Filsafat Perempuan dan Gender
Dari Tradisi Kuno hingga Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas perkembangan Filsafat Perempuan dan Gender
dalam perspektif historis, konseptual, kritis, dan relevansi kontemporer.
Kajian dimulai dengan menelusuri konstruksi perempuan dalam tradisi filsafat
sejak Yunani Kuno, Abad Pertengahan, hingga era modern, yang umumnya
menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Selanjutnya, artikel menguraikan
lahirnya feminisme dalam berbagai gelombang, mulai dari perjuangan kesetaraan
hukum dan politik, kritik terhadap patriarki, pengembangan konsep interseksionalitas,
hingga pemanfaatan teknologi digital dalam aktivisme feminis kontemporer.
Pembahasan juga menyoroti kontribusi tokoh-tokoh penting seperti Simone
de Beauvoir, Judith Butler, bell hooks, Fatima Mernissi, dan Gayatri Spivak,
yang pemikirannya membentuk fondasi teori gender modern dan postkolonial.
Selain itu, artikel ini mengkaji kritik terhadap filsafat gender, baik dari
perspektif internal—seperti perdebatan mengenai esensialisme, stabilitas
identitas, dan interseksionalitas—maupun dari perspektif eksternal, termasuk
relativisme budaya dan tradisi agama.
Dalam ranah aplikatif, filsafat gender terbukti relevan dalam membongkar
bias epistemologis dalam ilmu pengetahuan, memperkaya diskursus etika melalui ethics
of care, serta menegaskan pentingnya representasi politik dan kebijakan
publik yang inklusif. Lebih jauh, isu-isu kontemporer seperti ekofeminisme,
politik identitas digital, migrasi global, serta posthumanisme memperlihatkan
bahwa filsafat gender terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan zaman.
Kesimpulannya, filsafat perempuan dan gender tidak hanya memperjuangkan
kesetaraan perempuan, tetapi juga membangun kerangka reflektif yang kritis
terhadap relasi kuasa, produksi pengetahuan, dan struktur sosial. Dengan
demikian, filsafat gender berperan penting dalam membangun masyarakat yang
lebih adil, demokratis, dan manusiawi.
Kata Kunci: Filsafat
perempuan; gender; feminisme; interseksionalitas; ekofeminisme; posthumanisme;
politik identitas; keadilan sosial.
PEMBAHASAN
Filsafat Perempuan dan Gender
1.
Pendahuluan
Kajian mengenai perempuan dan gender
telah menjadi salah satu tema penting dalam wacana filsafat modern dan
kontemporer. Sejak lama, perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat dalam
sistem sosial, politik, dan kultural yang didominasi oleh struktur patriarki.¹
Filsafat sebagai disiplin yang sejak zaman Yunani kuno kerap mendiskusikan
persoalan manusia, etika, dan keadilan, justru memperlihatkan paradoks: di satu
sisi ia mengklaim universalitas, namun di sisi lain kerap mengabaikan
pengalaman perempuan sebagai subjek historis.²
Sejarah memperlihatkan bahwa
tokoh-tokoh filsafat besar seperti Aristoteles memandang perempuan sebagai “manusia
yang tidak sempurna” atau “pria yang gagal,” yang mengindikasikan
konstruksi gender yang diskriminatif sejak awal perkembangan filsafat Barat.³
Pandangan seperti ini diwarisi dalam berbagai bentuk hingga era modern, meski
kemudian mulai digugat oleh gerakan feminisme yang muncul pada abad ke-18 dan
ke-19, seiring dengan perjuangan hak politik dan kesetaraan hukum.⁴
Filsafat perempuan dan gender tidak
hanya berupaya mendekonstruksi warisan bias patriarki dalam sejarah pemikiran,
tetapi juga menawarkan kerangka konseptual baru untuk memahami eksistensi
manusia secara lebih adil. Simone de Beauvoir melalui karyanya The Second
Sex menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan” dalam
makna sosialnya, melainkan dikonstruksi melalui proses historis dan budaya.⁵
Pemikiran ini membuka jalan bagi munculnya teori-teori kritis tentang gender,
termasuk konsep performativitas Judith Butler yang menekankan bahwa identitas
gender bukanlah entitas tetap, melainkan hasil praktik sosial dan diskursif
yang terus-menerus.⁶
Di era kontemporer, pembahasan filsafat
perempuan dan gender semakin berkembang dengan memasuki ranah
interseksionalitas, yaitu pendekatan yang menekankan bahwa pengalaman perempuan
tidak dapat dilepaskan dari faktor lain seperti kelas, ras, dan etnisitas.⁷ Hal
ini memperlihatkan bahwa filsafat gender bersifat dinamis dan terus beradaptasi
dengan perubahan sosial, politik, dan teknologi global.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan
untuk menguraikan sejarah, konsep dasar, kritik, serta relevansi kontemporer
dari filsafat perempuan dan gender. Dengan kerangka ini, diharapkan kajian
filsafat dapat lebih inklusif, kritis, dan relevan dalam menjawab persoalan
kemanusiaan yang kompleks di masa kini.
Footnotes
[1]
Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy (Oxford:
Blackwell, 1990), 20–25.
[2]
Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and
‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 3–6.
[3]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett, 1998), 1254b13–15.
[4]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of
Woman (London: J. Johnson, 1792), 5–10.
[5]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
283.
[6]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–33.
[7]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins:
Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford
Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.
2.
Konsep Dasar
Filsafat Perempuan dan Gender
Pembahasan mengenai konsep dasar
filsafat perempuan dan gender berakar pada kebutuhan untuk memahami bagaimana
identitas, eksistensi, dan pengalaman perempuan dibingkai dalam horizon
filsafat. Kajian ini tidak hanya menyangkut pemaknaan terminologis, tetapi juga
bagaimana konstruksi konseptual tersebut membentuk relasi kuasa dalam
masyarakat. Dengan demikian, filsafat perempuan dan gender berusaha menelusuri
dimensi ontologis, epistemologis, dan etis dari pengalaman perempuan sebagai
subjek yang historis dan politis.¹
2.1.
Definisi Perempuan
dan Gender
Secara konseptual, istilah perempuan
kerap dipahami sebagai kategori biologis yang merujuk pada jenis kelamin (sex)
dengan karakteristik fisik tertentu. Namun, filsafat perempuan menolak reduksi
perempuan hanya sebagai entitas biologis semata. Sebaliknya, perempuan
dipandang sebagai hasil dari konstruksi sosial, budaya, dan historis yang
melampaui tubuh biologis.² Simone de Beauvoir dengan tegas menyatakan, “one
is not born, but rather becomes, a woman,” yang berarti bahwa identitas
perempuan dibentuk melalui proses sosial yang kompleks, bukan sesuatu yang
sudah jadi secara kodrati.³
Istilah gender kemudian muncul
sebagai kategori analitis yang membedakan antara perbedaan biologis (sex) dan
perbedaan sosial-budaya (gender). Gender dipahami sebagai seperangkat peran,
norma, dan ekspektasi yang dilekatkan pada individu berdasarkan jenis
kelaminnya.⁴ Perspektif ini menegaskan bahwa menjadi “laki-laki” atau “perempuan”
tidak hanya soal biologis, tetapi juga hasil dari proses sosialisasi,
institusionalisasi, dan praktik diskursif yang berlangsung dalam masyarakat.
2.2.
Ontologi Perempuan:
Hakikat dan Eksistensi
Dalam filsafat klasik, perempuan sering
kali ditempatkan sebagai “yang lain” (the Other) dibandingkan
laki-laki yang diposisikan sebagai norma universal manusia.⁵ Konsepsi ini
menimbulkan persoalan ontologis: apakah perempuan memiliki esensi tertentu yang
membedakannya dari laki-laki, ataukah identitas perempuan sepenuhnya
dikonstruksi secara sosial?
Filsafat perempuan menolak esensialisme
yang memandang perempuan memiliki sifat bawaan tertentu, misalnya dianggap
lebih emosional, pasif, atau domestik. Kritik terhadap esensialisme membuka
jalan bagi pemahaman eksistensialis, yang menekankan kebebasan perempuan untuk
mendefinisikan dirinya sendiri.⁶ Dalam kerangka ini, eksistensi perempuan tidak
lagi ditentukan oleh “kodrat” yang dipaksakan secara kultural, melainkan
oleh pilihan dan tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sosial.
2.3.
Epistemologi Gender:
Siapa yang Berhak Mendefinisikan?
Pertanyaan epistemologis yang mendasar
dalam filsafat perempuan adalah: siapa yang memiliki otoritas untuk
mendefinisikan pengalaman perempuan? Dalam sejarah filsafat, narasi tentang
perempuan hampir selalu ditulis oleh laki-laki dengan perspektif maskulin. Hal
ini menimbulkan bias epistemologis yang membuat suara perempuan terpinggirkan
dalam produksi pengetahuan.⁷
Sandra Harding, melalui teori standpoint
epistemology, menekankan bahwa pengalaman perempuan harus menjadi titik
berangkat dalam membangun pengetahuan yang lebih inklusif.⁸ Dengan menempatkan
pengalaman perempuan sebagai sumber epistemik, filsafat perempuan berusaha
menantang struktur pengetahuan dominan yang selama ini melanggengkan
ketidakadilan gender.
2.4.
Gender sebagai
Kategori Analisis Sosial dan Filosofis
Konsep gender kemudian berkembang
menjadi kategori analisis yang kritis dalam memahami ketidakadilan struktural.
Joan Scott menegaskan bahwa gender bukan hanya perbedaan peran antara laki-laki
dan perempuan, melainkan sebuah cara untuk mengorganisasi relasi kuasa dalam
masyarakat.⁹ Dengan demikian, gender menjadi instrumen konseptual untuk
membongkar bagaimana hukum, politik, bahasa, dan budaya membentuk hierarki
sosial.
Dalam filsafat, gender juga
diperlakukan sebagai kategori reflektif untuk mempertanyakan universalitas
konsep-konsep klasik seperti keadilan, kebebasan, dan rasionalitas. Hal ini
sejalan dengan kritik feminis yang menilai bahwa klaim universal filsafat Barat
sering kali dibangun di atas pengalaman maskulin yang mengabaikan dimensi
gender.¹⁰
Footnotes
[1]
Alison Stone, An Introduction to Feminist
Philosophy (Cambridge: Polity, 2007), 1–3.
[2]
Toril Moi, Sexual/Textual Politics: Feminist
Literary Theory (London: Routledge, 1985), 13–15.
[3]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
283.
[4]
Ann Oakley, Sex, Gender and Society (London:
Temple Smith, 1972), 106–110.
[5]
Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and
‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 17–22.
[6]
Iris Marion Young, Throwing Like a Girl and Other
Essays in Feminist Philosophy and Social Theory (Bloomington: Indiana
University Press, 1990), 35–40.
[7]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
119–123.
[8]
Nancy Hartsock, “The Feminist Standpoint: Developing
the Ground for a Specifically Feminist Historical Materialism,” in Discovering
Reality: Feminist Perspectives on Epistemology, Metaphysics, Methodology, and
Philosophy of Science, ed. Sandra Harding and Merrill B. Hintikka
(Dordrecht: Reidel, 1983), 283–310.
[9]
Joan W. Scott, “Gender: A Useful Category of
Historical Analysis,” The American Historical Review 91, no. 5 (1986):
1053–1075.
[10]
Seyla Benhabib and Drucilla Cornell, eds., Feminism
as Critique: On the Politics of Gender (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1987), 7–12.
3.
Sejarah Pemikiran
tentang Perempuan dalam Filsafat
Sejarah pemikiran tentang perempuan
dalam filsafat memperlihatkan dinamika yang kompleks, mulai dari penyingkiran
dan subordinasi hingga pengakuan dan pembelaan. Pemikiran tentang perempuan
bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dipengaruhi oleh konteks sosial,
politik, dan religius pada setiap zamannya.¹ Oleh sebab itu, untuk memahami
filsafat perempuan dan gender secara utuh, perlu dilakukan penelusuran historis
mengenai bagaimana perempuan diposisikan dalam tradisi filsafat dari zaman kuno
hingga modern.
3.1.
Perempuan dalam
Filsafat Yunani Kuno
Pemikiran filsafat mengenai perempuan
telah ada sejak era Yunani Kuno. Plato, misalnya, dalam Republic
mengemukakan bahwa perempuan memiliki potensi untuk menjadi penjaga (guardian)
negara sebagaimana laki-laki, meskipun tetap memandang mereka lebih lemah dalam
kapasitas fisik.² Namun, Aristoteles memiliki pandangan yang lebih negatif; ia
menilai perempuan sebagai "manusia yang tidak sempurna" dan
memandang perannya sebatas pada reproduksi dan urusan domestik.³ Dengan
demikian, sejak awal perkembangan filsafat Barat, terdapat ambivalensi dalam
memandang perempuan: antara potensi kesetaraan yang diakui Plato dan penegasan
subordinasi sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles.
Tradisi Stoik kemudian memberikan warna
yang berbeda. Filsuf Stoik seperti Musonius Rufus mengajarkan bahwa perempuan
harus memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki, karena kemampuan
rasional dimiliki oleh keduanya.⁴ Pandangan ini membuka ruang bagi gagasan awal
tentang kesetaraan intelektual, meskipun masih terbatas pada lingkup etika dan
pendidikan.
3.2.
Tradisi Filsafat
Abad Pertengahan
Memasuki abad pertengahan, pemikiran
tentang perempuan dipengaruhi kuat oleh tradisi religius, baik Kristen, Islam,
maupun Yahudi. Dalam tradisi Kristen, tokoh seperti Thomas Aquinas tetap
mengadopsi pandangan Aristotelian bahwa perempuan adalah “pria yang kurang
sempurna” (mas occasionatus).⁵ Namun, pemikiran ini tidak sepenuhnya
menutup ruang bagi penghargaan terhadap perempuan, terutama dalam konteks
spiritual, sebagaimana terlihat dalam pengultusan figur Maria sebagai simbol
kesucian dan ketaatan.
Dalam filsafat Islam abad pertengahan,
posisi perempuan juga banyak diperdebatkan. Al-Farabi, Ibn Sina, hingga
al-Ghazali menekankan peran perempuan dalam rumah tangga dan reproduksi, meski
tidak menolak kemungkinan bahwa perempuan dapat berperan dalam ranah publik
dalam batas-batas tertentu.⁶ Sementara itu, Ibn Rushd (Averroes) dalam
komentarnya terhadap Republic Plato menekankan bahwa masyarakat akan
merugi jika perempuan hanya dibatasi pada pekerjaan domestik, sebab mereka
memiliki potensi untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial dan politik.⁷
3.3.
Perempuan dalam
Filsafat Modern
Pada masa modern, terutama sejak abad
ke-17 hingga ke-19, muncul pergeseran dalam pemikiran tentang perempuan. Filsuf
modern seperti Jean-Jacques Rousseau tetap mempertahankan pandangan tradisional
bahwa kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga dan mendukung laki-laki,
sebagaimana tergambar dalam karyanya Émile.⁸ Namun, kritik terhadap
pandangan semacam ini mulai muncul, salah satunya dari Mary Wollstonecraft.
Melalui karyanya A Vindication of
the Rights of Woman (1792), Wollstonecraft menegaskan bahwa perempuan
adalah makhluk rasional yang seharusnya memiliki akses terhadap pendidikan
setara dengan laki-laki.⁹ Pemikiran Wollstonecraft menjadi fondasi bagi
feminisme gelombang pertama yang menekankan kesetaraan hukum dan politik, serta
menantang dominasi pandangan maskulin dalam filsafat dan masyarakat.
John Stuart Mill kemudian memperkuat
argumen kesetaraan melalui karyanya The Subjection of Women (1869), yang
menegaskan bahwa ketidaksetaraan gender bukanlah hal kodrati, melainkan hasil
dari konstruksi sosial yang bisa diubah.¹⁰ Pemikiran Mill menjadi salah satu
tonggak penting dalam filsafat politik modern yang memandang kesetaraan gender
sebagai prasyarat keadilan sosial.
3.4.
Awal Feminisme dan
Peralihan Menuju Wacana Gender
Seiring dengan perkembangan filsafat
modern, abad ke-19 dan ke-20 menjadi titik balik bagi lahirnya feminisme
sebagai gerakan intelektual sekaligus sosial. Feminisme gelombang pertama
menyoroti isu hak pilih perempuan (women’s suffrage) dan kesetaraan
hukum.¹¹ Namun, seiring berjalannya waktu, wacana ini berkembang menjadi kajian
filsafat gender yang lebih luas, yang tidak hanya menyoal hak-hak formal,
tetapi juga menggugat struktur patriarki, seksualitas, tubuh, dan identitas.
Dengan demikian, sejarah pemikiran
tentang perempuan dalam filsafat dapat dipahami sebagai perjalanan dari
marginalisasi menuju pengakuan, dari subordinasi menuju upaya kritis untuk
membongkar relasi kuasa. Warisan sejarah ini menjadi landasan penting untuk
memahami lahirnya filsafat perempuan dan gender dalam wujud kontemporer.
Footnotes
[1]
Karen J. Warren, An Introduction to Feminist
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 15–18.
[2]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 451c–457b.
[3]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett, 1998), 1254b13–15.
[4]
Musonius Rufus, Lectures and Sayings, trans.
Cora E. Lutz (New Haven: Yale University Press, 1947), 3–7.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, vol. I,
trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros.,
1947), I.q92.a1.
[6]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 2:35–38.
[7]
Ibn Rushd (Averroes), Commentary on Plato’s
Republic, trans. E.I.J. Rosenthal (Cambridge: Cambridge University Press,
1956), 153–156.
[8]
Jean-Jacques Rousseau, Émile, or On Education,
trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), 358–365.
[9]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of
Woman (London: J. Johnson, 1792), 5–10.
[10]
John Stuart Mill, The Subjection of Women
(London: Longman, Green, Reader, and Dyer, 1869), 22–28.
[11]
Karen Offen, European Feminisms, 1700–1950: A
Political History (Stanford: Stanford University Press, 2000), 105–112.
4.
Filsafat Feminisme
dan Teori Gender
Filsafat feminisme dan teori gender
merupakan fondasi penting dalam memahami dinamika relasi kuasa, identitas,
serta pengalaman perempuan di berbagai konteks historis maupun kontemporer.
Gerakan ini bukan hanya bersifat akademis, melainkan juga politis, sebab ia
lahir dari kesadaran bahwa struktur masyarakat patriarkal telah memarginalisasi
perempuan dalam ranah sosial, politik, hukum, dan budaya.¹ Filsafat feminisme
bertujuan membongkar bias maskulin dalam filsafat tradisional sekaligus
membangun kerangka konseptual yang lebih adil dan inklusif. Teori gender
kemudian memperluas wacana ini dengan menekankan bahwa identitas dan peran
gender adalah hasil konstruksi sosial, bukan sekadar kodrat biologis.²
4.1.
Feminisme Gelombang
Pertama: Hak Politik dan Kesetaraan Hukum
Feminisme gelombang pertama muncul pada
abad ke-18 dan ke-19, dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft
dan kemudian dipertegas dalam perjuangan hak pilih perempuan (women’s
suffrage).³ Fokus utama feminisme tahap ini adalah kesetaraan formal: hak
untuk mendapatkan pendidikan, akses pekerjaan, serta pengakuan politik yang
sama dengan laki-laki.
Gerakan ini berpijak pada prinsip
liberalisme klasik, terutama ide kebebasan dan kesetaraan yang dikemukakan oleh
filsuf seperti John Locke dan John Stuart Mill.⁴ Namun, fokus pada kesetaraan
hukum sering kali dipandang terbatas, karena belum menyentuh persoalan
struktural dan kultural yang lebih dalam terkait patriarki.
4.2.
Feminisme Gelombang
Kedua: Tubuh, Seksualitas, dan Kritik Patriarki
Gelombang kedua feminisme berkembang
pada tahun 1960-an hingga 1980-an, dengan tokoh penting seperti Simone de
Beauvoir, Betty Friedan, dan Kate Millett.⁵ Tema utama gelombang ini adalah
tubuh, seksualitas, peran domestik, serta kritik terhadap patriarki yang
melekat dalam institusi keluarga, hukum, dan budaya.
Simone de Beauvoir melalui The
Second Sex menegaskan bahwa perempuan menjadi “yang lain” (the
Other) dalam masyarakat patriarkal, di mana identitas mereka didefinisikan
secara negatif melalui oposisi terhadap laki-laki.⁶ Sementara itu, Kate Millett
dalam Sexual Politics menganalisis bagaimana struktur patriarki
beroperasi tidak hanya melalui hukum, tetapi juga melalui budaya populer,
sastra, dan seni.⁷
Feminisme gelombang kedua juga
melahirkan perdebatan internal antara feminis liberal, radikal, dan sosialis.
Feminisme radikal menekankan bahwa patriarki adalah sistem penindasan yang
lebih mendasar daripada kelas sosial, sementara feminisme sosialis berusaha
menggabungkan analisis gender dengan teori Marxian tentang kelas dan ekonomi.⁸
4.3.
Feminisme Gelombang
Ketiga: Interseksionalitas dan Pluralitas Identitas
Gelombang ketiga feminisme muncul pada
1990-an, ditandai dengan kritik terhadap homogenitas pengalaman perempuan yang
dianggap mendominasi gelombang sebelumnya. Feminisme gelombang kedua kerap
dikritik terlalu fokus pada perempuan kulit putih kelas menengah di Barat,
sehingga mengabaikan pengalaman perempuan dari ras, kelas, atau latar budaya
berbeda.⁹
Konsep interseksionalitas yang
diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw menjadi kerangka utama gelombang ini.¹⁰
Interseksionalitas menekankan bahwa pengalaman perempuan tidak bisa dipahami
hanya berdasarkan gender, tetapi juga persinggungannya dengan kategori lain
seperti ras, kelas, etnisitas, dan orientasi seksual.¹¹ Dengan demikian,
feminisme gelombang ketiga menekankan pluralitas identitas serta keragaman
pengalaman, sekaligus menolak narasi tunggal tentang “perempuan.”
4.4.
Feminisme Gelombang
Keempat: Aktivisme Digital dan Globalisasi
Feminisme gelombang keempat, yang
muncul pada awal abad ke-21, ditandai dengan pemanfaatan teknologi digital dan
media sosial sebagai ruang perjuangan. Gerakan ini melahirkan fenomena seperti
kampanye #MeToo yang menyoroti kekerasan seksual, pelecehan, dan penyalahgunaan
kuasa terhadap perempuan di seluruh dunia.¹²
Gelombang ini lebih bersifat transnasional
dan interkonektif, menekankan solidaritas lintas batas budaya dan negara.¹³
Feminisme keempat juga semakin memperhatikan isu-isu kontemporer seperti
representasi perempuan dalam media digital, ketidakadilan ekonomi global, serta
dampak teknologi dan biopolitik terhadap tubuh perempuan.¹⁴
4.5.
Teori Gender:
Konstruksi Identitas dan Performatifitas
Seiring dengan perkembangan feminisme,
teori gender menawarkan kerangka filosofis yang lebih luas. Judith Butler
melalui Gender Trouble menolak pandangan esensialis tentang gender dan
menegaskan bahwa identitas gender bersifat performatif, yakni dibentuk dan
direproduksi melalui tindakan, bahasa, dan praktik sosial sehari-hari.¹⁵ Teori
ini menantang gagasan bahwa identitas laki-laki dan perempuan bersifat tetap,
sebaliknya dipandang cair dan selalu dinegosiasikan.
Teori gender juga membuka ruang diskusi
baru tentang fluiditas identitas, queer theory, serta keterkaitan antara tubuh,
seksualitas, dan bahasa.¹⁶ Dalam kerangka ini, filsafat feminisme tidak lagi
sekadar menuntut kesetaraan, melainkan menggugat batas-batas kategorisasi
identitas manusia itu sendiri.
Footnotes
[1]
Karen J. Warren, An Introduction to Feminist
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 20–24.
[2]
Alison Stone, Feminist Philosophy: A Beginning
(Cambridge: Polity, 2007), 11–14.
[3]
Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of
Woman (London: J. Johnson, 1792), 15–18.
[4]
John Stuart Mill, The Subjection of Women
(London: Longman, Green, Reader, and Dyer, 1869), 27–32.
[5]
Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York:
W.W. Norton, 1963), 35–40.
[6]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
5–10.
[7]
Kate Millett, Sexual Politics (New York:
Doubleday, 1970), 23–28.
[8]
Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and
Feminism: Towards a More Progressive Union,” Capital & Class 3, no.
2 (1979): 1–33.
[9]
Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist
Scholarship and Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984):
333–358.
[10]
Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection
of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum (1989): 139–167.
[11]
Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought
(New York: Routledge, 2000), 225–230.
[12]
Tarana Burke, “#MeToo Was Started for Black and Brown
Women and Girls. They’re Still Being Ignored,” The Washington Post,
November 9, 2017.
[13]
Margaret Walters, Feminism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 112–118.
[14]
Rosalind Gill, “Postfeminist Media Culture: Elements
of a Sensibility,” European Journal of Cultural Studies 10, no. 2
(2007): 147–166.
[15]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.
[16]
Eve Kosofsky Sedgwick, Epistemology of the Closet
(Berkeley: University of California Press, 1990), 42–49.
5.
Tokoh dan Pemikir
Kunci
Perkembangan filsafat perempuan dan
gender tidak dapat dilepaskan dari kontribusi tokoh-tokoh kunci yang merumuskan
konsep, teori, serta kritik fundamental terhadap dominasi patriarki dan
konstruksi sosial mengenai perempuan. Tokoh-tokoh ini tidak hanya mengembangkan
wacana akademis, tetapi juga memengaruhi arah gerakan sosial dan politik yang
memperjuangkan kesetaraan gender. Pemikiran mereka memberikan landasan
filosofis yang memperkaya kajian gender lintas disiplin, mulai dari
eksistensialisme hingga post-strukturalisme, serta dari teori kritis hingga
interseksionalitas.¹
5.1.
Simone de Beauvoir
(1908–1986): Eksistensialisme dan “The Second Sex”
Simone de Beauvoir sering disebut
sebagai “ibu filsafat feminisme modern.” Dalam karyanya The Second
Sex (1949), ia menyatakan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan,”
tetapi menjadi perempuan melalui proses sosial dan kultural.² Dengan pendekatan
eksistensialis, Beauvoir membongkar konstruksi sosial yang membatasi kebebasan
perempuan, seraya menegaskan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, adalah
subjek bebas yang bertanggung jawab atas eksistensinya.³
Konsep “perempuan sebagai the Other”
yang diperkenalkannya menjadi salah satu kritik paling tajam terhadap filsafat
Barat yang universalistik namun bias maskulin.⁴ Pemikiran Beauvoir membuka
jalan bagi analisis gender yang melihat pengalaman perempuan sebagai konstruksi
historis, bukan sebagai kodrat alamiah.
5.2.
Judith Butler (1956–
): Teori Performatifitas Gender
Judith Butler merupakan tokoh sentral
dalam teori gender kontemporer. Melalui Gender Trouble (1990), ia
memperkenalkan gagasan performativitas, yakni bahwa gender bukanlah identitas
tetap, melainkan sesuatu yang terus-menerus diciptakan melalui praktik sosial,
bahasa, dan tindakan sehari-hari.⁵
Pemikiran Butler menantang pandangan
esensialis yang menganggap identitas laki-laki dan perempuan sebagai kodrati.
Sebaliknya, gender dipandang cair dan dapat dinegosiasikan.⁶ Selain itu, Butler
juga mengaitkan teori gender dengan politik queer, yang menolak kategorisasi
kaku atas identitas seksual dan gender.⁷ Pemikirannya memengaruhi berbagai
bidang, mulai dari filsafat, sastra, hingga studi hukum dan politik.
5.3.
bell hooks
(1952–2021): Interseksionalitas, Ras, dan Gender
bell hooks (nama pena dari Gloria Jean
Watkins) adalah tokoh penting dalam feminisme kulit hitam. Dalam Ain’t I a
Woman? Black Women and Feminism (1981), ia mengkritik feminisme arus utama
yang cenderung mengabaikan pengalaman perempuan kulit hitam dan perempuan dari
kelas pekerja.⁸
hooks menekankan bahwa gender tidak
dapat dipisahkan dari ras, kelas, dan sejarah kolonialisme.⁹ Baginya, feminisme
harus dipahami sebagai perjuangan melawan segala bentuk dominasi, bukan sekadar
perjuangan perempuan melawan laki-laki.¹⁰ Pemikirannya menegaskan pentingnya
interseksionalitas dan membuka ruang bagi feminisme yang lebih inklusif,
plural, dan global.
5.4.
Pemikir Muslim dan
Non-Barat
Selain pemikir Barat, sejumlah tokoh
dari dunia Islam dan non-Barat juga memberikan kontribusi signifikan dalam
wacana gender. Fatima Mernissi (1940–2015), misalnya, melalui Beyond the
Veil (1975), mengkritik penafsiran tradisional atas teks-teks Islam yang
membatasi ruang gerak perempuan, seraya menawarkan reinterpretasi yang lebih
egaliter.¹¹
Di India, Gayatri Chakravorty Spivak
menyoroti hubungan antara kolonialisme, gender, dan pengetahuan melalui esai
terkenalnya, “Can the Subaltern Speak?” yang menyoroti keterpinggiran
suara perempuan dalam wacana global.¹² Pemikirannya mendorong feminisme
postkolonial yang menekankan peran konteks budaya dan politik global dalam
memahami gender.
5.5.
Kontribusi Lintas
Disiplin
Tokoh-tokoh di atas tidak berdiri
sendiri, melainkan terhubung dengan tradisi intelektual yang lebih luas.
Pemikiran mereka berinteraksi dengan filsafat eksistensialis, teori kritis
Frankfurt, post-strukturalisme, hingga studi postkolonial.¹³ Dengan demikian,
filsafat perempuan dan gender berkembang sebagai disiplin yang interdisipliner,
yang menghubungkan refleksi filosofis dengan analisis sosial, politik, dan
budaya.
Footnotes
[1]
Alison Stone, An Introduction to Feminist
Philosophy (Cambridge: Polity, 2007), 45–49.
[2]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
283.
[3]
Toril Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an
Intellectual Woman (Oxford: Oxford University Press, 1994), 112–118.
[4]
Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and
‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 25–30.
[5]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–28.
[6]
Sara Salih, Judith Butler (London: Routledge,
2002), 57–63.
[7]
Judith Butler, Bodies That Matter: On the
Discursive Limits of "Sex" (New York: Routledge, 1993), 2–5.
[8]
bell hooks, Ain’t I a Woman? Black Women and
Feminism (Boston: South End Press, 1981), 7–11.
[9]
Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought
(New York: Routledge, 2000), 45–48.
[10]
bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate
Politics (Cambridge, MA: South End Press, 2000), 1–6.
[11]
Fatima Mernissi, Beyond the Veil: Male-Female
Dynamics in Muslim Society (Bloomington: Indiana University Press, 1975),
15–20.
[12]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern
Speak?,” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson
and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[13]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York:
Routledge, 1997), 19–23.
6.
Kritik Filsafat
Gender
Filsafat gender sebagai cabang
pemikiran kritis telah memberikan kontribusi besar dalam membongkar relasi
kuasa, struktur patriarki, dan konstruksi sosial mengenai identitas perempuan.
Namun, filsafat gender sendiri tidak luput dari kritik internal maupun
eksternal. Kritik ini muncul baik dari sesama kalangan feminis maupun dari
filsuf non-feminis yang mempertanyakan asumsi, metodologi, dan implikasi
teoretis filsafat gender. Bab ini akan menguraikan beberapa arus kritik utama:
(1) kritik terhadap esensialisme, (2) kritik post-strukturalis terhadap konsep
“perempuan”, (3) perdebatan antara universalitas hak perempuan versus
relativisme budaya, dan (4) kritik agama serta tradisi terhadap teori gender.
6.1.
Kritik terhadap
Esensialisme
Salah satu kritik paling mendasar dalam
filsafat gender adalah penolakan terhadap esensialisme, yakni pandangan bahwa
terdapat sifat atau hakikat universal yang melekat pada semua perempuan. Simone
de Beauvoir telah menolak pandangan ini dengan tegas ketika menyatakan bahwa “perempuan
tidak dilahirkan, melainkan menjadi.”¹ Feminisme gelombang kedua banyak
menentang esensialisme karena berpotensi mengekang kebebasan perempuan dalam
menentukan identitasnya.
Namun, esensialisme juga dikritik dalam
konteks feminisme itu sendiri. Tokoh-tokoh feminisme postkolonial, seperti
Chandra Talpade Mohanty, menilai bahwa feminisme Barat kerap mendefinisikan
pengalaman perempuan secara homogen, sehingga mengabaikan perbedaan ras, kelas,
dan budaya.² Dengan demikian, kritik terhadap esensialisme menegaskan perlunya
memahami perempuan dalam keragaman pengalaman sosial dan historisnya.
6.2.
Kritik
Post-Strukturalis dan Dekonstruksi atas Konsep “Perempuan”
Tradisi post-strukturalisme membawa
kritik radikal terhadap konsep “perempuan” sebagai kategori tetap.
Judith Butler menegaskan bahwa “perempuan” bukanlah identitas esensial,
melainkan hasil dari konstruksi diskursif yang terus-menerus diproduksi dan
dipertahankan melalui performativitas gender.³ Dalam kerangka ini, konsep
perempuan sebagai kategori stabil dipandang problematis, karena justru memperkuat
norma-norma heteronormatif dan patriarkal.
Dekonstruksi ini menimbulkan ketegangan
dalam filsafat gender, sebab jika “perempuan” dianggap tidak stabil,
maka dasar ontologis perjuangan feminisme pun dipertanyakan.⁴ Sebagian kalangan
feminis berargumen bahwa meski identitas perempuan bersifat cair, tetap
diperlukan kategori politik “perempuan” untuk melawan diskriminasi nyata
yang dialami kelompok sosial ini.⁵ Dengan demikian, filsafat gender berada di
persimpangan antara menjaga stabilitas identitas demi kepentingan politik dan
membongkar identitas demi konsistensi teoretis.
6.3.
Universalitas Hak
Perempuan vs Relativisme Budaya
Kritik lain terhadap filsafat gender
berkaitan dengan klaim universalitas hak perempuan. Gerakan feminis Barat
sering dituduh membawa agenda universalis yang tidak sensitif terhadap
keragaman budaya. Misalnya, wacana hak-hak perempuan dalam konteks global kerap
dianggap sebagai bentuk imperialisme budaya yang memaksakan standar Barat atas
masyarakat non-Barat.⁶
Feminisme postkolonial menekankan
perlunya menghormati konteks lokal, tradisi, dan sistem nilai yang berbeda.⁷
Namun, pendekatan ini menghadapi dilema etis: sampai sejauh mana relativisme
budaya dapat diterima tanpa membiarkan praktik diskriminatif berlangsung?
Perdebatan antara universalisme dan relativisme budaya menjadi salah satu isu
filosofis paling sulit dalam filsafat gender, karena menyangkut ketegangan
antara prinsip keadilan global dan penghormatan terhadap pluralitas budaya.
6.4.
Kritik Agama dan
Tradisi
Filsafat gender juga banyak mendapat
kritik dari perspektif agama dan tradisi. Beberapa kalangan menilai bahwa teori
gender, terutama gagasan fluiditas identitas, bertentangan dengan ajaran agama
yang mendasarkan identitas gender pada kodrat biologis dan ketentuan Ilahi.⁸
Misalnya, dalam tradisi Islam klasik, banyak ulama menekankan pembagian peran
gender yang bersifat komplementer, bukan cair sebagaimana dikemukakan teori
gender modern.⁹
Meski demikian, sejumlah pemikir Muslim
kontemporer seperti Amina Wadud dan Fatima Mernissi berusaha menafsirkan ulang
teks agama untuk menegaskan prinsip kesetaraan, seraya tetap mempertahankan
dimensi spiritualitas dan moralitas.¹⁰ Hal ini memperlihatkan adanya ruang
dialog antara filsafat gender dan tradisi agama, meski tetap diliputi
ketegangan teoretis dan normatif.
Kesimpulan Sementara
Kritik-kritik terhadap filsafat gender
memperlihatkan bahwa disiplin ini bersifat dinamis, terbuka terhadap koreksi,
dan terus bertransformasi. Kritik terhadap esensialisme menegaskan pluralitas
pengalaman perempuan, kritik post-strukturalis menyoroti ketidakstabilan
identitas, perdebatan universalisme-relativisme menantang klaim moral global,
dan kritik agama menunjukkan adanya batas-batas teoretis dalam konteks
normatif. Semua kritik ini memperkaya filsafat gender, sekaligus menunjukkan
kompleksitas upaya membangun kerangka konseptual yang inklusif dan
transformatif.
Footnotes
[1]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
283.
[2]
Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist
Scholarship and Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984):
333–358.
[3]
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.
[4]
Nancy Fraser, “Heterosexism, Misrecognition, and
Capitalism: A Response to Judith Butler,” Social Text 52/53 (1997):
279–289.
[5]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 170–176.
[6]
Uma Narayan, Dislocating Cultures: Identities,
Traditions, and Third World Feminism (New York: Routledge, 1997), 45–49.
[7]
Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern
Speak?,” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson
and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.
[8]
Pope John Paul II, Mulieris Dignitatem (Boston:
St. Paul Editions, 1988), 5–7.
[9]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 2:35–38.
[10]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred
Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999),
23–27; Fatima Mernissi, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Muslim
Society (Bloomington: Indiana University Press, 1975), 35–40.
7.
Relasi Gender dengan
Isu Sosial dan Ilmu Pengetahuan
Filsafat gender tidak hanya
membicarakan persoalan identitas atau konstruksi sosial perempuan, tetapi juga
berkaitan erat dengan isu-isu sosial yang lebih luas, serta dengan dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan. Gender sebagai kategori analisis telah menjadi
instrumen penting untuk mengungkap bias, ketidakadilan, dan relasi kuasa dalam
masyarakat modern.¹ Dalam bab ini, akan dibahas empat dimensi utama: (1) gender
dan filsafat politik, (2) gender dalam filsafat ilmu, (3) gender dan etika,
serta (4) gender dalam teknologi dan sains kontemporer.
7.1.
Gender dan Filsafat
Politik: Demokrasi, Keadilan, dan Representasi
Dalam ranah filsafat politik, isu
gender menyoroti persoalan representasi dan partisipasi. Demokrasi modern kerap
mendaku sebagai sistem yang egaliter, namun representasi politik perempuan
masih sangat timpang.² John Stuart Mill dalam The Subjection of Women
(1869) menegaskan bahwa ketidaksetaraan politik bukanlah kodrati, melainkan
produk konstruksi sosial yang dapat diubah.³
Tokoh kontemporer seperti Iris Marion
Young menambahkan bahwa demokrasi yang sejati menuntut kehadiran beragam suara,
termasuk perempuan dan kelompok marginal, melalui mekanisme inclusive
representation.⁴ Feminisme politik menekankan bahwa keadilan tidak hanya
mencakup distribusi sumber daya, tetapi juga pengakuan atas identitas dan
pengalaman gender yang beragam.⁵ Dengan demikian, gender berhubungan langsung
dengan legitimasi politik dan kualitas demokrasi.
7.2.
Gender dalam
Filsafat Ilmu: Bias Epistemologis
Filsafat ilmu sejak lama dikritik
karena didominasi perspektif maskulin. Evelyn Fox Keller menunjukkan bahwa
metode ilmiah modern sering mengandung asumsi “obyektivitas” yang
menyingkirkan pengalaman perempuan dan nilai-nilai relasional.⁶ Sandra Harding
melalui standpoint epistemology berargumen bahwa pengetahuan yang sahih
harus berangkat dari pengalaman kelompok yang termarjinalkan, termasuk
perempuan.⁷
Pendekatan ini mengungkap bahwa ilmu
pengetahuan bukanlah ruang netral, melainkan produk relasi kuasa yang
melanggengkan dominasi.⁸ Dengan mengintegrasikan analisis gender, filsafat ilmu
tidak hanya mengkritisi bias epistemologis, tetapi juga membuka jalan bagi
produksi pengetahuan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
7.3.
Gender dan Etika:
Etika Perawatan vs Etika Keadilan
Dalam ranah etika, feminisme
memperkenalkan perspektif baru melalui ethics of care. Carol Gilligan
mengkritik etika tradisional yang berfokus pada keadilan dan prinsip universal,
karena cenderung mengabaikan dimensi relasional, empati, dan tanggung jawab
personal.⁹ Ethics of care menekankan pentingnya relasi antarindividu,
terutama dalam konteks keluarga, komunitas, dan perawatan.
Debat antara etika perawatan dan etika
keadilan memperlihatkan ketegangan antara prinsip normatif universal dan
konteks relasional.¹⁰ Meski awalnya dikritik karena dianggap esensialis, etika
perawatan kini dipandang sebagai kontribusi penting dalam memperluas horizon
etika, terutama dalam menghadapi isu kontemporer seperti bioetika, kesehatan,
dan keadilan sosial.¹¹
7.4.
Gender dalam
Teknologi dan Sains Kontemporer
Era digital dan perkembangan teknologi
membawa tantangan baru bagi filsafat gender. Analisis feminis menunjukkan bahwa
teknologi tidak netral, tetapi merefleksikan nilai-nilai sosial yang
membentuknya.¹² Misalnya, algoritma dalam kecerdasan buatan (AI) kerap
mereproduksi bias gender dan rasial, sebagaimana ditunjukkan oleh studi-studi
kritis dalam bidang data feminism.¹³
Selain itu, feminisme ekoteknologi dan
ekofeminisme menyoroti keterhubungan antara eksploitasi alam dan penindasan
perempuan dalam sistem kapitalisme global.¹⁴ Kritik ini menegaskan bahwa gender
harus dipahami dalam kaitannya dengan relasi manusia dengan alam, teknologi,
dan globalisasi.
Kesimpulan Sementara
Relasi gender dengan isu sosial dan
ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa filsafat gender bukanlah kajian yang
terisolasi, melainkan berkelindan dengan problem demokrasi, produksi
pengetahuan, etika, dan teknologi. Dengan analisis gender, filsafat mampu membongkar
klaim netralitas yang semu, sekaligus menawarkan perspektif baru untuk
membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan reflektif terhadap
keragaman pengalaman manusia.
Footnotes
[1]
Karen J. Warren, An Introduction to Feminist
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 55–59.
[2]
Anne Phillips, The Politics of Presence
(Oxford: Oxford University Press, 1995), 2–6.
[3]
John Stuart Mill, The Subjection of Women
(London: Longman, Green, Reader, and Dyer, 1869), 27–32.
[4]
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 38–42.
[5]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York:
Routledge, 1997), 11–14.
[6]
Evelyn Fox Keller, Reflections on Gender and
Science (New Haven: Yale University Press, 1985), 4–8.
[7]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?
Thinking from Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991),
119–123.
[8]
Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science
Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist
Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.
[9]
Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological
Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1982), 19–24.
[10]
Lawrence Blum, “Gilligan and Kohlberg: Implications
for Moral Theory,” Ethics 98, no. 3 (1988): 472–491.
[11]
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal,
Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 13–18.
[12]
Judy Wajcman, TechnoFeminism (Cambridge:
Polity, 2004), 5–9.
[13]
Catherine D’Ignazio and Lauren F. Klein, Data
Feminism (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 45–50.
[14]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and
Development (London: Zed Books, 1989), 12–16.
8.
Isu-Isu Kontemporer
dalam Filsafat Perempuan dan Gender
Perkembangan filsafat perempuan dan
gender pada abad ke-21 tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial, politik,
dan teknologi global. Jika pada tahap awal filsafat feminisme berfokus pada
kesetaraan hak politik dan hukum, kini wacana gender merambah ke isu-isu baru
yang lebih kompleks. Beberapa di antaranya adalah persoalan globalisasi dan
migrasi, krisis ekologi dan ekofeminisme, tantangan posthumanisme dan
bioteknologi, serta politik identitas di era digital. Bab ini akan menguraikan
isu-isu kontemporer tersebut dalam kerangka filsafat gender.
8.1.
Gender dan
Globalisasi: Migrasi, Kerja, dan Ekonomi Neoliberal
Globalisasi membawa perubahan besar
terhadap peran dan posisi perempuan. Di satu sisi, ia membuka peluang
partisipasi perempuan dalam ekonomi global, namun di sisi lain menimbulkan
bentuk baru eksploitasi.¹ Pekerja migran perempuan, terutama dari negara-negara
berkembang, sering mengalami diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan
struktural.²
Feminisme transnasional mengkritik
kapitalisme global yang bergantung pada tenaga kerja murah perempuan, sekaligus
menyoroti bagaimana ketidakadilan gender berkelindan dengan ras, kelas, dan
status migrasi.³ Dengan demikian, filsafat gender kontemporer mengaitkan
perjuangan perempuan dengan analisis ekonomi politik global, bukan hanya dalam
lingkup nasional.
8.2.
Gender dan Ekologi:
Ekofeminisme
Krisis lingkungan dan perubahan iklim
mendorong lahirnya ekofeminisme sebagai cabang filsafat feminis yang menghubungkan
penindasan terhadap perempuan dengan eksploitasi terhadap alam. Vandana Shiva
menegaskan bahwa logika patriarki dan kapitalisme modern memandang alam dan
perempuan sebagai objek yang dapat dikendalikan dan dieksploitasi.⁴
Ekofeminisme menawarkan paradigma
alternatif yang menekankan relasi harmoni, keberlanjutan, dan penghargaan
terhadap alam.⁵ Dalam kerangka ini, perjuangan gender tidak hanya terbatas pada
relasi sosial antar-manusia, tetapi juga meluas pada relasi antara manusia dan
lingkungan hidup.⁶
8.3.
Gender dan
Posthumanisme: Tubuh, Bioteknologi, dan Kecerdasan Buatan
Perkembangan teknologi biomedis,
rekayasa genetika, dan kecerdasan buatan (AI) menantang pemahaman tradisional
tentang tubuh dan identitas gender. Donna Haraway, melalui A Cyborg
Manifesto, memperkenalkan konsep “cyborg” sebagai metafora untuk
identitas hibrid yang melampaui batas-batas biologis, gender, dan teknologi.⁷
Filsafat posthumanisme menolak
pandangan esensialis tentang tubuh manusia dan membuka kemungkinan identitas
yang lebih cair.⁸ Namun, kritik juga muncul bahwa bioteknologi dan AI dapat
memperdalam ketidakadilan gender, misalnya melalui bias algoritma yang
diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas.⁹ Dengan demikian, isu
gender dalam konteks posthumanisme menuntut refleksi etis dan politik yang
lebih kritis.
8.4.
Gender dan Politik
Identitas di Era Digital
Era digital memunculkan medan baru bagi
politik gender. Media sosial telah menjadi ruang perjuangan feminis, seperti
gerakan #MeToo yang mengungkap praktik kekerasan seksual secara global.¹⁰
Namun, di sisi lain, ruang digital juga menjadi arena reproduksi misogini,
ujaran kebencian, dan pelecehan berbasis gender.¹¹
Filsafat gender dalam konteks ini
menyoroti bagaimana identitas gender dinegosiasikan, dipertarungkan, dan
dipolitisasi di ruang maya.¹² Politik identitas digital memungkinkan lahirnya
solidaritas global, tetapi juga menimbulkan fragmentasi karena keragaman
perspektif dan pengalaman.¹³
Kesimpulan Sementara
Isu-isu kontemporer dalam filsafat
perempuan dan gender menunjukkan bahwa wacana ini semakin interdisipliner dan
responsif terhadap tantangan zaman. Dari globalisasi hingga ekologi, dari
bioteknologi hingga media digital, persoalan gender terhubung erat dengan
problem struktural dan epistemologis yang lebih luas. Hal ini memperlihatkan
bahwa filsafat gender tidak hanya relevan bagi perjuangan perempuan, tetapi
juga bagi masa depan umat manusia secara keseluruhan.
Footnotes
[1]
Saskia Sassen, Globalization and Its Discontents:
Essays on the New Mobility of People and Money (New York: New Press, 1998),
67–72.
[2]
Rhacel Salazar Parreñas, Servants of Globalization:
Migration and Domestic Work (Stanford: Stanford University Press, 2001),
3–6.
[3]
Inderpal Grewal and Caren Kaplan, Scattered
Hegemonies: Postmodernity and Transnational Feminist Practices
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1994), 1–8.
[4]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and
Development (London: Zed Books, 1989), 42–47.
[5]
Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western
Perspective on What It Is and Why It Matters (Lanham: Rowman &
Littlefield, 2000), 65–69.
[6]
Greta Gaard, “Ecofeminism and Climate Change,” Women’s
Studies International Forum 49 (2015): 20–33.
[7]
Donna J. Haraway, A Cyborg Manifesto: Science,
Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century (New York:
Routledge, 1991), 149–181.
[8]
Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge:
Polity Press, 2013), 35–39.
[9]
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How
Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 75–80.
[10]
Tarana Burke, “#MeToo Was Started for Black and Brown
Women and Girls. They’re Still Being Ignored,” The Washington Post,
November 9, 2017.
[11]
Debbie Ging, “Alphas, Betas, and Incels: Theorizing
the Masculinities of the Manosphere,” Men and Masculinities 22, no. 4
(2019): 638–657.
[12]
Rosalind Gill, “Postfeminist Media Culture: Elements
of a Sensibility,” European Journal of Cultural Studies 10, no. 2
(2007): 147–166.
[13]
Sarah Banet-Weiser, Empowered: Popular Feminism and
Popular Misogyny (Durham: Duke University Press, 2018), 101–106.
9.
Relevansi Filsafat
Perempuan dan Gender
Filsafat perempuan dan gender tidak
hanya menjadi wacana teoritis, melainkan juga memiliki relevansi nyata dalam
kehidupan kontemporer. Sebagai kerangka konseptual, filsafat gender membantu
mengkritisi dan menata ulang berbagai institusi sosial, hukum, pendidikan,
hingga kehidupan sehari-hari. Relevansi ini menunjukkan bahwa filsafat gender
tidak berhenti pada level analisis, tetapi turut memberikan kontribusi terhadap
transformasi sosial dan pembangunan masyarakat yang lebih adil.¹
9.1.
Relevansi dalam
Pendidikan dan Pembentukan Kesadaran Kritis
Pendidikan merupakan salah satu medan
paling strategis dalam penerapan filsafat gender. Kurikulum dan praktik
pendidikan yang sensitif gender membantu membongkar stereotip tradisional yang
membatasi peran perempuan maupun laki-laki.² Misalnya, gender bias dalam buku
teks dan metode pengajaran dapat berkontribusi pada reproduksi ketidaksetaraan
sosial.³
Paulo Freire dalam Pedagogy of the
Oppressed menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan, yang
memungkinkan individu memahami struktur penindasan dan melakukan perubahan.⁴
Dalam konteks ini, filsafat gender memperkaya pedagogi kritis dengan menyoroti
dimensi gender dalam pengalaman belajar, serta mendorong kesadaran kritis di
kalangan siswa dan guru.
9.2.
Relevansi dalam
Hukum dan Kebijakan Publik
Hukum dan kebijakan publik adalah arena
penting di mana filsafat gender diterapkan. Isu-isu seperti hak reproduksi,
kekerasan berbasis gender, dan representasi politik perempuan tidak dapat
dilepaskan dari analisis filosofis mengenai keadilan dan kesetaraan.⁵
Teori keadilan John Rawls, misalnya,
banyak diperdebatkan ulang dalam konteks gender. Susan Moller Okin berargumen
bahwa prinsip keadilan Rawlsian gagal mengatasi ketidakadilan dalam ranah
domestik yang dialami perempuan.⁶ Feminisme hukum kemudian menuntut pembaruan
regulasi agar lebih responsif terhadap pengalaman perempuan, termasuk
perlindungan hukum dari kekerasan dalam rumah tangga dan diskriminasi di tempat
kerja.⁷
9.3.
Relevansi dalam
Kehidupan Sehari-hari: Keluarga, Kerja, dan Komunitas
Relevansi filsafat gender juga terlihat
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks keluarga, misalnya, filsafat gender
mengkritisi pembagian peran domestik yang timpang antara laki-laki dan
perempuan.⁸ Pembahasan tentang ethics of care menekankan pentingnya
keadilan dalam relasi rumah tangga serta pengakuan atas kerja-kerja perawatan
yang selama ini dianggap “tidak produktif.”⁹
Di dunia kerja, filsafat gender
menyoroti isu kesenjangan upah, diskriminasi, serta tantangan bagi perempuan
dalam posisi kepemimpinan.¹⁰ Sementara itu, di tingkat komunitas, filsafat
gender berperan dalam memperkuat solidaritas sosial, mengatasi diskriminasi
berbasis identitas, serta membangun ruang partisipasi yang lebih inklusif.¹¹
9.4.
Arah Pengembangan di
Masa Depan
Relevansi filsafat perempuan dan gender
semakin besar seiring dengan tantangan global kontemporer. Dalam era digital,
analisis gender dibutuhkan untuk mengatasi bias algoritma dan ketidaksetaraan
akses teknologi.¹² Dalam ranah ekologi, filsafat gender melalui ekofeminisme
menawarkan paradigma alternatif untuk menghadapi krisis iklim.¹³
Lebih jauh lagi, filsafat gender juga
relevan dalam membangun masyarakat multikultural yang menghargai pluralitas
identitas. Feminisme transnasional menekankan pentingnya solidaritas lintas
batas, tanpa mengabaikan perbedaan konteks sosial dan budaya.¹⁴ Dengan
demikian, filsafat perempuan dan gender tidak hanya relevan bagi perjuangan
perempuan, tetapi juga bagi masa depan demokrasi, keadilan global, dan
keberlanjutan planet.
Kesimpulan Sementara
Relevansi filsafat perempuan dan gender
tampak jelas dalam pendidikan, hukum, kehidupan sehari-hari, hingga tantangan
global seperti teknologi dan ekologi. Dengan kerangka ini, filsafat gender
berperan bukan sekadar sebagai disiplin akademis, melainkan sebagai instrumen
transformasi sosial yang mendorong terciptanya dunia yang lebih setara, adil,
dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Karen J. Warren, An Introduction to Feminist
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 101–104.
[2]
Gaby Weiner, Feminisms in Education: An
Introduction (Buckingham: Open University Press, 1994), 15–18.
[3]
Myra Sadker and David Sadker, Failing at Fairness:
How America’s Schools Cheat Girls (New York: Scribner, 1994), 7–12.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1993), 68–72.
[5]
Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of
the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 162–168.
[6]
Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family
(New York: Basic Books, 1989), 89–94.
[7]
Hilary Charlesworth, Christine Chinkin, and Shelley
Wright, “Feminist Approaches to International Law,” American Journal of
International Law 85, no. 4 (1991): 613–645.
[8]
Arlie Hochschild and Anne Machung, The Second Shift
(New York: Viking, 1989), 21–27.
[9]
Virginia Held, The Ethics of Care: Personal,
Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 14–17.
[10]
Joan Acker, “Hierarchies, Jobs, Bodies: A Theory of
Gendered Organizations,” Gender & Society 4, no. 2 (1990): 139–158.
[11]
Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From
State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013),
190–195.
[12]
Catherine D’Ignazio and Lauren F. Klein, Data
Feminism (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 120–125.
[13]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and
Development (London: Zed Books, 1989), 35–40.
[14]
Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders:
Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham: Duke University Press,
2003), 2–6.
10.
Penutup
Kajian mengenai Filsafat Perempuan
dan Gender: Sejarah, Konsep, Kritik, dan Relevansi Kontemporer
memperlihatkan bahwa persoalan perempuan dan gender bukanlah isu periferal
dalam filsafat, melainkan bagian integral dari refleksi filosofis tentang
manusia, keadilan, dan masyarakat. Dari uraian sejarah dapat dilihat bagaimana
perempuan sering kali diposisikan sebagai “yang lain,” mulai dari
pemikiran Yunani Kuno hingga filsafat modern.¹ Namun, dengan munculnya
feminisme dalam berbagai gelombang, serta berkembangnya teori gender, paradigma
tersebut mulai digugat dan direkonstruksi.
Secara konseptual, filsafat gender
menolak esensialisme yang membekukan identitas perempuan, dan menegaskan bahwa
gender adalah konstruksi sosial yang dinegosiasikan dalam konteks historis dan
kultural.² Kritik post-strukturalis, teori interseksionalitas, serta wacana
feminisme postkolonial memperluas horizon filsafat gender sehingga mampu
membaca kompleksitas pengalaman perempuan yang berbeda-beda menurut kelas, ras,
etnisitas, dan lokasi geopolitik.³
Dari sisi relevansi, filsafat gender
memiliki implikasi nyata dalam ranah pendidikan, hukum, politik, etika, hingga
teknologi.⁴ Analisis gender membantu membongkar bias epistemologis dalam ilmu
pengetahuan, menegaskan pentingnya kesetaraan dalam hukum dan kebijakan publik,
serta menawarkan paradigma alternatif dalam menghadapi krisis global seperti
perubahan iklim dan ketidakadilan ekonomi.⁵ Dengan demikian, filsafat gender
menjadi salah satu perangkat reflektif yang sangat penting untuk membangun
masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Namun, kajian ini juga menunjukkan
bahwa filsafat gender tidak lepas dari kritik, baik yang datang dari dalam
maupun luar. Perdebatan mengenai stabilitas kategori “perempuan,” dilema
antara universalisme dan relativisme budaya, serta tensi dengan tradisi agama
menegaskan bahwa filsafat gender adalah wacana yang dinamis dan terbuka
terhadap koreksi.⁶ Justru melalui keterbukaannya terhadap kritik inilah
filsafat gender berkembang sebagai disiplin yang hidup dan relevan.
Akhirnya, filsafat perempuan dan gender
mengajarkan bahwa perjuangan untuk kesetaraan bukan hanya persoalan praktis,
melainkan juga persoalan filosofis yang mendasar. Ia menuntut kita untuk terus
mempertanyakan asumsi yang mendasari pengetahuan, norma sosial, dan struktur
kuasa.⁷ Dengan cara ini, filsafat gender tidak hanya memberi ruang bagi
pembebasan perempuan, tetapi juga membuka jalan menuju pemahaman yang lebih
luas tentang kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and
‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 17–22.
[2]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans.
Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011),
283.
[3]
Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins:
Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford
Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.
[4]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?
Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991),
119–123.
[5]
Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and
Development (London: Zed Books, 1989), 42–47.
[6]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 170–176.
[7]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical
Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York:
Routledge, 1997), 11–14.
Daftar Pustaka
Acker, J. (1990). Hierarchies, jobs,
bodies: A theory of gendered organizations. Gender & Society, 4(2),
139–158.
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologica (Vol. I, Fathers of the English Dominican Province, Trans.).
Benziger Bros.
Banet-Weiser, S. (2018). Empowered:
Popular feminism and popular misogyny. Duke University Press.
Beauvoir, S. de. (2011). The
second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1949)
Benhabib, S. (1992). Situating the
self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics.
Routledge.
Benhabib, S., & Cornell, D.
(Eds.). (1987). Feminism as critique: On the politics of gender.
University of Minnesota Press.
Blum, L. (1988). Gilligan and
Kohlberg: Implications for moral theory. Ethics, 98(3), 472–491.
Butler, J. (1990). Gender trouble:
Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Butler, J. (1993). Bodies that
matter: On the discursive limits of “sex”. Routledge.
Charlesworth, H., Chinkin, C., &
Wright, S. (1991). Feminist approaches to international law. American Journal of International Law,
85(4), 613–645.
Collins, P. H. (2000). Black
feminist thought. Routledge.
Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing
the intersection of race and sex. University of Chicago Legal Forum, 1989(1),
139–167.
Crenshaw, K. (1991). Mapping the
margins: Intersectionality, identity politics, and violence against women of
color. Stanford Law Review, 43(6),
1241–1299.
D’Ignazio, C., & Klein, L. F.
(2020). Data
feminism. MIT Press.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition.
Routledge.
Fraser, N. (2013). Fortunes of
feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. Verso.
Freire, P. (1993). Pedagogy of the
oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)
Friedan, B. (1963). The feminine
mystique. W.W. Norton.
Gaard, G. (2015). Ecofeminism and
climate change. Women’s
Studies International Forum, 49, 20–33. https://doi.org/10.1016/j.wsif.2015.02.004
Ging, D. (2019). Alphas, betas, and
incels: Theorizing the masculinities of the manosphere. Men and
Masculinities, 22(4), 638–657.
Gilligan, C. (1982). In a
different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard
University Press.
Gill, R. (2007). Postfeminist media
culture: Elements of a sensibility. European Journal of Cultural
Studies, 10(2), 147–166.
Grewal, I., & Kaplan, C. (1994). Scattered
hegemonies: Postmodernity and transnational feminist practices. University
of Minnesota Press.
Haraway, D. J. (1991). A cyborg
manifesto: Science, technology, and socialist-feminism in the late twentieth
century. Routledge.
Haraway, D. J. (1988). Situated
knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial
perspective. Feminist Studies,
14(3), 575–599.
Harding, S. (1991). Whose science?
Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Cornell University Press.
Hartsock, N. (1983). The feminist
standpoint: Developing the ground for a specifically feminist historical
materialism. In S. Harding & M. B. Hintikka (Eds.), Discovering reality:
Feminist perspectives on epistemology, metaphysics, methodology, and philosophy
of science (pp. 283–310). Reidel.
Held, V. (2006). The ethics of
care: Personal, political, and global. Oxford University Press.
Hochschild, A., & Machung, A.
(1989). The second shift. Viking.
hooks, b. (1981). Ain’t I a woman?
Black women and feminism. South End Press.
hooks, b. (2000). Feminism is for
everybody: Passionate politics. South End Press.
Keller, E. F. (1985). Reflections
on gender and science. Yale University Press.
Lloyd, G. (1984). The man of
reason: “Male” and “female” in Western philosophy. Routledge.
MacKinnon, C. A. (1989). Toward a
feminist theory of the state. Harvard University Press.
Mill, J. S. (1869). The subjection
of women. Longman, Green, Reader, and Dyer.
Mernissi, F. (1975). Beyond the
veil: Male-female dynamics in Muslim society. Indiana University Press.
Millett, K. (1970). Sexual
politics. Doubleday.
Mohanty, C. T. (1984). Under Western
eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Boundary 2, 12(3), 333–358.
Mohanty, C. T. (2003). Feminism
without borders: Decolonizing theory, practicing solidarity. Duke
University Press.
Moi, T. (1985). Sexual/textual
politics: Feminist literary theory. Routledge.
Moi, T. (1994). Simone de
Beauvoir: The making of an intellectual woman. Oxford University Press.
Narayan, U. (1997). Dislocating
cultures: Identities, traditions, and Third World feminism. Routledge.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of
oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.
Oakley, A. (1972). Sex, gender and
society. Temple Smith.
Offen, K. (2000). European
feminisms, 1700–1950: A political history. Stanford University Press.
Parreñas, R. S. (2001). Servants
of globalization: Migration and domestic work. Stanford University Press.
Phillips, A. (1995). The politics
of presence. Oxford University Press.
Plato. (1992). Republic (G. M.
A. Grube, Trans.). Hackett.
Pope John Paul II. (1988). Mulieris
dignitatem. St. Paul Editions.
Rawls, J. (1971). A theory of
justice. Harvard University Press.
Rosenthal, E. I. J. (Trans.). (1956).
Averroes’ commentary on Plato’s Republic. Cambridge University Press.
Rousseau, J.-J. (1979). Émile, or
on education (A. Bloom, Trans.). Basic Books.
Sadker, M., & Sadker, D. (1994). Failing
at fairness: How America’s schools cheat girls. Scribner.
Salih, S. (2002). Judith Butler.
Routledge.
Sassen, S. (1998). Globalization
and its discontents: Essays on the new mobility of people and money. New
Press.
Scott, J. W. (1986). Gender: A useful
category of historical analysis. The
American Historical Review, 91(5), 1053–1075.
Sedgwick, E. K. (1990). Epistemology
of the closet. University of California Press.
Shiva, V. (1989). Staying alive:
Women, ecology, and development. Zed Books.
Spivak, G. C. (1988). Can the
subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the
interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.
Stone, A. (2007). An introduction
to feminist philosophy. Polity.
Walby, S. (1990). Theorizing
patriarchy. Blackwell.
Walters, M. (2005). Feminism: A
very short introduction. Oxford University Press.
Warren, K. J. (2000). Ecofeminist
philosophy: A Western perspective on what it is and why it matters. Rowman
& Littlefield.
Warren, K. J. (2009). An
introduction to feminist philosophy. Cambridge University Press.
Weiner, G. (1994). Feminisms in
education: An introduction. Open University Press.
Wollstonecraft, M. (1792). A
vindication of the rights of woman. J. Johnson.
Young, I. M. (1990). Throwing like
a girl and other essays in feminist philosophy and social theory. Indiana
University Press.
Young, I. M. (2000). Inclusion and
democracy. Oxford University Press.