Tashdiq (Penetapan atau Pembenaran)
Kajian Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis dalam Ilmu Manṭiq
Alihkan ke: Ilmu Mantiq.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep tashdīq
(penetapan atau pembenaran) sebagai salah satu kategori pengetahuan fundamental
dalam Ilmu Manṭiq Islam. Sebagai kelanjutan dari tashawwur (pemahaman
konseptual), tashdīq dipahami bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga
tindakan epistemik yang menentukan validitas pengetahuan melalui hubungan
antara akal dan realitas. Kajian ini menelusuri tashdīq dari empat
dimensi utama: ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial-intelektual.
Secara ontologis, tashdīq berfungsi sebagai relasi antara pikiran dan
wujud (nisbah bayn al-ʿaql wa al-wujūd), menegaskan bahwa kebenaran bersifat
korespondensial dan partisipatif terhadap realitas objektif. Dari sisi
epistemologi, tashdīq menggambarkan proses pembenaran yang melibatkan
rasio, pengalaman, dan intuisi intelektual, yang berpuncak pada kepastian (yaqīn).
Secara aksiologis, ia memuat nilai moral berupa tanggung jawab, kejujuran, dan
integritas ilmiah yang menjadi dasar etika berpikir. Adapun secara sosial, tashdīq
berfungsi membangun rasionalitas kolektif dan budaya dialog yang adil dalam
ruang publik keilmuan Islam. Artikel ini juga mengkaji kritik dan klarifikasi
filosofis terhadap tashdīq, baik dari kalangan internal (seperti
al-Ghazālī dan Ibn Taymiyyah) maupun perspektif modern (seperti al-Jābirī dan
Gadamer), sekaligus menyoroti relevansi kontemporernya dalam menghadapi krisis
kebenaran di era digital. Melalui sintesis filosofis, penelitian ini menegaskan
bahwa tashdīq bukan hanya kerangka logika klasik, melainkan paradigma
epistemologis yang integral, etis, dan humanistik—sebuah model rasionalitas
yang menyatukan akal, moral, dan spiritualitas dalam pencarian kebenaran yang
utuh.
Kata Kunci: Tashdīq, Ilmu Manṭiq, epistemologi Islam, kebenaran, pembenaran rasional,
ontologi pengetahuan, etika berpikir, integrasi ilmu, rasionalitas humanistik.
PEMBAHASAN
Tashdīq (Penetapan dan Pembenaran) dalam Ilmu Manṭiq
1.
Pendahuluan
Dalam tradisi
keilmuan Islam, ‘Ilm al-Manṭiq (Ilmu Mantiq)
dipandang sebagai alat nalar (ālah al-fikr) yang berfungsi
menjaga akal dari kesalahan berpikir (maḥfūẓ ‘an al-khaṭa’ fī al-fikr).¹
Logika ini tidak hanya menata cara berpikir agar selaras dengan hukum-hukum
akal, tetapi juga menuntun manusia menuju kebenaran yang terukur, rasional, dan
dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu pilar utama dalam struktur Ilmu Mantiq
adalah pembagian pengetahuan menjadi dua kategori: tashawwur (pemahaman konseptual)
dan tashdīq
(penetapan atau pembenaran).² Kedua kategori ini merupakan fondasi epistemik
yang memungkinkan manusia membedakan antara mengetahui sesuatu sebagai konsep
dan menetapkan sesuatu sebagai benar atau salah dalam bentuk proposisi.
Secara terminologis,
tashdīq
dapat diartikan sebagai penetapan hubungan antara dua pengertian dalam bentuk
afirmasi (ījāb)
atau negasi (salb).³ Dengan demikian, tashdīq
adalah aktivitas intelektual yang mengandung dimensi penilaian terhadap suatu
proposisi, yakni apakah ia sesuai dengan realitas (benar) atau bertentangan
dengannya (salah). Dalam hal ini, tashdīq bukan sekadar menyusun
konsep, melainkan juga mengafirmasi atau menolak hubungan antara subjek (mawḍū‘)
dan predikat (maḥmūl). Ibn Sīnā dalam al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt menegaskan bahwa tashdīq adalah “ilmu tentang
keberadaan nisbah antara dua makna” yang berimplikasi pada kebenaran atau
kesalahan proposisi.⁴
Dalam sistem
berpikir logis, tashdīq menempati posisi yang lebih
kompleks dibanding tashawwur, karena ia merupakan
basis dari seluruh bentuk argumentasi (qiyās).⁵ Setiap silogisme logis
dibangun dari proposisi-proposisi yang telah ditetapkan melalui tashdīq,
sehingga kebenaran hasil penalaran bergantung pada validitas penetapan yang
mendasarinya. Oleh karena itu, memahami tashdīq tidak hanya penting bagi
logikawan, tetapi juga bagi para teolog, filsuf, dan ilmuwan yang menuntut
dasar pembenaran rasional bagi setiap klaim pengetahuan.
Dari sisi historis,
konsep tashdīq
dalam logika Islam berakar pada tradisi filsafat Yunani, khususnya dalam logika
Aristoteles yang membedakan antara noēsis (pemahaman) dan apophansis
(pernyataan).⁶ Para logikawan Muslim seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā
mengadaptasi konsep ini ke dalam kerangka epistemologi Islam dengan memberikan
dimensi metafisis dan etis yang khas.⁷ Al-Fārābī dalam Kitāb
al-Qiyās menegaskan bahwa pengetahuan tidak sempurna tanpa tashdīq,
karena ia merupakan bentuk kesadaran intelektual yang memutuskan kebenaran
relasi makna.⁸
Dalam konteks
epistemologi Islam, tashdīq juga memiliki relevansi
moral dan spiritual. Ia bukan sekadar operasi rasional yang netral, tetapi juga
bagian dari tanggung jawab manusia sebagai pencari kebenaran (ṭālib
al-ḥaqq).⁹ Penetapan kebenaran menuntut kejujuran intelektual,
kehati-hatian dalam penalaran, dan kebebasan dari hawa nafsu yang dapat
mengaburkan objektivitas berpikir. Dengan demikian, tashdīq menjadi titik temu antara
logika, etika, dan iman, sebab pembenaran intelektual yang sejati selalu
berorientasi pada kebenaran hakiki.
Tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji konsep tashdīq secara komprehensif melalui
pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kajian ini akan menelusuri
akar historisnya, struktur ontologisnya sebagai bentuk pengetahuan logis,
mekanisme epistemologisnya dalam proses berpikir, serta nilai-nilai aksiologis
yang terkandung di dalamnya. Dengan pendekatan ini, diharapkan pemahaman
terhadap tashdīq
dapat memberikan sumbangan penting bagi rekonstruksi epistemologi Islam yang
rasional, etis, dan humanistik.
Footnotes
[1]
Abū Naṣr al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut:
Dār al-Mashriq, 1968), 3.
[2]
Muḥammad ‘Abd al-Ḥaqq, al-Manṭiq al-‘Arabī wa Madārisuh al-Fikrīyah
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1998), 45.
[3]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 29.
[4]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 32.
[5]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 17.
[6]
Aristotle, Organon, trans. E. S. Forster (Cambridge: Harvard
University Press, 1938), 101a–104b.
[7]
F. E. Peters, Aristoteles Arabus: The Oriental Translations and
Commentaries on the Aristotelian Corpus (Leiden: Brill, 1968), 212–214.
[8]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 47–49.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 55.
2.
Landasan Historis dan Genealogis Konsep Tashdīq
Konsep tashdīq
dalam Ilmu Manṭiq memiliki akar historis yang panjang dan berkembang melalui
proses asimilasi intelektual antara filsafat Yunani dan tradisi keilmuan Islam.
Ia merupakan hasil dialektika antara warisan logika Aristoteles (Organon)
dan reinterpretasi rasional-spiritual yang dilakukan oleh para filsuf Muslim
dalam upaya membangun epistemologi Islam yang khas. Secara genealogis,
perjalanan tashdīq
mencerminkan dinamika hubungan antara bahasa, realitas, dan kebenaran dalam
tradisi berpikir logis dari Yunani klasik hingga Islam klasik.¹
2.1.
Akar Yunani: Aristoteles dan Tradisi Logika
Klasik
Dalam tradisi
filsafat Yunani, cikal bakal tashdīq dapat ditemukan dalam
pembahasan Aristoteles tentang apophansis (proposisi deklaratif)
dalam Peri
Hermeneias (De Interpretatione).² Aristoteles
membedakan antara noēsis (pemahaman konseptual) dan apophansis
sebagai bentuk penetapan yang mengandung nilai kebenaran.³ Menurutnya, hanya
proposisi yang dapat dinilai benar (alēthes) atau salah (pseudes),
sedangkan konsep (tanpa relasi predikatif) bersifat netral secara epistemik.⁴
Distingsi inilah yang menjadi dasar bagi pembagian logika menjadi dua ranah
utama: konsepsi (tasawwur) dan penetapan (tashdīq).
Dalam kerangka ini, tashdīq berfungsi sebagai fondasi
bagi silogisme (syllogismos), yang merupakan bentuk
argumentasi deduktif khas logika Aristoteles.
Logika Aristoteles
diteruskan oleh para pemikir Helenistik dan Neoplatonis seperti Theophrastus,
Porphyry, dan Alexander dari Aphrodisias. Mereka menekankan aspek ontologis
dari proposisi, yakni bahwa penetapan selalu berkaitan dengan keberadaan dan
sifat dari realitas eksternal.⁵ Tradisi ini kemudian diterjemahkan dan
dikembangkan lebih lanjut oleh para penerjemah Arab pada abad ke-8 dan ke-9,
terutama di bawah perlindungan Bayt al-Ḥikmah di Baghdad.
2.2.
Transmisi ke Dunia Islam: Gerakan Penerjemahan
dan Asimilasi
Proses transmisi
konsep tashdīq
ke dalam dunia Islam terjadi melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles dan
komentatornya ke dalam bahasa Arab oleh tokoh-tokoh seperti Ḥunayn ibn Isḥāq,
Yaḥyā ibn ‘Adī, dan Isḥāq ibn Ḥunayn.⁶ Dalam proses ini, istilah Yunani apophansis
dan krisis
diterjemahkan ke dalam istilah Arab seperti qaḍiyyah (proposisi) dan taṣdīq
(penetapan).⁷ Adaptasi linguistik ini bukan sekadar terjemahan teknis,
melainkan juga transformasi konseptual yang menempatkan tashdīq
dalam kerangka metafisika dan teologi Islam.
Peran penting juga
dimainkan oleh al-Kindī (w. 873 M), yang dalam karya-karyanya seperti Risālah
fī al-Falsafah al-Ūlā menekankan pentingnya hubungan antara bahasa
dan kebenaran sebagai basis bagi pengetahuan yang sah.⁸ Ia memandang penetapan
proposisional sebagai ekspresi rasional dari kesesuaian antara akal dan
realitas ciptaan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan dan disistematisasi oleh
al-Fārābī (w. 950 M), yang disebut sebagai Mu’allim al-Thānī (Guru Kedua)
setelah Aristoteles.
2.3.
Formulasi Logika Islam: al-Fārābī dan Ibn Sīnā
Al-Fārābī adalah
tokoh pertama yang menyusun sistem logika Islam secara komprehensif, memisahkan
dengan jelas antara tashawwur dan tashdīq.
Dalam Kitāb
al-Qiyās dan Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ia mendefinisikan tashdīq
sebagai “pengetahuan tentang adanya hubungan antara dua konsep dalam
proposisi afirmatif atau negatif.”⁹ Ia menganggap tashdīq
sebagai tahap kedua dari proses berpikir logis yang memungkinkan manusia
menilai validitas argumen secara sistematis.¹⁰
Ibn Sīnā (Avicenna,
w. 1037 M) kemudian memperluas dan memperdalam konsep ini dalam al-Shifā’
dan al-Ishārāt
wa al-Tanbīhāt. Menurutnya, tashdīq adalah bentuk pengetahuan
yang melibatkan keyakinan (i‘tiqād) disertai pembenaran
rasional terhadap relasi antara subjek dan predikat.¹¹ Ia membedakan antara tashdīq
yaqinī (pasti) dan tashdīq ẓannī (dugaan kuat), yang
menjadi dasar bagi klasifikasi tingkat kepastian pengetahuan.¹² Dengan
demikian, Ibn Sīnā menjadikan tashdīq bukan hanya kategori logis,
tetapi juga epistemologis yang menyangkut derajat kebenaran dan keyakinan.
2.4.
Perkembangan Pasca-Klasik: al-Ghazālī, al-Rāzī,
dan al-Ṭūsī
Pada masa
pasca-klasik, al-Ghazālī (w. 1111 M) mengintegrasikan tashdīq
dalam kerangka epistemologi teologis. Dalam Mi‘yār al-‘Ilm, ia menjelaskan
bahwa tashdīq
adalah “pembenaran akal terhadap makna yang diketahui, baik melalui
pancaindra, akal, maupun wahyu.”¹³ Ia menekankan pentingnya kejujuran
intelektual dalam proses penetapan, karena kebenaran logis harus sejalan dengan
kebenaran moral.¹⁴
Fakhr al-Dīn al-Rāzī
(w. 1210 M) dan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī (w. 1274 M) melanjutkan elaborasi ini
dengan menambahkan unsur psikologis dalam tashdīq.¹⁵ Mereka mengaitkannya
dengan aspek nafsānī (mental) dan taṣawwurī
(konseptual) yang mendasari setiap proposisi. Tradisi ini membentuk basis bagi
pengajaran logika di madrasah-madrasah Islam, terutama dalam teks-teks seperti Isāghūjī
karya Athīr al-Dīn al-Abharī (w. 1265 M), yang kemudian menjadi kurikulum standar
di dunia Islam hingga abad ke-19.¹⁶
2.5.
Konteks Modern: Warisan Intelektual dan
Reinterpretasi
Pada periode modern,
konsep tashdīq
memperoleh perhatian kembali melalui studi filsafat Islam kontemporer. Para
pemikir seperti Muḥammad ‘Abid al-Jābirī dan Seyyed Hossein Nasr melihat tashdīq
sebagai titik kunci dalam pembentukan rasionalitas Islam yang khas.¹⁷ Bagi
al-Jābirī, tashdīq
mencerminkan ‘aql bayānī (rasionalitas
linguistik) yang berbeda dari ‘aql burhānī (rasionalitas
demonstratif) Barat.¹⁸ Sedangkan Nasr menekankan aspek spiritual tashdīq
sebagai pembenaran yang menyatukan kebenaran rasional dan kebenaran wahyu.¹⁹
Dengan demikian,
secara historis dan genealogis, tashdīq merupakan hasil sintesis
kreatif antara logika Yunani dan nilai-nilai intelektual Islam. Ia menjadi
fondasi bagi sistem berpikir rasional yang sekaligus etis dan transendental,
serta terus relevan bagi pengembangan epistemologi Islam kontemporer.
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th
centuries) (London: Routledge, 1998), 17.
[2]
Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill, in The
Works of Aristotle, ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1931),
16a–17b.
[3]
Jonathan Barnes, Aristotle: Posterior Analytics (Oxford:
Clarendon Press, 1975), 68.
[4]
Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame (Ithaca: Cornell
University Press, 1980), 41.
[5]
Peter Adamson, The Arabic Plotinus: A Philosophical Study of the
Theology of Aristotle (London: Duckworth, 2002), 21.
[6]
Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, 102–105.
[7]
F. E. Peters, Aristoteles Arabus: The Oriental Translations and
Commentaries on the Aristotelian Corpus (Leiden: Brill, 1968), 201–203.
[8]
Al-Kindī, Rasā’il al-Kindī al-Falsafiyyah, ed. Muḥammad ‘Abd
al-Hādī Abū Rīdah (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1950), 78–81.
[9]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 27.
[10]
Abdurrahman Badawi, La Logique d’Al-Fārābī (Paris: Vrin,
1961), 53–54.
[11]
Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī
(Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 114–116.
[12]
Ibid., 118.
[13]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 31.
[14]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Cairo: al-Maṭba‘ah
al-Amīriyyah, 1904), 12.
[15]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah,
ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 56.
[16]
Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd
al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 5.
[17]
Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Naqd al-‘Aql al-‘Arabī: al-‘Aql al-Bayānī
(Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, 1990), 74.
[18]
Ibid., 81.
[19]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 62.
3.
Ontologi Tashdīq: Hakikat dan Struktur
Penetapan
Secara ontologis, tashdīq
menempati posisi sentral dalam struktur pengetahuan logis, karena ia menjadi
titik peralihan antara sekadar pemahaman konseptual (tashawwur)
dan penilaian terhadap kebenaran realitas.¹ Jika tashawwur merupakan representasi
mental terhadap hakikat sesuatu tanpa melibatkan penetapan benar atau salah,
maka tashdīq
merupakan bentuk pengetahuan yang menegaskan hubungan (nisbah)
antara dua konsep, sehingga menghasilkan proposisi yang bernilai benar (ṣidq)
atau salah (khiṭa’).² Dalam konteks ini, tashdīq
adalah aktivitas intelektual yang mengafirmasi realitas melalui struktur
predikatif dari penalaran manusia.
3.1.
Hakikat Ontologis Tashdīq
Menurut Ibn Sīnā,
hakikat tashdīq
adalah pengetahuan tentang hubungan antara dua makna (ma‘nā),
di mana relasi tersebut dapat berupa penetapan (ījāb) atau penafian (salb).³
Ia mendefinisikan tashdīq sebagai “i‘tiqād
bi al-ḥukm”—yakni keyakinan terhadap suatu penilaian akal yang menetapkan
keterkaitan antara subjek (mawḍū‘) dan predikat (maḥmūl).⁴
Dengan demikian, tashdīq mengandung dua unsur
hakiki: pertama, relasi proposisional antara dua makna yang dipahami akal;
kedua, keyakinan terhadap validitas relasi tersebut. Keberadaan tashdīq
tidak hanya terletak pada ranah logis (mental), tetapi juga mengandaikan
korespondensi ontologis dengan realitas eksternal.
Al-Fārābī dalam Iḥṣā’
al-‘Ulūm menegaskan bahwa tashdīq adalah bentuk pengetahuan
yang mengikat konsep-konsep menjadi suatu qaḍiyyah (proposisi).⁵ Ia memandang
bahwa hakikat tashdīq terletak pada “nisbah taḥqīqiyyah,”
yakni relasi eksistensial antara dua entitas konseptual yang mencerminkan
keadaan realitas di luar akal.⁶ Oleh karena itu, dalam kerangka ontologis, tashdīq
bukan hanya konstruksi linguistik atau kognitif, melainkan juga cermin dari
struktur ontologis kebenaran itu sendiri. Setiap proposisi yang benar tidak
hanya sah secara logis, tetapi juga berakar pada wujūd (ada) yang menjadi dasar
realitas objektif.
Pandangan ini sejalan
dengan pemikiran al-Ghazālī yang menyebut bahwa kebenaran dalam tashdīq
harus bersandar pada “mutābaqah al-‘aql lil-wāqi‘” (kesesuaian akal
dengan kenyataan).⁷ Maka, tashdīq tidak berhenti pada
konstruksi mental, tetapi merepresentasikan hubungan ontologis antara
pengetahuan dan wujud. Dalam hal ini, tashdīq berperan sebagai jembatan
antara epistemologi (pengetahuan) dan ontologi (keberadaan), yang menjadikan
logika Islam bersifat realistis, bukan nominalistis.
3.2.
Unsur-unsur Struktur Penetapan
Struktur tashdīq
terdiri atas tiga unsur utama: mawḍū‘ (subjek), maḥmūl
(predikat), dan nisbah (relasi).⁸ Ketiga unsur ini
membentuk kerangka proposisional yang menjadi wadah bagi kebenaran. Subjek
adalah konsep yang menjadi titik tolak penetapan, predikat adalah konsep yang
dilekatkan atau dinegasikan terhadap subjek, sedangkan nisbah
adalah hubungan yang menghubungkan keduanya dalam bentuk afirmasi atau negasi.⁹
Dari sinilah muncul proposisi afirmatif (“A adalah B”) dan proposisi
negatif (“A bukan B”), yang merupakan ekspresi linguistik dari tashdīq.
Dalam konteks
metafisik, nisbah
memiliki peran penting karena ia menandai transisi dari potensi pengetahuan
(pada tashawwur)
menuju aktualitas pengetahuan (pada tashdīq).¹⁰ Dengan kata lain, tashdīq
adalah aktualisasi dari makna konseptual melalui penghakiman rasional yang
mengaitkan dua entitas mental secara eksistensial. Ibn Sīnā menyebut hal ini
sebagai “intiẓām
al-ma‘ānī fī al-nafs” — keteraturan makna-makna dalam jiwa yang
mencerminkan tatanan realitas.¹¹ Maka, struktur tashdīq tidak hanya menggambarkan
tata bahasa proposisional, tetapi juga tatanan eksistensial yang menjadi dasar
bagi setiap bentuk pengetahuan.
3.3.
Kategori dan Tingkatan Kebenaran dalam Tashdīq
Kebenaran dalam tashdīq
bersifat bertingkat. Para logikawan membaginya ke dalam beberapa kategori: tashdīq
yaqinī (pasti), ẓannī (dugaan kuat), wahmī
(ilusif), dan syakkī (ragu-ragu).¹² Tashdīq
yaqinī muncul ketika proposisi didukung oleh bukti rasional yang
pasti, seperti dalam silogisme demonstratif (burhān). Tashdīq ẓannī
terjadi ketika penetapan masih bergantung pada probabilitas, sementara tashdīq
wahmī dan syakkī mencerminkan penetapan yang
tidak stabil secara epistemik.¹³
Klasifikasi ini
menunjukkan bahwa tashdīq tidak hanya menilai hubungan
logis antar-konsep, tetapi juga kualitas eksistensial dari keyakinan yang
menyertainya. Ibn Sīnā menegaskan bahwa kebenaran proposisional hanya sempurna
bila disertai keyakinan yang pasti (jazm) dan konsisten dengan realitas
eksternal.¹⁴ Artinya, tashdīq adalah kesatuan antara
struktur logis (nisbah konseptual) dan kesadaran ontologis (pembenaran terhadap
realitas).
3.4.
Distingsi Ontologis antara Tashawwur dan
Tashdīq
Perbedaan ontologis
antara tashawwur
dan tashdīq
dapat dijelaskan dalam kerangka aktualitas pengetahuan. Tashawwur
bersifat quwwī
(potensial), karena hanya menggambarkan makna tanpa afirmasi; sedangkan tashdīq
bersifat fi‘lī
(aktual), karena menetapkan relasi kebenaran.¹⁵ Dengan demikian, tashdīq
menempati posisi ontologis yang lebih tinggi, sebab ia merepresentasikan
realitas dalam bentuk proposisi yang memiliki nilai kebenaran. Al-Ṭūsī
menegaskan bahwa “lā yaqūmu al-‘ilm illā bi al-taṣdīq”
— tidak ada pengetahuan yang sah tanpa penetapan.¹⁶
Maka, dalam tatanan
wujud pengetahuan, tashdīq adalah puncak aktualisasi
intelektual manusia. Ia bukan sekadar hasil analisis logis, tetapi juga
kesaksian rasional terhadap keberadaan realitas. Di sinilah tashdīq
memiliki dimensi ontologis yang transendental, karena ia mempertautkan pikiran
manusia dengan struktur kebenaran yang objektif, yang pada akhirnya berakar
pada prinsip al-Ḥaqq (Kebenaran Absolut).¹⁷
Footnotes
[1]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār
al-Mashriq, 1968), 11.
[2]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 29.
[3]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 34.
[4]
Ibid., 36.
[5]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 27.
[6]
Abdurrahman Badawi, La Logique d’Al-Fārābī (Paris: Vrin,
1961), 53.
[7]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 31.
[8]
Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd
al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 7.
[9]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 1963), 22.
[10]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah,
ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 59.
[11]
Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Muḥammad Taqī Dānishpazhūh (Tehran:
Dānishgāh Tehran, 1985), 177.
[12]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 49.
[13]
Ibid., 51.
[14]
Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī
(Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 118.
[15]
Al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ, 61.
[16]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās fī al-Manṭiq (Tehran: Dānishgāh
Tehran, 1970), 23.
[17]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 64.
4.
Epistemologi Tashdīq: Sumber dan Proses
Pembenaran
Epistemologi tashdīq
membahas bagaimana manusia memperoleh, memverifikasi, dan membenarkan pengetahuan
dalam bentuk proposisi. Jika dalam tashawwur akal hanya memahami makna
sesuatu tanpa penilaian, maka dalam tashdīq akal melakukan penetapan
kebenaran dengan cara menghubungkan dua konsep berdasarkan bukti atau dalil.¹
Oleh karena itu, tashdīq merupakan ranah epistemik
yang menandai terjadinya ḥukm (penghukuman rasional) yang
berfungsi sebagai dasar segala bentuk pengetahuan ilmiah dan argumentatif.²
4.1.
Sumber-Sumber Pengetahuan dalam Tashdīq
Dalam kerangka
logika Islam, tashdīq bersumber dari dua wilayah
utama: pengalaman empiris (ḥissī) dan pemikiran rasional (‘aqlī).³
Pengalaman inderawi menyediakan bahan mentah bagi akal untuk membentuk tashawwur,
sedangkan akal berperan aktif dalam menetapkan kebenaran proposisional melalui
proses pembenaran (taṣdīq).⁴ Ibn Sīnā menegaskan bahwa
tashdīq
tidak dapat terjadi tanpa dasar konseptual, tetapi juga tidak cukup hanya
dengan konsep tanpa penilaian akal terhadap relasi di antara konsep-konsep
tersebut.⁵ Dengan demikian, sumber tashdīq adalah perpaduan antara
pengetahuan empiris, rasional, dan dalam konteks tertentu—intuisi intelektual (ḥads).⁶
Selain itu, wahyu (waḥy)
juga dipandang sebagai sumber tashdīq dalam epistemologi Islam.⁷
Al-Ghazālī menjelaskan bahwa ada bentuk pembenaran yang bersumber dari otoritas
ilahi, yang tidak bertentangan dengan akal, melainkan melampauinya dalam
hierarki pengetahuan.⁸ Pembenaran rasional dapat memverifikasi sebagian
kebenaran wahyu, tetapi tidak seluruhnya dapat dicapai oleh deduksi manusia.
Oleh sebab itu, epistemologi Islam bersifat hierarkis—di mana tashdīq
rasional dan tashdīq wahyu sama-sama sahih dalam
domainnya masing-masing, selama tidak bertentangan dengan prinsip kebenaran
universal (al-ḥaqq).⁹
4.2.
Proses Pembenaran Rasional
Proses tashdīq
berlangsung melalui mekanisme penalaran yang sistematis, baik deduktif (qiyās)
maupun induktif (istiqrā’).¹⁰ Dalam penalaran
deduktif, tashdīq
muncul sebagai kesimpulan dari dua premis yang sudah ditetapkan kebenarannya.
Misalnya, dari premis “setiap manusia fana” dan “Zaid adalah manusia,”
akal menetapkan kesimpulan “Zaid fana.”¹¹ Di sini, tashdīq
bekerja melalui struktur silogisme logis yang memindahkan kebenaran dari premis
ke kesimpulan. Sedangkan dalam penalaran induktif, tashdīq diperoleh dari pengamatan
berulang yang membentuk generalisasi rasional, seperti “api membakar”
berdasarkan pengalaman empiris yang konsisten.¹²
Al-Fārābī menegaskan
bahwa tashdīq
dalam kedua bentuk tersebut memerlukan syarat-syarat validitas (shurūṭ
al-ṣiḥḥah), seperti konsistensi logis, keterkaitan relasional yang
sah, dan korespondensi dengan realitas.¹³ Tanpa terpenuhinya syarat ini, tashdīq
hanya menjadi ẓann (dugaan) dan tidak mencapai
tingkat yaqīn
(kepastian). Ibn Sīnā juga menambahkan bahwa tashdīq yang benar harus memiliki
tiga unsur epistemik: pemahaman konseptual yang jelas (taṣawwur
jaliyy), hubungan rasional yang benar (nisbah ṣaḥīḥah), dan keyakinan yang
tetap (jazm
dā’im).¹⁴
4.3.
Peran Qaḍiyyah dalam Struktur Epistemik Tashdīq
Dalam epistemologi
logika Islam, qaḍiyyah (proposisi) merupakan
wadah linguistik bagi tashdīq.¹⁵ Ia berfungsi sebagai
medium formal di mana hubungan antara subjek dan predikat dinyatakan secara
eksplisit. Menurut al-Abharī, qaḍiyyah adalah “ungkapan yang
memungkinkan penilaian benar atau salah,” yang berarti setiap tashdīq
memiliki bentuk proposisional.¹⁶ Dengan demikian, pernyataan seperti “air
mendidih pada suhu seratus derajat” adalah bentuk tashdīq
karena ia menetapkan relasi yang dapat diverifikasi oleh akal dan pengalaman.
Namun, qaḍiyyah
tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi linguistik, tetapi juga sebagai struktur
epistemik yang memungkinkan terjadinya pengetahuan ilmiah. Dalam filsafat
logika Ibn Sīnā, qaḍiyyah menjadi sarana untuk
menguji hubungan antara ide dan realitas melalui metode burhān
(demonstrasi).¹⁷ Ia menganggap bahwa pengetahuan ilmiah (‘ilm
yaqīnī) hanya dapat diperoleh melalui tashdīq yang memiliki landasan
demonstratif, bukan sekadar persetujuan verbal atau retoris.¹⁸ Dengan demikian,
qaḍiyyah
menjadi alat verifikasi epistemik yang menjembatani antara bahasa, logika, dan
kebenaran empiris.
4.4.
Jenis dan Tingkatan Tashdīq
Para logikawan
Muslim membedakan tashdīq berdasarkan kekuatan
pembenaran menjadi beberapa tingkatan.¹⁹
1)
Tashdīq yaqinī —
pembenaran yang bersifat pasti, didukung oleh dalil demonstratif (burhān).
2)
Tashdīq ẓannī —
pembenaran yang bersifat dugaan kuat, berdasarkan probabilitas rasional atau
empiris.
3)
Tashdīq wahmī —
pembenaran yang bersumber dari persepsi ilusif, sering kali salah akibat asumsi
emosional.
4)
Tashdīq syakkī —
pembenaran yang disertai keraguan epistemik karena bukti tidak cukup
meyakinkan.²⁰
Klasifikasi ini
memperlihatkan bahwa epistemologi tashdīq bersifat dinamis dan
bertingkat sesuai dengan kadar kepastian dan kekuatan argumentasi. Al-Ghazālī
menyatakan bahwa pengetahuan yang mencapai derajat yaqīn hanya dapat diperoleh jika
pembenaran tersebut bebas dari kontradiksi logis dan bersesuaian dengan
realitas objektif.²¹ Oleh karena itu, epistemologi tashdīq tidak hanya menilai isi
kognitif suatu proposisi, tetapi juga integritas rasional dan moral dari subjek
yang membenarkannya.
4.5.
Hubungan antara Tashdīq, Akal, dan
Kebenaran
Akal (‘aql)
berfungsi sebagai instrumen utama dalam proses tashdīq, karena ia mengatur,
menilai, dan menegaskan hubungan antara makna.²² Dalam pandangan al-Fārābī,
akal bekerja melalui dua tahap: al-‘aql al-fa‘‘āl (akal aktif) yang
menyinari bentuk-bentuk makna, dan al-‘aql al-mustanīr (akal aktual)
yang menerima serta menetapkan kebenarannya.²³ Dengan demikian, tashdīq
merupakan hasil interaksi harmonis antara aktivitas intelektual dan penerimaan
iluminatif.
Hubungan antara tashdīq
dan kebenaran dapat dipahami dalam tiga teori besar yang diadaptasi dalam
filsafat Islam: teori korespondensi, koherensi, dan konsensus.²⁴ Dalam teori
korespondensi (mutābaqah), kebenaran tashdīq
diukur dari kesesuaiannya dengan realitas eksternal; dalam teori koherensi (tawāfuq),
kebenaran diukur dari konsistensi internal dalam sistem pengetahuan; sedangkan
dalam teori konsensus (ittifāq), kebenaran juga
mempertimbangkan penerimaan kolektif dalam komunitas ilmiah.²⁵ Ketiganya tidak
saling meniadakan, tetapi saling melengkapi dalam kerangka epistemologi Islam
yang integral.
Dengan demikian, tashdīq
adalah aktivitas rasional yang menjembatani antara pemahaman dan kebenaran. Ia
merupakan puncak dari proses epistemik manusia yang tidak hanya melibatkan
deduksi logis, tetapi juga integrasi antara akal, pengalaman, dan kesadaran
moral.²⁶ Dalam tradisi Islam, pengetahuan yang benar bukan sekadar hasil tashdīq
logis, melainkan juga bentuk kesaksian intelektual terhadap al-Ḥaqq—kebenaran
yang bersumber dari Tuhan.
Footnotes
[1]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār
al-Mashriq, 1968), 17.
[2]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 29.
[3]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah,
ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 61.
[4]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 25.
[5]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 38.
[6]
Ibid., 42.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 67.
[8]
Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr,
1988), 58.
[9]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge:
Islamic Texts Society, 1998), 77.
[10]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 47.
[11]
Aristotle, Prior Analytics, trans. A. J. Jenkinson (Oxford:
Clarendon Press, 1938), 32b–34a.
[12]
Ibn Rushd, Talkhīṣ al-Burhān, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1938), 19.
[13]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 49.
[14]
Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī
(Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 118.
[15]
Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd
al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 9.
[16]
Ibid., 10.
[17]
Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, 121.
[18]
Ibid., 123.
[19]
Al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ, 64.
[20]
Ibid., 65.
[21]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 33.
[22]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 29.
[23]
Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton:
Princeton University Press, 1960), 104.
[24]
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo:
Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 77.
[25]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 97.
[26]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 88.
5.
Aksiologi Tashdīq: Nilai dan Fungsi
dalam Ilmu dan Etika Berpikir
Dimensi aksiologis tashdīq
menyingkap nilai-nilai epistemik dan etis yang melekat pada aktivitas
pembenaran rasional manusia. Jika bagian ontologis membahas hakikat
keberadaannya dan bagian epistemologis menguraikan cara kerjanya, maka
aksiologi tashdīq
berurusan dengan makna, tujuan, serta implikasi moral dari penetapan kebenaran.
Dalam tradisi Islam, kebenaran tidak hanya bernilai intelektual, tetapi juga
moral dan spiritual; ia menuntut kejujuran berpikir (ṣidq
al-fikr) dan tanggung jawab akal terhadap realitas yang dihadapi.¹
Dengan demikian, tashdīq berfungsi sebagai sarana
untuk menegakkan keadilan kognitif—yakni kesesuaian antara penilaian akal dan
hakikat kebenaran yang objektif.
5.1.
Nilai Epistemik dan Etis dalam Tashdīq
Setiap tashdīq
mengandung nilai epistemik karena ia merupakan penilaian yang berorientasi pada
kebenaran. Ibn Sīnā menegaskan bahwa kebenaran bukanlah sekadar kesesuaian
proposisi dengan fakta, tetapi juga bentuk keteraturan akal dalam menilai
sesuatu secara proporsional dan bebas dari penyimpangan emosional.² Nilai
epistemik tashdīq
terletak pada kemampuan akal menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan
keobjektifan. Oleh karena itu, seorang logikawan atau peneliti harus memiliki malakah
(keterampilan rasional) yang melatih akal untuk menilai dengan adil dan
jernih.³
Namun, tashdīq
juga memiliki dimensi etis. Menurut al-Ghazālī, “tidak ada kebenaran
rasional tanpa kejujuran hati,” sebab pembenaran yang dilakukan tanpa
integritas moral hanya melahirkan kesesatan intelektual.⁴ Dalam pandangan ini,
kebenaran bersifat integral antara aspek kognitif dan moral. Tashdīq
yang sahih menuntut sikap amānah ‘ilmiyyah (integritas
ilmiah), yakni kesediaan menerima bukti walaupun bertentangan dengan
kepentingan pribadi.⁵ Karena itu, aktivitas berpikir tidak semata-mata bersifat
teknis-logis, tetapi juga merupakan praktik etis yang mencerminkan orientasi
moral terhadap kebenaran.
5.2.
Fungsi Tashdīq dalam Pembentukan
Argumentasi Rasional
Dalam struktur ilmu,
tashdīq
berfungsi sebagai fondasi bagi pembentukan argumentasi (qiyās),
demonstrasi (burhān), dan dialog rasional (jadal).⁶
Tanpa tashdīq,
tidak mungkin ada argumentasi yang sahih, sebab setiap silogisme membutuhkan
proposisi yang telah dibenarkan sebelumnya. Al-Fārābī menegaskan bahwa tashdīq
adalah “asas yang mengatur hubungan antara premis-premis dalam penalaran,”
dan karenanya merupakan “akar segala ilmu.”⁷
Lebih jauh, tashdīq
berperan penting dalam membentuk kebiasaan berpikir kritis dan reflektif.
Melalui proses pembenaran, manusia belajar membedakan antara pengetahuan yang
valid dan yang keliru, antara keyakinan dan opini. Ibn Rushd dalam Talkhīṣ
al-Burhān menegaskan bahwa “ilmu tidak lahir dari hafalan,
tetapi dari tashdīq yang didukung oleh dalil.”⁸
Oleh karena itu, tashdīq menjadi instrumen pedagogis
untuk menumbuhkan akal yang tajam dan etika berpikir yang bertanggung jawab.
5.3.
Dimensi Moral dan Spiritualitas dalam Tashdīq
Dalam pandangan para
filsuf Muslim, tashdīq tidak dapat dilepaskan dari
dimensi spiritual, karena kebenaran rasional pada hakikatnya merupakan refleksi
dari kebenaran ilahiah. Al-Ghazālī menyebut bahwa pengetahuan sejati adalah
yang mengantar seseorang kepada ma‘rifah (pengenalan terhadap
Tuhan), sedangkan tashdīq adalah jalan rasional
menuju taṣdīq
bi al-qalb (pembenaran hati).⁹ Dengan demikian, pembenaran logis
tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari perjalanan moral dan
spiritual menuju kebenaran mutlak (al-Ḥaqq).
Seyyed Hossein Nasr
memperkuat hal ini dengan menyatakan bahwa dalam epistemologi Islam, setiap
pembenaran intelektual memiliki orientasi sakral, karena kebenaran tidak hanya
bersumber dari rasio, tetapi juga dari realitas metafisik yang menjadi asal
seluruh wujud.¹⁰ Oleh sebab itu, nilai tashdīq tidak berhenti pada tataran
empiris atau logis, melainkan juga menyentuh dimensi kontemplatif, di mana
pengetahuan menjadi bentuk penghambaan rasional kepada Tuhan.
5.4.
Fungsi Aksiologis Tashdīq dalam Ilmu
Pengetahuan
Fungsi aksiologis tashdīq
dalam ilmu pengetahuan terletak pada perannya sebagai penjamin validitas dan
kejujuran ilmiah. Dalam sistem logika Islam, setiap klaim ilmiah harus melewati
tahap tashdīq
sebelum diakui sebagai pengetahuan yang sah.¹¹ Hal ini mencerminkan komitmen
epistemik terhadap prinsip al-yaqīn lā yazūl bi al-shakk
(kepastian tidak hilang karena keraguan).¹² Prinsip ini menjamin stabilitas
metodologis dan keandalan kesimpulan ilmiah.
Selain itu, tashdīq
berperan dalam menjaga etika dialog dan komunikasi ilmiah. Al-Tūsī dalam Asās
al-Iqtibās menekankan bahwa pembenaran tidak boleh dilakukan atas
dasar otoritas semata, melainkan melalui dalil yang rasional dan transparan.¹³
Ini berarti bahwa tashdīq adalah landasan bagi
demokrasi epistemik, di mana kebenaran dibangun melalui argumentasi dan bukan
dogma. Dalam konteks ini, nilai tashdīq sejalan dengan prinsip
keadilan intelektual: memberikan kebenaran kepada yang berhak atasnya, dan
menolak klaim tanpa dasar.
5.5.
Tashdīq sebagai Dasar Etika Berpikir Humanistik
Dalam perspektif kontemporer,
tashdīq
memiliki relevansi besar bagi pembentukan etika berpikir humanistik. Ia
mengajarkan bahwa pembenaran terhadap kebenaran tidak boleh bersifat koersif,
tetapi harus lahir dari kebebasan berpikir dan penghormatan terhadap akal
manusia.¹⁴ Etika tashdīq adalah etika dialog, yang
menghargai argumen berdasarkan bukti dan logika, bukan posisi sosial atau
otoritas tradisi. Dengan demikian, tashdīq mendorong terciptanya ruang
rasionalitas terbuka (mujtama‘ ‘aqlānī) yang menjadi
fondasi bagi kemajuan ilmu dan peradaban.
Menurut Muhammad
Iqbal, peran utama akal bukan sekadar mengklasifikasi fakta, tetapi juga
menegakkan nilai-nilai yang membebaskan manusia dari kebodohan dan dominasi.¹⁵
Maka, tashdīq
sebagai aktivitas pembenaran intelektual memiliki nilai emansipatoris: ia
memerdekakan akal dari belenggu subjektivitas dan membuka jalan bagi
pengetahuan yang berorientasi pada kemaslahatan manusia (al-khayr
al-‘āmm).¹⁶ Dalam kerangka ini, tashdīq bukan sekadar mekanisme
berpikir, tetapi juga tindakan etis yang menghubungkan rasionalitas dengan
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 30.
[2]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 44.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār
al-Mashriq, 1968), 53.
[4]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir (Cairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1957), 2:147.
[5]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge:
Islamic Texts Society, 1998), 79.
[6]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah,
ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 64.
[7]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 31.
[8]
Ibn Rushd, Talkhīṣ al-Burhān, ed. Maurice Bouyges (Beirut:
Imprimerie Catholique, 1938), 22.
[9]
Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr,
1988), 64.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 73.
[11]
Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd
al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 11.
[12]
Al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Cairo: al-Maṭba‘ah
al-Amīriyyah, 1904), 8.
[13]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās fī al-Manṭiq (Tehran:
Dānishgāh Tehran, 1970), 35.
[14]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 102.
[15]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1934), 57.
[16]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 91.
6.
Dimensi Sosial dan Intelektual Tashdīq
Dalam khazanah
keilmuan Islam, tashdīq tidak hanya dipahami
sebagai aktivitas rasional individual, tetapi juga sebagai proses
sosial-intelektual yang membentuk budaya berpikir kolektif. Ia berperan sebagai
mekanisme epistemik yang memungkinkan terbentuknya konsensus ilmiah (ijmā‘
‘ilmī), mengatur struktur komunikasi rasional, serta memperkuat
jaringan otoritas keilmuan di masyarakat.¹ Dengan demikian, tashdīq
dapat dipahami bukan hanya sebagai penetapan kebenaran dalam pikiran seseorang,
melainkan juga sebagai proses sosial pembenaran kebenaran dalam ruang publik
keilmuan.
6.1.
Tashdīq sebagai Fondasi Rasionalitas Kolektif
Dalam sejarah peradaban
Islam, tashdīq
memainkan peranan penting dalam pembentukan rasionalitas kolektif umat. Melalui
mekanisme taṣdīq
yang berulang dalam tradisi keilmuan—baik di madrasah, halaqah, maupun majelis
ilmu—lahir sistem pemikiran yang konsisten dan dapat diwariskan lintas
generasi.² Al-Fārābī menekankan bahwa rasionalitas yang sehat hanya dapat
berkembang dalam masyarakat yang mengakui kebenaran berdasarkan argumentasi,
bukan berdasarkan otoritas dogmatis.³ Dengan demikian, tashdīq
berfungsi sebagai dasar pembentukan al-mujtama‘ al-‘aqlānī (masyarakat
rasional), di mana ilmu menjadi sarana pemeliharaan nalar publik.
Di sinilah tashdīq
memiliki nilai sosial yang mendalam: ia menumbuhkan kesadaran bahwa kebenaran
adalah hasil interaksi antara individu dan komunitas ilmiah. Ibn Khaldūn dalam Muqaddimah
menegaskan bahwa perkembangan ilmu dan peradaban tidak mungkin terjadi tanpa
adanya “kesepakatan rasional” di antara para ulama terhadap
proposisi-proposisi dasar yang dianggap sahih.⁴ Dalam konteks ini, tashdīq
berfungsi sebagai sarana sosial untuk menjaga stabilitas dan kontinuitas
pengetahuan dalam peradaban Islam.
6.2.
Tashdīq dalam Tradisi Keilmuan dan Otoritas
Intelektual
Dalam sistem
pendidikan Islam klasik, tashdīq merupakan bagian integral
dari proses transmisi dan validasi ilmu. Di pesantren, madrasah, dan
universitas Islam awal seperti al-Qarawiyyīn dan al-Azhar, seorang murid tidak
dianggap memahami suatu ilmu sebelum ia mampu mengulang dan membenarkan (yuṣaddiq)
proposisi yang diajarkan gurunya.⁵ Ini menciptakan rantai epistemik (silsilah
‘ilmiyyah) yang menjamin kesinambungan otoritas ilmiah.
Al-Ghazālī dalam Iḥyā’
‘Ulūm al-Dīn menggambarkan otoritas ilmu sebagai amānah
‘aqliyyah yang harus dipelihara dengan kejujuran dan rasionalitas.⁶
Guru dan murid terikat dalam hubungan taṣdīq timbal balik: sang guru
memberikan penjelasan yang rasional, sementara murid membenarkannya berdasarkan
pemahaman kritis, bukan sekadar kepercayaan buta. Dengan demikian, tashdīq
menjadi fondasi etis bagi sistem pendidikan Islam, yang menggabungkan
rasionalitas, otoritas, dan tanggung jawab intelektual.
Tradisi ini juga
memperlihatkan bahwa tashdīq berperan dalam membangun
jaringan epistemik global di dunia Islam. Melalui aktivitas penyalinan,
komentari, dan syarah (penjelasan teks), para ulama berkontribusi terhadap
proses sosial tashdīq yang melampaui batas
geografis.⁷ Hal ini terlihat dalam penyebaran karya-karya logika Ibn Sīnā dan
al-Fārābī di Andalusia, Persia, dan Nusantara.⁸ Aktivitas tersebut tidak
sekadar memperluas pengetahuan, tetapi juga memperkokoh kesatuan epistemik umat
melalui konsensus rasional yang bersifat transkultural.
6.3.
Tashdīq dan Budaya Diskursus Rasional
Dimensi sosial tashdīq
juga tampak dalam pembentukan budaya dialog ilmiah (adab al-ḥiwār). Dalam sejarah
intelektual Islam, perdebatan antara mutakallimūn, fuqahā’, dan falāsifah
berlangsung dalam kerangka tashdīq rasional—yakni pembenaran
berdasarkan dalil dan argumentasi logis.⁹ Debat bukanlah ajang konflik, tetapi
medan klarifikasi terhadap kebenaran. Hal ini sejalan dengan prinsip al-ḥaqq
lā ya‘raf bi al-rijāl, wa innamā yu‘raf bi al-dalīl—kebenaran tidak
diukur dari siapa yang mengatakannya, tetapi dari argumentasinya.¹⁰
Menurut Ibn Rushd,
perbedaan pendapat dalam diskursus ilmiah adalah bagian dari dinamika tashdīq
sosial, di mana kebenaran semakin teruji melalui pertukaran rasional.¹¹ Dengan
demikian, tashdīq
berperan membentuk budaya ilmiah yang kritis, terbuka, dan dialogis. Ia menjadi
sarana untuk menghindari dua ekstrem: dogmatisme yang menutup rasio dan
relativisme yang meniadakan kebenaran objektif.¹²
Budaya tashdīq
ini juga melahirkan sistem penulisan dan verifikasi ilmiah yang ketat, seperti tahqīq
al-nuṣūṣ (verifikasi teks) dan ta‘qīq al-adillah (verifikasi
dalil).¹³ Keduanya menunjukkan bahwa pembenaran ilmiah bukan hanya soal
kesesuaian logis, tetapi juga integritas metodologis yang diakui secara
kolektif.
6.4.
Tashdīq dan Etika Intelektual dalam Masyarakat
Secara sosial, tashdīq
juga mengandung nilai etika intelektual yang memperkuat keadaban ilmiah (adab
al-‘ilm). Al-Rāzī menekankan bahwa seorang pencari ilmu (ṭālib
al-‘ilm) harus menundukkan hawa nafsu intelektualnya agar
pembenarannya terhadap suatu gagasan tidak dipengaruhi oleh bias pribadi.¹⁴
Etika ini melahirkan kebajikan rasional seperti kejujuran (ṣidq),
kerendahan hati (tawāḍu‘), dan kesabaran dalam
mencari dalil (ṣabr fī al-baḥth).
Sementara itu, Naṣīr
al-Dīn al-Ṭūsī dalam Akhlāq-i Nāṣirī menegaskan bahwa
aktivitas rasional yang tidak dibarengi tashdīq etis justru melahirkan “kecerdasan
yang menyesatkan.”¹⁵ Artinya, kemampuan logis tanpa tanggung jawab moral
akan menimbulkan kerusakan sosial dan epistemik. Dalam konteks modern, nilai
ini tetap relevan dalam menghadapi penyebaran misinformasi dan manipulasi
argumentasi di ruang publik digital. Tashdīq menjadi prinsip etis untuk
memastikan bahwa pengetahuan tidak disalahgunakan demi kepentingan ideologis
atau ekonomi.
6.5.
Relevansi Sosial Tashdīq dalam Era
Kontemporer
Dalam masyarakat
modern yang ditandai oleh pluralitas informasi, tashdīq memiliki fungsi sosial yang
vital sebagai mekanisme verifikasi pengetahuan. Dengan berkembangnya media
digital dan algoritma informasi, proses pembenaran kebenaran semakin kompleks
dan memerlukan etika rasional baru.¹⁶ Prinsip-prinsip tashdīq
seperti verifikasi, argumentasi, dan konsensus ilmiah dapat menjadi landasan
untuk membangun epistemic trust (kepercayaan
epistemik) di tengah derasnya arus disinformasi.¹⁷
Selain itu, tashdīq
dapat berperan dalam memperkuat budaya akademik yang kolaboratif dan terbuka.
Tradisi taṣdīq
jamā‘ī (pembenaran kolektif) yang diwariskan oleh para ulama klasik
dapat diadaptasi dalam konteks riset interdisipliner masa kini, di mana
kebenaran ilmiah ditentukan bukan oleh individu, tetapi oleh proses kolektif
yang transparan dan bertanggung jawab.¹⁸ Dengan demikian, tashdīq
bukan hanya konsep logika tradisional, melainkan prinsip epistemik universal
yang menegakkan kejujuran, rasionalitas, dan keadilan dalam kehidupan
intelektual umat manusia.¹⁹
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge:
Islamic Texts Society, 1998), 83.
[2]
Abdurrahman Badawi, La Logique d’Al-Fārābī (Paris: Vrin,
1961), 61.
[3]
Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah, ed. Fauzi Najjar
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1964), 25.
[4]
Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Abd al-Salām al-Shaddādī
(Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-‘Ulūm, 2005), 1:404.
[5]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 112.
[6]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 2:142.
[7]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London:
Routledge, 1998), 107.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.
[9]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 1983), 167.
[10]
Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr,
1988), 59.
[11]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George Hourani (Leiden: Brill,
1959), 42.
[12]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 115.
[13]
Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī
(Leiden: Brill, 2006), 23.
[14]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah,
ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 66.
[15]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens
(London: Allen & Unwin, 1964), 133.
[16]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 121.
[17]
Herman Tavani, Ethics and Technology: Controversies, Questions, and
Strategies for Ethical Computing (Hoboken: Wiley, 2016), 144.
[18]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 292.
[19]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 103.
7.
Kritik dan Klarifikasi Filosofis
Meskipun tashdīq
telah menjadi fondasi utama dalam epistemologi logika Islam, konsep ini tidak
luput dari berbagai kritik dan klarifikasi filosofis sepanjang sejarah
intelektual Islam maupun dalam perbandingannya dengan tradisi filsafat modern.
Kritik terhadap tashdīq umumnya muncul dari dua
arah: pertama, dari kalangan internal Islam yang mempertanyakan batas dan
fungsi rasionalitas logika formal; kedua, dari filsafat modern dan analitik
yang mengajukan problem bahasa, kesadaran, dan kontekstualitas proposisi.¹ Oleh
karena itu, memahami kritik terhadap tashdīq berarti juga membuka ruang
bagi pembaruan epistemologis yang menempatkan logika Islam dalam dialog kreatif
dengan tradisi filsafat kontemporer.
7.1.
Kritik Internal: Rasionalisme dan Reduksi
Formalitas
Salah satu kritik
utama terhadap konsep tashdīq datang dari para sufi dan
teolog yang menilai bahwa logika terlalu menekankan aspek formal kebenaran dan
mengabaikan dimensi maknawi serta intuisi spiritual. Al-Ghazālī, meskipun
membela logika sebagai alat berpikir, mengingatkan bahwa tashdīq
tidak selalu identik dengan kebenaran hakiki.² Ia menulis, “taṣdīq
al-‘aql lā yulzim al-ḥaqq fī nafsih”—pembenaran akal tidak selalu
menjamin kebenaran dalam dirinya sendiri.³ Dengan kata lain, kebenaran formal
proposisional harus ditopang oleh nūr al-bāṭin (cahaya batin) yang
berasal dari penyucian jiwa. Kritik ini menandai pergeseran dari rasionalisme
murni menuju epistemologi integratif antara akal dan qalb.
Ibn Taymiyyah
melanjutkan kritik ini dengan menyatakan bahwa logika Aristotelian, termasuk tashdīq,
sering kali bersifat spekulatif dan menjauh dari realitas konkret.⁴ Dalam ar-Radd
‘alā al-Manṭiqiyyīn, ia menegaskan bahwa validitas proposisi logis
tidak dapat dijamin tanpa dasar empiris dan tekstual.⁵ Kritik ini didasarkan
pada pandangan bahwa bahasa dan makna tidak sepenuhnya dapat direduksi ke dalam
bentuk proposisi logika yang universal, karena ia juga dipengaruhi oleh konteks
sosial dan agama. Oleh sebab itu, tashdīq perlu dibaca sebagai
aktivitas interpretatif yang tidak lepas dari horizon makna dan keyakinan.⁶
Meski demikian, para
logikawan seperti Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī dan al-Rāzī menanggapi kritik ini dengan
argumentasi bahwa tashdīq tidak meniadakan pengalaman
spiritual, tetapi justru melengkapinya dengan dasar rasional yang koheren.⁷
Mereka menegaskan bahwa logika tidak bertujuan menggantikan wahyu, melainkan
menjaga agar proses penalaran tidak jatuh ke dalam kekeliruan subjektif. Dalam
pengertian ini, tashdīq menjadi bentuk disiplin
intelektual yang menuntun manusia menuju kebenaran yang bersumber dari Tuhan,
bukan sekadar rasionalisme sekuler.⁸
7.2.
Klarifikasi Filosofis terhadap Status Ontologis
dan Linguistik Tashdīq
Secara filosofis,
perlu dibedakan antara tashdīq sebagai proses mental dan qaḍiyyah
sebagai bentuk linguistiknya.⁹ Ibn Sīnā telah menjelaskan bahwa tashdīq
adalah pengetahuan yang bersifat mental (‘ilm dhihnī), sedangkan qaḍiyyah
hanyalah ekspresi eksternal dari pengetahuan tersebut.¹⁰ Namun, dalam
perkembangan selanjutnya, terjadi kecenderungan untuk menyamakan keduanya, yang
menyebabkan reduksi makna tashdīq menjadi sekadar pernyataan
verbal.
Klarifikasi ini
penting karena menyentuh persoalan epistemik yang mendasar: apakah kebenaran
terletak dalam proposisi linguistik atau dalam pengetahuan internal subjek?
Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, kebenaran proposisional tidak dapat dilepaskan
dari struktur mental yang melahirkannya; tashdīq adalah kesesuaian antara
citra mental (ṣūrah dhihniyyah) dan realitas
eksternal (mawjūd
khārijī).¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, tashdīq
mengandung dimensi fenomenologis—yakni hubungan antara kesadaran dan realitas
yang dihayati—jauh sebelum istilah itu diformulasikan dalam filsafat Barat
modern.
Perdebatan ini
memperoleh resonansi baru ketika para filsuf analitik modern seperti Ludwig
Wittgenstein dan Alfred Tarski membahas teori kebenaran proposisional.¹²
Wittgenstein menegaskan bahwa makna proposisi tergantung pada penggunaannya
dalam konteks kehidupan (language games), bukan semata pada
struktur logisnya.¹³ Perspektif ini membuka ruang bagi reinterpretasi tashdīq
sebagai aktivitas yang tidak hanya rasional, tetapi juga pragmatis dan
komunikatif. Dalam konteks filsafat Islam, hal ini sejalan dengan prinsip ṣidq fī
al-qawl wa al-fi‘l—bahwa pembenaran tidak hanya diucapkan, tetapi
juga dihidupi dalam tindakan.
7.3.
Kritik Modern: Bahasa, Konteks, dan Pluralitas
Kebenaran
Kritik modern
terhadap tashdīq
berfokus pada persoalan bahasa dan pluralitas epistemik. Menurut filsuf
kontemporer seperti Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, logika tashdīq
klasik terlalu berorientasi pada bentuk dan mengabaikan dimensi kontekstual
makna.¹⁴ Ia menilai bahwa sistem logika Islam pasca-Ibn Sīnā cenderung stagnan
karena lebih memprioritaskan formalisme ketimbang produktivitas rasional.¹⁵
Dalam Naqd
al-‘Aql al-‘Arabī, al-Jābirī menyerukan rekonstruksi logika tashdīq
agar lebih terbuka terhadap epistemologi empiris dan kritis.¹⁶
Kritik serupa muncul
dari filsafat hermeneutika modern, yang menyoroti keterbatasan proposisi dalam
menangkap kompleksitas pengalaman manusia. Hans-Georg Gadamer berpendapat bahwa
kebenaran tidak dapat direduksi pada struktur logika, karena ia juga terbentuk
dalam dialog dan sejarah pemahaman.¹⁷ Dengan demikian, tashdīq
perlu ditafsirkan ulang sebagai pembenaran hermeneutik, yakni
proses saling memahami yang berakar pada keterlibatan eksistensial antara
subjek dan dunia.¹⁸
Namun,
reinterpretasi ini tidak meniadakan nilai rasional tashdīq, melainkan memperluasnya.
Logika Islam dapat diperkaya dengan pendekatan pragmatik dan dialogis, sehingga
tashdīq
tidak hanya menjadi mekanisme inferensi, tetapi juga sarana komunikasi
kebenaran antar-subjek. Dalam konteks kontemporer, hal ini relevan untuk
menghadapi krisis kepercayaan epistemik dan fragmentasi wacana di era
digital.¹⁹
7.4.
Upaya Rekonstruksi dan Integrasi Filsafat
Klasik–Modern
Klarifikasi filosofis
terhadap tashdīq
mendorong munculnya upaya rekonstruksi epistemologi Islam modern. Beberapa
sarjana kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr, Mehdi Ha’iri Yazdi, dan
Muhammad Naquib al-Attas berusaha mengintegrasikan dimensi rasional, spiritual,
dan etis dalam memahami tashdīq.²⁰ Bagi mereka, kebenaran
dalam Islam bersifat integral (tawḥīdī): ia mencakup kesesuaian
logis, kebenaran eksistensial, dan moralitas pengetahuan.²¹
Mehdi Ha’iri Yazdi,
dalam The
Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, menyebut tashdīq
sebagai “knowledge by correspondence and presence”—yakni bentuk
pengetahuan yang menggabungkan kesesuaian proposisional dengan kesadaran
langsung terhadap realitas.²² Dalam pandangan ini, tashdīq menjadi jembatan antara
pengetahuan rasional (‘ilm ḥuṣūlī) dan pengetahuan
kehadiran (‘ilm ḥuḍūrī).
Rekonstruksi ini memungkinkan logika Islam tetap relevan dalam percakapan
epistemologi global tanpa kehilangan akar spiritualnya.
Akhirnya, kritik dan
klarifikasi filosofis terhadap tashdīq menunjukkan bahwa konsep
ini bukan sistem tertutup, melainkan struktur rasional yang terbuka terhadap
pembaruan. Ia dapat ditafsirkan ulang dalam kerangka filsafat modern tanpa
kehilangan jati diri metafisisnya. Tashdīq tetap menjadi simbol
keterpaduan antara akal dan iman, antara rasionalitas dan kearifan, yang terus
menuntun manusia dalam pencarian kebenaran yang utuh dan manusiawi.²³
Footnotes
[1]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 118.
[2]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 35.
[3]
Ibid., 36.
[4]
Ibn Taymiyyah, ar-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed. ‘Abd al-Raḥmān
Badawī (Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1949), 42.
[5]
Ibid., 44.
[6]
Wael Hallaq, Greek Logicians and Islamic Thinkers: The Transmission
of Logic into Arabic (Leiden: Brill, 1985), 93.
[7]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah,
ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 70.
[8]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās fī al-Manṭiq (Tehran:
Dānishgāh Tehran, 1970), 41.
[9]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 34.
[10]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 40.
[11]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Sharḥ al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. A.
Nūrānī (Tehran: Dānishgāh Tehran, 1980), 52.
[12]
Alfred Tarski, Logic, Semantics, and Metamathematics (Oxford:
Oxford University Press, 1956), 152.
[13]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1958), §23.
[14]
Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Naqd al-‘Aql al-‘Arabī: al-‘Aql al-Bayānī
(Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, 1990), 82.
[15]
Ibid., 84.
[16]
Ibid., 90.
[17]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 290.
[18]
Ibid., 296.
[19]
Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy
as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 64.
[20]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 21.
[21]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 75.
[22]
Yazdi, The Principles of Epistemology, 32.
[23]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San
Francisco: Harper, 2002), 109.
8.
Relevansi Kontemporer
Dalam konteks
peradaban modern yang ditandai oleh revolusi informasi, kecerdasan buatan, dan
pluralitas epistemik, konsep tashdīq memperoleh relevansi baru
sebagai prinsip dasar dalam membangun rasionalitas yang kritis, etis, dan
humanistik. Ia tidak lagi hanya menjadi bagian dari kerangka logika klasik
Islam, melainkan menjadi paradigma epistemologis yang dapat menuntun manusia
menghadapi tantangan verifikasi kebenaran di era digital.¹ Dengan kata lain, tashdīq
dapat direvitalisasi sebagai fondasi berpikir ilmiah dan moral yang menuntun
manusia menilai klaim kebenaran dalam dunia yang semakin kompleks dan relatif.
8.1.
Tashdīq dan Krisis Kebenaran di Era Informasi
Perkembangan teknologi
informasi telah melahirkan fenomena yang disebut “krisis kebenaran” (post-truth),
di mana opini subjektif seringkali menggantikan fakta objektif.² Dalam situasi
ini, prinsip-prinsip tashdīq menjadi sangat penting,
karena ia menuntut adanya pembenaran rasional sebelum menerima suatu proposisi
sebagai benar. Dalam tradisi logika Islam, tashdīq selalu melibatkan dua
syarat epistemik: korespondensi dengan realitas dan koherensi dengan
rasionalitas.³
Relevansi tashdīq
terletak pada kemampuannya untuk menumbuhkan budaya verifikasi (taḥqīq)
di tengah masyarakat digital.⁴ Setiap informasi harus melalui proses pembenaran
berdasarkan bukti, bukan sekadar berdasarkan otoritas atau kesesuaian dengan
emosi massa. Dengan demikian, tashdīq dapat menjadi dasar etika
digital yang menekankan kejujuran intelektual (ṣidq al-ma‘rifah) dan tanggung
jawab dalam penyebaran pengetahuan.⁵
Hal ini sejalan
dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr yang menyatakan bahwa krisis modernitas
bermula dari kehilangan pandangan integral terhadap kebenaran.⁶ Tashdīq,
dalam kerangka ini, berfungsi sebagai proses pemulihan epistemik yang
mengembalikan keterhubungan antara akal, moralitas, dan realitas spiritual.
8.2.
Tashdīq sebagai Prinsip Epistemologi Ilmiah
Dalam bidang ilmu
pengetahuan modern, tashdīq dapat dipahami sebagai
prinsip rasional yang mengatur validitas hipotesis ilmiah. Struktur pembenaran
ilmiah selalu mengikuti pola yang mirip dengan qiyās manṭiqī (silogisme logis):
observasi → hipotesis → verifikasi → konfirmasi.⁷ Proses ini sejalan dengan
mekanisme tashdīq
yang menuntut hubungan logis antara premis dan kesimpulan yang dapat diuji.
Ibn Sīnā dalam al-Shifā’
telah menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah harus bersifat yaqīnī
(pasti) melalui pembenaran demonstratif (burhānī).⁸ Prinsip ini masih
relevan dalam metodologi ilmiah modern yang menekankan pentingnya pembuktian
empiris dan deduksi logis. Dengan demikian, tashdīq dapat dipandang sebagai
bentuk rasionalitas universal yang menjembatani antara sains modern dan
filsafat Islam klasik.
Selain itu, dalam
konteks interdisipliner, tashdīq juga memiliki nilai
aksiologis karena ia mengintegrasikan dimensi moral ke dalam proses ilmiah.
Pengetahuan yang benar, dalam kerangka tashdīq, bukan hanya yang dapat
dibuktikan secara empiris, tetapi juga yang tidak melanggar prinsip etika dan
kemaslahatan manusia.⁹
8.3.
Tashdīq dan Kecerdasan Buatan (AI): Logika, Etika, dan
Otonomi Akal
Kemunculan
kecerdasan buatan menghadirkan pertanyaan epistemologis baru: apakah mesin
dapat melakukan tashdīq? Secara teknis, AI dapat
mengolah data dan menghasilkan proposisi logis, tetapi ia tidak memiliki
kesadaran (shu‘ūr)
dan keyakinan (i‘tiqād), dua elemen yang menjadi
esensi tashdīq
menurut Ibn Sīnā.¹⁰ Dengan demikian, tashdīq tidak hanya merupakan
aktivitas kognitif, tetapi juga eksistensial yang melibatkan subjek rasional
yang sadar terhadap makna kebenaran.¹¹
Namun demikian,
prinsip-prinsip tashdīq tetap dapat diaplikasikan
dalam desain sistem AI, terutama dalam pengembangan etika algoritma.⁽¹²⁾
Nilai-nilai seperti konsistensi logis, transparansi, dan verifikasi empiris
merupakan penerapan kontemporer dari logika tashdīq. Dengan menerapkan prinsip
tersebut, teknologi dapat diarahkan bukan sekadar untuk efisiensi, tetapi juga
untuk kebenaran dan keadilan epistemik (‘adl ma‘rifī).¹³
Lebih jauh, tashdīq
menawarkan kritik filosofis terhadap otonomi akal buatan yang terlepas dari
dimensi moral. Dalam epistemologi Islam, akal tidak bebas nilai, tetapi terikat
oleh tanggung jawab terhadap kebenaran yang hakiki.¹⁴ Maka, tashdīq
menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi harus diiringi dengan kedewasaan
etis dan kesadaran metafisik.
8.4.
Tashdīq dan Dialog Pengetahuan Global
Di tengah
meningkatnya dialog antartradisi filsafat dan ilmu pengetahuan, tashdīq
dapat berperan sebagai jembatan epistemologis antara dunia Islam dan Barat.
Prinsip pembenaran rasional yang terkandung dalam tashdīq sejalan dengan semangat
verifikasi ilmiah dalam tradisi empiris, namun tetap mempertahankan dimensi
moral dan teologis yang khas.¹⁵
Hal ini membuka
peluang bagi integrasi epistemologi Islam dengan filsafat ilmu modern,
sebagaimana diupayakan oleh pemikir seperti Ziauddin Sardar dan Osman Bakar.¹⁶
Mereka melihat bahwa kebangkitan ilmu dalam Islam masa depan hanya dapat
terjadi bila tradisi logika Islam seperti tashdīq dibaca ulang dalam konteks
global yang pluralistik. Tashdīq dapat menjadi dasar bagi
model “rasionalitas terbuka” (open rationality), yakni
rasionalitas yang menghargai pluralitas sumber kebenaran tanpa kehilangan
orientasi metafisiknya.¹⁷
Dalam wacana
filsafat ilmu kontemporer, pendekatan ini sejalan dengan gagasan “integrative
epistemology” yang menolak dikotomi antara sains dan spiritualitas.¹⁸
Dengan demikian, tashdīq memiliki potensi untuk
menjadi paradigma lintas budaya yang mengembalikan harmoni antara akal, nilai,
dan iman dalam pembangunan pengetahuan manusia.
8.5.
Tashdīq dan Reaktualisasi Etika Intelektual
Akhirnya, relevansi tashdīq
dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya membentuk etika
intelektual yang bertanggung jawab. Dalam era polarisasi opini dan manipulasi
informasi, tashdīq
menegaskan pentingnya integritas berpikir—menolak pembenaran tanpa bukti,
sekaligus menolak skeptisisme ekstrem yang meniadakan kebenaran.¹⁹
Etika tashdīq
mengajarkan bahwa berpikir adalah tindakan moral. Menetapkan sesuatu sebagai
benar berarti memikul tanggung jawab terhadap dampak sosial dan spiritual dari
kebenaran itu.²⁰ Dengan demikian, tashdīq dapat menjadi basis bagi
pendidikan kritis yang menumbuhkan sikap rasional, dialogis, dan
humanistik—sebuah kebutuhan mendesak di tengah tantangan peradaban digital yang
rawan terhadap penyimpangan makna dan kebenaran.
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge:
Islamic Texts Society, 1998), 91.
[2]
Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in
Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 23.
[3]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 33.
[4]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 35.
[5]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 123.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 78.
[7]
Nicholas Rescher, Scientific Progress: A Philosophical Essay on the
Economics of Research in Natural Science (Oxford: Blackwell, 1978), 52.
[8]
Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī
(Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 121.
[9]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 66.
[10]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 42.
[11]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 27.
[12]
Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy
as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 82.
[13]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 133.
[14]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens
(London: Allen & Unwin, 1964), 138.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1968), 102.
[16]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 114.
[17]
Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the
Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 281.
[18]
Fritjof Capra, The Systems View of Life: A Unifying Vision
(Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 201.
[19]
Habermas, Jürgen, Truth and Justification, trans. Barbara
Fultner (Cambridge: MIT Press, 2003), 89.
[20]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 112.
9.
Sintesis Filosofis
Konsep tashdīq
dalam Ilmu Manṭiq merupakan simpul integratif yang menghubungkan tiga poros
utama filsafat pengetahuan: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ia bukan
sekadar terminologi teknis dalam logika formal, melainkan struktur rasional
yang mengekspresikan dinamika hubungan antara akal, realitas, dan kebenaran.¹
Melalui tashdīq,
manusia tidak hanya memahami dunia secara konseptual (tashawwur),
tetapi juga menilai dan meneguhkan kebenaran secara normatif dan eksistensial.²
Dengan demikian, tashdīq berfungsi sebagai mekanisme
epistemik yang menjembatani antara dimensi teoritis pengetahuan dan tanggung
jawab moral terhadap kebenaran.
9.1.
Integrasi Ontologis: Kebenaran sebagai Relasi
Wujud
Secara ontologis, tashdīq
menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah entitas abstrak yang berdiri sendiri,
melainkan relasi antara pikiran dan wujud (nisbah bayn al-‘aql wa al-wujūd).³
Ibn Sīnā menegaskan bahwa setiap proposisi yang benar merepresentasikan wujūd muṭābiq
li al-fikr—yakni kesesuaian antara eksistensi dan pemikiran.⁴
Dengan demikian, hakikat tashdīq adalah proses penyatuan
intelektual antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Al-Fārābī
bahkan menyebutnya sebagai “ittiṣāl al-‘aql bi al-ma‘qūl”—keterhubungan
akal dengan makna realitas.⁵
Dari sudut pandang
ini, tashdīq
merefleksikan pandangan dunia Islam yang menolak dualisme antara pikiran dan
realitas. Relasi taṣdīqī menegaskan bahwa
pengetahuan selalu berakar pada al-ḥaqq, sumber kebenaran mutlak.
Oleh karena itu, struktur ontologis tashdīq sekaligus bersifat
teologis: setiap penetapan rasional yang benar adalah partisipasi akal manusia
terhadap cahaya kebenaran Ilahi.⁶ Dengan demikian, kebenaran tidak semata-mata
logis, tetapi juga ontologis dan transendental.
9.2.
Integrasi Epistemologis: Rasionalitas dan
Pembenaran Ilmiah
Epistemologi tashdīq
menegaskan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui proses penetapan yang
rasional, sistematis, dan terbuka terhadap verifikasi. Dalam hal ini, tashdīq
menghubungkan dua aspek yang sering dipisahkan dalam tradisi modern:
objektivitas dan keyakinan. Ibn Sīnā membedakan antara taṣawwur
sebagai pemahaman tanpa penilaian dan tashdīq sebagai pengetahuan yang
disertai jazm
(keteguhan hati terhadap kebenaran).⁷
Integrasi
epistemologis ini memperlihatkan bahwa dalam Islam, rasionalitas tidak terlepas
dari nilai-nilai moral dan spiritual. Proses pembenaran (taṣdīq)
selalu disertai kesadaran etis bahwa setiap keputusan intelektual memiliki
implikasi moral.⁸ Hal ini menegaskan perbedaan mendasar antara rationalism
Barat yang netral-nilai dengan rasionalitas Islam yang berorientasi pada
kebenaran integral. Dalam kerangka ini, tashdīq menjadi metode berpikir
yang menuntun ilmuwan dan filsuf untuk menyeimbangkan antara bukti empiris dan
kejujuran batin.⁹
Dengan demikian, tashdīq
dapat dipandang sebagai bentuk epistemologi integratif (epistemologia
al-tawḥīdiyyah) yang memadukan deduksi logis (qiyās),
pengalaman empiris (ḥiss), dan intuisi intelektual (ḥads).¹⁰
Ia menolak reduksionisme—baik yang mengagungkan rasio tanpa nilai maupun
mistisisme tanpa verifikasi rasional.
9.3.
Integrasi Aksiologis: Kebenaran, Etika, dan
Tanggung Jawab
Aksiologi tashdīq
mengajarkan bahwa kebenaran selalu berkonsekuensi etis. Menetapkan sesuatu
sebagai benar berarti menanggung tanggung jawab moral terhadap akibat penetapan
itu.¹¹ Dalam konteks ini, tashdīq bukan hanya tindakan
intelektual, tetapi juga tindakan etis. Al-Ghazālī menulis bahwa “taṣdīq
al-‘aql lā yakmulu illā bi taṣdīq al-qalb”—pembenaran akal tidak
sempurna tanpa pembenaran hati.¹²
Konsep ini
menunjukkan bahwa berpikir secara logis tidak dapat dipisahkan dari integritas
spiritual. Dalam tradisi logika Islam, kebenaran tidak cukup diverifikasi, tetapi
juga harus dihayati sebagai nilai hidup.¹³ Oleh karena itu, tashdīq
menjadi fondasi bagi etika berpikir ilmiah: ia menuntut kejujuran dalam
penelitian, keterbukaan terhadap kritik, dan tanggung jawab terhadap implikasi
sosial dari pengetahuan.¹⁴
Dengan demikian, tashdīq
berfungsi sebagai prinsip aksiologis yang memastikan bahwa pengetahuan selalu
berorientasi pada kemaslahatan (al-khayr) dan keadilan epistemik (al-‘adl
al-ma‘rifī).¹⁵ Dalam hal ini, ia berperan bukan hanya sebagai norma
berpikir ilmiah, tetapi juga sebagai pedoman moral bagi kehidupan intelektual.
9.4.
Integrasi Sosial-Intelektual: Rasionalitas
Komunikatif dan Kebenaran Kolektif
Dari dimensi sosial,
tashdīq
menegaskan bahwa kebenaran tidak lahir dalam kesendirian, tetapi dalam dialog
rasional yang terbuka.¹⁶ Sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas,
kebenaran yang otentik harus dapat dipertanggungjawabkan secara intersubjektif
melalui komunikasi bebas paksaan.¹⁷ Dalam konteks Islam, prinsip ini sejalan
dengan tradisi shūrā dan ijmā‘,
di mana kebenaran ilmiah atau hukum dibangun atas dasar konsensus argumentatif
(taṣdīq
jamā‘ī).¹⁸
Oleh karena itu, tashdīq
memiliki makna sosial: ia adalah bentuk kesaksian intelektual yang memelihara
keadilan rasional di masyarakat.¹⁹ Dalam dunia akademik kontemporer, prinsip tashdīq
dapat diterjemahkan sebagai etika dialog ilmiah yang menolak otoritarianisme
kognitif dan mendorong kolaborasi lintas budaya serta disiplin ilmu.²⁰
Dengan demikian, tashdīq
menjadi landasan bagi “etika diskursus Islam,” yang menjembatani antara
tradisi rasionalitas klasik dan komunikasi kritis modern. Ia mengajarkan bahwa
kebenaran bukan hanya apa yang diyakini individu, tetapi apa yang dapat
dibenarkan bersama melalui argumentasi yang jujur dan terbuka.
9.5.
Tashdīq sebagai Paradigma Humanistik-Integral
Secara filosofis,
sintesis dari seluruh dimensi tashdīq menghasilkan paradigma
pengetahuan yang humanistik dan integral. Tashdīq menempatkan manusia sebagai
subjek rasional sekaligus makhluk moral yang bertanggung jawab terhadap
kebenaran.²¹ Dalam kerangka ini, rasionalitas tidak menjadi alat dominasi,
tetapi sarana pengabdian terhadap nilai-nilai Ilahi dan kemanusiaan.²²
Paradigma tashdīq
juga menolak dikotomi antara sains dan agama, antara fakta dan nilai, antara
rasio dan wahyu. Ia mengajarkan bahwa semua bentuk pengetahuan sejati berakar
pada satu sumber kebenaran (al-ḥaqq al-wāḥid).²³ Oleh karena
itu, sintesis filosofis tashdīq menegaskan kembali semangat
tawḥīd
dalam epistemologi: menyatukan kebenaran logis, moral, dan spiritual dalam satu
kesatuan rasionalitas yang integral.
Dengan demikian, tashdīq
bukan hanya konsep logika, tetapi prinsip universal bagi kebangkitan
intelektual Islam dan pembaruan rasionalitas manusia secara global.²⁴ Ia
menawarkan jalan tengah antara empirisme yang kering dan spiritualisme yang
kabur—sebuah paradigma berpikir yang kritis, etis, dan berorientasi pada
kemanusiaan universal.
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge:
Islamic Texts Society, 1998), 93.
[2]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 31.
[3]
Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Muḥammad Taqī Dānishpazhūh (Tehran:
Dānishgāh Tehran, 1985), 177.
[4]
Ibid., 178.
[5]
Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 37.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 79.
[7]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 43.
[8]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir (Cairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1957), 2:146.
[9]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 27.
[10]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 36.
[11]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens
(London: Allen & Unwin, 1964), 135.
[12]
Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr,
1988), 62.
[13]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 114.
[14]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 68.
[15]
Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah, ed. Fauzi Najjar (Beirut:
Dār al-Mashriq, 1964), 33.
[16]
Habermas, Jürgen, The Theory of Communicative Action, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 88.
[17]
Ibid., 93.
[18]
Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Abd al-Salām al-Shaddādī
(Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-‘Ulūm, 2005), 1:412.
[19]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York:
Columbia University Press, 1983), 175.
[20]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 291.
[21]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Oxford: Oxford University Press, 1934), 74.
[22]
Mehdi Ha’iri Yazdi, Knowledge by Presence, 41.
[23]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 83.
[24]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 97.
10.
Kesimpulan
Konsep tashdīq
menempati posisi kunci dalam sistem epistemologi Islam karena ia menghubungkan
antara proses rasional, struktur realitas, dan nilai-nilai etika pengetahuan.¹
Sebagai bentuk penetapan dan pembenaran, tashdīq bukan sekadar aktivitas
logis yang bersifat formal, melainkan juga peristiwa epistemik dan eksistensial
yang menegaskan hubungan manusia dengan kebenaran (al-ḥaqq). Dalam konteks Ilmu Manṭiq,
tashdīq
menjadi puncak dari proses berpikir rasional setelah tashawwur,
sebab pada tahap inilah akal mengaktualkan kemampuannya untuk menilai dan
menetapkan sesuatu sebagai benar atau salah.²
Secara ontologis, tashdīq
menegaskan bahwa kebenaran adalah relasi antara pikiran dan realitas; ia tidak
berdiri di luar akal, tetapi juga tidak sepenuhnya diciptakan oleh akal.³
Relasi ini bersifat partisipatif, di mana manusia mengambil bagian dalam
tatanan kebenaran yang lebih tinggi dan objektif. Dengan demikian, tashdīq
menjadi titik temu antara epistemologi manusia dan metafisika ketuhanan—antara
rasionalitas empiris dan kesadaran spiritual.⁴
Dari sisi
epistemologis, tashdīq merepresentasikan logika
pembenaran yang melibatkan interaksi harmonis antara pengalaman, akal, dan
intuisi intelektual (ḥads).⁵ Dalam kerangka ini, akal
berfungsi bukan hanya sebagai alat inferensi, tetapi juga sebagai wahana untuk
mencapai kepastian rasional (yaqīn). Hal ini membedakan logika
Islam dari rasionalisme Barat modern yang cenderung memisahkan kebenaran dari
nilai. Sebaliknya, epistemologi Islam melalui tashdīq menegaskan bahwa kebenaran
sejati selalu menyatu dengan kebaikan dan keadilan.⁶
Secara aksiologis, tashdīq
memuat nilai-nilai moral yang mendasari etika berpikir. Ia menuntut kejujuran,
tanggung jawab, dan integritas intelektual. Menetapkan sesuatu sebagai benar
bukanlah tindakan netral, tetapi sebuah komitmen moral terhadap realitas.⁷
Karena itu, tashdīq adalah bentuk amānah
‘ilmiyyah—tanggung jawab epistemik yang menuntun manusia untuk
berpikir dengan disiplin, adil, dan terbuka terhadap koreksi.⁸ Dalam konteks
sosial-intelektual, tashdīq berfungsi menjaga
rasionalitas kolektif, membentuk budaya ilmiah yang berbasis argumentasi, dan
memperkuat dialog antartradisi pengetahuan.⁹
Secara filosofis,
keseluruhan dimensi tashdīq memperlihatkan bahwa logika
Islam bersifat integral dan humanistik. Ia menghubungkan akal dengan hati, ilmu
dengan etika, dan pengetahuan dengan tindakan. Dalam dunia modern yang
mengalami krisis kebenaran dan polarisasi makna, prinsip tashdīq
menawarkan paradigma alternatif yang menegaskan pentingnya verifikasi rasional
dan tanggung jawab moral sekaligus.¹⁰ Dengan demikian, tashdīq
dapat dipahami sebagai fondasi bagi kebangkitan epistemologi Islam yang
dialogis, etis, dan transformatif—sebuah rasionalitas yang bukan hanya berpikir
tentang kebenaran, tetapi juga hidup di dalamnya.¹¹
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge:
Islamic Texts Society, 1998), 97.
[2]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār
al-Mashriq, 1968), 53.
[3]
Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā
(Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 39.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 81.
[5]
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic
Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 35.
[6]
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 33.
[7]
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens
(London: Allen & Unwin, 1964), 137.
[8]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir (Cairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1957), 2:149.
[9]
Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Abd al-Salām al-Shaddādī
(Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-‘Ulūm, 2005), 1:404.
[10]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 294.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 114.
Daftar Pustaka
Abharī, A. al-D. (1996). Isāghūjī fī al-Manṭiq
(ʿA. al-Ṣaghīr, Ed.). Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah.
Adamson, P. (2002). The Arabic Plotinus: A
Philosophical Study of the Theology of Aristotle. London: Duckworth.
Aristotle. (1931). De Interpretatione (E. M.
Edghill, Trans.). In W. D. Ross (Ed.), The Works of Aristotle. Oxford:
Clarendon Press.
Aristotle. (1938). Prior Analytics (A. J.
Jenkinson, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Badawi, A. (1961). La Logique d’Al-Fārābī.
Paris: Vrin.
Bakar, O. (1991). Tawhid and Science: Essays on
the History and Philosophy of Islamic Science. Kuala Lumpur: ISTAC.
Bakar, O. (1998). Classification of Knowledge in
Islam. Cambridge: Islamic Texts Society.
Barnes, J. (1975). Aristotle: Posterior
Analytics. Oxford: Clarendon Press.
Capra, F. (2014). The Systems View of Life: A
Unifying Vision. Cambridge: Cambridge University Press.
Corbin, H. (1960). Avicenna and the Visionary
Recital. Princeton: Princeton University Press.
Fakhry, M. (1983). A History of Islamic
Philosophy. New York: Columbia University Press.
Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information.
Oxford: Oxford University Press.
Floridi, L. (2019). The Logic of Information: A
Theory of Philosophy as Conceptual Design. Oxford: Oxford University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J.
Weinsheimer & D. Marshall, Trans.). London: Continuum.
Ghazālī, A. H. al-. (1904). al-Mustaṣfā min ʿIlm
al-Uṣūl. Cairo: al-Maṭbaʿah al-Amīriyyah.
Ghazālī, A. H. al-. (1957). Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn
(Ḥ. Nāṣir, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.
Ghazālī, A. H. al-. (1988). al-Munqidh min
al-Ḍalāl. Beirut: Dār al-Fikr.
Ghazālī, A. H. al-. (1990). Miʿyār al-ʿIlm.
Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries). London: Routledge.
Ha’iri Yazdi, M. (1992). The Principles of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Albany: SUNY
Press.
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative
Action (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (2003). Truth and Justification
(B. Fultner, Trans.). Cambridge: MIT Press.
Hallaq, W. (1985). Greek Logicians and Islamic
Thinkers: The Transmission of Logic into Arabic. Leiden: Brill.
Iqbal, M. (1934). The Reconstruction of
Religious Thought in Islam. Oxford: Oxford University Press.
Izutsu, T. (1971). The Concept and Reality of
Existence. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.
Jābirī, M. ʿĀ. al-. (1990). Naqd al-ʿAql
al-ʿArabī: al-ʿAql al-Bayānī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah
al-ʿArabiyyah.
Keyes, R. (2004). The Post-Truth Era: Dishonesty
and Deception in Contemporary Life. New York: St. Martin’s Press.
Khaldūn, I. (2005). al-Muqaddimah (ʿA.
al-Shaddādī, Ed.). Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-ʿUlūm.
Kindī, A. al-. (1950). Rasāʾil al-Kindī
al-Falsafiyyah (M. A. H. Abū Rīdah, Ed.). Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī.
Leaman, O. (2001). An Introduction to Classical
Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in
Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
Albany: SUNY Press.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity. San Francisco: Harper.
Peters, F. E. (1968). Aristoteles Arabus: The
Oriental Translations and Commentaries on the Aristotelian Corpus. Leiden:
Brill.
Rāzī, F. al-D. (1999). al-Mulakhkhaṣ fī
al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (A. Ḥ. al-Saqqā, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub
al-ʿIlmiyyah.
Rāzī, F. al-D. (1980). Sharḥ al-Ishārāt wa
al-Tanbīhāt (A. Nūrānī, Ed.). Tehran: Dānishgāh Tehran.
Rescher, N. (1963). Studies in the History of
Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.
Rushd, I. (1938). Talkhīṣ al-Burhān (M.
Bouyges, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.
Rushd, I. (1959). Fasl al-Maqāl (G. Hourani,
Ed.). Leiden: Brill.
Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of
Ideas to Come. London: Mansell.
Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The
Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford: Oxford
University Press.
Shihadeh, A. (2006). The Teleological Ethics of
Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Leiden: Brill.
Sorabji, R. (1980). Necessity, Cause, and Blame.
Ithaca: Cornell University Press.
Tarski, A. (1956). Logic, Semantics, and
Metamathematics. Oxford: Oxford University Press.
Ṭūsī, N. al-D. (1964). Akhlāq-i Nāṣirī (G.
M. Wickens, Trans.). London: Allen & Unwin.
Ṭūsī, N. al-D. (1970). Asās al-Iqtibās fī
al-Manṭiq. Tehran: Dānishgāh Tehran.
Vallor, S. (2016). Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting. Oxford: Oxford University
Press.
Wittgenstein, L. (1958). Philosophical
Investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar