Asas Kewarganegaraan
Prinsip-Prinsip Hukum dalam Menentukan Status
Kewarganegaraan Individu di Era Globalisasi
Alihkan ke: Civic Education.
Abstrak
Kewarganegaraan merupakan unsur fundamental dalam
struktur kenegaraan modern yang menentukan status hukum individu sebagai
anggota resmi suatu negara. Artikel ini membahas secara komprehensif
prinsip-prinsip hukum yang mendasari penentuan kewarganegaraan, khususnya
melalui asas ius sanguinis (keturunan) dan ius soli (tempat
kelahiran), serta varian lain seperti kewarganegaraan tunggal dan ganda
terbatas. Penelitian ini juga mengeksplorasi implementasi asas-asas tersebut
dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006,
serta menyoroti tantangan-tantangan kontemporer seperti fenomena tanpa
kewarganegaraan (statelessness), permintaan pengakuan kewarganegaraan
ganda, dan politisasi status kewarganegaraan dalam konteks global. Melalui
pendekatan yuridis-normatif dan kajian literatur akademik, artikel ini
menyimpulkan perlunya reformasi hukum kewarganegaraan Indonesia agar lebih
adaptif terhadap perubahan global, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai
konstitusional dan identitas nasional.
Kata Kunci: Kewarganegaraan, Ius Sanguinis, Ius Soli,
kewarganegaraan ganda, statelessness, hukum Indonesia, globalisasi, hak asasi
manusia.
PEMBAHASAN
Status Kewarganegaraan dalam Hukum dan Kehidupan
Bernegara
1.
Pendahuluan
Kewarganegaraan
merupakan salah satu konsep fundamental dalam sistem hukum modern yang
menentukan hubungan hukum antara individu dengan negara. Melalui kewarganegaraan,
seseorang memperoleh hak dan kewajiban yang diakui serta dilindungi oleh hukum
negara tempat ia menjadi warga negara. Status ini menjadi pintu gerbang bagi
individu untuk menikmati berbagai hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial,
sekaligus menjadi dasar bagi negara untuk menuntut loyalitas dan ketaatan hukum
dari warganya. Tanpa kewarganegaraan yang sah, individu dapat berada dalam
kondisi tanpa perlindungan hukum, yang dikenal sebagai statelessness,
suatu kondisi yang mengancam martabat dan kehidupan seseorang secara
fundamental.¹
Dalam dunia yang
semakin terdorong oleh arus globalisasi, migrasi lintas negara, dan pernikahan
antarwarga negara yang berbeda kewarganegaraan, permasalahan tentang penentuan
status kewarganegaraan menjadi semakin kompleks. Negara-negara di dunia
menganut prinsip-prinsip tertentu yang dijadikan dasar dalam menetapkan siapa
saja yang dianggap sebagai warga negaranya. Prinsip-prinsip ini dikenal sebagai
asas
kewarganegaraan, yang pada umumnya terbagi ke dalam dua kategori
utama: ius
sanguinis (berdasarkan garis keturunan) dan ius soli
(berdasarkan tempat kelahiran).² Kedua asas ini berkembang dari tradisi hukum
yang berbeda dan masing-masing mencerminkan kepentingan politik, sosial, serta
budaya dari negara-negara yang mengadopsinya.
Indonesia sebagai
negara yang memiliki sejarah panjang interaksi lintas budaya dan kolonialisme,
mengembangkan sistem kewarganegaraannya melalui serangkaian dinamika hukum dan
politik. Dalam kerangka hukum positif, Indonesia saat ini mengatur masalah
kewarganegaraan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang pada prinsipnya menganut asas ius
sanguinis, namun memberikan ruang terbatas terhadap penerapan asas ius soli
dalam kondisi tertentu.³ Hal ini merupakan bentuk adaptasi terhadap kebutuhan
global sekaligus perlindungan terhadap identitas nasional dalam era yang
ditandai oleh mobilitas tinggi dan multikulturalisme.
Permasalahan yang
sering muncul terkait kewarganegaraan antara lain adalah anak hasil perkawinan
campuran, status warga diaspora, serta kasus kehilangan atau penolakan
kewarganegaraan. Dalam konteks ini, asas kewarganegaraan bukan sekadar teori
hukum, tetapi merupakan pilar penting dalam menentukan kejelasan identitas
hukum seseorang. Maka dari itu, kajian ini menjadi penting untuk memahami
bagaimana prinsip-prinsip tersebut diterapkan, tantangan kontemporer yang
dihadapi negara dalam menetapkan kewarganegaraan, serta dampaknya terhadap
hak-hak dasar individu.
Footnotes
[1]
Michelle Foster and Hélène Lambert, International Refugee Law and
the Protection of Stateless Persons (Oxford: Oxford University Press,
2019), 7.
[2]
Peter J. Spiro, Beyond Citizenship: American Identity after
Globalization (New York: Oxford University Press, 2008), 42–45.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 155–157.
2.
Pengertian dan Fungsi Kewarganegaraan
Secara etimologis,
istilah “kewarganegaraan” berasal dari kata citizenship dalam bahasa Inggris,
yang merujuk pada status hukum seseorang sebagai anggota resmi suatu negara.
Dalam konteks hukum publik, kewarganegaraan merupakan jalinan hubungan timbal
balik antara individu dengan negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban di
antara keduanya. Menurut T. Alexander Aleinikoff, kewarganegaraan tidak hanya
berarti status legal semata, tetapi juga merupakan ekspresi dari identitas
politik dan keterikatan seseorang terhadap suatu komunitas nasional.¹
Dalam perspektif
hukum internasional, kewarganegaraan dipahami sebagai ikatan hukum antara
individu dengan suatu negara yang diakui oleh sistem hukum negara tersebut dan
dihormati oleh komunitas internasional.² Kewarganegaraan menjadi sarana utama
untuk menentukan kepada negara mana seseorang tunduk dan dari negara mana ia
memperoleh perlindungan hukum, terutama dalam konteks hubungan antarnegara dan
yurisdiksi lintas batas.³ Dalam praktiknya, negara memiliki kewenangan penuh
(sovereign prerogative) untuk menentukan syarat dan asas kewarganegaraan yang
berlaku di wilayahnya, selama prinsip-prinsip tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum internasional, khususnya prinsip non-diskriminasi dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia.⁴
Secara substantif,
kewarganegaraan mengandung beberapa fungsi penting dalam kehidupan individu dan
negara:
2.1.
Fungsi Identitas Hukum
Kewarganegaraan
adalah pengenal utama dalam sistem hukum suatu negara. Ia menetapkan identitas
legal seseorang dan menjadi dasar pencatatan status sipil seperti kelahiran,
perkawinan, dan kematian. Identitas ini juga mempengaruhi akses terhadap
dokumen penting seperti kartu identitas, paspor, dan dokumen kependudukan
lainnya.⁵
2.2.
Fungsi Akses terhadap Hak Konstitusional
Status
kewarganegaraan memberikan akses penuh kepada individu terhadap hak-hak yang
dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional, seperti hak
memilih dan dipilih, hak atas pendidikan, perlindungan hukum, jaminan sosial,
serta kebebasan berekspresi dan beragama.⁶ Dalam konteks demokrasi, hanya warga
negara yang memiliki legitimasi politik untuk ikut serta dalam proses
pengambilan keputusan negara.
2.3.
Fungsi Penanggung Kewajiban
Sebagai konsekuensi
dari hak yang diberikan, kewarganegaraan juga mengharuskan individu menunaikan
kewajiban-kewajiban tertentu terhadap negara, seperti membayar pajak, menaati
hukum, mengikuti pendidikan dasar, dan dalam beberapa negara, menjalani wajib
militer.⁷ Fungsi ini memperlihatkan dimensi timbal balik dalam konsep
kewarganegaraan: tidak ada hak tanpa kewajiban.
2.4.
Fungsi Integrasi dan Kohesi Sosial
Kewarganegaraan berperan
penting dalam membangun rasa memiliki terhadap negara dan memperkuat identitas
nasional. Dalam negara-bangsa modern, kewarganegaraan digunakan sebagai alat
untuk membangun kohesi sosial di tengah keberagaman budaya, etnis, dan agama.⁸
Oleh karena itu, kebijakan kewarganegaraan kerap diposisikan sebagai instrumen
rekayasa sosial (social engineering) untuk membentuk warga negara yang loyal,
produktif, dan toleran.
Dalam era
globalisasi, ketika identitas dan mobilitas manusia semakin kompleks,
kewarganegaraan tetap menjadi institusi penting yang mengikat hak dan tanggung
jawab warga terhadap negara. Namun demikian, pemahaman atas pengertian dan
fungsi kewarganegaraan harus terus diperluas agar mampu menjawab tantangan
transnasional seperti migrasi, pengungsi, dan kewarganegaraan ganda yang kini
semakin mengemuka di berbagai belahan dunia.
Footnotes
[1]
T. Alexander Aleinikoff, Semblances of Sovereignty: The
Constitution, the State, and American Citizenship (Cambridge: Harvard
University Press, 2002), 13.
[2]
Guy S. Goodwin-Gill, International Law and the Movement of Persons
Between States (Oxford: Clarendon Press, 1978), 7.
[3]
Paul Weis, Nationality and Statelessness in International Law,
2nd ed. (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1979), 3–5.
[4]
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Handbook on
Protection of Stateless Persons (Geneva: UNHCR, 2014), 9.
[5]
Reydonnyzar Moenek, Hukum Kewarganegaraan dalam Perspektif
Keindonesiaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), 52.
[6]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:
Rajawali Pers, 2019), 119–120.
[7]
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 87.
[8]
Yasemin Nuhoglu Soysal, Limits of Citizenship: Migrants and
Postnational Membership in Europe (Chicago: University of Chicago Press,
1994), 25–27.
3.
Asas-Asas Kewarganegaraan
Asas kewarganegaraan
merupakan prinsip dasar yang digunakan oleh negara untuk menentukan siapa yang
berhak menjadi warga negaranya. Asas ini berfungsi sebagai rujukan normatif
sekaligus sebagai mekanisme hukum yang mengatur cara pewarganegaraan, baik
melalui kelahiran, perkawinan, naturalisasi, maupun bentuk perolehan lainnya.¹
Dalam praktik internasional, terdapat dua asas utama yang paling lazim
digunakan oleh negara-negara di dunia, yaitu ius sanguinis (asas keturunan) dan ius soli
(asas tempat kelahiran). Selain itu, berkembang pula asas-asas lain yang
berkaitan dengan kebijakan kewarganegaraan tunggal dan kewarganegaraan ganda
dalam konteks globalisasi.²
3.1.
Asas Ius Sanguinis (Asas Keturunan)
Asas ius
sanguinis berasal dari tradisi hukum Romawi dan berarti "hak
darah", yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan
kewarganegaraan orang tuanya, tanpa memandang tempat kelahirannya.³
Negara-negara yang menganut asas ini umumnya menekankan pentingnya garis
keturunan dan ikatan etnis dalam membentuk identitas kewarganegaraan.
Negara-negara seperti Jepang, Jerman, dan Indonesia menganut asas ini sebagai
prinsip utama dalam sistem kewarganegaraannya.⁴
Kelebihan dari asas ius
sanguinis adalah kemampuannya mempertahankan kesinambungan
identitas nasional lintas generasi, terutama dalam konteks diaspora. Namun,
asas ini juga berisiko menimbulkan status stateless bagi anak-anak yang lahir
di luar wilayah negara dan dari orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan
yang sah.⁵
3.2.
Asas Ius Soli (Asas Tempat Kelahiran)
Asas ius soli
berarti "hak tanah", yakni kewarganegaraan diberikan kepada
siapa pun yang lahir di wilayah suatu negara, tanpa memperhitungkan asal-usul
orang tuanya. Asas ini berakar pada tradisi hukum Inggris dan banyak diterapkan
di negara-negara Amerika seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil.⁶
Penerapan asas ini
memiliki keuntungan dalam menurunkan angka anak-anak tanpa kewarganegaraan
serta mendorong integrasi warga negara baru melalui kelahiran alami. Namun,
dalam praktiknya, penerapan ius soli murni dapat memicu
kekhawatiran terhadap imigrasi ilegal dan "birth tourism", di
mana individu sengaja melahirkan di negara tertentu untuk memperoleh
kewarganegaraan bagi anaknya.⁷
3.3.
Asas Kewarganegaraan Tunggal
Asas kewarganegaraan
tunggal menyatakan bahwa seseorang hanya diakui memiliki satu kewarganegaraan
oleh suatu negara. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menjaga kesetiaan
tunggal kepada negara dan menghindari konflik hukum yang mungkin timbul akibat
kepemilikan lebih dari satu kewarganegaraan.⁸
Indonesia menganut
prinsip kewarganegaraan tunggal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006, meskipun memberikan toleransi kewarganegaraan ganda secara terbatas
bagi anak hasil perkawinan campuran hingga usia 18 tahun.⁹ Di satu sisi, asas
ini mempertegas identitas kebangsaan; di sisi lain, ia dianggap kurang
responsif terhadap dinamika global yang memungkinkan mobilitas tinggi dan
keterlibatan warga dalam dua yurisdiksi sekaligus.
3.4.
Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Asas ini
memungkinkan individu memiliki dua atau lebih kewarganegaraan dalam kondisi
tertentu yang ditentukan oleh hukum nasional masing-masing negara. Penerapan
asas ini merupakan respons terhadap kenyataan bahwa banyak warga dunia memiliki
keterikatan ganda akibat pernikahan campuran, migrasi jangka panjang, atau
sebab-sebab lain yang sah secara hukum.¹⁰
Meskipun memberi
keleluasaan identitas dan hak sipil yang lebih luas, kewarganegaraan ganda juga
memunculkan persoalan yuridis seperti hak pilih ganda, kewajiban militer di dua
negara, serta masalah yurisdiksi dalam kasus pelanggaran hukum lintas negara.¹¹
Oleh karena itu, banyak negara membatasi kewarganegaraan ganda hanya untuk
kasus-kasus tertentu dan dalam waktu tertentu.
Footnotes
[1]
Peter J. Spiro, At Home in Two Countries: The Past and Future of
Dual Citizenship (New York: NYU Press, 2016), 9–10.
[2]
Guy S. Goodwin-Gill and Jane McAdam, The Refugee in International
Law, 3rd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2007), 58–59.
[3]
Paul Weis, Nationality and Statelessness in International Law,
2nd ed. (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1979), 25.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 161–162.
[5]
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Guidelines
on Statelessness No. 4 (Geneva: UNHCR, 2012), 3–5.
[6]
Peter H. Schuck and Rogers M. Smith, Citizenship without Consent:
Illegal Aliens in the American Polity (New Haven: Yale University Press,
1985), 36–38.
[7]
Hiroshi Motomura, Americans in Waiting: The Lost Story of
Immigration and Citizenship in the United States (New York: Oxford University
Press, 2006), 122.
[8]
T. Alexander Aleinikoff and Douglas Klusmeyer, eds., Citizenship
Today: Global Perspectives and Practices (Washington, D.C.: Carnegie
Endowment for International Peace, 2001), 109.
[9]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 6 dan 41.
[10]
Rainer Bauböck et al., Acquisition of Citizenship: Trends, Problems
and Opportunities (Florence: European University Institute, 2013), 14–16.
[11]
Linda Bosniak, The Citizen and the Alien: Dilemmas of Contemporary
Membership (Princeton: Princeton University Press, 2006), 77–79.
4.
Implementasi Asas Kewarganegaraan di Indonesia
Sistem
kewarganegaraan Indonesia mengalami perkembangan historis dan yuridis yang
signifikan, seiring dengan dinamika politik dan kebutuhan konstitusional
bangsa. Dalam konteks hukum positif, Indonesia mengatur kewarganegaraan secara
komprehensif melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang menggantikan ketentuan
sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Perubahan tersebut
dilakukan untuk menyesuaikan sistem kewarganegaraan nasional dengan
prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan tantangan globalisasi.¹
Secara prinsip,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menganut asas ius
sanguinis (keturunan) sebagai dasar
utama penentuan kewarganegaraan. Artinya, seseorang yang lahir dari ayah atau
ibu warga negara Indonesia (WNI), baik di dalam maupun di luar wilayah negara
Republik Indonesia, secara otomatis memperoleh status sebagai warga negara
Indonesia.² Hal ini menegaskan pentingnya ikatan darah sebagai fondasi hubungan
hukum antara individu dan negara. Selain itu, UU tersebut juga secara terbatas
mengakui asas ius soli
dalam situasi tertentu, terutama untuk menghindari status tanpa kewarganegaraan
(statelessness),
misalnya terhadap anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang tidak
jelas kewarganegaraannya atau tidak memiliki kewarganegaraan.³
Penerapan asas
kewarganegaraan di Indonesia juga mempertimbangkan realitas sosial, seperti
fenomena perkawinan campuran dan anak
hasil hubungan antarwarga negara berbeda. Dalam hal ini,
Undang-Undang memberikan kesempatan kepada anak hasil perkawinan campuran untuk
memiliki kewarganegaraan ganda terbatas
hingga usia 18 tahun atau menikah sebelum usia tersebut, dengan ketentuan bahwa
setelahnya anak wajib memilih satu kewarganegaraan.⁴ Ketentuan ini merupakan
kompromi yang mencerminkan keterbukaan Indonesia terhadap realitas global,
sekaligus menjaga prinsip kewarganegaraan tunggal sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi.⁵
Di samping itu,
Indonesia juga mengenal mekanisme naturalisasi, yaitu pemberian
kewarganegaraan kepada warga negara asing melalui proses permohonan resmi dan
pemenuhan persyaratan hukum tertentu, seperti telah tinggal di Indonesia selama
lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut, mampu
berbahasa Indonesia, mengakui Pancasila dan UUD 1945, serta tidak pernah
dijatuhi pidana berat.⁶ Pemberian kewarganegaraan secara naturalisasi
mencerminkan bentuk penghargaan terhadap proses integrasi dan loyalitas warga
negara asing terhadap negara Indonesia.
Namun, pelaksanaan
asas kewarganegaraan di Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan, seperti
minimnya literasi hukum warga negara terkait status kewarganegaraan,
inkonsistensi dalam administrasi kependudukan, serta kompleksitas pengakuan
terhadap diaspora Indonesia yang lahir dan tumbuh di luar negeri.⁷ Salah satu
isu penting yang terus menjadi perdebatan publik adalah desakan untuk mengakomodasi
kewarganegaraan ganda permanen, terutama bagi diaspora
Indonesia yang memiliki potensi ekonomi dan sosial besar namun terkendala oleh
pembatasan hukum nasional.⁸
Dalam konteks
globalisasi yang mempercepat pergerakan lintas negara, implementasi asas
kewarganegaraan di Indonesia harus terus dievaluasi agar selaras dengan prinsip
keadilan, efektivitas administrasi, serta perlindungan hak-hak sipil. Reformasi
kebijakan kewarganegaraan yang adaptif dan kontekstual sangat diperlukan agar
Indonesia mampu menghadapi tantangan masa depan tanpa kehilangan jati diri
konstitusionalnya.
Footnotes
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 188–190.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, Pasal 4 huruf a.
[3]
Ibid., Pasal 5 dan Pasal 6.
[4]
Ibid., Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 41.
[5]
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 104.
[6]
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Pasal 9 dan Pasal 10.
[7]
Ahmad Atang, “Problem Yuridis dalam Status Kewarganegaraan Indonesia,” Jurnal
Hukum dan Peradilan 7, no. 1 (2018): 13–15.
[8]
Novi
Basuki, “Kewarganegaraan Ganda dan Tantangannya di Indonesia,” The
Conversation, 16 Mei 2020, https://theconversation.com/kewarganegaraan-ganda-dan-tantangannya-di-indonesia-138365.
5.
Tantangan Kontemporer dalam Penentuan
Kewarganegaraan
Di era globalisasi
yang ditandai oleh peningkatan mobilitas manusia, integrasi ekonomi lintas
negara, dan perkembangan teknologi informasi, penentuan kewarganegaraan tidak
lagi menjadi persoalan domestik semata. Isu kewarganegaraan kini memasuki ranah
transnasional dengan kompleksitas yang jauh lebih tinggi dibanding masa
sebelumnya. Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dihadapkan pada
berbagai tantangan kontemporer yang menguji fleksibilitas dan relevansi
asas-asas kewarganegaraan yang selama ini dianut.
5.1.
Fenomena Tanpa Kewarganegaraan (Statelessness)
Salah satu tantangan
paling serius dalam penentuan kewarganegaraan adalah keberadaan individu atau
kelompok yang tidak memiliki kewarganegaraan, atau dikenal sebagai stateless
persons. Menurut data UNHCR, terdapat lebih dari 4,3 juta orang
tanpa kewarganegaraan di dunia, yang hidup dalam ketidakpastian hukum, tanpa
akses terhadap hak-hak dasar seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan
formal, dan perlindungan hukum.¹
Statelessness
dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain konflik antarhukum
kewarganegaraan (konflik antara asas ius soli dan ius
sanguinis), diskriminasi etnis atau gender, atau kegagalan negara
dalam mencatat kelahiran.² Di Indonesia, meskipun Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 telah memberikan ruang perlindungan terhadap anak-anak yang berpotensi stateless,
implementasi di lapangan masih menghadapi kendala administratif dan sosialisasi
hukum yang lemah.³
5.2.
Kewarganegaraan Ganda dan Kesetiaan Ganda
Tantangan berikutnya
adalah meningkatnya permintaan terhadap pengakuan kewarganegaraan
ganda sebagai konsekuensi dari globalisasi, pernikahan
campuran, dan diaspora. Banyak negara telah melonggarkan kebijakan mereka untuk
memungkinkan kewarganegaraan ganda secara permanen, dengan alasan mobilitas
ekonomi, keterikatan identitas, dan kepentingan nasional.⁴ Namun demikian, isu kesetiaan
ganda (dual allegiance) menjadi kekhawatiran utama yang sering
dikemukakan oleh negara-negara yang masih menganut asas kewarganegaraan
tunggal, termasuk Indonesia.⁵
Pemerintah Indonesia
sampai saat ini hanya mengakui kewarganegaraan ganda secara terbatas, terutama
untuk anak-anak hasil perkawinan campuran, dengan syarat harus memilih salah
satu kewarganegaraan setelah mencapai usia 18 tahun.⁶ Kebijakan ini masih menyisakan
debat publik, khususnya di kalangan diaspora yang merasa kehilangan hak
partisipasi penuh dalam kehidupan bernegara akibat keterbatasan regulasi
tersebut.⁷
5.3.
Perubahan Identitas dan Integrasi Transnasional
Globalisasi juga
menimbulkan transformasi dalam konsep identitas warga negara. Identitas
kebangsaan tidak lagi bersifat tunggal dan eksklusif, melainkan mulai
terfragmentasi oleh afiliasi regional (seperti kewarganegaraan Uni Eropa),
budaya digital, dan komunitas global.⁸ Fenomena ini memperlemah batas-batas
teritorial dari kewarganegaraan konvensional, sekaligus memunculkan pertanyaan
tentang legitimasi negara dalam menuntut kesetiaan penuh dari warga negaranya.
Integrasi regional,
seperti dalam konteks ASEAN, juga mendorong perdebatan tentang kemungkinan
pembentukan konsep kewarganegaraan regional yang memungkinkan mobilitas tenaga
kerja tanpa harus melepaskan status kewarganegaraan nasional.⁹ Namun, belum
adanya kerangka hukum yang jelas membuat gagasan ini masih berada pada tingkat
diskursus normatif, bukan implementatif.
5.4.
Kewarganegaraan sebagai Instrumen Politik dan
Keamanan
Di berbagai negara,
kewarganegaraan digunakan sebagai instrumen politik untuk memperkuat identitas
nasional atau menyingkirkan kelompok tertentu dari keanggotaan negara. Pemberlakuan
kebijakan pencabutan kewarganegaraan terhadap warga yang terlibat dalam
aktivitas ekstremisme atau dianggap mengancam stabilitas nasional merupakan
contoh dari politisasi kewarganegaraan.¹⁰
Kasus semacam ini
memunculkan dilema antara perlindungan hak asasi dan kepentingan keamanan
nasional. Di satu sisi, negara berhak melindungi kedaulatannya; di sisi lain,
pencabutan kewarganegaraan dapat menimbulkan pelanggaran hak sipil yang serius
dan bertentangan dengan prinsip non-penalitas ganda (non bis
in idem) dalam hukum pidana internasional.¹¹
Footnotes
[1]
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Global
Trends: Forced Displacement in 2022 (Geneva: UNHCR, 2023), 38.
[2]
Laura van Waas, Nationality Matters: Statelessness under International
Law (Cambridge: Intersentia, 2008), 65–70.
[3]
Ahmad Atang, “Problem Yuridis dalam Status Kewarganegaraan Indonesia,” Jurnal
Hukum dan Peradilan 7, no. 1 (2018): 14–15.
[4]
Peter J. Spiro, At Home in Two Countries: The Past and Future of
Dual Citizenship (New York: NYU Press, 2016), 43–45.
[5]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kewarganegaraan (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), 198–199.
[6]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 6 dan 41.
[7]
Novi Basuki, “Kewarganegaraan Ganda dan Tantangannya di Indonesia,” The
Conversation, 16 Mei 2020, https://theconversation.com/kewarganegaraan-ganda-dan-tantangannya-di-indonesia-138365.
[8]
Yasemin Nuhoglu Soysal, Limits of Citizenship: Migrants and
Postnational Membership in Europe (Chicago: University of Chicago Press,
1994), 3–5.
[9]
Hiro Katsumata, “ASEAN’s Cooperative Security Enterprise: Norms and
Interests in the ASEAN Regional Forum,” Asian Survey 44, no. 5 (2004):
720–721.
[10]
Audrey Macklin, “Citizenship Revocation, the Privilege to Have Rights
and the Production of the Alien,” Queen’s Law Journal 40, no. 1
(2014): 4–6.
[11]
Alice Edwards, Nationality, Statelessness and Human Rights: A
Handbook for Parliamentarians (Geneva: Inter-Parliamentary Union &
UNHCR, 2018), 35–37.
6.
Kesimpulan dan Rekomendasi
6.1.
Kesimpulan
Kewarganegaraan
merupakan instrumen hukum fundamental yang mengatur hubungan timbal balik
antara individu dan negara, sekaligus menjadi prasyarat utama bagi pelaksanaan
hak-hak sipil, politik, dan sosial dalam suatu sistem negara modern. Dalam
praktiknya, negara-negara di dunia menggunakan asas-asas tertentu untuk
menentukan status kewarganegaraan seseorang, yang umumnya didasarkan pada
prinsip ius
sanguinis (keturunan) atau ius soli (tempat kelahiran).¹
Indonesia secara
dominan menganut asas ius sanguinis sebagaimana tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, namun juga memberikan pengakuan terbatas
terhadap asas ius soli dalam upaya mencegah
munculnya kasus tanpa kewarganegaraan (statelessness).² Selain itu,
Indonesia menerapkan asas kewarganegaraan tunggal dengan pengecualian temporer
terhadap anak hasil perkawinan campuran, yang diperbolehkan memiliki
kewarganegaraan ganda hingga batas usia tertentu.³
Namun, dalam konteks
globalisasi, dinamika kewarganegaraan menjadi semakin kompleks. Tantangan
kontemporer seperti mobilitas lintas negara, keberadaan individu tanpa
kewarganegaraan, desakan pengakuan kewarganegaraan ganda permanen, dan
penggunaan kewarganegaraan sebagai instrumen politik telah menuntut adanya
adaptasi hukum yang lebih progresif dan responsif.⁴ Tanpa pembaruan hukum yang
kontekstual, sistem kewarganegaraan Indonesia berisiko mengalami ketertinggalan
dalam merespons realitas sosial-politik global yang terus berubah.⁵
6.2.
Rekomendasi
1)
Revisi Terbatas
terhadap Undang-Undang Kewarganegaraan
Legislator dan pemerintah perlu mempertimbangkan
revisi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, khususnya dalam hal
pengaturan kewarganegaraan ganda permanen bagi kelompok tertentu, seperti
diaspora Indonesia yang berkontribusi positif dalam pembangunan nasional.⁶
Praktik ini telah berhasil diterapkan di beberapa negara tanpa mengancam integritas
nasional, seperti India dan Filipina, yang menerapkan sistem kewarganegaraan
ganda terbatas untuk menjaga keterikatan diaspora dengan tanah air.⁷
2)
Penguatan Mekanisme
Pencegahan Statelessness
Pemerintah perlu meningkatkan sistem administrasi
kependudukan dan pencatatan sipil, terutama di daerah perbatasan dan kawasan
terpencil, untuk mencegah munculnya generasi tanpa kewarganegaraan. Sosialisasi
hukum tentang hak dan prosedur pewarganegaraan harus diperluas agar menjangkau
kelompok rentan, termasuk anak-anak hasil perkawinan tidak sah atau tidak
tercatat.⁸
3)
Pengembangan Basis Data
Kewarganegaraan Terpadu
Diperlukan penguatan koordinasi antara
lembaga-lembaga negara seperti Ditjen Dukcapil, Imigrasi, dan Kemenkumham untuk
membentuk basis data kewarganegaraan yang terpadu, akurat, dan mudah diakses
oleh otoritas hukum. Hal ini akan meminimalkan tumpang tindih data serta
mempercepat proses klarifikasi status kewarganegaraan dalam kasus-kasus yang
kompleks.⁹
4)
Perlindungan Hukum
terhadap WNI di Luar Negeri
Negara harus proaktif dalam memberikan
perlindungan hukum dan pelayanan konsuler bagi warga negara Indonesia yang
berada di luar negeri, terutama bagi mereka yang menghadapi masalah status
kewarganegaraan akibat peraturan imigrasi di negara tujuan.¹⁰ Penguatan peran
perwakilan diplomatik harus disertai dengan pembinaan hukum yang memadai
terhadap komunitas diaspora.
5)
Peningkatan Literasi
Kewarganegaraan
Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mendorong
literasi kewarganegaraan di kalangan generasi muda melalui kurikulum pendidikan
dan program penyuluhan hukum. Pemahaman yang baik tentang hak, kewajiban, dan
prosedur pewarganegaraan akan memperkuat kesadaran hukum dan identitas nasional
warga negara Indonesia.¹¹
Dengan pendekatan
yang inklusif, berbasis hak asasi manusia, dan adaptif terhadap globalisasi,
Indonesia dapat membangun sistem kewarganegaraan yang tidak hanya
konstitusional tetapi juga responsif terhadap perkembangan zaman.
Footnotes
[1]
Peter J. Spiro, Beyond Citizenship: American Identity after
Globalization (New York: Oxford University Press, 2008), 42.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 4 dan Pasal 5.
[3]
Ibid., Pasal 6 dan Pasal 41.
[4]
Laura van Waas, Nationality Matters: Statelessness under International
Law (Cambridge: Intersentia, 2008), 87.
[5]
T. Alexander Aleinikoff, Semblances of Sovereignty: The
Constitution, the State, and American Citizenship (Cambridge: Harvard
University Press, 2002), 115.
[6]
Ahmad Atang, “Problem Yuridis dalam Status Kewarganegaraan Indonesia,” Jurnal
Hukum dan Peradilan 7, no. 1 (2018): 17.
[7]
Ruben Carranza, “Overseas Filipinos and Dual Citizenship,” Asia-Pacific
Migration Journal 13, no. 1 (2004): 123–126.
[8]
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Handbook on
Protection of Stateless Persons (Geneva: UNHCR, 2014), 12.
[9]
Sinta Dewi Rosadi, “Transformasi Data Kependudukan dan Kepastian Status
Warga Negara,” Jurnal Hukum IUS 5, no. 2 (2017): 200–202.
[10]
Directorate of Protection for Indonesian Citizens and Legal Entities, Laporan
Tahunan 2022 (Jakarta: Kementerian Luar Negeri RI, 2023), 45–47.
[11]
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 101.
Daftar Pustaka
Aleinikoff, T. A. (2002). Semblances
of sovereignty: The Constitution, the state, and American citizenship.
Harvard University Press.
Aleinikoff, T. A., &
Klusmeyer, D. (Eds.). (2001). Citizenship today: Global perspectives and
practices. Carnegie Endowment for International Peace.
Arinanto, S. (2002). Hak
asasi manusia dalam transisi politik di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan.
Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi
dan kewarganegaraan. Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. (2019). Pengantar
ilmu hukum tata negara. Rajawali Pers.
Atang, A. (2018). Problem
yuridis dalam status kewarganegaraan Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan,
7(1), 13–17.
Bauböck, R., Ersbøll, E.,
Groenendijk, K., & Waldrauch, H. (2013). Acquisition of citizenship:
Trends, problems and opportunities. European University Institute.
Basuki, N. (2020, May 16).
Kewarganegaraan ganda dan tantangannya di Indonesia. The Conversation.
https://theconversation.com/kewarganegaraan-ganda-dan-tantangannya-di-indonesia-138365
Carranza, R. (2004).
Overseas Filipinos and dual citizenship. Asia-Pacific Migration Journal,
13(1), 123–126.
Directorate of Protection
for Indonesian Citizens and Legal Entities. (2023). Laporan tahunan 2022.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Edwards, A. (2018). Nationality,
statelessness and human rights: A handbook for parliamentarians.
Inter-Parliamentary Union & UNHCR.
Goodwin-Gill, G. S. (1978).
International law and the movement of persons between states.
Clarendon Press.
Goodwin-Gill, G. S., &
McAdam, J. (2007). The refugee in international law (3rd ed.). Oxford
University Press.
Katsumata, H. (2004).
ASEAN’s cooperative security enterprise: Norms and interests in the ASEAN
Regional Forum. Asian Survey, 44(5), 720–736.
Macklin, A. (2014).
Citizenship revocation, the privilege to have rights and the production of the
alien. Queen’s Law Journal, 40(1), 1–53.
Motomura, H. (2006). Americans
in waiting: The lost story of immigration and citizenship in the United States.
Oxford University Press.
Rosadi, S. D. (2017).
Transformasi data kependudukan dan kepastian status warga negara. Jurnal
Hukum IUS, 5(2), 200–202.
Schuck, P. H., & Smith,
R. M. (1985). Citizenship without consent: Illegal aliens in the American
polity. Yale University Press.
Soysal, Y. N. (1994). Limits
of citizenship: Migrants and postnational membership in Europe. University
of Chicago Press.
Spiro, P. J. (2008). Beyond
citizenship: American identity after globalization. Oxford University
Press.
Spiro, P. J. (2016). At
home in two countries: The past and future of dual citizenship. NYU Press.
UNHCR. (2012). Guidelines
on Statelessness No. 4: Ensuring every child’s right to acquire a nationality.
United Nations High Commissioner for Refugees.
UNHCR. (2014). Handbook
on protection of stateless persons. United Nations High Commissioner for
Refugees.
UNHCR. (2023). Global
trends: Forced displacement in 2022. United Nations High Commissioner for
Refugees. https://www.unhcr.org/statistics
van Waas, L. (2008). Nationality
matters: Statelessness under international law. Intersentia.
Weis, P. (1979). Nationality
and statelessness in international law (2nd ed.). Martinus Nijhoff.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Kasus: Kemungkinan Seorang Anak Lahir Tanpa
Kewarganegaraan (Stateless Child)
Nama Kasus (fiktif):
Bayi A, lahir di Indonesia dari orang tua asing
tanpa kewarganegaraan yang sah.
A.
Latar Belakang:
Bayi A lahir di Kota Batam,
Indonesia, dari pasangan suami istri asal Myanmar etnis Rohingya yang tidak
memiliki status kewarganegaraan resmi akibat konflik politik dan diskriminasi
etnis di negara asalnya. Orang tua Bayi A masuk ke wilayah Indonesia sebagai
pengungsi tidak terdokumentasi dan tidak memiliki paspor, akta kelahiran, atau
dokumen kewarganegaraan apa pun.
B.
Analisis Yuridis:
1)
Asas Kewarganegaraan
Orang Tua:
Karena kedua orang tua tidak memiliki
kewarganegaraan sah (stateless), maka Bayi A tidak dapat memperoleh
kewarganegaraan berdasarkan ius sanguinis, karena prinsip ini
mensyaratkan adanya kewarganegaraan yang dapat diwariskan dari orang tua.¹
2)
Asas Ius
Soli di Indonesia:
Indonesia pada dasarnya menganut asas ius
sanguinis, namun Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 membuka
peluang penerapan asas ius soli terbatas:
“Anak yang lahir di wilayah negara Republik
Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan
ibunya dan tidak memperoleh kewarganegaraan dari ayah dan ibunya, menjadi Warga
Negara Indonesia.”²
Dalam kasus ini, jika Bayi A benar-benar tidak
dapat memperoleh kewarganegaraan dari negara mana pun (termasuk Myanmar), maka
ia berhak memperoleh status Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan
tersebut, sebagai upaya mencegah status tanpa kewarganegaraan.
3)
Permasalahan
Implementasi:
Dalam praktiknya, banyak anak dalam situasi
serupa mengalami kesulitan administratif untuk memperoleh akta kelahiran atau
status WNI karena:
Kurangnya dokumentasi dari orang tua,
Ketidaktahuan aparatur sipil negara terhadap asas
perlindungan terhadap statelessness,
Minimnya akses terhadap bantuan hukum.
4)
Konteks Internasional:
Situasi ini juga menyalahi ketentuan Pasal
7 Konvensi Hak Anak (CRC) 1989 yang menyatakan bahwa setiap
anak berhak atas kewarganegaraan sejak lahir.³ Indonesia, sebagai negara pihak
dalam CRC, memiliki kewajiban internasional untuk menjamin hak tersebut
terlaksana secara efektif.
Kesimpulan Kasus:
Bayi A secara prinsip hukum
dapat menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan ius soli
terbatas dalam UU No. 12 Tahun 2006. Namun, kelemahan implementasi hukum
dan hambatan administratif kerap menjadikan anak-anak dalam situasi seperti ini
rentan mengalami status stateless. Ini menunjukkan perlunya penguatan
sistem pencatatan sipil, pelatihan aparatur negara, dan layanan bantuan hukum
untuk menghindari pelanggaran terhadap hak kewarganegaraan anak.
Footnotes
[1]
Paul Weis, Nationality and Statelessness in International Law,
2nd ed. (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1979), 48.
[2]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 5 huruf b.
[3]
United Nations, Convention on the Rights of the Child, adopted
20 November 1989, entered into force 2 September 1990, Article 7.