Sabtu, 02 Agustus 2025

Takdir dan Ketergantungan Emosional: Tinjauan Filosofis dan Psikologis tentang Krisis Penerimaan Diri

Takdir dan Ketergantungan Emosional

Tinjauan Filosofis dan Psikologis tentang Krisis Penerimaan Diri


Alihkan ke: Stoikisme, Sikap Sederhana dan Santun.


Abstrak

Artikel ini membahas secara kritis fenomena penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional sebagai bentuk krisis penerimaan diri yang kian nyata dalam kehidupan modern. Dari sudut pandang psikologis, individu yang mengalami penolakan terhadap kenyataan hidup cenderung menunjukkan gejala maladaptif seperti keluhan berlebihan, menyalahkan lingkungan sosial, dan ketergantungan tinggi terhadap validasi serta dukungan eksternal. Ketergantungan semacam ini mengikis otonomi emosional dan memperburuk ketidakstabilan afektif. Sementara itu, secara filosofis, penolakan takdir mencerminkan kegagalan dalam merangkul eksistensi secara utuh dan menolak absurditas realitas, sebagaimana dijelaskan dalam eksistensialisme Kierkegaard dan Tillich. Artikel ini menyajikan tinjauan komprehensif terhadap konsep penerimaan diri dalam psikologi positif, membedah dampaknya terhadap relasi sosial, serta menawarkan strategi penyembuhan berbasis terapi kognitif dan pendekatan spiritual. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini menegaskan pentingnya integrasi antara rasionalitas, spiritualitas, dan kesadaran emosional sebagai fondasi utama bagi proses penerimaan diri yang sehat dan berdaya.

Kata Kunci: penerimaan diri, penolakan takdir, ketergantungan emosional, eksistensialisme, psikologi positif, kesehatan mental.


PEMBAHASAN

Antara Penolakan Takdir dan Ketergantungan Emosional


1.           Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, menerima kenyataan atau takdir seringkali menjadi tantangan eksistensial yang berat. Tidak sedikit individu yang, ketika berhadapan dengan kesulitan atau kegagalan dalam hidup, justru terjebak dalam siklus keluhan, penyalahan terhadap lingkungan, dan tuntutan terhadap orang lain untuk menjamin dirinya selalu berada dalam kondisi baik. Perilaku semacam ini seringkali mengarah pada ketergantungan emosional, kehilangan otonomi psikologis, dan krisis dalam penerimaan diri. Fenomena ini menjadi semakin nyata dalam budaya kontemporer yang sering menekankan validasi eksternal dan kesejahteraan instan.

Dari sudut pandang psikologi, ketidakmampuan menerima keadaan hidup atau diri sendiri sering berkaitan dengan rendahnya self-acceptance dan kecenderungan external locus of control, yaitu kecenderungan individu untuk meyakini bahwa kebahagiaan dan penderitaannya ditentukan oleh faktor eksternal, bukan oleh kontrol pribadi (Rotter, 1966). Individu dengan pola ini cenderung mudah menyalahkan orang lain, mengeluh secara berlebihan, dan menuntut kompensasi dari luar, seperti perhatian berlebih, jaminan materi, atau perlakuan istimewa. Albert Ellis (1962), dalam teorinya tentang rational emotive behavior therapy (REBT), menyebut pola ini sebagai bentuk irrational beliefs, yaitu keyakinan tidak rasional yang membuat seseorang merasa bahwa dunia harus memperlakukan dirinya sesuai harapan pribadi.

Dalam sudut pandang filsafat, terutama dalam aliran stoisisme, sikap mengeluh dan menuntut dunia untuk berlaku adil terhadap keinginan pribadi dianggap sebagai sumber utama penderitaan. Marcus Aurelius, dalam Meditations, menyatakan bahwa manusia seharusnya membedakan antara apa yang berada dalam kendali dan di luar kendali dirinya; penderitaan terjadi ketika seseorang menaruh harapan pada hal-hal yang tak bisa ia kendalikan. Stoisisme menekankan ataraxia, atau ketenangan batin yang dicapai melalui penerimaan terhadap nasib yang telah digariskan oleh logos semesta (Epictetus, Enchiridion).

Islam sendiri memandang penerimaan takdir (qadha dan qadar) sebagai bagian integral dari keimanan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah Saw menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sampai ia percaya kepada takdir, baik yang baik maupun yang buruk. Namun, keimanan terhadap takdir tidak berarti pasrah secara fatalistik. Islam menekankan keseimbangan antara ikhtiar (usaha manusiawi) dan tawakal (berserah diri), serta melarang sikap menyalahkan orang lain secara berlebihan dalam menghadapi kesulitan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Najm [53] ayat 39 bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali dari apa yang diusahakannya.

Permasalahan ini penting untuk dikaji karena ia menyentuh ranah yang sangat mendasar dalam struktur psikologis dan spiritual manusia. Di satu sisi, manusia ingin dimengerti, dipedulikan, dan dipenuhi kebutuhannya. Namun di sisi lain, ketika ketergantungan terhadap pengakuan dan pemenuhan dari luar menjadi berlebihan, maka muncul ketidakseimbangan dalam diri. Maka dari itu, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara kritis persoalan penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional melalui pendekatan filosofis dan psikologis, demi memahami akar masalah serta solusi yang dapat ditempuh demi membangun penerimaan diri yang sehat dan tangguh.


2.           Konsep Dasar Penerimaan Diri dan Takdir

2.1.       Penerimaan Diri dalam Psikologi

Penerimaan diri (self-acceptance) adalah elemen mendasar dalam kesehatan psikologis individu. Konsep ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengakui, menerima, dan menghargai dirinya sendiri secara utuh, termasuk kelemahan, keterbatasan, dan kegagalan yang dimiliki. Carol D. Ryff (1989), dalam model psychological well-being, menyebut self-acceptance sebagai salah satu dari enam aspek penting kesejahteraan psikologis, bersama dengan otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan hubungan positif dengan orang lain. Individu dengan penerimaan diri yang baik cenderung tidak terlalu bergantung pada pengakuan dari luar dan mampu berdamai dengan kenyataan hidup, termasuk hal-hal yang tidak sesuai harapan.

Carl Rogers, tokoh humanistik dalam psikologi, juga menekankan pentingnya unconditional positive regard—penghargaan terhadap diri sendiri tanpa syarat—untuk membentuk kepribadian yang sehat. Rogers menyatakan bahwa masalah psikologis sering kali muncul ketika seseorang merasa dirinya hanya layak dihargai jika memenuhi ekspektasi tertentu, baik dari diri sendiri maupun orang lain (Rogers, 1961). Kondisi ini membuat individu kesulitan menerima kenyataan ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana, lalu menyalahkan orang lain dan merasa bahwa dunia harus memuaskan kebutuhannya.

Ketika penerimaan diri tidak terbentuk secara sehat, muncul kecenderungan external locus of control—sebuah kondisi di mana seseorang merasa kehidupannya dikendalikan oleh kekuatan luar seperti takdir, keberuntungan, atau perlakuan orang lain (Rotter, 1966). Orang yang memiliki pola pikir ini cenderung menghindari tanggung jawab personal, merasa tidak berdaya, dan memiliki harapan tidak realistis agar orang lain terus-menerus memperhatikan dan memenuhi kebutuhannya.

2.2.       Takdir dalam Perspektif Filsafat dan Teologi

Dalam konteks filsafat, persoalan takdir telah menjadi topik utama dalam diskursus tentang kebebasan, determinisme, dan tanggung jawab moral. Kaum Stoik, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, mengajarkan bahwa takdir adalah bagian dari tatanan alam yang rasional (logos), dan manusia akan menemukan ketenangan batin ketika ia menerima apa yang tidak bisa diubah. Bagi para Stoik, penderitaan muncul bukan karena peristiwa itu sendiri, tetapi karena cara kita memandang peristiwa tersebut. Dalam Enchiridion, Epictetus menulis, "Jangan berharap bahwa segala sesuatu terjadi seperti yang kamu inginkan, tetapi harapkanlah bahwa semuanya terjadi sebagaimana mestinya—dan kamu akan menjalani hidup dengan damai."

Sementara itu, dalam filsafat eksistensialisme, seperti dipaparkan oleh Jean-Paul Sartre, penolakan terhadap takdir tidak diartikan sebagai pembangkangan terhadap realitas, tetapi sebagai penegasan kebebasan manusia. Sartre menolak determinisme mutlak dan menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”, artinya ia bertanggung jawab penuh atas pilihan dan sikapnya, bahkan ketika ia dilahirkan dalam situasi yang tidak ia pilih. Maka, mengeluh dan menyalahkan dunia hanyalah bentuk pelarian dari tanggung jawab eksistensial.

Dalam teologi Islam, takdir (qadha dan qadar) dipahami sebagai bagian dari rukun iman, yaitu kepercayaan terhadap ketentuan Allah atas segala hal yang terjadi, baik yang disenangi maupun tidak. Namun, Islam menolak pandangan fatalistik. QS. Ar-Ra’d [13] ayat 11 menegaskan bahwa "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Ayat ini menunjukkan bahwa meskipun takdir merupakan ketetapan Ilahi, manusia tetap memiliki peran aktif melalui ikhtiar dan tanggung jawab pribadi.

Penerimaan terhadap takdir dalam Islam juga erat kaitannya dengan sikap ridha, yaitu merasa lapang dada terhadap segala ketentuan Allah, dan sabr, yakni keteguhan hati dalam menghadapi ujian. Sikap ini tidak berarti pasrah secara pasif, tetapi mencerminkan kedewasaan spiritual untuk menyikapi realitas dengan tenang, tanpa keluhan berlebihan atau tuntutan yang menyusahkan orang lain. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan... Jika ditimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu baik baginya." (HR. Muslim)

Dengan demikian, konsep penerimaan diri dan takdir menuntut keseimbangan antara kesadaran akan realitas yang tidak dapat diubah dan tanggung jawab personal dalam meresponsnya. Ketidakseimbangan dalam dua aspek ini bisa berujung pada sikap menyalahkan, menuntut, dan menggantungkan harga diri pada reaksi orang lain, yang pada akhirnya merusak kesehatan mental maupun spiritual seseorang.


3.           Manifestasi Penolakan Takdir dalam Kehidupan Sehari-hari

Penolakan terhadap takdir bukan hanya sebuah sikap internal yang tertanam dalam pikiran atau keyakinan seseorang, melainkan juga tercermin nyata dalam perilaku dan relasi sosial sehari-hari. Individu yang mengalami krisis penerimaan diri dan tidak mampu berdamai dengan kenyataan hidup biasanya menunjukkan pola perilaku yang khas: suka mengeluh, menyalahkan pihak luar atas penderitaannya, dan memiliki ekspektasi tidak realistis terhadap lingkungan sosialnya untuk memenuhi kebutuhan emosional dan material secara terus-menerus.

3.1.       Suka Mengeluh dan Merasa Dunia Tidak Adil

Mengeluh merupakan salah satu bentuk ekspresi frustrasi yang muncul ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Dalam psikologi kognitif, keluhan berlebihan dapat menjadi manifestasi dari cognitive distortion, seperti catastrophizing (melebih-lebihkan dampak negatif suatu peristiwa) atau personalization (merasa bahwa segala sesuatu yang buruk terjadi karena dirinya diperlakukan tidak adil oleh dunia) sebagaimana dijelaskan oleh Aaron T. Beck dalam teori Cognitive Therapy of Depression. Orang yang terjebak dalam pola ini biasanya tidak melihat peluang solusi, melainkan larut dalam rasa kecewa, iri terhadap orang lain, dan merasa diri sebagai korban terus-menerus (victim mentality).

Secara sosiologis, budaya mengeluh juga diperkuat oleh lingkungan yang permisif dan media sosial yang memberi ruang untuk eksploitasi kesedihan pribadi sebagai konten atau alat mendapatkan simpati. Erving Goffman, dalam The Presentation of Self in Everyday Life, menyebut bahwa manusia cenderung mengatur "penampilan diri" di depan umum untuk mendapatkan pengakuan, bahkan dengan menampilkan narasi penderitaan sebagai strategi eksistensial.

3.2.       Menyalahkan Orang Lain dan Enggan Bertanggung Jawab

Penolakan terhadap kenyataan sering diiringi dengan mekanisme pertahanan diri berupa projection—yaitu kecenderungan menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kegagalan diri sendiri. Sigmund Freud menyebut ini sebagai salah satu bentuk ego defense mechanism yang digunakan untuk menghindari rasa bersalah atau rendah diri. Misalnya, seseorang yang gagal secara finansial mungkin tidak mau mengakui kurangnya usaha atau perencanaan, tetapi justru menyalahkan keluarganya, sistem sosial, atau “nasib buruk” yang dirasa tidak adil.

Dalam filsafat eksistensialisme, tindakan menyalahkan orang lain merupakan bentuk pelarian dari tanggung jawab eksistensial. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa setiap manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Ketika seseorang melepaskan tanggung jawab dengan menyalahkan dunia atau orang lain, ia sesungguhnya sedang menyangkal kebebasan dan martabatnya sebagai subjek moral (mauvais foi—niat buruk).

3.3.       Tuntutan untuk Selalu Diperhatikan dan Diberi Hak Istimewa

Salah satu manifestasi paling nyata dari krisis penerimaan diri adalah tuntutan berlebihan terhadap perhatian, pemakluman, dan bantuan dari orang lain. Individu yang belum menerima takdirnya dengan ikhlas cenderung merasa bahwa dunia “berutang” kepadanya karena penderitaannya. Akibatnya, ia menuntut agar orang lain selalu memahami perasaannya, memberinya hak istimewa, bahkan memenuhi kebutuhannya secara material tanpa memperhitungkan kemampuan atau kepentingan orang lain.

Dalam psikologi perkembangan, kondisi ini bisa muncul sebagai akibat dari parenting style yang tidak seimbang, misalnya terlalu memanjakan anak (permissive parenting) atau sebaliknya, tidak memenuhi kebutuhan emosional anak secara konsisten (neglectful parenting), sebagaimana diuraikan oleh Diana Baumrind. Akibatnya, ketika dewasa, individu tersebut mencari pemenuhan emosional yang tidak ia dapatkan di masa kecil dengan cara menuntut dari lingkungan sekitar.

Sikap ini juga berkaitan dengan ciri-ciri dari Dependent Personality Disorder atau narcissistic traits, di mana seseorang sangat membutuhkan validasi eksternal dan tidak memiliki ketahanan emosional untuk mengatasi kegagalan atau ketidaknyamanan. Dalam jangka panjang, pola ini dapat merusak hubungan sosial, menimbulkan konflik interpersonal, dan memperdalam luka psikologis karena tidak kunjung belajar untuk berdiri secara mandiri.

3.4.       Ketidakmampuan untuk Bersyukur dan Bersabar

Penolakan terhadap takdir juga sering kali tampak dalam ketidakmampuan untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang sudah dimiliki dan tidak adanya kesabaran dalam menghadapi proses kehidupan. Dalam perspektif Islam, dua sikap ini—syukur dan sabr—adalah kunci untuk menghadapi dinamika kehidupan. Namun, ketika seseorang terobsesi pada apa yang tidak ia miliki dan merasa bahwa orang lain berkewajiban memenuhi kekosongan itu, ia justru menutup dirinya dari potensi pertumbuhan batin dan kebijaksanaan spiritual.

Seperti dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din, manusia yang tidak mengenal batas dirinya dan tidak mengakui kelemahan sebagai bagian dari fitrah, akan selalu berada dalam keresahan yang tidak berkesudahan. Ia terjebak dalam hasrat yang tidak realistis dan tuntutan yang tidak pernah selesai.


Secara keseluruhan, manifestasi penolakan takdir bukan sekadar persoalan spiritual atau moral, melainkan berkaitan erat dengan pola pikir, pengasuhan, dan kesehatan mental. Oleh karena itu, memahami gejalanya dalam kehidupan sehari-hari merupakan langkah penting untuk menyadari bahwa jalan keluar dari penderitaan bukanlah dengan mengeluh atau menuntut dunia berubah, tetapi dengan merevolusi cara pandang terhadap diri sendiri dan kenyataan yang dihadapi.


4.           Analisis Psikologis

Penolakan terhadap takdir dan kecenderungan menggantungkan kesejahteraan emosional pada orang lain merupakan gejala yang erat kaitannya dengan dinamika kepribadian, pola pikir, dan pengalaman masa lalu individu. Dalam kerangka psikologi, kondisi ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil dari berbagai interaksi antara faktor internal dan eksternal yang membentuk struktur kepribadian seseorang.

4.1.       Asal-Usul Psikologis Ketidakmampuan Menerima Keadaan

Ketidakmampuan menerima kenyataan hidup atau takdir sering kali berakar dari luka batin awal atau yang dalam teori psikologi populer disebut sebagai inner child wound. Individu yang mengalami penolakan, pengabaian, atau tekanan tinggi sejak masa kecil akan membentuk skema mental tertentu yang kelak menentukan cara mereka merespons stres, kegagalan, dan relasi sosial. John Bowlby, melalui teori attachment, menjelaskan bahwa hubungan awal dengan figur pengasuh utama membentuk model kerja internal yang menjadi dasar kepercayaan terhadap diri sendiri dan dunia. Anak yang tidak mendapatkan kelekatan yang aman (secure attachment) cenderung tumbuh menjadi pribadi yang rapuh secara emosional, mudah merasa tidak dicintai, dan selalu mencari validasi dari luar.

Diana Baumrind menambahkan melalui klasifikasi gaya pengasuhan bahwa pola asuh permisif—yang terlalu memanjakan anak tanpa batasan tegas—serta pola otoriter—yang penuh tekanan tanpa empati—sama-sama dapat merusak pembentukan kemandirian dan penerimaan diri. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan seperti ini kerap tumbuh menjadi individu yang tidak siap menghadapi kenyataan pahit dan lebih suka menuntut daripada bertanggung jawab.

Lebih lanjut, menurut Aaron T. Beck, dalam kerangka terapi kognitifnya, individu yang tidak mampu menerima kenyataan hidup biasanya memiliki core beliefs atau keyakinan dasar yang disfungsional, seperti “Saya tidak berharga kecuali jika orang lain menerima saya,” atau “Saya tidak bisa bahagia kalau orang lain tidak peduli.” Keyakinan ini mendorong pola pikir all-or-nothing thinking dan emotional reasoning yang membuat seseorang merasa dunia harus memenuhi kebutuhannya agar ia merasa tenang dan berharga.

4.2.       Pola Kepribadian yang Relevan

Dalam konteks gangguan kepribadian, perilaku menuntut perhatian dan ketidakmampuan menerima kenyataan juga bisa terkait dengan pola kepribadian tertentu. Salah satunya adalah Dependent Personality Disorder (DPD), yaitu kondisi psikologis di mana seseorang sangat takut kehilangan dukungan dan persetujuan dari orang lain, sehingga ia akan bergantung secara emosional secara berlebihan. Individu dengan DPD kesulitan membuat keputusan sendiri, merasa tidak mampu menjalani hidup tanpa bantuan, dan cenderung tunduk pada tuntutan sosial agar tidak ditinggalkan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), ciri utama DPD adalah kebutuhan yang berlebihan untuk dirawat dan diperhatikan, yang sering kali membuat penderitanya mengorbankan tanggung jawab pribadi.

Selain itu, kecenderungan narsistik juga bisa terlibat. Meskipun Narcissistic Personality Disorder (NPD) memiliki spektrum yang luas, pada intinya, individu dengan ciri narsistik cenderung memiliki harga diri yang rapuh dan bergantung pada pujian eksternal. Mereka sering merasa bahwa dunia harus memahami perasaannya, memberikan perlakuan istimewa, dan mengakui keunikan dirinya. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, ia akan merespons dengan kemarahan, keluhan, atau penarikan diri yang menyalahkan pihak luar. Heinz Kohut, dalam Self Psychology, menjelaskan bahwa narsisme patologis berkembang ketika individu gagal membentuk struktur diri yang utuh karena tidak mendapatkan cermin empatik yang memadai di masa perkembangan awal.

4.3.       Locus of Control dan Mentalitas Korban

Konsep locus of control yang diperkenalkan oleh Julian Rotter berperan penting dalam memahami bagaimana seseorang memaknai kenyataan hidupnya. Individu dengan external locus of control meyakini bahwa hidup mereka dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal seperti nasib, keberuntungan, atau tindakan orang lain. Ini membuat mereka merasa tidak memiliki kuasa untuk mengubah hidupnya, lalu terjebak dalam sikap pasif, mengeluh, dan menuntut. Sebaliknya, individu dengan internal locus of control cenderung merasa bahwa dirinya mampu menentukan jalan hidupnya melalui usaha dan keputusan sendiri, yang merupakan fondasi penting bagi penerimaan diri dan ketahanan psikologis.

Fenomena victim mentality atau mentalitas korban juga menjadi sorotan dalam psikologi kontemporer. Ini adalah pola pikir di mana seseorang selalu merasa menjadi korban keadaan dan enggan bertanggung jawab atas posisinya dalam hidup. Menurut Winch (2012), mentalitas korban bukan hanya membuat seseorang tidak berkembang, tetapi juga merusak relasi sosial karena ia memanipulasi empati orang lain untuk mendapatkan simpati dan pembenaran. Akibatnya, alih-alih berproses menuju pemulihan dan pertumbuhan, individu ini justru melanggengkan penderitaan yang sebetulnya bisa diubah melalui kesadaran dan tanggung jawab pribadi.


Secara keseluruhan, analisis psikologis menunjukkan bahwa penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional bukanlah sekadar kelemahan spiritual, tetapi berkaitan erat dengan luka masa lalu, distorsi kognitif, dan pola kepribadian yang tidak sehat. Oleh karena itu, penanganan terhadap kondisi ini memerlukan pendekatan yang menyeluruh—baik melalui terapi psikologis, rekonstruksi keyakinan diri, maupun pembinaan spiritualitas yang menumbuhkan sikap sabar, syukur, dan mandiri secara emosional.


5.           Analisis Filosofis

Penolakan terhadap takdir dan kecenderungan menggantungkan kehidupan emosional pada orang lain bukan hanya persoalan psikologis, tetapi juga menyentuh dimensi filosofis yang mendalam—menyangkut cara manusia memahami eksistensinya, kebebasannya, dan relasinya dengan realitas. Dalam sejarah pemikiran, berbagai aliran filsafat telah menawarkan kerangka pemahaman mengenai bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap kenyataan yang tidak ia pilih, serta bagaimana membangun otonomi diri di tengah keterbatasan takdir.

5.1.       Perspektif Stoisisme: Damai dalam Ketidakpastian

Filsafat Stoa, terutama melalui pemikiran Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, menempatkan acceptance of fate (amor fati) sebagai inti dari kehidupan bijak. Stoisisme mengajarkan bahwa penderitaan manusia bukan berasal dari peristiwa eksternal, tetapi dari penilaian subjektif terhadap peristiwa tersebut. Epictetus menulis dalam Enchiridion, “Bukan peristiwa yang menyiksa kita, tetapi cara kita menilainya.” Oleh karena itu, kebijaksanaan terletak pada kemampuan membedakan antara hal yang bisa dikendalikan (pikiran, sikap, tindakan) dan hal yang tidak bisa dikendalikan (nasib, tubuh, pendapat orang lain).

Stoik menolak sikap mengeluh atau menyalahkan dunia. Bagi mereka, manusia seharusnya tidak menuntut realitas untuk sesuai dengan kehendaknya, tetapi mengarahkan kehendaknya agar sejalan dengan realitas. Inilah bentuk tertinggi dari inner freedom, yaitu kebebasan batin yang tidak bergantung pada keadaan lahiriah. Orang yang mampu menerima takdirnya tanpa keluhan adalah orang yang telah mencapai kebajikan (virtue) dan ataraxia—ketenangan jiwa yang stabil.

Ketika seseorang menggantungkan perasaannya pada pengakuan, perhatian, atau kepedulian orang lain, ia kehilangan kendali atas hidupnya dan menjadi budak dari hal-hal eksternal. Stoisisme menolak bentuk kehidupan yang tidak otonom ini dan menekankan pentingnya self-governance sebagai bentuk kematangan moral.

5.2.       Eksistensialisme: Kebebasan dan Tanggung Jawab Diri

Sementara Stoisisme berfokus pada penerimaan realitas, filsafat eksistensialisme—sebagaimana dikembangkan oleh Søren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, dan Viktor Frankl—menggarisbawahi kebebasan dan tanggung jawab individu dalam menciptakan makna dari hidupnya, bahkan ketika hidup tampak absurd atau menyakitkan. Sartre dalam Being and Nothingness menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”; ia tidak bisa tidak memilih, dan karena itu ia harus bertanggung jawab penuh atas eksistensinya.

Ketika seseorang menolak kenyataan dan terus-menerus menyalahkan orang lain, ia sesungguhnya sedang terjebak dalam apa yang oleh Sartre disebut sebagai bad faith (mauvaise foi), yaitu kondisi di mana seseorang menyangkal kebebasannya dengan bersembunyi di balik peran, nasib, atau harapan dari orang lain. Dalam bad faith, seseorang tidak hidup secara otentik, melainkan terus menghindar dari tanggung jawab eksistensialnya.

Berbeda dengan fatalisme yang pasrah buta terhadap takdir, eksistensialisme memandang bahwa bahkan dalam keterbatasan pun, manusia memiliki ruang untuk memilih: memilih bagaimana merespons penderitaan, bagaimana memberi makna terhadap peristiwa yang menimpa, dan bagaimana membentuk dirinya melalui kebebasan yang bertanggung jawab. Inilah yang dikembangkan oleh Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning, di mana ia menyaksikan bahwa mereka yang bertahan di kamp konsentrasi Nazi adalah orang-orang yang mampu menemukan makna, meskipun dalam penderitaan paling brutal sekalipun.

5.3.       Pandangan Islam: Takdir, Ikhtiar, dan Etika Relasional

Dalam Islam, takdir (qadha dan qadar) merupakan bagian dari keimanan. Namun, ajaran Islam menolak sikap fatalistik dan pasif dalam menyikapi kenyataan. QS. Al-Hadid [57] ayat 22-23 menyebutkan bahwa segala musibah terjadi dengan izin Allah, agar manusia tidak terlalu bersedih atas apa yang hilang dan tidak terlalu sombong atas apa yang diperoleh. Di sisi lain, QS. Ar-Ra’d [13] ayat 11 mengingatkan bahwa perubahan hidup bergantung pada usaha manusia itu sendiri: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Pandangan Islam bersifat integratif: takdir dipahami sebagai ketetapan Ilahi yang berada dalam hikmah-Nya yang luas, tetapi manusia tetap diberi kehendak bebas (ikhtiar) dan tanggung jawab atas tindakannya. Sikap ideal terhadap takdir adalah ridha dan sabr, bukan keluhan, menyalahkan, atau menuntut orang lain. Rasulullah Saw bersabda, “Bersemangatlah untuk hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah” (HR. Muslim), yang mencerminkan etika optimisme dan proaktif meski dalam bingkai ketundukan spiritual.

Lebih dari itu, Islam juga memiliki etika sosial yang kuat. Seseorang tidak dibenarkan menyusahkan orang lain dengan tuntutan yang tidak proporsional, memanipulasi empati, atau menciptakan ketergantungan emosional yang tidak sehat. QS. Al-Baqarah [02] ayat 286 menyebut bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya—dan secara analogis, manusia juga tidak boleh membebani sesamanya melebihi batas kewajaran. Kepedulian adalah kewajiban moral, tetapi tidak untuk diminta secara memaksa, apalagi sebagai kompensasi atas penolakan terhadap realitas.


Filsafat, dengan pendekatan rasionalnya, dan teologi, dengan pendekatan spiritualnya, sama-sama menuntun manusia menuju kedewasaan eksistensial: bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan, dan bahwa makna hidup tidak ditemukan dalam keluhan atau tuntutan, melainkan dalam keberanian untuk menerima, bertanggung jawab, dan terus tumbuh. Manusia yang matang bukanlah manusia yang selalu “baik-baik saja”, tetapi manusia yang tetap teguh, meski keadaan tidak berjalan seperti yang ia harapkan.


6.           Dampak Sosial dan Relasional

Ketidakmampuan menerima takdir dan kecenderungan menggantungkan kesejahteraan emosional pada orang lain tidak hanya berdampak pada keseimbangan batin individu, tetapi juga menimbulkan efek domino dalam hubungan sosial. Sikap seperti suka mengeluh, menyalahkan, dan menuntut perlakuan istimewa bukan hanya merupakan beban psikologis bagi pelakunya, tetapi juga menjadi beban moral dan emosional bagi orang-orang di sekitarnya. Dalam konteks ini, krisis penerimaan diri berpotensi mengganggu ekosistem sosial, menurunkan kualitas relasi interpersonal, dan bahkan merusak iklim empati dalam komunitas.

6.1.       Ketegangan dalam Hubungan Interpersonal

Individu yang tidak mampu berdamai dengan kenyataan hidupnya cenderung menjalin hubungan dengan pola ketergantungan emosional yang tidak sehat. Ia menuntut pengertian, perhatian, atau bantuan secara berlebihan, bahkan dalam hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadinya. Dalam teori Transactional Analysis yang dikembangkan oleh Eric Berne, pola ini disebut sebagai relasi drama triangle, di mana seseorang berperan sebagai “korban” yang terus mencari “penolong” dan menyalahkan “penjahat” yang dianggap merusak hidupnya. Pola ini dapat menciptakan siklus relasi yang melelahkan secara emosional dan destruktif dalam jangka panjang.

Lebih jauh lagi, jika relasi ini berlangsung dalam keluarga, pertemanan, atau komunitas kerja, maka akan muncul beban asimetris: satu pihak menjadi “penyangga emosional” yang selalu dituntut untuk memahami dan memenuhi ekspektasi, sementara pihak yang lain merasa berhak atas perhatian dan pemakluman yang tak berkesudahan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik, rasa jenuh, dan akhirnya hubungan yang renggang atau bahkan putus.

6.2.       Beban Emosional bagi Lingkungan Sekitar

Dampak psikologis dari berinteraksi dengan individu yang menolak takdir dan cenderung menuntut berlebihan disebut dalam psikologi sebagai compassion fatigue—keletihan empatik. Charles Figley menyebut bahwa compassion fatigue dapat dialami oleh siapa pun yang terus-menerus terpapar pada tekanan emosional dari orang lain, khususnya jika individu tersebut menuntut tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan dirinya sendiri. Dalam konteks ini, orang-orang di sekitar mungkin mulai merasa bersalah jika tidak merespons keluhan, tetapi juga merasa tertekan jika terus-menerus harus menjadi penyangga emosional bagi seseorang yang menolak bertumbuh secara mandiri.

Dalam hubungan jangka panjang, fenomena ini juga bisa berkembang menjadi bentuk emotional blackmail (pemerasan emosional), di mana individu memanfaatkan rasa empati orang lain untuk mendapatkan perlakuan khusus, perhatian, atau pengorbanan yang tidak proporsional. Susan Forward menjelaskan bahwa pelaku pemerasan emosional sering menggunakan ancaman halus—seperti menarik diri, menyalahkan, atau menciptakan rasa bersalah—untuk mempertahankan kontrol atas orang lain. Ini bukan hanya merusak hubungan, tetapi juga memanipulasi batas-batas pribadi yang sehat dalam relasi.

6.3.       Pengaburan Nilai Kepedulian dalam Masyarakat

Dalam skala sosial yang lebih luas, kecenderungan sebagian orang untuk menuntut dipahami, ditolong, dan dimaklumi secara berlebihan dapat mengaburkan makna sejati dari solidaritas dan kepedulian. Masyarakat yang sehat seharusnya dibangun di atas prinsip saling mendukung dengan keseimbangan tanggung jawab. Namun jika kepedulian sosial dimanfaatkan oleh individu-individu yang menolak tanggung jawab pribadi, maka terbentuklah ketimpangan moral—di mana bantuan menjadi kewajiban sepihak, bukan kesepakatan bersama yang etis.

Dalam etika Aristotelian, relasi sosial ideal didasarkan pada philia (persahabatan sejati) yang melibatkan resiprositas dan saling menguatkan dalam kebaikan. Namun jika satu pihak hanya menuntut tanpa memberi, atau mengklaim penderitaannya sebagai alasan untuk menyingkirkan tanggung jawab, maka hubungan itu kehilangan keseimbangannya dan tidak lagi berakar pada kebajikan. Bahkan dalam filsafat konfusius, keutamaan seperti ren (kemurahan hati) dan yi (kewajaran) menuntut keharmonisan antara memberi dan menerima, bukan dominasi emosional oleh salah satu pihak.

Dalam Islam, prinsip ta’awun (saling menolong) juga dibingkai dalam semangat keadilan dan tanggung jawab. QS. Al-Ma’idah [05] ayat 2 menyerukan untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa atau kezaliman. Maka, menuntut secara berlebihan hingga menyusahkan orang lain—dengan dalih penderitaan pribadi—bisa melanggar batas moral. Bahkan Rasulullah Saw bersabda bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Thabrani), bukan yang paling sering membebani manusia lain dengan keluhannya.


Dengan demikian, penolakan takdir dan ketergantungan emosional tidak hanya melukai individu secara pribadi, tetapi juga menular dalam bentuk keretakan relasi, beban emosional kolektif, dan distorsi terhadap nilai kepedulian sosial. Oleh karena itu, pendidikan emosional dan spiritual yang mendorong tanggung jawab, penerimaan, dan keseimbangan relasi menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang sehat secara psikososial.


7.           Upaya Penyembuhan dan Perbaikan

Mengatasi krisis penerimaan diri yang berakar pada penolakan terhadap takdir dan kecenderungan ketergantungan emosional bukanlah proses instan, melainkan suatu perjalanan batin yang memerlukan kesadaran, keberanian, dan bimbingan yang tepat. Dalam perspektif psikologis maupun filosofis, upaya penyembuhan ini bertumpu pada tiga fondasi utama: pengenalan diri yang jujur, pembentukan tanggung jawab pribadi, dan penanaman makna hidup yang transendental.

7.1.       Pendekatan Psikoterapeutik: Membangun Kesadaran dan Regulasi Emosi

Dalam dunia psikologi klinis, upaya pertama untuk menyembuhkan krisis semacam ini adalah melalui terapi yang mendorong kesadaran akan kondisi diri. Terapi kognitif-perilaku (CBT) yang dikembangkan oleh Aaron T. Beck menekankan pentingnya mengenali distorsi kognitif yang melandasi perasaan tidak berdaya dan keyakinan negatif terhadap takdir. Individu dilatih untuk mengevaluasi kembali pikiran otomatis seperti “hidup tidak adil” atau “aku selalu menjadi korban”, dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih realistis dan konstruktif.

Selain itu, dialectical behavior therapy (DBT), yang awalnya dikembangkan untuk pasien borderline personality disorder, terbukti efektif dalam membantu individu mengelola ketidakstabilan emosi, mengurangi ketergantungan terhadap validasi eksternal, serta membangun keterampilan distress tolerance dan emotional regulation. Terapi ini mendorong klien untuk menerima realitas hidup yang menyakitkan tanpa harus terjebak dalam sikap mengeluh atau menyalahkan.

Mindfulness-based therapy juga terbukti bermanfaat dalam melatih individu untuk hadir dalam momen kini tanpa menghakimi pengalaman hidup yang tidak ideal. Dengan memperkuat kesadaran akan pikiran dan emosi secara netral, individu perlahan-lahan belajar untuk tidak lagi reaktif terhadap rasa kecewa atau luka masa lalu.

7.2.       Pendidikan Diri dan Pembentukan Tanggung Jawab Personal

Penerimaan terhadap takdir dan pembebasan dari ketergantungan emosional membutuhkan pembelajaran aktif mengenai konsep tanggung jawab pribadi. Viktor Frankl, dalam logoterapinya, menegaskan bahwa manusia tidak hanya makhluk yang bereaksi terhadap keadaan, tetapi makhluk yang memiliki kebebasan untuk merespons dengan makna. Dalam konteks ini, penderitaan bukan semata-mata untuk dihindari, tetapi untuk dipahami dan dijadikan titik tolak pembentukan jati diri yang lebih kuat.

Pendidikan karakter yang menanamkan nilai resiliensi, agency, dan self-efficacy sangat penting dalam proses ini. Albert Bandura menunjukkan bahwa individu dengan kepercayaan diri terhadap kemampuannya mengatasi tantangan (self-efficacy) cenderung tidak menyalahkan lingkungan atau orang lain saat menghadapi kesulitan, tetapi justru mencari solusi internal dan adaptif.

Di tingkat sosial, penting juga adanya dukungan dari komunitas yang sehat secara emosional—yang tidak menoleransi sikap manipulatif, tetapi mendorong setiap individu untuk tumbuh menjadi dewasa secara emosional. Ini bisa ditempuh melalui pendampingan, pelatihan kepemimpinan diri (self-leadership), atau keterlibatan dalam program pembinaan spiritual dan mental yang mengedepankan tanggung jawab pribadi.

7.3.       Pendekatan Filosofis-Spiritual: Rekonsiliasi Diri dengan Makna Kehidupan

Secara filosofis, pemulihan dari krisis penolakan takdir tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang keterbatasan dan keutuhan manusia. Dalam eksistensialisme teistik seperti yang dikembangkan Søren Kierkegaard, manusia dipanggil untuk menerima “kecemasan eksistensial” sebagai bagian dari pengalaman iman yang mendalam—di mana individu justru menemukan kebebasannya dalam menyerahkan diri kepada kehendak ilahi.

Dalam Islam, konsep ridha terhadap takdir Allah (qadar) merupakan bentuk tertinggi dari penerimaan spiritual. Ridha bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menerima kenyataan dengan hati yang lapang sambil tetap menjalani kehidupan dengan ikhtiar yang maksimal. Seperti ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 286, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya—sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa setiap pengalaman hidup, sesulit apa pun, memiliki nilai dan tujuan.

Di sisi lain, mengembangkan makna hidup yang melampaui dunia materi—baik melalui ibadah, amal sosial, maupun keterlibatan dalam tujuan yang lebih besar dari diri—mampu membebaskan individu dari obsesi untuk selalu dimengerti, dicukupi, atau dimanja. Viktor Frankl menyebut bahwa penderitaan tanpa makna akan melumpuhkan, tetapi penderitaan yang ditemukan maknanya dapat menjadi kekuatan luar biasa untuk transformasi diri.

7.4.       Konsolidasi: Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian Emosional

Penyembuhan sejati akan membawa individu keluar dari sikap menyalahkan takdir dan orang lain, menuju kemandirian emosional dan kedewasaan spiritual. Ia tidak lagi mencari sandaran pada perhatian atau pengakuan eksternal, tetapi menemukan pondasi ketenangan dalam penerimaan diri, relasi yang sehat, dan kedekatan dengan Tuhan.

Individu yang pulih dari krisis penerimaan diri akan memperlihatkan tanda-tanda seperti: berhenti menyalahkan, mulai bertanggung jawab atas hidupnya, tidak lagi memanipulasi empati orang lain, dan mampu mengelola luka batinnya dengan bijak. Ia menjadi pribadi yang self-aware, self-reliant, dan compassionate tanpa harus mengeksploitasi belas kasih orang lain. Dari sinilah penyembuhan tidak hanya menjadi proses individual, tetapi juga kontribusi sosial bagi masyarakat yang lebih sehat secara emosional dan spiritual.


8.           Penutup

Krisis penerimaan diri yang tercermin dalam bentuk penolakan terhadap takdir serta ketergantungan emosional yang tidak sehat merupakan persoalan multidimensi yang menuntut perhatian serius dari aspek psikologis dan filosofis. Individu yang tidak mampu menerima kenyataan hidup cenderung menempatkan dirinya sebagai korban permanen dari keadaan—menolak bertanggung jawab, mengeluh tanpa henti, serta menuntut orang lain untuk selalu hadir, memahami, dan memenuhi kebutuhan emosional serta materialnya. Hal ini tidak hanya merugikan perkembangan pribadinya, tetapi juga menciptakan pola hubungan yang disfungsional dalam lingkungan sosialnya.

Secara psikologis, penolakan terhadap takdir sering kali berakar pada luka batin, pola pikir irasional, dan kelemahan dalam regulasi emosi. Pendekatan terapi kognitif dan perilaku, mindfulness, serta logoterapi telah terbukti mampu membantu individu keluar dari perangkap ketidakberdayaan menuju kesadaran diri dan tanggung jawab personal. Dalam konteks ini, Viktor Frankl menggarisbawahi pentingnya menemukan makna dalam penderitaan sebagai jalan menuju transformasi eksistensial.

Sementara itu, dari sisi filosofis dan spiritual, manusia ditantang untuk menerima batas-batas eksistensinya tanpa kehilangan kebebasan batinnya. Kierkegaard menekankan pentingnya lompatan iman dalam menghadapi absurditas dan penderitaan hidup. Dalam Islam, sikap ridha terhadap takdir bukan bentuk kepasrahan pasif, tetapi manifestasi iman yang aktif, yang menumbuhkan ketenangan, keikhlasan, dan orientasi hidup yang lebih luhur. QS. Al-Hadid [57] ayat 23 secara eksplisit memperingatkan agar manusia tidak berlebihan dalam bersedih atas apa yang hilang dan tidak sombong atas apa yang didapat, sebagai fondasi spiritual untuk menjaga stabilitas emosi dan integritas diri.

Penolakan takdir dan ketergantungan emosional pada akhirnya mengganggu keseimbangan pribadi dan sosial. Individu yang terus-menerus memosisikan dirinya sebagai pusat perhatian dan tuntutan akan menjauh dari relasi yang sehat, kehilangan empati timbal balik, dan berpotensi mengalami keterasingan. Karena itu, pemulihan memerlukan komitmen mendalam untuk merekonstruksi cara pandang terhadap hidup, mendidik kembali hati untuk bersyukur, serta membangun daya tahan spiritual dan emosional.

Keseluruhan kajian ini menegaskan bahwa krisis penerimaan diri bukanlah kondisi permanen, melainkan proses yang dapat ditata kembali melalui refleksi, bimbingan, dan penemuan makna. Di titik kulminasi penerimaan inilah, manusia tidak hanya menjadi pribadi yang kuat, tetapi juga bijaksana—mampu menjalani hidup tanpa merasa berutang pada orang lain untuk kebahagiaannya sendiri, dan tanpa memaksakan dunia untuk selalu sesuai dengan keinginannya. Ia berdamai dengan takdir, tetapi tetap berjuang dalam kehendak.


Daftar Pustaka

Beck, A. T. (1979). Cognitive therapy and the emotional disorders. New York: Penguin Books.

Ellis, A. (2004). Rational emotive behavior therapy: It works for me – It can work for you. Amherst, NY: Prometheus Books.

Frankl, V. E. (1985). Man's search for meaning (Rev. ed.). Boston, MA: Beacon Press.

Kierkegaard, S. (1980). The sickness unto death (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press. (Original work published 1849)

Linehan, M. M. (1993). Cognitive-behavioral treatment of borderline personality disorder. New York: Guilford Press.

Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346

Neff, K. D. (2011). Self-compassion: The proven power of being kind to yourself. New York: William Morrow.

Ryff, C. D., & Singer, B. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9(1), 13–39. https://doi.org/10.1007/s10902-006-9019-0

Seligman, M. E. P. (2006). Learned optimism: How to change your mind and your life. New York: Vintage.

Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (Eds.). (2007). Positive psychology: The scientific and practical explorations of human strengths (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Tillich, P. (2000). The courage to be. New Haven, CT: Yale University Press.

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. New York: Basic Books.


 

Jumat, 01 Agustus 2025

Kegagalan Demokrasi: Tinjauan Filsafat dan Tanggung Jawab Etis dalam Pendidikan

Kegagalan Demokrasi

Tinjauan Filsafat dan Tanggung Jawab Etis dalam Pendidikan


Alihkan ke: Demokrasi dalam Perspektif FilsafatSistem PemerintahanDemokrasi Dalam Sistem PemerintahanKritik Terhadap Demokrasi.


Abstrak

Artikel ini membahas peran strategis guru sebagai penuntun moral dalam merespons krisis nilai yang melanda sistem demokrasi kontemporer. Berangkat dari kritik tajam para filsuf klasik seperti Plato terhadap kelemahan struktural demokrasi, artikel ini menelusuri berbagai bukti historis dan kontemporer mengenai kegagalan demokrasi dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan publik. Disoroti pula tantangan etis dan moral dalam praktik demokrasi modern yang sering kali terjebak dalam populisme, disinformasi, dan krisis kepemimpinan. Dalam konteks tersebut, guru ditampilkan bukan semata-mata sebagai pelaksana kurikulum, tetapi sebagai agen moral dan penjaga nurani bangsa yang bertugas menanamkan nilai-nilai kebenaran, tanggung jawab, dan kebajikan kepada generasi muda. Dengan pendekatan interdisipliner yang memadukan filsafat politik, etika pendidikan, dan analisis sosial, artikel ini menegaskan bahwa kebangkitan moral demokrasi harus dimulai dari ruang kelas. Guru diharapkan mampu mengintegrasikan dimensi kognitif, afektif, dan moral-spiritual dalam praktik pendidikan sebagai fondasi pembentukan warga negara yang etis, kritis, dan berkeadaban.

Kata Kunci: Guru, Moralitas, Demokrasi, Etika Pendidikan, Krisis Nilai, Filsafat Politik, Tanggung Jawab Sosial, Plato, Pendidikan Kritis.


PEMBAHASAN

Guru sebagai Penuntun Moral di Tengah Krisis Demokrasi


1.           Pendahuluan

Demokrasi telah lama dianggap sebagai sistem pemerintahan yang paling menjanjikan karena memberi ruang partisipasi kepada rakyat, menjunjung kebebasan sipil, dan menghargai keberagaman. Sejak era pencerahan hingga dewasa ini, demokrasi terus dikukuhkan sebagai puncak dari evolusi politik modern, sejalan dengan ideal-ideal humanisme dan hak asasi manusia. Namun demikian, klaim superioritas demokrasi mulai mendapat tantangan serius, terutama ketika praktiknya tidak mampu menjamin keadilan sosial, stabilitas politik, atau bahkan moralitas publik. Dalam konteks ini, pertanyaan yang mengemuka adalah: apakah demokrasi benar-benar berhasil menciptakan tatanan masyarakat yang beradab dan bermoral?

Kritik terhadap demokrasi bukanlah hal baru. Sejak zaman Yunani Kuno, filsuf Plato sudah mengungkapkan keberatannya terhadap sistem ini. Ia menilai bahwa demokrasi membuka peluang bagi kekuasaan rakyat yang irasional, dan dalam jangka panjang justru akan mengarah pada kekacauan sosial dan lahirnya tirani. Dalam Republik, Plato menulis bahwa “kebebasan yang tanpa batas akan melahirkan perbudakan yang sejati,” karena dalam sistem ini orang-orang awam yang tidak memiliki pengetahuan memimpin negara atas dasar popularitas, bukan kebijaksanaan atau kebenaran filosofis.¹

Kondisi demokrasi kontemporer tampaknya tidak jauh berbeda dari bayangan distopis Plato. Demokrasi elektoral kini menghadapi tantangan serius, mulai dari dominasi oligarki ekonomi, manipulasi opini publik melalui media sosial, hingga polarisasi ekstrem dalam masyarakat. Dalam laporan Freedom in the World 2024 oleh Freedom House, dinyatakan bahwa kebebasan sipil dan politik mengalami penurunan global selama 18 tahun berturut-turut, bahkan di negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai pelopor demokrasi.² Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural tidak selalu menjamin substansi demokrasi, yakni keadilan, kebenaran, dan akal sehat publik.

Di tengah krisis demokrasi ini, pendidikan menjadi pilar penting yang tidak boleh diabaikan. Sayangnya, lembaga pendidikan pun sering kali terseret arus liberalisme nilai dan relativisme moral. Kebebasan berpikir yang seharusnya membebaskan manusia dari kebodohan justru dimaknai secara keliru, sehingga menimbulkan kekacauan konseptual antara kebebasan dan kebebalan. Dalam situasi inilah guru memiliki peran strategis, bukan hanya sebagai pengajar pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai penuntun moral dan pembimbing etika kehidupan (moral educator)

Guru tidak hanya mengajarkan fakta, tetapi juga membentuk nilai, karakter, dan arah hidup generasi muda. Dalam pandangan John Dewey, pendidikan adalah proses sosial yang bertujuan membentuk warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan aktif dalam kehidupan publik.⁴ Namun, dalam realitasnya, peran ini sering kali tergerus oleh tekanan kurikulum teknokratis, tuntutan administratif, dan budaya permisif yang merelatifkan kebenaran. Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi peran guru sebagai penjaga akal dan moral masyarakat, terutama dalam menghadapi krisis demokrasi yang semakin dalam.

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara filosofis dan praktis bagaimana seharusnya guru bersikap dalam konteks dunia yang demokratis tetapi krisis secara etis. Dengan merujuk pada pemikiran para filsuf, dinamika sosial politik kontemporer, dan etika pendidikan, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan landasan moral dan intelektual bagi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik umat dan penjaga peradaban.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 557e–562a.

[2]                Freedom House, Freedom in the World 2024: The Mounting Damage of Democratic Decline, accessed July 2025, https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2024.

[3]                Nel Noddings, Educating Moral People: A Caring Alternative to Character Education (New York: Teachers College Press, 2002), 1–12.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87.


2.           Kritik Filsuf Klasik terhadap Demokrasi

2.1.       Pandangan Plato tentang Demokrasi

Plato, murid Socrates dan guru Aristoteles, merupakan salah satu kritikus paling awal dan tajam terhadap demokrasi. Kritiknya tidak bersifat teoritis belaka, tetapi didasarkan pada pengalaman nyata menyaksikan keruntuhan moral dan politik Athena, termasuk eksekusi atas gurunya, Socrates, oleh pengadilan demokratis. Dalam karya monumentalnya, Republic (Politeia), Plato menggambarkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tampak menyenangkan, tetapi sejatinya rapuh dan berbahaya. Ia menempatkan demokrasi pada urutan keempat dari lima bentuk pemerintahan yang menurun secara degeneratif, dimulai dari aristokrasi (terbaik) menuju tirani (terburuk).¹

Menurut Plato, demokrasi memiliki tiga kelemahan utama:

1)                  Pemerintahan oleh Rakyat Tak Terdidik

Demokrasi memberi kekuasaan kepada orang banyak, tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan dalam memimpin. Ia berpendapat bahwa rakyat banyak sering kali tidak rasional dan mudah dipengaruhi emosi atau retorika pemimpin populis.² Ini menyebabkan keputusan-keputusan negara dibuat bukan berdasarkan akal dan kebajikan, tetapi atas dasar selera mayoritas. Dalam analoginya yang terkenal, Plato membandingkan demokrasi dengan kapal yang dinakhodai oleh penumpang yang tak tahu arah, sementara sang pelaut sejati (filsuf) diabaikan.³

2)                  Kebebasan yang Kebablasan (Excess of Freedom)

Salah satu ciri khas demokrasi menurut Plato adalah kebebasan yang tidak terkendali. Ia menganggap bahwa dalam demokrasi, setiap orang merasa berhak melakukan apapun yang ia inginkan, bahkan tanpa mempertimbangkan tatanan atau norma yang ada. Kebebasan yang berlebihan ini, menurutnya, akan mengacaukan struktur sosial dan pada akhirnya menciptakan keinginan untuk "ketertiban", yang membuka jalan bagi lahirnya tirani.⁴

3)                  Relativisme Moral dan Kehilangan Otoritas

Dalam demokrasi, semua nilai cenderung dipandang setara. Tidak ada kebenaran objektif yang dijunjung, karena semua pendapat dianggap sah dan harus diterima. Hal ini, menurut Plato, berbahaya karena merelatifkan nilai-nilai moral dan menghancurkan fondasi etika masyarakat.⁵

Dengan demikian, Plato memandang bahwa demokrasi bukanlah puncak peradaban politik, melainkan jalan tengah menuju kekacauan dan lahirnya rezim tiranik.⁶ Ironisnya, dalam sejarah modern, pendapat Plato ini tampak relevan saat kita menyaksikan bagaimana demokrasi bisa melahirkan kekuatan otoriter melalui pemilu yang sah—seperti yang terjadi dalam kasus Jerman Nazi.

2.2.       Tirani Mayoritas dan Relativisme: Warisan Kritik Setelah Plato

Kritik terhadap demokrasi tidak berhenti pada era Yunani Kuno. Dalam tradisi modern, pemikir Prancis Alexis de Tocqueville mengemukakan konsep "tirani mayoritas" dalam karyanya Democracy in America (1835). Menurutnya, dalam sistem demokrasi, terdapat risiko bahwa suara mayoritas akan menindas minoritas secara sah, sehingga kebebasan individu justru terancam oleh kesepakatan kolektif yang sewenang-wenang.⁷ Ini menegaskan kekhawatiran Plato bahwa demokrasi bisa menjadi alat penindasan, bukan pembebasan.

Tocqueville juga menyoroti kecenderungan masyarakat demokratis untuk bersikap konformis, di mana opini publik mendominasi ruang wacana, dan menyisakan sedikit ruang untuk kebebasan berpikir yang otentik. Dalam pandangannya, demokrasi mendorong keseragaman dan mengurangi keberanian intelektual.⁸ Hal ini semakin terasa relevan dalam era media sosial saat ini, ketika opini massa sering kali mengalahkan pertimbangan nalar dan fakta.

Kritik lainnya datang dari Friedrich Nietzsche yang menyebut demokrasi sebagai bentuk “penyamarataan nilai” (leveling down), di mana keunggulan dan kebajikan digantikan oleh mediokritas massal.⁹ Sementara itu, José Ortega y Gasset dalam The Revolt of the Masses menyatakan bahwa demokrasi modern telah memberi tempat kepada “manusia massa” yang tidak berpendidikan, vulgar, dan arogan.¹⁰


Penegasan dalam Konteks Pendidikan

Kritik para filsuf terhadap demokrasi memperlihatkan satu pesan penting: bahwa masyarakat demokratis memerlukan bimbingan moral dan intelektual yang kokoh agar tidak terseret oleh kebebasan yang kebablasan dan dominasi opini mayoritas yang tidak rasional. Di sinilah pendidikan, dan khususnya guru, memiliki peran kunci dalam menjaga nalar, menanamkan nilai kebenaran objektif, serta membimbing peserta didik agar menjadi warga negara yang bebas tetapi bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 543a–544d.

[2]                Ibid., 557c–558a.

[3]                Ibid., 488a–489a.

[4]                Ibid., 562a–563e.

[5]                Ibid., 558d–559b.

[6]                Ibid., 564a–565d.

[7]                Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 235–240.

[8]                Ibid., 246–248.

[9]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. R.J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), 91–95.

[10]             José Ortega y Gasset, The Revolt of the Masses, trans. Anthony Kerrigan (New York: W.W. Norton, 1994), 14–17.


3.           Bukti Historis dan Kontemporer Kegagalan Demokrasi

3.1.       Demokrasi dalam Sejarah: Antara Retorika dan Realitas

Demokrasi sering dipuja sebagai puncak peradaban politik, tetapi sejarah memperlihatkan bahwa sistem ini tidak kebal terhadap kegagalan. Salah satu contoh paling mencolok adalah jatuhnya demokrasi Athena pada abad ke-4 SM. Sistem demokrasi langsung yang diterapkan di Athena memberikan ruang besar bagi rakyat untuk membuat keputusan melalui voting terbuka. Namun, Plato dan Thucydides mencatat bahwa keputusan-keputusan yang diambil rakyat sering kali didasarkan pada emosi, tekanan massa, dan hasutan para demagog, bukan pertimbangan rasional.¹ Eksekusi atas Socrates pada tahun 399 SM adalah bukti nyata bagaimana sistem demokrasi dapat menindas suara kebijaksanaan yang justru bertentangan dengan opini mayoritas.²

Demokrasi juga terbukti gagal dalam menahan munculnya kekuasaan otoriter. Kasus Jerman pada awal abad ke-20 menjadi pelajaran penting. Adolf Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933 melalui proses demokratis dalam sistem Republik Weimar. Setelah memperoleh kekuasaan, ia membubarkan parlemen, menyingkirkan lawan-lawan politik, dan mendirikan rezim totaliter yang berujung pada Perang Dunia II dan Holocaust.³ Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan William Shirer, "Weimar, dengan seluruh kemegahan demokratisnya, gagal karena tidak memiliki landasan moral dan institusional yang kuat untuk membendung kekuatan destruktif dari dalam."⁴

3.2.       Kerapuhan Demokrasi di Negara Berkembang: Kudeta dan Kekacauan Politik

Di banyak negara berkembang, demokrasi hanya menjadi alat prosedural untuk perebutan kekuasaan tanpa disertai komitmen pada prinsip-prinsip demokrasi substantif. Salah satu contoh adalah Mesir, di mana presiden Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin, yang terpilih secara demokratis pada tahun 2012, digulingkan oleh militer hanya setahun kemudian. Kudeta tersebut didukung sebagian besar rakyat dan elite politik yang kecewa, meskipun mengabaikan prinsip pemilu dan supremasi konstitusi.⁵

Hal serupa terjadi di Thailand, yang mengalami beberapa kali kudeta militer sejak awal era reformasi. Meskipun Thailand mengadakan pemilu secara berkala, militer tetap menjadi kekuatan dominan yang mengintervensi proses demokrasi saat terjadi ketidakstabilan.⁶ Di Pakistan, sistem demokrasi berkali-kali digantikan oleh pemerintahan militer, menunjukkan bahwa struktur demokrasi sering kali tidak memiliki pertahanan institusional yang kuat terhadap kekuatan ekstra-konstitusional.⁷

Kegagalan demokrasi di negara-negara tersebut seringkali diakibatkan oleh absennya rule of law, lemahnya lembaga pengawasan, rendahnya literasi politik, serta dominasi elite yang mempermainkan konstitusi demi kepentingan kelompok.

3.3.       Krisis Demokrasi Modern: Polarisasi, Populisme, dan Disinformasi

Demokrasi tidak hanya mengalami kegagalan di negara berkembang, tetapi juga mengalami erosi kualitas di negara-negara maju. Laporan Freedom in the World 2024 mencatat bahwa selama hampir dua dekade terakhir, dunia mengalami kemunduran kebebasan sipil dan penurunan kualitas demokrasi.⁸ Bahkan di Amerika Serikat, indeks demokrasi menunjukkan penurunan sejak 2016 akibat meningkatnya polarisasi politik, delegitimasi pemilu, dan munculnya gerakan anti-demokrasi yang menggunakan dalih kebebasan berekspresi.⁹

Salah satu ciri utama krisis demokrasi modern adalah populisme, di mana pemimpin-pemimpin memanfaatkan sentimen massa, nasionalisme sempit, dan kebencian terhadap elite untuk meraih kekuasaan. Populisme ini seringkali menolak prinsip pluralisme dan cenderung membatasi kebebasan oposisi. Seperti dijelaskan oleh Fareed Zakaria, populisme dalam demokrasi liberal bisa mengarah pada apa yang disebutnya sebagai "illiberal democracy", yakni sistem yang secara formal demokratis tetapi otoriter dalam substansinya.¹⁰

Selain itu, kemajuan teknologi informasi telah mempercepat penyebaran disinformasi dan hoaks, yang membentuk opini publik secara manipulatif. Algoritma media sosial memperkuat echo chambers, di mana masyarakat hanya mendengar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, tanpa verifikasi fakta. Hal ini melemahkan diskursus rasional dan memperburuk polarisasi.¹¹ Demokrasi, yang seharusnya dibangun di atas diskusi terbuka dan argumentasi logis, justru tereduksi menjadi perang opini yang dangkal dan emosional.

3.4.       Implikasi Bagi Pendidikan: Demokrasi Tanpa Nalar adalah Bahaya

Bukti-bukti historis dan kontemporer di atas menunjukkan bahwa demokrasi tanpa landasan etika dan nalar kritis akan berujung pada kekacauan, atau bahkan kehancuran. Demokrasi bukanlah sistem yang “otomatis baik”, tetapi membutuhkan prasyarat berupa pendidikan politik, kedewasaan moral, dan keberanian untuk berpikir mandiri.

Karena itu, pendidikan menjadi arena strategis untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran internal. Sekolah bukan hanya tempat pengajaran teknis, tetapi juga laboratorium nilai-nilai demokrasi yang berkarakter. Dalam konteks ini, guru tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi harus menjadi penjaga akal sehat dan penjaga moral masyarakat yang demokratis.


Footnotes

[1]                Thucydides, The History of the Peloponnesian War, trans. Richard Crawley (New York: Modern Library, 1951), 205–210.

[2]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 24b–28a.

[3]                Richard J. Evans, The Coming of the Third Reich (New York: Penguin Press, 2004), 324–345.

[4]                William L. Shirer, The Rise and Fall of the Third Reich (New York: Simon & Schuster, 1960), 186.

[5]                Nathan J. Brown, When Victory Is Not an Option: Islamist Movements in Arab Politics (Ithaca: Cornell University Press, 2012), 153–160.

[6]                Duncan McCargo, “Thailand’s Evolving Military,” Journal of Democracy 30, no. 1 (2019): 129–143.

[7]                Aqil Shah, The Army and Democracy: Military Politics in Pakistan (Cambridge: Harvard University Press, 2014), 1–20.

[8]                Freedom House, Freedom in the World 2024: The Mounting Damage of Democratic Decline, accessed July 2025, https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2024.

[9]                Pew Research Center, “Americans’ Trust in Government 1958–2023,” accessed July 2025, https://www.pewresearch.org.

[10]             Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W.W. Norton, 2003), 17–19.

[11]             Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 79–95.


4.           Tantangan Etika dan Moral dalam Sistem Demokrasi

4.1.       Kebebasan Tanpa Tanggung Jawab: Ancaman dari Dalam

Demokrasi modern sering kali dipuji karena memberi kebebasan individu yang luas, termasuk kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menentukan nasib sendiri. Namun, ketika kebebasan tidak disertai dengan tanggung jawab moral, ia bisa berubah menjadi bentuk kebebalan. John Stuart Mill memang menyatakan bahwa kebebasan individu merupakan syarat utama untuk kemajuan peradaban, tetapi ia juga menekankan bahwa “kebebasan bukan berarti kebal terhadap kritik moral, hukum, atau kewajiban sosial.”¹ Sayangnya, dalam praktik demokrasi kontemporer, prinsip tanggung jawab ini kerap diabaikan.

Kebebasan yang tidak terkendali ini berujung pada berbagai bentuk penyimpangan nilai. Dalam masyarakat yang demokratis secara prosedural tetapi nihil secara spiritual, kita menyaksikan maraknya budaya permisif: pernikahan sejenis dilegalkan, pornografi dilindungi atas nama seni, bahkan penyimpangan identitas gender dianggap hak yang tidak boleh dikritik.² Fenomena ini menguatkan kekhawatiran para filsuf klasik, seperti Plato dan Tocqueville, bahwa kebebasan yang melampaui batas bisa merusak tatanan sosial dan moral masyarakat.³

4.2.       Relativisme Moral: Krisis Kebenaran dalam Demokrasi

Salah satu ciri masyarakat demokratis modern adalah munculnya relativisme moral, yaitu pandangan bahwa tidak ada standar etika yang objektif, dan semua nilai bersifat subyektif. Konsekuensinya, segala bentuk pilihan gaya hidup, orientasi seksual, atau sistem kepercayaan dianggap setara dan tidak boleh dinilai salah atau benar.⁴

Fenomena ini dijelaskan secara tajam oleh Alasdair MacIntyre dalam After Virtue. Ia berargumen bahwa masyarakat modern telah kehilangan konsensus moral, sehingga perdebatan etika cenderung tidak menghasilkan titik temu karena tidak adanya landasan normatif yang sama.⁵ Dalam kondisi seperti ini, kebijakan publik dalam sistem demokrasi lebih banyak ditentukan oleh opini mayoritas daripada prinsip moral yang kokoh.

Relativisme moral juga berdampak langsung pada dunia pendidikan. Ketika semua nilai dianggap relatif, guru tidak lagi dianggap sebagai pembimbing moral, melainkan sekadar fasilitator netral yang tidak boleh mengarahkan nilai hidup muridnya.⁶ Padahal, pendidikan sejati bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan penanaman nilai universal, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.

4.3.       Krisis Kepemimpinan dan Etika Publik

Demokrasi idealnya melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan berorientasi pada kebaikan bersama. Namun realitas kontemporer menunjukkan sebaliknya: banyak pemimpin demokratis justru memenangkan kekuasaan melalui manipulasi opini publik, retorika kosong, dan pembelahan sosial.⁷ Populisme yang berkembang saat ini sering kali mengabaikan prinsip-prinsip etika publik demi kemenangan elektoral.

George Orwell, dalam Politics and the English Language, mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi yang dikuasai oleh elite populis, bahasa politik sering kali digunakan untuk “membuat kebohongan terdengar benar dan kekejaman tampak terhormat.”⁸ Ketika demokrasi berubah menjadi arena perebutan kuasa tanpa etika, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada lembaga-lembaga publik dan melemahkan kohesi sosial.

Sebagai akibat dari krisis etika ini, korupsi, penyalahgunaan wewenang, manipulasi hukum, dan politik uang menjadi hal yang lumrah bahkan di negara demokratis sekalipun. Transparency International melaporkan bahwa banyak negara demokrasi mengalami stagnasi atau penurunan dalam indeks persepsi korupsi, termasuk negara-negara dengan sistem pemilu yang mapan.⁹ Ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak serta-merta menciptakan pemerintahan yang bersih atau adil, jika tidak didukung oleh nilai-nilai moral yang kuat.

4.4.       Dampaknya terhadap Pendidikan: Guru di Tengah Tarikan Nilai

Seluruh tantangan di atas bermuara pada satu hal penting: pendidikan sebagai ladang pertarungan nilai. Di satu sisi, sistem demokrasi memberi ruang kebebasan berekspresi dan kebhinekaan. Namun di sisi lain, nilai-nilai luhur yang selama ini dijunjung, termasuk nilai-nilai keagamaan, mulai terpinggirkan dan dianggap tidak relevan.

Dalam lingkungan ini, guru menjadi aktor utama yang dituntut untuk bersikap tegas, tetapi arif. Guru bukan sekadar pelayan sistem, melainkan agen nilai yang harus mampu mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab, menghidupkan kembali diskursus moral, dan membentuk manusia merdeka yang berkarakter.

Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan sejati tidak netral, melainkan selalu berpihak—berpihak kepada pembebasan manusia dari ketertindasan, termasuk ketertindasan oleh sistem nilai yang hampa makna.¹⁰ Dalam konteks demokrasi hari ini, tugas guru bukan hanya melawan ketidakadilan politik, tetapi juga melawan kekacauan moral dan kehampaan spiritual.


Footnotes

[1]                John Stuart Mill, On Liberty, ed. Elizabeth Rapaport (Indianapolis: Hackett Publishing, 1978), 11–13.

[2]                Carl R. Trueman, The Rise and Triumph of the Modern Self: Cultural Amnesia, Expressive Individualism, and the Road to Sexual Revolution (Wheaton: Crossway, 2020), 89–102.

[3]                Alexis de Tocqueville, Democracy in America, trans. Harvey C. Mansfield and Delba Winthrop (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 235–248.

[4]                Stanley Fish, There's No Such Thing as Free Speech: And It's a Good Thing, Too (New York: Oxford University Press, 1994), 102–105.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 2–6.

[6]                Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education, 2nd ed. (New York: Teachers College Press, 2005), 6–8.

[7]                Jan-Werner Müller, What Is Populism? (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2016), 34–39.

[8]                George Orwell, Politics and the English Language, in Shooting an Elephant and Other Essays (London: Secker and Warburg, 1950), 162–170.

[9]                Transparency International, Corruption Perceptions Index 2023, accessed July 2025, https://www.transparency.org/en/cpi.

[10]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 88–95.


5.           Peran dan Sikap Ideal Seorang Guru di Tengah Krisis Demokrasi

5.1.       Guru sebagai Penjaga Nilai dalam Arus Relativisme

Di tengah gempuran relativisme nilai yang melanda masyarakat demokratis, guru dituntut untuk menjadi penjaga nilai (guardian of values). Pendidikan bukan semata soal transmisi informasi, tetapi sebuah proses pembentukan karakter dan penginternalisasian nilai moral yang menjadi fondasi masyarakat beradab. Hal ini sejalan dengan pemikiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah membimbing manusia agar menjadi makhluk bermoral, yaitu mampu bertindak berdasarkan prinsip rasional yang universal.¹

Relativisme moral yang menganggap semua nilai setara dan sah dalam sistem demokrasi telah menciptakan ruang pendidikan yang kabur dari tanggung jawab moral. Dalam situasi ini, guru tidak boleh bersikap netral terhadap nilai. Seperti ditegaskan oleh Parker J. Palmer, “pendidikan yang netral secara nilai adalah sebuah ilusi—dalam kenyataannya, kita selalu mengajar dari suatu pandangan dunia tertentu.”² Maka, sikap ideal guru adalah menjadi pemimpin moral yang sadar akan peran strategisnya dalam membentuk generasi berintegritas.

5.2.       Keteladanan Etis: Guru sebagai Model Moral

Dalam konteks krisis demokrasi, keteladanan etis guru menjadi semakin penting. Krisis integritas para pemimpin, polarisasi sosial, dan pembusukan diskursus publik telah membuat banyak siswa kehilangan figur yang layak diteladani. Guru dapat mengisi kekosongan ini melalui keteladanan hidup.

Socrates pernah menyatakan bahwa kebajikan itu dapat ditularkan bukan hanya lewat kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata.³ Dalam dunia pendidikan modern, konsep ini ditegaskan kembali oleh Thomas Lickona yang menyatakan bahwa karakter tidak cukup diajarkan, tetapi harus ditunjukkan dalam praktik kehidupan.⁴ Guru yang jujur, adil, rendah hati, dan bertanggung jawab akan menanamkan nilai-nilai tersebut secara otentik dalam diri peserta didik.

Lebih dari itu, guru harus menjadi pemersatu nilai di tengah perbedaan, membangun dialog yang jujur tanpa kehilangan kompas moral. Ketika peserta didik menyaksikan sosok guru yang konsisten antara perkataan dan perbuatan, mereka tidak hanya belajar kognisi, tetapi juga internalisasi nilai yang mendalam.

5.3.       Guru sebagai Agen Transformasi Sosial

Dalam filsafat pendidikan kritis, seperti yang dikembangkan Paulo Freire, guru tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi agen perubahan sosial.⁵ Di tengah krisis demokrasi—yang ditandai dengan apatisme politik, lemahnya partisipasi publik, dan dominasi elite—pendidikan harus membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis dan keberanian moral untuk terlibat dalam perbaikan masyarakat.

Namun, berpikir kritis tidak boleh lepas dari nilai etika. Guru harus mampu mengintegrasikan nalar kritis dengan kesadaran moral, agar siswa tidak hanya menjadi pengkritik tajam, tetapi juga pembangun solusi. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan harus menumbuhkan civic intelligence, yaitu kemampuan warga untuk memecahkan masalah publik secara partisipatif dan bertanggung jawab.⁶

Guru yang menyadari peran ini akan berupaya menciptakan ruang dialog yang sehat, inklusif, dan berbasis pada nilai keadilan, kebenaran, dan empati. Ia bukan sekadar pelayan kurikulum, tetapi penggerak nurani kolektif bangsa.

5.4.       Komitmen terhadap Kebenaran dan Keberanian Moral

Sistem demokrasi memungkinkan suara guru dibungkam oleh opini mayoritas atau tekanan kebijakan. Namun guru yang berintegritas harus tetap memegang teguh kebenaran, sekalipun itu tidak populer. Ini menuntut keberanian moral yang tinggi, sebagaimana dikemukakan oleh Hannah Arendt bahwa tindakan moral sejati sering kali menuntut keberanian untuk berdiri sendiri melawan arus.⁷

Dalam praktiknya, ini berarti guru harus berani menyuarakan yang benar, mengoreksi kesalahan sistem, serta tidak larut dalam kepentingan pragmatis birokrasi atau tekanan politis. Ia harus menjaga independensinya sebagai intelektual dan pendidik, serta mewariskan kepada siswanya kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan opini.

5.5.       Pendidikan Nilai Berbasis Spiritualitas

Akhirnya, krisis demokrasi juga merupakan krisis spiritual. Demokrasi yang kehilangan akar spiritualitas akan cenderung mekanistik, materialistik, dan nihilistik. Guru berperan penting dalam menghadirkan dimensi spiritual dalam pendidikan, bukan sekadar religiusitas formal, tetapi spiritualitas yang membentuk kesadaran akan makna hidup, tanggung jawab sosial, dan hubungan transendental dengan Tuhan.

Sebagaimana dikemukakan oleh T.S. Eliot, “masyarakat yang kehilangan agama akan kehilangan budaya dan akhirnya kehilangan kemanusiaannya.”⁸ Maka, tugas guru adalah menyelamatkan pendidikan dari kehampaan nilai dengan menanamkan spiritualitas yang kokoh dan inklusif, sesuai dengan keyakinan luhur bangsa.


Kesimpulan Bab

Dalam krisis demokrasi yang menggerus nilai dan etika, guru harus mengambil posisi sebagai penuntun moral, bukan hanya pelayan sistem. Ia harus berpihak kepada kebenaran, membentuk karakter siswa, menumbuhkan keberanian moral, serta menjadi teladan hidup dari nilai-nilai luhur. Di tangan para guru inilah masa depan demokrasi yang beradab, adil, dan bermoral dipertaruhkan.


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, Lectures on Pedagogy, trans. Robert B. Louden (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 442.

[2]                Parker J. Palmer, To Know as We Are Known: Education as a Spiritual Journey (San Francisco: HarperOne, 1993), 17.

[3]                Plato, Apology, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 2000), 29c–30a.

[4]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 43.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 75–78.

[6]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 87.

[7]                Hannah Arendt, Responsibility and Judgment (New York: Schocken Books, 2003), 36–38.

[8]                T.S. Eliot, Notes Towards the Definition of Culture (London: Faber and Faber, 1948), 100.


6.           Penutup: Rekonstruksi Etika Pendidikan untuk Menyelamatkan Demokrasi

Krisis demokrasi pada dasarnya bukan semata-mata persoalan politik atau kelembagaan, tetapi lebih dalam lagi merupakan krisis nilai dan etika publik. Demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, kebenaran, dan tanggung jawab moral, sering kali tereduksi menjadi sekadar prosedur elektoral yang dikendalikan oleh oligarki, populisme, dan manipulasi informasi.⁽¹⁾ Dalam konteks ini, pendidikan memiliki fungsi krusial untuk menyelamatkan substansi demokrasi melalui penanaman nilai-nilai luhur kepada generasi muda.

Sebagaimana telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya, kritik tajam para filsuf klasik seperti Plato terhadap demokrasi⁽²⁾, serta kegagalan historis dan kontemporer demokrasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil⁽³⁾, menggarisbawahi pentingnya peran pendidikan moral dalam demokrasi. Demokrasi tidak bisa bertahan tanpa warga negara yang berkarakter, bermoral, dan memiliki kesadaran etis yang tinggi.⁽⁴⁾ Dalam hal ini, guru memegang posisi strategis sebagai aktor utama dalam rekonstruksi moral bangsa.

Guru bukan hanya pelaksana kurikulum, tetapi penuntun moral yang membentuk jiwa manusia muda. Sebagaimana ditegaskan oleh Martha Nussbaum, pendidikan sejati adalah pendidikan untuk kemanusiaan (education for humanity), yaitu pendidikan yang menumbuhkan empati, nalar kritis, dan tanggung jawab sosial.⁽⁵⁾ Oleh karena itu, pembaruan sistem demokrasi tidak bisa dilepaskan dari pembaruan sistem pendidikan, terutama dalam hal penguatan peran etis dan moral guru.

Untuk menjawab tantangan zaman, pendidikan harus diarahkan pada tiga ranah utama:

1)                  Ranah kognitif, yakni membekali siswa dengan nalar kritis agar tidak mudah diperdaya oleh propaganda dan disinformasi;

2)                  Ranah afektif, yaitu menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial;

3)                  Ranah moral-spiritual, yakni membangun karakter yang berakar pada nilai-nilai universal dan ajaran agama yang autentik.

Transformasi ini hanya mungkin tercapai jika para guru menyadari bahwa tanggung jawab mereka tidak hanya bersifat profesional, tetapi juga moral dan spiritual. Di tengah kecenderungan sekularisasi dan komersialisasi pendidikan, guru perlu menegaskan kembali identitasnya sebagai penjaga nurani bangsa, sebagaimana dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan sejatinya harus memerdekakan manusia lahir dan batin.⁽⁶⁾

Pendidikan yang bermutu bukanlah yang sekadar mencetak lulusan cerdas secara akademis, tetapi yang mampu menciptakan warga negara yang bijak secara moral dan tangguh secara spiritual. Maka, di tengah krisis demokrasi global maupun lokal, harapan akan kebangkitan etika publik hanya mungkin ditegakkan jika para guru mau berdiri di garda depan sebagai pemimpin moral dan agen transformasi nilai.


Footnotes

[1]                Larry Diamond, The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (New York: Henry Holt, 2008), 25–29.

[2]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), Book VIII, 555b–562a.

[3]                Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (New York: W. W. Norton, 2003), 17–36.

[4]                John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 82–84.

[5]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–8.

[6]                Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, ed. Soewardi Surjaningrat (Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1962), 31.


Daftar Pustaka

Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan. Dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan (hal. 1–100). Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.

Dewey, J. (1916). Democracy and education: An introduction to the philosophy of education. New York, NY: Macmillan.

Diamond, L. (2008). The spirit of democracy: The struggle to build free societies throughout the world. New York, NY: Henry Holt.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans., & C. D. C. Reeve, Rev. Ed.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 380 BCE)

Zakaria, F. (2003). The future of freedom: Illiberal democracy at home and abroad. New York, NY: W. W. Norton & Company.


Lampiran 1: Keburukan Demokrasi Menurut Plato

Plato, seorang filsuf Yunani klasik yang hidup sekitar tahun 427–347 SM, adalah salah satu kritikus awal dan paling tajam terhadap demokrasi, terutama demokrasi Athena yang ia saksikan sendiri. Dalam karya terkenalnya "Republik" (Politeia) dan juga "Nomoi" (Laws), Plato mengungkapkan berbagai keburukan demokrasi yang ia anggap sebagai bentuk pemerintahan yang cacat. Berikut adalah point-point utama keburukan demokrasi menurut Plato:

1)                  Pemerintahan oleh Orang yang Tidak Kompeten

Plato percaya bahwa demokrasi memberi kekuasaan kepada massa, termasuk orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, atau keahlian dalam memimpin negara.

➡️ "Demokrasi menjadikan semua orang bebas memilih, bahkan yang tidak layak memimpin."

2)                  Kebebasan yang Kebablasan (Ekses Kebebasan)

Menurut Plato, demokrasi memuja kebebasan secara berlebihan sehingga menyebabkan pelanggaran terhadap tatanan, hukum, dan otoritas. Kebebasan yang tidak terkendali ini berujung pada anarki.

➡️ "Terlalu banyak kebebasan pada akhirnya justru akan menghasilkan bentuk perbudakan baru."

3)                  Runtuhnya Otoritas dan Hirarki Sosial

Dalam demokrasi, tidak ada struktur tetap tentang siapa yang harus memimpin. Ini, menurut Plato, merusak tatanan sosial dan menciptakan kesetaraan palsu antara yang bijak dan yang bodoh.

➡️ "Dalam demokrasi, guru takut pada murid, orang tua takut pada anak, dan semua merasa diri pantas memimpin."

4)                  Naiknya Pemimpin Populis, Bukan Filosof

Plato mengkritik bahwa dalam demokrasi, pemimpin dipilih bukan karena kebijaksanaan, tetapi karena kemampuan menarik simpati massa (populisme). Hal ini membuka peluang bagi munculnya pemimpin yang otoriter (tirani) di kemudian hari.

➡️ "Demokrasi adalah jalan menuju tirani."

5)                  Pemanjaan terhadap Nafsu dan Keinginan

Demokrasi memberi ruang luas bagi masyarakat untuk memenuhi keinginan pribadi tanpa kendali rasional. Ini menghasilkan masyarakat yang konsumtif, hedonistik, dan kehilangan arah moral.

➡️ "Rakyat lebih menyukai kesenangan sesaat daripada kebaikan sejati."

6)                  Ketidakstabilan Politik

Karena kepemimpinan bisa berubah dengan cepat melalui pemilu dan suara rakyat, Plato menilai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan rentan terhadap konflik internal.

➡️ "Demokrasi tidak bisa bertahan lama karena ia menumbuhkan benih kehancurannya sendiri."

7)                  Relativisme Moral dan Kekacauan Etika

Dalam demokrasi, segala pendapat dianggap sah dan setara, sehingga nilai kebenaran menjadi relatif. Ini membuat hukum dan etika mudah dipermainkan sesuai dengan kehendak mayoritas.

➡️ "Ketika setiap pendapat dianggap benar, maka tidak ada lagi kebenaran sejati."


Ringkasan Kritik Plato terhadap Demokrasi:

1)                  Dipimpin oleh orang tak berilmu

2)                  Kebebasan yang berlebihan

3)                  Otoritas dan hierarki sosial rusak

4)                  Munculnya pemimpin populis yang berpotensi tirani

5)                  Pemanjaan terhadap nafsu dan kesenangan duniawi

6)                  Ketidakstabilan sistem pemerintahan

7)                  Relativisme moral dan hilangnya nilai kebenaran mutlak


Lampiran 2: Bukti-Bukti Kegagalan Demokrasi

Berikut adalah beberapa bukti-bukti kegagalan demokrasi, baik dari sisi praktik historis, kondisi kontemporer, maupun argumen filosofis, yang sering dijadikan kritik terhadap demokrasi oleh para pemikir seperti Plato maupun pengamat politik modern:

1.            Bukti Filosofis dan Teoritis

1)                  Plato: Demokrasi Menjadi Jalan Menuju Tirani

Plato menyatakan dalam "Republik" bahwa demokrasi yang memberi kebebasan tanpa batas pada akhirnya menciptakan kekacauan sosial yang membuka jalan bagi munculnya pemimpin tirani yang menjanjikan “ketertiban”.

Contoh historis: naiknya Hitler di Jerman melalui pemilu demokratis.

2)                  Tirani Mayoritas

Demokrasi bisa berubah menjadi kekuasaan mayoritas yang menindas minoritas. Ini disebut sebagai "Tyranny of the Majority" oleh Alexis de Tocqueville.

Contoh: diskriminasi terhadap etnis atau kelompok agama minoritas di negara-negara demokrasi.

2.            Bukti Historis: Gagalnya Demokrasi dalam Praktik

1)                  Jerman Nazi (1930-an)

Adolf Hitler dan partai Nazi naik melalui sistem demokrasi, tetapi setelah berkuasa, ia menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri dan mendirikan negara totaliter.

➡️ Demokrasi gagal membendung populisme dan propaganda ekstrem.

2)                  Demokrasi Yunani Kuno (Athena)

Athena adalah pelopor demokrasi, tetapi sistem ini justru berkontribusi pada keputusan irasional, seperti menghukum mati filsuf Socrates dan terlibat perang yang merugikan (Perang Peloponnesos).

➡️ Demokrasi langsung membuat keputusan berdasarkan emosi rakyat, bukan kebijaksanaan.

3)                  Kudeta Militer di Negara Demokratis

Banyak negara demokrasi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang mengalami kudeta karena ketidakmampuan pemerintahan demokratis menjaga stabilitas dan integritas negara.

Contoh:

þ Mesir (2013): Mursi, presiden terpilih secara demokratis, digulingkan oleh militer.

þ Thailand: Sering terjadi kudeta meskipun ada pemilu.

þ Pakistan: Demokrasi lemah, digantikan oleh kekuasaan militer berulang kali.

3.            Bukti Kontemporer: Kerapuhan Demokrasi Modern

1)                  Meningkatnya Polarisasi Politik

Negara demokrasi seperti Amerika Serikat mengalami pembelahan ekstrem antara kubu politik, yang membuat pemerintahan sering buntu (gridlock) dan tidak bisa mengambil keputusan penting.

2)                  Dominasi Uang dan Oligarki Politik

Di banyak negara, demokrasi telah direbut oleh elite kaya atau korporasi yang mengendalikan hasil pemilu lewat dana kampanye dan media.

➡️ Demokrasi menjadi “plutokrasi terselubung” (kekuasaan oleh orang kaya).

3)                  Manipulasi Opini Publik Melalui Media dan Hoaks

Demokrasi memberi suara kepada rakyat, tetapi suara itu bisa dimanipulasi melalui penyebaran hoaks, misinformasi, dan propaganda.

Contoh: Pemilu di berbagai negara yang dipengaruhi oleh algoritma media sosial, bot, dan disinformasi.

4.            Kegagalan Menjamin Keadilan Sosial

1)                  Ketimpangan Ekonomi di Negara Demokratis

Banyak negara demokratis justru memiliki jurang kaya-miskin yang sangat besar, karena sistem demokrasi tidak secara otomatis menjamin keadilan distribusi kekayaan.

➡️ Demokrasi tidak selalu berarti kesejahteraan.

2)                  Demokrasi Gagal Melindungi Minoritas

Di beberapa negara demokratis, minoritas agama, etnis, atau gender tetap tertindas, karena hukum ditentukan oleh mayoritas yang tidak selalu adil.


Kesimpulan Ringkas:

1)                  Plato: Demokrasi menuju tirani

2)                  Nazi Jerman: Pemilu menghasilkan diktator

3)                  Athena: Keputusan irasional rakyat

4)                  Negara berkembang: Demokrasi lemah, sering dikudeta

5)                  AS modern: Polarisasi dan stagnasi pemerintahan

6)                  Negara demokratis global: Dominasi uang, hoaks, ketimpangan


Lampiran 3: Sikap-Sikap Ideal Seorang Guru

Pertanyaan “maka bagaimana seharusnya seorang guru bersikap?” sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi zaman yang demokratis tetapi penuh tantangan seperti polarisasi, informasi yang bias, serta moralitas yang relatif. Dalam konteks ini, seorang guru tidak bisa bersikap netral secara pasif, tetapi harus aktif menjadi pendidik yang visioner, kritis, dan bijak.

Berikut adalah sikap-sikap ideal seorang guru, ditinjau dari nilai filosofis, etika keilmuan, dan kondisi sosial:

1)                  Berpikir Kritis dan Rasional, tetapi Tetap Bermoral

Guru harus menanamkan kemampuan berpikir rasional dan logis kepada siswa, tanpa melepaskan akar moralitas dan nilai agama.

Sikap: Mendorong siswa bertanya, menganalisis, dan tidak ikut-ikutan arus mayoritas tanpa dasar.

Contoh: Dalam diskusi demokrasi, guru tidak hanya menjelaskan kelebihannya, tetapi juga mengajak siswa melihat kekurangannya secara jujur.

2)                  Menjadi Filsuf dan Penuntun Moral

Plato mengatakan, pemimpin sejati adalah “filosof”. Dalam dunia pendidikan, guru adalah pemimpin kecil di ruang kelas, maka ia harus menjadi pendidik nilai, bukan sekadar pengajar isi.

Sikap: Menjadi teladan dalam kesederhanaan, kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.

Contoh: Guru tidak hanya mengajarkan Pancasila, tetapi hidup sesuai nilai-nilainya.

3)                  Adil dan Tidak Terbawa Arus Mayoritas

Dalam masyarakat demokratis, guru bisa saja tertekan oleh opini mayoritas, baik dari orang tua, media sosial, atau siswa sendiri. Namun guru harus bersikap adil, objektif, dan tidak populis.

Sikap: Menilai siswa secara adil berdasarkan usaha dan kualitas, bukan karena tekanan sosial.

Contoh: Tidak memberikan nilai tinggi hanya karena siswa populer atau disukai orang tua.

4)                  Memperkuat Literasi dan Kesadaran Kritis Siswa

Guru adalah benteng pertama terhadap banjir informasi palsu (hoaks) dan propaganda. Maka, guru harus mengajarkan cara memilah informasi dan memperkuat kemampuan berpikir reflektif.

Sikap: Mengajarkan keterampilan membaca kritis, diskusi berbasis data, dan pemikiran independen.

Contoh: Dalam pelajaran sejarah atau PKN, guru mengajak siswa menilai berbagai peristiwa dari banyak sudut pandang.

5)                  Mengasihi dengan Tegas (Cinta dalam Kedisiplinan)

Guru bukan hanya pengasih, tapi juga pendidik. Terlalu memanjakan siswa atas nama “kebebasan belajar” bisa merusak karakter. Guru harus punya cinta yang mendidik, bukan memanjakan.

Sikap: Tegas dalam aturan, tetapi tetap hangat dan memotivasi.

Contoh: Menegur siswa yang melanggar disiplin dengan niat memperbaiki, bukan menghukum.

6)                  Menjadi Penjaga Nilai dalam Era yang Relatif

Di tengah relativisme moral dalam masyarakat demokratis, guru adalah penjaga nilai (value keeper) yang tetap berpihak pada kebenaran yang kokoh, bukan pada popularitas.

Sikap: Berani membela nilai kebenaran, keadilan, dan keimanan, walaupun tidak populer.

Contoh: Menolak normalisasi LGBT atau liberalisme ekstrem jika bertentangan dengan nilai agama, sambil tetap mendidik siswa dengan kasih dan argumen logis.


Kesimpulan:

Seorang guru seharusnya bersikap seperti seorang pemimpin moral dan intelektual — mendidik bukan hanya akal, tetapi juga jiwa dan karakter peserta didik. Dalam masyarakat demokratis yang cenderung bebas dan permisif, guru harus menjadi figur yang kritis namun adil, bijaksana namun tegas, lembut namun berprinsip.