 81.
[25]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 19.
[26]
Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an, 65.
[27]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 74.
[28]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 69.
9.
Sintesis Filosofis: Menuju
Konsep Tashawwur Integral
Kajian tentang tashawwur
dalam tradisi Ilmu Manṭiq memperlihatkan bahwa
konsep ini tidak dapat dipahami hanya dari satu dimensi — baik ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis — melainkan melalui pendekatan integral yang
menghubungkan seluruh dimensi pengetahuan manusia.¹ Tashawwur bukan sekadar kategori
teknis dalam logika Islam, tetapi merupakan ekspresi mendasar dari cara akal
manusia menyingkap makna dan menghadirkan realitas dalam kesadaran. Sintesis
filosofis ini berupaya mengintegrasikan tiga poros utama: realitas (wujūd),
makna (ma‘nā),
dan pengetahuan (‘ilm) dalam satu kesatuan yang
dinamis.²
9.1.
Kesatuan Ontologis antara Akal, Makna, dan
Realitas
Dari sudut pandang
ontologi, tashawwur
menempati posisi unik sebagai jembatan antara dunia objektif dan dunia mental.³
Ia menegaskan bahwa pengetahuan tidak berdiri terpisah dari realitas, tetapi
merupakan bentuk partisipasi akal dalam tatanan wujud. Ibn Sīnā menggambarkan
pengetahuan sebagai “kehadiran bentuk sesuatu dalam jiwa tanpa materi,”
yang berarti bahwa tashawwur merupakan cara akal “mengada
bersama” objeknya dalam bentuk immaterial.⁴
Konsepsi ini
diperluas oleh Mullā Ṣadrā yang memandang bahwa seluruh pengetahuan adalah wujūd,
dan tashawwur
adalah salah satu modenya.⁵ Dalam kerangka al-ḥikmah al-muta‘āliyah, aktivitas
berpikir tidak bersifat representasional, tetapi ontologis — artinya, dalam
memahami sesuatu, akal menjadi bagian dari wujud rasionalnya.⁶ Dengan demikian,
pengetahuan konseptual bukan hanya “gambaran tentang realitas,”
melainkan “kehadiran realitas” itu sendiri dalam kesadaran intelektual.
Sintesis ini
mengatasi dikotomi klasik antara subjektivitas dan objektivitas: tashawwur
bukan milik subjek semata, melainkan peristiwa keterhubungan eksistensial
antara manusia dan hakikat.⁷ Dengan ini, filsafat Islam menegaskan pandangan
bahwa kebenaran konseptual bersumber dari kesatuan akal dan wujud, bukan dari
konstruksi semata.
9.2.
Integrasi Epistemologis: Dari Representasi ke
Kehadiran Makna
Secara
epistemologis, sintesis integral tashawwur menggeser pemahaman
pengetahuan dari model representasional ke model kehadiran (ḥuḍūrī).⁸
Pengetahuan tidak hanya dipahami sebagai penyusunan tanda-tanda, tetapi sebagai
partisipasi langsung akal dalam makna yang dihadirkan. Al-Fārābī dan Ibn Sīnā
telah menekankan peran ṣūrah ma‘qūlah dalam menjembatani
dunia inderawi dan dunia intelektual; namun Mullā Ṣadrā menambahkan dimensi eksistensial
— bahwa ṣūrah
itu sendiri adalah bentuk wujūd.⁹
Dalam kerangka ini, tashawwur
bukan aktivitas netral, tetapi melibatkan tajallī al-ma‘nā — manifestasi
makna di dalam jiwa yang siap menerimanya.¹⁰ Maka, proses konseptualisasi
sejati memerlukan kesiapan moral dan spiritual, bukan hanya kecerdasan logis.¹¹
Inilah yang menjelaskan mengapa dalam tradisi Islam, pengetahuan selalu
diiringi dengan tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa):
akal yang keruh tidak mampu menangkap makna yang jernih.¹²
Sintesis epistemologis
ini membawa tashawwur keluar dari batas logika
formal menuju epistemologi spiritual, di mana pengetahuan dipahami sebagai
kehadiran makna yang memurnikan akal dan menuntun manusia pada kebenaran yang
hidup.
