Takdir dan Ketergantungan Emosional
Tinjauan Filosofis dan
Psikologis tentang Krisis Penerimaan Diri
Alihkan ke: Stoikisme, Sikap
Sederhana dan Santun.
Abstrak
Artikel ini membahas secara kritis fenomena
penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional sebagai bentuk krisis
penerimaan diri yang kian nyata dalam kehidupan modern. Dari sudut pandang
psikologis, individu yang mengalami penolakan terhadap kenyataan hidup
cenderung menunjukkan gejala maladaptif seperti keluhan berlebihan, menyalahkan
lingkungan sosial, dan ketergantungan tinggi terhadap validasi serta dukungan
eksternal. Ketergantungan semacam ini mengikis otonomi emosional dan
memperburuk ketidakstabilan afektif. Sementara itu, secara filosofis, penolakan
takdir mencerminkan kegagalan dalam merangkul eksistensi secara utuh dan
menolak absurditas realitas, sebagaimana dijelaskan dalam eksistensialisme
Kierkegaard dan Tillich. Artikel ini menyajikan tinjauan komprehensif terhadap
konsep penerimaan diri dalam psikologi positif, membedah dampaknya terhadap
relasi sosial, serta menawarkan strategi penyembuhan berbasis terapi kognitif
dan pendekatan spiritual. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini
menegaskan pentingnya integrasi antara rasionalitas, spiritualitas, dan
kesadaran emosional sebagai fondasi utama bagi proses penerimaan diri yang
sehat dan berdaya.
Kata Kunci: penerimaan
diri, penolakan takdir, ketergantungan emosional, eksistensialisme, psikologi
positif, kesehatan mental.
PEMBAHASAN
Antara Penolakan Takdir dan
Ketergantungan Emosional
1.
Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia, menerima kenyataan atau takdir seringkali
menjadi tantangan eksistensial yang berat. Tidak sedikit individu yang, ketika
berhadapan dengan kesulitan atau kegagalan dalam hidup, justru terjebak dalam
siklus keluhan, penyalahan terhadap lingkungan, dan tuntutan terhadap orang
lain untuk menjamin dirinya selalu berada dalam kondisi baik. Perilaku semacam
ini seringkali mengarah pada ketergantungan emosional, kehilangan otonomi
psikologis, dan krisis dalam penerimaan diri. Fenomena ini menjadi semakin
nyata dalam budaya kontemporer yang sering menekankan validasi eksternal dan
kesejahteraan instan.
Dari sudut pandang psikologi,
ketidakmampuan menerima keadaan hidup atau diri sendiri sering berkaitan dengan
rendahnya self-acceptance dan kecenderungan external locus of control,
yaitu kecenderungan individu untuk meyakini bahwa kebahagiaan dan
penderitaannya ditentukan oleh faktor eksternal, bukan oleh kontrol pribadi
(Rotter, 1966). Individu dengan pola ini cenderung mudah menyalahkan orang
lain, mengeluh secara berlebihan, dan menuntut kompensasi dari luar, seperti
perhatian berlebih, jaminan materi, atau perlakuan istimewa. Albert Ellis
(1962), dalam teorinya tentang rational emotive behavior therapy (REBT),
menyebut pola ini sebagai bentuk irrational beliefs, yaitu keyakinan
tidak rasional yang membuat seseorang merasa bahwa dunia harus memperlakukan
dirinya sesuai harapan pribadi.
Dalam sudut pandang filsafat, terutama
dalam aliran stoisisme, sikap mengeluh dan menuntut dunia untuk berlaku adil
terhadap keinginan pribadi dianggap sebagai sumber utama penderitaan. Marcus
Aurelius, dalam Meditations, menyatakan bahwa manusia seharusnya
membedakan antara apa yang berada dalam kendali dan di luar kendali dirinya;
penderitaan terjadi ketika seseorang menaruh harapan pada hal-hal yang tak bisa
ia kendalikan. Stoisisme menekankan ataraxia, atau ketenangan batin yang
dicapai melalui penerimaan terhadap nasib yang telah digariskan oleh logos
semesta (Epictetus, Enchiridion).
Islam sendiri memandang penerimaan
takdir (qadha dan qadar) sebagai bagian integral dari keimanan. Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah Saw menyatakan bahwa tidak
sempurna iman seseorang sampai ia percaya kepada takdir, baik yang baik maupun
yang buruk. Namun, keimanan terhadap takdir tidak berarti pasrah secara
fatalistik. Islam menekankan keseimbangan antara ikhtiar (usaha manusiawi) dan
tawakal (berserah diri), serta melarang sikap menyalahkan orang lain secara
berlebihan dalam menghadapi kesulitan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Najm
[53] ayat 39 bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali dari apa yang
diusahakannya.
Permasalahan ini penting untuk dikaji karena ia menyentuh ranah yang
sangat mendasar dalam struktur psikologis dan spiritual manusia. Di satu sisi,
manusia ingin dimengerti, dipedulikan, dan dipenuhi kebutuhannya. Namun di sisi
lain, ketika ketergantungan terhadap pengakuan dan pemenuhan dari luar menjadi
berlebihan, maka muncul ketidakseimbangan dalam diri. Maka dari itu, artikel
ini bertujuan untuk mengulas secara kritis persoalan penolakan terhadap takdir
dan ketergantungan emosional melalui pendekatan filosofis dan psikologis, demi
memahami akar masalah serta solusi yang dapat ditempuh demi membangun
penerimaan diri yang sehat dan tangguh.
2.
Konsep Dasar Penerimaan Diri dan Takdir
2.1. Penerimaan
Diri dalam Psikologi
Penerimaan diri (self-acceptance) adalah elemen mendasar dalam
kesehatan psikologis individu. Konsep ini mengacu pada kemampuan seseorang
untuk mengakui, menerima, dan menghargai dirinya sendiri secara utuh, termasuk
kelemahan, keterbatasan, dan kegagalan yang dimiliki. Carol D. Ryff (1989),
dalam model psychological well-being, menyebut self-acceptance
sebagai salah satu dari enam aspek penting kesejahteraan psikologis, bersama
dengan otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan
hubungan positif dengan orang lain. Individu dengan penerimaan diri yang baik
cenderung tidak terlalu bergantung pada pengakuan dari luar dan mampu berdamai
dengan kenyataan hidup, termasuk hal-hal yang tidak sesuai harapan.
Carl Rogers, tokoh humanistik dalam psikologi, juga menekankan
pentingnya unconditional positive regard—penghargaan terhadap diri
sendiri tanpa syarat—untuk membentuk kepribadian yang sehat. Rogers menyatakan
bahwa masalah psikologis sering kali muncul ketika seseorang merasa dirinya
hanya layak dihargai jika memenuhi ekspektasi tertentu, baik dari diri sendiri
maupun orang lain (Rogers, 1961). Kondisi ini membuat individu kesulitan
menerima kenyataan ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana, lalu menyalahkan
orang lain dan merasa bahwa dunia harus memuaskan kebutuhannya.
Ketika penerimaan diri tidak terbentuk secara sehat, muncul
kecenderungan external locus of control—sebuah kondisi di mana seseorang
merasa kehidupannya dikendalikan oleh kekuatan luar seperti takdir,
keberuntungan, atau perlakuan orang lain (Rotter, 1966). Orang yang memiliki
pola pikir ini cenderung menghindari tanggung jawab personal, merasa tidak berdaya,
dan memiliki harapan tidak realistis agar orang lain terus-menerus
memperhatikan dan memenuhi kebutuhannya.
2.2. Takdir
dalam Perspektif Filsafat dan Teologi
Dalam konteks filsafat, persoalan takdir telah menjadi topik utama
dalam diskursus tentang kebebasan, determinisme, dan tanggung jawab moral. Kaum
Stoik, seperti Epictetus dan Marcus Aurelius, mengajarkan bahwa takdir adalah
bagian dari tatanan alam yang rasional (logos), dan manusia akan menemukan
ketenangan batin ketika ia menerima apa yang tidak bisa diubah. Bagi para
Stoik, penderitaan muncul bukan karena peristiwa itu sendiri, tetapi karena
cara kita memandang peristiwa tersebut. Dalam Enchiridion, Epictetus
menulis, "Jangan berharap bahwa segala sesuatu terjadi seperti yang
kamu inginkan, tetapi harapkanlah bahwa semuanya terjadi sebagaimana
mestinya—dan kamu akan menjalani hidup dengan damai."
Sementara itu, dalam filsafat eksistensialisme, seperti dipaparkan oleh
Jean-Paul Sartre, penolakan terhadap takdir tidak diartikan sebagai
pembangkangan terhadap realitas, tetapi sebagai penegasan kebebasan manusia.
Sartre menolak determinisme mutlak dan menekankan bahwa manusia adalah makhluk
yang “dikutuk untuk bebas”, artinya ia bertanggung jawab penuh atas
pilihan dan sikapnya, bahkan ketika ia dilahirkan dalam situasi yang tidak ia
pilih. Maka, mengeluh dan menyalahkan dunia hanyalah bentuk pelarian dari
tanggung jawab eksistensial.
Dalam teologi Islam, takdir (qadha dan qadar) dipahami sebagai bagian
dari rukun iman, yaitu kepercayaan terhadap ketentuan Allah atas segala hal
yang terjadi, baik yang disenangi maupun tidak. Namun, Islam menolak pandangan
fatalistik. QS. Ar-Ra’d [13] ayat 11 menegaskan bahwa "Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri." Ayat ini menunjukkan bahwa
meskipun takdir merupakan ketetapan Ilahi, manusia tetap memiliki peran aktif
melalui ikhtiar dan tanggung jawab pribadi.
Penerimaan terhadap takdir dalam Islam juga erat kaitannya dengan sikap
ridha, yaitu merasa lapang dada terhadap segala ketentuan Allah, dan sabr,
yakni keteguhan hati dalam menghadapi ujian. Sikap ini tidak berarti pasrah
secara pasif, tetapi mencerminkan kedewasaan spiritual untuk menyikapi realitas
dengan tenang, tanpa keluhan berlebihan atau tuntutan yang menyusahkan orang
lain. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh menakjubkan
perkara seorang mukmin, sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan... Jika
ditimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu baik baginya." (HR. Muslim)
Dengan demikian, konsep penerimaan diri dan takdir menuntut
keseimbangan antara kesadaran akan realitas yang tidak dapat diubah dan
tanggung jawab personal dalam meresponsnya. Ketidakseimbangan dalam dua aspek
ini bisa berujung pada sikap menyalahkan, menuntut, dan menggantungkan harga
diri pada reaksi orang lain, yang pada akhirnya merusak kesehatan mental maupun
spiritual seseorang.
3.
Manifestasi Penolakan Takdir dalam Kehidupan
Sehari-hari
Penolakan terhadap takdir bukan hanya sebuah sikap internal yang
tertanam dalam pikiran atau keyakinan seseorang, melainkan juga tercermin nyata
dalam perilaku dan relasi sosial sehari-hari. Individu yang mengalami krisis
penerimaan diri dan tidak mampu berdamai dengan kenyataan hidup biasanya
menunjukkan pola perilaku yang khas: suka mengeluh, menyalahkan pihak luar atas
penderitaannya, dan memiliki ekspektasi tidak realistis terhadap lingkungan
sosialnya untuk memenuhi kebutuhan emosional dan material secara terus-menerus.
3.1. Suka
Mengeluh dan Merasa Dunia Tidak Adil
Mengeluh merupakan salah satu bentuk ekspresi frustrasi yang muncul
ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Dalam psikologi kognitif, keluhan
berlebihan dapat menjadi manifestasi dari cognitive distortion, seperti catastrophizing
(melebih-lebihkan dampak negatif suatu peristiwa) atau personalization
(merasa bahwa segala sesuatu yang buruk terjadi karena dirinya diperlakukan
tidak adil oleh dunia) sebagaimana dijelaskan oleh Aaron T. Beck dalam teori Cognitive
Therapy of Depression. Orang yang terjebak dalam pola ini biasanya tidak
melihat peluang solusi, melainkan larut dalam rasa kecewa, iri terhadap orang
lain, dan merasa diri sebagai korban terus-menerus (victim mentality).
Secara sosiologis, budaya mengeluh juga diperkuat oleh lingkungan yang
permisif dan media sosial yang memberi ruang untuk eksploitasi kesedihan
pribadi sebagai konten atau alat mendapatkan simpati. Erving Goffman, dalam The
Presentation of Self in Everyday Life, menyebut bahwa manusia cenderung
mengatur "penampilan diri" di depan umum untuk mendapatkan
pengakuan, bahkan dengan menampilkan narasi penderitaan sebagai strategi
eksistensial.
3.2. Menyalahkan
Orang Lain dan Enggan Bertanggung Jawab
Penolakan terhadap kenyataan sering diiringi dengan mekanisme
pertahanan diri berupa projection—yaitu kecenderungan menyalahkan orang
lain atas kesalahan atau kegagalan diri sendiri. Sigmund Freud menyebut ini
sebagai salah satu bentuk ego defense mechanism yang digunakan untuk
menghindari rasa bersalah atau rendah diri. Misalnya, seseorang yang gagal
secara finansial mungkin tidak mau mengakui kurangnya usaha atau perencanaan,
tetapi justru menyalahkan keluarganya, sistem sosial, atau “nasib buruk”
yang dirasa tidak adil.
Dalam filsafat eksistensialisme, tindakan menyalahkan orang lain
merupakan bentuk pelarian dari tanggung jawab eksistensial. Jean-Paul Sartre
menegaskan bahwa setiap manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab
atas pilihannya sendiri. Ketika seseorang melepaskan tanggung jawab dengan
menyalahkan dunia atau orang lain, ia sesungguhnya sedang menyangkal kebebasan
dan martabatnya sebagai subjek moral (mauvais foi—niat buruk).
3.3. Tuntutan
untuk Selalu Diperhatikan dan Diberi Hak Istimewa
Salah satu manifestasi paling nyata dari krisis penerimaan diri adalah
tuntutan berlebihan terhadap perhatian, pemakluman, dan bantuan dari orang
lain. Individu yang belum menerima takdirnya dengan ikhlas cenderung merasa
bahwa dunia “berutang” kepadanya karena penderitaannya. Akibatnya, ia
menuntut agar orang lain selalu memahami perasaannya, memberinya hak istimewa,
bahkan memenuhi kebutuhannya secara material tanpa memperhitungkan kemampuan
atau kepentingan orang lain.
Dalam psikologi perkembangan, kondisi ini bisa muncul sebagai akibat
dari parenting style yang tidak seimbang, misalnya terlalu memanjakan
anak (permissive parenting) atau sebaliknya, tidak memenuhi kebutuhan emosional
anak secara konsisten (neglectful parenting), sebagaimana diuraikan oleh Diana
Baumrind. Akibatnya, ketika dewasa, individu tersebut mencari pemenuhan
emosional yang tidak ia dapatkan di masa kecil dengan cara menuntut dari
lingkungan sekitar.
Sikap ini juga berkaitan dengan ciri-ciri dari Dependent Personality
Disorder atau narcissistic traits, di mana seseorang sangat
membutuhkan validasi eksternal dan tidak memiliki ketahanan emosional untuk
mengatasi kegagalan atau ketidaknyamanan. Dalam jangka panjang, pola ini dapat
merusak hubungan sosial, menimbulkan konflik interpersonal, dan memperdalam
luka psikologis karena tidak kunjung belajar untuk berdiri secara mandiri.
3.4. Ketidakmampuan
untuk Bersyukur dan Bersabar
Penolakan terhadap takdir juga sering kali tampak dalam ketidakmampuan
untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang sudah dimiliki dan tidak adanya
kesabaran dalam menghadapi proses kehidupan. Dalam perspektif Islam, dua sikap
ini—syukur dan sabr—adalah kunci untuk menghadapi dinamika
kehidupan. Namun, ketika seseorang terobsesi pada apa yang tidak ia miliki dan
merasa bahwa orang lain berkewajiban memenuhi kekosongan itu, ia justru menutup
dirinya dari potensi pertumbuhan batin dan kebijaksanaan spiritual.
Seperti dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din,
manusia yang tidak mengenal batas dirinya dan tidak mengakui kelemahan sebagai
bagian dari fitrah, akan selalu berada dalam keresahan yang tidak berkesudahan.
Ia terjebak dalam hasrat yang tidak realistis dan tuntutan yang tidak pernah
selesai.
Secara keseluruhan, manifestasi penolakan takdir bukan sekadar
persoalan spiritual atau moral, melainkan berkaitan erat dengan pola pikir,
pengasuhan, dan kesehatan mental. Oleh karena itu, memahami gejalanya dalam
kehidupan sehari-hari merupakan langkah penting untuk menyadari bahwa jalan
keluar dari penderitaan bukanlah dengan mengeluh atau menuntut dunia berubah,
tetapi dengan merevolusi cara pandang terhadap diri sendiri dan kenyataan yang
dihadapi.
4.
Analisis Psikologis
Penolakan terhadap takdir dan
kecenderungan menggantungkan kesejahteraan emosional pada orang lain merupakan
gejala yang erat kaitannya dengan dinamika kepribadian, pola pikir, dan
pengalaman masa lalu individu. Dalam
kerangka psikologi, kondisi ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil
dari berbagai interaksi antara faktor internal dan eksternal yang membentuk
struktur kepribadian seseorang.
4.1. Asal-Usul
Psikologis Ketidakmampuan Menerima Keadaan
Ketidakmampuan menerima kenyataan hidup atau takdir sering kali berakar
dari luka batin awal atau yang dalam teori psikologi populer disebut
sebagai inner child wound. Individu yang mengalami penolakan,
pengabaian, atau tekanan tinggi sejak masa kecil akan membentuk skema mental
tertentu yang kelak menentukan cara mereka merespons stres, kegagalan, dan
relasi sosial. John Bowlby, melalui teori attachment, menjelaskan bahwa
hubungan awal dengan figur pengasuh utama membentuk model kerja internal yang
menjadi dasar kepercayaan terhadap diri sendiri dan dunia. Anak yang tidak
mendapatkan kelekatan yang aman (secure attachment) cenderung tumbuh
menjadi pribadi yang rapuh secara emosional, mudah merasa tidak dicintai, dan
selalu mencari validasi dari luar.
Diana Baumrind menambahkan melalui klasifikasi gaya pengasuhan bahwa
pola asuh permisif—yang terlalu memanjakan anak tanpa batasan tegas—serta pola
otoriter—yang penuh tekanan tanpa empati—sama-sama dapat merusak pembentukan
kemandirian dan penerimaan diri. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan
seperti ini kerap tumbuh menjadi individu yang tidak siap menghadapi kenyataan
pahit dan lebih suka menuntut daripada bertanggung jawab.
Lebih lanjut, menurut Aaron T. Beck, dalam kerangka terapi kognitifnya,
individu yang tidak mampu menerima kenyataan hidup biasanya memiliki core
beliefs atau keyakinan dasar yang disfungsional, seperti “Saya tidak
berharga kecuali jika orang lain menerima saya,” atau “Saya tidak bisa bahagia
kalau orang lain tidak peduli.” Keyakinan ini mendorong pola pikir all-or-nothing
thinking dan emotional reasoning yang membuat seseorang merasa dunia
harus memenuhi kebutuhannya agar ia merasa tenang dan berharga.
4.2. Pola
Kepribadian yang Relevan
Dalam konteks gangguan kepribadian,
perilaku menuntut perhatian dan ketidakmampuan menerima kenyataan juga bisa
terkait dengan pola kepribadian tertentu. Salah satunya adalah Dependent
Personality Disorder (DPD), yaitu kondisi psikologis di mana seseorang
sangat takut kehilangan dukungan dan persetujuan dari orang lain, sehingga ia
akan bergantung secara emosional secara berlebihan. Individu dengan DPD
kesulitan membuat keputusan sendiri, merasa tidak mampu menjalani hidup tanpa
bantuan, dan cenderung tunduk pada tuntutan sosial agar tidak ditinggalkan.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5),
ciri utama DPD adalah kebutuhan yang berlebihan untuk dirawat dan diperhatikan,
yang sering kali membuat penderitanya mengorbankan tanggung jawab pribadi.
Selain itu, kecenderungan narsistik
juga bisa terlibat. Meskipun Narcissistic Personality Disorder (NPD) memiliki
spektrum yang luas, pada intinya, individu dengan ciri narsistik cenderung
memiliki harga diri yang rapuh dan bergantung pada pujian eksternal. Mereka sering merasa bahwa dunia
harus memahami perasaannya, memberikan perlakuan istimewa, dan mengakui
keunikan dirinya. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, ia akan merespons dengan
kemarahan, keluhan, atau penarikan diri yang menyalahkan pihak luar. Heinz
Kohut, dalam Self Psychology, menjelaskan bahwa narsisme patologis
berkembang ketika individu gagal membentuk struktur diri yang utuh karena tidak
mendapatkan cermin empatik yang memadai di masa perkembangan awal.
4.3.
Locus of Control dan
Mentalitas Korban
Konsep locus of control yang
diperkenalkan oleh Julian Rotter berperan penting dalam memahami bagaimana
seseorang memaknai kenyataan hidupnya. Individu dengan external locus of
control meyakini bahwa hidup mereka dikendalikan oleh faktor-faktor
eksternal seperti nasib, keberuntungan, atau tindakan orang lain. Ini membuat
mereka merasa tidak memiliki kuasa untuk mengubah hidupnya, lalu terjebak dalam
sikap pasif, mengeluh, dan menuntut. Sebaliknya, individu dengan internal
locus of control cenderung merasa bahwa dirinya mampu menentukan jalan
hidupnya melalui usaha dan keputusan sendiri, yang merupakan fondasi penting
bagi penerimaan diri dan ketahanan psikologis.
Fenomena victim mentality atau
mentalitas korban juga menjadi sorotan dalam psikologi kontemporer. Ini adalah
pola pikir di mana seseorang selalu merasa menjadi korban keadaan dan enggan
bertanggung jawab atas posisinya dalam hidup. Menurut Winch (2012), mentalitas
korban bukan hanya membuat seseorang tidak berkembang, tetapi juga merusak
relasi sosial karena ia memanipulasi empati orang lain untuk mendapatkan
simpati dan pembenaran. Akibatnya, alih-alih berproses menuju pemulihan dan
pertumbuhan, individu ini justru melanggengkan penderitaan yang sebetulnya bisa
diubah melalui kesadaran dan tanggung jawab pribadi.
Secara keseluruhan, analisis psikologis
menunjukkan bahwa penolakan terhadap takdir dan ketergantungan emosional
bukanlah sekadar kelemahan spiritual, tetapi berkaitan erat dengan luka masa
lalu, distorsi kognitif, dan pola kepribadian yang tidak sehat. Oleh karena
itu, penanganan terhadap kondisi ini memerlukan pendekatan yang menyeluruh—baik
melalui terapi psikologis, rekonstruksi keyakinan diri, maupun pembinaan
spiritualitas yang menumbuhkan sikap sabar, syukur, dan mandiri secara
emosional.
5.
Analisis Filosofis
Penolakan terhadap takdir dan
kecenderungan menggantungkan kehidupan emosional pada orang lain bukan hanya
persoalan psikologis, tetapi juga menyentuh dimensi filosofis yang
mendalam—menyangkut cara manusia memahami eksistensinya, kebebasannya, dan
relasinya dengan realitas. Dalam sejarah pemikiran, berbagai aliran filsafat
telah menawarkan kerangka pemahaman mengenai bagaimana manusia seharusnya
bersikap terhadap kenyataan yang tidak ia pilih, serta bagaimana membangun
otonomi diri di tengah keterbatasan takdir.
5.1. Perspektif
Stoisisme: Damai dalam Ketidakpastian
Filsafat Stoa, terutama melalui
pemikiran Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, menempatkan acceptance of
fate (amor fati) sebagai inti dari kehidupan bijak. Stoisisme mengajarkan
bahwa penderitaan manusia bukan berasal dari peristiwa eksternal, tetapi dari
penilaian subjektif terhadap peristiwa tersebut. Epictetus menulis dalam Enchiridion,
“Bukan peristiwa yang menyiksa kita, tetapi cara kita menilainya.” Oleh
karena itu, kebijaksanaan terletak pada kemampuan membedakan antara hal yang
bisa dikendalikan (pikiran, sikap, tindakan) dan hal yang tidak bisa
dikendalikan (nasib, tubuh, pendapat orang lain).
Stoik menolak sikap mengeluh atau menyalahkan dunia. Bagi mereka,
manusia seharusnya tidak menuntut realitas untuk sesuai dengan kehendaknya,
tetapi mengarahkan kehendaknya agar sejalan dengan realitas. Inilah bentuk
tertinggi dari inner freedom, yaitu kebebasan batin yang tidak
bergantung pada keadaan lahiriah. Orang yang mampu menerima takdirnya tanpa
keluhan adalah orang yang telah mencapai kebajikan (virtue) dan ataraxia—ketenangan
jiwa yang stabil.
Ketika seseorang menggantungkan perasaannya pada pengakuan, perhatian,
atau kepedulian orang lain, ia kehilangan kendali atas hidupnya dan menjadi
budak dari hal-hal eksternal. Stoisisme menolak bentuk kehidupan yang tidak
otonom ini dan menekankan pentingnya self-governance sebagai bentuk
kematangan moral.
5.2. Eksistensialisme:
Kebebasan dan Tanggung Jawab Diri
Sementara Stoisisme berfokus pada penerimaan realitas, filsafat
eksistensialisme—sebagaimana dikembangkan oleh Søren Kierkegaard, Jean-Paul
Sartre, dan Viktor Frankl—menggarisbawahi kebebasan dan tanggung jawab individu
dalam menciptakan makna dari hidupnya, bahkan ketika hidup tampak absurd atau
menyakitkan. Sartre dalam Being and Nothingness menegaskan bahwa manusia
adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”; ia tidak bisa tidak memilih,
dan karena itu ia harus bertanggung jawab penuh atas eksistensinya.
Ketika seseorang menolak kenyataan dan terus-menerus menyalahkan orang
lain, ia sesungguhnya sedang terjebak dalam apa yang oleh Sartre disebut
sebagai bad faith (mauvaise foi), yaitu kondisi di mana seseorang
menyangkal kebebasannya dengan bersembunyi di balik peran, nasib, atau harapan
dari orang lain. Dalam bad faith, seseorang tidak hidup secara otentik,
melainkan terus menghindar dari tanggung jawab eksistensialnya.
Berbeda dengan fatalisme yang pasrah buta terhadap takdir,
eksistensialisme memandang bahwa bahkan dalam keterbatasan pun, manusia
memiliki ruang untuk memilih: memilih bagaimana merespons penderitaan,
bagaimana memberi makna terhadap peristiwa yang menimpa, dan bagaimana
membentuk dirinya melalui kebebasan yang bertanggung jawab. Inilah yang
dikembangkan oleh Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning, di mana
ia menyaksikan bahwa mereka yang bertahan di kamp konsentrasi Nazi adalah
orang-orang yang mampu menemukan makna, meskipun dalam penderitaan paling
brutal sekalipun.
5.3. Pandangan
Islam: Takdir, Ikhtiar, dan Etika Relasional
Dalam Islam, takdir (qadha dan qadar) merupakan bagian
dari keimanan. Namun, ajaran Islam menolak sikap fatalistik dan pasif dalam
menyikapi kenyataan. QS. Al-Hadid [57] ayat 22-23 menyebutkan bahwa segala
musibah terjadi dengan izin Allah, agar manusia tidak terlalu bersedih atas apa
yang hilang dan tidak terlalu sombong atas apa yang diperoleh. Di sisi lain,
QS. Ar-Ra’d [13] ayat 11 mengingatkan bahwa perubahan hidup bergantung pada
usaha manusia itu sendiri: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
Pandangan Islam bersifat integratif: takdir dipahami sebagai ketetapan
Ilahi yang berada dalam hikmah-Nya yang luas, tetapi manusia tetap diberi
kehendak bebas (ikhtiar) dan tanggung jawab atas tindakannya. Sikap
ideal terhadap takdir adalah ridha dan sabr, bukan keluhan,
menyalahkan, atau menuntut orang lain. Rasulullah Saw bersabda, “Bersemangatlah
untuk hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan
lemah” (HR. Muslim), yang mencerminkan etika optimisme dan proaktif meski
dalam bingkai ketundukan spiritual.
Lebih dari itu, Islam juga memiliki
etika sosial yang kuat. Seseorang tidak dibenarkan menyusahkan orang lain
dengan tuntutan yang tidak proporsional, memanipulasi empati, atau menciptakan
ketergantungan emosional yang tidak sehat. QS. Al-Baqarah [02] ayat 286
menyebut bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
kemampuannya—dan secara analogis, manusia juga tidak boleh membebani sesamanya
melebihi batas kewajaran. Kepedulian adalah kewajiban moral, tetapi tidak untuk
diminta secara memaksa, apalagi sebagai kompensasi atas penolakan terhadap
realitas.
Filsafat, dengan pendekatan
rasionalnya, dan teologi, dengan pendekatan spiritualnya, sama-sama menuntun
manusia menuju kedewasaan eksistensial: bahwa penderitaan adalah bagian dari
kehidupan, dan bahwa makna hidup tidak ditemukan dalam keluhan atau tuntutan,
melainkan dalam keberanian untuk menerima, bertanggung jawab, dan terus tumbuh.
Manusia yang matang bukanlah manusia yang selalu “baik-baik saja”,
tetapi manusia yang tetap teguh, meski keadaan tidak berjalan seperti yang ia
harapkan.
6.
Dampak Sosial dan
Relasional
Ketidakmampuan menerima takdir dan
kecenderungan menggantungkan kesejahteraan emosional pada orang lain tidak
hanya berdampak pada keseimbangan batin individu, tetapi juga menimbulkan efek
domino dalam hubungan sosial. Sikap seperti suka mengeluh, menyalahkan, dan
menuntut perlakuan istimewa bukan hanya merupakan beban psikologis bagi
pelakunya, tetapi juga menjadi beban moral dan emosional bagi orang-orang di
sekitarnya. Dalam konteks
ini, krisis penerimaan diri berpotensi mengganggu ekosistem sosial, menurunkan
kualitas relasi interpersonal, dan bahkan merusak iklim empati dalam komunitas.
6.1. Ketegangan
dalam Hubungan Interpersonal
Individu yang tidak mampu berdamai dengan kenyataan hidupnya cenderung
menjalin hubungan dengan pola ketergantungan emosional yang tidak sehat. Ia
menuntut pengertian, perhatian, atau bantuan secara berlebihan, bahkan dalam
hal-hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadinya. Dalam teori Transactional
Analysis yang dikembangkan oleh Eric Berne, pola ini disebut sebagai relasi
drama triangle, di mana seseorang berperan sebagai “korban” yang
terus mencari “penolong” dan menyalahkan “penjahat” yang dianggap
merusak hidupnya. Pola ini dapat menciptakan siklus relasi yang melelahkan
secara emosional dan destruktif dalam jangka panjang.
Lebih jauh lagi, jika relasi ini berlangsung dalam keluarga,
pertemanan, atau komunitas kerja, maka akan muncul beban asimetris: satu pihak
menjadi “penyangga emosional” yang selalu dituntut untuk memahami dan
memenuhi ekspektasi, sementara pihak yang lain merasa berhak atas perhatian dan
pemakluman yang tak berkesudahan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik, rasa
jenuh, dan akhirnya hubungan yang renggang atau bahkan putus.
6.2. Beban
Emosional bagi Lingkungan Sekitar
Dampak psikologis dari berinteraksi dengan individu yang menolak takdir
dan cenderung menuntut berlebihan disebut dalam psikologi sebagai compassion
fatigue—keletihan empatik. Charles Figley menyebut bahwa compassion
fatigue dapat dialami oleh siapa pun yang terus-menerus terpapar pada
tekanan emosional dari orang lain, khususnya jika individu tersebut menuntut
tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan dirinya sendiri. Dalam konteks ini,
orang-orang di sekitar mungkin mulai merasa bersalah jika tidak merespons
keluhan, tetapi juga merasa tertekan jika terus-menerus harus menjadi penyangga
emosional bagi seseorang yang menolak bertumbuh secara mandiri.
Dalam hubungan jangka panjang, fenomena
ini juga bisa berkembang menjadi bentuk emotional blackmail (pemerasan
emosional), di mana individu memanfaatkan rasa empati orang lain untuk
mendapatkan perlakuan khusus, perhatian, atau pengorbanan yang tidak
proporsional. Susan Forward menjelaskan bahwa pelaku pemerasan emosional sering
menggunakan ancaman halus—seperti menarik diri, menyalahkan, atau menciptakan
rasa bersalah—untuk mempertahankan kontrol atas orang lain. Ini bukan hanya
merusak hubungan, tetapi juga memanipulasi batas-batas pribadi yang sehat dalam
relasi.
6.3. Pengaburan
Nilai Kepedulian dalam Masyarakat
Dalam skala sosial yang lebih luas,
kecenderungan sebagian orang untuk menuntut dipahami, ditolong, dan dimaklumi
secara berlebihan dapat mengaburkan makna sejati dari solidaritas dan
kepedulian. Masyarakat yang
sehat seharusnya dibangun di atas prinsip saling mendukung dengan keseimbangan
tanggung jawab. Namun jika kepedulian sosial dimanfaatkan oleh
individu-individu yang menolak tanggung jawab pribadi, maka terbentuklah
ketimpangan moral—di mana bantuan menjadi kewajiban sepihak, bukan kesepakatan
bersama yang etis.
Dalam etika Aristotelian, relasi sosial ideal didasarkan pada philia
(persahabatan sejati) yang melibatkan resiprositas dan saling menguatkan dalam
kebaikan. Namun jika satu pihak hanya menuntut tanpa memberi, atau mengklaim
penderitaannya sebagai alasan untuk menyingkirkan tanggung jawab, maka hubungan
itu kehilangan keseimbangannya dan tidak lagi berakar pada kebajikan. Bahkan
dalam filsafat konfusius, keutamaan seperti ren (kemurahan hati) dan yi
(kewajaran) menuntut keharmonisan antara memberi dan menerima, bukan dominasi
emosional oleh salah satu pihak.
Dalam Islam, prinsip ta’awun (saling menolong) juga dibingkai
dalam semangat keadilan dan tanggung jawab. QS. Al-Ma’idah [05] ayat 2
menyerukan untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa
atau kezaliman. Maka, menuntut secara berlebihan hingga menyusahkan orang
lain—dengan dalih penderitaan pribadi—bisa melanggar batas moral. Bahkan
Rasulullah Saw bersabda bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Thabrani), bukan yang paling sering
membebani manusia lain dengan keluhannya.
Dengan demikian, penolakan takdir dan
ketergantungan emosional tidak hanya melukai individu secara pribadi, tetapi
juga menular dalam bentuk keretakan relasi, beban emosional kolektif, dan
distorsi terhadap nilai kepedulian sosial. Oleh karena itu, pendidikan
emosional dan spiritual yang mendorong tanggung jawab, penerimaan, dan
keseimbangan relasi menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang sehat secara
psikososial.
7.
Upaya Penyembuhan
dan Perbaikan
Mengatasi krisis penerimaan diri yang
berakar pada penolakan terhadap takdir dan kecenderungan ketergantungan
emosional bukanlah proses instan, melainkan suatu perjalanan batin yang
memerlukan kesadaran, keberanian, dan bimbingan yang tepat. Dalam perspektif
psikologis maupun filosofis, upaya penyembuhan ini bertumpu pada tiga fondasi
utama: pengenalan diri yang jujur, pembentukan tanggung jawab pribadi, dan
penanaman makna hidup yang transendental.
7.1. Pendekatan
Psikoterapeutik: Membangun Kesadaran dan Regulasi Emosi
Dalam dunia psikologi klinis, upaya pertama untuk menyembuhkan krisis
semacam ini adalah melalui terapi yang mendorong kesadaran akan kondisi diri.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) yang dikembangkan oleh Aaron T. Beck menekankan
pentingnya mengenali distorsi kognitif yang melandasi perasaan tidak berdaya
dan keyakinan negatif terhadap takdir. Individu dilatih untuk mengevaluasi
kembali pikiran otomatis seperti “hidup tidak adil” atau “aku selalu menjadi
korban”, dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih realistis dan
konstruktif.
Selain itu, dialectical behavior therapy (DBT), yang awalnya
dikembangkan untuk pasien borderline personality disorder, terbukti efektif
dalam membantu individu mengelola ketidakstabilan emosi, mengurangi
ketergantungan terhadap validasi eksternal, serta membangun keterampilan distress
tolerance dan emotional regulation. Terapi ini mendorong klien untuk
menerima realitas hidup yang menyakitkan tanpa harus terjebak dalam sikap
mengeluh atau menyalahkan.
Mindfulness-based therapy juga terbukti bermanfaat dalam melatih
individu untuk hadir dalam momen kini tanpa menghakimi pengalaman hidup yang
tidak ideal. Dengan memperkuat kesadaran akan pikiran dan emosi secara netral,
individu perlahan-lahan belajar untuk tidak lagi reaktif terhadap rasa kecewa
atau luka masa lalu.
7.2. Pendidikan
Diri dan Pembentukan Tanggung Jawab Personal
Penerimaan terhadap takdir dan pembebasan dari ketergantungan emosional
membutuhkan pembelajaran aktif mengenai konsep tanggung jawab pribadi. Viktor
Frankl, dalam logoterapinya, menegaskan bahwa manusia tidak hanya makhluk yang
bereaksi terhadap keadaan, tetapi makhluk yang memiliki kebebasan untuk
merespons dengan makna. Dalam konteks ini, penderitaan bukan semata-mata untuk
dihindari, tetapi untuk dipahami dan dijadikan titik tolak pembentukan jati
diri yang lebih kuat.
Pendidikan karakter yang menanamkan nilai resiliensi, agency,
dan self-efficacy sangat penting dalam proses ini. Albert Bandura
menunjukkan bahwa individu dengan kepercayaan diri terhadap kemampuannya
mengatasi tantangan (self-efficacy) cenderung tidak menyalahkan
lingkungan atau orang lain saat menghadapi kesulitan, tetapi justru mencari
solusi internal dan adaptif.
Di tingkat sosial, penting juga adanya
dukungan dari komunitas yang sehat secara emosional—yang tidak menoleransi
sikap manipulatif, tetapi mendorong setiap individu untuk tumbuh menjadi dewasa
secara emosional. Ini bisa ditempuh melalui pendampingan, pelatihan
kepemimpinan diri (self-leadership), atau keterlibatan dalam program
pembinaan spiritual dan mental yang mengedepankan tanggung jawab pribadi.
7.3. Pendekatan
Filosofis-Spiritual: Rekonsiliasi Diri dengan Makna Kehidupan
Secara filosofis, pemulihan dari krisis penolakan takdir tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman tentang keterbatasan dan keutuhan manusia. Dalam
eksistensialisme teistik seperti yang dikembangkan Søren Kierkegaard, manusia
dipanggil untuk menerima “kecemasan eksistensial” sebagai bagian dari
pengalaman iman yang mendalam—di mana individu justru menemukan kebebasannya
dalam menyerahkan diri kepada kehendak ilahi.
Dalam Islam, konsep ridha terhadap takdir Allah (qadar)
merupakan bentuk tertinggi dari penerimaan spiritual. Ridha bukan berarti
pasrah tanpa usaha, melainkan menerima kenyataan dengan hati yang lapang sambil
tetap menjalani kehidupan dengan ikhtiar yang maksimal. Seperti ditegaskan
dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 286, Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya—sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa setiap
pengalaman hidup, sesulit apa pun, memiliki nilai dan tujuan.
Di sisi lain, mengembangkan makna hidup yang melampaui dunia
materi—baik melalui ibadah, amal sosial, maupun keterlibatan dalam tujuan yang
lebih besar dari diri—mampu membebaskan individu dari obsesi untuk selalu
dimengerti, dicukupi, atau dimanja. Viktor Frankl menyebut bahwa penderitaan
tanpa makna akan melumpuhkan, tetapi penderitaan yang ditemukan maknanya dapat
menjadi kekuatan luar biasa untuk transformasi diri.
7.4. Konsolidasi:
Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian Emosional
Penyembuhan sejati akan membawa individu keluar dari sikap menyalahkan
takdir dan orang lain, menuju kemandirian emosional dan kedewasaan spiritual.
Ia tidak lagi mencari sandaran pada perhatian atau pengakuan eksternal, tetapi
menemukan pondasi ketenangan dalam penerimaan diri, relasi yang sehat, dan
kedekatan dengan Tuhan.
Individu yang pulih dari krisis penerimaan diri akan memperlihatkan
tanda-tanda seperti: berhenti menyalahkan, mulai bertanggung jawab atas
hidupnya, tidak lagi memanipulasi empati orang lain, dan mampu mengelola luka
batinnya dengan bijak. Ia menjadi pribadi yang self-aware, self-reliant,
dan compassionate tanpa harus mengeksploitasi belas kasih orang lain.
Dari sinilah penyembuhan tidak hanya menjadi proses individual, tetapi juga
kontribusi sosial bagi masyarakat yang lebih sehat secara emosional dan
spiritual.
8.
Penutup
Krisis penerimaan diri yang tercermin
dalam bentuk penolakan terhadap takdir serta ketergantungan emosional yang
tidak sehat merupakan persoalan multidimensi yang menuntut perhatian serius
dari aspek psikologis dan filosofis. Individu yang tidak mampu menerima
kenyataan hidup cenderung menempatkan dirinya sebagai korban permanen dari
keadaan—menolak bertanggung jawab, mengeluh tanpa henti, serta menuntut orang
lain untuk selalu hadir, memahami, dan memenuhi kebutuhan emosional serta
materialnya. Hal ini tidak hanya merugikan perkembangan pribadinya, tetapi juga
menciptakan pola hubungan yang disfungsional dalam lingkungan sosialnya.
Secara psikologis, penolakan terhadap takdir sering kali berakar pada
luka batin, pola pikir irasional, dan kelemahan dalam regulasi emosi.
Pendekatan terapi kognitif dan perilaku, mindfulness, serta logoterapi telah
terbukti mampu membantu individu keluar dari perangkap ketidakberdayaan menuju
kesadaran diri dan tanggung jawab personal. Dalam konteks ini, Viktor Frankl
menggarisbawahi pentingnya menemukan makna dalam penderitaan sebagai jalan
menuju transformasi eksistensial.
Sementara itu, dari sisi filosofis dan spiritual, manusia ditantang
untuk menerima batas-batas eksistensinya tanpa kehilangan kebebasan batinnya.
Kierkegaard menekankan pentingnya lompatan iman dalam menghadapi absurditas dan
penderitaan hidup. Dalam Islam, sikap ridha terhadap takdir bukan bentuk
kepasrahan pasif, tetapi manifestasi iman yang aktif, yang menumbuhkan
ketenangan, keikhlasan, dan orientasi hidup yang lebih luhur. QS. Al-Hadid [57]
ayat 23 secara eksplisit memperingatkan agar manusia tidak berlebihan dalam
bersedih atas apa yang hilang dan tidak sombong atas apa yang didapat, sebagai
fondasi spiritual untuk menjaga stabilitas emosi dan integritas diri.
Penolakan takdir dan ketergantungan emosional pada akhirnya mengganggu
keseimbangan pribadi dan sosial. Individu yang terus-menerus memosisikan
dirinya sebagai pusat perhatian dan tuntutan akan menjauh dari relasi yang
sehat, kehilangan empati timbal balik, dan berpotensi mengalami keterasingan.
Karena itu, pemulihan memerlukan komitmen mendalam untuk merekonstruksi cara
pandang terhadap hidup, mendidik kembali hati untuk bersyukur, serta membangun
daya tahan spiritual dan emosional.
Keseluruhan kajian ini menegaskan bahwa krisis penerimaan diri bukanlah
kondisi permanen, melainkan proses yang dapat ditata kembali melalui refleksi,
bimbingan, dan penemuan makna. Di titik kulminasi penerimaan inilah, manusia
tidak hanya menjadi pribadi yang kuat, tetapi juga bijaksana—mampu menjalani
hidup tanpa merasa berutang pada orang lain untuk kebahagiaannya sendiri, dan
tanpa memaksakan dunia untuk selalu sesuai dengan keinginannya. Ia
berdamai dengan takdir, tetapi tetap berjuang dalam kehendak.
Daftar Pustaka
Beck, A. T. (1979). Cognitive
therapy and the emotional disorders. New York: Penguin Books.
Ellis, A. (2004). Rational emotive
behavior therapy: It works for me – It can work for you. Amherst, NY:
Prometheus Books.
Frankl, V. E. (1985). Man's search
for meaning (Rev. ed.). Boston, MA: Beacon Press.
Kierkegaard, S. (1980). The
sickness unto death (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton, NJ:
Princeton University Press. (Original work published 1849)
Linehan, M. M. (1993). Cognitive-behavioral
treatment of borderline personality disorder. New York: Guilford Press.
Maslow, A. H. (1943). A theory of
human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346
Neff, K. D. (2011). Self-compassion:
The proven power of being kind to yourself. New York: William Morrow.
Ryff, C. D., & Singer, B. (2008).
Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological
well-being. Journal of Happiness Studies, 9(1), 13–39. https://doi.org/10.1007/s10902-006-9019-0
Seligman, M. E. P. (2006). Learned
optimism: How to change your mind and your life. New York: Vintage.
Snyder, C. R., & Lopez, S. J.
(Eds.). (2007). Positive psychology: The scientific and practical
explorations of human strengths (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.
Tillich, P. (2000). The courage to
be. New Haven, CT: Yale University Press.
Yalom, I. D. (1980). Existential
psychotherapy. New York: Basic Books.