Kamis, 06 November 2025

Tashdiq (Penetapan atau Pembenaran): Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis dalam Ilmu Manṭiq

Tashdiq (Penetapan atau Pembenaran)

Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis dalam Ilmu Manṭiq


Alihkan ke: Ilmu Mantiq.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep tashdīq (penetapan atau pembenaran) sebagai salah satu kategori pengetahuan fundamental dalam Ilmu Manṭiq Islam. Sebagai kelanjutan dari tashawwur (pemahaman konseptual), tashdīq dipahami bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga tindakan epistemik yang menentukan validitas pengetahuan melalui hubungan antara akal dan realitas. Kajian ini menelusuri tashdīq dari empat dimensi utama: ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial-intelektual. Secara ontologis, tashdīq berfungsi sebagai relasi antara pikiran dan wujud (nisbah bayn al-ʿaql wa al-wujūd), menegaskan bahwa kebenaran bersifat korespondensial dan partisipatif terhadap realitas objektif. Dari sisi epistemologi, tashdīq menggambarkan proses pembenaran yang melibatkan rasio, pengalaman, dan intuisi intelektual, yang berpuncak pada kepastian (yaqīn). Secara aksiologis, ia memuat nilai moral berupa tanggung jawab, kejujuran, dan integritas ilmiah yang menjadi dasar etika berpikir. Adapun secara sosial, tashdīq berfungsi membangun rasionalitas kolektif dan budaya dialog yang adil dalam ruang publik keilmuan Islam. Artikel ini juga mengkaji kritik dan klarifikasi filosofis terhadap tashdīq, baik dari kalangan internal (seperti al-Ghazālī dan Ibn Taymiyyah) maupun perspektif modern (seperti al-Jābirī dan Gadamer), sekaligus menyoroti relevansi kontemporernya dalam menghadapi krisis kebenaran di era digital. Melalui sintesis filosofis, penelitian ini menegaskan bahwa tashdīq bukan hanya kerangka logika klasik, melainkan paradigma epistemologis yang integral, etis, dan humanistik—sebuah model rasionalitas yang menyatukan akal, moral, dan spiritualitas dalam pencarian kebenaran yang utuh.

Kata Kunci: Tashdīq, Ilmu Manṭiq, epistemologi Islam, kebenaran, pembenaran rasional, ontologi pengetahuan, etika berpikir, integrasi ilmu, rasionalitas humanistik.


PEMBAHASAN

Tashdīq (Penetapan dan Pembenaran) dalam Ilmu Manṭiq


1.           Pendahuluan

Dalam tradisi keilmuan Islam, ‘Ilm al-Manṭiq (Ilmu Mantiq) dipandang sebagai alat nalar (ālah al-fikr) yang berfungsi menjaga akal dari kesalahan berpikir (maḥfūẓ ‘an al-khaṭa’ fī al-fikr).¹ Logika ini tidak hanya menata cara berpikir agar selaras dengan hukum-hukum akal, tetapi juga menuntun manusia menuju kebenaran yang terukur, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu pilar utama dalam struktur Ilmu Mantiq adalah pembagian pengetahuan menjadi dua kategori: tashawwur (pemahaman konseptual) dan tashdīq (penetapan atau pembenaran).² Kedua kategori ini merupakan fondasi epistemik yang memungkinkan manusia membedakan antara mengetahui sesuatu sebagai konsep dan menetapkan sesuatu sebagai benar atau salah dalam bentuk proposisi.

Secara terminologis, tashdīq dapat diartikan sebagai penetapan hubungan antara dua pengertian dalam bentuk afirmasi (ījāb) atau negasi (salb).³ Dengan demikian, tashdīq adalah aktivitas intelektual yang mengandung dimensi penilaian terhadap suatu proposisi, yakni apakah ia sesuai dengan realitas (benar) atau bertentangan dengannya (salah). Dalam hal ini, tashdīq bukan sekadar menyusun konsep, melainkan juga mengafirmasi atau menolak hubungan antara subjek (mawḍū‘) dan predikat (maḥmūl). Ibn Sīnā dalam al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt menegaskan bahwa tashdīq adalah “ilmu tentang keberadaan nisbah antara dua makna” yang berimplikasi pada kebenaran atau kesalahan proposisi.⁴

Dalam sistem berpikir logis, tashdīq menempati posisi yang lebih kompleks dibanding tashawwur, karena ia merupakan basis dari seluruh bentuk argumentasi (qiyās).⁵ Setiap silogisme logis dibangun dari proposisi-proposisi yang telah ditetapkan melalui tashdīq, sehingga kebenaran hasil penalaran bergantung pada validitas penetapan yang mendasarinya. Oleh karena itu, memahami tashdīq tidak hanya penting bagi logikawan, tetapi juga bagi para teolog, filsuf, dan ilmuwan yang menuntut dasar pembenaran rasional bagi setiap klaim pengetahuan.

Dari sisi historis, konsep tashdīq dalam logika Islam berakar pada tradisi filsafat Yunani, khususnya dalam logika Aristoteles yang membedakan antara noēsis (pemahaman) dan apophansis (pernyataan).⁶ Para logikawan Muslim seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā mengadaptasi konsep ini ke dalam kerangka epistemologi Islam dengan memberikan dimensi metafisis dan etis yang khas.⁷ Al-Fārābī dalam Kitāb al-Qiyās menegaskan bahwa pengetahuan tidak sempurna tanpa tashdīq, karena ia merupakan bentuk kesadaran intelektual yang memutuskan kebenaran relasi makna.⁸

Dalam konteks epistemologi Islam, tashdīq juga memiliki relevansi moral dan spiritual. Ia bukan sekadar operasi rasional yang netral, tetapi juga bagian dari tanggung jawab manusia sebagai pencari kebenaran (ṭālib al-ḥaqq).⁹ Penetapan kebenaran menuntut kejujuran intelektual, kehati-hatian dalam penalaran, dan kebebasan dari hawa nafsu yang dapat mengaburkan objektivitas berpikir. Dengan demikian, tashdīq menjadi titik temu antara logika, etika, dan iman, sebab pembenaran intelektual yang sejati selalu berorientasi pada kebenaran hakiki.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji konsep tashdīq secara komprehensif melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kajian ini akan menelusuri akar historisnya, struktur ontologisnya sebagai bentuk pengetahuan logis, mekanisme epistemologisnya dalam proses berpikir, serta nilai-nilai aksiologis yang terkandung di dalamnya. Dengan pendekatan ini, diharapkan pemahaman terhadap tashdīq dapat memberikan sumbangan penting bagi rekonstruksi epistemologi Islam yang rasional, etis, dan humanistik.


Footnotes

[1]                Abū Naṣr al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 3.

[2]                Muḥammad ‘Abd al-Ḥaqq, al-Manṭiq al-‘Arabī wa Madārisuh al-Fikrīyah (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1998), 45.

[3]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 29.

[4]                Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 32.

[5]                Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 17.

[6]                Aristotle, Organon, trans. E. S. Forster (Cambridge: Harvard University Press, 1938), 101a–104b.

[7]                F. E. Peters, Aristoteles Arabus: The Oriental Translations and Commentaries on the Aristotelian Corpus (Leiden: Brill, 1968), 212–214.

[8]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 47–49.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 55.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Konsep Tashdīq

Konsep tashdīq dalam Ilmu Manṭiq memiliki akar historis yang panjang dan berkembang melalui proses asimilasi intelektual antara filsafat Yunani dan tradisi keilmuan Islam. Ia merupakan hasil dialektika antara warisan logika Aristoteles (Organon) dan reinterpretasi rasional-spiritual yang dilakukan oleh para filsuf Muslim dalam upaya membangun epistemologi Islam yang khas. Secara genealogis, perjalanan tashdīq mencerminkan dinamika hubungan antara bahasa, realitas, dan kebenaran dalam tradisi berpikir logis dari Yunani klasik hingga Islam klasik.¹

2.1.       Akar Yunani: Aristoteles dan Tradisi Logika Klasik

Dalam tradisi filsafat Yunani, cikal bakal tashdīq dapat ditemukan dalam pembahasan Aristoteles tentang apophansis (proposisi deklaratif) dalam Peri Hermeneias (De Interpretatione).² Aristoteles membedakan antara noēsis (pemahaman konseptual) dan apophansis sebagai bentuk penetapan yang mengandung nilai kebenaran.³ Menurutnya, hanya proposisi yang dapat dinilai benar (alēthes) atau salah (pseudes), sedangkan konsep (tanpa relasi predikatif) bersifat netral secara epistemik.⁴ Distingsi inilah yang menjadi dasar bagi pembagian logika menjadi dua ranah utama: konsepsi (tasawwur) dan penetapan (tashdīq). Dalam kerangka ini, tashdīq berfungsi sebagai fondasi bagi silogisme (syllogismos), yang merupakan bentuk argumentasi deduktif khas logika Aristoteles.

Logika Aristoteles diteruskan oleh para pemikir Helenistik dan Neoplatonis seperti Theophrastus, Porphyry, dan Alexander dari Aphrodisias. Mereka menekankan aspek ontologis dari proposisi, yakni bahwa penetapan selalu berkaitan dengan keberadaan dan sifat dari realitas eksternal.⁵ Tradisi ini kemudian diterjemahkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh para penerjemah Arab pada abad ke-8 dan ke-9, terutama di bawah perlindungan Bayt al-Ḥikmah di Baghdad.

2.2.       Transmisi ke Dunia Islam: Gerakan Penerjemahan dan Asimilasi

Proses transmisi konsep tashdīq ke dalam dunia Islam terjadi melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles dan komentatornya ke dalam bahasa Arab oleh tokoh-tokoh seperti Ḥunayn ibn Isḥāq, Yaḥyā ibn ‘Adī, dan Isḥāq ibn Ḥunayn.⁶ Dalam proses ini, istilah Yunani apophansis dan krisis diterjemahkan ke dalam istilah Arab seperti qaḍiyyah (proposisi) dan taṣdīq (penetapan).⁷ Adaptasi linguistik ini bukan sekadar terjemahan teknis, melainkan juga transformasi konseptual yang menempatkan tashdīq dalam kerangka metafisika dan teologi Islam.

Peran penting juga dimainkan oleh al-Kindī (w. 873 M), yang dalam karya-karyanya seperti Risālah fī al-Falsafah al-Ūlā menekankan pentingnya hubungan antara bahasa dan kebenaran sebagai basis bagi pengetahuan yang sah.⁸ Ia memandang penetapan proposisional sebagai ekspresi rasional dari kesesuaian antara akal dan realitas ciptaan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan dan disistematisasi oleh al-Fārābī (w. 950 M), yang disebut sebagai Mu’allim al-Thānī (Guru Kedua) setelah Aristoteles.

2.3.       Formulasi Logika Islam: al-Fārābī dan Ibn Sīnā

Al-Fārābī adalah tokoh pertama yang menyusun sistem logika Islam secara komprehensif, memisahkan dengan jelas antara tashawwur dan tashdīq. Dalam Kitāb al-Qiyās dan Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ia mendefinisikan tashdīq sebagai “pengetahuan tentang adanya hubungan antara dua konsep dalam proposisi afirmatif atau negatif.”⁹ Ia menganggap tashdīq sebagai tahap kedua dari proses berpikir logis yang memungkinkan manusia menilai validitas argumen secara sistematis.¹⁰

Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037 M) kemudian memperluas dan memperdalam konsep ini dalam al-Shifā’ dan al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt. Menurutnya, tashdīq adalah bentuk pengetahuan yang melibatkan keyakinan (i‘tiqād) disertai pembenaran rasional terhadap relasi antara subjek dan predikat.¹¹ Ia membedakan antara tashdīq yaqinī (pasti) dan tashdīq ẓannī (dugaan kuat), yang menjadi dasar bagi klasifikasi tingkat kepastian pengetahuan.¹² Dengan demikian, Ibn Sīnā menjadikan tashdīq bukan hanya kategori logis, tetapi juga epistemologis yang menyangkut derajat kebenaran dan keyakinan.

2.4.       Perkembangan Pasca-Klasik: al-Ghazālī, al-Rāzī, dan al-Ṭūsī

Pada masa pasca-klasik, al-Ghazālī (w. 1111 M) mengintegrasikan tashdīq dalam kerangka epistemologi teologis. Dalam Mi‘yār al-‘Ilm, ia menjelaskan bahwa tashdīq adalah “pembenaran akal terhadap makna yang diketahui, baik melalui pancaindra, akal, maupun wahyu.”¹³ Ia menekankan pentingnya kejujuran intelektual dalam proses penetapan, karena kebenaran logis harus sejalan dengan kebenaran moral.¹⁴

Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1210 M) dan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī (w. 1274 M) melanjutkan elaborasi ini dengan menambahkan unsur psikologis dalam tashdīq.¹⁵ Mereka mengaitkannya dengan aspek nafsānī (mental) dan taṣawwurī (konseptual) yang mendasari setiap proposisi. Tradisi ini membentuk basis bagi pengajaran logika di madrasah-madrasah Islam, terutama dalam teks-teks seperti Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī (w. 1265 M), yang kemudian menjadi kurikulum standar di dunia Islam hingga abad ke-19.¹⁶

2.5.       Konteks Modern: Warisan Intelektual dan Reinterpretasi

Pada periode modern, konsep tashdīq memperoleh perhatian kembali melalui studi filsafat Islam kontemporer. Para pemikir seperti Muḥammad ‘Abid al-Jābirī dan Seyyed Hossein Nasr melihat tashdīq sebagai titik kunci dalam pembentukan rasionalitas Islam yang khas.¹⁷ Bagi al-Jābirī, tashdīq mencerminkan ‘aql bayānī (rasionalitas linguistik) yang berbeda dari ‘aql burhānī (rasionalitas demonstratif) Barat.¹⁸ Sedangkan Nasr menekankan aspek spiritual tashdīq sebagai pembenaran yang menyatukan kebenaran rasional dan kebenaran wahyu.¹⁹

Dengan demikian, secara historis dan genealogis, tashdīq merupakan hasil sintesis kreatif antara logika Yunani dan nilai-nilai intelektual Islam. Ia menjadi fondasi bagi sistem berpikir rasional yang sekaligus etis dan transendental, serta terus relevan bagi pengembangan epistemologi Islam kontemporer.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 17.

[2]                Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill, in The Works of Aristotle, ed. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1931), 16a–17b.

[3]                Jonathan Barnes, Aristotle: Posterior Analytics (Oxford: Clarendon Press, 1975), 68.

[4]                Richard Sorabji, Necessity, Cause, and Blame (Ithaca: Cornell University Press, 1980), 41.

[5]                Peter Adamson, The Arabic Plotinus: A Philosophical Study of the Theology of Aristotle (London: Duckworth, 2002), 21.

[6]                Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, 102–105.

[7]                F. E. Peters, Aristoteles Arabus: The Oriental Translations and Commentaries on the Aristotelian Corpus (Leiden: Brill, 1968), 201–203.

[8]                Al-Kindī, Rasā’il al-Kindī al-Falsafiyyah, ed. Muḥammad ‘Abd al-Hādī Abū Rīdah (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1950), 78–81.

[9]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 27.

[10]             Abdurrahman Badawi, La Logique d’Al-Fārābī (Paris: Vrin, 1961), 53–54.

[11]             Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 114–116.

[12]             Ibid., 118.

[13]             Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 31.

[14]             Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1904), 12.

[15]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 56.

[16]             Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 5.

[17]             Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Naqd al-‘Aql al-‘Arabī: al-‘Aql al-Bayānī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, 1990), 74.

[18]             Ibid., 81.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 62.


3.           Ontologi Tashdīq: Hakikat dan Struktur Penetapan

Secara ontologis, tashdīq menempati posisi sentral dalam struktur pengetahuan logis, karena ia menjadi titik peralihan antara sekadar pemahaman konseptual (tashawwur) dan penilaian terhadap kebenaran realitas.¹ Jika tashawwur merupakan representasi mental terhadap hakikat sesuatu tanpa melibatkan penetapan benar atau salah, maka tashdīq merupakan bentuk pengetahuan yang menegaskan hubungan (nisbah) antara dua konsep, sehingga menghasilkan proposisi yang bernilai benar (ṣidq) atau salah (khiṭa’).² Dalam konteks ini, tashdīq adalah aktivitas intelektual yang mengafirmasi realitas melalui struktur predikatif dari penalaran manusia.

3.1.       Hakikat Ontologis Tashdīq

Menurut Ibn Sīnā, hakikat tashdīq adalah pengetahuan tentang hubungan antara dua makna (ma‘nā), di mana relasi tersebut dapat berupa penetapan (ījāb) atau penafian (salb).³ Ia mendefinisikan tashdīq sebagai “i‘tiqād bi al-ḥukm”—yakni keyakinan terhadap suatu penilaian akal yang menetapkan keterkaitan antara subjek (mawḍū‘) dan predikat (maḥmūl).⁴ Dengan demikian, tashdīq mengandung dua unsur hakiki: pertama, relasi proposisional antara dua makna yang dipahami akal; kedua, keyakinan terhadap validitas relasi tersebut. Keberadaan tashdīq tidak hanya terletak pada ranah logis (mental), tetapi juga mengandaikan korespondensi ontologis dengan realitas eksternal.

Al-Fārābī dalam Iḥṣā’ al-‘Ulūm menegaskan bahwa tashdīq adalah bentuk pengetahuan yang mengikat konsep-konsep menjadi suatu qaḍiyyah (proposisi).⁵ Ia memandang bahwa hakikat tashdīq terletak pada “nisbah taḥqīqiyyah,” yakni relasi eksistensial antara dua entitas konseptual yang mencerminkan keadaan realitas di luar akal.⁶ Oleh karena itu, dalam kerangka ontologis, tashdīq bukan hanya konstruksi linguistik atau kognitif, melainkan juga cermin dari struktur ontologis kebenaran itu sendiri. Setiap proposisi yang benar tidak hanya sah secara logis, tetapi juga berakar pada wujūd (ada) yang menjadi dasar realitas objektif.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran al-Ghazālī yang menyebut bahwa kebenaran dalam tashdīq harus bersandar pada “mutābaqah al-‘aql lil-wāqi‘” (kesesuaian akal dengan kenyataan).⁷ Maka, tashdīq tidak berhenti pada konstruksi mental, tetapi merepresentasikan hubungan ontologis antara pengetahuan dan wujud. Dalam hal ini, tashdīq berperan sebagai jembatan antara epistemologi (pengetahuan) dan ontologi (keberadaan), yang menjadikan logika Islam bersifat realistis, bukan nominalistis.

3.2.       Unsur-unsur Struktur Penetapan

Struktur tashdīq terdiri atas tiga unsur utama: mawḍū‘ (subjek), maḥmūl (predikat), dan nisbah (relasi).⁸ Ketiga unsur ini membentuk kerangka proposisional yang menjadi wadah bagi kebenaran. Subjek adalah konsep yang menjadi titik tolak penetapan, predikat adalah konsep yang dilekatkan atau dinegasikan terhadap subjek, sedangkan nisbah adalah hubungan yang menghubungkan keduanya dalam bentuk afirmasi atau negasi.⁹ Dari sinilah muncul proposisi afirmatif (“A adalah B”) dan proposisi negatif (“A bukan B”), yang merupakan ekspresi linguistik dari tashdīq.

Dalam konteks metafisik, nisbah memiliki peran penting karena ia menandai transisi dari potensi pengetahuan (pada tashawwur) menuju aktualitas pengetahuan (pada tashdīq).¹⁰ Dengan kata lain, tashdīq adalah aktualisasi dari makna konseptual melalui penghakiman rasional yang mengaitkan dua entitas mental secara eksistensial. Ibn Sīnā menyebut hal ini sebagai “intiẓām al-ma‘ānī fī al-nafs” — keteraturan makna-makna dalam jiwa yang mencerminkan tatanan realitas.¹¹ Maka, struktur tashdīq tidak hanya menggambarkan tata bahasa proposisional, tetapi juga tatanan eksistensial yang menjadi dasar bagi setiap bentuk pengetahuan.

3.3.       Kategori dan Tingkatan Kebenaran dalam Tashdīq

Kebenaran dalam tashdīq bersifat bertingkat. Para logikawan membaginya ke dalam beberapa kategori: tashdīq yaqinī (pasti), ẓannī (dugaan kuat), wahmī (ilusif), dan syakkī (ragu-ragu).¹² Tashdīq yaqinī muncul ketika proposisi didukung oleh bukti rasional yang pasti, seperti dalam silogisme demonstratif (burhān). Tashdīq ẓannī terjadi ketika penetapan masih bergantung pada probabilitas, sementara tashdīq wahmī dan syakkī mencerminkan penetapan yang tidak stabil secara epistemik.¹³

Klasifikasi ini menunjukkan bahwa tashdīq tidak hanya menilai hubungan logis antar-konsep, tetapi juga kualitas eksistensial dari keyakinan yang menyertainya. Ibn Sīnā menegaskan bahwa kebenaran proposisional hanya sempurna bila disertai keyakinan yang pasti (jazm) dan konsisten dengan realitas eksternal.¹⁴ Artinya, tashdīq adalah kesatuan antara struktur logis (nisbah konseptual) dan kesadaran ontologis (pembenaran terhadap realitas).

3.4.       Distingsi Ontologis antara Tashawwur dan Tashdīq

Perbedaan ontologis antara tashawwur dan tashdīq dapat dijelaskan dalam kerangka aktualitas pengetahuan. Tashawwur bersifat quwwī (potensial), karena hanya menggambarkan makna tanpa afirmasi; sedangkan tashdīq bersifat fi‘lī (aktual), karena menetapkan relasi kebenaran.¹⁵ Dengan demikian, tashdīq menempati posisi ontologis yang lebih tinggi, sebab ia merepresentasikan realitas dalam bentuk proposisi yang memiliki nilai kebenaran. Al-Ṭūsī menegaskan bahwa “lā yaqūmu al-‘ilm illā bi al-taṣdīq” — tidak ada pengetahuan yang sah tanpa penetapan.¹⁶

Maka, dalam tatanan wujud pengetahuan, tashdīq adalah puncak aktualisasi intelektual manusia. Ia bukan sekadar hasil analisis logis, tetapi juga kesaksian rasional terhadap keberadaan realitas. Di sinilah tashdīq memiliki dimensi ontologis yang transendental, karena ia mempertautkan pikiran manusia dengan struktur kebenaran yang objektif, yang pada akhirnya berakar pada prinsip al-Ḥaqq (Kebenaran Absolut).¹⁷


Footnotes

[1]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 11.

[2]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 29.

[3]                Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 34.

[4]                Ibid., 36.

[5]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 27.

[6]                Abdurrahman Badawi, La Logique d’Al-Fārābī (Paris: Vrin, 1961), 53.

[7]                Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 31.

[8]                Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 7.

[9]                Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 22.

[10]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 59.

[11]             Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Muḥammad Taqī Dānishpazhūh (Tehran: Dānishgāh Tehran, 1985), 177.

[12]             Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 49.

[13]             Ibid., 51.

[14]             Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 118.

[15]             Al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ, 61.

[16]             Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās fī al-Manṭiq (Tehran: Dānishgāh Tehran, 1970), 23.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 64.


4.           Epistemologi Tashdīq: Sumber dan Proses Pembenaran

Epistemologi tashdīq membahas bagaimana manusia memperoleh, memverifikasi, dan membenarkan pengetahuan dalam bentuk proposisi. Jika dalam tashawwur akal hanya memahami makna sesuatu tanpa penilaian, maka dalam tashdīq akal melakukan penetapan kebenaran dengan cara menghubungkan dua konsep berdasarkan bukti atau dalil.¹ Oleh karena itu, tashdīq merupakan ranah epistemik yang menandai terjadinya ḥukm (penghukuman rasional) yang berfungsi sebagai dasar segala bentuk pengetahuan ilmiah dan argumentatif.²

4.1.       Sumber-Sumber Pengetahuan dalam Tashdīq

Dalam kerangka logika Islam, tashdīq bersumber dari dua wilayah utama: pengalaman empiris (ḥissī) dan pemikiran rasional (‘aqlī).³ Pengalaman inderawi menyediakan bahan mentah bagi akal untuk membentuk tashawwur, sedangkan akal berperan aktif dalam menetapkan kebenaran proposisional melalui proses pembenaran (taṣdīq).⁴ Ibn Sīnā menegaskan bahwa tashdīq tidak dapat terjadi tanpa dasar konseptual, tetapi juga tidak cukup hanya dengan konsep tanpa penilaian akal terhadap relasi di antara konsep-konsep tersebut.⁵ Dengan demikian, sumber tashdīq adalah perpaduan antara pengetahuan empiris, rasional, dan dalam konteks tertentu—intuisi intelektual (ḥads).⁶

Selain itu, wahyu (waḥy) juga dipandang sebagai sumber tashdīq dalam epistemologi Islam.⁷ Al-Ghazālī menjelaskan bahwa ada bentuk pembenaran yang bersumber dari otoritas ilahi, yang tidak bertentangan dengan akal, melainkan melampauinya dalam hierarki pengetahuan.⁸ Pembenaran rasional dapat memverifikasi sebagian kebenaran wahyu, tetapi tidak seluruhnya dapat dicapai oleh deduksi manusia. Oleh sebab itu, epistemologi Islam bersifat hierarkis—di mana tashdīq rasional dan tashdīq wahyu sama-sama sahih dalam domainnya masing-masing, selama tidak bertentangan dengan prinsip kebenaran universal (al-ḥaqq).⁹

4.2.       Proses Pembenaran Rasional

Proses tashdīq berlangsung melalui mekanisme penalaran yang sistematis, baik deduktif (qiyās) maupun induktif (istiqrā’).¹⁰ Dalam penalaran deduktif, tashdīq muncul sebagai kesimpulan dari dua premis yang sudah ditetapkan kebenarannya. Misalnya, dari premis “setiap manusia fana” dan “Zaid adalah manusia,” akal menetapkan kesimpulan “Zaid fana.”¹¹ Di sini, tashdīq bekerja melalui struktur silogisme logis yang memindahkan kebenaran dari premis ke kesimpulan. Sedangkan dalam penalaran induktif, tashdīq diperoleh dari pengamatan berulang yang membentuk generalisasi rasional, seperti “api membakar” berdasarkan pengalaman empiris yang konsisten.¹²

Al-Fārābī menegaskan bahwa tashdīq dalam kedua bentuk tersebut memerlukan syarat-syarat validitas (shurūṭ al-ṣiḥḥah), seperti konsistensi logis, keterkaitan relasional yang sah, dan korespondensi dengan realitas.¹³ Tanpa terpenuhinya syarat ini, tashdīq hanya menjadi ẓann (dugaan) dan tidak mencapai tingkat yaqīn (kepastian). Ibn Sīnā juga menambahkan bahwa tashdīq yang benar harus memiliki tiga unsur epistemik: pemahaman konseptual yang jelas (taṣawwur jaliyy), hubungan rasional yang benar (nisbah ṣaḥīḥah), dan keyakinan yang tetap (jazm dā’im).¹⁴

4.3.       Peran Qaḍiyyah dalam Struktur Epistemik Tashdīq

Dalam epistemologi logika Islam, qaḍiyyah (proposisi) merupakan wadah linguistik bagi tashdīq.¹⁵ Ia berfungsi sebagai medium formal di mana hubungan antara subjek dan predikat dinyatakan secara eksplisit. Menurut al-Abharī, qaḍiyyah adalah “ungkapan yang memungkinkan penilaian benar atau salah,” yang berarti setiap tashdīq memiliki bentuk proposisional.¹⁶ Dengan demikian, pernyataan seperti “air mendidih pada suhu seratus derajat” adalah bentuk tashdīq karena ia menetapkan relasi yang dapat diverifikasi oleh akal dan pengalaman.

Namun, qaḍiyyah tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi linguistik, tetapi juga sebagai struktur epistemik yang memungkinkan terjadinya pengetahuan ilmiah. Dalam filsafat logika Ibn Sīnā, qaḍiyyah menjadi sarana untuk menguji hubungan antara ide dan realitas melalui metode burhān (demonstrasi).¹⁷ Ia menganggap bahwa pengetahuan ilmiah (‘ilm yaqīnī) hanya dapat diperoleh melalui tashdīq yang memiliki landasan demonstratif, bukan sekadar persetujuan verbal atau retoris.¹⁸ Dengan demikian, qaḍiyyah menjadi alat verifikasi epistemik yang menjembatani antara bahasa, logika, dan kebenaran empiris.

4.4.       Jenis dan Tingkatan Tashdīq

Para logikawan Muslim membedakan tashdīq berdasarkan kekuatan pembenaran menjadi beberapa tingkatan.¹⁹

1)                  Tashdīq yaqinī — pembenaran yang bersifat pasti, didukung oleh dalil demonstratif (burhān).

2)                  Tashdīq ẓannī — pembenaran yang bersifat dugaan kuat, berdasarkan probabilitas rasional atau empiris.

3)                  Tashdīq wahmī — pembenaran yang bersumber dari persepsi ilusif, sering kali salah akibat asumsi emosional.

4)                  Tashdīq syakkī — pembenaran yang disertai keraguan epistemik karena bukti tidak cukup meyakinkan.²⁰

Klasifikasi ini memperlihatkan bahwa epistemologi tashdīq bersifat dinamis dan bertingkat sesuai dengan kadar kepastian dan kekuatan argumentasi. Al-Ghazālī menyatakan bahwa pengetahuan yang mencapai derajat yaqīn hanya dapat diperoleh jika pembenaran tersebut bebas dari kontradiksi logis dan bersesuaian dengan realitas objektif.²¹ Oleh karena itu, epistemologi tashdīq tidak hanya menilai isi kognitif suatu proposisi, tetapi juga integritas rasional dan moral dari subjek yang membenarkannya.

4.5.       Hubungan antara Tashdīq, Akal, dan Kebenaran

Akal (‘aql) berfungsi sebagai instrumen utama dalam proses tashdīq, karena ia mengatur, menilai, dan menegaskan hubungan antara makna.²² Dalam pandangan al-Fārābī, akal bekerja melalui dua tahap: al-‘aql al-fa‘‘āl (akal aktif) yang menyinari bentuk-bentuk makna, dan al-‘aql al-mustanīr (akal aktual) yang menerima serta menetapkan kebenarannya.²³ Dengan demikian, tashdīq merupakan hasil interaksi harmonis antara aktivitas intelektual dan penerimaan iluminatif.

Hubungan antara tashdīq dan kebenaran dapat dipahami dalam tiga teori besar yang diadaptasi dalam filsafat Islam: teori korespondensi, koherensi, dan konsensus.²⁴ Dalam teori korespondensi (mutābaqah), kebenaran tashdīq diukur dari kesesuaiannya dengan realitas eksternal; dalam teori koherensi (tawāfuq), kebenaran diukur dari konsistensi internal dalam sistem pengetahuan; sedangkan dalam teori konsensus (ittifāq), kebenaran juga mempertimbangkan penerimaan kolektif dalam komunitas ilmiah.²⁵ Ketiganya tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi dalam kerangka epistemologi Islam yang integral.

Dengan demikian, tashdīq adalah aktivitas rasional yang menjembatani antara pemahaman dan kebenaran. Ia merupakan puncak dari proses epistemik manusia yang tidak hanya melibatkan deduksi logis, tetapi juga integrasi antara akal, pengalaman, dan kesadaran moral.²⁶ Dalam tradisi Islam, pengetahuan yang benar bukan sekadar hasil tashdīq logis, melainkan juga bentuk kesaksian intelektual terhadap al-Ḥaqq—kebenaran yang bersumber dari Tuhan.


Footnotes

[1]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 17.

[2]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 29.

[3]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 61.

[4]                Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 25.

[5]                Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 38.

[6]                Ibid., 42.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 67.

[8]                Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), 58.

[9]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 77.

[10]             Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 47.

[11]             Aristotle, Prior Analytics, trans. A. J. Jenkinson (Oxford: Clarendon Press, 1938), 32b–34a.

[12]             Ibn Rushd, Talkhīṣ al-Burhān, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1938), 19.

[13]             Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, 49.

[14]             Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 118.

[15]             Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 9.

[16]             Ibid., 10.

[17]             Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, 121.

[18]             Ibid., 123.

[19]             Al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ, 64.

[20]             Ibid., 65.

[21]             Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm, 33.

[22]             Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 29.

[23]             Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital (Princeton: Princeton University Press, 1960), 104.

[24]             Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), 77.

[25]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 97.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 88.


5.           Aksiologi Tashdīq: Nilai dan Fungsi dalam Ilmu dan Etika Berpikir

Dimensi aksiologis tashdīq menyingkap nilai-nilai epistemik dan etis yang melekat pada aktivitas pembenaran rasional manusia. Jika bagian ontologis membahas hakikat keberadaannya dan bagian epistemologis menguraikan cara kerjanya, maka aksiologi tashdīq berurusan dengan makna, tujuan, serta implikasi moral dari penetapan kebenaran. Dalam tradisi Islam, kebenaran tidak hanya bernilai intelektual, tetapi juga moral dan spiritual; ia menuntut kejujuran berpikir (ṣidq al-fikr) dan tanggung jawab akal terhadap realitas yang dihadapi.¹ Dengan demikian, tashdīq berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan keadilan kognitif—yakni kesesuaian antara penilaian akal dan hakikat kebenaran yang objektif.

5.1.       Nilai Epistemik dan Etis dalam Tashdīq

Setiap tashdīq mengandung nilai epistemik karena ia merupakan penilaian yang berorientasi pada kebenaran. Ibn Sīnā menegaskan bahwa kebenaran bukanlah sekadar kesesuaian proposisi dengan fakta, tetapi juga bentuk keteraturan akal dalam menilai sesuatu secara proporsional dan bebas dari penyimpangan emosional.² Nilai epistemik tashdīq terletak pada kemampuan akal menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan keobjektifan. Oleh karena itu, seorang logikawan atau peneliti harus memiliki malakah (keterampilan rasional) yang melatih akal untuk menilai dengan adil dan jernih.³

Namun, tashdīq juga memiliki dimensi etis. Menurut al-Ghazālī, “tidak ada kebenaran rasional tanpa kejujuran hati,” sebab pembenaran yang dilakukan tanpa integritas moral hanya melahirkan kesesatan intelektual.⁴ Dalam pandangan ini, kebenaran bersifat integral antara aspek kognitif dan moral. Tashdīq yang sahih menuntut sikap amānah ‘ilmiyyah (integritas ilmiah), yakni kesediaan menerima bukti walaupun bertentangan dengan kepentingan pribadi.⁵ Karena itu, aktivitas berpikir tidak semata-mata bersifat teknis-logis, tetapi juga merupakan praktik etis yang mencerminkan orientasi moral terhadap kebenaran.

5.2.       Fungsi Tashdīq dalam Pembentukan Argumentasi Rasional

Dalam struktur ilmu, tashdīq berfungsi sebagai fondasi bagi pembentukan argumentasi (qiyās), demonstrasi (burhān), dan dialog rasional (jadal).⁶ Tanpa tashdīq, tidak mungkin ada argumentasi yang sahih, sebab setiap silogisme membutuhkan proposisi yang telah dibenarkan sebelumnya. Al-Fārābī menegaskan bahwa tashdīq adalah “asas yang mengatur hubungan antara premis-premis dalam penalaran,” dan karenanya merupakan “akar segala ilmu.”⁷

Lebih jauh, tashdīq berperan penting dalam membentuk kebiasaan berpikir kritis dan reflektif. Melalui proses pembenaran, manusia belajar membedakan antara pengetahuan yang valid dan yang keliru, antara keyakinan dan opini. Ibn Rushd dalam Talkhīṣ al-Burhān menegaskan bahwa “ilmu tidak lahir dari hafalan, tetapi dari tashdīq yang didukung oleh dalil.”⁸ Oleh karena itu, tashdīq menjadi instrumen pedagogis untuk menumbuhkan akal yang tajam dan etika berpikir yang bertanggung jawab.

5.3.       Dimensi Moral dan Spiritualitas dalam Tashdīq

Dalam pandangan para filsuf Muslim, tashdīq tidak dapat dilepaskan dari dimensi spiritual, karena kebenaran rasional pada hakikatnya merupakan refleksi dari kebenaran ilahiah. Al-Ghazālī menyebut bahwa pengetahuan sejati adalah yang mengantar seseorang kepada ma‘rifah (pengenalan terhadap Tuhan), sedangkan tashdīq adalah jalan rasional menuju taṣdīq bi al-qalb (pembenaran hati).⁹ Dengan demikian, pembenaran logis tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari perjalanan moral dan spiritual menuju kebenaran mutlak (al-Ḥaqq).

Seyyed Hossein Nasr memperkuat hal ini dengan menyatakan bahwa dalam epistemologi Islam, setiap pembenaran intelektual memiliki orientasi sakral, karena kebenaran tidak hanya bersumber dari rasio, tetapi juga dari realitas metafisik yang menjadi asal seluruh wujud.¹⁰ Oleh sebab itu, nilai tashdīq tidak berhenti pada tataran empiris atau logis, melainkan juga menyentuh dimensi kontemplatif, di mana pengetahuan menjadi bentuk penghambaan rasional kepada Tuhan.

5.4.       Fungsi Aksiologis Tashdīq dalam Ilmu Pengetahuan

Fungsi aksiologis tashdīq dalam ilmu pengetahuan terletak pada perannya sebagai penjamin validitas dan kejujuran ilmiah. Dalam sistem logika Islam, setiap klaim ilmiah harus melewati tahap tashdīq sebelum diakui sebagai pengetahuan yang sah.¹¹ Hal ini mencerminkan komitmen epistemik terhadap prinsip al-yaqīn lā yazūl bi al-shakk (kepastian tidak hilang karena keraguan).¹² Prinsip ini menjamin stabilitas metodologis dan keandalan kesimpulan ilmiah.

Selain itu, tashdīq berperan dalam menjaga etika dialog dan komunikasi ilmiah. Al-Tūsī dalam Asās al-Iqtibās menekankan bahwa pembenaran tidak boleh dilakukan atas dasar otoritas semata, melainkan melalui dalil yang rasional dan transparan.¹³ Ini berarti bahwa tashdīq adalah landasan bagi demokrasi epistemik, di mana kebenaran dibangun melalui argumentasi dan bukan dogma. Dalam konteks ini, nilai tashdīq sejalan dengan prinsip keadilan intelektual: memberikan kebenaran kepada yang berhak atasnya, dan menolak klaim tanpa dasar.

5.5.       Tashdīq sebagai Dasar Etika Berpikir Humanistik

Dalam perspektif kontemporer, tashdīq memiliki relevansi besar bagi pembentukan etika berpikir humanistik. Ia mengajarkan bahwa pembenaran terhadap kebenaran tidak boleh bersifat koersif, tetapi harus lahir dari kebebasan berpikir dan penghormatan terhadap akal manusia.¹⁴ Etika tashdīq adalah etika dialog, yang menghargai argumen berdasarkan bukti dan logika, bukan posisi sosial atau otoritas tradisi. Dengan demikian, tashdīq mendorong terciptanya ruang rasionalitas terbuka (mujtama‘ ‘aqlānī) yang menjadi fondasi bagi kemajuan ilmu dan peradaban.

Menurut Muhammad Iqbal, peran utama akal bukan sekadar mengklasifikasi fakta, tetapi juga menegakkan nilai-nilai yang membebaskan manusia dari kebodohan dan dominasi.¹⁵ Maka, tashdīq sebagai aktivitas pembenaran intelektual memiliki nilai emansipatoris: ia memerdekakan akal dari belenggu subjektivitas dan membuka jalan bagi pengetahuan yang berorientasi pada kemaslahatan manusia (al-khayr al-‘āmm).¹⁶ Dalam kerangka ini, tashdīq bukan sekadar mekanisme berpikir, tetapi juga tindakan etis yang menghubungkan rasionalitas dengan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 30.

[2]                Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 44.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 53.

[4]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 2:147.

[5]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 79.

[6]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 64.

[7]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 31.

[8]                Ibn Rushd, Talkhīṣ al-Burhān, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1938), 22.

[9]                Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), 64.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 73.

[11]             Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān al-Ṣaghīr (Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah, 1996), 11.

[12]             Al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1904), 8.

[13]             Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās fī al-Manṭiq (Tehran: Dānishgāh Tehran, 1970), 35.

[14]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 102.

[15]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1934), 57.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 91.


6.           Dimensi Sosial dan Intelektual Tashdīq

Dalam khazanah keilmuan Islam, tashdīq tidak hanya dipahami sebagai aktivitas rasional individual, tetapi juga sebagai proses sosial-intelektual yang membentuk budaya berpikir kolektif. Ia berperan sebagai mekanisme epistemik yang memungkinkan terbentuknya konsensus ilmiah (ijmā‘ ‘ilmī), mengatur struktur komunikasi rasional, serta memperkuat jaringan otoritas keilmuan di masyarakat.¹ Dengan demikian, tashdīq dapat dipahami bukan hanya sebagai penetapan kebenaran dalam pikiran seseorang, melainkan juga sebagai proses sosial pembenaran kebenaran dalam ruang publik keilmuan.

6.1.       Tashdīq sebagai Fondasi Rasionalitas Kolektif

Dalam sejarah peradaban Islam, tashdīq memainkan peranan penting dalam pembentukan rasionalitas kolektif umat. Melalui mekanisme taṣdīq yang berulang dalam tradisi keilmuan—baik di madrasah, halaqah, maupun majelis ilmu—lahir sistem pemikiran yang konsisten dan dapat diwariskan lintas generasi.² Al-Fārābī menekankan bahwa rasionalitas yang sehat hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang mengakui kebenaran berdasarkan argumentasi, bukan berdasarkan otoritas dogmatis.³ Dengan demikian, tashdīq berfungsi sebagai dasar pembentukan al-mujtama‘ al-‘aqlānī (masyarakat rasional), di mana ilmu menjadi sarana pemeliharaan nalar publik.

Di sinilah tashdīq memiliki nilai sosial yang mendalam: ia menumbuhkan kesadaran bahwa kebenaran adalah hasil interaksi antara individu dan komunitas ilmiah. Ibn Khaldūn dalam Muqaddimah menegaskan bahwa perkembangan ilmu dan peradaban tidak mungkin terjadi tanpa adanya “kesepakatan rasional” di antara para ulama terhadap proposisi-proposisi dasar yang dianggap sahih.⁴ Dalam konteks ini, tashdīq berfungsi sebagai sarana sosial untuk menjaga stabilitas dan kontinuitas pengetahuan dalam peradaban Islam.

6.2.       Tashdīq dalam Tradisi Keilmuan dan Otoritas Intelektual

Dalam sistem pendidikan Islam klasik, tashdīq merupakan bagian integral dari proses transmisi dan validasi ilmu. Di pesantren, madrasah, dan universitas Islam awal seperti al-Qarawiyyīn dan al-Azhar, seorang murid tidak dianggap memahami suatu ilmu sebelum ia mampu mengulang dan membenarkan (yuṣaddiq) proposisi yang diajarkan gurunya.⁵ Ini menciptakan rantai epistemik (silsilah ‘ilmiyyah) yang menjamin kesinambungan otoritas ilmiah.

Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menggambarkan otoritas ilmu sebagai amānah ‘aqliyyah yang harus dipelihara dengan kejujuran dan rasionalitas.⁶ Guru dan murid terikat dalam hubungan taṣdīq timbal balik: sang guru memberikan penjelasan yang rasional, sementara murid membenarkannya berdasarkan pemahaman kritis, bukan sekadar kepercayaan buta. Dengan demikian, tashdīq menjadi fondasi etis bagi sistem pendidikan Islam, yang menggabungkan rasionalitas, otoritas, dan tanggung jawab intelektual.

Tradisi ini juga memperlihatkan bahwa tashdīq berperan dalam membangun jaringan epistemik global di dunia Islam. Melalui aktivitas penyalinan, komentari, dan syarah (penjelasan teks), para ulama berkontribusi terhadap proses sosial tashdīq yang melampaui batas geografis.⁷ Hal ini terlihat dalam penyebaran karya-karya logika Ibn Sīnā dan al-Fārābī di Andalusia, Persia, dan Nusantara.⁸ Aktivitas tersebut tidak sekadar memperluas pengetahuan, tetapi juga memperkokoh kesatuan epistemik umat melalui konsensus rasional yang bersifat transkultural.

6.3.       Tashdīq dan Budaya Diskursus Rasional

Dimensi sosial tashdīq juga tampak dalam pembentukan budaya dialog ilmiah (adab al-ḥiwār). Dalam sejarah intelektual Islam, perdebatan antara mutakallimūn, fuqahā’, dan falāsifah berlangsung dalam kerangka tashdīq rasional—yakni pembenaran berdasarkan dalil dan argumentasi logis.⁹ Debat bukanlah ajang konflik, tetapi medan klarifikasi terhadap kebenaran. Hal ini sejalan dengan prinsip al-ḥaqq lā ya‘raf bi al-rijāl, wa innamā yu‘raf bi al-dalīl—kebenaran tidak diukur dari siapa yang mengatakannya, tetapi dari argumentasinya.¹⁰

Menurut Ibn Rushd, perbedaan pendapat dalam diskursus ilmiah adalah bagian dari dinamika tashdīq sosial, di mana kebenaran semakin teruji melalui pertukaran rasional.¹¹ Dengan demikian, tashdīq berperan membentuk budaya ilmiah yang kritis, terbuka, dan dialogis. Ia menjadi sarana untuk menghindari dua ekstrem: dogmatisme yang menutup rasio dan relativisme yang meniadakan kebenaran objektif.¹²

Budaya tashdīq ini juga melahirkan sistem penulisan dan verifikasi ilmiah yang ketat, seperti tahqīq al-nuṣūṣ (verifikasi teks) dan ta‘qīq al-adillah (verifikasi dalil).¹³ Keduanya menunjukkan bahwa pembenaran ilmiah bukan hanya soal kesesuaian logis, tetapi juga integritas metodologis yang diakui secara kolektif.

6.4.       Tashdīq dan Etika Intelektual dalam Masyarakat

Secara sosial, tashdīq juga mengandung nilai etika intelektual yang memperkuat keadaban ilmiah (adab al-‘ilm). Al-Rāzī menekankan bahwa seorang pencari ilmu (ṭālib al-‘ilm) harus menundukkan hawa nafsu intelektualnya agar pembenarannya terhadap suatu gagasan tidak dipengaruhi oleh bias pribadi.¹⁴ Etika ini melahirkan kebajikan rasional seperti kejujuran (ṣidq), kerendahan hati (tawāḍu‘), dan kesabaran dalam mencari dalil (ṣabr fī al-baḥth).

Sementara itu, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī dalam Akhlāq-i Nāṣirī menegaskan bahwa aktivitas rasional yang tidak dibarengi tashdīq etis justru melahirkan “kecerdasan yang menyesatkan.”¹⁵ Artinya, kemampuan logis tanpa tanggung jawab moral akan menimbulkan kerusakan sosial dan epistemik. Dalam konteks modern, nilai ini tetap relevan dalam menghadapi penyebaran misinformasi dan manipulasi argumentasi di ruang publik digital. Tashdīq menjadi prinsip etis untuk memastikan bahwa pengetahuan tidak disalahgunakan demi kepentingan ideologis atau ekonomi.

6.5.       Relevansi Sosial Tashdīq dalam Era Kontemporer

Dalam masyarakat modern yang ditandai oleh pluralitas informasi, tashdīq memiliki fungsi sosial yang vital sebagai mekanisme verifikasi pengetahuan. Dengan berkembangnya media digital dan algoritma informasi, proses pembenaran kebenaran semakin kompleks dan memerlukan etika rasional baru.¹⁶ Prinsip-prinsip tashdīq seperti verifikasi, argumentasi, dan konsensus ilmiah dapat menjadi landasan untuk membangun epistemic trust (kepercayaan epistemik) di tengah derasnya arus disinformasi.¹⁷

Selain itu, tashdīq dapat berperan dalam memperkuat budaya akademik yang kolaboratif dan terbuka. Tradisi taṣdīq jamā‘ī (pembenaran kolektif) yang diwariskan oleh para ulama klasik dapat diadaptasi dalam konteks riset interdisipliner masa kini, di mana kebenaran ilmiah ditentukan bukan oleh individu, tetapi oleh proses kolektif yang transparan dan bertanggung jawab.¹⁸ Dengan demikian, tashdīq bukan hanya konsep logika tradisional, melainkan prinsip epistemik universal yang menegakkan kejujuran, rasionalitas, dan keadilan dalam kehidupan intelektual umat manusia.¹⁹


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 83.

[2]                Abdurrahman Badawi, La Logique d’Al-Fārābī (Paris: Vrin, 1961), 61.

[3]                Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah, ed. Fauzi Najjar (Beirut: Dār al-Mashriq, 1964), 25.

[4]                Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Abd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-‘Ulūm, 2005), 1:404.

[5]                George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 112.

[6]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 2:142.

[7]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 107.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 94.

[9]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983), 167.

[10]             Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), 59.

[11]             Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, ed. George Hourani (Leiden: Brill, 1959), 42.

[12]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 115.

[13]             Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 23.

[14]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 66.

[15]             Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens (London: Allen & Unwin, 1964), 133.

[16]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 121.

[17]             Herman Tavani, Ethics and Technology: Controversies, Questions, and Strategies for Ethical Computing (Hoboken: Wiley, 2016), 144.

[18]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 292.

[19]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 103.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Meskipun tashdīq telah menjadi fondasi utama dalam epistemologi logika Islam, konsep ini tidak luput dari berbagai kritik dan klarifikasi filosofis sepanjang sejarah intelektual Islam maupun dalam perbandingannya dengan tradisi filsafat modern. Kritik terhadap tashdīq umumnya muncul dari dua arah: pertama, dari kalangan internal Islam yang mempertanyakan batas dan fungsi rasionalitas logika formal; kedua, dari filsafat modern dan analitik yang mengajukan problem bahasa, kesadaran, dan kontekstualitas proposisi.¹ Oleh karena itu, memahami kritik terhadap tashdīq berarti juga membuka ruang bagi pembaruan epistemologis yang menempatkan logika Islam dalam dialog kreatif dengan tradisi filsafat kontemporer.

7.1.       Kritik Internal: Rasionalisme dan Reduksi Formalitas

Salah satu kritik utama terhadap konsep tashdīq datang dari para sufi dan teolog yang menilai bahwa logika terlalu menekankan aspek formal kebenaran dan mengabaikan dimensi maknawi serta intuisi spiritual. Al-Ghazālī, meskipun membela logika sebagai alat berpikir, mengingatkan bahwa tashdīq tidak selalu identik dengan kebenaran hakiki.² Ia menulis, “taṣdīq al-‘aql lā yulzim al-ḥaqq fī nafsih”—pembenaran akal tidak selalu menjamin kebenaran dalam dirinya sendiri.³ Dengan kata lain, kebenaran formal proposisional harus ditopang oleh nūr al-bāṭin (cahaya batin) yang berasal dari penyucian jiwa. Kritik ini menandai pergeseran dari rasionalisme murni menuju epistemologi integratif antara akal dan qalb.

Ibn Taymiyyah melanjutkan kritik ini dengan menyatakan bahwa logika Aristotelian, termasuk tashdīq, sering kali bersifat spekulatif dan menjauh dari realitas konkret.⁴ Dalam ar-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ia menegaskan bahwa validitas proposisi logis tidak dapat dijamin tanpa dasar empiris dan tekstual.⁵ Kritik ini didasarkan pada pandangan bahwa bahasa dan makna tidak sepenuhnya dapat direduksi ke dalam bentuk proposisi logika yang universal, karena ia juga dipengaruhi oleh konteks sosial dan agama. Oleh sebab itu, tashdīq perlu dibaca sebagai aktivitas interpretatif yang tidak lepas dari horizon makna dan keyakinan.⁶

Meski demikian, para logikawan seperti Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī dan al-Rāzī menanggapi kritik ini dengan argumentasi bahwa tashdīq tidak meniadakan pengalaman spiritual, tetapi justru melengkapinya dengan dasar rasional yang koheren.⁷ Mereka menegaskan bahwa logika tidak bertujuan menggantikan wahyu, melainkan menjaga agar proses penalaran tidak jatuh ke dalam kekeliruan subjektif. Dalam pengertian ini, tashdīq menjadi bentuk disiplin intelektual yang menuntun manusia menuju kebenaran yang bersumber dari Tuhan, bukan sekadar rasionalisme sekuler.⁸

7.2.       Klarifikasi Filosofis terhadap Status Ontologis dan Linguistik Tashdīq

Secara filosofis, perlu dibedakan antara tashdīq sebagai proses mental dan qaḍiyyah sebagai bentuk linguistiknya.⁹ Ibn Sīnā telah menjelaskan bahwa tashdīq adalah pengetahuan yang bersifat mental (‘ilm dhihnī), sedangkan qaḍiyyah hanyalah ekspresi eksternal dari pengetahuan tersebut.¹⁰ Namun, dalam perkembangan selanjutnya, terjadi kecenderungan untuk menyamakan keduanya, yang menyebabkan reduksi makna tashdīq menjadi sekadar pernyataan verbal.

Klarifikasi ini penting karena menyentuh persoalan epistemik yang mendasar: apakah kebenaran terletak dalam proposisi linguistik atau dalam pengetahuan internal subjek? Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, kebenaran proposisional tidak dapat dilepaskan dari struktur mental yang melahirkannya; tashdīq adalah kesesuaian antara citra mental (ṣūrah dhihniyyah) dan realitas eksternal (mawjūd khārijī).¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, tashdīq mengandung dimensi fenomenologis—yakni hubungan antara kesadaran dan realitas yang dihayati—jauh sebelum istilah itu diformulasikan dalam filsafat Barat modern.

Perdebatan ini memperoleh resonansi baru ketika para filsuf analitik modern seperti Ludwig Wittgenstein dan Alfred Tarski membahas teori kebenaran proposisional.¹² Wittgenstein menegaskan bahwa makna proposisi tergantung pada penggunaannya dalam konteks kehidupan (language games), bukan semata pada struktur logisnya.¹³ Perspektif ini membuka ruang bagi reinterpretasi tashdīq sebagai aktivitas yang tidak hanya rasional, tetapi juga pragmatis dan komunikatif. Dalam konteks filsafat Islam, hal ini sejalan dengan prinsip ṣidq fī al-qawl wa al-fi‘l—bahwa pembenaran tidak hanya diucapkan, tetapi juga dihidupi dalam tindakan.

7.3.       Kritik Modern: Bahasa, Konteks, dan Pluralitas Kebenaran

Kritik modern terhadap tashdīq berfokus pada persoalan bahasa dan pluralitas epistemik. Menurut filsuf kontemporer seperti Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, logika tashdīq klasik terlalu berorientasi pada bentuk dan mengabaikan dimensi kontekstual makna.¹⁴ Ia menilai bahwa sistem logika Islam pasca-Ibn Sīnā cenderung stagnan karena lebih memprioritaskan formalisme ketimbang produktivitas rasional.¹⁵ Dalam Naqd al-‘Aql al-‘Arabī, al-Jābirī menyerukan rekonstruksi logika tashdīq agar lebih terbuka terhadap epistemologi empiris dan kritis.¹⁶

Kritik serupa muncul dari filsafat hermeneutika modern, yang menyoroti keterbatasan proposisi dalam menangkap kompleksitas pengalaman manusia. Hans-Georg Gadamer berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat direduksi pada struktur logika, karena ia juga terbentuk dalam dialog dan sejarah pemahaman.¹⁷ Dengan demikian, tashdīq perlu ditafsirkan ulang sebagai pembenaran hermeneutik, yakni proses saling memahami yang berakar pada keterlibatan eksistensial antara subjek dan dunia.¹⁸

Namun, reinterpretasi ini tidak meniadakan nilai rasional tashdīq, melainkan memperluasnya. Logika Islam dapat diperkaya dengan pendekatan pragmatik dan dialogis, sehingga tashdīq tidak hanya menjadi mekanisme inferensi, tetapi juga sarana komunikasi kebenaran antar-subjek. Dalam konteks kontemporer, hal ini relevan untuk menghadapi krisis kepercayaan epistemik dan fragmentasi wacana di era digital.¹⁹

7.4.       Upaya Rekonstruksi dan Integrasi Filsafat Klasik–Modern

Klarifikasi filosofis terhadap tashdīq mendorong munculnya upaya rekonstruksi epistemologi Islam modern. Beberapa sarjana kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr, Mehdi Ha’iri Yazdi, dan Muhammad Naquib al-Attas berusaha mengintegrasikan dimensi rasional, spiritual, dan etis dalam memahami tashdīq.²⁰ Bagi mereka, kebenaran dalam Islam bersifat integral (tawḥīdī): ia mencakup kesesuaian logis, kebenaran eksistensial, dan moralitas pengetahuan.²¹

Mehdi Ha’iri Yazdi, dalam The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, menyebut tashdīq sebagai “knowledge by correspondence and presence”—yakni bentuk pengetahuan yang menggabungkan kesesuaian proposisional dengan kesadaran langsung terhadap realitas.²² Dalam pandangan ini, tashdīq menjadi jembatan antara pengetahuan rasional (‘ilm ḥuṣūlī) dan pengetahuan kehadiran (‘ilm ḥuḍūrī). Rekonstruksi ini memungkinkan logika Islam tetap relevan dalam percakapan epistemologi global tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Akhirnya, kritik dan klarifikasi filosofis terhadap tashdīq menunjukkan bahwa konsep ini bukan sistem tertutup, melainkan struktur rasional yang terbuka terhadap pembaruan. Ia dapat ditafsirkan ulang dalam kerangka filsafat modern tanpa kehilangan jati diri metafisisnya. Tashdīq tetap menjadi simbol keterpaduan antara akal dan iman, antara rasionalitas dan kearifan, yang terus menuntun manusia dalam pencarian kebenaran yang utuh dan manusiawi.²³


Footnotes

[1]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 118.

[2]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 35.

[3]                Ibid., 36.

[4]                Ibn Taymiyyah, ar-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī (Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1949), 42.

[5]                Ibid., 44.

[6]                Wael Hallaq, Greek Logicians and Islamic Thinkers: The Transmission of Logic into Arabic (Leiden: Brill, 1985), 93.

[7]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah, ed. Aḥmad Ḥijāzī al-Saqqā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 70.

[8]                Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās fī al-Manṭiq (Tehran: Dānishgāh Tehran, 1970), 41.

[9]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 34.

[10]             Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 40.

[11]             Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Sharḥ al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. A. Nūrānī (Tehran: Dānishgāh Tehran, 1980), 52.

[12]             Alfred Tarski, Logic, Semantics, and Metamathematics (Oxford: Oxford University Press, 1956), 152.

[13]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1958), §23.

[14]             Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī, Naqd al-‘Aql al-‘Arabī: al-‘Aql al-Bayānī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, 1990), 82.

[15]             Ibid., 84.

[16]             Ibid., 90.

[17]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 290.

[18]             Ibid., 296.

[19]             Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 64.

[20]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 21.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 75.

[22]             Yazdi, The Principles of Epistemology, 32.

[23]             Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 109.


8.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks peradaban modern yang ditandai oleh revolusi informasi, kecerdasan buatan, dan pluralitas epistemik, konsep tashdīq memperoleh relevansi baru sebagai prinsip dasar dalam membangun rasionalitas yang kritis, etis, dan humanistik. Ia tidak lagi hanya menjadi bagian dari kerangka logika klasik Islam, melainkan menjadi paradigma epistemologis yang dapat menuntun manusia menghadapi tantangan verifikasi kebenaran di era digital.¹ Dengan kata lain, tashdīq dapat direvitalisasi sebagai fondasi berpikir ilmiah dan moral yang menuntun manusia menilai klaim kebenaran dalam dunia yang semakin kompleks dan relatif.

8.1.       Tashdīq dan Krisis Kebenaran di Era Informasi

Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan fenomena yang disebut “krisis kebenaran” (post-truth), di mana opini subjektif seringkali menggantikan fakta objektif.² Dalam situasi ini, prinsip-prinsip tashdīq menjadi sangat penting, karena ia menuntut adanya pembenaran rasional sebelum menerima suatu proposisi sebagai benar. Dalam tradisi logika Islam, tashdīq selalu melibatkan dua syarat epistemik: korespondensi dengan realitas dan koherensi dengan rasionalitas.³

Relevansi tashdīq terletak pada kemampuannya untuk menumbuhkan budaya verifikasi (taḥqīq) di tengah masyarakat digital.⁴ Setiap informasi harus melalui proses pembenaran berdasarkan bukti, bukan sekadar berdasarkan otoritas atau kesesuaian dengan emosi massa. Dengan demikian, tashdīq dapat menjadi dasar etika digital yang menekankan kejujuran intelektual (ṣidq al-ma‘rifah) dan tanggung jawab dalam penyebaran pengetahuan.⁵

Hal ini sejalan dengan pandangan Seyyed Hossein Nasr yang menyatakan bahwa krisis modernitas bermula dari kehilangan pandangan integral terhadap kebenaran.⁶ Tashdīq, dalam kerangka ini, berfungsi sebagai proses pemulihan epistemik yang mengembalikan keterhubungan antara akal, moralitas, dan realitas spiritual.

8.2.       Tashdīq sebagai Prinsip Epistemologi Ilmiah

Dalam bidang ilmu pengetahuan modern, tashdīq dapat dipahami sebagai prinsip rasional yang mengatur validitas hipotesis ilmiah. Struktur pembenaran ilmiah selalu mengikuti pola yang mirip dengan qiyās manṭiqī (silogisme logis): observasi → hipotesis → verifikasi → konfirmasi.⁷ Proses ini sejalan dengan mekanisme tashdīq yang menuntut hubungan logis antara premis dan kesimpulan yang dapat diuji.

Ibn Sīnā dalam al-Shifā’ telah menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah harus bersifat yaqīnī (pasti) melalui pembenaran demonstratif (burhānī).⁸ Prinsip ini masih relevan dalam metodologi ilmiah modern yang menekankan pentingnya pembuktian empiris dan deduksi logis. Dengan demikian, tashdīq dapat dipandang sebagai bentuk rasionalitas universal yang menjembatani antara sains modern dan filsafat Islam klasik.

Selain itu, dalam konteks interdisipliner, tashdīq juga memiliki nilai aksiologis karena ia mengintegrasikan dimensi moral ke dalam proses ilmiah. Pengetahuan yang benar, dalam kerangka tashdīq, bukan hanya yang dapat dibuktikan secara empiris, tetapi juga yang tidak melanggar prinsip etika dan kemaslahatan manusia.⁹

8.3.       Tashdīq dan Kecerdasan Buatan (AI): Logika, Etika, dan Otonomi Akal

Kemunculan kecerdasan buatan menghadirkan pertanyaan epistemologis baru: apakah mesin dapat melakukan tashdīq? Secara teknis, AI dapat mengolah data dan menghasilkan proposisi logis, tetapi ia tidak memiliki kesadaran (shu‘ūr) dan keyakinan (i‘tiqād), dua elemen yang menjadi esensi tashdīq menurut Ibn Sīnā.¹⁰ Dengan demikian, tashdīq tidak hanya merupakan aktivitas kognitif, tetapi juga eksistensial yang melibatkan subjek rasional yang sadar terhadap makna kebenaran.¹¹

Namun demikian, prinsip-prinsip tashdīq tetap dapat diaplikasikan dalam desain sistem AI, terutama dalam pengembangan etika algoritma.⁽¹²⁾ Nilai-nilai seperti konsistensi logis, transparansi, dan verifikasi empiris merupakan penerapan kontemporer dari logika tashdīq. Dengan menerapkan prinsip tersebut, teknologi dapat diarahkan bukan sekadar untuk efisiensi, tetapi juga untuk kebenaran dan keadilan epistemik (‘adl ma‘rifī).¹³

Lebih jauh, tashdīq menawarkan kritik filosofis terhadap otonomi akal buatan yang terlepas dari dimensi moral. Dalam epistemologi Islam, akal tidak bebas nilai, tetapi terikat oleh tanggung jawab terhadap kebenaran yang hakiki.¹⁴ Maka, tashdīq menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi harus diiringi dengan kedewasaan etis dan kesadaran metafisik.

8.4.       Tashdīq dan Dialog Pengetahuan Global

Di tengah meningkatnya dialog antartradisi filsafat dan ilmu pengetahuan, tashdīq dapat berperan sebagai jembatan epistemologis antara dunia Islam dan Barat. Prinsip pembenaran rasional yang terkandung dalam tashdīq sejalan dengan semangat verifikasi ilmiah dalam tradisi empiris, namun tetap mempertahankan dimensi moral dan teologis yang khas.¹⁵

Hal ini membuka peluang bagi integrasi epistemologi Islam dengan filsafat ilmu modern, sebagaimana diupayakan oleh pemikir seperti Ziauddin Sardar dan Osman Bakar.¹⁶ Mereka melihat bahwa kebangkitan ilmu dalam Islam masa depan hanya dapat terjadi bila tradisi logika Islam seperti tashdīq dibaca ulang dalam konteks global yang pluralistik. Tashdīq dapat menjadi dasar bagi model “rasionalitas terbuka” (open rationality), yakni rasionalitas yang menghargai pluralitas sumber kebenaran tanpa kehilangan orientasi metafisiknya.¹⁷

Dalam wacana filsafat ilmu kontemporer, pendekatan ini sejalan dengan gagasan “integrative epistemology” yang menolak dikotomi antara sains dan spiritualitas.¹⁸ Dengan demikian, tashdīq memiliki potensi untuk menjadi paradigma lintas budaya yang mengembalikan harmoni antara akal, nilai, dan iman dalam pembangunan pengetahuan manusia.

8.5.       Tashdīq dan Reaktualisasi Etika Intelektual

Akhirnya, relevansi tashdīq dalam konteks kontemporer terletak pada kemampuannya membentuk etika intelektual yang bertanggung jawab. Dalam era polarisasi opini dan manipulasi informasi, tashdīq menegaskan pentingnya integritas berpikir—menolak pembenaran tanpa bukti, sekaligus menolak skeptisisme ekstrem yang meniadakan kebenaran.¹⁹

Etika tashdīq mengajarkan bahwa berpikir adalah tindakan moral. Menetapkan sesuatu sebagai benar berarti memikul tanggung jawab terhadap dampak sosial dan spiritual dari kebenaran itu.²⁰ Dengan demikian, tashdīq dapat menjadi basis bagi pendidikan kritis yang menumbuhkan sikap rasional, dialogis, dan humanistik—sebuah kebutuhan mendesak di tengah tantangan peradaban digital yang rawan terhadap penyimpangan makna dan kebenaran.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 91.

[2]                Ralph Keyes, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (New York: St. Martin’s Press, 2004), 23.

[3]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 33.

[4]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 35.

[5]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 123.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 78.

[7]                Nicholas Rescher, Scientific Progress: A Philosophical Essay on the Economics of Research in Natural Science (Oxford: Blackwell, 1978), 52.

[8]                Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. ‘Abd al-Raḥmān Badawī (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1952), 121.

[9]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 66.

[10]             Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 42.

[11]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 27.

[12]             Luciano Floridi, The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press, 2019), 82.

[13]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 133.

[14]             Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens (London: Allen & Unwin, 1964), 138.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), 102.

[16]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 114.

[17]             Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 281.

[18]             Fritjof Capra, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 201.

[19]             Habermas, Jürgen, Truth and Justification, trans. Barbara Fultner (Cambridge: MIT Press, 2003), 89.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 112.


9.           Sintesis Filosofis

Konsep tashdīq dalam Ilmu Manṭiq merupakan simpul integratif yang menghubungkan tiga poros utama filsafat pengetahuan: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ia bukan sekadar terminologi teknis dalam logika formal, melainkan struktur rasional yang mengekspresikan dinamika hubungan antara akal, realitas, dan kebenaran.¹ Melalui tashdīq, manusia tidak hanya memahami dunia secara konseptual (tashawwur), tetapi juga menilai dan meneguhkan kebenaran secara normatif dan eksistensial.² Dengan demikian, tashdīq berfungsi sebagai mekanisme epistemik yang menjembatani antara dimensi teoritis pengetahuan dan tanggung jawab moral terhadap kebenaran.

9.1.       Integrasi Ontologis: Kebenaran sebagai Relasi Wujud

Secara ontologis, tashdīq menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah entitas abstrak yang berdiri sendiri, melainkan relasi antara pikiran dan wujud (nisbah bayn al-‘aql wa al-wujūd).³ Ibn Sīnā menegaskan bahwa setiap proposisi yang benar merepresentasikan wujūd muṭābiq li al-fikr—yakni kesesuaian antara eksistensi dan pemikiran.⁴ Dengan demikian, hakikat tashdīq adalah proses penyatuan intelektual antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Al-Fārābī bahkan menyebutnya sebagai “ittiṣāl al-‘aql bi al-ma‘qūl”—keterhubungan akal dengan makna realitas.⁵

Dari sudut pandang ini, tashdīq merefleksikan pandangan dunia Islam yang menolak dualisme antara pikiran dan realitas. Relasi taṣdīqī menegaskan bahwa pengetahuan selalu berakar pada al-ḥaqq, sumber kebenaran mutlak. Oleh karena itu, struktur ontologis tashdīq sekaligus bersifat teologis: setiap penetapan rasional yang benar adalah partisipasi akal manusia terhadap cahaya kebenaran Ilahi.⁶ Dengan demikian, kebenaran tidak semata-mata logis, tetapi juga ontologis dan transendental.

9.2.       Integrasi Epistemologis: Rasionalitas dan Pembenaran Ilmiah

Epistemologi tashdīq menegaskan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui proses penetapan yang rasional, sistematis, dan terbuka terhadap verifikasi. Dalam hal ini, tashdīq menghubungkan dua aspek yang sering dipisahkan dalam tradisi modern: objektivitas dan keyakinan. Ibn Sīnā membedakan antara taṣawwur sebagai pemahaman tanpa penilaian dan tashdīq sebagai pengetahuan yang disertai jazm (keteguhan hati terhadap kebenaran).⁷

Integrasi epistemologis ini memperlihatkan bahwa dalam Islam, rasionalitas tidak terlepas dari nilai-nilai moral dan spiritual. Proses pembenaran (taṣdīq) selalu disertai kesadaran etis bahwa setiap keputusan intelektual memiliki implikasi moral.⁸ Hal ini menegaskan perbedaan mendasar antara rationalism Barat yang netral-nilai dengan rasionalitas Islam yang berorientasi pada kebenaran integral. Dalam kerangka ini, tashdīq menjadi metode berpikir yang menuntun ilmuwan dan filsuf untuk menyeimbangkan antara bukti empiris dan kejujuran batin.⁹

Dengan demikian, tashdīq dapat dipandang sebagai bentuk epistemologi integratif (epistemologia al-tawḥīdiyyah) yang memadukan deduksi logis (qiyās), pengalaman empiris (ḥiss), dan intuisi intelektual (ḥads).¹⁰ Ia menolak reduksionisme—baik yang mengagungkan rasio tanpa nilai maupun mistisisme tanpa verifikasi rasional.

9.3.       Integrasi Aksiologis: Kebenaran, Etika, dan Tanggung Jawab

Aksiologi tashdīq mengajarkan bahwa kebenaran selalu berkonsekuensi etis. Menetapkan sesuatu sebagai benar berarti menanggung tanggung jawab moral terhadap akibat penetapan itu.¹¹ Dalam konteks ini, tashdīq bukan hanya tindakan intelektual, tetapi juga tindakan etis. Al-Ghazālī menulis bahwa “taṣdīq al-‘aql lā yakmulu illā bi taṣdīq al-qalb”—pembenaran akal tidak sempurna tanpa pembenaran hati.¹²

Konsep ini menunjukkan bahwa berpikir secara logis tidak dapat dipisahkan dari integritas spiritual. Dalam tradisi logika Islam, kebenaran tidak cukup diverifikasi, tetapi juga harus dihayati sebagai nilai hidup.¹³ Oleh karena itu, tashdīq menjadi fondasi bagi etika berpikir ilmiah: ia menuntut kejujuran dalam penelitian, keterbukaan terhadap kritik, dan tanggung jawab terhadap implikasi sosial dari pengetahuan.¹⁴

Dengan demikian, tashdīq berfungsi sebagai prinsip aksiologis yang memastikan bahwa pengetahuan selalu berorientasi pada kemaslahatan (al-khayr) dan keadilan epistemik (al-‘adl al-ma‘rifī).¹⁵ Dalam hal ini, ia berperan bukan hanya sebagai norma berpikir ilmiah, tetapi juga sebagai pedoman moral bagi kehidupan intelektual.

9.4.       Integrasi Sosial-Intelektual: Rasionalitas Komunikatif dan Kebenaran Kolektif

Dari dimensi sosial, tashdīq menegaskan bahwa kebenaran tidak lahir dalam kesendirian, tetapi dalam dialog rasional yang terbuka.¹⁶ Sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas, kebenaran yang otentik harus dapat dipertanggungjawabkan secara intersubjektif melalui komunikasi bebas paksaan.¹⁷ Dalam konteks Islam, prinsip ini sejalan dengan tradisi shūrā dan ijmā‘, di mana kebenaran ilmiah atau hukum dibangun atas dasar konsensus argumentatif (taṣdīq jamā‘ī).¹⁸

Oleh karena itu, tashdīq memiliki makna sosial: ia adalah bentuk kesaksian intelektual yang memelihara keadilan rasional di masyarakat.¹⁹ Dalam dunia akademik kontemporer, prinsip tashdīq dapat diterjemahkan sebagai etika dialog ilmiah yang menolak otoritarianisme kognitif dan mendorong kolaborasi lintas budaya serta disiplin ilmu.²⁰

Dengan demikian, tashdīq menjadi landasan bagi “etika diskursus Islam,” yang menjembatani antara tradisi rasionalitas klasik dan komunikasi kritis modern. Ia mengajarkan bahwa kebenaran bukan hanya apa yang diyakini individu, tetapi apa yang dapat dibenarkan bersama melalui argumentasi yang jujur dan terbuka.

9.5.       Tashdīq sebagai Paradigma Humanistik-Integral

Secara filosofis, sintesis dari seluruh dimensi tashdīq menghasilkan paradigma pengetahuan yang humanistik dan integral. Tashdīq menempatkan manusia sebagai subjek rasional sekaligus makhluk moral yang bertanggung jawab terhadap kebenaran.²¹ Dalam kerangka ini, rasionalitas tidak menjadi alat dominasi, tetapi sarana pengabdian terhadap nilai-nilai Ilahi dan kemanusiaan.²²

Paradigma tashdīq juga menolak dikotomi antara sains dan agama, antara fakta dan nilai, antara rasio dan wahyu. Ia mengajarkan bahwa semua bentuk pengetahuan sejati berakar pada satu sumber kebenaran (al-ḥaqq al-wāḥid).²³ Oleh karena itu, sintesis filosofis tashdīq menegaskan kembali semangat tawḥīd dalam epistemologi: menyatukan kebenaran logis, moral, dan spiritual dalam satu kesatuan rasionalitas yang integral.

Dengan demikian, tashdīq bukan hanya konsep logika, tetapi prinsip universal bagi kebangkitan intelektual Islam dan pembaruan rasionalitas manusia secara global.²⁴ Ia menawarkan jalan tengah antara empirisme yang kering dan spiritualisme yang kabur—sebuah paradigma berpikir yang kritis, etis, dan berorientasi pada kemanusiaan universal.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 93.

[2]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 31.

[3]                Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Muḥammad Taqī Dānishpazhūh (Tehran: Dānishgāh Tehran, 1985), 177.

[4]                Ibid., 178.

[5]                Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1949), 37.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 79.

[7]                Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 43.

[8]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 2:146.

[9]                Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 27.

[10]             Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 36.

[11]             Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens (London: Allen & Unwin, 1964), 135.

[12]             Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), 62.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 114.

[14]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 68.

[15]             Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsah al-Madaniyyah, ed. Fauzi Najjar (Beirut: Dār al-Mashriq, 1964), 33.

[16]             Habermas, Jürgen, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 88.

[17]             Ibid., 93.

[18]             Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Abd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-‘Ulūm, 2005), 1:412.

[19]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983), 175.

[20]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 291.

[21]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford: Oxford University Press, 1934), 74.

[22]             Mehdi Ha’iri Yazdi, Knowledge by Presence, 41.

[23]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 83.

[24]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 97.


10.       Kesimpulan

Konsep tashdīq menempati posisi kunci dalam sistem epistemologi Islam karena ia menghubungkan antara proses rasional, struktur realitas, dan nilai-nilai etika pengetahuan.¹ Sebagai bentuk penetapan dan pembenaran, tashdīq bukan sekadar aktivitas logis yang bersifat formal, melainkan juga peristiwa epistemik dan eksistensial yang menegaskan hubungan manusia dengan kebenaran (al-ḥaqq). Dalam konteks Ilmu Manṭiq, tashdīq menjadi puncak dari proses berpikir rasional setelah tashawwur, sebab pada tahap inilah akal mengaktualkan kemampuannya untuk menilai dan menetapkan sesuatu sebagai benar atau salah.²

Secara ontologis, tashdīq menegaskan bahwa kebenaran adalah relasi antara pikiran dan realitas; ia tidak berdiri di luar akal, tetapi juga tidak sepenuhnya diciptakan oleh akal.³ Relasi ini bersifat partisipatif, di mana manusia mengambil bagian dalam tatanan kebenaran yang lebih tinggi dan objektif. Dengan demikian, tashdīq menjadi titik temu antara epistemologi manusia dan metafisika ketuhanan—antara rasionalitas empiris dan kesadaran spiritual.⁴

Dari sisi epistemologis, tashdīq merepresentasikan logika pembenaran yang melibatkan interaksi harmonis antara pengalaman, akal, dan intuisi intelektual (ḥads).⁵ Dalam kerangka ini, akal berfungsi bukan hanya sebagai alat inferensi, tetapi juga sebagai wahana untuk mencapai kepastian rasional (yaqīn). Hal ini membedakan logika Islam dari rasionalisme Barat modern yang cenderung memisahkan kebenaran dari nilai. Sebaliknya, epistemologi Islam melalui tashdīq menegaskan bahwa kebenaran sejati selalu menyatu dengan kebaikan dan keadilan.⁶

Secara aksiologis, tashdīq memuat nilai-nilai moral yang mendasari etika berpikir. Ia menuntut kejujuran, tanggung jawab, dan integritas intelektual. Menetapkan sesuatu sebagai benar bukanlah tindakan netral, tetapi sebuah komitmen moral terhadap realitas.⁷ Karena itu, tashdīq adalah bentuk amānah ‘ilmiyyah—tanggung jawab epistemik yang menuntun manusia untuk berpikir dengan disiplin, adil, dan terbuka terhadap koreksi.⁸ Dalam konteks sosial-intelektual, tashdīq berfungsi menjaga rasionalitas kolektif, membentuk budaya ilmiah yang berbasis argumentasi, dan memperkuat dialog antartradisi pengetahuan.⁹

Secara filosofis, keseluruhan dimensi tashdīq memperlihatkan bahwa logika Islam bersifat integral dan humanistik. Ia menghubungkan akal dengan hati, ilmu dengan etika, dan pengetahuan dengan tindakan. Dalam dunia modern yang mengalami krisis kebenaran dan polarisasi makna, prinsip tashdīq menawarkan paradigma alternatif yang menegaskan pentingnya verifikasi rasional dan tanggung jawab moral sekaligus.¹⁰ Dengan demikian, tashdīq dapat dipahami sebagai fondasi bagi kebangkitan epistemologi Islam yang dialogis, etis, dan transformatif—sebuah rasionalitas yang bukan hanya berpikir tentang kebenaran, tetapi juga hidup di dalamnya.¹¹


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 97.

[2]                Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdī (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 53.

[3]                Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 39.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 81.

[5]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: SUNY Press, 1992), 35.

[6]                Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 33.

[7]                Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Akhlāq-i Nāṣirī, trans. G. M. Wickens (London: Allen & Unwin, 1964), 137.

[8]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ed. Ḥilmī Nāṣir (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 2:149.

[9]                Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, ed. ‘Abd al-Salām al-Shaddādī (Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-‘Ulūm, 2005), 1:404.

[10]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 294.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: Harper, 2002), 114.


Daftar Pustaka

Abharī, A. al-D. (1996). Isāghūjī fī al-Manṭiq (ʿA. al-Ṣaghīr, Ed.). Beirut: Dār al-Bashā’ir al-Islāmiyyah.

Adamson, P. (2002). The Arabic Plotinus: A Philosophical Study of the Theology of Aristotle. London: Duckworth.

Aristotle. (1931). De Interpretatione (E. M. Edghill, Trans.). In W. D. Ross (Ed.), The Works of Aristotle. Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1938). Prior Analytics (A. J. Jenkinson, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Badawi, A. (1961). La Logique d’Al-Fārābī. Paris: Vrin.

Bakar, O. (1991). Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science. Kuala Lumpur: ISTAC.

Bakar, O. (1998). Classification of Knowledge in Islam. Cambridge: Islamic Texts Society.

Barnes, J. (1975). Aristotle: Posterior Analytics. Oxford: Clarendon Press.

Capra, F. (2014). The Systems View of Life: A Unifying Vision. Cambridge: Cambridge University Press.

Corbin, H. (1960). Avicenna and the Visionary Recital. Princeton: Princeton University Press.

Fakhry, M. (1983). A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press.

Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information. Oxford: Oxford University Press.

Floridi, L. (2019). The Logic of Information: A Theory of Philosophy as Conceptual Design. Oxford: Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. Marshall, Trans.). London: Continuum.

Ghazālī, A. H. al-. (1904). al-Mustaṣfā min ʿIlm al-Uṣūl. Cairo: al-Maṭbaʿah al-Amīriyyah.

Ghazālī, A. H. al-. (1957). Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn (Ḥ. Nāṣir, Ed.). Cairo: Dār al-Maʿārif.

Ghazālī, A. H. al-. (1988). al-Munqidh min al-Ḍalāl. Beirut: Dār al-Fikr.

Ghazālī, A. H. al-. (1990). Miʿyār al-ʿIlm. Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries). London: Routledge.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Albany: SUNY Press.

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (2003). Truth and Justification (B. Fultner, Trans.). Cambridge: MIT Press.

Hallaq, W. (1985). Greek Logicians and Islamic Thinkers: The Transmission of Logic into Arabic. Leiden: Brill.

Iqbal, M. (1934). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Oxford: Oxford University Press.

Izutsu, T. (1971). The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.

Jābirī, M. ʿĀ. al-. (1990). Naqd al-ʿAql al-ʿArabī: al-ʿAql al-Bayānī. Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-ʿArabiyyah.

Keyes, R. (2004). The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. New York: St. Martin’s Press.

Khaldūn, I. (2005). al-Muqaddimah (ʿA. al-Shaddādī, Ed.). Casablanca: Bayt al-Funūn wa al-ʿUlūm.

Kindī, A. al-. (1950). Rasāʾil al-Kindī al-Falsafiyyah (M. A. H. Abū Rīdah, Ed.). Cairo: Dār al-Fikr al-ʿArabī.

Leaman, O. (2001). An Introduction to Classical Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Nasr, S. H. (1968). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: SUNY Press.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: Harper.

Peters, F. E. (1968). Aristoteles Arabus: The Oriental Translations and Commentaries on the Aristotelian Corpus. Leiden: Brill.

Rāzī, F. al-D. (1999). al-Mulakhkhaṣ fī al-Manṭiq wa al-Ḥikmah (A. Ḥ. al-Saqqā, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah.

Rāzī, F. al-D. (1980). Sharḥ al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (A. Nūrānī, Ed.). Tehran: Dānishgāh Tehran.

Rescher, N. (1963). Studies in the History of Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

Rushd, I. (1938). Talkhīṣ al-Burhān (M. Bouyges, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.

Rushd, I. (1959). Fasl al-Maqāl (G. Hourani, Ed.). Leiden: Brill.

Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. London: Mansell.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Shihadeh, A. (2006). The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Leiden: Brill.

Sorabji, R. (1980). Necessity, Cause, and Blame. Ithaca: Cornell University Press.

Tarski, A. (1956). Logic, Semantics, and Metamathematics. Oxford: Oxford University Press.

Ṭūsī, N. al-D. (1964). Akhlāq-i Nāṣirī (G. M. Wickens, Trans.). London: Allen & Unwin.

Ṭūsī, N. al-D. (1970). Asās al-Iqtibās fī al-Manṭiq. Tehran: Dānishgāh Tehran.

Vallor, S. (2016). Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting. Oxford: Oxford University Press.

Wittgenstein, L. (1958). Philosophical Investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar