Minggu, 31 Agustus 2025

Filsafat Perempuan dan Gender: Dari Tradisi Kuno hingga Relevansi Kontemporer

Filsafat Perempuan dan Gender

Dari Tradisi Kuno hingga Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas perkembangan Filsafat Perempuan dan Gender dalam perspektif historis, konseptual, kritis, dan relevansi kontemporer. Kajian dimulai dengan menelusuri konstruksi perempuan dalam tradisi filsafat sejak Yunani Kuno, Abad Pertengahan, hingga era modern, yang umumnya menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Selanjutnya, artikel menguraikan lahirnya feminisme dalam berbagai gelombang, mulai dari perjuangan kesetaraan hukum dan politik, kritik terhadap patriarki, pengembangan konsep interseksionalitas, hingga pemanfaatan teknologi digital dalam aktivisme feminis kontemporer.

Pembahasan juga menyoroti kontribusi tokoh-tokoh penting seperti Simone de Beauvoir, Judith Butler, bell hooks, Fatima Mernissi, dan Gayatri Spivak, yang pemikirannya membentuk fondasi teori gender modern dan postkolonial. Selain itu, artikel ini mengkaji kritik terhadap filsafat gender, baik dari perspektif internal—seperti perdebatan mengenai esensialisme, stabilitas identitas, dan interseksionalitas—maupun dari perspektif eksternal, termasuk relativisme budaya dan tradisi agama.

Dalam ranah aplikatif, filsafat gender terbukti relevan dalam membongkar bias epistemologis dalam ilmu pengetahuan, memperkaya diskursus etika melalui ethics of care, serta menegaskan pentingnya representasi politik dan kebijakan publik yang inklusif. Lebih jauh, isu-isu kontemporer seperti ekofeminisme, politik identitas digital, migrasi global, serta posthumanisme memperlihatkan bahwa filsafat gender terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan zaman.

Kesimpulannya, filsafat perempuan dan gender tidak hanya memperjuangkan kesetaraan perempuan, tetapi juga membangun kerangka reflektif yang kritis terhadap relasi kuasa, produksi pengetahuan, dan struktur sosial. Dengan demikian, filsafat gender berperan penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi.

Kata Kunci: Filsafat perempuan; gender; feminisme; interseksionalitas; ekofeminisme; posthumanisme; politik identitas; keadilan sosial.


PEMBAHASAN

Filsafat Perempuan dan Gender


1.            Pendahuluan

Kajian mengenai perempuan dan gender telah menjadi salah satu tema penting dalam wacana filsafat modern dan kontemporer. Sejak lama, perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat dalam sistem sosial, politik, dan kultural yang didominasi oleh struktur patriarki.¹ Filsafat sebagai disiplin yang sejak zaman Yunani kuno kerap mendiskusikan persoalan manusia, etika, dan keadilan, justru memperlihatkan paradoks: di satu sisi ia mengklaim universalitas, namun di sisi lain kerap mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subjek historis.²

Sejarah memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh filsafat besar seperti Aristoteles memandang perempuan sebagai “manusia yang tidak sempurna” atau “pria yang gagal,” yang mengindikasikan konstruksi gender yang diskriminatif sejak awal perkembangan filsafat Barat.³ Pandangan seperti ini diwarisi dalam berbagai bentuk hingga era modern, meski kemudian mulai digugat oleh gerakan feminisme yang muncul pada abad ke-18 dan ke-19, seiring dengan perjuangan hak politik dan kesetaraan hukum.⁴

Filsafat perempuan dan gender tidak hanya berupaya mendekonstruksi warisan bias patriarki dalam sejarah pemikiran, tetapi juga menawarkan kerangka konseptual baru untuk memahami eksistensi manusia secara lebih adil. Simone de Beauvoir melalui karyanya The Second Sex menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan” dalam makna sosialnya, melainkan dikonstruksi melalui proses historis dan budaya.⁵ Pemikiran ini membuka jalan bagi munculnya teori-teori kritis tentang gender, termasuk konsep performativitas Judith Butler yang menekankan bahwa identitas gender bukanlah entitas tetap, melainkan hasil praktik sosial dan diskursif yang terus-menerus.⁶

Di era kontemporer, pembahasan filsafat perempuan dan gender semakin berkembang dengan memasuki ranah interseksionalitas, yaitu pendekatan yang menekankan bahwa pengalaman perempuan tidak dapat dilepaskan dari faktor lain seperti kelas, ras, dan etnisitas.⁷ Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat gender bersifat dinamis dan terus beradaptasi dengan perubahan sosial, politik, dan teknologi global.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menguraikan sejarah, konsep dasar, kritik, serta relevansi kontemporer dari filsafat perempuan dan gender. Dengan kerangka ini, diharapkan kajian filsafat dapat lebih inklusif, kritis, dan relevan dalam menjawab persoalan kemanusiaan yang kompleks di masa kini.


Footnotes

[1]            Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy (Oxford: Blackwell, 1990), 20–25.

[2]            Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and ‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 3–6.

[3]            Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), 1254b13–15.

[4]            Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: J. Johnson, 1792), 5–10.

[5]            Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.

[6]            Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–33.

[7]            Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.


2.            Konsep Dasar Filsafat Perempuan dan Gender

Pembahasan mengenai konsep dasar filsafat perempuan dan gender berakar pada kebutuhan untuk memahami bagaimana identitas, eksistensi, dan pengalaman perempuan dibingkai dalam horizon filsafat. Kajian ini tidak hanya menyangkut pemaknaan terminologis, tetapi juga bagaimana konstruksi konseptual tersebut membentuk relasi kuasa dalam masyarakat. Dengan demikian, filsafat perempuan dan gender berusaha menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, dan etis dari pengalaman perempuan sebagai subjek yang historis dan politis.¹

2.1.        Definisi Perempuan dan Gender

Secara konseptual, istilah perempuan kerap dipahami sebagai kategori biologis yang merujuk pada jenis kelamin (sex) dengan karakteristik fisik tertentu. Namun, filsafat perempuan menolak reduksi perempuan hanya sebagai entitas biologis semata. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai hasil dari konstruksi sosial, budaya, dan historis yang melampaui tubuh biologis.² Simone de Beauvoir dengan tegas menyatakan, “one is not born, but rather becomes, a woman,” yang berarti bahwa identitas perempuan dibentuk melalui proses sosial yang kompleks, bukan sesuatu yang sudah jadi secara kodrati.³

Istilah gender kemudian muncul sebagai kategori analitis yang membedakan antara perbedaan biologis (sex) dan perbedaan sosial-budaya (gender). Gender dipahami sebagai seperangkat peran, norma, dan ekspektasi yang dilekatkan pada individu berdasarkan jenis kelaminnya.⁴ Perspektif ini menegaskan bahwa menjadi “laki-laki” atau “perempuan” tidak hanya soal biologis, tetapi juga hasil dari proses sosialisasi, institusionalisasi, dan praktik diskursif yang berlangsung dalam masyarakat.

2.2.        Ontologi Perempuan: Hakikat dan Eksistensi

Dalam filsafat klasik, perempuan sering kali ditempatkan sebagai “yang lain” (the Other) dibandingkan laki-laki yang diposisikan sebagai norma universal manusia.⁵ Konsepsi ini menimbulkan persoalan ontologis: apakah perempuan memiliki esensi tertentu yang membedakannya dari laki-laki, ataukah identitas perempuan sepenuhnya dikonstruksi secara sosial?

Filsafat perempuan menolak esensialisme yang memandang perempuan memiliki sifat bawaan tertentu, misalnya dianggap lebih emosional, pasif, atau domestik. Kritik terhadap esensialisme membuka jalan bagi pemahaman eksistensialis, yang menekankan kebebasan perempuan untuk mendefinisikan dirinya sendiri.⁶ Dalam kerangka ini, eksistensi perempuan tidak lagi ditentukan oleh “kodrat” yang dipaksakan secara kultural, melainkan oleh pilihan dan tindakan yang dilakukan dalam kehidupan sosial.

2.3.        Epistemologi Gender: Siapa yang Berhak Mendefinisikan?

Pertanyaan epistemologis yang mendasar dalam filsafat perempuan adalah: siapa yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan pengalaman perempuan? Dalam sejarah filsafat, narasi tentang perempuan hampir selalu ditulis oleh laki-laki dengan perspektif maskulin. Hal ini menimbulkan bias epistemologis yang membuat suara perempuan terpinggirkan dalam produksi pengetahuan.⁷

Sandra Harding, melalui teori standpoint epistemology, menekankan bahwa pengalaman perempuan harus menjadi titik berangkat dalam membangun pengetahuan yang lebih inklusif.⁸ Dengan menempatkan pengalaman perempuan sebagai sumber epistemik, filsafat perempuan berusaha menantang struktur pengetahuan dominan yang selama ini melanggengkan ketidakadilan gender.

2.4.        Gender sebagai Kategori Analisis Sosial dan Filosofis

Konsep gender kemudian berkembang menjadi kategori analisis yang kritis dalam memahami ketidakadilan struktural. Joan Scott menegaskan bahwa gender bukan hanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, melainkan sebuah cara untuk mengorganisasi relasi kuasa dalam masyarakat.⁹ Dengan demikian, gender menjadi instrumen konseptual untuk membongkar bagaimana hukum, politik, bahasa, dan budaya membentuk hierarki sosial.

Dalam filsafat, gender juga diperlakukan sebagai kategori reflektif untuk mempertanyakan universalitas konsep-konsep klasik seperti keadilan, kebebasan, dan rasionalitas. Hal ini sejalan dengan kritik feminis yang menilai bahwa klaim universal filsafat Barat sering kali dibangun di atas pengalaman maskulin yang mengabaikan dimensi gender.¹⁰


Footnotes

[1]            Alison Stone, An Introduction to Feminist Philosophy (Cambridge: Polity, 2007), 1–3.

[2]            Toril Moi, Sexual/Textual Politics: Feminist Literary Theory (London: Routledge, 1985), 13–15.

[3]            Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.

[4]            Ann Oakley, Sex, Gender and Society (London: Temple Smith, 1972), 106–110.

[5]            Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and ‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 17–22.

[6]            Iris Marion Young, Throwing Like a Girl and Other Essays in Feminist Philosophy and Social Theory (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 35–40.

[7]            Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 119–123.

[8]            Nancy Hartsock, “The Feminist Standpoint: Developing the Ground for a Specifically Feminist Historical Materialism,” in Discovering Reality: Feminist Perspectives on Epistemology, Metaphysics, Methodology, and Philosophy of Science, ed. Sandra Harding and Merrill B. Hintikka (Dordrecht: Reidel, 1983), 283–310.

[9]            Joan W. Scott, “Gender: A Useful Category of Historical Analysis,” The American Historical Review 91, no. 5 (1986): 1053–1075.

[10]          Seyla Benhabib and Drucilla Cornell, eds., Feminism as Critique: On the Politics of Gender (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 7–12.


3.            Sejarah Pemikiran tentang Perempuan dalam Filsafat

Sejarah pemikiran tentang perempuan dalam filsafat memperlihatkan dinamika yang kompleks, mulai dari penyingkiran dan subordinasi hingga pengakuan dan pembelaan. Pemikiran tentang perempuan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan religius pada setiap zamannya.¹ Oleh sebab itu, untuk memahami filsafat perempuan dan gender secara utuh, perlu dilakukan penelusuran historis mengenai bagaimana perempuan diposisikan dalam tradisi filsafat dari zaman kuno hingga modern.

3.1.        Perempuan dalam Filsafat Yunani Kuno

Pemikiran filsafat mengenai perempuan telah ada sejak era Yunani Kuno. Plato, misalnya, dalam Republic mengemukakan bahwa perempuan memiliki potensi untuk menjadi penjaga (guardian) negara sebagaimana laki-laki, meskipun tetap memandang mereka lebih lemah dalam kapasitas fisik.² Namun, Aristoteles memiliki pandangan yang lebih negatif; ia menilai perempuan sebagai "manusia yang tidak sempurna" dan memandang perannya sebatas pada reproduksi dan urusan domestik.³ Dengan demikian, sejak awal perkembangan filsafat Barat, terdapat ambivalensi dalam memandang perempuan: antara potensi kesetaraan yang diakui Plato dan penegasan subordinasi sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles.

Tradisi Stoik kemudian memberikan warna yang berbeda. Filsuf Stoik seperti Musonius Rufus mengajarkan bahwa perempuan harus memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki, karena kemampuan rasional dimiliki oleh keduanya.⁴ Pandangan ini membuka ruang bagi gagasan awal tentang kesetaraan intelektual, meskipun masih terbatas pada lingkup etika dan pendidikan.

3.2.        Tradisi Filsafat Abad Pertengahan

Memasuki abad pertengahan, pemikiran tentang perempuan dipengaruhi kuat oleh tradisi religius, baik Kristen, Islam, maupun Yahudi. Dalam tradisi Kristen, tokoh seperti Thomas Aquinas tetap mengadopsi pandangan Aristotelian bahwa perempuan adalah “pria yang kurang sempurna” (mas occasionatus).⁵ Namun, pemikiran ini tidak sepenuhnya menutup ruang bagi penghargaan terhadap perempuan, terutama dalam konteks spiritual, sebagaimana terlihat dalam pengultusan figur Maria sebagai simbol kesucian dan ketaatan.

Dalam filsafat Islam abad pertengahan, posisi perempuan juga banyak diperdebatkan. Al-Farabi, Ibn Sina, hingga al-Ghazali menekankan peran perempuan dalam rumah tangga dan reproduksi, meski tidak menolak kemungkinan bahwa perempuan dapat berperan dalam ranah publik dalam batas-batas tertentu.⁶ Sementara itu, Ibn Rushd (Averroes) dalam komentarnya terhadap Republic Plato menekankan bahwa masyarakat akan merugi jika perempuan hanya dibatasi pada pekerjaan domestik, sebab mereka memiliki potensi untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial dan politik.⁷

3.3.        Perempuan dalam Filsafat Modern

Pada masa modern, terutama sejak abad ke-17 hingga ke-19, muncul pergeseran dalam pemikiran tentang perempuan. Filsuf modern seperti Jean-Jacques Rousseau tetap mempertahankan pandangan tradisional bahwa kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga dan mendukung laki-laki, sebagaimana tergambar dalam karyanya Émile.⁸ Namun, kritik terhadap pandangan semacam ini mulai muncul, salah satunya dari Mary Wollstonecraft.

Melalui karyanya A Vindication of the Rights of Woman (1792), Wollstonecraft menegaskan bahwa perempuan adalah makhluk rasional yang seharusnya memiliki akses terhadap pendidikan setara dengan laki-laki.⁹ Pemikiran Wollstonecraft menjadi fondasi bagi feminisme gelombang pertama yang menekankan kesetaraan hukum dan politik, serta menantang dominasi pandangan maskulin dalam filsafat dan masyarakat.

John Stuart Mill kemudian memperkuat argumen kesetaraan melalui karyanya The Subjection of Women (1869), yang menegaskan bahwa ketidaksetaraan gender bukanlah hal kodrati, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang bisa diubah.¹⁰ Pemikiran Mill menjadi salah satu tonggak penting dalam filsafat politik modern yang memandang kesetaraan gender sebagai prasyarat keadilan sosial.

3.4.        Awal Feminisme dan Peralihan Menuju Wacana Gender

Seiring dengan perkembangan filsafat modern, abad ke-19 dan ke-20 menjadi titik balik bagi lahirnya feminisme sebagai gerakan intelektual sekaligus sosial. Feminisme gelombang pertama menyoroti isu hak pilih perempuan (women’s suffrage) dan kesetaraan hukum.¹¹ Namun, seiring berjalannya waktu, wacana ini berkembang menjadi kajian filsafat gender yang lebih luas, yang tidak hanya menyoal hak-hak formal, tetapi juga menggugat struktur patriarki, seksualitas, tubuh, dan identitas.

Dengan demikian, sejarah pemikiran tentang perempuan dalam filsafat dapat dipahami sebagai perjalanan dari marginalisasi menuju pengakuan, dari subordinasi menuju upaya kritis untuk membongkar relasi kuasa. Warisan sejarah ini menjadi landasan penting untuk memahami lahirnya filsafat perempuan dan gender dalam wujud kontemporer.


Footnotes

[1]            Karen J. Warren, An Introduction to Feminist Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 15–18.

[2]            Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 451c–457b.

[3]            Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), 1254b13–15.

[4]            Musonius Rufus, Lectures and Sayings, trans. Cora E. Lutz (New Haven: Yale University Press, 1947), 3–7.

[5]            Thomas Aquinas, Summa Theologica, vol. I, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q92.a1.

[6]            Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 2:35–38.

[7]            Ibn Rushd (Averroes), Commentary on Plato’s Republic, trans. E.I.J. Rosenthal (Cambridge: Cambridge University Press, 1956), 153–156.

[8]            Jean-Jacques Rousseau, Émile, or On Education, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1979), 358–365.

[9]            Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: J. Johnson, 1792), 5–10.

[10]          John Stuart Mill, The Subjection of Women (London: Longman, Green, Reader, and Dyer, 1869), 22–28.

[11]          Karen Offen, European Feminisms, 1700–1950: A Political History (Stanford: Stanford University Press, 2000), 105–112.


4.            Filsafat Feminisme dan Teori Gender

Filsafat feminisme dan teori gender merupakan fondasi penting dalam memahami dinamika relasi kuasa, identitas, serta pengalaman perempuan di berbagai konteks historis maupun kontemporer. Gerakan ini bukan hanya bersifat akademis, melainkan juga politis, sebab ia lahir dari kesadaran bahwa struktur masyarakat patriarkal telah memarginalisasi perempuan dalam ranah sosial, politik, hukum, dan budaya.¹ Filsafat feminisme bertujuan membongkar bias maskulin dalam filsafat tradisional sekaligus membangun kerangka konseptual yang lebih adil dan inklusif. Teori gender kemudian memperluas wacana ini dengan menekankan bahwa identitas dan peran gender adalah hasil konstruksi sosial, bukan sekadar kodrat biologis.²

4.1.        Feminisme Gelombang Pertama: Hak Politik dan Kesetaraan Hukum

Feminisme gelombang pertama muncul pada abad ke-18 dan ke-19, dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft dan kemudian dipertegas dalam perjuangan hak pilih perempuan (women’s suffrage).³ Fokus utama feminisme tahap ini adalah kesetaraan formal: hak untuk mendapatkan pendidikan, akses pekerjaan, serta pengakuan politik yang sama dengan laki-laki.

Gerakan ini berpijak pada prinsip liberalisme klasik, terutama ide kebebasan dan kesetaraan yang dikemukakan oleh filsuf seperti John Locke dan John Stuart Mill.⁴ Namun, fokus pada kesetaraan hukum sering kali dipandang terbatas, karena belum menyentuh persoalan struktural dan kultural yang lebih dalam terkait patriarki.

4.2.        Feminisme Gelombang Kedua: Tubuh, Seksualitas, dan Kritik Patriarki

Gelombang kedua feminisme berkembang pada tahun 1960-an hingga 1980-an, dengan tokoh penting seperti Simone de Beauvoir, Betty Friedan, dan Kate Millett.⁵ Tema utama gelombang ini adalah tubuh, seksualitas, peran domestik, serta kritik terhadap patriarki yang melekat dalam institusi keluarga, hukum, dan budaya.

Simone de Beauvoir melalui The Second Sex menegaskan bahwa perempuan menjadi “yang lain” (the Other) dalam masyarakat patriarkal, di mana identitas mereka didefinisikan secara negatif melalui oposisi terhadap laki-laki.⁶ Sementara itu, Kate Millett dalam Sexual Politics menganalisis bagaimana struktur patriarki beroperasi tidak hanya melalui hukum, tetapi juga melalui budaya populer, sastra, dan seni.⁷

Feminisme gelombang kedua juga melahirkan perdebatan internal antara feminis liberal, radikal, dan sosialis. Feminisme radikal menekankan bahwa patriarki adalah sistem penindasan yang lebih mendasar daripada kelas sosial, sementara feminisme sosialis berusaha menggabungkan analisis gender dengan teori Marxian tentang kelas dan ekonomi.⁸

4.3.        Feminisme Gelombang Ketiga: Interseksionalitas dan Pluralitas Identitas

Gelombang ketiga feminisme muncul pada 1990-an, ditandai dengan kritik terhadap homogenitas pengalaman perempuan yang dianggap mendominasi gelombang sebelumnya. Feminisme gelombang kedua kerap dikritik terlalu fokus pada perempuan kulit putih kelas menengah di Barat, sehingga mengabaikan pengalaman perempuan dari ras, kelas, atau latar budaya berbeda.⁹

Konsep interseksionalitas yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw menjadi kerangka utama gelombang ini.¹⁰ Interseksionalitas menekankan bahwa pengalaman perempuan tidak bisa dipahami hanya berdasarkan gender, tetapi juga persinggungannya dengan kategori lain seperti ras, kelas, etnisitas, dan orientasi seksual.¹¹ Dengan demikian, feminisme gelombang ketiga menekankan pluralitas identitas serta keragaman pengalaman, sekaligus menolak narasi tunggal tentang “perempuan.”

4.4.        Feminisme Gelombang Keempat: Aktivisme Digital dan Globalisasi

Feminisme gelombang keempat, yang muncul pada awal abad ke-21, ditandai dengan pemanfaatan teknologi digital dan media sosial sebagai ruang perjuangan. Gerakan ini melahirkan fenomena seperti kampanye #MeToo yang menyoroti kekerasan seksual, pelecehan, dan penyalahgunaan kuasa terhadap perempuan di seluruh dunia.¹²

Gelombang ini lebih bersifat transnasional dan interkonektif, menekankan solidaritas lintas batas budaya dan negara.¹³ Feminisme keempat juga semakin memperhatikan isu-isu kontemporer seperti representasi perempuan dalam media digital, ketidakadilan ekonomi global, serta dampak teknologi dan biopolitik terhadap tubuh perempuan.¹⁴

4.5.        Teori Gender: Konstruksi Identitas dan Performatifitas

Seiring dengan perkembangan feminisme, teori gender menawarkan kerangka filosofis yang lebih luas. Judith Butler melalui Gender Trouble menolak pandangan esensialis tentang gender dan menegaskan bahwa identitas gender bersifat performatif, yakni dibentuk dan direproduksi melalui tindakan, bahasa, dan praktik sosial sehari-hari.¹⁵ Teori ini menantang gagasan bahwa identitas laki-laki dan perempuan bersifat tetap, sebaliknya dipandang cair dan selalu dinegosiasikan.

Teori gender juga membuka ruang diskusi baru tentang fluiditas identitas, queer theory, serta keterkaitan antara tubuh, seksualitas, dan bahasa.¹⁶ Dalam kerangka ini, filsafat feminisme tidak lagi sekadar menuntut kesetaraan, melainkan menggugat batas-batas kategorisasi identitas manusia itu sendiri.


Footnotes

[1]            Karen J. Warren, An Introduction to Feminist Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 20–24.

[2]            Alison Stone, Feminist Philosophy: A Beginning (Cambridge: Polity, 2007), 11–14.

[3]            Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman (London: J. Johnson, 1792), 15–18.

[4]            John Stuart Mill, The Subjection of Women (London: Longman, Green, Reader, and Dyer, 1869), 27–32.

[5]            Betty Friedan, The Feminine Mystique (New York: W.W. Norton, 1963), 35–40.

[6]            Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 5–10.

[7]            Kate Millett, Sexual Politics (New York: Doubleday, 1970), 23–28.

[8]            Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union,” Capital & Class 3, no. 2 (1979): 1–33.

[9]            Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.

[10]          Kimberlé Crenshaw, “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex,” University of Chicago Legal Forum (1989): 139–167.

[11]          Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought (New York: Routledge, 2000), 225–230.

[12]          Tarana Burke, “#MeToo Was Started for Black and Brown Women and Girls. They’re Still Being Ignored,” The Washington Post, November 9, 2017.

[13]          Margaret Walters, Feminism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 112–118.

[14]          Rosalind Gill, “Postfeminist Media Culture: Elements of a Sensibility,” European Journal of Cultural Studies 10, no. 2 (2007): 147–166.

[15]          Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.

[16]          Eve Kosofsky Sedgwick, Epistemology of the Closet (Berkeley: University of California Press, 1990), 42–49.


5.            Tokoh dan Pemikir Kunci

Perkembangan filsafat perempuan dan gender tidak dapat dilepaskan dari kontribusi tokoh-tokoh kunci yang merumuskan konsep, teori, serta kritik fundamental terhadap dominasi patriarki dan konstruksi sosial mengenai perempuan. Tokoh-tokoh ini tidak hanya mengembangkan wacana akademis, tetapi juga memengaruhi arah gerakan sosial dan politik yang memperjuangkan kesetaraan gender. Pemikiran mereka memberikan landasan filosofis yang memperkaya kajian gender lintas disiplin, mulai dari eksistensialisme hingga post-strukturalisme, serta dari teori kritis hingga interseksionalitas.¹

5.1.        Simone de Beauvoir (1908–1986): Eksistensialisme dan “The Second Sex”

Simone de Beauvoir sering disebut sebagai “ibu filsafat feminisme modern.” Dalam karyanya The Second Sex (1949), ia menyatakan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan,” tetapi menjadi perempuan melalui proses sosial dan kultural.² Dengan pendekatan eksistensialis, Beauvoir membongkar konstruksi sosial yang membatasi kebebasan perempuan, seraya menegaskan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, adalah subjek bebas yang bertanggung jawab atas eksistensinya.³

Konsep “perempuan sebagai the Other” yang diperkenalkannya menjadi salah satu kritik paling tajam terhadap filsafat Barat yang universalistik namun bias maskulin.⁴ Pemikiran Beauvoir membuka jalan bagi analisis gender yang melihat pengalaman perempuan sebagai konstruksi historis, bukan sebagai kodrat alamiah.

5.2.        Judith Butler (1956– ): Teori Performatifitas Gender

Judith Butler merupakan tokoh sentral dalam teori gender kontemporer. Melalui Gender Trouble (1990), ia memperkenalkan gagasan performativitas, yakni bahwa gender bukanlah identitas tetap, melainkan sesuatu yang terus-menerus diciptakan melalui praktik sosial, bahasa, dan tindakan sehari-hari.⁵

Pemikiran Butler menantang pandangan esensialis yang menganggap identitas laki-laki dan perempuan sebagai kodrati. Sebaliknya, gender dipandang cair dan dapat dinegosiasikan.⁶ Selain itu, Butler juga mengaitkan teori gender dengan politik queer, yang menolak kategorisasi kaku atas identitas seksual dan gender.⁷ Pemikirannya memengaruhi berbagai bidang, mulai dari filsafat, sastra, hingga studi hukum dan politik.

5.3.        bell hooks (1952–2021): Interseksionalitas, Ras, dan Gender

bell hooks (nama pena dari Gloria Jean Watkins) adalah tokoh penting dalam feminisme kulit hitam. Dalam Ain’t I a Woman? Black Women and Feminism (1981), ia mengkritik feminisme arus utama yang cenderung mengabaikan pengalaman perempuan kulit hitam dan perempuan dari kelas pekerja.⁸

hooks menekankan bahwa gender tidak dapat dipisahkan dari ras, kelas, dan sejarah kolonialisme.⁹ Baginya, feminisme harus dipahami sebagai perjuangan melawan segala bentuk dominasi, bukan sekadar perjuangan perempuan melawan laki-laki.¹⁰ Pemikirannya menegaskan pentingnya interseksionalitas dan membuka ruang bagi feminisme yang lebih inklusif, plural, dan global.

5.4.        Pemikir Muslim dan Non-Barat

Selain pemikir Barat, sejumlah tokoh dari dunia Islam dan non-Barat juga memberikan kontribusi signifikan dalam wacana gender. Fatima Mernissi (1940–2015), misalnya, melalui Beyond the Veil (1975), mengkritik penafsiran tradisional atas teks-teks Islam yang membatasi ruang gerak perempuan, seraya menawarkan reinterpretasi yang lebih egaliter.¹¹

Di India, Gayatri Chakravorty Spivak menyoroti hubungan antara kolonialisme, gender, dan pengetahuan melalui esai terkenalnya, “Can the Subaltern Speak?” yang menyoroti keterpinggiran suara perempuan dalam wacana global.¹² Pemikirannya mendorong feminisme postkolonial yang menekankan peran konteks budaya dan politik global dalam memahami gender.

5.5.        Kontribusi Lintas Disiplin

Tokoh-tokoh di atas tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan tradisi intelektual yang lebih luas. Pemikiran mereka berinteraksi dengan filsafat eksistensialis, teori kritis Frankfurt, post-strukturalisme, hingga studi postkolonial.¹³ Dengan demikian, filsafat perempuan dan gender berkembang sebagai disiplin yang interdisipliner, yang menghubungkan refleksi filosofis dengan analisis sosial, politik, dan budaya.


Footnotes

[1]            Alison Stone, An Introduction to Feminist Philosophy (Cambridge: Polity, 2007), 45–49.

[2]            Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.

[3]            Toril Moi, Simone de Beauvoir: The Making of an Intellectual Woman (Oxford: Oxford University Press, 1994), 112–118.

[4]            Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and ‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 25–30.

[5]            Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 25–28.

[6]            Sara Salih, Judith Butler (London: Routledge, 2002), 57–63.

[7]            Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of "Sex" (New York: Routledge, 1993), 2–5.

[8]            bell hooks, Ain’t I a Woman? Black Women and Feminism (Boston: South End Press, 1981), 7–11.

[9]            Patricia Hill Collins, Black Feminist Thought (New York: Routledge, 2000), 45–48.

[10]          bell hooks, Feminism Is for Everybody: Passionate Politics (Cambridge, MA: South End Press, 2000), 1–6.

[11]          Fatima Mernissi, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Muslim Society (Bloomington: Indiana University Press, 1975), 15–20.

[12]          Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?,” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[13]          Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 19–23.


6.            Kritik Filsafat Gender

Filsafat gender sebagai cabang pemikiran kritis telah memberikan kontribusi besar dalam membongkar relasi kuasa, struktur patriarki, dan konstruksi sosial mengenai identitas perempuan. Namun, filsafat gender sendiri tidak luput dari kritik internal maupun eksternal. Kritik ini muncul baik dari sesama kalangan feminis maupun dari filsuf non-feminis yang mempertanyakan asumsi, metodologi, dan implikasi teoretis filsafat gender. Bab ini akan menguraikan beberapa arus kritik utama: (1) kritik terhadap esensialisme, (2) kritik post-strukturalis terhadap konsep “perempuan”, (3) perdebatan antara universalitas hak perempuan versus relativisme budaya, dan (4) kritik agama serta tradisi terhadap teori gender.

6.1.        Kritik terhadap Esensialisme

Salah satu kritik paling mendasar dalam filsafat gender adalah penolakan terhadap esensialisme, yakni pandangan bahwa terdapat sifat atau hakikat universal yang melekat pada semua perempuan. Simone de Beauvoir telah menolak pandangan ini dengan tegas ketika menyatakan bahwa “perempuan tidak dilahirkan, melainkan menjadi.”¹ Feminisme gelombang kedua banyak menentang esensialisme karena berpotensi mengekang kebebasan perempuan dalam menentukan identitasnya.

Namun, esensialisme juga dikritik dalam konteks feminisme itu sendiri. Tokoh-tokoh feminisme postkolonial, seperti Chandra Talpade Mohanty, menilai bahwa feminisme Barat kerap mendefinisikan pengalaman perempuan secara homogen, sehingga mengabaikan perbedaan ras, kelas, dan budaya.² Dengan demikian, kritik terhadap esensialisme menegaskan perlunya memahami perempuan dalam keragaman pengalaman sosial dan historisnya.

6.2.        Kritik Post-Strukturalis dan Dekonstruksi atas Konsep “Perempuan”

Tradisi post-strukturalisme membawa kritik radikal terhadap konsep “perempuan” sebagai kategori tetap. Judith Butler menegaskan bahwa “perempuan” bukanlah identitas esensial, melainkan hasil dari konstruksi diskursif yang terus-menerus diproduksi dan dipertahankan melalui performativitas gender.³ Dalam kerangka ini, konsep perempuan sebagai kategori stabil dipandang problematis, karena justru memperkuat norma-norma heteronormatif dan patriarkal.

Dekonstruksi ini menimbulkan ketegangan dalam filsafat gender, sebab jika “perempuan” dianggap tidak stabil, maka dasar ontologis perjuangan feminisme pun dipertanyakan.⁴ Sebagian kalangan feminis berargumen bahwa meski identitas perempuan bersifat cair, tetap diperlukan kategori politik “perempuan” untuk melawan diskriminasi nyata yang dialami kelompok sosial ini.⁵ Dengan demikian, filsafat gender berada di persimpangan antara menjaga stabilitas identitas demi kepentingan politik dan membongkar identitas demi konsistensi teoretis.

6.3.        Universalitas Hak Perempuan vs Relativisme Budaya

Kritik lain terhadap filsafat gender berkaitan dengan klaim universalitas hak perempuan. Gerakan feminis Barat sering dituduh membawa agenda universalis yang tidak sensitif terhadap keragaman budaya. Misalnya, wacana hak-hak perempuan dalam konteks global kerap dianggap sebagai bentuk imperialisme budaya yang memaksakan standar Barat atas masyarakat non-Barat.⁶

Feminisme postkolonial menekankan perlunya menghormati konteks lokal, tradisi, dan sistem nilai yang berbeda.⁷ Namun, pendekatan ini menghadapi dilema etis: sampai sejauh mana relativisme budaya dapat diterima tanpa membiarkan praktik diskriminatif berlangsung? Perdebatan antara universalisme dan relativisme budaya menjadi salah satu isu filosofis paling sulit dalam filsafat gender, karena menyangkut ketegangan antara prinsip keadilan global dan penghormatan terhadap pluralitas budaya.

6.4.        Kritik Agama dan Tradisi

Filsafat gender juga banyak mendapat kritik dari perspektif agama dan tradisi. Beberapa kalangan menilai bahwa teori gender, terutama gagasan fluiditas identitas, bertentangan dengan ajaran agama yang mendasarkan identitas gender pada kodrat biologis dan ketentuan Ilahi.⁸ Misalnya, dalam tradisi Islam klasik, banyak ulama menekankan pembagian peran gender yang bersifat komplementer, bukan cair sebagaimana dikemukakan teori gender modern.⁹

Meski demikian, sejumlah pemikir Muslim kontemporer seperti Amina Wadud dan Fatima Mernissi berusaha menafsirkan ulang teks agama untuk menegaskan prinsip kesetaraan, seraya tetap mempertahankan dimensi spiritualitas dan moralitas.¹⁰ Hal ini memperlihatkan adanya ruang dialog antara filsafat gender dan tradisi agama, meski tetap diliputi ketegangan teoretis dan normatif.


Kesimpulan Sementara

Kritik-kritik terhadap filsafat gender memperlihatkan bahwa disiplin ini bersifat dinamis, terbuka terhadap koreksi, dan terus bertransformasi. Kritik terhadap esensialisme menegaskan pluralitas pengalaman perempuan, kritik post-strukturalis menyoroti ketidakstabilan identitas, perdebatan universalisme-relativisme menantang klaim moral global, dan kritik agama menunjukkan adanya batas-batas teoretis dalam konteks normatif. Semua kritik ini memperkaya filsafat gender, sekaligus menunjukkan kompleksitas upaya membangun kerangka konseptual yang inklusif dan transformatif.


Footnotes

[1]            Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.

[2]            Chandra Talpade Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” Boundary 2 12, no. 3 (1984): 333–358.

[3]            Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990), 24–28.

[4]            Nancy Fraser, “Heterosexism, Misrecognition, and Capitalism: A Response to Judith Butler,” Social Text 52/53 (1997): 279–289.

[5]            Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 170–176.

[6]            Uma Narayan, Dislocating Cultures: Identities, Traditions, and Third World Feminism (New York: Routledge, 1997), 45–49.

[7]            Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?,” in Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson and Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271–313.

[8]            Pope John Paul II, Mulieris Dignitatem (Boston: St. Paul Editions, 1988), 5–7.

[9]            Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 2:35–38.

[10]          Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 23–27; Fatima Mernissi, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Muslim Society (Bloomington: Indiana University Press, 1975), 35–40.


7.            Relasi Gender dengan Isu Sosial dan Ilmu Pengetahuan

Filsafat gender tidak hanya membicarakan persoalan identitas atau konstruksi sosial perempuan, tetapi juga berkaitan erat dengan isu-isu sosial yang lebih luas, serta dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Gender sebagai kategori analisis telah menjadi instrumen penting untuk mengungkap bias, ketidakadilan, dan relasi kuasa dalam masyarakat modern.¹ Dalam bab ini, akan dibahas empat dimensi utama: (1) gender dan filsafat politik, (2) gender dalam filsafat ilmu, (3) gender dan etika, serta (4) gender dalam teknologi dan sains kontemporer.

7.1.        Gender dan Filsafat Politik: Demokrasi, Keadilan, dan Representasi

Dalam ranah filsafat politik, isu gender menyoroti persoalan representasi dan partisipasi. Demokrasi modern kerap mendaku sebagai sistem yang egaliter, namun representasi politik perempuan masih sangat timpang.² John Stuart Mill dalam The Subjection of Women (1869) menegaskan bahwa ketidaksetaraan politik bukanlah kodrati, melainkan produk konstruksi sosial yang dapat diubah.³

Tokoh kontemporer seperti Iris Marion Young menambahkan bahwa demokrasi yang sejati menuntut kehadiran beragam suara, termasuk perempuan dan kelompok marginal, melalui mekanisme inclusive representation.⁴ Feminisme politik menekankan bahwa keadilan tidak hanya mencakup distribusi sumber daya, tetapi juga pengakuan atas identitas dan pengalaman gender yang beragam.⁵ Dengan demikian, gender berhubungan langsung dengan legitimasi politik dan kualitas demokrasi.

7.2.        Gender dalam Filsafat Ilmu: Bias Epistemologis

Filsafat ilmu sejak lama dikritik karena didominasi perspektif maskulin. Evelyn Fox Keller menunjukkan bahwa metode ilmiah modern sering mengandung asumsi “obyektivitas” yang menyingkirkan pengalaman perempuan dan nilai-nilai relasional.⁶ Sandra Harding melalui standpoint epistemology berargumen bahwa pengetahuan yang sahih harus berangkat dari pengalaman kelompok yang termarjinalkan, termasuk perempuan.⁷

Pendekatan ini mengungkap bahwa ilmu pengetahuan bukanlah ruang netral, melainkan produk relasi kuasa yang melanggengkan dominasi.⁸ Dengan mengintegrasikan analisis gender, filsafat ilmu tidak hanya mengkritisi bias epistemologis, tetapi juga membuka jalan bagi produksi pengetahuan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

7.3.        Gender dan Etika: Etika Perawatan vs Etika Keadilan

Dalam ranah etika, feminisme memperkenalkan perspektif baru melalui ethics of care. Carol Gilligan mengkritik etika tradisional yang berfokus pada keadilan dan prinsip universal, karena cenderung mengabaikan dimensi relasional, empati, dan tanggung jawab personal.⁹ Ethics of care menekankan pentingnya relasi antarindividu, terutama dalam konteks keluarga, komunitas, dan perawatan.

Debat antara etika perawatan dan etika keadilan memperlihatkan ketegangan antara prinsip normatif universal dan konteks relasional.¹⁰ Meski awalnya dikritik karena dianggap esensialis, etika perawatan kini dipandang sebagai kontribusi penting dalam memperluas horizon etika, terutama dalam menghadapi isu kontemporer seperti bioetika, kesehatan, dan keadilan sosial.¹¹

7.4.        Gender dalam Teknologi dan Sains Kontemporer

Era digital dan perkembangan teknologi membawa tantangan baru bagi filsafat gender. Analisis feminis menunjukkan bahwa teknologi tidak netral, tetapi merefleksikan nilai-nilai sosial yang membentuknya.¹² Misalnya, algoritma dalam kecerdasan buatan (AI) kerap mereproduksi bias gender dan rasial, sebagaimana ditunjukkan oleh studi-studi kritis dalam bidang data feminism.¹³

Selain itu, feminisme ekoteknologi dan ekofeminisme menyoroti keterhubungan antara eksploitasi alam dan penindasan perempuan dalam sistem kapitalisme global.¹⁴ Kritik ini menegaskan bahwa gender harus dipahami dalam kaitannya dengan relasi manusia dengan alam, teknologi, dan globalisasi.


Kesimpulan Sementara

Relasi gender dengan isu sosial dan ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa filsafat gender bukanlah kajian yang terisolasi, melainkan berkelindan dengan problem demokrasi, produksi pengetahuan, etika, dan teknologi. Dengan analisis gender, filsafat mampu membongkar klaim netralitas yang semu, sekaligus menawarkan perspektif baru untuk membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan reflektif terhadap keragaman pengalaman manusia.


Footnotes

[1]            Karen J. Warren, An Introduction to Feminist Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 55–59.

[2]            Anne Phillips, The Politics of Presence (Oxford: Oxford University Press, 1995), 2–6.

[3]            John Stuart Mill, The Subjection of Women (London: Longman, Green, Reader, and Dyer, 1869), 27–32.

[4]            Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 38–42.

[5]            Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–14.

[6]            Evelyn Fox Keller, Reflections on Gender and Science (New Haven: Yale University Press, 1985), 4–8.

[7]            Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 119–123.

[8]            Donna Haraway, “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective,” Feminist Studies 14, no. 3 (1988): 575–599.

[9]            Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 19–24.

[10]          Lawrence Blum, “Gilligan and Kohlberg: Implications for Moral Theory,” Ethics 98, no. 3 (1988): 472–491.

[11]          Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 13–18.

[12]          Judy Wajcman, TechnoFeminism (Cambridge: Polity, 2004), 5–9.

[13]          Catherine D’Ignazio and Lauren F. Klein, Data Feminism (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 45–50.

[14]          Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 12–16.


8.            Isu-Isu Kontemporer dalam Filsafat Perempuan dan Gender

Perkembangan filsafat perempuan dan gender pada abad ke-21 tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial, politik, dan teknologi global. Jika pada tahap awal filsafat feminisme berfokus pada kesetaraan hak politik dan hukum, kini wacana gender merambah ke isu-isu baru yang lebih kompleks. Beberapa di antaranya adalah persoalan globalisasi dan migrasi, krisis ekologi dan ekofeminisme, tantangan posthumanisme dan bioteknologi, serta politik identitas di era digital. Bab ini akan menguraikan isu-isu kontemporer tersebut dalam kerangka filsafat gender.

8.1.        Gender dan Globalisasi: Migrasi, Kerja, dan Ekonomi Neoliberal

Globalisasi membawa perubahan besar terhadap peran dan posisi perempuan. Di satu sisi, ia membuka peluang partisipasi perempuan dalam ekonomi global, namun di sisi lain menimbulkan bentuk baru eksploitasi.¹ Pekerja migran perempuan, terutama dari negara-negara berkembang, sering mengalami diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan struktural.²

Feminisme transnasional mengkritik kapitalisme global yang bergantung pada tenaga kerja murah perempuan, sekaligus menyoroti bagaimana ketidakadilan gender berkelindan dengan ras, kelas, dan status migrasi.³ Dengan demikian, filsafat gender kontemporer mengaitkan perjuangan perempuan dengan analisis ekonomi politik global, bukan hanya dalam lingkup nasional.

8.2.        Gender dan Ekologi: Ekofeminisme

Krisis lingkungan dan perubahan iklim mendorong lahirnya ekofeminisme sebagai cabang filsafat feminis yang menghubungkan penindasan terhadap perempuan dengan eksploitasi terhadap alam. Vandana Shiva menegaskan bahwa logika patriarki dan kapitalisme modern memandang alam dan perempuan sebagai objek yang dapat dikendalikan dan dieksploitasi.⁴

Ekofeminisme menawarkan paradigma alternatif yang menekankan relasi harmoni, keberlanjutan, dan penghargaan terhadap alam.⁵ Dalam kerangka ini, perjuangan gender tidak hanya terbatas pada relasi sosial antar-manusia, tetapi juga meluas pada relasi antara manusia dan lingkungan hidup.⁶

8.3.        Gender dan Posthumanisme: Tubuh, Bioteknologi, dan Kecerdasan Buatan

Perkembangan teknologi biomedis, rekayasa genetika, dan kecerdasan buatan (AI) menantang pemahaman tradisional tentang tubuh dan identitas gender. Donna Haraway, melalui A Cyborg Manifesto, memperkenalkan konsep “cyborg” sebagai metafora untuk identitas hibrid yang melampaui batas-batas biologis, gender, dan teknologi.⁷

Filsafat posthumanisme menolak pandangan esensialis tentang tubuh manusia dan membuka kemungkinan identitas yang lebih cair.⁸ Namun, kritik juga muncul bahwa bioteknologi dan AI dapat memperdalam ketidakadilan gender, misalnya melalui bias algoritma yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas.⁹ Dengan demikian, isu gender dalam konteks posthumanisme menuntut refleksi etis dan politik yang lebih kritis.

8.4.        Gender dan Politik Identitas di Era Digital

Era digital memunculkan medan baru bagi politik gender. Media sosial telah menjadi ruang perjuangan feminis, seperti gerakan #MeToo yang mengungkap praktik kekerasan seksual secara global.¹⁰ Namun, di sisi lain, ruang digital juga menjadi arena reproduksi misogini, ujaran kebencian, dan pelecehan berbasis gender.¹¹

Filsafat gender dalam konteks ini menyoroti bagaimana identitas gender dinegosiasikan, dipertarungkan, dan dipolitisasi di ruang maya.¹² Politik identitas digital memungkinkan lahirnya solidaritas global, tetapi juga menimbulkan fragmentasi karena keragaman perspektif dan pengalaman.¹³


Kesimpulan Sementara

Isu-isu kontemporer dalam filsafat perempuan dan gender menunjukkan bahwa wacana ini semakin interdisipliner dan responsif terhadap tantangan zaman. Dari globalisasi hingga ekologi, dari bioteknologi hingga media digital, persoalan gender terhubung erat dengan problem struktural dan epistemologis yang lebih luas. Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat gender tidak hanya relevan bagi perjuangan perempuan, tetapi juga bagi masa depan umat manusia secara keseluruhan.


Footnotes

[1]            Saskia Sassen, Globalization and Its Discontents: Essays on the New Mobility of People and Money (New York: New Press, 1998), 67–72.

[2]            Rhacel Salazar Parreñas, Servants of Globalization: Migration and Domestic Work (Stanford: Stanford University Press, 2001), 3–6.

[3]            Inderpal Grewal and Caren Kaplan, Scattered Hegemonies: Postmodernity and Transnational Feminist Practices (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1994), 1–8.

[4]            Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 42–47.

[5]            Karen J. Warren, Ecofeminist Philosophy: A Western Perspective on What It Is and Why It Matters (Lanham: Rowman & Littlefield, 2000), 65–69.

[6]            Greta Gaard, “Ecofeminism and Climate Change,” Women’s Studies International Forum 49 (2015): 20–33.

[7]            Donna J. Haraway, A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century (New York: Routledge, 1991), 149–181.

[8]            Rosi Braidotti, The Posthuman (Cambridge: Polity Press, 2013), 35–39.

[9]            Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 75–80.

[10]          Tarana Burke, “#MeToo Was Started for Black and Brown Women and Girls. They’re Still Being Ignored,” The Washington Post, November 9, 2017.

[11]          Debbie Ging, “Alphas, Betas, and Incels: Theorizing the Masculinities of the Manosphere,” Men and Masculinities 22, no. 4 (2019): 638–657.

[12]          Rosalind Gill, “Postfeminist Media Culture: Elements of a Sensibility,” European Journal of Cultural Studies 10, no. 2 (2007): 147–166.

[13]          Sarah Banet-Weiser, Empowered: Popular Feminism and Popular Misogyny (Durham: Duke University Press, 2018), 101–106.


9.            Relevansi Filsafat Perempuan dan Gender

Filsafat perempuan dan gender tidak hanya menjadi wacana teoritis, melainkan juga memiliki relevansi nyata dalam kehidupan kontemporer. Sebagai kerangka konseptual, filsafat gender membantu mengkritisi dan menata ulang berbagai institusi sosial, hukum, pendidikan, hingga kehidupan sehari-hari. Relevansi ini menunjukkan bahwa filsafat gender tidak berhenti pada level analisis, tetapi turut memberikan kontribusi terhadap transformasi sosial dan pembangunan masyarakat yang lebih adil.¹

9.1.        Relevansi dalam Pendidikan dan Pembentukan Kesadaran Kritis

Pendidikan merupakan salah satu medan paling strategis dalam penerapan filsafat gender. Kurikulum dan praktik pendidikan yang sensitif gender membantu membongkar stereotip tradisional yang membatasi peran perempuan maupun laki-laki.² Misalnya, gender bias dalam buku teks dan metode pengajaran dapat berkontribusi pada reproduksi ketidaksetaraan sosial.³

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan, yang memungkinkan individu memahami struktur penindasan dan melakukan perubahan.⁴ Dalam konteks ini, filsafat gender memperkaya pedagogi kritis dengan menyoroti dimensi gender dalam pengalaman belajar, serta mendorong kesadaran kritis di kalangan siswa dan guru.

9.2.        Relevansi dalam Hukum dan Kebijakan Publik

Hukum dan kebijakan publik adalah arena penting di mana filsafat gender diterapkan. Isu-isu seperti hak reproduksi, kekerasan berbasis gender, dan representasi politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari analisis filosofis mengenai keadilan dan kesetaraan.⁵

Teori keadilan John Rawls, misalnya, banyak diperdebatkan ulang dalam konteks gender. Susan Moller Okin berargumen bahwa prinsip keadilan Rawlsian gagal mengatasi ketidakadilan dalam ranah domestik yang dialami perempuan.⁶ Feminisme hukum kemudian menuntut pembaruan regulasi agar lebih responsif terhadap pengalaman perempuan, termasuk perlindungan hukum dari kekerasan dalam rumah tangga dan diskriminasi di tempat kerja.⁷

9.3.        Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari: Keluarga, Kerja, dan Komunitas

Relevansi filsafat gender juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks keluarga, misalnya, filsafat gender mengkritisi pembagian peran domestik yang timpang antara laki-laki dan perempuan.⁸ Pembahasan tentang ethics of care menekankan pentingnya keadilan dalam relasi rumah tangga serta pengakuan atas kerja-kerja perawatan yang selama ini dianggap “tidak produktif.”⁹

Di dunia kerja, filsafat gender menyoroti isu kesenjangan upah, diskriminasi, serta tantangan bagi perempuan dalam posisi kepemimpinan.¹⁰ Sementara itu, di tingkat komunitas, filsafat gender berperan dalam memperkuat solidaritas sosial, mengatasi diskriminasi berbasis identitas, serta membangun ruang partisipasi yang lebih inklusif.¹¹

9.4.        Arah Pengembangan di Masa Depan

Relevansi filsafat perempuan dan gender semakin besar seiring dengan tantangan global kontemporer. Dalam era digital, analisis gender dibutuhkan untuk mengatasi bias algoritma dan ketidaksetaraan akses teknologi.¹² Dalam ranah ekologi, filsafat gender melalui ekofeminisme menawarkan paradigma alternatif untuk menghadapi krisis iklim.¹³

Lebih jauh lagi, filsafat gender juga relevan dalam membangun masyarakat multikultural yang menghargai pluralitas identitas. Feminisme transnasional menekankan pentingnya solidaritas lintas batas, tanpa mengabaikan perbedaan konteks sosial dan budaya.¹⁴ Dengan demikian, filsafat perempuan dan gender tidak hanya relevan bagi perjuangan perempuan, tetapi juga bagi masa depan demokrasi, keadilan global, dan keberlanjutan planet.


Kesimpulan Sementara

Relevansi filsafat perempuan dan gender tampak jelas dalam pendidikan, hukum, kehidupan sehari-hari, hingga tantangan global seperti teknologi dan ekologi. Dengan kerangka ini, filsafat gender berperan bukan sekadar sebagai disiplin akademis, melainkan sebagai instrumen transformasi sosial yang mendorong terciptanya dunia yang lebih setara, adil, dan manusiawi.


Footnotes

[1]            Karen J. Warren, An Introduction to Feminist Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 101–104.

[2]            Gaby Weiner, Feminisms in Education: An Introduction (Buckingham: Open University Press, 1994), 15–18.

[3]            Myra Sadker and David Sadker, Failing at Fairness: How America’s Schools Cheat Girls (New York: Scribner, 1994), 7–12.

[4]            Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1993), 68–72.

[5]            Catharine A. MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 162–168.

[6]            Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York: Basic Books, 1989), 89–94.

[7]            Hilary Charlesworth, Christine Chinkin, and Shelley Wright, “Feminist Approaches to International Law,” American Journal of International Law 85, no. 4 (1991): 613–645.

[8]            Arlie Hochschild and Anne Machung, The Second Shift (New York: Viking, 1989), 21–27.

[9]            Virginia Held, The Ethics of Care: Personal, Political, and Global (Oxford: Oxford University Press, 2006), 14–17.

[10]          Joan Acker, “Hierarchies, Jobs, Bodies: A Theory of Gendered Organizations,” Gender & Society 4, no. 2 (1990): 139–158.

[11]          Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis (London: Verso, 2013), 190–195.

[12]          Catherine D’Ignazio and Lauren F. Klein, Data Feminism (Cambridge, MA: MIT Press, 2020), 120–125.

[13]          Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 35–40.

[14]          Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (Durham: Duke University Press, 2003), 2–6.


10.        Penutup

Kajian mengenai Filsafat Perempuan dan Gender: Sejarah, Konsep, Kritik, dan Relevansi Kontemporer memperlihatkan bahwa persoalan perempuan dan gender bukanlah isu periferal dalam filsafat, melainkan bagian integral dari refleksi filosofis tentang manusia, keadilan, dan masyarakat. Dari uraian sejarah dapat dilihat bagaimana perempuan sering kali diposisikan sebagai “yang lain,” mulai dari pemikiran Yunani Kuno hingga filsafat modern.¹ Namun, dengan munculnya feminisme dalam berbagai gelombang, serta berkembangnya teori gender, paradigma tersebut mulai digugat dan direkonstruksi.

Secara konseptual, filsafat gender menolak esensialisme yang membekukan identitas perempuan, dan menegaskan bahwa gender adalah konstruksi sosial yang dinegosiasikan dalam konteks historis dan kultural.² Kritik post-strukturalis, teori interseksionalitas, serta wacana feminisme postkolonial memperluas horizon filsafat gender sehingga mampu membaca kompleksitas pengalaman perempuan yang berbeda-beda menurut kelas, ras, etnisitas, dan lokasi geopolitik.³

Dari sisi relevansi, filsafat gender memiliki implikasi nyata dalam ranah pendidikan, hukum, politik, etika, hingga teknologi.⁴ Analisis gender membantu membongkar bias epistemologis dalam ilmu pengetahuan, menegaskan pentingnya kesetaraan dalam hukum dan kebijakan publik, serta menawarkan paradigma alternatif dalam menghadapi krisis global seperti perubahan iklim dan ketidakadilan ekonomi.⁵ Dengan demikian, filsafat gender menjadi salah satu perangkat reflektif yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Namun, kajian ini juga menunjukkan bahwa filsafat gender tidak lepas dari kritik, baik yang datang dari dalam maupun luar. Perdebatan mengenai stabilitas kategori “perempuan,” dilema antara universalisme dan relativisme budaya, serta tensi dengan tradisi agama menegaskan bahwa filsafat gender adalah wacana yang dinamis dan terbuka terhadap koreksi.⁶ Justru melalui keterbukaannya terhadap kritik inilah filsafat gender berkembang sebagai disiplin yang hidup dan relevan.

Akhirnya, filsafat perempuan dan gender mengajarkan bahwa perjuangan untuk kesetaraan bukan hanya persoalan praktis, melainkan juga persoalan filosofis yang mendasar. Ia menuntut kita untuk terus mempertanyakan asumsi yang mendasari pengetahuan, norma sosial, dan struktur kuasa.⁷ Dengan cara ini, filsafat gender tidak hanya memberi ruang bagi pembebasan perempuan, tetapi juga membuka jalan menuju pemahaman yang lebih luas tentang kemanusiaan.


Footnotes

[1]            Genevieve Lloyd, The Man of Reason: ‘Male’ and ‘Female’ in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 17–22.

[2]            Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier (New York: Vintage Books, 2011), 283.

[3]            Kimberlé Crenshaw, “Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence against Women of Color,” Stanford Law Review 43, no. 6 (1991): 1241–1299.

[4]            Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 119–123.

[5]            Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 42–47.

[6]            Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 170–176.

[7]            Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the "Postsocialist" Condition (New York: Routledge, 1997), 11–14.


Daftar Pustaka

Acker, J. (1990). Hierarchies, jobs, bodies: A theory of gendered organizations. Gender & Society, 4(2), 139–158.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Vol. I, Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Banet-Weiser, S. (2018). Empowered: Popular feminism and popular misogyny. Duke University Press.

Beauvoir, S. de. (2011). The second sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1949)

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Benhabib, S., & Cornell, D. (Eds.). (1987). Feminism as critique: On the politics of gender. University of Minnesota Press.

Blum, L. (1988). Gilligan and Kohlberg: Implications for moral theory. Ethics, 98(3), 472–491.

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.

Butler, J. (1993). Bodies that matter: On the discursive limits of “sex”. Routledge.

Charlesworth, H., Chinkin, C., & Wright, S. (1991). Feminist approaches to international law. American Journal of International Law, 85(4), 613–645.

Collins, P. H. (2000). Black feminist thought. Routledge.

Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the intersection of race and sex. University of Chicago Legal Forum, 1989(1), 139–167.

Crenshaw, K. (1991). Mapping the margins: Intersectionality, identity politics, and violence against women of color. Stanford Law Review, 43(6), 1241–1299.

D’Ignazio, C., & Klein, L. F. (2020). Data feminism. MIT Press.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Fraser, N. (2013). Fortunes of feminism: From state-managed capitalism to neoliberal crisis. Verso.

Freire, P. (1993). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum. (Original work published 1970)

Friedan, B. (1963). The feminine mystique. W.W. Norton.

Gaard, G. (2015). Ecofeminism and climate change. Women’s Studies International Forum, 49, 20–33. https://doi.org/10.1016/j.wsif.2015.02.004

Ging, D. (2019). Alphas, betas, and incels: Theorizing the masculinities of the manosphere. Men and Masculinities, 22(4), 638–657.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Gill, R. (2007). Postfeminist media culture: Elements of a sensibility. European Journal of Cultural Studies, 10(2), 147–166.

Grewal, I., & Kaplan, C. (1994). Scattered hegemonies: Postmodernity and transnational feminist practices. University of Minnesota Press.

Haraway, D. J. (1991). A cyborg manifesto: Science, technology, and socialist-feminism in the late twentieth century. Routledge.

Haraway, D. J. (1988). Situated knowledges: The science question in feminism and the privilege of partial perspective. Feminist Studies, 14(3), 575–599.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Cornell University Press.

Hartsock, N. (1983). The feminist standpoint: Developing the ground for a specifically feminist historical materialism. In S. Harding & M. B. Hintikka (Eds.), Discovering reality: Feminist perspectives on epistemology, metaphysics, methodology, and philosophy of science (pp. 283–310). Reidel.

Held, V. (2006). The ethics of care: Personal, political, and global. Oxford University Press.

Hochschild, A., & Machung, A. (1989). The second shift. Viking.

hooks, b. (1981). Ain’t I a woman? Black women and feminism. South End Press.

hooks, b. (2000). Feminism is for everybody: Passionate politics. South End Press.

Keller, E. F. (1985). Reflections on gender and science. Yale University Press.

Lloyd, G. (1984). The man of reason: “Male” and “female” in Western philosophy. Routledge.

MacKinnon, C. A. (1989). Toward a feminist theory of the state. Harvard University Press.

Mill, J. S. (1869). The subjection of women. Longman, Green, Reader, and Dyer.

Mernissi, F. (1975). Beyond the veil: Male-female dynamics in Muslim society. Indiana University Press.

Millett, K. (1970). Sexual politics. Doubleday.

Mohanty, C. T. (1984). Under Western eyes: Feminist scholarship and colonial discourses. Boundary 2, 12(3), 333–358.

Mohanty, C. T. (2003). Feminism without borders: Decolonizing theory, practicing solidarity. Duke University Press.

Moi, T. (1985). Sexual/textual politics: Feminist literary theory. Routledge.

Moi, T. (1994). Simone de Beauvoir: The making of an intellectual woman. Oxford University Press.

Narayan, U. (1997). Dislocating cultures: Identities, traditions, and Third World feminism. Routledge.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.

Oakley, A. (1972). Sex, gender and society. Temple Smith.

Offen, K. (2000). European feminisms, 1700–1950: A political history. Stanford University Press.

Parreñas, R. S. (2001). Servants of globalization: Migration and domestic work. Stanford University Press.

Phillips, A. (1995). The politics of presence. Oxford University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.

Pope John Paul II. (1988). Mulieris dignitatem. St. Paul Editions.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rosenthal, E. I. J. (Trans.). (1956). Averroes’ commentary on Plato’s Republic. Cambridge University Press.

Rousseau, J.-J. (1979). Émile, or on education (A. Bloom, Trans.). Basic Books.

Sadker, M., & Sadker, D. (1994). Failing at fairness: How America’s schools cheat girls. Scribner.

Salih, S. (2002). Judith Butler. Routledge.

Sassen, S. (1998). Globalization and its discontents: Essays on the new mobility of people and money. New Press.

Scott, J. W. (1986). Gender: A useful category of historical analysis. The American Historical Review, 91(5), 1053–1075.

Sedgwick, E. K. (1990). Epistemology of the closet. University of California Press.

Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology, and development. Zed Books.

Spivak, G. C. (1988). Can the subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois Press.

Stone, A. (2007). An introduction to feminist philosophy. Polity.

Walby, S. (1990). Theorizing patriarchy. Blackwell.

Walters, M. (2005). Feminism: A very short introduction. Oxford University Press.

Warren, K. J. (2000). Ecofeminist philosophy: A Western perspective on what it is and why it matters. Rowman & Littlefield.

Warren, K. J. (2009). An introduction to feminist philosophy. Cambridge University Press.

Weiner, G. (1994). Feminisms in education: An introduction. Open University Press.

Wollstonecraft, M. (1792). A vindication of the rights of woman. J. Johnson.

Young, I. M. (1990). Throwing like a girl and other essays in feminist philosophy and social theory. Indiana University Press.

Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy. Oxford University Press.