9.3.
Dimensi Aksiologis: Nilai Kebenaran, Kejujuran,
dan Kebijaksanaan
Aksiologi tashawwur
integral menekankan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat dipisahkan dari
nilai moral dan spiritual.¹³ Al-Ghazālī berulang kali mengingatkan bahwa
kesalahan berpikir sering kali berakar dari penyakit hati, bukan dari
kekurangan logika.¹⁴ Oleh karena itu, tashawwur yang benar tidak hanya
menuntut ketepatan rasional, tetapi juga kejujuran epistemik — yaitu
keterbukaan akal terhadap kebenaran tanpa dikaburkan oleh hawa nafsu atau
kepentingan.¹⁵
Nilai tashawwur
sejati tidak hanya diukur dari koherensi logis, tetapi juga dari ṣidq
— kesesuaian antara pemahaman konseptual dan niat batin yang tulus untuk
mencari kebenaran.¹⁶ Ketika tashawwur mencapai integritas moral
ini, ia menjadi jalan menuju ḥikmah (kebijaksanaan), yaitu
pengetahuan yang tidak hanya benar, tetapi juga bermanfaat dan menuntun pada
kebaikan.¹⁷ Dengan demikian, dimensi aksiologis tashawwur menghubungkan
epistemologi dengan etika dan spiritualitas, menjadikannya bagian dari
kehidupan yang bernilai.
9.4.
Sintesis Sosial-Intelektual: Tashawwur
sebagai Struktur Rasional Peradaban
Dalam tataran sosial
dan intelektual, tashawwur integral menjadi dasar
bagi pembentukan kesadaran kolektif yang beradab (al-‘aql al-madanī).¹⁸ Sebagaimana ditegaskan
oleh Ibn Khaldūn, kemajuan peradaban bergantung pada kejelasan konsep yang
disepakati bersama.¹⁹ Dalam tradisi Islam klasik, kesatuan makna dalam
bidang-bidang ilmu memungkinkan dialog lintas disiplin antara teologi, hukum,
dan filsafat.²⁰
Konsep tashawwur
integral berupaya menghidupkan kembali model epistemik ini di era
modern — dengan menegaskan pentingnya bahasa konseptual yang koheren dan etis
dalam wacana publik.²¹ Di tengah polarisasi sosial dan krisis makna global,
kejernihan konsep menjadi prasyarat bagi keadilan sosial dan kebijakan publik
yang rasional.²² Maka, membangun tashawwur bersama berarti membangun
peradaban berpikir yang berakar pada kejujuran, keterbukaan, dan pencarian
makna yang universal.
9.5.
Konvergensi Filosofis: Dari Manṭiq ke
Filsafat Integral
Sintesis filosofis
ini membawa tashawwur melampaui batas-batas manṭiq
menuju filsafat integral — yakni sistem berpikir yang memadukan rasionalitas,
moralitas, dan spiritualitas.²³ Dalam tradisi Ibn Sīnā, tashawwur
berfungsi sebagai dasar logika; dalam pandangan al-Ghazālī, ia menjadi bagian
dari disiplin akhlak intelektual; sementara dalam filsafat Mullā Ṣadrā, ia
menjadi bentuk wujūd rasional yang menyingkap
realitas Ilahi.²⁴
Dari perspektif ini,
tashawwur
integral adalah sintesis dari ketiganya: pengetahuan yang rasional,
bermoral, dan eksistensial sekaligus.²⁵ Ia tidak hanya menjelaskan bagaimana
manusia mengetahui, tetapi juga mengapa pengetahuan itu bermakna — karena
setiap konsep sejati merupakan cermin dari realitas yang lebih tinggi.²⁶ Dengan
demikian, tashawwur
integral memulihkan makna filosofis terdalam dari logika Islam:
bukan sekadar seni berpikir benar, tetapi jalan menuju kesatuan antara akal dan
wujud.²⁷
Penutup Sementara
Taṣawwur
integral merupakan hasil evolusi panjang dari tradisi filsafat
Islam — dari al-Fārābī hingga Mullā Ṣadrā — yang menyatukan logika, metafisika,
dan etika dalam satu kerangka epistemologis.²⁸ Ia mengajarkan bahwa pengetahuan
konseptual adalah bentuk keterlibatan manusia dalam tatanan makna kosmis, dan
bahwa berpikir dengan benar berarti hidup dalam kebenaran itu sendiri.²⁹ Dalam
dunia yang cenderung memisahkan pengetahuan dari nilai, tashawwur
integral menghadirkan paradigma baru: pengetahuan yang bersatu
dengan kebijaksanaan, rasionalitas yang berakar pada kemanusiaan, dan logika
yang berpuncak pada spiritualitas.³⁰
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 74.
[2]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 45.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 15.
[4]
Ibn Sīnā, Al-Najāt (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1982), 25.
[5]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī,
1981), 63.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Ṣadr
al-Dīn Shīrāzī and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy,
1978), 46.
[7]
Izutsu, God and Man in the
Qur’an (Tokyo: Keio University
Press, 1964), 32.
[8]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany:
SUNY Press, 2006), 68.
[9]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59.
[10]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 67.
[11]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 41.
[12]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 106.
[13]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 63.
[14]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 1, 97.
[15]
Ibid., 99.
[16]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Mulakhkhaṣ
fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (Tehran:
Markaz al-Ṭabā‘ah, 1983), 24.
[17]
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 31.
[18]
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt
al-Funūn, 2005), 212.
[19]
Ibid., 214.
[20]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 115.
[21]
Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Falsafat
al-Ta’wīl (Cairo: al-Hay’a
al-Miṣriyya, 1990), 58.
[22]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy Shapiro (Boston:
Beacon Press, 1972), 309.
[23]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 79.
[24]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, 62.
[25]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 70.
[26]
Izutsu, The Concept and Reality
of Existence, 52.
[27]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 74.
[28]
Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and
His Transcendent Theosophy, 49.
[29]
Izutsu, God and Man in the
Qur’an, 40.
[30]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 82.
10.
Kesimpulan
Kajian filosofis
mengenai tashawwur
menegaskan bahwa konsep ini merupakan pilar epistemologis dan ontologis dalam
keseluruhan bangunan Ilmu Manṭiq serta dalam filsafat
Islam secara umum. Ia menjadi fondasi bagi seluruh proses pengetahuan, sebab
tanpa tashawwur
yang benar tidak mungkin lahir tasdīq yang sahih.¹ Melalui
analisis historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan
sosial-intelektual, tampak bahwa tashawwur tidak sekadar kategori
teknis dalam logika, melainkan prinsip yang menegaskan hubungan integral antara
akal, makna, dan realitas.²
10.1.
Rekapitulasi Filosofis
Secara historis, tashawwur
berkembang sebagai hasil asimilasi antara filsafat Yunani (khususnya logika
Aristoteles) dengan tradisi intelektual Islam yang menekankan keterpaduan
antara rasionalitas dan wahyu.³ Melalui al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī, tashawwur
mengalami transformasi dari sekadar simple apprehension menjadi
struktur konseptual yang memiliki dimensi ontologis.⁴ Para pemikir ini melihat tashawwur
sebagai aktivitas akal yang menangkap hakikat sesuatu melalui ṣūrah
ma‘qūlah — bentuk rasional yang merepresentasikan realitas dalam
kesadaran manusia.⁵
Dari sisi ontologi, tashawwur
mengungkapkan kesatuan antara akal dan wujud. Ia memperlihatkan bahwa
pengetahuan bukan hanya cermin pasif dari realitas, tetapi juga partisipasi
aktif dalam eksistensi makna.⁶ Epistemologinya menegaskan bahwa pengetahuan
sejati berawal dari kejelasan konsep; proses berpikir yang benar harus
didahului oleh pemahaman yang jernih tentang objeknya.⁷ Sementara secara
aksiologis, tashawwur memiliki nilai moral dan
pedagogis: ia menuntut kejujuran intelektual, keteraturan berpikir, serta
orientasi menuju kebenaran dan kebijaksanaan.⁸
10.2.
Implikasi Sosial dan Intelektual
Dalam tataran
sosial, tashawwur
membentuk kerangka rasionalitas kolektif peradaban Islam.⁹ Tradisi adab
al-baḥth wa al-munāẓarah menunjukkan bagaimana kejelasan konsep
menjadi dasar etika dialog dan keilmuan.¹⁰ Para ulama dan filosof membangun
konsensus epistemik melalui kesepahaman terhadap definisi dan makna istilah —
suatu praktik yang menjadi tulang punggung bagi perkembangan ilmu dan hukum
Islam.¹¹ Dengan demikian, tashawwur bukan hanya proses
individual, melainkan struktur sosial pengetahuan yang menjaga koherensi
diskursus ilmiah dan keadilan berpikir.¹²
Di era modern,
prinsip-prinsip ini tetap relevan. Dunia kontemporer tengah mengalami krisis
makna akibat reduksi pengetahuan menjadi informasi tanpa refleksi.¹³ Dalam
konteks ini, tashawwur menawarkan pendekatan
alternatif — bukan hanya untuk berpikir secara sistematis, tetapi juga untuk
memahami secara substantif. Ia menuntut agar pengetahuan tidak berhenti pada
simbol dan data, melainkan menembus hingga pada makna yang esensial.¹⁴
10.3.
Sintesis Integral dan Relevansi Kontemporer
Taṣawwur
integral, sebagaimana disintesiskan dalam filsafat Islam klasik dan transendental
Mullā Ṣadrā, memperlihatkan kesatuan antara dimensi rasional, etis, dan
spiritual dari pengetahuan.¹⁵ Ia mengatasi dikotomi antara konsep dan realitas,
serta antara akal dan wahyu, dengan menunjukkan bahwa berpikir secara benar
merupakan bentuk keterlibatan eksistensial manusia dengan kebenaran.¹⁶ Dengan
kata lain, tashawwur
tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, tetapi juga bagaimana
pengetahuan itu memurnikan akal dan menuntun jiwa kepada ḥikmah.¹⁷
Dalam konteks global
kontemporer — di tengah arus post-truth, relativisme nilai, dan
disintegrasi epistemik — tashawwur menghadirkan paradigma
baru bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan: pengetahuan yang berakar pada
kejernihan konsep, kejujuran moral, dan kesatuan makna.¹⁸ Ia menawarkan model
rasionalitas humanistik yang menghubungkan akal dengan nilai, bahasa dengan
realitas, serta teori dengan etika.¹⁹
Penutup
Akhirnya, tashawwur
dapat dipahami sebagai inti dari rasionalitas Islam yang integral: rasionalitas
yang tidak memisahkan berpikir dari berbuat, dan mengetahui dari menjadi.²⁰ Ia
menyatukan logos,
ethos,
dan spiritus
dalam satu kerangka epistemik yang humanistik dan transenden.²¹ Dalam filsafat
Islam, berpikir dengan jernih berarti hidup secara benar, dan memahami makna berarti
menghidupkan kembali kebenaran itu dalam diri.²² Oleh karena itu, kebangkitan
kembali tashawwur
bukan sekadar agenda intelektual, melainkan misi etis dan spiritual — suatu
upaya untuk mengembalikan pengetahuan kepada maknanya yang sejati: jalan menuju
ḥikmah
dan kesempurnaan insan.²³
Footnotes
[1]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabat al-Hilāl, 1996), 47.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge
and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 72.
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic
Culture (London: Routledge, 1998),
41.
[4]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 14.
[5]
Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 59–60.
[6]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, vol. 1 (Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī,
1981), 63.
[7]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 34.
[8]
Ibid., 41.
[9]
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, ed. ʿAbd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt
al-Funūn, 2005), 211.
[10]
Khaled El-Rouayheb, Relational
Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 93.
[11]
George Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 115.
[12]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present (Albany:
SUNY Press, 2006), 66.
[13]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1994), 5.
[14]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an (Montreal:
McGill University Press, 1966), 52.
[15]
Mullā Ṣadrā, Al-Asfār al-Arba‘ah, 69.
[16]
Nasr, Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and
His Transcendent Theosophy (Tehran:
Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 45.
[17]
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‘ādah (Beirut: Dār al-Mashriq, 1988), 32.
[18]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 22.
[19]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy Shapiro
(Boston: Beacon Press, 1972), 310.
[20]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio University
Press, 1971), 54.
[21]
Nasr, Knowledge and the
Sacred, 80.
[22]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 2 (Cairo: Dār al-Manār, 1939), 97.
[23]
Nasr, Islamic Philosophy from
Its Origin to the Present, 74.
Daftar Pustaka
Abū Zayd, N. H. (1990). Falsafat al-Ta’wīl.
Cairo: al-Hay’a al-Miṣriyya.
Al-Akhdarī. (1980). Sullam al-Munāraḥ.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah.
Al-Fārābī. (1986). Kitāb al-Qiyās. Beirut:
Dār al-Mashriq.
Al-Fārābī. (1988). Taḥṣīl al-Sa‘ādah.
Beirut: Dār al-Mashriq.
Al-Fārābī. (1996). Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Beirut:
Dār wa Maktabat al-Hilāl.
Al-Ghazālī. (1939). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn
(Vols. 1–3). Cairo: Dār al-Manār.
Al-Ghazālī. (1961). Al-Munqidh min al-Ḍalāl.
Cairo: Dār al-Ma‘ārif.
Al-Ghazālī. (1961). Mi‘yār al-‘Ilm. Cairo:
Dār al-Ma‘ārif.
Al-Shāṭibī. (1997). Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl
al-Sharī‘ah (Vol. 1). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Athīr al-Dīn al-Abharī. (1994). Isāghūjī.
Cairo: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation.
Ann Arbor: University of Michigan Press.
El-Rouayheb, K. (2010). Relational Syllogisms
and the History of Arabic Logic, 900–1900. Leiden: Brill.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī. (1983). Al-Mulakhkhaṣ fī
al-Manṭiq wa al-Ḥikmah. Tehran: Markaz al-Ṭabā‘ah.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J.
Weinsheimer & D. Marshall, Trans.). London: Continuum.
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture.
London: Routledge.
Habermas, J. (1972). Knowledge and Human
Interests (J. Shapiro, Trans.). Boston: Beacon Press.
Husserl, E. (1982). Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology (F. Kersten, Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff.
Ibn Khaldūn. (2005). Al-Muqaddimah (ʿA.
al-S. al-Shaddādī, Ed.). Casablanca: Bayt al-Funūn.
Ibn Manẓūr. (1988). Lisān al-‘Arab (Vol. 4).
Beirut: Dār Ṣādir.
Ibn Rushd. (1987). Tahāfut al-Tahāfut.
Beirut: Dār al-Mashriq.
Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifā’. Cairo: al-Hay’a
al-Miṣriyya.
Ibn Sīnā. (1957). Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt
(S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.
Ibn Sīnā. (1982). Al-Najāt. Beirut: Dār
al-Āfāq al-Jadīdah.
Izutsu, T. (1964). God and Man in the Qur’an.
Tokyo: Keio University Press.
Izutsu, T. (1966). Ethico-Religious Concepts in
the Qur’an. Montreal: McGill University Press.
Izutsu, T. (1971). The Concept and Reality of
Existence. Tokyo: Keio University Press.
MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre
Dame: University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1988). Whose Justice? Which
Rationality? Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
McIntyre, L. (2018). Post-Truth. Cambridge,
MA: MIT Press.
Mullā Ṣadrā. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah
(Vol. 1). Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Nasr, S. H. (1978). Ṣadr al-Dīn Shīrāzī and His
Transcendent Theosophy. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy. Albany: State
University of New York Press.
Rescher, N. (1963). Studies in the History of
Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.
Senge, P. (1990). The Fifth Discipline: The Art
and Practice of the Learning Organization. New York: Doubleday.
Sharif, M. M. (Ed.). (1963). A History of Muslim
Philosophy (Vol. 1). Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
Ṣadrā, M. (1981). Al-Asfār al-Arba‘ah (Vol.
1). Tehran: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Wilfrid Sellars. (1963). Science, Perception,
and Reality. London: Routledge.
Wittgenstein, L. (1958). Philosophical
Investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar